array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#54 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3110544"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#55 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/siapa-pembunuh-nona-kwitangjpg-20220208043944.jpg"
      ["author"]=>
      array(2) {
        [0]=>
        object(stdClass)#56 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(12) "Tan Boen Kom"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9360)
          ["email"]=>
          string(19) "intiplus-5@mail.com"
        }
        [1]=>
        object(stdClass)#57 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(9) "Java Bode"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9361)
          ["email"]=>
          string(19) "intiplus-6@mail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(57) "Orang ragu karena tak mengira ia tega menyiksa kekasihnya"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#58 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/siapa-pembunuh-nona-kwitangjpg-20220208043944.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "Siapa Pembunuh Nona Kwitang?"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-02-08 19:27:55"
      ["content"]=>
      string(36780) "

Intisari Plus - Pada hari Jumat pagi, 18 Mei 1912, Kota Betawi digemparkan dengan ditemukannya sebuah karung yang terapung di Kali Baru, di kawasan Tanah Abang. Karung itu berisi mayat seorang wanita yang sudah dalam keadaan rusak, sebab sudah beberapa hari terendam dalam air. Dalam pemeriksaan mayat ternyata bahwa wanita itu tewas oleh tindak kekerasan. Dokter pemeriksa menemukan bekas cekikan pada lehernya.

Ujung lidahnya terpotong oleh benda tajam, sedangkan di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka-luka akibat penganiayaan. Setelah beberapa hari polisi dapat menentukan identitas mayat itu: Nona Fientje de Feniks, umur 19 tahun, tinggal di Kwitang.

Kematian Fientje banyak disayangkan orang. Mengapa wanita masih muda dan cantik itu harus mati secara menyedihkan. Sampai hati benar orang membunuhnya, demikian salah satu reaksi orang ramai. Yang paling kehilangan ialah pria-pria muda berduit yang tergclong
playboy, sebab mereka yang paling tahu wanita penghibur ini. Menurut penulis kisah yang sezaman, Nona Fientje de Feniks di kalangan itu terkenal sebagai nomor satu, hingga di bilangan Betawi, Weltervreden dan Meester Cornelis tidak ada orang muda yang tidak kenal namanya.

Melihat fotonya, Fientje memang termasuk wanita yang rupawan, meskipun dia lebih mirip dengan wanita pribumi daripada Indo atau keturunan Belanda. Menurut penulis kisah dalam bahasa Melayu pasar itu, kulit mukanya halus dan bersih, rambutnya hitam serta lebat. Hidungnya mancung, matanya jeli. Kalau tertawa di kedua pipinya nampak lesung pipi. Dari sanggulnya dapat dikenali sebagai peranakan Belanda. Walaupun peranakan Belanda, tentu kalau berdandan sebagai perempuan Melayu, dengan konde yang khas, kain dan kebaya panjang, banyak yang mengira bahwa ia wanita Betawi asli.

Fientje memang pandai bersolek. Sekalipun pekerjaannya ialah wanita penghibur yang dapat dipanggil kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja asalkan berduit, kadang-kadang ia mengaku sebagai peliharaan atau simpanan seorang laki-laki tertentu.

Seandainya mempunyai status itu pun belum berarti bahwa ia meninggalkan profesi utamanya sama sekali. Seperti seekor burung, ia gemar terbang ke sana-sini, hinggap di pohon yang disukai, tapi enggan dikurung, dalam sangkar emas sekalipun.

 

Gonta-ganti pacar

Bulan Oktober 1911, kurang lebih tujuh bulan sebelum ia ditemukan sebagai mayat terbungkus karung di Kali Baru, Tanah Abang, Fientje mempunyai dua orang "pacar" tetap. Foto kedua laki-laki ini terpampang di dalam kamar tidurnya di Kampung Kwitang, tempat ia menghuni sebuah rumah berukuran sedang bersama seorang pembantu. Satu di antaranya anak seorang pedagang kaya dari Pasar Baru yang namanya tak disebutkan. Seorang lagi disebut dengan nama Sia Kacamata, anak seorang pemimpin golongan Cina yang nama aslinya juga tidak disebutkan.

Hati Fientje terombang-ambing antara kedua pacar ini. Yang satu, Sia Kacamata, orangnya baik budi dan tampan, lagi pula ia cukup royal. Anak orang kaya dari Pasar Baru ini pun cukup berimbang, baik rupa maupun uangnya, tapi seminggu lalu mereka bertengkar dan ia tidak muncul-muncul lagi. Sebenarnya Fientje diam-diam mengharapkan bahwa salah satu dari keduanya pada suatu hari akan memeliharanya sebagai simpanan tetap, sehingga paling sedikit hidupnya terjamin, supaya ia tidak perlu menerima langganan lain, kecuali kalau memang dikehendakinya sendiri.

Dengan menyimpan harapan itu di dalam hatinya, Fientje mengadakan janji untuk menonton komedi kuda (sirkus) di Lapangan Gambir dengan Sia Kacamata. Di dalam pertunjukan itu ia menarik perhatian dua orang laki-laki Indo Belanda, yang juga sedang menonton. Sehabis pertunjukan pasangan itu minum-minum di bufet dan kesempatan itu digunakan oleh salah seorang pria Indo itu untuk menyapa Fientje. Usahanya itu ternyata mendapat tanggapan baik, sehingga beberapa hari kemudian ia menulis surat kepada wanita yang didambakannya itu. Meskipun sebenarnya sudah menanyakan alamat Fientje, ia belum berani langsung mengunjungi rumahnya, sebab ia khawatir bertemu dengan pemuda Cina yang dikiranya menjadi pengawal tetapnya. Untuk menghindari pertemuan yang mungkin mempunyai akibat tidak enak, ia menyatakan akan berkunjung pada hari Minggu.

Bagi Fientje datangnya surat yang tak terduga-duga itu merupakan pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera membalas bahwa pria itu dipersilakan datang pada hari yang telah ditentukan. Dari suratnya ternyata bahwa laki-laki Indo mata keranjang itu bernama W.F.G. Brinkman. Ternyata nama itu bukan tidak dikenal oleh Fientje. Nama itu sering disebut-sebut oleh rekan-rekannya sendiri sebagai seorang pria muda yang kaya lagi berkedudukan, di samping seorang playboy yang biasa menghamburkan uang dengan mudah. Kerjanya di gouvernementsbedrijven (perusahaan negara). Menduga mendapat kakap, Fientje tak membuang waktu lagi membalas suratnya.

Brinkman sendiri juga tak menyia-nyiakan waktu lagi ketika hari Minggu tiba. Yang langsung ditanyakan ialah, apakah Sia Kacamata tinggal di rumah itu? Ketika dijawab tidak, ia mendesak lebih jauh ingin tahu seberapa jauh hubungan Fientje dengan Babah Sia itu. Fientje menerangkan bahwa ia tidak dipelihara oleh pemuda Cina itu, tetapi hubungannya erat. Dengan cerdik ia sengaja tidak mengungkapkan terlalu banyak, karena ia belum tahu benar apa sebenarnya keinginan pria baru ini. Brinkman pun sudah cukup berpengalaman. Walau semangatnya sudah menggebu-gebu untuk segera memiliki Fientje, ia dapat mengendalikan nafsunya. Setelah minum-minum dan mengobrol sebentar, ia minta diri sambil mengadakan janji untuk datang lagi pada suatu hari. Mereka merencanakan untuk berjalan-jalan berkeliling kota dengan mobil.

 

Retak

Sementara itu Fientje mendengar berita bahwa Sia Kacamata akan kawin bulan depan. Setelah mendengar berita tidak enak, tetapi boleh dipercaya ini, Fientje makin mengarahkan perhatiannya kepada Brinkman. Pada kunjungan berikutnya laki-laki Indo itu terang-terangan menanyakan apakah Fien peliharaan Sia Kacamata, atau sudah menjadi pacar tetapnya.

Secara hati-hati Fieri menjawab bahwa laki-laki Cina itu memang ada mat untuk menjadikan dirinya impanannya, tetapi belum tentu ia bersedia.

Jawaban ini membebaskan Brinkman dari keraguannya. Setelah minum-minum dan mengobrol beberapa saat, Brinkman dapat melepaskan hasratnya untuk bermain cinta dengan Fientje. Setelah itu ia secara resmi meminang Fientje agar mau dijadikan pacar tetapnya. Fientje tanpa ragu menyambut baik usulnya itu, karena ia tahu bahwa Brinkman orang yang punya kedudukan dan uang, di samping terkenal biasa menghamburkannya untuk bersenang-senang. Brinkman kemudian mendesak agar si kekasih berjanji tidak akan menerima tamu lain, karena sejak hari itu ia sudah menjadi kepunyaannya.

Hubungan ini berlangsung beberapa bulan. Selama itu cara hidup kedua orang itu juga tampak berbeda daripada waktu-waktu sebelumnya. Brinkman jarang dilihat teman-temannya berfoya-foya di tempat dia biasa dijumpai. Hampir setiap sore sepulang dari kantor, ia langsung ke rumah Fientje dan bermalam di sana. Setiap waktu luangnya dilewatkan bersama-sama kekasihnya yang baru ini. Fientje pun tidak lagi muncul di rumah-rumah hiburan tempat dia biasa beroperasi. Bahkan kebiasaannya untuk berjalan kian kemari juga ditinggalkannya. Ia hanya keluar untuk mengunjungi kenalan-kenalan dan teman-teman lamanya yang jenis.

Rupanya bagi Brinkman perubahan itu hanya sementara. Meskipun mempunyai Fientje sebagai simpanan tetap, sifat mata keranjangnya kambuh lagi. Ternyata diam-diam ia mempunyai hubungan lagi dengan seorang wanita lain. Pada suatu hari Sabtu ia tidak muncul di rumah Fientje. Baru esoknya ia menampakkan diri. Kepada Fientje ia menerangkan bahwa ia tidak pulang malam itu sebab penasaran kalah main kartu, sehingga main terus sampai pagi untuk memenangkan kembali modalnya.

Rupanya Fientje menerima keterangan bohongnya dan mereka berpiknik ke Bogor, tetapi tampaknya hubungan mereka tidak semesra dulu. Anehnya, malah Brinkman yang menunjukkan rasa cemburu yang berlebihan. Hal itu diungkapkan Fientje kepada salah satu temannya.
Temannya bertanya, apakah Fientje melakukan sesuatu yang menimbulkan cemburu Brinkman? Fientje menjawab bahwa ia tidak pernah berhubungan lagi dengan pria lain sejak dipelihara Brinkman.

Ketika hubungan itu sudah berlangsung enam bulan, keretakan pasangan itu sudah menjadi bahan pergunjingan orang luar. Mereka sudah jarang sekali kelihatan keluar bersama-sama.

Memasuki bulan ketujuh, Brinkman sudah mempunyai pacar baru, seorang nona Indo lain yang namanya tidak disebutkan. Fientje pun akhirnya mengetahui hal itu. Mula-mula ia berusaha membujuk Brinkman agar tidak meneruskan hubungan dengan pacar yang baru itu, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Brinkman tetap mengunjungi pacarnya dan tempat-tempat hiburan yang biasa disinggahi, sedangkan Fientje mulai keluyuran lagi seperti itu.

Susahnya, Brinkman masih tetap beranggapan bahwa Fientje merupakan hak milik pribadinya. Jadi, dia sendiri boleh saja menyeleweng, tapi Fientje tidak. Rasa cemburunya memuncak kalau ia mendengar per pergunjingan orang luar tentang tingkah laku Fientje yang mungkin benar atau mungkin juga tidak. Ketegangan mencapai puncaknya ketika suatu sore Brinkman tidak menemukan Fientje di rumah. Ia menunggu sampai kekasihnya itu pulang, kemudian menyambutnya dengan pukulan bertubi-tubi tanpa kata pembukaan.

Setelah menganiaya Fientje sampai babak belur ia meninggalkan rumah naik sado menuju ke tempat pacarnya yang lain. Fientje hanya bisa menerima nasib, tetapi hatinya geram, karena selama dia berhubungan dengan sekian banyak pria, baru satu ini yang pernah memukulnya.

Keesokan harinya Fientje mengadukan nasibnya kepada Ny. Doerleben, salah seorang sahabat lamanya. Ny. Doerleben adalah seorang janda yang tinggal di Gang Kernolog. Ia diketahui biasa memberikan kesempatan berjudi gelap di rumahnya. Mendengar keluhan Fientje, nyonya itu malah memberikan nasihatnya agar dia jangan terlalu sering keluar rumah, yang membuat Brinkman makin kalap, tetapi Fientje menolak gagasan itu. Ia beranggapan bahwa walaupun statusnya peliharaan, ia berhak untuk ngelayap sesuka hati, justru karena Brinkman sendiri tidak setia. Karena itu menurut Fientje ia tidak berhak melarangnya.

Dalam percakapan itu Fientje menunjukkan kepada Ny. Doerleben bahwa ia menyimpan sepucuk revolver kecil berisi lima peluru dalam sebuah kantung yang diselipkan di dalam kutangnya.

"Akan aku tembak dia, kalau dia berani memukul aku lagi," katanya kepada Ny. Doerleben.

 

Terbujuk rayuan

Dari tempat itu Fientje tidak langsung pulang, tetapi mampir lagi ke rumah Jeanne Oort, seorang wanita Eropa bekas simpanan yang telah beralih usaha membuka rumah pelesiran di Gang Pinang. Rumah ini dulu memang merupakan tempat Fientje bertemu dengan langganannya, sehingga hubungan dengan nyonya rumah cukup akrab. Kepada Jeanne Oort kembali ia menceritakan duka nestapanya dan hubungannya dengan Brinkman yang memburuk. Jeanne tidak banyak memberikan komentar, sebab ia sibuk mengisap candu. Hanya ia menambahkan bahwa Brinkman juga sudah lama tidak datang, sebab katanya sudah mempunyai kekasih baru.

Setelah mengobrol beberapa lama Fientje minta diri. Di dalam perjalanan pulang dengan sado tiba-tiba ia menyuruh kusir beralih ke arah Gang Kenanga, ke rumah seorang teman lamanya. Kebetulan teman itu sedang seorang diri, karena ditinggal pacarnya ke luar kota. Malam itu ia bermalam di sana, karena sengaja menghindari bertemu dengan Brinkman. Demikianlah hari-hari selanjutnya ia tidak pulang, hanya beralih dari satu teman ke teman lainnya yang bersedia menerimanya bermalam.

Sementara itu Brinkman yang berkali-kali tidak mendapatkan selirnya di rumah, panas hatinya. Ia mencoba menyusul ke sana-sini menurut info yang diperolehnya, tetapi ia tidak berhasil menjumpai Fientje. Pada suatu ketika ia tahu bahwa Fientje sedang tinggal bersama seorang nyonya Cina di Gang Kenanga. Ia bergegas ke sana, tetapi Fientje tidak mau keluar. Kemudian Brinkman meminta orang mengirimkan surat meminta dia pulang. Akhir surat itu berisi ancaman bahwa jika Fientje tidak pulang, ia akan menyuruh anggota perkumpulan rahasia untuk mengganggu Fientje. Fientje meremas lalu membuang surat itu. Kemudian ternyata bahwa nyonya rumah memungut kembali dan membacanya.

Meskipun merasa tidak cinta lagi, bahkan benci, Fientje dalam hati merasa agak ngeri juga terhadap ancaman Brinkman. Ia kembali ke rumahnya sendiri di Kwitang. Sementara itu kedua orang itu sudah tidak lagi serumah. Fientje tidak terlalu menghiraukannya. Ia merasa hubungannya telah putus dan ia kini bebas dari Brinkman yang ringan tangan.

Tanggal 14 Mei 1912 sore hari Fientje ingin menonton bioskop di Gedung Globe, Pasar Baru. Ia berdandan gaya Betawi asli dengan mengenakan sarung Jawa warna merah dan kebaya panjang berkembang-kembang hijau.

Sampai di Pasar Baru ternyata ia terlambat seperempat jam, sehingga mengurungkan niatnya untuk menonton. Ia naik delman lagi menuju ke Mangga Besar. Di Mangga Besar delmannya disusul oleh sebuah sado berlentera karbit dan bercambuk panjang. Ternyata Brinkman sejak sore hari sudah berputar-putar dengan kendaraan ini untuk mencari bekas kekasihnya di tempat-tempat yang biasa dikunjunginya. Setelah jelas bahwa yang duduk dalam delman itu orang yang dicarinya, Brinkman turun dan menghampirinya. Dengan wajah tersenyum dan penuh keramahan Brinkman menegurnya, "Zo Fien, apa kabar? Kau dari mana saja?" Fientje tidak menjawab. Ia tertegun karena tidak mengira akan berjumpa dengan Brinkman di jalan.

Beberapa minggu lamanya ia sengaja menghindari pertemuan dengan Brinkman, karena ia masih khawatir akan dipukuli lagi oleh laki-laki ini, apalagi setelah ia mengancam lewat surat. Tetapi dalam pertemuannya yang terakhir tidak tampak tanda-tanda bahwa dia akan melakukan kekerasan. Sekarang sikapnya malah sangat ramah dan ingin memperbaiki hubungan. Brinkman mengatakan bahwa ia mencarinya di rumah dan ke mana-mana.

Fientje berbalik bertanya, untuk apa, bukankah ia sudah mempunyai pacar lain. Brinkman menyatakan bahwa ia masih mencintai Fientje. Kemudian karena bujuk rayunya yang lihai wanita muda itu berhasil disuruh menaiki sadonya untuk diajak berjalan-jalan. Hari sudah cukup malam, ketika sado itu dilarikan kusirnya ke arah Tanah Abang, kemudian terus ke Palmerah. Di situ kendaraan itu diperintahkan berhenti di dekat seorang tukang mi dan penjual kacang.

Tak jauh dari kedua pedagang itu berdiri seorang laki-laki. Dia seorang peronda.Pasangan itu menarik peirhatian ketiga orang tadi, sebab tidak biasa orang-orang dari golongan itu malam-malam ada di daerah udik seperti Palmerah. Mereka tadinya mengira bahwa Fientje seorang wanita keturunan Cina, tetapi setelah sepintas mendengarkan percakapan pasangan itu, mereka tahu bahwa pembicaranya orang Belanda.

Tak lama kemudian pasangan itu berangkat lagi dengan sado lain menuju ke Kampung Pakembangan di daerah Tanah Jepang. Kendaraan berkuda itu masuk kampung, lalu berhenti di depan rumah berdinding bambu dan beratap genting. Rumah ini sebuah rumah pelesiran yang terkenal di kampung itu sebagai rumah Umar. Mereka berdua memasuki rumah itu dan pintunya ditutup kembali dari dalam.

 

Diajari

Di dalam rumah Umar itu ada dua WTS yang tinggal intern, namanya Idup dan Raona. Hari itu rupanya sepi pengunjung, sehingga mereka sudah merebahkan diri sejak tadi. Menjelang tengah malam Idup yang belum nyenyak merasa perutnya sakit, lalu keluar untuk membuang hajat. Sekembali ke kamarnya, baru saja ia hendak merebahkan diri lagi, tiba-tiba terdengar jerit kesakitan seorang wanita. "Aduh! Aduh!" Idup terhenyak. Ia berusaha mengira-ngira dari arah mana datangnya suara itu, tetapi semuanya sunyi senyap. Ia membangunkan Raona. Rupanya Raona tidurnya lelap, ia tidak mendengar apa-apa. Karena penasaran Idup keluar untuk mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi. Raona terduduk di tempat tidurnya. Ia mendengar suara-suara dari kamar sebelah. Rasa ingin tahunya terangsang. Ia bangkit untuk mengintip lewat celah-celah dinding bambu.

Ia melihat seorang wanita muda duduk di kursi sedang dalam keadaan dicekik oleh seorang pria. Sejenak kemudian nampak wanita itu roboh ke lantai. Setelah itu pria tersebut mengeluarkan sebilau pisau yang berkilauan. Melihat adegan itu jantung Idup berdebar-debar, kakinya lemas. Tetapi ia masih sempat melihat beberapa orang laki-laki membantu membereskan mayat itu, kemudian memasukkannya ke dalam karung goni, dijahit, dan digotong ke luar.

Setelah mayat di dalam karung itu akhirnya dapat dikenali sebagai Fientje de Feniks, tak lama kemudian polisi di bawah Komisaris Besar Polisi Ruempol mencium jejak sampai ke Brinkman. Ia ditangkap bersama seorang bernama Mardjuki dari Kampung Pakembangan yang, dituduh terlibat perkara ini. Juga Umar, pemilik rumah pelesiran dan anaknya yang bernama Jamhari ikut ditahan, sedang Raona dan Idup didengar keterangannya oleh wedana dan polisi. Kendati yang diduga menjadi para pelaku telah berada di dalam tahanan, pengusutan perkara ini memakan waktu cukup lama. Baru lebih dari satu tahun kemudian perkara pembunuhan ini disidangkan oleh Raad van Justitie (pengadilan negeri) dalam bulan Juli 1913.

Dalam sidang pertama ini beberapa puluh orang saksi didengar keterangannya, di antaranya Raona dan Idup, wedana, polisi, dan pegawai polisi lainnya. Ternyata keterangan saksi saling bertentangan. Umar dan Jamhari yang juga dihadapkan sebagai saksi, bukan sebagai tertuduh, akhirnya dituntut karena dituduh melanggar sumpah dengan memberikan keterangan palsu. Kemudian sidang-sidang berikutnya ditunda untuk
memberikan kesempatan kepada pengadilan meneliti kembali perkara ini.

Ternyata penundaan ini berlangsung cukup lama, sebab sidang berikutnya baru diadakan pada tanggal 14 Januari 1914. Sidang mulai memeriksa Umar dan Jamhari mengenai sumpah palsu. Keduanya tetap pada ke keterangan terdahulu dan menarik kembali keterangannya pada pemeriksaan pendahuluan. Umar menyatakan bahwa ia terpaksa membuat keterangan palsu, sebab ditekan, dibujuk, dan diajari.

Sesudah Umar, didengar keterangan saksi Jamhari. Ia ditanya apakah disuruh menunjuk kepada Brinkman yang dibenarkan olehnya. Selanjutnya ia menarik kembali keterangannya di dalam proses verbal. Hakim ketua menanyakan apakah saksi kenal pada tertuduh, dijawab ia kenal muka, tetapi tidak tahu namanya. Jamhari menceritakan bahwa bertemu dengan tertuduh waktu ia datang ke rumah Umar dengan membawa seorang wanita. Wanita itu tak terlihat wajahnya, sebab memakai kerudung. Ia dapat mengenali Brinkman ketika mereka lewat di bawah sinar lampu gantung.

Kemudian dihadapkan saksi Idup. Setelah ditanyai pelbagai hal mengenai dirinya sendiri, Idup menceritakan kembali secara panjang-lebar apa yang disaksikannya pada malam Selasa di rumah Umar. Antara lain ia melihat bagaimana pembunuhan itu terjadi, kemudian Umar, Entong, Kacung, dan seorang lainnya memasukkan mayat korban ke dalam sebuah karung, lalu mengikatnya.

Dari karung itu masih menonjol kaki dan tangan korban. Tetapi waktu hakim ketua menanyakan agak teliti sampai soal kecil-kecil saksi tidak bisa menjawab. Dalam pemeriksaan ini beberapa kali hakim harus memberikan peringatan keras agar saksi menceritakan duduk perkara yang sebenarnya dan tidak berbelit-belit. Sidang untuk memeriksa soal sumpah palsu itu berlarut-larut sampai menjelang akhir bulan.

Pada tanggal 28 Januari didengar lagi kesaksian Raona dan Idup, yang nampaknya makin berbelit-belit, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran jelas apa yang terjadi sebenarnya. Akhirnya, pengadilan memutuskan untuk membebaskan terdakwa Umar dan Jamhari dari tuduhan membuat sumpah palsu.

 

Surat ancaman

Ketika sidang dimulai lagi penanggalan telah menunjukkan tanggal 5 Mei 1914. Di dalam sidang Brinkman nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum sedikit. la duduk di bangku terdakwa bersama Mardjuki. Yang memimpin sidang itu Hakim Mr. Luyke Roskott, didampingi Mr. Visser dan Mr. Taytelbaum sebagai anggota, dibantu Panitera Mr. Smit. Sedangkan yang bertugas sebagai jaksa ialah Mr. Struby. Brinkman sebagai terdakwa utama dibela oleh Pengacara Mr. Hoorweg. Sidang dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan para saksi yang seluruhnya berjumlah 59 orang. Dalam keterangan para saksi antara lain Komisaris Besar Ruompol menerangkan bahwa Jamhari dalam pemeriksaan polisi mengaku membantu Brinkman. Brinkman mencekik, kemudian membanting korban ke tanah dan Jamhari memukulnya dengan pipa besi.

Waktu dikonfrontasi dengan Brinkman, yang disebut belakangan ini marah, lalu berseru, "Lu, nyang bunuh!" Dijawab oleh Jamhari, "Siapa nyang suruh!" (Dalam sidang pengadilan Jamhari menarik kembali keterangan itu. la mengatakan mengaku sebab takut kepada komisaris yang waktu itu marah-marah. Pengakuannya itu "diajarkan" kepadanya, katanya). Saksi Opziener Polisi Frank menyatakan dalam kesaksiannya bahwa saksi Idup dapat mengenali topi Brinkman yang ditunjukkan kepadanya di antara beberapa topi berwarna hijau. Ia menyebutnya topi sinyo besar yang bermata besar.

Kemudian juga didengar saksi Ny. Dourleben-Demmeni yang mengatakan mengenal baik korban. Saksi yang mengaku berumur 45 tahun ini bertubuh kurus kecil, fisiknya lemah, sehingga harus dibantu waktu menaiki tangga. Saksi mengatakan bahwa korban datang ke rumahnya dan dia tahu bahwa Fientje dipelihara Brinkman. Menurut saksi, mereka belakangan sering bertengkar hebat. Pada suatu hari Fientje pernah menjumpai seorang wanita lain di rumah Brinkman. Ia melabrak wanita itu, kemudian menyerangnya sampai pakaiannya robek-robek. Terjadi pertengkaran hebat antara Fientje dan Brinkman. Dalam heboh itu Fientje mengancam akan membuka rahasia Brinkman di muka umum.

"Rahasia apa?"

"Rahasia kantor. Kalau ketahuan pasti Brinkman dipecat."

Saksi juga pernah membaca surat ancaman yang diterima korban. Ia menemukannya dalam keadaan dicabik-cabik, tetapi saksi menempelkan kembali cabikan-cabikan itu, sehingga terbaca. Isinya adalah sebagai berikut: ''Zorg dat je van vanavond tusschen 7 en 8 verscholen bent. Als je je leven tenminste nog lieghebt." — De Broeders van de Zwarte Hand (Usahakanlah bahwa kau tidak menampakkan diri antara pukul 7 - 8 malam, kalau kau masih sayang jiwamu. Persaudaraan Tangan Hitam).

Saksi waktu ditanya hakim tidak tahu siapa pengirim surat ancaman itu ataupun apa arti singkatan PMW pada surat itu. Ia hanya menduga bahwa surat itu berasal dari terdakwa. Ny.Doerleben lebih jauh juga mengatakan melihat bekas-bekas pukulan yang membiru di tubuh
korban dan bahwa korban memang menyimpan sepucuk pistol kecil dengan lima peluru. Sehubungan dengan surat ancaman korban akan membuka rahasia tertuduh, nyonya ini mengatakan bahwa korban bertanya apa maksud Brinkman dengan kata-kata "voor die tijd zalk ik je tong tot zwijgen brengen". Ia menerangkan kepada korban bahwa kata-kata itu bermaksud mengancam akan menyingkirkan korban sebelum ia sempat membuka rahasia itu.

Atas keterangan saksi, Brinkman membenarkan bahwa Fien sering pergi ke rumah saksi untuk mengisap candu. Saksi membantah itu. Katanya, korban bukan pecandu madat, sekaligus membenarkan bahwa saksi sendiri yang memang pengisap madat, tetapi berusaha menghilangkan kebiasaan itu. Brinkman kemudian menyatakan bahwa ia tak pernah menganiaya korban. Semuanya bohong, khayalan pemadat.

 

Tengah malam di Palmerah

Kemudian hakim ketua bertanya apa yang dilakukan Brinkman pada tanggal 13 Mei malam. Brinkman menjawab bahwa ia naik sado kepunyaan Harun, yang hari Sabtu sebelumnya pernah disewanya untuk ke Palmerah, untuk membawa cewek yang dipungutnya dari Noordwijk (sekarang Jl. Ir. H. Juanda). Dengan sado itu ia pergi ke Palmerah, ke rumah Umar. Setibanya di sana, ada anak laki-laki keluar dari rumah, memberitahukan bahwa malam itu tidak ada "nona manis". Karena tidak bersedia menunggu, ia langsung pulang ke rumahnya.

Atas pertanyaan hakim ia mengaku bahwa Fientje datang ke rumahnya antara pukul 22.00 dan 23.00.

"Apa yang diperbuatnya pada malam tanggal 14 Mei?'

"Pada malam itu saya ke Gang Ketapang untuk menemui seorang ahli nujum, setelah itu terus pulang."

Saksi kusir sado Harun ketika ditanya menyatakan kenal pada tertuduh. Pada malam Selasa, sekitar pukul 23.00 ia mangkal di Pasar Tanah Abang, ketika sebuah sado lain dari jurusan Kota berhenti di dekatnya. Di dalamnya terdapat Brinkman dengan seorang wanita asing berkulit bersih, yang mengenakan kebaya panjang berkembang-kembang hijau.

Ketika diperlihatkan baju korban, saksi mengenalinya sebagai baju yang sama dengan yang dipakai wanita dalam sado malam itu.

Kemudian keduanya menaiki sado Harun. Ia diperintahkan ke Palmerah. Setibanya di dekat Pasar Palmerah ia disuruh berhenti dan kedua penumpangnya turun. Mereka berjalan mondar-mandir. Waktu itu masih ada orang berdagang dan di pasar masih ada kegiatan. Selang beberapa lama keduanya naik kembali ke sado, menuju ke rumah Umar. Setelah mereka masuk ia menunggu dan setelah sekian lamanya mereka keluar lagi lewat pintu belakang. Kemudian ia mengantarkan pasangan itu sampai ke rumah Brinkman di Gang Ajudan.

Mendengar keterangan Harun, Brinkman tetap pada keterangannya yang terdahulu. Ia bertahan bahwa wanita itu tidak berkebaya hijau, tetapi merah jambu.

Saksi Arbi, si tukang mi di Palmerah, menyatakan melihat tertuduh bersama seorang wanita di Palmerah pada malam Selasa. Dalam pemeriksaan pendahuluan ia dapat menunjuk Brinkman di antara sekelompok orang Belanda. Brinkman menyangkal bahwa ma lam Selasa itu ia pergi ke Palmerah. Ia tetap bertahan bahwa waktu itu malam Minggu. Saksi Arbi menyatakan bahwa malam Minggu ia tidak ada di Palmerah. Saksi berikutnya ialah Gomang, penjaga malam dari Palmerah. Ia menerangkan melihat tertuduh dalam sado yang diterangi lampu karbit sekitar pukul 13.30 di dekat Pasar Palmerah.

"Malam apa?"

"Malam Selasa."

"Bagaimana kau bisa memastikannya?"

"Ya, sebab saya hanya meronda pada malam Selasa."

"Apakah terdakwa seorang diri?"

"Tidak. Ia bersama seorang wanita. Mereka naik sado kepunyaan Harun (saksi kenal kusir Harun). Wanita itu berpakaian sebagai pribumi, dengan kebaya panjang berkembang-kembang hijau, tapi kulitnya bersih. Kemudian keduanya turun, lalu berjalan-jalan melewati para pedagang yang masih mangel. Nona itu berhenti membeli kacang."

"Kenapa kau sebut nona?"

"Sebab mereka bercakap-cakap dalam bahasa Belanda."

"Apakah saksi sudah pernah bertemu sebelum peristiwa ini?'

"Belum pernah. Tetapi waktu itu cukup banyak cahaya untuk bisa melihat mukanya dengan jelas. Lagi pula ia jalan mondar-mandir sambil makan kacang selama kira-kira setengah jam."

Menanggapi keterangan saksi, tertuduh tetap pada keterangannya bahwa ia ke Palmerah malam Minggu.

Saksi Velthuis sebagai kawan tertuduh ditanya mengenai hubungan antara korban dan tertuduh. Ia menjawab bahwa antara keduanya baik-baik saja. Mengapa korban kemudian meninggalkan tertuduh, ia tidak tahu sebabnya.

Brinkman baik sebagai teman, ia juga termasuk dalam pergaulan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan menjadi perkumpulan Concordia yang terpandang. Dia juga tahu bahwa terdakwa terkenal "terlalu banyak bergaul dengan perempuan".

 

Perempuan tak berharga?

Velthuis menduga bahwa sebab Fientje meninggalkan rumah Brinkman ialah sebab Brinkman mendatangkan perempuan lain ke rumahnya. Pada Sabtu malam saksi berjanji dengan Brinkman dan Van der Leeuw akan ke Kebun Binatang. Kemudian Van der Leeuw menelepon bahwa Brinkman tidak jadi pergi sebab terjadi kericuhan di rumahnya. Pada Rabu malam mereka bertiga bertemu lagi. Dalam kesempatan itu Brinkman mengatakan bahwa Fientje datang ke rumahnya untuk berpamitan. Ia tidak akan mengganggu lagi, katanya. Saksi tidak terlalu terkesan oleh berita ini, sebab Fientje sudah beberapa kali minggat, tetapi kembali lagi.

Hari Minggu, 20 Mei, mereka pergi ke rumah bola Concordia. Di tempat itu Brinkman mencerima surat dari Mikola, temannya, yang isinya mengabarkan penemuan mayat Fientje. Ia memperlihatkan surat itu kepada saksi. Brinkman pergi ke kamar mayat untuk melihat. Ia tidak menunjukkan emosi apa-apa. Kemudian ia kembali ke rumah bola. Ia tidak melanjutkan permainannya dan tampak tegang. Tak lama kemudian
ia pulang.

Brinkman menyangkal bahwa ia pefnah bercerita tentang perginya Fientje pada hari Rabu. Ia hanya mengeluh bahwa Fientje suka mabuk-mabukan. Ia juga membantah bahwa Fientje datang ke rumahnya pada malam Minggu, sebab ia sendiri pergi ke Gang Thibault (sekarang Juanda III) untuk mendapatkan nyainya.

Kemudian atas pertanyaan sidang ia menggambarkan korban sebagai perempuan tak berharga, suka mencuri, dan berkeliaran dengan anak-anak muda. Dia (Brinkman) menganggapnya tidak lebih dari seorang pelacur biasa. Ia tidak cocok sebagai pengurus rumah tangga. Seorang perempuan tak berguna, peminum, dan mungkin kleptoman, Pokoknya, tidak ada sesuatu yang baik padanya.

Hakim ketua mengingatkan bahwa ada saksi yang menyatakan bahwa ia pernah menebus Fientje dengan uang F 100 agar tidak jadi ikut seorang Arab ke Padang, Brinkman menjawab bahwa ia melakukannya hanya terdorong rasa kasihan dan atas desakan kawannya yang bernama Mikola.

Di antara deretan saksi yang dimintai keterangannya terdapat ibu Fientje, Ny. de Feniks, yang nama aslinya Siti Rafia. Wanita setengah baya ini mula-mula tampak tenang, tetapi .. tiba-tiba menangis tersedu-sedu ketika dihadapkan pada barang-barang bukti. Ia mengakui bahwa barang-barang itu memang milik anaknya. Kebaya itu dibuatnya sendiri beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan. Juga perhiasan yang ditemukan pada mayat dan di kebun dikenalinya, kecuali kalung emas.

Ibu ini menyatakan bahwa sejak semula ia sudah tidak setuju hubungan anaknya dengan Brinkman. Sebenarnya Fientje sudah bertunangan dengan seorang bernama Grauw, tetapi hubungan itu terputus karena Grauw dipindahkan ke Surabaya. Ia pernah mengusir Fientje dari rumahnya ketika di ketahui bahwa ia bermalam di rumah Brinkman.

Kalau mereka habis bertengkar hebat, anaknya pulang lagi ke rumah orang tua. Fientje pernah pulang dengan pakaian robek-robek dan benjol-benjol pada kepala serta memar-memar pada tubuhnya bekas pukulan.

Pada malam Selasa Fientje, katanya, pergi ke Jatibaru untuk mencari rumah sewa bersama Brinkman. Ny. de Feniks juga mengatakan bahwa Fientje pernah menyatakan keinginannya untuk membeli revolver kecil agar bisa membela diri kalau ia dianiaya lagi.

Atas keterangan nyonya ini Brinkman menyatakan bahwa semuanya bcihong. Ia tidak pernah menganiaya korban. Ny. de Feniks memberikan keterangan yang memberatkan, sebab sakit hati karena ia pernah mengadukan saudara laki-laki Fientje mencuri di rumahnya. Lagi pula, katanya, kalau benar Fientje dianiaya olehnya, kenapa ia selalu balik lagi.

Hal itu ditanggapi oleh hakim ketua, "Wanita itu cinta kepada Anda, Tuan Brinkman!"

Waktu Fientje hendak kabur ke Padang, ia bersembunyi di rumah rendezvous Jet Goert di Mangga Besar. Brinkman dan Mikola naik taksi untuk menjemputya dan memaksanya pulang. Hakim ketua bertanya, "Kalau benar Fientje memang perempuan bejat seperti yang Anda gambarkan dulu, mengapa Anda menebus dan menjemputnya?

Brinkman menjawab bahwa ia dibujuk oleh Mikola. Dalam perjalanan pulang dengan taksi terjadi pertengkaran antara Fientje dan Brinkman. Brinkman mengakui bahwa Fientje tersentuh sedikit oleh tangannya ketika mereka bertengkar dalam mobil.

"Dengan akibat benjol-benjol di kepala?"

"Itu terlalu dilebih-lebihkan."

"Tapi sopir taksi itu menyatakan di bawah sumpah bahwa ia mendengar suara benturan yang keras dan suara Fientje menangis."

"Tapi sebenarnya saya waktu itu hanya membela diri. Ia mau memukul atau mencakar saya, sehingga saya sibakkan tangannya."

J. Nieuwenhuis, karyawan perusahaan trem uap, merupakan tetangga terdekat Brinkman di Gang Ajudan (daerah Mangga Besar). la kenal Fientje dan tahu hubungannya dengan tertuduh. Di antara kedua pasangan itu sering terjadi pertengkaran.

Tentang apa, saksi tidak tahu. Di suatu malam pada permulaan bulan Mei 1912 ia terbangun oleh suara ribut-ribut di tengah malam. Ia mengenali suara Fientje di tengah hiruk-pikuk itu.

Brinkman menyatakan bahwa itu buka suara Fientje, tetapi perempuan lain. Saksi merasa pasti bahwa itu benar suara Fientje.

Brinkman disuruh mengenali barang-barang peninggalan korban. Ia mengatakan tidak mengenali pakaian yang lusuh berupa kain sarung, baju kebaya, dan Iain-lain yang telah lusuh karena terendam lumpur kali. Ia disuruh mendekat sampai ke meja hakim ketua. Sebuah kotak dibuka, berisi karung dan tambang pengikat. Hakim ketua memperhatikan wajah tertuduh dengan saksama. Adakah perubahan pada wajahnya yang keras itu?

"Tuan Brinkman, Anda nervous?"

"Tidak, Tuan Ketua. Itu hanya pikiran Anda."

Dalam rekuisitornya jaksa antara lain menyatakan bahwa Brinkman seorang yang menuntut kehidupan ganda, yang satu sebagai orang baik-baik dan terpandang di masyarakat, sedang yang lainnya sebagai buaya yang sering keluar-masuk kampung dengan maksud-maksud yang tidak baik: Keterangan terdakwa bahwa korban sering berkeliaran dengan lelaki lain tidak terbukti. Sebaliknya, hakim beranggapan bahwa Fientje cinta kepada tertuduh, sehingga rela diperlakukan secara sewenang-wenang. Juga ternyata bahwa korban takut dan merasa terancam oleh terdakwa, sehingga menyimpan senjata api untuk membela diri sebagaimana dinyatakan oleh para saksi.

Menurut jaksa, terbukti terdakwa mengajak korban ke rumah Umar, lalu dibunuh dalam kamar dengan bantuan Umar, Entong, Kacung, seorang Eropa lain yang tak dikenal oleh Leleng alias Mikola. Tidak jelas mengapa Brinkman harus turun tangan sendiri, entah apakah dia harus memastikan sendiri atau mungkin seorang yang sadis. Jaksa juga menegaskan bahwa Raona dan Idup bisa dipercaya, hanya mereka keliru dalam soal hari. Menurut mereka terjadinya pada malam Selasa, seharusnya. malam Rabu.

Yang paling utama adalah saksi Raona, yang tetap berpegang pada keterangannya meskipun dibantah dan diragukan. Lagi pula terdakwa tidak dapat membuktikan dia sedang di mana pada malam terjadinya pembunuhan. Akhirnya, jaksa menuntut hukuman mati untuk terdakwa pertama, Brinkman, sedangkan Mardjuki dibebaskan sebab tidak terbukti kesalahannya. Pembela terutama menyerang keterangan para saksi yang dikatakannya tidak bisa dipercaya. la beranggapan bahwa pengadilan ini berat sebelah sebab sudah mempunyai prasangka terhadap tertuduh yang menurut anggapannya diadili oleh pendapat umum. Setelah replik dan duplik dengan pihak jaksa, akhirnya sidang ditunda lagi untuk memberikan kesempatan kepada para hakim menjatuhkan keputusan.

Keputusan itu jatuh pada tanggal 30 Mei 1914. Karena bukti-bukti kurang meyakinkan dan keterangan saksi banyak yang simpang siur dan bertentangan, maka tertuduh Brinkman dibebaskan, demikian juga Mardjuki. Atas berakhirnya sidang pengadilan itu Surat Kabar Java Bode memberikan ulasan bahwa perkara ini berakhir dengan tidak memuaskan. Pengusutan perkara yang berlarut-larut ternyata tidak berhasil memberikan gambaran jelas tentang perkara pembunuhan ini. Kalau pengadilan memutuskan bahwa bukan Brinkman pelakunya, maka para pembunuh sebenarnya masih berkeliaran dengan bebas. (Tan Boen Kim & Java Bode)

 

 

Catatan penyadur:
Kisah ini disadur dari buku Tan Boen Kim, Nona Fientje de Feniks, atawa Djadi Korban dari Tjemboeroean, Batavia 1917. Sedangkan sidang pengadilannya diambil dari Surat Kabar Java Bode. Dibandingkan dengan laporan sidang, ternyata penulis buku tidak teliti dan mungkin mencampurkan fakta dengan khayalannya sendiri, agar bisa dikarang menjadi cerita. Kisah Gramser Brinkman belum berakhir dengan pembebasannya dari tuntutan hukum dalam perkara Fientje de Feniks. Setahun kemudian ia akan dihadapkan lagi ke pengadilan karena soal pembunuhan lain dan kejahatan-kejahatan Iain.

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110544/siapa-pembunuh-nona-kwitang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348475000) } } [1]=> object(stdClass)#59 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3104701" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#60 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/01/20/thumbnail-intisariplus-buku-pe-20220120082443.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#61 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(72) "Pembunuhan gadis pribumi menguak misteri terbunuhnya seorang gadis indo." ["section"]=> object(stdClass)#62 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/01/20/thumbnail-intisariplus-buku-pe-20220120082443.jpg" ["title"]=> string(28) "Ekor Pembunuhan Nona Kwitang" ["published_date"]=> string(19) "2022-01-28 19:55:50" ["content"]=> string(44763) "

Intisari Plus - Pada hari Sabtu pagi, 14 November 1914, penjaga Tanah Pekuburan Cina Kramat Sentiong di Betawi memulai hari kerjanya dengan suatu kejutan yang sangat tidak nyaman. Orang yang sudah berhubungan dengan kematian sempat dibuat kaget bukan kepalang ketika pada pagi itu menemukan sesosok mayat setengah bersandar pada busut berumput suatu kuburan.

Mayat itu mayat seorang wanita tak dikenal. Sekilas lintas saja sudah cukup jelas bahwa tubuh itu korban kejahatan, karena pada satu sisi lehernya terdapat luka karena benda tajam.

Pembunuhnya rupanya hendak menghapus segala jejak identitasnya, karena ia mencopoti seluruh pakaian maupun perhiasannya. Mayat itu telah kaku, sehingga dapat diperkirakan bahwa telah tergeletak di tempat itu sejak malam sebelumnya.

Bisa dibayangkan bahwa tanah pekuburan tersebut pada masa itu merupakan tanah yang cukup luas, tempat yang seram dengan rerumputan liar, semak-semak, dan pohon-pohon besar. Jalan yang dulunya bernama Gang Sentiong, yang berakhir pada jalan lintasan kereta api, menjadi jalan rintisan yang berlumpur menuju ke tempat pemakaman.

Dapat pula dibayangkan betapa seramnya tempat itu di malam hari, gelap gulita, jauh dari perkampungan, hanya diramaikan oleh suara serangga dan teriakan burung malam yang mendirikan bulu roma seperti burung hantu dan culik-culik.

Setelah mendapat laporan, yang berwajib segera mengadakan pemeriksaan setempat, lalu membawa mayat wanita yang malang itu ke Stadsverband, rumah sakit umum yang kini kita kenal dengan nama RSCM.

Kemudian mayat korban dibawa ke Mangga Dua untuk dimakamkan di sana.

 

Kencan terakhir

Ternyata pembunuh tidak berhasil melenyapkan identitas mayat, karena orang mengenalinya sebagai mayat Aisah, yang menjadi gula-gula atau nyai seorang serdadu Belanda bernama Van Biemen.
Kecurigaan polisi jatuh kepada orang ini, tetapi setelah diperiksa ia ternyata tidak bersalah, karena dapat membuktikan bahwa malam itu ia sedang bertugas di posnya.

Ia mengakui bahwa Aisah memang peliharaannya, tetapi mereka tak bisa berumah tangga, karena ia bertugas siang malam di dalam benteng. Dia tahu bahwa ada serdadu lain bernama Schaafsma yang menggauli wanita itu, tetapi ia membiarkannya. Apa yang bisa dia perbuat, kalau dia siang malam bertugas di benteng, demikian keterangannya kemudian sebagai saksi di depan pengadilan.

Setelah lama tidak bertemu, pada suatu hari, tidak lama sebelum pembunuhan itu, ia masih sempat berkencan dengan korban. Mereka bertemu di pintu benteng, nonton bioskop, dan jalan-jalan keliling kota. Terakhir minum es di daerah Harmoni.

Van Biemen membelikan berbagai hadiah berupa sehelai selendang merah berkembang-kembang putih, sebuah tas tangan, sepasang sepatu bertumit rendah, sepasang kaus kaki....

Malam sebelum ia dibunuh, malam Sabtu, mereka masih bertemu lagi untuk terakhir kalinya. Aisah mengenakan barang-barang hadiah Van Biemen: selendang, tas, dan sepatu. Mereka makan bersama di sebuah warung, lalu berpisah sekitar pukul 21.30.

Schaafsma, serdadu yang juga menganggap Aisah sebagai kekasihnya, ternyata tidak mungkin melakukan pembunuhan keji itu, karena waktu itu ia sedang dalam tahanan militer. Ia melarikan diri dari dinas tentara (desersi) pada tanggal 27 Oktober dan baru tertangkap kembali pada tanggal 12 November, sehari sebelum terjadi pembunuhan.

Kecuali menerima hukuman untuk desersi, ia telah dijatuhi vonis enam bulan untuk pencurian dengan pembongkaran. Sewaktu dipindahkan ke Cimahi, Schaafsma diberi tahu bahwa Aisah terbunuh.

Schaafsma jelas nampak terpukul dan sangat sedih mendengar kematian Aisah. Akhirnya, ia membuat pengakuan yang mengungkapkan persekongkolan antara dia sendiri dengan dua orang lainnya, yakni seorang Jerman bernama Johann Emil Soeffing dan W.F. Gramser Brinkman.

Yang terakhir ini baru saja beberapa bulan dibebaskan dari tuduhan membunuh Fientje de Feniks. Menurut pengakuan Schaafsma, ia dihubungi oleh Brinkman untuk diajak mencuri bersama dengan Soeffing.

Gramser Brinkman tadinya seorang pegawai yang berkedudukan cukup baik pada gouvernementsbedrijven (perusahaan negara), lagi pula ia berasal dari keluarga baik-baik dan berkecukupan. Sejak perkara Fientje de Feniks ia diberi uang tunggu.

Setelah diberi uang tunggu, kemudian walaupun pengadilan menjatuhkan vonis bebas, ia tetap diberhentikan. Untuk beberapa lama ia pergi ke Purwakarta, kemudian kembali lagi ke Jakarta.

Di dalam tahanan ia berkenalan dengan seorang Jerman bernama Johann Emil Soeffing, yang juga ditahan berhubung tersangkut suatu perkara. Konon dalam tahanan itu mereka mengangkat tali persahabatan yang erat.

Sekembalinya dari Purwakarta, Brinkman mendapatkan Soeffing masih bekerja sebagai tukang bubut pada pabrik candu di Salemba (sekarang kompleks UI) dan tinggal sendirian sebagai bujangan. Akhirnya, Brinkman yang sudah kehabisan uang simpanan tinggal menumpang pada Soeffing.

Tak lama kemudian Soeffing berhenti bekerja. Menurut kesaksiannya kemudian ia kerja atas bujukan Brinkman, agar membantu dalam operasi pencuriannya. Entah siapa yang menjadi pemrakarsa, tetapi nyatanya kedua orang itu bersama-sama melakukan kejahatan.

Beberapa minggu kemudian Schaafsma ikut menumpang di rumah itu. Maka terbentuklah komplotan penjahat terdiri atas tiga orang itu untuk melakukan pembongkaran rumah atau toko dengan tujuan mencuri.

Pada suatu malam di bulan Oktober ketiganya pergi ke Kota dengan tujuan untuk menjemput Aisah di Hotel Ban Soei, di Glodok. Mereka berempat lalu ke daerah Petojo, ke rumah pelesiran yang diusahakan oleh seorang mucikari bernama Jet Govert. Karena Brinkman dulu
merupakan langganan, ia berfungsi sebagai penunjuk jalan.

Ia juga mengetahui bahwa Jet Govert menyimpan banyak perhiasan berharga. Mereka berkunjung ke rumah itu dengan dalih bahwa Schaafsma ingin mencarikan kamar bagi Aisah. Kesempatan ini dipergunakan oleh kawanan itu untuk melihat-lihat keadaan dalam rumah, letak kamar-kamar, dsb.

Setelah itu rombongan kembali menuju Glodok untuk memulangkan Aisah ke hotel. Ketiga laki-laki itu kemudian kembali ke Petojo untuk melaksanakan rencana mereka. Ternyata malam itu mereka kurang mujur, karena pemilik rumah terjaga, sehingga pencurian terpaksa dibatalkan.

 

Schaafsma terjaring

Dalam kebanyakan operasi pencurian mereka bertiga Aisah diikutsertakan. Dalam pemeriksaan kemudian Schaafsma menerangkan mengapa wanita itu diikutsertakan. Katanya, "Agar tidak menarik perhatian."

Wanita itu ditugaskan sebagai penjaga di jalan, tetapi tidak jelas bagaimana ia dapat memberikan isyarat kepada kawanan maling yang beroperasi di dalam rumah yang menjadi sasaran.

Brinkman juga berfungsi sebagai penjaga di luar dan sebagai pemberi tip. Dialah yang memberi saran kepada kedua rekannya, rumah atau kantor mana yang akan dijadikan sasaran. Dengan cara itu mereka antara lain mencuri di Bengkel Nio Pong Long di Molenvliet Barat (sekarang Jl. Gajah Mada), Volksapotheek di Rijswijk (Jl. Veteran), sebuah apotek lain di Senen, Matraman, Toko Pakaian Kemper Francken, kantor gouvernementsbedrijven di Laan De Riemer (Tanah Abang III), bekas tempat kerja Brinkman.

Mereka sering membongkar apotek bukan saja untuk mencuri uang, menurut keterangan Soeffing, Brinkman hendak mencuri morfin untuk menyingkirkan para saksi yang memberatkan dirinya dalam perkara Fientje der Feniks, di antaranya Raona dan Jeanne Oort.

Pada tanggal 12 November Schaafsma tertangkap. Bersama Soeffing ia bersepeda ke Cikini untuk mengambil foto Aisah di tukang potret. Sepedanya bertabrakan dengan sebuah sado, sehingga ia terlempar ke aspal.

Ia tidak menderita cedera apa-apa, tetapi dikerumuni orang banyak. Suatu patroli yang kebetulan lewat mengenali tampang serdadu pelarian ini, sehingga ia langsung ditahan, lalu dibawa ke pos jaga.

Soeffing buru-buru pulang, rupanya melaporkan kejadian itu kepada Aisah, sebab tidak lama kemudian wanita malang itu menghadap komandan jaga untuk minta bertemu dengan Schaafsma. Komandan jaga menolak permintaan itu, sehingga Aisah mencari jalan lewat pintu
belakang. Ia berhasil menemui pacarnya sejenak. Schaafsma masih sempat berpesan agar besok pagi pukul 07.00 dijenguk lagi.

Saat itu waktu tahanan diberi kesempatan untuk mandi, ia merencanakan untuk melarikan diri lagi. Tetapi keesokan harinya, pada waktu yang telah dijanjikan, Aisah tidak muncul dan Schaafsma tidak akan melihatnya lagi untuk selamanya.

Sementara itu polisi sudah mencium jejak pelaku pencurian berangkai terhadap toko dan apotek di Jakarta. Petugas polisi dibantu oleh mata-mata mereka sudah sejak lama mengikuti gerak-gerik Brinkman dan Soeffing. Seorang sinder polisi bernama M.A. Souhoka mendapat tugas untuk mengamati Brinkman bersama beberapa orang pembantu.

Ia melihat Brinkman dan Soeffing duduk minum-minum limun di dekat sebuah bioskop di Mester sekitar pukul 19.00 pada tanggal 13 November. Sejam kemudian keduanya pulang ke rumahnya di Salemba Utan.

Mengetahui bahwa kedua oknum itu mempunyai hubungan dengan Aisah, setelah diketahui pembunuhannya, polisi makin memperketat pengawasan atas kedua orang yang dicurigai itu.

Komisaris Roosen mengunjungi Soeffing di Salemba Utan. Dari seorang tetangganya yang bernama J.F. van de Drift, yang juga penghuni kampung itu, Roosen mendapat keterangan bahwa ia pernah melihat asap dari halaman belakang mereka. Kemudian ia melihat ada sisa-sisa kain dan payung terbakar di atas tumpukan sampah.

Pada penggeledahan rumah yang dilakukan polisi berikutnya ditemukan alat-alat pencurian seperti linggis, pahat dll., berikut tiga pasang sepatu karet.

Lebih jauh polisi menemukan sejumlah racun, siankali, prusi atau sulfat tembaga, dan sejumlah bulu bambu di dalam botol. Pada tanggal 5 Desember kedua orang itu dimasukkan ke dalam tahanan di Penjara Glodok.

 

Jadi terdakwa lagi

Pengadilan untuk memeriksa perkara pembunuhan Aisah ini dimulai pada tanggal 18 Mei 1915. Perkara ini merupakan perkara sensasional dan banyak menarik perhatian khalayak ramai, terutama karena tokoh Brinkman yang pernah tersangkut dalam perkara pembunuhan Fientje de Feniks, meskipun akhirnya dinyatakan bebas dari tuntutan hukuman karena kekurangan bukti.

Publik yang haus sensasi sejak pagi sudah menunggu di halaman gedung pengadilan. Mereka bersorak riuh ketika pintu-pintu dibuka, lalu berdesakan menyerbu ke dalam untuk memperoleh tempat duduk.

Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Mr. Nederburgh dengan para hakim anggota Mr. Visser, Mr. Bergsma, dan Mr. De Pauly serta Panitera Mr. Nieuwenhuyzen. Jaksa penuntut umum ialah Mr. Tromp dan pembela Mr. Fruin.

Seperti dua tahun yang lalu, W.F. Gramser Brinkman duduk di bangku terdakwa dengan sangat tenang. Seorang muda yang berperawakan tinggi, wajahnya yang cukup tampan bersih terpelihara, pakaiannya sangat rapi.

Dilihat sepintas lalu tidak ada seorang pun yang akan menuduhnya sebagai pembunuh, tetapi nyatanya ia duduk di situ untuk kedua kalinya dituduh membunuh orang, kini kembali seorang wanita lagi.
Di sebelahnya duduk Johann Emil Soeffing, seorang pemuda kulit putih yang mengadu nasib di tanah jajahan. Ia duduk dengan sikap yang menunjukkan bahwa ia tidak takut menghadapi sidang pengadilan ini.

Lengan kanannya diletakkan seenaknya di sandaran kursinya. Perawakannya lebih pendek daripada Brinkman, tetapi wajahnya tampak lebih muda. Hari ini dialah yang pertama mendapat giliran diperiksa oleh sidang, walau hanya sebagai terdakwa kedua.

Hakim Ketua Mr. Nederburgh langsung bertanya kepada tertuduh Soeffing, apakah ia tetap pada pengakuannya yang diberikan pada pemeriksaan sebelumnya. Tanpa ragu-ragu Soeffing menjawab, "Ya."

Ia mengaku bahwa pada malam peristiwa itu ia membujuk Aisah untuk ikut dengan dia bersama Brinkman, dengan dalih akan membebaskan seorang bernama Schaafsma, seorang serdadu buronan, yang karena perbuatannya sedang meringkuk dalam tahanan.

Ia mengakui bahwa dalih itu dipakai untuk mengelabui wanita itu, juga bahwa ia bersama Brinkman berjanji untuk mengakhiri hidupnya. Menurut tertuduh, alasan menyingkirkan Aisah dari dunia fana ini ialah karena. "la tahu terlalu banyak tentang kehidupan kami, terutama mengenai pencurian-pencurian."

la mencekik leher Aisah dan bahwa dia sendiri yang menikamkan pisau ke leher korban. Hakim Ketua kemudian menanyakan soal pelbagai pembongkaran dan pencurian. Soeffing kembali mengakui semuanya. Aisah membantu pekerjaan ini dengan bertugas sebagai penjaga. Orang keempat ialah Schaafsma.

Kemudian Hakim Ketua berpaling kepada terdakwa utama. "Anda telah mendengar apa yang baru saja dinyatakan oleh terdakwa kedua." Brinkman mengiakan pertanyaan hakim.

"Anda mengaku ikut serta melakukan pembunuhan atas perempuan bernama Aisah itu?"

"Tidak."

la mengaku bahwa pada malam itu memang pergi ke Taman Pekuburan Sentiong bersama Aisah dan Soeffing, tetapi ia tak pernah membuat perjanjian dengan Soeffing untuk membunuh perempuan itu.

Mereka pergi bersama dalam usaha untuk membebaskan Schaafsma. Dia berhenti dan berdiri seorang diri kira-kira 30 m dari jalan kereta api, sedangkan Soeffing berjalan ke arah kuburan bersama Aisah. Dalam waktu singkat Soeffing kembali sambil berkata bahwa perempuan itu tidak mau meneruskan perjalanan sehingga ia menjadi marah, lalu menikam lehernya.

Selanjutnya Brinkman mengakui ikut serta dalam pembongkaran rumah serta pencurian-pencurian, tetapi menambahkan bahwa tugasnya yang utama dalam operasi ialah berjaga-jaga atau memberikan petunjuk-petunjuk.

 

Rencana pembunuhan

Sidang dimulai dengan pemeriksaan Soeffing sebagai terdakwa kedua, setelah Brinkman meninggalkan ruangan. Hakim menanyakan lagi riwayat terdakwa dengan Brinkman dan bagaimana mereka melakukan pencurian bersama. Soeffing menceritakan semuanya sampai hal sekecil-kecilnya.

Akhirnya, sampai pada hari tertangkapnya Schaafsma. Brinkman menyarankan agar menyingkirkan saja perempuan itu, sebab dia tahu terlalu banyak.

Sebelumnya, Brinkman juga sudah pernah mengajukan usul serupa, tetapi mendapat tentangan kuat dari Schaafsma. Juga Soeffing tidak setuju, sehingga usul Brinkman itu tidak dijalankan.

Waktu Schaafsma tertangkap, Brinkman kembali mendesak, terutama, katanya, sebab ada orang ketiga muncul. Orang itu ialah Van Biemen, serdadu KNIL lain. Brinkman khawatir bahwa setelah Schaafsma tertangkap, Aisah kembali lagi kepada Van Biemen.

Dalam hal itu besar kemungkinannya bahwa Aisah akan membocorkan rahasia mereka bertiga, "Sebab perempuan sukar menyimpan rahasia," demikian alasannya.

Brinkman mendesak terus. Sekarang tepat waktunya untuk bertindak. Emil Soeffing terpaksa menurut. Hakim Ketua memperingatkan agar Soeffing memberikan keterangan sejujurnya dan kenyataan sebenarnya. Walau duduk di situ sebagai terdakwa, dia diminta agar mempunyai rasa keadilan dan kebenaran, agar jangan memberikan keterangan hanya untuk mengalihkan kesalahan kepada orang lain.

"Soeffing, camkanlah bahwa keterangan Anda bukan bukti akan kesalahan tertuduh pertama. Janganlah berusaha membersihkan diri dan menimpakan semua kesalahan kepada dia. Dengan begitu dosa Anda sama sekali tidak akan menjadi lebih ringan! Apakah Anda tetap pada keterangan bahwa Brinkman-lah orangnya yang mengusulkan pembunuhan itu? Ingat, janganlah memberatkan dia dengan sia-sia."

"Memang betul. Brinkman yang mengusulkan."

"Kalau Anda harus mengucapkan sumpah lagi, apakah Anda masih tetap mengatakan itu?”

"Ya. Tentu."

Hakim Ketua kembali memperingatkan bahwa sama sekali tidak penting apakah kesalahan Brinkman diperberat dan karena itu kesalahan tertuduh sendiri tidak diperingan.

"Saya juga tidak minta keringanan. Saya hanya menginginkan keadilan, sebab Brinkman bertingkah seperti bajingan!"

Soeffing mengatakan ini dengan tekanan suara dan membanting sebatang pensil ke meja. Hakim Ketua kembali bertanya mengenai perjanjian untuk melakukan pembunuhan dan situasi yang menjurus kepada perbuatan itu.

Beberapa hari sebelumnya, demikian Soeffing, ia berkenalan dengan seorang bernama Konings, seorang serdadu yang melarikan diri. Brinkman dan Soeffing mengatakan kepada Aisah bahwa untuk membantu Schaafsma melarikan diri perlu diminta bantuan orang ini, sedangkan mereka berdua tiada yang tahu di mana Konings ini bersembunyi.

Memang mereka berdua tidak berniat menemui Konings, karena itu hanya dalih untuk mengajak Aisah ke luar rumah Drama di kuburan Rencana pembunuhan itu kemudian dibicarakan. Tempatnya ialah Pekuburan Cina Sentiong, yang dapat dicapai dengan menyusuri jalan kereta api dari Salemba Utan ke arah utara.

Salah seorang di antara mereka akan mencekik lehernya dan lainnya akan menikamkan pisau. Siapa yang mencekik dan siapa yang menikam, belum lagi ditentukan.

Menurut Soefing yang merencanakan Semuanya ini ialah Brinkman. Ia juga menambahkan bahwa menurut pengalamannya sendiri cara ini yang paling tepat untuk membunuh seorang wanita, seperti apa yang dialami pada pembunuhan Fientje de Feniks.

"Tetapi apakah Brinkman ada sangkut pautnya dengan pembunuhan Fientje de Feniks?”

"Ya, ia sendiri yang menceritakan kepada saya bahwa ia mencekik leher Fientje de Feniks dan bahwa seorang lain yang memukul kepalanya. Sebab itu juga ia menganggap ini cara yang terbaik untuk mencegah korban berteriak."

Sesudah itu terdakwa disuruh memberi gambaran tentang perjalanan malam hari ke Pekuburan Sentiong dari rumahnya. Jalan mencapai tempat tujuan, melewati sawah, jalan kereta api, jalan rintisan yang becek, akhirnya sampai di pekuburan.

Brinkman jalan di depan sekali, kemudian menyusul Aisah, Soeffing paling belakang. Jalannya sangat gelap, sehingga mereka hanya bisa berjalan lambat. Tiba-tiba Brinkman berhenti, sehingga yang lain ikut menghentikan langkahnya.

Brinkman kemudian tampak duduk di atas sebuah batu nisan. Setelah beristirahat sejenak ia mendadak berdiri lagi, memegang saputangannya di tangan kiri, lalu tiba-tiba mencekik Aisah yang berdiri di samping kirinya. Bagaimana cara Brinkman menyergap Aisah, Soeffing tak bisa melihat dengan jelas, sebab gelap.

Tanpa bersuara lagi Aisah jatuh telentang. Brinkman masih memeganginya erat-erat ketika membisikkan kepada Soeffing bahwa pekerjaan itu akan cepat selesai. Soeffing mengeluarkan pisaunya. Pisau itu pisau lipat tua, sehingga ia agak sulit membukanya. Ujung pisau itu sudah patah.

Waktu pisau tua itu telah terbuka, Brinkman berkata, "Aku hampir tak bisa menahan lagi...."

Soeffing lalu meraba dengan tangan kirinya bekas tekanan ibu jari Brinkman di leher Aisah, sebab ia mengerti bahwa Brinkman tadi memencet urat nadi leher Aisah. Setelah tempat itu ditemukan, ia menikamkan mata pisau dari kiri ke kanan.

Segera setelah penikaman itu Brinkman melepaskan pegangan atas tubuh yang tadinya dipeluk erat-erat. Jasad itu tergolek agak miring menyandar pada busut kubur, dengan kepalanya agak tertunduk.

Soeffing mendengar korban mengorok sebentar setelah Brinkman melepaskan pegangannya. Atas pertanyaan hakim, Soeffing mengaku bahwa dari hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa korban masih hidup ketika ia menghunjamkan pisau ke lehernya.

Setelah itu mereka berdua melucuti seluruh pakaian jenazah, kemudian juga peniti-peniti emas kebaya dan anting-anting yang dipakai. Keduanya membawa pulang kebaya, sarung, dan kutang korban.

Dalam proses itu ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit imitasi teriris dan tertinggal di tempat. Juga sehelai saputangan berwarna merah. Seperti diketahui, pakaian korban dibawa pulang untuk kemudian dibakar dan sisanya dibuang ke tumpukan sampah.

 

Kepergok orang

Pada sidang berikutnya, hakim kembali menanyakan kepada tertuduh Soeffing, apakah ada perjanjian sebelumnya tentang siapa yang menikam. Tertuduh tetap pada keterangannya semula bahwa tidak ada perjanjian.

Mengapa dia yang mendapat tugas untuk menikam, menurut terdakwa sebab dia pernah menceritakan kepada Brinkman bahwa dulu di Australia ia pernah menjadi pembantu dokter dan sering menghadiri operasi-operasi,sehingga dianggap mengetahui letak urat nadi korban.

Juga ditanyakan, apakah kepada Aisah diberikan racun atau obat bius. "Saya kira tidak. Kalau begitu ia takkan mampu berjalan sejauh itu. Kalau dia diberikan sesuatu, tentunya saya bisa melihatnya. Selanjutnya ia menggambarkan bagaimana mereka berjalan menuju ke tempat kejahatan.

Aisah dan Brinkman masing-masing berjalan di atas satu rel kereta, sambil berpegangan agar tidak kehilangan keseimbangan. Soeffing berjalan di tengah, di atas kayu bantalan. Sebab itu dia dapat mengatakan dengan pasti bahwa Aisah tidak dibius.

Mereka berjalan dengan cara aneh itu agar tidak menimbulkan suara berisik pada kerikil. Perjalanan dari rumah sampai ke Sentiong itu memakan waktu paling sedikit tiga perempat jam. Baru sesudah pukul 01.00 lewat tengah malam kedua pembunuh itu pulang.
Soeffing tidak berlepotan darah. Pada Brinkman terlihat tangan dan celana tidurnya berlumuran darah.

"Apakah Aisah perempuan yang kuat? Berotot?"

"Ah, dia cukup tegap. Badannya agak besar."

"Apakah dia pernah sakit di rumah Anda?"

"Belum pernah."

"Apakah kiranya Anda sanggup membunuh perempuan ini sendirian saja?"

"Dengan cara dia terbunuh itu tidak. Seterampil seperti yang terjadi itu, sangat sukar untuk membunuh wanita tersebut. Kecuali jika saya mempunyai pisau lain. Untuk membuka pisau lipat itu perlu digunakan dua tangan."

"Mengapa mayat itu harus ditelanjangi?"

"Sebab menurut Brinkman, nanti orang dapat mengenalinya."

Setibanya di rumah, pakaian korban malam itu juga dibakar dalam sebuah ember. Juga celana tertuduh dan celana Brinkman yang berdarah ikut dibakar. Pisau yang dipakai membunuh dibuang ke dalam kali. Juga anting-anting korban dilenyapkan dengan cara itu.

Setelah itu terdakwa diminta untuk mengisahkan kembali secara tepat bagaimana mereka melakukan perjalanan malam itu sampai hal sekecil-kecilnya, demikian pula perjalanan pulang.

"Waktu berjalan di atas rel kereta api itu pernahkah Anda bertemu dengan orang lain?"

"Ya. Di dekat rumah kami bertemu dua orang pribumi di dekat tiang isyarat. Ketika terlihat orang-orang itu mendekat, Brinkman berkata bahwa kami harus berjalan di parit, yang segera kami lakukan."

"Apakah Anda juga berusaha agar tidak dikenali?"

"Saya melihat Brinkman menarik topinya, sehingga menutupi mukanya."

"Apakah Anda menyapa orang-orang itu?"

"Tidak."

"Dari pemeriksaan pendahuluan ternyata bahwa ada tiga orang yang lewat."

"Saya hanya melihat dua orang. Lagi pula saya hanya melihat mereka secara sekelebatan, sebab saya memalingkan muka juga agar tidak dikenali."

"Apakah selama perjalanan juga terjadi insiden lain?"

"Kami membantu Aisah menerobos pagar kawat berduri."

"Apakah ia tidak merasa aneh bahwa kalian memilih jalan yang tidak wajar itu?"

"Saya pun tidak mengerti. Mungkin Aisah sedang memikirkan sesuatu yang lain. Atau dia tidak memikirkan apa-apa lagi, kecuali pembebasan Schaafsma. Perempuan itu tak mengeluh apa-apa. Dia tidak minta naik sado atau apa pun. Boleh dikatakan dia malah tidak pernah mengatakan apa-apa."

 

Ditimpakan kepada Soeffing

Pemeriksaan atas terdakwa pertama, Gramser Brinkman diawali dengan pertanyaan-pertanyaan hakim sekitar perkenalan dengan Emil Soeffing, Schaafsma, kemudian menyangkut kerja sama yang dilakukan oleh ketiga orang itu.

Brinkman mengakui bahwa ia hanya bertugas menjaga di luar kalau yang lain sedang menjalankan operasi mereka. Mengenai perjalanan malam lewat jalan kereta api itu Brinkman mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang rencana Soeffing. Ia hanya mengikuti kemauan terdakwa kedua untuk mencari rumah Konings di Tanah Tinggi.

Menurut Brinkman, malam itu juga timbul ide untuk mencari Konings dengan tujuan minta bantuannya untuk membebaskan Schaafsma dan malam itu juga mereka bertiga berangkat. Cerita Brinkman tentang perjalanan itu dan rute yang diambilnya memang cocok dengan apa yang telah diterangkan oleh Soeffing.

Ketika ditanya oleh hakim ketua mengapa dipilih jalan yang sukar ditempuh itu, Brinkman menjawab bahwa itu dilakukan agar cepat sampai ke tujuan. Ditanya mengapa tidak naik sado, terdakwa menjawab bahwa rumahnya jauh di kampung dan pada waktu malam seperti itu mereka harus keluar dulu ke jalan besar.
Pada waktu hakim ketua menanyakan pelbagai hal lain, Brinkman memberikan jawaban yang berbelit. Ia selalu memberi jawaban yang menghindar, sehingga tidak melibatkan dirinya, seperti dulu dalam proses Fientje de Feniks.

"Pukul berapa Anda berangkat dari rumah?"

"Lewat pukul 21.00."

"Baiklah, sekarang lanjutkan cerita Anda. Anda menerobos pagar kawat berduri itu...."

"Di Gang Sentiong kami belok kanan. Jalan ini kami lewati sampai lebih kurang 30 m. Lantas Soeffing bilang saya tak perlu ikut terus: Jalan rintisan itu lebih mengarah ke kanan sepanjang sawah. Di situlah letak pekuburan itu."

Setelah Brinkman menunggu di tempat itu selama setengah jam, Soeffing kembali lagi seorang diri, yang menurut terdakwa merupakan hal ganjil.

Waktu Brinkman bertanya di mana Aisah, ia menjawab, "Perempuan itu tergeletak di sana. Saya tikam lehernya."

Katanya, wanita itu mogok berjalan terus. Soeffing begitu kesalnya, sehingga ia memukulnya. Soeffing menambahkan bahwa ia melakukan itu karena perempuan itu tidak mau menuruti kehendaknya.

Belakangan Soeffing juga tidak mau mengatakan apa-apa, demikian kata Brinkman, sebab kalau Brinkman mau menyinggung soal pembunuhan dia selalu berkata, "Yang sudah terjadi biarlah, sebaiknya kita tutup mulut saja."

Hakim ketua menganggap ini kurang masuk akal. "Apakah Anda pernah membicarakan seluk beluk persoalannya?"

"Saya anggap masalahnya cukup sederhana. Dia ditolak oleh perempuan itu. Lalu ia menikamnya. Habis perkara! Soeffing orangnya memang aneh. Wataknya tertutup."

"Tapi masa Anda tidak menanyakan duduk perkaranya? Jadi sebelum dihadapkan kepada komisaris hakim Anda sama sekali tidak tahu apa-apa tentang jalannya pembunuhan?"

"Ya, memang begitu. Saya hanya tahu bahwa Soeffing menikam pada lehernya."

"Apakah dia tidak pernah menceritakan bahwa ia dapat menikam leher korban dengan mudah atau tidak?"

"Tidak."

"Jadi Anda pulang melewati jalan yang sama?"

"Ya."

"Bertemu orang di jalan kereta api?"
"Ya, tiga orang berjalan kaki."

Hakim ketua bertanya kembali, apakah pada waktu berangkat ia tidak bertemu dengan seorang pribumi.

"Ya, Abdulhatap (seorang tetangga mereka, tukang sado)."

"Dia menerangkan bahwa Anda berhenti sejenak ketika melihat dia."

"Tidak. Kenapa? Saya sama sekali tidak merasa takut kepadanya."

"Sekarang sesuatu yang lain. Kemarin Anda menerangkan bahwa Anda pernah berburu di tanah Pekuburan Sentiong."

"Tidak. Tuan menanyakan apakah Sentiong itu lapangan berburu. Saya jawab bukan, tetapi saya memang pernah berburu di sana, berburu bajing dan burung. Di sana tidak ada satwa liar."

Kepada tertuduh kemudian ditunjukkan sebuah peta. Ia kemudian memberikan beberapa keterangan tambahan.

Pada pokoknya Brinkman selalu memberikan jawaban yang hati-hati dan dipikirkan lebih dulu, agar jangan sampai melibatkan dirinya, meskipun beberapa kali hakim memperingatkannya, karena banyak keterangan yang tidak cocok atau aneh dan tidak masuk akal. Dia tetap mengatakan bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai rencana pembunuhan.

Setelah pembunuhan yang menurut terdakwa dilakukan oleh Soeffing sendiri tanpa bantuan orang lain, ia berdiam diri, karena akan melindungi kawannya itu.
Hakim bertanya, mengapa ia harus membohongi Schaafsma yang masih di dalam tahanan bahwa Aisah telah melarikan diri dengan orang lain (Van Biemen)?
"Kami hanya bisa berbicara jarak jauh. "

Saya toh tidak bisa meneriakkan kepadanya bahwa perempuan itu telah mati dibunuh. Lagi pula saya tak pernah mengatakan keadaan yang sebenarnya."

"Kenapa?"

"Untuk melindungi Soeffing."

"Ya, tapi buat apa mengelabui Schaafsma dengan mengatakan bahwa Aisah kabur ke Van Biemen?"

"Hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu dia (ia lagi-lagi menanyakannya) dan agar masalahnya jadi beres."

"Tidak bisa dimengerti bahwa Anda mengatakan Aisah terbunuh pada malam Sabtu, pada hari Minggu menjenguk Schaafsma, tanpa ada keharusan apa-apa lalu tega membohongi dia."

"Ya, memang aneh. Tapi begitulah...."

"Tetapi apa itu perlu?"

Atas pertanyaan itu tertuduh tidak bisa memberikan jawaban. Setelah menanyakan beberapa hal lain sekitar pembunuhan dan pemusnahan barang bukti, kemudian hakim ketua menyatakan bahwa pada hematnya kuburan memang tempat yang aneh untuk melakukan hal aneh-aneh (maksudnya untuk melakukan hubungan seks).

"Ah, tapi begitulah caranya," jawab Brinkman.

"Berbuat begitu di rumah sendiri bisa berbahaya. Perempuan harus dibawa ke tempat yang sepi dan biasanya dia menurut."

"Bagaimana Anda tahu itu?'

"Oh, saya dengar-dengar saja. Bukan dari pengalaman."

 

Sendiri atau berdua?
Agaknya hakim masih belum puas dengan keterangan Brinkman. Karena sama sekali tidak membuat terang duduknya perkara, pada kesempatan sidang berikutnya hakim masih kembali lagi ke soal itu.

la menanyakan bahwa sangat aneh sekali kalau Soeffing yang mengusulkan untuk menolong melepaskan Schaafsma dan malam sebelumnya berusaha membujuk nyainya melakukan perbuatan zinah, sesuatu yang keesokan harinya tentunya dilaporkan kepada Schaafsma.

"Ya, memang aneh,” jawab Brinkman mengerikan.

"Baiklah. Tetapi lebih aneh lagi bahwa dalam situasi ini Soeffing keluar rumah dengan rencana membunuh (ia membawa handuk)."

"Memang begitu."

"Apakah Anda dapat menjelaskannya?"

"Tidak."

"Kalau begitu hanya ada satu pemecahan, yaitu bahwa si pembunuh (menurut Anda: Soeffing) lebih banyak kepentingannya untuk menyingkirkan Aisah daripada melanjutkan persahabatan dengan Schaafsma."

"Ya, itu memang betul."

"Apakah Anda sendiri juga menaruh dendam terhadap Aisah, karena ia pernah menolak pendekatan Anda."

"Tidak, sebab saya memang tidak terlalu berusaha mendapatkannya...."

"Kalau Anda memang mengutuk pembunuhan itu, kenapa tidak melapor kepada polisi?"

"Saya takut dikhianati oleh Soeffing bahwa saya ikut serta dalam berbagai pencurian."

"Ah, itu 'kan belum begitu gawat. Anda katanya 'kan hanya berjaga-jaga di luar."

"Tapi bagi saya cukup parah."

"Tapi Anda 'kan tahu bahwa dengan menyangkal terus menerus bisa melepaskan diri dari tuntutan. Kalau begitu, kenapa jika Anda 'dikhianati' orang mengenai pencurian, tidak menyangkal semuanya saja? Kalau Anda waktu itu pergi melaporkan apa yang Anda ketahui tenang soal ini, tentunya persoalannya jadi lain sekali daripada sekarang."

"Saya takut tuduhan jatuh pada saya dan saya tidak ingin mengkhianati Soeffing."

"Mengapa kemudian Anda toh mengkhianati Soeffing?"
"Saya mengerti bahwa menyangkal terus tidak mungkin lagi."

"Tidak bisa. Waktu itu polisi masih belum tahu begitu banyak tentang kejahatan itu."

"Ya, tetapi ada yang melihat dia pulang dari kuburan."

"Tidak. Bukan dia, tapi kalian berdua."

Kemudian dipanggil saksi ahli: para dokter yang terdiri atas Nona de Valk, Scheffelaar Klots, dan Woensdregt. Dua yang pertama dokter pada dinas kesehatan dan yang terakhir dosen pada Stovia. Para saksi ahli ini hanya menguraikan keadaan mayat dalam pemeriksaan dan pembuatan visum et repertum.

Setelah itu masih didengar keterangan para saksi Van Biemen, Schaafsma, Abdulhatap, kusir sado tetangga mereka yang melihat keberangkatan para tertuduh dan beberapa orang lain, di antaranya yang melihat mereka di jalan dan kemudian juga para korban pencurian.

Pada sidang yang memasuki hari kedua belas didengar lagi saksi-saksi ahli yang juga terdiri atas para dokter.
Pertanyaan hakim berkisar pada persoalan penikaman dan luka yang ditimbulkan pada leher korban. Yang menjadi masalah penting bagi pengadilan ialah apakah mungkin Soeffing mengerjakan pembantaian itu seorang diri tanpa bantuan ataukah tidak.

Antara lain hakim bertanya pada saksi ahli, dr. Noordhoek Hegt, apakah karena hati korban terlihat pucat (menurut visum) dapat disimpulkan bahwa korban kehabisan darah.

"Tidak perlu. Dalam proses pembusukan hati juga menjadi pucat."

"Menurut Soeffing, proses pembunuhan itu cepat berakhir. Apakah kira-kira ada sesuatu yang membantu mempercepat kematian?"

"Ya, itu mungkin saja."

"Diakibatkan oleh shock waktu disergap?"

"Boleh jadi."

"Apakah karena di medan itu tidak ditemukan bekas-bekas pergulatan, dapat disimpulkan bahwa ada sesuatu yang lain di samping tikaman itu yang merobohkan korban?"

"Ya, itu menunjukkan adanya keadaan-keadaan sampingan."

"Apakah hal itu bisa diterima dengan kepastian?"

"Ya."

"Apakah tekanan jari lama berbekas?"

"Tergantung dari keadaan. Kalau terjadi perdarahan, ya, Lagi pula kulit dapat dirusakkan oleh kuku dan sebagainya."

Kepada saksi kini ditunjukkan foto-foto jenazah.

"Apakah Anda dapat menyimpulkan dari foto-foto ini dari mana ke mana jalannya irisan?"

"Tidak. Maksud saya, saya tak berani memastikan bahwa ada dua luka."

"Saya juga menduga begitu tadinya, tetapi visum et repertum secara jelas menyatakan satu luka."
"Kalau begitu saya kira bahwa irisan itu lebih panjang dari 3,5 cm."

"Apakah Anda sependapat dengan teman sejawat Anda yang tadi menyatakan bahwa irisan ini dibuat secara ahli?'

"Ya, tentu. Ini betul-betul pekerjaan yang sangat terampil."

"Soeffing mengatakan bahwa di Australia ia mendapat pengalaman mengenai letak otot, saraf, dan sebagainya. Apakah Anda anggap mungkin bahwa dia yang membuat irisan ini?'

"Ya."

"Seharusnya irisan itu dilakukan pada tubuh yang tidak bergerak."

"Ya. Itu hampir dapat dikatakan secara pasti. Mungkin saja bisa terjadi pada pergumulan, tetapi kecil kemungkinannya."

"Apakah Anda sendiri mampu membuat irisan seperti itu, jika Anda dalam keadaan marah?"

"Tidak."

"Brinkman memperkirakan bahwa Soeffing akan memperkosa wanita ini, kemudian memegang kedua tangannya, lalu menikamnya. Apakah Anda anggap ini pasti mungkin?"

"Dalam keadaan terangsang nafsu seksual tikaman seperti itu tidak bisa dilakukan."

"Jadi itu sama sekali tidak bisa diterima. Jadi Anda tetap pada pendirian bahwa seorang ahli bedah yang berpengalaman pun tidak bisa membuat irisan semacam itu bila tubuh tidak dalam keadaan diam. Terutama kalau ini harus dilakukan dalam keadaan gelap?'

"Ya."

 

Tetap bertahan

Menjelang sidang-sidang terakhir dalam perkara ini, para tertuduh menceritakan riwayat hidupnya masing-masing.

Brinkman meninggalkan HBS (semacam SMA) pada usia 20 tahun sampai kelas lima, tetapi entah mengapa tidak sampai mengikuti ujian penghabisan.

Setelah meninggalkan bangku sekolah ia bekerja pada Jawatan Kehutanan, kurang-lebih dua setengah tahun, kemudian pindah ke BB (pemerintahan dalam negeri) sebagai pegawai bulanan, lalu menjadi klerek (pegawai tata usaha), sampai beberapa tahun. Setelah itu ia menjadi klerek di Departemen Angkatan Laut.

Karena belum ada lowongan untuk komis, setelah bekerja tiga sampai empat tahun ia pindah ke Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai komis sampai dua tahun. Dari sini dia pindah lagi ke kejaksaan tinggi, tempat ia bertahan dua tahun lagi. Terakhir ia bekerja pada gouvernementsbedrijven.

"Mengapa pangkat Anda di situ bukan komis?"

"Saya tidak diberi pangkat itu, karena dianggap melampaui orang lain di situ yang lebih senior."
Terakhir kalinya ia diberi uang tunggu, kemudian akhirnya dikeluarkan.

"Kapan terjadinya proses Fientje de Feniks itu?"
"Setelah tersangkut dalam perkara itu saya terus diberi uang tunggu."

"Kenapa Anda tidak berusaha masuk kembali dalam dinas negara lagi?"

"Tidak! Mengapa? Sebab kita mempunyai pemerintah dan seorang gubernur jenderal yang tegas pula. Dalam proses Fientje terungkap bahwa saya orang yang hidup tidak keruan. Saya takkan diberi kesempatan lagi."

Setelah dikeluarkan dan dibebaskan dari tuntutan oleh pengadilan, ia tinggal menumpang pada seorang pegawai kantor bernama Gouyn di Gang Thibault. Dari situ ia merantau ke Purwakarta untuk waktu tidak lama, kemudian menumpang di rumah Soeffing di Salemba Utan.

Emil Soeffing lahir di Chemnitz (Jerman). Ia bersekolah sampai umur 14 tahun, kemudian ditempatkan di kapal latihan. Waktu kapalnya berlabuh di Singapura ia melarikan diri. Waktu itu umurnya 15 tahun.

Dari tempat itu ia menuju Australia untuk bekerja di tambang-tambang selama tiga tahun. Kemudian ia menjadi penyelam mutiara selama tiga tahun lagi. Ia bertemu dengan rekan-rekannya, para pekerja tambang yang mengajaknya ramai-ramai mencari pekerjaan di Jawa. Konon ia ditelantarkan oleh kawan-kawannya, sehingga terpaksa ikut suatu rombongan pemain sirkus keliling.

Dengan rombongan ini ia berkeliling sampai ke Kolombo dan Singapura. Sekembalinya di Betawi, ia bekerja sebagai tukang bubut di Bengkel Nio Peng Long, kemudian di SS (Jawatan Kereta Api), dan yang terakhir di pabrik candu di Salemba.

"Apakah Anda pernah tersangkut perkara di Australia?"

"Tidak pernah."

"Bagaimana kejadiannya kok di sini lantas jadi penjahat? Punya simpanan alat-alat untuk mencuri dan sebagainya? Dari mana keahlian itu?"

"Baru di sini timbul pikiran itu."

"Anda bisa berbicara dalam macam-macam bahasa. Sebagai orang asing bahasa Belanda Anda baik sekali. Dalam bidang teknik Anda cukup terampil. Kenapa Anda tidak mau kerja baik-baik?'
"Saya 'kan kerja baik-baik di pabrik candu. Dia membujuk saya untuk sama-sama melakukan pekerjaan maling."

Sampai menjelang akhir persidangan Brinkman tetap bertahan menyangkal semua yang dituduhkan kepadanya, kecuali peranannya dalam berbagai pencurian. Keterangan-keterangannya berbelit-belit dan tidak masuk akal, tetapi dengan cerdik ia mengelakkan pancingan para hakim. Kalau suatu ketika terpojok, ia tidak menjawab atau bergumam saja.

Menjelang akhir persidangan hakim memberi kesempatan terakhir kepada Brinkman. Hakim ketua menyatakan kepada tertuduh: "Schaafsma mengatakan bahwa ia berkali-kali mengusulkan untuk menyingkirkan Aisah, sebab ia tahu terlalu banyak."

"Anda mengakui ikut pergi untuk mencari rumah Konings di Tanah Tinggi. Mengakui mengenakan jas hitam pada malam itu. Bahwa pada operasi pencurian jas tersebut tidak dipakai. Tidak dapat membantah keanehan-keanehan dalam memilih jalan menuju ke Tanah Tinggi. Tidak dapat memberikan alasan mengapa harus jalan mengikuti rel kereta api. Mengakui bahwa Soeffing pergi dengan rencana pembunuhan. Tidak dapat membantah keanehan bahwa kalau Soeffing mengetahui segala rahasianya dan timbal balik, sekali ini ia tidak tahu apa-apa tentang rencana malam itu. Mengakui bahwa Soeffing hanya mengajak terdakwa karena mengharapkan bantuannya. Berusaha menyamar atau menutup-nutupi identitasnya. Telah membakar celana tidur karena berlumuran darah. Bahwa Soeffing hanya membawa pisau berukuran kecil karena tahu akan mendapat bantuan.”

 

Hukuman mati

Para saksi ahli menyatakan bahwa hampir mutlak penikaman itu memerlukan bantuan orang kedua. Para saksi ahli itu juga menerangkan bahwa irisan semacam itu tidak bisa dibuat oleh orang yang sedang terangsang nafsu seksualnya atau marah.

Tertuduh mengakui bahwa dia bersama Soeffing mempunyai kepentingan atas kematian Aisah. Tertuduh tetap tinggal bersama Soeffing setelah pembunuhan.
Ia berseru di depan pemeriksa. "Nu ben ik een verloren man! (Sekarang habislah riwayat saya)" Seruan seperti ini hanya dikeluarkan oleh seorang yang putus ada karena bersalah."

"Saya tidak mendesak Anda untuk mengaku, Tuan Brink man. Itu kami tidak peduli, tetapi saya harus mengatakan kepada Anda bahwa pengakuan merupakan keadaan yang meringankan. Bagaimana pendapat Anda? Apakah Anda masih tetap menyangkal?"

Dengan tenang Brinkman menjawab, "Ya, Tuan Ketua."

Dalam rekuisitornya Jaksa Mr. Tromp menyatakan antara lain bahwa dalam bulan September-Oktober di Betawi terjadi serangkaian pembongkaran dengan tujuan pencurian yang pelakunya tidak diketahui.

Kemudian polisi mengetahui bahwa di sekitar tempat kejadian selalu nampak Brinkman berkeliaran. la banyak bergaul dengan iparnya yang bernama Neys, yang anehnya selalu bekerja pada toko atau perusahaan yang kecurian, sebagai penata buku.

Pada tanggal 14 November 1914 ditemukan mayat Aisah di Pekuburan Kramat Sentiong. Ia dikenal sebagai peliharaan Van Biemen, tetapi polisi mengetahui bahwa korban mempunyai hubungan dengan Schaafsma, Brinkman, dan Soeffing. Pada suatu hari Sehaafsma yang tertangkap dipindahkan ke Cimahi. Ternyata ia tidak tahu apa-apa.

Ketika mengetahui bahwa yang terbunuh Aisah, ia sangat terkejut. Dalam keadaan terpukul dan hancur hatinya ia menceritakan dugaannya akan siapa pelaku pembunuhan itu.

Ia mengakui bahwa Brinkman yang mula-mula mengajak mencuri bersama. Pada pencurian-pencurian itu kebanyakan Aisah selalu ikut. Kemudian Brinkman dan Soeffing bermufakat untuk menyingkirkan Aisah. Mantri Polisi Mohamad Djakin berpura-pura tinggal di Salemba Utan untuk mengamati kedua orang yang dicurigai itu.

Tanggal 20 November Komisaris Roosen mengadakan penggeledahan dan menemukan alat-alat untuk mencuri, beberapa jenis racun, dan sisa-sisa barang bukti yang terbakar. Jaksa mengatakan bahwa Brinkman maupun Soeffing mempunyai alasan kuat untuk menyingkirkan Aisah.

Mereka dalam perjalanan menuju Sentiong itu sengaja mencari jalan yang tidak lazim untuk menghindari pertemuan dengan orang lain dan berusaha membuat dirinya sukar dikenali.

Di samping itu, menurut jaksa, tidak masuk akal bahwa Soeffing berusaha memperkosa Aisah di tanah kuburan yang gelap dan berlumpur. Kedua tertuduh tidak tahu di mana rumah Konings yang katanya menjadi tujuan perjalanan malam itu, sedangkan Konings sendiri mengatakan tidak pernah bertemu dengan mereka sejak dia melarikan diri dari dinas ketentaraan.

Para saksi ahli menerangkan bahwa pembunuhan itu harus dikerjakan oleh dua orang. Korban lebih besar perawakannya daripada Soeffing, sehingga harus dipegang erat-erat oleh Brinkman untuk memungkinkan pembuatan irisan yang sempurna, yang hanya mungkin kalau korban tidak bergerak.

Jaksa mengakhiri tuntutannya dengan mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang meringankan dan terdakwa pertama memberikan jawaban yang berbelit-belit dan mengelak, sehingga menyulitkan penyelidikan perkara. Akhirnya, ia memintakan hukuman mati untuk Brinkman dan seumur hidup untuk Emil Soeffing.

Setelah pembelaan, replik, dan duplik, maka sidang ditunda untuk memberikan kesempatan bagi para hakim mempertimbangkan putusan.

Pada tanggal 14 Juni 1915 sidang menjatuhkan hukuman mati kepada W.F. Gramser Brinkman dan 15 tahun penjara kepada Johann Emil Soeffing.

 

Epilog

Setelah dijatuhi hukuman mati, dalam bulan Agustus 1915 Brinkman masih membuat riwayat lagi dengan melarikan diri bersama seorang napi berat lainnya dari Penjara Glodok, dengan menyuap seorang petugas.
Keduanya tertangkap kembali keesokan harinya di sebuah warung di daerah Bungur Besar.

Pelaksanaan hukuman matinya ditentukan pada tanggal 24 September 1915. Algojo bernama Silun telah didatangkan dan sudah membuat selamatan menjelang pelaksanaan tugasnya, tetapi Brinkman telah mengakhiri riwayatnya sendiri dengan menggantung diri di selnya dengan seprai tempat tidurnya, pagi-pagi pukul 03.30.

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553104701/ekor-pembunuhan-nona-kwitang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643399750000) } } }