array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3643299"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/cemburu-buta-110-tahun-penjara-o-20230105045532.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(136) "Pamela Mason ditemukan tewas mengenaskan di garasinya. Pembunuhan dilakukan secara profesional dan tidak ada harta bendanya yang hilang."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/cemburu-buta-110-tahun-penjara-o-20230105045532.jpg"
      ["title"]=>
      string(30) "Cemburu Buta 110 Tahun Penjara"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 16:56:20"
      ["content"]=>
      string(36355) "

Intisari Plus - Pamela Mason ditemukan tewas mengenaskan di garasinya. Pembunuhan dilakukan secara profesional dan tidak ada harta bendanya yang hilang. Siapa tega melakukannya?

--------------------

Pamela Mason dikenal sebagai wanita yang baik. Di usianya yang sudah di atas kepala empat, ia masih tetap tampak cantik. Selain terkenal dan hebat, wanita ini juga kaya raya. Di Boone County, ia salah seorang pemilik Big Red Flea Market, semacam pusat jual beli (pelelangan) barang bekas yang sangat terkenal.

Sudah seumur-umur Pamela Mason tinggal di Boone County. Rumahnya, sebuah farmhouse, bangunan rumah megah di daerah pertanian amat luas. Letaknya dekat North Highway 421. Di tempat ini ia hidup berdua dengan seorang cucu laki-lakinya. Ia sudah bercerai dari suaminya, John Mason, dan mempunyai tunangan baru lagi.

Tak ada hujan ataupun angin, petir bagaikan menyambar kawasan yang tenteram itu. Suatu siang yang panas, pada tangga 15 Oktober 1985, Pamela Mason ditemukan tewas mengenaskan. Tubuhnya telentang di lantai ruang garasi dan lehernya melintir kaku dengan kepala menoleh ke satu sisi. Lelehan darahnya membekas dari sisi kanan kepala dan membentuk genangan yang lengket di atas lantai semen. Nenek seorang cucu ini dibunuh secara kejam.

Sheriff Ern Hudson agak terlambat datang di tempat kejadian. Pasalnya, pada saat terjadi pembunuhan itu ia berada di Kota Indianapolis dan sedang mengusut kasus kriminal lain. Begitu ia tiba di lokasi, jalan masuk yang berbentuk U di halaman rumah Pamela Mason sudah dipenuhi sejumlah mobil polisi dan mobil boks polisi. Usai menanyai petugas di tempat kejadian, Hudson masuk ke garasi, tempat di mana korban tergeletak. Dingin dan gelap.

Ern Hudson bukan sekadar sheriff biasa, melainkan juga kepala penyidik di Boone County, Indiana. Ia seorang detektif yang hebat. 

 

Tulang tengkoraknya retak

Penyidikan demi penyidikan dilakukan. Sejumlah detektif dan ahli masalah kriminal ditanyai. Hudson juga mewawancarai tunangan baru Pamela dan salah seorang keluarganya.

Perlahan-lahan kronologi kejadiannya mulai terungkap. Pada pukul 11.00, di hari yang naas itu, Pamela dan seorang familinya pergi ke Pittsboro untuk meninjau sebuah rumah yang hendak dibelinya. Setelah itu, mereka mampir untuk bersantap siang di sebuah restoran fast-food di Lebanon.

Pamela, kata familinya itu, kemudian mengantarnya pulang lalu melanjutkan perjalanan pulang lewat jalan yang sama ke farmhouse-nya. Rencananya, Pamela akan sekalian menjemput cucu laki-lakinya dari tempat penitipan anak. Namun, yang terjadi kemudian justru si famili menerima telepon dari direktur pusat penitipan anak tersebut. “Pamela ternyata tidak datang menjemput cucunya,” tuturnya kepada Hudson. “Saya curiga, pasti ada yang tak beres.”

la lantas mencoba menelepon Pamela di rumah. Tapi sama sekali tak ada jawaban. Akhirnya, setelah menjemput cucu laki-laki Pamela, ia langsung ke farmhouse.

Mobil Pamela Mason tampak berada di halaman tapi tak seorang pun membukakan pintu. Setelah mengecek lantai satu rumah megah itu, ia kemudian menelepon tunangan Pamela.

“Saya datang seketika itu juga,” ujar tunangan Pamela kepada Sheriff Hudson. “Saya periksa seluruh rumah, saya coba ke garasi.”

Pintu garasi terkunci. Dengan alat pengendali jarak jauh elektronik yang ada di mobil Pamela, pria itu berhasil membukanya dan masuk.

“Ia (Pamela) tergeletak di atas lantai,” tuturnya kepada Hudson. “Di lantai banyak darah.”

Penyidikan masih dilanjutkan hingga menjelang petang. Para pakar kriminal mengukur dan memotret jasad korban dan dengan cermat menyelidiki ruang garasi yang berantakan. Penyidikan diperluas ke seluruh bagian rumah, bahkan sampai ke tanah pekarangan.

Kasus pembunuhan itu betul-betul mengejutkan banyak orang. Menurut ahli patologi, dr. John Olson, korban mengalami luka memar yang sangat parah pada bagian sisi kanan kepala, tampak seperti bekas dihantam dengan martil. Pukulan itu meretakkan tulang tengkoraknya mulai dari telinga sebelah kanan sampai ke bagian atas mata kanan.

“Suatu pukulan dahsyat,” tegas ahli ilmu patologi itu. Kemudian korban ditembak empat kali, semua dari jarak dekat sekali.

Diduga, pembunuhan itu terjadi antara pukul 14.45 (pukul 14.30 - 14.45 seorang tetangga melihat Pamela berdiri di dekat kotak surat) dan pukul 15.30 (saat si famili memasuki halaman rumah itu).

Pembunuhan itu sangat profesional. Meskipun sudah dilakukan pengusutan secara teliti, para penyidik nyaris tidak menemukan petunjuk apa-apa, selain luka kepala bekas tembakan. Mereka lalu menduga, korban dijebak paksa masuk ke garasi yang besar, dingin, dan gelap seperti gua itu, tempat ia dieksekusi.

Motif pembunuhan yang mengerikan itu amat sulit dipahami. Sebagai pemilik Big Red Flea Market, Pamela sering kali membawa banyak uang tunai. Dompetnya berisi uang kontan senilai hampir AS $ 2.000. Anehnya, uang yang ditemukan di samping tubuh korban, masih utuh.

Tidak ada tanda-tanda pemerkosaan atas diri Pamela. Pun tak ada indikasi ia meronta-ronta melawan penyerangnya.

Di mata Sheriff Hudson, ini kasus yang aneh. Sungguh-sungguh aneh.

Hanya ada satu orang yang diharapkan bisa memperjelas keganjilan itu, yakni mantan suami Pamela, John Mason (47). Tanpa membuang waktu polisi meluncur ke apartemen mewahnya di Big Red Flea Market. Tapi yang diburu tidak ada di rumah.

Menjelang petang pada hari itu juga, kebetulan John Mason menghubungi seorang familinya di Indiana bagian selatan dan mendapat kabar bahwa polisi mencarinya. Mason berjanji akan segera pulang.

 

Menolak uji kebohongan

Pada tanggal 16 Oktober, John Mason masuk ke kantor Sheriff. “Anda ingin bicara dengan saya?” tanyanya kepada Ern Hudson yang berada di hadapannya.

“Mungkin Anda bisa menceritakan kepada kami di mana Anda berada kemarin pagi?” kata Hudson balik bertanya.

Mason menggangguk.

Sebagai seorang pengusaha di Boone County, ia mengaku sibuk sekali pada tanggal 15 Oktober itu. Pagi hari ia pergi ke Boone County State Bank untuk membicarakan masalah bisnis pinjaman dengan seorang petugas bank. Sorenya, bersama teman wanitanya ia duduk minum-minum wiski campur es soda di sebuah bar di West Wilcox. “Sekitar pukul 18.00 mereka makan malam, kemudian meluncur ke Nashville, Tennessee.

“Saya baru mendengar kabar tentang Pamela ketika saya menelepon saudara saya itu,” tutur Mason kepada Sheriff Hudson. “Ia mengatakan, polisi mencari saya, jadi saya segera pulang.”

Mason ngotot tidak tahu-menahu perihal kasus pembunuhan istrinya. Meskipun sudah bercerai, ia mengaku masih merasa dekat dengan istrinya. “Saya menikahi wanita itu ketika ia berumur 14 tahun. Saya sangat mengenalnya,” ucap Mason.

Ia merasa sedih dan marah atas berita pembunuhan itu. “Saya berharap Anda bisa menangkap pelakunya,” pintanya kepada penegak hukum.

“John, maukah Anda melakukan uji polygraph?’ kata Sheriff Hudson kepada Mason, untuk mengungkap kebohongan.

“Tidak!” cetus Mason. “Tapi kalau uji itu bisa membantu Anda, saya akan melakukannya.”

Usai interogasi, Mason meninggalkan kantor Sherif.

Namun itu belum berakhir. Pada tanggal 22 Oktober, John Mason menyewa sendiri seorang detektif swasta Indianapolis untuk melakukan penyelidikan atas kematian mantan istrinya. la menawarkan hadiah $ AS 100.000 kepada siapa saja yang dapat memberikan info berharga.

Lucunya, justru uji polygraph tidak ia kerjakan dengan alasan pengacaranya tidak setuju.

Hal itu tak mengherankan Hudson, karena bagaimanapun, Mason adalah terdakwa utama dalam kasus pembunuhan istrinya.

“Semua terpulang ke motifnya,” ujar Hudson kepada seorang wartawan, bertahun-tahun kemudian. “Siapa yang diuntungkan atas pembunuhan itu?”

Jawabannya kembali lagi, John Mason. Semua terpusat sekitar perceraian mereka.

Berdasarkan pengakuan John Mason di hadapan penyidik, ia mengaku jengkel dan kesal ditinggal istrinya. Ia juga tidak senang mendengar Pamela diam-diam menjalin hubungan dengan lelaki lain, seorang juru lelang di Big Red Flea Market. Bagaimana Mason tak tersulut, ia sendiri yang merekrut pria itu.

Mason semakin terbakar karena Pamela dan teman prianya itu merencanakan membuka rumah pelelangan sehingga bakal bersaing dengannya.

Tapi yang paling menyakitkan Mason adalah urusan farmhouse. Sebagai bagian dan proses penyelesaian perceraian mereka, Pamela punya rencana menggadaikan rumah itu. Uangnya akan dibelikan rumah lain di Pittsboro. Transaksi itu mestinya diselesaikan pada tanggal 18 Oktober, 3 hari setelah Pamela dibunuh secara kejam.

Pukulan martil dan tembakan 4 buah peluru pada kepala Pamela Mason ternyata telah mengubah semuanya. John Mason sekarang punya hak penuh atas farmhouse dan Big Red Flea Market. Rezeki nomplok sebesar AS $ 300.000, yang mesti dibayar dengan nyawa Pamela Mason.

Masuk akal bila harta warisan itu membuat John Mason sebagai calon tertuduh. Tingkah polah dan sikapnya selama interogasi pun tidak membantu. Di hadapan penyidik Mason menangis dan beberapa kali berhenti untuk mendapatkan kembali ketenangan.

Tapi Sheriff Hudson memberi ‘catatan khusus’ pada air mata itu, “la memainkan air mata buaya.” Berpura-pura.

Mason menyangkal terlibat dalam kasus pembunuhan istrinya. Meski demikian dalam interogasinya tercetus juga dari mulutnya, “Seorang pria yang sudah menikah selama saya, bisa melakukan apa saja bila istrinya menceraikan dia untuk kabur ke pelukan pria lain.”

la pun mengingatkan Hudson, “Ingatlah, Ern ... seorang teman baik tak akan buka mulut.”

Namun karena yakin bahwa Mason berada di belakang kematian mantan istrinya, Sheriff Hudson terus memeras otak, mencari bukti yang dapat melemparkan Mason ke balik jeruji penjara.

Sayang, Mason punya alibi yang amat kuat pada saat terjadi pembunuhan, Mason berada di Boone County State Bank atau minum-minum di sebuah bar setempat!

Jadi pastilah Mason tidak memegang martil ataupun menarik picu sendiri. Seseorang telah melakukan itu untuknya. Itu dugaan Sheriff dan para detektif. Jadi belum ada alasan kuat untuk bisa menahan John Mason.

 

Ibarat kucing hitam

Selama empat bulan berikutnya, yang berwajib berusaha melacak si pembunuh bayaran. Mereka menanyai lusinan saksi.

John Mason masih sebagai orang yang bebas dan kembali bekerja seperti biasanya. Bahkan Big Red Flea Market yang kini menjadi “miliknya” makin laris saja. Uang terus bergulir ke kantungnya. Duda tua itu tetap mempertahankan gayanya yang angkuh, menerima tamu di bar favoritnya, dan kerap kali ditemani wanita cantik.

Paling sering, ia berkencan dengan Ilse Daniels (43) pemilik rumah makan South Meriden Street. Keduanya kerap bermesraan dan minum-minum di bar langganannya.

Akhir bulan November, dua sejoli yang sedang mabuk asmara itu berlibur dan bersenang-senang selama dua minggu di Florida. Pada tanggal 8 Desember, wanita cantik tersebut ditemukan tewas dengan badan setengah telanjang dan wajah menelungkup, terendam air pantai Fort Pierce, di Florida bagian selatan. Berjarak ribuan mil ke arah selatan dari Kota Indianapolis.

John Mason memang sempat melaporkan bahwa Ilse hilang pada pukul 11.00, setelah mereka berpisah di pantai. la dan beberapa teman dekatnya diinterogasi. Mason mulai menghadapi kehancuran.

“Ini tragedi yang mengerikan,” kata Mason kepada polisi.

Memang tragedi. Tapi betulkah ini kecelakaan?

Dari hasil autopsi ditemukan bahwa Ilse tewas tenggelam. Namun kenyataannya menunjukkan, korban ditenggelamkan ke dalam air secara paksa, dan sebelumnya menerima beberapa pukulan pada bagian kepalanya. Ada seorang saksi mengatakan melihat seorang wanita meronta-ronta melawan seorang laki-laki di tempat itu.

John Mason menegaskan tak tahu apa-apa atas kejadian itu. Ketika ditanya penyidik, kenapa ia baru melaporkan Ilse hilang hampir 6 jam setelah mereka diketahui berduaan untuk terakhir kalinya, jawabnya, “Saya sedang mencarinya. Saya berharap dapat menemukannya.”

Mason masih belum bisa dituntut. Tapi yang berwenang di pantai Fort Pierce Florida, tetap curiga. Demikian juga Sheriff Ern Hudson.

Hanya dalam waktu dua bulan sudah jatuh korban dua orang wanita. Rupanya, tragedi itu setia mengikuti John Mason, ibarat kucing hitam.

Sheriff pun bertanya-tanya: Apakah Ilse Daniels tahu perihal pembunuhan atas Pamela Mason, sehingga ia sengaja dilenyapkan? Dengan begitu Ilse tidak akan pernah dapat menceritakan kepada yang berwenang. Polisi pun terus menduga-duga demikian.

Bulan berganti bulan terlewati. John Mason meninggalkan Florida, pulang ke Boone County dan kembali sibuk dengan bisnisnya seperti tidak terjadi apa-apa. la segera berkencan dengan wanita yang lain lagi. Tetap berlagak seperti tidak pernah ada masalah apa-apa.

 

Lima tahun kemudian

Tahun sudah berganti lima kali, sementara pelaku pembunuhan belum juga tertangkap. Di Kantor Sheriff Boone County, Sheriff Hudson masih terus bekerja keras untuk membongkar kasus dua tragedi pembunuhan itu. Perkara tidak dipeti-eskan.

Akhirnya, betul juga apa yang pernah diomongkan Hudson, “Cepat ataupun lambat seseorang pasti akan buka mulut.”

Kira-kira hampir lima tahun berlalu setelah pembunuhan Pamela, seseorang mau buka mulut.

Awal tahun 1990, setelah bertahun-tahun menderita serangan jantung, David Ralston menemui Sheriff Hudson.

“Anda masih ingat Pamela Mason?” tanya Ralston kepada penegak hukum itu.

Bagi Hudson, peristiwa buruk yang mengerikan itu senantiasa terpatri dalam benaknya, seperti kejadian kemarin sore.

“Ya,” jawab Sheriff. 

“Saya dapat membantu Anda memecahkan teka-teki itu,” ucap Ralston. Tapi sebagai balas jasa, ia minta kepada Sheriff untuk bermurah hati mau menolong anak laki-lakinya yang dipenjara gara-gara mengendarai mobil sambil mabuk.

“Baiklah,” sahut Sheriff Hudson.

Kemudian Ralston menceritakan kepada Hudson bahwa John Mason telah mengontrak seorang pembunuh bayaran untuk membunuh istrinya, Pamela.

Hudson manggut-manggut. “Siapa pembunuh bayaran itu?” tanyanya.

Tapi Ralston mengaku tidak tahu. Sepengetahuannya, Mason tidak pernah secara langsung bertemu dengan orang upahan itu. Ia berhubungan lewat seorang perantara, Bill Grand.

“Grand yang mengatur,” jelas Ralston.

Bill Grand adalah salah seorang teman lama Mason. Polisi pun menyelidikinya. Tapi begitu Sheriff menanyakan tentang kasus pembunuhan yang sudah terpendam selama hampir lima tahun itu, Grand (39) langsung menyangkal.

“Saaaya ... tidak melakukan itu!” akunya kepada Sheriff Hudson. “Sal Reidy yang mengaturnya.”

Nama itu sudah dikenal Hudson. Reidy adalah preman yang tinggal di apartemen belakang Big Red Flea Market dan sering disuruh-suruh Mason. Seperti halnya Ralston dan Grand, Reidy sudah pernah diinterogasi.

Namun tahun berikutnya, Reidy menghilang. Tak seorang pun tahu di mana ia berada, kecuali Bill Grand. “Dia pindah ke Florida,” kata Grand kepada detektif. “Orlando.” 

“Baik,” sahut Hudson. “Anda mesti menunjukkan kepada kami di mana tepatnya.”

Pada tanggal 9 April 1990, Sheriff Hudson, Detektif Francis Shrock dari Indiana State Police, dan Bill Grand berjubel dalam kendaraan tanpa identitas polisi dan siap melakukan perjalanan 16 jam ke arah selatan menuju Orlando, Florida.

Orlando adalah kota yang sarat dengan taman hiburan, di antaranya Disney World dan Epcot Center. Sebuah kota impian. Tapi kompleks apartemen yang mereka tuju, pada malam hari tanggal 10 April, ternyata kompleks yang kumuh dan muram.

Di luar apartemen, Sheriff mengikatkan mikrofon penyadap di dada Bill Grand dan memberikan arahan kepada Grand agar mengatakan kepada Reidy bahwa Mason sekarang sedang ketakutan karena khawatir ada temannya yang melapor ke polisi perihal pembunuh Pamela Mason. 

Bill Grand menuju ke apartemen tempat Reidy tinggal dan mengetuk pintunya. Pintu dibuka dan Grand melangkah masuk.

Sementara di luar apartemen, dengan merundukkan badan di balik mobil, para penyidik menyadap pembicaraan mereka.

Alat penyadap di dada Grand siap merekam pembicaraan mereka. Kepada Reidy, Grand mengaku takut pada Mason. “Ia (Mason) amat senewen,” ujar Grand kepada Reidy. “Semua orang dianggap lawannya.”

“Makanya saya nekat kabur dari Boone County,” sahut Reidy. “Saya tidak ingin mati konyol.”

Sementara itu di luar, di tempat parkir mobil, para penyidik terus menyadap pembicaraan rahasia itu. Setelah dirasa cukup, mereka matikan alat perekamnya dan melangkah menuju ke apartemen untuk menemui Grand dan Reidy yang lagi asyik ngobrol.

Sheriff Hudson merupakan penegak hukum pertama yang memasuki pintu apartemen itu. “Ada apa ini?!” seru Reidy, matanya melotot sebulat kuning telur mata sapi.

Hudson menjelaskan kepada Reidy bahwa penyidikan menunjukkan dialah perantara dalam kontrak pembunuhan Pamela Mason. Mereka memperlihatkan kepada Reidy mikrofon perekam yang terpasang di dada Grand dan kemudian memutar ulang sebagian dari hasil rekaman tadi.

“Anda perantaranya,” tegas Hudson. “Sekarang kami ingin tahu siapa pembunuh bayarannya.”

 

Menyewa pembunuh bayaran

Reidy menjadi serba salah. la betul-betul terjepit dalam dilema. Di satu sisi, John Mason adalah teman karibnya. Sementara di sisi lain ada Sheriff Hudson dan pita perekam pembicaraan menyangkut Reidy dan pembunuh Pamela Mason.

Akhirnya Reidy terpaksa menceritakan kronologi terjadinya kasus pembunuhan kejam itu.

Saat itu musim gugur tahun 1985. Reidy membuka sebuah kios senjata di Big Red Flea Market dan tinggal di apartemen di belakang bar pelelangan. John Mason adalah teman baiknya. Mereka berdua sering minum-minum. Mason sempat mengupahnya untuk suatu pekerjaan sambilan, antara lain berputar-putar menguntit Pamela Mason dan setiap kali melaporkan ke mana Pamela pergi dan siapa yang ditemui. Baginya itu pekerjaan mudah dan ia pun butuh uang. Suatu transaksi yang bagus, tentu saja.

Pada suatu hari, aku Reidy, Mason menemuinya dan menanyakan apakah ia punya kenalan orang upahan yang berlengan kekar dan kuat.

“Saya menjawab, ya,” cerita Reidy. “John ingin menyingkirkan laki-laki teman kencan Pamela. Saya pun siap mencarikan orang yang akan melakukan pekerjaan itu.”

Reidy memperkenalkan Mason dengan John L. Morgan (55), pria peminum berat bertubuh kekar dan kasar berasal dari Alexandria. Kemudian pada 15 Oktober 1985, Pamela Mason terbunuh.

“Apakah Morgan membunuh janda cantik itu?” tanya Sheriff.

“Saya sungguh tak tahu,” jawab Reidy. “Mason tidak pernah mengatakan itu, demikian juga Morgan. Tapi setelah pembunuhan itu, Mason memberi amplop tertutup kepada Morgan lewat saya. Kira-kira 1,5 inci tebalnya. Saya berani bertaruh, amplop tersebut berisi uang.”

Belakangan, menurut cerita Reidy, Mason mengirim lagi amplop lain berisi AS $ 1.000 kepada Morgan.

Setelah pembunuhan itu, Reidy masih sering menemui Mason. Cuma tidak seperti biasanya. “la nampak lain, uring-uringan terus,” jelasnya.

Tak lama setelah pembunuhan, menurut beberapa saksi, Mason mabuk di bar. la berdansa dan ngoceh tentang pembunuhan istrinya.

Dua minggu kemudian, Ilse Daniels mati tenggelam di pantai Fort Pierce, Florida.

Sal Reidy mengatakan tidak tahu-menahu Mason membunuh Ilse atau tidak. Tapi ada kemungkinan, bahkan sangat mungkin.

Interogasi pun berakhir. Reidy telah membeberkan informasi cukup banyak kepada penegak hukum. Tapi itu belum selesai.

“Anda ikut bersama kami,” ajak Sheriff Hudson kepada Reidy.

“Ke mana?” tanya Reidy. 

“Indiana,” jawab Hudson. “Kami ingin Anda membantu membongkar rahasia pembunuhan Mason.”

Sheriff Hudson dan Detektif Shrock menangani kasus tersebut begitu serius. Tiga hari tiga malam tanpa tidur. Urusan belum juga selesai. 

John Morgan, si pemilik bar Alexandria, yang juga pembunuh bayaran itu, sedang menerima tamu di Center Point Tavern, di Alexandria. Sebelum menyuruh Reidy masuk menemui Morgan, lebih dulu penyidik memasang perekam di dada Reidy. Skenarionya sama seperti yang dilakukan Bill Grand saat menjebak Reidy. Reidy mengungkapkan tentang senewennya John Mason dan bagaimana peran Morgan sendiri bisa terbongkar. 

“Tak mungkin mereka dapat melacak pembunuhan itu ke arah saya!” kata Morgan kepada Reidy, sementara pengakuannya direkam secara diam-diam.

Selanjutnya giliran John Mason. Menjelang pukul 02.00 dini hari, penyelidik menemukannya di sebuah bar di Lebanon. Sementara Reidy dengan tape penyadap menemui Mason dan mengatakan bahwa Morgan kini sinting karena tindakan pembunuhan itu.

“Memangnya kenapa? Polisi dapat membuktikan apa?” tanya Mason. Mason sama sekali tak menunjukkan kekhawatiran. 

Mason punya alasan kuat untuk merasa aman. Lima tahun telah berlalu sejak ia dengan angkuhnya meninggalkan kantor Sheriff.

Mason menghabiskan minumannya. “Jangan khawatir,” katanya kepada Reidy. “Saya tidak akan kurang tidur hanya karena perkara ini. Apa yang sudah terjadi, ya sudah selesai.”

Ternyata ia keliru. Dengan pita hasil rekaman di tangan, penyidik tidak menemui kesulitan dalam melakukan penangkapan dan penggeledahan.

John Morgan, orang pertama yang ditangkap. Saat itu sore hari, tanggal 11 April, salah seorang saudara laki-laki Morgan menghubunginya untuk menyampaikan sesuatu yang penting. Mereka lantas bertemu di sebuah agen mobil Chevrolet di Alexandria.

Saudaranya itu juga seorang polisi. Ketika Morgan hendak masuk ke dalam mobil, Sheriff Hudson sudah menunggunya di sana. Begitu melihat ada Sheriff, Morgan berusaha menyelinap di bawah dashboard mobil. Hudson tak ingin kehilangan buruannya, ia pun bergegas membuka pintu mobil, lalu menempelkan moncong pistolnya ke muka Morgan dan menyuruhnya untuk tidak bergerak.

John Morgan ditangkap dan dijebloskan ke dalam jeruji penjara dengan tuduhan melakukan pembunuhan.

Tak lama kemudian, John Mason juga ditahan. “Apa-apaan ini, Ern?” tanyanya kepada Sheriff Hudson ketika hendak diseret ke sel penjara. Ketika Sheriff mengatakan akan menahannya, Mason bilang ingin menjumpai pengacaranya.

 

Divonis 110 tahun

Pada saat diinterogasi di kantor polisi, Morgan tidak banyak cincong. Pembunuh bayaran, yang sekaligus pemilik bar itu hanya mengatakan, “Saya menyerah.”

Cerita Morgan yang terekam selama beberapa kali penyidikan membuat bulu kuduk merinding.

Morgan pertama kali kenal John Mason pada tahun 1985. Ketika itu Mason menyuruhnya menghajar pacar Pamela. “Ia (Mason) mengatakan tidak menyukai laki-laki itu dan ingin mencelakainya,” ungkap Morgan.

Morgan melaksanakan pekerjaan itu tapi kurang sukses. “Laki-laki itu sulit terpisah dari kerumunan,” tuturnya kepada Detektif. “Di sekitarnya selalu banyak orang. Saya tidak dapat mendekatinya.”

Belakangan, lanjut Morgan, ia mengupah dua pria lain untuk melakukan pekerjaan itu. Tapi tak berhasil juga.

Morgan melaporkan kembali kegagalannya itu kepada Mason. “Ia mengira Mason bakal mengamuk. Tapi ternyata Mason punya rencana lain. “Lupakan saja dia,” kata Morgan, menirukan ucapan Mason. Lalu kepada Morgan, Mason mengatakan, “Saya ingin kamu menghabisi Pam.”

“Bagaimana dia ingin kamu melakukannya?” tanya Detektif Shrock.

“Dengan cara yang sama,” jawab Morgan. “Menembaknya!” Morgan menawarkan kontrak awal AS $ 5.000. Kemudian dinaikkan sampai AS $10.000.

Pada hari. “H” itu, menurut pengakuan Morgan, Mason dengan mengendarai mobil mengajak dirinya melewati farmhouse-nya dan menunjuk ke arah mantan istrinya, Pamela; yang sedang berkebun. Tak lama kemudian Morgan balik lagi untuk menemui dan mengatakan kepada Pamela bahwa mantan suaminya mengupahnya untuk memperbaiki pagar. “Kami masuk ke ruang garasi dan saya minta martil kepadanya,” ungkap Morgan. Setelah Pamela memberikan martil kepadanya, ia minta paku.

“Ketika ia (Pamela) bergegas mengambil paku,” lanjut. Morgan, “saya mengikuti dari belakang dan memukulnya tepat pada bagian kepala dengan martil.”

Pamela jatuh terkulai ke lantai, tapi ia belum mati.

Morgan keluar menuju ke mobil, mengambil pistol, kemudian kembali lagi ke garasi.

“Ia memohon-mohon dibiarkan hidup,” ucap Morgan dengan ekspresi dingin. “Jadi saya tembak dia.”

Peluru pertama tepat mengenai kepalanya, tapi tidak menewaskannya. Saat itu, masih menurut pengakuan Morgan, Pamela menggapai-gapaikan tangannya bermaksud menghentikan aksinya, tapi Morgan malahan menembaknya lagi.

“Itu pun masih belum menewaskannya,” aku Morgan. Sehingga ia menembaknya dua kali lagi. Akhirnya, empat logam bundar bersarang di kepala dan menamatkan riwayat Pamela.

Kemudian Morgan masuk ke dalam mobilnya dan meluncur pulang. Sekitar 1 mil sebelah utara Highway 421, ia membuang martil dan pistol yang baru saja digunakannya untuk membunuh Pamela Mason. Belakangan Morgan balik lagi dan mengambil pistol itu. Karena, “Senjata itu bagus,” jelasnya.

Oktober 1990, John Morgan yang pertama dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan Pamela Mason. Ia divonis 110 tahun penjara.

Setahun kemudian, September 1991, John Mason ganti diadili dalam kasus yang sama. Sidang diketuai oleh Hakim Jack O’Neil dan Rebecca McClure sebagai penuntutnya. Pada tanggal 5 Oktober, Mason divonis 110 tahun hukuman. Dalam pemeriksaan terpisah, Mason juga dinyatakan bersalah atas usaha pembunuhan terhadap lelaki tunangan Pamela. Untuk itu ia mendapatkan bonus hukuman 30 tahun.

Akhirnya, John Mason resmi menjadi penghuni bui. Sisa masa hidupnya dihabiskan di balik jeruji, dengan hanya bisa menyesali kesalahannya. (Bruce Gibney)

Baca Juga: Mayat Berselimut Rapi

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553643299/cemburu-buta-110-tahun-penjara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672937780000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3606085" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/10/jarum-setan_amirali-mirhashemian-20221210024849.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Seorang perawat punya hobi baru yakni merajut. Setiap hari kegemaran itu makin menjadi-jadi, hingga akhirnya membuat suami barunya jengkel." ["section"]=> object(stdClass)#60 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/10/jarum-setan_amirali-mirhashemian-20221210024849.jpg" ["title"]=> string(11) "Jarum Setan" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-10 14:49:18" ["content"]=> string(36724) "

Intisari Plus - Seorang perawat punya hobi baru yakni merajut. Setiap hari kegemaran itu makin menjadi-jadi, hingga akhirnya membuat suami barunya jengkel.

--------------------

“Jangan biarkan tanganmu menganggur, sebab setan bisa memperalatnya untuk melakukan kejahatan,” demikian nasihat Ny. Gibson kepada anak-anaknya. Bagi si kecil Alice, nasihat itu sangat tepat. Alice memiliki tabiat aneh sehingga setiap saat perlu diingatkan. Sifat sadistisnya bisa muncul tiba-tiba, katanya karena dorongan dari dalam yang tak kuasa dicegah. Misalnya, ia kerap menyerang orang yang mengolok-oloknya. Ketika umur 14 tahun, ia pernah menghunuskan pisau kepada kakak perempuannya.

Pasangan Tn. dan Ny. Gibson tak mengerti kenapa putri kecilnya punya karakter begitu aneh. Yang mereka pahami adalah: Alice bukanlah gadis abnormal, bahkan punya bakat besar dalam hasta karya atau kerajinan tangan. Keduanya juga mengamati bahwa setiap kali gadis itu asyik membuat kerajinan tangan, sifat destruktif dan sadistisnya teredam. Bahkan bisa hilang dalam jangka waktu lama.

Tapi sang ibu tetap waspada. Ia tak setuju ketika suatu saat Alice memutuskan untuk bekerja sebagai perawat. Selain sangat paham sifat putrinya, Ny. Gibson juga tahu, pekerjaan sebagai perawat tak memerlukan banyak aktivitas tangan. Tapi apa mau dikata, ayah menolak pendapat ibu. Apalagi ada dukungan dari guru sekolah dan konsultan pandu bakat. Nyatanya, pendidikan sekolah perawat dilalui Alice dengan mulus. Ketika bekerja, karier pun dijalaninya tanpa hambatan berarti. Kekhawatiran ibunya tak terbukti.

 

Bosan berselingkuh 

Kehidupan sebagai perawat tak memberi Alice peluang untuk melakukan hobi hasta karya. la harus bekerja keras untuk memperoleh nafkah yang memadai. Barang-barang perlengkapan semacam kumparan tenun, peralatan renda, atau alas putar untuk membuat kerajinan gerabah, misalnya, terpaksa ditinggal di rumah karena hanya akan memenuhi kamar sempit di rumah susun sewaan. Belum lagi keharusan untuk berbagi tempat dengan teman demi menghemat biaya. 

Dengan teman sekamar bernama Pamela itulah pembicaraan tentang kerajinan tangan dimulai, sesaat setelah Pamela pulang dari liburan dua hari. la mengenakan mantel wol putih sepanjang lutut.

“Bagus sekali,” kata Alice. “Kesannya mewah. Pasti harganya selangit.”

“Ah tidak, aku membuatnya sendiri,” jawab Pamela. 

“Membuat sendiri? Maksudmu, kamu merajutnya sendiri? Dengan tangan?”

“Ya ... tidak terlalu sulit, asal tekun. Aku cuma perlu waktu tiga minggu untuk merampungkannya.” 

Alice memulai aktivitas barunya dengan antusias. Semangat menekuni hobi baru, untunglah, juga menyemangati pekerjaan. Karier Alice menanjak dalam waktu cepat. Dari staf paramedis pangkatnya naik menjadi perawat, kemudian koordinator, dan pada usia 30 ia memimpin staf paramedis yang kebanyakan pria di Rumah Sakit Perwira St. Gregory’s. Di sinilah ia bertemu dengan Rupert Clarigate yang dirawat karena serangan jantung.

Rupert Clarigate berusia 52 tahun, masih lajang, dan telah dua tahun pensiun karena jantungnya tak kunjung sehat. Kendati sudah nonaktif, ia hidup berkecukupan - bahkan berkelebihan - dengan uang pensiun dan rumah peninggalan orang tuanya. Walau menempuh pola hidup sehat, sedikit merokok, dan banyak jalan kaki, makan pun pemilih, suatu saat ia terjatuh di lantai bar karena nyeri tak tertahankan pada sisi kiri dadanya. Dokter memastikan, Rupert terkena serangan jantung. Bagi pasien dengan penderitaan begini, hari-hari pertama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan saksama. Suster Gibson-lah yang menjaganya. 

“Selamat pagi, Kolonel Clarigate,” sapa Alice Gibson di pagi pertama perawatan Rupert. “Anda semalam tidur nyenyak, pasti hari ini badan terasa enak.”

Ada sesuatu yang mendorong Rupert jadi lebih sehat dan itu bukan semata-mata tidur yang nyenyak. Sepasang mata biru laut, badan ramping dalam balutan seragam perawat, senyum manis, serta rambut pirang yang sebagian tertutup topi putih. 

Dalam beberapa hari Rupert bisa menangkap dinamika tempat itu. Kondisi para perawat diperhatikannya. Ada yang selalu menggerutu, ada yang asal bekerja karena sebenarnya tak berminat, ada pula yang pasif. Alice dia nilai berbeda karena terlihat selalu riang, cekatan, namun sabar terhadap pasien.

“Siapa pemuda beruntung yang akan mengencanimu, Suster?” sapa Rupert saat Alice meninggalkan kamar untuk libur keesokan harinya. Barangkali karena tak enak dengan reaksi kaget Alice, Rupert melanjutkan, “Ah, saya tak bermaksud mencampuri urusanmu. Cuma agak iri dengan nasib baik pemuda itu.”

“Tak apa-apa, Kolonel. Tidak ada satu pun pemuda yang akan mengencani saya. Saya akan menikmati malam yang sepi dengan merajut di depan televisi.”

Alice berkata sejujurnya. la memang tak punya pendamping, pacar, pasangan, atau apa pun namanya. Dulu, ketika remaja, ia tak berhasil menyisihkan waktu untuk pacaran. Satu-satunya pemuda yang pernah dekat dicampakkannya dengan pukulan seusai cekcok. Ketika Alice menentukan pilihan pada karier, waktu berjalan terlalu cepat sehingga tak memberinya kesempatan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Lagi pula ia cukup pemilih terhadap laki-laki. Herannya, setiap kali ada yang masuk pertimbangan, selalu sudah beristri.

Namun, Rupert Clarigate sangat berbeda. Ia termasuk pria paling ganteng yang pernah ditemuinya di rumah sakit. Kendati tak muda lagi, rambutnya yang tebal memutih dibiarkan agak gondrong sampai menutupi bagian atas telinga. Sungguh menarik bagi Alice yang memang benci kepala botak.

Dari aksennya Alice tahu, Rupert keluaran sekolah umum negeri, bukan sekolah swasta yang didominasi anak-anak bangsawan. Sebagai pensiunan perwira Inggris dalam tingkat usia yang begitu matang, Rupert sangat piawai mengontrol diri. Misalnya, ia sesungguhnya terpesona pada Alice, namun pandai menyembunyikan kekaguman itu. Sebaliknya, lewat pemahaman mendalam atas sudut mata Rupert, dan kepekaan batin seorang wanita, Alice mengerti hal itu. Masuk akal jika selewat satu minggu masa perawatan, Alice jatuh cinta kepada Rupert. Hampir tak tersisa ruang untuk berpikir panjang atau berwaspada.

Bagi Letkol. Purn. Clarigate, inilah kesempatan mewujudkan ucapannya yang selalu diulang-ulang, “Suatu saat saya pasti menikah,” setelah gagal mencapai target, yakni menikah pada usia 35 tahun. Selama ini ia hanya pacaran, kebanyakan berselingkuh dengan istri-istri perwira.

Masa pensiun benar-benar jadi dorongan Rupert untuk menikah. Kalau tidak, rumah besar peninggalan orang tuanya akan terbengkalai. Kebiasaannya pun tak akan berubah yakni makan masakan yang enak-enak di restoran mahal karena tak ada orang yang memasak untuknya. Ia pun akan terus jadi perokok dengan alasan kesepian. Karena itulah ia menyimpulkan, serangan jantung yang melanda dirinya adalah puncak dari penderitaan karena tak punya istri.

Apakah Suster Gibson yang manis, telaten, dan penuh perhatian, layak jadi pilihan? Sebaliknya, Alice juga mulai mempertimbangkan, kenapa tidak berhenti dari profesinya, dan sepenuhnya mengabdi suami?

Keduanya belum mengambil keputusan ketika Rupert keluar dari rumah sakit, tiga minggu setelah perawatan. Tiga kali makan malam di luar, mereka pun memutuskan untuk saling bertunangan.

“Bagi orang lain, ini mungkin terlalu cepat,” kata Alice. “Tapi bagiku, hubungan ini berlangsung begitu mendalam dan intensif. Lagi pula, adakah hubungan lain yang lebih erat daripada hubungan antara pasien dan perawat?”

 

Tak cuma sambil bicara

Di ulang tahun ke-53 Rupert, sebulan setelah tunangan, Alice menghadiahi pullover, baju hangat tangan panjang, hasil rajutan sendiri. Warnanya cokelat karat dengan strip kombinasi warna krem dan hijau tua pada garis lehernya. Sangat pas buat mantan perwira yang tetap langsing kendati tak pernah diet.

Alice penuh semangat mendampingi Rupert. Sering mengajaknya berjalan-jalan di taman, juga dengan tekun membujuknya untuk meninggalkan rokok.

Rumah warisan Clarigate ternyata tak memenuhi selera Alice. Rupert berniat menjualnya untuk membeli rumah yang sesuai selera. Ada keleluasaan untuk menata dan melengkapi perabot. Apalagi Rupert menyerahkan semua tabungan kepada Alice agar bebas mengatur anggaran.

Perkawinan mereka dilangsungkan pada bulan Mei, tiga bulan setelah perjumpaan pertama di rumah sakit. Tak terlalu ramai karena hanya kerabat dekat yang diundang. Ada kakak Alice. Ada pula Pamela yang datang bersama Guy, suaminya yang pengarang cerita misteri. Di pihak Rupert hadir ibunya yang telah menjanda, saudara sepupu, bekas atasannya di militer, serta dr. Nicholson yang dulu merekomendasikan Rupert untuk dirawat intensif setelah kena serangan jantung. Pesta kecil pernikahan itu diakhiri dengan makan siang dan pada pukul tiga sore pengantin baru terbang menuju Barbados untuk bulan madu.

Alice tak bisa pergi berlibur tanpa membawa serta perlengkapan rajut-merajut. Maka di sela waktu bulan madu itu ia membuat tudung kepala dan sarung tangan untuk keponakannya, jaket untuk iparnya, juga sweater panjang untuk dirinya sendiri. Sebuah pencapaian hebat, karena biasanya, orang yang sedang berbulan madu kalau tidak berpesta, jalan-jalan, ya main di pantai. Tidak merajut.

Tapi secara keseluruhan, liburan berlangsung sukses. Alice tak perlu diajari cara menikmati hidup dan nyatanya aktivitas sampingannya dapat dilakukan dalam kecepatan tinggi. Rupert puas setiap kali makan, seolah-olah lupa kalau ia baru terkena serangan jantung. Satu hal yang membuat Alice senang, Rupert banyak mengurangi rokoknya.

Sekembali dari bulan madu, rumah baru di tepi laut perlu segera dirapikan. Memilih dan memesan karpet, memanggil tukang ledeng, mengontak tukang listrik untuk membenahi pemanas ruangan, dilakukan Alice dengan cekatan. Ia menolak tawaran bantuan Rupert, tetapi juga tidak lantas melupakan kewajibannya mengajak Rupert jalan cepat di pantai untuk menjaga kesehatan jantung. Si suami kini dalam kondisi prima.

Hari kesekian setelah bertubi-tubi disibukkan urusan rumah dan perabotan, Alice baru bisa santai. Kebetulan, Rupert sedang pergi ke tempat praktik dr. Nicholson untuk kontrol rutin bulanan. Timbul keinginan untuk merajut. Ia pun pergi ke toserba untuk membeli benang wol. Sore di hari sebelumnya, saat jalan-jalan bersama Rupert menyusuri pantai, keduanya melihat seseorang mengenakan kaus panjang tanpa kerah yang, kata Rupert, cocok untuknya.

Waktu telah jauh berjalan sejak Alice “berkenalan” dengan kerajinan rajut melalui mantel putih Pamela. Ia kini telah mahir. Ia tahu banyak istilah teknis, paham setiap pilinan benang dan hasilnya, tahu cara mengkombinasikan warna, juga mengabstraksi setiap model baju untuk dikombinasi dengan ide sendiri. Jenis-jenis benang pun ia paham, dari yang kualitas terbaik berbahan baku alami, sampai benang katun dua lapis. Setiap benang berbeda jarumnya. la tahu kalau jarum kait nomor empat belas dalam versi Inggris sama dengan tipe Eropa ukuran dua milimeter dan di Amerika disebut ukuran double O.

Bagi toko perlengkapan rajut dan renda semacam Woolcraft Limited, Alice adalah pengunjung tetap. Untuk membeli bagan desain baju dan enam gulung benang wol, misalnya, terlebih dahulu ia menghabiskan waktu setengah jam untuk melihat-lihat.

Di rumah, peralatan rajut dan jahit tersimpan rapi di laci besar sebuah lemari di ruang keluarga. Selain beberapa benang yang utuh, terdapat juga beberapa gulungan sisa, perangkat tambahan, meteran, serta beberapa pasang jarum kait yang masing-masing tersimpan rapi di dalam amplop plastik. Semuanya terdiri atas beberapa ukuran dan nomor, termasuk nomor empat belas yang dulu digunakannya untuk membuat pullover warna cokelat karat untuk Rupert.

Jika aktivitas merajut terhenti lama, saat memegang jarum lagi Alice merasakan sesuatu yang istimewa. Bagaimana kedua tangan memegang jarum lalu bergerak dalam irama konstan, tangannya terkena gulungan benang yang bergerak mengikuti tarikan, dan seterusnya. Bagi Alice, aktivitas itu sebuah sensasi khas yang sulit dirumuskan dalam kata-kata.

“Sedang apa kamu, Manis?” tanya Rupert di suatu sore sehabis berkebun. 

“Merajut,” jawab Alice sambil tersenyum kepada suaminya.

Rupert duduk di depannya, memperhatikan dengan saksama. Ia baru sadar, selama ini cuma tahu istrinya duduk dan merajut, tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jari-jari Alice menyentik ke atas, ke bawah dan berputar dalam irama konstan ratusan kali per menit. Tangan itu seperti terpisah dari bagian lain tubuh Alice. Dari badannya yang dalam posisi santai, dari matanya yang sesekali melihat Rupert, dan jangan-jangan juga terpisah dari pikiran yang sedang berkeliaran entah ke mana. 

“Aku baru memperhatikan sekarang, ternyata tanganmu lincah sekali membuat rajutan,” komentar Rupert.

“Lo, bukankah aku sudah bilang, baju hangatmu yang cokelat karat itu buatan tanganku, Sayang.”

Rupert memang tak begitu ingat lagi soal baju hangat. la asal saja menyahut, “Aku kira kamu membuatnya dengan mesin.” 

Alice terbahak, lantas melanjutkan rajutannya. Rupert mengambil koran sore yang baru datang, kemudian membacanya di dekat Alice. Beberapa saat kemudian, “Apakah pekerjaanmu itu bisa dilakukan sambil ngobrol?”

“Tentu saja bisa, Sayang. Aku ‘kan perajut terampil? Jangankan merajut sambil ngobrol. Sambil baca, sambil nonton televisi, atau bahkan merajut di ruang gelap,” Alice menatap Rupert dengan penuh rasa kasih, sementara jari-jari kedua tangannya bergerak lincah seperti tangkai piston mesin.

Rupert tidak menanggapi omongan Alice. la kembali membaca koran, dan sepanjang sore tak banyak lagi bicara, sampai saat keduanya pergi untuk makan malam. Keesokan harinya, ketika Alice merajut lagi, Rupert melihat lagi dengan saksama. Sesaat kemudian ia menyalakan rokok, batang pertama dalam beberapa minggu. Ia pergi tanpa sepatah kata pun.

Waktu berjalan terus dengan rutinitas yang sama. Alice selalu asyik merajut, namun selalu bersikap manis dan tak pernah lalai akan tanggung jawab sebagai istri.

“Manis,” kata Rupert suatu sore, “sebetulnya kita tidak terlalu perlu membuat baju sendiri. Kita bukan orang miskin. Setiap saat kamu ingin membeli baju, rok, atau apa pun, kamu tinggal bilang.”

“Ini bukan untukku, Sayang, tapi untukmu. Bukankah kamu bilang ingin memakai baju hangat seperti yang dikenakan laki-laki di pantai tempo hari?”

“Oh, ya? Rasanya aku tidak bilang ingin baju seperti itu. Lagi pula, kalau memang ingin, aku toh bisa membelinya. Percuma susah payah membuat sesuatu yang bisa kita dapatkan dalam sepuluh menit.”

“Tapi aku suka merajut, ‘Yang. Aku cinta hobi ini. Lagi pula, pakaian buatan sendiri jauh lebih enak dipakai daripada keluaran toko.” 

“Tapi membuatnya capek dan membahayakan tangan.” 

“Ah, kamu berlebihan. Tanganku, jari-jariku, baik-baik saja. Perasaanku tetap senang. Justru yang membuatku sedih, kamu mulai merokok lagi.”

Rupert menghabiskan lima batang rokok sepanjang hari itu. Keesokan harinya dua kali lipat dan seterusnya sampai beberapa hari. Datanglah pasangan Pamela dan Guy bertamu untuk liburan.

 

Hentikan kebiasaan itu

Guy, suami Pamela, ternyata cukup menyenangkan. la berbeda dari penulis lain yang rata-rata pendiam. la penuh semangat menjelaskan kisah-kisah misteri karangannya, termasuk menceritakan berbagai metode pembunuhan, kematian, serta penggunaan alat-alat rumah tangga sebagai sarana pembunuhan. Rupanya Alice tertarik. Bahkan bersama Guy mengembangkan gagasan dan penemuan mengenai benda yang bisa jadi alat pembunuh.

“Ada satu zat kimia yang bisa menghambat proses pembekuan darah. Orang telah menguji dengan menyuntikkannya kepada tikus. Ketika tikus-tikus diadu, segores luka, biarpun kecil, bisa menyebabkan kematian karena darah terus keluar,” kata Guy. 

“Saya jadi ingat pengalaman di rumah sakit,” balas Alice. “Paramedis juga menggunakan zat itu atau sesuatu yang proses kerjanya mirip itu. Upaya menghambat pembekuan darah berguna bagi penderita trombosis.”

“Oh, ya?” kata Guy. “Wan, metode pembunuhan yang menarik. Mungkin di buku mendatang saya akan menerapkannya. Akan lebih bagus kalau ditambahi unsur perangsang, lantas ada goresan kecil, misalnya di pergelangan tangan ....”

Alice mengusulkan agar Guy menggali kemungkinan lain dari kasus mabuk biasa menjadi pembunuhan yang sulit dilacak.

“Tidak perlu dengan anggur,” balas Guy. “Ada sejenis kol yang mengandung kalsium oksalat, yakni semacam kristal yang menimbulkan rasa pedih. Kulit yang tergores tanaman ini bisa bengkak. Bayangkan kalau tanaman ini masuk ke dalam mulut. Rongga mulut jadi bengkak menyebabkan orang tak bisa bernapas. Nah, kalau ada kasus semacam ini, ahli patologi yang kalibernya biasa saja pasti akan menyimpulkan korban mati karena tercekik sendiri. la tak akan menemukan zat yang mematikan lysichiton symplocarpus yang terkandung dalam kol itu. Satu lagi metode pembunuhan yang sulit dilacak.”

Berpingpong gagasan dengan Guy adalah pengalaman menyenangkan buat Alice. Sedangkan buat Rupert, pembicaraan itu memuakkan. Maka ia bersyukur ketika waktu dua minggu telah lewat, saat Pamela dan Guy pamit.

Ada sesuatu yang dirasakan Alice sepeninggal pasangan sahabatnya. Tanpa sadar, sifat sadis yang lama terpendam muncul dan terpupuk kembali, meski hanya karena imajinasi. Betapa bersyukurnya dia karena hal itu tak berkepanjangan, sehingga ia bisa kembali pada rajutannya yang tertunda.

Rupert menyalakan rokok. 

“Kupikir-pikir, kenapa aku tidak membelikanmu mesin rajut ya?” katanya. 

“Aku enggak mau mesin rajut, Yang.” 

“Minggu lalu, saat jalan-jalan dengan Guy, ada satu mesin rajut di toko. Memang agak mahal, tapi nggak masalah. Yang penting bisa membuatmu senang dan kerja lebih cepat.”

“Aku bilang, aku enggak mau mesin,” suara Alice meninggi. 

Rupert terdiam. Ia hanya memperhatikan jari-jari tangan Alice bergerak-gerak memainkan sepasang jarum dan benang.

“Sebenarnya, aku tak suka suara itu,” kata Rupert sambil menunjuk jari Alice. 

“Suara apa?” Alice gusar. 

“Itu, bunyi klak-klik-klak-klik.”

“Ah, mana mungkin? Dari ruang sebelah tak terdengar apa-apa.” 

“Tapi aku dengar.”

 “Kamu akan terbiasa.” 

Tapi Rupert tak kunjung terbiasa. Ketika Alice melanjutkan akitivitas pada hari berikutnya, Rupert bilang, “Ternyata bukan karena bunyi klak-klik-klak-klik, Manis, tapi karena jari-jarimu yang menyentak-nyentak naik-turun itu. Rasanya miris melihatnya.”

“Ya jangan lihat, dong.” 

“Enggak bisa, Manis. Entah kenapa, aku selalu terpancing untuk melihatnya.” 

Alice jadi senewen. Sesuatu yang semula dirasanya enak, terganggu oleh tanggapan suaminya. Rajutannya jadi lamban dan tidak cermat. Mengetahui hal itu, Rupert mencoba mengalihkan perhatian. 

“Kita pergi saja, yuk. Minum-minum sebentar di pantai, kemudian ke Restoran Queen untuk makan malam.”

“Ayo,” Alice pun setuju. 

“Tapi, maukah kamu meninggalkan hobi itu demi aku? Toh itu cuma sepele. Kamu bisa beralih ke hal lain yang lebih berguna.”

Cuma sepele dan tak berguna? Alice geram, tapi tak bisa apa-apa. Bagaimana pun Rupert adalah suaminya dan perkawinan membutuhkan saling memberi dan menerima. Dia harus menghentikan hobi dan kebiasaan demi suaminya, karena selama ini suaminya telah memberinya banyak hal.

 

“Apa? Pergi dari rumah?!”

Alice merasa sangat kehilangan. Lama menjalani hobi dalam intensitas tinggi tiba-tiba harus berhenti tanpa persiapan. la yang selama ini biasa membaca atau nonton televisi sambil merajut, merasa kagok melakukannya tanpa merajut. Dengan tangan menganggur, dia menjadi tak tenang.

Sampai suatu sore, keduanya melihat sebuah sweater tergantung di etalase toko. Warnanya krem, di bagian depan terdapat gambar sebuah pulau dalam kombinasi merah dan abu-abu. 

“Berani taruhan, kamu pasti tak bisa buat yang seperti itu. Rajutan kelas tinggi, pasti dikerjakan dengan mesin,” kata Rupert.

Alice tersentak. Emosinya naik. la ingin sekali menampar muka suaminya. la tahu persis, barang yang dipajang itu tidaklah terlalu istimewa. Masalahnya, Alice tak boleh lagi merajut. Keinginan yang timbul terpaksa diredam. Tapi, sampai kapan ia tak boleh merajut? Haruskah menunggu sampai pisah dari Rupert? Atau, haruskah menunggu sampai Rupert mati?

Pikiran kejam semacam itu bukan sekali dua kali muncul. Tapi tak apa-apa. Menurut Alice, pemikiran itu sama kejamnya dengan perlakuan Rupert terhadap dirinya. Ia sering menyesali, kenapa mau menikah dengan pria yang hanya tiga bulan dikenalnya. Ingin rasanya memukul Rupert dari belakang, menyiksanya hingga mengiba, memohon ampun, kemudian membebaskannya kembali merajut.

Rupert menangkap ada perubahan dalam diri istrinya, tapi tak tahu penyebabnya adalah kehilangan sesuatu yang berarti segala-galanya. Ia cuma menebak, istrinya pasti gelisah karena ia makin banyak merokok. Bagaimanapun, Alice paling tahu kondisi kesehatan Rupert. Ia paling paham akibat rokok pada Rupert. Maka dengan mantap ia pun memutuskan untuk berhenti merokok (lagi).

Lima hari tanpa tembakau, badannya terasa ngilu ketagihan. Apa lagi di dalam bar dengan aroma asap yang menggiurkan. Maka ia pun membeli sebungkus dan menyalakannya. Sesampai di rumah, satu batang lagi. Kerinduannya pada nikotin begitu hebat, membuatnya tak peduli lagi pada sekitarnya. la bahkan tak sadar Alice duduk sambil menatapnya di kursi depan. Rupert mengisap rokok dalam-dalam, lantas mengeluarkan sisa asap dengan penuh perasaan. Sehabis satu batang, ia ingin menyambungnya dengan batang kedua. Seketika, satu tangan Alice merampas bungkus rokok, dan satu tangan lagi menampar muka Rupert.

“Dasar makhluk kejam dan egois! Kamu boleh bersenang-senang dengan racun pembunuh yang baunya memuakkan perut, sementara aku kamu larang melakukan hobi sederhana yang tak berbahaya! Kamu memang babi yang tak punya perasaan!”

Pertengkaran pun tak terelakkan. Berjam-jam kemudian keduanya diam. Keadaan baru membaik tiga hari kemudian. Rupert berjanji untuk menjalani terapi penyembuhan kecanduan rokok, sementara Alice menjelaskan keinginannya untuk menyisihkan waktu sejenak setiap hari untuk merajut. Mungkin satu jam sehari, di salah satu sudut ruang makan, tanpa mengganggu aktivitas dan rutinitas apa pun.

Awalnya memang satu jam. Alice betul-betul melampiaskan kerinduannya pada rajutan. Kendati tak lagi membuat sesuatu untuk Rupert, ia terlalu banyak menyimpan keinginan merajut. Sehingga waktu yang satu jam mulur jadi satu setengah jam. Terus jadi dua jam dan selanjutnya. Ia baru sampai pada bagian punggung baju wol wanita warna burgundi, yang diselesaikan secara penuh konsentrasi selama dua setengah jam, ketika tiba-tiba Rupert masuk ke dalam ruangan dengan mulut menjepit rokok serta bau wiski yang menyengat. Dia renggut benda dari genggaman Alice dan membuangnya. Alice berteriak histeris, menarik baju dan mengguncang-guncangnya. Tapi Rupert malah mengobrak-abrik benang dan peralatan rajut yang tersisa di atas meja. Sebagian benang yang menyangkut di jari-jari diputuskannya. Jarum besar coba dipatahkannya, sementara kertas-kertas pola dirobek-robeknya. Alice mendorong muka Rupert dan memukul badannya, tetapi Rupert membalas dengan mencampakkannya ke lantai.

Tiga hari kemudian Alice minta cerai. Rupert bilang, dirinyalah yang mestinya minta lebih dulu, karena Alice adalah pemicu percekcokan. Alice pun menjawab, jika itu kesimpulannya, mestinya Rupert yang angkat kopor dan pergi dari rumah.

“Aku? Pergi dari rumah?! Ngawur, kamu!” 

“Tidak, aku tidak ngawur. Laki-laki yang bermartabat, apalagi seorang perwira, pasti akan melakukan hal itu,” kata Alice.

“Apa?! Kamu ingin aku pergi dari rumah yang kubeli dari warisan orang tuaku? Kamu bukan hanya perempuan sundal, kamu gila! Kamu yang harus pergi! Tak apa-apa nanti aku memberi santunan, karena hukum memang mengatur begitu!”

“Terus, aku kamu suruh apa? Kembali jadi perawat? Tinggal di flat kumuh? Lebih baik aku mati. Aku akan tinggal di sini!” 

Pertengkaran berlangsung berhari-hari, sampai keadaan tak bisa membaik lagi. Rupert gagal mengatasi ketergantungan rokok. la makin sering pergi dan pulangnya mabuk. Sementara Alice tak berani merajut selagi Rupert di rumah.

“Aku sudah berkorban tidak merajut demi kamu, tetapi kamu tak membalas dengan memberikan rumah ini dengan sedikit perabotnya,” kata Alice.

“Gila kamu, mestinya bukan begitu cara berpikirnya.” 

Lagi-lagi keduanya berkelahi fisik. Alice menerjang Rupert dan memukul mukanya. Rupert menangkap tangan itu, lantas menariknya hingga Alice terduduk di kursi. Seketika kursi itu, dia dorong hingga keluar ruangan. Setelah itu Rupert bergegas pergi ke bar di pantai, minum dua gelas wiski sambil mulut terus-menerus mengepulkan asap rokok. Ketika pulang, ia mendapati Alice tidur di kamar lain. Rupert langsung menenggak dua pil tidur. Ia pun terlelap.

Keesokan harinya, Alice masuk ke dalam kamar Rupert. Pria itu masih pulas saat Alice mengelap kulit kepalanya, serta menyisiri rambut tebalnya yang memutih. Alice tak lupa mengganti sarung bantal, menyeka noda yang menempel pada baju piyama suaminya, kemudian dengan tenang menelepon ... dokter!

 

Di mana jarum yang satunya?

“Ya, ia telah meninggal! Tampaknya jantungnya tak kuat,” kata dokter. “Konsumsi rokok dan alkohol berjumlah besar dalam waktu singkat menyebabkan otot jantung tak sanggup menahannya. Kerusakan otot jantung yang parah,” lanjut dokter.

Alice mengangguk. “Sejak dia merokok lagi, saya selalu punya bayangan buruk.” 

“Sebenarnya, dalam kasus ini ...”

Dokter belum selesai bicara ketika Alice menyela, “Tapi bagaimanapun, saya telah mengalami bulan-bulan penuh kebahagiaan bersama dia.”

Dokter menandatangani surat keterangan kematian. Semuanya serba jelas, tak perlu autopsi segala. Pamela dan Guy datang pada saat kremasi jenazah, kemudian mengajak Alice tinggal sementara di rumah mereka.

Empat minggu kemudian Alice kembali ke rumah yang kini dia miliki sepenuhnya. Ia bahkan bisa menambah perabotan dari uang tabungan Rupert, sementara jaminan sosialnya sangat cukup untuk hidup.

Hari berganti dan bulan berlalu. Pamela hampir tak mengenali Alice ketika berjumpa lagi dengannya. Alice kelihatan lebih muda, lebih langsing, sebagian rambutnya dicat warna merah.

“Bagus sekali bajumu,” Pamela memuji setelan warna burgundi yang dikenakan Alice. Baju bagian atasnya berupa jaket tebal berenda-renda.

“Aku membuat sendiri atasan ini,” jelas Alice. 

“Wah, aku jadi tak sabar ingin merajut lagi. Rasanya kemampuanku tidak kalah dari kamu, Alice.”

Esoknya, hari Minggu, keduanya berjanji untuk main di pantai. Pamela mengutarakan lagi keinginannya untuk merajut. Tangannya sudah geregetan. Maka keduanya mampir ke rumah Alice. Sesampai di rumah, Alice membuka laci penyimpanan perkakas rajut, diambilnya selembar rajutan warna biru yang pernah dibuatnya namun tak dilanjutkan. “Kamu teruskan saja pekerjaan ini, dan ini polanya. Mungkin bisa kamu buat jadi kaus hangat untuk Guy,” kata Alice. 

Pamela setuju. “Tinggal meneruskannya, kok. Tetapi mana jarumnya, nomor empat belas, Alice?” 

Sekejap wajah Alice berubah. Dengan ragu ia mengambil amplop plastik tempat penyimpanan jarum di dalam laci. Satu per satu dibukanya, tak ada ukuran yang dimaksud. Pamela, yang sudah terbakar oleh semangat untuk merajut, tak sabar ikut meraba-raba alas laci. “Nah, ini dia. Nomor empat belas, dua milimeter, double O .... Tapi, cuma ada satu, Alice!”

“Oh, ya? Pasti yang satunya hilang,” Alice langsung merebut jarum dari genggaman Pamela, lantas memasukkannya ke dalam laci.

“Tunggu, Alice. Pasti cuma terselip di suatu tempat, tidak hilang,” kata Pamela kaget. 

“Hilang. Aku yakin itu. Sayang kamu terpaksa tidak bisa mulai merajut malam ini.”

Guy menyela, “Rasanya aneh, jarum yang mestinya selalu berpasangan, bisa hilang salah satu.”

“Ya bisa saja. Barangkali terjatuh dalam perjalanan, dicari tidak ketemu,” Pamela menanggapi. “Atau mungkin dipakai Alice untuk hal lain, misalnya menyodok pipa yang tersumbat.”

“Ia jelas perlu besi yang lebih besar, bukan jarum kail. Nah, kalau dalam novelku, jarum kait nomor empat belas bisa jadi alat pembunuh. Sedikit diasah ujungnya, bisa ditusukkan pada kulit kepala mabuk atau tak sadar. Tusukan bisa menembus tengkorak kepala sampai ke otak, dengan hanya menimbulkan sedikit pendarahan.”

“Tapi kalau diperiksa dokter, pasti ketahuan,” Alice menanggapi.

“Belum tentu. Yang jelas, hampir semua pria setengah baya mempunyai tanda-tanda penderitaan jantung koroner meski kadarnya berbeda-beda. Bagi ahli patologi yang kualitasnya biasa saja, hal itu tidak mencurigakan. Ia tak akan mewaspadai kemungkinan lain, apalagi untuk menemukan satu titik di kulit kepala, di balik rambut yang tebal dan ikal!”

“Sudah! Sudah! Hentikan cerita seram itu!” sahut Pamela, setelah mengetahui muka Alice berubah jadi pucat dan tangannya yang memegang benang gemetaran. 

Pembicaraan terhenti. Alice memaksakan diri untuk tersenyum. “Oke, sekarang kita cari kegiatan lain saja. Besok, setelah beli jarum nomor empat belas, kita akan merajut lagi. Aku pun harus memulai aktivitas baru karena terlalu lama menganggur. Padahal dulu ibuku selalu memberi nasihat, jangan biarkan tanganmu menganggur, sebab setan akan memperalatnya untuk melakukan kejahatan.” (Ruth Rendell)

Baca Juga: Terilhami Buku Kriminal

 

" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606085/jarum-setan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670683758000) } } }