array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517248"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/darah-polisi_-cottonbrojpg-20221009071504.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(137) "Tahun 1990, kepolisian New Orleans terkenal kacau. Salah satunya, kasus pembunuhan keluarga imigran Vietnam oleh polwan Antoinette Frank."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/darah-polisi_-cottonbrojpg-20221009071504.jpg"
      ["title"]=>
      string(12) "Darah Polisi"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 19:15:26"
      ["content"]=>
      string(17689) "

Intisari Plus - Tahun 1990, kepolisian New Orleans terkenal kacau. Salah satunya, kasus pembunuhan keluarga imigran Vietnam oleh polwan Antoinette Frank.

-------------------

Sabtu, 4 Maret 1995, 01.55 dini hari, Bullard Avenue, New Orleans bagian timur, Antoinette Frank berdiri dengan pistol 9 mm di tangan, di tengah dapur restoran Kim Ahn, milik keluarga imigran asal Vietnam. Tak jauh dari kakinya, di lantai kotor yang penuh genangan darah, pemuda 17 tahun Cuong Vu, merayap-rayap sambil memaksakan diri untuk bicara. Beberapa langkah dari situ, kakak perempuan Cuong, Ha (24), tertelungkup tak bernyawa.

Cuong Vu adalah pemuda atletis anggota tim sepakbola sekolahnya. la juga aktivis gereja St. Brigi, seorang putra altar yang bercita-cita menjadi pastor. Sedangkan si kakak Ha Vu adalah gadis lemah lembut yang pernah berkeinginan menjadi biarawati. Keduanya memang bekerja hingga larut malam di restoran milik orangtua mereka. Restoran yang ramai di setiap akhir minggu itu baru saja tutup. Anak-anak tengah membersihkan peralatan masak.

 

Lambang bintang dan bulan 

Pistol Frank memuntahkan sembilan peluru untuk menghabisi kakak-beradik itu. Cuong jauh lebih kuat daripada kakaknya. Jantungnya tetap berdetak meski empat peluru sudah menembus dada dan punggungnya. Akhirnya, dua lagi tembakan di kepala mengakhiri perjuangannya.

Uang memang tujuan utama perampokan itu. Frank, bersama sekongkolannya, pemuda 18 tahun Rogers LaCaze, langsung membuka laci-laci kasir mengambil semua uangnya. Tak lupa pula kotak uang di lemari yang dia tahu tempat menyimpannya. Baru beberapa langkah menuju pintu depan, muncul petugas polisi Ronnie Williams. Namun belum sempat bertanya, gegas langkah opsir berusia 25 tahun itu dihentikan oleh tembakan. Satu di dada, disusul dua di kepala. Anggota Kepolisian Distrik 07 itu pun jatuh tersungkur. Sebagian mukanya tergenang darahnya sendiri.

Ronnie Williams adalah polisi yang mencari kerja sampingan di luar jam kantor. Selepas piket, pukul 23.00, ia menjadi penyelia keamanan Restoran Kim Anh. Dia amat membutuhkan uang tambahan, karena 10 hari mendatang istrinya akan melahirkan anak kedua mereka, Patrick.

LaCaze mengambil pistol dan dompet Williams.

Keluar dari restoran, pasangan penjahat Frank dan LaCaze masuk ke Ford Torino 1977, lantas tancap gas keluar dari lapangan parkir. Mobil sempat meliuk-liuk sebelum stabil, menyebabkan isinya berantakan. Sebuah papan tulis kecil yang semula diletakkan di atas dashboard, mencelat. Begitu pula sebuah panel karton warna kuning dengan gambar bintang dan bulan bertulisan “POLISI NEW ORLEANS SEDANG BERTUGAS”. 

Betul, itu memang mobil seorang polisi meski kadang dipakai kala berpakaian preman. Bintang dan bulan adalah lambang Kepolisian New Orleans, dan papan tulis kecil serta panel kuning itu adalah bagian dari perlengkapan patroli yang diambil dari mobil dinas Polwan Antoinette Frank.

Pelaku penembakan adalah seorang polisi. Sama dengan Opsir Williams, Opsir Frank juga bertugas di Distrik 07. Keduanya tak cuma satu peleton di kantor, tapi juga sama-sama bekerja sampingan di Restoran Kim Anh selepas tugas. Keduanya bergantian hari jaga. Di kantor, keduanya telah setahun berteman. Di Kim Anh, mereka telah beberapa bulan bermitra giliran.

 

Polisi brutal dan korup

Kepolisian New Orleans, pada 1990-an memang sedang kacau-kacaunya. Setiap tahun 100 anggota keluar - sebagian besar dipecat atau tertangkap melakukan kejahatan - namun penggantinya hanya setengah dari jumlah itu. Tahun 1994 misalnya, dua polisi ditangkap karena pembunuhan. Yang satu karena membunuh orang yang dia curigai mencuri di apartemennya, sedangkan yang kedua menyuruh orang untuk membunuh seorang perempuan yang terus-menerus mengeluhkan perbuatan sang polisi.

Pada tahun yang sama, sepuluh oknum polisi New Orleans digaruk FBI karena terkait dengan kejahatan narkoba. Penyiar CBS Mike Wallace menjuluki New Orleans sebagai “Kota yang polisinya paling brutal dan paling korup”. Kepada Majalah Time Walikota Marc Morial pernah mengeluh, “Saya mewarisi departemen kepolisian yang busuk.” Entah keluhan itu menghasilkan perbaikan atau tidak, nyatanya, sejak 1995 situasi bukannya membaik kalau tak bisa dikatakan makin parah.

Polwan Antoinette Frank, salah satu pewaris sistem buruk kepolisian New Orleans, barangkali bisa menjadi model seandainya pelanggaran hukum oleh para hamba hukum itu suatu saat dibuat posternya untuk diceritakan kepada generasi muda. Mitranya, Rogers LaCaze, meski baru saja melewati ulang tahun ke-18, punya jejak kejahatan cukup panjang. Ibunya, Alice Chaney, sudah mengusirnya ketika si anak umur 17. “Rogers sudah jadi pengedar,” kata Alice.

Di akhir 1994, LaCaze hampir tertembak. Saat nongkrong dengan Nemiah Miller, temannya, tiba-tiba seorang pemuda 19 tahun yang dia panggil “Freaky D” menghampiri dan menembaknya. Nemiah tewas, tapi Rogers tertolong. la dirawat beberapa hari di rumah sakit sebelum akhirnya sembuh. Alice Chaney menyimpulkan, penembakan itu dilatari bisnis narkoba.

Salah satu polisi yang menyelidiki kasus itu adalah Opsir Antoinette Frank.

 

Tak lolos tes psikologi

Sejak kecil, Antoinette Frank sudah memiliki keinginan jadi polisi. Saat remaja, di Opelousas, kota kelahirannya, ia bergabung dengan kelompok Opelousas Junior Police dan The New Orleans Police Explorers, kelompok relawan sosial binaan kepolisian negara bagian. Saat usianya 20 tahun, ia melamar ke New Orleans Police Department. Tapi lamarannya dengan cepat ditolak. Unit penyelidik calon polisi menemukan cerita bahwa Frank pernah dipecat dari Wal-Mart, tempat kerjanya terdahulu, tapi itu tidak diceritakannya dalam lamaran. Selain itu, dalam tes psikologi, ia tak lolos dalam dua materi uji yang amat mendasar. Psikolog yang mengetesnya menyarankan agar Frank diwawancarai lebih lanjut dan diperiksa oleh seorang psikiater.

Dokter Philip Scurria, psikiater rujukan kepolisian, mengevaluasi Frank berdasarkan 14 karakteristik yang cocok dengan pekerjaan sebagai polisi. Ternyata skor Frank jauh di bawah rata-rata. Dalam catatan pemeriksaan dr. Scurria menulis, “Pelamar ini sangat dangkal dan superfisial, menguasai segala sesuatu di taraf permukaan saja. Saya rasa ia tidak cocok menjadi polisi.”

Barangkali karena kecewa pada penolakan itu, Frank menghilang. Dia kabur dari rumah sambil meninggalkan surat pesan bunuh diri kepada ayahnya. Maka ayahnya pun membuat laporan polisi tentang anaknya yang hilang. Tapi ternyata, keesokan harinya Frank muncul seolah seperti tak pernah terjadi apa-apa. Lalu, entah kenapa, tak sampai tiga minggu kemudian gadis kulit hitam itu jadi polisi.

 

Hilangnya pistol barang bukti

Setelah keluar dari rumah sakit, Rogers LaCaze sering dikunjungi Antoinette Frank. Sesekali Polwan itu mengajaknya belanja dan membelikannya pakaian. Tak hanya itu, lama-kelamaan ia juga dibelikan pager dan ponsel. Sesekali Frank juga menyewakan Cadillac untuk dipakai LaCaze.

“Frank terobsesi olehku,” kata LaCaze. Frank mulai mengajak si pemuda berpatroli keliling menggunakan mobil polisi. Sesekali ia juga membiarkan LaCaze menjawab panggilan lewat radio. Ketika lawan bicara mempertanyakan, Frank akan menyahut dan mengatakan bahwa LaCaze adalah anak latihnya. Dua petugas dari Kepolisian Distrik 07 bahkan pernah memergoki LaCaze mengemudikan mobil patroli Frank.

Sama-sama sebagai penyelia keamanan di Restoran Kim Anh, Frank dan Ronnie cukup dekat dengan keluarga Vu. Terutama kepada Frank yang masih lajang, keluarga Vu menganggap dia sebagai anggota keluarga. Seorang petugas, bekas mitra Frank di Distrik 07 bilang, “Keluarga Vu betul-betul menyukai dia. Mereka sering memberi hadiah macam-macam. Rok, sepatu, perhiasan, apa pun yang dia mau.” Frank tahu bahwa keluarga Vu tidak percaya pada bank. Mereka menyimpan semua uangnya di rumah.

Beberapa minggu sebelum perampokan, Frank meminjam pistol kaliber 9 mm dari lemari barang bukti New Orleans Police Department (NOPD). Tapi tak lama kemudian, ia melaporkan bahwa pistol itu hilang. Seorang penyidik yang datang ke rumah Frank untuk membuat berita acara kehilangan mendapati sang polwan sedang bersama LaCaze. Jelas, pistol itu tidak hilang.

Sampai beberapa jam sebelum perampokan, Frank dan LaCaze mampir ke Toserba Wal Mart untuk membeli sekotak peluru kaliber 9 mm. Jelas tak ada yang aneh dengan kedatangan seorang Polwan berseragam, naik mobil patroli NOPD, lalu membeli sekotak peluru pistol kaliber 9 mm.

 

Kegaduhan dini hari

Tak semua putra-putri Vu jadi korban. Dua yang tersisa adalah Chau Vu, gadis 23 tahun, dan Quoc, adik laki-lakinya yang berumur 18 tahun. Di malam naas itu keduanya ada di bagian dalam restoran. Mendengar bunyi tembakan di ruang makan, keduanya langsung lari dan sembunyi di ruang pendingin. Chau menutup pintu dan Quoc mematikan lampu. Dengan tegang mereka tiarap di lantai yang amat dingin.

Tak tahu apa yang akan terjadi kemudian, juga bingung apa yang akan mereka lakukan. Melalui pintu kaca dan jendela yang menghadap ke dapur, mereka melihat Frank dan LaCaze mengaduk-aduk meja dan lemari, mencari uang. Terdengar kegaduhan, lantas bunyi senapan, teriakan, dan tangisan, disusul beberapa lagi tembakan. Kemudian suasana hening.

Setelah yakin Frank dan LaCaze pergi, Chau merangkak menuju ruang makan. Ia ingat ponselnya ada di dalam tas yang dia simpan di rak di bawah bar. Saat merayap untuk mengambil teleponnya, ia mendapati tubuh Ronnie tergolek kaku.

“Ronnie terdiam di atas genangan darahnya sendiri. Melihat penjaga keamanan restoran kami tak bernyawa, rasanya segala nyaliku hilang,” kata Chau belakangan.

Ia meraih tas dan kembali ke ruang pendingin. Ia menelepon 9-1-1 tapi tak bisa terhubung. la mengontak temannya dan memohon agar si teman mengontak polisi. Si teman coba bertanya, tiba-tiba telepon putus. Baterainya habis. Quoc segera menuju pintu belakang, lari ke rumah tetangga untuk meminjam telepon. Langkahnya sempat terhenti menyaksikan tubuh kedua saudara sekandungnya, Ha dan Cuong, tertelungkup kaku penuh darah.

Beberapa blok dari tempat itu, Antoinette Frank menggerutu sambil memukul setir mobil. “Satu anak lolos, sial!” Saat datang untuk melakukan aksinya tadi, Frank memang melihat Chau dan Quoc di dalam restoran. Mungkin karena panik atau terburu-buru, ia tak tahu lagi ke mana kedua anak itu. Mereka menghilang.

Setelah mengedrop LaCaze di apartemennya di Cindy Place, Frank pergi ke kantor. Ia berpindah ke mobil patroli yang sehari-hari dikemudikannya, dan kembali ke Kim Anh. Di pinggangnya terselip senjata kedua, sebuah revolver kaliber 38. Sersan Eddie Rantz, penyelia tim penyidik kasus itu belakangan menjelaskan, “Tak pelak lagi, dia kembali ke sana untuk menyelesaikan sisa tugasnya, menghabisi semua saksi.”

Tapi Frank gagal. Ia memang sampai ke restoran, tapi segera disusul beberapa polisi lain. Dengan tubuh menggigil Chau keluar dari ruang pendingin dan langsung merangsek ke dekapan Detektif Yvonne Farve. Melihat Opsir Frank, mulutnya langsung tercekat. Ia hanya bisa bicara bahasa Vietnam.

Frank mengarang cerita, ia sedang minum di dapur ketika terdengar suara tembakan di ruang makan. Ia menyuruh semua anak Vu untuk pergi melalui pintu belakang. “Tapi Ha dan Cuong tidak mau pergi. Mereka tetap di dapur hingga akhirnya tertembak,” katanya.

Kepada penyidik Rantz dan Detektif Marco Demma, Frank bilang, ia kembali ke kantor untuk melaporkan penembakan itu. “Tapi Anda punya ponsel dan radio polisi ‘kan? Lagi pula, kenapa Anda meninggalkan petugas yang tertembak?” tanya Rantz.

“Rasanya mau muntah mendapati kenyataan, dialah pelakunya,” sambung Rantz. Tak lama kemudian, Chau yang sudah lebih tenang, datang. Dengan terbata-bata ia menceritakan kesaksiannya. Kali ini dalam bahasa Inggris.

Inspektur Polisi Richard Pennington yang juga geram berkata, “Kita akan jerat perempuan sundal ini dengan tiga tuduhan pembunuhan tingkat pertama.” Dalam penyidikan lanjutan Frank bilang, “Saya terpaksa menembak Ha dan Cuong Vu karena dipaksa Rogers LaCaze.”

Perampokan itu, tambah Frank, sepenuhya gagasan LaCaze. Pemuda itu sudah bicara soal perampokan sejak beberapa minggu sebelumnya. Frank mendiamkan saja karena tak tahu harus berbuat apa. Soal penembakan, Frank mengakui hanya menembak kedua kakak beradik itu, bukan Ronnie Williams. Tapi belakangan penyelidikan balistik membuktikan bahwa proyektil peluru yang menewaskan Williams juga 9 mm, sama dengan peluru yang menewaskan Ha dan Cuong.

Polisi membekuk LaCaze di apartemen kakaknya di Gretna hanya beberapa jam setelah perampokan. Belakangan penyidik mengetahui bahwa 45 menit setelah meninggalkan Kim Ann, LaCaze mengisi bensin senilai AS $ 15 di SPBU yang terletak tiga blok dari apartemen kakaknya, menggunakan kartu kredit Ronnie Williams. la juga bilang, saat masuk ke restoran ia memang membawa senjata, tapi tidak menembakkannya sama sekali. Yang menembak ketiga korban adalah Antoinette Frank.

 

Setelah usai keributan

Sidang Rogers LaCaze dimulai pada Juli 1995. Dia tak mau didampingi pengacara. Padahal pemuda putus SMU, yang belakangan diketahui IQ-nya hanya sedikit di atas 70, itu perlu argumen yang lebih cerdas untuk membela diri, seburuk apa pun perbuatannya. Apalagi ia berhadapan dengan Glen Woods, jaksa kawakan dengan argumen tajam, yang berpengalaman memengaruhi pendapat juri.

“Meski saya bersalah, saya tak pantas mati,” kata LaCaze pelan. “Saya sama sekali tak menarik pelatuk dan membunuh orang-orang itu. Saya bahkan tak kenal mereka.”

Tapi kata “orang-orang itu” dijadikan senjata oleh Woods untuk “membunuh” LaCaze. “Orang-orang itu adalah manusia. Mereka punya kehidupan, punya keinginan, punya impian. Anda menghilangkan semua itu dalam sekejap,” kata Woods. Juri setuju argumen Woods dan merekomendasikan hukuman mati bagi LaCaze.

Pengadilan Frank digelar dua bulan kemudian. Jaksa Glen Woods dan Elizabeth Teel bergantian membacakan tuduhan, memohonkan hukuman mati bagi tiga pembunuhan tingkat pertama. Sebaliknya, tim pengacara Frank frustrasi karena dari hampir 40 saksi yang diajukan, tak seorang pun muncul di persidangan. Kata Woods, “Kalau terdakwa seperti Antoinette Frank bisa lolos dari hukuman mati, pengadilan ini akan dikira akal-akalan semata.”

Oktober 1995, Hakim Frank Marullo memvonis hukuman mati dengan suntikan bagi Antoinete Frank. LaCaze pun bernasib sama. New Orleans tenang. Keresahan masyarakat soal polisi jahat dan pembunuh berdarah dingin, dengan cepat mereda.

Sebulan berselang, seekor anjing menemukan serpihan tulang manusia di tempat yang dulunya merupakan bagian bawah rumah Frank. Ditemukan juga tengkorak kepala berlubang sebesar peluru. Selama beberapa waktu, Frank memang tinggal di rumah itu bersama ayahnya. Sekitar 1,5 tahun sebelum tragedi Restoran Kim Anh, Frank melaporkan ayahnya menghilang. (Chuck Hastmyre)


Baca Juga: Untung Ada 2 Saksi Mata

 

" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517248/darah-polisi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665342926000) } } }