array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#42 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400896"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#43 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/ok-ok_jonathan-kemperjpg-20220803014931.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#44 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(145) "Oscar dan Oliver sudah tinggal bersama selama 6 tahun. Agar bisa lepas dari Oliver dan hidup bersama tukang kebunnya, ia merencanakan pembunuhan."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#45 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/ok-ok_jonathan-kemperjpg-20220803014931.jpg"
      ["title"]=>
      string(7) "OK & OK"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 13:49:52"
      ["content"]=>
      string(34885) "

Intisari Plus - Oscar dan Oliver sudah tinggal bersama selama 6 tahun. Agar bisa lepas dari Oliver dan hidup bersama tukang kebunnya, ia merencanakan pembunuhan.

-------------------

“Kamu ‘kan akan pulang lebih awal sore ini, Yang?” tanya Oscar ketika Oliver hendak meninggalkan rumah Kamis pagi itu. “Hari ini ‘kan ulang tahun keenam kebersamaan kita,” Oscar mengingatkan.

Teman hidupnya yang sama-sama pria juga tersenyum. 

“Tentu! Jangan lupa memesan tempat di restoran untuk pukul 20.30.”

Oscar pun melambaikan tangan kirinya yang dililit gelang rantai emas 22 karat. Gelang itu hadiah ulang tahun “perkawinan” dari Oliver. Harganya mahal.

la mengawasi Oliver naik ke mobil dan menunggu sampai teman hidupnya itu lenyap dari pandangan. Kalau rencana Oscar berjalan lancar, inilah terakhir kalinya ia melihat Oliver dalam keadaan hidup.

 

Asmara di dalam bus

Enam tahun sebelumnya, Oscar bertemu dengan Oliver di dalam bus tingkat nomor 14 yang sedang lewat di depan Toserba Harrods di London. Dua atau mungkin tiga menit setelah dilirik-lirik Oscar, Oliver baru sadar ia ditaksir. Ia balas melirik dan Oscar pun pindah duduk ke sebelahnya.

Ketika bus melewati Hyde Park Corner, mereka sudah bertukar nomor telepon dan menyadari bahwa inisial mereka sama. Oliver Knight dan Oscar Knudsen. OK.

“Aduh, dasar jodoh!” pikir Oscar. Oliver-lah yang menelepon duluan malam itu. Keesokan harinya, sesuai dengan janji, mereka bertemu di sebuah restoran Italia di South Kensington, tidak jauh dari flat yang ditempati Oliver. Oscar menempati kamar yang jauh lebih sederhana di West Kensington. 

Dalam pertemuan itu Oscar mengetahui, Oliver berumur 32 tahun, jadi 6 tahun lebih tua. Oliver menyatakan belum bisa melupakan kepahitan pernikahannya yang gagal. Namun, dalam mencari nafkah ia beruntung karena pada usia semuda itu ia sudah menjadi salah seorang direktur Suntravel, sebuah biro perjalanan di London. 

Oscar memberi tahu teman barunya bahwa ia keturunan Denmark, walaupun dilahirkan dan dibesarkan di Inggris. Ia bekerja di bagian promosi sebuah majalah. Gajinya kecil sehingga ia tidak senang bekerja di situ.

Seminggu kemudian Oscar pindah ke flat Oliver dan sejak itu mereka hidup bersama. Dua tahun lalu, Oliver mendapat warisan £ 100.000 dari neneknya sehingga bisa membeli sebuah rumah yang memiliki kebun, Maple Cottage, ± 7,5 km dari Dorking. Oscar ikut pindah. Waktu itu ia sudah lama berhenti bekerja. Ia mengurus rumah seperti layaknya seorang ibu rumah tangga.

Tampaknya mereka pasangan yang cukup serasi. Cuma saja Oscar sangat pencemburu, walaupun keduanya diam-diam suka menyeleweng. Oscar menemui pria lain kalau Oliver sedang bekerja. Oliver mencari pria lain sepulang bekerja. Kalau terlambat pulang, ia memberi alasan lembur kepada teman hidupnya.

Sejak beberapa minggu terakhir ini, dua kali seminggu datanglah tukang kebun yang masih muda dan ganteng untuk merawat taman Maple Cottage. Oliver belum pernah melihat rupa tukang kebun itu. Kalau ia bertanya kepada Oscar, teman hidupnya itu berkomentar, “Orangnya bau pupuk kandang. Untung ia tidak bekerja di dalam rumah!”

Padahal, sejak bertemu dengan Keith Offingham yang gagah dan tampan itu, siang malam kepala Oscar selalu dipenuhi angan-angan mesra bersama si KO. Api asmara mendorong Oscar untuk mengajak si KO bersekongkol menyingkirkan Oliver dari muka bumi.

 

Warisan cuma kaus bekas

Menurut perhitungan Oscar, hari Kamis itu paling lambat pukul 11.00 Keith sudah selesai melaksanakan rencana jahat mereka. Ceritanya Keith akan mengenakan wig berwarna gelap untuk menyembunyikan rambutnya yang pirang. Ia juga akan mengenakan kumis palsu. Ia akan menunggu Oliver di tepi jalan yang biasa dilewati direktur Suntravel itu dalam perjalanan ke kantornya di London, dan akan menyetop mobil Oliver. Lalu, ia berpura-pura meminta tumpangan.

Supaya penampilannya meyakinkan sebagai penebeng kendaraan sejati, ia akan membawa ransel dan mengenakan sepatu bot. Oliver memang senang memberi tumpangan kepada para penebeng semacam itu.

Kalau mereka tiba di jalan yang sepi, Keith akan pura-pura kebelet dan pada saat itulah pria berperawakan kekar itu akan mencekik Oliver yang semampai. Mayat Oliver akan diletakkan di bangku belakang dan ditutupi dengan selimut, lalu Keith akan mengendarai mobil korbannya sejauh ± 10 km, yaitu ke tempat bekas tambang batu. Tambang yang sudah ditinggalkan itu kini penuh genangan air. Mayat Oliver akan dibuang ke dalamnya. Mobil Oliver akan ditinggalkannya di tempat lain, yaitu tempat ia sudah menaruh sepedanya. Dari situ ia akan menggenjot sepeda ke tempat mobilnya sendiri diparkir. Setelah itu ia akan melapor kepada Oscar.

Sambil menunggu Keith di Maple Cottage, Oscar mengurus rumah seperti biasa. Cuma saja hatinya betul-betul gelisah. Ia tak henti-hentinya merokok dan mereguk kopi.

Terbayang olehnya Keith yang muda, tampan, dan perkasa. Si KO belum lama keluar dari penjara setelah menjalani hukuman karena melakukan tindak kekerasan. Tidak sulit membujuknya untuk membunuh, asal imbalannya cukup besar. Karena itulah, Oscar tidak ayal memberi tahu Keith bahwa dulu ia bersama-sama membuat surat wasiat dengan Oliver. Oliver mewariskannya seluruh harta bendanya kepada Oscar dan Oscar mewariskan seluruh miliknya kepada Oliver. “Tapi kalau saya mati duluan sih yang dia dapat hanya beberapa baju kaus bekas,” gurau Oscar.

Oscar meyakinkan Keith, kalau warisan Oliver sudah diperolehnya, hidup mereka berdua pasti terjamin.

 

Semua OK

Oscar tidak tahan menunggu. Jadi pukul 10.30, ia menelepon sekretaris Oliver yang memang dikenalnya.

“Ruth, boleh saya berbicara sebentar saja dengan Oliver?” 

“Pak Knight tidak masuk, Pak Knudsen,” jawab Ruth.

Oliver nyengir kegirangan. Katanya kemudian, “Macet di perjalanan barangkali. Setiap hari lalu lintas bertambah padat saja.”

“Beliau memang tidak akan masuk hari ini,” jawab Ruth. 

“Tidak akan masuk?” tanya Oscar dengan suara bergetar.

“Tidak. Beliau cuti mulai kemarin dan baru akan bekerja lagi Senin depan.” 

Oscar terhenyak. Oliver tidak pernah bercerita ia akan cuti! Setelah menggumamkan beberapa kata, ia menaruh gagang telepon.

Kalau Oliver tidak masuk sejak kemarin, ke mana saja dia? Bukankah ia meninggalkan rumah seperti biasa dan pulang seperti biasa pula? Kecemburuan Oscar bangkit. Namun, kekhawatiran yang besar berhasil mengalahkannya. Kalau Oliver tidak pergi ke kantornya di London, apakah ia lewat di jalan tempat Keith menunggu? Apakah saat ini Keith masih sia-sia menunggu di sana?

“Ah,” pikir Oscar kemudian. “Kalau Oliver tidak lewat di situ ‘kan mestinya Keith sudah melapor lewat telepon.”

Dua setengah jam setelah Oliver berangkat, Keith belum juga memberi kabar. Tiba-tiba saja Oscar yang sedang senewen itu jadi naik pitam kepada Oliver. Hm! Teman hidupnya itu rupanya diam-diam punya pacar!

Waktu berlalu dengan lambatnya. Baik Keith maupun Oliver tidak muncul juga. “Aduh bagaimana kalau malah Keith yang tewas di tangan Oliver?” pikir Oscar. “Atau bagaimana kalau Keith terpikat pada Oliver dan bersekongkol meninggalkannya?”

Pada saat Oscar hampir histeris, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Keith keluar dari dalamnya. Oscar berlari membukakan pintu. 

“Semuanya OK?” tanya Oscar dengan tegang. Keith mengangguk.

“Ya, ampun! Saya sudah ketakutan setengah mati!” 

Begitu menutup pintu Oscar merangkul Keith erat-erat. Keith menerima pelukan itu tanpa semangat. Memang ia bukan orang yang biasa memperlihatkan emosi. Kelebihannya adalah kekuatan fisiknya.

“Semua rencana berjalan mulus?” tanya Oscar ketika sudah berada di dapur. 

“Pokoknya rapi.” 

“Di mana Oliver sekarang?” 

“Sepuluh meter di bawah permukaan air kotor.” 

“Mobilnya?” 

“Di tempat yang kita rencanakan.” 

“Kamu tidak mendapat kesulitan men... menanganinya?” 

“Tidak.”

“Apa yang kalian percakapkan di mobil?” tanya Oscar dengan bawelnya. 

“Dia cuma bertanya, saya dari mana dan mau ke mana.” 

“Ia tidak berusaha memacari kamu?” tanya Oscar genit tapi senewen. 

“Ya, enggaklah ‘kan baru pukul 08.00? Dia tidak seperti kamu.” 

“Kamu tidak mengalami kesulitan mencopot penyamaranmu dan menyingkirkan ranselmu?” 

Keith mengangguk. “Sudah saya bilang, semuanya beres.”

“Oliver menceritakan ke mana ia akan pergi?” 

“Katanya sih, ke London.” 

“Ke Londonnya ke mana?” Keith menggeleng. “Pokoknya ke mana pun ia berniat pergi ‘kan sekarang sudah tidak bisa lagi.” 

Keith mereguk seluruh isi cangkirnya dan beranjak pergi.

 “Tidak beristirahat ke kamar dulu?” tanya Oscar penuh harap.

“Saya ke sini ‘kan untuk mengurusi kebun. Tetanggamu yang usil akan bertanya-tanya apa saja yang saya lakukan kalau lama-lama di dalam.”

“Ah, dia tidak ada di rumah.” 

Namun Keith keluar juga setelah mengedipkan sebelah matanya kepada Oscar. Jantung Oscar berdebar-debar dibuatnya.

Keesokan paginya, begitu biro perjalanan Suntravel buka pintu, mereka ditelepon Oscar. 

“Saya khawatir Ruth, Oliver tidak pulang,” kata Oscar. “Dia juga tidak menelepon,” sambungnya. “Kamu tahu ke mana dia pergi?”

“Saya tidak tahu, Pak Knudsen. Seperti sudah saya katakan kemarin, beliau cuti sampai hari Senin.” 

“Ia tidak memberi tahu ke mana akan pergi?”

“Tidak! Katanya, ada urusan pribadi.” 

“Di mana ya, dia?” tanya Oscar dengan nada dicemas-cemaskan. “Padahal menurut rencana, semalam kami akan makan di restoran untuk merayakan peristiwa penting. Saya khawatir ia mengalami kecelakaan.” 

“Memang aneh, ya?” kata Ruth. “Coba saya tanyakan kepada orang-orang di kantor. Barangkali ada direktur lain yang tahu. Saya akan menelepon Anda beberapa menit lagi.”

“Terima kasih Ruth. Saya cemas sekali, nih!” 

Sepuluh menit kemudian Ruth menelepon.

“Saya sudah bertanya kepada Pak Parker maupun Bu Satcheel tapi tampaknya Pak Knight tidak memberi tahu mereka ke mana ia pergi. Pak Parker menyarankan agar Anda melapor saja ke polisi kalau besok belum ada kabar juga. Beliau juga berpesan agar jangan ragu-ragu menelepon beliau di rumah pada akhir minggu kalau perlu.”

“Tolong disampaikan kepada beliau, saya akan segera menghubungi polisi. Saya tidak sabar menunggu sampai 24 jam lagi. Siapa tahu terjadi hal yang tidak diinginkan ...” kata Oscar lirih.

Oscar memang menelepon polisi. Polisi mencatat ciri-ciri Oliver, nomor kendaraannya dan berjanji akan menghubungi Oscar begitu mereka tahu sesuatu tentang Oliver.

Malam itu ketika hari sudah gelap, Keith menjemput Oscar. Oscar menyesali Keith karena mereka bertemu dengan bersembunyi-sembunyi begitu....

“Kita ‘kan tidak boleh mengambil risiko. Jangan sampai orang melihat kita berduaan sebelum semuanya beres,” kata Keith.

“Senin saya akan ke pengacara agar ia cepat-cepat bertindak.” 

“Ia tidak bisa apa-apa sebelum mayat ditemukan.” 

“Pasti polisi sudah mulai mengaduk-aduk kolam dan danau di daerah ini,” kata Oscar. Lalu ia merebahkan kepalanya di bahu Keith. “Bilang dong, kamu mencintai saya. 

“Ah, jangan ngomong yang bukan-bukan!” 

“Apa sih maksudmu?” tanya Oscar tersinggung. 

“Kalau saya tidak menyukai kamu, mana mau saya bersusah-susah membunuh orang kemarin.”

“Tapi kamu mencintai saya ‘kan? Bukan cuma menyukai?” 

“Astaga! Cukup! Cukup!” 

Oscar merajuk tapi berseri-seri lagi ketika Keith menyatakan akan datang mengurusi kebun pada hari Sabtu.

Sore itu Keith membongkar sepetak tanaman dan Oscar pura-pura mencabuti rumput dekatnya, sementara matanya tidak pernah lepas dari otot-otot Keith yang kekar.

“Telepon berbunyi,” kata Keith. 

Dengan enggan ia beranjak dari sisi pujaannya. 

“Pak Knudsen?” suara seorang pria dari ujung kabel. 

“Ya, betul.” 

“Ini Sersan Detektif Claymore. Anda menelepon saya kemarin, melaporkan Pak Knight hilang. Kata Anda, ia tinggal di alamat yang sama dengan Anda.” 

“Betul.” 

“Kami menemukan mobilnya tapi orangnya tidak ada.”

“Di mana mobilnya?” 

“Di hutan Effingham, mobil itu terkunci dan tampaknya tidak pernah dijamah orang sejak ditinggalkan.” 

“Tasnya ada di mobil?” 

“Tidak ada! Rupanya ia bawa. Ini memperkuat dugaan bahwa ia masih hidup dan dalam keadaan sehat walafiat. Kalau ia ingin bunuh diri untuk apa ia membawa tasnya? Pokoknya, tidak ada tanda-tanda bahwa ia meninggal.”

“Jadi, ke mana dong dia?” tanya Osar dengan putus asa. 

“Anda mestinya lebih tahu daripada saya. Anda ‘kan kenal dia, saya tidak.” 

“Saya yakin ia mengalami hal yang tidak diinginkan. Ia meninggalkan rumah untuk berangkat ke tempat kerja. Ia tidak pernah tiba dan mobilnya ditemukan bukan di rute yang biasa dilaluinya. Ia orang yang sistematis, teratur.”

Sersan polisi tetap tidak mau percaya bahwa Oliver mengalami malapetaka dan tidak mau mengadakan pencarian. 

Ketika kembali ke kebun Oscar bertanya kepada Keith, “Kamu apakan tasnya?”

“Saya masukkan batu dan lempar ke dalam air.” 

“Lebih baik kamu tinggalkan di mobil. Lebih baik lagi kalau kamu tinggalkan tanda-tanda pergulatan.” 

“Percuma saja memberi saran yang terlambat,” jawab Keith dengan nada tidak bersahabat.

“Saya bukan mencela,” kata Oscar buru-buru. “Tapi, kita mesti bisa mendorong polisi untuk menemukan mayat Oliver. Sekarang sih polisi cuma mengira Oliver meninggalkan saya.” 

“Pergi sana, buatkan aku teh,” perintah Keith. 

Hari Minggu merupakan saat yang membosankan bagi Oscar. la cuma bisa menenggak kopi kental. Makin lama ia makin tegang. Saat itu, Keith sedang mengunjungi neneknya yang membesarkan dia. Oscar sebenarnya ingin ikut tetapi Keith tidak mau dibuntuti. Terpaksa Oscar harus puas dengan janji ditelepon.

Pukul 20.00, pada saat Oscar sudah hampir menjerit histeris, Keith menelepon. Oscar memintanya datang. Dengan enggan Keith muncul juga pada malam hari.

Keesokan paginya, Oscar menelepon pengacara. Bukan pengacara Oliver melainkan pengacara kenalannya. 

“Peter saya ingin minta nasihat,” katanya. “Saya risau sekali karena Oliver lenyap. Ia pergi bekerja seperti biasa hari Kamis lalu tapi tidak pernah tiba di kantor dan tidak ada kabar beritanya lagi. Polisi menemukan mobilnya tapi Oliver tidak ketahuan ke mana. Saya takut ia mengalami hal yang tidak diinginkan.”

“Maksudmu, kamu takut dia tewas?” 

“Ya,” kata Oscar. 

“Polisi sudah mencari?” 

“Belum, karena kata mereka tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.” 

“Nasihat apa yang kamu inginkan dari saya?”

“Berapa lama Oliver baru bisa dinyatakan meninggal?” 

“Tujuh tahun. Kalau ia meninggal, mayatnya ‘kan mestinya ditemukan. Kalau tidak ditemukan, setelah ia lenyap selama 7 tahun baru kamu bisa meminta agar ia dinyatakan sudah meninggal.”

Oscar tertegun dan gemetar. Tujuh tahun? Satu-satunya jalan hanyalah membantu polisi menemukan mayat Oliver. 

Oscar lantas memberanikan diri menelepon Sersan Claymore yang ganteng dan langsing itu.

“Sudah ada berita baru tentang Oliver Knight?” tanyanya. 

“Menyesal sekali tidak ada.” 

“Saya ingat, saya belum memberi tahu Anda bahwa ia tidak masuk kantor sejak hari Rabu.” 

“Saya sudah diberi tahu direktur lain di kantornya.”

“Oh, saya kira Anda belum menghubungi kantornya.” 

“Tentu saja sudah, untuk pengecekan rutin.” 

“Saya lupa bilang, akhir-akhir ini ia tampak tertekan. Karena itulah saya khawatir ia .. melakukan sesuatu yang drastis.” 

“Bunuh diri maksud Anda?”

“Ya, itulah yang saya khawatirkan.” 

“Orang bunuh diri ‘kan tidak perlu paspor.” 

“Paspor?” 

“Ya. Kata salah seorang rekan direkturnya, ketika meninggalkan kantor pada hari Selasa, ia membawa paspornya yang biasa disimpan di laci meja tulisnya.” 

“Aneh!” kata Oscar yang merasa hatinya seperti akan copot. 

“Aneh ataupun tidak, hal itu tidak menunjukkan ia bermaksud bunuh diri. Tampaknya ia merencanakan akan bepergian ke luar negeri. Ia tidak pernah menceritakannya kepada Anda?”

“Tidak,” jawab Oscar yang ingin sekali mengakhiri percakapan. Namun, Sersan Claymore masih terus mengoceh. 

“Saya sudah menghubungi pengacaranya. Ternyata, Pak Knight baru saja mengubah surat wasiatnya. Anda masih di situ, Pak Knudsen?”

“Ya, masih,” jawab Oscar dengan kepala seperti melayang-layang. 

“Anda tidak tahu?” 

“Tidak!” 

“Hal itu menyebabkan kami menganggap Pak Knight berada entah di mana dalam keadaan sehat walafiat. Jadi, Anda tidak perlu merisaukannya. Mungkin saya akan segera menghubungi Anda lagi.”

Oscar merasa kepalanya seperti dipukul. “Ada apa sih!” tanya Keith ketika malam-malam muncul. Mulut Oscar laksana senapan mesin ketika memberondongkan pengalamannya hari ini. 

Keith menenggak minuman keras. “Kamu tidak pernah tahu ia mengubah surat wasiatnya?”

“Mana saya tahu!” 

“Sayang, kamu tidak memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. Satu hal harus dijaga: jangan sampai polisi menemukan mayatnya.” 

“Justru harus ditemukan!” 

“Ketahuan dong dia dibunuh. Gila kamu!”

“Tapi ‘kan tidak ada yang bisa mengaitkan kita dengan pembunuhannya. Lagipula bisa saja ia dikira bunuh diri.” 

“Bunuh diri? Dengan tanda bekas cekikan di leher dan saku diberati batu?”

“Bisa saja saya bilang kepada polisi bahwa ia pernah bilang ingin menenggelamkan diri.” 

“Polisi akan mencekik dan menyiksamu.” 

“Saya tidak akan mengaku.” 

“Enak saja! Mereka ‘kan ahli menekan orang. Paling-paling kamu akan menumpahkan kesalahan kepada saya.”

Oscar menjerit genit. “Mana mungkin! Yang saya ingin ‘kan cuma satu: hidup bersamamu sampai mati!” 

Mereka terus berbantah-bantahan. Oscar tidak bisa tidur. Baru sekitar pukul 05.00 matanya terpejam. Tiba-tiba didengarnya dering bel rumah. Setelah menyisir rambutnya dan mengenakan kimono dengan tergesa-gesa, ia membukakan pintu. Saat itu sudah pukul 10.00. Di hadapannya berdiri Sersan Detektif Claymore yang tampan.

“Saya datang untuk bertanya, Pak Knudsen. Mengapa Anda begitu yakin Pak Knight sudah meninggal?”

Oscar kaget juga. “Oh. Kalau orang yang selama 6 tahun hidup bersama Anda tiba-tiba lenyap, Anda akan menyangka yang terburuk. Saya masih tidak percaya ia pergi tanpa pamit seperti itu.”

“Apakah bukan karena Anda ikut berperan dalam peristiwa lenyapnya Pak Knight?” 

“Ikut berperan? Saya ... saya tidak mengerti maksud Anda,” kata Oscar.

“Maksud saya, Anda merencanakan kematiannya.” 

“Jangan main-main!” kata Oscar. “Saya mencintai Oliver. Anda mungkin tidak bisa memahaminya tetapi saya ingin meyakinkan Anda bahwa orang-orang gay mampu mencintai, sama seperti pasangan suami istri.”

“Juga pasti sama mampunya untuk bertengkar dan saling mengelabui,” jawab Claymore. 

“Oliver dan saya tidak pernah bertengkar!”

“Sekarang kita kembali ke persoalan semula. Mengapa Anda begitu gigih untuk meyakinkan saya bahwa teman Anda sudah meninggal?” 

“Cuma karena saya berfirasat buruk.”

“Dari Anda berdua, tentunya dia yang memiliki lebih banyak uang?” 

“Ya.” 

“Kabarnya ia memelihara Anda.” 

“Sama seperti ia memelihara istri.” 

“Apa yang Anda anggap terjadi padanya?”

“Seperti sudah saya katakan di telepon, akhir-akhir ini ia merasa tertekan.” 

“Jadi, ia bunuh diri?” Oscar mengangguk. 

“Menurut dugaan Anda, bagaimana caranya?” 

“Dia pernah bilang, paling gampang sih menenggelamkan diri.” 

“Ia berangkat Kamis pagi seperti biasa, meninggalkan mobilnya di Hutan Effingham dan mencari tempat yang tepat untuk membenamkan diri?” 

Oscar mengangguk. 

“Coba kita kesampingkan dulu kemungkinan bunuh diri. Peristiwa apa lagi yang mungkin menimpanya?” 

“Mungkin saja ia dibunuh,” kata Oscar sambil bergidik.

“Bagaimana ia bisa dibunuh?”

“Dia biasa mengajak orang-orang muda yang ingin menumpang di kendaraannya. Saya sudah bilang berulang kali: perbuatan itu berbahaya. Bisa saja mereka menyerangnya dan mencuri dompetnya. Tapi, ia bandel. Katanya, orang-orang muda itu menarik untuk diajak bercakap-cakap, lebih menarik daripada mendengarkan radio.”

“Anda duga ia dibunuh penebeng kendaraan?” 

Oscar mengangguk. 

“Apabila Anda menduga ia memberi tumpangan, lalu entah mengapa mobil dihentikan di suatu tempat sepi dan si penebeng membunuh Pak Knight dan membuang mayatnya dan mengambil uangnya ..”

“Oliver tak pernah membawa kurang dari £ 200 di dompetnya,” kata Oscar. 

“Tapi ada alternatif lain,” sambung Claymore seraya memandang tajam pada Oscar. “Anda ikut berperan dalam melenyapkannya.... Maksud saya, dalam membunuhnya.”

Oscar menggenggam lengan kursi dan memandang seakan tidak percaya pada Claymore. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. 

“Polisi tidak sebodoh yang diduga sebagian orang.” Sersan Claymmore melanjutkan, “Kami tidak percaya begitu saja pada apa yang disodorkan kepada kami. Kami mengusut, kami menyidik ke sana kemari.”

“Anda menuduh,” kata Oscar akhirnya. “Alasan apa yang bisa menyebabkan saya membunuh Oliver?” 

“Anda ‘kan sudah bilang,” kata Claymore seraya matanya menyapu benda-benda di sekeliling mereka. “Anda mewarisi semua ini dan masih banyak lagi.”

“Mana mungkin. Saya tinggal di rumah sepanjang hari.”

“Saya tidak berkata Anda membunuh Pak Knight. Saya yakin bukan Anda yang melakukannya tetapi Anda ikut memegang peranan. Peran besar. Peran utama.”

Oscar tidak sanggup berpura-pura lagi. Ia panik. “Dalam bahasa hukum, Anda bersekongkol membunuh Pak Knight,” ujar Claymore. 

“Bersekongkol? Bersekongkol dengan siapa?”

“Anda betul-betul ingin jawabannya? Kami sudah menangkap Keith Offingham semalam ketika ia meninggalkan rumah ini. Kami sudah bercakap-cakap lama dengannya dan ia sudah mengakui semuanya.”

“Saya tidak percaya. Bisa saja ‘kan dia berbohong.” 

“Itu hak juri untuk memutuskannya, Pak Knudsen.” 

Oscar menutupi wajahnya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia mengamuk ketika Keith melemparkan tanggung jawab kepadanya dan menjadi saksi yang memberatkan dirinya.

Pada masa itulah Oscar menerima surat berstempel pos Florence. Bunyinya sebagai berikut: 

Untuk Oscar, 

Kamu betul, Keith itu bau pupuk kandang. Saya segera menyadarinya begitu ia masuk ke mobil. Sebagai kekasih mungkin ia hebat, tetapi sebagai calon pembunuh, ia payah. Sebentar saja saya sudah memegang semua kartunya. Ia menyadari betapa gawat situasi yang dihadapinya sehingga ia bersedia menerima rencana tandingan yang tidak menguntungkanmu. Saya akan “lenyap” sebentar, sementara ia berpura-pura telah menjalankan tugasnya. 

Sebenarnya sudah sejak beberapa minggu yang lalu saya menyadari bahwa ia lebih daripada sekadar pencangkul tanah bagimu. Otahmu ‘kan selalu meragukan, Oscar. Tapi sekali ini kamu tambah dengan kenaifan. Rencana rumitmu itu kekurangan detil. Memang kau selalu sembrono. Sebelum saya akhiri, perlu saya beri tahu bahwa kematian saya tidak akan mendatangkan keuntungan apa-apa bagimu. Saya baru saja membuat surat wasiat baru yang tidak menyebut-nyebut namamu. Saya akan kembali ke Inggris sebelum kamu disidangkan. 

Saya yang masih hidup.

OK.

(Michael Underwood)





" ["url"]=> string(50) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400896/ok-ok" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534592000) } } }