array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400896"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/ok-ok_jonathan-kemperjpg-20220803014931.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(145) "Oscar dan Oliver sudah tinggal bersama selama 6 tahun. Agar bisa lepas dari Oliver dan hidup bersama tukang kebunnya, ia merencanakan pembunuhan."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/ok-ok_jonathan-kemperjpg-20220803014931.jpg"
      ["title"]=>
      string(7) "OK & OK"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 13:49:52"
      ["content"]=>
      string(34885) "

Intisari Plus - Oscar dan Oliver sudah tinggal bersama selama 6 tahun. Agar bisa lepas dari Oliver dan hidup bersama tukang kebunnya, ia merencanakan pembunuhan.

-------------------

“Kamu ‘kan akan pulang lebih awal sore ini, Yang?” tanya Oscar ketika Oliver hendak meninggalkan rumah Kamis pagi itu. “Hari ini ‘kan ulang tahun keenam kebersamaan kita,” Oscar mengingatkan.

Teman hidupnya yang sama-sama pria juga tersenyum. 

“Tentu! Jangan lupa memesan tempat di restoran untuk pukul 20.30.”

Oscar pun melambaikan tangan kirinya yang dililit gelang rantai emas 22 karat. Gelang itu hadiah ulang tahun “perkawinan” dari Oliver. Harganya mahal.

la mengawasi Oliver naik ke mobil dan menunggu sampai teman hidupnya itu lenyap dari pandangan. Kalau rencana Oscar berjalan lancar, inilah terakhir kalinya ia melihat Oliver dalam keadaan hidup.

 

Asmara di dalam bus

Enam tahun sebelumnya, Oscar bertemu dengan Oliver di dalam bus tingkat nomor 14 yang sedang lewat di depan Toserba Harrods di London. Dua atau mungkin tiga menit setelah dilirik-lirik Oscar, Oliver baru sadar ia ditaksir. Ia balas melirik dan Oscar pun pindah duduk ke sebelahnya.

Ketika bus melewati Hyde Park Corner, mereka sudah bertukar nomor telepon dan menyadari bahwa inisial mereka sama. Oliver Knight dan Oscar Knudsen. OK.

“Aduh, dasar jodoh!” pikir Oscar. Oliver-lah yang menelepon duluan malam itu. Keesokan harinya, sesuai dengan janji, mereka bertemu di sebuah restoran Italia di South Kensington, tidak jauh dari flat yang ditempati Oliver. Oscar menempati kamar yang jauh lebih sederhana di West Kensington. 

Dalam pertemuan itu Oscar mengetahui, Oliver berumur 32 tahun, jadi 6 tahun lebih tua. Oliver menyatakan belum bisa melupakan kepahitan pernikahannya yang gagal. Namun, dalam mencari nafkah ia beruntung karena pada usia semuda itu ia sudah menjadi salah seorang direktur Suntravel, sebuah biro perjalanan di London. 

Oscar memberi tahu teman barunya bahwa ia keturunan Denmark, walaupun dilahirkan dan dibesarkan di Inggris. Ia bekerja di bagian promosi sebuah majalah. Gajinya kecil sehingga ia tidak senang bekerja di situ.

Seminggu kemudian Oscar pindah ke flat Oliver dan sejak itu mereka hidup bersama. Dua tahun lalu, Oliver mendapat warisan £ 100.000 dari neneknya sehingga bisa membeli sebuah rumah yang memiliki kebun, Maple Cottage, ± 7,5 km dari Dorking. Oscar ikut pindah. Waktu itu ia sudah lama berhenti bekerja. Ia mengurus rumah seperti layaknya seorang ibu rumah tangga.

Tampaknya mereka pasangan yang cukup serasi. Cuma saja Oscar sangat pencemburu, walaupun keduanya diam-diam suka menyeleweng. Oscar menemui pria lain kalau Oliver sedang bekerja. Oliver mencari pria lain sepulang bekerja. Kalau terlambat pulang, ia memberi alasan lembur kepada teman hidupnya.

Sejak beberapa minggu terakhir ini, dua kali seminggu datanglah tukang kebun yang masih muda dan ganteng untuk merawat taman Maple Cottage. Oliver belum pernah melihat rupa tukang kebun itu. Kalau ia bertanya kepada Oscar, teman hidupnya itu berkomentar, “Orangnya bau pupuk kandang. Untung ia tidak bekerja di dalam rumah!”

Padahal, sejak bertemu dengan Keith Offingham yang gagah dan tampan itu, siang malam kepala Oscar selalu dipenuhi angan-angan mesra bersama si KO. Api asmara mendorong Oscar untuk mengajak si KO bersekongkol menyingkirkan Oliver dari muka bumi.

 

Warisan cuma kaus bekas

Menurut perhitungan Oscar, hari Kamis itu paling lambat pukul 11.00 Keith sudah selesai melaksanakan rencana jahat mereka. Ceritanya Keith akan mengenakan wig berwarna gelap untuk menyembunyikan rambutnya yang pirang. Ia juga akan mengenakan kumis palsu. Ia akan menunggu Oliver di tepi jalan yang biasa dilewati direktur Suntravel itu dalam perjalanan ke kantornya di London, dan akan menyetop mobil Oliver. Lalu, ia berpura-pura meminta tumpangan.

Supaya penampilannya meyakinkan sebagai penebeng kendaraan sejati, ia akan membawa ransel dan mengenakan sepatu bot. Oliver memang senang memberi tumpangan kepada para penebeng semacam itu.

Kalau mereka tiba di jalan yang sepi, Keith akan pura-pura kebelet dan pada saat itulah pria berperawakan kekar itu akan mencekik Oliver yang semampai. Mayat Oliver akan diletakkan di bangku belakang dan ditutupi dengan selimut, lalu Keith akan mengendarai mobil korbannya sejauh ± 10 km, yaitu ke tempat bekas tambang batu. Tambang yang sudah ditinggalkan itu kini penuh genangan air. Mayat Oliver akan dibuang ke dalamnya. Mobil Oliver akan ditinggalkannya di tempat lain, yaitu tempat ia sudah menaruh sepedanya. Dari situ ia akan menggenjot sepeda ke tempat mobilnya sendiri diparkir. Setelah itu ia akan melapor kepada Oscar.

Sambil menunggu Keith di Maple Cottage, Oscar mengurus rumah seperti biasa. Cuma saja hatinya betul-betul gelisah. Ia tak henti-hentinya merokok dan mereguk kopi.

Terbayang olehnya Keith yang muda, tampan, dan perkasa. Si KO belum lama keluar dari penjara setelah menjalani hukuman karena melakukan tindak kekerasan. Tidak sulit membujuknya untuk membunuh, asal imbalannya cukup besar. Karena itulah, Oscar tidak ayal memberi tahu Keith bahwa dulu ia bersama-sama membuat surat wasiat dengan Oliver. Oliver mewariskannya seluruh harta bendanya kepada Oscar dan Oscar mewariskan seluruh miliknya kepada Oliver. “Tapi kalau saya mati duluan sih yang dia dapat hanya beberapa baju kaus bekas,” gurau Oscar.

Oscar meyakinkan Keith, kalau warisan Oliver sudah diperolehnya, hidup mereka berdua pasti terjamin.

 

Semua OK

Oscar tidak tahan menunggu. Jadi pukul 10.30, ia menelepon sekretaris Oliver yang memang dikenalnya.

“Ruth, boleh saya berbicara sebentar saja dengan Oliver?” 

“Pak Knight tidak masuk, Pak Knudsen,” jawab Ruth.

Oliver nyengir kegirangan. Katanya kemudian, “Macet di perjalanan barangkali. Setiap hari lalu lintas bertambah padat saja.”

“Beliau memang tidak akan masuk hari ini,” jawab Ruth. 

“Tidak akan masuk?” tanya Oscar dengan suara bergetar.

“Tidak. Beliau cuti mulai kemarin dan baru akan bekerja lagi Senin depan.” 

Oscar terhenyak. Oliver tidak pernah bercerita ia akan cuti! Setelah menggumamkan beberapa kata, ia menaruh gagang telepon.

Kalau Oliver tidak masuk sejak kemarin, ke mana saja dia? Bukankah ia meninggalkan rumah seperti biasa dan pulang seperti biasa pula? Kecemburuan Oscar bangkit. Namun, kekhawatiran yang besar berhasil mengalahkannya. Kalau Oliver tidak pergi ke kantornya di London, apakah ia lewat di jalan tempat Keith menunggu? Apakah saat ini Keith masih sia-sia menunggu di sana?

“Ah,” pikir Oscar kemudian. “Kalau Oliver tidak lewat di situ ‘kan mestinya Keith sudah melapor lewat telepon.”

Dua setengah jam setelah Oliver berangkat, Keith belum juga memberi kabar. Tiba-tiba saja Oscar yang sedang senewen itu jadi naik pitam kepada Oliver. Hm! Teman hidupnya itu rupanya diam-diam punya pacar!

Waktu berlalu dengan lambatnya. Baik Keith maupun Oliver tidak muncul juga. “Aduh bagaimana kalau malah Keith yang tewas di tangan Oliver?” pikir Oscar. “Atau bagaimana kalau Keith terpikat pada Oliver dan bersekongkol meninggalkannya?”

Pada saat Oscar hampir histeris, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Keith keluar dari dalamnya. Oscar berlari membukakan pintu. 

“Semuanya OK?” tanya Oscar dengan tegang. Keith mengangguk.

“Ya, ampun! Saya sudah ketakutan setengah mati!” 

Begitu menutup pintu Oscar merangkul Keith erat-erat. Keith menerima pelukan itu tanpa semangat. Memang ia bukan orang yang biasa memperlihatkan emosi. Kelebihannya adalah kekuatan fisiknya.

“Semua rencana berjalan mulus?” tanya Oscar ketika sudah berada di dapur. 

“Pokoknya rapi.” 

“Di mana Oliver sekarang?” 

“Sepuluh meter di bawah permukaan air kotor.” 

“Mobilnya?” 

“Di tempat yang kita rencanakan.” 

“Kamu tidak mendapat kesulitan men... menanganinya?” 

“Tidak.”

“Apa yang kalian percakapkan di mobil?” tanya Oscar dengan bawelnya. 

“Dia cuma bertanya, saya dari mana dan mau ke mana.” 

“Ia tidak berusaha memacari kamu?” tanya Oscar genit tapi senewen. 

“Ya, enggaklah ‘kan baru pukul 08.00? Dia tidak seperti kamu.” 

“Kamu tidak mengalami kesulitan mencopot penyamaranmu dan menyingkirkan ranselmu?” 

Keith mengangguk. “Sudah saya bilang, semuanya beres.”

“Oliver menceritakan ke mana ia akan pergi?” 

“Katanya sih, ke London.” 

“Ke Londonnya ke mana?” Keith menggeleng. “Pokoknya ke mana pun ia berniat pergi ‘kan sekarang sudah tidak bisa lagi.” 

Keith mereguk seluruh isi cangkirnya dan beranjak pergi.

 “Tidak beristirahat ke kamar dulu?” tanya Oscar penuh harap.

“Saya ke sini ‘kan untuk mengurusi kebun. Tetanggamu yang usil akan bertanya-tanya apa saja yang saya lakukan kalau lama-lama di dalam.”

“Ah, dia tidak ada di rumah.” 

Namun Keith keluar juga setelah mengedipkan sebelah matanya kepada Oscar. Jantung Oscar berdebar-debar dibuatnya.

Keesokan paginya, begitu biro perjalanan Suntravel buka pintu, mereka ditelepon Oscar. 

“Saya khawatir Ruth, Oliver tidak pulang,” kata Oscar. “Dia juga tidak menelepon,” sambungnya. “Kamu tahu ke mana dia pergi?”

“Saya tidak tahu, Pak Knudsen. Seperti sudah saya katakan kemarin, beliau cuti sampai hari Senin.” 

“Ia tidak memberi tahu ke mana akan pergi?”

“Tidak! Katanya, ada urusan pribadi.” 

“Di mana ya, dia?” tanya Oscar dengan nada dicemas-cemaskan. “Padahal menurut rencana, semalam kami akan makan di restoran untuk merayakan peristiwa penting. Saya khawatir ia mengalami kecelakaan.” 

“Memang aneh, ya?” kata Ruth. “Coba saya tanyakan kepada orang-orang di kantor. Barangkali ada direktur lain yang tahu. Saya akan menelepon Anda beberapa menit lagi.”

“Terima kasih Ruth. Saya cemas sekali, nih!” 

Sepuluh menit kemudian Ruth menelepon.

“Saya sudah bertanya kepada Pak Parker maupun Bu Satcheel tapi tampaknya Pak Knight tidak memberi tahu mereka ke mana ia pergi. Pak Parker menyarankan agar Anda melapor saja ke polisi kalau besok belum ada kabar juga. Beliau juga berpesan agar jangan ragu-ragu menelepon beliau di rumah pada akhir minggu kalau perlu.”

“Tolong disampaikan kepada beliau, saya akan segera menghubungi polisi. Saya tidak sabar menunggu sampai 24 jam lagi. Siapa tahu terjadi hal yang tidak diinginkan ...” kata Oscar lirih.

Oscar memang menelepon polisi. Polisi mencatat ciri-ciri Oliver, nomor kendaraannya dan berjanji akan menghubungi Oscar begitu mereka tahu sesuatu tentang Oliver.

Malam itu ketika hari sudah gelap, Keith menjemput Oscar. Oscar menyesali Keith karena mereka bertemu dengan bersembunyi-sembunyi begitu....

“Kita ‘kan tidak boleh mengambil risiko. Jangan sampai orang melihat kita berduaan sebelum semuanya beres,” kata Keith.

“Senin saya akan ke pengacara agar ia cepat-cepat bertindak.” 

“Ia tidak bisa apa-apa sebelum mayat ditemukan.” 

“Pasti polisi sudah mulai mengaduk-aduk kolam dan danau di daerah ini,” kata Oscar. Lalu ia merebahkan kepalanya di bahu Keith. “Bilang dong, kamu mencintai saya. 

“Ah, jangan ngomong yang bukan-bukan!” 

“Apa sih maksudmu?” tanya Oscar tersinggung. 

“Kalau saya tidak menyukai kamu, mana mau saya bersusah-susah membunuh orang kemarin.”

“Tapi kamu mencintai saya ‘kan? Bukan cuma menyukai?” 

“Astaga! Cukup! Cukup!” 

Oscar merajuk tapi berseri-seri lagi ketika Keith menyatakan akan datang mengurusi kebun pada hari Sabtu.

Sore itu Keith membongkar sepetak tanaman dan Oscar pura-pura mencabuti rumput dekatnya, sementara matanya tidak pernah lepas dari otot-otot Keith yang kekar.

“Telepon berbunyi,” kata Keith. 

Dengan enggan ia beranjak dari sisi pujaannya. 

“Pak Knudsen?” suara seorang pria dari ujung kabel. 

“Ya, betul.” 

“Ini Sersan Detektif Claymore. Anda menelepon saya kemarin, melaporkan Pak Knight hilang. Kata Anda, ia tinggal di alamat yang sama dengan Anda.” 

“Betul.” 

“Kami menemukan mobilnya tapi orangnya tidak ada.”

“Di mana mobilnya?” 

“Di hutan Effingham, mobil itu terkunci dan tampaknya tidak pernah dijamah orang sejak ditinggalkan.” 

“Tasnya ada di mobil?” 

“Tidak ada! Rupanya ia bawa. Ini memperkuat dugaan bahwa ia masih hidup dan dalam keadaan sehat walafiat. Kalau ia ingin bunuh diri untuk apa ia membawa tasnya? Pokoknya, tidak ada tanda-tanda bahwa ia meninggal.”

“Jadi, ke mana dong dia?” tanya Osar dengan putus asa. 

“Anda mestinya lebih tahu daripada saya. Anda ‘kan kenal dia, saya tidak.” 

“Saya yakin ia mengalami hal yang tidak diinginkan. Ia meninggalkan rumah untuk berangkat ke tempat kerja. Ia tidak pernah tiba dan mobilnya ditemukan bukan di rute yang biasa dilaluinya. Ia orang yang sistematis, teratur.”

Sersan polisi tetap tidak mau percaya bahwa Oliver mengalami malapetaka dan tidak mau mengadakan pencarian. 

Ketika kembali ke kebun Oscar bertanya kepada Keith, “Kamu apakan tasnya?”

“Saya masukkan batu dan lempar ke dalam air.” 

“Lebih baik kamu tinggalkan di mobil. Lebih baik lagi kalau kamu tinggalkan tanda-tanda pergulatan.” 

“Percuma saja memberi saran yang terlambat,” jawab Keith dengan nada tidak bersahabat.

“Saya bukan mencela,” kata Oscar buru-buru. “Tapi, kita mesti bisa mendorong polisi untuk menemukan mayat Oliver. Sekarang sih polisi cuma mengira Oliver meninggalkan saya.” 

“Pergi sana, buatkan aku teh,” perintah Keith. 

Hari Minggu merupakan saat yang membosankan bagi Oscar. la cuma bisa menenggak kopi kental. Makin lama ia makin tegang. Saat itu, Keith sedang mengunjungi neneknya yang membesarkan dia. Oscar sebenarnya ingin ikut tetapi Keith tidak mau dibuntuti. Terpaksa Oscar harus puas dengan janji ditelepon.

Pukul 20.00, pada saat Oscar sudah hampir menjerit histeris, Keith menelepon. Oscar memintanya datang. Dengan enggan Keith muncul juga pada malam hari.

Keesokan paginya, Oscar menelepon pengacara. Bukan pengacara Oliver melainkan pengacara kenalannya. 

“Peter saya ingin minta nasihat,” katanya. “Saya risau sekali karena Oliver lenyap. Ia pergi bekerja seperti biasa hari Kamis lalu tapi tidak pernah tiba di kantor dan tidak ada kabar beritanya lagi. Polisi menemukan mobilnya tapi Oliver tidak ketahuan ke mana. Saya takut ia mengalami hal yang tidak diinginkan.”

“Maksudmu, kamu takut dia tewas?” 

“Ya,” kata Oscar. 

“Polisi sudah mencari?” 

“Belum, karena kata mereka tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.” 

“Nasihat apa yang kamu inginkan dari saya?”

“Berapa lama Oliver baru bisa dinyatakan meninggal?” 

“Tujuh tahun. Kalau ia meninggal, mayatnya ‘kan mestinya ditemukan. Kalau tidak ditemukan, setelah ia lenyap selama 7 tahun baru kamu bisa meminta agar ia dinyatakan sudah meninggal.”

Oscar tertegun dan gemetar. Tujuh tahun? Satu-satunya jalan hanyalah membantu polisi menemukan mayat Oliver. 

Oscar lantas memberanikan diri menelepon Sersan Claymore yang ganteng dan langsing itu.

“Sudah ada berita baru tentang Oliver Knight?” tanyanya. 

“Menyesal sekali tidak ada.” 

“Saya ingat, saya belum memberi tahu Anda bahwa ia tidak masuk kantor sejak hari Rabu.” 

“Saya sudah diberi tahu direktur lain di kantornya.”

“Oh, saya kira Anda belum menghubungi kantornya.” 

“Tentu saja sudah, untuk pengecekan rutin.” 

“Saya lupa bilang, akhir-akhir ini ia tampak tertekan. Karena itulah saya khawatir ia .. melakukan sesuatu yang drastis.” 

“Bunuh diri maksud Anda?”

“Ya, itulah yang saya khawatirkan.” 

“Orang bunuh diri ‘kan tidak perlu paspor.” 

“Paspor?” 

“Ya. Kata salah seorang rekan direkturnya, ketika meninggalkan kantor pada hari Selasa, ia membawa paspornya yang biasa disimpan di laci meja tulisnya.” 

“Aneh!” kata Oscar yang merasa hatinya seperti akan copot. 

“Aneh ataupun tidak, hal itu tidak menunjukkan ia bermaksud bunuh diri. Tampaknya ia merencanakan akan bepergian ke luar negeri. Ia tidak pernah menceritakannya kepada Anda?”

“Tidak,” jawab Oscar yang ingin sekali mengakhiri percakapan. Namun, Sersan Claymore masih terus mengoceh. 

“Saya sudah menghubungi pengacaranya. Ternyata, Pak Knight baru saja mengubah surat wasiatnya. Anda masih di situ, Pak Knudsen?”

“Ya, masih,” jawab Oscar dengan kepala seperti melayang-layang. 

“Anda tidak tahu?” 

“Tidak!” 

“Hal itu menyebabkan kami menganggap Pak Knight berada entah di mana dalam keadaan sehat walafiat. Jadi, Anda tidak perlu merisaukannya. Mungkin saya akan segera menghubungi Anda lagi.”

Oscar merasa kepalanya seperti dipukul. “Ada apa sih!” tanya Keith ketika malam-malam muncul. Mulut Oscar laksana senapan mesin ketika memberondongkan pengalamannya hari ini. 

Keith menenggak minuman keras. “Kamu tidak pernah tahu ia mengubah surat wasiatnya?”

“Mana saya tahu!” 

“Sayang, kamu tidak memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. Satu hal harus dijaga: jangan sampai polisi menemukan mayatnya.” 

“Justru harus ditemukan!” 

“Ketahuan dong dia dibunuh. Gila kamu!”

“Tapi ‘kan tidak ada yang bisa mengaitkan kita dengan pembunuhannya. Lagipula bisa saja ia dikira bunuh diri.” 

“Bunuh diri? Dengan tanda bekas cekikan di leher dan saku diberati batu?”

“Bisa saja saya bilang kepada polisi bahwa ia pernah bilang ingin menenggelamkan diri.” 

“Polisi akan mencekik dan menyiksamu.” 

“Saya tidak akan mengaku.” 

“Enak saja! Mereka ‘kan ahli menekan orang. Paling-paling kamu akan menumpahkan kesalahan kepada saya.”

Oscar menjerit genit. “Mana mungkin! Yang saya ingin ‘kan cuma satu: hidup bersamamu sampai mati!” 

Mereka terus berbantah-bantahan. Oscar tidak bisa tidur. Baru sekitar pukul 05.00 matanya terpejam. Tiba-tiba didengarnya dering bel rumah. Setelah menyisir rambutnya dan mengenakan kimono dengan tergesa-gesa, ia membukakan pintu. Saat itu sudah pukul 10.00. Di hadapannya berdiri Sersan Detektif Claymore yang tampan.

“Saya datang untuk bertanya, Pak Knudsen. Mengapa Anda begitu yakin Pak Knight sudah meninggal?”

Oscar kaget juga. “Oh. Kalau orang yang selama 6 tahun hidup bersama Anda tiba-tiba lenyap, Anda akan menyangka yang terburuk. Saya masih tidak percaya ia pergi tanpa pamit seperti itu.”

“Apakah bukan karena Anda ikut berperan dalam peristiwa lenyapnya Pak Knight?” 

“Ikut berperan? Saya ... saya tidak mengerti maksud Anda,” kata Oscar.

“Maksud saya, Anda merencanakan kematiannya.” 

“Jangan main-main!” kata Oscar. “Saya mencintai Oliver. Anda mungkin tidak bisa memahaminya tetapi saya ingin meyakinkan Anda bahwa orang-orang gay mampu mencintai, sama seperti pasangan suami istri.”

“Juga pasti sama mampunya untuk bertengkar dan saling mengelabui,” jawab Claymore. 

“Oliver dan saya tidak pernah bertengkar!”

“Sekarang kita kembali ke persoalan semula. Mengapa Anda begitu gigih untuk meyakinkan saya bahwa teman Anda sudah meninggal?” 

“Cuma karena saya berfirasat buruk.”

“Dari Anda berdua, tentunya dia yang memiliki lebih banyak uang?” 

“Ya.” 

“Kabarnya ia memelihara Anda.” 

“Sama seperti ia memelihara istri.” 

“Apa yang Anda anggap terjadi padanya?”

“Seperti sudah saya katakan di telepon, akhir-akhir ini ia merasa tertekan.” 

“Jadi, ia bunuh diri?” Oscar mengangguk. 

“Menurut dugaan Anda, bagaimana caranya?” 

“Dia pernah bilang, paling gampang sih menenggelamkan diri.” 

“Ia berangkat Kamis pagi seperti biasa, meninggalkan mobilnya di Hutan Effingham dan mencari tempat yang tepat untuk membenamkan diri?” 

Oscar mengangguk. 

“Coba kita kesampingkan dulu kemungkinan bunuh diri. Peristiwa apa lagi yang mungkin menimpanya?” 

“Mungkin saja ia dibunuh,” kata Oscar sambil bergidik.

“Bagaimana ia bisa dibunuh?”

“Dia biasa mengajak orang-orang muda yang ingin menumpang di kendaraannya. Saya sudah bilang berulang kali: perbuatan itu berbahaya. Bisa saja mereka menyerangnya dan mencuri dompetnya. Tapi, ia bandel. Katanya, orang-orang muda itu menarik untuk diajak bercakap-cakap, lebih menarik daripada mendengarkan radio.”

“Anda duga ia dibunuh penebeng kendaraan?” 

Oscar mengangguk. 

“Apabila Anda menduga ia memberi tumpangan, lalu entah mengapa mobil dihentikan di suatu tempat sepi dan si penebeng membunuh Pak Knight dan membuang mayatnya dan mengambil uangnya ..”

“Oliver tak pernah membawa kurang dari £ 200 di dompetnya,” kata Oscar. 

“Tapi ada alternatif lain,” sambung Claymore seraya memandang tajam pada Oscar. “Anda ikut berperan dalam melenyapkannya.... Maksud saya, dalam membunuhnya.”

Oscar menggenggam lengan kursi dan memandang seakan tidak percaya pada Claymore. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. 

“Polisi tidak sebodoh yang diduga sebagian orang.” Sersan Claymmore melanjutkan, “Kami tidak percaya begitu saja pada apa yang disodorkan kepada kami. Kami mengusut, kami menyidik ke sana kemari.”

“Anda menuduh,” kata Oscar akhirnya. “Alasan apa yang bisa menyebabkan saya membunuh Oliver?” 

“Anda ‘kan sudah bilang,” kata Claymore seraya matanya menyapu benda-benda di sekeliling mereka. “Anda mewarisi semua ini dan masih banyak lagi.”

“Mana mungkin. Saya tinggal di rumah sepanjang hari.”

“Saya tidak berkata Anda membunuh Pak Knight. Saya yakin bukan Anda yang melakukannya tetapi Anda ikut memegang peranan. Peran besar. Peran utama.”

Oscar tidak sanggup berpura-pura lagi. Ia panik. “Dalam bahasa hukum, Anda bersekongkol membunuh Pak Knight,” ujar Claymore. 

“Bersekongkol? Bersekongkol dengan siapa?”

“Anda betul-betul ingin jawabannya? Kami sudah menangkap Keith Offingham semalam ketika ia meninggalkan rumah ini. Kami sudah bercakap-cakap lama dengannya dan ia sudah mengakui semuanya.”

“Saya tidak percaya. Bisa saja ‘kan dia berbohong.” 

“Itu hak juri untuk memutuskannya, Pak Knudsen.” 

Oscar menutupi wajahnya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia mengamuk ketika Keith melemparkan tanggung jawab kepadanya dan menjadi saksi yang memberatkan dirinya.

Pada masa itulah Oscar menerima surat berstempel pos Florence. Bunyinya sebagai berikut: 

Untuk Oscar, 

Kamu betul, Keith itu bau pupuk kandang. Saya segera menyadarinya begitu ia masuk ke mobil. Sebagai kekasih mungkin ia hebat, tetapi sebagai calon pembunuh, ia payah. Sebentar saja saya sudah memegang semua kartunya. Ia menyadari betapa gawat situasi yang dihadapinya sehingga ia bersedia menerima rencana tandingan yang tidak menguntungkanmu. Saya akan “lenyap” sebentar, sementara ia berpura-pura telah menjalankan tugasnya. 

Sebenarnya sudah sejak beberapa minggu yang lalu saya menyadari bahwa ia lebih daripada sekadar pencangkul tanah bagimu. Otahmu ‘kan selalu meragukan, Oscar. Tapi sekali ini kamu tambah dengan kenaifan. Rencana rumitmu itu kekurangan detil. Memang kau selalu sembrono. Sebelum saya akhiri, perlu saya beri tahu bahwa kematian saya tidak akan mendatangkan keuntungan apa-apa bagimu. Saya baru saja membuat surat wasiat baru yang tidak menyebut-nyebut namamu. Saya akan kembali ke Inggris sebelum kamu disidangkan. 

Saya yang masih hidup.

OK.

(Michael Underwood)





" ["url"]=> string(50) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400896/ok-ok" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534592000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304216" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/incarannya-perawan-baik-baik_ale-20220603065417.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Saat perjalanan menuju stasiun, Oscar Riedel melihat sesosok tubuh tergolek dengan kaki lebih tinggi dari kepala di kubangan lumpur di tepi jalan." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/incarannya-perawan-baik-baik_ale-20220603065417.jpg" ["title"]=> string(28) "Incarannya Perawan Baik-baik" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:54:42" ["content"]=> string(29961) "

Intisari Plus - Saat perjalanan menuju stasiun, Oscar Riedel melihat sesosok tubuh tergolek dengan kaki lebih tinggi dari kepala di kubangan lumpur di tepi jalan. Awalnya, ia berpikir bahwa orang itu mabuk dan tercemplung ke kubangan. Namun, setelah ditarik tangannya keluar, orang itu adalah wanita yang terbunuh dengan luka berdarah di perutnya.

-------------------------

Oscar Riedel, seorang mandor di pabrik sepatu, berjalan menuju ke Stasiun Kereta Api Rehme. la akan pergi bekerja. Pabrik tempat kerjanya tidak libur pada hari Sabtu, tanggal 8 April 1961 itu. Maklum ekonomi Jerman sedang berkembang pesat dan sebagian pabrik bekerja tujuh hari seminggu. 

Pria setengah umur itu tidak keberatan masuk pada hari Sabtu. Soalnya, ia senang pada pekerjaannya dan mendapat tambahan uang. Lagi pula langit musim semi ketika itu tampaknya secerah musim panas. 

Di tengah perjalanan, Riedel melihat sesosok tubuh tergolek dengan kaki lebih tinggi dari kepala di kubangan lumpur di tepi jalan. Tubuh itu sebetulnya tidak tampak jelas, sebab rumput cukup tinggi di tepi kubangan. Ia pikir, pasti orang itu mabuk, lalu tercemplung ke lumpur. 

Riedel orang baik. Cepat-cepat ia menghampiri untuk menolong. Ketika sudah berada cukup dekat, ia tertegun. Sosok tubuh itu milik seorang wanita muda. 

Wajahnya tertutup oleh roknya yang tersingkap, sehingga kelihatan sekitar perutnya berdarah. Cabikan pakaian tercecer di sekitarnya. Jangan-jangan korban perkosaan, pikir Riedel. 

Lekas-lekas Riedel menarik tangan gadis itu dari kubangan. Sekali lagi ia terkejut. Tangan yang dipegangnya dingin dan kaku. Gadis itu rupanya korban pembunuhan! 

Riedel gemetar. Dengan tersandung-sandung ia berhasil mencapai jalan, lalu berlari sekencang-kencangnya ke Kota Rehme. Lima menit kemudian polisi tahu bahwa untuk pertama kalinya sejak dua generasi, Rehme menghadapi kasus pembunuhan. 

 

Takut pulang sendiri

Rehme terlalu kecil untuk memiliki bagian penyidikan pembunuhan sendiri, sehingga kasus ini ditangani oleh bagian penyidikan pembunuhan di Minden, yang jaraknya sekitar 10 km dari Rehme. 

Empat puluh menit kemudian Inspektur Gerhard Heidel dan asistennya, Sersan Detektif Leopold Eisenbach, tiba membawa dokter polisi Herbert Krause. Sementara dokter memeriksa mayat di tempat pembunuhan, Sersan Eisenbach meneliti tempat itu meter demi meter. 

"Kau perlu orang-orang laboratorium kita, Leo? tanya Inspektur. 

"Rasanya tidak, Pak. Tidak ada apa-apa di sini." 

Kata dokter, korban tewas sekitar tengah malam. Setelah dokter merapikan pakaian korban, Inspektur Heidel bertanya kepada polisi setempat, kalau-kalau mereka tahu siapa gadis itu. 

Gadis berumur 25 tahun itu memang penduduk setempat. la tinggal bersama orang tuanya dan bekerja sebagai pelayan toko. Namanya Ingrid Kanike. Karena Rehme betul-betul kecil, polisi juga tahu, Ingrid tidak punya tunangan maupun pacar. 

"Orangnya menyenangkan, cuma agak gemuk," kata kepala polisi setempat, "sehingga ia repot berusaha menguruskan badan." 

"Saya ingin bertemu dengan orang tuanya," kata Inspektur. "Selain harus diberi tahu, siapa tahu mereka juga bisa memberi keterangan perihal ke mana anak mereka pergi tadi malam dan apa kira-kira yang dilakukan gadis itu semalam." 

Inspektur pergi bersama kepala polisi setempat ke rumah orang tua korban. Ketika mereka kembali, sersan dan dokter sudah menyelesaikan tugas mereka. 

"Saya menemukan tas tangannya," kata Sersan. "Tas itu tertutup. Isinya bawaan wanita biasa. Ada sedikit uang juga. Dari tanda-tanda di tanah tampaknya penyerang menyambar korban, mendorongnya ke kubangan, dan memperkosanya. Ia mati dicekik." 

Menurut dokter, korban tewas setelah perkosaan, tetapi bisa saja pencekikan berlangsung sejak sebelumnya dan pembunuh baru mematikan korban setelah itu. Korban melawan dengan keras. Itu terlihat dari memar pada tubuhnya. 

"Menurut Anda, si pembunuh kira-kira kenal dengan korban atau tidak?" tanya Inspektur kepada dokter. 

"Saya rasa tidak. Ini kejahatan seksual yang hampir klasik. Si pria seorang yang kemungkinan besar hanya mencapai kepuasan dengan membunuh atau sedikitnya menyakiti mitranya secara parah. Orang seperti itu tidak memilih-milih mitra. Siapa saja bisa ia jadikan korban. Gadis sial itu mungkin belum pernah melihat si pembunuh seumur hidupnya.." 

Inspektur tidak mendapat banyak keterangan dari orang tua korban. "Mereka bahkan tidak menyadari anak mereka tidak pulang. Mereka kira anak mereka sudah berangkat kerja sebelum mereka bangun tadi pagi. Kata mereka, gadis itu semalam pamit untuk menonton bioskop di Minden. Biasanya Ingrid itu pulang dengan kereta api yang tiba di sini pukul 00.07." 

"Mungkin si pembunuh menyergapnya ketika ia berjalan pulang dari stasiun," kata dokter. 

"Belum tentu," kata Inspektur. "Menurut orang tuanya, korban takut pulang malam-malam sendirian dari stasiun. Jadi, biasanya ia naik taksi." 

"Lebih baik kita tanyai sopir-sopir taksi," kata Sersan. 

"Baik! Lekas laksanakan. Saya akan minta ambulans untuk mengangkut jenazah. Kau yakin tak ada petunjuk lain di sini?" 

"Yakin, Pak. Tak ada petunjuk sama sekali." 

Sersan mendatangi juga Stasiun Rehme. Pada hari Jumat malam itu diketahui ada 15-2 0 orang dalam kereta api dari Minden yang tiba di Rehme pada pukul 00.07. Tidak seorang pun ingat melihat Ingrid Kanike. 

"Mungkin saja ia tidak naik kereta api itu," kata Sersan Detektif Eisenbach, ketika melaporkan hasil penyelidikannya. "Gadis itu tidak menonjol ataupun menarik perhatian, sehingga mungkin pula orang tidak memperhatikannya." 

Sersan menunggu para sopir taksi yang Jumat malam berada di stasiun. "Seluruhnya ada enam orang. Semua orang setempat. Semua setengah umur. Semua punya istri. Semua sudah jadi sopir taksi selama lebih dari delapan tahun. Tidak ada yang merasa mengangkutnya. Mereka juga tak ada yang cocok dengan pola pembunuhan Ingrid Kanike."

 

Ursula dipecat 

Perkara itu akhirnya terkatung-katung karena menemui jalan buntu. Orang-orang yang ada dalam kereta dan sopir taksi tak ada yang punya alasan untuk dicurigai. Entah kenapa malam itu Ingrid Kanike tidak naik taksi. Peristiwa serupa tak pula pernah terjadi di sekitar tempat itu. 

Dr. Herbert Krause dari kepolisian merasa heran. Seorang pemerkosa yang mempunyai kelainan seperti yang diduganya tidak mungkin merasa puas hanya dengan kematian seorang mitra. Ataukah si pembunuh tidak begitu aktif kehidupan seksualnya, pikir dokter itu. 

Empat tahun berlalu sebelum sekali lagi terjadi pembunuhan misterius atas seorang wanita. 

Korban adalah seorang sekretaris berumur 26 tahun, Ursula Fritz. Ia tidak muncul di kantor hari Senin, tanggal 17 Mei 1965. Ketika sampai hari Jumat ia tidak muncul juga tanpa memberi kabar, perusahaan tempatnya bekerja mengirimkan surat pemecatan ke alamatnya. Dalam surat itu dikirimkan pula cek sisa gajinya. Tidak seorang pun teman sejawatnya mau meringankan kaki menjenguknya. 

Tanggal 25 Mei wanita pemilik flat mengira Ursula Fritz kabur tanpa membayar uang sewa bulan terakhir yang mesti diserahkan tanggal 20 Mei. Wanita itu lantas mempergunakan kunci pas untuk membuka pintu flat. 

Ursula ternyata tidak kabur. Begitu pintu terbuka, wanita pemilik flat mencium bau busuk yang begitu keras sampai ia semaput Sebelah kelopak matanya luka terbentur sisi pintu pada saat ia terjatuh. Begitu sadar kembali, ia merangkak dengan kepala pusing dan muka berdarah ke tingkat bawah. Dari sana ia menelepon polisi. 

Ia tidak tahu apa yang terdapat atau terjadi di flat itu, namun bau busuk mengingatkan dia akan sesuatu yang mengerikan. Peristiwa itu bukan terjadi di Rehme, tetapi di Herford, + 13 km dari Rehme. Inspektur Anton Jech dan Sersan Detektif Dieter Schmidt dari Bagian Penyidikan Kejahatan Kota di Herford tiba tidak lama setelah mendapat laporan dari mobil patroli. Mereka menemukan Ny. Schroeder, pemilik flat, yang sudah bisa menenangkan diri. 

Setelah autopsi dilakukan, dokter menyatakan Ursula Fritz diperkirakan sudah meninggal lebih dari seminggu, sekitar tanggal 15 Mei. Wanita yang ditemukan di ranjang itu korban perkosaan dan mati dicekik. 

"Bagaimana kau bisa yakin? Mayat itu sudah begitu membusuk," kata Inspektur. Dokter bisa memberi alasan dengan bukti-bukti. Diketahui pula wanita itu melawan. 

Dari keterangan orang-orang yang kenal dengan korban, diketahui Ursula Schmidt tidak punya pacar atau teman pria yang pernah berkunjung ke kamar sewaannya.

 

Seperti kebanyakan makan wortel 

Namun, pembunuh diduga masuk tanpa kekerasan. Ada tujuh puntung rokok di asbak dan cuma empat korek api bekas pakai. Di kain penutup kasur ditemukan juga serat-serat dari kain serge kelabu seperti yang biasa dipakai untuk bahan pakaian pria. Pasti Ursula Schmidt tidak menduga pria itu akan berbuat jahat. 

"Sulitnya, tak seorang pun bisa menyebutkan siapa pria yang cukup dikenal oleh korban," kata Inspektur. Dokter mempunyai saran. "Kalau saya jadi Anda, saya akan memusatkan perhatian pada orang-orang yang tercatat pernah melakukan kejahatan seksual," katanya. 

"Ini semua memperlihatkan tanda-tanda kejahatan seksual dengan mempergunakan kekerasan. Pelakunya seorang gadis yang hanya bisa memperoleh kepuasan lewat penderitaan mitranya. Saya berani bertaruh, ini bukan perbuatannya yang pertama." 

"Kirim edaran pada semua kantor polisi di seluruh Jerman, Dieter," perintah Inspektur kepada asistennya. Tanyakan kalua-kalau ada yang pernah menghadapi kasus serupa. Tapi belum terpecahkan." 

Polisi Minden memberi jawaban bahwa mereka mempunyai kasus serupa yang belum terpecahkan. "Kasus yang Anda gambarkan hampir identik dengan yang kami hadapi bulan April 1961 di Rehme," kata Inspektur Heidel lewat telepon kepada Inspektur Jech. 

Cuma bedanya, kasus Ursula Fritz ini banyak menunjukkan jejak yang bisa dilacak. Jadi Heidel minta agar ia boleh mendapat semua salinan berkas kasus ini. 

Mengingat Rehme cuma sekitar 13 km dari Herford, bukan tidak mungkin kedua kasus ini berhubungan. "Dengan kerja sama mungkin kita lebih mudah menemukan pemecahan," kata Heidel. 

Surat-surat kabar pun menghubung-hubungkan kasus Ursula Fritz dengan kasus Ingrid Kanike yang terjadi empat tahun sebelumnya. Banyak wanita dan gadis takut keluar rumah setelah gelap dan polisi juga menerima banyak kritikan. 

"Jangan kecil hati oleh kritikan”, kata Inspektur Jech kepada anak buahnya. "Namun, sebaiknya wanita memang jangan keluar sendirian malam-malam." 

Berkas Kanike ternyata tak menolong dalam pengusutan. Kasus Fritz pun tampaknya bakal menemui jalan buntu. 

Sebulan sesudah mayat Ursula Fritz ditemukan di Herford, polisi Rehme menangkap seorang tukang daging yang sedang menganggur. Pria berumur 34 tahun itu mencoba memperkosa seorang gadis berumur 14 tahun dekat Stasiun Kereta Api Rehme. 

Gerd Simmon yang ditangkap itu bukan penduduk setempat. Orang lantas ramai menuduhnya sebagai pemerkosa merangkap pembunuh Ingrid Kanike serta Ursula Fritz. Kalau saja Sersan Eisenbach kurang gesit melindunginya dan membawanya pergi ke Minden, Simmon mungkin mati dikeroyok penduduk Rehme. 

Simmon segera diinterogasi secara saksama oleh Inspektur Jech maupun Heidel. Ia tidak menyangkal mencoba memperkosa gadis berumur 14 tahun. Ia juga tidak menyembunyikan kenyataan bahwa sudah empat kali ia ditahan gara-gara mencoba memperkosa anak. Tidak pernah ia berhasil, tetapi dua kali ia dihukum. Sekali ia mendekam 2,5 tahun di penjara dan sekali lagi 3 tahun 3 bulan. Namun, ia membantah membunuh Ingrid Kanike dan juga bersikeras bahwa seumur hidupnya belum pernah ia menginjak Herford. 

Penampilan Simmon memang tidak menguntungkan, karena agak aneh. Rambut dan kulitnya merah seperti kebanyakan makan wortel, sedangkan lengannya panjang dan tangannya besar. la juga kelihatan bermental baja. la tenang-tenang saja diinterogasi dua orang inspektur. 

Betul ia penjahat seksual, katanya, karena ia tidak bisa mengendalikan diri. Namun, ia mengaku tidak pernah membunuh seorang pun. Akhirnya, polisi jadi lebih lelah daripada Simmon. Tukang daging itu pun dipindahkan ke sel untuk diperiksa lebih lanjut sehubungan dengan percobaan pemerkosaan di Rehme.

 

Bukan gadis genit 

Inspektur Heidel mengundang Inspektur Jech dan dr. Krause serta dr. Schoenauer untuk beristirahat di kantornya sambil minum teh. 

Dr. Krause berpendapat, Gerd Simmon bukan orang yang mereka cari. Dr. Schoenauer pun sependapat. 

"Ia tercatat tidak pernah berhasil. Mungkin memang ia tidak mampu," katanya. 

"Betul," dr. Krause menimpali, "padahal pembunuh Ingrid Kanike dan Ursula Fritz terbukti sangat mampu." 

Inspektur Heidel percaya pada pendapat kedua ahli itu, "Untuk pengecekan terakhir, saya pikir sebaiknya kita tanyai lagi orang-orang yang ada dalam kereta api dari Minden ke Rehme pada malam Ingrid terbunuh. Siapa tahu ada yang mengenali foto Simmon. Simmon bukan orang yang mudah dilupakan." 

"Kita juga menanyai para sopir taksi," kata Sersan Detektif Eisenbach. "Jangan lupa juga menanyai wanita pemilik flat yang disewa Ursula Fritz dan teman-teman sejawat Fritz," saran Inspektur Jech. 

Ternyata usaha ini pun hasilnya nol. Simmon diadili karena mencoba memperkosa gadis di bawah umur dan ia dijatuhi hukuman penjara dua tahun. 

"Apakah kita menyerah sekarang?" tanya Sersan Detektif Schmidt. Atasannya masih mau mencoba. Sebelum merelakan kasus pembunuhan itu sebagai kasus tak terpecahkan, mereka memeriksa berkas dengan teliti. Diketahui ketika polisi Minden menanyai para sopir taksi di Stasiun Rehme untuk kedua kalinya, salah seorang di antara sopir taksi itu menceritakan hal yang berbeda daripada yang pertama kali ia akui pada kasus Kanike. 

"Telepon Minden. Beri tahu mereka. Rehme merupakan daerah tanggung jawab mereka," perintah atasannya. 

Sopir taksi bernama August Fennel itu berumur 54 tahun dan sudah beristri. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Rehme. Sudah hampir dua puluh tahun lamanya ia menjadi sopir taksi. 

"Kami mempunyai bukti positif di sini bahwa Anda memberi keterangan palsu kepada polisi," gertak Inspektur Heidel. "Salah satu versi yang Anda berikan pasti palsu. Saya bisa menuntut Anda. Saya bahkan bisa menahan Anda dengan alasan dicurigai membunuh Ingrid Kanike. Lebih baik Anda ceritakan apa yang sebenarnya terjadi tanggal 7 April 1961 malam. Mungkin Anda tidak perlu dituntut."

 Fennel gelisah. "Soalnya, saya tidak mau terbawa-bawa," katanya. "Saya juga takut disalahkan." 

"Anda akan disalahkan, kalau tidak menceritakan yang sebenarnya terjadi." 

"Saya ada di stasiun, ketika kereta pukul 00.07 tiba," kata Fennel. Gadis Kanike itu naik ke taksi saya. Saya mengenali dia, sebab sebelumnya saya pernah beberapa kali mengantarkannya ke rumahnya, tapi saya baru tahu namanya setelah ia terbunuh. Malam itu ia tidak sendirian, padahal sebelumnya ia selalu sendiri. Sekali itu ia naik taksi bersama seorang pria." 

"Bagaimana rupanya?" potong Inspektur. "Anda kenal dia atau pernah melihatnya sebelum dan sesudah peristiwa itu?" 

"Saya tidak memperhatikan wajah orang itu. Yang saya tahu, ia tampan dan masih muda. Paling-paling umurnya 30 tahun. Ia bukan orang Rehme dan saya cuma melihatnya sekali itu saja." 

"Baik. Nanti saya minta Anda melihat sejumlah foto. Siapa tahu salah satu di antaranya Anda kenali sebagai foto orang itu. Sekarang silakan teruskan cerita Anda. Anda mengantarkan gadis itu ke rumahnya?" 

"Tidak," jawab si sopir taksi dengan gelisah. "Pada saat tiba di tempat yang kemudian menjadi tempat mayat ditemukan, pemuda itu menyuruh saya menghentikan taksi. Ia membayar semua ongkos dan mereka keluar. Itulah semua yang saya ketahui." 

"Apakah gadis itu kelihatan ketakutan, ataukah ia keluar dari taksi dengan sukarela?" tanya Inspektur Heidel. 

"Sepanjang yang saya ingat, ia keluar dengan sukarela. Mereka mengobrol selama dalam taksi dan tampaknya cukup akrab. Cuma saja ia tidak menyebut lawan bicaranya dengan du (kau, kamu)." Du adalah bentuk akrab yang dipakai di antara kawan baik, sanak keluarga, dan anak-anak di Jerman. 

Fennel dibebaskan setelah diberi peringatan keras. "Kalau saja Anda menceritakan apa yang sebenarnya terjadi empat tahun yang lalu, Ursula Fritz mungkin masih hidup sekarang," kata Heidel dengan keras. Kerugian lain ialah ingatan Fennel akan wajah si pemuda yang setaksi dengan Ingrid Kanike juga sudah pudar sekarang.

 

Dukun turun tangan 

Inspektur Jech diberi tahu. "Artinya, pemuda itu bukan orang yang betul-betul asing bagi Ingrid Kanike," kata Jech sambil berpikir. "Orang itu mestinya cukup dikenal, sehingga ia mau diajak naik taksi bersama, tetapi tidak cukup akrab untuk dipanggil dengan sebutan du." 

Inspektur Heidel sudah merekonstruksi kehidupan Ingrid Kanike. Tidak terlalu sulit. Gadis itu tinggal bersama orang tuanya. Ia cuma pernah kerja di satu tempat. Teman-teman wanitanya ialah teman-teman sejak masa sekolah. Ia bukan jenis gadis yang genit, yang senang berbuat ulah atau yang sering berpacaran. 

Fennel, si sopir taksi, pasti mengenali wajah hampir semua orang di Rehme yang kecil itu. Ia tidak mengenal pemuda itu, jadi mungkin orang tua kenalan Ingrid Kanike, penduduk kota lain. 

"Mungkinkah ia berada di kereta api dari Minden yang tiba di Rehme pukul 00.07?" tanya Jech. 

"Ya, saya kira mereka bertemu di kereta," kata Heidel. "Ingrid Kanike agak terlalu montok, sehingga tidak berhasil menarik perhatian para pemuda. Mungkin saja pemuda tampan yang bicaranya sopan itu menegurnya di kereta api, lalu pemuda itu berkata ia juga dari Rehme dan mengajaknya naik taksi bersama. Kemudian si pemuda juga berhasil membujuknya untuk turun di jalan dan berjalan kaki bersamanya sampai di rumah. Romantis sekali buat gadis malang itu." 

"Sungguh menyedihkan," kata Jech. 

Dari sekian banyak penumpang kereta api Minden - Rehme pada tengah malam yang naas itu, ternyata hanya ada empat orang yang umurnya mendekati gambaran Fennel. Dua di antaranya yaitu Otto Johanns dan Emil Bach, berasal dari Rehme. Seorang yang lain adalah Karl Muller, penduduk Minden, dan yang keempat Dieter Beck, dari Bielefeld. Semua bekerja di Rehme dan tiga di antaranya karyawan sebuah pabrik mesin dekat sungai. 

Keluarga Ingrid Kanike pernah memanggil dukun dari Belanda, Gerard Croiset, yang dikatakan bisa memecahkan peristiwa-peristiwa pembunuhan misterius. Menurut Croiset, pembunuh Ingrid Kanike bekerja di pabrik mesin dekat Rehme. Namun bagaimana mencarinya, kalau kita ingat di tempat itu ada beberapa pabrik mesin yang mempekerjakan banyak sekali buruh. 

Jech dan Heidel bekerja sama untuk mengecek dari keempat orang itu pada saat pembunuhan Ursula Fritz terjadi. 

Sersan Eisenbach segera bisa mengeluarkan Otto Johanns dari daftar orang yang dicurigai, karena selama seminggu sekitar waktu pembunuhan Ursula Fritz ia dirawat di rumah sakit. 

Sesudah itu pengusutan menghadapi jalan buntu lagi, sebab ingatan sopir taksi Fennel akan wajah si pemuda sudah kabur. Menurut dr. Krause dan dr. Schoenauer, penjahat seksual seperti pembunuh Ingrid Kanike dan Ursula Fritz (orangnya diduga sama), pasti akan kambuh lagi penyakitnya. Menurut dugaan dr. Krause, jarak waktu kambuh penyakit pembunuh itu empat tahun sekali, tetapi dr. Schoenauer yakin tahun ini juga penyakit si pembunuh pasti kambuh lagi. 

Mereka berdua keliru, sebab tanggal 28 Februari 1968 malam, pemerkosa yang membunuh korbannya itu sudah minta nyawa lagi.

 

Dikenali pelayan 

Leopold Beisel dari Bielefeld pagi tanggal 29 Februari itu menginspeksi jaIan kereta api di Hutan Teutobiirger antara kotanya dan Desa Werther di sebelah barat. Pukul 10.00, ketika ia sudah berhasil menempuh setengah perjalanan, tiba-tiba saja ditemukannya mayat gadis di tepi rel. 

Tadinya Beisel mengira gadis itu mengalami kecelakaan, yaitu melangkah ke luar dari pintu yang dikiranya pintu masuk ke WC. Namun begitu melihat wajah mayat, ia tahu dugaannya keliru. Wanita itu wajahnya lebam, matanya melotot, sedangkan lidahnya terjulur ke luar. Bagian bawah tubuh wanita itu seperti Ingrid Kanike. 

Leopold Beisel termasuk orang yang rajin membaca koran. Ia segera ingat pada pembunuhan atas Ingrid Kanike dan Ursula Fritz. Didatanginya telepon terdekat yang lebih dari 1 km jaraknya, lalu diteleponnya polisi. 

Inspektur Ludwig Pfeiffer dari Bagian Penyidikan Kejahatan Bielefeld datang bersama Sersan Detektif Max Kramer dan dr. Hans Fuchs. 

Laporan Beisel begitu jelas, sampai mereka pun menghubungi Inspektur Jech dan Inspektur Heidel yang diminta ikut datang. Kedua inspektur itu tiba kemudian bersama anak buah mereka, yaitu Sersan Eisenbach, Sersan Schmidt, dr. Krause, dan dr. Schoenauer. 

Inspektur Pfeiffer berpendapat, semua penjahat seksual yang tercatat pada polisi di daerah itu harus discreen dan diperiksa alibinya, sedangkan Inspektur Jech berpendapat sebaiknya masyarakat luas diimbau untuk memberi informasi. 

Para teknisi laboratorium berdatangan dari Bielefeld dan daerah itu diperiksa dengan saksama. Namun yang ditemukan cuma tas tangan si gadis. Isinya biasa. Ada juga kartu pengenalnya. Nama korban itu Anneliese Herschel (21), belum menikah, dan penduduk Werther. Sidik jari pada tas itu hanya sidik jari korban. 

Dalam kantung mantelnya ditemukan korek api dari kertas tebal yang mengiklankan Igloo Bar, Jl. Kon 4, Bielefeld. 

"Periksa ke sana, Max," kata Inspektur Pfeiffer kepada bawahannya seraya menyerahkan korek api itu. 

Sesudah pemeriksaan di tempat mayat ditemukan selesai, korban dikirim dengan ambulans untuk pemeriksaan lebih lanjut. Para polisi berkumpul di Bielefeld. 

Saat itulah Inspektur Jech teringat pada Gerd Simmon. "Dia 'kan dihukum dua tahun penjara, ya? Kalau tidak salah mestinya dia sudah bebas sekarang." Penjara tempat Simmon menjalani hukuman ditelepon. 

"Ya, ia sudah dibebaskan tanggal 16 Februari," Segera telepon dan teleks di kantor polisi seluruh Jerman diaktifkan untuk mencari jejak Gerd Simmon. 

Sementara itu Sersan Kramer kembali ke markas besar untuk melaporkan hasil penyelidikannya. Anneliese Herschel betul berada di Igloo Bar tanggal 28 Februari itu. Ia meninggalkan bar bersama seorang pria. 

Foto-foto Simmon, Fennel (sopir taksi), dan tiga pria muda yang sekereta api dengan Ingrid Kanike segera dibawa ke Igloo Bar. 

Sebelum Sersan Kramer kembali dari bar, para inspektur mendapat kabar bahwa Gerd Simmon sudah diketahui berada di dalam tahanan polisi Bielefeld, karena empat hari yang lalu merayakan kebebasannya terlalu "liar". Hampir saja sebuah bar rusak oleh ulahnya. Jadi, ia tidak mungkin membunuh Anneliese Herschel. 

Sersan Kramer sebaliknya, ia kembali dengan berita baik. Tiga orang, termasuk pelayan Igloo Bar, secara terpisah mengenali orang yang sama sebagai teman pria Anneliese Herschel tanggal 28 Februari malam itu. 

"Siapa dia, Max?" tanya Inspektur Pfeiffer tidak sabar. 

"Dia sekereta api dengan Ingrid Kanike pada malam gadis itu dibunuh. Dieter Beck, penduduk Bielefeld." 

Dieter Beck dijemput dari rumahnya. Ia tidak berusaha menyangkal melakukan pembunuhan atas Ingrid Kanike, Ursula Fritz, dan Anneliese Herschel. 

"Saya tahu, cepat atau lambat kalian akan menangkap saya," katanya apatis di hadapan polisi Bagian Penyidikan Pembunuhan dari tiga kota. "Saya senang semuanya telah berlalu. Sebetulnya, saya tidak ingin membunuh, tetapi saya tidak bisa menahan diri. Saya mengaku melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, tapi jangan dibicarakan lagi." 

Beck akhirnya mau juga bercerita. Katanya, ia memilih Ingrid Kanike, Ursula Fritz, dan Anneliese Herschel karena mereka bukan jenis gadis yang populer di kalangan pria. Jadi, biasanya lebih peka akan perhatian pria ganteng yang pandai bicara. Beck memiliki dua kelebihan itu. 

Berlawanan dengan pendapat kedokteran, Beck mampu melakukan hubungan seksual secara normal. Hal itu dikemukakan sejumlah pacarnya. Cuma saja ia mempunyai kebiasaan mengusap-usap leher mitranya dengan tangannya yang kuat itu pada saat bermesraan. Mereka malah menganggap perlakuan itu mengharukan. 

Dieter Beck diadili mulai tanggal 22 - 26 Juni 1969. Pengadilan menjatuhkan hukuman tiga kali seumur hidup untuk perbuatannya melakukan tiga kali pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu.

(John Dunning)

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304216/incarannya-perawan-baik-baik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282482000) } } }