array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3399961"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/tergelincir-ke-masa-lalu-atau-ma-20220803054813.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(144) "Bagaimana bisa ada seseorang  tiba-tiba tergelincir ke dalam waktu dan tempat yang berbeda, dan setelah beberapa saat, kembali ke masa sekarang?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Misteri"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "mystery"
        ["id"]=>
        int(1368)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Misteri"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/tergelincir-ke-masa-lalu-atau-ma-20220803054813.jpg"
      ["title"]=>
      string(40) "Tergelincir ke Masa Lalu atau Masa Depan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 17:48:37"
      ["content"]=>
      string(7767) "

Intisari Plus - Bagaimana kita bisa menggambarkan seseorang yang tiba-tiba tergelincir masuk ke dalam waktu dan tempat yang berbeda, dan setelah melakukan perjalanan beberapa saat, orang itu kembali ke masa sekarang? Senada dengan itu, ada juga orang yang punya kemampuan melompat ke masa depan. Selagi kedua fenomena itu masih membuat kita bingung, peristiwa semacam itu barangkali bukan sesuatu yang biasa terjadi. Sejumlah orang merasa yakin pernah mengalami peristiwa luar biasa seperti itu. Bagaimana dan mengapa waktu berperilaku di luar karakteristiknya dengan cara-cara yang aneh?

---------------------------

Mari kita simak pengalaman seorang lelaki tua dari Norfolk, yang kita sebut saja dengan nama Pak Tupai. Hobi satu-satunya Pak Tupai mengoleksi koin. Dia biasa menyimpan koin di dalam amplop-amplop plastik. Pada tahun 1973, Pak Tupai datang ke sebuah toko khusus untuk membeli amplop. Dia belum pernah mengunjungi toko itu. Pak Tupai mendapati suasana yang sangat khas di toko itu. 

Akan tetapi sebelum dia sempat mengagumi suasana unik toko itu, seorang perempuan muda menghampirinya. Kepada gadis itu Pak Tupai lalu minta dicarikan amplop istimewa untuk menyimpan koin-koinnya. Kemudian gadis itu mengeluarkan sejumlah amplop dari kotak yang penuh dengan barang aneh. Gadis itu berkata kalau para awak kapal biasa membeli amplop-amplop semacam ini untuk digunakan sebagai wadah mata kail. Sesudah membayar, Pak Tupai keluar meninggalkan toko.

Seminggu kemudian, Pak Tupai kembali berkunjung ke toko itu untuk membeli amplop lagi. Kali ini dia betul-betul terkejut karena tempat itu sudah berubah. Bagian luar maupun bagian dalam toko itu gelap dan kelihatan bobrok. Selain itu, pelayan tokonya bukanlah seorang gadis muda, melainkan seorang wanita dewasa. Ketika dia bertanya tentang si gadis, wanita itu sama sekali tidak tahu. Saat Pak Tupai bertanya lagi soal amplop yang pernah dibelinya di tempat itu, wanita itu pun menjawab, tokonya tidak pernah menyediakan amplop semacam itu.

Pak Tupai amat terkejut. Ketika tanggal pembuatan amplop-amplop itu dia periksa, Pak Tupai lagi-lagi terheran-heran. Amplop itu ternyata produksi lama, dibuat sebelum Perang Dunia I. Ini sebuah kasus time-slip di mana kekuatan masa lalu menimpa masa kini. Pak Tupai telah tergelincir masuk ke zaman lain.

Tergelincir ke masa lalu bukan satu-satunya peristiwa tentang fenomena aneh ini. Ada juga peristiwa orang masuk ke masa depan sehingga ia dapat meramalkan atau mengetahui peristiwa yang terjadi di masa yang akan datang. Suatu hari seorang gadis bermimpi, kakak laki-lakinya akan mengalami kecelakaan dengan sebuah mobil berwarna merah. Mobil, jalanan, dan bagaimana kecelakaan itu akan terjadi tergambar dengan jelas dalam mimpinya. Beberapa hari kemudian, kecelakaan itu benar-benar terjadi persis seperti yang ada dalam mimpinya.

Dalam kasus lain seorang wanita terus-menerus bermimpi tentang sebuah rumah besar selama 20 tahun. Ketika suatu hari dia berkunjung ke rumah cantik Compton Winyates di Warwickshire, Inggris, dia langsung mengenali rumah itu sebagai rumah di dalam mimpinya. Mimpi ini tidak punya makna apa- apa. Si pemimpi sekadar memimpikannya. Seperti kenyataannya, tidak semua mimpi meramalkan masa depan. Hanya mimpi tertentu yang meramalkan kejadian-kejadian aneh.

Kadang-kadang ramalan itu bisa menyangkut orang ketiga. Pada 20 April 1974, Tersa G. menghabiskan waktu luangnya bersama teman-temannya di White Tower. Tiba-tiba Tersa membalikkan badan menghadap temannya dan berkata, "Aku mendengar suara jeritan anak-anak." Namun teman- temannya tidak mendengar suara apa-apa.

Beberapa bulan kemudian seorang teroris menanam sebuah bom di gudang senjata White Tower. Bom meledak, menewaskan dan mencederai sejumlah orang dan anak-anak.

Jadi, apa sebenarnya yang telah didengar Tersa? Menurut para psikolog, Tersa telah mendengar suara ketakutan anak-anak yang akan menjadi korban di tempat itu beberapa bulan kemudian.

Bagaimanapun, mengetahui sesuatu sebelum terjadi merupakan fenomena yang mungkin ada di mana-mana dan memiliki sejarah yang panjang. Fenomena itu tidak berada dalam kendali manusia. Perjalanan waktu ke masa depan atau ramalan tentang masa depan tidak selalu memiliki arti bagi orang yang mengalaminya. Seseorang bisa saja mempunyai penglihatan (vision) tentang temannya atau bahkan tentang orang yang sangat jauh hubungannya. Peristiwa yang diramalkan pun belum tentu terjadi segera. Kejadiannya bisa berlangsung beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.

Untuk menjelaskan hal ini kita boleh menyebut seorang paranormal terkenal, Margaret Baker, yang berasal dari Anglia Timur. Dia "melihat" musibah bom Olimpiade jauh sebelum benar-benar terjadi pada 27 Maret 1976. Dia bahkan melarang temannya untuk mengunjungi Pameran Rumah Ideal, karena dia merasa sangat gelisah akibat penglihatannya itu. Sehari sebelum ledakan terjadi, Margaret melalui mata batinnya bisa melihat tempat bom disembunyikan. Laporan televisi mengenai ledakan bom itu membuktikan vision-nya benar, bahkan sampai ke hal-hal yang detail.

 

Beberapa Kasus Unik

Pada 29 Mei 1973, Anne May, seorang guru asal Norwich, Inggris, berkunjung ke situs purbakala Clava Cairns di Inverness. Di situ terdapat tiga makam yang berasal dari awal zaman perunggu (1800-1500 SM). Anne bersandar pada sebuah batu lalu memejamkan mata. la pun masuk ke alam kegelapan. Ketika membuka matanya, Anne menemukan dirinya berada di antara sekelompok pria yang mengenakan jubah lebar dan berambut hitam panjang. Namun, gara-gara pengunjung  semakin banyak dan suasana makin ramai, dia kembali ke masa sekarang. Penglihatannya itu pun berakhir.

Sekarang kita simak kasus lainnya. Seorang anak perempuan sedang bermain di depan rumah neneknya. Tiba-tiba dia lari ke dalam rumah. Akan tetapi betapa terkejutnya anak itu karena mendapati dirinya berada di lingkungan yang asing. Semuanya tampak berbeda dan kelihatan lebih gelap dari biasanya. Keheningan suasananya juga terasa ganjil. Gadis kecil itu mengira salah masuk rumah. Dia lalu berlari keluar. Namun, setelah beberapa menit, dia kembali memasuki rumah yang sama. Kali ini semuanya normal-normal saja. Semuanya tampak sesuai seperti rumah neneknya.

Anak perempuan itu jelas "tergelincir" ke masa lampau. Perjalanan ke masa lalu berhubungan dengan pengalaman reinkarnasi dan dengan sesuatu yang disebut "type of haunting" (sering timbul dalam pikiran). Namun, apa yang sebenarnya terjadi saat seseorang mengalami perpindahan waktu, masih merupakan misteri. Kejadian semacam itu mungkin ada hubungannya dengan medan magnet manusia. Perpindahan waktu, apakah itu berhubungan dengan masa lalu atau masa depan, setidaknya membawa kita pada kesimpulan bahwa "waktu" itu sendiri tidak mampu menjelaskan berbagai fenomena ini, seperti yang telah diuraikan di atas.

(Nukilan buku Intisari Seri Kisah Misteri 24 Misteri Aneh di Dunia Oleh Geeta Lal Sah) 

" ["url"]=> string(85) "https://plus.intisari.grid.id/read/553399961/tergelincir-ke-masa-lalu-atau-masa-depan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659548917000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400663" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/si-mata-ungu-mengajak-berkencan_-20220803020430.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Keberadaan rumah penuh barang antik di Norfolk, membuat Harry mengurasnya. Namun ia ternyata melewatkan satu benda yang paling berharga." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/si-mata-ungu-mengajak-berkencan_-20220803020430.jpg" ["title"]=> string(31) "Si Mata Ungu Mengajak Berkencan" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:04:51" ["content"]=> string(34535) "

Intisari Plus - Keberadaan rumah penuh barang antik di Norfolk, membuat Harry mengurasnya. Namun ia ternyata melewatkan satu benda yang paling berharga.

-------------------

Harry Swayne bersumpah kepada dirinya sendiri, tidak mau lagi mendengarkan bujuk rayu Jeremy! Semula ia merasa bangga ketika didekati Jeremy. Maklum, ia bandit kelas teri sedangkan Jeremy termasuk kelas profesional. Harry pernah mengikuti kisikan Jeremy untuk membobol toko perhiasan Cassia. Ia tidak sadar kalau tindakannya itu mengandung risiko besar. Itulah sebabnya Jeremy menghubungi Harry, tidak mengerjakannya sendiri.

Malang, dalam operasi itu Harry tertangkap basah dan harus mendekam lama di penjara. Kini, setelah keluar dari penjara, Harry merasa risau. Bagaimana caranya ia bisa menyambung hidup? Jelas ia mesti lebih berhati-hati sekarang karena polisi pasti waspada terhadapnya.

 

Bisnis barang antik

Ketika sedang merenungkan nasibnya di sebuah bar, tidak sengaja ia bertemu Jeremy. Sobat lama ini bercerita macam-macam, tidak peduli Harry tidak melayaninya.

“Hati-hati terhadap Monahan, lo,” Jeremy memperingatkan. Monahan adalah polisi yang menangkap Harry dalam peristiwa Cassia. “Mendingan kamu liburan dulu, Harry. Kalau aku jadi kamu sih, aku pergi ke Norfolk.” 

Ngapain ke Norfolk! Di pelosok begitu!” jawab Harry.

“Justru itu! Di sana kamu bisa bersembunyi, menunggu polisi lupa kepadamu.”

Harry menganggap usul Jeremy itu boleh juga. 

“Lagi pula ada bisnis barang antik di sana,” Jeremy melanjutkan.

“Ah, persetan! Aku tidak tertarik. Aku enggak paham barang antik,” jawab Harry. “Waah, itu sih gampang,” kata Jerremy. “Barang antik umurnya tua. Nah, di Norfolk tuh, banyak rumah tua yang isinya barang begituan. Temanku pernah ke sana, pura-pura jadi penulis yang sedang mencari rumah. Makelar rumah percaya. Ditunjukkanlah rumah-rumah yang isinya barang antik melulu,” cerita Jeremy dengan mulut berbusa. Tidak terasa, Harry menyimak penuh minat.

“Orang sana belum mengerti nilai barang antik. Tidak jarang meja kursi Sheraton dijadikan kayu bakar! Temanku bilang kepada makelar bahwa ia ingin menyewa rumah yang terpencil. Dia pilih rumah yang paling banyak barang antiknya dan tidak berpenghuni. Lantas diam-diam dia kembali sendirian ke rumah itu. Dia gasak habis isinya, lalu dijual ke Willard. Pokoknya, dia dapat rezeki paling besar dan paling mudah selama hidupnya.”

 

Mangsa empuk

Keesokan harinya, Harry pergi ke Norfolk. Kepada makelar rumah, ia mengaku bernama Devenish, seorang penulis. 

“Fir Tree Cottage rasanya cocok buat Anda, Pak Devenish,” kata makelar. “Rumah itu hampir tidak pernah dipugar dan letaknya terpencil di pantai.”

“Betul, Nona Perreford-Jones,” jawab Harry. “Sebagai penulis, saya membutuhkan tempat yang tenang.”

“Ya, saya mengerti.” 

Harry bangga sekali dipercaya sebagai penulis. “Keren juga aku,” pikirnya. Padahal, sebenarnya ia sama sekali tidak suka tempat terpencil di luar kota, di mana-mana padang rumput. Mana langitnya kelabu dan banyak sapi yang kotorannya bau. “Heran, ada orang mau hidup di tempat begitu,” pikir Harry.

“Atau mungkin Anda tertarik pada Bell Cottage yang didirikan tahun 1741?” kata makelar rumah itu pula. “Rumah itu masih terpelihara baik tetapi pemiliknya, Bu Carey, ingin buru-buru menjualnya. Soalnya, terlalu mengingatkan dia kepada suaminya, Kolonel Carey, yang menurut The Times meninggal secara tragis.”

Harry tidak pernah membaca koran bergengsi itu tetapi ia tidak berani bertanya, apa yang menimpa Kolonel Carey. 

“Kasihan Kolonel Carey. Setelah lama tinggal di Amerika Selatan, ia hampir tidak sempat menikmati masa pensiunnya di sini,” kata makelar itu lagi.

“Amerika Selatan?” gumam Harry penuh harap. Biasanya dari sana orang membawa barang-barang yang laku dijual.

“Sejak menjanda, Bu Carey tinggal sendirian. Padahal, umurnya sudah 70-an. Orangnya baik sekali. Melihat Bu Carey, Anda tidak percaya ia pernah ikut suaminya keluar masuk hutan Amazon mencari suku-suku terasing. Setelah menjual rumahnya, Bu Carey berniat tinggal dengan cucu keponakannya, seorang pramugari…”

Harry menyela omongan Nona Perreford-Jones. 

“Pak Carey mungkin membawa pulang banyak cendera mata ya? Sebagai penulis, saya tertarik pada benda-benda macam itu.” 

“Wah, Pak! Rumahnya penuh benda begitu. Saya sih seram melihatnya. Entah mau dibawa ke mana kalau rumahnya dijual. Mustahil dibawa ke London. Cucu keponakannya ‘kan tinggal di apartemen.”

Betul! Bu Carey wanita lanjut usia yang ramah tamah. la senang bertemu dengan Harry. 

“Rumah ini sudah lama saya tawarkan,” ceritanya sambil menghidangkan teh dan kue-kue. la mempersilakan Harry melihat-lihat rumahnya. Harry merasa seakan-akan berada di dalam makam Firaun Mesir, saking banyaknya benda seni kuno.

“Mudah-mudahan cocok untuk Anda,” kata Bu Carey. Matanya yang biru lembut itu menatap penuh harap. Harry menguatkan hatinya. “Jangan dipengaruhi perasaan kalau soal rezeki,” katanya kepada diri sendiri.

“Saya belum bisa memutuskan sekarang, Bu,” jawab Harry berlagak lembut. “Saya perlu melihat rumah-rumah lain dulu. Boleh saya kembali pada akhir minggu ini?” 

“Sabtu saya tidak ada di rumah. Datang saja Minggu.”

Harry menarik napas senang. Dasar sedang mujur! Sabtu ia akan kembali. “Gampang sekali,” pikir Harry. Rumah tetangga Bell Cottage yang paling dekat berada beberapa kilometer dari sana. Bell Cottage sendiri terletak jauh dari jalan. 

Hari Sabtu Harry datang kembali. Bu Carey tidak ada. Ia hanya memerlukan waktu 2 jam untuk menguras isi rumah, mulai dari lantai atas sampai lantai bawah. Bagasi mobilnya dan tempat duduk belakang sampai padat dengan benda-benda seni. Setelah menggasak isi Bell Cottage, Harry meluncur gembira dari jalan sepi yang diapit padang rumput. Cuma sapi yang menyaksikan dia lewat.

 

Terpesona gadis model

Ia sengaja menghindari Kota Norwich dengan berbelok ke kiri, melalui desa yang ajaib namanya: Saxmandenden-under-the Hill. Walaupun memakai “Hill”, tidak ada bukit di sana. Yang ada malah sebuah pub

Perut Harry menagih makanan. “Siapa tahu pub ini menghidangkan makanan panas,” pikirnya. Cortina-nya diparkir di sebelah mobil MG yang masih mulus. Sebelum masuk pub, Harry memeriksa apakah selimut menutupi barang curiannya dengan sempurna di tempat duduk belakang. 

Saat Harry melangkah ke ambang pintu, Miranda Searle sedang tertawa tergelak-gelak mendengar pemilik pub menceritakan keeksentrikan seorang pendeta. Karena gadis muda itu duduk di bangku bar yang tinggi, terlihat keindahan tungkainya yang langsing panjang berwarna kecokelatan bekas tercium matahari. Untuk pertama kali dalam hidupnya, perhatian Harry tidak langsung tertuju pada bir saat masuk ke pub

Gadis itu laksana baru keluar dari kalender. Pesona kecantikannya seketika menjerat hati Harry. Suaranya rendah dan ucapannya jelas. Rambutnya yang panjang dan pirang itu tergerai seperti sutera melewati bahunya. Jari-jari tangannya lentik, tanpa cincin kawin maupun cincin pertunangan.

Pakaiannya yang putih tua agak kecokelatan itu berpotongan sangat sederhana tetapi Harry tahu pakaian macam begitu harganya justru mahal. Sehelai blazer berwarna kopi tersampir santai di bahunya. 

Setiap sentimeter penampilan gadis itu mencerminkan keanggunan. Dalam keadaan biasa, Harry akan menganggap wanita itu berada jauh di luar jangkauannya. Namun, saat ini Harry sedang merasa sangat percaya diri. la dipercaya sebagai penulis dan berhasil menggasak milik orang lain dengan mudah. Selain itu, gadis ini tidak berpengawal....

“Selamat siang,” kata Harry kepada pemilik pub. Lalu, ia minta wiski. Gadis itu tidak memedulikan kehadiran Harry. Setelah menuangkan wiski, pemilik pub meneruskan obrolannya dengan si gadis. Terpukau Harry memandang si gadis yang banyak senyum itu. Sungguh berbeda dengan para gadis yang dikenal Harry. Bibirnya penuh dan lembut. Matanya ungu tua dan bulu matanya panjang.

“Barangkali di Norfolk sedang ada shooting film,” pikir Harry. “Kalau tidak, mustahil ada gadis secantik ini kesasar seorang diri ke pub desa yang jauh dari keramaian.” 

“Daerah Anda sungguh mengesankan,” kata Harry kepada pemilik pub, ketika pembicaraan kedua orang itu sedang mengendur. Pemilik pub tersenyum senang.

“Anda sedang bertamasya ke Norfolk, Sir?” tanyanya. Dada Harry serasa menggembung dipanggil sir. Sejak dulu, dia memang ingin dianggap kelas menengah. Karena itulah, ia berusaha keras menghilangkan logat asalnya dan memupuk logat bicara orang terpelajar. Tentu saja percuma mempergunakan logat itu kalau berbicara dengan orang semacam Jeremy. Harry harus mengakui, menjaga logat orang terpelajar susah juga. Kadang-kadang tanpa terasa logatnya kedodoran. 

“Saya penulis,” kata Harry. “Saya sedang keliling daerah ini untuk menangkap suasananya.”

“Apa yang Anda tulis?” tanya si cantik dengan suara lembut dan pandangan penuh perhatian. 

Harry tersenyum penuh kejantanan.

“Macam-macam,” jawabnya. “Boleh saya tawarkan Anda minuman?”

Gadis itu tersenyum. Kali ini bukan kepada pemilik pub melainkan kepada Harry. Ketika ia menoleh ke arah Harry, mata Harry melihat sekeping uang emas seberat kira-kira 30 g berayun pada kalung emas di dadanya yang indah.

“Martini saja.” 

“Jangankan Martini,” pikir Harry sambil menelan ludah. “Sebotol anggur Veuve Clicquot pun aku belikan! Wanita ini pantas didekati, nih”

 

Liburan, obat kecewa

“Anda sedang menginap di Saxmandenden?” tanya gadis itu sambil mengangkat gelas ke arahnya sebelum menghirup minumannya.

“Tidak. Cuma lewat dalam perjalanan ke ....” Harry berhenti berbicara. Hampir saja ia keceplosan “ .... ke kota.” Harry tahu, ia mesti cepat-cepat menyingkir. Siapa tahu Bu Carey tiba-tiba muncul. Namun, rasanya berat sekali meninggalkan gadis itu. Kalau berhasil mengajak gadis itu berkencan, ia akan menginap. Persetan dengan risiko besar yang mesti ditanggungnya!

“Anda?” tanyanya. Rasanya dadanya sesak seperti diringkus. Bernapas pun sulit. Gadis itu tersenyum dan Harry betul-betul jatuh hati. 

“Cuma berkunjung,” jawab si manis. Harry mengerahkan semangatnya. Tak terasa keanggunannya terbang begitu saja. 

“Anda tidak keberatan makan bersama saya?” tanyanya.

Rambut gadis itu gemerlap ketika pemiliknya menggoyangkan kepala. 

“Maaf, saya harus pergi. Terima kasih untuk minumannya.”

Harry panik ketika gadis itu bangkit dengan luwesnya. 

“Bagaimana kalau nanti malam?” desak Harry. Gadis itu tampak heran bercampur geli. 

“Saya harus kembali ke London malam ini,” jawabnya. 

“Oh, saya juga mau ke London. Bagaimana kalau kita pergi ke teater nanti malam, lalu makan malam di Cafe Royal?” 

“Maaf, saya harus bekerja.”

Gadis itu menoleh ke pemilik pub

“Bye, Fred! Senang bertemu kamu lagi.”

Fred. Gadis itu tahu nama pemilik pub tetapi tidak tahu nama Harry. Yang lebih gawat lagi, Harry tidak tahu nama gadis itu. Buru-buru ia merogoh kantung di dadanya untuk mengambil kertas dan bolpen. 

“Boleh saya minta nomor telepon Anda? Saya ingin menelepon kapan-kapan.” Harry mencoba berlagak biasa saja tetapi suaranya serak. Mata gadis itu seperti ingin tertawa geli.

“Rasanya tidak perlu. Selamat tinggal, Pak....” 

“Harry. Harry Swayne.” Buru-buru Harry menulis nomor teleponnya di secarik kertas dan menjejalkannya ke tangan gadis itu.

“Itu nomor telepon saya. Anda boleh menelepon kapan saja. Mau makan, mau minum…”

Setelah sang “pesona” pergi, rasanya pub itu tidak lagi menarik. Di mata Harry tempat ini tidak lebih dari kedai desa biasa.

“Gadis yang sangat menarik,” kata pemilik pub. Harry mengangguk dan meminta minuman lagi. Perlahan-lahan detak jantungnya normal kembali. Gadis itu tidak bisa makan malam dengannya karena harus bekerja. Malam hari? Mungkin penari teater. Pantas matanya seperti geli ketika diajak ke teater.

Harry menyeka keringat di dahinya. Gadis itu pasti tidak akan meneleponnya. Jenis seperti itu tidak biasa berbuat demikian. Ya, apa boleh buat!

Harry menghibur diri dengan berpikir, “Dengan melego patung-patung Amerika Selatan itu kepada Willard, aku akan mendapat banyak uang. Aku bisa mendapat banyak perempuan cantik lain.”

Mengingat patung-patung itu, semangat Harry bangkit lagi. la harus secepatnya menguangkan benda-benda itu! Jadi, Harry pun meninggalkan Fred untuk meluncur anteng di jalan raya bebas hambatan M 11. la tidak mau ngebut, akan runyam kalau dihentikan polisi. 

Mata Willard hijau ketika melihat barang-barang bawaan Harry. Mula-mula pria lanjut usia itu menawarkan harga rendah. Harry cukup cerdik untuk bertahan. Sesudah tawar-menawar selama 2 jam dan hampir menghabiskan sebotol brendi, barulah mereka mencapai kesepakatan. 

Harry menghitung uangnya dengan hati berbunga-bunga. Lantas ia teringat pada Monahan. Ah, ia ogah buru-buru kembali ke belakang terali. Ia ingin menikmati dulu hasil jerih payahnya.

Dengan santai ia masuk ke biro perjalanan paling dekat. Di situ ia memilih paket liburan 2 minggu ke Tunisia. Perjalanan akan diadakan 2 hari lagi. Selama 2 hari ini Harry bermaksud sembunyi saja. Sebagai bekal di tempat persembunyiannya, ia membeli wiski di pasar gelap. Hidup terasa nikmat sekali.

 

Pria bersetelan abu-abu

Miranda Searle betul-betul sakit hati ketika menyaksikan rumah adik neneknya porak-poranda bekas dirampok. Semua benda yang disayangi perempuan tua itu amblas. Padahal, pada setiap hasil seni itu melekat kenangan perempuan itu akan almarhum suaminya tercinta.

Polisi yang memeriksa tempat kejadian bersikap lembut dan penuh perhatian terhadap Ibu Carey. 

“Coba Anda ingat-ingat lagi Bu Carey. Pria itu mengaku bernama siapa?”

“Devenish. Pak Devenish,” jawab wanita lanjut usia itu sambil memegangi lengan cucu keponakannya. Untuk pertama kalinya Miranda sadar, buku-buku jari wanita yang disebutnya “Bibi” itu berbonggol-bonggol akibat rematik.

“Bagaimana warna rambutnya?” 

“Terang, eh ... gelap,” jawab Bu Carey. Lalu, ia tidak bisa menahan air matanya.

“Saya tahu perasaan Ibu, tapi coba Ibu jawab dulu supaya kami bisa menangkap pria muda itu.” 

“Penjahat itu betul-betul bandit tidak berhati nurani!” celetuk Miranda. Ia tidak dapat menahan emosinya lagi. “Dia ‘kan tahu Bibi sudah tua. Ia pernah bertemu Bibi, bahkan bercakap-cakap dan makan kue yang disuguhkan Bibi segala. Lalu tega-teganya, ia datang kembali untuk berbuat seperti ini!”

Akhirnya, bisa juga Bu Carey menjawab pertanyaan polisi yang diulang-ulang. 

“Tingginya seperti Anda. Penampilannya menyenangkan. Pakaiannya bagus.”

“Bagaimana warna rambutnya, Bu?” 

“Rasanya sih warnanya gelap. Tapi entahlah. Aku bingung ....” katanya sambil menoleh berkeliling. “Kok tega ya, dia?”

“Hukuman apa baginya kalau tertangkap, Pak?” tanya Miranda. Polisi itu menarik napas panjang. “Tergantung, Nona Searle. Kalau ia belum pernah berbuat kejahatan, mungkin cuma hukuman percobaan. Tapi kalau penjahat profesional, ia akan dipenjarakan. Lama hukumannya bisa beberapa tahun.”

Petugas pencari sidik jari menyatakan pencuri itu sangat berhati-hati. Tidak ada sidik jari satu pun yang tertinggal. Berarti ia bisa saja menghindari perbuatannya dan lolos dari hukuman. Seandainya tertangkap pun dan bisa dikenali oleh Ibu Carey, ia bisa mengelak dari hukuman kalau barang-barang curian itu sudah tidak ada lagi padanya. Mereka menduga, barang-barang itu memang sudah disingkirkan.

Polisi menarik napas panjang lagi, sementara Ibu Carey menangis diam-diam. Darah Miranda serasa mendidih. 

“Tadi Anda katakan tingginya kira-kira 175 - 180 cm, Bu Carey. Umurnya pertengahan 20-an tahun, rambutnya berwarna gelap, alisnya lebat, giginya bagus dan pakaiannya pun bagus. Apa tadi kata Anda warna jasnya?”

“Abu-abu muda,” jawab Bu Carey. “Aku ingat pasti karena para pemuda di sekitar tempat ini biasanya memakai jas cokelat.” 

“Mobilnya pasti Cortina?” 

“Pasti! Miranda dulu pernah memakai mobil seperti itu.” Miranda tiba-tiba terdiam. Ia ingat, sebuah Cortina diparkir di sebelah MG-nya di halaman pub. Pengemudinya berambut gelap dan mengenakan setelan jas warna abu-abu muda.

Perlahan Miranda bertanya kepada polisi. 

“Pak, kalau saya tidak salah tangkap, tadi Bapak bilang penjahat itu kemungkinan besar akan dibebaskan, kecuali kalau ia tertangkap basah.”

“Betul, Nona Searle. Bibi Anda sudah lanjut usia. Penglihatannya tidak terlalu tajam lagi. Pembela pasti akan memanfaatkan kenyataan itu.” 

Miranda merogoh kertas di sakunya.

“Tapi kalau tertangkap basah, ia pasti dihukum?” 

Polisi itu mengangguk sambil berpikir, “Cantik-cantik kok otaknya lamban sih.”

 

Menuntut balas

Setelah polisi pergi, Miranda membeli sebuah patung di pasar Norwich. Patung jelek dari timah itu menggambarkan orang berjongkok. Penjualnya senang ada orang yang mau membeli benda itu. Soalnya, ia sudah berpikir-pikir untuk meleburnya dan menjual timahnya. 

Tidak lama setelah itu, di Saxmandenden-under-the Hill, Fred memandang bingung kepada Miranda. “Gadis ini sudah sinting barangkali!” pikirnya. Namun, mau juga ia menuruti permintaan “rahasia” Miranda.

Fred asalnya seorang pandai besi tetapi sudah lama ia menutup usahanya. Menjadi pengusaha pub lebih menguntungkan. 

Setelah menurunkan bibinya di apartemennya di Hamstead, Miranda menelepon nomor yang diberikan oleh Harry Swayne.

“Boleh saya berbicara dengan Pak Swayne?” 

“Dia keluar,” jawab Harry. Tidak ada orang yang pernah menyebutnya “Pak” kecuali penagih utang. 

“Kalau begitu, boleh saya titip pesan? Tolong katakan Miranda menelepon. Gadis dari Saxmandenden-under-the Hill.”

Serta merta Harry menendang koper setengah penuhnya ke samping dan menarik napas panjang untuk melegakan dadanya yang sesak. 

“Ini Harry. Saya kira ... orang lain.”

Miranda tertawa. “Sedang mendapat kesulitan dengan mantan pacar?” 

“Ah, enggak!” 

“Saya sedang berada di kota dan tidak sedang bekerja. Sebaiknya, saya terima tawaran Anda untuk minum dan makan.”

Harry benar-benar merasa mendapat durian runtuh. Dengan berpura-pura santai ia menjawab. 

“Saya senang sekali. Di mana Anda mesti saya jemput?”

“Bagaimana kalau di Audley, Mayfair?” 

“Baik. Pukul 19.00, setuju?”

“Baik. Sampai ketemu.” 

Telepon diletakkan. Harry memandangi gagang teleponnya dengan mata menerawang. Mayfair! Daerah elite. Mungkin gadis itu memiliki apartemen di sana. Wah! Makan, minum, terus .... Buru-buru Harry bangkit mencari pakaian dalam bersih.

Miranda mengusulkan restoran Gay Hussar. Mula-mula Harry ngeri juga, takut kalau-kalau restoran itu milik kelas atas. Ternyata cuma restoran Hongaria tapi seleranya baik. 

“Anggur, Sir!” tanya pelayan.

“Sampanye,” jawab Miranda dengan mata berbinar. Harry tidak pernah minum anggur mahal. Biasanya ia minum ale yang kadar alkoholnya rendah. 

Pelayan mengusulkan sop ceri hutan. Sambil menggamit lengan Harry, Miranda berkata, “Sepeninggalmu, terjadi peristiwa besar di Saxmandenden. Kata orang, ada perempuan tua dirampok.”

Harry kaget tetapi berusaha agar seleranya menghirup sop ceri hutan tidak terganggu.

 

Patung emas ketinggalan

“Untungnya benda yang dicuri tidak terlalu berharga,” sambung Miranda. “Aku singgah ke tempat Fred untuk minum teh sebelum pulang ke London. Fred menceritakannya kepadaku.”

“Untung ada sampanye,” pikir Harry. “Kalau tidak, aku bisa grogi. Untung pula aku buru-buru cabut dari desa itu. Kabar di desa ternyata lebih cepat tersiar daripada di kota.”

“Heran! Barang yang paling berharga justru ditinggalkan perampok itu.”

“Barang berharga apa?” tanya Harry. Mau tidak mau kentara juga ia tertarik berat. 

“Patung yang dipuja orang Indian. Kata orang, Kolonel Carey bertahun-tahun tinggal di Hutan Amazon. Ketika pulang, ia membawa patung emas masif itu.”

Harry tersedak, sampai Miranda perlu menepuk-nepuk punggungnya. 

“Tidak ada orang yang tahu tentang patung itu sebelum perampokan. Ibu Carey begitu lega, sampai menceritakannya kepada polisi. Atas anjuran polisi, patung itu akan disimpan di bank hari Senin besok.”

Miranda mengangkat gelasnya. 

“Aku senang sampanye. Badan terasa nikmat sampai ke ujung jari kaki,” katanya. 

Harry sebaliknya, merasa tidak enak badan. 

“Patung itu mestinya disembunyikannya dengan baik,” katanya sambil menggagah-gagahkan diri. Miranda tertawa tergelak-gelak.

Boro-boro disembunyikan. Benda itu nangkring begitu saja di rak dapur!” 

“Emas?” tanya Harry tidak percaya.

“Kata Fred sih, tidak kentara emasnya. Kalau kentara ‘kan sudah lama dicuri orang! Kolonel Carey melapisinya dengan timah. Pintar juga. Polisi saja tidak percaya, sampai Bu Carey mesti mengerik dasarnya. Ternyata memang emas. Betul-betul emas!”

“Aku senang mendengar berita itu,” lanjut Miranda pula sambil tersenyum. Lesung pipitnya tampak begitu menarik. “Kalau ikut diambil, bisa-bisa Bu Carey tidak sembuh lagi. Sekarang saja ia harus diberi pil tidur oleh dokter.”

Harry tidak bisa lagi menikmati makanannya. Sekarang Minggu malam. Besok siang, patung itu sudah akan terkunci dengan aman di bank. Malam ini benda itu pasti masih nongkrong di lemari dapur, sementara pemiliknya tidur nyenyak berkat pil tidur. Harry bertekad untuk mengambilnya malam ini juga. Apa boleh buat, Miranda harus tidur sendiri.

Ketika akan naik ke taksi, Miranda menciumnya dan berjanji akan segera meneleponnya lagi.

Meski maling profesional, berada di keremangan malam Norfolk sempat juga membuat Harry merinding. Soalnya jalan ke Bell Cottage gelap gulita. Angin menderu-deru di antara pepohonan yang bergoyang-goyang menyeramkan.

Setelah memarkir mobil, Harry berjalan cepat ke arah rumah. Sengaja ia memakai sepatu kets. Membongkar jendela merupakan pekerjaan sehari-hari bagi Harry, apalagi ia hafal letak jendela dapur. Walaupun penghuni rumah cuma seorang perempuan tua yang minum obat tidur, tidak urung jantung Harry berdebar keras dan tangannya yang besar itu berkeringat.

Hatinya baru lega ketika jendela itu bisa dicongkel dengan mudah. Perlahan-lahan ia melompat masuk ke dapur dan menyenter ke sekelilingnya. Rak dapur ternyata besar dan jelek. Pada satu sudut rak bercokol patung manusia berwajah jelek. Patung gendut yang sedang berjongkok itu menyeringai kepada Harry.

Harry hampir tidak berani bernapas. Ia harus mempergunakan kedua belah tangannya untuk mengangkat patung itu, saking beratnya. Dengan lutut lemas, ia duduk di kursi dapur dan menjungkirkan patung itu. Tampak bekas guratan dan di balik lapisan timah hitam tampak emas kuning berkilat. Tangan Harry gemetar ketika ia mengerik dasar patung dengan pisau. Makin lama makin keras. Warna kuning bertambah jelas.

El dorado! (Emas!),” desisnya sambil mendekap benda itu. “El dorado!”

“Cacing kayu jelek!” bisik seseorang dari sebelah kiri Harry. Harry berteriak dan melompat kaget. Tiba-tiba lampu menyala terang. Di jendela tampak dua orang polisi. Di pintu dapur ada dua lagi dan pasti masih banyak lagi. 

Lalu, seorang perempuan masuk mengenakan kimono dari kain handuk. Tanpa rias wajah Miranda malah kelihatan lebih cantik.

“Tertangkap basah,” kata Miranda sambil tersenyum. 

Harry kalap. 

“Sayang mata uang Anda, Nona Searle,” kata polisi ketika mobil polisi akan membawa Harry pergi. 

“Fred bilang, ia akan meleburnya kembali dan mencoba mengembalikannya ke bentuk semula, walaupun tidak sebagus aslinya dan tidak pantas untuk bandulan kalung lagi,” jawab Miranda. “Tapi saya puas. Dalam hidup ini ada yang lebih penting daripada bandul kalung.” Lalu Miranda pun memeluk patung jelek itu dengan kasih sayang.




 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400663/si-mata-ungu-mengajak-berkencan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535491000) } } }