array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3257411"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(95) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/kisah-keduajpg-20220428065106.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(115) "Pernikahan Pangeran Charles mendatangkan hoki bagi para penjudi. Seorang pria mencari seseorang yang mirip dirinya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Misteri"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "mystery"
        ["id"]=>
        int(1368)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Misteri"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(95) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/kisah-keduajpg-20220428065106.jpg"
      ["title"]=>
      string(52) "Ramalan Penulis Sandiwara dan Ditangkap Saat Terbang"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-04-29 10:05:48"
      ["content"]=>
      string(11192) "

Intisari Plus - Seorang penjahat yang mencoba melarikan diri ke luar negeri, ternyata bertemu polisi yang hendak berlibur. Pernikahan Pangeran Charles mendatangkan hoki bagi para penjudi. Seorang pria mencari seseorang yang mirip dirinya.

---------------------------------------

Ditangkap Saat Terbang

AWAL tahun 1988, Peter Miller, detektif dari pasukan penanggulangan narkoba di Australia, menangkap Stephen Rotaru (31), yang berasal dari Cleveland, Ohio, AS, dengan tuduhan memasok dan memiliki kokain serta daun ganja. Tiga minggu setelah penahanan itu, Miller pergi berlibur. 

Di Bandara Sydney, Miller naik ke pesawat Continental Flight 16, yang akan berangkat ke Ohio lewat tujuan Miller, Hawaii. Ketika sedang berjalan di sepanjang deretan kursi, ia melihat Rotaru duduk di salah satu kursi. Segera saja Miller menangkap orang Amerika itu. 

Rotaru sebenarnya sudah menyerahkan paspornya ketika pertama ditangkap, tetapi kemudian berhasil membujuk konsulat AS untuk menerbitkan yang baru. Selain menyerahkan paspornya, Rotaru memberi uang jaminan untuk ditahan di luar dan mesti melapor ke polisi dua kali seminggu. 

Ternyata ia memanfaatkan kesempatan ditahan luar ini untuk kabur. Miller sama sekali tidak sengaja mencari Rotaru. Sepanjang pengetahuannya, Rotaru yang menyangkal keras bersalah, sungguh-sungguh berniat menghadapi meja hijau. Miller memesan tempat di pesawat yang sama tanpa maksud lain, kecuali berlibur ke Hawaii.

 

Kisikan Pembawa Rezeki

TANGGAL 9 Juli 1981, pada hari pernikahan Pangeran Charles dengan Lady Diana, seperempat pemenang pacuan kuda di Inggris adalah kuda-kuda baru yang namanya antara lain Tender King, Favoured Lady dan Wedded Bliss (Kebahagiaan Pernikahan). 

Dari 200 ekor kuda yang berpacu hari itu, sebelas di antaranya memiliki nama "royal" (yang berkenaan dengan kerajaan) atau semacam itu dan enam di antaranya menang atau tiba nomor dua dalam 17 pertandingan. Padahal kemungkinannya secara keseluruhan adalah 1 : 54.000 dan tidak ada seekor pun kuda itu yang semula difavoritkan.

 

Doppelganger

BILL Spencer, seorang prajurit, keluyuran tanpa tujuan di jalan-jalan Kota Adelaide. Bukannya menikmati 24 jam cutinya, ia malah merasa waswas, tanpa mengetahui alasannya. 

Setelah makan malam, yang dilakukannya dini, ia menunggu saat untuk bisa menonton bioskop atau berdansa, kemudian ia akan pulang ke kesatuan antiserangan udara di Outer Harbour, di pinggiran Kota Adelaide. 

Di Rundle Street, yang pada tahun 1942 merupakan pusat pertokoan, ia berhenti dan terdorong menoleh ke persimpangan jalan King William Street. Dilihatnya seorang polisi militer dengan seorang prajurit sedang bercakap-cakap sambil memandang Bill. Jelas mereka sedang membicarakan dia. 

Bill mengira polisi militer itu akan mendekati dan memeriksa surat izin cutinya. Karena suratnya beres, ia tidak khawatir dan berniat melanjutkan perjalanan. Namun yang menghampiri malah si prajurit. 

Sambil berdiri tepat di hadapan Bill, prajurit itu menyapa: 'Goodday.' Dengan ragu-ragu Bill menjawab, ' Good day. 

Prajurit itu heran karena Bill tidak tampak bersemangat menanggapinya. "Lupa ya kepada saya?" tanyanya. 

Bill menjawab, ia belum pernah bertemu dengan prajurit itu seumur hidupnya. Prajurit itu tampak bingung. "Masa tidak ingat kepada saya! Kita 'kan setenda selama enam minggu di Rottnest." Rottnest adalah sebuah pulau kecil sekali di Australia Barat. 

Bill mundur selangkah dan memberi tahu prajurit itu,"Saya tidak pernah melihatmu sebelum ini dan seumur hidup tidak pernah pergi ke Austalia Barat." 

Lalu, Bill kaget ketika orang itu berkata, "Kamu 'kan Bill Spencer?" 

Bill membenarkan. Prajurit itu lantas bersikeras. Mereka setenda. Enam minggu. Namanya sama. Kenapa dia tidak mau mengaku kenal? Apa salahnya? 

Ketika prajurit itu semakin kesal, Bill bingung. Yang bisa dilakukannya cuma mempertahankan apa yang dikatakannya. 

Akhirnya, lawan bicaranya menjadi lebih tenang dan meninggalkan Bill, sambil tetap mengira ia bertemu dengan Bill Spencer yang dikenalnya di Rottnest. 

Tahun 1948, Bill kebetulan pindah ke Australia Barat dan menetap di sana. Ia berusaha beberapa kali mencari orang yang nama maupun penampilannya sama dengan dia, tetapi tanpa hasil. 

Mula-mula ia menduga Bill Spencer yang seorang lagi itu tewas pada bulan-bulan terakhir perang atau sudah pindah entah ke mana. Namun, kemudian orang-orang mulai memberi tahu dia bahwa mereka bertemu dia di tempat-tempat yang tidak pernah dikunjunginya. "Ketemu kamu di Perth hari ini, atau Victoria Park, atau di pantai." 

Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Bill mencoba mencari lewat pelbagai koran di Australia Barat, tetapi tanpa hasil. 

"Saya ingin menemukan Bill Spencer yang seorang lagi, yang penampilannya mirip sekali saya," kata Bill. "Tapi sekarang umur saya hampir 76, jadi harapannya tipis."

 

Betul-betul Duplikat

PADA tanggal 28 Juli 1900, Raja Umberto I dari Italia dan ajudannya, Jenderal Emilio Ponzio-Vaglia, tiba di Kota Monza, beberapa kilometer di luar Milan. Keesokan harinya, raja hams menyerahkan hadiah-hadiah pada suatu pertandingan atletik. 

Pada malam kedatangannya, ia dan ajudannya pergi ke sebuah restoran kecil untuk makan malam. Ketika pemilik restoran sedang menuliskan pesanan raja, raja menyadari bahwa ia dan sang padrone (pemilik restoran) benar-benar seperti pinang dibelah dua, baik wajah maupun bentuk tubuh mereka. 

Ia menyatakan hal ini kepada sang padrone dan mereka pun bercakap-cakap. Terungkaplah sejumlah persamaan yang mengejutkan mereka. 

Raja terheran-heran mengetahui kebetulan-kebetulan ini dan bertanya kepada pemilik restoran, bagaimana mungkin mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Padahal, kata Umberto kepada orang itu, mereka pernah diberi bintang atas keberanian mereka pada dua kesempatan, yang pertama tahun 1866, saat sang padrone menjadi prajurit dan sang raja kolonel. Yang kedua kali terjadi tahun 1870 ketika pemilik restoran naik pangkat menjadi sersan dan raja menjadi panglima. 

Setelah semua ini terungkap, sang padrone kembali melaksanakan tugasnya dan raja menoleh ke ajudannya serta berkata, "Aku bermaksud memberi orang itu Bintang Kerajaan Italia besok. Pastikan ia hadir di pertandingan." 

Keesokan harinya, raja ingin menepati janjinya. Ia bertanya, mana orang yang mirip dengannya itu. Raja diberi tahu bahwa hari itu sang padrone tewas ditembak. 

Raja terkejut. Ia meminta ajudannya mencari informasi, kapan orang itu akan dimakamkan, supaya ia bisa hadir. Saat itu juga, terdengar bunyi tembakan tiga kali. Tembakan pertama luput, tetapi yang berikutnya menembus jantung raja yang tewas seketika.

 

Dibayar Lunas

SUATU hari di tahun 1952, seorang penerbang angkatan laut, William Riordan, mengemudikan mobil dari tempat ia bertugas di pangkalan udara angkatan laut menuju ke rumahnya. Dilihatnya kendaraan-kendaraan di depannya mengurangi kecepatan. 

Ketika ia mendekat, ternyata kendaraan-kendaraan itu menghindari sesuatu yang terletak di dekat trotoar sempit. Ketika Riordan tiba di tempat itu, dilihatnya seorang pria tiarap di tanah. 

Pengendara-pengendara lain menekan klakson keras-keras karena kesal jalan macet akibat Riordan memperlambat kendaraannya lalu berhenti di tepi jalan untuk memeriksa orang yang dianggap oleh pengendara lain sebagai "pemabuk tidur". 

Riordan melihat bahwa kulit kepala orang itu cedera dan lukanya besar, tetapi tidak kelihatan dari jalan. Setelah memberi pertolongan pertama, penerbang itu memanggil ambulans. Setelah ambulans membawa orang tersebut, Riordan pulang dan melupakan peristiwa itu. 

Beberapa bulan kemudian, pilot Riordan menerbangkan pesawat di daerah yang sama, dalam badai salju yang tidak memungkinkan orang melihat apa-apa. Pipa-pipa untuk memasukkan udara pada tiga mesin pesawat tersumbat salju, sehingga mesin mati. Pesawat itu jatuh di hutan dekat pangkalan udara. 

Ketika ambulans angkatan laut tiba di tempat kejadian, mereka menemukan sang penerbang tergantung-gantung pada pahanya, yang tersangkut pada sepotong baja bergerigi. 

Tepi baja yang tajam mengiris daging pahanya sampai tulang. Namun ada seorang pria berdiri di bawah sang pilot, memegangi pilot itu supaya pahanya tidak putus karena tekanan badannya. Kata pria itu, ia sudah memegangi pilot itu kira-kira sejam. 

Sesudah regu penolong membebaskan pilot dari reruntuhan pesawat, pilot itu sadar sebentar dan menemukan bahwa pria yang menyelamatkan pahanya itu adalah orang yang pernah ditolongnya di tepi jalan.

 

Ramalan Penulis Sandiwara

TAHUN 1880-an, Arthur Law menulis sandiwara yang menceritakan bahwa satu-satunya orang yang selamat dari sebuah kapal karam adalah Robert Golding. Nama kapalnya Caroline. 

Beberapa hari setelah sandiwara itu dipanggungkan untuk pertama kalinya, Law membaca di surat kabar kisah sebuah kapal yang karam sungguhan. Korban yang selamat cuma seorang. Nama kapal itu Caroline dan nama orang yang selamat itu Robert Golding.




 

 

" ["url"]=> string(97) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257411/ramalan-penulis-sandiwara-dan-ditangkap-saat-terbang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651226748000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246439" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/pagar-makan-binatangjpg-20220420050356.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "Seorang detektif partikelir menyamar sebagai centeng kebun binatang untuk mengusut kasus pencurian. Hingga suatu malam ia mendengar suara tembakan." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/pagar-makan-binatangjpg-20220420050356.jpg" ["title"]=> string(20) "Pagar Makan Binatang" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:36:58" ["content"]=> string(27731) "

Intisari Plus - Pencurian binatang kian merebak. Seorang detektif partikelir menyamar sebagai centeng kebun binatang untuk mengusut kasus pencurian. Hingga suatu malam ia mendengar suara tembakan yang berasal dari kandang binatang.

---------------------------------------

Suasana malam di Kebun Binatang Fleishhacker, San Francisco, sama seramnya dengan kuburan. Apalagi pada musim dingin yang berkabut seperti ini. Arloji saya di kegelapan yang jarum-jarumnya bersinar menunjukkan pukul 11.45. Berarti saya masih harus berkeliling mencentengi tempat ini lebih dari enam jam lagi. 

Rasanya tubuh sudah hampir beku, meskipun memakai pakaian berlapis-lapis, bermantel, bersarung tangan tebal dan berpenutup kepala. Mudah-mudahan saya tidak terserang radang paru-paru gara-gara angin dingin mengiris-iris ini. 

Kadang-kadang ada binatang yang bersuara. Dua malam yang lalu, ketika baru mulai menjadi centeng, saya sampai melompat terkejut mendengar suara-suara seperti itu. Sekarang saya sudah terbiasa. Saya tidak mengerti mengapa Dettlinger dan Hammond, sesama centeng, bisa betah bekerja di sini. Saya sendiri rasanya tidak tahan, walaupun baru tiga hari bertugas.

 

Sering kemalingan 

Saya berjalan menuju tempat burung-burung. Pohon-pohon cemara di sebelah kiri saya meliuk-liuk ditiup angin, seperti raksasa hitam menari. Kebanyakan burung sedang tidur, tapi ada juga di antara mereka yang nampak bergerak-gerak. Empat hari yang lalu, tiga ekor burung bunting yang langka lenyap digondol maling. Sebelumnya maling sudah mengambil dua ekor elang Harris asal Amerika Selatan, tiga burung pemakan kepiting dan juga setengah lusin ular Crotalus pricei

Pencurian beruntun itu tentu saja merisaukan. Pada malam ular Crotalus pricei dicuri, salah seorang rekan saya, Sam Dettlinger, sempat melihat orang berlari. la mengejar, tetapi maling itu berhasil lolos. Karena hanya melihat dari kejauhan, Dettlinger tidak bisa menggambarkan bagaimana rupa si pencuri. la bahkan tidak tahu apakah orang yang dikejarnya itu pria atau wanita. 

Polisi tentu saja sudah dimintai bantuannya, tetapi tampaknya mereka tidak berdaya. Pengurus kebun binatang lantas memperketat penjagaan dengan menambah seorang centeng lagi, Al Kirby, untuk membantu sementara waktu. Apalah artinya penambahan seorang centeng, mengingat kebun binatang ini luasnya lebih dari 28 ha. Ditambah seratus orang pun percuma saja. Mana mungkin bisa mencegah orang memanjat pagar pada malam hari? Apalagi di dalam kebun binatang ini ada macam-macam hutan, gua, dan kolam yang tepinya ditumbuhi semak-semak, meniru habitat asli penghuninya.

Saya menjadi centeng di sini gara-gara seorang pengacara bernama Lawrence Factor. la pencinta binatang dan salah seorang pengurus kebun binatang ini. Saya pernah membantu dia memecahkan suatu perkara di masa yang silam. Factor meminta saya pura-pura mencari pekerjaan sebagai centeng di sana. Pekerjaan saya sebenarnya detektif partikelir. 

Buat apa sih orang mencuri binatang? 

"Binatang-binatang itu berharga," kata Factor. "Para kolektor dan pemilik kebun binatang pribadi berani membayar mahal untuk hewan-hewan langka itu. Soalnya, mereka tidak bisa memperolehnya lewat jalan yang legal." 

Ternyata di pasar gelap ular pricei harganya 250 dolar dan elang Harris paling murah 500 dolar. Elang itu bisa dididik untuk berburu. 

Menurut Factor, biasanya maling tidak mau mengganggu kebun binatang besar seperti Fleishhacker, sebab risikonya besar. Namun, kalau ada orang yang berani menawarkan harga tinggi sekali, maling jadi nekat. 

Factor menduga maling di Fleishhacker ini profesional, sebab ia tahu betul binatang mana yang mahal. Caranya membuka pintu kandang pun ahli betul. 

"Orang dalam?" tanya saya. 

"Bisa saja, tetapi mudah-mudahan bukan," kata Factor. 

Begitulah ceritanya sampai saya berada di kebun binatang pada malam dingin yang menyebalkan ini. Setiap siang, saya melakukan penyelidikan di luar. Selain itu diam-diam saya mengorek keterangan dari para karyawan. Hasilnya tidak menggembirakan. 

Saya sungguh berharap agar maling cepat-cepat bereaksi lagi, sebab saya sudah sebal mencentengi kebun binatang, walaupun mendapat bayaran tinggi dari Factor. 

Saya mendekati kandang burung-burung dan memeriksa pintunya. Masih terkunci. Walaupun demikian, saya menyorotkan lampu senter saya untuk memeriksa. 

Semua beres. Malam ini seperti biasa, kami bertugas berempat: Dettlinger, Hammond, Kirby, dan saya. Kami masing-masing berbekal walkie-talkie dan berangkat dari empat sudut yang berbeda. Arah jalan kami sudah ditentukan, yaitu menuruti jarum jam. Jadi kami bisa meliput seluruh kebun binatang, tidak berkumpul di satu tempat saja. 

Setelah mengelilingi tempat burung saya menuju ke tempat monyet-monyet. Mereka tinggal di sebuah pulau yang dihuni oleh sekitar 60 - 70 ekor monyet. Tidak jauh dari sana ada tempat gajah, tetapi karena kabut turun, tempat itu tidak kelihatan. Tahu-tahu suara merak jantan mengagetkan saya. Kurang ajar burung itu! Rasanya saya ingin memanggangnya dengan bumbu bawang putih. Mungkin enak dimakan panas-panas.

 

Pangeran Charles terbangun 

Saya maju terus, melewati jalan di antara kandang kuda nil dan gua-gua tempat beruang coklat dan melewati sebidang tanah yang cukup luas di muka Rumah Singa. 

Bagian depan Rumah Singa itu berupa kandang-kandang kaca dan kawat untuk memamerkan singa dan harimau. Di antara mereka terdapat binatang paling berharga yang dimiliki oleh kebun binatang itu, yaitu harimau putih berumur setahun. Di dunia ini sekarang paling-paling cuma ada lima puluh ekor harimau putih. Namun, orang waras rasanya tidak akan mencuri binatang itu. Soalnya, beratnya hampir 250 kg. 

Harimau putih itu dinamai Pangeran Charles, tetapi biasa dipanggil si Charley. la sedang tidur nyenyak bersama rekannya, seekor harimau benggala betina bernama Whiskers. Saya memandang mereka beberapa saat lalu beranjak dari sana. 

Saat itulah ada orang mendekati saya dari arah tempat kandang lingsang. Karena ada kabut, saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Sebelah tangan saya segera menarik lampu senter dari saku dan sebelah lagi siap dengan walkie-talkie. Ternyata kewaspadaan saya berlebihan, sebab orang itu memanggil nama saya dengan suara yang saya kenal. 

"Ada apa, Sam?" tanya saya kepada Sam Dettlinger. "Mestinya 'kan kau ada di daerah kandang gorila sekarang." 

"Betul," jawabnya. "Tapi kira-kira lima belas menit yang lalu rasanya aku melihat sesuatu di balik gua-gua tempat harimau." 

"Apa yang kaulihat?" 

"Ada orang mengendap-endap di semak-semak." 

"Mengapa kau tidak memanggil kami?" 

"Aku tidak yakin betul. Kabut sialan ini mengganggu pemandangan. Jadi aku ingin memeriksa dulu. Ternyata tidak ada apa-apa." 

"Baiklah. Aku akan mengecek lagi supaya kita yakin." 

"Perlu kutemani?" 

"Tidak perlu. Sudah hampir giliranmu beristirahat 'kan?" 

la memandang arlojinya. "Eh, ya. Hampir pukul 24.00." 

Tahu-tahu di dalam Rumah Singa, dari balik kandang-kandang kaca, terdengar ledakan, seperti tembakan. Kami berdua terperanjat. 

"Apa tuh?" kata Dettlinger. 

"Tidak tahu. Ayo kita lihat!" 

Kami berlari sekitar 20 m ke pintu Rumah Singa. Bunyi keras tadi membangunkan Pangeran Charles dan temannya. Saya mengguncang pintu, ternyata masih terkunci. 

"Kau punya kunci?" tanya saya kepada Dettlinger. 

"Ya."

la mengeluarkan rencengan kunci kandang. Saya menyorotkan lampu senter untuk membantunya mencari kunci yang tepat. Saat itu sunyi sekali di sekitar kami maupun di dalam Rumah Singa. Dettlinger membuka pintu dan saya menerobos masuk ke sebuah ruangan kecil. Lewat pintu yang tidak terkunci di ruangan itu saya masuk ke ruang utama bangunan itu. Ruangan itu tidak berjendela. Di langit-langitnya beberapa lampu menyala. Di sana ada beberapa pintu untuk masuk ke ruangan tempat binatang-binatang makan dan beberapa pintu lain untuk ke semacam taman tropis yang beratap. Tiba-tiba Dettlinger berteriak terkejut. 

"Lihat!" serunya. Saat itu kebetulan saya pun sedang melihat ke arah yang ia tunjukkan. Lewat pintu terali sebuah kandang tempat makan yang kosong, seorang pria kedapatan terbaring telentang. Di mantelnya yang tebal kelihatan noda darah, sebuah revolver tergenggam di tangannya. 

Saya melihat wajahnya. Kirby! Si penjaga malam sementara yang baru dipekerjakan beberapa minggu yang lalu. Ia sudah menjadi mayat. 

Saya memeriksa pintu-pintu. Semua terkunci. Kirby tampaknya ditembak dari jarak dekat. Di mantelnya, di bagian dada, ada noda mesiu. Saya merasa mual. Memang begitulah yang terjadi setiap saya menyaksikan kematian akibat kekerasan. Apalagi di sini samar-samar bau binatang. 

"Kau punya kuncinya?" tanya saya.

 "Tidak," katanya. "Buat apa membawa-bawa kunci ke tempat ini? Cuma pengurus binatang-binatang buas ini yang memilikinya." 

Dettlinger menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana caranya Kirby bisa masuk?" tanyanya. Tak ada yang tahu. Saya minta Dettlinger menunggu di sana sementara saya berlari ke luar memeriksa pintu lain yang memungkinkan orang keluar dari Rumah Singa pada saat Dettlinger dan saya masuk dari pintu yang sebuah lagi. Ternyata pintu itu terkunci. Lagi pula jarak waktu antara bunyi tembakan dan saat kami memasuki ruangan paling-paling cuma 30 detik. Mana sempat orang kabur dari pintu lain?

 

Tiada jalan keluar 

Saya kembali ke tempat Dettlinger. Kelihatannya ia senewen menemani mayat. Ia membelakangi jenazah Kirby dan kelihatan sedang bersiap-siap hendak merokok.

Saya meneriaki dia, agar jangan merokok di tempat seperti ini. Saya memeriksa ruangan-ruangan di sana, sambil menanyakan keterangan kepada Dettlinger. Di belakang kandang-kandang, katanya, ada ruangan tempat para pemelihara binatang menaruh daging dan peralatan mereka. Ada juga gang untuk menuju ke gua-gua. Untuk masuk ke sana, kita harus melewati sebuah pintu. Kita cuma bisa keluar-masuk lewat pintu itu atau lewat gua, tetapi di gua-gua itu ada binatang buasnya. 

Pintu yang ditunjukkan oleh Dettlinger terkunci, tetapi ia mempunyai kuncinya. Saya minta ia membukanya dan menunggu di mulut pintu sementara saya masuk. Dengan lampu senter saya cari tombol lampu dan menyalakannya. Di dalam saya dapati pintu ke salah sebuah tempat menyimpan daging terbuka, tetapi tidak ada orang di sana. Di tempat lain pun tak ada manusia. 

Saya meminta Dettlinger menelepon polisi dari bilik telepon di dekat kios makanan. "Sambil ke sana tolong panggilkan Hammond lewat walkie-talkie," pesan saya. 

"Tidak perlu, saya sudah di sini," jawab Gene Hammond yang muncul di pintu masuk. Hammond yang tingginya 2 m dan beratnya lebih dari 100 kg itu wajahnya rata seperti pantat bus. Ia memandang seperti tidak percaya ke arah jenazah Kirby. 

Hammond juga heran bagaimana Kirby bisa berada di situ. Ia melihat Kirby terakhir kali pukul 21.00, yaitu pada awal dinas hari ini. 

Kami pikir, Kirby tidak mungkin berada di dekat tempat ini, kecuali kalau ia melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Soalnya, kalau menuruti jadwal ia baru akan tiba ke tempat ini setengah jam lagi. 

"Barangkali ia bunuh diri," kata Hammond. Soalnya, Kirby sendirian saja dalam ruangan yang terkunci dan revolver berada di tangannya. Sebaliknya, saya yakin Kirby dibunuh. "Siapa yang bisa kabur lewat gua tempat binatang buas?" kata Hammond. "Penjaga binatang-binatang itu saja tidak berani. Bisa dirobek-robek mereka!" 

Inspektur Branislaus datang menanyai kami di kantor kebun binatang, sementara anak buahnya memeriksa Rumah Singa. Setelah itu saya menelepon Lawrence Factor. Betapapun ia yang membayar saya, sehingga saya pikir sebaiknya ia tahu apa yang terjadi di kebun binatang ini.

 

Ia kenal pembunuhnya 

Ketika Factor datang, Branislaus mengajaknya berdiskusi di ruang lain, lalu saya dipanggil masuk. Rupanya Factor sudah memberi tahu siapa saya, sebab Branislaus segera memberi informasi Kirby tewas oleh peluru revolver 32. Sudah diketahui pula cara Kirby bisa masuk ke kandang terkunci itu. Dekat tubuhnya ditemukan kunci masuk. Kunci itu bisa saja dilemparkan lewat terali oleh si pembunuh setelah Kirby menjadi mayat. Kemungkinannya kecil sekali Kirby bunuh diri, sebab hampir tidak pernah ditemukan orang bunuh diri dengan menembak dada. 

Saya juga mengaitkan kematian Kirby dengan pencurian-pencurian yang terjadi di kebun binatang. 

"Mungkinkah Kirby memergoki si pencuri di Rumah Singa?" tanya Branislaus. "Kalau hal itu terjadi, mengapa ia mesti dibunuh? Mengapa ia tidak dipingsankan saja?" 

"Mungkin orang yang ia pergoki itu ia kenal," kata saya. 

"Taruhlah ia kenal pada si pencuri, tetapi mengapa mesti susah-susah dibawa ke kandang itu?" 

Kami juga bingung, bagaimana mungkin si pembunuh bisa melarikan diri lewat pintu lain, padahal jarak waktu dari suara tembakan sampai Dettlinger dan saya berada di sana cuma kira-kira 30 detik. Mustahil ia sempat mengunci lagi pintu itu? Satu-satunya jalan ialah kabur lewat gua, tetapi baik Dettlinger maupun Hammond berpendapat itu tidak mungkin dilakukan. Binatang-binatang buas akan mencabik-cabiknya. 

Kunci-kunci di Rumah Singa sudah diperiksa. Semua mulus. Pasti Kirby berada di dalam bukan dengan membongkar kunci, tetapi memakai kunci yang tepat untuk membuka pintu. 

"Branny," kata saya kepada Inspektur Branislaus. "Saya yakin ini pembunuhan dan pelakunya ingin mengecoh kita." 

Saya pergi ke luar dan memberi tahu Dettlinger bahwa sekarang giliran dia ditanyai inspektur. Saya sendiri mencari angin di antara kandang-kandang. 

Walaupun sekarang dinginnya lebih daripada tadi malam, saya pergi juga ke Rumah Singa. Polisi-polisi yang berjaga rupanya mengenali saya, sebab mereka diam saja ketika saya pergi ke belakang tembok yang mengelilingi tiga gua tempat binatang buas itu. Polisi memasang lampu portable di tempat itu. 

Ketika gua itu baru saja dipugar, diberi tanaman dan pepohonan meniru habitat asli binatang-binatang itu. Gua tengah dipisahkan dengan tembok yang tinggi, yang tidak bisa dipanjat dari kedua gua di sampingnya. Parit yang memisahkannya dari jalan tidak mungkin dilompati oleh hewan maupun manusia, sebab lebarnya lebih dari 15 m. Apalagi parit itu berbatasan dengan tembok tinggi yang tidak bisa dipanjat. Hammond dan Dettlinger memang benar, tidak mungkin orang melarikan diri lewat tempat ini. 

Saya bengong saja di situ. Tiba-tiba saja terpikir oleh saya apa yang telah terjadi.

 

Dikira kotak rokok 

Cepat-cepat saya kembali ke tempat Branislaus. la sedang bercakap-cakap dengan Factor. Hammond masih merokok seperti tadi dan Dettlinger juga masih duduk di sana. 

"Branny, saya tahu jawaban teka-teki yang kita bicarakan tadi." 

"Oh, ya?" katanya seraya meluruskan punggung. "Al Kirby tidak bunuh diri. la dibunuh. Saya tahu siapa pembunuhnya." 

Saya mengharapkan reaksi, tetapi Branislaus, Factor, Hammond, dan Dettlineger tampaknya tidak terkesan.

 "Siapa?" tanya Branislaus. Saya tidak berniat menyebutnya dulu. "Dia si pencuri burung dan binatang lain. Dia bukan pencuri profesional seperti yang selama ini kita yakini dan dia juga tidak perlu memanjat pagar untuk masuk ke tempat ini. Dia ada di sini pada malam-malam pencurian dan malam ini, sebab dia bekerja sebagai centeng. Orang yang saya maksudkan tidak lain daripada Dettlinger.”

Kini barulah saya mendapat reaksi. 

"Saya tidak percaya," kata Hammond. 

"Masya Allah!" seru Factor. 

Branislaus memandang saya dan Dettlinger berganti-ganti. Cuma Dettlinger yang tidak bereaksi. Air mukanya biasa saja. 

"Kau pembohong!" katanya kemudian dengan suara nyaring. 

"Pembohong? Kau sudah bekerja cukup lama di sini. Kau tahu binatang-binatang mana yang langka dan mahal. Mudah saja kau masuk ke mana pun dengan kunci yang kaumiliki pada saat kau bertugas jaga. Kemudian kau menyerahkan binatang curianmu kepada teman yang sudah menunggu di balik pagar!" 

"Tapi 'kan kata polisi kunci-kunci pintu dibuka dengan paksa," kata Hammond. 

"Ah, itu 'kan cuma untuk menyesatkan. Dettlinger juga mengarang cerita tentang ia mengejar seseorang pada malam ular dicuri." 

Dettlinger gelisah di kursinya. "Saya akan menuntut bajingan ini ke pengadilan," katanya kepada Factor. "Boleh 'kan Pak Factor?" 

"Boleh saja kalau yang ia katakan itu tidak benar," jawab Factor. 

"Memang tidak benar. Saya tidak pernah mencuri, saya tidak membunuh Al Kirby. Mana mungkin? Saya 'kan bersama dia di luar Rumah Singa, ketika Al tewas di dalam." 

"Tidak," kata saya. "Al tewas ditembak dengan revolver kaliber 32. Senjata itu tidak mengeluarkan bunyi keras. Dettlinger dan saya berada kira-kira 15 m dari ruang tempat Kirby atau 20 m dari pintu masuk, ketika kami mendengar ledakan jelas dan keras. Padahal Rumah Singa tebal dindingnya, lalu masih ada ruang kecil berukuran 3 m dan masih ada jarak lebih dari 10 m ke kandang tempat Al." 

"Jadi bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Branislaus. 

Saya menoleh kepada Dettlinger. "Kau merokok?" tanya saya. la kelihatan bingung. 

"Apa?" 

"Kau merokok?" 

"Apa urusanmu menanyakan hal itu?" 

"Gene terus-menerus merokok selama kita di sini. Kau tak pernah kulihat menyalakan rokok sekali pun. Sam, kau perokok atau bukan?" 

"Bukan. Puas kau?" 

"Puas," jawab saya. "Jadi apa yang kaupegang di Rumah Singa, ketika aku masuk sehabis memeriksa pintu-pintu dari luar?" 

Dettlinger mengatupkan bibirnya erat-erat. 

"Apa yang ia pegang waktu itu?" tanya Branislaus. 

"Tadinya saya pikir sebungkus rokok, sebab saya melihatnya dari kejauhan. Lagi pula saya pikir ia perlu nikotin untuk meredakan ketegangannya. Tetapi kemudian saya sempat melihatnya dari dekat. Benda itu tape-recorder kecil." 

"Apa?" 

Tape-recorder kecil. Saat itu pikiran saya tertuju pada Kirby. Saya alpa untuk menaruh perhatian lebih banyak pada benda yang cepat-cepat ia sembunyikan ke sakunya itu." 

"Kaumaksudkan suara tembakan yang kau dengar bersama Dettlinger di luar Rumah Singa itu keluar dari tape-recorder?" 

"Ya. Saya duga ia merekamnya tidak lama setelah ia menembak Kirby di Rumah Singa."

 

Pemerasan 

"Siapa pemilik revolver itu, Kirby?" 

Saya mengangguk. "Saya kira Kirby mengetahui Dettlinger mencuri binatang, tetapi ia tidak melaporkannya. Ia memeras Dettlinger. Karena sadar bahwa Dettlinger lebih besar dan lebih kuat daripadanya, ia berbekal senjata. Ia juga berbekal tape-recorder untuk merekam pembicaraan mereka. Mungkin untuk dipakai memeras lagi di kemudian hari. 

"Saya duga ia menunggu Dettlinger di dekat Rumah Singa dan mereka berdua masuk ke dalam untuk berbicara. Saya kira Dettlinger memergoki adanya tape-recorder itu lalu marah. Kirby mengeluarkan pistol dan mereka bergulat. Kirby tertembak. Begitulah kira-kira skenarionya. 

"Setelah melihat Kirby menjadi mayat, Dettlinger kebingungan. Kalau ia menyeretnya ke luar untuk memberi kesan seakan-akan Kirby dibunuh orang yang memanjat dari pagar, ia khawatir Hammond kebetulan lewat dan memergokinya. Ia mendapat akal. Ia menciptakan misteri yang akan membingungkan kita semua, seraya menciptakan alibi bagi dirinya. 

"Saya rasa ia menghapus isi pita rekaman, lalu merekam bunyi ledakan revolver dengan menembakannya pada apa, ya? Katakan saja setumpuk daging di ruang penyimpanan makanan harimau. Lalu ia mengatur agar bunyi tembakan itu bisa kedengaran cukup lama kemudian. Tubuh Kirby diseretnya ke kandang, yang menurut pengakuannya tidak ia miliki kuncinya. Karena Kirby mengenakan mantel tebal, darah yang keluar terserap, sehingga tidak berceceran di mana-mana. Sebetulnya salah besar ia memasukkan Kirby ke kandang karena keadaannya jadi sangat aneh. Kalau dibiarkan saja di tempat Kirby ditembak mungkin malah lebih baik. 

"Ia menunggu dekat-dekat tempat lingsang dan begitu saya muncul ia mendekati, saksi yang menguatkan alibinya. 

"Saya juga ingat, tidak mencium mesiu ketika menemukan Kirby, padahal waktu itu bunyi tembakan baru kira-kira 30 detik berlalu. Bau mesiu yang ditembakkan Dettlinger beberapa waktu sebelumnya sudah hilang." 

Mulut saya rasanya meniran setelah berbicara panjang-lebar begitu. Dettlinger tentu saja menyangkal. Namun, polisi menemukan tape-recorder-nya yang ia kubur buru-buru di dalam kandang kuda nil. Di tape-recorder itu ada sidik jari Dettlinger. Polisi juga menemukan peluru yang ia tembakkan untuk menciptakan suara dalam pita rekaman. Seperti saya duga, peluru itu ada di dalam potongan daging yang ditumpuk di tempat penyimpanan daging. 

Dari penggeledahan di rumah Dettlinger, polisi mengetahui Dettlinger mempunyai hubungan dengan pencuri binatang yang sudah terkenal, Gerber, yang biasa menjual barang curiannya kepada para kolektor di Florida. Tugas saya sudah selesai. Kini saya tidak perlu lagi mencentengi binatang di kebun binatang, tetapi bisa bersenang-senang dengan pacar saya, Kerry, yang ingin tahu bagaimana caranya gorila pacaran.

(Bill Pronzini)

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246439/pagar-makan-binatang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650983818000) } } }