array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3822803"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(154) "Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Setektif kesulitan menemukan buktinya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg"
      ["title"]=>
      string(17) "Di Matanya Itulah"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 12:02:48"
      ["content"]=>
      string(21259) "

Intisari Plus - Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Ketika detektif mengetahui motifnya, ia mengalami kesulitan menemukan buktinya.

----------

Meninggalnya Helen Potts di New York City di tahun 1891 awalnya merupakan berita biasa. Tetapi karena berita dukacitanya yang cuma beberapa baris itu ditambah keterangan “karena penyakit jantung”, mayat Nona Potts digali kembali.

Bermula dari wartawan koran World yang tajam penglihatannya Isaac “Ike” White. Di saat yang sama, White mengetahui bahwa sebenarnya Helen Potts sudah menikah. Meski secara sembunyi-sembunyi, wanita itu telah menikah dengan Carlyle Harris. White juga mengetahui bahwa Harris adalah pecandu minuman keras dan wanita. Dugaan White, Helen Potts sengaja disingkirkan oleh Carlyle Harris.

Naluri wartawan White membawanya ke dokter yang menangani Helen Potts di saat terakhirnya. Dengan terus terang sang dokter menyatakan jika ia curiga pasien meninggal karena morfin. Gejalanya sangat jelas bagi sang dokter: manik mata Helen Potts mengerut. Hal itu, kata sang dokter, sudah pula disampaikan kepada pihak keluarga Potts. Tetapi justru pihak keluarga Potts yang melarang perihal morfin tersebut diungkap sebab bisa menjadi aib keluarga. Karena itu, berita dukacita ditambahkan “karena penyakit jantung”. Alasan itu tentu tidak akan membuat malu keluarga dan memang Helen Potts sejak lama mengidap penyakit tersebut.

White menuliskan artikel perihal penemuannya. Mayat Helen Potts digali kembali dan diperiksa. Tidak dapat dibantah lagi, Helen Potts tewas kerena dosis morfin yang mematikan, bahkan bagi orang yang sehat. Carlyle Harris tidak pula dapat membantah. Sang dokter membuktikan bahwa manik mata yang mengerut merupakan akibat morfin dalam tubuh. Manik mata itu seperti manik mata kucing yang kena sinar terlalu terang. Harris divonis bersalah dan tewas di kursi listrik.

Sudah tentu Ike White hadir ketika perkara pembunuhan itu diperiksa pengadilan. Tetapi selain juri, masih ada orang lain yang selalu hadir dalam sidang-sidang pengadilan tersebut. Orang itu adalah dr. Robert Buchanan. Dia tinggal di Greenwich Village di Jalan Barat XI nomor 267. Setiap hari, setelah pulang dari sidang pengadilan kasus Helen Potts, ia minum dulu di Macomber’s di Greenwich Avenue.

Telinga Ike White ternyata tidak kalah pekanya dari matanya. Singkatnya, dia mendengar bahwa pada hari jatuhnya vonis bagi Carlyle Harris, dr. Buchanan melontarkan kata-kata yang kurang layak. Saat itu ia dalam kondisi mabuk. Orang lain mungkin melupakan perkataannya, tetapi White justru mencatatnya.

Kejadiannya pada petang hari di Macomber’s, di depan kawan-kawan minumnya, terutama Macomber sendiri dan bekas opsir Kapten Llewelyn Doria. Dr. Buchanan mengatakan, “Carlyle Harris bodoh. Sebenarnya mudah sekali membunuh orang dengan morfin, tanpa ditangkap polisi.”

“Masa begitu mudah,” tanya Doria keheranan. “Bagaimana caranya?”

“Dalam ilmu kimia, tiap bentuk asam ada dasarnya,” jawab sang dokter dengan cekatan. “Dan tiap aksi ada reaksinya!” Keterangan dr. Buchanan tidak dilanjutkan lebih jauh, karena pembicaraan lalu dialihkan ke soal lain.

Dr. Buchanan yang menyelesaikan studi kedokterannya di University of Edinburgh itu mulai menetap di New York pada tahun 1886. Tidak seorang diri, melainkan bersama istrinya, Helen. Ia adalah seorang wanita cantik berambut cokelat dari Nova Scotia. Nyonya Buchanan tidak pernah kedengaran mengeluh, bahkan ketika ia mengetahui bahwa suaminya pecandu wiski dan wanita. Kedua hal itulah yang sebenarnya menyebabkan dr. Buchanan kerasan dan betah di Macomber’s.

Selain ahli di bidang minuman beralkohol, Macomber juga ahli di bidang hiburan seks. Hasil penyelidikannya di bidang tersebut terakhir dibaginya bersama-sama dr. Buchanan dan Kapten Doria. Operasi ketiga orang sampai jauh di seberang Hudson, sampai Newark, New Jersey. Di Jalan Halsey, terdapat sebuah rumah di mana dr. Buchanan menemukan hiburan kegemarannya.

Germonya di sana bernama Anna Sutherland, seorang wanita setengah baya dan janda pendeta Baptis. Selain dia, masih ada “germo muda” bernama James Smith yang tinggal di salah satu kamar bawah di rumah itu.

Tampaknya Anna Sutherland merasa bangga atas perhatian khusus yang ditunjukkan seorang dokter dari New York kepadanya. Tiap habis memakai jasanya, dr. Buchanan selalu mengetuk pintu kamarnya. Sang dokter sekadar mengobrol mengenai angin dan sapi. Lama-lama ia sudah kehabisan bahan sehingga Anna Sutherland seolah terpaksa menyajikan kekayaannya yang lain sebagai bahan obrolan. Kekayaan Anna Sutherland yang lain meliputi rumah hiburan di Jalan Halsey serta rekening bank lebih dari 10.000 dolar. Ia juga memiliki pelbagai perhiasan emas nilainya tiga kali lipat dari rekening banknya.

Dr. Buchanan sendiri, mungkin terdengar tidak masuk akal, adalah orang yang “haus” seks. Sebagai dokter, ia memiliki banyak pasien. Ruang tunggu tempat praktik dr. Buchanan tidak pernah sepi. Dia makin lama makin terkenal. Pada awal 1890 New York menganugerahkan dua jabatan yang jelas tidak kecil honorariumnya. Satu sebagai dokter kepolisian kota dan satu sebagai anggota panitia penyelidikan kesehatan mental yang beranggotakan tiga orang.

Bersamaan dengan penghargaan itu, dr. Buchanan mulai mengeluh. Ia merasa bukan orang yang baik untuk menjadi suami, apalagi ayah yang baik. Istrinya sendiri juga dikatakan terlalu banyak cingcong, sesuatu yang tidak pernah disaksikan oleh orang lain. Nyonya Helen Buchanan di mata banyak orang adalah wanita yang patuh, penurut, dan toleran. Bahkan, ia adalah istri yang pantang melawan suami.

Pertengahan tahun 1890, dr. Buchanan berhasil mendapat keputusan pengadilan untuk bercerai dari istrinya. Tanggal 11 November Helen keluar dari rumah Jalan Barat XI. Dr. Buchanan kembali menghirup kehidupan membujang. 

Namun ia tidak lama menikmati kehidupan bebas sebagai bujangan. Pada tanggal 28 November berikutnya, bersama-sama Kapten Doria dan Macomber, dr. Buchanan pergi ke rumah Anna Sutherland di Newark. Keempat orang itu ditemani seorang pria lagi, seorang pengacara. Dua sobat dokter itu bertindak sebagai saksi dalam penandatanganan wasiat Anna Sutherland, sedangkan dr. Buchanan dinyatakan sebagai ahli waris.

Pada hari yang sama, ketiganya kembali ke New York. Tetapi hari berikutnya mereka kembali ke Newark. Dari sana mereka pergi ke gereja yang terletak di Jalan Elk. Di sana, Pendeta David Lusk mengikat dr. Buchanan dan Anna Sutherland satu dengan lain dalam perkawinan suci.

Berbulan-bulan berikutnya, Nyonya Anna Buchanan — Sutherland meneruskan usahanya di Newark. Tapi pada awal tahun 1891, rumah di Jalan Halsey itu dijual dengan harga 9.500 dolar. Anna Sutherland pindah ke New York dan tinggal di Jalan Barat XI. Ia bahkan membeli rumah itu dengan uang hasil penjualan rumah Newark. Tentu saja rumah itu diberikan pada sang suami.

Sampai di sana, tidak ada suara sumbang perihal kisah cinta Buchanan dan Sutherland. Di sisi lain, James Smith terpaksa menghentikan usahanya Jalan Halsey karena kehilangan tempat usaha.

Setahun berlalu. Sampailah awal Februari 1892 ketika Carlyle Harris diadili dengan tuduhan memberikan morfin pada istri gelapnya sampai mati. Peradilan yang selalu diikuti dengan tekun oleh dr. Buchanan. Tetapi minat dr. Buchanan tampaknya tidak semata-mata demi dunia kedokteran belaka.

Sudah sejak pertengahan 1891, dr. Buchanan mengatakan pada kawan-kawannya di Macomber’s, bahwa dia mau pergi ke Scotland. Namun perjalanannya itu tidak dilakukannya bersama sang istri. Tidak dikatakan mengapa rencana itu tidak jadi. Pasalnya dr. Buchanan keburu “tenggelam” dalam minuman keras.

Dalam keadaan mabuk, bebaslah lidah dr. Buchanan untuk mengatakan bahwa pembatalan itu akibat ancaman istrinya. Ia mengancam akan merubah isi wasiat Newark yang menjadikan dr. Buchanan sebagai ahli waris atas harta Anna Sutherland.

Pada hari Kamis 21 April 1892, dr. Buchanan mengatakan kepada Kapten Doria, “Aku harus pulang segera. Istriku sakit keras!”

Nyonya Anna Buchanan — Sutherland benar sakit. Dr. Buchanan mengundang rekan dokter tetangganya, dr. Mclntyre, untuk memeriksa keadaan istrinya. Dr. Buchanan sendiri, katanya, menganggap aneh gejala-gejala yang ditunjukkan oleh istrinya. Terus-menerus merasa mengantuk, pancaindra menurun kepekaannya, peredaran darah tidak normal, susah bernapas, dan sering pingsan. Seorang perawat yang diupah oleh dr. Buchanan, Nyonya Edith Crouch, mencatat bahwa dr. Buchanan kerap meneteskan semacam cairan ke mata Nyonya Buchanan. Kemudian mundur sejenak. Sang suami kemudian mendekat lagi seolah untuk melihat keadaan mata yang baru saja diobatinya.

Dari Kamis malam sampai Sabtu, dr. Buchanan benar-benar patut dipuji perihal pengabdiannya demi pulihnya kesehatan istrinya. la mendesak dr. Mclntyre untuk menggunakan segala ilmunya demi kesembuhan istrinya.

Tapi Sabtu siang itu, rupanya semua ilmu yang dimiliki dr. Mclntyre tidak bermanfaat lagi. Nyonya Buchanan menghembuskan napasnya terakhirnya. Dalam sertifikat kematian, dr. Mclntyre menyebut penyakit ayan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan. 

Malam akhir pekan itu dihabiskan oleh dr. Buchanan di Macomber’s. Pada hari Selasa 26 April, ketiga sahabat itu mengantar jenazah Nyonya Buchanan ke tempat peristirahatannya di permakaman Greenwood, Brooklyn. 

Beberapa hari kemudian saat berada di Macomber’s, dr. Buchanan mengatakan bahwa dia mau pergi lama sekali. 

“Ke Scotland?” tanya Macomber. 

“Tidak,” kata sang dokter. “Masih ada tempat lainnya di dunia ini!”

Berminggu-minggu kemudian dr. Buchanan tidak kelihatan di New York. Tetapi sementara itu, kira-kira pertengahan Mei, James Smith menemukan berita di suatu koran New York. Isinya tentang Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan sudah meninggal dunia. Mengetahui hal itu, Smith serta-merta mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan pergi ke New York. Ia akan mencari kepastian mengenai kematian bekas rekannya pada pemeriksa jenazah Schultze. Orang itu kebetulan juga menangani jenazah Helen Potts dalam perkara Carlyle Harris.

Schultze tidak seorang diri ketika menerima Smith di ruang kerjanya. Tamu lainnya adalah Ike White dari World yang memang sedang membongkar tumpukan catatan lama. White mungkin mencari bahan tulisan untuk korannya.

Smith langsung menuduh dr. Buchanan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland. Menurut Smith, dr. Buchanan menikahi Anna Sutherland semata-mata karena uang dan kekayaan almarhumah. Cerita Smith tidak dianggap serius oleh Schultze. Terutama karena Smith tidak menyembunyikannya kekesalannya pada dr. Buchanan. Pasalnya, karena desakan dr. Buchanan, maka usaha bersama Anna Sutherland-Smith di Jalan Halsey itu ditutup.

Bagi Schultze sendiri, dr. Buchanan terlalu terhormat untuk melakukan pekerjaan sekeji itu. Lagi pula menurut dokter lain yang terpercaya, dr. Mclntyre, kematian Anna Sutherland karena penyakit ayan.

Tetapi kesimpulan White, wartawan World, yang berhasil mendengarkan seluruh pembicaraan antara Smith dan Schultze, lain. Memang aneh, pikirnya, bahwa dr. Buchanan yang katanya jemu punya istri, justru menikahi istri baru hanya dalam waktu berapa minggu saja setelah bercerai. Lebih aneh lagi, dr. Buchanan menikahi wanita yang jauh lebih tua darinya, seorang germo malahan. Dr. Buchanan pasti mempunyai alasan lain untuk pernikahannya dengan Anna Sutherland, pikir White.

Keluar dari kantornya Schultze, White langsung menuju kantor pengacara yang menyimpan surat-surat wasiat Anna Sutherland. Tepat seperti perhitungan White, dr. Buchanan adalah satu-satunya ahli waris harta milik Anna Sutherland. Pernyataan itu disaksikan oleh Macomber dan Doria.

Langkah White berikutnya adalah menuju rumah dr. Mclntyre. Ya, kata dr. Mclntyre, kasus penyakit Nyonya Buchanan memang agak aneh dan meragukan. 

“Mungkinkah Nyonya Buchanan dibunuh dengan morfin?” tanya White mendadak.

Dr. Mclntyre tampak mengucurkan keringat dingin. Tapi akhirnya toh menjawab, “Boleh jadi.” “Beberapa gejala ayan memang menyerupai gejala keracunan morfin,” kata dr. Mclntyre selanjutnya. 

“Ketika saya dipanggil untuk merawat Nyonya Buchanan, saya melihat ia menunjukkan gejala-gejala sekunder keracunan morfin. Namun gejala primer, antara lain mengerutnya manik mata, justru tidak ada. Jadi saya lalu memutuskan bahwa Nyonya Buchanan meninggal karena ayan.”

Kecurigaan White terhadap dr. Buchanan tidak berkurang. Dikunjunginya Profesor Rudolph Witthaus, dokter dan pejabat dinas kesehatan kota dan ahli penyakit keracunan. White bertanya, apakah gejala primer dari keracunan dapat disembunyikan. Jawab Profesor Witthaus, dalam literatur kedokteran tidak tercatat cara-cara menyembunyikan gejala primer demikian.

White merasa terpojok. Tapi tiba-tiba dia teringat pada niat dr. Buchanan untuk pergi ke Scotland. Benarkah dia mau pergi ke Scotland? Atau hanya ke Nova Scotia tempat asalnya? White menelepon koresponden World di Nova Scotia, untuk mengetahui latar belakang dr. Buchanan disana.

Jawaban koresponden Nova Scotia benar-benar mengejutkan. Tanggal 2 Mei 1892, jadi hanya beberapa hari saja setelah meninggalnya Anna Sutherland, dr. Buchanan datang di kota kelahirannya di Winson. Ia menemui Helen, bekas istrinya yang diceraikannya sebelum menikah dengan Anna Sutherland. Di Winson, dr. Buchanan menikah kembali dengan Helen pada tanggal 16 Mei 1892.

Dengan data terbaru ini, White menyerbu ke kantor Schultze si pemeriksa jenazah. “Dr. Buchanan pasti yang membunuh Anna Shuterland, istri keduanya itu,” katanya dengan yakin kepada Schultze. 

“Sudah jelas sekali motifnya. Dia sebenarnya tidak bosan dengan Helen yang cantik itu. Dia pasti merencanakan segalanya itu. Cerai dulu dari Helen, menikah dengan Anna Sutherland, mengusahakan jatuhnya warisan Anna Sutherland ke tangannya, membunuh Anna Sutherland, lalu akhirnya menikah kembali dengan si cantik Helen.”

“Kalau Anda,” kata White sambil menuding-nuding Schultze, “tidak mau memerintahkan penggalian kembali, cerita ini akan saya tulis di World.”

Schultze mendiskusikan masalah ini dengan rekan-rekan sejawatnya. Hari berikutnya mereka mendapatkan perintah penggalian kembali jenazah Anna Sutherland dari seorang hakim pengadilan tinggi. Tetapi baru pada tanggal 22 Mei jenazah Anna Sutherland dibawa dari permakaman Greenwood ke balai penyelidikan keracunan Carnegie Institute.

Jenazah diperiksa oleh dr. Witthaus. Ia menemukan sisa-sisa morfin di tubuh Anna Sutherland. Menurut perhitungannya, sisa itu hanyalah seperlimapuluh atau seperenampuluh dari total dosis yang pernah masuk ke tubuh almarhumah. Tetapi ketika dr. Witthaus memeriksa manik mata Anna Sutherland, dia geleng-geleng kepala. 

“Sekalipun orangnya mati,” katanya, “keracunan morfin selalu meninggalkan bekasnya di mata. Tetapi di sini tidak ada manik mata yang mengerut,” kata dr. Witthaus keheranan.

Pemeriksa jenazah Schultze yang mendampingi pemeriksaan dr. Witthaus mengangkat bahu. “Wah, kita akan ditertawakan orang, kalau memastikan kematian Anna Sutherland karena keracunan morfin. Pengacara yang paling bodoh pun akan menggugurkan kesaksian dr. Witthaus, kalau gejala primer keracunan morfin itu tidak ada,” kata Schultze.

Schultze sudah memerintahkan agar jenazah dimakamkan kembali. Tapi White tidak menyerah. Ia memohon agar pemakaman kembali ditangguhkan barang satu hari saja. Permohonan White dikabulkan.

Seolah mendapat ilham, White lalu pergi ke rumah Nyonya Crouch, perawat yang pernah diupah dr. Buchanan untuk menunggui Anna Sutherland menjelang kematiannya. Ditanya mengenai saat-saat terakhir Anna Sutherland, Nyonya Crouch menceritakan segalanya. 

“Ya, saya ingat,” katanya, “berkali-kali dr. Buchanan meneteskan cairan ke mata Nyonya Buchanan.”

Mengapa dr. Buchanan berbuat demikian, pikir White. White lalu teringat akan kawan sekolah di waktu kanak-kanak yang manik matanya membesar. Oleh dokter mata, kawannya itu diberi obat mata, yang ternyata dapat mengembalikan keadaan mata kawannya seperti sediakala.

White tidak lupa pada kata-kata dr. Buchanan. “Kau bisa membunuh orang dengan morfin tanpa bakal ditangkap polisi! Tiap bentuk asam ada dasarnya dan tiap aksi ada reaksinya.” Kedua kalimat diucapkan dr. Buchanan dengan sombong di Macomber’s kepada Macomber dan Doria pada malam hari setelah siangnya Carlyle divonis bersalah.

Mungkinkah cairan yang diteteskan ke mata Anna Sutherland oleh dr. Buchanan itu dimaksudkan untuk mengembalikan manik mata istrinya pada keadaan normal? Setelah manik mata itu mengerut akibat morfin. White seolah terbang pergi menemui dr. Witthaus. “Kalau ada obat untuk mengecilkan manik mata yang membesar, tentunya ada obat pula untuk membesarkan manik mata yang mengerut,” katanya kepada dr. Witthaus.

Penyelidikan dr. Witthaus pada mata jenazah Anna Sutherland di Carnegie Institute membenarkan jalan pikiran White, tetapi juga menunjang teori dr. Buchanan, bahwa tiap aksi ada reaksinya sendiri.

Dr. Buchanan ditangkap. Pada bulan April 1893, dr. Buchanan menerima vonis hukuman mati. Dengan demikian pengadilan itu, dalam waktu kurang dari 1 tahun mengadili dua perkara pembunuhan istri dengan morfin.

Dr. Buchanan naik banding namun tanpa hasil. Pada tanggal 2 Juli 1895, dr. Buchanan menjalani hukuman matinya di Penjara Sing Sing.

(Charles Bowell)

Baca Juga: Ketemu Tersangka Ketiga

 

" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822803/di-matanya-itulah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310568000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309412" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/ia-tidak-ingin-disebut-little-jo-20220603063514.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Cinta mengalahkan segala-galanya. Begitu juga dengan John Wojtowics yang rela merampok bank demi kekasihnya bisa operasi ganti kelamin." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/ia-tidak-ingin-disebut-little-jo-20220603063514.jpg" ["title"]=> string(39) "Ia Tidak Ingin Disebut Little John Baso" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:35:42" ["content"]=> string(41379) "

Intisari Plus - Cinta mengalahkan segala-galanya. Begitu juga dengan John Wojtowics yang rela merampok bank demi kekasihnya bisa operasi ganti kelamin. Namun setiap kejahatan selalu menemui jalan gelapnya.

-------------------------

New York City, hari Selasa, 22 Agustus 1972. John Wojtowicz yang kerempeng dan ganteng turun dari apartemennya di daerah Manhattan. Veteran Perang Vietnam yang berumur 27 tahun itu masuk ke sebuah bar di tengah daerah tempat tinggal orang-orang homoseksual di Greenwich Village.

la sedang menganggur dan sudah bercerai dari istrinya. Saat itu ia sedang risau. Ia yakin umurnya tidak panjang lagi. Kanker dan penyakit usus menggerogoti tubuhnya. Selain itu sejak keluar dari ketentaraan ia sering harus berurusan dengan psikiater.

John tidak pernah tercatat melakukan kejahatan. Namun selama beberapa bulan terakhir ini ia bergaul dengan banyak orang yang termasuk dalam daftar hitam polisi.

John duduk diam-diam di bar sambil menghirup gin dan tonic. Ia teringat kepada pacarnya, seorang pria juga, yang bernama Ernest Aron. Ernest pernah berkata kepada John, “Kalan betul kau mencintaiku, kau harus membuktikannya, yaitu dengan menyediakan uang yang cukup bagiku untuk menjalani bedah penggantian kelamin.” Ernest Aron sangat ingin menjadi wanita.

John berpikir, kalau merampok bank, ia akan mempunyai cukup uang untuk mengongkosi Ernest menjalani bedah penggantian kelamin. Lagi pula ia tidak akan dikata-katai sebagai “Little John Baso” lagi oleh teman-temannya. Selama ini ia hanya menjadi bulan-bulanan godaan mereka. Ia juga akan bisa berfoya-foya sebelum maut menjemputnya.

 

Chase Manhattan Bank jadi sasaran

Sesaat sebelum tengah hari muncullah teman yang ditunggunya, Salvatore Naturile. Sal, remaja ceking yang gondrong belum genap berumur 18 tahun. Sejak masih kanak-kanak di New Jersey ia sudah menjadi maling. Ia langganan tempat pendidikan anak-anak nakal. Ia juga menggunakan obat bius. 

Beberapa bulan yang lalu ia dijebloskan ke penjara, karena memiliki alat-alat mencuri dan juga obat bius. Ia tak tahan diperlakukan tidak senonoh oleh sesama narapidana. Katanya, ia lebih suka mati daripada kembali ke penjara. 

Kemudian masuklah pemuda ketiga. Teman mereka itu namanya Robert Westenberg. Ia berumur 21 tahun dan seperti John, ia pun belum pernah tercatat melakukan kejahatan. Ia tampak gugup ketika John membeberkan rencana terperinci mengenai perampokan yang akan mereka lakukan bertiga.

“Kita akan melakukannya hari ini, bukan minggu depan seperti yang direncanakan semula,” kata John. “Saya mendengar bisikan bahwa Brinks akan mengirimkan uang menjelang bank tutup. Kita akan berada di sana saat itu.”

“Sekarang saya akan ke Brooklyn untuk menyewa mobil. Saya akan kembali kira-kira pukul 14.00 dengan membawa senjata serta amunisi. Tunggu saya di rumah.” 

Sebelum keluar dari bar John sempat berpesan, “Eh, ingat, jangan mengenakan jins atau baju kaus. Pakai pakaian bisnis.”

Pukul 14.55. Bank akan tutup lima menit lagi. Robert Barrett, manajer dari Chase Manhattan Bank sedang asyik menekuni pekerjaan di kantomya yang terletak di Avenue P dan East 3rd Street di Flatbush, Brooklyn. Dolores Goettesheim, asisten manajer, duduk di belakang loket kasir, membantu salah seorang bawahannya membuat neraca.

Petugas keamanan bank, Calvin Jones, yang berseragam membukakan pintu untuk tamu terakhir yang keluar. Pada saat itu juga masuk tiga pemuda bersetelan jas. Seorang di antaranya, Bobby Westenberg, berjalan ke tempat penitipan barang untuk menaruh sebuah kotak seperti kotak bunga, yang tingginya lebih dari 1 m. Kemudian dengan senewen ia keluar dari bank. Jones membukakan pintu sambil tersenyum hormat, namun Westenberg tidak membalas senyumannya.

Barrett, manajer bank, tiba-tiba mendapati seorang pemuda sudah duduk di hadapannya. Pemuda itu Sal Naturile, mengenakan setelan jas berwarna biru tua dan ia membawa tas kantor. Barrett menyapa, “Anda perlu pertolongan saya?” Sal bergumam dan mencabut revolver dari balik jasnya.

Tangannya gemetar ketika menodongkan senjata itu. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia mengancam Barrettt. “Jangan bergerak. Anda dirampok.”

Barrett terkejut. Ia seperti tidak percaya pada telinganya. “Panggil penjaga dan suruh dia berdiri di sana menghadap ke tembok,” perintah Sal sambil menunjuk tembok dekat meja Barrett.

“Jangan mencoba berbuat yang bukan-bukan,” ancamnya sambil menggerak-gerakan senjatanya. “Di sana ada kawan saya. Ia tidak main-main.” Barrett menoleh kepada John Wojtowicz, yang ketika itu berdiri di ruang tempat kasir. Sang manajer memberi isyarat kepadanya. Calvin Jones yang sudah lanjut usia dan tidak bersenjata mendekat. Ketika melihat pistol yang ditodongkan oleh Sal kepada Barrett, mengertilah ia apa yang terjadi.

 

Ditipu kasir

Sebelum Sal mengancam, Barrett mendahului berkata, “Cal, berdiri di sana menghadapi tembok dan jangan berbuat sesuatu.” Calvin Jones menurut.

Saal itu Ny. Goettesheim mendekati meja Barrett. Dengan tenang sekali manajer itu berkata, “Dorothy, kita dirampok. Berusahalah untuk tenang. Tutup mulut dan berdiri menghadap tembok dengan Cal.”

Sesudah hal itu dilaksanakan, Sal pergi menarik tirai jendela-jendela depan, sehingga pemandangan dari luar teralang. John pergi ke tempat penitipan barang untuk membuka kotak bunga, yang tadi dibawa Bobby. Dari dalamnya ia mengeluarkan senapan 30.06, seperti yang biasa dipakai tentara.

“Kalian dirampok. Jangan bergerak!” serunya kepada enam karyawan lain. Semua orang terkejut. 

John seperti tidak tahu apa yang mesti ia lakukan selanjutnya. Ia berdiri mengarahkan senapannya kepada Barrett. Lalu ia berkata, “Saya tidak ingin di antara kalian ada yang luka. Jadi, lakukan apa yang kami perintahkan kalau ingin selamat.” Sal masih tetap berdiri di sebelah Barrett sambil menodongkan pistolnya ke kepala manajer bank cabang itu.

John menurunkan sedikit laras senapannya dan mendekati Barrett. “Dengar baik-baik,” katanya. “Saya menginginkan semua uang yang ada di sini. Uang puluhan, dua puluhan, lima puluhan, dan ratusan. Saya tidak mau limaan dan satu dolaran. Berikan pula daftar nomor seri semua traveller's check dan buku daftarnya. Saya paham soal buku begitu.”

John tampak mulai tenang setelah menyatakan keinginannya. Senapannya diarahkan ke lantai. Sikapnya dan reaksi para kasir pun tidak setegang tadi.

“Beberapa menit lagi kalian akan menerima kiriman dari Brinks. Saya juga ingin uang dari ruang besi,” katanya.

“Oh, Pak Barrett!” seru Kathleen Amore, salah seorang kasir. “Mereka sudah mengambil kiriman itu pukul 11.30 tadi.”

John berbalik untuk memandang gadis itu yang hampir tersembunyi di loket. “Saya tahu orang-orang dari Brinks tidak akan datang sebelum pukul 15.30. Buka ruang besi. Saya ingin melihatnya.” 

Barrett bangun ragu-ragu dari kursinya. Sal mendekatkan mulut pistol ke kepala manajer itu. Barrett menuju ke ruang besi. Ia memberi tanda agar Kathy ikut. Ruang besi itu mempunyai kombinasi ganda yang hanya bisa dibuka oleh dua orang. Ketika pintu terbuka Barrett masuk untuk mengambil uang sejumlah AS$ 4.000 dalam tas bertuliskan Federal Reserve.

John menodong Kathy Amore dengan senapannya dan mereka menuju kembali ke daerah kasir. “Cepat serahkan traveller's check dan buku log!” perintah John. Kathy memandang Barrett seperti minta persetujuan, lalu berkata, “Semuanya terkunci di situ.” 

Ia menunjukkan sebuah lemari kecil di bawah. Lemari itu mempunyai kunci kombinasi juga. Jadi, Barrett dan Kathy harus berdua membukanya. Kathy menumpukkan traveller's check dengan rapi di tempat kasir menghitung uang.

“Sekarang buku lognya,” desak John. Kasir yang masih muda usia itu ragu-ragu sejenak, lalu mengeluarkan buku yang isinya catatan nomor-nomor traveller's check yang terjual. John mengambilnya, memeriksanya sebentar, lalu tersenyum puas. Ia tidak tahu bahwa Kathy memberinya buku lama yang tidak berguna lagi.

Ketika John sibuk mengumpulkan uang kontan, cek, dan lain-lain, Sal meninggalkan posisinya di dekat meja 

Barrett untuk pergi mengambil senapan 30.06 yang tergeletak di tempat penitipan barang. Senjata itu dilengkapi dengan alat pembidik teleskopik. Memegang benda itu Sal merasa kuat dan rasa percaya diri terpancar di wajahnya.

 

“Kau butuh pertolongan?”

Kedua bandit yang tidak menyangka usaha mereka berhasil begitu mudah menjadi lupa waktu. Ketika itu sudah mendekati pukul 15.15. Mestinya mereka cepat pergi.

John menumpukkan uang di loket kasir. Uang kecil dibuangnya ke lantai.

Barrett tiba-tiba berbicara. Katanya, salah seorang sekretaris, Maureen Andrews, ada di kamar kecil. Ia tidak tahu apa yang terjadi.

“Beri tahu dia,” perintah John. “Tapi jangan mencoba berbuat yang bukan-bukan.” Barrett minta agar senapan jangan ditodongkan, supaya Maureen tidak kaget dan kalap. John menurut. Manajer bank itu pergi ke WC, memberi tahu Ny. Andrews mengenai situasi yang mereka hadapi dan mengantarnya kembali ke mejanya.

Tidak lama kemudian telepon berdering. Barrett yang sudah berada dekat mejanya lagi mengangkat gagang telepon. Peneleponnya Joe Anterio dari bagian personalia Chase Manhattan di pusat kota. Barrett memandang John. John berbisik, “Jangan main gila atau semua ditembak.”

Joe meminta Barrett mengirimkan seorang kasir, Joan Sounders, ke cabang di 75th Street keesokan harinya, untuk menggantikan kasir yang tidak masuk kantor itu.

“Jangan Joan, saya akan kirim Steve Marzano,” jawab Barrett.

Anterio terheran-heran. Marzano sudah dipecat beberapa bulan sebelumnya.

“Kau ngaco, Bob. Kau sedang dalam kesulitan?”

“Ya.”

“Kau perlu pertolongan?" tanya Anterio, cepat.

“Ya.” Barrett pun cepat-cepat menaruh gagang telepon.

John tampak puas dengan pembicaraan yang hanya singkat itu. Ia kembali ke tempat kasir.

Begitu selesai berbicara dengan Barrett, Joe Anterio segera menelepon Divisi Keamanan dan Perlindungan dari Chase Manhattan. Ia minta bicara dengan Phil Cooper untuk memberi tahu kenyataan yang diketahuinya. Cooper melihat arlojinya: pukul 15.20. Ia memanggil seorang petugas, Nicholas Albanese, ke kantornya.

“Bob Barrett sedang dalam kesulitan. Coba kau telepon bank cabang itu untuk mencari tahu apa yang tetjadi. Hati-hati. Jangan sampai mencurigakan, sebab siapa tahu didengarkan pihak lain.”

Nick menelepon Barrett. Ia mengulangi pertanyaan Anterio dan mendapat jawaban serupa, lalu Barrett memutuskan pembicaraan. Ketika itu pukul 15.25. Lima menit lagi Nick menelepon. Sekali ini Dolores Goetescheim yang menjawab. Albanese yakin di bank cabang itu memang ada kesulitan besar. Karena merasa didengarkan orang lain sekali ini, ia pura-pura panggilan telepon itu sekadar rutin, lalu ia menaruh gagang telepon.

Ia melapor kepada Cooper yang sedang memberikan penjelasan kepada Gerald van Dom, wakil direktur Divisi Keamanan itu. 

Jerry van Dorn meminta Nick menelepon polisi. Ia sendiri menelepon FBI. Pukul 15.40 Letnan Maurice Beers dari bagian perampokan menerima telepon Nick. Letnan Beers menyatakan akan segera mengirim polisi ke tempat kejadian. 

Nick minta agar yang dikirim para detektif yang tidak berseragam saja, karena kedatangan polisi berseragam akan membahayakan para karyawan bank. Nick memberi nomor teleponnya kepada Letnan Beers dengan pesan agar ia diberi tahu kalau polisi sudah mendapat informasi dari tempat itu.

 

FBI turun tangan

Di bank John memerintahkan para kasir masuk ke ruang rapat di belakang, supaya lebih mudah diawasi. Barrett yang masih berada di mejanya melihat asap dari belakang loket kasir. Ia cepat-cepat mendekati untuk melihat apa yang diperoleh John. Ternyata John membakar buku log di keranjang sampah.

John dengan santai bertanya, “Anda mempunyai pintu belakang?”

“Ya, ada.”

“Ada alarmnya?”

“Ada.” Barrett meminta Dolores Goetescheim mengambil kunci pintu belakang. Pada saat itu dari celah dua buah pintu masuk, John melihat mobil patroli polisi diparkir di seberang jalan. Ia segera melompat untuk menyingkap jendela. Walaupun cuma kelihatan sebuah mobil polisi, jelas jalan keluar sekarang sudah tidak mungkin lagi.

Ia berlari ke ruang rapat. “Sal, kita mendapat teman!” serunya. Telepon di meja Barrett berdering lagi. Manajer bank itu memandang John sebelum mengangkatnya. John mengangguk. Barrett mengangkat telepon.

“Saya Letnan Naurice Beers dari 10th District Police. Saya mendapat laporan di sini sedang terjadi perampokan. Betulkah demikian?”

Barrett membenarkan.

“Saya minta berbicara dengan seorang pelakunya.”

Barrett menoleh ke arah John. “Buat Anda,” katanya.

Letnan Beers menyatakan kepada John bahwa bank sudah dikepung. “Buang senjata kalian dan keluarlah dari pintu muka dengan tangan diangkat. Kalau kalian menyerah sekarang, tidak akan ada yang cedera dan segalanya akan lebih ringan bagi Anda.”

John tidak menjawab. Ia tidak tahu harus menjawab atau berbuat apa. Sesudah lama tidak memperoleh jawaban, Letnan Beers bertanya, “Anda masih di sana?”

“Uh, ya,” jawab John. Setelah diam lagi, John membanting gagang telepon.

Saat itu Sal meninggalkan para wanita di ruang rapat. Ia berdiri di sebelah John dan Barrett.

“Polisi, ya?” tanyanya.

“Ya,” jawab John sambil menjatuhkan diri ke kursi Barrett. Lalu ia bangun dan memerintahkan Sal mengintip dari pintu belakang. Sal kembali tidak lama kemudian. Katanya, di belakang ada mobil polisi dan dua polisi berseragam.

“Bagus, ya! Bagus!” teriak John pada Barrett. “Kami mendapat semua uang, tetapi tidak bisa pergi.” Kedua perampok itu senewen.

Di pusat kota, Jerry van Dom, wakil kepala divisi yang mengurusi keamanan bank-bank Chase Manhattan, sudah menelepon Joe Corliss dari FBI. Corliss segera mengerahkan orang-orangnya ke tempat kejadian. Mereka naik kendaraan preman. Agen-agen FBI segera mendapat keterangan dari polisi yang berjaga.

Pukul 15.50 para wartawan berlomba-lomba ke Brooklyn dengan para juru potret. Radio mereka telah menangkap laporan-laporan resmi polisi, sehingga mereka tahu kalau sedang terjadi perampokan dan kemungkinan besar perampok menyandera karyawan bank.

Pukul 16.15 bank cabang yang kecil itu sudah dikurung 50 polisi yang siap menembak. Van Dom mengirimkan tiga bawahannya ke tempat itu untuk berhubungan dengan FBI dan polisi juga, untuk membentuk pos komando komunikasi. 

Mereka membawa cetak biru dari bank cabang 252, sehingga yang berkepentingan bisa mengetahui di mana ada pintu-pintu keluar, bagan dalam gedung, dan juga kabel listrik, lampu, dan sebagainya. Van Dom meminta anak buahnya menelepon setengah jam sekali untuk melaporkan perkembangan keadaan.

Joe Corliss dari FBI dengan seorang agen khusus dari bagian kriminal FBI, yaitu Fred Fehl, datang pula ke tempat kejadian.

Pukul 17.00 di sekitar bank cabang itu sudah terdapat lebih 200 pejabat hukum, puluhan mobil polisi, beberapa ambulans dan bahkan mobil gerbong dari Palang Merah yang menghidangkan kopi. Fred Fehl ingin menjadikan tempat pangkas di seberang bank sebagai pos komando. Pemiliknya setuju dan memperbolehkan polisi memasang telepon-telepon tambahan. Kantor telepon segera memasang enam telepon.

 

“Bunuh mereka semua.”

Bagian keamanan dari Chase menaksir perampok tidak akan cepat-cepat bisa ditundukkan. Polisi dan perampok pun tawar-menawar. Sesaat sebelum pukul 19.00 John muncul untuk berbicara dengan dua letnan polisi. 

Ia minta kiriman pizza untuk dirinya, Sal, dan para sandera. Ia juga meminta agar pacarnya, Ernest Aron, dibawa ke tempat itu. Aron sedang berada di Rumah Sakit Jiwa King County setelah mencoba bunuh diri karena risau mengenai penggantian kelamin yang didambakannya. Aron kemudian memang dibawa ke tempat itu, tetapi tidak mau berbicara dengan John. Alasannya, ia takut dibunuh John.

Pukul 19.00 petugas keamanan bank, Calvin Jones, dibebaskan. Mungkin sebagai hasil tawar-menawar. Ia menceritakan apa yang terjadi di dalam. Diketahui juga John dan Sal memperkenankan para sandera memakai fasilitas kamar mandi dan bahkan kemudian mereka diperkenankan menelepon sanak keluarga. Konon mereka diperlakukan dengan baik.

Namun Sal pernah sekali menembak pintu belakang, karena merasa polisi sedang berusaha mendobrak pintu itu.

Richard Baker, agen khusus dari Divisi Administrasi FBI yang saat itu kebagian tugas memimpin penanganan kejadian-kejadian yang membutuhkan jasa FBI di New York, sebenarnya sudah berjanji akan pergi dengan istrinya. Ketika dilapori peristiwa perampokan itu, ia membatalkan janjinya dan segera pergi ke tempat kejadian.

Ketika ia tiba dilihatnya manusia berdesak-desakan di muka bank. Bahkan ada wanita yang mendorong kereta berisi bayi ikut berjubel. Sementara itu para penjual makanan dan minuman pun tidak melewatkan kesempatan mencari rezeki. Keadaannya lebih mirip pasar malam daripada usaha membebaskan sandera dari perampok.

Dick Baker marah. Ia memerintahkan daerah itu dikosongkan dari orang yang tidak berkepentingan, sedangkan tenaga yang dikerahkan ke sana disuruh dikurangi, supaya lebih mudah dikelola.

Pada saat itu di dalam bank Sal tampak gatal tangan untuk menembak, sehingga para sandera khawatir. Telepon pun berdering terus. Para wartawan ingin mewawancarai para bandit. Ada pula penelepon yang memberi semangat kepada dua bandit itu. Bahkan setiap seperempat jam ada orang menelepon John dengan suara bisikan yang meremangkan bulu roma, “Bunuh mereka semua.”

 

Berhasil dibujuk

Pukul 19.30 pentolan-pentolan pejabat hukum berunding di dalam toko tukang pangkas untuk mengatur strategi. Mereka sepakat bahwa orang yang akan membuat keputusan ialah Dick Baker.

Baker bertanya kepada pemimpin detektif dari kepolisian New York City, Chief Louis Cattell, apakah para penembak sudah siap di tempat-tempat yang strategis?'

“Sudah,” jawab Chief Cottell. Lewat celah tirai dan celah-celah pintu, juru tembak dari kepolisian yang dilengkapi dengan alat yang kuat bisa melihat jelas sandera maupun kedua bandit. Namun karena keselamatan para sandera harus diutamakan, mereka tidak boleh menembak saat itu. Menurut Joe Corliss dari FBI, kaca bisa membuat bidikan meleset, jadi penembakan hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa.

Saat itu nama lengkap John sudah diketahui berkat percakapannya dengan media massa dan polisi. Diketahui pula John tidak tercatat dalam daftar hitam polisi, ia mempunyai dua anak, dan sudah bercerai.

John berbohong mengenai Salvatore Naturile. Temannya itu dikatakannya bernama Donald Matterson. Komputer polisi tidak bisa menemukan nama itu.

Dick Baker ingin berbicara dengan John. Ia ingin masuk ke bank untuk menentukan kekuatan senjata kedua perampok dan melihat keadaan para sandera. Ia menelepon ke bank. John mengangkatnya dan mengira yang menelepon itu wartawan atau petugas TV yang ingin mengetahui perkembangan terakhir.

“Saya dari FBI. Nama saya Richard Baker. Saya ingin datang ke tempat Anda untuk berbicara dengan Anda,” kata Baker. 

“Ya, tentang apa?”

“John, saya yakin kau menyadari situasimu dan temanmu. Tidak ada harapan lagi. Saya ingin berbicara denganmu untuk menerangkan bagaimana caranya kita bisa mengakhiri hal yang tidak menyenangkan ini tanpa seorang pun terluka. Sampai saat mi tuntutan dasar terhadapmu ialah perampokan bank.”

Baker sudah mempertimbangkan setiap kata. Ia tidak mau ada kata yang kelebihan atau kekurangan. Ia berbicara secara orang pintar dan menjelaskan situasi yang sebenarnya. Ia tidak mengancam John atau merendahkannya. Kepandaian bicaranya dan ketulusannya menyebabkan John terus mendengarkan, padahal sebelumnya orang lain sudah mencoba berulang-ulang tanpa diladeni.

“Kenapa tidak berbicara di telepon saja?” tanya John.

“John, saya benar-benar ingin berbicara denganmu di dalam. Saya ingin meyakinkan diri bahwa tawananmu semuanya selamat. Saya ada di seberang jalan, di tukang pangkas. Saya akan menyeberang tanpa senjata. Kau bisa mengawasi saya lewat jendela.”

“Apakah kau kepala biro? Orang yang bisa memutuskan?” tanya John.

“Benar. Chief Louis Cotten dari New York Police Department akan menemani saya. Kami tidak akan bersenjata.”

 

Minta helikopter atau limusin 

John tidak menyatakan setuju atau menolak. Ia menaruh gagang telepon. Semenit kemudian Baker dan Cotten menyeberangi jalan. John meninggalkan Barett, menuju ke pintu depan. 

Ia ragu-ragu sejenak, lalu membuka pintu sedikit. Kedua pejabat hukum sudah berada di tengah jalan. Melihat John tampaknya setuju, Baker membuka jasnya dan melepaskan pistolnya untuk diserahkan kepada seorang agen FBI. Cottell berbuat serupa.

“John, kami akan masuk,” kata Baker. Tanpa menunggu lagi mereka maju. John mundur ke dalam gedung yang setengah gelap untuk memberi kesempatan kepada dua orang itu memasuki pintu.

John menjadi juru bicara, sedangkan Sal yang senewen mempermainkan senapannya dari kejauhan. Mula-mula John memaki-maki dengan kata-kata kotor, untuk membenarkan kehadirannya di situ. Kemudian ia menjadi lebih tenang dan tampak tertarik pada tawaran Baker.

“Saya tidak mau bicara dengan polisi,” kata John sambil menunjuk Cotten dengan senjatanya. 

Baker menganggap percuma berargumen dengan John mengenai hal itu. Jadi, permintaan itu ia terima.

“Kau mempunyai delapan sandera, yaitu Tuan Robert Barrett dan tujuh wanita kasir. Apakah mereka baik-baik saja?” tanya Baker. John mengangguk. Sementara itu Cottell memperhatikan senjata perampok. Mereka memakai dua senapan dan sebuah pistol otomatis.

Tiba-tiba John berkata, ia ingin meninggalkan tempat itu. “Coba tolong atur supaya kami berdua dan beberapa sandera bisa diterbangkan dengan helikopter ke Bandara Kennedy. Saya ingin disediakan pesawat yang siap berangkat ke negara lain.”

Baker cepat menjawab. “Tidak mungkin, John. Jalan ini tidak cukup lebar untuk dipakai mendaratkan helikopter. Atap gedung demikian juga. Saya tidak menjanjikan apa-apa. Namun kalau kau melepaskan semua orang ini dengan membiarkan mereka keluar dari pintu muka seorang demi seorang, kemudian kau dan Matterson keluar, kalian pasti tidak akan dilukai dan kita mengakhiri peristiwa itu di sini.” 

John tidak mau. Ia memaki-maki lagi dan mengulangi permintaannya. Sekali ini helikopter digantinya dengan dua mobil. “Saya akan naik mobil yang satu dengan empat sandera. Sal akan naik mobil yang lain bersama sisanya.”

“Siapa Sal?” tanya Baker. “Sal! Salvatore Naturile. Itu dia! Saya bilang kepada wartawan namanya Donald Matterson, karena kadang-kadang dia memang memakai nama itu.

Baker tidak senang pada gagasan yang dikemukakan John, tetapi ia melihat kesempatan untuk tawar-menawar. Ia pikir, kalau menerima gagasan itu, ia mempunyai waktu untuk merencanakan pembekukan. Lagi pula kalau para bandit berada di luar gedung, lebih mudah untuk menanggulanginya daripada dalam “benteng”.

“Dua mobil tidak bisa,” kata Baker, yang berpikir dua mobil lebih sulit dikontrol. “Hal itu bertentangan dengan ketentuan FBI yang tidak mengizinkan dua mobil dipergunakan untuk keperluan seperti itu.” (Padahal ini cuma alasan yang dicari-cari oleh Baker sendiri).

“Bagaimana kalau memakai sebuah limusin bandara? Kalau kau memberikan sebuah limusin, saya akan melepaskan seorang wanita sebagai tanda kami bermaksud baik.”

Baker menyatakan akan mengusahakan limusin dan pesawat, tetapi tidak berjanji ia pasti berhasil. 

Kemudiaan Chief Cattell dan Baker meninggalkan bank. Mereka kembali ke toko tukang pangkas untuk merencanakan tindakan berikutnya. Jerry van Dorn di kantornya ditelepon oleh Jim Cummings, yang ditempatkan di toko pangkas itu juga. Cummings memberi tahu kemungkinan Chase harus mengusahakan sebuah pesawat. 

Saat itu sudah hampir pukul 21.00. Baker, Fehl, dan Cattell merencanakan tindakan berikutnya dengan hati-hati. Mereka tahu John merupakan pemimpin dari perampokan itu dan dengannya mereka bisa tawar-menawar. Namun mereka khawatir kalau memikirkan Sal yang tampaknya sangat senewen, padahal ia memegang senjata. 

Mereka pikir, semakin lama dibiarkan, kedua perampok itu semakin lelah, ketakutan, dan kebingungan.

 

Berangkat ke bandara

Untuk membuat keadaan perampok tambah sulit, Baker meminta listrik dan AC di dalam gedung dipadamkan dengan cara memutuskan aliran listrik dari luar. Pukul 22.00 markas besar Chase Manhattan di Wall Street sangat sibuk. 

Mereka ingin memperoleh sebuah pesawat yang akan diterbangkan ke tempat yang belum diketahui. Mereka berhasil menyewa sebuah pesawat untuk dua belas orang dari Hansa Jet Corporation.

Malam itu ibu John datang. Ia ingin membujuk agar John menyerah kepada yang berwenang. Ia dibawa ke toko tukang pangkas. Ernest Aron juga sedang berada di tempat itu. Wanita itu memeluk pacar anaknya dan berkata, “Jangan bersusah hati, Ernest, mereka akan mengeluarkan John dengan selamat. Mungkin mereka mau menaruh kau berdua di satu ka mar di Kings County Hospital.”

Di situ juga ada Ny. Clyde Sounders, ibu John Sounders, salah seorang kasir yang disandera. Hadir pula suami Shirley Ball, yang mendengar berita penyanderaan dari radio.

John sedang marah dan sedih, karena polisi tidak berhasil membujuk Ernest Aron menemuinya di jalan. Kemudian John minta didatangkan Patrick Coppola, teman sekamarnya. Baker mengizinkan pemuda berumur 22 tahun itu menyeberangi jalan untuk bertemu dengan temannya. 

Seorang agen FBI memegang ikat pinggang Patrick, supaya pemuda itu jangan berlari masuk dan memperkuat para bandit. Atau ada kemungkinan ia dipaksa John masuk menjadi sandera tambahan. Kedua pemuda itu berpelukan dan berciuman. Sementara itu penonton meneriaki mereka.

Fajar mulai menyingsing. Dari pelbagai taktik yang diusulkan, FBI memilih satu yang dianggap paling banyak kemungkinannya untuk berhasil tanpa menumpahkan darah, yaitu mengabulkan permintaan John untuk pergi berlimusin ke bandara.

Pukul 03.50, Rabu, 23 Agustus. Sebuah limusin bandara berwarna hijau yang bisa mengangkut 14 orang penumpang dipersilakan menembus blokade polisi dan diparkir kira-kira 20 m dari bank. John mengumpulkan uang kontan AS$ 37.950 dan traveller's check AS$ 175.000. 

Benda itu diserahkan kepada Barrett untuk dibawa. Lalu ia keluar dari bank sambil menyandang senapannya. Ia mendekati mobil. Baker dan beberapa agen FBI termasuk seorang sukarelawan yang dipanggil “Murphy” menunggu John.

 

Sopirnya agen juga

“Siapa yang akan menyetir?” tanya John.

Baker maju untuk memperkenalkan Murphy, yang sebenarnya juga seorang agen khusus. John memandang Murphy dari atas ke bawah dan memeriksa limusin untuk mencari kalau-kalau ada senjata yang disembunyikan di dalamnya.

“Oke, kau masuk,” katanya kepada Murphy. “Yang lain jatuhkan senjata dan mundur.” Agen-agen FBI dan para polisi dengan enggan menuruti juga perintah John. John kembali ke bank sambil mengawasi mereka. 

Tak lama kemudian ia muncul lagi menggiring Barrett dengan senapan ke mobil. Keenam kasir muncul di pintu mengelilingi Sal seperti perisai. Beberapa saat sebelumnya, seorang kasir, Josephine Tuttino, dibebaskan oleh John. Ia ditinggal di dalam bank.

Para perampok dan para sandera masuk ke mobil seorang demi seorang. Murphy duduk sendirian di depan. John menyuruh kosongkan baris kedua. Sal, Shirley Ball, dan seorang kasir lain didudukkan di bangku ketiga dan tiga kasir lagi di bangku keempat. Bangku kelima dan terakhir dipakai oleh dua kasir dan dia sendiri.

Pukul 04.10 iring-iringan mobil polisi dan FBI perlahan-lahan bergerak melalui kerumunan orang untuk kemudian meluncur di jalan sepi menuju bandara. Jumlah kendaraan kira-kira 20 buah.

Agen Joe Corliss dan beberapa rekannya berada dalam kendaraan yang termasuk paling belakang, diikuti dari dekat oleh belasan kendaraan preman.

Pukul 04.45 iring-iringan memasuki jalan panjang yang menuju ke Bandara Kennedy. Agen-agen FBI sudah menunggu pada gerbang jalan yang menuju taxiway, tetapi jarang dipakai. Agen-agen mengecek penumpang setiap kendaraan. Hanya yang berhak boleh masuk.

Ketika Corliss masuk, ia mengunci pintu gerbang dan menyuruh kendaraan-kendaraan preman serta penonton untuk menyingkir. Di tempat itu keadaan gelap. Cahaya hanya diperoleh dari sebuah mobil polisi dan sebuah mobil FBI yang memasang lampu besarnya.

Murphy memarkir limusin tidak jauh dari mobil-mobil lain. Maksudnya, supaya limusin itu terisolasi dan tidak bisa dipakai sebagai tempat berlindung oleh para bandit. Dalam perjalanan Murphy membuka pembicaraan dengan para bandit dan penumpang, supaya mereka tidak tegang. 

 

Tak mau kembali ke penjara 

Begitu mobil diparkir, John ingin tahu di mana letak pesawat. Pihak yang berwenang menginstruksikan agar pilot bersembunyi dulu sebelum mereka memberi tanda untuk naik ke pesawat. 

John ingin pergi ke terminal untuk mendapat hamburger bagi dia dan para tawanannya. Kata Murphy, berbahaya sekali untuk lewat tempat umum bersama para sandera. Lebih baik polisi saja disuruh membawa hamburger ke pesawat.

John setuju membiarkan Murphy keluar dari limusin untuk berbicara dengan Baker. Hal itulah yang sebenamya ditunggu-tunggu oleh FBI. Murphy keluar dari mobil untuk betjalan ke arah tempat berdiri Baker, Fehl, dan Chief Cattell.

“Ketujuh sandera masih dalam bahaya besar,” kata Baker. “Kalau kita membiarkan John dan Sal naik ke pesawat, sandera akan bertambah dengan pilot dan awak pesawat. Kita harus menghentikan mereka di sini dan sekarang juga. Namun kita harus melakukannya dengan risiko sekecil mungkin bagi para karyawan bank.”

Murphy menjawab, "Saya yakin saya bisa menangani Sal. Ia sedang puas diri, karena John berhasil memaksa kita menuruti kemauannya. Ia merasa yakin akan berhasil melarikan diri dengan pesawat. Saya yakin ia kurang waspada saat ini, sehingga saya bisa meringkusnya,”

“Di bangku depan limusin ada pistol. John tidak melihatnya ketika memeriksa kendaraan itu. John mesti dibuat tidak berdaya pada saat saya bertindak terhadap Sal.” 

Para agen lantas mengatur rencana penyergapan. Murphy diminta kembali ke mobil. Fred Fehl mengambil posisi di pintu sebelah sopir dan Baker akan menempatkan diri di sebelah jendela terbuka dekat John. Chief Cattell, yang sejak semula dicurigai John, akan berada di jarak kira-kira 5 m di belakang limusin.

Ketika semua orang sudah mengambil posisi sesuai dengan rencana, Hansa Jet muncul. Melihat pesawat yang datang menggelinding itu kedua bandit merasa lega. Tampak sekali mereka sangat senang,. karena akan kabur sebentar lagi.

Ketika pesawat berhenti menggelinding, Baker bertanya kepada Murphy, apakah rombongan yang akan berangkat itu ingin dibawakan makanan ke pesawat, sebab diperkirakan perjalanan mereka akan lama. 

Murphy mengambil kesempatan untuk membalikkan badan ke belakang. (Ia dipesan kalau kondisi tidak memungkinkan agar jangan meneruskan usahanya mencekuk Sal). Ia mengambil pistol .38, lalu menodongkannya ke belakang sambil berteriak, “Jangan bergerak!”

Pada saat itu tangan kanannya menyambar laras senapan Sal yang diangkatnya agar mengarah ke langit-langit kendaraan. Sal berontak dan mereka bergulat mati-matian. 

Murphy akhirnya melepaskan tembakan yang mengenai dada Sal. Fehl sudah memasukkan separuh tubuhnya ke dalam limusin untuk menarik senjata Sal yang dilemparkannya ke luar limusin. Sal terduduk lemas akibat lukanya.

Pada saat Murphy menyergap Sal, tangan Baker sudah mencapai senapan John yang larasnya diangkat ke langit-langit mobil. Sementara itu tangannya yang lain menodongkan revolver dinasnya ke kepala John. Chief Cottell berlari ke limusin itu untuk membantu Baker. Ia mencabut pistol otomatis dari pinggang John. 

Dalam waktu kurang dari semenit semuanya berakhir. Ketika itu pukul 05.28. Ambulans yang sudah siap menunggu segera melarikan Sal ke rumah sakit, tetapi Sal sudah meninggal. Pemuda berusia 18 tahun yang bersumpah tidak mau masuk penjara lagi itu akhirnya memang tidak masuk lagi ke tempat yang ditakutinya.

John Wojtowicz mengaku kepada Baker bahwa ia juga lega semuanya sudah berakhir. Menurut John, ia sudah ingin menyerah beberapa jam sebelumnya, namun Sal tidak mau.

Bobby Westenberg, konco mereka yang menunggu di kendaraan, tertangkap pula.

Para karyawan bank mendapat pujian, karena mereka bersatu padu selama menjadi sandera. Mereka juga saling memuji. Robert Barett mendapat pujian paling besar, karena menjadi “gembala” yang tabah selama 14,5 jam yang menegangkan itu.

Matahari pun terbit dari rawa-rawa Kennedy. Alat-alat negara yang tidak sempat bercukur janggut pulang ke Manhattan. Mereka sudah sangat lelah, tetapi sudah ditunggu tugas lain: membuat laporan. 

(NN)

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309412/ia-tidak-ingin-disebut-little-john-baso" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654281342000) } } }