array(9) {
  [0]=>
  object(stdClass)#81 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3636612"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#82 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/40-hari-dipermainkan-buronan_jak-20230105065456.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#83 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(114) "Seorang pria menyerang istrinya lalu melarikan diri. Tak kurang dari 40 hari polisi dibuat repot oleh pelariannya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#84 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/40-hari-dipermainkan-buronan_jak-20230105065456.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "40 Hari Dipermainkan Buronan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 18:55:57"
      ["content"]=>
      string(34736) "

Intisari Plus - Seorang pria menyerang istrinya lalu melarikan diri. Tak kurang dari 40 hari polisi dibuat repot oleh pelariannya.

--------------------

Akhir tahun 1968, suasana peternakan Elsey Station mulai diliputi ketegangan. Masa itu kawasan Northern Territory terasa seperti neraka. Panasnya menyengat, lembapnya melekat. Udara pengap membuat semua makhluk termasuk semut kegerahan. Tapi justru ini masa-masa seru, perlombaan antara kecepatan manusia dan cuaca. Para peternak mesti adu cepat mengumpulkan hewan mereka sebelum cuaca menjadi terlalu panas.

Sore 20 September itu, Amy Dirngayg, Jessie Garalnganyag dan Marjorie Biyang, sedang terburu-buru. Ketiga gadis Aborigin ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di peternakan. Bel pertama sudah dibunyikan dari homestead (kemah utama). Pertanda mereka harus segera keluar dari kamp para Aborigin menuju homestead untuk menyiapkan makan malam bagi sang manajer, Peter McCracken, istrinya Mary, dan para karyawan kulit putih lainnya.



Hanya satu pengalang

Amy Dirngayg, kepala dapur homestead yang dijuluki “Cookie”, melihat Marjorie (18), anak buahnya termenung kurang konsentrasi. Seperti ada yang mengusik hatinya, sampai harus diingatkan untuk menutup meja. Padahal biasanya itu sudah tugas rutin yang lancar ia tuntaskan.

Seperti biasa, makan malam ditutup dengan minum teh. Para pelayan merapikan meja kembali, mencuci cangkir dan menggantungnya, lalu membersihkan bangku serta meja makan. Setelah semua selesai, Marjorie mendadak bilang tak mau ikut pulang ke kamp para pembantu. Amy dan Jessie jadi heran. Memangnya ada apa? “Saya ogah ah balik ke sana. Saya mau tidur di dapur saja,” kata Marjorie.

“Eh, eh, apa-apaan? Mana bisa? Kamu harus ikut kami, tidur bersama keluargamu di kamp. Di sini kamu sendirian. Jangan, jangan tinggal di sini.” Tapi karena Marjorie bersikukuh, kedua rekannya terpaksa pergi meninggalkannya sendirian di sana.

Marjorie memang sedang gundah. Tapi bukan karena kesal, melainkan karena panah asmara yang agaknya menghunjam dalam. Kedua rekannya tak tahu, malam itu ia sedang gelisah menantikan kedatangan sang Arjuna. 

Sekitar pukul 20.30, ia berangkat ke pulau kenikmatan, bergelut dalam mimpi indah bersama David Jackson (21), stockman (perawat ternak) berkulit putih. 

Sepertinya sampai saat itu mereka depat menyimpan rahasia rapat-rapat, meski telah berbulan-bulan mereka ada main. Hanya satu hal yang membuat dua insan ini agak waswas. Marjorie sudah bersuami.

 

Ditemukan di gudang 

Jackson dua kali terjaga karena mendengar bunyi gemeresik di luar. Ia juga melihat cahaya obor, lalu bayangan berkelebat dalam kegelapan. Tapi bayangan itu raib ketika dikejar.

“Ada apa, Sayang?” desah Marjorie setengah mengantuk.

“Ah, tidak. Pencuri barangkali,” sahut Jackson kembali merebahkan diri di samping Marjorie. Namun di dalam hati waswasnya belum hilang. Dalam gelapnya malam dan beratnya rasa kantuk, pasangan yang sedang mabuk cinta ini tak menyadari bahaya besar yang sedang mengancam. 

Sekitar pukul 03.00, mereka diserang habis-habisan dengan tomahawk (kapak) oleh seseorang tak dikenal. Kepala, leher, dan tubuh Biyang babak belur dihantam dan dibacok. Sedangkan Jackson di kepala dan dadanya.

Bisa dibayangkan keributan yang timbul. Jeritan korban yang memilukan menyentakkan Peter McCracken sang manajer. Tanpa ba-bi-bu ia terbirit-birit menuju sumber keributan. Pemandangan yang dilihatnya sungguh mengenaskan. Jackson tersandar di tembok dengan wajah dan dada berlumuran darah. Sayang, dalam keadaan setengah sadar, ia tidak mengenali penyerangnya.

Dari jejak-jejak berdarah yang masih segar, McCracken mencoba menelusuri. Ternyata jejak itu menuju gudang pelana. Di sana ia malah menemukan tubuh Biyang tergeletak tak bergerak. Meski masih 3 jam lagi fajar baru akan merekah, ia hampir yakin siapa pelaku penganiayaan sadis ini. 

Pada genangan darah di lantai kamar itu terpampang jelas jejak-jejak kaki telanjang. Mccracken langsung mengenalinya. Itu jejak “Larry Boy” Janba, suami Marjorie Biyang, yang juga orang Aborigin. Rupanya beginilah cara Janba menyudahi perselingkuhan istrinya.

 

Permainan sejak dulu 

Elsey Station, 400 km sebelah selatan Darwin merupakan salah satu peternakan paling beken di Northern Territory. Homestead pertama dulu dibangun di kawasan tempat tinggal suku Yangman di Warloch Points. Kemudian mulai dibangun peternakan ini yang stok ternaknya terus bertambah antara tahun 1877 - 1882. Sekitar peralihan abad ini, untuk mengatasi masalah air, Elsey dipindahkan ke lokasi yang sekarang di S. Roper, di kawasan yang aslinya milik suku Mangarayi.

Sudah tentu pemilik tanah tidak rela tanah mereka diduduki begitu saja. Tak mengherankan kalau sejarah awal kawasan permukiman di tanah orang Mangarayi dan Yangman ini diwarnai kebrutalan. Yang sering jadi sumber masalah sebenarnya dorongan klasik yang telah menandai kodrat manusia. Seks. Dari dulu para karyawan peternakan, yang disebut stockman seperti David Jackson itu, doyan gadis-gadis Aborigin. Mereka gemar menculik anak-anak gadis ini.

Namun di sisi lain, bagi pribumi Australia industri peternakan yang tidak berlangsung sepanjang tahun dan dilaksanakan di udara terbuka, membuka banyak peluang bagi mereka untuk tinggal di tanah leluhur. Misalnya dengan ikut bekerja di peternakan. Upacara-upacara keagamaan pun masih dapat mereka selenggarakan di musim penghujan, saat mereka tidak bekerja. 

Seperti yang dikatakan seorang sejarawan tentang Elsey, “Selama penduduk asli Aborigin dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan irama hidup industri peternakan, mereka dapat tetap bergaul dan mendiami tanah leluhur entah lewat pekerjaan atau di luar pekerjaan.”

Namun sampai tahun 1960-an, kehidupan di Elsey jauh dari mudah, baik bagi peternak pria maupun wanita berkulit putih yang mencari nafkah di sana. Atau bagi para pekerja peternakan yang orang-orang Aborigin itu beserta keluarga mereka. 

Elsey Station agak berbeda dibandingkan dengan peternakan lain: manajer-nya orang kulit putih, begitu pun beberapa karyawan peternakannya, lalu ada kamp khusus untuk kaum Aborigin, yang letaknya terpisah dari homestead. Bisa 80 - 100 orang pria, wanita dan anak-anak tinggal di sana. 

Biasanya pada masa puncak kesibukan mengumpulkan ternak, orang Aborigin yang bekerja di Elsey bisa mencapai 30 orang pria. Tapi September 1968 itu kebetulan cuma sebanyak dua kemah kecil plus ketiga pembantu rumah tangga homestead tadi.

Urusan berlumuran darah yang mengharu biru ini berada di bawah wewenang Polisi Konstabel Roy “Bluey” Harvey yang masih muda belia. Baru 32 tahun. Rambut merah serta kulitnya yang amat bule makin mengesankan dengan tubuh jangkungnya yang 188 cm itu. Pos Harvey di Mataranka, “cuma” 30 km dari homestead Elsey. 

Padahal daerah patroli yang berada di bawah pengawasannya tak tanggung-tanggung: 7.800 km2. Harvey boleh dikata polisi lapangan tulen. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di padang rumput, termasuk 11 tahun di pos-pos polisi terpencil di Northern Territory.

Melacak dan memburu buronan juga bukan barang baru baginya. la pernah harus menelusuri jejak seorang pembunuh yang minggat melewati padang pasir sebelah barat Papunya di Centre. 

Dengan keluwesannya berbaur dalam masyarakat Aborigin, ia mungkin membayangkan tidak akan menghadapi banyak masalah, ketika malam itu mendapat panggilan untuk memburu Larry Boy. Namun posisinya dibandingkan dengan Larry Boy terungkap jelas dengan keterangannya sekitar 15 tahun kemudian kepada seorang wartawan, “Saat saya sedang tidur nyenyak, Larry Boy telah menata perjalanannya hari itu dengan rapi.” 

 

Seperti telapak tangan sendiri

Sebetulnya Larry Boy Janba pernah bekerja di Elsey. Cukup lama malah, sampai 7 tahun, sebagai penabuh bel. Tapi entah kenapa tahun 1965 ia dipecat oleh McCracken. Setelah itu ia tinggal bersama ibunya di Mataranka Station, tak jauh dari situ. Namun setelah menikah dengan Marjorie, tempat tinggalnya jadi tak menentu, pokoknya di padang sekitar homestead Elsey. 

Menurut Jessie Garalnganjag, masa itu Larry Boy lebih suka menyendiri. “Dia tidak pernah ngobrol-ngobrol bersama kami. Kerjanya cuma berburu. Kalau hasilnya banyak, ia bagi-bagikan kepada kami semua, termasuk istri dan kakak iparnya. Sebagai balasannya kami memberinya tembakau. Malam itu (malam terjadinya pembunuhan), kami yakin ia baru bertengkar dengan Marjorie, karena tak sekali pun muncul, bahkan untuk main kartu.”

Setelah peristiwa serangan berdarah itu, rupanya Larry Boy lari menembus padang ilalang di arah utara Elsey. Dipilihnya kawasan rawa-rawa, yang disebut Jungle. Bagi orang luar, jelas ini bukan daerah yang membesarkan hati: 11 km jauhnya dari kompleks Elsey, seluas 100 km2. Gigitan nyamuknya ganas, ular gemeresik berseliweran, buaya mengintai bagai batang kayu, belum lagi ancaman babi liar. Sungguh mimpi buruk bagi siapa saja yang harus memburu Larry Boy ke sana.

Sebaliknya, Larry Boy dibesarkan di sana. Sebagai cucu “Goggle-Eye” dan putra Yiworrorndo, keduanya tokoh terkenal dalam sejarah kawasan itu, ia sudah dibekali dengan pengalaman cukup. Orang-orang Eropa menyebut ayahnya Jungle Dick sekitar tahun 1940-an. “Ia mengenal daerah itu seperti telapak tangannya sendiri,” ujar Joe McDonald, kakak Marjorie yang ikut melacak saudara iparnya bersama rombongan Harvey.

Di hari-hari awal perburuan, Harvey ditemani oleh Bob Jackson, detektif dari Darwin dan Sersan Pat Slater, ahli forensik, polisi dari Larrimah, Katherine dan Maranboy, disertai 5 orang Aborigin ahli pencari jejak. Tiga minggu kemudian, rombongan pencari sudah mengembang jadi 5 polisi, 22 orang sipil, dilengkapi dengan 5 jip, satu sepeda motor, 40 ekor kuda, 1 perahu polisi, 1 helikopter yang bahan bakarnya dipasok oleh sebuah pesawat DC3! Polisi juga meminia bantuan orang-orang yang punya pengetahuan khusus tentang daerah itu, seperti Clancy Roberts, kakak laki-laki tertua Jessie Garalnganjag.

Sudak sejak awal, semua orang tahu bakal sulit memburu Larry Boy. Apalagi ia diperkirakan membawa senjata senapan kaliber .22 plus beberapa senjata lain. Jejaknya juga tidak kunjung ditemukan. Semangat para pelacak tak semakin naik ketika ada yang menduga-duga Larry Boy bisa mengarungi jarak sampai sejauh 60 km sehari! Lalu ada yang mengaku pernah melihatnya di dekat Katherine, di sebelah utara.

Agar lebih efisien, dikerahkan empat regu pencari, ada yang berpatroli di padang ilalang sampai sejauh 200 km dari homestead Elsey. Akhirnya, baru setelah hari ke-10, mereka menemukan jejak tersangka berikut sisa-sisa makanannya berupa ikan dan wallaby (sebangsa kanguru). 

Karena itu bidang perburuan lalu dibatasi di sekitar Jungle saja. Semua orang makin bersemangat.

Susahnya, meski mereka mencari sampai 12 jam sehari, hasilnya tetap nihil. Malah para pelacaklah yang muiai bertumbangan akibat kelelahan dan sakit. Medan yang amat sulit juga membuat banyak sepatu bot ambrol. McCracken terserang influenza, tujuh orang Aborigin sakit karena terinfeksi virus. 

Dua orang wartawan langsung ambruk setelah beberapa hari meliput perburuan itu. Bluey Harvey pun akhirnya terserang radang paru-paru. Belakangan ia menulis, “Penyakit terus mengintai, sementara makanan tidak terjamin. Karena jarang beristirahat untuk makan siang sering kali kami cuma makan sekali pada malam hari. Ada kalanya ketika kami sedang berkeringat habis-habisan, hujan lebat turun. Dengan cuaca semacam itu bagaimana stamina kami tak luntur? Kami hanya bisa berharap Larry Boy pun menderita seperti kami.”

 

Menyewa helicopter

Sejak awal, perburuan dipimpin oleh Harvey dan Bennet, seorang pencari jejak asli Aborigin. Perburuan yang terus terang saja bikin frustrasi berputar-putar di rawa-rawa yang seakan tak berujung. Beberapa kali jejak Larry sepertinya membawa mereka ke Barat, ke arah Mataranka, tempat ibu dan saudara-saudara perempuan si buronan. Namun setiap kali pula akhirnya mereka sadar, jejak-jejak itu tipuan belaka. 

Larry Boy ternyata sengaja membuat jejak-jejak palsu dengan cara berjalan mundur! Tragisnya, baru setelah tiga minggu mereka menyadari permainan Larry. Rupanya Larry membungkus kakinya dengan kulit wallaby sehingga jejaknya yang sejati tersamar.

Setiap sore jejak-jejak di sekitar tempat mereka camping diperhatikan usianya, sehingga bila Larry malam-malam menyatroni kamp mereka, paginya cepat ketahuan. Setiap hari polisi berpatroli di seputar pertemuan antarlintasan jejak, siapa tahu ada jejak yang mereka cari. Namun betapapun tekunnya, yang mereka dapat cuma sebatas remah-remah sisa daging wallaby, flying fox (sejenis kelelawar) dan potongan cabbage palm (sejenis palem yang bisa dimakan). Si oknum sendiri tak kunjung nampak batang hidungnya.

Seperti belum cukup, kerepotan yang dihadapi tim Harvey makin diruwetkan birokrasi. Pada tanggal 10 Oktober, setelah 19 hari perburuan berjalan, markas besar polisi di Darwin tahu-tahu mengumumkan: menarik kembali semua petugas kecuali Harvey, termasuk helikopter. 

Sebagai akibatnya setiap hari Harvey harus berjuang, berdebat lewat telepon dengan atasannya di Darwin. Ia ngotot tetap minta disediakan kuda sewaan dan persediaan makanan.

Malah ia sampai melayangkan protes ke Canberra. Dari pusat pemerintahan Australia itu, protes tersebut cuma menghasilkan jaminan dari Menteri Dalam Negeri Peter Nixon bahwa Elsey Homestead akan tetap dilindungi. Lalu koran Darwin Northern Territory News memprotes lagi dengan memberikan dukungan penuh pada usaha berbagai station untuk terus melanjutkan perburuan, yang waktu itu sudah masuk minggu keempat. Hasilnya, diutuslah seorang bernama Barry Frew, ke Elsey. Saking frustrasinya, pada hari ke-23 McCracken nekat menyewa helikopter selama 2 hari atas biaya sendiri.

 

Malah diintai Larry

Sementara itu, masyarakat Elsey jauh dari tenteram. Mereka didera perasaan waswas kalau-kalau Larry menyerbu kediaman mereka lagi untuk merampok makanan. Jessie Gardlnganjag masih ingat, gadis-gadis pembantu rumah tahgga di homestead setiap malam harus dikawal polisi saat pulang ke kamp satu per satu. Semua orang yakin, Larry Boy masih gentayangan di sana. Malah terkadang sepertinya justru ia yang membuntuti para pemburu!

Janba sungguh anak alam yang menguasai seluk-beluk medan. Berkali-kali dengan gampang ia menghindar dari jebakan yang dipasang para pemburunya. Singkat kata, ia selalu selangkah di muka atau ... bisa juga di belakang mereka. Joe McDonald masih ingat bagaimana berulang-ulang mereka nyaris menangkapnya, tetapi bagaimana mungkin, karena Larry dengan leluasa dapat mengamati para pemburunya dari jarak dekat. 

“Pernah ia mengamati kami dari bawah pohon palem yang sudah mati waktu itu kami berhenti di dekat sana untuk makan malam ... sambil membicarakan dia, lalu kami berangkat lagi meneruskan pencarian. Begitu kami pergi, ternyata Larry memunguti puntung-puntung rokok kami yang berserakan di tanah!”

Suatu ketika, Harvey menemukan sekotak tembakau dan kertas rokok di tepi sebuah jalan setapak di Jungle, juga jejak-jejak Larry Boy yang usianya baru 20 menit, menimpa jejak-jejak rombongan pelacak! Harvey lalu menyimpulkan, salah satu anak buah Aboriginnya yang membantu Larry. la perintahkan orang yang dicurigai untuk pindah tugas, dari berkuda menjadi patroli jalan kaki. Namun itu juga tidak mengubah keadaan.

Pada hari ke-30, salah satu regu pencari menemukan pembungkus makanan di pertemuan kali kecil Salt Creek dan Sungai Roper. Jaraknya hanya 5 km dari kemah kediaman ibu Larry Boy, sedangkan pembungkus itu cocok dengan pembungkus makanan yang dibeli ibu Larry dua hari sebelumnya. Namun orang-orang Aborigin tetap membantah keras dugaan bahwa Larry Boy menerima bantuan semacam itu, termasuk dari ibunya. 

“Larry sanggup hidup mandiri di alam bebas,” tegas mereka, barangkali disertai sedikit rasa kagum. Apalagi sudah terbukti beberapa kali ia menyerbu perkemahan peternak untuk mencuri makanan.

Jimmy Conway masih ingat ketika ia sedang berada di salah satu perkemahan peternak sebelah timur Elsey Station. Suatu pagi koki menemukan sejumlah besar stok makanan raib. Juga ditemukan jejak Larry Boy meninggalkan kamp.

“Ia biasanya menunggu sampai larut malam, lalu menyelinap mencuri makanan,” ujar Conway. Jadi siapa membuntuti siapa?

Penuturan Joe McDonald pun senada, “Memang, kami tahu ia suka menyerbu dapur perkemahan untuk mencuri makanan. Menurut saya, tak ada yang membantunya. Ibunya tinggal di Mataranka dan selalu diawasi polisi. Larry Boy memang sanggup memenuhi sendiri kebutuhan perutnya.”

 

Harvey ditarik

Entah dibantu penduduk setempat atau tidak, nyatanya memasuki minggu kelima, para pelacak belum juga semakin dekat dengan buruan mereka. Sampai-sampai ada pejabat polisi senior dari Darwin memerlukan datang untuk memberikan instruksi kepada Harvey, “Teruskan usahamu, coba menjalin kontak dengan janba dan katakan ia tidak akan dicederai bila menyerahkan diri.” 

Pesan yang sama juga ia umumkan ke media massa. Keruan saja Harvey yang boleh dikata sudah ngos-ngosan berusaha itu uring-uringan. “Memangnya apa yang kami kerjakan selama 33 hari ini?” ujarnya mengomel.

Menanggapi nasihat si pejabat, anak buah Harvey dengan sinis bercanda mengusulkan bagaimana kalau mereka menyebarkan selebaran berisi pesan dari pejabat polisi tadi dan McCracken yang mengongkosi sewa helikopternya!

Kesinisan Harvey belum berkurang, ketika 6 hari kemudian pada tanggal 30 Oktober, datang pemberitahuan dari Darwin. Isinya, setelah bertugas selama 39 hari tanpa hasil, ia dibebastugaskan. la diperintahkan untuk kembali ke homestead untuk serah terima perlengkapan.

“Apanya yang akan diserahterimakan?” pikir Harvey, karena perlengkapan dari atasannya amat terbatas. 

Terbukti, dalam acara serah terima malamnya, yang diserahkan cuma beberapa botol air minum kosong dan dua buah senapan tua kaliber .303. Kemudian ia pulang ke Mataranka dengan perasaan penasaran bercampur lega.

Namun esok paginya, pukul 05.30, McCracken tahu-tahu mengagetkan dia dari tidur nyenyaknya di kantor polisi Mataranka. “Larry Boy semalam menyerbu Elsey Station lagi. Ia mencuri roti, daging, dan sepatu tenis. Kuda-kuda sudah siap kalau kau mau ikut!” katanya nyerocos di pagi-pagi buta itu. Rupanya McCracken sudah telanjur cocok dengan Harvey, meski yang disebut belakangan ini sudah tak bertugas.

 

Berkat sebuah ember

Di homestead, pengganti Harvey telah mengorganisasikan patroli di seputar tempat itu. Namun Harvey dan Bennet menelusuri jejak-jejak langka yang tampaknya berasal dari sekolah di Elsey menuju Mataranka. Mata jeli Bennet melihat dedaunan di tanah dari tanaman yang tumbuhnya cuma di Jungle. Itu artinya, Larry Boy telah menyapu jejaknya dengan dedaunan.

Ketika mereka sedang asyik-asyiknya melacak, pasang mata, dan toleh kiri kanan, mencoba tidak kehilangan tanda apa pun yang mungkin ditinggalkan Larry Boy, sebuah mobil menepi. Pengendaranya ternyata salah seorang guru di sekolah Elsey. Setelah basa-basi sedikit, ia bilang, “Cuma sedikit info kecil, barangkali ada gunanya untuk kalian. Kami di sekolah kehilangan sebuah ember!” Wuah, telinga Harvey langsung berdiri.

“Ini dia,” pikirnya tanpa sadar sambil menggosok-sosokkan kedua telapak tangannya. “Barangkali ini kesalahan serius pertama yang dibuat Larry. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya kesandung juga.”

Bila Larry sampai mencuri sebuah ember, berarti ia tidak sedang menuju Mataranka atau daerah kanal Jungle, karena di sana air berlimpah. Ia pasti sedang menuju suatu daerah yang kering: kawasan gua-gua kapur di sebelah utara Jungle. Padahal rombongan pencari telah berulang-ulang menyisir daerah itu dalam kurun waktu 40 hari ini tanpa hasil.

Setelah melewati medan yang berat, tibalah mereka di kawasan kapur itu. Persis di tengah-tengah sepotong jalan yang baru saja diratakan, tampak jelas jejak kaki Larry Boy. Di sisi lain dari jalan itu, tergeletak sepotong dahan kecil dari sejenis pohon khas daerah Jungle. Rupanya Larry Boy menyeberangi bagian jalan ini, lalu mendadak berbalik lagi ke arah dari mana tadi ia datang, yaitu ke utara. Jejak sih memang tak ada, tapi ia meninggalkan banyak sekali dedaunan, yang bagi Harvey dan Bennet sama saja ampuhnya dengan jejak.

Rontokan dedaunan itu membawa mereka ke mulut sebuah gua. Padahal mereka ingat benar, gua ini sudah pernah mereka periksa. Namun mata jeli Bennet menyapu setiap sudut mulut gua itu. Sungguh, tak ada yang terlewatkan dari pandangannya. Ia melihat sarang laba-laba yang tadinya menutupi mulut gua itu telah disingkapkan di satu sisi.

 Bennet berbisik, “Kena dia, Bluey!”

 

Saling mengobori

Baru sekarang Harvey sadar, revolvernya tertinggal di pagar halaman ketika tadi pagi akan melompat ke atas punggung kudanya. Tanpa pikir panjang, ia pinjam senapan kaliber .22 milik Bennet, lalu merangkak masuk. Tak usah diragukan lagi, hatinya berdebar-debar juga.

“Setelah sekian lama, ... akhirnya!” gumamnya sendiri, sambil terus maju. Tubuh jangkungnya membuat ia tak terlalu leluasa merangkak. Di depan percabangan, ia melihat sebuah ember di salah satu cabangnya. Sepertinya ia semakin dekat, tapi udara pengap membuatnya hampir tercekik. Ia putuskan keluar dulu, untuk menghirup sedikit oksigen. Di luar, ia menyuruh Bennet menjemput beberapa pelacak yang lain. Di saat- saat menentukan ini, setidaknya lebih banyak bantuan lebih baik.

Kira-kira sejam kemudian, mulut gua yang biasa sepi dan jadi singgasana yang aman tenteram bagi si laba-laba itu kedatangan “tamu” cukup banyak. Di depannya berdiri orang-orang dengan wajah tegang, penasaran sekaligus penuh semangat. Bayangkan, setelah sekian lama, inilah saat yang dinanti-nantikan. 

Akhirnya, Joe McDonald nekat. Tuturnya belakangan, 

“Semua hadir di sana. Kami tak dapat melihat dia, tapi dia yang ada di dalam kegelapan gua pasti dapat melihat kami di luar. Di antara kami ada yang berusaha melemparkan bom asap untuk memaksanya keluar. Tapi saya putuskan, biar saya saja yang menjemput dia. Saya coba merangkak masuk, tapi tak sanggup. Di dalam terlampau gelap. Salah seorang polisi, Bluey Harvey, memberikan obor kepada saya. Saya merangkak masuk lagi dengan satu tangan mengacungkan obor. Setelah merangkak beberapa lama, obor saya itu tiba tepat di depan sebuah wajah. Larry Boy! la mengobori wajah saya dengan obornya sendiri. Secara refleks kepala saya tundukkan untuk menghindar. Dia bertanya, ‘Kau, Wampu Kelly?’ yang saya jawab, ‘Yeah, me Wampu Kelly’ Padahal sebenarnya Wampu Kelly itu rekan saya, orang Aborigin juga, tapi tubuhnya terlalu besar untuk masuk ke gua itu.”

“Saya bilang, ‘Ayolah, keluar. Kamu ditunggu keluargamu. Jangan takut. Tak ada yang akan menangkapmu.’ la mengikuti saya merangkak mundur ke luar, dengan posisi saya lebih dulu tapi dengan wajah menghadap bagian belakang tubuhnya. Namun entah kenapa, apakah karena dia menyadari saya bukan Wampu Kelly, tiba-tiba ia mulai berusaha menyerang saya dengan senapannya. Bahkan ia mencoba menembak saya. Untung ia tak dapat berbalik. Kalau dapat, pasti saya telah menjadi mangsa senapannya waktu itu juga. Akhirnya, ia berhasil saya bawa ke luar. Tangannya saya pegangi erat-erat sampai tiba di mulut gua.”

 

Bugil

Begitu keluar dan melihat ada begitu banyak orang, ia bertanya kepada seorang polisi, apakah boleh masuk lagi ke gua dengan dalih mengambil beberapa perlengkapan. Saya berkata, ‘Kalau dibiarkan masuk kembali, kalian tidak akan melihatnya keluar lagi.’ Maka saya suruh Roger Gibbs dan Wilson McDonald, keduanya pemuda dengan tubuh yang masih kecil-kecil, untuk masuk ke gua mengambil barang-barang Larry Boy.”

Kedua pemuda itu membawa ke luar senapan kaliber .22, amunisi tomahawk, tembakau, rokok, dan bekal makanan. Saat itu Larry Boy dalam keadaan bugil. Naga (cawat)-nya ia manfaatkan untuk kantung. Harvey membawanya kembali ke Elsey homestead, tapi sayang tak berhasil menemukan pakaian Larry Boy yang berlumuran darah. 

Mungkin saja barang bukti penting itu telah dibenamkan Larry di rawa-rawa. Kemudian pesakitan itu diangkut ke Mataranka dan diajukan ke depan meja hijau di sana atas tuduhan membunuh. Butuh waktu 40 hari untuk menangkapnya, sejak pembunuhah itu terjadi.

Dalam sidang pengadilan Mahkamah Agung Februari 1969, juri ternyata tidak melihat bahwa Larry bersalah telah melakukan pembunuhan, namun ia terbukti telah melakukan penganiayaan terhadap Marjorie Biyang dan mencederai Jackson. Juri sepakat, kemarahannya tersulut hebat sampai ia kehilangan kendali diri. Ia diganjar 8 tahun penjara untuk penganiayaan dan 5 tahun untuk tuduhan pencederaan. Larry Boy langsung dikirim ke penjara Fannie Bay di Darwin.

 

Mati di penjara

Rupanya itu saat terakhir ia melihat dunia bebas. Larry Boy tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah padang ilalang dan rawa-rawa yang ia cintai, karena pada tanggal 11 Juni 1972, cuma dua bulan menjelang saatnya ia dibebaskan bersyarat, Larry meninggal di penjara. Ganasnya alam bebas Australia dapat ia taklukkan, tapi penyakit di penjara tak kuasa ia lawan. 

Belakangan hasil autopsi menyimpulkan penyakit yang membuatnya terkapar selama berbulan-bulan itu disebut melioidosis, umum disebut Nightcliff Gardener’s Disease. Pada waktu itu orang beranggapan penyakit yang disebabkan oleh organisme yang hidup di tanah itu diperolehnya saat ia jadi buronan polisi. Namun ilmu kedokteran kini malah berkesimpulan, penyakit itu pasti didapatnya di dalam penjara.

Pengejaran terhadap Larry Boy terjadi di masa padang-padang perawan di Northern Territory sedikit demi sedikit mulai ditundukkan oleh transportasi modern, namun masih menyisakan banyak kekerasan hidup yang asli kawasan tersebut. 

Buktinya, David Jackson, stockman yang jadi gara-gara segala kerepotan ini dengan santainya berkomentar dari atas ranjang rumah sakitnya, “Apa sih yang diributkan? Peristiwa begini ‘kan lumrah?” 

Menurut wartawan Jim Bowditch, yang datang meliput ke Elsey, para ringer kulit putih yang ikut melacak Larry Boy kesal mengapa Larry Boy mesti marah hanya gara-gara istrinya tidur dengan seorang stockman kulit putih. Namun Bluey Harvey punya pandangan lain tentang buronan yang membuatnya jatuh-bangun itu.

“Larry Boy cakap, terampil, dan lihai sekali bisa bertahan dalam pelarian demikian lama.” Bahkan ketika ditanyai sesudah tertangkap, Larry Boy mengungkapkan, bagaimana selama pengejaran itu ia berulang-ulang dalam posisi yang demikian dekat dengan para pemburunya sehingga kalau mau dapat menyentuh mereka.

Berdasarkan pengalaman kerjanya selama 20 tahun sebagai polisi lapangan di padang-padang Australia, Bluey Harvey memang punya alasan kuat untuk mendecakkan kekaguman juga terhadap kecakapan para Aborigin pencari jejak. 

Malah ketika mengenang kembali kasus Larry Boy, Harvey berucap, “Sungguh, hari itu saya hampir saja angkat tangan!” Justru kelihaian Bennet dalam membaca jejak dan keberanian Joe McDonald-lah, keduanya asli Aborigin, yang menyempurnakan keuletan Harvey. (Australian Crime

Baca Juga: Termakan Gosip

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553636612/40-hari-dipermainkan-buronan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672944957000) } } [1]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355874" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ..." ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg" ["title"]=> string(37) "Tak Ada Jalan Keluar dari Pulau Setan" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:40:40" ["content"]=> string(26743) "

Intisari Plus - Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ...

------------------

Di masa lampau, ribuan tahanan dari Prancis dikirim ke penjara di French Guiana, yang juga dikenal dengan nama Pulau Setan. Tokoh utama dalam cerita berikut fiktif belaka, namun semua kejadian dan situasi yang digambarkan ditulis berdasarkan kisah nyata yang benar-benar terjadi di penjara.

Baiklah, aku memang penjahat. Aku banyak melakukan pembobolan. Kami melakukan tindak kriminal di Nice pada tahun 1905. Pemiliknya sedang berlibur di atas kapal pesiar. Barang-barang yang mereka miliki ... perak, jam emas di sebuah mantel, dan lukisan-lukisan itu ... Renoir, Rembrandt, dan yang modern itu Picasso. 

Aku tidak terlalu paham tentang itu, temanku Marie Jean mengerti. Dan ia tahu betul siapa yang mau membeli semua itu tanpa membuka mulut. Orang-orang yang menakutkan, kebanyakan, tapi mereka membayar dalam jumlah besar. Kami menghasilkan berjuta-juta Franc dari pekerjaan tersebut. Peristiwa itu bahkan masuk koran.

"Lukisan Berharga Hilang Dicuri" begitu bunyi judul artikel di Le Figaro,

Setelah itu kami pensiun dan menjadikannya sebagai masa lalu. Cara hidup yang nyaman. Namun, salah seorang dari grup kami mabuk di bar dan membeberkan semuanya. Selanjutnya, tahu-tahu ia sudah berada di kantor polisi. Para polisi memukulinya dan akhirnya ia menceritakan segalanya.

Pengadilan berlangsung brutal. Polisi menggambarkan kami sebagai penjahat kelas kakap, kejam sekali. Sebenarnya, kami tidak seperti itu. Memang kami penjahat, tapi kami tidak pernah membunuh siapa pun, dan kami tidak pernah mencuri dari siapa pun yang tidak terlalu kaya raya. 

Mereka mengirim kami ke penjara koloni Amerika Selatan. Kau belum pernah melihat penjahat sebenarnya, jika belum pernah ke French Guiana. Sebagian orang menyebutnya Pulau Setan ... Penjara tersebut adalah penjara paling mengerikan, busuk, dan tempat paling jahat di permukaan bumi.

Di akhir persidangan, kami dijatuhi hukuman sepuluh tahun masing-masing, ditambah sepuluh tahun lagi sebagai "koloni". Begitulah hukum. Kau jalani masa hukumanmu, lalu kau tinggal di daerah itu dalam waktu yang sama persis dengan masa hukumanmu. 

Tak seorang pun dari mereka yang berakal sehat mau tinggal di lubang itu dengan senang hati. Itulah sebabnya mereka mengubahnya menjadi penjara koloni. Prancis menguasai negara itu pada tahun 1817. Tak ada yang mau tinggal dan hidup di sana, jadi mereka mengirim narapidana saja.

Istriku, Bernice, aku merelakannya. Kami bercerai. Banyak pasangan yang melakukannya bila sang pria dikirim ke sana, meskipun mereka masih saling mencintai. Aku mengucapkan sampai jumpa lagi padanya tahun 1907, tepat sebelum mereka mengirimku. Kami tak pernah berpikir akan bertemu lagi. 

Putra-putraku, mereka akan menjadi laki-laki dewasa saat ini ... Aku takkan berani menemui mereka. Mereka tidak akan menyerahkanku pada polisi, tapi mungkin saja seorang di antaranya akan melakukannya. Lebih baik aku bunuh diri daripada kembali ke sana.

Perjalanan ke sini hampir membunuhku. Mereka mengirimkan perahu, Martinière, dua kali setahun. Mereka mencukur rambut kami, memberikan pakaian bergaris-garis ini pada kami, dan menggiring kami ke pelabuhan dengan ujung bayonet, kemudian mengurung kami di sebuah kandang di bawah dek, sekandang sembilan puluh orang. Sangat mengerikan. Kami diberi makan dengan timba dan disiram dengan air laut setiap pagi.

'Teman-temanku" ... wah banyak! Pencuri, penipu, penjahat kejam, pembunuh. Bahkan aku ingin mengirim mereka ke alat pemenggal kepala. Aku pergi bersama René dari grup kami. 

Kami saling menjaga, tidak peduli apa pun yang kami lihat. Pria di sebelah mati tadi malam, tertusuk pisau yang menembus tempat tidur gantungnya. Kami menemukannya di pagi hari dengan mata terbelalak lebar. Kata mereka, uang selundupan sejumlah dua puluh ribu Franc, telah dirampok. 

Narapidana lainnya, seorang akuntan, menjadi gila. Ia mulai berteriak-teriak. Para penjaga menyemprotnya dengan air selang dan meninggalkannya menggigil sendirian. Ia jatuh sakit, tidak mau makan dan minum. Tetapi mereka tetap membiarkannya di dalam kandang. Ia meninggal di pagi hari saat kami tiba di sana.

Aku tidak akan melupakan peristiwa itu. Delapan belas hari kami habiskan di atas laut. Tidak ada apa-apa di luar sana kecuali laut yang suram. Lalu, kapal sampai di tepian. Atmosfer terasa berubah saat kami menuju kota St. Laurent. 

Bukannya angin laut yang dingin yang kami hirup, melainkan sesuatu yang lebih berat dan membawa penyakit. Angin yang mengisap seluruh kekuatan dari tubuh Angin yang penuh dengan wabah penyakit. Kami segera sadar, kami tiba di neraka.

Sambil berdesak-desakan, aku mencoba melihat ke luar kandang. Sungainya sangat lebar, dan aku dapat melihat tepiannya berjarak kira-kira setengah mil. Hutannya terlihat seperti sebongkah batu emerald, dan takkan ada yang percaya betapa lebatnya hutan itu.

"Aku tidak suka membayangkan ular dan serangga jenis apa yang berkeliaran di dalamnya," kata René.

Banyak burung nuri berbulu merah dan biru yang muncul dari atas pohon dan terbang. Kami melihat seekor elang menukik dari angkasa, kemudian mencengkeram seekor nuri. Semua terjadi tak lebih dari sedetik. Kejadian itu seperti suatu pertanda.

Awak kapal kelihatan mulai sibuk saat kami mendekati St. Laurent. Di sepanjang pelabuhan, tampak kerumunan orang seakan datang untuk menjemput kami. Penjaga toko Cina, tukang rumput, istri, dan anak-anak para penjaga, semua sipir dengan seragam putihnya. Mereka semua menengok ke arah kapal, penasaran melihat siapa yang datang.

Semakin kami mendekat, aku melihat sesuatu yang membuat tubuhku gemetar. Di antara kerumunan itu ada orang-orangan untuk menakuti burung ... kurus kering, buta. Tuhan tolong aku. Mereka seperti mayat hidup dengan pakaian compang-camping itu, seluruh tubuh mereka ditato dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mereka adalah narapidana yang bertahan hidup serta sudah selesai menjalani masa hukuman, dan sekarang mereka menjalani kewajibannya sebagai koloni. Aku membalikkan tubuhku ke René dan menunjuk ke arah mereka. Ia tidak berkata apa-apa, tapi jelas bagiku ia kesulitan menelan air ludahnya.

Mereka menghalau kami keluar dari kapal dan menggiring kami ke penjara yang berada di sisi kanan pelabuhan. Kami berdiri di lapangan utama penjara, di bawah terik matahari yang panas. Ada sebuah alat pemenggal kepala di sudut lapangan. Aku bertanya-tanya dalam hati, berapa kali dalam setahun alat itu melakukan hal yang mengerikan itu.

Kepala penjara sudah menanti kedatangan kami. Ia adalah pria kecil berpakaian serba putih. Kemudian ia naik ke atas podium dan mulai berbicara. 

"Kalian semua bajingan yang tak berharga," katanya, "Dikirim ke mari untuk membayar segala kejahatan yang kalian lakukan. Jika kalian bersikap baik, kalian tidak akan mendapat kesulitan. Sebaliknya, kalau kalian bertingkah, kalian ada dalam kesulitan yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya." 

Ia berhenti dan melihat alat pemenggal kepala.

"Kebanyakan dari kalian di sini pasti sudah memikirkan rencana untuk kabur. Lupakan saja! Kalian akan punya banyak kebebasan di kamp dan di kota. Kalian akan segera tahu bahwa penjaga sebenarnya di sini adalah hutan dan laut."

Begitulah. Kami digiring ke dalam blok penjara dan dimasukkan ke semacam penampungan. Aku berpisah dengan René, dan itu membuat kami berdua sangat, sangat gelisah.

Minggu-minggu pertama sangat mengerikan, tapi aku cepat menyesuaikan diri. Aku tidak bertubuh besar, tapi kuat. Untuk mendapatkan segala sesuatu, aku harus berkelahi. Orang akan kehilangan selimut jika kau tidak mempertahankannya.

Aku tidak tahu mana yang lebih buruk, malam atau siang hari. Di siang hari para tahanan harus menjalani kerja paksa di hutan, membersihkan ranting dan tanaman menjalar untuk membuat jalan atau membuka peternakan. Sangat melelahkan. 

Keringat membuat badan basah kuyup, sementara serangga memakan hidup-hidup. Para penjaga akan memukul atau menendang dengan sepatu mereka yang keras jika napi berhenti sebentar mengatur napas.

Aku juga mendengar cerita orang yang ditembak mati di tempat oleh penjaga. Mereka punya kuasa menentukan hidup atau mati. Tak akan ada yang bertindak jika mereka memutuskan menguburmu hidup-hidup. 

Suatu kelompok kerja paksa lebih memilih gantung diri daripada bekerja di bawah pengawasan penjaga yang mereka sebut "Sang Bencana". Beberapa penjaga memang psikopat. Salah seorang teman di penampunganku bernama Henri Bonville, seorang profesor sejarah, yang dikirim ke tempat ini karena membunuh istrinya. Ia memberitahu aku bahwa Raja Napoleon III-lah yang membangun tempat ini pada tahun 1854.

Ketika seorang bawahannya bertanya padanya, "Siapa yang akan Tuan tempatkan untuk menjaga tahanan itu?"

Napoleon menjawab, "Untuk apa? Penduduk di sana lebih kejam dari mereka!"

Ketika malam tiba ... kami dikurung di penampungan. Ruang yang besar, panjang, dan sangat panas. Aku tidak akan bisa melupakan ketegangan orang-orang itu, tapi perkelahian antargeng itulah yang terburuk. Aku menghindari hal itu, tapi tak satu malam pun terlewati tanpa ada yang terbunuh.

Setelah enam bulan René dan aku sudah mengenali tempat ini dengan baik, saatnya kami memutuskan untuk merencanakan sebuah pelarian. St. Laurent, tempat kami berada adalah tempat yang baik untuk itu. 

Orang dapat datang dan pergi dengan leluasa sepanjang hari jika tidak sedang bekerja, tapi harus kembali ke kamp di malam hari. Kamp yang paling mengerikan ada di dalam hutan. Setiap narapidana yang dikirim ke dalam sana, tidak pernah keluar lagi.

Tahun 1907, informasi yang beredar di kamp mengatakan bahwa Venezuela adalah tempat yang paling baik untuk dituju. Letaknya di dekat pantai, dan mereka tetap mengizinkan orang tinggal sekalipun mereka tahu yang bersangkutan seorang buronan. 

Setidaknya, begitulah kondisinya sampai tahun 1935. Saat itu, angkatan bersenjatanya ingin menggulingkan presiden, jadi mereka membayar seorang buronan untuk membunuh presiden, tapi ia gagal. Jadi, sang presiden memerintahkan untuk memulangkan semua buronan yang ada ke kamp.

Suriname, di dekat French Guiana juga merupakan tempat yang aman, sampai suatu hari seorang buronan membakar sebuah toko yang menolak melayaninya. Sejak saat itu, siapa saja yang berasal dari kamp langsung dipulangkan kembali. 

Begitu juga Brasilia, langsung mengirim buronan kembali begitu tertangkap. Namun Brasilia sangat luas, dan sangat mudah menghilang di sana. Argentina juga aman. Banyak pekerjaan untuk orang semacam kami di Buenos Aires. Hanya saja, perjalanan ke sana sangat mengerikan.

Aku dan René berpikir untuk mencoba pergi ke Venezuela. Jadi, kami mengajak dua bersaudara Marcel dan Dedé Longueville. Mereka penjahat bertubuh besar dan bertato. Bukan teman yang ideal memang, tapi sangat berguna jika kau mendapat gangguan. 

Kami mengumpulkan uang yang kami bawa atau yang kami hasilkan selama di penjara untuk membeli perahu dari nelayan lokal. Seorang narapidana berkebangsaan Prancis bernama Pascal, dan temannya yang masih berumur delapan belas bergabung dengan kami. 

Teman baru lainnya adalah Silvere, mantan pelaut. Ia tidak mengumpulkan uang, tapi ia akan menggunakan kemampuannya berlayar selama perjalanan sebagai gantinya.

Maka di suatu malam di bulan Desember, setelah hampir setahun kami berada di sana, kami berusaha kabur. Kami menyelinap saat jam kerja dan bersembunyi di hutan sampai malam tiba. Sebelum pemeriksaan malam, kami menyelinap ke Sungai Maroni dan naik ke perahu. 

Perahunya dalam kondisi baik dengan bekal dan perlengkapan yang komplet untuk perjalanan. Tahap pertama sangat mudah. Arus sungai cukup kencang, jadi kami tidak begitu jauh lagi dari St. Laurent. 

Kemudian sungai melebar. Semakin kami mendekati Samudra Atlantik, semakin kuat bau asin air laut. Baunya seperti kebebasan, dan aku sudah tak sabar lagi untuk bebas.

Namun, setiba kami di sana, segala sesuatu berubah menjadi buruk, sangat buruk. Muara Atlantik penuh dengan pasir dan kami terjebak di sana. Dedé menjadi panik dan menikam Silvere sampai mati. René dan aku sadar riwayat kami sudah tamat. Kami tak ingin membahas tentang Longueville bersaudara.

Perahu kami tak bisa bergerak, dan kami tahu sebentar lagi para penjaga akan datang mencari kami begitu mereka sadar kami menghilang. Kami sempat berdebat sengit mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan semua sepakat untuk menuju hutan. 

Kami turun dari perahu dan mulai menyeberang menuju tepian dengan air sepinggang. Aku berusaha meraih kotak makanan, tapi ombak besar datang dan menerpaku. Semua makanan hanyut. Dedé ingin membunuh aku di setiap kesempatan, untunglah Marcel bisa menenangkannya.

Hari-hari selanjutnya seperti mimpi buruk. Kami tak dapat menemukan apa pun yang bisa dimakan di hutan, juga terpisah jauh dengan beberapa ekor kepiting di tepi sungai. 

Kami kelaparan. Kemudian Pascal berkata, ia dan temannya akan ke dalam pulau untuk mencari apa saja yang bisa dimakan. Kami menunggu, berharap mereka akan kembali dengan sesuatu yang lezat.

Keesokannya Pascal kembali sendiri. Ia mengaku telah kehilangan temannya, tapi nampaknya hal itu sama sekali tidak mengganggunya. Longueville bersaudara pasti akan membunuhmu jika kau mengecewakan mereka, anehnya kali ini mereka seperti memiliki solidaritas tinggi. Mereka pergi mencari pemuda itu. Pascal terlihat agak ketakutan dan terus mengatakan pada mereka tindakan itu sia-sia saja.

Akhirnya, kami segera tahu mengapa Pascal tidak menginginkan mereka pergi. Longueville belum pergi terlalu jauh saat mereka menemukan mayat. Pemuda itu tewas dan beberapa bagian tubuhnya telah dimakan. 

Orang bodoh pun bisa menduga Pascal telah membunuhnya. Mereka kembali dan membunuh Pascal di tempat. Malam itu kami sangat kelaparan dan akhirnya memasak bagian kecil tubuhnya. Ya, kami merasa bersalah, tapi ia pantas menerimanya. 

Lagipula, jika aku tidak memakannya, aku tidak akan ada di sini dan menceritakan semua ini.

Setelah itu, kami kebingungan. Kami berkeliling-keliling berhari-hari, tidak tahu apa yang harus dilakukan, sampai polisi lokal menangkap kami dan mengirim kami kembali ke kamp.

Selanjutnya aku menjalani dua tahun terburuk dalam hidupku. Keinginan kabur sudah lumrah di sini, kepala tidak akan dipenggal karenanya. Namun bisa berakibat lebih buruk. Mereka menempatkan napi di sel pengasingan. Empat dari lima orang di sana menjadi gila atau mati. 

Pemenggal kepala melakukan tugasnya dengan cepat. Kepala napi dipotong hanya sekejap. Kalau tidak, sel pengasingan membunuh orang perlahan-lahan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari. Siksaan paling kejam yang bisa di bayangkan.

Bisa jadi, seorang napi akan dikirim ke pulau St. Joseph dan dimasukkan ke dalam blok sel yang sempit. Di situ orang bahkan tak dapat merentangkan tangan. 

Ada tempat tidur lipat dan pintu dengan lubang seukuran besar kepala, hingga orang bisa menengok keluar. Kesunyiannya sangat menyiksa. Tak ada seorang pun yang bisa diajak bicara. Para petugas memakai sepatu dengan alas lembut agar tidak mengeluarkan suara berisik. Hanya makanan saja yang membantu bertahan hidup. Itu saja.

René dan aku dihukum dua tahun. Ada juga yang lima tahun. Hukuman itu pasti akan membunuhmu sama seperti alat pemenggal kepala atau regu penembak. 

Aku menjaga kewarasanku dengan menulis pesan pada narapidana lainnya atau mengusir kelabang yang ada di selku. Aku menghabiskan waktu dengan tidur, memimpikan gadis-gadis, dan negara yang ingin aku kunjungi, dan masa kecilku.

Aku berteman dengan narapidana yang membantu membersihkan blok, dan mungkin merekalah yang menyelamatkan hidupku. Mereka menyelundupkan sebutir kelapa, lima batang rokok setiap harinya. 

Kelapa menjagaku tetap sehat, dan rokok menemaniku melewati hari. René juga mendapatkan hal yang sama, tapi ketahuan. Satu setengah tahun tak ada kelapa, tak ada rokok. Lalu ia terkena demam tinggi dan tak pernah sembuh. Ia meninggal satu bulan sebelum ia bebas.

Aku tidak akan pernah melupakan hari saat aku melangkah keluar dari tempat itu. Setelah dua tahun berada di sel sempit, aku bahkan tak sanggup berdiri di hadapan orang banyak. 

Aku takut ketika mendengar orang-orang berbicara, apalagi ketika mereka berteriak. Dan ruang terbuka yang luas, sangat membingungkan. Namun, aku tetap berkeinginan kabur.

Kali ini aku lebih hati-hati, dan memilih teman pelarian dengan selektif. Setelah satu tahun, aku sudah selesai mengatur rencana pelarian. Kali ini, kami berlima. Kami membayar nelayan lokal, Bisier des Ages, untuk membawa kami ke Brasilia.

Awalnya, segalanya berjalan lancar. Des Ages menemui kami di tempat yang sudah ia janjikan, kami menyerahkan uangnya. dan kami segera berlayar. Des Ages pelaut yang cukup ulung. 

Keesokan paginya kami sudah tiba di Samudra Atlantik. Kelihatannya ia orang baik, pendiam, dan menjaga jarak. la duduk di tempatnya menghisap pipanya. Selanjutnya, di pagi pertama itu, ia memberitahu kami untuk berlayar di dekat pantai, melewati daerah berpasir.

Setelah kami tiba di daerah berpasir, ia menyuruh kami keluar dan mendorong kapal. Jadi, kami turun. Kami terbenam di lumpur sampai selutut. Beberapa waktu kemudian des Ages berhasil menyalakan mesin dan menjalankan perahu beberapa meter ke depan. Kami masih di air, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

la masuk ke dalam kabin, lalu keluar lagi dengan senapan di tangannya. Semua berakhir begitu cepat ... Masih terbayang jelas dalam benakku, ia berdiri di pinggir dek, menghisap pipanya, menjemput kami, tenang, sangat profesional. 

Akhirnya ia menghampiriku. Aku hanya bisa berdiri kaku, seperti kelinci yang terkepung ular. Segalanya seperti bergerak lambat.

Satu-persatu orang di sekelilingku berjatuhan di air, dan ia mengarahkan senapannya tepat di depanku dan menarik pemicunya.

Tidak terjadi apa-apa.

Des Ages agak kesal, dan ia memeriksa pengunci senapan dan mengumpat. Aku berbalik dan menyeberang secepat yang aku bisa menuju hutan yang berada di tepian. Aku mengira sebuah peluru akan menembus kepalaku dalam hitungan detik, tapi sepertinya des Ages kehabisan amunisi. Aku bisa mendengarnya tertawa. Tawa yang mengolok-olok.

"Larilah, bajingan kecil," teriaknya.

"Hutan itu cukup untuk menghabisimu."

Namun, kali ini aku beruntung. Saat berjalan di tepi pantai, aku menemukan rakit yang terbuat dari empat tong plastik yang diikatkan pada sepasang tangga. 

Orang yang telah menggunakannya juga meninggalkan dayung di sampingnya. Aku segera mengetahui mengapa mereka meninggalkannya. Saat mendorongnya ke laut untuk meninggalkan French Guiana, aku langsung dikelilingi hiu. Namun, semuanya sudah telanjur jauh, aku tak mungkin menyerah.

Hiu-hiu itu mengelilingiku, toh akhirnya mereka bosan juga. Waktu malam tiba, aku hampir mencapai perbatasan Brasilia. Ada sebuah perkampungan kecil di tepi pantai. Aku mencuri sedikit makanan dari sana agar dapat bertahan. Keesokannya aku menyelinap masuk ke Brasilia dan pergi ke Bemen, kota besar terdekat.

Dengan keberuntungan, aku tiba di kota tersebut ketika karnaval tahunan sedang diselenggarakan, dan di jalan sedang ada parade kostum. Aku lewat sebagai pengemis, dan tak seorang pun yang memperhatikan diriku. Setelah itu, segalanya menjadi mudah.

Aku mencopet dompet beberapa orang, lalu memesan kamar hotel. Aku mandi dan membeli pakaian, dan segera mencari pekerjaan di kota. Setelah satu tahun, tabunganku cukup untuk membeli tiket kembali Prancis.

Jadi, di sinilah aku. Kembali ke "rumah". Aku bekerja di toko roti di Paris, di dapur, terhindar dari pelanggan. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil di Jalan St. Dennis, dekat pusat kota. 

Aku suka Paris dengan segala kesibukan dan penduduknya, jauh dari rumah lamaku di daerah selatan, sehingga aku tidak akan berjumpa dengan orang yang mengenaliku.

Namun, terkadang aku berpikir bahwa aku tidak bebas sepenuhnya. Aku tidak menikah lagi, aku menjaga jarak dengan orang. Di setiap pojok jalan, aku bertanya-tanya kalau-kalau ada yang mengenaliku dan mengadukan diriku.

Jika aku mendengar suara dari luar apartemenku ketika tidur malam, aku mulai gemetar dan takut akan mendengar ketukan di pintu. Tidak akan ada orang yang datang berkunjung, jadi yang mengetuk pintu pasti polisi. Aku tidak sanggup kembali ke sana lagi. 

Perjalanan di dalam Martinière, penghukuman di sel pengasingan, dan tahun-tahun mengeri kan di hutan French Guiana. Aku sudah di sana selama dua puluh dua tahun.

 

Setelah Pelarian

Antara tahun 1854 dan 1937, lebih dari tujuh puluh ribu narapidana dikirim ke penjara French Guiana. Dari jumlah tersebut, lima puluh ribu di antaranya mencoba untuk kabur, dan satu dari enam orang berhasil. 

Pengiriman narapidana dihentikan tepat sebelum Perang Dunia II meletus. Selama perang, suplai makanan dari Prancis berkurang, sehingga para tahanan di koloni tersebut menderita kelaparan. Setelah perang pemerintah Prancis menutup penjara itu dan membawa kembali para tahanan yang bertahan hidup untuk menjalani sisa masa hukuman mereka di Prancis.

Bisier des Ages diadukan oleh buronan yang gagal ia bunuh, sehingga ia ditahan. Ia dihukum dua puluh tahun penjara.

Di sana, ia masih saja membawa sengsara bagi narapidana lainnya. Ia menjadi tahanan yang dipercaya untuk melacak tahanan yang melarikan diri. 

Beberapa buku pernah menceritakan kehidupan di penjara French Guiana. Mungkin yang paling terkenal adalah Papillon. Ditulis oleh seorang mantan narapidana bernama Henri Charrière dan diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, dibintangi oleh Steve McQueen dan Dustin Hoffman. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES  Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355874/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-setan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700840000) } } [2]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355897" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?" ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/pelarian-mussolini-di-puncak-gun-20220701063900.jpg" ["title"]=> string(35) "Pelarian Mussolini di Puncak Gunung" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:40:01" ["content"]=> string(22040) "

Intisari Plus - Komandan Jerman membebaskan Mussolini, sang diktator Italia, dari penjaranya di Apennine. Apakah pesawat yang membawanya terlalu kecil untuk dirinya?

---------------

Diktator Nazi, Adolf Hitler, duduk di ruang rapat di markas rahasianya yang disebut "Sarang Serigala" di Rastenburg, tersembunyi jauh di dalam hutan Prusia Timur. Pemimpin Jerman itu sangat geram. Dia baru mendengar kabar bahwa teman dan sekutunya, Benito Mussolini, seorang diktator Italia yang kejam selama dua puluh tahun ini, baru saja digulingkan dan ditangkap pengikutnya sendiri.

Kabar yang baru diterimanya itu memang kurang lengkap, tapi cukup dalam untuk memperingatkan Hitler dan sekutu Nazi-nya. Mussolini sangat terkenal di Italia, hingga membawa pasukannya bertempur dalam Perang Dunia II berdampingan dengan Nazi Jerman. 

Diktator Italia itu ingin menaklukkan daerah baru untuk membangun Kerajaan Italia baru yang diharapkannya dapat menandingi kemegahan Kerajaan Romawi dua ribu tahun yang lalu. Namun, hal itu tidak dapat terwujud. Rakyat Italia tidak ingin peperangan, dan banyak prajurit Italia menolak untuk berperang.

Sejak awal perang meletus, segala sesuatu tidak berjalan baik di Italia. Koloni Italia sebelum perang—Afrika—mengalami kekalahan. Pasukan Italia yang dikirim untuk membantu Jerman menginvasi Rusia, menderita luar biasa. Lalu, di musim panas tahun 1943, Inggris, Amerika, dan sekutu lainnya menginvasi Italia selatan dan memperluas kekuasaan mereka mencapai Roma.

Pada 25 Juli 1943, Mussolini diundang menemui raja Italia, Victor Emmanuel III. Sang raja memberitahunya bahwa karena Italia kalah perang, Mussolini menjadi "orang yang paling dibenci di seluruh Italia". Marshall Pietro Mussolini diangkat menjadi kepala negara bagian di tempat ia tinggal. Kemudian Mussolini ditahan dan dimasukkan ke dalam ambulans, dan dibawa ke tempat rahasia.

Hitler tidak hanya mengkhawatirkan temannya. Ia prihatin jika Mussolini tidak lagi menguasai Italia. Mereka mungkin akan berdamai dengan musuh Jerman, atau lebih buruk lagi, memihak lawan. Ratusan dari ribuan tentara Jerman di negara itu harus menguasai Italia sebagai musuhnya, bukan sekutu, tetapi hal tersebut sama sekali tidak membantu Jerman.

Pemimpin Nazi itu sadar, masalah tersebut hanya dapat diselesaikan dengan menemukan Mussolini dan membantunya meloloskan diri. Begitu ia bebas, Jerman bisa menggunakan tentaranya untuk menyatakan dirinya sebagai pemimpin Italia.

Namun, Italia yakin Jerman akan memikirkan segala cara untuk membebaskan Mussolini, jadi mereka menyembunyikannya dengan sangat hati-hati. Yang diperlukan Hitler adalah misi penyelamatan yang nekad. Ia mengumpulkan para ajudannya dan membagikan apa yang ada di benaknya. Siapa yang akan mereka tunjuk untuk melaksanakan misi tersebut?

"Führer," kata sang ajudan, "Aku tahu siapa yang cocok untuk tugas itu."

*

Maka, pagi itu 26 Juli, SS Sturmbannführer Otto Skorzeny berdiri dengan gugupnya di luar kantor "Sarang Serigala". Skorzeny pernah melihat pemimpin Jerman itu sebelumnya, tapi hanya dari kejauhan, di sebuah parade akbar militer. Sekarang ia akan bertemu muka dengannya.

Hal pertama yang menjadi pusat perhatian orang ketika melihat Skorzeny adalah tubuhnya yang besar. Dengan tubuh yang sangat tinggi dan kekar seperti seekor banteng, sosoknya sangat mengesankan. 

Hal kedua yang jadi titik perhatian adalah bekas luka di pipi kirinya. Luka itu didapatnya saat ia masih menjadi mahasiswa di Viena. Pada 1920-an, berduel adalah hal yang populer di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. 

Skorzeny turut ambil bagian dalam 15 duel. Walaupun Nazi melarang kegiatan tersebut, ia tetap memegang teguh filosofi Nazi Hitler sejak 1920-an.

Skorzeny terpilih dari antrean panjang pasukan militer, dan memiliki bakat menjadi seorang pemimpin yang nekad. Sepertinya ia kecanduan bahaya. Ketika Nazi akhirnya berkuasa dan melarang kegiatan duel, ia pindah haluan ke balap motor. 

Pada waktu Perang Dunia II meletus, ia bergabung dengan SS (cabang militer Jerman yang terdiri dari pasukan elite Nazi). Ia bertempur dengan penuh keberanian bersama divisi Totenkopf (Death's Head) di Yugoslavia dan Rusia. 

Namun, ia dijangkiti penyakit dan diperintahkan untuk kembali ke Jerman, dan ia selanjutnya diberi tugas membentuk satu unit pasukan komando SS (unit khusus yang akan melaksanakan misi yang berbahaya dan berisiko tinggi). 

Skorzeny telah memperkenalkan pusat pelatihan komando miliknya sendiri, dan kini ia diberi kesempatan untuk membuktikan apa yang dapat dilakukan anak buahnya.

Hitler memberi salam Skorzeny dengan formalitas tinggi, dan memberitahukannya berita tertangkap serta hilangnya Mussolini.

Pemimpin Nazi itu menggarisbawahi kekhawatirannya tentang kemungkinan Italia akan menyerah. Ia memerintahkan Skorzeny segera terbang ke Italia untuk menyelamatkan temannya. Kode rencana itu adalah Operation Eiche (Operasi Pohon Ek). 

Tak ada risiko yang tak dapat ditangani. Begitu Mussolini bebas, Italia dan Jerman dapat segera bekerjasama dalam perang.

Pertemuan pun selesai. Skorzeny membungkuk penuh rasa hormat dan memberi salam Nazi, lalu diantar keluar. Ia meyakinkan Hitler bahwa ia mampu membebaskan Mussolini, atau tewas dalam misi. 

Sambil berjalan keluar, ia sadar bahwa dirinya akan melaksanakan misi yang akan mengubah nasib seluruh bangsa. Pikirannya bekerja cepat memikirkan cara mewujudkan misi yang kelihatannya tidak mungkin dilaksanakan. 

Jika ia tahu lokasi Mussolini berada, ia bisa segera menyusun rencana pelarian. Namun, untuk sementara ini ia harus menahan dirinya, sampai berita mengenai pemimpin Italia yang digulingkan itu sampai ke telinganya.

*

Penantian dimulai. Mata-mata Jerman menyusup ke mana saja mereka bisa. Diam-diam, teknisi radio Jerman menyadap segala kegiatan komunikasi untuk mendapatkan informasi. Situasi saat itu sangat sulit. 

Bagi kebanyakan rakyat Italia, khususnya mereka yang kehilangan ayah atau anak laki-laki, Mussolini memang orang yang paling dibenci di seluruh Italia, tapi masih banyak orang Italia, khususnya di kalangan militer yang masih mendukungnya. 

Suasana pengadilan naik turun. Pertama-tama, Mussolini dibawa ke kepulauan Ponza, dekat Roma. Lalu, ia dipindahkan ke sebuah markas Angkatan Laut Italia di La Maddalena, sebuah pulau di kepulauan Sardinia. 

Di sana, Skorzeny merencanakan melakukan penyelamatan berbahaya dengan perahu motor berkecepatan tinggi, tapi sebelum ia sempat melaksanakannya, Mussolini sudah dipindah lagi. Butuh beberapa minggu lamanya untuk mendapatkan petunjuk baru yang menginformasikan lokasi Mussolini.

Sementara itu, ada peristiwa baru terjadi di Italia. Pada 8 September 1943, pemerintahan Badolio memerintahkan semua pasukan untuk berhenti melawan Inggris dan Amerika, dan Italia berhenti berperang. 

Pasukan Jerman di Italia segera menduduki basis utama militer dan melucuti pasukan Italia sebisa mereka, dan berusaha mencapai Roma. Namun, masih ada kemungkinan Italia berbalik melawan mantan sekutunya itu.

Skorzeny diuntungkan dengan semua kejadian tersebut. la segera mengetahui bahwa Mussolini ditahan oleh seorang Jenderal Italia bernama Gueli. Ketika pesan rahasia Gueli berhasil disadap, mereka mendapatkan lokasi Mussolini disekap, dan Skorzeny segera beraksi.

*

Mussolini telah diterbangkan ke sebuah tempat peristirahatan musim dingin, yaitu sebuah hotel bernama Albergo-Rifugio, dekat Gran Sasso yang merupakan puncak tertinggi gunung Apennine. 

Di sana, seratus tiga puluh kilometer dari Roma, ia dijaga ketat oleh dua ratus lima puluh pasukan Italia. Lokasi tersebut merupakan pilihan yang paling tepat, karena terpencil dan akses ke dunia luar hanya melalui kereta gantung.

Skorzeny menimbang-nimbang pilihannya. Mustahil menyerang dari bawah, terlalu berbahaya mengirim pasukan parasut karena akan terbawa arus angin dan hancur berkeping-keping terhantam tebing gunung. 

Satu-satunya pilihan yang ada adalah pesawat layang. Pesawat layang pun juga sangat berbahaya. Pesawat layang memang barang yang licin, tapi tidak akan mengeluarkan suara apa pun. Semakin dipikirkan, sepertinya ide tersebut semakin bagus. Bahkan, pesawat layang adalah alat yang sempurna. 

Mereka akan mendarat diam-diam di hotel sebelah, dan anak buahnya dapat bergegas mencari Mussolini sebelum pasukan Italia sadar apa yang sedang terjadi. Setidaknya, begitulah harapannya.

Tanggal 10 September, Skorzeny naik pesawat dan terbang di atas hotel, memotret titik-titik di mana ia akan mendaratkan pesawat layangnya, dan rencana pun segera dilaksanakan. 

Tanggal 12 September dipilih sebagai hari penyerangan, dibantu seorang Jendral Italia bernama Soleti, pendukung setia Mussolini. Skorzeny menyuruh Soleti memerintahkan pasukan Italia untuk tidak menembak mereka.

*

Jadi, pada serangan pagi tersebut, pasukan komando SS milik Skorzeny bersama sejumlah tentara parasut Luftwaffe, berkumpul di landasan markas Angkatan Udara Practica di Mare, Roma. 

Mereka berdiri menunggu pesawat layang mereka dipersiapkan sambil makan sebanyak-banyaknya, siapa tahu itu adalah makanan terakhir yang mereka makan.

Namun, sebelum mereka terbang dengan pesawat layang tersebut, pesawat Amerika terbang di atas mereka dan menjatuhkan bom di landasan. Para prajurit terkejut. Walaupun tak ada yang terluka, ada beberapa lubang bom di landasan.

Setelah inspeksi singkat, Skorzeny tetap memutuskan bahwa pesawat layangnya masih bisa lepas landas dalam kondisi tersebut, dan penyerangan tetap dilaksanakan sesuai rencana. 

Semuanya ada dua belas pesawat layang yang diterbangkan anak buah Skorzeny, lengkap dengan para pembom. Tetapi, pada pukul setengah satu siang, saat mereka mulai lepas landas satu persatu, kejadian buruk menimpa mereka. Dua pesawat menabrak lubang dan jatuh saat akan lepas landas, termasuk pesawat yang tadinya diperintahkan Skorzeny untuk memimpin penyerangan tersebut. 

Sekarang harus ia sendiri yang memimpin. Di pesawat layangnya yang sempit, ia berdesakan dengan perlengkapannya sendiri, bahkan tak dapat bergerak dan tak dapat melihat arah ke mana mereka terbang. Maka, dengan bayonet ia membuat lubang di sayap pesawatnya yang terbuat dari kain kanvas tipis, untuk memperluas pandangannya.

Dalam perjalanan, dua pesawat layang lainnya terpisah dari rombongan dan hilang di balik awan. Sekarang hanya ada mereka berdelapan. Satu jam kemudian, pesawat hampir mendekati targetnya, maka mereka melepaskan para pembom yang segera membelok supaya suara mesin mereka tidak terdengar oleh pasukan Italia di bawah sana. 

Pesawat layang mendarat tanpa suara di hotel bagaikan burung asing yang menakutkan. Namun, saat mereka semakin dekat dengan tempat pendaratan yang telah ditentukan Skorzeny, ia baru sadar ternyata tempat tersebut lebih sempit dan lebih berbahaya daripada yang ia duga sebelumnya. Tempat tersebut dipenuhi batu-batu, sangat landai dan curam sampai ke jurang yang dalam.

Sudah terlambat untuk mundur. Skorzeny telah berjanji pada Hitler akan membebaskan Mussolini, apa pun risikonya. Dengan kasar ia memerintahkan pilotnya untuk mendarat, kemudian pesawatnya menabrak padang rumput berbatu. Ia bernasib sial. Sehabis pendaratan yang penuh guncangan, pesawatnya berhenti kira-kira delapan belas meter dari hotel.

Berharap tidak diadang oleh rentetan tembakan senapan, Skorzeny dan anak buahnya segera keluar dari pesawat layang dan menuju pintu masuk hotel. Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan. 

Mungkinkah pasukan Italia telah diringkus? Atau mungkin Jenderal Soleti yang telah berkomplot dengan Skorzeny telah memerintahkan pasukan untuk tidak menembak serta membujuk mereka untuk tidak menjaga hotel?

Di dalam hotel, Skorzeny melihat dua orang perwira Italia sedang mengoperasikan radio komunikasi. Ia menendang radio itu, membantingnya hingga hancur berkeping-keping, kemudian lari menuju tangga utama hotel. 

Di lantai pertama, ia beruntung langsung melihat Mussolini di kamar pertama yang ia masuki. Dua orang perwira Italia yang menjaganya langsung dilumpuhkan. Kini pemimpin Italia itu ada di tangannya la segera memerintahkan pasukan Italia agar menyerah.

Situasi sempat hening beberapa saat, tapi akhirnya perwira tinggi Italia menerima kekalahan itu. Sepotong kain putih digantung di jendela hotel, dan seorang kolonel Italia memberikan segelas anggur merah. 

Herannya, tak satu pun peluru yang ditembakkan selama penyerangan yang berlangsung kira-kira empat menit itu. Malah, saat pasukan Italia menyerah, pesawat layang terakhir mendarat di luar hotel. Satu-satunya satunya pasukan yang terluka hanyalah pasukan pesawat layang Jerman yang gagal lepas landas tadi.

*

Sejauh ini segalanya berjalan mulus. Mussolini kini berada di tangan Jerman, Skorzeny masih harus membawanya pergi jauh sebelum alarm berbunyi dan pasukan Italia tambahan datang untuk menghentikan segala usaha mereka. 

Hal itu sama berbahayanya dengan penyerangan awal. Tadinya ia berniat membawa pemimpin Italia itu dengan kereta gantung yang ada di samping hotel, tapi sekarang cara terbaik untuk itu adalah terbang. 

Di atas sana, sudah ada pesawat mata-mata yang digunakan untuk tugas memata-matai misi ini. Pesawat dengan dua tempat duduk ini bisa lepas landas dan mendarat di lahan yang sempit. Pesawat inilah yang bisa membawa Mussolini keluar dari Italia.

Skorzeny menyuruh pilot membawa pesawat itu turun. Anak buahnya segera membersihkan padang rumput dari batu batu dan potongan-potongan pesawat layang yang hancur, supaya tempat mendarat pesawat tersebut lebih aman. 

Pesawat kecil itu mendekat lalu mendarat di hadapan mereka. Mussolini masuk dan duduk di samping pilot, sementara Skorzeny menyelinap di belakangnya. 

Sang pilot bersikeras penumpang pesawat tidak boleh lebih dari tiga orang, tapi Skorzeny merasa bertanggungjawab atas Mussolini dan tidak akan melepaskannya dari pandangannya sampai mereka berdua kembali dengan aman di Jerman.

Pesawat itu benar-benar kelebihan beban. Sang pilot menyetel mesin pada kondisi kekuatan penuh sekaligus menginjak rem. Anak buah Skorzeny memegangnya dari luar untuk menjaga kestabilan pesawat. 

Lalu, pedal rem diangkat, para prajurit melepaskan pegangannya, dan pesawat kecil itu berguncang mencoba naik. Sebelum sempat benar-benar mengudara, pesawat itu menukik ke pinggir gunung dan terjerembab di lembah. Kondisi di bawah nampak mengkhawatirkan, untunglah sang pilot berpengalaman tinggi. 

Ia berhasil membuat pesawat itu naik, melayang di atas gunung dan terbang menuju Roma.

Kram di kokpit yang sempit, Skorzeny mengalami penerbangan yang tidak nyaman, dan tertekan mendengar suara pemimpin Italia ini mengutuki penangkapnya melawan kebisingan suara mesin pesawat. 

Hanya pada saat roda pesawat ini menyentuh landasan markas Angkatan Udara Jerman di Roma-lah, Skorzeny bisa tenang. Ia telah berjanji pada Hitler untuk membebaskan temannya. Sekarang, di sinilah dirinya, duduk di samping diktator Italia itu, aman di tangan Jerman, dan keduanya masih hidup untuk menceritakan kejadiannya.

 

Selanjutnya

Begitu mereka tiba di Roma, Skorzeny dan Mussolini nak pesawat yang lebih besar menuju Viena, dan melanjutkan perjalanan menuju "Sarang Serigala" di Prusia Timur. Hitler sudah berada di bandara menunggu untuk memberi salam saat mereka tiba nanti. Ia sangat bersemangat bertemu dengan temannya lagi.

Kaburnya Mussolini seperti memperpanjang nasib sial Italia dalam peperangan, dan tidak menghentikan pemerintahan Marshal Badogio untuk berpindah pihak pada tahun 1943. Ironisnya, pelarian itu menentukan nasib Mussolini. 

Ketika mereka bertemu di Prusia Timur, Hitler terkejut dengan penampilan diktator Italia itu. Sepertinya ia telah menyusut dan tidak dapat dikenali lagi. 

Hitler juga kecewa melihat Mussolini kehilangan nafsu atas kekuasaan. Yang diinginkannya hanyalah pulang ke rumahnya di Romagna, bertemu dengan keluarganya lagi, dan pensiun. Tetapi Hitler tidak menginginkan semua itu.

Dengan jumlah pasukan yang besar di Italia, khususnya di utara, Jerman mampu menguasai sebagian besar Italia, dan Mussolini tetap dijadikan sebagai pemimpin di daerah utara. 

Rasa bencinya terhadap Hitler mulai tumbuh, dan selama perang ia tak lebih dari hanya sekadar boneka Jerman. Saat perang berakhir, ia ditangkap pasukan gerilya Italia. 

Pada waktu ia dihadapkan pada regu penembak, ia mendapatkan kembali semangat yang mendorongnya untuk menjadi penguasa selama dua puluh tahun. Ia membuka kancing bajunya dan meminta mereka menembaknya di dada.

Mayatnya dibawa ke Milan dan digantung terbalik di alun alun kota. Hitler bersumpah bahwa ia tidak akan mengalami hal yang sama. Dalam kondisi hampir terkalahkan, ia menembak dirinya sendiri dan meninggalkan pesan agar mayatnya dibakar.

Serangan di Gran Sasso mengantar Skorzeny pada ketenaran. Di Jerman, penyelamatan yang dilakukannya membuat dirinya dianggap sebagai pahlawan, tetapi bagi musuhnya ia dianggap sebagai pria cerdik yang paling kejam di Jerman. 

Skorzeny memimpin misi berbahaya lainnya sebelum perang berakhir, termasuk di bagian utara Eropa di mana pasukan Jerman yang berbahasa Inggris memakai seragam Amerika, lalu mengendarai tank dan jip membuat garis depan tentara Sekutu panik dan kocar kacir.

Setelah perang, Skorzeny menyewakan bakat khususnya pada tentara yang jahat. Sama seperti mantan anggota Nazi, ia pergi ke Amerika Selatan dan ia membantu polisi Argentina menjadi pasukan paling brutal di seluruh Amerika Selatan. 

Ia juga disebut-sebut terlibat dalam gerakan organisasi Odessa yang menyelundupkan kriminalis mantan anggota Nazi ke Amerika Selatan, agar mereka tidak dihukum atas kejahatan yang mereka lakukan.

Kemudian ia menetap di Spanyol, yang pada saat itu merupakan salah satu negara yang bersimpati pada mantan anggota Nazi. Di sana ia menjadi konsultan mesin yang sukses. Ia meninggal pada 1975, setelah mengalami penyakit menyiksa yang berkepanjangan. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(80) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355897/pelarian-mussolini-di-puncak-gunung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700801000) } } [3]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355907" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/sepuluh-pintu-yang-terkuncijpg-20220701063727.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Sepuluh pintu yang terkunci berdiri di antara Tim Jenkin dan dunia luar. Namun, aktivis anti-apartheid ini bak ditakdirkan untuk lolos dari penjara." ["section"]=> object(stdClass)#96 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/sepuluh-pintu-yang-terkuncijpg-20220701063727.jpg" ["title"]=> string(27) "Sepuluh Pintu yang Terkunci" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:37:41" ["content"]=> string(24436) "

Intisari Plus - Sepuluh pintu yang terkunci berdiri di antara Tim Jenkin dan dunia luar. Namun, aktivis anti-apartheid ini memang ditakdirkan untuk lolos dari penjara Pretoria.

-------------------

Jika ingin mengunjungi sel Tim Jenkin di penjara Pretoria di Afrika Selatan, seseorang harus melewati tidak kurang dari sepuluh pintu terlebih dahulu. Dari halaman luar, ia akan melewati dua pintu pertama di lantai dasar untuk masuk ke dalam penjara. Lalu, satu pintu lagi di dalam lorong. 

Dari sana, sebuah koridor panjang akan mengantarnya pada tiga pintu lainnya sebelum mereka tiba di pos sipir penjara. Lalu, koridor lainnya akan menuntunnya pada sebuah pintu di anak tangga menuju lantai satu. Di sana ia akan melewati pintu lain menuju koridor panjang lainnya. 

Di situlah sel Jenkin berada, bersama dengan sel tahanan politik lainnya. Bahkan selnya mempunyai pintu dalam dan pintu luar. Dan setiap pintu-pintu tadi terkunci di malam hari.

Siapa saja yang mendukung rezim apartheid rasis Afrika Selatan bisa tidur dengan tenang malam itu, karena mereka tahu Jenkin terkunci dalam penjara. "Kejahatan" Jenkin adalah menjadi anggota partai terlarang, yaitu Partai Kongres Nasional Afrika (PKNA) yang memperjuangkan hak Afrika Selatan agar bebas berdemokrasi.

Jenkin telah menjalani jalan yang sama dalam penjara itu sejak Juni 1978. Saat itu, ia telah menjalani satu setengah tahun dari dua belas tahun masa hukumannya. Hidup di penjara begitu membosankan hingga tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, tetapi ada kompensasinya. 

Di sel koridor yang sama ada Steven Lee yang juga anggota PKNA, teman Jenkin sejak di bangku kuliah. Keduanya sudah menyusun rencana kabur sejak mereka tiba di sana. Mereka melihat bahwa tahanan lainnya sudah menerima nasib mereka dan membuang pikiran untuk kabur. 

Namun, tidak demikian dengan Alex Moumbaris. la berada di sana sejak tahun 1973. Ketika Jenkin memberitahunya bahwa mereka sedang memikirkan cara untuk melarikan diri, Moumbaris langsung meminta mereka untuk memberitahu dirinya jika rencana kabur sudah tercetus. Dia rela menjadi kelinci percobaan.

*

Menyusun rencana kabur mengurangi kebosanan Jenkin hidup di penjara. Sedangkan Moumbaris merupakan berkat tersendiri. Sementara tahanan lain mencoba bersikap sopan dan bisa bekerja sama dengan para penjaga, sebaliknya ia justru bersikap kasar dan menolak merapikan selnya. Bagi Moumbaris, penjaga mewakili rezim politik yang dibencinya, dan ia tidak ingin mereka lupa akan hal tersebut.

Tahanan yang bersikap demikian akan diawasi lebih ketat dan lebih mudah dicurigai. Jenkin dan Lee menganjurkan Moumbaris untuk mengubah kelakuannya dan berusaha menjadi tahanan yang baik. Ternyata benar, para penjaga mulai tidak terlalu mengawasinya lagi, sehingga ketiganya bisa mulai menyusun rencana pelarian mereka.

Kini mereka terpaksa terbiasa dengan rutinitas di penjara dari hari ke hari. Ini merupakan keuntungan tersendiri. Ketiganya bisa memperkirakan dengan hampir tepat apa yang akan dikerjakan oleh penjaga pada jam-jam tertentu. 

Mereka juga tahu kapan mereka akan tidak terlalu diganggu. Misalnya, jam makan para penjaga adalah waktu mereka tidak akan diawasi. Mereka juga mengetahui, jam setengah lima saat para tahanan dikunci dalam sel sampai malam, hanya ada satu penjaga yang tetap tinggal dalam penjara, di pos penjagaan di lantai dasar. 

Lalu, ada seorang penjaga di jembatan kaca di halaman depan luar penjara. Ditambah satu orang lagi yang menjaga pintu keluar utama, tapi ia tidak akan ada sebelum jam enam sore.

Tampaknya, hanya ada dua pilihan. Pilihan pertama cukup sederhana. Mereka tinggal memecahkan jendela sel masing masing, lalu lari sekencang-kencangnya melewati halaman penjara, dan memanjat pagar setinggi enam meter yang mengelilingi penjara. 

Sederhana memang, tapi risiko terluka atau mati sangat besar. Begitu dimulai pasti sudah diadang anjing pelacak di halaman, yang terlatih membenamkan giginya ke tubuh siapa saja yang mencoba lari.

Para tahanan diizinkan berada di halaman pada jam-jam tertentu sepanjang hari. Jenkin dan Moumbaris mencoba membuat variasi pada rencana mereka. Beberapa ekor anjing digunakan pada rotasi mingguan, dan sekalipun sebagian dari anjing-anjing itu diberi makan, yang lainnya masih menggeram bila melihat makanan baru.

Tetapi, ada masalah lain dengan rencana tadi, yaitu para penjaga bersenjata di jembatan kaca di atas halaman yang dilengkapi dengan senter pada saat jaga malam. Mungkin mereka bisa menciptakan pengecoh, tapi semakin dipikir mereka semakin merasa bahwa rencana itu tidak akan berhasil.

Jadi, ketiganya beralih pada rencana yang lebih rumit. Artinya, keluar lewat jalan masuk. Hati Jenkin ciut membayangkan hal rumit yang membentang di hadapan mereka. Akan memakan waktu berabad-abad untuk menemukan cara lolos dari sepuluh pintu tersebut.

Apapun yang akan dikerjakan harus dilakukan dengan cerdik, karena mereka hanya punya satu kesempatan. Bila tertangkap, jika tidak dibunuh di tempat, sejumlah tahun tahun akan ditambahkan pada masa hukuman mereka, dan mereka akan diawasi lebih ketat lagi. Bahkan mungkin saja mereka akan dipindahkan ke penjara lain yang lebih mengerikan.

Maka, tiga sekawan itu mulai memikirkan cara meloloskan diri dari setiap pintu yang ada di penjara, dan dari mana lagi mereka harus mulai kalau bukan dari pintu sel masing-masing? Jenkin mencatat ukuran lubang kunci dan mengukur dengan teliti bentuk "pasak" yang ada di dalamnya yang menggerakan mekanisme penguncian.

Jenkin mendapat ukuran dan bentuk pasak dengan membuat cetakan yang terbuat dari kertas kosong yang ia masukkan ke dalam lubang kunci dengan hati-hati.

Di penjara ada bengkel, tempat para tahanan menghabiskan waktu membuat perabotan rumah tangga. Ini merupakan kesempatan emas bagi tiga sekawan tersebut. Mereka mempunyai materi dan peralatan lengkap untuk membuat kunci. Bahkan petugas yang berjaga di sana terlalu mengantuk untuk mengawasi yang dibuat Jenkin.

Secara bertahap, lewat kegagalan dan kesalahan, Jenkin berhasil membuat kunci pertamanya. Pertama-tama ia membuat bentuk dasarnya di bengkel penjara, lalu mengukir potongan-potongan penting lainnya di dalam selnya dengan alat yang dicurinya dari bengkel. Ketika kunci pertamanya selesai, ia menemukan satu hal penting, yaitu kunci yang sama bisa membuka pintu sel di koridor yang sama.

Kunci yang mereka butuhkan untuk membuka pintu lainnya ada di sekitar mereka. Kunci-kunci tersebut bergelantungan di pinggang atau di tangan para penjaga. Jenkin merasa bahwa mereka sengaja menciptakan suara gemerincing kunci-kunci tersebut untuk menyiksa batin para tahanan. Ketika ia menyaksikan penjaga mengunci atau membuka pintu selnya, ia berusaha keras melihat bentuk kuncinya serinci mungkin.

Semakin mereka menyusun rencana kabur dari yang sepertinya tak terkalahkan ini, mereka semakin sadar akan adanya beberapa perubahan luar biasa di bidang keamanan. Di siang hari, para tahanan diizinkan berada di beberapa bagian penjara lainnya, melewati sepuluh pintu tersebut. 

Ajaibnya, kuncinya pun sering tertinggal di masing-masing pintu, dan hanya dicopot bila pintu dikunci di malam hari. Mencuri kunci pasti akan ketahuan, tapi tiga sekawan itu bisa membuat cetakannya dengan sabun dan membuat duplikatnya nanti. 

Ada beberapa kunci yang tidak tertinggal di pintunya, tetapi bertambahnya pengetahuan mereka tentang mekanisme penguncian, Jenkin, Lee, dan Moumbaris membuka kunci pintu, atau membukanya di tempat lalu mengukur pasaknya dan memasangnya kembali. Ajaibnya, mereka tidak pernah tertangkap basah.

Satu pintu yang merupakan masalah besar bagi mereka adalah pintu luar sel mereka yang hanya bisa dikunci dari luar. Namun, itu bukan pekerjaan yang mustahil. Setiap sel memiliki jendela dengan pemandangan koridor. Mereka membuat engkol dengan gagang dan materi lainnya yang mereka curi dari bengkel. 

Diperlukan waktu empat bulan untuk menyelesaikan pembuatan kunci bergagang itu. Moumbaris menyembunyikannya dalam bentuk beberapa potongan di dalam selnya.

Seiring bertambahnya jumlah kunci mereka, mereka sadar ada beberapa kunci mempunyai bentuk yang sama. Mereka menemukan bahwa satu kunci pintu cocok dengan pintu lainnya, atau hanya perlu diberi tambahan kecil untuk membuka pintu lain. 

Selain itu, semakin banyak kunci yang mereka buat, semakin besar pula kesulitan untuk menyembunyikan semuanya. Sama seperti penjara lainnya, sel digeledah secara rutin. 

Untungnya, karena sipir penjara beranggapan bahwa Jenkin, Lee, dan Moumbaris termasuk tahanan teladan, sel mereka tidak digeledah dengan ketat. Meski demikian, mereka tetap harus berhati-hati. 

Mereka menyembunyikan kunci-kunci itu di dalam toples sabun atau gula, beberapa di antaranya dibungkus dengan rapi, dan dikubur di taman, di bawah tanaman tertentu supaya mereka bisa mengingatnya.

*

Elemen lainnya yang cukup vital dalam rencana ini adalah baju yang akan mereka pakai. Tahanan penjara Pretoria wajib memakai seragam, tapi mereka diperbolehkan memesan "baju olahraga" yang memang dilakukan oleh mereka. Mereka juga mendapatkan celana jin dan t-shirt yang disediakan penjara untuk dipakai tahanan yang sedang membersihkan lantai.

Menyembunyikan pakaian-pakaian tersebut jauh lebih sulit daripada menyembunyikan kunci. Keberuntungan menghampiri mereka lagi. Para pekerja datang untuk membetulkan pancuran mandi dan alat pemanas di koridor sel mereka, tak sengaja meninggalkan pintu lemari yang biasanya terkunci dalam keadaan terbuka. 

Mereka segera melepaskan grendel kunci dan membuat kunci duplikatnya, kemudian memasang kembali semua pada tempatnya sebelum ada yang memperhatikan. Kini mereka mempunyai tempat yang aman untuk menyimpan semua pakaian dan segala perlengkapan yang diperlukan untuk kabur. 

Semuanya sangat praktis, karena jika penjaga menemukan barang-barang tersebut, mereka tidak akan tahu milik siapa semua itu.

Pada saat kabur nanti, mereka pikir mereka tidak akan punya banyak waktu untuk melakukan semua itu, tetapi lambat laun bukan itu masalahnya. Ketika Jenkin pertama kali tiba di penjara, ia menyembunyikan uangnya tanpa diketahui sipir. Mereka pasti akan memerlukannya saat melarikan diri nanti. Masalahnya, mata uang Afrika Selatan akan diganti, dan uang itu tidak akan berlaku lagi.

Masih ada masalah lain yang harus diatasi. Dekat pintu masuk utama penjara terdapat pintu elektronik yang dioperasikan sebuah tombol di pos jaga malam. Membuka pintu tersebut tentunya merupakan bahaya besar. 

Selain itu, ada dua pintu lainnya yang sama sekali belum sempat mereka lihat sebelumnya. Satu di koridor menuju jalan keluar penjara, dan yang satu lagi adalah pintu keluar penjara. Semua itu harus dikerjakan di malam mereka melarikan diri. 

Mungkin salah dari kunci mereka akan cocok, atau mereka harus membawa perkakas yang mereka curi dari bengkel.

Tanggal 11 Desember 1979 adalah hari yang mereka pilih untuk melarikan diri. Petugas jaga malam itu Sersan Vermeulen, adalah petugas paling lesu dan sering mengantuk yang mereka tahu. 

Tetapi mereka harus cepat. Jam enam sore nanti seorang penjaga akan berdiri di depan pintu masuk penjara. Artinya, mereka cuma punya waktu sekitar satu setengah jam untuk kabur.

*

Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Untungnya banyak hal yang harus dikerjakan untuk mengalihkan pikiran mereka dari bahaya yang akan dihadapi nanti. Minggu lalu terasa berjalan dengan lambat, dan masing-masing mengkhayalkan teman-teman yang dapat mereka temui lagi, serta makanan lezat yang bisa mereka makan. 

Setelah bertahun-tahun makan makanan hambar tanpa gizi di dalam penjara, mereka benar-benar tak sabar untuk bisa makan sesuatu yang benar-benar lezat.

Sore itu, ketiganya mengatur sel masing-masing sedemikian rupa agar tidak meninggalkan jejak apa pun. Mereka tahu, anjing pelacak akan dikerahkan untuk mencari mereka, jadi mereka mencuci pakaian yang mereka kenakan hari itu menyemprot wewangian di atas tempat tidur mereka, dan membubuhkan lada di sepatu yang mereka tinggal. 

Semua catatan rahasia tentang rencana ini dibuang ke saluran pembuangan air. Jenkin merasa sulit melakukannya. Selama ini, di kegelapan malam ia telah menyatu dengan semua kenangan tersebut.

Selanjutnya, sebagai sentuhan akhir, mereka membuat tubuh palsu di tempat tidur. Mereka mengisi celana overall dengan handuk, baju, dan buku-buku, kemudian meletakkan sepatu di ujung tempat tidur agar terlihat seperti kaki.

Semua tahanan lainnya di koridor yang mengetahui rencana pelarian ini memberi ucapan semoga berhasil pada mereka. Beberapa bertanya-tanya apakah para penjaga sudah mengetahui rencana tersebut dan telah bersiap-siap menyergap mereka, tapi semua itu tak beralasan.

Pada waktu jam mandi sore itu, mereka membuka lemari dan mengatur urutan pakaian mereka agar mereka bisa berpakaian dengan cepat. Di jam makan malam, mereka makan sup sebanyak-banyaknya, lalu kembali ke dalam sel dan menunggu. Rutinitas terakhir (ditutupnya semua pintu dan para penjaga pergi) dimulai. 

Semua adalah ritual di malam hari yang mereka harap tidak akan pernah mereka dengar lagi. Begitu para tahanan lain beristirahat, saatnya bagi mereka untuk menguji segala kerja keras mereka selama berbulan bulan.

*

Jadi, pukul 04.40 sore itu, saat penduduk Pretoria bersiap pulang kerja, atau saat buruh keluar dari pabrik, sebuah pelarian mulai dilaksanakan. Ketiganya membuka pintu dalam sel masing-masing dengan kunci palsu, kemudian Moumbaris membuka pintu luar selnya dengan kunci bergagang, lalu lari secepatnya menuju sel Jenkin dan Lee untuk membebaskan mereka.

Selanjutnya, tiga sekawan itu menyelinap ke kamar mandi untuk melepaskan seragam dan berganti pakaian biasa. Mereka memakai sarung tangan agar tidak meninggalkan sidik jari, dan topeng untuk berjaga-jaga bila penjaga melihat mereka dari jauh, mereka bisa langsung lari kembali ke sel tanpa dikenali. Kemudian mereka lari ke ujung koridor dan membuka pintunya dengan kunci palsu ketiga.

Di balik koridor tersebut terdapat anak tangga. Di sana ada kotak sekring. Dengan hati-hati, Jenkin membukanya dan melepaskan satu sekring. Dalam sekejap listrik di lantai satu padam. Setelah mengunci pintu di belakang mereka, ketiganya segera menuruni anak tangga menuju lantai dasar dan bersembunyi di lemari penyimpanan di belakang tangga.

Setelah beberapa saat, seperti yang telah diinstruksikan sebelumnya, para tahanan di lantai satu mulai berteriak, mengeluhkan padamnya listrik. Petugas malam, Sersan Vermeulen, tersentak di kursinya. Ia tengah asyik membaca stensilan dan tidak ingin diganggu. Ia berjalan lambat di aula, melewati lemari penyimpanan dan naik ke lantai satu.

"Tenang, tenang," teriaknya."Ada apa?"

la segera sadar masalah yang terjadi di lantai satu. 

"Diam, diam. Paling-paling sekringnya terbakar. Sekarang, tenang semua. Akan segera kuperbaiki."

Namun, teriakan berlanjut. Vermeulen heran mengapa para tahanan begitu gelisah malam itu. Cukup cepat ia memperbaiki sekring itu, dan listrik pun segera menyala. Lalu, ia menghabiskan waktu lima menit untuk mondar-mandir di koridor, mencoba menenangkan tahanan yang masih berteriak.

Rencana berjalan sempurna. Sementara Vermeulen berteriak-teriak di lantai satu, Jenkin, Lee, dan Moumbaris menyelinap keluar dari persembunyian mereka dan bergegas melewati pintu dekat tangga yang dibiarkan terbuka oleh Vermeulen. 

Perhentian selanjutnya adalah pos penjagaan Vermeulen. Mereka masuk ke dalam, mata mereka segera mencari tombol pembuka pintu elektronik yang ada di lorong Mereka menemukannya dan langsung menekannya. Dari kejauhan mereka bisa mendengar bunyi 'klik'.

Tiga pintu lainnya berdiri di antara mereka dan pintu elektronik yang baru saja mereka buka. Dua pintu pertama dapat mereka buka dengan kunci palsu. Pintu nomor tujuh merupakan masalah. Mereka belum pernah mencoba pintu ini sebelumnya, jadi mereka membawa tiga kunci sebelumnya yang mereka pikir mungkin bisa cocok. Tiga sekawan ini berkumpul, Jenkin lebih dulu mencoba.

Ini adalah rintangan yang bisa saja menggagalkan pelarian mereka, ketiganya mencoba membuka kunci dengan rasa cemas yang luar biasa.

Jenkin mengumpat pelan saat kunci pertama tidak bisa membuka pintu.

"Satu gugur, masih ada dua lagi." 

Kunci kedua dimasukkan dan diputar. Terdengar suara grendel kunci membuka. Mereka ingin bersorak kegirangan. Tetapi kini Vermeulen pasti sudah kembali ke pos jaganya, jadi mereka hanya mengepalkan tinju ke udara sambil tersenyum lebar.

Pintu ke delapan (dioperasikan secara elektronik) seperti mengundang mereka di ujung koridor. Ketiganya bergegas melewatinya dan sampai di aula luar penjara.

Sisa dua pintu ...

Pintu ke sembilan, yang menuntun mereka ke pintu keluar terakhir, tidak menjadi masalah. Pintu itu dibuka dengan kunci yang telah membuka pintu sebelumnya. Kini hanya ada satu pintu mengadang di depan, merintangi mereka dengan kebebasan.

*

Pintu terakhir belum pernah mereka coba sebelumnya, dan di situlah mereka kehilangan keberuntungan yang menyertai mereka selama ini. Mereka tiba di puncak ketakutan karena tak satu pun kunci yang cocok dengan pintu tersebut. 

Fakta pintu datar ini terbuat dari kayu biasa dengan gerendel kunci biasa, sangat mengesalkan mereka. Semua pintu yang mereka lewati sebelumnya adalah pintu besi penjara yang sangat besar dan kuat.

Waktu juga jadi masalah bagi mereka. Sejam sudah berlalu, terhitung saat mereka mulai kabur, dan sebentar lagi jam 06.00. Dengan adanya seorang penjaga di depan pintu, tentu akan semakin menyulitkan pelarian.

Setelah gagal membuka pintu dengan semua kunci ada, kini saatnya untuk bertindak kasar. Moumbaris meminta sebuah pahat dan mulai memahat pintu di bagian grendel kunci. Jenkin melihatnya dengan rasa kecewa. Kalau semua berjalan lancar sesuai rencana, maka nampaknya tiga sekawan ini seolah-olah menghilang bersama udara. 

Mereka telah mengunci semua pintu di belakang mereka, jadi tidak akan ada indikasi bagaimana cara mereka melarikan diri dari penjara. Sekarang, jika mereka memang berhasil lolos, pihak berwenang akan mendapat petunjuk dari bekas pahatan di pintu kayu. Petunjuk yang bagus untuk mengumumkan bagaimana cara mereka kabur. 

Setelah memahat, Moumbaris mencoba untuk mengakali mekanisme kunci, tapi selalu gagal, bahkan obeng yang digunakan mengeluarkan suara cukup keras. Setiap kali ini terjadi, mereka yakin Vermeulen mendengar suara tersebut. Namun, Vermeulen benar-benar asyik dengan bukunya. Jadi, mereka bisa melanjutkan tanpa ketahuan.

Akhirnya, mekanisme kunci terbuka, ketiganya bersiap-siap menghadapi dunia luar. Mereka melepaskan sarung tangan dan topeng mereka, lalu mengenakan sepatu lari, berusaha terlihat sewajar mungkin. Lalu, Moumbaris menyentak pintu dengan kencang, pintu pun terbuka dengan suara decitan keras.

Mereka mengintip ke luar, dan mengira akan melihat seorang penjaga di jembatan, atau ditodong senapan. Ternyata, penjaga telah berjalan ke sisi lain halaman dan tidak terlihat. Dengan situasi aman seperti itu, tak ada hal lain yang harus segera dilakukan selain berjalan keluar ditemani matahari yang tenggelam di ujung barat, berjalan terus sampai ke jalan besar dan menyetop taksi.

 

Setelah Pelarian

Beberapa hari kemudian, Jenkin, Lee, dan Moumbaris telah berhasil menyelundup keluar dari Afrika Selatan ke Maputo di dekat Mozambik. Dari sana mereka pergi ke Eropa. Pelarian mereka membuat pemerintah Afrika Selatan sangat malu, sehingga mereka memaksa salah satu dari penjaga untuk mengaku telah berkomplot dengan tiga buronan tersebut.

Rezim apartheid Afrika Selatan yang menyangkal hak suara orang kulit hitam untuk memilih, serta menyangkal hak asasi lainnya, menjadi masa lalu. Pemilihan umum multiras yang pertama diselenggarakan pada 1994.

Setelah terbang ke London, Tim Jenkin kembali ke tanah kelahirannya, Afrika Selatan, pada 1991. Ia bekerja sebagai petugas humas untuk PKNA di Johannesburg. Steven Lee hidup mapan di London, bekerja sebagai tukang listrik di surat kabar nasional. Alex Moumbaris pergi ke Paris dan bekerja di bidang komputer. (Nukilan dari buku:

TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355907/sepuluh-pintu-yang-terkunci" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700661000) } } [4]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355916" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/lolos-atau-matijpg-20220701063650.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Tidak lama lagi, André Devigny, seorang pejuang Prancis, akan menghadapi hukuman mati. Berbekal seutas tali, dia bertekad melarikan diri." ["section"]=> object(stdClass)#100 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/lolos-atau-matijpg-20220701063650.jpg" ["title"]=> string(15) "Lolos atau Mati" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:37:04" ["content"]=> string(18768) "

Intisari Plus - Tidak lama lagi, André Devigny, seorang pejuang Prancis, akan menghadapi hukuman mati. Di bawah kasurnya, seutas tali terkait pada sebuah jepitan yang terbuat dari tiang lampu. Cukupkah semua itu untuk membebaskan dirinya dari penjara Montluc?

---------------------------

André Devigny berbaring di atas tempat tidur dalam sel sempit di penjara militer Montluc di Lyon, Prancis. Hari itu tanggal 20 Agustus 1943. Ia menarik selimut kumalnya untuk menutupi kepalanya, berusaha mendapatkan kehangatan dari bahan tipis tersebut. Cahaya di bawah pintu selnya memberitahunya bahwa hari sudah pagi. Saatnya untuk diinterogasi dan disiksa, sama seperti hari-hari sebelumnya dalam dua minggu ini.

Dalam kantuknya, ia masih bisa mendengar suara-suara. Seisi penjara menjadi hidup. Dari kejauhan, pintu dibanting. Penjaga berteriak. Lalu, suara langkah kaki dan gemerincing kunci-kunci terdengar mendekat. Langkah kaki itu berhenti di depan selnya dan pintu pun dibuka. Saat pintu terbuka, sinar matahari menembus masuk. 

Devigny menutup kedua matanya karena silau. Tiga sipir Jerman datang menjemputnya. Salah seorang di antaranya berbicara dengan kasar dalam beberapa kata-kata Prancis yang baru dipelajari di Montluc.

"Keluar. Sekarang. Cepat."

Namun, Devigny tidak dibawa untuk disiksa. Ia dibawa ke hadapan pimpinan Gestapo, Klaus Barbie, dan diberitahu bahwa ia akan ditembak mati beberapa hari lagi. Ia digiring kembali ke selnya dengan tangan diborgol, ditinggal, dan hanya ditemani oleh pikirannya. Ia masih berumur 26 tahun, tapi hidupnya akan berakhir tragis.

Sebenarnya, Devigny tidak kaget dengan kata 'mati'. la merupakan anggota French Resistance (sebuah grup yang terus berjuang melawan pasukan Jerman yang menduduki negeri mereka selama Perang Dunia II). Empat bulan sebelumnya, di bulan April 1943, karena membunuh seorang mata-mata Jerman, ia ditangkap beberapa hari kemudian.

la dibawa ke Montluc. Penjara abu-abu yang muram ini merupakan rumah yang suram bagi banyak aktivis Resistance dan orang Yahudi yang ditahan di sini sebelum mereka dipindahkan ke kamp pembasmian. Tak ada satu pun tahanan yang bisa lolos dari Montluc.

Devigny disiksa oleh Gestapo (agen rahasia Nazi), tapi tidak membocorkan rahasia apa pun. Begitu penangkapnya sadar ia tidak akan membuka mulut, sudah waktunya untuk melenyapkannya. Devigny tidak akan menyerah begitu saja. Namun, kondisinya lemah karena disiksa dan disekap dalam penjara. Bagaimana caranya ia bisa lari dari benteng sekuat itu?

*

Ketika malam tiba, ia mulai menyusun rencananya. Sebuah senyum kecil terkembang di wajahnya. Ia menguasai trik permainan tangan, dan inilah saat yang tepat untuk mempraktikkannya. Tangannya memang diborgol, tapi itu bukan masalah baginya. Ketika tiba di Montluc, seorang tahanan menyelipkan sebuah peniti untuknya, dan ia pun belajar bagaimana membuka borgol. 

Sendok makan yang diberikan pun telah ia asah menjadi tajam. Dengan semua itu, ia bisa membuka kunci pintu selnya. Saat penjaga sedang tidak berpatroli, ia menyelinap keluar dari sel dan mengobrol dengan tahanan lainnya. Matanya juga cukup awas mengawasi situasi.

Sel Devigny berada di blok lantai paling atas. Di sana terdapat jendela loteng yang digunakan untuk naik ke atap. Di antara selnya dan dunia luar, terdapat sebuah halaman, blok lain, dan tembok luar. Banyak tahap yang harus dilewatinya. 

Suatu kali ketika ia menyelinap keluar ke koridor, Devigny melihat bingkai lampu yang ditinggal penjaga. Bingkai lampu yang terbuat dari tiga lembar logam itu sangat cocok dijadikan jepitan. Yang diperlukannya hanyalah seutas tali. 

Sayang, Devigny tidak mempunyai tali, tapi ia memiliki pisau cukur, sebuah hadiah yang tak ternilai dari seorang tahanan lain. Ia mulai memotong baju dan selimutnya menjadi helai kain panjang. Lalu, disambung dan diperkuat dengan kawat dari tempat tidurnya, supaya tali buatan itu bisa menahan berat tubuhnya.

Devigny bekerja sepanjang malam melawan rasa kantuk yang menyerangnya. Kepalanya mengangguk-angguk karena mengantuk, tapi ia terus berjuang. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa akan ada waktu yang cukup banyak baginya untuk tidur di siang hari, saat para penjaga mengawasinya lebih ketat. 

Ia membuat tali tersebut sepanjang-panjangnya, dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Jika para penjaga mau repot-repot menggeledah selnya, tentu tali itu akan mudah ditemukan, tapi mereka yakin sekali tahanan yang diborgol tangannya tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk lolos.

Pagi harinya, Devigny kelelahan dan tertidur. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba pintu selnya dibuka, dan ia bangun tersentak. Ia membayangkan tibalah saatnya penjaga membawanya ke hadapan regu tembak. Rasa lega menghampirinya saat ia sadar bahwa penjaga hanya membawa seorang tahanan baru ke dalam selnya.

Salah seorang penjaga menyindirnya, "Hei Devigny, kau mendapat teman di saat-saat terakhirmu."

Napi remaja itu duduk di pojok dengan wajah merengut. Tak lama, keduanya melakukan percakapan yang sangat hati-hati, saling menyelidiki satu sama lain. Sedikit demi sedikit, pendatang baru itu mengaku bernama Gimenez dan ia ditahan karena berada di pihak Resistance.

Kedatangannya merupakan masalah baru bagi Devigny. Bagaimana jika Gimenez adalah seorang mata-mata yang dikirim untuk memastikan dirinya tidak melarikan diri? Bagaimana jika demi menghindari siksaan dan hukuman untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Gimenez akan mengkhianati Devigny, memberitahukan tentang tali buatannya itu? 

Bahkan, jika ia bukan salah satu dari semua itu, peraturan penjara Montluc mengatakan: seorang tahanan akan ditembak mati jika ia tidak memberitahu para penjaga bahwa teman satu selnya akan melarikan diri. Jika Devigny kabur, Gimenez harus ikut serta. Tak ada jalan lain.

Devigny tidak punya pilihan lain kecuali mempercayai orang asing ini.

"Begini," bisiknya, "Aku sudah selesai di sini. Kapan saja," Ia menarik garis di lehernya dengan jarinya.

"Aku merencanakan kabur dari sini, dan aku segera mewujudkannya. Kau harus ikut denganku. Mereka akan menembakmu jika kau tinggal, dan tidak akan membiarkan aku lolos begitu saja."

Gimenez tampak begitu ketakutan.

"Aku tidak akan membiarkan engkau kabur," jawabnya cepat. Suaranya terdengar dipenuhi rasa takut dan putus asa. Tak dapatkah kau lihat, aku sudah cukup bermasalah?" 

"Terserah, kawan," kata Devigny."Tetapi jangan harap mereka tidak akan menyiksa apalagi membunuhmu, hanya karena kau masih remaja. Ikutlah denganku. Kalau kau tinggal, kau akan mati. Kalau kau kabur, setidaknya kau punya kesempatan." 

Gimenez menarik napas dalam-dalam, napas yang penuh masalah.

"Baiklah," jawabnya pelan. Kemudian keduanya terdiam.

*

Maka, malam hari tanggal 24 Agustus 1943, Devigny dan Gimenez berusaha melarikan diri. Tahap pertama tidak sulit. Setelah para penjaga istirahat, kedua tahanan ini menyelinap keluar melalui jeruji pintu kayu yang sudah dilonggarkan sebelumnya. Selanjutnya, jendela loteng. Devigny berdiri di atas bahu Gimenez dan berusaha membuka kaca jendela itu. 

Belum apa-apa ia sudah kelelahan, dalam hati ia bertanya-tanya apakah dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan pelarian yang pastinya akan melelahkan. Untungnya, kaca jendela itu mudah dibuka. Devigny segera naik ke atap. Gimenez menyusul menggunakan tali.

Di atap, mereka menghirup udara dingin yang segar sampai ke dalam paru-paru. Keduanya bisa merasakan udara kebebasan. Malam begitu tenang dan cerah, meski tanpa sinar bulan. Dengan diterangi cahaya lampu penjara, situasi ini sangat sempurna untuk kabur. 

Cahaya lampu memang jadi satu keuntungan bagi mereka, tetapi suara sepelan apa pun akan membangunkan penjaga. Keberuntungan ada di pihak mereka lagi. Sebuah kereta melintas di sisi penjara, dan setiap sepuluh menit, kereta barang melintas dengan suara bising. 

Setiap kali kereta-kereta tersebut melintas, suara bisingnya menutupi gerak-gerik mereka selama satu atau dua menit. 

Mereka bergerak maju ke tepi blok, lalu melempar pandang ke bawah, melihat halaman. Mata mereka sudah terbiasa dengan gelapnya malam. Posisi penjaga terdeteksi melalui nyala api di ujung rokok yang dihisapnya, atau dari kilauan mata ikat pinggang atau bayonetnya. 

Sementara itu Devigny melihat seorang penjaga yang berdiri tepat di rute jalan yang harus mereka lalui. Orang itu harus mati.

"Dengar, ini yang harus kita lakukan," bisik Devigny pada Gimenez. "Pada saat yang tepat aku akan turun dan menghadapi penjaga di situ, sementara kau tunggu di sini. Kalau kita sudah bisa lewat, aku akan bersiul satu kali. Jadi perhatikan baik-baik!"

Gimenez kelihatan sangat ketakutan.

"Kalau kita membunuh penjaga, mereka akan menembak kita di tempat!" katanya.

la kesulitan menelan air ludahnya, matanya penuh dengan rasa takut. Devigny bicara dengan tegas sambil menepuk bahu kawannya itu.

"Kita memang sudah mati, Gimenez. Kecuali kalau bisa keluar dari tempat ini."

Jam di penjara membunyikan tanda waktu tengah malam ketika mereka masih berdiri di atas atap. Seiring dengan bunyi dentang jam, terjadi rotasi pergantian penjaga. Terdengar suara salam yang datar, dan penjaga baru pun menempati posisi, berjaga di malam yang panjang. Devigny mengulurkan talinya di tengah kegelapan. 

Saking gelapnya, ia tidak tahu apakah tali itu bisa sampai menyentuh tanah atau tidak. Ketika tali sudah tidak bisa diulur lagi, ia mengayunkan dirinya melewati pipa dan mendarat di sisi sebelah blok. Karena tidak hati-hati, tangannya terluka terkena kawat pada talinya. Ia masih beruntung.

Talinya cukup panjang sampai menyentuh halaman. Di sana ia menunggu, berlindung di bawah bayang-bayang, dan begitu kereta api melintas, ia berlari sekuat tenaga seberang halaman. Di hadapannya berdiri seorang penjaga.

Devigny melihat sekilas pada penjaga itu dengan rasa iba. Di sana, penjaga itu berdiri, bosan, menunggu giliran jaganya habis, mungkin merindukan sarapan hangat dan kasur empuk. Tetapi, demi menyelamatkan dirinya dan kabur dari situ, Devigny terpaksa membunuhnya.

Penjaga tersebut membalikkan tubuh ke arahnya, Devigny pun muncul dari balik bayang-bayang. Ia mencekik leher penjaga itu dan membunuhnya dengan bayonetnya sendiri.

Mayat penjaga itu diseret untuk disembunyikan di balik bayang-bayang. Sepatu botnya mengeluarkan suara karena diseret. Devigny menunggu sebentar, mencoba mengetahui kalau-kalau perkelahian singkat tadi terdengar penjaga lain, tetapi malam itu masih sesunyi sebelumnya. 

Ia bersiul dengan nada rendah, dalam sekejap Gimenez sudah bersamanya. Jalan menuju blok selanjutnya aman, tapi Devigny gemetar karena kelelahan dan rasa takutnya tadi, bahkan terlalu lemah untuk memanjat tembok.

“Kau pergi duluan,” bisiknya pada Gimenez.“Aku kehabisan tenaga untuk memanjat."

Setelah memanjat tembok, Gimenez mengulurkan tali itu pada Devigny yang membuatnya sadar bahwa rekan sepenanggungannya ini berperan penting dalam pelarian mereka, dan bukanlah penggangu seperti yang ia duga sebelumnya. 

Mereka bergegas menyeberangi atap blok itu, lalu mengintip ke sekeliling. Mereka sudah berada di tepi luar penjara. Di depan, berdiri tembok setinggi lima meter memisahkan mereka dengan kebebasan.

*

Tetapi, ketika sedang merayap di atap, suara decit aneh menusuk telinga mereka.

"Apa itu?" tanya Gimenez.

Mereka segera tahu sumber suara tersebut. Di bawah, seorang penjaga mengendarai sepeda berkeliling di antara bangunan penjara. Ia berkeliling di antara gedung setiap tiga menit.

Begitu dekatnya mereka dengan kesuksesan, Devigny sudah tidak sabar untuk segera lolos dari penjara. Sel mereka kosong, kaca jendela loteng terbuka, dan yang paling buruk: mayat seorang penjaga terbaring di balik bayang-bayang. 

Kapan saja, seorang penjaga lainnya akan menemukan bukti-bukti adanya usaha untuk kabur lalu menyalakan alarm. Dalam setiap menit yang berjalan, risiko ketahuan semakin besar. Namun, Devigny menyimpan semua itu dalam hatinya. Ia tidak ingin membuat Gimenez panik.

Kemudian, peluang mereka untuk lolos semakin buruk saja.

"Dengar," kata Devigny, "Aku bisa mendengar suara di bawah. Pasti ada dua orang penjaga tepat di bawah kita" 

Tetapi, ketika sepeda dikayuh menjauh, mereka sadar bahwa penjaga itu berbicara pada dirinya sendiri tadi. Keduanya menghela napas panjang sebagai tanda kelegaan dan kesiapan mereka untuk melaksanakan langkah terakhir.

Bersamaan dengan dentang jam tiga kali, Devigny melempar tali ke luar tembok. Bingkai lampu terkait di tembok. Mereka mengikat ujung lainnya ke cerobong asap dan bersiap untuk menyeberang. 

Pada waktu itu, penjaga bersepeda tadi memutuskan untuk beristirahat. Ia memarkir sepedanya tepat di bawah mereka dan berdiri di sana sambil mendesah.

Devigny dan Gimenez tak percaya mereka begitu sial. Menit demi menit berlalu, mereka menunggu alarm dibunyikan. Di ufuk timur, sinar pucat menyentuh ujung langit. Fajar tiba sebentar lagi. Untungnya penjaga itu tidak pernah menengadah ke atas dan melihat tali mereka. Ia kembali menaiki sepedanya dan pergi.

Sekarang atau tidak selamanya. Namun ketegangan terlalu jelas bagi keduanya. Devigny berbicara dengan lembut, "Kau pergi dulu Gimenez, aku menyusul.

"Tidak," sahut remaja itu ketakutan "Bagaimana jika tali itu putus? Bagaimana jika aku ketahuan dan ditembak? Bagaimana jika aku jatuh? Kau duluan, aku menyusul." 

Kesabaran Devigny sampai pada batasnya. Ia mengancam, "Pergi sekarang, atau kuhabisi kau." 

Bisikan percakapan berlangsung di antara mereka. Tiba tiba Devigny melompat ke tali dan menarik tubuhnya secepat mungkin. Gimenez mengikutinya tak lama kemudian. Meski sudah di luar tembok, keduanya terus menarik tubuh masing-masing, sampai mereka tiba di tempat yang cukup rendah untuk melompat.

Masing-masing jatuh dengan suara pelan. Mereka sudah bebas, Penjara tidak mempunyai seragam, jadi Devigny dan Gimenez bisa berbaur dengan para buruh yang berangkat kerja ke sebuah pabrik pagi itu. Pada saat sel kosong mereka dan mayat penjaga diketahui, dua buronan itu sudah jauh menghilang di daerah luar kota.

 

Selanjutnya

André Devigny kabur ke Swiss, lalu pergi ke Afrika Utara untuk bergabung dengan angkatan bersenjata Prancis. Setelah perang berakhir, Presiden Prancis Jenderal De Gaulle menganugerahinya medali Cross of Liberation, dan mengangkatnya menjadi agen rahasia senior Prancis. 

Pada 1957, seorang sutradara kebangsaan Prancis bernama Robert Bresson memproduksi film yang mengisahkan pelarian dari Montluc. Film tersebut mengambil lokasi syuting di penjara, bahkan para pemerannya juga menggunakan tali yang sama seperti yang digunakan Devigny dan Gimenez. Devigny diminta menjadi penasihat produksi. Ia pensiun tahun 1971, dan meninggal tahun 1999.

Gimenez, rekan sepelariannya, tidak terlalu beruntung karena ditangkap kembali. Walau nasibnya tidak diketahui secara pasti, kemungkinan besar ia dihukum mati.

Kepala penjara, Klaus Barbie, kabur ke Bolivia setelah perang. Ia ditangkap dan dibawa ke Montluc pada 1983. Ia diadili dan dijatuhi hukuman seumur hidup atas dakwaan kejahatan perang, kemudian meninggal pada 1991. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)





" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355916/lolos-atau-mati" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700624000) } } [5]=> object(stdClass)#101 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355935" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#102 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/buruh-pelabuhan-yang-kotorjpg-20220701063610.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#103 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Seorang pilot Jerman harus menghadapi berbagai lika-liku dalam pelariannya, namun pengalamannya sebagai prajurit selalu menyelamatkannya. " ["section"]=> object(stdClass)#104 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/buruh-pelabuhan-yang-kotorjpg-20220701063610.jpg" ["title"]=> string(26) "Buruh Pelabuhan yang Kotor" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:36:22" ["content"]=> string(27026) "

Intisari Plus - Seorang pilot Jerman yang selalu tampil rapi selama Perang Dunia I di Inggris, harus rela menyamar sebagai buruh pelabuhan kumal yang putus asa berharap bisa mandi. Berbagai lika-liku pelarian kemudian harus dihadapinya, namun pengalamannya sebagai prajurit selalu menyelamatkannya.

-----------------

Jika saja para penjaga penjara Donington Hall mengetahui lebih banyak tentang Kapitänleutnant Gunther Plüschow, mereka pasti akan lebih mengawasi dirinya. Bagi orang yang melihatnya, ia adalah seorang yang ramah, berpenampilan rapi, dan fasih berbicara Inggris. 

Ia memiliki senyuman yang ramah, dan pandai bermain hoki (ia selalu main setiap kali punya kesempatan untuk main). Pendek kata, ia cukup menawan.

Kalau mau menggunakannya, ia tidak akan lama tinggal di penjara Donington.

Latar belakang Plüschow sangat cemerlang. Sejak berusia 10 tahun ia telah menjadi seorang kadet di sekolah militer Munich yang menguasai apa pun yang ia kerjakan. Setelah kariernya yang gemilang sebagai anggota korps Angkatan Laut Kerajaan Jerman, ia menjadi sukarelawan pilot dari Angkatan Udara pertama Jerman. 

Setelah belajar terbang, ia dikirim ke Tsingtao di negeri tirai bambu, yang merupakan koloni Jerman pada saat itu. Ketika Perang Dunia I meletus pada 1914, Tsingtao diserang tentara Inggris dan Jepang. 

Masa itu, Plüschow mendapat predikat penerbang nekad. Ketika di Tiongkok, ia mempunyai tato naga (dragon) di lengan kirinya, sehingga anak buah nya memanggilnya dengan sebutan "The Dragon Master".

Pada waktu Tsingtao sepertinya akan runtuh, Plüschow diperintahkan kembali ke Jerman. Ia ditangkap oleh pasukan Tiongkok, tapi berhasil lolos dan kabur ke San Francisco, Amerika Serikat, dengan menumpang kapal dari Shanghai. 

Setelah berhasil mencapai New York, ia naik kapal ke Italia. Sayangnya, kapal tersebut dihentikan di Gibraltar, sebuah pelabuhan Inggris di Lautan Mediterania. Plüschow ditahan sebagai tahanan perang, dan dibawa ke Inggris.

la dibawa ke penjara Donington Hall, sebuah bangunan kuno yang dijadikan kamp tahanan.

Hidup di sana sebenarnya agak menyenangkan. Plüschow yang tiba dengan bagasi-bagasinya, diizinkan menerima surat dan paket paket dari keluarganya. Ia juga dapat menghabiskan waktunya bercakap-cakap dengan penjaga penjara dan berolahraga.

Rutinitas di penjara cukup santai. Ada kegiatan memeriksa seluruh tahanan dua kali seminggu. Juga ada ketentuan bahwa setiap orang harus melakukan jalan keliling satu kali di siang hari dan satu kali di malam hari. Jalan keliling siang hari lebih banyak dilakukan di dekat bangunan, termasuk di taman yang dibatasi dengan pagar listrik. 

Selama siang hari, setiap tahanan dibebaskan berjalan-jalan di sana. Namun, pada malam harinya, para tahanan hanya diperbolehkan berada di sekitar pondok mereka, itulah yang disebut jalan keliling di malam hari.

*

Salah seorang teman Plüschow bernama Oberleutnant Trefftz. Sama seperti Plüschow, ia juga fasih berbahasa Inggris. la bahkan mengenal seluk beluk Inggris dengan baik, karena sudah beberapa kali berkunjung ke Inggris. 

Lantaran sudah menjadi teman karib, Plüschow mengajaknya kabur bersama. Trefftz setuju, lalu keduanya mulai merencanakan pelarian mereka.

Mereka berdua tahu bahwa keluar dari kamp adalah hal yang mudah, tapi apa yang akan dihadapi selanjutnya merupakan kesulitan besar. Donington dekat dengan kota Derby yang terletak beberapa mil di utara. 

Dari sana mereka bisa naik kereta menuju London, lalu berlayar ke Belanda, negara netral yang memudahkan mereka melanjutkan perjalanan ke Jerman.

Plüschow dan Trefftz memiliki rencana sederhana, tapi jenius, yang disusun berdasarkan pengetahuan mereka akan rutinitas penjaga. Mereka juga minta bantuan tahanan lainnya meminjamkan uang pada mereka untuk membeli makanan dan membiayai perjalanan mereka. 

Pada 4 Juli 1915, keduanya mengaku sakit, sehingga dokter di kamp mencantumkan nama mereka di daftar orang sakit. Ini artinya mereka diizinkan untuk tidak menjalani rutinitas pemeriksaan.

Jam empat sorenya, setelah seharian beristirahat, mereka bangun dan mengenakan pakaian penduduk biasa. Plüschow mengenakan pakaian yang telah dibelinya di Tiongkok, baju hangat biru dan jas abu-abu. Para tahanan diwajibkan mengenakan seragam penjara, jadi mereka harus mengenakan pakaian orang biasa, lengkap dengan topi dan jas hujan.

Selesai berpakaian, mereka mengambil semua kue gulung yang ada di pondok. Padahal seharusnya itu merupakan makanan ringan buat tahanan di sore hari. Bisa jadi, mereka baru bisa makan lagi dalam beberapa hari kemudian. 

Mereka bersiap-siap untuk pergi, meskipun di luar hujan deras sekali. Biasanya mereka akan mengutuk cuaca seperti ini yang sering terjadi di Inggris, tapi seperti apa yang dikatakan Plüschow, cuaca seperti inilah yang paling sempurna untuk pelarian mereka.

"Trefftz, sobatku," katanya, "Yang Maha Kuasa berada di pihak kita. Para penjaga akan menggigil dan berteduh di pos penjagaan yang sempit. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan kita!"

"Pos penjagaan adalah tempat paling sempurna untuk menghabiskan empat jam ke depan, daripada melakukan apa yang kita rencanakan," kata Trefftz yang tidak ingin menghancurkan tulangnya.

Keduanya berjalan keluar dari pondok. Mereka seenaknya dan agak berat karena mengenakan beberapa lapis pakaian, dan segera tiba di taman. Di sana, dekat pagar listrik itu, terdapat kursi-kursi dek. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, keduanya berhenti dan sembunyi di kursi-kursi tersebut. 

Satu jam kemudian hujan reda. Di tempat persembunyiannya, Plüschow dan Trefftz menggigil sambil mengumpat. Keduanya mulai merasa khawatir dengan aksi kabur yang mereka lakukan, dan masa penantian ini membuat jantung mereka berdebar kencang.

Jam di kamp berbunyi enam kali, dan para tahanan keluar dari pondok untuk berjalan keliling malam.

"Tahap satu," kata Plüschow. "Jika ini gagal, berharaplah untuk melihat kelakuan buruk para penjaga dengan bayonetnya, menyodok-nyodok tanah."

Keduanya keluar dari tempat persembunyian dan bergabung dengan tahanan lainnya. Ritual jalan keliling malam diarahkan ke seberang taman. Setiap tahanan menyahut saat namanya dipanggil. Tentu saja tidak ada yang menjawab ketika nama Plüschow dan Trefftz dipanggil, karena mereka dilaporkan sedang sakit. 

Setelah pemeriksaan selesai, dua orang penjaga yang telah berkomplot dengan Plüschow dan Trefftz bergegas pergi ke tempat tidur mereka. Jadi, ketika penjaga lainnya memeriksa Plüschow dan Trefftz, ia akan melihat bentuk orang tidur, dan berasumsi bahwa itu adalah kedua tahanan tersebut.

Sementara itu Plüschow dan Trefftz menunggu bunyi alarm atau teriakan penjaga, yang mengartikan rencana mereka gagal berantakan. Namun, sepertinya semua berjalan sesuai rencana.

*

Setelah pemeriksaan malam, rutinitas selanjutnya jalan keliling siang hari, lalu jalan keliling malam. Jadi, yang harus dilakukan Plüschow dan Trefftz sekarang hanyalah memanjat pagar listrik yang tidak dijaga. Tetapi, ada satu masalah rutinitas dalam kamp yang harus diatasi.

Malam musim panas menyelimuti Donington Hall perlahan-lahan, lalu malam gelap tanpa sinar bulan tiba. Saat istirahat malam, seorang sipir memeriksa setiap tempat tidur, dan sekali lagi petugas penjara komplotan Plüschow akan membantu mereka. 

Karena semua tahanan sudah hapal rutinitas para sipir, mereka tahu persis urutan pondok yang akan diperiksa. Dua orang dari pondok yang selalu diperiksa pertama kali, menyelinap ke tempat tidur Plüschow dan Trefftz.

Lagi-lagi, dari tempat bersembunyi yang sempit, lembab dan basah, dua orang tahanan yang melarikan diri ini terdiam. menanti sebuah tanda kalau-kalau mereka ketahuan melarikan diri. Tapi, rutinitas Donington Hall yang tidak ketat sepertinya tidak berubah sama sekali.

"Sejauh ini lancar-lancar saja," kata Plüschow. "Ayo jalan!"

"Demi Tuhan, jangan pikir segalanya sudah selesai," kata Trefftz sambil menahan senyum. "Satu suara saja, maka kita akan digonggong anjing dan alarm akan berbunyi, habislah kita."

Layaknya bayangan gelap, keduanya bangkit dari kursi-kursi dan berjalan menuju pagar.

"Hati-hati dengan garis yang keempat," kata Plüschow. "Itu ada listriknya. Jika tersentuh, otomatis alarm di kamp akan menyala."

"Bagaimana kau tahu?" tanya Trefftz.

"Aku menguping!" kata Plüschow. "Aku tak sengaja mendengar percakapan penjaga mengenai pagar ini."

Perlahan-lahan, satu demi satu, keduanya memanjat pagar tersebut. Kalau mereka hati-hati dan memperhatikan agar pakaian mereka tidak terbelit di pagar, mereka bisa keluar dengan mudah. Tetapi, celana Plüschow sobek ketika ia melakukan loncatan ke tanah.

*

Jauh dari pagar, di dalam hutan yang berada di pinggir jalan, mereka mengubur pakaian dan topi mereka di bawah dedaunan dan ranting-ranting.

"Sekarang, mana jalan menuju Derby?" tanya Trefftz. Ketika ia berbicara, pada saat yang bersamaan seorang prajurit muncul dari kegelapan dan berjalan ke arah mereka. Plüschow segera menarik Trefftz dan memeluknya erat-erat, lalu menciumnya!

Trefftz terlalu kaget untuk melakukan sesuatu, selain daripada menuruti "kesenangan" itu. Saat sang prajurit yang lewat di depan mereka sudah menyingkir karena merasa malu, Trefftz harus menggigit giginya untuk menahan tawanya.

Bahaya telah berlalu, Plüschow melepaskan pelukannya sambil menyeringai.

"Perbuatan yang tidak pantas bagi seorang perwira dan seorang pria," ledek Trefftz.

Mereka berjalan cepat-cepat, menghindar sejauh mungkin dari penjara atau dari orang yang dapat mengenali mereka. Kira-kira satu jam kemudian, mereka tiba di jalan besar.

Sebuah rambu berdiri di depan mereka, tapi malam terlalu gelap sehingga tulisannya tidak terbaca. Plüschow memanjati rambu itu dan meraba tiap huruf dengan tangannya.

"D... E... R... B..." "

"Derby Ya, benar. Ayo jalan!"

*

Mereka berjalan sepanjang malam, dengan pemikiran bahwa begitu mereka ketahuan kabur, stasiun adalah tempat pertama yang dituju polisi dan tentara.

Pagi harinya, mereka berhenti untuk merapikan diri. Plüschow membetulkan celananya dengan jarum dan benang yang selalu dibawanya. Keduanya mencukur kumis dan janggut menggunakan ludah mereka sebagai ganti busa untuk bercukur. Sedikit banyak hal tersebut menjijikkan, tapi segala kemungkinan yang akan memberikan petunjuk pada polisi bahwa mereka adalah buronan, harus dihindari bagaimanapun caranya.

Tak lama kemudian, mereka tiba di stasiun kereta dan membeli tiket ke London. Berdiri di pelataran bersama-sama dengan orang-orang yang berangkat kerja membuat Plüschow merasa tidak enak.

"Begini teman," katanya pada Trefftz, "Kalau berdua, kita terlalu ketahuan. Kita berpisah dulu. Aku akan menemuimu di London, di tangga Katedral St. Paul, jam tujuh malam ini."

Trefftz bisa merasakan sesuatu dalam saran Plüschow. la mengedip pada temannya itu, lalu berjalan menuju sisi lain pelataran.

Kereta tiba. Keduanya pun naik ke dalam. Selama perjalanan, Plüschow tertidur. Setibanya di London, ia segera pergi ke Katedral St. Paul, tapi Trefftz tidak muncul. Plüschow menunggu selama sejam, lalu pergi menuju Taman Hyde, tempat yang ia pikir bisa untuk tidur dan sembunyi.

Sayangnya, taman sudah ditutup, jadi Plüschow meringkuk di bawah semak-semak di sebuah rumah dekat taman, dan bersembunyi di sana. Tidak seperti musim panas sebelumnya, musim panas kali ini kering dan hangat, hingga membuat Plüschow mengantuk dan tertidur. Kemudian suara bising membangunkannya.

Rumah tersebut sedang mengadakan sebuah pesta. Beberapa orang tamu keluar untuk menikmati angin malam. Plüschow terdiam di balik semak-semak, bahkan menahan napasnya. 

Beberapa meter darinya, para pria dan wanita anggun yang mengenakan gaun panjang bercakap-cakap. Begitu Plüschow terbiasa dengan situasi tersebut, ia mendengar mereka bergosip atau mengeluh tentang pelayan-pelayan mereka.

Ketika ia mulai santai kembali, suara piano dan merdunya suara nyanyian seorang biduanita terdengar dari jendela bergaya Prancis. Para tamu masuk kembali ke dalam untuk menikmati hiburan tersebut, kemudian Plüschow pun tertidur lagi, dininabobokan alunan musik yang lembut.

Waktu berlalu, dan suara langkah kaki membangunkannya kembali. Kali ini ia mendengar suara sepasang polisi yang sedang patroli di sisi lain tembok. Fajar menyingsing, dan Plüschow memutuskan taman ini bukan tempat yang untuk bersembunyi. Kemudian ia kembali ke Hyde yang sudah dibuka di pagi hari.

Di sana, ia menemukan bangku taman untuk berbaring, lalu tidur sampai jam sembilan. Selanjutnya ia pergi ke Kesington untuk sarapan. Sambil makan roti lapis daging dan telur, ia merasa rencana pelariannya berjalan cukup lancar. Tetapi ia mendengar sebuah jeritan yang membuat darahnya membeku.

"Bacalaaaaaahhh!" teriak tukang koran.

"Seorang tahanan Jerman kabur dari kamp!" Di samping tukang koran itu, ada poster besar yang memuat berita tentang pelariannya.

Plüschow membeli sebuah koran dan beringsut ke bawah tanah untuk membacanya. Trefftz berhasil ditangkap sehari sebelumnya, jadi polisi berkonsentrasi mengerahkan segala daya untuk menemukan Plüschow sekarang. Gambaran yang diberikan bahkan membuatnya lebih tidak nyaman:

"Orang ini sangat pintar dan terlihat cukup rapi, memiliki gigi yang bagus yang selalu terlihat ketika berbicara atau tersenyum, sangat fasih berbahasa Inggris, dan cukup baik mengenali negara ini."

Dalam keadaan biasa, ia akan merasa tersanjung dengan pujian-pujian tersebut, tapi semuanya terlalu akurat. Sadar bahwa dirinya mudah dikenali membuat Plüschow sangat gugup. Ia harus segera mengganti penampilannya.

*

Pertama-tama, jas hujannya. Plüschow sangat menyukainya sehingga ia merasa sayang membuangnya. Jadi, ia pergi ke tempat penggantungan jasa dan baju di stasiun Blackfriars. Sang pelayan menanyakan namanya ketika ia menyerahkan jasnya. Waktu itu ia benar-benar kebingungan dan takut ditangkap. Saat ia sudah lebih tenang, ia menjawab dalam bahasa Jerman.

"Meinen?" (Nama saya?)

"Oh, ya," kata pelayan salah dengar. "Tuan Mine. M.I.N.E. Baiklah," katanya sambil menyerahkan tanda terima.

Dua orang polisi di dekatnya melirik ke arahnya, mereka merasa heran mengapa pemuda modis itu terlihat begitu ketakutan. Plüschow berjalan ke pintu keluar dan pergi menuju Thames. Berjalan di sepanjang trotoar pinggir sungai, ia melepaskan topi, ban leher, dasi, dan menjatuhkan semuanya ke sungai.

Selanjutnya ia mampir di toko dan membeli vaseline dan semir sepatu hitam. Lalu, ia pergi ke toko topi membeli sebuah topi pekerja. Di sebuah lorong yang sepi, ia mencampur vaseline dan semir sepatu hitam tadi dengan abu batubara yang ia temukan di jalan, lalu mengoleskannya pada rambut pirangnya. Kemudian ia mengotori baju, sepatu, dan topi barunya.

Setelah mengenakan topi, ia berkaca di jendela. Kapitän Gunther Plüschow telah lenyap. Di hadapannya berdiri George Mine, seorang buruh pelabuhan yang membutuhkan mandi. Plüschow tertawa melihat dirinya sendiri, tapi masih terlihat gagah seperti prajurit. Ia pikir kelakuannya harus agak berandal. 

la memasukan tangannya ke dalam sakunya, lalu meludah seperti yang dilakukan oleh buruh pelabuhan dalam bayangannya. Penyamarannya sempurna. Kemudian ia pun kembali ke Taman Hyde, sambil berusaha keras menghilangkan kesan gagah ala prajurit yang sudah menjadi hidupnya selama bertahun-tahun sebelumnya.

Plüschow punya cukup banyak waktu untuk menemukan tempat persembunyian yang aman sebelum Taman Hyde ditutup. Keesokan harinya, di dalam bus, ia mendengar dua orang pedagang membicarakan kapal bernama Mecklenburg yang berlayar dari Pelabuhan Tilbury menuju Belanda setiap hari jam 8 malam. 

Ia segera naik kereta menuju Tilbury yang terletak di luar kota London. Hampir dapat dipastikan, itu dia—sebuah kapal ferry yang berlayar setiap hari dari London ke Belanda. Plüschow segera bersembunyi di kapal tersebut dan menunggu sampai malam datang. Ia mencoba tidur untuk mengumpulkan energinya. Berlayar bukanlah hal yang mudah. 

Sekitar jam sepuluh, malam itu Plüschow pergi ke sungai. Sayangnya, ia tercebur ke dalam lumpur sampai sepinggang. la berusaha menyelamatkan dirinya, keluar dari lumpur tersebut. Setelah berjuang keras keluar dari lumpur, ia tidak mempunyai tenaga lagi untuk berjalan mencapai kapal. Plüschow membersihkan noda lumpur yang ada di pakaiannya, lalu duduk di tepi sungai, menggigil dalam kegelapan. 

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Mecklenburg berlayar tanpa dirinya. Tak dapat tidur karena kedinginan, Plüschow melihat bayangan kapal tersebut menghilang di kejauhan. Sepanjang hidupnya tak pernah merasa begitu menderita seperti saat itu.

Hari selanjutnya benar-benar panas, bahkan bajunya cepat kering terkena sinar matahari pagi. Pakaiannya mengeluarkan bau busuk yang luar biasa. Plüschow memberi selamat dirinya sendiri karena penyamarannya sebagai buruh pelabuhan kotor jadi semakin sempurna! 

Kemudian ia ke kota untuk membeli roti isi sosis dan secangkir teh manis. Duduk di bawah sinar matahari sambil menikmati sarapannya, ia merasa dipenuhi harapan kembali. Hari ini, katanya pada diri sendiri, ia akan meninggalkan Inggris selamanya.

Malam itu Plüschow berusaha naik ke Mecklenburg lagi. Dalam perjalanannya ke sungai, ia melihat sebuah perahu kecil dengan dayungnya tertinggal tanpa pengawasan. Saat malam tiba, ia menyusup ke tepi sungai dan mendorong perahu ke sungai. Tetapi masalahnya belum berakhir. Baru setengah jalan menuju Mecklenburg, perahu kecilnya tenggelam karena penuh dengan air. 

Saat itu ia mendengar suara orang yang sedang mengumpat kasar. Lalu ia melepaskan jaketnya dan berenang ke arah kapal. Keberuntungan ada di pihaknya, arus sungai searah dengannya. Seorang pria yang tidak atletis pasti sudah tenggelam dalam aksi ini, untunglah olahraga hoki di penjara tetap menjaga kondisinya tetap prima.

la mencapai kapal ferry dalam sepuluh menit, dan berpegangan pada rantai jangkar untuk mengatur napasnya kembali. Lalu, dengan sisa tenaga yang ada, ia naik ke atas kapal. 

Dewi fortuna masih di pihaknya. Tidak ada yang melihatnya naik ke kapal. Plüschow segera menyelinap ke kapal penyelamat yang ditutupi kain kanvas. Ketika pakaiannya kering, malam yang hangat membuatnya tertidur,

"Tuuuuuuuttt!!!"

Plüschow tersentak. Apakah itu bunyi peluit polisi? Apakah mereka sudah berhasil menemukannya? Lalu terdengar sekali lagi.

"Tuuuuuuuuttt!!!"

Oh, bukan, itu suara kapal. Ia mengintip keluar dan melihat Mecklenburg sudah hampir mencapai pelabuhan Rotterdam, Belanda. Ia berhasil!

Karena merasa terlalu senang, Plüschow mengeluarkan pisaunya dan memotong kain kanvas di atas kepalanya, kemudian keluar perlahan, dan menampakkan dirinya. Herannya, tak seorang pun yang memperhatikannya. Para awak kapal terlalu sibuk bekerja di dek, sementara para penumpang berlalu-lalang dengan barang bawaan mereka. 

Mungkin ini adalah hal yang baik. Penampilan Plüschow yang sangat dekil pasti mudah membangkitkan rasa curiga orang-orang. Kalau saja mereka tidak terlalu sibuk, mungkin saja ia sudah ditangkap dan dikirim kembali ke Inggris.

Merasa bodoh dengan tindakannya, Plüschow menyelinap kembali ke dalam kain kanvas, dan menunggu sampai penumpang terakhir turun dari kapal. Ia membaur dengan mereka supaya orang mengira ia adalah salah satu awak kapal yang kotor. Sesampai di dermaga, ia langsung menuju pintu bertanda 'Dilarang lewat'. Selanjutnya, ia bebas.

Di dalam kota, ia memesan sebuah kamar hotel, mandi sepuas-puasnya dan melahap makanan yang porsinya cukup untuk tiga orang. Besoknya, ia naik kereta pulang ke Jerman. Sembilan bulan lamanya terhitung sejak ia lolos dari Tiongkok, Gunther Plüschow siap berjuang kembali untuk negaranya.

 

Setelah Pelarian

Plüschow tampak seperti pahlawan yang ada di dalam buku komik, dan anehnya beberapa tahun kemudian ia memang mati seperti pahlawan. Setibanya dari Inggris, ia mendapat medali Iron Cross karena keberaniannya, yang diberikan secara pribadi oleh Kaiser Wilhelm II. 

Ia selamat dari perang dan menulis kisah yang dialaminya di Inggris dalam sebuah buku berjudul My Escape from Donington Hall (Pelarianku dari Donington Hall) yang banyak memberikan informasi dalam penulisan cerita ini.

Setelah perang, ia melakukan petualangan lagi. Semasa kecilnya, ia terpesona oleh Tierra del Fuego (The Land of Fire) di Amerika Selatan. Alamnya yang liar dan daratan yang bertebing-tebing menjadikannya sebagai salah satu bagian bumi yang belum dijelajahi.

Plüschow adalah orang pertama yang terbang melintasinya dan melanjutkan penjelajahannya di daerah tersebut, serta membuat dokumentasinya dalam bentuk foto dan film hingga Januari 1931.

Di bulan yang sama ia dan kopilotnya, Ernest Dreblow, terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah danau yang dikelilingi gletser. Pendaratan yang buruk itu merusak salah satu pelampung yang diperlukan untuk mendarat. Di tengah tengah kondisi yang sangat dingin dan menakutkan itu, Plüschow dan Dreblow berjuang selama tiga hari untuk memperbaiki pelampung itu. 

Mereka memang bisa terbang lagi, tapi tak lama kemudian sayap pesawat patah. Plüschow loncat dengan parasut, sayangnya parasutnya tidak bisa mengembang. Ia jatuh dan tewas. Pesawatnya jatuh ke danau yang lainnya. Derblow tidak kehilangan nyawanya dalam kecelakaan itu, namun ia tewas ketika berenang ke tepian. Buku harian Plüschow yang ditemukan di tubuhnya menceritakan pengalaman seru mereka untuk bertahan hidup selama kejadian tragis tersebut. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355935/buruh-pelabuhan-yang-kotor" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700582000) } } [6]=> object(stdClass)#105 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355963" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#106 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/mata-mata-di-scrubsjpg-20220701063531.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#107 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "George Blake, seorang ahli penyamaran berkebangsaan Soviet, dianggap sebagai tahanan teladan oleh para sipir, sampai ia melarikan diri." ["section"]=> object(stdClass)#108 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/mata-mata-di-scrubsjpg-20220701063531.jpg" ["title"]=> string(19) "Mata-mata di Scrubs" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:35:43" ["content"]=> string(21670) "

Intisari Plus - George Blake, seorang ahli penyamaran berkebangsaan Soviet, menjalani masa hukuman selama 42 tahun di penjara Wormwood Scrubs, London. Para sipir penjara beranggapan ia adalah tahanan teladan, sampai ia melarikan diri.

------------------------

Malam datang lebih cepat di Sabtu, 22 Oktober 1966. Langit mendung dan dinginnya angin utara mengingatkan pengunjung Rumah Sakit Hammersmith di London bahwa musim dingin akan tiba. Di sepanjang sisi rumah sakit tersebut terdapat sebuah gang kecil yang memisahkan rumah sakit itu dengan penjara Wormwood Scrubs. 

Di gang tersebut, tepatnya di depan sebuah salon mobil, duduk seorang pria yang tampak gelisah dengan buket bunga krisan di tangannya.

Siapa pun yang melihatnya akan beranggapan bahwa ia berencana mengunjungi keluarganya di rumah sakit. Namun, jika perhatikan dengan saksama, akan terlihat ia sedang berbicara pada buket bunga krisannya dengan nada yang tidak sabar. 

Pria itu adalah Sean Bourke, dan sebenarnya ia sedang menggunakan walkie talkie yang tersembunyi di balik buket bunga. Ia akan melakukan suatu tindak kriminal yang serius.

*

Wormwood Scrubs merupakan sebuah bangunan Victoria kuno. Ia adalah tempat tinggal bagi banyak tahanan London. Kebanyakan dari mereka dijatuhi masa hukuman yang singkat, dan tidak ada seorang pun yang dianggap berbahaya. Di antara perampok, pencuri mobil, dan penadah, tersebutlah seorang mata-mata yang tidak terkenal bernama George Blake, mantan anggota senior MI6, agen rahasia Inggris. 

Ia telah mengkhianati setidaknya 42 agen lainnya demi pasukan komunis Soviet, serta menyerahkan rahasia informasi vital lainnya pada musuh Inggris.

Pengadilannya di tahun 1961 merupakan suatu sensasi tersendiri. Ia dijatuhi hukuman 42 tahun penjara, hukuman terlama yang pernah diberikan pada mata-mata di masa perdamaian. 

Blake ditempatkan di Wormwood Scrubs, bagian barat London, karena agen rahasia Inggris perlu menginterogasinya dari waktu ke waktu. Karena markas mereka di London, akan lebih mudah bila Blake ditahan di dekat mereka.

Namun, itu bukanlah keputusan yang tepat. Blake adalah seorang yang pintar, dengan sejarah yang luar biasa mengagumkan. Lahir di Geor Behar, Belanda, dari perpaduan ibu Belanda dan ayah Yahudi, ia besar dengan keyakinan pada paham komunis. Ia berjuang bersama pejuang Belanda ketika negaranya diduduki tentara Nazi pada tahun 1940, kemudian kabur ke Inggris tahun 1943. Lalu ia bergabung dengan Angkatan Laut Kerajaan, di mana ia kemudian direkrut menjadi agen rahasia Inggris. 

Meski tertangkap di Perang Korea, ia mampu bertahan selama tiga tahun di penjara Korea Utara. Dalam perjalanannya kembali ke Inggris, ia diyakinkan bahwa komunis merupakan sistem yang terbaik bagi pemerintahan, dan ia terus membocorkan rahasia kenegaraan pada Soviet, pemimpin komunis di dunia selama 10 tahun.

Tentu saja, Blake adalah tahanan yang populer di Scurbs. Perawakannya tinggi dan menawan. Ia mengajar tahanan yang buta huruf agar bisa membaca dan menulis. Ia juga sangat sopan dan mudah diajak kerja sama oleh sipir penjara. Beberapa tahanan lainnya bersimpati dengan paham komunisnya, yang lainnya merasa hukuman yang diterimanya terlalu kejam. 

Di antara tahanan itu ada Sean Bourke (penjahat kecil), Pat Pottle, dan Michael Randle (dua orang aktivis yang dipenjara karena aksi demo mereka di pangkalan udara Amerika di Inggris). Tiga orang tersebut telah dibebaskan dari penjara belum lama ini, dan memutuskan untuk membantu Blake melarikan diri.

Sekarang, Bourke diliputi rasa gelisah di luar sana, di keremangan malam, sementara Blake berdiri di aula D yang terang, bercakap-cakap dengan seorang tahanan mengenai apakah acara gulat di televisi asli atau hanya rekayasa. 

Rupanya penjaga penjara terlalu asyik menyimak percakapan tersebut sehingga ia tak menyadari, tahanan lainnya (teman Blake) sedang memindahkan dua bingkai kaca sebuah jendela besar di atas kepalanya.

Percapakapan berakhir, Blake kembali ke selnya. Ia meraih walkie talkie (yang belum lama ini diselundupkan ke dalam penjara) dan melongok ke luar jendela. Kini aula tadi benar benar kosong, semua penjaga dan tahanan sedang asik nonton film akhir pekan yang diputar setiap Sabtu malam.

Tanpa terlihat, ia menyelinap keluar ke dinginnya angin malam dan loncat ke atas atap, di bawah jendelanya. Dari sana ia meloncat ke bak sampah, lalu turun ke bawah. Di depannya menjulang tembok setinggi enam meter.

"Sean, Sean, kau bisa mendengar suaraku?" bisiknya ke walkie talkie sambil bersembunyi di bawah bayang-bayang. 

Namun, tak ada jawaban. Bourke sedang sibuk. Sejoli pasangan muda sedang bercumbu di dalam mobil yang terparkir di dekatnya. Ia sama sekali tidak ingin ada yang melihat pelarian ini. Dengan berpura-pura menjadi penjaga penjara, ia berusaha mengusir pasangan muda tersebut.

Blake menunggu seakan-akan harus menunggu selamanya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa takut mencekam seperti tinju di perutnya. Bingkai kaca jendela yang hilang pasti akan segera ketahuan, sedangkan ia hanya punya beberapa menit untuk kabur. 

Blake sudah mendekam dalam penjara Wormwood Scrubs selama empat tahun yang menyengsarakan, dan kunjungan agen rahasia Inggris semakin lama semakin sering. la tahu mereka akan segera memindahkan dirinya ke penjara dengan tingkat keamanan super tinggi di luar London, dan ia tidak mungkin kabur dari sana. Ini merupakan satu-satunya kesempatan yang ia punya untuk melarikan diri.

Tiba-tiba walkie talkie Blake berbunyi.

"George? Apa kau di sana? Syukurlah! Ini, aku lemparkan tangganya sekarang."

Suasana masih sunyi. Lalu terdengar suara tangga yang terbuat dari tali merayap di tembok.

"Oke, Sean, pegang erat-erat, aku datang," bisik Blake. Kemudian ia keluar dari bayang-bayang, lari ke tembok dan memanjat tangga tersebut. Tentu ia akan segera terlihat oleh penjaga.

Ia memanjat asal-asalan, mencengkeramkan tangannya ke tembok bata yang kasar. Blake tidak bertubuh atletis, dan aktivitas fisik tersebut segera membuatnya kelelahan. Sesampai di ujung atas tembok, sambil terengah-engah, ia memandang ke bawah melihat Bourke dan mobilnya. 

Kebebasan hanya terpaut sekian detik darinya, Blake sudah tidak sabar lagi untuk bebas, ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Daripada turun lewat tangga, ia lebih memilih loncat dari atas, akibatnya pergelangan tangannya patah dan wajahnya terluka mendarat di bawah.

"Ya, Tuhan," kata Bourke, "Apakah kau baik-baik saja? Itu tidak perlu dilakukan!"

la membantu temannya berdiri dan memapahnya ke jok belakang mobilnya. Lalu ia duduk di jok depan dan menyalakan mesin. Mobil menyala, Bourke menginjak gas dan menyebabkan orang-orang di sekitarnya bubar serta menabrak bumper belakang mobil yang ada di depannya. 

Sebelum pemiliknya sempat keluar, Bourke sudah bergerak maju meninggalkannya, menuju lalu lintas kota malam itu, meninggalkan pusat London.

"Kita berhasil! Kita berhasil!" soraknya gembira.

Di jok belakang, Blake memegang pergelangan tangannya yang patah dan menahan rasa sakit setiap kali terjadi guncangan. Selain itu, darah yang menetes di wajahnya membuat ia terlihat seperti orang gila.

Segala peristiwa yang pernah dialaminya di penjara terbayang-bayang dalam benaknya. Penderitaan, kepengapan penjara, rasa sayur lobak yang basi, penghuni Scurbs yang menakutkan. 

"Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk membayar empat tahun yang sudah hilang itu!" serunya. 

Blake gembira luar biasa. Beberapa saat kemudian, ia terlihat lebih serius.

"Ini belum berakhir bukan? Aku harus menyembuhkan ini," katanya sambil mengangkat tangannya. "Lalu, aku harus keluar dari negeri ini."

"Semua ada waktunya, George, semua ada waktunya," kata Bourke. "Pertama-tama kita harus pergi ke tempat persembunyian yang kutemukan untukmu, lalu makan."

*

Perjalanan tersebut tidak memakan waktu lama, dan sepengetahuan mereka, tidak ada yang mengikuti. Bourke telah menyiapkan kamar untuk Blake di sebuah rumah di suatu jalan yang lusuh, tak dikenal, tak jauh dari penjara. Bourke parkir di depan rumah tersebut. Mereka menunggu sampai jalanan sepi, lalu segera masuk ke rumah sebelum ada yang melihat mereka.

Di dalam, Bourke membersihkan luka di wajah Blake dan membalut sebisanya pergelangan tangannya yang patah Kemudian ia pergi dan meninggalkan mobilnya cukup jauh dan kembali dengan sebotol brandy.

"Ini akan menghilangkan rasa lapar kita," katanya sambil tertawa. "Lihatlah apa yang aku punya untuk makan malam!"

Bourke segera membakar dua kerat daging steak. Begitu matang, ia memotong-motong jatah Blake. Ia melihat kawannya makan dengan rakusnya. Namun tak lama, Blake seperti tidak sanggup mencerna makanannya.

"Empat tahun makan makanan penjara," ia tertawa, "Sekarang baru bisa makan seperti ini. Tidak heran kalau aku merasa mual!"

"Minumlah brandy ini," saran Bourke, "Itu akan membantu pencernaanmu!"

*

Selesai makan, Blake dan Bourke berdiskusi tentang aksi pelarian tadi.

"Banyak masalah yang harus kami hadapi untuk mengeluarkanmu dari sana," kata Bourke.

la menceritakan pada kawannya, bagaimana ia, Pottle, dan Randle berusaha menghubungi keluarga Blake untuk mengumpulkan dana demi mewujudkan rencana pelarian tersebut, juga bagaimana mereka kecewa karena Bourke tidak mengumpulkan nota bon setiap barang yang dibelinya.

"Lagipula, bagaimana mungkin mendapatkan nota bon dari sebuah paspor palsu?" kata Bourke.

la menjelaskan pada Blake bagaimana mereka merencanakan semua ini, mulai dari mobil untuk kabur, walkie talkie, tangga dari tali, sampai pada paspor palsu. Biaya yang keseluruhannya mencapai tujuh ratus poundsterling itu mereka dapat dari uang mereka sendiri ditambah pinjaman dari beberapa teman.

Ketika mereka sedang asyik-asyiknya minum sambil makan stroberi, acara televisi yang sedang mereka tonton disela sekilas info. Seorang pria membaca berita dengan serius:

"Mata-mata Soviet, George Blake, telah melarikan diri dari penjara Wormwood Scrubs di London. Pelarian tersebut dilakukan kira-kira pada pukul setengah tujuh malam tadi. Blake kabur dari penjara dengan memanjat tangga di tembok yang dilemparkan oleh seorang temannya. Diyakini kedua buronan tersebut kabur menggunakan mobil kecil berwarna biru menuju arah barat, keluar dari London."

Foto terbaru Blake muncul di layar televisi. Foto yang di ambil di dalam penjara itu membuatnya tampak jahat.

"Sekilas info!" kata Bourke. "Mereka bahkan tidak menunggu waktu acara berita. Kau adalah orang yang paling dicari di seluruh Inggris!"

Brouke tertawa, sebaliknya Blake memasang wajah serius "Aku harap tidak ada yang melihat kita masuk ke dalam rumah ini," katanya. "Setiap polisi di London akan mencariku."

*

Keesokan harinya, Bourke pergi mencari dokter. Blake tahu bahwa Bourke memang mempunyai banyak teman dan jaringan, tapi pelajaran yang didapatnya selama menjadi mata-mata telah mengajar dirinya bahwa tidak ada satu orang pun yang benar-benar dapat dipercaya. Setiap kontak yang mereka lakukan seperti ini semakin membuka kesempatan terjadinya pengkhianatan.

Sekitar siang hari, Bourke kembali membawa seorang dokter dan setumpuk koran. Dokter itu seorang muda yang terkesan serius. Ia menyapa Blake dengan dingin, lalu mengobati pergelangan tangan Blake yang patah. Rasanya sangat sakit, Blake menenggak wiski Bourke untuk menghilangkan rasa sakit yang menyerangnya.

Setelah sang dokter pergi, Blake berkata, "Apakah kau yakin ia tidak akan mengkhianati kita? Kelihatannya ia bukan orang yang ramah."

"Jangan khawatir," kata Bourke. "Dia ada di pihak kita. Mungkin ia hanya sedikit khawatir karena mengobati seorang buronan. Sekarang lihat ini ..."

Bourke menunjukan koran-koran hari itu pada Blake. Semuanya dipenuhi dengan berita pelarian. Salah satu koran memberi komentar yang berlebihan pada bunga krisan yang dibawa Bourke. Koran tersebut memberi gambar ilustrasi Bourke sebagai dalang tindak kriminal ini yang bersembunyi di balik bayang-bayang, serta menulis bahwa bunga krisan tersebut merupakan sarana komunikasi yang misterius.

Keduanya menertawakan cara media memberitakan pada publik bagaimana mereka melarikan diri. Mereka juga sangat terkesan pada teori salah satu koran yang mengatakan bahwa seorang pengganti telah dikirim ke tempat ia dipenjara sementara Blake yang asli telah kembali ke Rusia menjadi agen ganda. 

Bagaimana pun, semua publikasi ini adalah kabar buruk. Wajah Blake ada di halaman muka setiap surat kabar kota, dia selalu muncul di televisi setiap kali sekilas info ditayangkan. Mereka harus amat sangat hati-hati. 

Meski dokter yang menangani pergelangan tangannya tidak pernah mengadukan mereka, keduanya tetap berpikir adalah lebih baik jika mereka pindah ke tempat yang tak jauh dari sana, dan tinggal di rumah seorang teman dari Randle dan Pottle. Namun, hal itu merupakan bencana. Istri teman tersebut memberitahu psikiaternya bahwa mereka menyembunyikan seorang buronan yang dicari-cari polisi.

Bourke juga membuat kesalahan konyol. Lepas dari segala perencanaan melarikan Blake, ia telah membeli mobil tersebut atas nama dirinya sendiri, buruknya hal ini telah terlacak oleh polisi. Sekarang fotonya juga ikut terpampang bersama foto Blake di halaman muka setiap surat kabar dan namanya selalu disebut dalam berita-berita, baik di radio maupun di televisi.

Di awal November, mereka pindah ke rumah Pat Pottle yang juga berada di London. Merasa lelah sembunyi dalam pengejaran ini, Blake sudah tidak tahan lagi ingin keluar dari Inggris. 

Namun, sudah dua minggu ia kabur, nama dan fotonya masih saja dipampang di setiap koran dan televisi. Tentu sangat berisiko sekali keluar dari Inggris dengan cara yang wajar, naik ferry atau pesawat terbang, sekalipun menggunakan paspor palsu.

Pottle dan Randle berusaha mengubah penampilan Blake. Mereka memberinya obat Meadinin yang akan menggelapkan warna kulit Blake, juga menjemurnya di bawah lampu sorot secara intensif. Sayangnya usaha tersebut sia-sia. Blake tetap mudah dikenali. Akhirnya, Randle muncul dengan kelicikan baru.

la memiliki mobil VW Combi yang besar. Blake bisa bersembunyi di tempat penyimpanan selimut. Sementara Randle dan keluarganya akan mengaku pada petugas perbatasan bahwa mereka akan berjalan-jalan ke Jerman Timur. Saat itu negara tersebut dikuasai Soviet. Dengan demikian Blake akan aman di sana.

Perjalanan tersebut lancar dan aman tanpa satu rintangan apa pun. Blake diturunkan di luar Berlin. Ia langsung mengenalkan dirinya pada prajurit Jerman pertama yang ia temui, namun tak seorang pun yang mempercayai kisahnya. Ia dibawa ke Berlin. 

Untungnya seorang agen rahasia Soviet yang mengenalnya secara pribadi datang untuk menjemputnya Ketika agen rahasia itu masuk ke ruangan dan memeluknya, serta berkata, "Ini memang dia! Memang dia!" Blake lega semua masalahnya telah berakhir. 

 

Setelah Pelarian

Blake mendapat penghargaan dari sekutu Soviet. Ia diangkat menjadi Kolonel KGB (agen rahasia Soviet) dan diberi tempat tinggal nyaman di sebuah apartemen di Moskwa. 

Ia telah meninggalkan istri dan tiga orang anaknya di Inggris, tetapi menikah lagi dengan gadis Rusia dan dikaruniai seorang putri. la bekerja sebagai peneliti bidang politik dan ekonomi di Universitas Moskwa. Sampai sekarang ia masih hidup dan tidak menyesali masa lalunya. 

Ketika baru-baru ini ia ditanyai apakah dengan runtuhnya komunis Soviet, ia merasa segala jerih payahnya menjadi sia-sia, ia menjawab, "Saya pikir tidak ada salahnya membiarkan diri Anda mempercayai suatu konsep yang mulia, atau percobaan yang mulia, walaupun akhirnya tidak sukses."

Masa depan Sean Bourke suram. Karena tidak setenar Blake, ia berhasil terbang keluar dari Inggris dengan menggunakan paspor palsu. Ia terbang ke Berlin dan dikirim ke Moskwa untuk bersatu kembali dengan Blake. Keduanya sangat kompak, dan pemerintah Soviet menempatkan mereka di apartemen yang sama. Namun, keretakan di antara keduanya tak terhindarkan. 

Blake bisa bersikap manis bila segalanya sesuai dengan keinginannya, tapi ia juga bisa menjadi sombong dan bersikap menyebalkan. Bourke bahkan menyangka bahwa Blake telah meminta KGB untuk melenyapkan dirinya.

Bourke kembali ke tanah kelahirannya, Irlandia, dan menulis sebuah buku berjudul The Springing of George Blake (Kisah Pelarian George Blake). Ia menyamarkan bagian Pottle dan Randle demi menghindari penangkapan terhadap diri mereka. Bukunya menjadi best seller, dan ia kembali menulis, namun karya selanjutnya tidak disertai kesuksesan seperti yang pertama. Akhirnya, ia menjadi alkoholik dan mati sendirian di dalam mobilnya, di Irlandia, tahun 1982.

Peran Pat Pottle dan Michael Randle dalam pelarian Blake diketahui publik pada tahun 1989 ketika surat kabar Inggris menerbitkan kisah sensasional tersebut. Keduanya ditangkap dan diseret ke pengadilan. 

Meski mereka telah melanggar hukum, para juri di pengadilan bersimpati pada keduanya, sehingga mereka dibebaskan dari hukuman. Pat Pottle meninggal tahun 2000, sedangkan Michael Randle masih berprofesi sebagai penulis dan jurnalis, juga seorang peneliti di Departemen Studi Perdamaian, Univesitas Bradford. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355963/mata-mata-di-scrubs" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700543000) } } [7]=> object(stdClass)#109 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355972" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#110 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#111 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk kabur dari penjara Jerman. Padahal dia tidak bisa berbicara dalam bahasa Jerman." ["section"]=> object(stdClass)#112 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["title"]=> string(29) "Menyamar sebagai Ivan Bagerov" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:35:05" ["content"]=> string(23817) "

Intisari Plus - Pada tahun 1943, seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk melarikan diri dari penjara Jerman. Dia tidak dapat berbicara dalam bahasa Jerman, namun penyamarannya sebagai perwira Angkatan Laut Bulgaria sangat membantunya. 

---------------------

"Keluar dari sini, itu sangat mudah. Keluar dari negara ini, itu bagian yang tersulit."

Perwira Angkatan Laut Inggris, Letnan David James, sedang menjelaskan rencananya untuk kabur kepada tahanan lainnya, Kapten David Wells. Keduanya merupakan penghuni penjara tahanan perang, Marlag und Milag Nord, dekat Bremen, Jerman. Waktu itu, awal musim dingin tahun 1943, empat tahun setelah dimulainya Perang Dunia II.

James telah memikirkan dua penyamaran untuk mengeluarkan dirinya dari kamp menuju Swedia, tempat ia bisa kembali ke Inggris. 

Kedua pria tersebut duduk di depan tungku batu bara. Pondok mereka sangat dingin, tapi untunglah api menjaga mereka tetap hangat. Di luar jendela, hujan yang dingin turun sepanjang hari. Musim dingin di Jerman utara turun bagaikan balas dendam.

James mulai merinci rencananya untuk lari.

"Begini...Aku adalah orang asing yang hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman. Jadi, aku akan tetap menyamar sebagai orang asing. Penjaga dan perwira yang akan kutemui telah terbiasa melihat kartu identitas setiap hari. Mereka bisa mengenalinya seperti punggung telapak tangan mereka sendiri dan mampu melihat apapun yang palsu hanya dengan jarak dua puluh langkah. Jadi, aku akan tampil dengan identitas yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Aku akan menyamar sebagai orang Bulgaria!"

Wells terbengong-bengong sesaat, lalu matanya membelalak.

"Kenapa?"

James melanjutkan, "Seperti yang kau tahu, Bulgaria adalah sekutu Jerman, tapi tak seorang pun di sini yang tahu banyak tentang mereka. Mereka tidak akan bisa mengenali jika ada seorang Bulgaria yang datang dan menonjok hidung mereka. Lagipula, aku pikir jika aku bisa membuat seragamku tampak seperti seragam Angkatan Laut Bulgaria, tidak akan ada yang bisa membedakannya. Setidaknya, aku tidak bisa."

Wells tertawa.

"Angkatan Laut Bulgaria. Mereka hanya punya kira-kira tiga kapal. Kau ada di pihak yang menang, Bung. Apa yang ada padamu?"

James menunjukkan bukti-bukti padanya. Seorang teman di kamp yang bekerja sebagai penjahit sebelum perang telah membuatkan untuknya sebuah lencana berwarna keemasan dan biru berinisial KBVMF yang merupakan inisial dari Angkatan Laut Bulgaria.

"Huruf-huruf itu kelihatan aneh. Itu inisial Rusia kan?" tanya Wells.

"Bukan, ini inisial Bulgaria," jawab James. "Mereka menggunakan alfabet yang sama dengan Rusia. Itulah langkah selanjutnya dalam rencanaku. Bahkan aku telah memiliki setumpuk dokumen yang dipalsukan teman kita di pondok D. Ia biasa bekerja sebagai ilustrator buku, dan menyelesaikan pekerjaannya yang brilian. Lihat ini!"

James menuju lokernya dan mengeluarkan sebuah map yang penuh dengan kertas-kertas, surat-surat, kartu pas, dan sebuah foto berukuran besar. 

"Ini kartu identitasku. Letnan Ivan Bagerov— Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Semua tulisan Bulgaria itu tidak akan dimengerti oleh penjaga."

Wells tertawa.

"Siapa laki-laki tampan di foto itu? Pastinya itu bukan kau!"

James tersenyum.

"Coba perhatikan. Kami menemukannya di majalah Jerman. Ia adalah pahlawan Jerman. Kelihatannya agak mirip denganku, tapi karena kami membubuhkan stempel Bulgaria di atas setengah wajahnya, jadi tidak akan terlihat dengan jelas!

Aku sudah memastikan segala sesuatu di koporku terlihat seperti milik orang Bulgaria, setidaknya orang akan beranggapan itu milik orang Bulgaria. Bahkan, aku telah mengelupas tulisan Inggris di merk sabunku dan menggantinya dengan tulisan Bulgaria."

"Yang besar itu foto siapa?" tanya Wells."Sepertinya ia penari balet. Siapa namanya?"

James tertawa lagi.

"Itu sayangku Margot Fonteyn. Cantik kan! Aku akan mengaku pada siapa saja yang menggeledah koporku bahwa ia adalah tunanganku. Itu akan jadi pengecoh yang efektif. Kau kenal Robert di pondok E? Ia bisa berbicara dalam bahasa Rusia, jadi aku memintanya menuliskan sebuah surat cinta untukku. Kita bahkan bisa menipu malaikat! Dan ... aku telah mengganti semua merk pakaianku yang buatan Inggris. 

Aku tidak bisa mendapatkan merk Bulgaria atau Rusia. Tetapi, beberapa teman asal Yunani di kamp telah memberikan yang mereka punya. Merk-merk tersebut cukup terlihat berbeda. Dan di atas segalanya, Bulgaria juga kerajaan monarki, jadi ukiran mahkota di kancing seragam Angkatan Laut Inggris milikku tidak perlu diganti."

"Dan, ini dia!"

James mengeluarkan dokumen palsu lainnya.

"Ini sebuah surat pengantar dari Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Surat itu tertulis dalam bahasa Jerman, akan kutunjukkan kepada siapa saja yang menghalangiku.Aku pikir surat itu akan banyak membantuku. Bunyinya : Letnan Bagerov bertanggung jawab di bidang teknik yang mengharuskan dirinya banyak bepergian.

Karena ia hanya berbicara sedikit bahasa Jerman, maka setiap perwira Jerman dimohon untuk membantunya.”

Wells menertawakan rencana nekad tersebut. Dia terkesan, tapi nampak khawatir. 

"Oh, kabar buruk, James. Beberapa perwira Angkatan di sini telah pergi ke Bremen beberapa minggu lalu mengunjungi rumah sakit di sana. Seragam Angkatan Lautmu mungkin terlihat agak berbeda, tapi tidak terlalu berbeda. Aku yakin seseorang akan mengetahui dan menangkapmu." 

"Aku telah memikirkannya juga. Aku akan memulai pelarianku dalam samaran yang lain! Kancing seragamku akan kubungkus dengan perca sutra, aku punya topi kain, scarf, dan celana kanvas tua. Aku akan menjadi Christof Lindholm, seorang tukang listrik Denmark! Aku juga sudah punya kartu pasnya."

"Wah, kau benar-benar sibuk selama ini, ya!" kata Wells. "Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan identitas aslimu bila kau berhasil mencapai Swedia, atau bahkan Inggris?"

"Aku juga sudah memikirkan hal itu. Aku telah memasukkan semua identitas asliku di lapisan dalam jaketku, jadi aku bisa menjadi diriku lagi kapan saja bila diperlukan."

"Kalau begitu, semoga sukses, sekalipun dengan semua itu aku pikir kau tidak memerlukannya," kata Wells.

James terlihat agak sakit.

"Sebenarnya, duduk di depan api ini dibandingkan hujan di luar sana, aku tidak yakin aku ingin kabur. Tetapi, banyak orang yang sudah bersusah-payah membantuku dalam hal ini, jadi aku harus mencobanya."

*

Dan ia memang mencobanya. Pagi hari, 8 Desember 1943, James berjalan menuju tempat pemandian di kamp. Tak diduga! Sebuah jendela di sana terbuka, jadi yang perlu dilakukan James adalah langsung memakai kostum tukang listrik Denmark, dan menyelinap keluar saat tak ada yang melihat.

Berjalan keluar dalam penyamarannya, ia sama seperti pekerja lokal yang ada di sana. Tetapi, masalah muncul tak lama setelah ia keluar dari kamp. Dia dihentikan oleh seorang polisi yang mencurigainya. Dalam hatinya, James sangat panik. Setelah susah payah kerja kerasnya selama ini, di sinilah dirinya, jauh dari kamp, hampir tertangkap. 

Polisi itu memeriksa kopornya. Untunglah hanya ada beberapa potong pakaian di dalamnya. James sudah menyembunyikan semua dokumen Ivan Bagerov dengan hati-hati, semuanya diikat di kakinya dengan perban.

Polisi mulai mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Apa yang dilakukannya, siapa dirinya, dengan siapa ia tinggal. Benar-benar mimpi buruk. James hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman, dengan tak jelas ia mengatakan bahwa ia tinggal bersama seorang pendeta lokal. Ia bahkan tidak tahu siapa namanya, hanya menyebutnya "Bapa."

Polisi masih tetap curiga dan bertanya seperti apa perawakan sang pendeta. James nekad berspekulasi. Pendeta itu berambut abu-abu, dan ternyata memang benar. Ia menambahkan beberapa cerita dengan harapan polisi tersebut tidak mempermasalahkan logat pekerja Denmark yang aneh ini.

Ternyata cerita karangannya tidak berguna. Polisi membawanya ke kantor polisi. Untunglah James punya akal lain. la menunjukkan surat penugasan palsu dari sebuah rumah sakit yang mengharuskan dirinya untuk melapor ke sana siang ini. 

Surat palsu itu meyakinkan sang polisi bahwa James memang seorang tukang listrik Denmark. Akhirnya, polisi itu memperbolehkan James pergi dengan salam selamat siang yang kaku. James segera pergi dari hadapannya, dan berusaha keras agar kakinya tidak terlalu gemetaran selama ia berjalan.

*

James berhasil sampai di stasiun Bremen tanpa kesulitan baru, dan langsung masuk ke sebuah kamar mandi kecil. Di sana, ia melepaskan samarannya dan menyembunyikan pakaian, topi dan celana tukang listrik itu di belakang tangki air. Sekarang, James merasa aman untuk melakukan penyamarannya sebagai orang Bulgaria. 

Di dalam kamar mandi yang sempit itu ia melepaskan perca kain sutra yang membungkus kancing seragamnya, menjahitkan lencana ke pundaknya, dan menggelapkan warna rambutnya dengan tata rias teater supaya ia lebih terlihat seperti orang Eropa timur.

Christof Lindholm lenyap, muncullah Ivan Bagerov. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, lalu berjalan mendekati seorang petugas di stasiun dan menunjukkan surat pengantar palsunya.

Petugas tersebut membacanya dan tersenyum pada James. 

"Ke mana tujuan Anda, Tuan?" tanyanya.

James memberitahunya bahwa ia hendak menuju ke pelabuhan Lübeck di Laut Baltic. Itu adalah titik yang sangat baik untuk perjalanan selanjutnya ke Swedia.

"Silakan ikuti saya, Tuan," kata petugas tersebut. Mereka pun berjalan menuju loket karcis.

Surat palsu James bekerja seperti jimat saja. Petugas itu memberitahu kereta apa yang harus ia naiki, menuliskan rinciannya untuknya, dan memberikan karcis untuknya. Lalu, mengantar James ke ruang tunggu dan membelikannya bir! 

James sampai harus menahan dirinya untuk tidak tertawa terbahak-bahak, atau menjaga wibawanya. Sebenarnya ia ingin memeluk petugas itu, tapi ia tetap menjaga dirinya bersikap formal, layaknya seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria.

Keretanya tiba, dan tak lama kemudian James sudah dalam perjalanan menuju pantai. Semua petugas yang dijumpai selama dalam perjalanan (petugas pemeriksa karcis, polisi, da sebagainya), semua tertipu oleh surat pengantar palsunya, da mereka memberi salam hormat dengan anggukan kepala yang sangat sopan.

Beberapa jam kemudian, kereta tiba di Hamburg, di mana James harus berganti kereta. Ia harus menghabiskan satu jam menunggu di ruang tunggu. Di sana ia ditatapi dengan rasa penuh curiga oleh seorang prajurit Jerman. 

James merasa prajurit itu mengetahui samaran dan mengenali seragam Angkatan Lautnya, tapi ia memutuskan untuk menggertaknya. Pikirnya, "Apa yang akan aku lakukan jika aku memang seorang Ivan Bagerov, pada waktu seseorang sedang menatapku? Ya, tatap kembali!"

James melihatnya sekilas dengan penuh keramahan, hingga prajurit tersebut merasa malu dan membuang pandangannya ke lantai. Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan ruang tunggu. James bertanya-tanya, jangan-jangan ia melapor pada polisi. Namun, sampai kereta selanjutnya tiba, tak seorang pun yang mengganggu dirinya.

Perjalanan terasa lambat. James harus turun untuk ganti kereta lagi, dan melewati malam yang tak nyaman di ruang tunggu Bad Keinen. Ia telah menempuh 320 km dalam sehari. Pelariannya ternyata berjalan lebih lancar dari yang ia duga.

Keesokan harinya, kereta melaju menuju Stettin, stasiun lainnya di Laut Baltic. James berpikir ia harus mencoba peruntungannya di sana, karena nampaknya di Stettin juga ada kapal Swedia, sama seperti di Lübeck.

Ternyata, tidak. James tidak melihat satu kapal Swedia pun di pelabuhan. Sambil mengumpat, ia pergi ke kota dan mengunjungi beberapa bar dengan harapan akan mendengar suara orang Swedia.

Sorenya, James baru menyadari bahwa singgah di Stettin merupakan kesalahan besar. Tak ada yang bisa dilakukannya selain melanjutkan perjalanan. Jadi, ia kembali ke stasiun dan naik kereta menuju Lübeck. Lagi-lagi, ia harus turun dari kereta dan menghabiskan malam yang tak nyaman di ruang makan di sebuah kamp militer yang sesak.

Ketika ia mencoba untuk tidur di meja pojok ruangan, beberapa perwira Angkatan Laut Jerman bergabung dengannya. Teman semeja yang baginya buruk, mungkin saja mengenali seragam Kerajaan Inggrisnya. Namun, sepertinya mereka lebih letih daripada dirinya, karenanya mereka tidak berkata sepatah kata pun pada James, apalagi memperhatikannya.

Keesokan hari, ia bergegas pergi ke stasiun dan tiba di Lübeck siangnya. Saat itu, penampilannya sebagai seorang letnan mulai terlihat agak kumal, apalagi dengan janggut berumur dua hari di dagunya. James segera pergi ke tukang pangkas rambut terdekat dan minta supaya janggutnya dicukur. Tukang pangkas di sana memandangnya heran.

"Tidakkah Anda tahu?" tanyanya dengan agak sinis. "Anda tidak mengetahui tentang distribusi sabun? Tidak seorang pun yang mencukur janggutnya di tempat seperti ini selama dua tahun!"

James mengangkat bahunya dan meninggalkan tempat tersebut diliputi rasa panik. Pasti setiap orang di jalan melihat dirinya.

Dengan perasaan bingung, ia memesan sebuah kamar di hotel la meninggalkan kopornya di sana, lalu pergi ke pelabuhan. Di sini tampak secercah harapan. Hal pertama yang dilihat nya adalah dua kapal Swedia. Sebuah gerbang tampak di antara dirinya dan kapal-kapal tersebut.

Seorang penjaga berdiri di satu sisi jalan, jadi James mengikuti sebuah truk besar yang berjalan menuju pelabuhan, bersembunyi di sisi yang berseberangan dengan penjaga tadi. Begitu tiba di sisi pelabuhan, ia berjalan menuju kapal Swedia dan menghampiri awak kapalnya. Kapal tersebut memuat batubara. Debu batu bara ditambah dinginnya udara musim dingin membuatnya batuk.

James mendengar suara orang Swedia dari dalam kabin, maka ia mengetuk pintunya. Ia masuk ke dalam dan melihat dua orang sedang duduk di meja kopi. Mereka melihat James. Salah satu di antaranya menyapa James dengan bahasa Inggris yang sangat baik.

"Pasti Anda perwira Angkatan Laut. Aku mengenali seragam Anda dari jauh!"

James tertawa. Ia lega dua orang tersebut ternyata sangat ramah.

"Ya," jawab James. "Ini hanyalah samaran. Aku menyamar sebagai Ivan Bagerov, perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria!"

Selanjutnya mereka mengundang James bergabung dengan mereka. Lalu James menceritakan kisahnya pada mereka, dan bertanya apakah mereka mau membawanya ke Swedia.

Pria yang berbicara dalam bahasa Inggris itu mengangkat bahunya dan meminta maaf.

"Begini kawan, aku ingin membantu, tapi sepertinya tidak mungkin. Ketika batu bara ini dimuat, kami akan kedatangan beberapa petugas Jerman yang akan ikut di dalam kapal ini. Mereka pasti akan melihatmu. Jika mereka curiga kau adalah buronan, pasti kita semua akan ditahan. Lihatlah, kapal begitu kecil untuk menyembunyikan dirimu."

James sangat kecewa. Padahal ia merasa orang itu sangat ramah dan pasti mau menolongnya. Ia berpikir keberuntungannya pasti sudah berakhir.

"Tolonglah," pintanya. "Aku telah lari tiga hari, dan ini satu-satunya saat aku merasa aman. Pasti ada tempat di mana aku bisa sembunyi."

Namun, orang Swedia itu telah menetapkan keputusannya. la berbicara tegas dengan nada datar yang berarti tak ada lagi yang perlu didiskusikan.

"Aku ingin menolongmu, tapi aku juga tidak ingin berakhir di kamp konsentrasi. Lihat ke sana," katanya sambil menunjuk ke arah utara kabin. "Kapal itu juga menuju Swedia dan akan berangkat beberapa menit lagi. Cobalah peruntunganmu."

James berterimakasih pada mereka dan pergi. Berdiri di dek, ia melempar pandang ke kapal lainnya. Beberapa menit yang lalu, ia merasa aman dan sukses. 

Perjalanan dari tangga kapal ini ke kapal lainnya sepertinya amat sangat berbahaya, dan nampak seperti jarak yang tak dapat ditempuhnya. James diliputi kecemasan yang besar.

Ketika ia menuruni anak tangga kapal, ia seperti melihat mimpi buruknya: kapal lainnya segera berangkat. James bergegas lari mencapainya, tapi sudah terlambat. Tadinya ia sempat berpikir loncat saja ke kapal tersebut, tapi ia pasti akan menjadi pusat perhatian dan kapal akan diberhentikan sebelum sempat meninggalkan perairan Jerman.

*

"Ya," katanya pada diri sendiri, "Kembali ke hotel, dan coba lagi besok." Kali ini James yang putus asa agak ceroboh.

la tidak berusaha sembunyi dari pandangan penjaga di pintu masuk pelabuhan, akibatnya ia terlihat dan diberhentikan. Mungkin karena penampilannya yang agak kumal, samaran Ivan Bagerov-nya tidak berguna. Penjaga itu bersikeras agar James ikut dengannya ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Tak ada yang dapat dilakukan James, kecuali ikut dengannya Selain itu, ia tidak terlalu khawatir. Masih ada kemungkinan sang polisi nantinya (sama seperti yang lainnya) akan tertipu oleh surat Bulgaria miliknya.

Tak lama kemudian, James sudah berdiri di hadapan petugas senior di kantor polisi Lübeck. Polisi di sana memeriksa kartu identitasnya dengan kaca pembesar, lalu berkata santai dalam bahasa Inggris, "Jadi, Anda kabur dari mana?"

James, yang sejak tadi menahan napasnya, menghela napas panjang. Ia menerima kenyataan bahwa segalanya sudah berakhir.

*

Tak diduga, sang polisi bersikap cukup sopan. Ia menawarkan kursi pada James, lalu memanggil beberapa rekannya masuk ke dalam ruangan. Salah satu di antara mereka mengolok-olok kartu identitas palsunya, tapi yang lainnya salut pada James dengan pemalsuan tersebut, apalagi James hanya memiliki sumber yang sangat terbatas di dalam penjara. 

Ia bahkan mengatakan James seharusnya memakai kata Polizei Präsident di kartu identitas, bukannya Polizei Kommissar.

Setiap orang nampaknya terkesima oleh kisahnya, dan itu membuat James agak lega. Ia sering mendengar bahwa seorang buronan langsung ditembak bila tertangkap. Petugas yang mengantarnya ke penjara lokal bahkan menyampaikan rasa prihatinnya terhadap James yang peruntungannya tidak begitu baik.

 

Setelah Pelarian

James dikirim kembali ke penjara Marlag und Milag Nord dan dikurung sendiri selama sepuluh hari di sel hukuman. Keinginannya untuk kabur tidak pernah padam. Lima minggu berikutnya, ia menghilang lagi, kali ini dalam penyamaran sebagai nelayan. Dengan rute yang sama, ia sukses mencapai Swedia dan berhasil kembali ke Inggris dengan aman.

Setibanya di kampung halamannya, ia menulis buku berjudul An Escaper's Progress (Kemajuan Seorang Buron), sebuah catatan petualangannya di Marlag und Milag Nord. la menulis, kabur dari penjara sama seperti bertemu dengan seseorang di pesta yang namanya tidak kita ingat. 

Kita harus menemukan petunjuk selama percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengarah. Dengan demikian, ia belajar bagaimana caranya untuk lolos, tanpa membuat dirinya menjadi pusat perhatian di tempat dan situasi ia berada.

Setelah perang, James menjadi seorang penjelajah Antartika dan menjadi anggota parlemen pada tahun 1959-1964 dan 1970-1979. Ia juga turut membantu mempersiapkan berdirinya Biro Investigasi Loch Ness, sebuah organisasi yang dedikasikan untuk menemukan bukti keberadaan monster Loch Ness. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355972/menyamar-sebagai-ivan-bagerov" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700505000) } } [8]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355985" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/kabur-dari-alcatrazjpg-20220701063343.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Orang berpikir bahwa penjara Alcatraz di San Francisco tidak akan pernah bisa dijebol. Frank Morris membuktikan bahwa mereka salah." ["section"]=> object(stdClass)#116 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/kabur-dari-alcatrazjpg-20220701063343.jpg" ["title"]=> string(19) "Kabur dari Alcatraz" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:34:24" ["content"]=> string(29742) "

Intisari Plus - Orang berpikir bahwa penjara Alcatraz di San Francisco tidak akan pernah bisa dijebol. Frank Morris membuktikan bahwa mereka salah. Namun sampai hari ini nasib mereka tidak pernah diketahui. 

--------------------

Pada tahun 1930, Alcatraz, sebuah pulau berbatu di teluk San Francisco, merupakan sebuah penjara yang terkenal kejam. Dikenal sebagai "The Rock", karena tidak mungkin ada yang bisa lolos dari sana, dan rumah yang suram bagi bandit-bandit seperti "Creepy" Karpis dan "Machine Gun" Kelly. Bahkan, seorang mafia yang terkenal seperti Al Capone pun secara perlahan menjadi gila ketika menghabiskan sisa hidupnya di ruang penatu penjara ini.

Pada tahun 1950, Alcatraz menjadi bayangan yang meremukkan. Walaupun sering kali bertindak brutal, namun para penjahat yang berada di sana tidak lagi kejam. Pulau Alcatraz menjadi tanah lembab yang terus menerus menghantui para tahanan yang dipindah dari penjara lainnya di Amerika barat.

*

Frank Morris, seorang perampok bank dan pembobol rumah, memang hebat. Serangkaian hukuman, pelarian, dan penangkapan membawanya ke pulau ini. Ia tiba pada 1960, dan menolak anggapan bahwa tidak ada yang dapat lolos dari Alcatraz. Sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di pulau ini, ia telah merencanakan pelariannya.

Morris, seorang yang kurus, tampan, sama sekali tidak terlihat seperti Clint Eastwood yang memerankannya di film produksi Hollywood. Wajahnya yang simpatik serta perangainya yang kalem, menyamarkan sifat kasar dan pikiran tajamnya.

Seiring dengan berlalunya hari pertamanya di Alcatraz, Morris langsung terbiasa dengan rutinitas di penjara. Setiap harinya para tahanan bisa pergi ke bengkel untuk memperoleh penghasilan dengan membuat sikat atau sarung tangan. Ada rutinitas penggeledahan badan, absensi selama setengah jam, dua jam "rekreasi" berputar-putar di lapangan olahraga. Tiga kali makan di kantin penjara.

Kantin dianggap tempat yang paling berbahaya di penjara. Untuk menghindari terjadinya keributan, di dinding kantin sudah ada lubang tempat menembak, dan bom air mata telah terpasang di langit-langit kantin.

Setelah makan malam, para tahanan dikunci di sel masing masing. Mereka mempunyai waktu empat jam untuk melakukan hobi mereka, sampai lampu dimatikan pada jam sembilan malam. Waktu itu bisa mereka gunakan untuk melukis, membaca, memainkan alat musik, atau apa saja di dalam sel masing-masing. 

Ada beberapa di antara mereka yang bermain catur dengan tahanan di sel sebelahnya, ada juga yang mengancam tahanan lain yang akan mereka serang keesokan harinya pada saat jam olahraga.

Karena mudah bergaul, dengan cepat Morris mendapatkan teman. Di sel sebelahnya ada Allen West, seorang pencuri mobil dari New York. Mereka cukup akrab. Di kantin, tempat para tahanan bisa duduk di bangku panjang di mana saja mereka suka, Morris juga berkenalan dengan kakak beradik Anglin, John, dan Clarence. Mereka adalah pemuda desa yang meninggalkan pekerjaannya di peternakan Florida—dan menjadi perampok bank. Sel mereka berada di lantai yang sama dengan sel Morris, sekalipun letaknya agak jauh.

Setelah Morris berada di Alcatraz selama satu tahun, seorang tahanan memberitahunya bahwa sebuah kipas besar telah dipindah dari terowongan ventilasi atap tiga tahun sebelumnya, dan tidak pernah diganti. Pikiran tajam Morris langsung membayangkan sebuah pelarian yang nekad di malam hari melalui terowongan tersebut. Ada jalan keluar dari "The Rock", sembilan meter di atas kepalanya.

Pelarian tersebut akan sangat sulit, tetapi bukan tidak mungkin. Satu yang pasti, hal itu memerlukan waktu yang tidak sedikit dan rencana yang matang. Waktu adalah satu-satunya kemewahan yang dimiliki seseorang selama di penjara, dan Morris akan menggunakannya dengan baik.

Yang harus dilakukan Morris adalah mencari jalan untuk keluar dari sel yang terkunci menuju atap. Para tahanan diawasi dengan ketat saat mereka keluar dari sel, jadi hal itu tidak mungkin dilakukan pada saat itu.

Suatu hari, muncul sebuah inspirasi. Di bawah di setiap sel, tepat di bawah tempat cuci piring, terdapat sebuah ventilasi udara kecil. Di belakangnya terdapat sebuah koridor sempit tempat air mengalir, listrik, dan pipa saluran pembuangan. Seandainya Morris dapat memindahkan ventilasi itu, lalu membuat sebuah lubang yang cukup besar baginya, maka ia dapat memanjat ke terowongan dan keluar ke atap. Di malam hari, ia hanya sendirian di dalam sel selama sembilan jam. Ini adalah waktu yang tepat untuk mencobanya.

Seberapa mudahkah membuat lubang itu? Morris membungkuk dan menggores tembok baja itu dengan sebuah gunting kuku. Sebuah percikan api kecil muncul. Tembok tersebut bisa dilubangi, tapi memerlukan waktu berabad-abad untuk melakukannya. Membuat lubang bukanlah masalah. Bagaimana menyembunyikan lubang yang semakin membesar itulah yang harus dipertimbangkan. 

Morris memutuskan untuk membeli sebuah akordion, seperti milik West, dengan uang yang diperolehnya dari bengkel, untuk menutupi lubang galiannya. Seiring bertambah besarnya lubang galiannya sehingga tidak dapat ditutupi dengan akordion lagi, Morris mendapat ide untuk membuat tembok tiruan dengan papan yang dilukis lengkap dengan ventilasi udaranya.

Semakin dipikirkan, Morris semakin sadar bahwa rencana ini akan lebih baik dilakukan dengan bantuan orang lain. West dan kakak beradik Anglin pun direkrut. Keberadaan mereka di blok sel yang sama sangat membantu. Empat serangkai ini pun menjadi kompak. 

Langkah pertama yang diambil adalah menjadikan melukis sebagai hobi mereka. Hal ini tentu tidak akan memudahkan mereka untuk memesan kuas, kanvas, dan papan lukis yang akan mereka gunakan untuk membuat tembok palsu yang mereka perlukan.

Sementara West mengawasi patroli para sipir dari selnya, Morris mulai menggali tembok dengan gunting kukunya. Setelah satu jam, ia hanya bisa mendapat kepingan-kepingan kecil tembok, dan jarinya sangat kesakitan.

la berbisik pada West, "Aku rasa kita pasti masih akan menggali pada saat kita mendapatkan pembebasan bersyarat." "Kita harus bicara dengan Anglin pada saat sarapan nanti," kata West. Lalu keduanya pun tidur.

"Jadi ..." 

Clarence Anglin selalu membiarkan kalimatnya menggantung, tidak selesai. Namun kalimat selanjutnya merupakan kalimat yang pantas untuk disimak. West dan Morris menunggu kata-kata selanjutnya. 

"Lihat sendok ini? Aku rasa bisa kita jadikan alat penggali yang pantas. Lekatkan gunting kukumu di pegangannya, maka kau akan menggali lebih mudah."

Morris memasukkan sendoknya ke dalam sakunya. 

"Ide bagus, Clarence," katanya. "Dan aku tahu bagaimana caranya melekatkan sendok dan pisau! Sampai ketemu lagi ..."

Malam itu, saat tahanan lain melukis, atau memainkan ala musik mereka, Morris mempersiapkan aktivitas sesuai rencana Pertama, ia mematahkan pegangan sendok yang diselundupkannya, lalu memindahkan salah satu mata pisau dari gunting kukunya.

"Hei, Westy," bisiknya, "Kau punya koin?"

"Ya, siapa yang bertanya?" 

"Berikan padaku, akan kuganti saat kita lolos dari tempat ini! Sekarang, berjagalah untukku."

Morris mulai mengerat koin sampai ia mendapatkan gundukan kecil serpihan logam di atas mejanya. Kemudian ia mengikat sekitar lima puluhan batang korek api menjadi satu Lalu ia mengambil beberapa buku dan disusun seperti dua menara yang berdekatan dan memosisikan pegangan sendok dan gunting kuku hingga saling menyentuh.

Selanjutnya ia membubuhkan serpihan logam tadi di atas sendok dan mata pisau tersebut. 

"Ada yang datang? Bagus. Ini saatnya!"

Wuuush... Morris menyalakan ikatan korek api yang ada di bawah pegangan sendok dan mata pisau itu. Dalam hitungan satu atau dua detik, keduanya menjadi panas.

"Hore!" ia bersorak pada dirinya pelan. Ketika apinya sudah cukup panas melelehkan logam tadi, dia menyatukan pegangan sendok dan mata pisau.

"Bau apa itu, Frank? Apa kau memelihara setan di dalam sana?" tanya West yang mencium bau korek api terbakar. Morris memastikan tidak ada penjaga yang mendekat, lalu lewat jeruji selnya ia memberikan peralatan barunya pada West. 

"Sungguh," kata West. "Aku akan membuat satu untuk diriku!"

*

Segera, keempat tahanan tersebut membuat peralatan menggali yang sama. Namun mereka masih kesulitan untuk menggali tembok tersebut, bagaimana pun juga tebalnya 20 sentimeter.

"Pasti ada cara yang lebih baik dari ini," pikir Morris. Dan ternyata memang ada.

Allen West menikmati pekerjaannya sebagai tukang bersih bersih di penjara. Ia bebas berjalan ke sana ke mari bercakap-cakap dengan tahanan lain, pada saat yang sama ia tetap dianggap bekerja. Pekerjaannya ini juga membawa kemujuran yang tidak disangka-sangka, misalnya akses menuju ruang elektronik. Mengenai kesulitan menggali tembok, kepada Morris ia berkata, "Yang kita perlukan adalah mesin yang terdapat di dalam alat pengisap debu, dan aku tahu di mana kita bisa mendapatkannya. Ambil dinamonya, lekatkan dengan mata bor, dan yang kita dapat adalah sebuah bor!"

"Berikan dinamonya, maka kau kubuatkan sebuah bor" kata Morris.

West menyelundupkan sebuah dinamo ke selnya, lalu Morris memasangnya dengan mata bor yang didapatnya dari bengkel penjara. Mereka tahu apa yang dikerjakan akan mengeluarkan suara yang ribut. Maka mereka menunggu sampai 'jam musik', saat para tahanan diizinkan memainkan alat musik di dalam sel.

Morris mencolok kabel dinamo ke colokan lampu yang ada di selnya.

"Ini saatnya ..."

Ia menyalakan saklarnya dan dinamo tersebut pun berputar. Itu saja sudah menimbulkan suara cukup keras, namun suara saat mengebor lebih bising. Morris mengebor selama ia berani, lalu berhenti. Hasilnya cukup menjanjikan. Dua lubang tembus sampai sisi di sebelahnya. Pekerjaannya memang lebih cepat dikerjakan dengan alat tersebut.

Keesokan paginya, saat sarapan, Morris menghampiri Anglin.

"Kita akan menggilir pemakaian bor ini di antara kita berempat, tapi kita harus hati-hati menggunakannya," katanya. "Buatlah beberapa lubang selama tahanan lain memainkan alat musik mereka. Ini akan menghemat waktu kita dalam menggali. Pada saat kita memperoleh lubang di dinding, gali sisanya dengan mata pisau di malam hari, maka kita akan bebas,"

Mata Clarence membesar. Jari-jarinya sudah penuh kapalan.

*

Dengan rencana pelarian yang kelihatannya semakin nyata, pikiran mereka tertuju pada cara keluar dari pulau tersebut. Sambil makan malam, mereka duduk bersama memikirkan masalah yang mengadang di depan.

"Airnya bisa membekukan kita. Pulau ini pun selalu berkabut sepanjang tahun. Aku tidak ingin melalui segala kesulitan untuk keluar dari sini hanya untuk mati membeku di air," kata Clarence dengan mulut penuh.

"Itu sudah pernah dilakukan," kata West."Aku dengan tiga orang gadis perenang pernah melakukannya tahun 1933."

Morris lebih realistik. "Tetapi mereka atlet. Mereka di selama berbulan-bulan, bahkan tubuh mereka dihangatkan oleh pakaian selam, dan pastinya mereka tidak hidup dengan standar makanan di penjara, sehingga mereka kuat untuk berenang ... lagi pula aku yakin, mereka pasti dikawal dengan perahu. Yang kita perlukan adalah bantuan kecil, rakit, jaket pelampung, sesuatu yang membuat kita tetap terapung, atau keluar dari air."

John Anglin menyambung. "Aku melihat jas hujan plastik di bengkel. Kita dapat mencurinya, memotong lengannya, lalu meniupnya menjadi seperti pelampung. Bahkan kita bisa melekatkannya menjadi satu dan menjadikannya rakit."

Senyuman Morris mengembang. "Begitu kita bisa menembus tembok itu, kita mulai mengumpulkan barang barang." 

*

Lubang di tembok semakin besar setiap harinya. Keempat serangkai pun cepat-cepat menyelesaikan lukisan tembok palsu mereka yang akan digunakan untuk menutupi pekerjaan tangan mereka. Mereka melukis tembok sama persis seperti tembok di dalam sel, lengkap dengan ventilasi udaranya. Lalu dengan hari-hati mereka menyingkirkan potongan tembok di sekitar ventilasi, supaya tembok palsunya bisa terpasang pas dan tidak jatuh.

Di cahaya yang terang, tembok palsu itu pasti akan langsung ketahuan, namun di cahaya remang-remang dalam sel, perpaduan tembok palsu dan asli cukup sempurna. Kini mereka bisa menggali dengan rasa aman, dan akhirnya mereka memperoleh lubang yang cukup besar bagi mereka untuk menyusup keluar.

Menyusup keluar di malam hari juga masalah yang besar. Semua pintu di penjara Alcatraz terbuat dari jeruji besi, ini artinya seorang penjaga bisa melihat ke sel mana saja, kapan saja, untuk mengawasi tahanan mana pun. Namun Morris mempunyai jalan keluar yang brilian. Halaman majalah yang disobek, dihancurkan di tempat cuci piring di selnya. Kemudian kertas tersebut dijadikan bubur kertas, dan dikeringkan dengan bentuk kepala orang.

Setelah kira-kira satu minggu, kepala palsu itu sudah cukup kering untuk dicat. Clarence Anglin yang bekerja sebagai pemangkas rambut di penjara menyelundupkan rambut-rambut untuk Morris, Rambut yang jenisnya sama dengan model rambut Morris itu memberikan sentuhan akhir yang sempurna. 

Morris juga menambahkan alis. Bila ditutup dengan selimut, dalam sel yang gelap, kepala itu akan terlihat sama seperti aslinya. Buntalan baju di balik selimut akan terlihat seperti bentuk tubuh. Akhirnya, prototipe kepala Morris selesai. Allen dan Anglin juga mulai membuat kepala palsu mereka .

Akhirnya, malam pun tiba, saatnya bagi mereka untuk naik ke atap. Morris menghabiskan sehari sebelumnya dengan mencoba mengatasi rasa khawatirnya. Bagaimana jika jalan ke atas atap ternyata telah ditutup? Bagaimana jika dinamo ventilasi telah diganti? Segala jerih payah mereka akan menjadi sia-sia. Hukuman dua belas tahun pun terbentang dalam benaknya.

Lalu bayangan buruk lainnya pun muncul. Lubang di dalam sel akhirnya tersingkap, artinya sekian tahun hukuman akan ditambahkan padanya.

Akhirnya, malam tiba, dan aktivitas dalam penjara perlahan-lahan mulai terhenti. Dengan penjagaan West, Morris meletakkan kepala palsu di atas bantalnya dan menyusup ke lubang yang telah dibuatnya, lalu menggeser tembok palsu dengan hati-hati.

Koridor di belakang tembok adalah tempat yang sempit dan lembap, dan dipenuhi bau busuk air laut yang mengalir di sepanjang pipa pembuangan kotoran. Di sekelilingnya adalah pipa saluran dan kabel-kabel, sementara debu dan kotoran ada di setiap tempat yang disentuhnya. Namun, berdiri di sebuah koridor sempit, ada rasa gembira besar di hati Morris, seperti seorang murid melakukan sesuatu yang dilarang keras oleh guru yang dibenci.

Ia harus menunggu beberapa saat, agar matanya terbiasa dengan keremangan ruangan. Kemudian ia memanjat ke atas, melewati pipa-pipa dan kabel-kabel yang berantakan untuk mencapai terowongan ventilasi. Terowongan itu ada di depannya, setinggi 1,5 meter dari atas atap, dengan sudut tajam berukuran 30 sentimeter.

Hal pertama yang disadarinya adalah ia memerlukan seseorang untuk mengangkatnya masuk ke dalam.

la pun memberi selamat pada dirinya karena telah memikirkan konsep lebih baik untuk melaksanakan rencana ini dalam sebuah tim daripada sendirian. Morris juga memperhatikan ada ruang yang cukup untuk beberapa orang di atas atap tersebut. Di tempat yang tidak terpantau penjaga penjara inilah yang merupakan tempat paling sempurna untuk menyembunyikan segala perlengkapan yang mereka perlukan untuk berenang ke daratan.

Malam berikutnya, Morris dan Clarence Anglin naik ke atap bersama. Clarence mengangkatnya masuk ke terowongan Namun, apa yang dilihat Morris di dalam sana membuat perutnya mulas. Memang, baling-baling kipas dan dinamonya telah dipindahkan, tetapi di sana telah dipasang palang dan terak besi sebagai gantinya. Penghalang yang tak terduga ini terbuat dari besi yang sangat kuat.

Pagi harinya, mereka memberitahukan kabar tersebut pada West."Kau pikir, apa yang akan kau temukan di atas sana?" katanya sinis. "Dua buah tiket ke Brasilia? Kita berhasil menjebol tembok tebal itu, tetapi beberapa jeruji jangan sampai menghentikan rencana kita."

West betul. Selama beberapa hari Morris berpikir memecahkan masalah tersebut, dan datang dengan solusinya Dua palang itu bisa dilekukkan dengan pipa yang ditinggalkan oleh tukang di koridor. Namun, terali besi merupakan masalah lainnya. Bor yang mereka miliki mungkin bisa membantu, tetapi suara yang ditimbulkannya akan sangat bising.

Yang mereka perlukan adalah sesuatu yang bisa memotong jeruji tersebut. Di bengkel ada sejenis senar karborundum (tali tipis dengan bubuk ampelas) yang digunakan untuk menggergaji benda logam. Akan dibutuhkan kerja keras beberapa jam memotong dengan senar itu, namun masih mungkin dilakukan.

Jadi, selama beberapa malam, secara berpasangan, keempat serangkai ini naik ke atas untuk menggergaji dan menggergaji. Tidak mudah, dan sangat menyakitkan, tapi akhirnya terali besi tersebut bisa disingkirkan. Morris pun terpikir untuk mengganti jeruji tersebut dengan sabun batangan yang dicat hitam. Ia tidak ingin ada penjaga yang memperhatikan bahwa jeruji itu sudah tidak ada.

*

Sekarang sudah pertengahan musim panas, tahun 1962. Segalanya sudah pada tempatnya, dan tidak ada waktu yang lebih baik untuk kabur sepanjang tahun itu. Tingkat kedinginan suhu air laut di sekeliling penjara merupakan yang paling mematikan dibanding waktu lainnya. Di kantin, mereka duduk bersama, berdiskusi kapan waktu yang terbaik bagi mereka untuk kabur.

"Aku rasa sekarang, dan John setuju denganku," kata Clarence Anglin. "Suatu saat, jas hujan yang kita simpan di atas akan ketahuan, dan lubang di sel pun tidak mungkin menjadi rahasia selamanya."

"Itu betul," kata West. "Tembok palsuku selalu bergeser di malam hari. Aku harus memperbaikinya dengan semen, jadi mari kita tetapkan sebuah tanggal, supaya aku punya cukup waktu untuk memperbaikinya."

"Kita akan berangkat kira-kira sepuluh hari lagi," kata Morris. "Aku akan berkunjung ke perpustakaan, dan meminjam buku tentang pasang surut laut. Air di teluk sangat berbahaya, jadi kita harus pergi pada saat yang tepat, kalau tidak kita akan mati."

Apa yang terjadi seminggu setelahnya sangat mengkhawatirkan. Setelah jam makan, sekembali ke sel masing-masing, para tahanan mendapati beberapa perbedaan. Posisi handuk dan buku yang berubah. Ini artinya sel mereka telah digeledah. Mungkin itu hanya pemeriksaan rutin, atau mungkin saja penjaga penjara telah mencium sebuah rencana pelarian.

Tiga hari setelah percakapan terakhir mereka dengan West, kakak beradik Anglin tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Sekitar jam sembilan malam tanggal sebelas Juni, Morris mendengar suara di balik temboknya. Itu suara John Anglin yang memberitahunya bahwa ia dan Clarence kabur SEKARANG. 

Sebelum Morris sempat mengutarakan pendapat, John sudah meninggalkan koridor. Sementara itu, di sel sebelah, West diserang rasa panik yang luar biasa. Tak siap, dan tersedak oleh rasa marah dan terkejut, ia mulai mengorek pinggiran dinding palsu yang dilapisi semen.

Morris membantunya mengawasi selama yang ia bisa. Saat itu lampu belum dimatikan, dan para tahanan masih belum bersiap untuk istirahat malam.

Sementara ini, dengungan percakapan dan aktivitas di sana masih bisa menenggelamkan suara yang ditimbulkan galian West. Namun, Morris tidak bisa tinggal lebih lama.

Saat lampu dimatikan, Morris harus pergi. Ia naik ke atas atap, meninggalkan West yang masih terus menggali. Kakak beradik Anglin sudah berada di atas sana menantinya. Tak ada gunanya berdebat tentang apa yang telah mereka lakukan terhadap West, pokoknya mereka harus melanjutkan rencana ini tanpa West.

John mengangkat Morris ke dalam terowongan. Saat ia memindahkan jeruji palsu yang terbuat dari sabun itu, wajahnya tersorot seberkas cahaya dari menara penjaga yang menyapu atap. 

Secara perlahan Morris memindahkan murnya. Tetapi angin meniupnya sampai jatuh ke lantai dan mengeluarkan suara. Seketika itu juga Morris diam membeku di dalam ventilasi. Ia sangat tegang sampai tak dapat bergerak. 

Ketiga pria itu diam dalam kegelapan malam, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Mereka mengira akan mendengar bunyi alarm, penjaga-penjaga yang datang memeriksa. Sementara, di bawah sana, seorang petugas patroli cepat-cepat melapor pada petugas piket.

"Jangan khawatir," katanya. "Banyak sampah di atas atap. Mungkin itu sebuah kaleng cat yang tertiup angin."

Sepuluh menit berlalu sebelum Morris dan Anglin bersaudara memutuskan situasi telah aman untuk bergerak lagi. Setiap orang menyusup ke luar atap secara perlahan dengan tiga atau empat jas hujan di pinggang mereka. 

Mereka mengedipkan mata karena cahaya yang menyilaukan dari mercusuar. Jauh dari ruang yang panas di penjara, udara malam terasa sangat dingin, dan kebekuan air laut yang asin tercium.

Rute yang harus dilalui dari atap menuju pantai disinari oleh lampu sorot dan diawasi oleh menara penjaga. Banyak yang harus dilakukan sebelum mereka bisa lolos dengan aman. Ketiga serangkai berlindung di bawah bayang-bayang, dan merayap ke atap. 

Morris naik ke pinggiran dinding ke atas pipa. Di bawahnya terbentang jarak 15 meter untuk sampai ke tanah. Ia bergerak sangat pelan, menghindari gerakan tiba-tiba yang bisa menjadi perhatian penjaga di menara. Lalu, ia turun dengan meluncur pelan di pipa, dan menunggu Anglin bersaudara di bawah. 

Jauh dari blok penjara, ketiga pria ini kabur melewati beberapa pagar dan tebing yang curam untuk sampai ke tepi pantai. Di seberang lautan, daratan hanya sejauh 2,5 kilometer.

Merayap di pasir yang lembap, menggigil karena angin laut, mereka mulai meniup jas hujan mereka dan membuat rakit, lalu menyeberangi teluk San Francisco yang dingin ...

Akhirnya, lewat tengah malam, West berhasil melepaskan tembok palsunya. la bergegas naik ke atas atap, namun Morris dan Anglin bersaudara telah jauh. Saat ia menjulurkan kepalanya keluar ventilasi, ia diganggu oleh sekawanan burung camar yang sangat berisik. 

Ia terpaksa kembali ke dalam sel diselimuti rasa panik. Ia menjalani masa tahanannya dengan rasa penasaran apa yang akan terjadi jika saja Anglin bersaudara terlebih dahulu memberitahunya tentang keberangkatan mereka. Mungkin ia sudah berada di sebuah bar dengan minuman dingin dan gadis cantik. Mungkin ia terbaring di dasar teluk San Francisco, sementara kepiting memakan tulang pipinya yang putih.

 

Setelah Pelarian

Pagi harinya, para penjaga yang bertugas membangunkan, mereka hanya menemukan kepala palsu di tempat tidur kosong. Penjaga lainnya teringat akan suara yang mencurigakan pada malam sebelumnya, dan memperkirakan mereka melarikan diri sekitar pukul sepuluh malam. Itu memang waktu yang paling baik untuk kabur. 

Air teluk tenang, arusnya pun tepat. Jika buronan itu selamat dari dinginnya air laut, mereka punya banyak kesempatan untuk mencapai daratan.

Perahu, tentara dan penjaga dengan anjing pelacak dikerahkan untuk mencari mereka. Setelah dua hari penuh, mereka kembali membawa satu plastik yang penuh dengan foto keluarga milik Clarence Anglin.

Setelah itu, nihil. Tidak seorang pun. Tidak sehelai pakaian pun. Tidak seberkas bayangan pun. Tiga serangkai tersebut mungkin saja terseret arus dan tenggelam ke dasar laut, tapi mungkin pula mereka telah berhasil lolos. Bahkan mungkin mereka masih hidup sampai hari ini.

Kisah pelarian dari Alcatraz langsung menjadi berita nasional, dan merupakan hal yang memalukan bagi pihak berwenang Alcatraz. Kepala penjaga Olin Blackwell harus mengakui bahwa struktur tembok beton memang bisa ditembus, dan ini memungkinkan tahanan untuk menggalinya dari dalam sel.

Pada saat pelarian, banyak perwira pemerintah merasa bahwa penjara itu telah dipakai lebih lama daripada seharusnya, maka pada tahun 1963 seluruh tahanannya dikeluarkan dari pulau dengan kapal dan dibubarkan atas dasar hukum Amerika.

Pada 1979, Clint Eastwood memerankan Frank Morris dalam film Escape from Alcatraz, yang kebanyakan adegannya diambil di pulau Alcatraz. Perusahaan film menghabiskan dana sebesar USD 500.000 untuk mendekor ulang penjara yang telah ditutup selama 16 tahun.

Kebanyakan aktor film tersebut menjadi sakit yang malah membuat akting menjadi mereka begitu nyata. Film tersebut membawa cerita Morris dan Anglin bersaudara ke mata dunia. Sampai hari ini, Alcatraz masih merupakan objek wisata yang terkenal. 

Keluarga Anglin mengaku mereka menerima kartupos dari saudara mereka yang dikirim dari Amerika Selatan, namun tidak pernah memberikan bukti nyata. Morris yang tidak memiliki keluarga dekat, menghilang tanpa jejak. Allen West tidak pernah memperoleh kebebasannya. Ia meninggal di penjara di Florida, tahun 1978. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)




" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355985/kabur-dari-alcatraz" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700464000) } } }