array(18) {
  [0]=>
  object(stdClass)#117 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3753277"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#118 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/26/siapakah-pembunuh-petani-kaya-it-20230526103137.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#119 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(131) "Seorang petani kaya tewas mengenaskan di rumahnya saat beristirahat. Saksi mata mengungkapkan ciri-ciri pembunuh sekaligus pencuri."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#120 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/26/siapakah-pembunuh-petani-kaya-it-20230526103137.jpg"
      ["title"]=>
      string(33) "Siapakah Pembunuh Petani Kaya Itu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-05-26 10:31:46"
      ["content"]=>
      string(30284) "

Intisari Plus - Seorang petani kaya tewas mengenaskan di rumahnya saat beristirahat. Saksi mata mengungkapkan ciri-ciri pembunuh sekaligus pencuri. Namun begitu tertuduh ditangkap, ia mengaku tidak membunuh si petani.

---------------

Agak jauh dari sebuah desa, di Hutan Thueringen ada sebuah rumah yang sepi. Pemilik rumah, seorang petani yang kaya, hidup bersama istri dan pembantunya di rumah yang terpelihara dengan baik.

Selain seorang miskin yang hidup dengan keluarganya di dekat jalan kecil yang memisahkan gubuknya dari rumah petani tadi, tidak ada tetangga seorang pun di dekat situ. Anak gadis si miskin sering datang ke rumah petani untuk membantu-bantu dengan upah kecil. la mempunyai kunci pintu belakang, sehingga setiap kali dapat masuk, meski tidak ada orang di rumah. Tugasnya antara lain harus menutup meja untuk makan malam.

Jika si petani kaya sedang berada di ladang dengan istri dan pembantunya, ia tidak khawatir, sebab rumahnya dijaga dengan baik. Tidak saja si gadis itu di rumah, tetapi ia juga mempunyai seekor anjing yang galak. Si anjing akan menggigit atau menggonggong jika ada orang yang mendekat. Jika orang yang mendekat itu dikenalnya, anjing segera akan berhenti menggonggong, jika tidak maka binatang itu akan terus menggonggong sampai orang yang mendekat itu pergi lagi ataupun si gadis datang melihat.

Pada suatu hari mendung di masa panen, petani sedang berada di ladang dengan istri dan pembantunya. Sejam sebelum hari gelap, petani yang sudah beberapa hari tidak merasa enak badan pulang ke rumah. Istri dan pembantunya tinggal di ladang untuk meneruskan pekerjaan selama hari belum gelap betul.

Sampai di rumah, petani seperti biasa meninggalkan kunci tergantung di sebelah dalam sesudah ia membuka pintu rumah yang terkunci. Ia mengambil selimut untuk menghangatkan diri dan sambil menutup kakinya ia tidur-tiduran di kursi panjang di kamar duduk. Mungkin ia segera tertidur.

Si gadis kecil di dalam gubuknya di dekat jalanan, tidak mengetahui bahwa petani datang lebih pagi. Akan tetapi ia telah mendengar anjing menggonggong, tidak lama sebelum hari menjadi gelap. Anjing menggonggong dengan keras. Waktu tidak lama kemudian anjing berhenti, ia menyangka bahwa hanya ada seseorang yang lewat saja, jadi ia tidak memperhatikan kejadian itu lagi.

Sebetulnya anjing menggonggong karena ia memberitahukan bahwa ada seorang yang tidak dikenal mendekat. Ia berhenti menggonggong karena dibunuh. Kemudian orang menemukan binatang itu tergeletak dan leher dipotong. Bahwa binatang yang kuat dan galak itu dapat dibunuh, bisa dijelaskan. Si pelaku telah memberikan sepotong daging beracun yang segera mematikannya atau membuatnya tidak berdaya. Mungkin sesudah itu lehernya dipotong.

Dari gudang, yang terletak di belakang rumah, penjahat mengambil tangga dan masuk rumah dari atas genteng. Dari tingkat atas rumah, ia turun tangga masuk rumah. Di dapur yang dilewatinya, ia mengambil kapak milik petani dan kemudian masuk kamar duduk di mana petani sedang tidur di kursi. Dengan pukulan yang hebat (tampak tidak ada pergulatan), ia memukul kepala lelaki yang sedang sakit itu. Di kursi, selimut, pakaian, dan di lantai, terlihat banyak darah. Sesudah itu ia telah membuka semua peti dan lemari dan merampok semua barang yang mudah dijual.

Selesai menguras barang, ia pergi lewat jalan yang sama. Di tingkat atas, ada beberapa potong daging asap yang tergantung. Ia mengambil daging babi dan menyembunyikannya di bawah mantel dan turun tangga. Waktu ia sedang turun di tangga kelima, ia melihat ke sekelilingnya dan tampak olehnya seorang gadis yang terbelalak terkejut memandangnya. Si pembunuh langsung meloncat dari tangga. Pada waktu itu si gadis melihat barang besar di bawah mantel - daging babi tadi - yang disembunyikan. Kemudian penjahat mendekati gadis, memandangnya dengan pandangan yang mengerikan dan lari tanpa berbuat apa-apa.

Gadis yang ketakutan itu jatuh tersungkur. Dengan mukanya ditekankan ke rumput ia tergeletak di situ. Waktu ia sudah ingat kembali, ia tidak berani masuk rumah. Akan tetapi mereka yang di ladang tidak lama kemudian pulang. Kepada mereka si gadis menceritakan bahwa ada orang yang turun dari genteng dan melarikan diri. Istri petani dan pembantu yang sudah dikejutkan melihat anjing mati, masuk ke dalam rumah, diikuti oleh si gadis yang gemetar. Apa yang mereka lihat di kamar duduk yang ditata dalam warna kuning, mengejutkan sekali. Sang petani dalam keadaan setengah duduk, telah terpeleset dari kursi dan nampak mempunyai luka dalam. Muka dan pakaian semua terkena darah. Kunci-kunci dirusak, laci-laci setengah ditarik. Kapak alat pemukul maut, tersandar di tembok dekat pintu.

Petugas keamanan dan polisi dari desa terdekat segera dipanggil. Mereka juga lekas sampai di tempat kejadian dan mulai mencari jejak si penjahat. Berpuluh orang ikut mencari.

Karena kesaksian si gadis, maka waktu kejahatan dapat ditentukan dengan tepat. Ia telah mendengar anjing menggonggong dan kira-kira setengah atau tiga perempat jam kemudian melihat si penjahat turun dari genteng melalui tangga. Ia juga dapat mengatakan bagaimana rupa orang itu. Sangat tinggi, dan kurus. Muka pucat tidak berjenggot. Ia memakai setelan warna hijau kumal yang agaknya kebesaran. Topi kegelap-gelapan dengan pinggiran lebar. Di lehernya ia memakai syal yang kebiru-biruan. Di bawah mantel sebelah kiri ia menyembunyikan barang yang besar. Sebagai ciri khas, gadis itu menyebut bahwa ia berjalan sambil menyeret kaki kiri. Ini ia perhatikan benar, waktu penjahat mendekatinya dan waktu ia lari lagi. Waktu diperiksa lebih lanjut, dipastikan bahwa dari tingkat atas rumah, hilang sepotong besar daging babi yang telah diasap.

Ciri-ciri ini segera saja diteruskan tetangga dari mulut ke mulut. Seorang penjual roti mengatakan bahwa ia telah menjual roti pada seseorang yang berciri sama waktu hari mulai gelap. Begitu pula seorang pemilik bar, mengatakan bahwa ada seorang yang rupanya demikian, meminta segelas anggur dan meminumnya di muka pintu tapi tidak masuk ke ruangan penjualan. Ia memang langsung merasa curiga melihat orang tadi, sebab ia mempunyai sesuatu di bawah mantel dan ia juga memperhatikan cara jalannya yang diseret.

Pencarian pembunuh tidak membawa hasil. Ketika malam tiba, polisi memberhentikan pencarian untuk sementara waktu.

Akan tetapi di pagi hari beberapa petani yang pergi ke ladang telah menemukan seseorang jalannya menyeret kaki, hati-hati melihat ke kanan-kiri di sebuah hutan kecil. Mereka menangkapnya dan dibawa ke polisi. Waktu ia dihadapkan kepada si gadis, maka gadis tadi mengenalnya kembali. Juga apa yang dikatakannya benar. Ia memakai topi yang berpinggiran lebar, pakaian yang kumal dan kebesaran, syal yang kebiru-biruan. Ia tidak memakai rompi. Rupa mukanya seperti orang yang kurang sehat, agak abu-abu kekuning-kuningan, jenggotnya mulai tumbuh dan ia menyeret kaki kiri.

Sementara itu seorang penjual daging dari desa kecil lain menyatakan, bahwa tidak pada hari kejahatan, akan tetapi sehari sebelumnya, pada waktu menjelang malam, seorang gelandangan telah membeli sisa-sisa daging untuk beberapa pfennig.

Kemudian orang tadi dihadapkan ke penjual roti, pemilik bar, dan penjual daging. Penjual roti dan pemilik bar segera saja mengenalnya kembali. Dialah orangnya yang mereka lihat malam sebelumnya. Tetapi penjual daging ragu-ragu. la mengatakan bahwa orang yang membeli sisa-sisa daging, nampak sebagai seorang yang sangat lapar. Lagi pula hari sudah gelap. la persis hendak menutup toko dan tidak menyalakan lampu lagi. la mengatakan, mungkin orangnya sama dengan yang dihadapkan kini dan ia juga ingat bahwa orang itu tidak berjenggot. Tetapi ia tidak memperhatikan bahwa orang itu menyeret kaki kalau berjalan. Memang, ia tidak memperhatikannya benar-benar dan si pembeli agaknya tergesa. Begitu mendapat daging, ia segera pergi.

Yang dituduh melakukan pembunuhan tidak mengaku. Ia mengatakan, bahwa ia pada hari sebelumnya, datang dari kota di dekatnya dan seharian mengemis di jalan raya. Ia tidak pernah berjumpa dengan keempat saksi dan sama sekali tidak mengenal mereka. Waktu hari mulai gelap, ia mencari tempat di hutan, dari mana orang melihatnya keluar, dan tidur di alam bebas. Pada waktu kejadian ia sedang tidak di situ. Apa yang telah terjadi pun, baru ia ketahui sesudah ditahan. Selanjutnya ia tidak mau mengatakan siapa dia. Waktu ia digeledah, tidak ditemukan sesuatu, tidak ada surat-surat keterangan, tetapi tidak ada pula yang mencurigakan. Pada lapisan dalam mantelnya ada noda-noda lemak yang baru, yang tidak dapat diterangkannya. Tetapi tidak diketemukan noda-noda darah pada pakaian dan sepatu botnya yang kasar.

Akan tetapi waktu hutan kecil diteliti lebih lanjut, orang menemukan suatu tempat yang tanahnya agaknya baru digali dan ditutup kembali. Tanah digali dan diketemukan daging babi asap yang dibungkus dalam rompi si penjahat. Daging sudah diambil sepotong besar. Meskipun ada bukti yang nyata ini ia tetap tidak mengaku dan masih saja tidak mau mengatakan siapa dia sebenarnya.

Pembuktian identitas seseorang di masa itu adalah sesuatu yang sukar dan dilakukan dengan cara sederhana dan memakan waktu. Minggu dan bulan berlalu, akhirnya diketahui siapa orang ini. Ia ternyata bernama Christian B., seorang penjahat ulung yang kurang ajar. Laki-laki itu, meskipun belum berusia 40 tahun, sudah dihukum 12 tahun di penjara. Semua hukuman disebabkan perampokan, penyiksaan dan lain sebagainya. Hukuman yang terakhir, 5 tahun penjara, juga karena perampokan besar. Ketika itu ia memukul korban dengan kayu besar hingga luka berat di kepala. Baru 5 hari sebelumnya ia dikeluarkan dari penjara. 

Karena bukan pekerja yang rajin saat di dalam penjara, ia tidak mempunyai simpanan. Dengan uang beberapa mark, yang diberikan kepadanya waktu dibebaskan, ia pergi berkelana. Dapat dibuktikan bahwa di sana-sini ia telah menawarkan diri untuk kerja kasar. Namun ia tidak diterima di mana-mana karena ia tidak mempunyai surat-surat keterangan yang dapat ditunjukkannya. Dengan demikian ia pergi kian kemari, sambil menahan lapar dan melihat-lihat. Hingga suatu hari ia sampai di Thueringen, di mana ia ingin menemui kenalan lama dari penjara. Ia ingin membicarakan apa yang dapat dikerjakan.

Waktu diberitahu bahwa masa lalunya sudah diketahui, ia memutuskan untuk berhenti berdusta. Akan tetapi Christian B. hanya mengaku apa yang memang tidak dapat diingkari. Ia mengaku bahwa telah mencuri daging babi asap dari tingkat atas rumah si petani. Ia berbuat demikian karena lapar. Uang yang hanya sedikit sudah hampir habis. Waktu ia kebetulan lewat rumah petani, ia melihat sebuah tangga disandarkan ke lubang di genteng. Kelilingnya tenang, tidak ada seorang pun. Ia juga tidak mendengar anjing yang katanya bergonggong. Ia naik tangga, mengambil daging babi dan pergi. Ia juga mengaku, bahwa ia telah membeli sepotong roti di penjual roti dengan sisa uang dan juga segelas anggur. Itu yang benar-benar terjadi.

Percobaan berkali-kali untuk memaksa mengaku tidak berhasil. Ia tergolong penjahat kakap yang memang tidak pernah mengaku, kalau tidak dapat dibuktikan dengan benar. Jadi akhirnya ia hanya mengaku mencuri daging babi dan apa yang bersangkutan dengan pencurian itu, tidak lebih.

Tetapi sesudah diketahui siapa dia, maka hal itu tidak lama dapat dipertahankannya, karena apa yang telah terjadi, sudah terang sampai ke detail-detailnya.

Dengan tuduhan pembunuhan, si gelandangan dihadapkan ke hakim. 

Jaksa, seorang yang serius dan bertanggung jawab, membubuhkan fakta demi fakta hingga merupakan rantai kuat yang seakan-akan melilit leher tertuduh. Bahwa tertuduh melakukan perampokan dan pembunuhan, telah dibuktikan dengan keterangan si gadis. Ia telah melihat si pelaku turun tangga dari lubang di genteng dengan daging babi asap yang telah dicurinya, tidak lama sesudah kejadian. Bahwa keterangannya itu dapat dipercaya sudah terbukti dalam setiap fakta lain. Hanya karena penglihatan yang tajam dan kepandaian melukiskan orang, maka penangkapan perampok sekaligus pembunuh dapat dilakukan dengan segera. Daging babi asap yang dibungkus di dalam rompi, yang dikuburkan di hutan, yakni hasil perampokan yang nyata, melengkapkan pembuktian, jika masih dibutuhkan tambahan bukti pada pernyataan gadis yang dapat dipercaya itu.

Bahwa tidak ditemukan uang yang dirampok serta barang-barang berharga lain pada tertuduh, yang di waktu penangkapannya hanya mempunyai uang beberapa sen, tidak dianggap memberatkan. Seseorang yang mampu menanam daging babi asap, tentu dapat juga menanam uang dan emas. Sayang sekali bahwa hujan lebat yang terus-menerus, telah menghapuskan semua jejak, hingga pencarian barang-barang tadi tidak berhasil.

Juga dapat diterangkan, mengapa di pakaian tertuduh tidak ada noda-noda darah. Dari luka yang besar, begitu diterangkan Jaksa, darah telah dilokalisasi. Hanya pada mayat sendiri, pada kursi tempat duduk korban, pada selimut yang dilipat di atas kaki dan di lantai dekat kursi ada bekas darah. Selain daripada itu masih ditemukan noda darah pada besi kapak. Sedangkan pemeriksaan yang sangat teliti pada bagian pegangan dari kayu, tidak membuktikan adanya cipratan darah.

Menurut Jaksa, ini bukan kejadian pembunuhan kebetulan, tetapi pembunuhan dengan perencanaan dan pemikiran. Pembelian sisa daging, sehari sebelumnya, yang agaknya tidak ada maksud lain selain akan diberikan pada anjing petani yang galak. Menurut pemeriksaan kimiawi, daging itu telah dibubuhi racun keras. Hal ini menguatkan sangkaan, bahwa ini suatu perbuatan yang direncanakan dengan darah dingin. 

Dapur di mana Christian B. telah mengambil kapak, masih berada di dalam keadaan yang sama seperti pada hari sebelum kejadian. Tidak ada kursi atau bangku yang digeser. Jadi tidak mungkin bahwa si pelaku melarikan diri dalam keadaan sangat bingung dan mengambil alat apa saja seperti pada kejahatannya yang sebelumnya, yang mempergunakan alat berupa kayu yang besar. la malahan dengan perhitungan yang dingin, telah memilih alat pembunuhan dengan teliti. Hasil pemeriksaan jenazah telah membuktikan bahwa tidak terjadi perlawanan sebelumnya. Berarti si pembunuh telah masuk kamar duduk dengan kapak di tangan dan telah membunuh petani yang sedang tidur dan sakit dengan pukulan-pukulan keras yang tertuju. Perampokan dan pembunuhan yang kurang ajar dan keji, lain tidak. Dengan penuh keyakinan dan dengan suara yang terharu tapi bernada resmi, Jaksa meminta hukuman mati bagi tertuduh.

Pembela sukar menjalankan pekerjaannya. Juga padanya tertuduh diam jika ditanya. Perihal kesaksian bahwa ia turun tangga dengan daging babi asap, ia tetap menyatakan bahwa si gadis salah melihat. Ia sama sekali tidak berada di dekatnya. Ia juga mengatakan tidak pernah berada di tingkat bawah rumah. 

Pembela melukiskan kliennya sebagai seseorang yang sudah rusak sama sekali. Ia tidak akan meminta belas kasihan yang tidak pada tempatnya bagi orang ini. Akan tetapi Jaksa tidak berhasil membuktikan pembunuhan. Harus dipikirkan keadaan orang itu pada hari kejadian. Baru saja ia dibebaskan dari hukuman penjara yang lama. Ia boleh dikatakan tidak mempunyai uang waktu dibebaskan. Uang sedikit yang diberikan kepadanya dalam beberapa hari habis, tinggal sedikit. Ia tidak berhasil di mana-mana. Ia kian kemari di jalan raya, tidur di alam bebas, ia lapar. Bahwa pada seorang seperti tertuduh, datang pemikiran untuk mengambil apa yang diperlukannya untuk hidup dan yang kini tidak mungkin didapatnya dengan jalan jujur, dapat dimengerti. 

Akan tetapi sebagaimana pada perampokannya yang sebelumnya, ia juga tidak perlu merencanakan pembunuhan kali ini. Dapat dipercaya, bahwa ia hanya naik ke atas tangga untuk mencari makanan. Lalu karena ia melihat bahwa di rumah tenang, ia mungkin timbul pemikiran untuk mendapatkan lebih. Meskipun pernyataan tertuduh ia tidak pernah berada di ruangan-ruangan bawah merupakan sesuatu yang tidak wajar, akan tetapi bukankah ada kemungkinan bahwa sewaktu ia berada di ruangan-ruangan itu ia tiba-tiba berhadapan dengan petani? Apa yang kemudian terjadi, tidak diketahui pihak yang menuduh dan kami yang membela.

Bagaimana bisa dibuktikan bahwa ia telah mengambil kapak dari dapur dan membunuh korban yang sedang tidur? Bukankah dapat juga dibuat hipotesis, bahwa petani sendiri sudah mengambil kapak dan membawanya ke kamar untuk sesuatu maksud, bahwa ia terbangun oleh masuknya gelandangan, berteriak meminta tolong dan pingsan di kursi. Lalu kemudian tertuduh mengambil kapak dan tanpa pikir panjang dan karena khawatir akan keselamatannya lalu memukul dengan sekeras-kerasnya? 

Bukankah itu kemungkinan-kemungkinan yang patut diperhitungkan jika menyangkut nyawa orang? Selain itu, banyak hal yang belum dapat diterangkan. Tidak dapat dibuktikan, bahwa tertuduh yang telah membeli daging, membubuhi racun dan dengan itu membunuh anjing yang galak. Sebab selain daging babi asap, tidak ditemukan uang tunai yang banyak ataupun apa-apa yang berharga padanya, meskipun katanya hasil rampokan lumayan juga. Di antara yang dicuri, katanya ada sebuah karung dengan mata uang perak besar dan kecil. 

Bahwa seorang penjahat yang sudah lihai dapat menahan diri dan tidak mencoba menjual sedikit dari mata-mata uang itu, untuk dapat makan lagi, adalah mustahil. Jaksa tidak mengindahkan bahwa tidak ada darah sedikit pun pada pakaian dan badan yang tertuduh. Dan juga tidak dapat dimengerti, mengapa si pelaku tidak pergi melalui pintu ruangan bawah yang tidak terkunci, melainkan memilih jalan yang lebih sukar dan berbahaya melalui tangga. Pembela tidak mau menarik kesimpulan dari detail-detail tadi, bahwa pelaku sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembunuhan petani. Namun ia harus mengatakan bahwa bukti membunuh dengan maksud dan rencana yang diajukan oleh pihak penuduh, sama sekali tidak dapat dipertahankan. Pembela meminta dengan sangat pada juri agar tidak usah mempertimbangkan hal tadi.

Sesudah penuduhan yang berjalan lama dari pihak Jaksa dan pengkajian hukum dari pihak Hakim, maka sidang ditutup. Juri menarik diri untuk berunding. Sesudah berunding sebentar, maka keputusan diumumkan. Pertanyaan apakah tertuduh bersalah membunuh dijawab dengan ya dan tertuduh dihukum mati oleh pengadilan sesuai permintaan Jaksa. Hukuman mati kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Waktu berlalu. Maka terjadilah di sebuah penjara jauh dari Thueringen, di Schlesien, suatu hal yang aneh. Seorang penjahat tua, terkenal dengan nama Schusterfriedel, yang sebagian besar hidupnya berada di dalam penjara, merasa bahwa ajalnya mendekat. Sesudah diakui oleh dokter penjara bahwa untuknya sudah tidak ada harapan lagi, ia ingin berjumpa dengan direktur atau inspektur penjara, karena ia akan memberikan keterangan yang penting. 

Permintaan itu segera dikabulkan. Direktur dan pastor duduk di tempat orang yang sekarat. Ia dengan kekuatan terakhir mencoba duduk dan mulai berbicara dengan terang meskipun dengan suara lemah.

“Saya tahu bahwa saya harus segera meninggalkan dunia fana ini. Maka saya ingin mengaku yang sebenarnya sudah lama ingin saya katakan. Tetapi saya tidak berani. Kini tidak ada yang saya takutkan lagi.

Sudah lama sekali di Thueringen dibunuh seorang petani. Kini saya mengaku, saya pembunuhnya. Akan tetapi orang lain yang ditangkap dan kini masih di dalam penjara, jika ia belum meninggal.

Waktu itu saya dalam keadaan buruk, seperti sudah selalu dalam hidupku. Saya tidak mempunyai rumah, tidak ada yang dimakan. Di dekat situ saya pernah diberi pekerjaan, tetapi diberi bayaran dan disuruh pergi. 2 hari saya kian kemari di situ dan mendengar bahwa di rumah yang sepi di jalan kecil, yang sudah menarik perhatian saya, berdiam seorang petani kaya, yang sudah tua. Jika ia sedang banyak kerja di ladang, maka rumah hanya dijaga oleh seekor anjing galak dan seorang gadis dari rumah tetangga. Gadis itu tidak saya takuti dan saya mengerti perihal anjing. Saya pernah meminta racun dari seorang teman lama di Waldheim. Ia bekerja di tempat obat-obatan. Hal semacam itu harus selalu dimiliki. Beberapa kali saya malahan ingin menggunakannya sendiri.

Pada suatu sore saya membeli sisa-sisa daging dari seorang penjual daging dan memasukkan racun di dalamnya. Nah, hari berikutnya saya mendekati rumah. Saya hanya mempunyai linggis tua, sebilah pisau, dan sepotong daging. Saya sangat hati-hati mendekati rumah. Akan tetapi anjing segera mencium saya. Saya mendengarnya menggonggong. Kemudian saya mendekatinya. Ia segera menggonggong dengan keras. Saya melemparkan daging ke moncongnya. Anjing terdiam dan memakannya. Ia hanya masih bergerak sedikit saja. Lalu tergeletak dan mati. Agar tidak ragu lagi, saya masih memotong lehernya.

Saya menyangka bahwa semua berada di ladang dan mengelilingi rumah. Pintu-pintu depan dan belakang ditutup. Di dalam gudang di belakang rumah saya menemukan tangga yang besar. Saya menyandarkannya ke rumah, membuka genteng dan masuk. Saya segera ke bawah. Saya harus melalui dapur. Di situ ada kapak. Dan oleh karena linggis saya sudah tua, saya membawa kapak itu. Saya tahu bahwa dengan alat itu saya akan lebih mudah mencuri.

Waktu saya perlahan-lahan membuka pintu kamar duduk, maka dengan terkejut saya melihat petani sedang tidur di kursi panjang. Sejenak saya masih ragu-ragu apakah saya akan berbalik saja atau tidak memedulikan petani itu. Akan tetapi saya sudah telanjur masuk. Saya melihat bufet dan peti kayu dan segera mengetahui: di situ akan ditemukan sesuatu! Saya berpikir si tua toh tidurnya nyenyak. Dan mungkin saya sudah dapat membuka satu tempat tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi waktu saya hendak memasukkan linggis, si tua bangun. Mungkin saya terlalu ribut. la seperti terpaku karena terkejut, hendak berdiri, tetapi terduduk kembali di kursi dan berteriak keras-keras.

Apa yang harus saya perbuat? Kapak saya pegang. Saya tidak berpikir panjang dan membuatnya diam. 

Kini saya tidak diganggu lagi. Saya masukkan linggis ke tempatnya dan dengan kapak mencungkil bufet dahulu kemudian yang lain. Saya mengambil apa yang dapat saya pakai. 

Waktu selesai mengerjakannya, saya pergi ke jendela untuk melihat apakah saya dapat mengundurkan diri dengan tidak terganggu. Lalu saya melihat bahwa ada orang lain naik tangga. Saya segera mengetahui apa yang diinginkannya. Tadinya saya ingin melarikan diri. Tetapi pintu terkunci! Kemudian saya berpikir-pikir apakah saya pergi saja lewat jendela. Tetapi kalau demikian saya harus merusakkan silang jendela dan itu tentu akan didengar orang yang baru naik, mungkin juga seorang tetangga atau yang sedang lewat.

Jadi saya memutuskan untuk sementara diam di tempat dan menunggu. Mungkin orang yang ada di atas itu dapat diajak bicara. Jika tidak harus dilawan saja. Waktu itu saya masih kuat dan tidak takut. Untuk berjaga-jaga saya mengambil lagi kapak tadi dan merapat ke dinding, dekat pintu. Saya mendengar dengan nyata bagaimana ia berjalan-jalan di atas. Tetapi tidak lama. Hanya beberapa menit saja. Lalu diam. Di tangga tidak ada suara.

Apakah orang itu sudah selesai? Saya melihat dari jendela. Dan betul juga, saya melihat bahwa ia turun tangga lagi. Perlahan-lahan dan hati-hati. Sebab ia mempunyai sesuatu di bawah mantel. Ia melihat kanan-kiri. Waktu ia hampir di bawah, ia berhenti, meloncat dan pergi lari. Saya tidak dapat mengamatinya lama-lama, sebab halaman dikelilingi oleh semak-semak di dekat jalan. Apakah ia mengambil jalan kecil atau lewat ladang, saya tidak mengetahuinya. Saya masih menunggu beberapa waktu. Tidak ada yang bergerak, saya tidak mendengar suara. Nah, kini waktunya. Saya ingin mencoba apakah saya dapat keluar dari bawah. Saya pergi ke ruang muka dan melihat bahwa kunci tergantung di pintu. Saya membuka pintu dan tenang-tenang pergi. 

Tidak jauh dari pagar saya melihat seorang gadis kecil berbaring. Ia tertelungkup dan tidak bergerak. Saya menyangka bahwa ia tidur. Kemudian saya ke arah lain dan berjalan sampai hari gelap. Antara jam 8 dan 9 malam saya sampai di sebuah desa. Di restoran saya makan malam. Si pemilik restoran membiarkan saya tidur di gudangnya.

Pagi berikutnya saya mencari keterangan di manakah ada stasiun terdekat. Dengan kereta api pertama saya pergi ke kota yang lebih besar yang letaknya kira-kira satu jam dengan kereta api dari desa tadi. Di kota ini saya membeli sepasang sepatu bot dan dari tukang loak yang lewat saya membeli jas. Kini rupa saya agak lumayan dan mulai mencari pekerjaan.

Dari majikan saya yang sebelumnya saya mendapat surat keterangan dan dengan surat itu saya untuk sementara mendapat kerja sebagai kuli harian, membantu panen. Tetapi saya selalu tidak tenang. Saya ingin mengetahui bagaimana akhirnya kejadian dengan petani yang dibunuh. Saya senang bahwa sesudah seminggu saya dilepas kerja. Saya meminta keterangan bahwa saya telah bekerja dengan baik dan pergi lagi. Saya harus mengetahui, bagaimana kesudahannya, di sana, di mana saya pernah singgah.

Malam harinya saya duduk di kedai desa di dekat situ. Dan saya mendengar apa yang diceritakan orang-orang. Mereka hanya membicarakan kejadian itu. Saya mendengarkan dan hati-hati ikut dalam pembicaraan. Oleh karena saya disangka seorang asing dan tidak mengetahui duduk perkara, mereka sekali lagi menceritakan dari permulaan. Seorang gadis telah melihat si pembunuh turun tangga dari genteng, ia telah melihatnya dengan begitu jelas, hingga ia dapat melukiskannya. Orang itu ditangkap dan apapun yang dikatakan tidak menolongnya, karena daging babi asap yang telah dicurinya dan telah dikuburnya, telah ditemukan.

Nah, pikirku. Kalau mereka sudah menangkapnya, maka saya tidak usah takut.

Pada pagi berikutnya saya tenang-tenang pergi dan oleh karena saya mempunyai cukup uang untuk hidup senang, saya pergi ke Berlin. Saya mengenal keadaan di situ dan mengetahui di mana teman-teman lama berada. Jika saja saya tahu diri, maka saya dapat hidup baik beberapa lama, akan tetapi saya tidak demikian. Dan teman-teman baik serta pemilik-pemilik penginapan yang jahat menipu saya. Dan saya pun kurang hati-hati. 

Saya ingin hidup dan mengeluarkan banyak uang untuk perempuan dan kenalan lama, sehingga tidak lama kemudian, semua habis. Nah, waktu sudah habis semua, apa yang harus saya kerjakan tidak usah saya ceritakan pada Anda lagi. Anda pun mengetahui, apa yang menyebabkan saya sampai di sini. Dan kini Anda juga mengetahui apa yang masih hendak saya katakan, untuk meringankan pikiran saya.” 

Pengakuan itu segera dituliskan oleh kedua saksi, masih dapat dibacakan kepada yang sekarat dan ditandatangani olehnya. Malam berikutnya ia meninggal.

Pengadilan tentunya sudah menimbang dengan baik, waktu mereka telah menghukum seorang pencuri daging babi asap yang malang sebagai seorang yang merampok dan membunuh. Mereka malahan memberi keringanan dan merubah hukuman mati ke dalam hukuman penjara seumur hidup!

Kini segera diadakan proses ulang dan orang yang tidak bersalah dibebaskan kembali. 

la telah menjadi korban bukti-bukti, salah satu dari banyak korban, yang pernah ada dan yang akan selalu ada lagi, sebab baik apa yang terlihat, maupun pemikiran logis tidak luput dari kesalahan.

(Paul Lindau

Baca Juga: Cinta Segitiga

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553753277/siapakah-pembunuh-petani-kaya-itu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685097106000) } } [1]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3752745" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/16/siapakah-pembunuh-ewaldjpg-20230516062420.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "Seorang pekerja miskin dijatuhi hukuman mati. Setelah hukuman dilaksanakan, muncul fakta jika si pekerja kasar tidak bersalah." ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/16/siapakah-pembunuh-ewaldjpg-20230516062420.jpg" ["title"]=> string(24) "Siapakah Pembunuh Ewald?" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-16 06:24:38" ["content"]=> string(42896) "

Intisari Plus - Seorang pekerja kasar miskin asal Polandia dijatuhi hukuman mati setelah dituduh membunuh anaknya yang masih kecil. Setelah hukuman dilaksanakan, muncul fakta jika si pekerja kasar tidak bersalah. Lalu siapa yang membunuh anak malang itu?

--------------

Daerah termiskin di Jerman, di Ratzeburger Heide, di sebelah barat daya kota Luebeck, ialah desa Palingen. Di tepi desa itu terdapat rumah paling miskin, yang dinamakan “Heidekaten”. Dahulu rumah reyot itu memang dipakai sebagai penginapan orang-orang miskin, akan tetapi pada tahun 20-an didiami oleh orang-orang yang lebih miskin lagi. Mereka sama sekali tidak mendapat sokongan apa pun. Mereka itu adalah keluarga Kreutzfeldt yang beranggotakan lima orang dan keluarga Nogens yang mempunyai tujuh orang anggota keluarga. 

Bapak Nogens sudah meninggal dan anak yang tertua bekerja sebagai buruh di sebuah desa yang jauh letaknya dan tidak membantu keluarga. Anak kedua, Wilhelm, hampir selalu berada di penjara. Ibu Nogens harus menjaga anak ketiga Fritz yang kerjanya gelandangan saja. Ida mempunyai dua orang anak haram, Hannes agak terbelakang, dan Gertrud baru berumur 9 tahun.

Bagi mereka semua itu hanya tersedia ruang masak yang tidak berjendela sebesar 2x3 m dan dua buah kamar kecil-kecil berukuran 3x3 m. Ibu Nogens pagi hari bekerja dan tidak dapat mengawasi anak-anak. Ia pun tidak mau, ia hanya sibuk mencari seorang suami lain.

Kondisi miskin itu pun ditambahkan dengan kesedihan lain. Anak tertua, August, dihukum penjara 9 bulan, karena telah memerkosa adiknya yang berumur 9 tahun. Dan si Ida yang manis menjadi wanita panggilan. Waktu berumur 16 tahun, ia sudah melahirkan anak haram pertama, yang dinamakan Ewald.

Tetapi si wanita tunasusila inilah yang malahan membawa sedikit harapan cerah ke dalam keluarganya. Harapan ini adalah si pekerja Josef Jakubowski, yang tadinya mengambil Ida begitu saja, akan tetapi akhirnya mencintainya dengan tulus ikhlas. Ia mengatakan bahwa Ewald adalah anaknya dan ia ingin menikah dengan Ida.

Kesetiaan Jakubowski mengharukan si Ida dan ia pun setia pada Jakubowski. Pada tahun 1923 ia memberikannya seorang anak perempuan bernama Anna. Akan tetapi apa yang dapat diberikan laki-laki itu hanyalah hati yang tulus, jiwa yang sederhana, dan tabiat yang baik. Uang sama sekali tidak ada, sebab berapakah gaji seorang buruh kasar di Palingen, lebih-lebih kalau ia berasal dari Polandia? 

Sesudah perjanjian perdamaian Perang Dunia Pertama, Josef Jakubowski dipindahkan dari tempat tahanan ke Palingen dan ia tetap tinggal di situ sampai perdamaian terwujud. Sebab apa yang ingin dicari di desa Dunajowka, Polandia, di mana orang tuanya hanya petani kecil sehingga tanah secuil mereka tidak cukup untuk memberi makan tiga orang? 

Ia pun bukan seorang pandai, akan tetapi pekerjaannya di kandang sapi petani Eggert dikerjakannya sangat baik. Dan meskipun ia tidak belajar bahasa Jerman dengan baik, hanya bahasa dialek seperlunya saja yang dikuasainya, di desa orang sayang padanya. Ia mencintai Ida dan baik hati terhadap anak-anaknya, juga untuk Ewald yang sebenarnya bukan anaknya. 

Sebetulnya Ida sudah harus puas dan ia pun tak mengharapkan lebih. Jika surat-surat dari Polandia datang, mereka akan menikah.

Akan tetapi tiga bulan sesudah Anna lahir, Ida meninggal karena radang paru-paru. Kata orang, Ida lapar dan sakit dalam suasana rumah yang bobrok dan lembap.

Kehidupan romantis pun hilang, yang tersisa hanyalah kemiskinan belaka, anak-anak piatu harus hidup di Heidekaten. Di kamar kecil Jakubowski di atas kandang sapi tidak ada tempat. Ia tidak banyak waktu untuk mereka, kuda-kuda lebih banyak meminta perhatian. Akan tetapi jika ia mempunyai sedikit waktu luang, ia pergi ke rumah reyot yang letaknya berapa ratus meter dari situ dan waktu anak-anak sudah dapat merangkak, mereka merangkak ke kamarnya di atas kandang. Ia kaget melihat keadaan mereka yang tidak baik. Ia mengadu kepada nenek yang menjaga mereka. Bukankah ia sudah memberikan 15 mark setiap bulannya. Itu kurang, kata nenek penjaga. Akan tetapi untuk Josef itu sudah separuh dari gajinya. 

Akhirnya ia beberapa bulan tidak membayar, agar Nenek Nogens lebih baik menjaga cucu. Ini menyebabkan ia mendapat surat dari Pengadilan Schoenberg yang diterimanya pada tanggal 8 November 1924, hari Sabtu. Hari Senin, tanggal 10 ia harus berada di Schoenberg. Ia pun pergi ke sana.

Ia mengeluh di depan sekretaris pengadilan, “Anak-anak kotor sekali, di musim dingin ini tidak bersepatu dan neneknya sejak hari Sabtu pergi.” Si Ewald kecil sudah menghilang sejak Sabtu. Pada hari Minggu ia bersama seorang rekan sekerja telah mencari anak itu. Apakah kini anak dan nenek sudah kembali, tidak diketahuinya.

Sekretaris pengadilan mencoba menghibur, “Tentu saja keduanya sudah kembali.” Josef berjanji bahwa ia akan membayar uang dengan teratur lagi. Begitulah cerita sekretaris pengadilan kemudian.

Sebenarnya nenek anak-anak sudah kembali hari Minggu malam dan Jakubowski mengetahui hal itu. Dan sebenarnya si Ewald kecil tidak hilang pada hari Sabtu, akan tetapi pada hari Minggu. Jakubowski mengatakan bahwa mereka telah salah mengartikannya ini disebabkan karena ia kurang lancar berbahasa Jerman. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa Ewald “sudah pernah hilang” dan bahwa ia tidak mengetahui “kapan” neneknya kembali.

Akan tetapi orang tidak percaya apa yang dikatakan Jakubowski. Sebab sejak Minggu malam Ewald kecil hilang dan baru ditemukan seorang pemburu 13 hari kemudian dalam lorong kelinci, mati terjerat.

Orang tidak percaya apa yang dikatakannya. Siapa lagi yang perlu membunuh anak itu? Kecuali orang yang harus membayar untuk dia. Dan terbukti dari panggilan ke pengadilan, bahwa pembayaran terlambat. Apakah panggilan itu yang menyebabkan ia membunuh? Dan bukankah nenek anak-anak itu sendiri yang menunjuk dia sebagai seseorang yang mungkin melakukannya. Demikian pula ketiga paman Ewald, August, Fritz dan Hannes.

Mereka mengatakan kepada polisi, Ewald bukan karena cinta mengikuti ayahnya. Josef sendiri sering bercerita bahwa ia enggan membayar lagi. Hannes mengatakan bahwa Jakubowski pada waktu Ewald hilang, datang di Heidekaten dan menyuruhnya pergi dengan alasan kecil. Mungkin agar ia dapat melakukan perbuatan itu. Dan waktu Jakubowski tidak mengaku pergi ke Heidekaten Minggu malam, ia ditangkap.

Bahwa sementara itu ia membantu mencari Ewald, tidak menolong keadaan, sebab pencari telah terpencar agar dapat mencari di seluruh daerah. Ini pun dikerjakan karena Jakubowski yang mengusulkan. Dan akhirnya ia mencari seorang diri saja, di dekat lorong kelinci di mana kemudian ditemukan jenazah Ewald.

Yang juga mencurigakan adalah sikapnya yang tenang dan seakan-akan acuh tak acuh, “Saya tidak bersalah, saya tidak berbuat apa-apa, untuk apa berbicara banyak-banyak.” Dan yang lebih-lebih mencurigakan adalah kenyataan bahwa ia tidak mempunyai alibi untuk jam enam sore, sesudah itu masih ada waktu 15 menit, di mana ia dapat pergi dari rumah reyot sampai ke kamar di atas kandang untuk membunuh dan menyembunyikan anak itu. Ini semua menurut kesaksian rekan sekerjanya, Bloecker.

Dengan kesaksian semacam itu, Jaksa Tinggi Mueller dari Neustrelitz 1,5 bulan kemudian sudah siap dengan surat tuntutan. Katanya Jakubowski sudah pernah dihukum sebulan dan ia seseorang yang bisa diperkirakan dapat melakukan pembunuhan. Orang lain tidak dapat dipertimbangkan karena siapa yang akan membunuh seorang anak kecil? 2 bulan sesudahnya diadakan sidang utama. Untuk Mecklenburg Strelitz merupakan sidang pertama sesudah perbaikan cara peradilan menurut Emminger. Karena itu ada 3 hakim ahli, Ketua Pengadilan Buchka, 6 saksi desa yang terdiri dari 4 orang pekerja dan 2 petani.

Sidang dilakukan di ruang kecil di Schoenberg. Dan yang tidak diperhatikan di kota-kota lain, dimulai dengan usul pembela agar menyediakan seorang penerjemah bagi tertuduh, karena ia tidak menguasai bahasa Jerman dengan baik. Sayang sekali, bahwa pembela mengatakan saran itu sebagai “usul” belaka, maka dalam keputusan dikatakan bahwa Jakubowski berbicara bahasa Jerman dengan baik dan tidak ada pemeriksaan ulang. Dengan demikian keputusan menjadi tetap.

Tertuduh didengar. Ia tetap tidak banyak berbicara, sering ia tersenyum, dan selalu mengulang pernyataan: “Saya tidak bersalah. Saya tidak melakukan apa-apa. Untuk apa berbicara banyak-banyak?” Karena ia merasa disalahartikan sekretaris pengadilan waktu ia ditanya tentang persoalan pembayaran, pengadilan mengambil kesimpulan bahwa ia tidak mempunyai pikiran bersih dan ingin menyembunyikan banyak hal.

Ada seorang saksi di antara banyak saksi yang membawa persoalan yang mungkin memberatkan. Seorang pekerja dari Luebeck, yang telah memasang iklan dalam koran bahwa ia bersedia merawat anak dengan imbalan tertentu. Jakubowski datang, akan tetapi menerangkan bahwa ia tidak mempunyai uang dan menurut saksi ia mempunyai prasangka bahwa seakan-akan Jakubowski malah ingin “diberi tambahan uang”. Orang itu mengatakan bahwa ia telah menasihati Jakubowski untuk mencari orang tua adopsi untuk anak-anak itu, di mana mereka akan dirawat lebih baik dari pada di tempat Nenek Nogens. Sang nenek harus memberi makan dan pakaian pada tujuh orang dengan uang 64 mark sebulannya.

Juga pembela menyebut fakta bahwa yang ingin mendapat keuntungan dengan anak-anak itu adalah pekerja dari Luebeck yang memasang iklan dan oleh karena itu tidak dapat dipercaya.

Meskipun begitu, pengadilan masih juga menyatakan bahwa “anak-anak” itu bagi tertuduh merupakan beban berat. Kesimpulan yang serupa diambilnya sesudah pernyataan saksi wanita Mette. Padanya Jakubowski pernah mengatakan bahwa ia tidak puas dengan perlakuan jelek yang diberikan Nenek Nogens pada cucu-cucunya. Anak-anak itu sedemikian kotornya hingga ia tidak ingin memegangnya.

Keputusan berbunyi demikian, “Jika tertuduh tidak ingin memegang si Anna kecil, maka kelakuan ini tidak menunjukkan cinta ayah kepada anak.”

Tetapi orang-orang yang tidak termasuk keluarga Nogens mengatakan, bahwa mereka itu mempunyai pandangan baik tentang Jakubowski. Kata majikannya, “Saya tidak percaya bahwa ia telah melakukan itu. Ia baik sekali pada Ewald. Ia juga ramah kepada kedua anak-anak dan sering bermain dengan mereka di pancuran air.”

Pekerja wanita yang bekerja di kandang dan bekerja di samping Jakubowski mengatakan, “Ia selalu baik pada anak-anak”. Yang berwajib yang mengawasi anak-anak mengatakan, “Ia selalu bersedia menjalankan kewajiban, asal anak-anak itu diperlakukan lebih baik dan ia telah membelikan pakaian dan sepatu untuk mereka.” 

Pemburu desa berujar, “Ia selalu mau merawat Ewald.” Sedangkan kata inspektur pengadilan, “Ia tampak bersih dan mengatakan kepada saya bahwa ia ingin memberikan separuh gaji, asal anak-anaknya dirawat dengan lebih baik.” Nenek Nogens malahan masih berkata, “Saya tidak menyangka ia akan berbuat demikian. Ia selalu baik hati kepada anak-anak.”

Tetapi keluarga Nogens tetap pada pendirian mereka. Hanya Jakubowski yang mencurigakan, hanya dia yang dapat melakukannya. Pernyataan yang memberatkan dibenarkan oleh Ibu Nogens, August, Wilhelm dan Fritz. 

Dan perihal si Hannes, anak yang agak terbelakang mental maka akta-akta mengatakan, “Memang benar bahwa Hannes Nogens memberi kesan yang keterbelakangan mental. Akan tetapi pengadilan tidak berkeberatan menerima keterangannya bahwa tertuduh pada waktu kejadian telah berada di Heidekaten dan menyuruhnya pergi. Sebab keterangan ini dibenarkan Ibu Hannes dan Gertrud Nogens yang baru berusia 9 tahun. Meskipun masih muda sekali dan keterangannya pasti benar karena tidak dipengaruhi desas-desus.”

“Nah,” kata pembela justru keterangan yang tegas itulah justru yang memberi kesan anak itu baru dibisiki sesuatu oleh ibunya. Tapi bagaimana dengan keterangan Hannes yang dibenarkan pembela?

1,5 tahun sebelum persidangan, dokter wilayah telah mengatakan bahwa Johannes Nogens itu sedemikian terbelakang, hingga sebenarnya ia juga tidak ada harapan bisa belajar sesuatu di sebuah panti agar ia dapat bekerja untuk mencari nafkah. 

Dan polisi Palingen berkata, “Hannes Nogens itu seorang manusia, karena ia mempunyai kaki dan tangan. Selain daripada itu ia tidak mempunyai hal lain yang menunjukkan bahwa ia itu manusia. Ia hanya dapat mengucapkan sebuah perkataan saja yakni kuchen (kue) yang diucapkannya sebagai ‘gu-gu-ch-ch-ch-en’. Satu-satunya yang mengerti apa yang dimaksud adalah ibunya. Ia tidak dapat mengucapkan namanya dengan sempurna.”

Dan memang dapat dibaca dalam protokol. Saksi Hannes Nogens, “Saya bernama Hannes.” Waktu ditanyakan berapa umurnya saksi tidak menjawab. Telah diputuskan bahwa ia tidak akan disumpah, karena ia terbelakang dan tidak akan mengerti dengan sepenuhnya arti sumpah itu.

Memang benar. Akan tetapi ditambahkan, “Pengadilan membenarkan keterangan Hannes Nogens, karena ia dengan segera mengenali tertuduh yang juga berada dalam ruangan.”

Salah seorang saksi kemudian menceritakan bagaimana keterangan itu berjalan. Ketua pengadilan bertanya kepada Hannes, apakah pada hari hilangnya Ewald ada seorang laki-laki yang datang di Heidekaten. Hannes hanya meringis dan mengatakan sesuatu yang dapat didengar seperti “nee” (tidak). Kemudian ketua mengatakan apakah orang yang dahulu telah mengusirnya dari Heidekaten berada di ruangan. Sekali lagi Hannes meringis dan sesudah berapa lama ia mengulurkan tangan dan berteriak, “Djjeh.” Apakah ia telah mengerti apa yang ditanyakan ketua ataukah ia heran melihat Jakubowski kembali, tidak ada yang dapat memastikan.

Tetapi bagaimanapun juga pengadilan telah mengakui keterangan yang telah diusulkannya sendiri itu. Ia juga mengakui keterangan pekerja Bloecker yang memberatkan Jakubowski, dengan menghancurkan alibinya. Meskipun keterangan Bloecker dibantah oleh dua orang saksi yang baik dan sudah disumpah dan Bloecker sama sekali tidak mempunyai nama baik. Dan ia tidak mengakui keterangan kedua yang dramatis dari August Nogens. Waktu August hendak bersumpah bahwa kesaksiannya itu memang benar, ia hampir-hampir pingsan dan mengatakan bahwa ia menarik kembali segala sesuatu yang telah ia katakan. Ketua lalu mengatakan, “Jika Anda tidak mempunyai alibi, maka saya akan anggap Andalah yang menjadi pelaku!” Akan tetapi August mempunyai alibi. Pada waktu kejadian ia berada di suatu tempat yang letaknya 2 jam perjalanan dari desa itu dan oleh karena itu, penarikan kembali ini sama sekali tidak dipertimbangkan dalam keputusan terakhir.

Ya dan masih ada dua petunjuk waktu itu. Yang pertama, seorang wanita pada waktu kejadian mendengar tangisan anak dari arah Heidekaten. Dan tentu saja penjeratan itu menyebabkan teriakan. Jadi mestinya teriakan dan tangisan maut si Ewald Nogens kecil. 

Kemudian telah dibuktikan bahwa seorang anak kecil berumur 3 tahun itu tidak dapat berteriak dan bahwa suatu teriakan yang dikeluarkan seorang anak dari arah Heidekaten, tidak dapat terdengar dari tempat di mana saksi wanita berada. Juga pada waktu itu, ada seorang anak yang lebih besar yang berdiam dekatnya juga berteriak karena kedinginan. 

Petunjuk yang kedua, si pemburu yang menemukan mayat kecil melihat jejak-jejak kaki dengan langkah besar. Itu ditafsirkan pengadilan sebagai jejak-jejak orang yang tergesa-gesa. Kemudian terbukti bahwa tanah di situ baru saja dibajak 10 hari sesudah dilakukan kejahatan, akan tetapi jejak-jejak ditemukan 13 hari sesudah kejadian. Ini berarti tanah baru dibajak.

Sebelas buah petunjuk yang pada waktu itu diketahui oleh pengadilan sudah dianggap cukup untuk menarik kesimpulan bahwa Jakubowski tidak membunuh karena terpaksa. Ia melakukan pembunuhan yang sudah direncanakan terlebih dahulu. Pada tanggal 26 Maret 1925, pengadilan menjatuhkan hukuman mati atas Jakubowski.

Pembela resmi, yang yakin kliennya tidak salah, meminta revisi. la mengajukan tiga keberatan: tidak ada seorang penerjemah bagi tertuduh, keputusan didasarkan keterangan seorang yang terbelakang mental, dan mengapa tidak diperiksa lebih dulu apakah mungkin dilakukan pembunuhan dengan tidak sengaja andai kata Jakubowski memang dianggap pelakunya.

Revisi itu ditolak mahkamah agung. Alasannya: tidak adanya seorang penerjemah itu disebabkan karena hal itu hanya diusulkan saja dan tidak diminta. Dan kedua keberatan lain tidak bisa dijalankan menurut jalan proses yang berlaku.

Baru kini tertuduh mengerti bahwa ia dihukum dan akan tetap dihukum. Di dalam penjara ia kemudian bercerita tentang suatu percakapan yang dilakukannya dengan buruh kasar Kreutzfeldt yang juga berdiam di Heidekaten. Oleh seluruh desa orang di desa, ia dikenal sebagai seorang tukang pukul. Kreutzfeldt menceritakan padanya bagaimana Bloecker dengan sepengetahuan Kreutzfeldt, telah menenggelamkan si Ewald kecil dalam rawa. Jakubowski tadinya tidak mau mengatakan itu karena ia ingin melindungi Kreutzfeldt yang harus memberi nafkah kepada ketiga anaknya dan karena ia tidak menyangka bahwa orang akan menuduhnya.

Pembela dengan segera meminta penahanan Bloecker dan Kreutzfeldt. Dan terbukti bahwa Kreutzfeldt telah menyebarkan berita di seluruh desa, bahwa ia akan menghajar orang yang berani mengatakan sesuatu tentang dia. Juga terbukti bahwa pencurian beberapa papan yang disangka dilakukan oleh Jakubowski dan untuk mana ia telah dihukum, sebenarnya dilakukan oleh Kreutzfeldt. Waktu itu Jakubowski melindungi “temannya” dan membiarkan bahwa ia disangka pelaku. Selain itu, di tempat di mana menurut keterangan Jakubowski si Ewald kecil ditenggelamkan, ditemukan buku catatan Kreutzfel.

Meskipun demikian, jaksa tidak mau menahan Kreutzfeldt dan Bloecker karena mustahil bahwa orang-orang yang disebut-sebut itu terlibat dalam pembunuhan Ewald Nogens. Pembela mengajukan protes dan protes itu ditolak karena tidak bisa diterima atas dasar formal.

Malah dibalik waktu Jakubowski memohon agar hukuman mati itu diganti dengan hukuman seumur hidup, hal ini malah menjelekkan nasibnya. Jaksa Tinggi Mueller tidak setuju dengan permintaan itu dan mengatakan, “Ia sama sekali tidak tobat dan malahan menyalahkan orang lain tanpa alasan.”

Dan karena hanya seorang dari tiga hakim yang pada waktu itu harus memeriksa perkara Jakubowski yang setuju permintaan perubahan hukuman, maka juga Kementerian Kehakiman Mecklenburg-Strelitz menolak permintaan itu.

Sebenarnya orang juga tidak percaya bahwa hukuman mati itu akan dijalankan benar-benar. Sebab jika ya, maka itu adalah hukuman mati pertama yang dijalankan di Mecklenburg-Sterlitz. Dan di seluruh Jerman, pembunuh yang dihukum berdasarkan petunjuk sudah sejak berpuluh tahun tidak dihukum mati.

Hanya dalam penjara Sterlitz-Alt, di mana Jakubowski menunggu nasibnya yang buruk agar berbalik jadi baik, orang mengetahui bahwa memang benar-benar sedang diadakan persiapan untuk menjalankan hukuman mati. Tetapi orang tidak mengetahui bahwa jaksa tinggi telah mengadakan perjanjian dengan algojo yang telah bertahun-tahun “berdinas” di daerah Prusia, seorang pemilik perusahaan cucian di Magdeburg. Pemilik perusahaan ini akan menjalankan tugas itu dengan honor 500 mark. Di atas surat-menyurat tentang hal ini telah ditulis: rahasia. Akan tetapi tidak dapat dirahasiakan bahwa jaksa telah mengadakan pemeriksaan di penjara untuk “mengadakan persiapan-persiapan tertentu”.

Kini malahan semua yang telah berkenalan dengan Jakubowski di penjara dari kepala penjara sampai pastor dan sesama tahanan yakin bahwa Jakubowski tidak bersalah. Mereka mengetahui bahwa bahasa Jerman Jakubowski sangat jelek. Mereka telah membaca surat-suratnya yang semuanya ditulis dalam bahasa yang sama sekali tidak dapat dianggap baik, apalagi dapat dimengerti orang. Ini termasuk surat yang ditujukan kepada pembelanya.

Sesama tahanan juga mengerti bahwa ia telah menuduh Bloecker dan Fritz Nogens, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa tuduhan itu sangat mendekati kebenaran. Mereka juga mengetahui bahwa ia (Jakubowski) telah mengirim salam kepada ibu mertuanya, si ibu yang tua, dengan pernyataan bahwa ia benar-benar tidak membunuh si kecil. Akan tetapi para tahanan tidak mengetahui bahwa Jakubowski sendiri tidak mengetahui bahwa ia telah mengirim salam kepada orang yang malah menyebabkan ia ditahan.

Penjaga-penjaganya juga ingin membantunya. Pada suatu hari waktu ia sedang bekerja di kandang dengan tahanan lain, tiba-tiba saja para penjaga menghilang dan kawan tahanan serentak mengatakan, “Lekas! Larilah! Lekas pergi kamu!” Akan tetapi ia menjawab, “Saya tidak berbuat apa-apa! Saya tidak mau melarikan diri!” dan ia tetap tinggal.

Juga seorang kepala bagian di kementerian kehakiman tidak begitu percaya akan kesalahan Jakubowski. Dan dua orang pendeta, seorang pendeta Katolik dan seorang pendeta Protestan, yang keduanya berbicara bahasa Polandia dan dapat berbicara dengannya, sepenuhnya percaya bahwa Jakubowski tidak bersalah. Mereka meminta dengan perantaraan surat juga dengan lisan agar ia diampuni.

Tidak berhasil! Malam yang terakhir baginya, malam ke 15 Februari 1926 telah tiba. Ia melewati malam itu bersama seorang pendeta Katolik. Mereka berdoa berdua dan tidur sejenak, kemudian Jakubowski menyatakan permintaannya yang terakhir yaitu ia tidak ingin makan malam terakhir, ia hanya ingin melihat anaknya yang kecil si Anna untuk terakhir kali. Permintaan ini ditolak. Lalu ia meminta agar ia dihukum dalam pakaiannya yang terbaik.

Waktu pejabat penjara mengambilnya ia masih mengatakan perkataan-perkataannya yang terakhir, “Tuan pendeta, apakah saya sekali lagi boleh bertanya kepada jaksa mengapa sebenarnya saya ini dihukum mati?” 

Ia bertanya dalam bahasa Polandia dan pendeta pun menjawab dalam bahasa Polandia, “Lebih baik jangan Jakubowski! Itu malahan tidak akan meninggalkan kesan yang baik. Orang telah berkali-kali mengatakan bahwa Anda dihukum karena pembunuhan. Jika Anda sekali lagi menanyakan hal ini kepada jaksa, maka ini kelihatan kurang ajar.” Kemudian Jakubowski rendah diri, “Kalau begitu tidak akan saya tanyakan.”

Apa yang kemudian terjadi diceritakan seorang saksi. 

“Waktu saya pada malam sebelumnya, hari itu hari Minggu, pulang, maka saya menemukan ‘undangan’ untuk menghadiri hukuman mati pekerja kasar Jakubowski pada pagi berikutnya di penjara Strelitz-Alt sebagai saksi. Saya sebelumnya belum pernah mendengar tentang Jakubowski.

Dalam undangan telah dikatakan bahwa saya tidak boleh berbicara dengan siapa pun mengenai pelaksanaan hukuman, mungkin orang takut akan suatu percobaan membebaskannya. 

Dini hari saya sudah sampai di depan penjara. Seorang penjaga membawa saya ke sebuah halaman dalam di belakang. Itu adalah halaman yang panjang dan dikelilingi dengan tembok yang tinggi.

Sebuah meja telah ditempatkan sedikit ke samping. Di belakang meja berdiri Ketua Pengadilan Buchka dan kedua hakim yang lain, di samping mereka Jaksa Mueller. Kami saksi-saksi berdiri agak jauh di antara beberapa pejabat bagian kriminal, di belakang. Pada sisi yang lain saya melihat empat orang laki-laki. Pada pakaiannya yang hitam dengan rompi putih, saya mengetahui bahwa mereka itu adalah algojo dan pembantu-pembantunya.

Kami berdiri kedinginan dan berbisik-bisik. Salah seorang pejabat kriminal mengatakan kepada saya, “Pembunuhan anak bukti-bukti memberatkan.... oleh karena itu tidak diampuni....”

Suatu pemandangan yang mengerikan. Halaman yang agak gelap di dini hari di bulan Februari yang dingin, toga yang resmi dari para hakim, topi tinggi para saksi, ketiga pembantu algojo dalam pakaian hitam, topi hitam dipakai dan di antara mereka rompi putih algojo dan tas yang ada di dekatnya, di mana tentunya disimpan kapak yang segera akan digunakannya dan di depan itu keranjang yang berbentuk peti mati, yang akan menampung kepala yang dipenggal. Saya harus menahan diri agar tidak melarikan diri.

Kami berdiri kira-kira seperempat jam. Makin lama makin terang dan oleh karena itu makin mengerikan.

Tiba-tiba sebuah suara yang kasar memecahkan kesunyian. Suara Jaksa Mueller yang berbicara dengan kepala penjara. Saya kira bahwa saya mengingat percakapan ini dengan baik. Kira-kira begini:

Jaksa Mueller: “Di mana yang dihukum?” 

Kepala penjara: “Pendeta bersamanya, ia sedang menerima sakramen terakhir.” 

Jaksa Mueller: “Kami tidak bisa menunggu.”

Kepala penjara meninggalkan halaman melalui sebuah pintu yang menuju ke dalam penjara dan tidak lama sesudah itu datang Jakubowski. Di depan dan di belakangnya penjaga penjara. Di sampingnya pendeta dengan Injil di tangan. Sedetik Jakubowski berhenti di pintu. Lalu ia melihat kepada pendeta dan dengan langkah tenang ia dibawa ke depan meja hakim. Saya tidak dapat melihat mukanya waktu ia berdiri di situ. Saya hanya melihat bahwa lehernya kelihatan dan bahwa ia memakai celana sampai di lutut dan kaos kaki.

Sementara itu jaksa telah membacakan keputusan. Lalu persetujuan kementerian dan akhirnya dengan suara kasar dan tidak beremosi, “Dengan ini saya meneruskan Anda ke hakim.”

Penjaga mendekati Jakubowski. Ia mengangkat kepala, sepertinya ia masih ingin berbicara lalu ia berpaling, saya tidak melihat apakah ia dituntun ataukah berjalan sendiri. Dari meja hakim sampai ke tempat penggal hanya enam atau tujuh langkah dan semua itu hanya dalam hitungan detik belaka. 

Lalu ia berdiri, dikelilingi oleh ketiga pembantu algojo, dekat pada tempat penggal, mukanya ke arah saksi-saksi, tetapi seakan-akan ia tidak melihat kami, ia melihat jauh nun di sana ke langit dengan air muka yang sangat sedih. Saya tidak dapat melukiskan roman muka itu, saya tidak mampu melukiskannya. Akan tetapi saya tidak bisa melupakan roman muka itu sesuatu yang sangat mengerikan. Saya harus mengingat-ingat roman muka itu sampai akhir hayat.

Agaknya Jakubowski, waktu ia berdiri di depan tempat penggal, membuka mulut. Akan tetapi apakah ia mengatakan sesuatu, saya tidak tahu. Saya tidak dapat mendengar apa-apa. Semua itu begitu cepat. Tiba-tiba saja kepalanya sudah di atas tempat penggal. Pada saat itu saya menoleh. Saya tidak tahan lagi. Akan tetapi pada saat yang bersamaan saya mendengar suara “krek” dan saya mengetahui bahwa segala sesuatu telah selesai. Waktu saya berbalik lagi, saya melihat bagaimana pembantu-pembantu algojo sedang memegang-megang keranjang dan lalu saya melihat, selama satu detik yang mengerikan, badan berdarah yang tidak berkepala lagi. Saya lekas-lekas pergi. Di depan penjara berdirilah mobil yang akan membawa mayat ke Rostock.

Di rumah perkataan yang pertama yang saya katakan pada istri saya adalah, bahwa saya sepertinya merasa bahwa yang dihukum itu tidak bersalah. Saya merasakan ini pada waktu melihat pandangan Jakubowski yang terakhir. Itu bukan pandangan seorang yang bersalah. Lalu jauh di kemudian hari saya mendengar bahwa kesalahan Jakubowski itu memang diragukan.

Kemudian juga saya mendengar dari seorang pegawai pengadilan, bahwa Jaksa Mueller telah mengirimkan surat penghargaan akan lancarnya pelaksanaan pada algojo.”

Demikian kata saksi. Pegawai pengadilan memang benar, surat itu ada di akta-akta.

Penjagaan rahasia berhasil. Tragedi itu hanyalah suatu persoalan Mecklenburg-Strelitz. Di Berlin, yang terletak satu setengah jam perjalanan, orang tidak mengetahui persoalan sebenarnya. Akan tetapi yang tidak berhasil dilakukan Jakubowski yang masih hidup berhasil dilakukan Jakubowski yang telah mati. Pada hari itu juga jiwanya menguasai parlemen Mecklenburg-Strelitz dan kejujurannya dibuktikan. Seorang anggota sosial demokrat mengatakan:

“Pada hari Jakubowski dihukum mati, saya masuk ke dalam kamar fraksi pemerintah daerah Neustrelitz. Di situ saya bertemu dengan dua orang separtai, di antara mereka seorang petani kecil dari Ratzeburg yang sudah saya kenal sejak bertahun-tahun. Saya mengatakan bahwa hukuman mati telah dilaksanakan pagi itu. Orang itu menjadi sangat pucat dan dengan segera ia mengatakan bahwa di desanya orang mengatakan bahwa Jakubowski itu tidak bersalah. Ia mengatakan siapa sebenarnya pembunuhnya dan bahwa ia dan seorang kawan yang dekat menjadi juri waktu persidangan. Orang ini sama sekali tidak setuju hukuman mati dan waktu berunding ia dipengaruhi oleh yang Iain-lain. Baru waktu para hakim ataukah hakim kepala mengatakan bahwa hukuman toh tidak akan benar-benar dijalankan, maka ia menyetujui hukuman mati.”

Dengan demikian terbukti, bahwa ada saling memengaruhi antara hakim yang resmi dan hakim yang diangkat dari masyarakat. Dan perkara Jakubowski menjadi alasan untuk memulai “pemberontakan” terhadap cara pengadilan yang reaksioner.

2 tahun kemudian, yakni pada tanggal 3 Januari 1928, sebuah koran di Luebeck mengatakan bahwa Nenek Nogens menjelang maut mengaku bahwa ialah si pembunuh. Apakah kabar itu kebetulan atau memang suatu berita sengaja, entahlah. Pokoknya berita itu salah. Nenek Nogens dalam keadaan sehat walafiat, kawin lagi dan sama sekali tidak memikirkan untuk mengaku kesalahan. 

Tetapi kini terbukti bahwa segala “bukti” terhadap kesalahan Jakubowski adalah sangat lemah. Dan kehebohan menjadi sedemikian besarnya sehingga menteri yang baru terpaksa mengadakan pemeriksaan ulang. Ia memerintahkan kepala jawatan kriminal Mecklenburg Steuding menangani perkara ini dan memberikan seorang ahli kriminal yang masyhur Profesor von Hentig sebagai pembantu. Dan untuk pertama kali maka orang-orang bidang kriminal yang ahli mengambil alih pemeriksaan.

Kedua ahli itu pertama-tama memeriksa soal psikologisnya. Mereka bertanya apa yang ditanyakan pengadilan dahulu: siapa yang butuh membunuh Ewald kecil? Tetapi jawab mereka berlainan. Bukan Jakubowski, sebab untuk si Anna kecil ia harus membayar sama seperti untuk Ewald dan Anna. Bagi Nenek Nogens, jika satu meninggal maka ia hanya perlu memberi makan seorang saja untuk uang yang sama. Ditambah bahwa Jakubowski sebagai seorang warga negara Polandia, bisa saja mengelak pemberian tunjangan kalau ia pergi ke Polandia. lni lebih mudah daripada melakukan pembunuhan. Memang kedengaran agak sederhana, tapi sampai sekarang belum ada yang berbuat demikian. 

Steuding dan von Hentig kini mulai dengan pengusutan mengenai keluarga Nogens. Lalu terbukti bahwa dalam tahun-tahun terakhir, ada tiga kejadian kematian yang meragukan dalam keluarga ini. Bapak Nogens, ditarik mati dari air, istrinya yang menyebabkannya ia bunuh diri, kalaupun bukan istrinya yang mendorongnya masuk air. Juga kematian Ida yang cantik agak misterius dan tidak pernah terungkap. Seorang anak lain mati terbakar.

Nyonya Nogens terkenal sebagai “kurang bersusila”. Saksi-saksi mengatakan bahwa ia mempunyai hubungan seksual dengan anak laki-lakinya yang sudah dewasa. Ia terkenal bahwa ia “gila laki-laki”.

August Nogens, anak laki-laki yang tertua, tidak hanya mempunyai hubungan dengan adiknya Gertrud, untuk mana ia telah dihukum, akan tetapi ia mengaku mempunyai hubungan juga dengan adiknya Ida dan ibunya. Ia pernah mendapat penyakit Lues dan kini terbukti bahwa ia pada hari kejadian itu tidak berada di sebuah desa yang jauh akan tetapi di Heidekaten, dekat Palingen.

Wilhelm Nogens, anak nomor dua, sudah sepuluh kali dihukum, yang terakhir diganjar 2,5 tahun penjara.

Fritz, nomor tiga, segera sesudah kejadian menghilang dari Palingen di dibawah nama panggilan “Staketen-Ede” bergelandangan di Luebeck dan diketahui polisi di sana bahwa ia mempunyai hubungan dengan anak-anak.

Hannes, si bungsu, yang mengatakan bahwa Jakubowski berada di Heidekaten dan bahwa ia telah diusir dari sana, dan dipercayai oleh pengadilan, tidak lama sesudah keputusan dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa Domjuech. la mati sebagai seorang “idiot epileptik”. Dan psikiater rumah sakit itu mengatakan bahwa keterangan yang diberikan Hannes itu sama sekali tidak dapat dipercaya.

Dan semua orang ini, yang sebenarnya semuanya bisa dituduh melakukan kejahatan, justru yang menjadi saksi-saksi dalam proses Jakubowski. Dan kecuali Hannes, semua memberi keterangan di bawah sumpah dan berdasarkan keterangan mereka maka hukuman mati dijatuhkan. Dengan merekalah Kreutzfeldt dan Bloecker berteman, dan Bloecker itu termasuk pacar Nenek Nogens!

Akan tetapi juga Paul Kreutzfeldt mempunyai motif untuk membunuh si Ewald kecil. Kakaknya Louise, mempunyai anak dengan Bloecker dan ingin menikah dengannya, kakaknya yang kedua, Lene, telah menikah dengan seorang yang terbelakang mental bernama Seehase di Behlendorf, ingin bercerai dan kemudian juga diceraikan.

Kreutzfeldt beberapa kali mengusulkan Jakubowski agar kawin dengan Lene, agar Lene tidak mengganggunya lagi dengan anaknya yang tiga orang. Akan tetapi Jakubowski menyadari bahwa tanggung jawab bagi seorang istri dan lima anak itu terlampau berat baginya. Karena itu ia sudah beberapa kali menolak. Anak-anak Jakubowski juga menghalang-halangi maksud pernikahan Bloecker dengan Luise Kreutzfeldt. Sebab Bloecker hanya dapat menikah dengan Luise, jika ada kamar kosong di Heidekaten karena ia sangat miskin. Hanya jika Jakubowski tidak perlu merawat Ewald lagi, kawin dengan Lene dan dengan si Anna kecil pergi ke Behlendorf, maka sejoli Bloecker dan Luise Kreutzfeldt mempunyai tempat di Heidekaten.

Sesudah pelaksanaan hukuman atas Jakubowski, maka Nenek Nogens, August Nogens, dan Fritz Nogens telah menerangkan di depan tidak kurang dari 23 saksi, bahwa Jakubowski tidak bersalah. Mereka mengetahui siapa yang telah melakukan itu akan tetapi mereka tidak bisa mengatakannya. Hanya August yang pernah mengatakan bahwa Bloecker adalah si pelaku.

Waktu para tertuduh diinterogasi, maka Kreutzfeldt menangis dan hampir pingsan, tetapi tidak mengaku. Nenek Nogens tetap tenang dan tidak mau mengaku juga. August dan Bloecker mengaku bahwa mereka telah menuduh Jakubowski dengan tidak benar dan melakukan sumpah palsu. Mereka mengaku terlibat dalam pembunuhan hanya tidak sepakat siapa otaknya. Karena itu maka Kreutzfeldt, Bloecker dan August Nogens; ditahan. Itu terjadi pada tanggal 9 Mei 1928, 8 hari sesudah pemeriksaan kedua. Pada tanggal 10 Mei maka menurut hukum yang berlaku, perkara akan diserahkan pada pengadilan, jadi pada Jaksa Tinggi Mueller.

Dan Jaksa Mueller ini yang telah meminta hukuman mati dan tidak mau memberikan pengampunan, pada tanggal 13 Mei pergi ke para tertuduh di penjara. Waktu ia beberapa jam kemudian keluar lagi, dua pengakuan sudah dicabut. Pada tanggal 14 Mei ketiga orang itu dibebaskan dan ia mengatakan kepada pers:

“Pemeriksaan telah menghasilkan, bahwa masih diragukan apakah Jakubowski betul-betul dihukum tanpa salah dan apakah ketiga tahanan itu ikut serta dalam pembunuhan juga belum terbukti. Nogens dan Kreutzfeldt tidak melakukan sumpah palsu dan Bloecker juga hanya bisa dituduh melakukan sesuatu yang remeh saja.”

Tetapi ia tidak dapat menghindari pemeriksaan kembali, meskipun ini baru dilakukan sesudah waktu yang cukup lama. Masyarakat ingin mengetahui kebenaran dan mahkamah agung memerintahkan pemeriksaan itu. Dalam dua persidangan telah dihukum: August Nogens, mendapat hukuman mati karena pembunuhan dan 1,5 tahun karena sumpah palsu.

Fritz Nogens dijatuhi hukuman 4 tahun dan 1 bulan penjara karena membantu pembunuhan dan melakukan sumpah palsu.

Bloecker, mendapat 1,5 tahun penjara karena sumpah palsu.

Nenek Nogens yang membantu pembunuhan dan melakukan sumpah palsu diganjar 9 tahun penjara.

Baru 5 bulan sebelumnya, Jaksa Mueller telah memaksa pers untuk meralat suatu berita. Isi ralat: “Desas-desus itu hanya berdasarkan berita iseng, yang kini mengenai seorang wanita yang terhormat, yang salah dituduh. Sebab nenek itu masih menangis waktu mencari cucunya yang hilang.”

Ya, ia memang menangis waktu ikut membunuh anak kesayangannya. Dan Jakubowski tidak menangis.

Sementara itu mereka tidak membebaskan almarhum dari tuduhan. Dalam keputusan lisan dikatakan bahwa Jakubowski dituduh dengan keras akan tetapi ia bukannya orang satu-satunya dan bahwa di pengadilan ada beberapa hal yang meragukan kesalahannya.

Masih sampai tahun-tahun 30-an orang mencoba untuk membuat persidangan kembali, sehingga menyibukkan sebelas pengadilan, tapi tidak berhasil. Pengadilan dan hukum tetap pada pendiriannya. Lagi pula sudah terlambat. Zaman yang baru menampilkan seorang hakim yang baru yang sama sekali tidak memikirkan jiwa seorang pekerja ladang berbangsa Polandia dan yang telah menendang pengadilan yang telah mengorbankan jiwa pekerja tadi.

Akan tetapi bayangan si pekerja ladang Jakubowski yang malang, masih juga berguna untuk masa ini, di mana juga masih dilakukan kekeliruan pengadilan. la akan mengatakan, “Bagi saya, kekeliruan itu dapat dimengerti dan mungkin tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi yang tidak dapat dimengerti adalah perlawanan yang diadakan waktu kehormatan hendak dipulihkan. Saya mungkin masih hidup, jika orang agak hati-hati menilai hukuman, kesaksian, sumpah, pengakuan, jaksa-jaksa, hakim-hakim, aturan proses dan hukuman mati. Saya masih hidup jika bukan pengadilan yang malah melakukan kesalahan yang harus memutuskan apakah memang terjadi kekeliruan. Saya masih hidup jika kekeliruan itu dibetulkan dengan lebih lekas dan lebih mudah. Saya masih hidup, jika pengadilan kita lebih ‘hidup’.” 

 

Baca Juga: Siapa Berani Melawan Pangeran Andrew

 

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553752745/siapakah-pembunuh-ewald" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1684218278000) } } [2]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3761012" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg" ["title"]=> string(27) "Apakah Dia Jack the Ripper?" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:04:38" ["content"]=> string(30426) "

Intisari Plus - George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper yang terkenal sadis di London.

---------------

Jika seseorang akan dibunuh dengan racun, maka biasanya pembunuh memilih arsenikum. Sudah sejak beratus-ratus tahun, arsenikum merupakan “racun khas” untuk membunuh.

Pada tahun 1903 seorang pria setengah baya dihadapkan ke pengadilan di London. la dituduh membunuh tiga orang wanita dengan racun. Bukan arsenikum, melainkan antimonium. Cara-caranya pembunuhan menimbulkan sangkaan bahwa ketiga pembunuhan itu dilakukan oleh seorang penjahat saja. Apakah sangkaan ini mempunyai dasar, masih belum terjawab.

Tertuduh berusia 37 tahun, berasal dari Polandia dan bernama Severin Klosowski. Tetapi ia menamakan dirinya George Chapman dan diadili dengan nama itu. Di usia 15 tahun ia mulai belajar pada seorang mantri kesehatan di negara asalnya. Ia tamat belajar sebagai pembantu mantri dan penata rambut. Kemudian ia meneruskan pendidikan pada sebuah klinik. Sesudah mengabdi 1,5 tahun di ketentaraan, ia berimigrasi ke Inggris. Ia tiba kira-kira musim semi tahun 1887.

Di London tadinya ia mencari nafkah sebagai pembantu penata rambut, kemudian membuka salon di daerah Tottenham. Tetapi tidak lama kemudian usahanya itu gagal. la pergi ke tempat lain untuk menjadi pembantu penata rambut lagi. 

Pada bulan Agustus 1889, Klosowski menikah dengan seorang wanita Polandia bernama Lucy Barski. Tidak lama sesudah pernikahan, seorang wanita datang dari Polandia dan menyatakan bahwa dialah istri pria itu. Kedua wanita hidup bersama dengannya selama jangka waktu tertentu, lalu wanita yang datang terakhir kembali ke tanah airnya. Klosowski berimigrasi dengan istrinya yang lain ke Amerika Serikat.

Karena mereka tidak cocok, beberapa bulan kemudian si istri kembali ke Inggris. Suaminya menyusulnya tahun 1893. Di London mereka rujuk kembali dan mempunyai dua orang anak. Karena sering suaminya tidak setia, istrinya meninggalkannya. Mereka hidup terpisah.

Kini Klosowski menjalin hubungan dengan seorang wanita muda bernama Annie Chapman dan hidup bersama selama setahun. Sesudah wanita itu meninggalkannya, ia menamakan dirinya George Chapman. Dengan penukaran nama ini tampaknya ia ingin menghindari tuntutan-tuntutan banyak wanita yang telah ia hubungi selama beberapa tahun. Ia tidak mau mengaku pernah memakai nama yang terdahulu, juga kepada para petugas. Menurut undang-undang Inggris, seseorang dapat mempunyai nama baru jika sudah dipakai terus-menerus. Jika ini terjadi, maka nama lama hilang.

Sesudah berpisah dengan Annie Chapman, Chapman berkenalan dengan Nyonya Spink. Wanita tadi masih menjadi istri seorang kuli bernama Spink, yang baru saja meninggalkannya karena si istri pemabuk.

Sesudah Chapman pindah pondokan ke keluarga Ward, Nyonya Spink dan Chapman sering terlihat bersama-sama. Chapman menerangkan kepada orang lain bahwa mereka akan segera menikah. Di bulan Oktober 1895, mereka menyatakan kepada kenalan dan kawan-kawan bahwa mereka telah menikah. Padahal keterangan ini bohong, karena keduanya belum bercerai dengan pasangan masing-masing.

Nyonya Spink memiliki sedikit uang yang mereka pakai membeli salon. Ia membantu “suaminya” melayani langganan. Kadang-kadang ia juga mencukur langganan. Waktu itu belum biasa wanita mengerjakan hal itu.

Waktu usahanya tidak begitu maju, Nyonya Spink membeli piano dan bermain sambil suaminya melayani pelanggan. Karena “penataan rambut dengan musik” ini, salon itu terkenal di seluruh bagian kota dan menarik banyak langganan. Karena itulah Chapman banyak mendapat uang, sehingga ia mampu membeli perahu.

Di antara pelanggannya, ada seorang penjual obat. Chapman meminta padanya agar diberikan “tartar emetic”, racun antimonium. Si penjual obat menjual 30 gram racun yang jarang diminta itu. Ia memberikannya dalam botol dengan tulisan “racun”. Bersamaan dengan penjualan itu, ia juga menyuruh Chapman menandatangani buku racun. Chapman memberi tanda tangan dan menuliskan kata-kata yang sukar dibaca pada kolom yang isinya keterangan untuk maksud apa racun itu dibeli.

Salon kembali mengalami kemunduran, terutama karena Nyonya Spink pemabuk. Akhirnya salon terpaksa dijual.

Dalam tahun 1897, Chapman membeli restoran kecil di London dengan nama “Prince of Wales”. Nyonya Spink seorang wanita yang relatif sehat, tapi saat itu ia merasa sakit sekali jika sedang mendapat haid. Dalam waktu singkat, kesehatannya makin memburuk. Ia sering muntah-muntah hebat, bergantian dengan sakit rahim yang tidak tertahankan. Seorang tetangga yang diminta bantuan oleh Chapman, akhirnya memanggil seorang dokter. Dokter tidak begitu memedulikan keadaan si sakit. Nyonya Spink makin lama makin lemah dan meninggal pada tanggal 25 Desember 1897.

Di mata temannya, kematian ini dianggap sebagai akhir penderitaan yang teramat besar. Chapman pingsan, tidak dapat dihibur dan semua orang kasihan kepadanya. Tetapi meskipun demikian, restorannya dibuka pada hari itu juga. Dokter segera saja mengeluarkan surat kematian dengan sebab kematian ayan. Agar biayanya rendah, Chapman menyuruh menguburkan jenazah Nyonya Spink di kuburan massal.

Beberapa bulan sesudah kematian Nyonya Spink, di musim semi 1889, Chapman memasang iklan mencari seorang pramuniaga. Datanglah seorang gadis muda bernama Elisabeth Taylor, seorang anak petani yang hingga saat itu menjadi pembantu rumah tangga. Chapman melihat dan menerimanya. Segera saja gadis itu menjadi pacarnya dan sangat bahagia.

Pada suatu hari, Chapman menyatakan pada para pelanggannya bahwa ia telah menikah dengan “Bessie”. Sebenarnya ia hanya pergi ke pedesaan sehari dengan gadis itu. Karena masih saja berstatus beristri, maka ia tidak dapat menikahi gadis itu. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, ia tidak mungkin menikahi Nyonya Spink. Tetapi Bessie ikut “bermain” dan sesudah itu enak-enak saja menyuruh orang lain memanggilnya Nyonya Chapman.

Sesudah “perkawinan”, Elisabeth Taylor yang sebelumnya sehat dan kuat, mulai sakit-sakitan. Ia menjadi kurus sekali dan makin lemah. Akhirnya harus dibawa ke sebuah klinik. Waktu ia kembali ke rumah, Chapman memperlakukannya dengan buruk.

Para dokter di klinik dan juga dokter keluarga tidak mengerti apa penyakit “Nyonya Chapman”. Waktu dokter keluarga datang menengok ke rumah, ia heran menemukan pasien sedang memainkan piano. 2 hari kemudian 13 Februari 1901, gadis tersebut meninggal. Dalam surat kematian dokter keluarga, Dr. Stoker, menuliskan sebab kematian adalah kelelahan karena terlalu banyak muntah dan mencret. 

Dokter ini pun tidak menganggap perlu untuk menyelidiki sebab-sebab kematian yang aneh tersebut. Sekali lagi Chapman seperti tidak bisa terhibur. “Bessie” disenangi semua orang dan banyak yang prihatin pada Chapman setelah “istrinya” meninggal. Chapman menyuruh membuat batu nisan yang megah dan ia menulis sendiri beberapa syair untuk diukir di nisan itu.

Orang tua gadis yang meninggal selalu menyatakan bahwa Chapman orang baik. Waktu mereka melihat batu nisan, mereka menyatakan bahwa anaknya tidak mungkin mendapatkan suami yang lebih baik darinya.

Beberapa bulan sesudah meninggalnya Elisabeth Taylor, Chapman berkenalan dengan wanita yang akan menjadi korban ketiganya.

Di bulan Agustus 1901, Chapman membaca iklan. Seorang gadis muda berusia 20 tahun, bernama Maud Marsh, mencari pekerjaan sebagai pramuniaga. Chapman menyuruhnya datang dan segera saja Maud dimintanya untuk bekerja. 

Maud Marsh anak seorang pekerja dan sebelumnya tinggal di tempat orang tuanya. Waktu ia menceritakan kepada orang tuanya bahwa ia akan memulai pekerjaan baru, ibunya pergi ke restoran Chapman untuk melihat keadaan. Pada kunjungan itu, Chapman memberikan beberapa keterangan palsu. Ia menceritakan kepada ibu tadi, bahwa ia seorang duda dan di bagian atas masih ada keluarga yang tinggal. Dengan demikian, Chapman ingin memberikan gambaran bahwa rumah di mana anaknya akan tinggal itu rumah baik-baik. Ia berhasil. Si ibu setuju anaknya bekerja di situ.

Gadis itu belum lama bekerja, waktu ia menulis kepada ibunya bahwa majikannya telah menghadiahkan jam emas dengan kalung. Tidak lama kemudian, datang sepucuk surat lagi. Maud menyatakan kepada ibunya, majikannya meminta “beberapa hal” kepadanya. Jika ia menolak maka majikan akan mengusirnya.

Berita-berita ini membuat Nyonya Marsh agak risau, dan ia menasihati anaknya untuk kembali ke rumah. Sayang sekali, gadis muda ini tidak mengikuti nasihat tadi. Malah pada suatu hari Chapman datang dengannya dan dengan resmi meminangnya. Pada kesempatan itu Chapman memperlihatkan kepada orang tua Maud, sebuah surat wasiat. Surat tersebut menyatakan bahwa jika meninggal, Chapman akan mewariskan 400 ponsterling. 

Orang tua Maud tetap kurang percaya dan menasihati agar anak mereka berhati-hati. Waktu anak ini pada suatu hari menengok ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit, ia memakai cincin di jari. Ketika ditanyai apakah ia telah menikah, ia mengangguk. Perkawinan, katanya, telah diberkati di sebuah “tempat” Katolik di Bishopsgate Street.

Seperti biasa, maka kali ini pun Chapman menipu. “Upacara perkawinan” itu hanyalah naik kereta keliling London dengan Maud, kemudian kembali ke restoran dan berpesta pora dengan tamu-tamu merayakan “perkawinan”. Akal licik Chapman ini agak diganggu oleh Nyonya Marsh. Ia datang dan tidak mau begitu saja mempercayai apa yang telah diceritakan tentang upacara “perkawinan”. Ia curiga ada sesuatu yang tidak beres. Suaminya lebih-lebih lagi. Mereka meminta Chapman agar memperlihatkan surat kawin. Akan tetapi anak mereka mencegah dengan keras permintaan si ayah.

Beberapa waktu kemudian, Maud tiba-tiba jatuh sakit. Ia muntah terus-menerus, mencret, sakit peranakan, haus, dan mual tidak karuan. Tampak sangat menderita melihat “istrinya”, Chapman dengan segala kasih sayang merawatnya. Akan tetapi karena keadaan si sakit makin hari makin memburuk, diambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit.

Para dokter di klinik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Mereka menyangka Maud menderita kanker, reumatik, atau sakit lambung dan dengan demikian sama sekali tidak dapat memberi analisa yang tepat. Tidak ada terpikir bahwa ini disebabkan suatu kejahatan. Padahal di dalam klinik keadaan pasien dengan segera membaik.

Baru saja Maud pulang ke rumah Chapman, penyakitnya kambuh kembali. Chapman berhasil mencegah Maud dibawa ke rumah sakit lagi. la memanggil dokter keluarga, Dr. Stoker, yang dulu pernah diminta bantuannya. Dokter tidak dapat menemukan sebab penyakit dan mencoba memberikan segala macam obat yang tidak menolong. Keadaan si sakit makin memburuk setiap hari dan dokter putus asa.

Sementara itu Chapman telah berganti restoran dan pindah ke sana. Dr. Stoker masih saja merawat pasiennya dan menjadi saksi bagaimana kekuatannya makin menurun.

Waktu ibu Maud dan seorang tetangga bergantian merawat Maud, Chapman menyatakan bahwa hanya dialah yang berhak membuat semua makanan dan minuman untuk Maud. Keadaan si sakit makin menyedihkan. Akhirnya keadaan demikian buruknya sehingga Maud hanya bisa minum saja.

Pada suatu hari terjadi sesuatu yang hampir saja membahayakan Chapman. la membuatkan minuman anggur dan soda untuk Maud. Si sakit meminum minuman itu, tetapi karena terlampau lemah, sisanya sebagian besar ada dalam gelas. Beberapa waktu kemudian, Nyonya Marsh dan tetangganya meminumnya juga. Akibatnya mereka muntah-muntah dan mencret.

Meskipun hal ini sebenarnya bisa menarik perhatian, tidak ada seorang pun yang curiga. Yang paling mengherankan ialah bahwa tidak ada yang curiga bahwa mungkin racun yang menjadi sebab penyakit yang misterius ini.

Baru waktu pasien sekarat, Nyonya Marsh curiga. la membicarakan hal ini dengan suaminya dan mereka kemudian meminta dokter keluarganya, Dr. Grapel, untuk memeriksa putri mereka.

Dr. Grapel segera pergi ke restoran Chapman dan memeriksa pasien di sana. Baru sebentar saja ia sudah mengetahui bahwa Maud keracunan. Tetapi ia belum mengetahui racun apa yang masuk ke dalam tubuh gadis malang itu. Jadi baru sekali itu seorang dokter menaruh syak.

la mengirim telegram ke Dr. Stoker dan mengabarkan bahwa penyakit wanita muda itu menurut pendapatnya adalah karena racun. Jika langsung diambil tindakan, mungkin jiwa pasien masih bisa tertolong. Chapman yang takut oleh kedatangan dokter lain itu segera memberikan racun dengan dosis baru sehingga beberapa jam kemudian Maud meninggal. Waktu ia meninggal, Chapman berpura-pura sedih. Ia berteriak-teriak seperti anak-anak.

Karena keterangan rekannya, Dr. Stoker menolak untuk memberi surat keterangan kematian. Ia merasa perlu dilakukan pembedahan mayat. Chapman marah mendengarkan itu dan meminta pertanggungjawaban.

“Saya tidak dapat menemukan sebab kematian,” kata dokter.

“Karena terlampau lelah, disebabkan adanya bengkak dalam usus,” jawab Chapman. 

“Apakah yang menyebabkan bengkak tadi?” 

“Karena selalu muntah dan mencret.”

“Apa penyebab muntah dan mencret?”

Chapman tidak menjawab. Kemudian ia menyatakan bahwa kematian disebabkan karena memakan daging kelinci yang mengandung arsenikum.

Dr. Stoker kemudian memutuskan untuk melakukan pembedahan mayat sendiri dibantu oleh tiga dokter lain. 

Waktu dibedah mula-mula tidak ditemukan apa-apa yang dapat menjelaskan soal penyebab kematian wanita muda itu. Dokter kemudian mengambil lambung dan organ-organ lain untuk dianalisa. Dalam bagian-bagian badan itu ditemukan antimonium. Zat ini dapat dicairkan dalam air dan terasa agak manis dan tidak enak. 

Dulu di beberapa daerah, majikan biasa memberikan sedikit antimonium dalam makanan agar para pembantu yang mencuri dari majikan jadi jera. Kadang-kadang antimonium juga dimasukkan di dalam gelas pemabuk, agar mereka jera. Peracunan dengan “batu pemuntah” sudah jarang dilakukan. Akibat dari “batu pemuntah” sama dengan akibat racun arsenikum, yakni muntah terus menerus, tidak dapat dihentikan (oleh karena itu dinamakan “batu pemuntah”) mencret, tidak bisa menelan, sakit lambung, kejang denyut nadi tidak teratur, dan pingsan. Mayat korban jadi awet, sehingga bertahun-tahun sesudah meninggal masih dapat dikenali kembali.

Pada tanggal 23 Oktober 1902 dikeluarkan perintah penahanan terhadap Chapman. Hanya dialah yang dapat memberikan “batu pemuntah” pada almarhumah. Bulan April 1897 diketahui ia telah membeli sejumlah racun itu dan tidak ada orang lain yang mempunyai kontak dekat dengan mereka yang sudah meninggal. Waktu diadakan pemeriksaan rumah, selain daripada 300 pon emas dan uang, ditemukan kaleng-kaleng yang mencurigakan, berisikan bubuk putih. Lalu ditemukan juga surat-surat keterangan yang membuktikan bahwa Chapman sebagai seorang Polandia, mempunyai kewarganegaraan Rusia, dan bernama Severin Klosowski. Selain itu, ada beberapa buku khusus mengenai bagaimana memakai racun dan buku kehidupan algojo bernama Bary.

Polisi menganggap mayat Nyonya Spink dan Elisabeth Taylor perlu digali untuk diperiksa. Kedua mayat masih baik, meskipun sudah beberapa lama dikuburkan. Menurut patolog yang melakukan pemeriksaan, wajah dan tangan Nyonya Spink seperti baru kemarin dikuburkan. Keadaan itu saja sudah menunjukkan bahwa ada racun di dalam tubuhnya. Pembedahan mayat membenarkan dugaan itu. Seperti dikatakan seorang ahli yang memeriksa, tubuh kedua wanita tadi bagaikan dicelupkan ke dalam antimonium.

Pemeriksaan dibuka di depan pengadilan di London pada tanggal 16 Maret 1903. Yang memimpin adalah seorang hakim yang paling populer di Inggris, Justice Grantham. Yang menjadi penuntut adalah Sir Edward Carson, pernah menjadi lawan Iscar Wilde. la dibantu tiga ahli hukum lagi. Sebagai pembela tersedia tiga orang pengacara.

Publik menaruh perhatian. Orang yang datang melebihi tempat yang tersedia. Perhatian tetap besar hingga akhir persidangan. Hakim sekitar jam 11 masuk ke ruang sidang. Tertuduh dibawa masuk. Saat dibawa ke polisi, Chapman tampak tidak peduli. Tapi di pengadilan ia seakan-akan senewen dan ketakutan. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan suara perlahan, tidak tetap, dan ragu-ragu.

Penuntut utama dalam pembukaannya hanya memberikan singkatan bukti-bukti. Pembela dalam posisi sulit, ingin mencari keuntungan dari fakta bawa Chapman seorang asing. Tetapi pernyataan ini tidak dianggap serius oleh juri. Chapman selama pledoi pembelanya menangis tersedu-sedu, tetapi tidak menggerakkan perasaan juri.

Sesudah mendengar keterangan tidak kurang dari 37 saksi, maka seorang wakil penuntut dan seorang pembela memberikan pendapat dengan singkat.

Dalam penjelasannya hakim tidak memberi peluang untuk bebas sedikit pun pada tertuduh. Para dokter yang tersangkut mendapat kecaman habis-habisan dan mereka disalahkan karena begitu lama bisa dikelabui oleh tertuduh. Penuntut masih agak membela para dokter dan menerangkan bahwa untuk seorang dokter bukanlah keputusan yang mudah untuk menuduh seseorang melakukan pembunuhan. Sebab jika tidak terbukti, maka dokter pun akan terkena akibatnya. Tetapi para hakim tidak bisa menerimanya.

Para juri membutuhkan waktu 10 menit untuk perundingan mereka. Waktu Chapman diberitahu bahwa ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan, ia tidak mempunyai kekuatan untuk membantah. Ia juga membisu waktu para hakim menjatuhkan hukuman mati. Hukuman ini dianggap sebagai ganjaran setimpal dan tidak ada seorang pun yang setuju terhukum meminta pengampunan kepada menteri dalam negeri.

Hingga pelaksanaan hukuman ia tidak memperbolehkan seorang pun juga datang kepadanya di penjara, bahkan tidak juga istrinya yang orang Polandia yang ingin melihatnya. Satu-satunya orang yang ia izinkan adalah seorang pastor Rusia-Ortodoks.

Sampai saat terakhir, ia menyatakan dirinya tidak bersalah dan juga tidak mengakui dirinya sebagai Severin Klosowski. Pada tanggal 7 April 1903 ia dihukum gantung dan di penjara Wandsworth di London.

Pada waktu pemeriksaan terhadap Chapman sudah berakhir, dan perkara mencapai tahap pengadilan, maka di kalangan kepolisian tercetus dugaan bahwa Chapman indentik dengan seorang pembunuh yang sudah lama dicari dan diberi julukan “Jack the Ripper” oleh masyarakat.

Pembunuhan pertama yang diduga dilakukan Jack the Ripper terjadi di pagi hari tanggal 31 Agustus 1888. Korbannya seorang wanita pelacur, Mary Ann Nicholls. Tidak lama sesudah kejahatan ini dilakukan, badan korban ditemukan di Buck’s Row di Whitechapel.

Leher wanita tadi disayat dari telinga satu ke telinga yang lain dan perut bagian bawah dipotong-potong. Dokter polisi menduga bahwa mayat dibunuh kira-kira setengah jam sebelum diletakkan di tempat ia ditemukan. Dari cara menyayat diambil kesimpulan bahwa si pelaku sangat ahli menggunakan pisau, sebab sama sekali tidak terdengar jeritan apa pun. 

2 hari kemudian terjadi pembunuhan kedua yakni pada tanggal 8 September 1888, tidak jauh dari tempat kejadian yang pertama. Korban lagi-lagi seorang pelacur, dengan nama Annie Chapman. Badannya menunjukkan cedera mengerikan yang sama seperti Nicholls. Waktu diperiksa lebih lanjut ditemukan beberapa bagian dalam telah hilang. Yang menjadi pertanyaan ialah senjata apa yang dipakai si pelaku. Tidak dapat ditentukan apakah itu bayonet prajurit, pisau penjual daging, atau pisau bedah dokter. Dokter pengadilan menyatakan bahwa ini semua mungkin dipakai.

Juga kali itu tidak ditemukan si pembunuh. Polisi telah menahan beberapa penjahat yang terkenal di sekitar itu, namun mereka dapat memberikan alibi dan harus dibebaskan kembali. Akhirnya yang berwajib menjanjikan hadiah 100 ponsterling bagi orang yang berhasil menangkap pembunuh. Lagi-lagi itu tidak membuahkan hasil.

3 minggu tidak terjadi apa-apa. Lalu penduduk daerah Whitechapel di London sekali lagi dikejutkan. Seorang pelacur dibunuh lagi. Pada tanggal 30 September pagi, orang menemukan mayat Elisabeth Stride di Berners Street dengan leher yang tersayat. Kali ini pada badan wanita muda itu tidak ditemukan cedera lain. Sebelah tangannya memegang buah anggur dan di tangan lain beberapa bonbon. Kali ini pun tidak ada bekas-bekas yang dapat dijadikan petunjuk untuk menemukan si pelaku.

Pada malam itu juga dibunuh pula seorang wanita lain, Catherine Eddows, tempat kejadiannya sekitar 10 menit dari tempat pelacur sebelumnya ditemukan. Korban ini termasuk pelacur di Whitechapel.

Dari kejadian-kejadian ini terbukti bagaimana cepatnya si pelaku bekerja dan betapa pandainya ia mengelak yang berwajib. Pada jam 01.30 seorang petugas polisi masih mengelilingi tempat di mana terjadi kejahatan dan ia tidak melihat apa-apa. 15 menit kemudian seorang laki-laki menemukan mayat di tempat yang sama, leher gadis disayat dan badan dipotong-potong.

Pembunuhan ganda di Whitechapel ini menimbulkan kepanikan di antara para pelacur di Whitechapel. Dan tentu saja mengguncang London. Hadiah penangkapan dinaikkan dari 100 ponsterling menjadi 1.000 ponsterling.

Kira-kira pada waktu yang bersamaan, polisi menerima sepucuk surat dan sebuah kartu pos, yang katanya dikirim oleh si pelaku (akan tetapi mungkin dari orang lain). Di sini untuk pertama kali disebutkan nama Jack the Ripper. Dalam surat dikatakan:

“Saya masih terus mencari korban di antara pelacur, dan saya tidak akan berhenti membunuh mereka dengan keji, hingga yang terakhir. pembunuhan yang terakhir yang paling hebat. Saya tidak memberinya kesempatan untuk berteriak. Bagaimana Anda mau menangkap saya? Saya mencintai pekerjaan saya dan akan selalu mencari korban. Anda akan segera mendengar kabar dari saya. Pada pekerjaan berikutnya nanti, saya akan memotong telinga si wanita dan akan mengirimkannya ke polisi. Pisau saya begitu .... dan tajam. Mudah-mudahan Anda baik-baik saja, dengan hormat Jack the Ripper.

Pada kartu pos yang datang beberapa hari kemudian, ia mengabarkan tentang pembunuhan ganda:

“Kali ini pembunuhan ganda. Nomor satu sebentar menjerit, saya tidak dapat dengan segera membunuhnya. Tidak mempunyai waktu memotong telinga untuk polisi…… 

Jack the Ripper.

Polisi mengirimkan kopi surat-surat tersebut kepada koran-koran terpenting, dengan permintaan untuk memuatnya. Diharapkan bahwa dengan cara itu maka masyarakat bisa membantu mengenal si pelaku dari caranya menulis. Tidak ada yang melapor kepada polisi.

Penduduk London baru saja menenangkan diri kembali, waktu pada tanggal 9 November terjadi lagi suatu pembunuhan. Di sebuah rumah di Dorset Street ditemukan mayat seorang wanita yang dibunuh dengan keji. Seorang dokter yang dipanggil menerangkan bahwa ia belum pernah melihat badan yang begitu disiksa. Wanita yang bernama Mary Jane Kelly, malam itu masih terdengar menyanyi. Ia dibunuh saat sedang tidur di kamarnya.

Karena kejadian yang mengejutkan ini, menteri dalam negeri memerintahkan polisi untuk menjanjikan kebebasan bagi semua komplotan si pembunuh, jika mereka mau memberi keterangan sehingga dapat membantu polisi menangkap pembunuh. Cara ini juga tidak berhasil.

Sesudah istirahat lebih dari setengah tahun, pada tanggal 18 Juli 1889 pagi, wanita lain dibunuh dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya. Kejahatan ini pun dilakukan cepat sekali. Seorang petugas polisi sedang makan di bawah sinar lampu jalan, seperempat jam sesudah tengah malam. 10 menit kemudian ia meninggalkan tempat itu untuk berbicara dengan seorang rekan. 50 menit sesudah tengah malam, ia kembali ke lampu tadi, di situ ada mayat seorang wanita. 40 menit sesudah tengah malam hujan turun sedikit. Karena tanah di bawah badan wanita itu kering, tetapi pakaiannya basah, maka kejahatan diduga dilakukan antara 25 menit dan 40 menit sesudah tengah malam.

Siapa Jack the Ripper itu belum pernah terungkap. Dari waktu ke waktu seseorang menyatakan telah menemukan jawaban atas teka-teki ini, akan tetapi tidak satu pun hipotesis yang diajukan dapat dipercayai sepenuhnya. Yang paling mendekati ialah dugaan bahwa George Chapman itu identik dengan Jack the Ripper, mengingat:

Jack the Ripper melakukan rentetan pembunuhan yang pertama bulan Agustus tahun 1888 di daerah kota London bernama Whitechapel. Chapman tiba di London pada tahun 1888 serta bekerja beberapa lama di daerah ini. Wanita yang waktu itu hidup bersamanya, kemudian menerangkan kepada yang berwajib, bahwa Chapman baru pulang jam 3 atau 4 pagi. Ia tidak tahu apa sebabnya.

Cara Jack the Ripper melakukan kejahatan mengungkapkan bahwa ia mempunyai pengetahuan dan keterampilan medis. Chapman berpendidikan pembantu mantri kesehatan dan telah bekerja beberapa tahun pada seorang mantri dan di sebuah klinik. Jadi ia mempunyai pengetahuan tentang anatomi dan sebagai bekas prajurit ia telah dididik di bagian pembedahan.

Salah seorang saksi yang pernah melihat Jack the Ripper dengan Kelly menerangkan bahwa orang itu berusia antara 34-35 tahun, berambut hitam, dan berkumis. Ujung kumis melengkung ke atas. Keterangan ini tepat dengan rupa Chapman, yang selalu tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.

Pada bulan Juli 1889 terjadilah pembunuhan “Ripper” yang terakhir. Pada bulan Mei 1890 Chapman membuka sebuah salon di kota Jersey City, Amerika Serikat. Menurut kabar, di situ juga terjadi pembunuhan-pembunuhan yang hampir sama. Semuanya itu tiba-tiba berhenti pada tahun 1892.

Pendapat bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik, bukan saja dikatakan oleh penulis yang telah menerbitkan akta-akta tentang Chapman, akan tetapi juga oleh petugas polisi kriminal yang diberi tugas memeriksa pembunuhan-pembunuhan di Whitechapel. Petugas-petugas kriminal ini dan seseorang dari Scotland Yard bertahun-tahun mencoba mengungkapkan kejahatan ini. Namun hanya sampai pada sangkaan-sangkaan belaka. 

Banyak hal mendukung bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik. Namun semua tidak bisa dibuktikan bahkan hingga Chapman dihukum mati. Dengan demikian, maka George Chapman alias Severin Klosowski dalam akta-akta sejarah kriminal hidup terus sebagai seorang yang misterius.

(Maximilian Jacta) 

Baca Juga: Suatu Tragedi Keluarga

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761012/apakah-dia-jack-the-ripper" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683803078000) } } [3]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726784" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-198-1980-40-apakah-20230314083600.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Max Halsmann ditemukan tewas mengenaskan saat dalam perjalanan menuruni gunung bersama putranya, usai dikabarkan jatuh ke jurang." ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-198-1980-40-apakah-20230314083600.jpg" ["title"]=> string(33) "Apakah Benar Ia Pembunuh Ayahnya?" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-14 08:36:18" ["content"]=> string(29689) "

Intisari Plus - Max Halsmann ditemukan tewas mengenaskan saat dalam perjalanan menuruni gunung bersama putranya. Saksi satu-satunya adalah sang putra yang segera mencari bantuan setelah melihat ayahnya jatuh ke jurang.

----------

Zillertale Alpen pada tanggal 10 September 1928 itu tampak disinari matahari dengan indahnya. Masih tampak sisa-sisa lapisan salju bulan Agustus pada puncaknya yang tinggi itu. Tetapi 3000 meter di bawahnya keadaannya berbeda, keras dan kering. Pada malam hari udara terasa dingin bagai di musim salju, sedang pada siang hari termometer menunjukkan angka 12°C.

Siang itu tampak dua pendaki gunung, yaitu seorang ayah dengan anaknya, sedang menuruni puncak dengan ketinggian 3000 meter itu menuju perkampungan Dominicus di ketinggian 1700 meter. Dengan ransel yang terikat erat pada tubuhnya, mereka tampak terengah-engah menuruni punggung gunung itu. Rencananya sore itu juga mereka akan meneruskan perjalanan sampai ke penginapan Breitlahner yang terletak di ketinggian 1200 meter. Mereka akan bermalam di sana untuk keesokan harinya lewat Mairhofen kembali ke Innsbruck.

Tetapi pada pukul 14.45 salah seorang dari pendaki itu, yaitu si ayah, didapati telah tewas.

Max Morschai Halsmann adalah dokter gigi dari Riga. Sejak permulaan bulan Agustus bersama keluarganya ia mengadakan perjalanan panjang. Mereka mengunjungi Jerman, Swiss dan Innsbruck. Kini tinggallah ayah dan putranya yang akan melanjutkan perjalanan mereka ke gunung. Halsmann tua memang pencinta gunung. Keinginannya begitu keras untuk melihat lagi gunung Tirol yang dicintainya yang telah sekian lama ditinggalkannya. la ingin menjelajahinya lagi seperti waktu masih muda.

Ayah dan anak pun berangkat dengan perlengkapan yang cukup dan hati yang bulat. Cuaca yang indah makin memperlancar perjalanan mereka. Sebenarnya Philipp sama sekali tidak berminat. Tetapi ia enggan menolak ajakan ayahnya. Philipp mahasiswa Fakultas Tehnik Dresden yang baru berusia 23 tahun. Ia bertemu dengan keluarganya hanya dalam waktu libur. Dalam waktu libur keluarga Halsmann berkumpul di Riga atau kalau tidak mereka bersama-sama mengadakan perjalanan panjang seperti sekarang ini.

Philipp, yang kemudian dituduh sebagai pembunuh ayahnya, sebenarnya adalah seorang pemuda yang rajin dan berwatak baik. Karena wataknya, ia disayangi oleh teman maupun gurunya. Ia pendiam sehingga jarang dibicarakan orang, di samping ia juga sedikit berhubungan dengan orang lain.

Bahwa ia pemuda Yahudi, dapat segera kita ketahui dari wajahnya. Waktu itu perasaan Anti-Semit di Jerman sedang meningkat menjadi sikap yang fanatik.

Ayahnya hidup di zaman yang berbeda. Waktu itu orang Yahudi belum dianggap sebagai bangsa yang harus dimusnahkan. Sebaliknya orang-orang Yahudi menduduki jabatan-jabatan terkemuka di mana-mana. Banyak seniman, ahli-ahli, dokter, wartawan dan dramawan terkenal keturunan Yahudi. Karena itulah Halsmann tua ini sangat berbeda dengan putranya yang peka. Ia sangat periang dan ramah. Ia senang berbincang dengan siapa saja dalam perjalanan-perjalanan. Dan bila malam tiba ia senang membuat anekdot-anekdot atau cerita yang lucu-lucu yang kadang-kadang porno dan membuatnya ikut tertawa terbahak-bahak.

Tentunya hubungan ayah dan anak ini seharusnya harmonis. Demikianlah pengadilan berusaha untuk membuktikan perbedaan sifat ayah dan anak ini. Tetapi banyak saksi yang mengetahui bahwa hubungan mereka tidak harmonis. Sifat mereka sangat berbeda.

Tak tampak adanya tanda-tanda yang tidak beres ketika kedua pendaki ini meninggalkan perkampungan Dominicus sekitar pukul 2.15. Philipp menanggalkan baju atasnya karena ia ingin agar kulitnya menjadi lebih cokelat lagi sepulangnya dari gunung. Dengan bertelanjang dada ia mengikuti ayahnya dari belakang.

Apa yang terjadi 45 menit kemudian tidak ada yang tahu hingga sekarang. Beberapa menit sebelum pukul tiga Philipp tiba di Aim, yaitu batas akhir perkampungan Dominicus. Ia menceritakan pada Mariane Hofer, seorang penghuni Aim, bahwa ayahnya mengalami kecelakaan dan ia minta bantuan secepatnya. Penggembala wanita itu kemudian segera menyuruh adik laki-lakinya Riederer, yang kebetulan sedang menggembalakan ternaknya, untuk ikut bersama dengan Philipp. Riederer segera bergegas mendatangi tempat kejadian. Sedangkan Mariane Hofer segera pergi ke penginapan Breitlahner untuk minta bantuan.

Dalam perjalanan menuju ke tempat kejadian, Halsmann menceritakan pada Riederer asal mula kejadian itu: Ayahnya karena ada sesuatu yang harus dikerjakannya maka ia tertinggal di belakang Philipp. Tetapi tiba-tiba ia mendengar jeritan dan ketika menengok ke belakang tampak ayahnya dalam posisi yang sulit digambarkan, jatuh ke dalam jurang. Ia berlari menghampirinya, tetapi ayahnya sudah terjatuh ke dalam jurang sedalam delapan meter, dalam genangan air di pinggiran sebuah anak sungai. Ia segera menarik ayahnya menjauhi air. Pada kepalanya didapatinya ada beberapa luka berdarah. Dari jari serta nafas, ia mengetahui bahwa ayahnya masih hidup.

Segera setelah mendengar jalannya cerita, si penggembala Riederer makin mempercepat langkahnya ke tempat kecelakaan, karena kini sudah jelas baginya di mana lokasi itu tepatnya. Philipp mengikutinya dari belakang dan baru lima menit kemudian ia sampai di sana. Dokter gigi Morschai telah meninggal.

Tetapi aneh, ternyata mayat itu berada dalam air. Jadi tidak benar cerita Philipp yang mengatakan bahwa ia telah menjauhi tubuh korban dari air. Pada mayat itu, selain luka pada bagian belakang kepala juga tampak ada luka yang besar dan dalam pada dahi korban. Seharusnya ini tampak oleh Philipp jika memang ia telah menarik ayahnya menjauhi sungai tadi.

Ketika Riederer sadar bahwa pertolongan sudah terlambat, maka ia pun pergi ke perkampungan Dominicus, yang telah disinggahi kedua pendaki tadi, guna meminta usungan serta sekaligus melaporkan kejadian ini. Sedangkan Philipp tetap tinggal di tempat kejadian. Ketika itu lewatlah dua orang pendaki lain. Philipp pun menceritakan kepada mereka kejadian itu persis seperti yang telah diceritakannya pada Riederer. Tetapi ketika kedua orang itu ingin melanjutkan perjalanan mereka, Philipp meminta agar mereka mau menjaga mayat itu sementara ia menelepon ibunya di Innsbruck, untuk melaporkan kejadian ini.

Tetapi di perjalanan ia bertemu dengan orang-orang kampung yang datang membawa usungan dan ia segera membatalkan niatnya semula dan ikut bersama orang-orang tadi kembali ke tempat kejadian. Di sana sudah menunggu Riederer bersama beberapa orang kampung. Di antaranya kepala kampung yang bernama Eder. Eder segera angkat bicara. Ia yakin, bahwa Halsmann tua telah dibunuh oleh putranya sendiri.

Sementara itu Philipp sendiri sama sekali tak menaruh perhatian akan percakapan orang-orang ini dan ia tidak membantah atau menjawab suatu apapun. Kata Eder selanjutnya, bahwa sejak siang tadi ketika kedua Halsmann ini singgah di kampung, ia memang sudah tidak senang melihatnya. Di tambah lagi dengan tempat yang memang strategis untuk membunuh, maka ia yakin sekali bahwa Philipplah pembunuhnya. Keyakinannya begitu kuat sehingga ia bersedia memberikan kesaksian.

Dalam suasana tegang yang memojokkan Philipp ini, akhirnya polisi Mairhofen tiba di tempat kejadian. Lagi-lagi Eder mengulangi tuduhannya. Philipp Halmann pun ditangkap dan malam itu juga ia dibawa untuk diperiksa di Innsbruck.

Langsung pada hari berikutnya tanggal 11 September 1928 diadakan penyelidikan yang cermat di tempat kejadian. Sementara Philipp diperiksa penelitian di tempat kejadian terus dijalankan. 

Polisi dengan anjing-anjing pelacak melacaki tempat kejadian. Kemudian ditemukan suatu petunjuk penting. Tidak jauh dari tempat kejadian, anjing menemukan sebuah batu yang ada percikan darahnya. Batu ini diduga keras sebagai alat yang digunakan dalam pembunuhan ini.

Yang jelas luka pada si korban dalam pemeriksaan diduga akibat pangkur. Tetapi nyatanya alat ini tak ada pada Philipp. Kini setelah batu ini ditemukan, yang memang memiliki bentuk dan tajam sama seperti pangkur, maka jelaslah sudah penyebab luka itu.

Dua orang profesor, Mexner dari Innsbruck dan Weingartner dari Wina, memberikan keterangan mengenai hasil pemeriksaan luka pada si korban. Bagian kepala belakang lukanya agak membundar. Ini diperkirakan akibat pukulan dengan batu atau pangkur sebanyak delapan sampai sepuluh kali. Pada bagian kiri kepala dekat telinga terdapat luka yang diduga akibat hantaman sebanyak enam kali. Sedangkan luka pada kening selebar 7 cm dan dalam itu hanya dapat ditimbulkan oleh suatu pukulan yang sangat keras.

Setelah pemeriksaan kedua dokter terkenal itu mengambil kesimpulan sebagai berikut: 

  1. Luka-luka penyebab kematian si korban tidak mungkin ditimbulkan hanya karena ia terjatuh.
  2. Alat yang digunakan si pembunuh ialah batu. 
  3. Si pembunuh pasti sedang gelap mata sehingga ia dapat memukul korban sampai sebanyak 15-20 kali sampai tulangnya pecah.

Ketika penuntut umum dan polisi kriminal memeriksa Philipp Halsmann, mereka membawanya ke tempat kejadian di gunung itu, tanpa memberitahu padanya tentang batu serta hasil pemeriksaan kedua dokter tadi, yaitu dugaan bahwa korban telah dipukul sebanyak 15-20 kali.

Philipp sendiri tampaknya apatis dan melankolis setelah semalaman disekap dalam tahanan. Ia sedih mengingat ayahnya, ibunya di Innsbruck dan adik perempuannya yang tentu saja akan terburu-buru datang dari Milan. Sehingga boleh dikatakan ia hampir tidak mendengarkan dan memperhatikan apa yang dikerjakan atau ditanyakan oleh petugas yang membawanya. Dia sama sekali tidak merasa terdesak oleh pertanyaan-pertanyaan polisi yang ingin menjebaknya. Semua tampaknya benar-benar seperti suatu kecelakaan. Semua berharap bahwa dengan cara ini Philipp Halsmann akan goyah dari pengakuannya semula dan melibatkannya dalam perbantahan. Tapi untuk sementara waktu tampaknya ini tidak berhasil menggoyahkan keyakinannya. Keyakinannya begitu kuat bahwa orang akan percaya kepadanya dan ini semua pasti hanya akan berlangsung beberapa hari dan sesudah itu ia akan dibebaskan.

Tetapi bagaimanapun penuntut umum dan polisi setelah penemuan batu serta kesimpulan yang diperoleh, harus bertindak tegas dan menolak teori yang mengatakan bahwa ini adalah kasus kecelakaan. Demikianlah maka Philipp Halsmann pun ditahan. Baru setelah 13 hari dalam penjara, dibeberkan padanya mengenai bukti-bukti yang telah didapatkan. Batu itu pun dibawa ke hadapannya. Tetapi Philipp tetap pada pengakuannya semula dan terus bertahan selama proses pengadilan pertama ini berlangsung. 

Halsmann juga tetap bertahan bahwa ia hanya satu kali menyentuh tubuh korban. Yaitu waktu menarik tubuh korban menjauhi air. Tetapi kenyataan membuktikan lain, tubuh korban ternyata berada dalam air ketika Riederer tiba di sana, karena itu kematian tak dapat dihindari lagi. Bukti memperlihatkan jelas bahwa posisi tubuh korban diubah sampai dua kali. Dan yang pasti Halsmann tua ini pasti diserang dari belakang. Ini dapat diketahui dari luka-luka pada kepala belakangnya.

Semua ini dipaparkan pada Halsmann jauh setelah kejadian itu dan juga jauh dari tempat kejadian, yaitu 13 hari kemudian, di kantor pengadilan Innsbruker. Atas tuduhan bahwa korban telah dihunjam sebanyak 15-20 kali, Philipp hanya tertawa saja.

Juga pada tanggal 11 September itu orang tidak memberitahukan telah diketemukan lagi hal-hal yang tak sesuai dengan pengakuan Philipp. Bahwa tempat yang ditunjuk Philipp sebagai tempat jatuhnya ayahnya waktu ia ingin membuang hajat, hanya batu-batu pinggirannya yang terinjak.

Philipp bersikeras bahwa ini kasus kecelakaan sehingga dengan sendirinya menutupi kemungkinan adanya orang ketiga. Selama proses penyelidikan Philipp merasa tidak perlu untuk memperhatikan ucapan kecil yang tidak sesuai dengan tempat yang ditunjuknya sebagai tempat jatuh ayahnya. Baru kemudian Philipp tahu bahwa tuduhan yang dijatuhkan padanya serius. Jelas baginya bahwa polisi dan penuntut umum tidak mengatakan padanya mengenai hal ini dengan terus terang agar ia terperangkap. Tetapi ini sudah terlambat.

Sebenarnya Philipp masuk perangkap karena ia tidak mendengarkan. Ia terlibat dalam perdebatan yang sengit mengenai tempat ia berada waktu kejadian ini berlangsung. Bagaimana pun juga ia bertahan pada apa yang pernah dikatakannya dulu: ia menjauhkan kepala korban dari air dan benar adanya luka-luka berdarah pada kepala korban. Tetapi mengenai jarak berapa jauh ia berada dari tempat kejadian, tak dapat dipertahankan.

Mula-mula dikatakannya ia berada 8 langkah dari ayahnya ketika tiba-tiba ia mendengar jeritan lemah. Tetapi selama pemeriksaan pendahuluan ia mengatakan bahwa boleh jadi jarak itu sejauh kira-kira 180 langkah, sehingga ia membutuhkan waktu 3-5 menit untuk mencapainya.

Anehnya para hakim pemeriksa sama sekali tidak berusaha memecahkan persoalan ini dalam sidang pengadilan setempat. Juga pembela Halsmann tidak berhasil menerangkan hal ini. Yang memberatkan Halsmann adalah bahwa jarak dirinya dengan ayahnya waktu itu kurang lebih dua meter.

Andaikata keterangan Philipp dapat dipercaya tentang jaraknya dengan ayahnya waktu terjadi kecelakaan dan kita cocokan dengan keterangan para ahli mengenai luka-luka pada si korban yang diakibatkan oleh 20 hantaman batu, akan timbul pertentangan yang sukar dipecahkan. Akhirnya diambil jalan penyelesaian termudah yaitu dengan menganggap pengakuan Philipp tidak benar dan ia dituduh sebagai pembunuhnya.

Kalau seorang anak membunuh ayahnya, maka ia harus diajukan ke pengadilan sebagai pembunuh. Artinya batu yang berbentuk aneh ini memang khusus dipersiapkan oleh si pembunuh. Perbuatan ini dipandang sebagai suatu tindakan yang sangat brutal. Anehnya para pemeriksa perkara sama sekali tidak mempertimbangkan adanya kemungkinan korban dibunuh oleh orang ketiga, yaitu ketika Philipp sedang pergi mencari bantuan.

Tetapi pembela Halsmann, dr. Pressburger, memperoleh jalan keluar teka-teki ini. Ia menduga, Halsmann tua yang memang menderita sakit jantung mendapat serangan kecil dan terjarah. Sebenarnya ini sama sekali tidak membahayakan atau bahkan dapat mematikannya. Tetapi ia tewas karena luka parah pada kepalanya. Bahwa selama setengah jam ditinggalkan Philipp itu korban telah dirampok dan dibunuh oleh orang ketiga.

Perkara pembunuhan diajukan pada tanggal 16 Desember 1928 dan hukuman dijatuhkan oleh pengadilan Innsbruck. Philipp Halsmann dijatuhi hukuman 10 tahun dalam penjara bawah tanah.

Proses pengadilan Halsmann ini menarik perhatian umum di Austria dan bahkan sampai jauh di luar batas negara tersebut. Sementara itu timbul isu-isu politik dan “kepekaan masyarakat” dihasut oleh pers. Banyak orang menganggap pantas “anak Yahudi” berbuat demikian. Walau sebenarnya ini tak ada alasan sama sekali.

Hukuman yang dijatuhkan sidang pengadilan Innsbruck hanya berdasarkan pada indikasi. Tak ada pengakuan yang nyata. Indikasi tersebut adalah: 

  1. Hanya Philipp yang selalu berada di dekat ayahnya. Jadi tak ada orang lain, sehingga segala sesuatunya dapat dikerjakannya dengan leluasa. Daerah yang memang sudah menjadi rute bagi orang yang mendaki gunung itu sudah dipertimbangkan.
  2. Adanya pernyataan Eder, si pengelola losmen, yang begitu kuat bahwa Philipplah pembunuhnya. Karena memang sejak siang itu ia sudah merasa antipati terhadap Philipp. 
  3. Sebuah indikasi yang lebih serius adalah jarak Philipp dengan si korban. Namun menurut Profesor Stoss, seorang guru besar hukum pidana yang berpengalaman, hukuman yang dijatuhkan pada Philipp itu keliru. Karena keterangan itu salah. Menurut pembela, kekacauan itu disebabkan karena Philipp sedang bingung.

Tetapi menurut pembela dan Prof. Stoss, ada hal-hal yang dapat meringankan tuduhan yang dijatuhkan pada tertuduh: 

  1. Tidak adanya motif untuk melakukan pembunuhan. 

2.Pembunuhan berdarah pasti akan meninggalkan bekas pada pelaku. Mustahil tak ditemukan sepercik darah pun pada pakaian pelaku, jika memang ia telah memukul korban sampai 20 kali. Sedangkan pada pakaian Philipp sama sekali tak ada percikan darahnya. 

  1. Batu yang digunakan si pembunuh, menurut para ahli benar-benar merupakan alat pembunuhan yang sudah dipersiapkan, karena dapat menimbulkan luka-luka sama seperti pangkur. Pelaku menemukan batu ini bukan hanya secara kebetulan melainkan memang khusus dipilihnya untuk tujuan ini. Ini menunjukkan bahwa si pelaku adalah pembunuh yang sudah lihai. 
  2. Perbuatan yang sangat brutal ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang anak muda yang memiliki sifat lembut dan perasa. Sehingga hal ini hanya mungkin dapat dilakukannya dalam keadaan di luar sadarnya. Kemungkinan ini belum disinggung sama sekali oleh pengadilan. 
  3. Philipp dan ibunya, yang juga menjadi saksi dalam proses pengadilan ini, mengatakan bahwa ayahnya pada waktu bepergian itu membawa uang kertas 500 Franc Swiss. Uang ini tadinya ingin ditinggalkannya tapi istrinya menolak. Sedangkan pada mayat ditemukan sebuah dompet yang sudah kosong. Philipp mengatakan bahwa ia menyaksikan sendiri, pada waktu makan siang di perkampungan Dominicus, setelah selembar ratusan disimpan, dalam dompet ayahnya masih ada mata uang Schilling 50-an dan dua mata uang 20-an dan satu 10-an. 
  4. Seorang polisi dan si pemilik Eder, 17 hari setelah kejadian telah menemukan tiga lembar uang kertas Schilling yang ada percikan darahnya, dua lembar 20-an dan satu 10-an telah ditemukan di bawah himpitan sebuah batu dekat tempat kejadian. 

Keterangan ibu dan adik perempuan tertuduh dalam proses ini tidak begitu dapat memengaruhi juri akibatnya timbul ketegangan. Kawan-kawan Philipp bagaimana pun juga ngotot akan tetap membelanya.

Proses pengadilan mencapai puncaknya di mana semua orang dalam ruang pengadilan itu menghendaki pembebasan si tertuduh.

Tetapi jaksa tetap pada tuntutannya semula dan menuntut hukuman yang sesuai bagi seorang pembunuh. Pembelaan menuntut pembebasan tak dapat dipenuhi karena kurangnya bukti.

Hakim kemudian memutuskan: Tertuduh bersalah karena telah melakukan pembunuhan. Untuk itu ia dijatuhi hukuman 10 tahun dalam sel bawah tanah.

Walaupun demikian keputusan pengadilan belum bisa dilaksanakan. Masyarakat umum masih terus membicarakan kasus Halsmann ini. Selalu saja dia itu dihubungkan dengan politik. Di sini pendapat masyarakat telah terpecah. Mereka yang sudah menjurus pada rasa chauvinisme, yaitu orang-orang Nazi di Jerman dan Austria dan orang-orang konservatif memuji hukuman ini. Mereka yang berpikiran maju merasa wajib menegakkan keadilan dan perikemanusiaan heran dan menganggap ini sebagai suatu kekeliruan keputusan pengadilan.

Para ahli kriminal dan hakim terkenal di Austria dan Jerman mencela hukuman ini. Di universitas-universitas para mahasiswa mengadakan demonstrasi menentang hukuman Halsmann ini. Para professor dalam ceramahnya menyatakan rasa ketidakpuasan mereka.

Juga dr. Erismann, seorang psikolog eksperimental dari universitas Innsbruck, jadi bukan seorang ahli hukum, yang menjadi pendengar setia selama proses pengadilan ini, juga tidak yakin akan kesalahan tertuduh. Akhirnya ia juga ikut angkat suara. la memberikan pendapatnya di mana pendapat ini kemudian dipakai dalam pembelaan proses pengadilan yang kedua yang berlangsung setahun kemudian.

Dr. Erismann yakin bahwa ini merupakan perbuatan jahat orang lain yang dilakukan ketika Philipp sedang meninggalkan tempat kejadian ini. Sedangkan pengakuan yang tidak konsisten dari tertuduh mengenai jarak tertuduh dengan korban, hanyalah karena tertuduh khilaf saja. Menurut dr. Erismann mula-mula keterangan Halsmann, jadi keadaan sebelum ia menyadari bahwa seseorang telah mencurigainya, sangat meyakinkan. Di satu pihak ia mengatakan bahwa ia hanya beberapa langkah jauhnya dari korban. Di lain pihak ia mengatakan bahwa untuk mencapai tempat korban ia membutuhkan tempo 3-5 menit. Dengan sendirinya dari keterangan yang membingungkan ini tak dapat diambil suatu keputusan yang tepat. Ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan di dalam pemeriksaan maupun di dalam sidang pengadilan itu sendiri.

Alasan-alasan keberatan pembelaan yang menentang keputusan pengadilan Innsbruck ini akhirnya sampai ke pengadilan tinggi di Wina. Tetapi anehnya kasus ini diserahkah kembali ke tangan pengadilan yang sama yang telah menjatuhkan hukuman ini, yaitu pengadilan Innsbruck.

Dalam pemeriksaan yang kedua digunakan sebuah tesis baru dari fakultas. Lagi-Iagi jalan pikiran Halsmann yang tidak konsisten ini ditolak oleh para ahli dan sekali lagi ia dituduh berbohong. Tetapi bagaimanapun juga fakultas merasa wajib untuk memberi keterangan tentang karakter Halsmann. Namun tentu saja sifat ini bukan berarti ia pembunuhnya. Andaikata memang dia pelakunya, maka menurut fakultas ia tak dapat dipertanggung jawabkan untuk pembunuhan sengaja. Ditinjau dari karakter anaknya rasanya tak mungkin. Demi si tertuduh, dan demi keadilan, ini dianggap kasus pembunuhan tanpa niat lebih dulu.

Menurut hukum Austria, pembunuhan tanpa sengaja adalah bila orang itu tak mempunyai maksud membunuh. Tetapi dalam keadaan tertentu secara tak sengaja berbuat sesuatu sehingga korban meninggal.

Pemeriksaan kedua diadakan pada tanggal 19 September 1929. Setelah satu tahun kurang sehari dalam tahanan, Philipp diperiksa lagi.

Dalam pemeriksaan ini akhirnya dilakukan penyelidikan di tempat. Setelah satu tahun ditemukan satu titik sejauh 170 langkah dari si korban yang cocok dengan lukisan Philipp semula: Bisa menduga dan melihat tempat jatuhnya ayahnya. Tak tampak dari sana jurangnya. Dan memang ada kemungkinan terdengarnya seruan minta tolong. Untuk menyesuaikan pengakuannya dengan tahun lalu, Halsmann mengatakan bahwa kemungkinan besar apa yang pernah dikatakannya dulu keliru. Boleh jadi taksiran tempo yang dibutuhkannya untuk mencapai korban lebih tepat. Mungkin waktu itu ia mendengar jeritan ayahnya. Ia tidak pernah menegaskan bahwa ia dapat mengingat benar di mana tepatnya ia berada, melainkan ia hanya dapat merekonstruksikan waktu saja. Hal ini tadinya tak dianggapnya penting.

Ketika itu dalam proses pengadilan yang kedua, ketua sudah menutup pengumpulan bukti dan pembela ingin menyampaikan pledoinya, masih terjadi suatu insiden. Penuntut umum meminta untuk dibacakannya pendapat fakultas. Pembela menolak hal ini, karena dalam penyelidikan kedua telah ditemukan fakta yang belum dipertimbangkan waktu pendapat tersebut dinyatakan.

Pengadilan memutuskan untuk minta pendapat baru fakultas. Sehingga untuk sementara sidang pengadilan terhenti. Baru setelah pendapat itu masuk maka sidang dapat berjalan lagi pada tanggal 16 Oktober 1929, jadi setelah selang satu bulan yaitu batas maksimum ditundanya suatu sidang.

Hasil kesimpulan fakultas yang baru ini terbagi atas dua bagian. Bagian pertama mempersoalkan kemungkinan ingatan tertuduh kacau. Teori dari pembela dianggap tak masuk akal. Terutama dalam soal salah ingat mengenai jarak tertuduh dengan korban. Di mana jarak beberapa langkah dapat menjadi 180 langkah, jelas tidak mungkin.

Dalam bagian keduanya fakultas agak “menyimpang” dari pertanyaan yang diajukan. Mereka memberi laporan mengenai pertanyaan yang diajukan sendiri yakni bagaimana mereka akan menerangkan perbuatan itu, andaikata Philipp benar pembunuh ayahnya. Karena motif maupun petunjuk lain untuk pembunuhan tidak ada, fakultas berusaha untuk menerangkan jalannya perbuatan itu dengan kepribadiannya.

Teori absurd fakultas, bahwa Halsmann bukanlah bersalah sebagai pembunuh yang sudah merencanakan pembunuhan itu, melainkan membunuh tanpa niat lebih dulu, ditentang. Barang siapa memukul Halsmann tua dengan 20 pukulan menurut Prof. Stoss, tak bisa lain dia adalah seorang pembunuh. Kesimpulan fakultas ini jelas memberi kesempatan pada pengadilan untuk meringankan hukuman, biarpun fakultas sendiri menganggap bahwa tuduhan pembunuhan itu tidak benar.

Dalam proses pengadilan yang kedua ini penuntut umum tetap bertahan pada tuntutannya semula dan sama sekali tidak terpengaruh oleh tesis yang dikeluarkan fakultas. Lagi-lagi ia menuduh Philipp telah melakukan pembunuhan yang memang sudah direncanakan. Dalam pledoinya ia menjelaskan, bahwa bila dilihat dari waktu dan tempat, kemungkinan perampokan oleh orang ketiga, jelas tidak mungkin. Sebaliknya tidak mustahil untuk memukul korban sampai 20 kali dalam setengah jam dan dalam alam yang terbuka juga banyak tempat.

Tetapi akhirnya pengadilan memberikan dua pilihan pada dewan juri, bahwa manakah yang mereka pilih, Philipp dituduh sebagai pembunuh ayahnya dengan sengaja ataukah sebagai pembunuh yang tak disengaja. Pilihan pertama dikalahkan dengan suara 7 lawan 5. Menurut hukum Austria hasil ini diumumkan. Pilihan kedua diterima dengan perbandingan 8 lawan 4. Sebagai pembunuh tak sengaja Philipp dijatuhkan hukuman empat tahun dalam sel bawah tanah.

Alasan keberatan para pembela ditolak oleh Mahkamah Agung Wina. Hukuman yang telah dijatuhkan sekarang ini sudah tak dapat diganggu gugat lagi. Halsmann pun masuk penjara. Tetapi apakah seorang ahli hukum akan puas dengan semua ini, tidak seorang pun tahu. Bukti indikasi pokoknya gagal. Seharusnya menurut asas-asas “in dubio proreo” tertuduh dibebaskan. Juga presiden Austria rupanya kurang setuju dengan keputusan pengadilan ini. Karena pada tanggal 30 September 1930, jadi dua tahun setelah kejadian tersebut dan satu setengah tahun keputusan pengadilan, Philipp Halsmann diberi pengampunan.

Selama ini Philipp tak pernah tampak berusaha untuk minta kebebasan dengan mengajukan penyelidikan ulang. Boleh dikatakan ia menerima dengan rela hukuman itu. Ia sering mengatakan bahwa ia sudah muak dengan semua ini. Tetapi yang penting dua minggu sebelum pembebasannya, Adolf Hitler menguasai parlemen Jerman dengan 130 kursi.

(Erich Ebermeier)

Baca Juga: 2 Pembunuhan di Asrama

 

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726784/apakah-benar-ia-pembunuh-ayahnya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678782978000) } } [4]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3605814" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/mayat-bajang-menangkap-pembunuh_-20221212090110.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "Meski berakhir pekan di Vila, Roby Hasan tetap menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namun ia tewas tertembak setelah dikunjungi salah seorang stafnya." ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Misteri" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(7) "mystery" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1368) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Misteri" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/mayat-bajang-menangkap-pembunuh_-20221212090110.jpg" ["title"]=> string(31) "Mayat Bajang Menangkap Pembunuh" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-12 09:01:26" ["content"]=> string(30660) "

Intisari Plus - Meski berakhir pekan di Vila, Roby Hasan tetap menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namun ia tewas tertembak setelah dikunjungi salah seorang stafnya. Pembunuhan?

--------------------

Kendati sudah berusia 60 tahun, Roby Hasan masih energik mengelola perusahaan iklan miliknya yang lumayan besar di Surabaya. Setiap hari dalam sepekan, kecuali Sabtu dan Minggu, dijalani dengan kerja keras. la bekerja mulai pukul 08.00 hingga petang, malah tak jarang dilanjutkan dengan lembur sampai tengah malam. Namun mengingat manusia bukan mesin, tak urung ia memerlukan istirahat.

Sabtu pagi, 9 Mei 1998, Roby tiba di vilanya yang nyaman. Vila Lembah Hijau yang terletak di Pacet, 67 km dari Surabaya. Meski di tempat peristirahatan tersebut ia berkesempatan mencuci pikiran keruh akibat bisnis, toh Roby masih memutar benaknya guna menyisihkan sejumlah pesaing dalam memperebutkan “kue” berupa para pembeli jasa periklanan yang semakin menyusut jumlahnya. 

Yang jelas, kawasan ini memiliki pemandangan yang indah. Orang bisa melepaskan pandangan sebebas-bebasnya ke puncak Gunung Welirang atau menikmati bayang ungu kebiruan sosok gagah Gunung Penanggungan. Di saat demikian, menguap segala kejenuhan akibat rutinitas kerja keras, serta kebosanan gangguan hiruk-pikuk kota besar yang panas. Bagi Roby, waktu singkat harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebab esok ia harus kembali ke Surabaya untuk persiapan kerja di hari Senin.

 

Terpaksa dilinggis

Kedatangan Roby Hasan disertai Shinta Wulandari, putri tunggalnya, dan sang menantu, Dicky Hermanto. Mereka satu mobil dari Surabaya. Meski istrinya sudah meninggal 15 tahun silam, rupanya Roby tidak berniat mencari pengganti. Kebetulan pula Shinta seperti tidak membutuhkan ibu tiri. Jangan-jangan kerja keras gila-gilaan Roby itu pelarian dari rasa kesepian, seloroh temah-teman Roby.

Biasanya mereka menikmati akhir pekan dengan bercanda sambil menyantap roti bakar dan kopi panas di udara sejuk pegunungan. Namun kali ini tidak demikian, sebab ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu mendesak. Naskah penawaran kontrak dengan sebuah perusahaan besar yang bakal menjadi pelanggan baru harus siap di hari Senin. Bukankah kesan baik wajib diberikan terhadap klien baru?

Agar dapat kerja lembur, Roby perlu istirahat lebih dulu. Siang itu, sesudah bangun dari tidurnya yang lelap, Roby masuk ke kamar pribadi yang sekaligus juga menjadi ruang kerja. Pintu ditutup dan dikuncinya dari dalam. Shinta dan orang lain di vila itu tahu bahwa Roby sedang tenggelam dalam tumpukan kertas kerjanya.

Sekitar satu jam kemudian sebuah kijang kapsul memasuki halaman vila Lembah Hijau. Shinta yang kebetulan sedang duduk di beranda muka menyambut tamu yang sudah dikenal itu. Norman Setyawan, manajer pemasaran yang diandalkan di perusahaan Roby.

Setelah diberi tahu bahwa kedatangannya karena ada janji dengan ayahnya, maka perempuan itu pun mengantarkan tamunya ke dalam. Roby mempersilakan Norman langsung masuk ke ruang kerjanya. Selanjutnya, pintu ditutup kembali oleh Roby.

Sampai beberapa waktu kemudian, Shinta mengajak suaminya keluar mencari penganan. Keduanya pergi bermobil, sebab pertokoan dan deretan rumah makan agak jauh jaraknya dari vila mereka.

Setiba di tempat tujuan, Shinta tergoda warung bakso kondang. Meski pembeli berjubel, Shinta tak mengurungkan niat jajan di sana. Saat menunggu giliran dilayani, Dicky menyempatkan pergi sebentar untuk membeli rokok di toko seberang jalan.

Sekembali di vila, tak terlihat lagi mobil Norman. Shinta agak kecewa, sebab ia sudah membeli penganan buat tamunya. Pak Somad, lelaki lima puluhan itu dipanggilnya untuk ditanyai seputar kepulangan Norman Setyawan.

Pak Somad yang sudah bekerja di vila itu sejak dibeli oleh Roby dikenal sebagai orang dusun yang lugu. Kata Pak Somad, tamunya sudah pulang beberapa waktu sebelumnya.

Shinta kemudian mencoba mengetuk pintu kamar ayahnya untuk mengantarkan penganan yang telah dibelinya. Namun tak terdengar suara jawaban dari balik pintu yang masih terkunci rapat dari dalam. Shinta menduga, ayahnya sedang beristirahat, siapa tahu ia tertidur di ranjangnya.

Waktu terus berjalan, jam dinding sudah menunjukkan pukul 19.05. Bosan menunggu ayahnya keluar dari kamar, kembali Shinta mengetuk pintu kamar ayahnya berulang kali. Tak terdengar sepatah kata pun sahutan dari dalam.

Kesabaran Shinta habis. Dipanggilnya Pak Somad, Unggul Basuki, si tukang kebun, dan Mbok Warsiah tukang masak untuk membantu Dicky mendobrak pintu kamar Pak Roby. Akhirnya dengan bantuan linggis, pintu berhasil dibuka.

Betapa kaget Shinta begitu melihat ayahnya tergeletak tak bernyawa di meja kerjanya. Untung Dicky sigap menangkap tubuh Shinta yang limbung akibat syok. Sambil memangku istrinya yang pingsan, Dicky meraih telepon selular untuk menghubungi polisi setempat.

 

Semua punya alibi

Iptu Marselino Gunawan meski tidak dalam jam tugas bersedia mendampingi Briptu Suseno Adi. Mereka tiba sekitar 20 menit setelah menerima telepon dari Dicky.

Saat Suseno memotret TKP, Marselino meneliti seluruh bagian ruangan, sejengkal demi sejengkal. Mulai dari plafon, seluruh bagian dinding yang dilapisi wallpaper, tiga lukisan di dinding, dan sejumlah perabot termasuk seperangkat komputer pribadi.

Posisi Roby duduk di kursi kerja dengan kepala tertelungkup di atas meja tulis, sementara tangan kanannya menggenggam pistol berperedam. Sepintas mengesankan korban meninggal karena bunuh diri.

Posisi Roby duduk di kursi kerja dengan kepala tertelungkup di atas meja tulis, sementara tangan kanannya menggenggam pistol berperedam. Sepintas mengesankan jika korban meninggal karena bunuh diri. 

Yang jelas, Roby berada dalam kamar yang terkunci rapat dari dalam. Bahkan anak kuncinya ditemukan masih tertancap di sisi dalam pintu kamar itu. Di bagian atas lubang anak kunci terdapat selot dalam posisi tersorong menutup, artinya terkunci dari dalam kamar. Keadaan itu sangat menyulitkan petugas penyidik dalam membuat dugaan.

Betapapun belum ditemukan petunjuk tentang kemungkinan adanya jalan rahasia yang dilalui si pembunuh untuk keluar dari kamar itu. Maka Marselino meminta semua penghuni vila untuk berkumpul guna ditanyai satu per satu. Semua hasil interogasi dicatat oleh Suseno, anak buahnya.

Beberapa jam kemudian dua petugas itu meninggalkan vila. Namun, Marselino sempat berpesan agar mereka bersedia ditanyai lebih lanjut bilamana diperlukan. Esoknya, Minggu, 10 Mei 1998, sepulang dari gereja, Marselino Gunawan mampir ke kantornya. Di hadapannya duduk seorang lelaki setengah baya yang baru saja datang dari Surabaya.

“Nama bapak Norman Setyawan, bukan?” sapa Marselino setelah berbasa-basi sejenak.

“Benar, Pak.” 

“Apakah Anda kenal Pak Roby?” 

“Dia bos saya, Pak.” 

“Bagaimana Anda bisa cepat tahu ada kejadian itu?” 

“Tadi pagi-pagi sekali saya mendapat telepon dari suami Jeng Shinta, Pak.” 

“Begini, Bapak merupakan orang terakhir yang bertemu Pak Roby.”

“Ya, tapi itu tidak berarti saya yang membunuh, ‘kan Pak?”

“Memang. Tapi sebagai penyidik saya harus mencari fakta kebenaran kata-kata itu. Lantas apa keperluan Bapak menemui Pak Roby?”

“Soal pekerjaan, Pak. Beliau meminta saya datang ke vila dengan membawa beberapa dokumen untuk persiapan penawaran kontrak serta merancang agenda kerja untuk Senin besok.”

“Pukul berapa Anda meninggalkan kamar itu? Lalu, apakah Anda melihat Pak Roby sendiri yang menutup pintu kamar ketika Bapak meninggalkannya?”

“Saya meninggalkan Pak Roby sendirian di kamar itu kira-kira pukul lima sore. Seingat saya, beliau sendiri yang menutup kembali pintunya.”

“Apa Bapak mendengar bunyi pintu itu dikunci dari dalam?”

“Wah, itu tidak saya perhatikan, Pak.”

“Sewaktu Bapak keluar dari vila, apa ada orang lain?”

“Saat itu keadaan amat sepi. Kalaupun ada orang lain, saya tidak memperhatikannya.”

“Baik, Pak Norman, saya rasa kali ini cukup sekian dulu dan bilamana diperlukan, saya mohon Bapak mau berbincang-bincang lagi dengan saya seperti ini.”

“Saya siap, Pak.” 

Sepeninggal Norman, Marselino, lelaki akhir tiga puluhan itu, berjalan mondar-mandir di ruangan sementara Suseno sedang menyelesaikan ketikan laporannya. Benaknya penuh rencana untuk menemukan cara tersingkat guna memecahkan kasus itu. Sayangnya, jalan itu masih berliku-liku.

Pertanyaan-pertanyaan awal sudah diajukan kepada sejumlah orang yang terkait dengan tempat kejadian. Tapi hasilnya masih mengambang, sehingga sulit untuk ditarik kesimpulan.

Pak Somad, pelayan vila, mengetahui kepulangan tamunya hanya dari bunyi deru mobil. Pak Somad sendiri tengah sibuk membantu Mbok Warsiah, perempuan lima puluh tahun yang sedang asyik mempersiapkan makan malam di dapur. Unggul Basuki pun sedang sibuk di kebun belakang vila. Sedangkan Shinta dan suaminya sedang berbelanja makanan. Semua punya alibi saat pembunuhan terjadi.

Pembunuhan? Benar, itu pembunuhan, bukan bunuh diri. Menurut hasil pemeriksaan sementara labkrim, bercak darah yang ditemukan sekitar dua meter dari pintu kamar sama dengan jenis darah Roby. Artinya, Roby tewas di tempat lain baru kemudian dipindah dan didudukkan di kursinya. Sulitnya, di pistol yang digenggam Roby tidak ditemukan sidik jari lain, kecuali sidik jari Roby. Atau jangan-jangan si pelaku bersarung tangan?

Mengingat Roby Hasan tinggal dan bekerja di Surabaya, Marselino perlu mendapatkan rekomendasi dari atasannya, Kapolres di Mojokerto, untuk bekerja sama dengan pihak kepolisian di Surabaya.

 

Tertuduh baru

Sekeluar dari kantor polisi, Shinta tidak langsung kembali ke vilanya. la malah membelokkan mobilnya ke sebuah kafe kecil. Sambil menikmati sepotong donat dan segelas es jeruk, ia memandangi vilanya di kejauhan. Seketika ia teringat akan kematian ayahnya. Sarjana psikologi itu bertekad mencari si pembunuh.

Dari antara semua karyawan, termasuk Dicky suaminya, ia sampai pada sebuah nama, Johansyah Marga. Lelaki muda tampan itu baru beberapa bulan bergabung dengan perusahaan mendiang ayahnya. Kabarnya pemuda itu anak pengusaha besar di Jakarta, namun karena ingin mengembangkan bisnis, Johansyah mau mendanai beberapa proyek besar ayah Shinta. Kecurigaan itu timbul karena suatu kali Shinta pernah mendengar ayahnya ribut besar dengan Johansyah di ruang kerja ayahnya di kantor. Dari balik pintu samar-samar ia mendengar Johansyah mengancam Roby.

Repotnya, Shinta tidak bisa langsung menuduh Johansyah, sebab saat peristiwa pembunuhan itu terjadi, kabarnya Johansyah berada di Jakarta.

Shinta melihat arlojinya sudah pukul 12.00, sejam lagi ia harus menelepon suaminya di Surabaya. Beberapa menit setiba Shinta di vila, telepon berdering.

“Selamat siang Mbak Shinta, ini saya, Marselino!” 

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” 

“Begini, tolong suami Mbak diminta datang ke kantor, saya ada perlu sedikit.” 

“Baik, Pak. Tapi, ada yang ingin saya sampaikan. Soal kecurigaan saya pada seseorang.”

“Oh ya, apa itu, Mbak?”

“Tapi, saya tidak tahu, apakah ini betul atau tidak,” ujar Shinta gugup.

“Katakan saja, jangan ragu. Saya akan menyimpan semua informasi dari Mbak.”

“Baik, saya curiga dengan Johansyah Marga,” tutur Shinta. 

Saat mendengarkan penuturan Shinta tentang Johansyah Marga, Iptu Marselino tampak mencorat-coret selembar kertas di hadapannya, mungkin catatan tambahan tentang kasus pembunuhan Roby.

Catatan itu sangat membantu Iptu Marselino saat menghadapi Dicky Hermanto. Yang belakangan disebut ini kala hendak melewati pintu ruang kerja Iptu Marselino, tampak akan membuang rokoknya yang masih panjang, namun Marselino mencegahnya.

“Tak usah, Mas Dicky. Di sini boleh merokok!”

Pertemuan itu dimulai dengan berbasa-basi sampai akhirnya tiba di persoalan interogasi. 

“Jadi, Mas Dicky baru tujuh bulan berumah tangga dengan Mbak Shinta?”

Dicky mengangguk tenang, dan seperti biasa, bunyi ketikan Briptu Suseno meramaikan suasana di ruang interogasi.

“Sudah berapa lama Anda bekerja di perusahaan mertua?”

“Baru empat bulan lebih, Pak.”

“Tapi Mas Dicky sudah mengenal para karyawan di sana, bukan?”

“Saya mudah akrab dengan siapa saja, Pak. Walau menantu Bos, saya tak punya masalah pergaulan dengan karyawan lain. Pak Roby pun tidak mengistimewakan saya. Beliau bisa pas menempatkan diri, antara sebagai pimpinan di tempat kerja dengan sebagai mertua di rumah.”

“Begitu juga halnya dengan Pak Norman Setyawan, ya?”

“Saya pun akrab dengannya karena kami punya banyak kesamaan. Tapi, ada satu hobinya yang tidak saya sukai. la senang berjudi. Karena sering kalah, utangnya pun menumpuk. Malah istrinya pernah datang ke kantor untuk mengadukan kebiasaannya itu,” tutur Dicky.

“Kalau Anda, apa juga senang berjudi?” 

“Wah, enggaklah, Pak. Tapi, agar tidak dikatai sok suci, sesekali saya pasang togel, beberapa nomor saja,” jawab Dicky sambil tersenyum kecut.

Marselino tertawa. 

“Nah, sewaktu Mas Dicky meninggalkan istri di warung bakso untuk membeli rokok di toko seberang, apakah Anda sempat bertemu dengan seseorang yang Anda kenal?”

“Rasanya tidak. Saya memang butuh waktu cukup lama, karena ternyata toko terdekat itu tidak menjual rokok kesukaan saya.”

“Mas Dicky pasti kenal Pak Johansyah Marga. Bagaimana pendapat Anda tentang dia?”

“Yang saya tahu, dia orangnya sopan. Selain itu, saya tidak tahu banyak karena dia lebih sering berada di Jakarta.”

“Soal kerja sama dengan mertua Anda?”

“Entahlah. Yang pasti, dia mau bekerja sama dengan mertua saya tentu karena melihat prospek yang baik.”

Iptu Marselino diam, sementara Suseno sibuk mengetik.

Setelah Dicky meninggalkan kantor, Marselino memikirkan berbagai kemungkinan yang telah dilakukan oleh Norman Setyawan; sang penjudi. la perlu diminta datang lagi dari Surabaya, tapi itu akan memakan waktu.

 

Mayat bajang

Pacet, desa di lereng gunung itu semula dikenal oleh masyarakat kota kecil terdekat hanya sebagai dataran tinggi pertanian sayur-mayur. Setelah ada pengusaha dari kota besar yang mengelola sumber air panas berkandungan belerang sebagai pemandian alami yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit, maka orang dari kota besar, terutama Surabaya dan sekitarnya, berdatangan. Alam cantik dengan udara yang sejuk bersih amat mendukung perkembangan daerah itu. Maka beberapa rumah peristirahatan pun dibangun di lereng-lereng gunung, salah satunya Vila Lembah Hijau.

Mungkin mengimbangi perilaku manusia, alam pun tak selalu ramah. Sebagaimana yang terjadi pada Kamis itu, 14 Mei 1998. Sejak pagi, Pacet tak henti diguyur hujan deras. Pepohonan tumbang diterjang tanah longsor dan air bah dari gunung. Sebab beberapa bagian hutan telah rusak oleh tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Saat santai Shinta dan Dicky terganggu dengan datangnya Pak Somad. 

“Pak Dicky! Jeng Shinta!” seru Pak Somad 

“Ada apa, Pak? Bicara pelan-pelan, yang jelas!”

“Vila ini diterjang banjir dan dinding bagian belakang mulai ambrol!”

“Masa?” teriak Shinta.

Dicky bergegas beranjak menuju tempat yang dimaksud Pak Somad.

Mereka melihat Unggul dan Mbok Warsiah sedang berusaha menyisihkan barang-barang yang mulai tergenang air. Dengan cangkulnya Unggul membendung air supaya dapat menyisih. Tapi usaha Unggul sia-sia, sebab arus air dari lereng atas sangat deras dan kuat. Akibatnya, dinding belakang kamar pribadi mendiang Roby pun jebol.

Untung musibah di vila itu reda sejam kemudian. 

Tiba-tiba kelegaan itu dipecah oleh teriakan Mbok Warsiah. la tampak menunjuk sesuatu. Shinta dan yang lain tak kurang ngerinya ketika melihat sesosok makhluk diam tidak bergerak.

“Mayat orang cebol, bajang!” Pak Somad menjelaskan.

Dengan tangan gemetar Shinta mengambil telepon genggam untuk menghubungi yang berwajib.

Hujan rintik menyertai kedatangan Marselino dan Suseno. Suseno memotret, mencatat dan melaksanakan pekerjaannya dengan teliti. Sedangkan Marselino menghubungi puskesmas untuk minta bantuan mobil ambulans. Iptu Marselino ingin mayat diautopsi.

Saat hujan berhenti, sementara Mbok Warsiah mengepel lantai, Shinta membenahi barang-barang di kamar pribadi almarhum ayahnya. Selang beberapa saat kemudian Shinta tersentak saat melihat sesuatu yang tak lazim. Pondasi beton yang berfungsi sebagai dudukan lemari besi yang seharusnya padat, ternyata berongga. Tampak lubang menganga di tengahnya.

Tadinya lubang itu luput dari perhatian karena sebelumnya memang terendam air dan teralangi oleh barang-barang lain yang menutupinya. Shinta makin penasaran, maka ia mengorek kedalaman lubang itu, ingin tahu seberapa besar rongga itu.

Sesaat sempat ia mencoba menyusun dugaan tentang temuannya itu tapi akhirnya memutuskan untuk menyerahkan saja kepada petugas penyidik.

“Setelah saya ukur ternyata cukup besar untuk duduk seorang anak kecil,” lapor Shinta pada Marselino.

“Itu berarti cukup untuk menyembunyikan orang bajang, apalagi untuk sekadar lewat,” sahut Marselino yang kemudian memanggil anak buah melalui telepon selular.

Para petugas melanjutkan pemeriksaan dengan mengeruk semua tanah sisa longsoran di dalam rongga pondasi beton itu. Mereka berhasil menemukan sebuah lorong yang ternyata tembus keluar dan berakhir di kebun belakang vila.

“Terima kasih Mbak Shinta atas temuannya. Anda telah membantu polisi,” ujar Marselino sambil menyalami Shinta untuk berpamitan.

 

Hilangnya tukang kebun baru

Beberapa hari kemudian Shinta curiga karena Unggul, tukang kebun yang merangkap juru tamannya, sudah tiga hari tidak masuk kerja tanpa kabar. Aneh, padahal biasanya untuk meninggalkan vila seperempat jam pun pemuda itu selalu minta izin.

Dengan ditemani Pak Somad, Shinta melihat-lihat kamar Unggul yang terletak di kebun belakang vila, di samping gudang kecil. Sudah lama ia tak melakukan hal itu, sebab Unggul tahu tanggung jawab dan tampak rajin, jadi tidak perlu dikontrol.

Kamar itu cukup bersih untuk ukuran tukang kebun, tapi Shinta melihat sepasang sarung tangan kotor bernoda merah. Dipungutnya barang itu dari sisi sebuah kardus bekas kemasan air mineral, lantas mengamatinya.

“Darah?” cetusnya. 

“Apa ini, Jeng Shinta?” potong Pak Somad tiba-tiba sambil mengacungkan sebuah benda kecil.

“Hah ... telepon ... telepon selular, Pak!”

“Masa tukang kebun punya telepon genggam?”

“O, sudah tidak aktif, telepon ini perlu diisi ulang, Pak.”

Shinta buru-buru meninggalkan tempat itu untuk menelepon Iptu Marselino.

Malam sudah mulai larut, istri dan dua anak Marselino sudah tertidur, tapi ia sendiri masih menghadapi tumpukan catatan di dalam rumahnya yang mungil. Beberapa laporan yang diterimanya sangat menantang untuk dianalisis kembali.

Iptu Marselino menyimpulkan, Roby dibunuh saat sedang sendirian di kamar yang terkunci rapat dari dalam. Selain itu laporan dari petugas autopsi mayat menyatakan, orang bajang itu tewas karena dianiaya dengan senjata tajam sebelum dikuburkan. Ini hal utama yang harus dipecahkan. Si bajang itu pasti suruhan seseorang untuk mengunci pintu dan selot dari dalam kamar tempat kejadian perkara.

Tentu itu dilakukan setelah pelaku pembunuhan menghabisi korban. Selanjutnya, si bajang bisa keluar melalui lubang di pondasi penyangga lemari besi menuju belukar di kebun. Sayangnya di mulut liang si bajang justru dihabisi oleh seseorang untuk menghilangkan jejak.

Apalagi ada laporan terbaru tentang menghilangnya Unggul Basuki si tukang kebun, ditemukannya sepasang sarung tangan bernoda darah dan telepon selular di kamarnya. Semua itu pasti ada kaitannya dengan kasus pembunuhan Pak Roby.

Tapi siapa dalang di balik kejadian itu? Shinta, Dicky, atau Norman? Iptu Marselino tidak bisa cepat memutuskan karena tiga orang tersebut paling mungkin memiliki motif untuk melakukan tindakan itu. Yang harus ia lakukan, melacak Unggul Basuki, kunci pembuka kasus itu.

 

Terungkapnya sang “dalang”

Seorang informan menelepon Iptu Marselino dari Mojosari, kota kecil yang terletak 17 km dari Pacet ke arah Surabaya. Ia melapor tengah mengawasi seseorang berwajah serupa dengan foto yang diterimanya.

Marselino tanggap terhadap informasi itu. Ia segera meminta Briptu Suseno dan Bripda Suntoro untuk berangkat ke Mojosari dalam pakaian sipil malam itu juga. Baru pukul 21.00 dua polisi yang menyamar itu tiba di tempat tujuan. Terlebih dulu mereka menemui David, sang informan, yang akan memandunya menuju tempat persembunyian si tukang kebun.

Setiba di rumah yang dimaksud, Suntoro berpura-pura mengantarkan barang. Sesudah diketuk beberapa kali pintu rumah itu baru dibuka oleh seorang perempuan muda.

“Maaf mengganggu, Mbak. Apakah benar ini rumah Mas Unggul Basuki? Saya harus menyampaikan barang ini.”

Sejenak perempuan berwajah manis itu meneliti dari ujung rambut ke ujung kaki tamunya yang masih berdiri di luar pintu.

“Apa tidak bisa saya saja yang menerima? Dia sedang tidur!”

“Wah, kelihatannya tidak bisa. Soalnya ada tanda terima yang harus ditandatangani sendiri oleh Mas Unggul. Ini barang penting sekali.”

Tampak perempuan itu berpikir beberapa saat sebelum akhirnya ia masuk untuk membangunkan Unggul.

Begitu yakin bahwa yang keluar memang orang yang dicari, dua petugas itu segera meringkusnya. Malam itu juga Sertu Suseno dan Serda Suntoro membawa Unggul Basuki kembali ke Pacet.

Melalui interograsi intensif, lelaki berusia dua puluh enam tahun itu terjebak dan tidak bisa Iagi mengelak dari perbuatannya.

Siapa sangka, dalang di balik tindakan kriminal itu Johansyah Marga! Johansyah pula yang menyelundupkannya sebagai tukang kebun di vila Pak Roby.

Untuk menghabisi nyawa Roby Hasan, Johansyah telah membuat rencana yang sedemikian cermat. la mulai beroperasi saat Norman Setyawan meninggalkan vila Lembah Hijau. la mengetuk pintu kamar, yang segera dibukakan oleh Pak Roby. Pak Roby sendiri mengira, Norman Setyawan-lah yang mengetuk pintu karena mungkin ada barangnya yang tertinggal.

Selain itu Johansyah memperalat seorang bajang untuk menutup pintu kamar itu, sehingga kematian korban bisa menimbulkan kesan sebagai tindakan bunuh diri. Itu dilakukan si orang bajang setelah Johansyah menembak dahi korban dengan pistol berperedam. Dalam melakukan kejahatan Johansyah memang bersarung tangan, tak heran di pistol hanya ditemukan sidik jari korban. Begitu keluar dari liang, Unggul Basuki menghabisi si orang bajang.

Selanjutnya, oleh Unggul, mayat orang kerdil itu dikubur di bawah pohon rambutan di kebun. Karena dilanda banjir, mayat yang sudah tertanam itu tersembul keluar. Itu membuat Unggul ketakutan, sehingga ia pun kabur.

Berdasarkan pengakuan Unggul Basuki, Johansyah bisa ditangkap di rumah persembunyiannya di bilangan Ngagel Jaya Indah, Surabaya. Lelaki muda yang bertutur kata sopan itu akhirnya mengakui perbuatan kejinya.

Roby Hasan terpaksa disingkirkan, karena lelaki tua itu tidak menyetujui Johansyah meminjam uang perusahaan untuk berdagang uang palsu. Malah pimpinan perusahaan periklanan itu mengancam akan melaporkannya kepada yang berwajib. Di samping itu, Johansyah mengaku menjadi pengedar uang palsu yang dibelinya secara terputus.

Semua karena terpaksa, begitu alasannya. Bisnisnya mengalami kemunduran berat, utangnya semakin bertumpuk dan ia sering mengalami tekanan mental, katanya menambahkan alasan.

“Tetapi Saudara Johansyah, Anda harus ingat bahwa kejahatan tetap kejahatan. Apa pun alasannya, hukum harus ditegakkan,” Marselino menjelaskan. Semua orang yang mendengarnya tampak setuju. (Riady B. Sarosa)

Baca Juga: Gara-gara Tuntutan Cinta

 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605814/mayat-bajang-menangkap-pembunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835686000) } } [5]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517157" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/sosialisasi-sang-pembunuh-keji_t-20221009072347.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Setelah menikah, Renae dilecehkan oleh seseorang. Seakan belum puas, pelaku terus memburu Renae selama bertahun-tahun untuk membalas dendam." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/sosialisasi-sang-pembunuh-keji_t-20221009072347.jpg" ["title"]=> string(30) "Sosialisasi sang Pembunuh Keji" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:24:07" ["content"]=> string(22219) "

Intisari Plus - Setelah menikah dengan Jack, Renae dilecehkan oleh seseorang. Seakan belum puas, pelaku terus memburu Renae selama bertahun-tahun untuk membalas dendam.

-------------------

Renae Ahlers Wicklund tampak cantik dengan rambut gelap, mata besar, tulang pipi yang tinggi, dan bentuk tubuhnya yang bak model. Semasa SMA, Renae menjadi mayoret di Jamestown, Dakota Utara, sebelum pindah ke negara bagian California, lalu pindah lagi ke negara bagian Washington. Di sini, tepatnya di Kota Seattle, Renae yang bekerja sebagai penata kecantikan di sebuah salon bertemu Jack Wicklund, duda beranak dua berusia 14 tahun lebih tua.

Pertemuan itu berlanjut, karena keduanya saling jatuh cinta, dan memutuskan menikah pada tahun 1972. Waktu hamil anak pertama, mereka boyongan lagi ke Clearview, sebuah kota kecil di Snohomish County. Rumah mereka memiliki halaman yang sangat luas. Jarak ke tetangga terdekat - Barbara dan Don Hendrickson - hampir 0,5 km. Toh hubungan Renae dan keluarga Hendrickson sangat erat. Mereka sering saling bertandang, dan sekali bertandang bisa makan waktu berjam-jam.

Sampai-sampai, ketika Renae akan melahirkan, anak keluarga Hendrickson yang mengantarkannya ke rumah sakit karena saat itu Jack sedang tak ada di rumah. Jack memang jarang di rumah, sering pergi ke luar kota. Shannah, begitu nama si bayi cantik. Wajahnya sangat mirip dengan ibunya; matanya cokelat tajam dan rambutnya berwarna cokelat muda berkilauan.

 

Disergap pria tak dikenal

Rabu, 11 Desember 1974, cuaca di Clearview tak seperti cuaca di bulan Desember umumnya, yang kerap kali hujan. Hari itu cuacanya justru hangat dan cerah. Renae pun berniat membersihkan jendela kaca rumahnya. la mengajak Shannah yang telah berusia 1,5 tahun keluar rumah, mendudukkannya di halaman, dan kemudian menyanyikan lagu sambil mengelap kaca.

Sekitar pukul 13.30 secara tak sengaja Renae melihat seorang pria jangkung berjalan ke arah rumahnya. Tapi ketika pria itu menyadari keberadaannya diperhatikan si empunya rumah, ia langsung berbalik arah. Renae mengira pria itu tersasar. Ia lalu masuk ke rumah untuk mengambil cairan pembersih kaca, meninggalkan Shannah sendirian di luar. Namun beberapa saat kemudian, ia melihat laki-laki tadi berlari menuju ke rumahnya.

Renae mulai waspada. “Jangan-jangan dia mau menculik Shannah,” pikirnya sambil bergegas mengambil anaknya dan segera masuk ke dalam rumah. Sayang, sedikit terlambat. Lelaki tak dikenal itu berhasil mencegah Renae yang tengah menggendong Shannah masuk ke dalam rumah. Renae berusaha sekuat tenaga mendorong lelaki bertubuh besar itu, tapi usahanya sia-sia. Apalagi ia melihat si lelaki menggenggam pisau di tangannya.

Renae berusaha tenang dan pura-pura tak melihat pisau tersebut. Ia lalu bertanya, apa yang dapat ia lakukan. Sayangnya, upaya mengalihkan perhatian lelaki itu tidak berhasil. “Lepaskan seluruh pakaianmu sekarang atau kubunuh anakmu. Cepat!” hardik pria itu, sambil mendekatkan pisaunya ke arah Shannah.

Renae tak punya pilihan selain menurutinya. Ia menurunkan Shannah, lalu melepas sepatu botnya, celana korduroi ungunya, kemudian sweater hitamnya. Lalu, ia duduk di sebuah kursi sambil menunggu hal buruk selanjutnya.

Ternyata pria tersebut bukan mau memerkosanya, melainkan memaksanya melakukan seks oral. Renae tidak bisa berbuat apa-apa selain berupaya memuaskan kemauan lelaki tersebut. Setelah selesai dan terpuaskan, pria tadi tidak melukainya dan pergi begitu saja. Dengan perasaan mual, Renae segera berlari ke kamar mandi dan mencuci mulutnya. Kemudian ia mengajak Shannah pergi ke rumah keluarga Hendrickson dan melaporkan semua yang baru saja terjadi pada Barbara.

Mereka segera menelepon sheriff Snohomish County. Di hadapan sheriff, sekali lagi Renae menceritakan semua yang dialaminya. Ia mampu menceritakan dengan baik dan sanggup menggambarkan sosok laki-laki yang melakukan pelecehan seksual pada dirinya dan mencoba membunuh Shannah. Lelaki tersebut bertubuh tinggi dengan rambut merah berantakan, memakai baju merah hitam polos, dan celana jins biru. Menurut perkiraan Renae, lelaki tersebut berusia sekitar 20 tahun dan dari napasnya tercium aroma alkohol yang menusuk.

Berdasarkan keterangan yang diberikan, dugaan sheriff mengarah pada Charles Rodman Campbell. Charles memang sering membuat masalah semenjak ia cukup umur dan boleh meninggalkan rumah. Polisi Snohomish pun cukup mengenalnya karena beberapa kasus kriminal yang pernah dilakukannya.

Charles lahir pada 21 Oktober 1954 di Hawaii, sebelum orangtuanya pindah ke Snohomish. Permasalahan awal yang terjadi pada Charles bukanlah berasal dari dirinya. Dia memang selalu berbeda dalam banyak hal. Karena ia dari Hawaii, teman-teman sekolahnya sering mengolok-olok aksennya. la marah besar ketika saudari perempuannya yang pincang diganggu oleh beberapa anak yang tidak beradab. 

Orangtuanya yang tidak lagi sanggup untuk mendidik putranya, menyerahkan Charles kepada kakek-neneknya. Sayangnya, mereka pun tak sanggup mendidik Charles. Charles yang tak jelas sekolahnya kerap berkelahi dan beberapa kali berurusan dengan polisi, karena kasus pencurian mobil, narkoba, dan alkohol. Di usia 19 tahun ia menikah dengan seorang perempuan yang tiga tahun lebih tua. Tapi perkawinan itu bubar 10 bulan kemudian, dan sebulan sebelum bercerai, anaknya lahir.

 

Pakai nama samaran

Ketika polisi memperlihatkan file foto Charles, Renae dengan gemetar mengiyakannya. Namun, polisi mengalami kesulitan saat hendak menangkap Charles. Baru setahun kemudian, mereka berhasil meringkusnya. Charles sendiri beralibi, hari itu ia tidak berada di Clearview, melainkan di tempat kerjanya, di sebuah restoran pizza di Renton, Washington, yang berjarak sekitar 48 km dari tempat kejadian perkara.

Ia meyakinkan polisi bahwa jejaknya terekam di mesin absensi pada pukul 15.30, dan terus berada di dapur sepanjang jam kerja.

Dari informasi yang didapat, ada beberapa pasal tuduhan yang dilontarkan pada Charles. Akhir Desember 1974, polisi mencari-cari dia karena kasus penggunaan narkoba di Snohomish. Dia bekerja di Renton dengan nama samaran Dan Leslie Kile demi menghindari penangkapan. Pada 14 Desember 1974, saat dia tiba-tiba saja berhenti dari pekerjaannya, kepolisian Renton tengah mengusut masalah pencurian uang kas kasir sebesar AS $ 1.200.

Kembali ke kasus Renae. Ketika diinterogasi polisi, Charles tidak bisa mengatakan secara jelas apa yang ia lakukan pada hari Renae diserang. Versi Charles, ia biasa bermabuk-mabukan di pagi hari, mungkin juga pada hari itu. Masih menurut pengakuannya, ia tidak tahu letak Clearview dan merasa tak ada alasan bagi dirinya untuk pergi ke kota itu. Padahal, ia pernah tinggal di Snohomish selama 15 tahun, sebelum pindah ke rumah ibunya di Renton sebulan menjelang kasus pelecehan seksual itu terjadi.

Maret 1976, Renae diminta mengidentifikasi Charles. Setelah itu, Charles ditahan dengan tuduhan melakukan rencana pembunuhan dan sodomi. Renae menjadi salah satu perempuan yang berani membeberkan perbuatan tak senonoh Charles pada polisi. Ketika kasus ini diajukan ke pengadilan, Renae dipanggil untuk bersaksi. Pernyataan Renae diperkuat oleh seorang perempuan yang tinggal dekat rumah keluarga Wicklund yang dikunjungi Charles, termasuk pada hari peristiwa itu terjadi. Menurut wanita tadi, Charles sering membawa pisau dengan alasan, “Siapa tahu diperlukan sewaktu-waktu.”

Berdasarkan catatan-catatan itulah, para juri di pengadilan akhirnya memutuskan: Charles tidak layak berkeliaran di masyarakat dalam waktu yang lama. la pun dijatuhi hukuman penjara 30 tahun oleh Hakim Phillip Sheridan terkait kasus penyerangan terhadap Renae.

Sayangnya, meski berhasil memenjarakan Charles, kehidupan rumah tangga Renae justru hancur berantakan. Renae benar-benar trauma atas penyerangan seksual yang dialaminya. la bercerai dengan Jack dan menjadi orangtua tunggal bagi Shannah. Namun ia masih berhubungan baik dengan keluarga mantan suaminya. Demi memenuhi kebutuhan hidup, Renae kembali bekerja di salon sebagai penata kecantikan, sekaligus memegang pembukuan.

Tetangga mereka, Don dan Barbara tetap baik terhadap Renae dan Shannah. Mereka kerap membantu Renae melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan sendirian.

 

Masalah hanya datang tiga kali?

Celakanya, nasib buruk seperti belum mau menjauh dari keluarga Wicklund. Kali ini yang menjadi target kejahatan adalah Jack. Pada Desember 1977, ia ditemukan terbakar dalam keadaan terikat pada sebuah kursi, di rumahnya, di barat Seattle. Untungnya, ia berhasil diselamatkan. Yang Jack ingat, saat itu ada seorang laki-laki yang tak dikenal datang membawa bingkisan Natal. Tiba-tiba saja laki-laki tersebut menyerangnya, menyiramkan bensin ke tubuhnya dan kemudian menyulutkan api.

Sekeluar dari rumah sakit, Jack yang dalam proses penyembuhan luka bakar tinggal bersama orangtuanya. Sampai suatu hari di bulan April 1978, Jack yang merasa suntuk di rumah pergi dengan mengendarai mobil. Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi.

Tak lama kemudian mereka mendapat berita, Jack meninggal akibat kecelakaan di Hansville, Washington. Mobilnya menabrak pohon yang berada di pinggir jalan. Jack tewas seketika. Tak ada saksi mata yang melihat peristiwa tersebut. Polisi menduga Jack terlalu silau oleh cahaya yang terang dari arah berlawanan sehingga tidak menyadari adanya tikungan tajam yang membahayakan dirinya. Kepolisian Seattle tidak dapat melacak siapa yang bertanggung jawab atas kematian Jack.

Ketika mendengar berita duka tersebut, Renae merasa khawatir akan keselamatan dirinya dan Shannah. Ia mengingat kembali kasus yang pernah menimpa dirinya beberapa tahun silam. Tetapi, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa bencana tersebut tidak akan terjadi lagi. Bukankah kata orang, “Masalah hanya datang tiga kali?” Jika hal itu benar, pelecehan seksual, pembakaran, dan kecelakaan Jack sudah melengkapi mitos tersebut.

Lagi pula, menurut perhitungan Renae, Charles si biang kerok baru akan dilepaskan saat berusia 65 tahun. Pada saat itu Renae mungkin sudah pindah ke Dakota Utara dan Shannah yang sudah berusia 30 tahun entah sudah berkelana ke mana.

 

Ditakuti sesama penghuni sel

Sekitar delapan tahun berlalu, akhirnya Renae menemukan sedikit ketenangan. Bayangan buruk masa lalu, kini hanya sesekali saja melintas di benaknya. Renae yang tetap tinggal di rumahnya yang lama juga punya teman setia, seekor anjing Afghan yang selalu menggonggong bila ada orang tak dikenal masuk ke halaman rumah. Kunci rumah pun semakin diperkuat. Ia bahkan tak pernah lupa mengingatkan Shannah agar jangan pernah pergi dengan orang asing.

Pada saat bersamaan, sekitar 40 km dari tempat tinggal mereka, Charles mendekam di penjara. Dia terkenal dengan bogemnya yang kuat; kerap mengintimidasi rekan satu selnya, sehingga sangat ditakuti oleh tahanan yang lemah. Charles juga mendapat pengawasan ketat dari para sipir, karena diduga menjual narkoba di dalam penjara.

Sampai akhirnya, pada suatu hari yang bersalju, Januari 1982, Don tetangga Renae yang baik itu, menemukan jejak kaki di dekat jendelanya. Renae juga mengatakan hal yang sama pada Barbara bahwa ia menemukan jejak kaki di dekat jendela rumahnya. Ibu Renae, Hilda Ahlers, yang datang pada Natal bahkan mengalami kejadian yang aneh. “Suatu hari anjing Afghan itu menggonggong dengan keras. Mungkin ia melihat sesuatu yang menakutkan di luar sana tetapi aku tidak berani melihat keluar.”

Satu hal lagi yang ia ingat, “Ketika itu aku melihat Renae sedang melihat keluar jendela memandangi jalan dengan raut wajah yang aneh. Aku bertanya, ‘Apa yang kau lihat di luar sana?’ dan Renae hanya menjawab, ‘Tidak ada apa-apa!’ Wajahnya tidak tampak seperti ketakutan.”

Selama ini Renae memang tak pernah menceritakan pada ibunya tentang peristiwa mengerikan yang pernah menimpa dirinya. Tak lama setelah percakapan Renae dan ibunya, Afghan si penjaga rumah terpaksa dilepas, setelah menggigit seorang anak. Kini tak ada lagi teman yang setia menjaga Renae dan keluarga kecilnya.

Renae tidak mengetahui, Charles mendapat izin keluar dari penjara pada akhir pekan di bulan Januari, setelah enam tahun mendekam di sel. la diizinkan keluar agar bisa melakukan sosialisasi. Charles memilih bekerja di sebuah perusahaan pertamanan, tak jauh dari Clearview, hanya sekitar 16 km jaraknya.

 

Hanya terdengar suara kran

Tanggal 11 April 1982, Renae tidak dapat menghadiri misa Paskah karena sedang menderita radang tenggorok, sehingga perlu beristirahat penuh selama beberapa hari. Tetangganya yang baik, Barbara, setiap hari datang membawakan makanan lunak seperti yang dianjurkan dokter.

Rabu, 14 April 1982, pukul 16.20, seperti biasa, Barbara menjenguk Renae dan berjanji akan segera kembali. Sebelum berangkat ia meminjam arloji Don. Katanya, untuk mengukur denyut nadi Renae. Sore itu, Don juga bertemu Shannah yang baru pulang sekolah. Tapi, hingga hampir pukul 18.00 Barbara masih belum kembali.

Memang, baik Renae, Shannah, maupun pasangan suami-istri Hendrickson sering saling bertandang dan menghabiskan waktu sampai berjam-jam. Tapi sore itu Don punya perasaan tidak enak, sehingga memutuskan untuk menjemput Barbara di rumah Renae. Seperti biasanya, Don masuk melalui pintu kaca di dapur rumah Renae. Dia heran, kok tak biasanya pintu kaca itu dibiarkan terbuka.

“Aneh!” pikirnya sambil mendorong pintu kaca itu dan masuk ke dalam rumah.

Rumah ini sunyi. Sunyi sekali. Don terus masuk ke dalam rumah. Yang terdengar hanya suara air kran. Padahal biasanya suara Renae, Shannah, dan Barbara begitu riuhnya seakan ada enam orang di dalam rumah. Ia lalu melihat sebuah kursi yang terjungkir. Tak biasanya Renae membiarkan kursi seperti itu. Akhirnya, ia memanggil nama ketiga orang tersebut tetapi tidak ada jawaban.

Tak lama kemudian ia mendapati mereka semua dalam keadaan yang mengenaskan. Mula-mula ia menemukan istrinya, Barbara, tergeletak di ruang tamu dengan luka tusukan di leher. Darahnya membasahi karpet dan rambut peraknya. Ketika mendekat, ia yakin Barbara telah meninggal. 

Sedangkan mayat Renae dan Shannah tergeletak di kamar Renae, dengan kondisi yang tidak kalah mengenaskan. Tubuh Renae penuh luka dan ada luka tusukan di lehernya.

Don langsung menelepon polisi, yang segera datang dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksa TKP, kalau-kalau bisa menemukan jejak si pembunuh. Mereka juga menanyai satu per satu tetangga Renae, apakah mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan. Tapi, semuanya menggelengkan kepala. Mereka semua bersimpati pada Renae, yang diduga, selama delapan tahun ini hidup dalam ketakutan: takut si penjahat menuntaskan dendam.

Pun ketika Don ditanyai polisi, siapa orang yang paling dicurigai, dia tegas menjawab: “Orang yang pernah melakukan pelecehan seksual pada Renae.”

Dari posisi mayat, polisi memperkirakan Barbara lari mencari bantuan ketika melihat Renae dan Shannah menjadi korban kejahatan. Tapi, malang baginya, si penjahat berhasil mengejar dan membunuhnya.

 

Kompensasi buat keluarga korban

Dari catatan polisi diketahui, enam minggu sebelum pembunuhan sadis tersebut, Charles diberi kesempatan bersosialisasi di Everett, dua blok dari Gedung Pengadilan Snohomish County. Sepanjang hari ia bebas bekerja di luar, hanya pada malam hari ia harus kembali ke sel. Tak seorang pun menyadari bahaya tersebut. Masyarakat mengibaratkan ini sebagai melepas serigala ke kandang ayam tanpa memberi tahu pemiliknya.

Pada malam terjadinya pembunuhan, 19 April 1982, Charles pulang ke Panti Rehabilitasi Monroe dengan dipengaruhi alkohol. Kandungan alkohol dalam darahnya 29, hampir tiga kali lipat batas yang diperbolehkan di Washington. Tes juga menunjukkan adanya morfin, kodein (obat pengurang rasa sakit), pil kina, metadon, dan kokain dalam darahnya. Polisi pun tak ragu mendudukkan Charles sebagai tersangka pembunuhan tingkat satu.

Berita terbunuhnya Renae, Shannah, dan Barbara cepat menyebar, dan menyulut kemarahan publik. Mengapa orang yang begitu berbahaya bisa dilepaskan begitu saja tanpa adanya pengawasan ketat polisi?

Pada 1 Mei 1982 Charles diwajibkan mengikuti tes kejiwaan untuk membuktikan apakah ia mengalami gangguan jiwa. Karena dianggap sebagai narapidana berbahaya, ia menjalani tes tersebut di sel khusus. Pengacara Charles mengeklaim bahwa Charles bisa bertindak seburuk itu karena pengaruh alkohol dan narkoba sehingga tidak sadar apa yang ia lakukan.

Sampai tiba-tiba Kepolisian Snohomish mendapat informasi ada seorang perempuan yang menjadi konsultan narkoba dan alkohol diberhentikan gara-gara terlibat “cinta lokasi” dengan narapidana yang ditanganinya. Narapidana itu adalah Charles. Charles rupanya memiliki kharisma yang begitu besar bagi konsultan tersebut.

Kabar lain datang dari mantan istrinya. Menurut laporan sang mantan, pada Natal 1981 Charles mendatanginya dan memerkosanya. Sayangnya, ketika ia melaporkan hal tersebut pada polisi, kasus ini dianggap kurang kuat untuk dimajukan ke pengadilan.

Kini polisi benar-benar memusatkan perhatiannya pada kasus Charles. Mereka menemukan bahwa laporan sikap baik Charles selama di penjara yang dibuat oleh petugas rutan, sehingga ia mendapatkan pembebasan bersyarat dan boleh bersosialisasi, ternyata keliru besar. Ketika diselidiki lebih saksama, ternyata rutan tersebut telah membuat begitu banyak laporan yang salah, menyebabkan ratusan napi dilepas ke masyarakat tanpa evaluasi yang memadai. Salah satunya Charles.

Dari pengusutan lebih lanjut diketahui, selama di penjara Charles justru banyak melakukan hal negatif. Dia merusak tirai jendela, meracik pruno (minuman beralkohol, campuran ragi dan sayur/buah-buahan yang mereka dapatkan selama di sel), dan menolak penggeledahan petugas sipir terhadap dirinya. Ia juga terlibat penjualan narkoba ke sesama napi.

Jadi, sebenarnya Charles tak berhak diterjunkan ke masyarakat, apalagi diizinkan berada di daerah yang tak jauh dari TKP di Clearview, tempat ia melakukan pelecehan seksual. Pemerintah akhirnya mengakui pihak rutan telah melakukan kesalahan besar sehingga menyebabkan terbunuhnya tiga wanita tak berdosa.

Selama penyidikan, Charles memilih diam. Ia hanya minta agar dipindahkan ke negara bagian lain, dengan alasan tekanan pers terhadap dirinya begitu besar. Tapi permintaan ini ditolak. Tanggal 26 November 1982, juri pengadilan memutuskan hukuman mati terhadap Charles atas pembunuhan yang dilakukannya. Ketika pengacaranya berniat minta banding, Charles menolaknya. Charles pun dimasukkan ke penjara Washington State, di Walla. Sel tahanannya diberi kaca antipeluru.

Pada 27 Mei 1994, Charles Rodman Campbell menjalani hukuman gantung. Sebagai kompensasi atas kesalahan pihak rutan membiarkan Charles berkeliaran, orangtua Renae dan Don Hendrickson mendapatkan kompensasi sebesar AS $ 2,3 juta (Rp 21,6 miliar). (Ann Rule)


Baca Juga: Gelang Emas Berinisial H

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517157/sosialisasi-sang-pembunuh-keji" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343447000) } } [6]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517472" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tulisan-tangan-menguak-si-pembun-20221009070918.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(130) "Mustoe seorang guru yang menyebalkan di SMP Clappertown, ditemukan tewas di wisma. Apakah ada yang membunuhnya untuk balas dendam?" ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tulisan-tangan-menguak-si-pembun-20221009070918.jpg" ["title"]=> string(34) "Tulisan Tangan Menguak si Pembunuh" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:12:40" ["content"]=> string(29690) "

Intisari Plus - Mustoe seorang guru yang menyebalkan di SMP Clappertown, ditemukan tewas di wisma. Apakah ada yang membunuhnya untuk balas dendam?

-------------------

Cuaca sedang tak bersahabat malam itu saat kami menemukan satu set mainan cluedo, berbentuk papan permainan tentang cerita kejahatan. Kami berdua belas, siswa kelas 11 SMP Clappertown, Amerika Serikat, sedang berwidyawisata geografi ke Lake District. Kami tinggal di Wisma Pemuda, sebuah rumah tua yang besar. Banyak yang menyukai danau ini, tapi tidak bagiku. Aku juga benci dengan widyawisata ini.

Lalu, mengapa aku memutuskan ikut?

Semua karena Jason Stanley, cowok yang sedang aku taksir. Lucunya, tak begitu bersambut karena Jason lebih suka pada Kirsty Walters. Di lain pihak, Ben Robinson justru demen padaku. Lucunya lagi, kami berempat termasuk kelompok yang kompak. Aneh ya? Kami berempat bersatu karena sama-sama benci Pak Mustoe, guru geografi dan kepala rombongan kami.

Begitulah, setelah seharian ke lapangan dengan ditemani hujan yang kadang berhenti tapi lebih sering mengguyur, kami akhirnya kembali ke wisma. Sesudah mandi dan menyantap hidangan hangat, kami pun punya luang. Cuma, mau ngapain? Pak Mustoe tidak mengizinkan kami ke pusat kota. Di wisma cuma ada teve di aula, sedikit buku tua di ruang perpustakaan, dan ruang bermain yang suram dengan meja biliar.

Di ruang main itulah aku menemukan cluedo. Waktu keluargaku masih lengkap, kami sering memainkannya. Aku ingat terakhir kali main. Umurku 11 dan itulah malam terakhir kami tinggal seatap bersama. Kami semua tertawa - untuk terakhir kali. “Kolonel Mustard di perpustakaan dengan batang tempat lilin.” Aku tak pernah lupa. Esoknya ibuku pergi dengan pria lain dan tak pernah kembali. Aku, ayah, dan Baz - adikku - menangis tiap malam. Tapi hal itu sudah bertahun-tahun berlalu.

 

Korban Mustoe

“Ayo main!” seruku. Tiada yang menolak. Kami pun bermain. Cluedo itu tak sulit dan kami masih mengingatnya. Kami terus bermain sampai semua kena giliran memerankan semua tokoh, termasuk si tua aneh yang malang - dr. Black dengan senjata sederhananya. Aneh! Tiba-tiba semua terhenyak ketika mengetahui bahwa pembunuh dr. Black itu Kolonel Mustard, dalam ruang kelas, dengan senapan.

Permainan terhenti ketika Jason mulai menyinggung Mustoe gara-gara kemiripan nama. “Mustoe keterlaluan,” Jason mulai senewen. “Kalian tahu tidak, Mustoe mengeluarkan kakakku dari sekolah hanya beberapa saat sebelum ia meraih nilai A. Padahal kakakku ingin masuk universitas. Gara-gara Mustoe, kini ia hidup dengan tunjangan pengangguran.”

“Kakakku ikut widyawisata ini dua tahun lalu,” kata Kirsty. “Ia terpeleset dan jatuh ke cadas. Kakinya patah di tiga tempat. Ia masih belum berjalan seperti semula. Ini jelas kesalahan Mustoe yang tidak peduli pada kondisi lapangan. Anehnya, Mustoe tidak diapa-apain.”

“Lah, kenapa kau ikut juga sekarang?” tanyaku kepada Kirsty, agak kasar karena rasa cemburu.

“Soalnya, Jason ikut,” jawabnya sambil merapat manja ke Jason. Uhh ... ingin rasanya aku menonjok keduanya.

“la bertengkar hebat dengan ayahku pada malam pertemuan orangtua,” kini giliran Ben angkat suara. “Sejak itu ayah tidak mau lagi datang ke pertemuan orangtua.”

“Kau sendiri bagaimana, Lottie?” kata Kirsty. Oh ya, namaku Laura Lomas. Namun, setiap orang memanggilku Lottie.

“Biasa saja, meski ia menghukumku berkali-kali tanpa aku berbuat salah. Ketika ia menghilangkan PR-ku, eh, aku malah disuruh membuat ulang. Benar-benar orang brengsek dan menjengkelkan.”

“Ah, itu belum seberapa,” kata Jason menghina.

“Main lagi, yuk,” kataku mencoba menenangkan suasana. Kami bermain kembali. Angin berembus di seputar rumah tua dan titik-titik hujan menghantam jendela.

Pintu wisma sudah terkunci. Kami seperti terpenjara, namun tidak bagi Mustoe. Tadi, sesudah makan malam ia tampak keluar wisma. Tangan kanannya, Ny. Mellow, tak menyertainya. Ia tinggal bersama penjaga wisma, istrinya, dan anjing mereka. Jadi, ke mana Mustoe pergi? Pergi ke pusat kota dan masuk ke pub?

Tepat tengah malam, kami mendengar suara tertahan di luar dan langkah kaki di jalan raya.

“Kalian harus lihat,” kataku. Segera semuanya menatap pemandangan di bawah. Hujan sudah berhenti. Mustoe bersepatu bot, berjalan susah payah sempoyongan. la menyanyi, setidaknya mencoba menyenandungkan nyanyian Cumberland setempat yang ia dengar di pub

Gema nyaring melolong ke seluruh rumah ketika ia mengetuk pintu depan. Ada teriakan marah, tapi kami tak bisa mendengarnya dengan jelas. Penjaga marah karena ketukan Mustoe yang bertalu-talu itu.

 

Darah menggenang di kepala

Kami dibangunkan Ny Mellow. “Ayo gadis-gadis. Hari cerah dan banyak yang akan kita lakukan,” katanya. la benar. Matahari bersinar yang membuat danau berkilauan. Kami yang pertama turun untuk sarapan. Cowok-cowok berbondong-bondong kemudian dengan mata muram. 

“Mustoe masih tidur lelap. Ny. Mellow yang membangunkan kami,” begitu kata mereka. 

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pertanyaan Ny. Mellow. 

“Adakah yang melihat Pak Mustoe?”

Tak ada yang menjawab. 

“Bisakah kalian menunda sarapan dan membantu mencari Pak Mustoe?”

Sambil menggerutu kami berbondong-bondong mencari ke ruangan berbeda. Kirsty ke perpustakaan. Ketika ia membuka pintu perpustakaan, ia langsung memanggil aku yang sedang berjalan di lorong. “Lottie, kemarilah.”

Seketika aku melihat Pak Mustoe tertelungkup. Di sekitar kepala darah menggenang. Penjaga langsung menyambar telepon dan mobil-mobil polisi pun tiba 10 menit kemudian.

Mustoe mengenakan pakaian olahraga beratasan merah dan bawahan biru. Meskipun tampaknya ia dihantam sesuatu yang berat, tak ada senjata tergeletak di sekitarnya. Daun jendela membuka keluar. Jendela terbawah dihantam dari luar karena pecahan kaca berserakan di lantai. Ada lumpur di ambang pintu dan lantai antara jasad Mustoe dan jendela. Cuma, tak ada kerusakan yang menunjukkan bekas pergumulan.

“Semuanya kembali ke asrama. Polisi akan datang dan menanyai kalian semua. Pergilah ke sana dan tunggu,” suara Ny. Mellow memecah kebisuan kami. Segera kami ke atas dan duduk di dipan.

Tak ada yang bicara. Tiba-tiba Kirsty menangis. “Apakah ini gara-gara cluedo? Kita mestinya tak memainkannya.”

“Memangnya kenapa?” kataku. 

Aku benar-benar muak pada Kirsty. Pertama-tama ia merampas Jason dariku, dan kemudian ia membesar-besarkan cluedo.

“Siapa pun yang membunuh Mustoe mestinya orang luar. Tidakkah kalian melihat pecahan kaca jendela?” kataku.

Kemudian Nerys masuk. la masih pucat sekali setelah muntah. “Polisi ada di aula. Ada inspektur sangat tua dan sersan yang sebenarnya agak cakep. Kata Ny. Mellow, mereka akan menemui kita satu per satu sesuai urutan nama belakang kita.”

Berarti Kirstylah yang pertama. “Jangan katakan pada mereka tentang kakakmu,” kataku

“Tentu. Tapi aku akan tanyakan kepada mereka bagaimana kau tahu bahwa pembunuhnya orang luar,” jawabnya dengan nada sangat tak enak.

Nerys ternyata benar. Inspekturnya terlihat sangat tua, beruban dengan wajah yang rusak akibat cuaca dan mata yang tajam. Dialek setempatnya kental dan enak. Sersannya muda, berambut gelap dan ya, benar, lumayan cakep. Suaranya menunjukkan ia berasal dari Liverpool.

Pertanyaan pertama semua berkaitan dengan perasaanku tentang Pak Mustoe. Yah, apa yang mesti kukatakan? Aku tak menyukainya, ia guru jahat. Pertanyaan berikutnya langsung membuatku marah ke Kirsty. “Aku bingung, Nona Lomas,” kata Inspektur. “Salah satu temanmu mengatakan pada kami sesuatu yang menarik. Katanya kau berpendapat, pembunuhnya dari luar. Bagaimana bisa?”

Kepada Inspektur aku pun membeberkan semua yang kupikirkan ketika aku pertama kali melongok perpustakaan.

 

Tulisan dalam secarik kertas 

Pembicaraan terhenti ketika seorang polisi preman masuk ke ruangan itu. “Maaf, Pak. Kami menemukan sesuatu,” katanya. Inspektur bangkit dan segera keluar aula. Sersan duduk diam mengawasiku. Ketenangan mencekam. Dua menit kemudian, inspektur kembali sambil membawa suatu benda dalam kantong plastik.

“Kami menemukan tempat lilin perak ini. Penjaga wisma bilang padaku bahwa sebelumnya tempat lilin ini diletakkan di dalam mantel di perpustakaan. la merasa ketakutan jika tempat lilin itu diletakkan di kamarnya. Nah, coba tebak, di mana tempat lilin ini ditemukan dan apa yang menarik di sini?”

“Di kebun? Bercak darah?” kataku tak percaya.

“Kupikir sebaiknya aku menyerahkan kasus ini padamu. Kau tahu terlalu banyak dan aku ingin tahu kenapa.”

“Sudah kubilang. Ini berawal dari cluedo.”

“Jangan beri aku omong kosong itu. Permainan adalah permainan!” Inspektur menggeram.

Si polisi tak berseragam masuk lagi. la memegang secarik kertas yang sudah dilicinkan lagi setelah diremas menjadi bola. Inspektur mengambilnya, membaca kata-kata yang tertulis dan meneruskannya ke Sersan, yang segera membacanya sambil menoleh ke polisi tanpa seragam yang segera pergi. “Jadi, apa pendapatmu yang sebenarnya tentang Mustoe?” kali ini Sersan angkat bicara.

“Sudah kubilang tadi ‘kan?” 

“Tak ada lagi?” 

“Tidak!” Aku agak marah sekarang. 

“Mengapa mengarah padaku? Ini pasti pekerjaan orang luar.”

“Mengapa begitu?” 

“Seperti yang aku bilang tadi. Kaca pecah, serpihan di lantai, lumpur di ambang pintu, senjata di kebun.”

“Mengapa Pak Mustoe ada di perpustakaan?” 

“Mungkin saja ia mendengar suara yang mencurigakan di dalam perpustakaan dan ia ingin memastikan bahwa hal itu bukan ancaman,” aku mencoba menduga-duga.

“Kau tak berpikir ia akan menemui seseorang di sana?” tanya Sersan sambil memperlihatkan secarik kertas tadi. Tulisan tangan agak kekanak-kanakan dengan pensil. “Bawalah aku kembali. Aku menunggu di perpustakaan. Cleo.”

“Siapa Cleo?” katanya. 

“Bagaimana aku tahu?” aku mulai menangis.

Aku benar-benar marah sekarang. Aku tak peduli apa yang kukatakan. “Jika kau pikir Cleo melakukannya dan mempunyai pembantu orang dalam, mengapa pembantunya tak membiarkan jendela terbuka agar ia bisa masuk? Dan bagaimana Cleo memberikan catatan itu pada Mustoe? Bagaimana kau tahu catatan itu berkaitan dengan ini? Pastilah ada sampah di lantai berhari-hari yang ia pungut dan dimasukkannya ke tong sampah. Mungkin juga perpustakaan yang dimaksud bukan di sini. Bukankah banyak perpustakaan di wilayah ini?”

Mereka lalu membiarkanku pergi walau bilang akan menemuiku lagi. Setelah para cewek semua diperiksa, kini giliran para cowok.

“Oh, sangat romantis. Ini kejahatan nafsu,” lenguh Nerys begitu tahu pesan tulisan tangan tadi.

Nerys pun menganalisis. “Cleo adalah wanita yang punya hubungan dengannya dan ia tinggalkan. Cleo putus asa dan menguntitnya ke sini, masuk lewat jendela perpustakaan, menyisipkan pesan di bawah pintunya dan menunggu dalam gelap. Cleo berkhayal sepanjang malam bahwa Mustoe akan kembali padanya. Tapi ia menolaknya lagi, buta oleh kegagalan, marah karena cemburu, ia memungut benda pertama yang ia lihat begitu Mustoe masuk ke perpustakaan. Itu batang tempat lilin. Cleo memukulkannya ke kepala Mustoe. Ia jatuh, tengkoraknya hancur, darah di mana-mana. Dicekam ketakutan, Cleo melompat jendela, lari ke jalan, sadar masih memegang batang tempat lilin, ia membuangnya lalu pergi selamanya masuk ke kegelapan malam.”

“Lottie, bagaimana menurutmu semua ini?” kata Kirsty.

Aku tak punya waktu menjawab. Ny. Mellow mengetuk pintu. “Laura, mereka ingin bertemu kamu lagi.”

 

Tiada sidik jari

“Nona Lomas, maafkan jika kami mengganggu. Namun, izinkan aku mengajukan lagi sejumlah pertanyaan.” Apa lagi? Aku merasa tertohok.

“Sejak awal kau tampaknya yakin, ini perbuatan orang luar,” Inspektur memulai pembicaraan.

“Tentu. Jendela pecah, lumpur, batang lilin di luar ....”

“Ya, aku tahu. Sangat masuk akal. Akan tetapi, pernahkah kamu terpikir, ada seseorang yang membawa kita ke kesimpulan bahwa ini perbuatan orang luar?”

Aku membelalak. 

“Ya, Nona Lomas. Seseorang di wisma. Mungkin juga lebih dari seorang. Dan siapa tahu orang yang kau kenal.”

“Bukan si penjaga. Juga bukan istrinya dan Ny. Mellow,” suara Sersan mengagetkanku. 

“Dan kini kamu akan bilang, ‘Juga bukan salah satu dari teman-temanku. Kami hanya anak-anak’,” Inspektur mencoba membaca pikiran saya.

Aku terpaku, tak bisa bilang apa-apa. 

“Siapa orang yang begitu membenci Mustoe sampai ingin membunuhnya? Aku yakin kau mengerti orang seperti itu,” Inspektur mencoba membimbingku.

“Tidak ada, menurutku,” aku mencoba menjawab meski aku merasa tahu siapa yang mereka maksud.

“Bagaimana dengan ayah Ben? Kakaknya Kirsty dan Jason?” Inspektur mulai memancingku.

“Kami tak tertarik dengan ayah Ben,” Inspektur berbicara setelah melihat aku membisu. “Tapi kakaknya Kirsty dan Jason itu soal besar. Yang satu cacat seumur hidup, lainnya cita-citanya kandas.”

“Mungkin mereka tak sendiri-sendiri, tapi bersama-sama,” Sersan angkat bicara.

“Mereka memang bersama-sama, bukankah begitu, Nona Lomas?” Inspektur menegaskan. Namun, aku tetap diam yang membuat Inspektur tampak kecewa. 

“Nona Lomas, kami memanggilmu untuk menjawab penyidikan ini. Apakah Kirsty dan Jason punya hubungan istimewa?”

Aku tak menyangkal. 

“Coba cocokkan. Mereka merencanakan ini amat hati-hati. Mereka melihat batang lilin di perpustakaan dan membuat rencana. Masing-masing bersiap-siap di asrama. Jason membawa pakaian yang dapat ia selipkan di lantai bawah hingga tak meninggalkan jejak lumpur. Ia merayap ke jendela, menerobos dari luar, membukanya, merayap kembali ke dalam. Sementara itu Kirsty memancing Pak Mustoe keluar kamarnya dan masuk ke perpustakaan. Entah pesan dari Cleo ada hubungannya dengan ini atau tidak.

“Yang jelas, Mustoe mendengar keributan di perpustakaan dan ia mencoba memeriksanya. Saat masuk perpustakaan, ia melihat serpihan kaca, membungkuk untuk mengetahui lebih detail, dan buk! Batang tempat lilin di tangan Jason membereskan urusan. Jason melompat keluar, Kirsty kembali ke atas, Jason membuang batang lilin, memanjat balik lagi, melepaskan sepatu bot dan celana panjang yang ia kenakan, dan menaruhnya lagi di tempat milik orang lain terkena lumpur, lalu ke dipan lagi dan tidur lelap sampai pagi.”

Terus terang aku tak bisa menjawab. Hanya saja aku tak percaya akan rangkaian cerita itu. 

“Enggak ada sidik jari,” kata Sersan.

“Aneh ‘kan?” timpal Inspektur. 

Aku mengangguk. 

‘‘Maaf. Kami hanya ingin berbagi cerita. Bukankah kamu berkeinginan menjadi detektif?”

“Aku hanya tak mempercayainya,” kataku. 

Aku meninggalkan ruangan dengan linglung. Aku tak dapat berkata-kata ketika kembali ke asrama dan tak sanggup berhadapan langsung dengan Kirsty. Tak lama kemudian pembantu polisi ke lantai atas dan mencari Kirsty. Saat di luar, kami mendengar Kirsty bilang, “Halo, kamu juga?” serta suara Jason, “Ya, tentang apa semua ini?”

Kami menunggu. Segera ada kegaduhan di bawah. Kami melihat Kirsty dan Jason digiring, didorong ke bangku belakang dalam mobil terpisah. Iring-iringan mobil pun meninggalkan wisma.

 

Tulisan tangan yang mirip

Semenjak kematian, Pak Mustoe, suasana wisma berubah. Tak seorang pun diizinkan keluar. Masih ada polisi di mana-mana, mencari-cari sesuatu. Makan malam pun lebih banyak membisu. Kirsty dan Jason tak pulang malam itu dan tak ada yang tidur nyenyak juga. Setidaknya, itu yang terjadi padaku.

Pagi-pagi Kirsty dan Jason kembali ke wisma. Kirsty habis menangis dan Jason tampak marah. “Mereka menuduh aku dan Kirsty pelakunya. Tapi mereka keliru dan menyesal. Hanya saja, itu tak cukup bagi kami. Kami akan minta orangtua kami untuk mengajukan tuntutan resmi,” Jason buka suara kepada kami.

Tiba-tiba ia menatapku. “Jangan kira kami tidak tahu bahwa kamulah yang memojokkan kami, Lottie Lomas. Semua kesalahanmu. Aku takkan pernah bicara lagi padamu.”

“Aku juga,” kata Kirsty. 

Semua mata kemudian mengarah padaku.

Akhirnya, minibus mengantarkan kami ke sekolah dua hari lebih cepat dari jadwal yang ditentukan.

Polisi telah menghentikan teori mereka bahwa pelakunya orang dalam. Tapi mereka pun tak pernah menemukan pihak luar. Toh, Inspektur dan Sersan tidak mau menyerah. Dengan bukti minim mereka berusaha terus mencari informasi tambahan. Salah satunya coretan tulisan tangan dan Cleo. Siapakah Cleo? Adakah hubungannya dengan kematian Mustoe?

“Bisakah kita melacak siapa pemilik tulisan ini? Setidaknya dari mereka yang menghuni wisma saat terbunuhnya Mustoe?” Sersan mencoba menguak kebuntuan.

“Bisa juga. Tapi lebih baik kita mendatangi sekolah mereka saja dan minta contoh tulisan tangan dari murid-murid yang kemarin ikut widyawisata,” Inspektur memberi saran.

Setelah berhari-hari mengamati dengan bantuan kaca pembesar serta berkonsultasi dengan ahli tulisan tangan, Inspektur dan Sersan pun berkesimpulan bahwa tulisan tangan pada kertas kecil yang diselipkan di kamar Mustoe ada kemiripan dengan tulisan tanganku. Nah, gara-gara itu aku dipanggil kembali oleh Inspektur.

“Maaf Nona Lomas, kami memanggilmu kembali. Ini masih ada kaitannya dengan kematian Mustoe beberapa waktu silam. Dulu kamu bilang pelakunya pasti orang luar, dengan memaparkan bukti-buktinya. Kami mencoba berpikir berlawanan. Makanya, kami mencoba mencocokkan tulisan tangan pada kertas yang sudah dilumat dengan tulisan tangan peserta widyawisata. Dan kami, setelah berkonsultasi dengan ahli tulisan tangan, berkesimpulan tulisan tangan itu mirip dengan tulisan tanganmu,” ujar Inspektur.

“Lalu dengan begitu aku pelakunya, begitu?” aku langsung mencegat omongan Inspektur.

“Awalnya, kami tidak berpikir ke arah itu. Namun, setelah kami mencari informasi di tempat kelahiranmu, kami mulai mengarah seperti dugaanmu tadi. Bukankah kamu familiar dengan nama Cleo?” Inspektur menatapku tajam.

Aku jadi lemas dan tertunduk. Jadi, mereka sudah tahu ....

 

Ketemu Mustoe lagi

Pikiranku langsung menembus lorong waktu, saat aku masih berusia 13 tahun. Kala itu aku sedang bermain ke rumah Amy, sahabat karibku. Kami makan semeja dengan orangtuanya. Kami membicarakan seputar sekolah sampai akhirnya menyinggung nama Pak Mustoe.

“Aku tak begitu suka dengan orangnya. Aku tak mengerti mengapa ibumu pergi dan ...,” ujar ibu Amy yang langsung dipelototi ayah Amy. Aku pun juga mendengar suara gaduh di bawah meja. Pasti ayah Amy menendang kaki ibu Amy sebagai tanda untuk tidak membicarakan masalah itu lagi.

“Uh! Maafkan, Lottie. Lupakan saja ucapan ibu Amy tadi,” ayah Amy mencoba mencairkan suasana.

Ketika makan malam selesai, dan ayah sudah menjemput, aku bertanya ke Amy, “Tentang apa sih tadi?” Amy kemudian bercerita bahwa ibuku kecantol dengan Pak Mustoe

Dalam perjalanan pulang aku langsung mengonfirmasi hal itu kepada ayah dan marah mengapa aku tidak diberi tahu soal itu. Ayah hanya bilang bahwa itu bukan urusanku.

Dua bulan kemudian kami pindah ke Clappertown. Namun, Pak Mustoe datang setahun kemudian ke sekolah baruku. la mengajar geografi. Aku tak berani bilang ke ayah. Namun, aku mengawasi Pak Mustoe dari jauh. Aku menemukan tempat tinggalnya, di sebuah desa yang berjarak 8 mil. Aku bersepeda ke sana pas petang dan menunggu di luar rumahnya. Seorang wanita keluar. Bukan ibuku!

“Ya, ibumu memang pergi dengan Pak Mustoe. Tapi ia menendangnya dua tahun kemudian. Saat itu ayah dan ibu sudah bercerai. Mendengar berita itu ayah menyuratinya dan memintanya kembali. Ibumu tidak mau dan ia hanya bilang bahwa ia sudah kehilangan semua haknya. Ia pergi dan ayah tak pernah tahu lagi kabarnya.”

Aku jadi membenci Mustoe. Oh ya, ia tahu siapa aku sebenarnya. Akan tetapi aku tak membiarkan dia tahu bahwa aku mengetahui rahasianya. Aku hanya duduk di kelasnya dan menatapnya.

Makanya, meski sebenarnya aku tak menginginkan widyawisata geografi, aku berangkat juga. Selain dendam pribadi, juga karena ada Jason. Mustoe sepertinya sudah mencium sesuatu karena ia mencoba menghalangi niatku. Namun, tak ada alasan untuk itu. Jika ia melakukannya, aku bisa mengadu ke kepala sekolah dan itu bisa mengancam karier Mustoe.

Jadi, begitulah. Aku pernah meniru tulisan tangan ibu yang agak kekanakan. Kuyakin masih bisa. Meski namanya Antonia, ibuku sejak kecil dipanggil Cleo. Aku menunggu sampai tiap orang tidur. Kemudian aku turun dari dipan, mengenakan gaun dan sandal, mengambil kain pembersih untuk menghapus sidik jari. Aku berjingkat turun ke aula, menyalakan senter, menemukan secarik kertas dan menulis, “Bawa aku kembali. Aku menunggu di perpustakaan. Cleo”. 

Aku pergi ke perpustakaan, membuka jendela, dan menemukan batu untuk memecahkannya seolah-olah lemparan batu berasal dari luar. Aku bergegas ke kamar Mustoe, menyisipkan kertas ke bawah pintu, mengetuk pintu, dan secepatnya kembali ke perpustakaan, sambil menyiapkan batang lilin, merunduk di belakang lemari buku, dan menunggu.

Mustoe datang tak seberapa lama. Aku tegang. Aku membeku. 

“Cleo?” terdengar suara Mustoe, pelan. “Kau benar-benar di sini? Semuanya telah berakhir. Kita sudah putus. Aku tak menginginkanmu.”

Aku tiba-tiba marah dan bangkit sambil memegang batang lilin, serta menghantam kepalanya. “Ini untuk apa yang kau lakukan bagi ibu, ayah, Baz, dan aku,” desisku.

Aku tak perlu memeriksa apakah ia sudah mati atau belum. Aku keluar lewat jendela dan menerobos dinginnya malam. Aku membuang batang lilin, kemudian kembali masuk perpustakaan, melepas sandalku, bergegas ke kamar mandi dan membuangnya di bawah lantai. Aku juga memeriksa bahwa tak ada bercak darah pada diriku dan kembali ke dipan. Sisa malam itu aku isi dengan tidur yang nyenyak sekali. 

Perasaan puas melingkupi meski kini penjara menantiku. (Dennis Hamley)



Baca Juga: Ekor Pembunuhan Nona Kwitang

 

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517472/tulisan-tangan-menguak-si-pembunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665342760000) } } [7]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448517" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/pembunuh-berantai-yang-terabaika-20220831011622.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "Pembunuhan perempuan kulit hitam marak terjadi tapi karena salah teori, polisi mengabaikan kemungkinan pembunuhan berantai." ["section"]=> object(stdClass)#148 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/pembunuh-berantai-yang-terabaika-20220831011622.jpg" ["title"]=> string(33) "Pembunuh Berantai yang Terabaikan" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:16:50" ["content"]=> string(23916) "

Intisari Plus - Pembunuhan perempuan kulit hitam marak terjadi tapi karena salah teori, polisi mengabaikan kemungkinan pembunuhan berantai. Pelakunya pun bebas berkeliaran.

-------------------

Menciduk pelaku pembunuhan, apalagi pembunuh berantai bukan perkara gampang. Lazimnya, polisi harus melalui jalan berliku dan proses panjang. Sepanjang itu, bisa saja terjadi salah tangkap, tertipu petunjuk palsu, sampai salah analisis. Henry Louis Walace adalah salah satu pembunuh berantai (meski FBI menyebutnya bukan pembunuh berantai) di era 90-an yang cukup merepotkan polisi. Pembunuh paling dicari ini keluar masuk kantor polisi, bahkan keluar masuk penjara, “tanpa disadari” oleh polisi. Karena secara “teori”, dia diabaikan.

Saat dibekuk polisi pada 4 Februari 1994 di Charlotte, Carolina Utara, Amerika Serikat, Henry Louis Wallace sebenarnya patut dicurigai terlibat dalam lima kasus perkosaan dan pembunuhan yang menewaskan lima perempuan muda, semuanya berkulit hitam, semuanya bekerja di restoran cepat saji, dan semuanya kenal Wallace atau pacarnya, Sadie McKnight. Nama Wallace bahkan tercantum di buku telepon lima perempuan tadi.

Namun apa daya, karena dianggap tak memenuhi “syarat” sebagai pembunuh berantai, Wallace pun cepat dibebaskan. Lelaki berkulit hitam itu hanya ditangkap dan ditahan sebentar atas tuduhan mengutil di toko. Sebuah kesalahan yang kelak harus dibayar mahal. Wallace mengamuk dan membunuh lima lagi perempuan muda berkulit hitam. Sebuah sumber bahkan menyebut, korban Wallace sesungguhnya bisa mencapai 20 orang!

 

Saling tonjok

Henry Louis Wallace dilahirkan pada 4 November 1965 di Barnwell, Carolina Selatan, dari rahim seorang ibu yang suka gonta-ganti pasangan. Tak heran, sejak kecil Wallace tak pernah mengenal sosok bapak. Keluarganya begitu miskin, sampai-sampai listrik pun mereka tak mampu berlangganan. Carmeta Albarus, psikiater yang belakangan ditugaskan memeriksa Wallace selama di penjara, kepada juri pernah bercerita, betapa ibu Wallace sangat menikmati adegan saling pukul anak-anaknya. 

Ya, sang ibu kejam ini kerap mendorong anak-anaknya berkelahi, saling tonjok, saling gigit. Ibu dan kakak perempuan Wallace juga kerap memakaikan baju perempuan pada Wallace, lalu mengaraknya keliling kampung.

Celakanya, sudah rumahnya kacau balau, lingkungan tetangga Wallace pun kurang kondusif. la sudah menyaksikan adegan kekerasan seksual yang dilakukan sebuah geng, tak jauh dari tempat tinggalnya, pada usia tujuh tahun. Kejadian itu begitu membekas di benak Wallace. 

Entah karena sering dipakaikan pakaian perempuan saat kecil, ketika SMA, Wallace menjadi satu-satunya wakil pria di tim cheerleader yang 99,9% berisi anak perempuan. Bak penyamun di asrama putri. Untungnya, orientasi seksualnya tetap normal. Saat bekerja sebagai disc jockey (DJ) di sebuah stasiun radio lokal, dia - Wallace menyebut dirinya The Night Rider - sempat punya banyak pacar. Namun kariernya sebagai penyiar terhenti setelah Wallace tak bisa menghilangkan kebiasaan buruknya: gemar mencuri. Wallace kepergok mencuri di kantor, yang berujung pemecatan.

Susah mencari kerja, Wallace kemudian melamar jadi tentara. la diterima di Angkatan Laut, menghabiskan waktu delapan tahun sebagai pelaut. la sempat menikmati perjalanan keliling dunia, bahkan menikahi seorang gadis SMA pada 1985. 

Tapi lagi-lagi, hobi mencurinya tak pernah berhenti. Meski tertangkap basah saat jadi maling, Wallace dibebaskan dari proses hukum, namun dia harus kehilangan tempat di Angkatan Laut alias dipecat. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, pada 1992 Wallace ditinggal istri. 

Wallace kemudian balik ke rumah ibu dan saudara perempuannya, yang sudah pindah ke Charlotte-Mecklenburg, Carolina Utara. Di kota ini peruntungan Wallace naik-turun. la sempat bekerja di sejumlah restoran, tapi dipecat lantaran kelakuan buruknya sendiri. 

Terakhir, dia mendapat pekerjaan sebagai manajer toko Taco Bell. Di toko ini nafsu mencuri Wallace mulai terkekang, tapi ia mulai berkenalan dengan kokain. Sejak 1992 inilah, Wallace “naik kelas” dari seorang pencuri dan pengutil toko menjadi pemakai obat terlarang dan pembunuh berantai.

 

Ikut melapor

Tepat 19 Juni 1992, Wallace menyelinap ke apartemen pacarnya, Sadie McKnight, menggunakan kunci hasil curian. Entah apa tujuan awal Wallace masuk diam-diam ke apartemen tersebut. Yang pasti, ketika rekan sekamar yang juga teman kerja McKnight di rumah makan cepat saji Bojangles, Caroline Love tiba, Wallace berulah kurang ajar. Dia memaksa mencium Caroline. Caroline Love keruan marah, namun ia berjanji tidak akan bercerita pada McKnight, asal Wallace tidak mengulangi perbuatannya.

Wallace mengiyakan. Namun saat Caroline lengah, ia membekap dan memiting leher Caroline Love dari belakang, keahlian yang dia pelajari dan kuasai semasa masih berdinas di Angkatan Laut. Akibat gerakan yang mirip shime-waza atau piting leher dalam judo itu, Caroline kesulitan bernapas dan tak sadarkan diri. Saat itulah Wallace menyeret tubuh Caroline ke kamar tidur, memerkosa, lalu menjerat leher korban dengan kawat pengeriting rambut hingga tewas. 

Wallace sempat dibingungkan dengan “masalah logistik”, mau diapakan tubuh Caroline yang telah menjadi mayat? Dia kemudian mendapat ide untuk membungkus mayat Caroline dengan seprai dan memasukkannya ke dalam kantong sampah besar berwarna jingga. 

Kondisi sekitar apartemen yang sepi mendukung Wallace lebih leluasa beraksi. Kantong plastik itu lantas dimasukkan ke dalam mobil. Wallace sempat kembali ke apartemen untuk mengunci pintu, lalu tancap gas menuju pinggiran kota, tempat ia membuang tubuh Caroline ke sebuah selokan tak terpakai.

Sadie McKnight yang pulang beberapa waktu kemudian, sempat dikontak oleh Kathy Love, kerabat Caroline. Kathy ingin tahu keberadaan saudaranya, karena atasan Caroline di Bojangles menelepon. Konon, Caroline belum juga muncul di restoran, padahal giliran shift-nya telah tiba. McKnight mengakui, tak biasanya Caroline mangkir. Bersama McKnight, Kathy kemudian pergi ke kantor polisi Charlotte-Mecklenburg, melaporkan hilangnya Caroline. McKnight saat itu “ditemani” pacarnya, siapa lagi kalau bukan Henry Louis Wallace. 

Polisi yang datang ke apartemen McKnight memang menemukan sejumlah kejanggalan. Sofa yang tampak berantakan, seperti habis terjadi perkelahian. Juga tanda tanya seputar hilangnya seprai di kamar tidur. Namun hanya itu petunjuk yang didapat. Karena tak ada bukti pembunuhan, Caroline hanya dinyatakan sebagai “orang hilang”. Apalagi pintu apartemen ditemukan dalam kondisi terkunci. Anehnya, Wallace saat itu sama sekali tak dimintai keterangan oleh polisi, meski berstatus sebagai teman dekat McKnight. Kesalahan awal namun fatal yang membuat Wallace ketagihan mencari korban. 

Setelah kejadian itu, Wallace masih sempat “menjenguk” tempat pembuangan jasad Caroline, dua hari setelah pembunuhan. Saat itu, tubuh Caroline sudah membusuk dan tampak seperti boneka E.T. Saat Wallace kembali untuk ketiga kalinya beberapa waktu kemudian, tubuh Caroline tinggal tulang belulang. 

McKnight yang ketakutan kemudian pindah ke rumah Wallace. Hingga tujuh bulan ke depan, tak ada kejadian menggegerkan.

 

Korban kedua

Sampai suatu sore, 17 Februari 1993, Wallace diketahui bertandang ke kediaman Shawna Hawk, mahasiswi yang kebetulan pernah nyambi di Taco Bell, tempat Wallace bekerja. Hawk belum lama kembali dari kampus, ketika Wallace mengetuk pintu. Melihat manajer tokonya berdiri di depan pintu, mulanya Hawk terkejut. Tapi begitu rasa kagetnya hilang, ia segera membukakan pintu. 

Keduanya mengobrol sekitar satu jam. Kian lama kian mesra. Wallace tampaknya tidak kesulitan, bahkan bisa dibilang pandai mengambil hati perempuan. Hawk seolah lupa, Wallace sebenarnya lelaki asing yang dia belum tahu betul perangainya, dan telah punya pacar pula. 

Wallace terus menggoda dan menggiring Hawk agar mau melayani nafsu kelelakiannya. Hawk yang ketakutan mencoba menolak dan melawan. Namun dengan paksaan, Wallace akhirnya berhasil menaklukkan Hawk. Perempuan belasan tahun itu cuma bisa menangis tanpa henti.

Setelah merenggut mahkota Hawk, Wallace menggiring wanita muda itu ke kamar mandi. Sama seperti perlakuan terhadap Caroline Love, Wallace mengeluarkan jurus andalannya, aksi “piting leher” dan belakang untuk membuat korbannya tak berdaya. Wallace lalu menenggelamkan tubuh Hawk di bak mandi. Sebelum pergi, dia sempat naik ke lantai atas dan mencuri AS$ 50 dari tas korban.

Hasil autopsi pada tubuh Hawk - jasadnya ditemukan pertama kali oleh sang ibu dan pacar - menunjukkan penyebab kematian adalah cekikan di leher. Penyidik kepolisian mencoba mewawancarai rekan-rekan kerja dan teman-teman korban. Namun semuanya tak menemukan kejanggalan apa pun pada diri Hawk, sebelum maut menjemput. 

Saat itu, polisi belum mencoba menghubungkan kematian Caroline Love dengan terbunuhnya Shawna Hawk. Dugaan adanya pembunuh berantai pun belum terendus. Maklum, Charlotte-Mecklenburg tergolong kawasan “sibuk”. Pada 1993, ada 122 laporan kasus pembunuhan dan 350 laporan kasus pemerkosaan. Belum lagi ratusan laporan orang hilang. Tak sebanding dengan jumlah detektif bagian pembunuhan yang jumlahnya hanya tujuh orang saja.

 

Pandai merayu

Sekitar empat bulan setelah membunuh Hawk, Wallace mengunjungi wanita muda lain yang juga pernah bekerja di Taco Bell, Audrey Spain, 24 tahun. Sekali lagi, sikap santun dan kepandaian Wallace mengolah kata membuat Spain tak menaruh curiga. Perempuan yang baru kembali dari liburan itu pun tak keberatan menerima Wallace di apartemennya. 

Wallace awalnya hanya berencana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli narkoba. Dia menduga Spain tahu kode akses lemari tempat penyimpanan uang Taco Bell. Namun dugaan Wallace meleset. Spain ternyata tak tahu apa-apa. Spain juga tak menyimpan banyak uang di apartemennya, karena sebagian besar dolar baru saja dihabiskan saat liburan. 

Wallace yang frustrasi kemudian mengeluarkan jurus “piting leher” andalannya, lalu menggiring Spain ke kamar tidur, memerkosanya. la juga menjerat leher Spain dengan cabikan kain dari baju tidur korban, sampai tewas. Wallace kabur setelah merampas kartu kredit milik Spain.

Ada kemiripan antara Hawk dan Spain: keduanya masih muda, berkulit hitam, dibunuh di rumah mereka sendiri, dan pernah bekerja di Taco Bell selama beberapa waktu. Keduanya juga tewas akibat cekikan atau jeratan di leher, lalu dirampok. Si pembunuh “mencuci” kedua mayat untuk menghilangkan jejak. Jika mayat Hawk dibenamkan di bak mandi, mayat Spain “dimandikan” dulu di bak mandi sebelum dipindahkan ke tempat tidur. 

Sayangnya, meski aksi Wallace menampakkan pola yang mudah terbaca, polisi tetap menganggap dua pembunuhan tadi tak berhubungan. Justru Wallace yang dengan cerdik mencoba mengaburkan pola. Saat enam pekan kemudian, ia mendatangi Valencia Jumper, teman adiknya. 

Jumper tak hanya “dipiting di leher”, digiring ke kamar tidur, diperkosa, lalu dijerat dengan handuk, seperti modus operandi Wallace sebelumya. Untuk menghilangkan jejak, tubuh Jumper tidak dibenamkan dalam bak mandi, tapi dibakar dalam skenario yang dibuat agar terlihat seperti kebakaran. 

Hasil autopsi tak bisa menyembunyikan kejadian yang sebenarnya. Pemeriksaan tim dokter menunjukkan, korban meninggal bukan akibat zat karbon monoksida (yang biasa menyebabkan kematian pada kasus-kasus kebakaran) atau luka bakar. Seperti dibilang dokter dari County Medical, Michael Sullivan, penyebab kematian Jumper yang sebenarnya adalah sesuatu yang disengaja, yaitu cekikan atau jeratan di leher. Hasil pemeriksaan ini mestinya bisa meyakinkan polisi bahwa mereka tengah menghadapi kasus pembunuhan berantai. Tapi polisi tetap bergeming.

Lima minggu berlalu. Pada 15 September 1993, Wallace menghampiri kediaman Michelle Stinson, rekan kerjanya di Taco Bell. Stinson yang berusia 20 tahun dan memiliki dua anak laki-laki, masing-masing berumur satu dan tiga tahun, sebenarnya sedang sakit. 

Wallace memaksa dan memerkosanya di lantai dapur, sebelum dihabisi dengan empat kali tikaman menggunakan pisau dapur. Wallace memakai kain lap untuk menyeka sidik jari dari gelas, telepon, pintu, dinding, dan lantai. Sambil melarikan diri, Wallace melemparkan pisau dan kain lap lewat pagar belakang apartemen Stinson. 

Dr. Sullivan yang mengautopsi mayat lagi-lagi muncul dengan temuan yang mengaitkan pembunuhan ini dengan pembunuhan-pembunuhan sebelumnya: Michelle Stinson memang meninggal akibat luka tusukan pisau dapur, tapi ia terlebih dahulu dicekik.

 

Diprotes masyarakat

Kepolisian Charlotte-Mecklenburg masih terkesan adem ayem, walaupun banyak orang mulai mengaitkan pembunuhan-pembunuhan itu dengan Taco Bell. Lima kematian/kehilangan dalam 15 bulan, semua dalam radius 8 km dan hampir semua korban melibatkan Taco Bell, tentu aneh sekaligus mengkhawatirkan. Masyarakat kulit hitam (jumlahnya sekitar 31 % dari total penduduk kota) yang ketakutan menuduh Pemda berdiam diri. Setelah protes kian gencar, barulah Kepolisian menggelar konferensi pers. Sersan Gary McFadden yang berkulit hitam ditunjuk sebagai pemimpin satuan buru sergap.

Bagaimana dengan Wallace? Tiga bulan setelah memerkosa dan membunuh Stinson, Wallace memang ditangkap. Namun bapak dari seorang bayi perempuan (dari hubungan dengan pacar gelapnya, bukan dengan pacar resminya, Sadie McKnight) itu ditangkap karena diduga mengutil di toko tempatnya bekerja. Karena dianggap cuma melakukan tindak kriminal ringan, tak lama kemudian Wallace dibebaskan.

Pembebasan itu membuat Wallace makin percaya diri. Modus operandinya pun semakin nekat. Wallace menjadikan Charlotte Timur sebagai zona teror, khususnya selama hampir satu bulan ke depan. 

Dua minggu setelah dibebaskan dari penjara, Wallace mencoba memalak Vanessa Mack, adik dari salah satu karyawan Taco Bell. Untuk kesekian kali, Wallace menggunakan pesonanya saat mendekati Vanessa. Korban menolak rayuan Wallace untuk berhubungan intim, tapi tidak menolak untuk mengundangnya minum-minum.

Maka di apartemen Vanessa, Wallace mengeluarkan jurus “piting leher” lagi untuk memaksa korban memberikan kode akses rekening bank. Tak cukup sampai di situ, Wallace melakukan ritual di kamar tidur dan mengakhirinya dengan menjerat leher korban memakai sarung bantal yang disembunyikannya di balik kemeja. 

Begitu ada kesempatan meninggalkan apartemen, Wallace langsung menyetop taksi menuju lokasi anjungan tunai mandiri. Namun upaya Wallace mengeruk duit kali ini gagal karena Vanessa ternyata memberikan PIN palsu.

Dua minggu berlalu. Kegagalan menguras rekening Vanessa membuat Wallace makin ganas. Pada 8 Maret, Wallace pergi ke kompleks apartemen temannya, Vernon Lamar Woods, dengan maksud hendak merampok, memerkosa, dan membunuh pacar Woods, Brandi Henderson. Tapi ketika sampai di sana, Woods yang membuka pintu. Wallace yang tak menduga Woods sedang ada di rumah sempat kelabakan, tak tahu mesti bilang apa. Akhirnya dia hanya mengucapkan selamat tinggal dan bilang akan meninggalkan kota untuk sementara waktu.

Sebelum meninggalkan kompleks apartemen, Wallace ingat, masih ada orang lain yang tinggal di sana: Betty Baucom, teman pacar Wallace, Sadie McKnight yang juga asisten manager Bojangles. Wallace yakin, Betty punya kunci dan kombinasi kode lemari besi Bojangles. Kepada Betty, Wallace mengaku hendak pinjam telepon. 

Betty dengan senang hati mempersilakan pacar karibnya itu masuk. Tapi aksi “piting leher” Wallace membuat Betty tak berkutik. Meski sudah memperoleh kunci dan nomor kombinasi, Wallace tetap menggiring Betty ke kamar tidur, menidurinya, lalu menjeratnya sampai tewas. Wallace juga mencuri TV, mobil, dan perhiasan Betty.

Dua belas jam berlalu. Wallace kembali ke kompleks apartemen yang sama, tanggal 8 Maret, sekitar pukul 20.00. la ingin memastikan bahwa temannya, Vernon Woods bekerja, sehingga ia bisa melanjutkan rencana sebelumnya: mengerjai Brandi Henderson. Setelah yakin Woods tak ada di rumah, Wallace bertamu ke apartemen Brandi. 

Sama seperti korban-korban sebelumnya, Brandi diserang dari belakang, digiring ke kamar tidur, lalu dirampok. Yang mengharukan, semua itu dijalani Brandi sambil terus mendekap bayi laki-lakinya. Serupa juga dengan korban, setelah hasrat kelelakian Wallace terpuasi, ia menjerat Brandi dengan handuk sampai tewas. Bayi yang menangis keras ikut dicekik. Sampai diam tak bergerak.

 

Aksi beruntun

Polisi mulai kebakaran jenggot. Jarak pembunuhan yang begitu dekat membuat tekanan terhadap mereka semakin besar. Dr. Sullivan kembali menguatkan modus operandi yang sama, kematian Betty dan Brandi disebabkan cekikan di leher. Dua hari setelah kematian Brandi, Sersan McFadden mengadakan rapat untuk mengumpulkan dan membandingkan semua puzzle yang ada di tangan polisi. Baru saat itu mereka sadar, Betty Baucom tinggal di kompleks apartemen yang sama dengan Brandi. Metode pembunuhan terhadap Betty dan Brandi pun cocok dengan pembunuhan terhadap Mack. 

Para detektif mendatangi keluarga dari tiga korban tersebut dan mengumpulkan daftar orang-orang yang dekat dengan mereka. Nama Wallace muncul di tiga daftar. Keesokan harinya, 11 Maret, mobil Betty ditemukan. Namun tak ada sisa sidik jari di kemudi, tongkat persneling, dan jok. Keberuntungan datang ketika polisi memeriksa bagasi. Wallace tampaknya lupa membersihkan bagian belakang kendaraan. Sidik jarinya tertinggal di badan bagasi. Upaya perburuan terhadap Wallace segera dimulai. 

Sementara itu, pada hari yang sama, Wallace membunuh korban terakhirnya, Debra Slaughter, karyawan Bojangles. Kepada Debra, Wallace terus terang menyatakan butuh banyak uang untuk membeli narkoba. Debra berhasil digiring paksa ke kamar tidur, tapi dia sempat mengadakan perlawanan ketika Wallace hendak mengalungkan handuk di lehernya. “Pasti kamu yang telah membunuh Betty dan Brandi,” teriak Debra.

Wallace menanggapi ucapan Debra dengan mengencangkan handuk dan meminta Debra mendekat. Di tengah perlawanan, Debra berusaha meraih pisau kecil yang tersimpan di tasnya. Tapi sia-sia, Wallace merebut pisau itu dan membantai Debra dengan 38 luka tusuk di perut dan dada.

Baru keesokan harinya, 12 Maret, polisi berhasil mendeteksi keberadaan Wallace. Saat ditangkap, Wallace telah membunuh sembilan perempuan muda kulit hitam. Tahun 1997, Wallace divonis sembilan hukuman mati. 

Kasus ini menjadi salah satu tonggak perbaikan layanan dan perlindungan buat masyarakat kulit hitam AS. Dee Sumpter, ibu Shawna Hawk bilang, polisi lambat bertindak karena korban adalah orang-orang biasa dan berkulit hitam. Sedangkan Slaughter, ayah dari Debra menambahkan, korban-korban banyak berjatuhan karena polisi selalu memprioritaskan kasus berdasarkan ras dan status ekonomi. “anak-anak kami memang tidak penting bagi polisi. Mereka hanya pekerja restoran cepat saji,” ujar Slaughter.

Darrell Alleyne, pensiunan polisi asal New York juga menyatakan, Wallace seharusnya sudah dimintai keterangan sejak kasus hilangnya Caroline Love pada 1992. Sedangkan Organisasi Nasional Perempuan Charlotte meminta dibentuknya komisi independen untuk menyelidiki kinerja kepolisian. 

Namun pihak Kepolisian Charlotte berdalih, kasus Wallace begitu lambat terungkap lantaran kurangnya pengalaman mereka menangani pembunuhan berantai. Pada awal 1994, mereka sebenarnya pernah minta nasehat FBI, namun analisis FBI justru menyesatkan. FBI menyimpulkan, pembunuhan-pembunuhan di Charlotte bukanlah kasus pembunuhan berantai. Profil pembunuh berantai biasanya berkulit putih dan hanya membunuh orang-orang tak dikenal. Wallace? Dia ‘kan berkulit hitam dan hanya membunuh teman.

Robert Ressler, pakar pembunuh berantai FBI bersaksi, “Jika Wallace memang pembunuh berantai, dia melakukannya dengan cara yang salah.” Pembunuh berantai sulit ditangkap lantaran selalu membunuh secara acak, sedangkan semua korban Wallace punya banyak kesamaan. Jadi, mestinya tidak ada alasan buat polisi setempat untuk meringkus Wallace, jika memang mereka serius menyelidiki.

Yang mengejutkan, selama di penjara, Wallace mengobral pengakuan mengerikan: dia juga membunuh wanita lain di luar sembilan korban. Pembunuhan-pembunuhan lain itu dilakukan Wallace ketika ditempatkan di seluruh dunia selama berdinas di Angkatan Laut. Konon, korbannya mencapai hampir 20! (Jason Lapeyre)




" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448517/pembunuh-berantai-yang-terabaikan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661951810000) } } [8]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400607" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/malapraktik-sang-psikolog-gaek_t-20220803021312.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Felix Polk, yang baru bercerai, ditemukan tewas dengan puluhan luka. Rupanya pembunuh memendam sakit hati selama puluhan tahun padanya." ["section"]=> object(stdClass)#152 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/malapraktik-sang-psikolog-gaek_t-20220803021312.jpg" ["title"]=> string(30) "Malapraktik sang Psikolog Gaek" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:13:41" ["content"]=> string(25413) "

Intisari Plus - Felix Polk, yang baru bercerai, ditemukan tewas dengan puluhan luka. Rupanya pembunuh memendam sakit hati selama puluhan tahun padanya.

-------------------

Ketika tersiar kabar bahwa Frank Felix Polk, seorang terapis dan psikolog anak terkemuka, mendadak meninggal di rumahnya, banyak pihak terkaget-kaget. Felix selama ini dikenal sebagai terapis dan psikolog anak yang cukup andal. Kariernya cukup cemerlang. Sebagai ilmuwan pun kapasitasnya tak pernah diragukan.

Yang lebih membuat orang tercengang, Felix tewas secara mengerikan, dengan puluhan luka di tubuh, beberapa di antaranya luka bekas tusukan benda tajam. “Siapa pun pembunuhnya, pasti bersekutu dengan setan. Mana ada manusia yang tega melakukan tindakan sekeji itu?” komentar seorang tetangga Felix, di rumahnya di Oakland, California, Amerika Serikat (AS).

Tragisnya, Felix ternyata dibunuh oleh “orang dalam”, yang telah mendampinginya selama puluhan tahun. Seiring kerja keras polisi mengungkap kasus ini, akhirnya tersingkap pula latar belakang tewasnya sang praktisi kesehatan mental itu. Felix yang selama ini disegani pasien dan kolega ternyata bukan “orang suci” yang tak punya cela. Borok masa lalunya banyak yang tak diketahui awam.

Berdasarkan kesaksian Gabriel, anak bontot korban, dan barang bukti yang dikumpulkan di lapangan, polisi dengan mudah   si pembunuh. Namun, tetap tak gampang bagi juri untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak.

“Ini bukan pembunuhan. Ini dampak perlakuan buruk korban terhadap klien kami selama bertahun-tahun, dan apa yang dilakukan klien kami murni aksi bela diri,” bela pengacara tersangka. Di pengadilan banyak orang setuju pada pernyataan pembela, tapi tak sedikit yang antipati. Sebuah surat kabar Amerika Serikat melukiskan kasus ini sebagai salah satu pembunuhan paling kontroversial, mengerikan sekaligus mengharukan, dalam sejarah peradilan AS.

 

Tak ada cinta lagi

Bulan Oktober 2002 pasti akan tercatat sebagai masa paling kelam buat pasangan Susan Polk (saat itu 45 tahun) dan suaminya, Felix Polk (saat itu 70 tahun). Mahligai rumah tangga yang susah payah mereka bangun selama puluhan tahun roboh begitu saja, dengan hanya menyisakan puing-puing. Cinta yang dulu menjadi modal utama telah berubah menjadi benci, seperti bergantinya rindu menjadi dendam. Tutur kata yang dulu manis berganti menjadi caci-maki.

Bara permusuhan Susan - Felix merebak menjadi api sejak tahun 2000. “Bertahun-tahun saya mencoba menahan diri. Tapi sekarang, setelah anak-anak menginjak usia remaja, saya tak bisa lagi berdiam diri, berpura-pura tak ada masalah, di tengah sikap dan perlakuan buruk Felix terhadap saya dan anak-anak,” tegas Susan Polk.

Sejak tahun 2000 itu pula, setelah Susan memasukkan gugatan cerai ke meja hijau, pasutri itu sepakat pisah tempat tidur. Susan tinggal di paviliun utama, sedangkan Felix menempati cottage, tak jauh dari kolam renang. Setelah pisah ranjang, alih-alih membaik, hubungan mereka malah makin tak keruan.

Keputusan pisah ranjang itu akhirnya dipertegas dengan amar putusan cerai yang dikeluarkan pengadilan di awal Oktober 2002. Selain menetapkan secara resmi perpisahan Felix - Susan, majelis hakim juga membuat keputusan lain yang secara tersirat “memenangkan” Frank Felix Polk. Misalnya, lelaki gaek itu diperbolehkan tetap tinggal di rumah besar (sebaliknya, mengharuskan Susan mencari tempat tinggal baru). Felix juga mendapat hak untuk menjadi wali dan mengasuh anak bontot mereka, Gabriel.

Keputusan pengadilan itu menjadi sebuah pukulan telak buat Susan, sekaligus “pukulan mematikan” buat Felix. Mematikan dalam arti sesungguhnya. Karena sekitar dua minggu kemudian, persisnya 14 Oktober 2002, Felix ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di cottage-nya. Sepertinya sudah suratan, hanya kematian yang bisa mengakhiri persoalan suami-istri yang memiliki tiga anak laki-laki itu.

 

Mengarah pada Susan 

Tak susah buat polisi untuk langsung menangkap pembunuh Felix. Seperti dituturkan Gabriel yang pertama kali menemukan mayat Felix kepada petugas 911, pembunuh ayahnya tak lain tak bukan adalah Susan Polk. Gabriel tak punya nama lain untuk disebut, selain ibunya, karena ia ingat, tanggal 13 Oktober 2002, pukul 23.00 Susan sempat mampir ke rumah mereka.

Setelah itu, hampir tak ada tamu lain yang menemui ayahnya. “Yang saya tahu, mereka langsung bertengkar. Meski saya tidak tahu persis kejadiannya, tapi saya yakin, Mum yang membunuh Daddy,” tutur Gabriel lirih. Hanya kalimat itu yang selalu diucapkan Gabriel, baik kepada polisi maupun petugas 911. Tak ada kalimat lain yang keluar dari mulutnya. Gabriel adalah satu-satunya anak Felix - Susan yang tinggal di rumah besar itu. Dua lainnya, karena urusan sekolah, tinggal di luar rumah.

Saat ditemukan, tubuh Felix sudah hampir membusuk. Sang psikolog diperkirakan telah menjadi mayat selama hampir 24 jam. Di lokasi kejadian polisi menemukan tanda-tanda adanya perkelahian hebat. Puluhan luka, tepatnya 27 luka - 15 di antaranya luka bekas tusukan - juga ditemukan di sekujur tubuh Felix. Di kepalanya ada memar bekas pukulan benda tumpul. Fakta lain yang membawa polisi pada keterlibatan sang istri adalah sejumput rambut perempuan yang melingkar di tangan Felix. Setelah diselidiki, memang betul rambut Susan.

Dengan bukti-bukti itu, gampang saja buat pihak berwajib untuk langsung memasukkan Susan ke balik terali besi. Susan dianggap punya motif kuat - sangat kuat, bahkan - untuk melakukan pembunuhan berencana yang ancamannya hukuman mati. Polisi menyebut posisi Susan sebagai pihak yang “kalah” di pengadilan, sehingga harus meninggalkan rumah, kehilangan sejumlah warisan dan hak asuh atas Gabriel. Semua itu dipercaya menjadi penyebab tidak stabilnya jiwa ibu paruh baya itu, sehingga tega menghabisi nyawa mantan suaminya.

Teori yang masuk akal dan tanpa banyak cincong diakui oleh Susan. “Saya memang ada di sana malam itu, tanggal 13 Oktober, untuk mengambil barang-barang yang masih tersisa,” Susan mengawali cerita. “Tapi saya tak pernah merencanakan pembunuhan, apalagi mempersiapkan senjata untuk membunuh Felix. Semuanya terjadi begitu saja. Kalau saya tak membela diri, mungkin saya yang mati,” bantah Susan berkali-kali.

Masih versi Susan, ketika bertandang malam itu, sekitar pukul 23,00 - seperti biasa - Felix langsung menyambutnya dengan sikap bermusuhan. Di cottage mereka saling berhadapan bak anjing dan kucing.

“Kami bertukar argumentasi, saling hardik dan saling lempar caci-maki, bahkan saling mengancam,” terang Susan. Saking hebatnya pertengkaran itu, sampai-sampai Felix bersumpah, “Perempuan laknat, kamu pikir saya akan membiarkan kamu pergi begitu saja, setelah apa yang kamu katakan malam ini?” Omongan setengah mengancam itu membuat Susan bergidik. Untuk menghindari tindakan fisik Felix, Susan sempat melempar botol merica ke arah mantan suaminya itu.

Namun, tindakan itu malah membuat Felix tambah naik darah. la langsung menjambak rambut Susan, lalu menjerembabkan istrinya ke lantai, untuk kemudian memberinya satu pukulan di wajah. Tak puas sampai di situ, Felix lalu mengambil pisau. Sembari menghunus senjata tajam, Felix balas melempar botol merica ke wajah Susan, sehingga isinya berhamburan. “Penglihatan saya jadi terganggu, tapi samar-samar saya sempat melihat dia mencoba menghujamkan pisau pada saya,” aku Susan.

Perempuan berpembawaan tenang itu mengaku menghadapi situasi yang paling sulit sepanjang sejarah perkawinannya dengan Felix: membunuh atau dibunuh. “Jika tak segera bertindak, pisau itu pasti akan mengoyak-ngoyak tubuh saya. Untunglah, saya seperti diberi kekuatan ekstra. Spontan saya tendang dengkulnya. Pada saat bersamaan, tangan saya menahan tangannya yang memegang pisau.”

Nah, saat Susan menendang itulah, pisau di tangan Felix terlepas. “Saya berusaha meraih senjata itu. Berhasil. Lalu saya berteriak. ‘Hentikan Felix, hentikan! Saya memegang pisau.’ Tapi dia tak juga berhenti, malah semakin nekat, makin mendekat, dan mencoba meraih kembali pisau dari tangan saya. Felix bahkan sempat melayangkan satu pukulan lagi di wajah saya,” ujar Susan sembari menirukan aksi Felix yang terus merangsek.

Susan tak punya pilihan lain. “Saya menusuknya persis di pinggang. Tapi karena dia masih juga berusaha merebut pisau dari tangan saya, terpaksa saya menusuknya lagi dan lagi. Beberapa kali, di bagian tubuh yang berbeda. Mungkin sampai sekitar lima kali.” Susan baru berhenti setelah tubuh Felix roboh. “Badannya berlumuran darah dan tak kuat lagi berdiri. Saya mencoba membantunya berdiri, tapi tubuhnya terlalu berat.”

“Dia sempat bilang ‘Mati, sepertinya aku akan mati’, sebelum akhirnya tak bergerak sama sekali. Saya sadar, Felix telah meninggal,” imbuh Susan. Setelah itu, Susan mengaku hanya bisa duduk terdiam di tangga, di dalam cottage, tak jauh dari tubuh Felix tergeletak. Sejenak ia membayangkan masa-masa indah saat masih bersama.

“Apa yang harus saya katakan pada anak-anak tentang kejadian ini?” pekiknya dalam hati, sambil memandangi noda darah di tangannya. Sayangnya, setelah kejadian itu, Susan tak langsung melapor pada polisi atau setidaknya mengontak 911, agar mayat Felix diurus sebagaimana mestinya. Dia malah membersihkan darah di tubuhnya, membersihkan darah yang berceceran di lokasi, lalu pergi tidur.

“Saya sengaja tidak menelepon 911, karena khawatir mendapat perlakuan yang tidak pantas dari mereka,” Susan beralasan. Banyak pihak menyesalkan tindakan Susan ini. Karena dengan begitu, Susan merasa tindakannya pergi tidur dan membiarkan tubuh berdarah Felix begitu saja di lantai jauh lebih pantas ketimbang membawa suaminya ke rumah sakit.

 

Borok masa lalu

Kasus matinya Felix, memang dianggap bukan tipe kasus yang akan menantang atau menyulitkan pihak kepolisian. Satu-satunya saksi mata dalam peristiwa itu, ya Susan Polk sendiri, yang mengakui terus terang telah membunuh mantan suaminya. Persoalan apakah kronologi yang diceritakan Susan benar adanya, sulit dipastikan, dan tak terlalu penting untuk dipermasalahkan.

Sepanjang pembunuhnya ada dan mengakui terus terang perbuatannya, kasus selesai. Segalanya menjadi begitu mudah buat para detektif. Mereka tinggal mengemas barang bukti untuk dipergunakan di pengadilan, menyelipkan surat visum dokter, mengetik pengakuan tersangka, mencocokkannya dengan keterangan para saksi, lalu membuat berkas, untuk kemudian melimpahkannya ke pengadilan. Beres dalam waktu singkat.

Namun, tidak demikian dengan jalannya proses peradilan. Para juri yang mengadili kasus ini justru menanggung tugas mahaberat. Berdasarkan fakta-fakta yang berkembang di pengadilan, sangat banyak faktor yang mesti dipertimbangkan. Susan misalnya, bersikukuh apa yang dilakukannya adalah upaya bela diri. Juri juga “dipaksa” mempertimbangkan masa lalu Susan dan Felix yang terlalu menyentuh, jika tidak mau dibilang mengejutkan.

Di pengadilan Susan membuka borok rumah tangga yang disimpannya selama 20 tahun. Borok yang selama ini sama sekali tak diketahui orang luar, bahkan ibunya sendiri, Helen Boiling. “Dari luar, keluarga Polk selalu terlihat harmonis, tak pernah bermasalah. Itu sebabnya, saya.dan para tetangga tak pernah mengira, selama 20 tahun terakhir ini Susan memendam sesuatu yang sangat buruk,” timpal Helen.

Tali kasih antara Susan dan Felix bermula di tahun 1970- an, ketika Susan remaja masih tinggal bersama ibunya, Helen Boiling, yang saat itu sudah menjadi orang tua tunggal. Helen bercerai dari suaminya ketika Susan masih kecil. Barangkali lantaran kehilangan figur bapak, Susan tumbuh menjadi remaja yang lebih suka bersembunyi dari kebisingan dan menenggelamkan diri pada bahan bacaan.

Di usia 14 tahun, misalnya, Susan sudah terbiasa melahap bacaan-bacaan (yang buat orang dewasa sekali pun terasa berat) semisal karya Turgenev, Chekhov, atau Tolstoy. Namun, hobi Susan remaja itu di mata gurunya justru jadi masalah, karena ia sering tak peduli dan mengabaikan tugas-tugas sekolah. Helen menduga, Susan bersikap seperti itu lantaran kecewa pada perceraian kedua orang tuanya. Agar kembali normal, Helen lalu membawanya ke seorang psikolog anak.

Di ruang praktik psikolog anak itulah, Susan yang baru berusia 15 tahun untuk pertama kali bertemu Frank Felix Polk, terapis berusia 40 tahun yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Awalnya, seperti dituturkan Helen, terapi itu berjalan dengan baik. Susan tampak bisa menerima pendekatan yang dilakukan Felix.

Namun lambat laun, keanehan mulai terasa, ketika Helen sering melihat Felix meminta Susan remaja duduk di pangkuannya. Toh Helen tak menganggap hal itu serius. “Mungkin bagian dari proses penyembuhan,” pikirnya. Bukankah tiap psikolog punya metode sendiri, yang tak sama dengan psikolog lainnya?

Lucunya, Susan sendiri nyaris tak mengerti secara persis, terapi apa sebenarnya yang dilakukan Felix terhadap dirinya di masa lalu. “Terutama ketika kami berdua di ruang praktik, dan Felix mulai menghipnosis. Yang saya ingat, dia begitu baik dengan menyuguhkan secangkir teh, lalu meminta saya memperhatikan bandul jam. Setelah itu, dalam kondisi terhipnosis, saya tak pernah tahu apa yang terjadi. Bertahun-tahun saya bahkan tak pernah mencoba memikirkan hal itu,” jelas Susan.

Sampai suatu hari Susan menyadari, “sesuatu” telah terjadi pada dirinya, sesuatu yang mengarah pada pelecehan seksual. Bahkan lambat laun, Felix - yang masih terikat perkawinan - tak sekadar menganggap Susan sebagai pasien, tapi “kekasih”. Jika cerita Susan benar, sang psikolog jelas tak hanya melanggar hukum dengan melakukan tindakan tidak senonoh terhadap pasien di bawah umur. Tapi juga melanggar kode etik psikolog, dengan membuat skandal di ruang praktik. Rahasia malapraktik itulah, menurut Susan, yang coba disembunyikan Felix dari khalayak sampai akhir hayatnya.

Beberapa tahun terapi berjalan, ketika sudah duduk di bangku kuliah, Susan pernah berusaha memutuskan hubungan “anehnya” dengan sang psikolog gaek. Namun, ketika mereka berbicara di telepon, sambil menangis Felix mengancam hendak bunuh diri, jika Susan benar-benar memutuskan tali cinta. Felix, lewat kemampuannya menghipnosis, mengendalikan pikiran dan tingkah laku orang lain, mencoba membentuk “pasien istimewanya” itu menjadi “istri idaman”.

Felix ibarat sutradara panggung boneka yang bebas melakukan apa saja, berbekal ilmu yang dikuasainya, terhadap jalan hidup “aktor-aktrisnya”. Termasuk membuat Susan (saat menginjak usia 25 tahun) menikahinya (meski ketika itu umur Felix sudah mencapai 50 tahun). Awalnya, banyak orang menganggap pernikahan pasangan yang usianya terpaut dua kali lipat itu sebagai pernikahan ganjil. Namun, karena mereka selalu terlihat “bahagia”, semua omongan miring pun pergi ditiup angin.

Padahal, untuk menikahi Susan, Felix terlebih dahulu harus menceraikan istrinya. Susan mengaku sempai menelepon mantan istri Felix untuk minta maaf. “Dia wanita yang baik, bahkan sangat baik. Dia tidak marah dan tidak menganggap saya merebut Felix. Dia justru memperingatkan saya untuk lebih berhati-hati terhadap mantan suaminya.”

“Dia bilang, Felix punya kecenderungan memaksakan kemauannya pada orang lain, dan ingin selalu terlihat sebagai ‘orang baik’, dalam kondisi apa pun. Celakanya, baru sekarang saya mengerti maksud perkataannya,” terang Susan. Penyesalan tampak di wajahnya.

Tak lama setelah menikah, karier Frank Felix Polk meningkat pesat. Dia tumbuh menjadi salah seorang terapis dan psikolog anak beken yang sangat dihormati dan punya tempat praktik sendiri. Di akhir tahun 1980-an itu pula, Felix sempat merangkap jadi dosen di sejumlah perguruan tinggi. Sedangkan Susan, seperti ibu rumah tangga lainnya, sibuk membesarkan ketiga anaknya.

 

Penghinaan bertahun-tahun

Tahun 2000, Susan, Felix, dan ketiga anaknya pindah ke sebuah rumah besar nan mahal di Oakland Hills, masih di Negara Bagian California. Keberuntungan dan kebahagiaan sepertinya sedang terus merundungi keluarga ini. Eli Polk, anak kedua mereka bercerita, “Tak hanya tinggal di rumah bagus, kami juga punya mobil bagus, menuntut ilmu di sekolah pilihan, dan sering jalan-jalan ke luar negeri.”

Namun di luar itu, tak seorang pun tahu, apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarga besar Polk. Pihak keluarga, kerabat, dan tetangga, yang melihat mereka dari luar pagar, tak mendapat kesan lain kecuali keluarga rukun yang bahagia. Mereka sama sekali tak tahu, selain rahasia pelecehan seksual yang dilakukan Felix terhadap Susan di ruang praktik puluhan tahun lalu, pasangan ini juga kerap bertengkar tentang banyak hal.

Felix yang pintar selalu ingin mendikte istri sekaligus mantan pasiennya. Eli Polk berkomentar, “Dad tak pernah menghormati dan selalu merendahkan Mum. Mereka sangat sering bertengkar. Makin lama saya sadar, mereka makin susah disatukan.” Selama ini, hanya Eli yang bersedia menyampaikan kesaksian dan berbicara banyak, baik kepada polisi, majelis hakim, maupun wartawan. Dua anak Susan - Felix yang lain, lebih memilih berkata satu dua kalimat pada polisi, lalu membisu.

“Saat bertengkar, tingkah laku Dad sangat menghina dan melecehkan Mum. Bertahun tahun, Dad menyebut Mum sebagai orang gila dan perempuan yang suka berhalusinasi” tambah Eli. Felix yang notabene profesional di bidang ilmu kesehatan mental, seperti tahu bagaimana cara “menyiksa” batin dan pikiran Susan.

Dad juga sering menghipnosis kami, semua anak-anaknya. Saya tak tahu untuk apa. Tapi jika kami menolak, dia tak segan-segan membalasnya dengan kekerasan. Jika ia ingin kami melakukan sesuatu, kami harus melakukannya, tak bisa tidak. Dia hampir tidak pernah memberi kami pilihan dan menjadi diri sendiri,” tambah Eli.

Tak tahan dengan perlakuan Felix, pada Januari 2001, Susan sempat melakukan percobaan bunuh diri, dengan menenggak aspirin melebihi dosis. Beruntung, saat itu nyawanya masih dapat diselamatkan. Namun, upaya bunuh diri itu tak juga menyadarkan Felix. Sikap Felix tak kunjung berubah.

Mum benar-benar menghadapi masa-masa sulit, secara fisik maupun mental. Cap sakit mental, hinaan, dan ancaman fisik dari dad berlangsung terus-menerus, nyaris setiap hari. Mum hidup dalam tekanan,” sebut Eli Polk. 

Karena tak tahan lagi, beberapa bulan setelah percobaan bunuh diri itu, Susan memasukkan gugatan cerai ke pengadilan.

“Anak-anak sekarang sudah remaja. Mereka sudah bisa berpikir jernih dan mandiri. Saya pikir, inilah saatnya mengambil keputusan terbaik untuk diri saya sendiri,” sebut Susan.

Toh rencana perceraian itu tidak mengendurkan genderang perang. Mereka tetap sering cekcok, saling memaki dan saling mengancam. “Felix pernah bilang, perkawinan kami harus berlangsung seumur hidup. Saya tahu, dia tak akan pernah membiarkan saya pergi. Makanya, saya katakan padanya, ‘Saya tak akan membiarkan kamu terus menghipnosis saya dan anak-anak.’ Saya tak tahan lagi,” seru Susan.

Dia yakin, Felix takut bercerai karena tak mau istrinya membeberkan aib rumah tangga mereka pada orang lain. “Jika semua cerita ini berembus ke luar rumah, karier dan reputasinya akan berantakan,” Susan menambahkan. Keandalan Felix sebagai terapis dan psikolog anak bakal dipertanyakan jika skandal percintaan ilegalnya 20 tahun silam dan obsesinya mengontrol perilaku orang lain tercium khalayak.

Apalagi jika aib itu keluar bersamaan dengan dipublikasikannya laporan tentang Felix sewaktu berdinas di Angkatan Laut. Pengacara Susan menemukan, Felix ternyata pernah mencoba bunuh diri sewaktu bertugas di kemiliteran, sehingga perlu mendapat perawatan psikiater selama berbulan-bulan. Saat itu, Felix diduga mengidap gangguan kejiwaan. Apakah penyakit ini yang membuat Felix terobsesi membentuk anak dan istrinya seperti aktor dan aktris panggung sandiwara boneka?

Yang pasti, di persidangan banyak kalangan yang tadinya mengecam Susan, akhirnya berbalik memahami tindakan istri yang batinnya tersiksa dan jiwanya tergadai selama bertahun-tahun itu. Namun buat Susan, apa pun keputusan juri, tampaknya tak akan banyak memengaruhi jalan hidupnya. Setidaknya, keinginannya selama ini untuk lepas dari kontrol sang “sutradara boneka” terkabul sudah. la kini bisa menjadi diri sendiri.

Satu-satunya penyesalan Susan adalah soal rumah tangganya yang hancur total. Pascakematian Felix, tiga anak mereka terbelah ke dalam dua kutub. Eli, anak kedua (kini 20 tahun), memilih untuk mendampingi Susan melewati hari-hari sulit di pengadilan. Sedangkan si sulung Adam (kini 22 tahun) dan Gabriel (kini 18 tahun) lebih suka memihak almarhum Felix. Anak-anak yang dulu saling mendukung, kini bermusuhan, bak meneruskan tradisi permusuhan Felix - Susan.

Kasus Susan Polk seperti ingin menunjukkan, “Jarang ada kejahatan yang murni kejahatan, atau kebaikan yang murni kebaikan.” Kadang keduanya seperti air dan minyak: mudah dibedakan tapi sulit dipisahkan. (Keith Morrison)



" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400607/malapraktik-sang-psikolog-gaek" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659536021000) } } [9]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400637" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/berkat-rekaman-video_thomas-will-20220803020902.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Ada percobaan pembunuhan Lisa. Betuntung suaminya, Kosta, sigap dan menembak si pembunuh. Namun upaya pembunuhan ini bukan yang pertama. " ["section"]=> object(stdClass)#156 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/berkat-rekaman-video_thomas-will-20220803020902.jpg" ["title"]=> string(20) "Berkat Rekaman Video" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:09:24" ["content"]=> string(31731) "

Intisari Plus - Ada percobaan pembunuhan Lisa. Betuntung suaminya, Kosta, sigap dan menembak si pembunuh. Namun upaya pembunuhan ini bukan yang pertama.

-------------------

Di musim semi sinar matahari menghangatkan Pantai Daytona yang terhampar sepanjang pesisir Atlantik Tengah. Tempat rekreasi indah itu menjadi tujuan banyak wisatawan untuk melepaskan kesuntukan hidup sehari-hari. Tempatnya bisa di mana saja. Bar, salon, hotel mewah, juga jalan raya.

Keramaian itu merasuki segenap sendi kehidupan, termasuk dunia kriminal. Salah satu wilayah yang jadi tempat beroperasi adalah deretan pertokoan di kawasan yang disebut “Boardwalk”.

Beberapa hari setelah perayaan Halloween, pihak Kepolisian Daytona mendapat laporan kejahatan yang menimpa salah seorang anggota keluarga terkemuka di sana. Seorang lelaki tak dikenal menyerang, dan menembak langsung kepala Lisa Paspalakis (27). Yang lebih mengerikan, kejadian itu berlangsung di kamar tidur korban.

 

Suami jadi pahlawan 

Saat pelaku penembakan beraksi, korban sudah dalam keadaan tidur, bersebelahan dengan suaminya, Kosta Fotopaulus.

Penembakan itu berlangsung sangat cepat. Secepat itu pula tindakan pembalasan suaminya, yang segera menyambar pistol di dekatnya. Tujuh tembakan yang ia letupkan membuat si penembak istrinya terkapar.

Lisa mujur luar biasa. Menurut dokter, peluru itu cuma menyerempet batok kepalanya. Hal itu tidak akan berisiko fatal.

Peristiwa yang segera tersebar beritanya itu menempatkan Kosta sebagai pahlawan yang menyelamatkan jiwa istrinya.

Kopral Greg Smith, detektif dari bagian pembunuhan, ditugasi menyidik kasus penembakan itu. Malam itu juga ia meluncur ke rumah besar Keluarga Paspalakis. Di sana tinggal Mary Paspalakis, ibu korban, pasangan muda Kosta dan Lisa, serta adik Lisa, Dino. Rupanya, Dino yang melaporkan kasus penembakan di rumah itu.

Katanya, tak lama setelah mematikan lampu di dapur, ia mendengar suara senjata menyalak. “Saya tidak tahu dari mana asalnya, tetapi ketika memeriksa kamar Ibu, saya lihat ia baik-baik saja. Segera saya lari ke lantai atas ke kamar Lisa, ternyata benar.”

Sedangkan Kosta mengutarakan kecurigaannya. “Usaha pembunuhan itu pasti bertujuan untuk menjatuhkan perusahaan keluarga kami di Boardwalk yang omzetnya jutaan dolar.”

Smith tidak banyak berkomentar. Saat ini ia belum dapat mengambil kesimpulan apa pun. Menurut dia, sah saja Kosta menduga adanya motif persaingan bisnis, karena kepolisian pun tidak menemukan adanya barang hilang sebagai bentuk motif perampokan.

Petugas kesehatan segera mengevakuasi korban, baik Lisa yang segera mendapat pengobatan maupun mayat lelaki tak dikenal itu. Penyelidikan di TKP juga tidak memberikan informasi berarti lainnya, kecuali sepucuk senjata otomatis kaliber 22.

Senjata bukti itu ternyata tak cukup membantu untuk memecahkan kasus itu. Pasalnya, senjata itu ternyata berasal dari pasar gelap.

Untung Smith segera mencari identitas si penembak. Dari sidik jarinya diketahui, korban bernama Bryan Chase. Pria bertubuh besar itu ternyata baru berumur 18 tahun. la kelahiran Ohio dari keluarga petani. Selama ini remaja itu bekerja di sebuah hotel di Daytona.

Penyelidikan lanjutan di tempat kerja Bryan memunculkan watak aslinya yang rupanya senang dikelilingi perempuan. Suatu kebiasaan yang menguntungkan, karena itu berarti akan banyak orang yang dapat dimintai informasi tentang Bryan.

Salah satu perempuan yang rela membuka mulut bernama Lori. 

Lori mengaku mengetahui dengan pasti dalang di balik kejadian itu.

Di markas kepolisian, mula-mula Lori menyebutkan nama yang dimaksud, yakni Deidre Hunt.

Namun, belakangan ketahuan, perbuatannya buka mulut lebih karena sakit hati. la dan Deidre telah cukup lama menjalin hubungan cinta sejenis. Namun, berulang kali Deidre mengkhianati cintanya. Jadi, kini saat yang tepat untuk memberi pelajaran pada kekasihnya itu.

Untuk membuktikan kebenarannya, Lori terpaksa diamankan. Sementara Smith mencari Deidre Hunt di alamat tempat tinggal mereka berdua.

Pencarian tak segera memberikan hasil. Tetangga seapartemen mengatakan, Deidre yang akrab dipanggil Dee atau Cherie jarang pulang, paling-paling sekali dalam seminggu. Itu pun dilakukan di malam hari, dan subuh ia sudah pergi.

Segera beberapa opsir ditempatkan untuk mengawasi tempat itu secara bergiliran. 

Satu minggu berlalu tanpa hasil. 

Minggu kedua, belum juga ada tanda-tanda pemunculannya.

Kesabaran Smith mendekati titik nadir. la mulai curiga, jangan-jangan Lori sengaja mengelabui dirinya.

Kecurigaan itu mendapat jawaban, ketika pengintaian memasuki hari ke-18. Pada pukul 23.30, sesosok berjas panjang hitam memasuki apartemen itu.

Meski tak jelas benar wajahnya, melihat gerak-geriknya yang ekstra waspada, opsir pengamat memutuskan segera menghubungi Smith untuk melaporkan perkembangan itu dan menunggu perintah lanjutan.

Tepat pukul 24.00, dilakukan penggerebekan di tempat tinggal Lori - Deidre. Tanpa kesulitan berarti, Smith dan rekan-rekannya meringkus wanita cantik bak bidadari itu. Di balik sikap dan perilaku malu-malu, tersimpan isyarat yang menggoda.

Dee memang penggoda, reputasinya telah dimulai sejak putus sekolah di kelas sembilan. Saat itu diam-diam ia terjun ke dunia orang bebas. Seks bebas pun ia jalani sejak awal usia belasan.

la matang terlalu cepat. Semua itu mungkin berhubungan dengan kondisi keluarganya yang berantakan. Ibunya pencandu alkohol, ayahnya pun tak mengakuinya sebagai anak kandung.

Saat pertama kali terjun dalam kehidupan pilihannya, ia bekerja sebagai gadis bar, dan melayani pesanan seks demi uang. Dunia cinta lesbian juga digumulinya. “Ratu Daytona”, demikian julukan atas profesinya.

 

Bukan yang pertama

Di tengah proses menangkap Dee, Smith mencoba menggali informasi dari Lisa Paspalakis.

la putri seorang pengusaha sukses di Daytona. Gadis lulusan University of South Florida di Tampa dalam bidang studi akuntansi itu kini memegang kendali seluruh bisnis keluarga yakni Joyland, yang berada di kawasan Boardwalk.

Di kamar rumah sakit yang dijaga ketat oleh polisi itu Smith menemui Lisa.

Baru beberapa menit Smith berbasa-basi menyalami Lisa, pintu kamar dikuak dari luar. Rupanya, Kosta.

Dari pembicaraan kemudian, Lisa mengatakan, peristiwa penembakan itu bukan ancaman pembunuhan yang pertama kali didapatnya.

Peristiwa lainnya terjadi sehari setelah Halloween. Seorang pria berpostur tinggi, berkulit hitam cerah menerobos pintu ruang kerja di kantornya.

Saat itu ia berada di balik pintu, hendak menutupnya karena Dino, adiknya, baru saja meninggalkan kamar itu.

“Kosta ada di sini?” tanya lelaki itu. 

“Tidak,” jawab Lisa sembari memalangkan kaki di pintu. 

Dengan menggerundel tentang adanya janji kerja dari Kosta, lelaki itu kembali bertanya, kapan Kosta datang.

Mendadak pandangan Lisa menangkap pistol yang terselip di pinggang lelaki itu.

Sadar akan pandangan langsung Lisa, lelaki itu menarik pistol. Lisa menyentak ke belakang.

Lelaki itu membentak, memerintah Lisa masuk ke dalam kantor.

Lisa tahu, tak ada tempat buat menghindar dalam ruangan itu. Satu-satunya jalan cuma kabur dari sana. Tapi bagaimana, pintu keluar teralangi tubuh tinggi besar itu.

Biar bagaimana Lisa tetap berusaha.

la menjatuhkan dirinya, berguling ke lantai.

“Bangun, bedebah! Kamu akan mati. Cepat, masuk ke kantor!” 

Kesempatan bangun beberapa detik dimanfaatkan untuk menerobos keluar. la lari lewat sebuah lorong.

Lelaki itu mengarahkan pistolnya pada Lisa, yang sudah melesat jauh.

Satu tembakan sempat dilepaskan. Untungnya, meleset.

Lisa kabur, masuk ke dalam sebuah restoran terdekat.

Kosta membenarkan semua penuturan Lisa. Malah, ia juga mengatakan, segera setelah Lisa berhasil kabur, ia bergegas mendapatkan istrinya dan menenangkannya. 

Kembali Kosta mengingatkan, usaha pembunuhan itu merupakan cara untuk menghancurkan keluarga istrinya.

 

Dalang di balik dalang 

Tak selancar yang diperkirakan, itulah yang dihadapi Smith. Pikirnya, dengan mempertemukan Dee dan Lori, masalah itu segera beres. 

Nyatanya?

Dalam ruang interogasi yang hanya diisi satu meja ukuran 60 x 100 m dan tiga kursi sederhana. Smith, Dee, dan Lori bertatap muka untuk pertama kali. 

Interogasi tidak berjalan lancar.

“Kalian berdua memang bekerja sama dalam merancang pembunuhan ini?” tanya Smith.

“Bukan aku, tapi dia. Aku hanya diajak bekerja sama untuk mencari pelaku eksekusi,” jawab Lori.

“Benar demikian?” tanya Smith sambil mengalihkan pandangan pada Dee.

“Bukan aku. Aku cuma membantu.” 

Smith mulai geram. Dua perempuan cantik itu lebih sering saling pandang daripada mengakui perbuatan kriminal mereka. la merasa dipermainkan.

“Terserah kalian saja, tapi pikirkan risiko yang bakal menimpa,” ancam Smith yang kemudian meninggalkan ruangan interogasi. Dari balik kaca di ruang sebelah ia mengamati apa yang dilakukan keduanya.

Rupanya, mereka tidak betah berlama-lama berdiam diri.

“Lebih baik kamu mengaku. Katakan yang sebenarnya,” desak Lori.

“Kamu memaksaku untuk mengaku karena kamu cemburu dengan kebahagiaan kami. Kamu ingin kami berdua celaka,” jawab Dee. 

Aha, berarti ada dalang lain yang belum terungkap. 

“Omong kosong dengan kecemburuan itu. Kalau mau cemburu, sudah dari dulu kulakukan, karena kamu memang sering mengkhianati aku.” 

“Kamu egois. Cuma ingin menyelamatkan diri sendiri.” 

“Coba pikir, untuk apa kamu membela dia mati-matian. Dia hanya memanfaatkan dirimu. Lihat saja nanti, ia pasti akan cuci tangan begitu polisi mengarahkan sasaran ke dirinya.”

“Hati-hati bicara. Kita pasti disadap,” suara Dee berdesis. 

“Biar saja. Biar semua orang tahu. Lelaki itu hanya berpura-pura. Sok membela istrinya, padahal justru ia yang mengincar harta istrinya!”

Kata “istrinya” menyadarkan Smith. Namun, ia tidak bertindak gegabah. la harus cukup punya dasar yang kuat untuk menangkap Kosta.

“Jadi, Kosta ada di belakang semua ini?” 

“Benar, ia dalangnya,” sahut Lori. 

“Adakah hubungannya dengan penembakan di kantor Lisa?” 

“Pelakunya bernama Teja Mzimmia James. Tinggal di Brooklyn.”

 

Dagang senjata

Sebagai perempuan simpanan Kosta, Dee tahu cukup banyak tentang diri kekasihnya.

Kosta Fotopaulus dilahirkan di bagian Athena pada Januari 1959. Ayahnya seorang ahli mesin Olympic Airways, perusahaan penerbangan Nasional Yunani.

Ketika dewasa, ia ikut pamannya ke Aurora, Illinois.

Wajahnya tampan. Cara bicara pria bertinggi badan 1.90 m ini pun sopan.

Suatu saat ia diperkenalkan dengan Lisa. Saat itu Lisa terlalu asyik dengan bisnis keluarga, usaha properti yang meliputi sepanjang Boardwalk. Orang tuanya sempat prihatin karena Lisa mengabaikan mencari calon suami.

Tapi sikapnya berubah, ketika ayahnya, Agaustine, yang biasa dipanggil Steno, memperkenalkannya dengan Kosta.

Lisa dan Kosta mengumumkan pertunangan mereka, dan tak lama disusul dengan pesta perkawinan yang mewah. Sikapnya yang memikat, memudahkan dia menjadi bagian dari Keluarga Paspalakis.

la menarik AS $ 300 seminggu dari Joyland, nama perusahaan keluarga Paspalakis, untuk menyelesaikan masternya di Embry-Riddle. Kosta juga merasa hidup sebagai orang kaya dan mengendarai BMW tipe mutakhir serta tinggal di kondominium yang dibelikan Lisa. Tapi setelah mengantungi ijazah, ia tak tertarik bekerja di bidang penerbangan sesuai dengan bidang studinya.

Kosta, menurut Dee, pemimpi yang baik untuk mempunyai perusahaan sendiri.

Kosta mengambil uang Steno, sedikitnya AS $ 10.000 untuk terbang ke Milan, Italia. Di sana ia membeli kartu kredit palsu.

Sekembali di Daytona ia mendekati sahabatnya, Peter Kauracos. Sebenarnya, Peter berniat mengingatkan risiko permainan yang dia lakukan. Tapi melihat gelagat yang kurang menguntungkan, ia pun membatalkannya.

Peter sendiri memiliki izin untuk melakukan usaha jual-beli senjata. Hal itulah yang diincar Kosta. Kosta memang terobsesi akan perdagangan senjata api gelap. la belajar pada Kauracos tentang seluk beluk perniagaan senjata.

Kosta mulai bermain-main dengan senjata gelap. la menyembunyikan beberapa granat tangan. la juga memodifikasi senjata panjang semi otomatis, sekaligus memproduksinya. la tidak sadar telah melanggar hukum. Sejak itu ke mana pun ia pergi tak pernah lupa membawa senjata.

Bahkan ia membual tentang kerja samanya dengan Mossad dan CIA untuk memberantas teroris. la bisa mengatakan semua itu, karena ia pernah mendapat pelatihan di angkatan bersenjata Yunani.

Menurut Dee, Lisa yang sangat mencintai suaminya tahu akan kegilaan Kosta pada senjata. Tapi ia merasa, dengan senjata suaminya tampak lebih gagah, sekaligus melindunginya.

Kosta memanfaatkan Vasilios “Bill” Markantonakis dan istrinya, Barbara, untuk menguras uang di pasar swalayan menggunakan kartu kredit gadungan. Markantonakis, yang kelahiran Yunani, dan Barbara merupakan pekerja baru di perusahaan keluarga Lisa, Joyland.

Tapi tak berapa lama perbuatan mereka itu sudah tercium yang berwajib dan tertangkap. Kosta memberi mereka uang untuk tutup mulut tentang keterlibatan dirinya dengan disertai ancaman.

Pada minggu ketiga November ayah Lisa meninggal dunia. Hal itu membuat Lisa yang cerdas semakin tenggelam ke dalam kesibukan bisnis keluarga. Untuk menenteramkan ibunya, Lisa pulang ke rumah Paspalakis yang besar.

Saat itu menurut Dee, Kosta melihat kesempatan untuk menguasai harta Keluarga Paspalakis, terutama bila Lisa mati. Selain warisan, ia masih mendapat klaim asuransi AS $ 350.000 plus provisi. Sementara Dino, adik lelaki Lisa satu-satunya, akan mendapatkan warisan itu jika Kosta mati.

 

Membuka bar sendiri 

Kosta menemukan ladang bisnisnya sendiri di ujung utama Boardwalk, jauh dari Joyland. Bersama dua mitranya ia membuka bar dan kolam renang yang dinamai Top Shots. 

Sebenarnya Lisa tidak setuju dengan bisnis yang tidak sesuai dengan karakter perusahaan keluarga. Pelanggannya pastilah orang-orang berengsek yang mengabaikan hukum. Namun, ia tidak dapat menghentikannya. 

Saat itu Kosta berusia 31 tahun, lebih tua dari kebanyakan tamunya di Top Shots. Tapi ia laki-laki yang mengesankan dengan kematangannya dan semua daya pikatnya. Kepada semua orang di sekekelilingnya ia mengaku sebagai pemilik Joyland dan usaha lain. Bahkan Lisa sering minta order darinya. Para pengedar narkotika pun tak berani mengemplang uangnya. 

Celakanya, tak semua upaya tipu-menipunya beredar mulus. Seorang bandit kecil bernama Mark Ramsey mengaku tahu tentang sejumlah kartu kredit palsu Kosta. Ramsey meminta beberapa ratus dolar untuk uang tutup mulut agar polisi tak tahu. Kosta tak gentar menghadapi pemerasan seperti itu. Dia cukup menyuruh Tony Calderone (39) untuk menyingkirkannya. 

Calderone bekerja sebagai pedagang mobil sekaligus pemilik dua restoran. la menginvestasikan AS $ 6.000 untuk menolong membuka Top Shots, kemudian menariknya kembali karena suatu alasan. la dipekerjakan sebagai manajer Top Shots, karena Kosta terlalu sibuk. 

Di Top Shots itulah Dee mengenal Calderone, yang kemudian mempekerjakannya. Ternyata Calderone dan Kosta sama-sama terpikat oleh gadis itu. Bisa diduga, Kosta yang berhasil merebutnya. Pada Calderone, Kosta memberi alasan punya rencana untuk memperalat Dee. 

 

Hunter killer

Ada sejumlah nama yang perlu diminta kesaksiannya. Teja James dapat dengan mudah diringkus. Kemudian dia menguak semua yang ia ketahui tentang rencana untuk membunuh Lisa, termasuk percobaan yang gagal di Joyland. Itu sudah cukup. 

Sedangkan Calderone, saat didatangi di Top Shots, tanpa berbelit-belit segera menyediakan kesediaannya untuk bersaksi di persidangan. 

Tak kalah penting dihadirkan adalah Vasilios “Bill” Markantonakis dan Barbara untuk dimintai informasi tentang kartu kredit palsu dari Kosta. 

Kericuhan sempat terjadi saat polisi akan menahan Kosta. la menolak. 

Sebaliknya, Dino mendukung penahanan kakak iparnya. la memang curiga Kosta terlibat. 

Kopral Greg Smith tak dapat mengerti, mengapa Kosta bisa cepat bangun dari tidur nyenyak, lalu tepat menembak Chase beberapa kali tanpa membuka matanya.

Apalagi menurut Letnan William Evans, tubuh Kosta lebih besar sehingga memakan tempat lebih banyak ketimbang Lisa, tetapi mengapa yang ditembak lebih dulu Lisa.

Lisa semula tidak percaya bila suaminya berada di belakang semua itu. Namun, akhirnya ia bisa menerima kenyataan bahwa ia telah menikahi seorang pembunuh gila.

Dalam persidangan, pengakuan Deidre berbelit-belit. la mengatakan di bawah kontrol Kosta yang menakutkan. Dia berbuat sesuai dengan perintah Kosta sekadar untuk menyelamatkan jiwanya.

Semenjak hidup bersama Kosta, keuangan Dee sudah tidak lagi menjadi masalah. Kencan lesbiannya bersama Lori tak menjadikan Kosta keberatan, asal tidak dengan lelaki lain.

Sampai suatu hari Kosta membicarakan “Hunter Killer”, sebuah klub pembunuhan, yang berhasil meraup banyak uang. Deidre setuju bergabung, tapi ia harus dites keberaniannya dulu oleh Kosta. Target utamanya sebenarnya Lisa.

“Kata Kosta, jika istrinya mati, ia akan mendapat tak kurang dari AS $ 700.000 dari asuransi jiwa Lisa, ditambah warisan dari bagian perusahaan Paspalakis.”

Untuk latihan, korban yang dipilih adalah Ramsey, si bandit kecil. Agar tampak profesional, Kosta akan merekam tindakan eksekusi itu.

Dee sudah mengenal Ramsey, sehingga tidak terlalu sulit untuk mengadakan pendekatan. Suatu siang di bulan Oktober, Dee membujuk Ramsey. la mengatakan, kini Kosta membutuhkan tenaganya dengan bayaran tinggi dan risikonya pun kecil. Modalnya hanya keberanian.

Sebenarnya, Ramsey sudah curiga, tapi mempertimbangkan kebaikan Dee yang pernah memberinya uang dan kepuasan seks, Ramsey pun bersedia bertemu Kosta.

Saat mereka bertemu, Kosta hanya mengatakan, ”Aku akan membayarmu mahal hanya untuk menantangmu duel.” Agar tampak meyakinkan, Kosta meletakkan senapan di tanah, di antara kedua kaki Ramsey.

Namun, saat ia lengah, AK-47 di tangan kiri Kosta menyalak, melukai dada Ramsey. Sementara kamera video di tangan kanan terus mengambil gambar itu. Dee sempat marah manakala kamera itu tertuju ke arahnya.

Tiga peluru menerjang dada Ramsey, tapi belum menewaskannya.

“Cepat, habisi dia!” perintah Kosta. 

Meski sempat ragu, Dee menyempurnakan kematian korban. 

Semua rekaman video itu kini menjadi barang bukti di pengadilan.

 

Senapan macet

Selanjutnya, Dee disuruh mencari seorang pembunuh dengan bayaran AS $ 10.000. Uangnya bisa diambil asal pembunuh sudah berhasil melaksanakan tugasnya.

Kosta sudah merancang cara yang cerdik. Usai si pembunuh beraksi, Kosta akan menembak si pembunuh. Akal-akalan itu menutupi perbuatannya dengan rapi.

Deidre menceritakan rencana itu pada Lori. Bahkan meminta Lori untuk melakukannya. Karena Lori menolak. Dee menawarkannya pada Teja Mzimmia James. Celakanya, sebagai sesama pengunjung Top Shots, Teja James tahu rencana pembunuhan secara mendetail dari Lori.

Lantas Deidre memilih Matthew Chumberley alias Mike Cox, seorang tunawisma, tanpa relasi lokal, punya beberapa teman, dan mempunyai rekor kejahatan.

Kepadanya Dee bercerita banyak tentang Hunter Killer Club, yang bisa menghasilkan uang banyak. Risikonya pun kecil, katanya, karena mempunyai hubungan dengan CIA. Mike Cox dijanjikan 10 pekerjaan besar setiap minggu.

Demi uang ia setuju. Bagaimanapun, sebelumnya ia mau bertemu dengan Kosta lebih dulu untuk mengambil senjata. Namun, ia salah masuk ke rumah tetangga dan tertangkap basah oleh polisi.

Kosta geram dan memerintahkan Deidre untuk kembali menghubungi Teja James. Pemuda itu bersedia melakukannya setelah Deidre menjelaskan bahwa rencana yang semula telah berubah, Kosta tidak akan menembak si pembunuh. Teja hanya disuruh meninggalkan kota dalam beberapa bulan setelah pembunuhan terlaksana.

Di sidang pengadilan, Teja James membenarkan cerita Dee.

Pada hari Halloween Kosta dan Lisa akan menghadiri pesta kostum di Razzles, klub malam yang tersohor.

Teja muncul di pesta dengan pisau terbungkus kain lusuh. Bodohnya, ia tidak mengenakan kostum dan topeng. la pun menjadi tamu aneh. Berjam-jam ia membuntuti Lisa berkeliling, menunggu kesempatan.

Begitu ada kesempatan, ternyata ia tidak cukup punya keberanian untuk menikam korbannya. 

Kosta murka.

Teja James masih mendapat kesempatan kedua. Mengeksekusi di kantor Lisa. Sebagaimana yang diceritakan Lisa, senjata api otomatis kaliber 22 itu hanya satu kali menyalak. Menurut Teja, senjata itu macet. 

Dua tugas Teja James gagal total.

Kosta meradang. 

Dee mencari tenaga baru. Ditemukanlah Bryan Chase. 

Dalam rencana Kosta, Bryan harus memasuki rumah Paspalakis. Menuju lantai atas tempat Lisa tidur bersama Kosta, dan menembak kepala Lisa beberapa kali.

Kemudian membuat seolah-olah telah terjadi perampok. Sesudahnya, ia harus secepatnya melarikan diri, sedangkan Kosta berpura-pura memburu si perampok itu.

Usaha pertama dilakukannya dengan memanjat pohon di bagian halaman belakang rumah Paspalakis di pagi hari. la harus terlebih dulu mematahkan penyangga dasar jendela kecil, namun ia lupa membawa peralatan dan pelindung terhadap sistem alarm rumah. la gagal, alarm berdering ramai sekali.

Chase sendiri rupanya penasaran. Usaha keduanya gagal, gara-gara seekor anjing tetangga menyalak. Dia kabur.

Dee galau dengan kegagalan demi kegagalan yang terjadi. Kalau terus begini, bisa-bisa Kosta akan minta Deidre sendiri menghabisi Lisa.

Terpaksa mereka menyusun rencana baru. Saat Lisa sudah tidur pulas, Kosta akan bangun dan mematikan lampu sebagai isyarat bagi Chase. 

Saat hari H, di kegelapan Chase muncul. Begitu Chase tiba di halaman belakang, penerangan di tempat tangga padam. la mengira, itu kode dari Kosta.

Ternyata, yang memadamkan lampu Dino, adik Lisa yang sedang demam. la pergi ke dapur untuk minum aspirin. Setelah itu mematikan lampu, ia kembali ke tempat tidur di tingkat atas.

Chase masuk melalui jendela yang sengaja dipecahkan oleh Kosta. Hanya diterangi oleh lampu buram dari sebuah akuarium ikan tropis, Chase menodongkan pistol 22-nya ke pelipis Lisa dan menekan picunya. 

Mestinya, sebuah peluru menembus tengkorak Lisa di dekat telinganya, tapi senjata itu macet untuk tembakan kedua kalinya. 

“Sialan!” gerutunya. 

Saat itu Kosta bangun, memuntahkan tujuh tembakan ke dada Chase.

 

Rekaman video kuncinya

Video pembunuhan ditunjukkan kepada dewan juri guna membuktikan kata-kata penyanggahan Deidre dan Kosta. Tayangan rekaman itu justru menghancurkan sanggahan Deidre tentang Kosta yang telah menodongkan senjata kepadanya saat ia menembak Mark Ramsey.

Rekaman itu menyakinkan para juri tentang Kosta yang memegang kamera video di tangan yang satu, senjata di tangan lain. Deidre dengan sebuah pistol di tangan, banyak kesempatan untuk menembak Kosta sebagai ganti Ramsey, tapi toh ia tidak melakukannya. Bahkan, rekaman itu menampilkan Deidre saat menghabisi Ramsey. Itu bukti yang tidak bisa diabaikan. Deidre dinyatakan bersalah dalam pembunuhan Ramsey.

Kosta diperiksa atas keteguhan sangkalannya meliputi kematian Ramsey dan Chase, dan ancaman terhadap kehidupan Lisa. Dia bersikukuh bahwa video rekaman pembunuhan Ramsey bukan dirinya yang membuat. Tapi faktanya mengungkap yang berbeda. Juri menyatakan, Kosta bersalah dalam tingkat pertama.

Kosta juga dituduh dalam kasus penipuan kartu kredit. 

Kosta dan Deidre divonis hukuman mati di kursi listrik wilayah Florida. Teja James yang dinyatakan bekerja sama dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Lori Anderson yang menolong Deidre dalam perencanaan pembunuhan Lisa mendapat hukuman yang sama. 

Lisa segera menceraikan Kosta setelah hukuman dijatuhkan.







" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400637/berkat-rekaman-video" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535764000) } } [10]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400934" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/jejak-porche-yang-mengecoh_greg-20220803014205.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Komisaris Bert Dusch diwarisi kasus pembunuhan keji sepuluh tahun lalu. Ribuan orang diselidiki namun pembunuh seakan hilang tanpa jejak." ["section"]=> object(stdClass)#160 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/jejak-porche-yang-mengecoh_greg-20220803014205.jpg" ["title"]=> string(27) "Jejak Porsche yang Mengecoh" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:42:24" ["content"]=> string(20745) "

Intisari Plus - Komisaris Bert Dusch diwarisi kasus pembunuhan keji sepuluh tahun lalu. Ribuan orang diselidiki namun pembunuh seakan hilang tanpa jejak.

-------------------

Ruang kerja Komisaris Bert Dusch di salah satu sudut kantor kepolisian Kota Tuebingen tidaklah terlalu besar. Ukurannya sama seperti ruang kerja penyelidik kepolisian di Jerman pada umumnya. Sebuah meja kerja mendominasi bagian tengah ruangan. Satu lemari kaca berukuran sedang diletakkan merapat ke dinding, bersebelahan dengan dua filing cabinet di sisinya.

Beberapa pekan terakhir, ruangan itu terasa semakin sesak oleh tumpukan arsip di atas meja. Arsip yang tampak mulai lusuh itu berisikan catatan-catatan penyelidikan pembunuhan, seperti laporan dari TKP, keterangan saksi, hasil tes laboratorium, termasuk foto-foto korban. Semuanya hanya memuat satu kasus yang masih misterius, yaitu pembunuhan Andrea Bergmeir.

Dusch memang baru saja mendapat "warisan", sebuah kasus pembunuhan keji yang terjadi sepuluh tahun lalu, dan belum terpecahkan hingga kini. Kasus yang benar-benar menguras energi para detektif sejawatnya di wilayah kepolisian kawasan Jerman bagian selatan. Bahkan sempat ikut merepotkan polisi di kota-kota besar lain, Munich misalnya. Dusch sendiri yang minta ditugasi menuntaskan X-file itu. "Kalau saja aku bisa memecahkan teka-teki ini," cetusnya dalam hati.

Sejak saat itu, di sela-sela tugas rutinnya, sang detektif muda bak tak kenal lelah itu menekuni fakta demi fakta dari setiap laporan yang dibacanya. Matanya mencoba menelusuri celah-celah dari penyelidikan. Mengamati lembar demi lembar setiap foto. Terus membaca dan menganalisis, untuk mendapatkan kemungkinan adanya sesuatu yang terlewatkan dari para penyelidik sebelumnya.

 

Rencana ke Munich 

Satu hari di penghujung 1992 mungkin merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan Dietmar U. sepanjang hidupnya. Kala itu, sekitar pukul 14.00, pemuda asal Munich ini menjemput kekasihnya, Andrea, di apartemennya di Tuebingen. Pasangan muda yang tengah dimabuk cinta itu sudah janjian akan merayakan malam tahun baru bersama di pondokan teman mereka di Danau Starnberg.

Sesampainya di apartemen Andrea, Dietmar tidak menaruh curiga atau membayangkan sesuatu bakal terjadi terhadap pacarnya. Namun, ia mulai bertanya-tanya dan khawatir, saat ketukannya berkali-kali tidak mendapat jawaban dari sang empunya apartemen. Tidak pernah ia mendapat sambutan sedingin ini. Apalagi sebelumnya mereka sudah berjanji untuk bertemu. Tidak mungkin Andrea pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan.

Karena sudah sering berkunjung ke tempat itu, Dietmar tak mendapat kesulitan masuk. Namun, ia begitu terkejut dan sejenak terbengong, tak tahu harus berbuat apa, begitu mendapati kekasihnya sudah menjadi mayat. Kondisi Andrea sangat mengenaskan.

Lehernya nyaris putus akibat sayatan benda tajam. Darahnya menggenang di lantai, seperti pemandangan yang lazim ditemui di rumah pemotongan hewan.

Bajunya terbuka di beberapa bagian. Awam sekalipun akan mudah menebak, selain dibunuh, korban tampaknya juga diperkosa secara brutal. Sebelum tewas, Andrea diduga melakukan perlawanan keras. Ini terlihat dari beberapa goresan benda tajam di tangannya. Sialnya, hampir tidak ada bukti-bukti yang mengindikasikan siapa pelaku kejahatan biadab itu. Tak ada kerusakan di sekitar TKP. Pintu pun tidak tampak dijebol.

Dietmar terlihat terduduk lesu sembari menangis di salah satu sudut apartemen, ketika polisi mendatangi tempat kejadian perkara (TKP). Mereka langsung melakukan proses pemeriksaan awal dan mengamankan tempat itu dari kerumunan orang banyak dengan menempatkan garis polisi. 

Meski masih dirundung sedih, tak pelak Dietmar adalah orang pertama yang dicurigai. Polisi mengembangkan dugaan, seandainya saja pasangan itu telah bertengkar. Dugaan yang sebenarnya tidak begitu kuat, karena tiga hari sebelumnya mereka baru saja berlibur di Teneriffa, salah satu pulau terbesar di Canary Island.

"Tak mungkin, sama sekali tak mungkin. Hubungan kami selama ini baik-baik saja. Saya sangat mencintainya," tegas Dietmar dengan mata nanar. Dietmar juga bercerita, Andrea sebenarnya sudah berencana pindah ke Munich. Sayang, rencana besarnya itu keburu gagal karena kejadian mengerikan ini.

"Atas dasar apa kami harus mempercayai keterangan Anda?" potong seorang detektif. 

"Sebab, saya memang tidak melakukannya," balas Dietmar, yang tampak mulai kesal.

Pemeriksaan memang berjalan sangat menjemukan. Berjam-jam Dietmar harus menjawab pertanyaan para detektif dengan pola pertanyaan yang nyaris selalu berulang. Polisi berharap, Dietmar tidak konsisten dan membuka kebohongannya. Bahkan kuku jarinya ikut diperiksa. Penyelidik juga menanyai kenalan-kenalan Andrea dan Dietmar di Munich. Keterangan mereka rata-rata membenarkan pengakuan Dietmar.

Selain memeriksa Dietmar, hanya berselang 40 menit sejak penemuan mayat, polisi juga menahan seorang pemuda berusia 22 tahun, bernama Oliver Zelt. Pemuda ini dicurigai karena berkeliaran di sekitar TKP dan saat digeledah, polisi menemukan sebilah pisau di sakunya. Yang membuat polisi setempat lebih curiga, bajunya ternyata penuh dengan noda-noda mirip dengan noda darah.

Zelt memang sempat diinterogasi, tapi hanya sekitar tujuh jam, sebelum akhirnya dibebaskan. Noda-noda di baju, yang diduga polisi sebagai noda darah itu, ternyata hanyalah kotoran bekas tanah. Zelt yang memang suka membawa pisau ke mana-mana sedang apes, karena kebetulan berada di sekitar apartemen Andrea.

 

Jejak Porsche 

Selain berpenampilan menarik, Andrea Bergmeir dikenang oleh para tetangganya sebagai perempuan baik-baik dan tidak pernah berbuat macam-macam. Satu lagi yang diingat para tetangga, Andrea juga doyan berolahraga. Beberapa orang mengaku mengenal Andrea dengan baik, karena ia sering joging di kawasan sekitar tempat tinggalnya di daerah Nehren.

Perempuan yang bekerja sebagai arsitek itu sudah berhubungan dengan Dietmar setahun lebih. Tepatnya sejak November 1991, ketika keduanya bertemu di Munich. Sepengetahuan teman-temannya, hubungan kedua sejoli itu baik-baik saja. Malah kelihatannya sudah menjurus ke arah yang lebih serius, karena - seperti dituturkan juga oleh Dietmar - dalam waktu dekat Andrea berencana pindah ke kota tempat tinggal kekasihnya itu, Munich.

Karena kesenangannya berolahraga, Andrea juga menjadi anggota klub kebugaran Pegasus, tak jauh dan tempat tinggalnya.

Dari tempat itu pula, polisi menemukan informasi tentang keberadaan mobil Porsche. Sebuah petunjuk yang kemudian menjadi rangkaian besar pada kasus ini. Tiba-tiba saja, banyak orang merasa pernah melihat Andrea dan mobil mewah itu di mana-mana.

Seorang perempuan penjaga kafetaria, misalnya, mengaku pernah melihat sebuah Porsche diparkir di depan klub kebugaran pada malam pembunuhan. Perempuan yang kebetulan juga kenal dengan Andrea itu begitu yakin bercerita tentang ciri-ciri mobil itu, karena ia sempat melewatinya. "Porsche 944, saya yakin sekali itu Porsche 944. Catnya putih dengan nomor polisi Munich," jelas si penjaga kafetaria yang enggan disebut namanya.

Polisi berusaha mengembangkan informasi ini. Tetangga di sekitar pun ditanyai, kalau-kalau ada yang mendapat kunjungan seseorang bermobil Porsche.

Namun, tak ada yang mau membuka mulut. Ketika polisi menyebarkan perintah penyelidikan terhadap mobil Porsche, khususnya yang berasal dari Munich, tiba-tiba banyak orang yang menyatakan "pernah melihatnya".

Para saksi yang sempat memberi keterangan pada polisi setidaknya membenarkan keberadaan mobil itu di sekitar Nehren pada hari pembunuhan. Bahkan salah satu saksi terkuat, yaitu rekan kerja Andrea, pernah melihat rekannya itu di Tuebingen, di dalam sebuah Porsche 911 berwarna hitam dengan pelat nomor Munich.

Seorang pengunjung di Pegasus juga ingat, pada malam peristiwa itu ia sepertinya melihat sebuah Porsche diparkir di depan klub kebugaran. Setelah itu, salah seorang tetangga mengaku, pada awal Desember melihat Andrea turun dari sebuah Porsche berpelat nomor Munich. Warna mobilnya cokelat tua.

Para detektif saat itu yakin sekali, keberadaan mobil mewah bikinan Jerman itu tampaknya akan menjadi kunci penyelidikan. Sebuah keyakinan yang sangat beralasan. Sampai saat itu, sudah ada sekitar 31 petunjuk yang mengarah ke mobil itu, meski ada kesimpangsiuran soal warnanya. "Kami tidak menyangka, bahwa di kota itu (Munich) ternyata ada banyak sekali mobil Porsche," kata Wolfgang Wenzel, juru bicara kepolisian dalam pernyataannya.

Dari rangkuman keterangan para saksi mata, polisi kembali mengembangkan informasi tentang Porsche. Menurut data yang diperoleh dari Departemen Transportasi Jerman diketahui, sedikitnya ada sekitar 3.664 pemilik Porsche. Merasa "kesaksian" si mobil Porsche amat sangat dibutuhkan, polisi bertekad menanyakan alibi setiap pemiliknya satu per satu. Di mana dan apa yang mereka lakukan pada saat peristiwa pembunuhan. Tentu saja, sebuah pekerjaan besar!

 

Tolak periksa DNA

Niat polisi untuk membongkar kasus Andrea memang begitu besar. Buktinya, setiap pemilik Porsche di Munich tak luput dari pemeriksaan. Tanpa pandang bulu. Jika mendapati hal-hal yang mencurigakan atau muncul keraguan, mereka tak segan-segan melakukan tes DNA dari sampel darah. Hasilnya, tak kurang dari 900 pemilik Porsche menjalani tes darah. Saat itu tes DNA melalui air liur belum dilakukan.

Karena Porsche tergolong kendaraan mewah yang hanya dimiliki kalangan tertentu, orang-orang yang dicurigai pun banyak yang berasal dari kalangan atas, termasuk sejumlah selebriti. Salah satunya, bintang film Claude-Oliver Rudolph, yang sering berperan antagonis dalam film-film kriminal.

"Saat saya dipanggil pihak penyelidik, saya langsung menelepon pengacara saya, dan dia bilang, 'Oliver itu kewajibanmu sebagai warga negara'," kata bintang film itu kepada wartawan, sambil tertawa-tawa. Buat sebagian orang, tindakan polisi terhadap Oliver dirasa keterlaluan. Sementara di mata Oliver sendiri, tindakan itu sungguh menggelikan, kalau tak mau dibilang sangat lucu. Karena belakangan ketahuan, ia sebenarnya tidak memiliki Porsche, tapi Ferrari.

Tindakan polisi yang berlebihan itu tak pelak mendapat reaksi keras dari masyarakat. Seorang pakar kendaraan dari Munich bahkan menolak diperiksa. Ia tidak melihat adanya alasan harus dilibatkan dalam masalah itu. Pengacara sang pakar, Walter Sattler, bahkan melakukan naik banding ke pengadilan pusat untuk menghindari tes darah yang diminta pengadilan Kota Tuebingen. Dalam vonisnya, pengadilan pusat menyatakan polisi tidak berhak melakukan analisis DNA dalam kondisi kecurigaan sekecil apa pun.

Orang penting lain yang tak luput dari pemeriksaan adalah mantan Menteri Perhubungan negara bagian Baden-Wuerttemberg, Herman Schauffler. Schauffer didatangi polisi, karena laporan seorang teman pria Andrea, yang mengaku pernah melihat adanya hubungan khusus antara Andrea dengan tokoh politik itu pada suatu pameran di Kota Hannover.

Dengan jumlah saksi mencapai ribuan orang, kasus Andrea begitu menyita energi polisi. Sampai Januari 1999, telah dilakukan sebanyak 1.114 tes darah dan hampir 4.000 orang diperiksa alibinya. Arsip-arsip penyelidikan, jika ditumpuk dapat mencapai sepuluh map tebalnya. Belum termasuk map-map lain yang berisi catatan jejak-jejak tersangka pembunuh.

Tapi semua itu ternyata belum cukup. Pada 22 Januari 1999, dengan perasaan kecewa, Kepala Komisaris Kriminalitas Tuebingen memutuskan untuk menutup kasus itu. Tak seorang pun berani mengecam komisaris yang telah kehabisan akal itu. Pasalnya, mereka yang hendak mengecam juga ikut habis akal.

 

Petunjuk air liur

Kini, tumpukan arsip-arsip lama itu berdiri tegak di depan Dusch. Setelah berminggu-minggu mengencani kertas-kertas berdebu itu, Dusch akhirnya menemukan titik terang kasus Andrea. Dari catatan ia menemukan fakta, pada saat pembunuhan, pintu apartemen Andrea ternyata tidak dijebol. Bisa jadi Andrea mengenal pembunuhnya. Jika tidak, si pembunuh dipastikan orang yang memiliki kunci apartemen.

Sebenarnya, dalam arsip termuat juga catatan pemeriksaan polisi terhadap pemilik apartemen. Di situ antara lain disebutkan, pemilik pernah memberikan kunci kepada wanita bernama Ute M., seorang petugas kebersihan tangga apartemen, yang bekerja seminggu sekali. April 2002, Dusch melangkahkan kakinya ke rumah Ute M., yang terletak di pinggiran kota.

Rumah itu tampak sangat sederhana, bergaya kuno dengan cat tembok yang sudah kusam, tapi tetap terlihat bersih. Ia disambut baik oleh Juergen, suami Ute. Saat itu, Ute sedang tidak berada di rumah.

"Ya, tentu saja saya ingat kasus Andrea Bergmeir," kata Juergen, tak lama setelah keduanya mulai membuka pembicaraan sembari duduk di teras. Suara televisi dari ruang tengah yang menyiarkan siaran olahraga, tampaknya sepak bola, terdengar keras.

"Dia pribadi yang baik dan menarik," lanjut pria yang sudah tidak bekerja ini. "Saya mengenalnya karena sering membantu Ute. Tugas saya membersihkan tangga." Saat berbicara dengan Dusch, Juergen tampak begitu tenang, dengan sebatang rokok tak henti-hentinya bermain-main di tangan.

"Apakah Anda bersedia menjalani tes air liur untuk kepentingan pemeriksaan DNA?" tanya Dusch. Untuk membantu membongkar jalan buntu, ia memang bermaksud memanfaatkan teknologi terkini, seperti pemeriksaan air liur ini. Siapa tahu, cocok dengan DNA tersangka. 

"Apakah saya dicurigai?"

"Oh, ini hanya prosedur saja. Anda tahu kami melakukan tes seperti ini kepada semua orang," Dusch berkata apa adanya. 

"Baik," kata Juergen, sambil mengisap rokoknya kembali. Tak sedikit pun perasaan waswas terlihat di wajahnya. Di alamat yang ditunjuk Dusch, Juergen lalu melakukan tes air liur secara suka rela. Ia cukup patuh melakukan semua proses pemeriksaan yang diminta Dusch. Dusch sendiri sebenarnya tidak berharap banyak pada tes-tes seperti itu. Sudah ribuan tes dilakukan, tapi tetap saja tidak menghasilkan apa-apa.

Namun, kesabaran Dusch belakangan berbuah manis. Hasil tes air liur Juergen sungguh di luar dugaan. Tanggal 8 Juli 2002, Dusch mendapat kabar yang diimpi-impikannya selama ini. Kantor polisi Tuebingen resmi mendapat pemberitahuan, hasil tes air liur terhadap Juergen ternyata identik dengan "jejak pembunuh" dengan rekomendasi "sangat mungkin!"

Mendengar berita itu, Dusch sedikit bergetar. Perasaannya saat itu betul-betul tak keruan. Mirip orang menemukan jarum yang terselip di antara tumpukan jerami selama sepuluh tahun. Apalagi peluang keberhasilan tes itu adalah satu dibanding lima miliar! Tanpa banyak membuang waktu, malam itu juga Juergen ditangkap tanpa perlawanan berarti. Esok harinya, tanpa pemeriksaan yang berbelit, pembunuh yang sukses buron selama bertahun-tahun itu mengakui perbuatannya. 

Ketika Dusch masih tak percaya pada apa yang terjadi, berita penahanan Juergen telah menjadi berita besar di Jerman!

 

Hilang nafsu makan 

Bulan Mei 2003, kasus Juergen mulai disidangkan di pengadilan Kota Tuebingen. Persidangan itu mendapat perhatian besar dari media cetak maupun elektronik. Maklum, selama ini pers juga ikut berspekulasi tentang kemungkinan pembunuh Andrea, sehingga beberapa sempat diisukan terlibat, bahkan telanjur dicurigai secara tak resmi. Inilah saatnya menyaksikan sang pembunuh yang sebenarnya.

Di ruang pengadilan, sosok pembunuh keji yang selama ini dicari bisa disaksikan dengan jelas. Juergen yang kini berusia 44 tahun terlihat jauh lebih kurus dibandingkan dengan sebelum ditangkap. Berat badannya susut sampai tinggal 41 kg. Lelaki pensiunan itu rupanya sangat terpukul. Dia nyaris tidak makan apa pun sejak masuk bui. Hakim juga sempat prihatin melihat kondisinya.

"Saya sudah tidak punya selera makan lagi, Pak Hakim," katanya singkat. 

Tak jauh dari posisi Juergen, seorang wanita duduk memperhatikannya dengan berurai air mata. Perempuan berusia 54 tahun itu adalah Christel Bergmeir, yang ingin sekali melihat langsung wajah pembunuh anaknya. Dia menatap dalam-dalam tubuh kurus kering yang selalu memalingkan muka saat ditatap itu.

"Dia yang memulainya," cerita Juergen perihal awal hubungannya dengan Andrea. "Dia yang mengajak berkenalan. Sebagai lelaki, saya tentu tidak bisa menolak. Apalagi harus saya akui, dia cantik dan menarik."

Masih menurut Juergen, setelah perkenalan itu, keduanya jadi sering bertemu. Bahkan kemudian terjadi hubungan gelap antar keduanya. Gadis muda itu digambarkannya sebagai perempuan haus seks, selalu ingin melakukan hubungan intim dengan lelaki mana pun. 

Suatu hari, entah apa alasannya, Andrea hendak membeberkan semua perbuatan mereka kepada Ute. Tentu saja Juergen panik. "Apalagi saat itu Andrea terus mengancam. Hari itu saya benar-benar kehilangan akal. Terpaksa saya membunuhnya," tutur Juergen sambil berlinang air mata.

Sebuah cerita yang aneh. Namun, itulah kisah yang dipercayai pengadilan Tuebigen. Cerita yang membuat Juergen hanya dijatuhi hukuman penjara 11 tahun, yang langsung diterima tanpa mengajukan banding. Hakim mengesampingkan cerita versi lain yang berkembang di luar pengadilan bahwa pria itu diduga menyelinap masuk, lalu memerkosa Andrea.

Versi mana yang lebih mendekati kejadian sebenarnya, tentu hanya Juergen yang tahu. Selama bertahun-tahun ia luput dari penyelidikan polisi, cuma karena para detektif sangat terpengaruh oleh cerita tentang pengendara Porsche misterius. Beruntung Dusch akhirnya dapat membuktikan, pembunuh Andrea bukanlah pengendara Porsche, tapi hanyalah seorang pemilik VW Golf.

Teman-teman Juergen bahkan ingat, terdakwa sempat berkomentar saat media massa gencar memberitakan soal pembunuhan Andrea. "Saya tidak yakin, kalau pembunuhnya menggunakan Porsche." Komentar yang baru terbukti sepuluh tahun kemudian. (Philipp Mausshardt)

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400934/jejak-porsche-yang-mengecoh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534144000) } } [11]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350809" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/bukan-pembunuh-mertua_jesse-blom-20220629073507.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Arthur dan Venita Gueswelle ditemukan tewas tertembak. Kasusnya sempat menemui jalan buntu, hingga 17 bulan kemudian putranya mengalami hal yang sama." ["section"]=> object(stdClass)#164 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/bukan-pembunuh-mertua_jesse-blom-20220629073507.jpg" ["title"]=> string(21) "Bukan Pembunuh Mertua" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:35:21" ["content"]=> string(27325) "

Intisari Plus - Arthur dan Venita Gueswelle ditemukan tewas tertembak di ruang keluarga rumahnya.  Kasusnya sempat menemui jalan buntu, hingga 17 bulan kemudian putranya pun mengalami hal yang sama. Apakah motif pembunuhan keluarga ini?

------------------

Pasangan suami-istri gaek dan kaya raya itu ditemukan tergeletak tak bernyawa di ruang keluarga. Tepatnya, Arthur dan Venita Gueswelle terbunuh tanggal 3 November 1977 di kediaman mewah mereka di daerah pertanian Edwardsville, AS. Keduanya tampak masih berpakaian lengkap dan tidak tampak dianiaya ataupun dicekik. Anehnya, tidak tampak tanda-tanda bahwa mereka melawan. 

Posisi mereka tertelungkup, mukanya menghadap ke lantai. Ternyata Venita terkena tiga tembakan pada kepala bagian belakang, sedangkan suaminya dua tembakan pada bagian yang sama.

Menyaksikan pembunuhan ini para detektif tampak terheran-heran. Pasalnya, tidak tampak sang Pembunuh masuk dengan paksa. Maka hampir pasti para korban mengenal sang Pembunuh sehingga mengizinkan mereka masuk ke rumah. Namun, belum ada saksi mata yang bisa ditanya. 

Para tetangga di sekitar rumah mereka pun tidak tahu-menahu apakah ada orang yang masuk-keluar rumah itu pada malam terjadinya pembunuhan.

Dugaan sesaat, motif pembunuhan adalah perampokan. Namun tidak ada barang berharga yang diambil, bahkan dompet dalam saku celana Arthur pun masih utuh!

Para penyidik berusaha mengecek ke sanak saudara, kerabat, serta orang-orang yang mengenal pasangan tua di daerah pertanian tersebut. Ternyata, tak seorang pun dapat menyebutkan motif di balik pembunuhan tak berperikemanusiaan tersebut. Terpaksalah, penyidikan dihentikan untuk sementara, sambil bekerja lebih keras meneliti peluru yang menembus korban.

 

Anaknya pun dibunuh

Namun, 17 bulan kemudian para detektif kembali dikejutkan oleh pembunuhan berikutnya. Si korban ternyata Ronald, putra pasangan Gueswelle. la dibunuh tengah malam dalam perjalanan pulang ke rumahnya di St. Louis, dari kantornya, sebuah perusahaan minyak di Wood River, tanggal 31 Maret 1979. 

Berita tentang orang hilang disampaikan ke polisi pagi harinya. Ronald dikenal sebagai bapak yang baik dari tiga anak, dan pekerja yang rajin. Sebab itu tampaknya tidak ada alasan kenapa ia dimusuhi.

Baru empat hari kemudian, polisi menemukan tubuh Ronald tergeletak tanpa nyawa di jok belakang mobilnya, di sebuah tempat parkir, dekat sebuah motel di East St. Louis. Bagian kiri kepalanya hancur terkena pukulan benda tumpul, dadanya tertembak.

"Pasti ia tidak dianiaya dalam mobil tersebut," kata seorang penyidik. Melihat jumlah darah dan bukti-bukti fisik, mereka berpendapat, Ronald dibunuh di tempat lain, mayatnya ditaruh sebegitu saja di jok belakang mobil, lalu mobil diparkir di tempat ia ditemukan.

Mengenai motifnya, pertama diduga perampokan. Tapi berdasarkan pengecekan ulang, mereka jadi ragu. "Hari itu Gueswelle memang bekerja lembur di kantor. Namun kalau ia langsung pulang, paling tidak pukul 23.00 sudah sampai rumah," demikian pendapat mereka.

Orang yang kenal baik dengan Ronald Gueswelle menambahkan, "Bukan kebiasaan Ronald memberi tumpangan orang di jalan. Malah ia pernah mengatakan, amat bodoh kalau orang mau memberi tumpangan kepada orang asing, apalagi di tengah malam."

Ada kemungkinan, seseorang menyetopnya di tengah jalan atau saat lampu merah, langsung meloncat masuk ke mobil yang tidak terkunci. Tapi dugaan ini pun disangkal. Alasannya, Ronald punya kebiasaan rutin untuk selalu mengunci pintu mobil sebelum menjalankan kendaraan.

 

Warisannya besar

Para penyidik kasus kematian Ronald Gueswelle kemudian menghubungi penyidik kasus kematian orang tuanya, kalau-kalau ada kaitannya. Sementara itu para detektif yang meneliti segala kemungkinan motif di balik pembunuhan pasangan gaek itu belum menemukan kunci penyebabnya. 

Hanya saja mereka tahu, pasangan tua ini meninggalkan sebidang tanah yang cukup luas dan mewariskan kepada Ronald sebagian dari tanahnya yang bernilai AS $ 500.000.

Di samping warisan berupa uang dan tanah, Ronald Gueswelle ternyata juga berhak atas polis asuransi senilai AS $ 193.000. Maka dengan meninggalnya pasangan Gueswelle tua ditambah Ronald, berarti kini Barbara, janda Ronald, menjadi wanita kaya raya.

Mungkinkah pembunuhan-pembunuhan ini berlatar belakang masalah harta? Hanya saja, hasil wawancara dengan orang dekat pasangan Ronald-Barbara mengungkap, tidak mungkin Barbara tega membunuh ataupun menyewa pembunuh untuk menghabisi suaminya. 

"Barbara ibu ideal. Dengan suaminya tidak pernah punya masalah perkawinan, malah keluarga mereka dipandang ideal," pendapat mereka. Apalagi hidup Barbara sudah lebih dari cukup. Rasanya tidak masuk akal kalau ia tega membunuh suami hanya demi warisan sebidang tanah bernilai AS $ 500.000.

 

Narapidana mengaku

Dua tahun berlalu, penyidikan belum mengalami kemajuan, walaupun usaha para detektif sudah maksimal. Mereka belum menemukan tempat Ronald Gueswelle dibunuh. Demikian pula motif pembunuhan orang tuanya.

Barbara kemudian menikah lagi. Bersama suami barunya serta ketiga anaknya ia lalu pindah ke Glen Carbon. Sepertinya misteri tiga pembunuhan yang membingungkan ini tidak bakal terpecahkan.

Tak dinyana tiba-tiba muncul perkembangan baru. Andre Jones (29) dipenjara karena kasus dua pembunuhan di St. Louis dan sedang naik banding atas hukuman mati, mengaku sebagai pembunuh Ronald Gueswelle.

"Kekasih saya menjemput dan mengajaknya ke sebuah motel untuk bercinta. Saat mereka di ruang tidur, saya pura-pura masuk dan berniat merampoknya. Ketika ia melawan, saya pukul kepalanya. Karena Ronald melawan kembali, saya tembak dadanya," akunya. Jones mengaku, meletakkan jenazah korban di jok belakang mobilnya dan membawa ke tempat korban ditemukan.

Kini setidaknya satu misteri pembunuhan telah terpecahkan. Namun, para detektif belum sepenuhnya percaya pada pengakuan tersebut.

 

Jones berbohong?

"Masih jadi pertanyaan besar, apa yang sebenarnya terjadi," kata seorang detektif, "Rasanya tidak masuk akal, karena Ronald bukan jenis pria yang gampang diajak wanita sembarangan. Apalagi dalam perjalanan pulang dari kantor."

Mendengar pengakuan Jones, para detektif langsung mengecek ke motel yang disebutkan. Para pelayan yang membersihkan kamar pagi setelah pembunuhan terjadi, tidak bisa mengatakan apakah memang ditemukan tetesan darah saat kamar dibersihkan.

Penjaga motel juga tidak dapat mengingat, apakah pernah melihat orang yang bisa disebut Ronald Gueswelle. Selain itu, tidak pula ditemukan nomor mobil tamu pada daftar motel yang cocok dengan nomor mobil Gueswelle. Nah!

Jones menambahkan, telah membuang pistol yang dipakainya untuk menembak korban ke sungai. Tapi ia tampak ragu menyebutkan sungai yang mana, jadi pencarian akan sia-sia.

Kemudian detektif berusaha menemui wanita tunasusila yang, diakui Jones, mengajak Ronald ke motel itu. Ternyata ia pun menyangkal pernah bersama Ronald, bahkan mengenalnya pun tidak.

Meski pada umumnya pelacur menyangkal orang yang pernah ditemui, tapi kali ini para detektif percaya pada perkataannya. Malah wanita itu heran, mengapa Jones mau mengaku sebagai pembunuhnya, padahal ia yakin tidak. la juga heran kenapa Jones mau melibatkan diri.

Seorang detektif berpendapat, "Mungkin seseorang menginginkan kasus Gueswelle cepat selesai. Jones 'kan sudah terlibat dua kasus pembunuhan, ditambah satu kasus pembunuhan lagi, toh akhirnya hukuman mati tiba juga."

Kini pertanyaannya, siapa yang mendekati Jones dan bagaimana mereka berhasil membujuknya untuk memberikan pengakuan tersebut? Menjawab pertanyaan ini, Jones kurang kooperatif. Ketika dituduh bahwa ia membuat pernyataan palsu, ia balas berkomentar, "Bagi saya sama saja, tidak ada untung-ruginya, apakah saya tertuduh atau tidak. Kalau Anda tidak percaya, silakan mempelajari kembali." 

Orang-orang yang pernah mengunjungi Jones kemudian diteliti. Orang-orang penjara yang pernah mengontaknya pun ditanya. Ternyata tidak juga diperoleh keterangan yang dapat menyingkap apakah Jones benar-benar membuat pernyataan palsu tentang kasus pembunuhan Ronald Gueswelle.

Kasus ini kembali menemui jalan buntu. Tidak ada gunanya langsung memutuskan hukuman mati pada Jones dengan tuduhan membunuh Gueswelle. Hukuman mati malah akan makin menutupi kasus sebenarnya.

Untunglah, setelah sekian lama, tiba-tiba ditemukan kunci yang mengantar dibukanya kasus pembunuhan Arthur dan Venita Gueswelle.

 

Menyewa pembunuh bayaran

Adalah Glennon Engleman Robert, mantan dokter gigi dari St. Louis, dan Robert W. Handy. Keduanya pembunuh bayaran. Mereka diadili dan dihukum gara-gara dua kasus pembunuhan di Missouri. Engleman menjalani hukuman 50 tahun penjara, sedangkan Handy, karena mau bekerja sama dengan para penyidik, hanya dijatuhi hukuman dua tahun ditambah 17 tahun karena penggelapan surat penting.

Saat senjata yang digunakan oleh Engleman diteliti, ternyata sama jenisnya dengan senjata yang dipakai untuk membunuh suami-istri Arthur dan Venita Gueswelle. 

Kemudian para detektif mewawancarai sejumlah orang yang mengenal dua korban tersebut. Namun, tak seorang pun tahu, apakah Engleman ataupun Handy pernah mengadakan kontak dengan korban.

"Kasus ini menyangkut pembunuhan bayaran. Pantas saja sampai begitu lama tidak terungkap," komentar seorang detektif. "Namun, kini saya yakin ada orang yang dapat mengungkapnya."

Para penyidik kembali mendesak Andre Jones. Ketika ditegaskan, pembunuhnya pasti bukan dia dan ia telah membuat pernyataan palsu, Jones tampak ingin menarik kembali pengakuannya.

"Siapa yang membayarmu untuk membuat pernyataan palsu?" tegas seorang penyidik kepada Jones. Jones bersikeras tidak mendapat bayaran untuk membuat pernyataan palsu itu. la hanya diancam, kalau tidak mau mengaku sebagai pembunuh Gueswelle, keluarganya akan disakiti.

"Siapa yang mengancammu," ia ditanya lagi.

Jones menyatakan tidak tahu, karena ancaman itu cuma didengar melalui selentingan di penjara. "'Kan tidak rugi kalau saya mengaku sebagai pembunuh!" tegas Jones.

Tapi para penyelidik tidak percaya pada yang dikatakannya. Mereka yakin Jones pasti tahu orang yang mengancam keluarganya. la terus didesak, "Apakah ia bernama Engleman atau Handy?”

 

Kuncinya di Handy

Jones bungkam. 

Desakan pada Jones untuk mengaku siapa yang membayar atau mengancamnya rupanya sia-sia. Namun kini para penyidik yakin, yang membayar pembunuhan suami-istri Arthur-Venita sama dengan yang membayar untuk membunuh Ronald Gueswelle. 

Satu-satunya orang yang sanggup membayar pembunuh bayaran, siapa lagi kalau bukan orang yang menginginkan kekayaan mereka. Maka, dakwaan berbalik pada Barbara Gueswelle, janda Ronald Gueswelle, yang mewarisi semua kekayaan keluarga itu.

Kini para detektif memusatkan perhatian pada Ny. Gueswelle, Engleman, dan Handy. Mungkin saja dua laki-laki itu diupah oleh Barbara untuk membunuh. Namun, sejauh ini belum ada orang yang menyatakan bahwa Ny. Gueswelle kenal dua orang itu.

Mengajukan tuntutan hukuman mati terhadap Engleman atas tuduhan membunuh suami-istri Gueswelle masih belum bisa dilakukan. Pasalnya, satu-satunya bukti cuma persamaan antara peluru yang dipakai Engleman untuk membunuh dua korban terakhir dengan yang untuk membunuh Arthur-Venita. 

Belum ditemukan saksi atas tiga pembunuhan tersebut. Sudah barang tentu, kalau Barbara Gueswelle dinyatakan terlibat dalam pembunuhan ini, ia pasti tidak begitu saja mau memberikan keterangan.

"Maka, jangan dulu dibawa ke pengadilan. Perkara ini masih belum jelas," komentar Prosecutor Trone, kepala detektif. "Kalau kita belum siap, perkara ini bisa menemukan jalan buntu."

"Ada satu jalan," usul seorang rekannya. "Handy 'kan baru dituduh bekerja sama dalam dua kasus pembunuhan, bukan sebagai pembunuhnya. Mungkin ia bisa dimintai keterangan. Dengan ditakut-takuti, kalau ia sampai ikut tertuduh dalam pembunuhan Gueswelle, ia bisa terancam hukuman seumur hidup, mungkin ia mau buka mulut. Kalau Handy mau buka mulut, besar kemungkinan dapat membantu menyingkap tabir ini"

Begitu mendapat izin pengadilan, para penyidik segera menemui Handy di penjara. Mereka mendesak Handy, apakah ia tahu Engleman adalah pembunuh Ronald dan dua orang tuanya. la juga ditanya, apakah dibayar oleh Barbara Gueswelle. Mereka ingin Handy menjadi saksi dalam pembunuhan ini.

"Apa untungnya bagi saya?" tanya Handy. "Tidak, kalian tidak bisa menyelesaikan kasus ini dengan saya".

“Tapi mungkin bisa mengubah nasib seumur hidupmu," desak seorang detektif.

Setelah berpikir sesaat, Handy mengatakan, "Oke, saya mau menjadi saksi dengan syarat kalau sampai saya terkena hukuman dengan tuduhan bekerja sama dalam pembunuhan tersebut, saya tidak mendapat hukuman tambahan."

"Yaah, sebenarnya ini bukan kerja sama yang baik, tapi karena kami ingin mendapat keterangan yang lebih jelas, terpaksa kami setuju," ujar seorang detektif.

 

Golden girl

Beruntung pengadilan menerima usulan Trone bahwa Handy tidak akan dikenakan hukuman tambahan, asalkan ia bersedia memberikan kesaksian yang benar.

"Saya mengenal Glennon Engleman hampir 30 tahun. Hubungan kami memang akrab," katanya. Sobatnya ini menemui Handy bulan Maret atau April 1976. la mengaku terus terang bakal memperoleh sejumlah besar uang. Handy kaget saat mantan dokter gigi mengatakan, ada wanita memintanya untuk membunuh suaminya, sebagai balas jasa ia akan dibayar tinggi.

Menurut Handy, ia telah memperingatkan Engleman untuk tidak melakukannya. Tetapi Engleman menolak, "Jangan khawatir. Soalnya, pembunuhan ini tidak dilakukan seketika." la telah menasihati wanita itu agar mengatur dulu polis asuransi suaminya. Tujuannya, untuk mendapatkan warisan yang lebih banyak. 

Namun, rencana semula ini berubah setelah ia mengetahui bahwa orang tua sang Suami kaya raya. Rencana berubah, mula-mula membunuh pasangan tua itu. Saat warisan sudah jatuh ke tangan sang Putra, barulah si Suami dihabisi. Dengan demikian, akan lebih banyak lagi harta yang jatuh ke tangan wanita itu.

"Nah, sekarang beralih ke wanita itu," tegas sang Detektif. "Siapakah dia sebenarnya?"

“Saya tidak tahu persis siapa perempuan ini. Tapi ia disebut-sebut sebagai Golden Girl. Saya tidak tahu maksudnya, apakah karena ia berambut pirang ataukah karena ia bakal menjadi wanita kaya-raya, disebut demikian," tutur Handy.

Handy menyatakan pula, pernah bertemu dengan Engleman bersama wanita itu, yang ternyata bernama Barbara Gueswelle.

"Bagaimana hubungan Engleman dengan Ny. Gueswelle? Apakah mereka memang akrab satu sama lain?”

Handy menggeleng. "Glen mengatakan, bila melakukan suatu pekerjaan profesional, tidak perlu mengenal baik siapa kliennya ataupun mengontak orang yang akan dihabisi sampai saat kita harus melakukan tugas."

Bagaimana cara wanita itu menghubunginya? Handy tidak begitu tahu. Hanya saja Engleman pernah mengatakan, wanita ini menginginkan kematian suaminya dan akan membayar tinggi untuk tugasnya tersebut.

 

Sesen pun belum terima

Tanggal 3 November 1977 tiba-tiba Handy dijemput Engleman untuk makan malam. "la mengajak saya untuk membantu membunuh sepasang orang tua," kata Handy.

"Apakah kamu bersedia membantunya?" Handy berterus terang, ia menuruti ajakan Glen karena takut disakiti. la khawatir kalau tidak menemani, dan andai kata Engleman sampai tertangkap, justru ia akan dituduh membocorkan rahasia. la bisa dibunuh. Para penyidik sebenarnya masih kurang percaya dengan obrolan ini, namun mereka terus menginterogasinya.

Selanjutnya, dengan mengendarai mobil bersama Engleman, ia menuju ke sebuah rumah di daerah pertanian dekat Edwardsville. Engleman mengatakan, ia akan masuk ke rumah itu dengan menyamar sebagai pegawai sebuah biro pertanian. 

Saat Engleman masuk ke rumah itu sambil membawa pistol warna keperakan kaliber .38, ia menunggu dalam mobil. Tidak lama setelah ia mendengar bunyi senjata, Engleman bergegas kembali dan masuk ke mobil. Handy menanyakan kepadanya, "Bagaimana hasilnya?"

Jawabnya, "Selicin sutera. Mereka sangat kooperatif. Begitu mereka tengkurap di lantai, langsung saya habisi."

Saat kembali ke St. Louis, Engleman yakin tidak akan ketahuan siapa pelaku pembunuhan itu, karena ia tidak menyentuh atau mencuri apa pun dari rumah tersebut. Bahkan dengan bangga ia menyatakan, "Ini adalah awal dari kejahatan besar saya. Uang asuransi yang bakal dikeluarkan berjumlah besar. Bila kita merencanakan dan melaksanakannya dengan baik, kita bakal kaya raya.”

"Engleman pernah minta maaf pada saya karena ikut melibatkan saya. la berjanji begitu uang asuransinya keluar, saya akan mendapat bagian," cerita Handy selanjutnya. Namun sampai saat ini sesen pun belum mereka terima, karena keburu masuk penjara.

Soal terbunuhnya Ronald Gueswelle, Handy bercerita, ia pernah diajak Engleman ke Wood River di mana Gueswelle muda bekerja di sebuah perusahaan minyak. la merencanakan untuk membunuhnya dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Namun mereka membatalkan rencana ketika mendengar Gueswelle tidak masuk hari itu.

 

Barbara ditangkap

Tepat tanggal 31 Maret 1979, Engleman merencanakan kembali pembunuhan tersebut. "Hari ini saya akan membunuh Ronald Gueswelle. Pasti dia masuk karena hari ini gajian," kata Engleman.

Mereka dijemput Ny. Gueswelle di parkiran mobil sebuah daerah pertokoan Fairmont City, kemudian dibawa ke rumahnya. "Suami saya pulang terlambat. Tunggu saja di garasi," kata Barbara.

Benar juga, saat Gueswelle pulang pukul 23.00, begitu membuka pintu garasi, Engleman menembaknya. Melihat belum juga jatuh, ia memukul kepalanya dengan palu hingga tewas.

Engleman kemudian memanggil Ny. Gueswelle. Mereka berdua langsung membersihkan percikan darah dengan sejumlah handuk. Sesaat kemudian, Handy membantu Ny.Gueswelle mengangkat tubuh tak bernyawa itu untuk dibaringkan di jok belakang mobil. 

Saat mereka membawa pergi mayat Gueswelle, Ny. Gueswelle masih tetap sibuk membersihkan garasi dari percikan darah. Tetap dalam mobil, akhirnya tubuh tak bernyawa itu ditinggalkan di tempat parkir di St. Louise Timur, sampai ditemukan orang empat hari kemudian.

Menurut Handy, jasa menemani dalam pembunuhan tersebut belum juga dibayar. Karena, menurut Engleman, Ny. Gueswelle baru memberi sebagian uang pembayaran. Wanita itu berjanji akan melunasi pembayarannya begitu polis asuransinya keluar.

Selesai mendengar pernyataan Handy, para detektif mengeluarkan surat perintah penangkapan Barbara Gueswelle sebagai pembunuh tingkat pertama. Seketika para penyidik bergegas menuju Glen Carbon untuk menahan wanita tersebut.

 

Bukan pembunuh mertua

Ternyata tidak mudah untuk langsung menuduh Barbara sebagai perencana pembunuhan tersebut. Setiap kali bersaksi ia berkilah.

Memakan waktu sampai sekitar dua minggu bagi para pengacara untuk menghadirkan 90 saksi dan mengumpulkan 130 barang bukti ke hadapan enam anggota juri pria dan enam juri wanita. Bertindak sebagai hakim adalah P.J. O'Neal di pengadilan Madison County. Tuduhan terhadap Barbara Gueswelle adalah berkomplot dengan pembunuh bayaran untuk mengakhiri hidup suami dan mertuanya.

Si Terdakwa, wanita berambut pirang berusia 42 tahun itu, tampak tenang saat pengacara mengajukan pembelaan di hadapan para anggota juri. Pengacara F. Lee Bailey berusaha mengajukan kebebasan bagi kliennya, sebaliknya pengacara Prosecutor Trone berusaha menuntut hukuman.

Bailey mohon kepada para juri agar mempertimbangkan sikap para saksi yang sangat memberatkan kliennya. "Mereka itu penjahat yang seenaknya saja mengungkapkan kebohongan untuk menjilat hukum," tegas Bailey. "Tanpa kesaksian mereka, pengadilan sebenarnya tidak mempunyai bukti-bukti lain terhadap terdakwa. Kesaksian yang diungkapkan Andre Jones yang kemudian ditarik kembali pun perlu diragukan."

Saat mengungkapkan kesaksian Robert Handy, Bailey langsung menuliskan 29 hal yang tidak cocok dengan kesaksiannya. "Kesaksiannya memang sangat menarik perhatian Anda," tantang Bailey pula.

“Pasti Anda langsung berpikir, 'Alangkah berengseknya wanita ini'. Namun, begitu diteliti secara rinci, pasti Anda langsung meragukannya dan berpikir, 'Bagaimana Handy dapat merinci sedetail itu kalau ia tidak menyaksikan sendiri saat pembunuhan dilakukan," tambahnya.

Dalam pembelaan terakhir, Bailey memperingatkan agar para juri menyadari akibatnya bila sampai memberikan keputusan yang salah. "Tidak ada jalan lain kecuali membebaskan terdakwa, daripada menghukum seseorang untuk sesuatu yang tidak dilakukan," tegas Bailey.

Menanggapi apa yang diungkapkan Bailey, pengacara Trone menyanggah, "Ada seorang wanita yang dengan diam-diam merencanakan sesuatu dengan rapi terhadap mertua dan suaminya. Bagaikan sekuntum mawar yang mekar wangi, hatinya berbunga-bunga berhasil mengantongi AS $ 598.000."

Tentang kesaksian Handy, Trone mengatakan, "Bisa saja kesaksian Hardy dianggap tidak benar, tapi kita tidak bisa mengabaikan keterangan yang panjang itu. Tak mungkin semuanya tidak benar!"

Karena sampai pukul 22.00 para juri belum bisa memberikan keputusan atas dakwaan terhadap wanita tersebut, hakim O'Neal memutuskan menunda sampai keesokan harinya.

Saat para juri berunding keesokan harinya, sidang sudah penuh pengunjung yang ingin mendengarkan keputusannya. 

Saat Barbara bersaksi kembali, semuanya dengan tenang menyimak semua yang dikatakannya.

"Benarkah Anda merencanakan semua ini?" tanya Trone. 

"Tidak, saya mencintai suami saya," ia berkilah. 

"Bagaimana Anda menanggapi kesaksian Handy?" 

"Tidak, tidak, semuanya bohong!" teriaknya sambil menangis.

Sesaat kemudian, Engleman yang juga ada di ruangan itu sebagai saksi, tiba-tiba berdiri, "Semuanya benar, biarlah saya yang menanggung. Saya memang dibayar untuk membunuh suaminya. Tapi usul membunuh mertuanya datang dari saya.”

Akhirnya, "Barbara Gueswelle dinyatakan sebagai pembunuh suami, bukan pembunuh mertua."

Mendengar keputusan hukuman 20 tahun, Barbara tampak berlinang air mata. la tidak bisa berkilah lagi. Bailey, sang Pengacara, langsung menghiburnya, "Jangan khawatir, ini belum keputusan terakhir. Kita bisa naik banding." 

Glennon Engleman, sebagai tertuduh dalam tiga kasus pembunuhan, dikenai hukuman seumur hidup. Sedangkan Robert Handy yang dituduh berkomplot dalam pembunuhan, tidak mendapat hukuman tambahan, tetap 14 tahun. (Jack Heise)

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350809/bukan-pembunuh-mertua" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656531321000) } } [12]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350223" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/pembunuh-bel-pintu_luis-perdigao-20220628020729.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(134) "Beberapa bulan belakangan terjadi kasus pembunuhan di Berlin. Korbannya adalah para lansia yang penuh rasa curiga dan selalu bersiaga." ["section"]=> object(stdClass)#168 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/pembunuh-bel-pintu_luis-perdigao-20220628020729.jpg" ["title"]=> string(18) "Pembunuh Bel Pintu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-28 14:07:41" ["content"]=> string(28910) "

Intisari Plus - Beberapa bulan belakangan terjadi kasus pembunuhan di Berlin. Korbannya adalah para lansia yang penuh rasa curiga dan selalu bersiaga. Dengan keadaan begitu, bagaimana mereka bisa mengizinkan pembunuh masuk ke rumah?

------------------

Wanita tua itu berjalan tertatih-tatih menyusuri jalan di Berlin Barat. Tas belanja berisi sayuran dan roti tergantung di tangannya. Sebelumnya, ia mampir ke toko daging, tetapi cuma untuk membeli beberapa gelintir sosis, bukan daging segar yang mahal.

Pada usia 80-an orang tua biasanya pelit. Makan daging cuma sekadar selingan. Kebiasaan mereka menabung pun tak gampang berubah. Sen demi sen mereka kumpulkan tersembunyi di bawah ranjang atau di belakang lemari dinding mereka. 

Tanpa disadarinya seorang lelaki menguntitnya. Lelaki itu bukan tergiur oleh tas perempuan gaek itu. Ia tahu isinya. Pakaiannya biasa saja, tak mengundang perhatian, seperti kebanyakan orang yang lalu-lalang di jalan itu.

Di ujung jalan, wanita itu berbelok dan segera lenyap ditelan gelapnya pelataran sebuah flat. Bangunan itu tidak mewah, tetapi cukup baik. Uang sewanya terjangkau oleh kantung wanita itu.

Laki-laki yang tak ingin kehilangan jejak buruannya itu bergegas mendekati kompleks bangunan itu. Ia ingin tahu di flat mana wanita buruannya tinggal. Dengan mengendap-endap, ia menyelinap masuk ke kompleks itu. Diamatinya ruang tangga sambil mendengarkan suara pintu tertutup.

Flat wanita itu terletak di lantai dua. Dari tangga berbelok ke kiri. Berjingkat-jingkat laki-laki itu menaiki tangga. Setiap langkah dia berhenti. Akhirnya....

Wanita itu terkejut. Namun, setelah lelaki itu mengatakan sesuatu yang meyakinkannya, dibukanya juga rantai pengaman pintu. "Mana uangmu?" bisik laki-laki itu sambil merenggut calon korbannya setelah menutup pintu.

Tak ada gunanya jeritan lemah seorang wanita tua yang sadar bahwa maut bakal menjemputnya.

Kesan kehabisan napas dan rasa takut menggurat dalam di wajah mayat perempuan itu. Barangkali, yang masih patut disyukuri yaitu korban tidak dianiaya lebih dulu.

 

Semuanya tua

Sabtu, 31 Maret 1984. Mayat Ny. Hoedicke ditemukan kira-kira pukul 10.00 oleh seorang pekerja sosial, Petra Haarmann. Salah satu tugas Ny. Haarmann yakni mengontrol orang-orang seusia Ny. Hoedicke yang memang banyak jumlahnya. Pada waktu-waktu tertentu ia datang mengunjungi mereka. Biasanya ia melakukannya pada Sabtu pagi, meski tidak diminta.

Ny. Hoedicke dan juga orang tua lainnya suka menunggu-nunggu kunjungan Ny. Haarmann. Ketika Ny. Haarmann tidak mendengar jawaban dari balik pintu, ia lantas menemui penjaga flat yang memiliki kunci cadangan. Jangan-jangan Ny. Hoedicke mati di kamarnya, begitu pikirnya. Mengingat usia Ny. Hoedicke yang 87 tahun itu, bukan tidak mungkin dugaannya itu benar.

Ny. Hoedicke memang ditemukan mati di kamarnya, tetapi bukan lantaran usia tua seperti dugaan Ny. Haarmann. Mayat Ny. Hoedicke terbujur di kamar dengan pakaian rapi melekat di tubuhnya. Tanpa melihat luka yang biru lebam di lehernya, ia seperti tidur saja tampaknya.

Ny. Haarmann segera menelepon polisi. Meski baru sekali itu ia menemukan korban suatu pembunuhan, tetapi bukan yang pertama kali ia mendengar adanya pembunuhan semacam itu. Sebelumnya ia sudah mendengar sejumlah pembunuhan semacam itu terjadi pada bulan-bulan terakhir itu.

Pak inspektur dan pembantunya, Sersan Detektif Franz Wagner, datang ke flat di Jl. Borussia 27, wilayah Tempelhof. Dr. Morris Scheidel memeriksa mayat Ny. Erna Hoedicke.

"Kematiannya mirip korban-korban sebelumnya," kata Morris. "Korban mati dicekik. Wanita ini mati paling tidak 48 jam yang lalu."

"Melihat keadaan korban, pelakunya bukan orang yang sadis," komentar Inspektur Karl Heiden, kepala komisi yang dibentuk guna menyelidiki kasus pembunuhan beruntun yang mengincar korban wanita berusia lanjut. 

"Si pelaku cuma mau uangnya. Barangkali untuk menghilangkan jejak, dibunuh saja korbannya."

 

Sebulan Satu

Sejak Desember 1983, tiap bulan jatuh satu korban. Pada tanggal 20 bulan itu, lima hari menjelang hari raya Natal, Ny. Hedda Buekow dijumpai tewas di flatnya. Diduga, ia korban pertama dari suatu seri pembunuhan. Oleh surat kabar pelakunya digelari si Pembunuh Bel Pintu. 

Julukan itu diberikan karena diduga, orang itu membunyikan bel pintu flat calon korbannya sebelum pintu dibuka oleh penghuninya. Setelah dipersilakan masuk, orang itu lantas mencekik mereka. Mayat-mayat korban semuanya dijumpai tergeletak di dekat pintu.

Inspektur Heiden, lelaki bermata biru yang tampak lugu itu, tahu bahwa orang tua biasanya tak mau membukakan pintu bagi mereka yang tak dikenalnya.

Pada tiap satu dari tempat peristiwa pembunuhan yang terjadi sampai saat itu, ditemukan pintu masuk dilengkapi dengan rantai pengaman. Maksudnya, supaya si penghuni bisa melihat siapa yang berdiri di depan pintu sebelum mempersilakannya masuk.

"Itu bisa berarti bahwa orang-orang tua itu mengenalnya," kata Sersan Wagner. "Tetapi mustahil si pembunuh dikenal orang lanjut usia di seluruh pelosok kota!"

Memang, pembunuhan-pembunuhan itu tersebar di seantero kota, di wilayah yang berbeda.

Hedda Buekow, korban pertama dari seri pembunuhan itu, tinggal di distrik Tiergarten, Jl. Birken 14, jauh di sebelah utara wilayah Tempelhof.

Sebelumnya, kasus kematian Ny. Buekow tidak disadari sebagai bagian dari kasus pembunuhan beruntun itu. Karenanya, kasusnya cuma ditangani oleh sektor kepolisian Tiergarten yang tak berhasil menemukan petunjuk lebih lanjut tentang identitas si pembunuh.

 

Si kakek dicurigai

Ny. Buekow berusia 82 tahun, tetapi ia memiliki teman pria yang setahun lebih muda daripadanya. Otto Ploeck namanya. Dialah yang mendapati mayat Ny. Buekow ketika ia berkunjung ke flatnya.

Hampir saja Ploeck menyusul Ny. Buekow gara-gara mengalami serangan jantung karena kaget. Di rumah sakit, kepada polisi Ploeck menyatakan Ny. Buekow benar-benar wanita yang amat berhati-hati. Ny. Buekow menyebut Berlin sebagai rimba yang penuh binatang berbahaya, sampai seorang pengantar barang sekalipun tak diizinkannya memasuki flatnya.

"Si pengantar barang harus meletakkan paket atau bungkusan di depan pintu. Ny. Buekow baru keluar mengambil barang itu, setelah yakin pengantarnya sudah turun tangga," ujar Ploeck. "Yang boleh masuk cuma mereka yang benar-benar dikenalnya.”

Satu-satunya orang yang dikenal dengan baik oleh Ny. Buekow cuma Otto Ploeck. Meski sudah uzur, polisi toh memeriksanya juga.

Hasil pemeriksaan polisi menunjukkan Ploeck bukan pelaku pembunuhan itu. Berdasarkan hasil autopsi, Ny. Buekow meninggal setengah jam sebelum kedatangan Ploeck. Terbukti pula saat itu Ploeck berada di tempat lain. 

Motif pembunuhan itu jelas. Ny. Buekow dirampok, uang tabungannya lenyap. Ploeck yang tahu banyak tentang urusan pribadi Ny. Buekow, yakin bahwa uang yang hilang itu bisa mencapai DM 3.600. Seperti kebanyakan orang tua di benua itu, Ny. Buekow tidak mempercayai bank.

 

Tak ada petunjuk

“Itulah yang bikin mereka jadi sasaran empuk penjahat," kata Inspektur. "Barangkali menurut hemat mereka, lebih baik menyimpan tabungan di rumah daripada dianiaya sampai mati lantaran tak bisa menyerahkan uang kepada si penjahat," ujar Sersan.

Sersan Wagner yang bertubuh pendek dan gemuk itu wajahnya keras dan kasar, tetapi periang. Rambutnya yang coklat muda dipotong agak tinggi di kedua sisinya.

Korban berikutnya adalah Ny. Elli Grybek yang tinggal di Jl. Detmold 44, wilayah Wilmersdorf, sebelah barat daya Tiergarten.

Lewat komputer, polisi kemudian mengolah kasus kematian wanita berusia 84 tahun itu. Hasilnya mirip dengan yang terjadi di wilayah Tiergarten lebih dari sebulan yang lalu. Akhirnya, dibentuklah komisi khusus untuk menangani kasus-kasus itu, sebab peristiwa-peristiwa itu diduga merupakan satu seri pembunuhan.

Tubuh Ny. Grybek ditemukan oleh cucu perempuannya sendiri, Karin Franck. Kepada polisi ia menyatakan neneknya menyimpan uang sekitar DM 1.600 di flatnya, dan uang itu lenyap.

Kasus pembunuhan beruntun semacam itu bukan yang pertama kali ditangani oleh para petugas kepolisian di kota tersebut. Dalam beberapa hal, kasus yang kini mereka hadapi itu ternyata paling sulit. Dalam kasus kasus sebelumnya, yang korbannya juga orang-orang usia lanjut, lebih banyak ditemukan petunjuk tentang pembunuhnya. Sadis.

Ya, pembunuh itu memang sadis. Korban dianiaya tanpa ampun. Mayat dicincang atau korban diperkosa lebih dulu sebelum dibunuh. Yang terakhir ini bisa terjadi karena si pelaku punya kelainan jiwa.

Namun, si Pembunuh Bel Pintu ini bukan pembunuh yang sadis. Juga bukan orang yang gila seks. Malah sebaliknya, ia senantiasa merapikan pakaian korbannya sebelum kabur. Ia cuma mau uangnya atau perhiasannya.

Dengan cara yang belum diketahui, ia membujuk calon korban agar ia bisa masuk ke flatnya. Begitu masuk, ia segera mencekik leher korban, lantas mencari-cari dan mengambil apa yang diinginkannya, kemudian kabur. Tidak dijumpai sidik jari ataupun petunjuk lain yang bisa menjadi kunci pembuka identitasnya. Saksi mata belum juga ditemukan.

 

Tukang pos?

“Si pembunuh punya semacam muslihat,” duga Inspektur. "Kita tahu, nenek-nenek di sini amat berhati-hati. Bahkan ada yang ekstrem. Kerabat sendiri tidak boleh masuk ke flat mereka. Tapi kenapa penjahat itu malah bisa masuk? Padahal pelbagai surat kabar gencar memberitakan si Pembunuh Bel Pintu yang bergentayangan memakan korban."

"Inspektur, saya punya data tentang kasus-kasus yang terjadi pada waktu yang lalu," kata Sersan. "Mereka ada yang mengaku petugas PLN, tukang reparasi yang dikirim pengelola flat, polisi, tukang pos. Malah ada yang benar-benar tukang pos."

“Sebarkan informasi itu," kata inspektur. "Kita harus mengurangi sebanyak mungkin korban yang jatuh. Dengan meluasnya informasi itu kita harapkan, si pelaku lantas bertindak nekat dan membuat kesalahan." 

Andaikata si Pembunuh Bel Pintu pecandu obat bius, mungkin saja ia terdorong berbuat nekat karena ingin cepat punya uang untuk membeli barang itu. Namun, tindakannya saat beraksi tidak menunjukkan ciri khas seorang pecandu narkotik. Polisi berharap, publikasi tentang pelbagai kemungkinan peran yang sering dimainkan oleh si pelaku agar bisa masuk ke flat calon korban, bisa menyelamatkan calon-calon korban berikutnya.

"Rupanya, penjahat itu tidak memakai cara lama untuk bisa memasuki flat korbannya," kata Sersan. "Peringatan kepada masyarakat sudah kita berikan lewat koran dan televisi.... Ironisnya, tak lama setelah itu, kembali kita terima laporan korban jatuh lagi. Korban kali ini adalah Sigurd Bessener. Usianya delapan puluh tahun."

Ny. Bessener tinggal di sebuah flat di Jl. Naumann 37, wilayah Schoeneberg, yang letaknya kira-kira antara Tiergarten dan Tempelhof. Pak inspektur segera menuju ke tempat kejadian.

Mayat Ny. Bessener ditemukan oleh kawannya, Ny. Marta Bauer yang sepuluh tahun lebih muda daripadanya. Ketika inspektur tiba, dr. Scheidel tengah memeriksa mayat korban.

"Lagi-lagi, mirip dengan korban-korban sebelumnya," komentar Dr. Scheidel. "Hampir-hampir merupakan trade mark si pembunuh. Saya yakin ia tidak banyak memperoleh uang di sini.

"Ya. Melihat kondisi flatnya, Dr. Scheidel benar. Flat itu sempit dan kotor. Di dalamnya tak ada satu barang pun yang bisa dijual ke tukang loak sekalipun. Menurut Ny. Bauer, korban memang amat miskin. Ny. Bessener cuma menggantungkan hidupnya pada uang pensiun yang amat kecil. Menurut Ny. Bauer, uang tabungan Ny. Bessener tak bakal lebih dari DM 300.

Berapa pun jumlahnya, uang itu toh disikat juga oleh si Pembunuh Bel Pintu, dan seperti biasa korban ditinggalkan dalam keadaan berpakaian rapi.

Barangkali lantaran korban kali ini begitu melarat atau korban begitu lemah, inspektur tak bisa menyembunyikan amarahnya. Sebagai petugas yang berpengalaman, inspektur jarang dibuat marah karena hal-hal semacam itu. 

"Bangsat! Sampai hati benar jahanam itu," umpat Inspektur dengan geram.

 

Dua saksi mata

Ketika ditemukan tewas, Sigurd Bessener mengenakan satu-satunya gaun bagus yang dimilikinya.

"Berarti, Ny. Bessener baru saja masuk ke flatnya," kata Inspektur. "Tolong lihat, apakah ia sempat meletakkan tas belanjanya di dapur." 

"Kol, kentang, seliter susu dan roti," ujar Sersan setelah masuk ke dapur. "Isi tasnya belum dikeluarkan." 

"Kapan tepatnya ia tewas, Morris?" tanya Inspektur.

Dokter itu memandang Inspektur dari balik kaca mata tebalnya. Dagunya tampak kotor ditumbuhi janggut yang tak terawatt.

"Pukul 14.30 - 15.15 kemarin petang," kata dokter itu. 

"Oke, Sersan!" kata Inspektur. "Perintahkan kepada anak buahmu untuk mencari informasi di mana ia berbelanja. Tanyakan kepada penjaga toko di sepanjang jalan yang menuju flat ini. Juga tanyakan apakah ada yang melihat orang menguntit Ny. Bessener."

Seperti pada kasus-kasus sebelumnya, kali ini juga tidak diperoleh banyak keterangan. Itu barangkali karena tanggal 17 Februari cuaca di wilayah itu amat buruk. Berlin digoyang angin ribut yang bertiup dari Laut Baltik serta diguyur salju dan es yang membekukan. Banyak orang enggan keluar rumah. Sedikit saja yang lalu-lalang di jalanan saat itu.

Namun, diperoleh juga dua orang saksi mata. Keduanya penjaga toko. Mereka mengaku melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, berkumis tipis, dan berambut coklat tua berombak. Pria itu berjalan begitu saja tak jauh di belakang Sigurd Bessener.

Kedua saksi mata itu tidak menyadari kalau pemuda itu sebenarnya sedang membuntuti Ny. Sigurd. Tampang pria itu tidak menunjukkan bahwa ia seorang pembunuh.

"Mana ada orang yang bertampang pembunuh," komentar Inspektur. "Tampang mereka tak berbeda dengan kita. Mereka toh manusia biasa, seperti kita juga."

"Oke, paling tidak kita punya sedikit gambaran tentang orang itu. Nah, sekarang apa kata komputer?"

Di Berlin ternyata banyak orang muda yang punya ciri-ciri berkumis tipis dan berambut gelap menyentuh kerah baju, seperti diungkapkan kedua penjaga toko itu.

Mereka kebanyakan tercatat dalam dokumen polisi sebagai penjahat-penjahat narkotik. Dengan bantuan kotak kaca canggih itu, Sersan Wagner memeriksa identitas mereka satu per satu. Seperti dikhawatirkan Inspektur, hasilnya nihil.

"Saya yakin si Pembunuh Bel Pintu bukan pecandu narkotik," kata Inspektur. "Dia orang yang berpikiran jernih dan logis." 

"Serta kejam," tambah Sersan Wagner. 

Kedua detektif itu menjadi frustrasi rupanya.

 

Lewat tanggal 15

Pada bulan Maret nyaris tak ada korban yang jatuh. Namun, terbunuhnya Erna Hoedicke pada tanggal 31 bulan itu makin memperkuat statistik yang menyatakan, dalam sebulan jatuh seorang korban. Tak ada petunjuk yang bisa diperoleh dalam peristiwa itu. Tak ada saksi mata yang melaporkan melihat pemuda berkumis tipis. Diperkirakan si pembunuh berhasil menggondol kira-kira DM 800 dan sejumlah perhiasan dari Ny. Hoedicke.

“Bulan April ini, kapan dan siapa lagi bakal jadi korban?" ujar Sersan. "Apa yang bisa kita lakukan untuk memperingatkan wanita-wanita gaek di kota ini?"

"Tidak ada," kata Inspektur. "Di Berlin ini siapa yang tidak tahu tentang pembunuhan beruntun yang tengah berlangsung ini?" katanya. "Bangsat ini pasti punya rayuan maut untuk bisa masuk ke flat mereka. Sayang, kita tidak tahu macam apa rayuan mautnya itu. Kalau tahu, kita bisa menghentikan ulahnya. Yang kita ketahui cuma, semua pembunuhan terjadi setelah tanggal 15. Ia tak pernah beraksi sebelum tengah bulan itu."

Jumat, 20 April 1984. Sore itu Caecili Hidde tewas terbunuh dalam usia 83 tahun, meski mayatnya baru ditemukan sehari setelah kematiannya.

Ny. Julia Keppler (80) melapor pada polisi. "Saya punya firasat, kini giliran Caecili yang jadi korban si Pembunuh Bel Pintu. Itulah sebabnya saya datang ke flatnya."

Ketika itu Ny. Keppler memijat-mijat bel, juga mengetuk-ngetuk pintu flat Caecili Hidde berkali-kali. Namun, tak ada jawaban. Karena penjaga tidak mau membuka pintu flat dengan kunci cadangan, Ny. Keppler lantas melapor ke polisi.

Ny. Hidde ditemukan tewas terbaring di ruang depan. Pakaiannya melekat rapi di tubuhnya. la tewas karena dicekik.

"Kali ini si perampok menemukan sasaran yang lumayan," kata Inspektur. 

Dari pemeriksaan, Ny. Hidde diperkirakan menyimpan uang hampir DM 20.000 di flatnya.

 

Rayuan maut apa?

Si Pembunuh Bel Pintu punya satu ciri khas. la selalu membunuh dengan mencekik leher korban menggunakan tangan. Tak satu pun korban selamat dari cekikan mautnya.

Inilah yang bikin penyelidikan polisi tambah susah. Andaikata ada korban yang lolos dari maut, diharapkan ia bisa mengungkapkan ciri-ciri si pembunuh dan yang terpenting, rayuan macam apa yang dilontarkannya, sehingga ia berhasil memasuki flat mereka.

Lama-kelamaan Inspektur sampai pada kesimpulan bahwa rayuan maut itu merupakan kata kunci untuk membongkar kasus yang misterius itu. Si pelaku tentu punya suatu cara baru untuk merayu calon mangsanya. 

"Tentu bukan dengan cara berpura-pura jadi petugas yang memakai pakaian seragam tertentu," Inspektur menduga. "Kalau itu yang dilakukannya, sampai sekarang belum ada saksi mata yang melaporkan telah melihat orang yang berseragam di dalam atau dekat kompleks bangunan flat,” katanya. "Kalau bukan itu ... lantas .... Oh, mungkin ia menggunakan surat mandat atau ... surat lain ... atau mungkin lencana ...?"

"Namun Inspektur, kita sudah menyiarkan peringatan tentang adanya penipuan menggunakan surat mandat palsu, lencana palsu, dan juga pakaian seragam. Tetapi tampaknya peringatan itu tak ada gunanya," ujar Sersan. "Atau barangkali ada sejumlah wanita gaek yang tak paham dengan soal-soal semacam itu?"

"Boleh jadi," kata Inspektur, "tetapi saya pikir tidak. Mana bisa jahanam itu menemukan nenek-nenek yang tak paham jadi sasarannya? Sudah pasti, si pelaku tidak kenal dengan para korban sebelumnya." 

Pada mulanya kedua detektif itu mengira, si tukang cekik leher itu tak perlu rayuan untuk bisa masuk ke flat mereka, sebab diduga ia mengenal korbannya secara pribadi.

Dugaan mereka kian lama semakin luntur, dan kini sama sekali lenyap dengan tewasnya korban berikutnya. Ny. Hidde, korban terakhir dalam seri pembunuhan itu, tinggal di kompleks yang agak elite di Jl. Thomas 61, wilayah Neukölln. Wilayah itu tak jauh dari Tembok Berlin yang membentengi Berlin Barat dan Berlin Timur. Seperti pada kasus-kasus sebelumnya, tak bisa dilacak adanya hubungan antara si pelaku dengan korbannya.

 

Secarik bon

Namun, ada dua hal yang membedakan kasus Ny. Hidde itu dari kasus-kasus sebelumnya. Ny. Hidde jauh lebih kaya daripada korban-korban sebelumnya. Dalam kasus itu juga ditemukan apa yang diduga oleh para detektif sebagai kunci penyingkap misteri pembunuhan beruntun tersebut: secarik bon.

Polisi menemukannya sebagai bon pembelian dari sebuah toko pakaian, tak jauh dari tempat tinggal Ny. Hidde. Mulanya, mereka tidak segera menyadari, secarik kertas itu bakal jadi petunjuk berharga. Bon pembelian itu diduga merupakan bukti pembelian yang dilakukan Ny. Hidde di toko itu. Ny. Hidde memang pelanggan lama toko itu. la dikenal betul oleh para pegawainya.

Namun setelah diselidiki, pada tanggal seperti tertera pada bon pembelian, ternyata Ny. Hidde tidak berbelanja di toko itu.

Barang yang dibeli, pada bon itu, yakni sepasang kaus tangan pria. Menurut penjaga toko, pembelinya adalah seorang lelaki muda berkumis tipis, berambut gelap dan berombak menyentuh leher baju. Luar biasa. Perempuan penjaga toko itu tahu nama si pembeli. Ketika orang itu mencabut dompetnya hendak membayar, KTP-nya terjatuh di atas meja kasir. Dipungutnya kartu itu, lantas diberikan kepada pemiliknya. Tanpa sengaja nama yang tertulis pada KTP itu terbaca oleh si penjaga toko: Waldemar Stepinski. 

Dalam buku daftar penduduk, tercatat sembilan orang bernama Waldemar Stepinski. Namun, cuma satu orang yang punya ciri-ciri bertubuh tinggi besar, muda, berkumis tipis, berambut gelap dan berombak menyentuh leher baju.

Usia pemuda itu 22 tahun. Sudah menikah. la adalah buruh pabrik, yang pada bulan September 1983 kehilangan pekerjaannya. Sejak itu ia cuma hidup dari tunjangan pengangguran.

 

Cicilan lancar

Data yang berhasil dikumpulkan tentang pria itu tak ada yang pasti menguatkan dugaan bahwa Stepinski punya sangkut paut dengan kasus pembunuhan beruntun itu. Namun, ada satu hal: Stepinski ini membeli sebuah flat yang mahal di suatu kompleks baru di wilayah Mariendorf. Wilayah itu termasuk salah satu tempat yang tidak dijamah oleh tangan maut si pembunuh misterius itu. Meski sejak bulan September itu ia tak punya penghasilan, pembayaran cicilan flat itu lancar saja.

Inspektur ingin menyelidiki dari mana Stepinski memperoleh uang. 

Stepinski tak bisa menjawab pertanyaan itu. Setelah interogasi yang panjang, akhirnya ia mengaku sebagai pembunuh Erna Hoedicke dan Caecili Hidde, dan bahkan atas seorang nenek lagi yang tak sempat tercium polisi.

Pembunuhan terakhir itu menimpa Kaethe Deihfuss. Mayatnya ditemukan polisi di flatnya, Jl. Stulpnagel 10, wilayah Charlotenberg. Dari Ny. Kaethe, Stepinski berhasil menggondol 1.000 franc Swias dan sejumlah kecil uang mark Jerman.

Stepinski mengaku, cara kerjanya yang tampak rumit sampai bikin pusing para detektif itu, sebetulnya sederhana saja.

Ia asal saja memilih korbannya. Calon korban dikuntitnya diam-diam sampai ke tempat tinggalnya. Setelah calon korban itu masuk, Stepinski segera memijat bel pintu. Ia berusaha sebanyak mungkin menghindari lorong dan ruang tangga. Yang dikatakannya itu semua masuk akal dan sesuai dengan dugaan polisi. Akan tetapi rayuan maut yang dibidikkannya kepada calon-calon korban agar ia bisa memasuki flat mereka, ternyata begitu naif dan kekanak-kanakan. Pada mulanya Inspektur hampir tak percaya.

Stepinski memiliki sebuah lencana dari logam, seperti yang dijual di toko-toko tertentu di AS. Dulu, barang itu dibelinya bukan untuk menipu orang. Pada lencana itu tertulis: New York. FBI. Special Agent.

"Kepada mereka saya mengaku sebagai petugas khusus yang dikirim dari Amerika untuk membongkar kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh si Pembunuh Bel Pintu," kisah Stepinski.

Barangkali bisa dimaklumi kalau nenek-nenek Jerman itu tidak tahu bahwa FBI bukan sebuah organisasi di New York. Atau percaya bahwa petugas-petugas hukum Amerika ditugaskan di Berlin. Kita itu masih di bawah pengawasan tentara Sekutu dan secara resmi bukan bagian dari Jerman Barat.

 

Tiga tak diakui

Namun,bagaimana bisa Stepinski mengaku kepada Hedda Buekow dan juga Elli Grybek bahwa ia sedang menyelidiki kasus pembunuhan beruntun oleh Pembunuh Bel Pintu? Padahal, pada saat mereka terbunuh, julukan Pembunuh Bel Pintu belum muncul.

Jawaban Stepinski atas pertanyaan itu membuat resah hati wanita-wanita gaek di Berlin. Ia mengaku tidak membunuh Hedda Buekow, Elli Grybek, dan Sigurd Bessener.

Meski Stepinski sudah terbukti bersalah telah membunuh Erna Hoedicke, Caecili Hidde, dan Kaethe Deichfuss, dan pada tanggal 7 Juni 1985 diganjar hukuman penjara seumur hidup, masih saja banyak nenek-nenek di Berlin Barat yang merasa cemas.

Tidak begitu dengan Inspektur. Menurut hematnya, tanda-tanda yang dijumpai pada tiga kasus pertama, yang menunjukkan si pelaku adalah Stepinski, sama persis seperti tiga kasus pembunuhan yang terakhir. Lebih-lebih, sejak Stepinski mendekam di balik penjara, tidak lagi terdengar kasus-kasus pembunuhan semacam itu.








" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350223/pembunuh-bel-pintu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656425261000) } } [13]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3306305" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/the-yorkshire_neosiamjpg-20220603055249.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Bagaimana bisa seorang karyawan teladan di sebuah perusahaan bisa menjadi pembunuh berdarah dingin dan berantai sampai dijuluki The Yorkshire Ripper?" ["section"]=> object(stdClass)#172 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/the-yorkshire_neosiamjpg-20220603055249.jpg" ["title"]=> string(13) "The Yorkshire" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:53:19" ["content"]=> string(65175) "

Intisari Plus - Bagaimana bisa seorang karyawan teladan di sebuah perusahaan jasa angkutan bisa menjadi pembunuh berdarah dingin dan berantai sampai dijuluki The Yorkshire Ripper?

-------------------------

Pada suatu pagi yang dingin berkabut tanggal 30 Oktober 1975, tubuh seorang wanita ditemukan tergeletak menengadah di lapangan rumput yang agak miring di Prince Philip Playing Fields, dekat Scott Hall Road di Kota Leeds. 

Jaket dan blusnya dicabik dan BH-nya didorong ke atas agar tampak payudaranya. Pantalonnya diturunkan sampai batas lutut, meskipun celana dalamnya masih di tempatnya.

Tas tangannya masih tertambat pada nadi kirinya, seakan ia tetap memegangnya erat-erat ketika jatuh. Sedikitnya kepalanya pernah dipukul kuat-kuat, lalu tubuhnya ditikam beberapa kali. 

Ahli patologi Prof. David Gee, kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Leeds, kemudian menyatakan bahwa wanita yang malang itu menerima dua kali hantaman dengan suatu alat seperti martil. Satu di antaranya menembus ketebalan tulang tengkoraknya. Ditambah pula 14 tikaman senjata tajam pada dada dan perut, sekali lagi di leher.

Menurut Prof. Gee, tikaman­-tikaman itu dilakukan dengan pisau yang matanya tak kurang dari 3 inci panjangnya (± 7,5 cm) dan lebarnya kira-kira 3/4 inci (± 1,87 cm) dengan ketajaman pada satu sisi saja. Wilma McCann (28) terbunuh hanya kurang dari 100 m dari rumahnya.

Wilomena yang biasa dipanggil Wilma mempunyai empat orang anak, hidupnya tak keruan. Dia pernah dihukum karena mabuk, pencurian, dan tingkah laku tak senonoh. Polisi mencurigainya sebagai pelacur sambilan.

Suaminya, Gerald, yang bekerja sebagai tukang kayu, sudah meninggalkan Wilma dan keempat anak mereka, karena ia jemu dengan pertengkaran dan tuduh-menuduh antar suami-istri, terutama disebabkan kegemaran Wilma akan kehidupan malam dan sebab dia ngotot untuk mempunyai lusinan pacar.

 

Berpelukan menunggu mama

Tanggal 29 Oktober itu, pukul 19.30 Wilma sudah menanggalkan gaun rumahnya, berganti dengan blus merah muda, celana cutbrai putih, dan baju luar bolero biru tua. 

Ia mengucapkan selamat malam kepada anak-anaknya: Sonje (9), Richard (7), Donna (6), dan Angela (5). Setelah itu ia keluar lewat pintu belakang (para tetangga tak perlu tahu ia keluar tiap malam), melewati lapangan olahraga Philip ke arah tempat-tempat hiburan. 

Sekitar pukul 20.30 ia sudah menghangatkan badannya dengan beberapa sloki wiski dan sekian gelas bir di warung minum Kirkgate dekat pasar, lalu meneruskan petualangannya di beberapa rumah minum lain. Pada malam-­malam biasa, waktu penutupan di Leeds ditentukan pukul 22.30.

Dengan membekal piring plastik berisi kentang goreng dan saus kari, ia berjalan pulang. Di tengah jalan ia menghentikan sebuah truk untuk ikut menumpang, tetapi sopirnya langsung disambut dengan perintah diselingi makian yang diucapkan dengan aksen Skot medok, sehingga sopir hanya mengatakan “Sorry” lalu meneruskan perjalanannya, meninggalkan Wilma yang menggerutu sendiri di tepi jalan. Tetapi sebuah mobil lain berhenti.

Keesokan harinya, lewat pukul 05.00 anak tetangga Wilma terkejut melihat kedua anak tertua McCann saling berpelukan untuk menghangatkan badannya di dekat perhentian bus yang berkabut di Scott Hall Road. 

Mereka kebingungan mencari ibu mereka. Mereka telah mencarinya di jalan-jalan yang berdekatan, lalu memutuskan untuk menunggu di perhentian bus tempat ibu mereka biasanya turun sepulang dari pekerjaannya.

Lebih dari sejam kemudian, seorang pengantar susu melihat seperti ada orang-orangan, atau barangkali setumpuk pakaian tua di dekat Prince Philip Playing Field. Ia mulai mendekati benda itu ketika mendengar suara adik laki-lakinya yang berumur 10 tahun melengking menembus kabut, “Ada mayat!”

Sepuluh minggu kemudian, pada sore hari tanggal 9 Januari 1976, seorang pelacur ditemukan mati tertikam di Leeds. Barbara Booth (24) dan anak laki-lakinya (3) ditemukan bergelimang darah di ruangan duduk rumah mereka di Greenhaw Crescent Burley. Makanan berupa nasi dan kari yang telah hangus ditemukan masih di atas kompor. 

Ny. Booth tampangnya cukup cantik dan berambut pirang, pernah mengiklankan diri dalam sebuah majalah kontak. Di samping menjajakan seks, ia juga mengkhususkan diri dalam dunia foto model. 

Laki-laki yang diajaknya hidup bersama, Alan Ruddick, asal Hindia Barat, bekerja sebagai disc-jockey, menemukan Barbara terkapar di lantai, mengalangi pintu. Anak laki-laki mereka juga tergeletak dengan luka menganga di belakang lehernya. Televisi dan lampu-lampu masih menyala.

Beberapa hari kemudian seorang mahasiswa berumur 19 tahun, anak angkat sebuah keluarga kaya, ditangkap karena berturut-turut membunuh seorang nenek berusia 85 tahun dan seorang pemuda berumur 16 tahun. Kemudian ia juga mengaku membantai Ny. Booth dan putranya.

 

Keluarga yang malang

Belum sampai dua minggu setelah pembunuhan Barbara Booth, terjadi kasus berdarah yang menyangkut seorang wanita lagi. Emily Monica Jackson (42) tinggal di Back Green, Churwell, di pinggiran Kota Morley, di sebelah barat Leeds bersama suami dan ketiga anaknya. Suami Emily, Sydney Jackson, dikenal sebagai ahli atap di kotanya.

Pasangan ini gemar berekreasi selepas kerja. Hiburan mereka ialah minum-minum. Hampir setiap malam mereka keluar minum, tetapi tak pernah di desanya sendiri. Salah sebuah di antara tempat yang mereka gemari ialah The Gaiety, rumah minum bergaya modern di tepi Roundhay Road, Leeds, yang banyak dikunjungi pelacur. 

Kehidupan perkawinan keluarga Jackson ini bukan tanpa kesukaran. Pada suatu saat Emily pernah meninggalkan suaminya selama 18 bulan. Dalam tahun 1971 mereka mengalami musibah ketika Derek, putra mereka yang berumur 14 tahun, jatuh dari jendela kamar tidur di tingkat atas, lalu meninggal di trotoar. Bagaimanapun musibah yang ditanggung bersama itu mendekatkan pasangan itu kembali.

Dalam usaha untuk melupakan tragedi itu, mereka mengunjungi tempat minum hampir setiap malam. Mereka memang tak merahasiakan hal itu, tetapi ada segi lain dari hiburan malam mereka yang tak diketahui oleh teman-teman maupun tetangga.

Jackson mengatakan bahwa salah satu masalah berat dalam hidup perkawinan mereka ialah nafsu seksual istrinya sukar dipuaskan. Istrinya memang mempunyai sederet pacar, tetapi Jackson sudah·menerimanya dengan pasrah, bahkan belakangan ia sering pergi bersamanya ke Leeds dengan Commer birunya, yang bila perlu bisa dipakai oleh Emily sebagai tempat tidur.

Tak lama sebelum hari Natal mereka kekurangan uang dan Emily menyatakan bahwa sekarang ia akan mulai minta uang dari para lelaki yang mengajaknya berkencan. 

Hari Selasa, 20 Januari, tak berbeda dengan malam-malam lainnya. Paginya Jackson sibuk dengan perbaikan atap, tetapi sekitar warta berita pertama sore hari dibacakan di TV dan anak-anak sudah makan malam, suami-istri itu telah siap berangkat.

Emily selalu rapi berdandan. Ia meneriakkan selamat malam kepada kedua anaknya, Christopher dan Angela. Lima belas menit kemudian Jackson memarkir mobilnya di tempat parkir The Gaiety.

Mereka memasuki rumah minun itu. Beberapa menit sesudah tiba, Ny. Jackson sudah menghabiskan segelas birnya, lalu meninggalkan suaminya yang berdiri dekat bar. Dia bilang mau melihat­-lihat sambil mencari beberapa kenalannya.

Tiga perempat jam kemudian, pada pukul 19.00, seorang wanita penghibur yang duduk di luar melihat Emily Jackson, lalu keduanya berbincang-bincang sebentar sebelum Emily melihat sebuah Land Rover hardtop diparkir di dekat mereka di tepi jalan besar. Ny. Jackson meninggalkan wanita itu, lalu mendekati Land Rover itu. Sesudah dia memasuki kendaraan itu, Land Rover tersebut meluncur ke Glendhow Road.

 

Wanita pengamat

Ternyata wanita tersebut mengamati pengemudi Land Rover itu dengan cukup saksama. Ia mengatakan kemudian bahwa pengemudinya seorang pria sekitar umur 50-an, agak gemuk, dengan rambut sampai sebatas telinga, warnanya tak tentu, janggutnya lebat dan cambangnya pirang, hidungnya bulat yang rupanya seperti penyok. Matanya terpejam, seolah­-olah ia sedang tidur. 

Di mukanya mungkin ada parut bekas luka dan pada tangan kirinya ada bekas Iuka yang jelas, seakan-akan pernah terbakar dari pangkal jari sampai ke pergelangan. Tampaknya orang itu baru kembali dari tempat didirikan bangunan, dengan pakaiannya yang berdebu berupa sebuah jaket biru tua, celana terusan biru tua, dan mungkin sepatu bot atau wellington (semacam sepatu lars yang sampai melampaui lutut) warna hitam dengan telapak tebal.

Pada pukul 22.30, waktu tutup, Sydney Jackson keluar menuju ke mobilnya, tetapi tidak menjumpai istrinya. Ia menunggu lagi beberapa menit, mengira bahwa istrinya mungkin masih di bar lain dengan teman kencannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang saja naik taksi.

Mobil station itu tetap ada di tempat parkir semalaman. Esoknya lewat pukul 08.00, ketika keluarga Jackson mulai bangun dan mempersiapkan hari baru, seorang pekerja mengambil jalan pintas melewati sebuah gang sempit dari Manor Street ke Roundhay Road lewat beberapa gedung tak terpakai, kira-kira 500 m dari The Gaiety. 

Ia melihat sesuatu, waktu ia melewati lorong di antara dua gedung telantar itu. Tampaknya seperti benda berukuran besar dengan sesuatu yang mirip mantel menutupinya.

Benda itu ternyata sisa ragawi Emily Jackson yang diletakkan telentang dengan kaki terentang. Ia masih mengenakan kaus kaki panjang dan celana dalamnya, tetapi BH-nya dilepaskan. Tasnya ada di dekatnya, tetapi agaknya tak ada yang diambil.

Seperti juga Wilma, Ny. Jackson tewas oleh dua kali hantaman dengan sebuah alat menyerupai palu. Kemudian si pembunuh menusuk-nusuknya sampai 51 kali di leher, dada, dan perutnya. Di samping itu kekejian si pembunuh nyata dari tindakannya menginjak mayat. 

Bekas injakan sepatu bot berat tampak pada paha almarhumah yang sebelah kanan. Sepatu buatan Dunlop Warwick itu mungkin berukuran 7, tetapi tak lebih besar dari ukuran 8. Bekas tapak sepatu yang sama ditemukan di pasir.

Tak lama sesudah pukul 09.00, sejam setelah ditemukan mayat itu, Jackson yang kebingungan mengetuk pintu tetangganya untuk minta agar mereka mau mengawasi anak-anaknya jika pulang dari sekolah kalau ia tak ada di rumah. 

Ia mengatakan Emily mengalami kecelakaan, tetapi tak bisa mengatakan kecelakaan apa. Baru tengah malam ia dipulangkan oleh polisi. Besoknya ia hanya bisa duduk di kursinya dengan air mata mengalir sambil berkata, “Saya tahu apa yang orang duga. Tetapi saya tak melakukannya.”

Anak-anaknya pergi ke seorang kakak Jackson di bagian lain Leeds dan belum tahu tentang nasib ibu mereka. Tak lama kemudian mereka akan diberi tahu malapetaka yang menimpa keluarga mereka. 

Sementara itu polisi menduga bahwa setelah melihat ciri-ciri penganiayaan dan sifat-sifat luka yang diderita korban, pelaku kasus McCann dan Jackson itu sama orangnya. Empat bulan kemudian pembunuh itu beraksi lagi.

 

Mereka yang selamat

Hari Sabtu, 8 Mei 1976, Marcella Claxton yang baru berumur 20 tahun pulang berjalan kaki setelah pesta minum akhir pekan yang berlangsung sampai pukul 04.00. Sebuah mobil bercat putih berhenti di sampingnya. 

Meskipun malam itu Marcella “bebas tugas” ia toh minta menumpang pada pengemudinya, sekalipun jarak ke rumahnya sudah tak jauh lagi. Orang itu bukannya mengantarkan ke rumahnya, malah menuju ke Southern Field, suatu tempat rekreasi terbuka dekat Roundhay Field.

Pria itu menawarkan £ 5 untuk keluar dari mobil dan membuka pakaian, tetapi Marcella menolak. Marcella kemudian menuju ke belakang sebuah pohon untuk buang air kecil. Si pria yang dalam waktu bersamaan keluar dari mobilnya agaknya menjatuhkan suatu benda. “Mudah-mudahan bukan pisau,” kata Marcella. 

Pria itu menjawab bahwa yang jatuh dompetnya. Ia hampir selesai di belakang pohon ketika pria itu mendekatinya. Berikutnya yang dirasakannya hanya hantaman keras di kepala bagian belakang, disusul oleh pukulan sekali lagi. 

Waktu jatuh telentang di rumput, Marcella melihat tangannya sendiri berlumuran darah di tempat ia memegang rambutnya. Ia masih sempat melihat orang itu berdiri di dekatnya. Rambut dan janggutnya berwarna hitam keriting dan tangannya bergerak berirama di depan celananya. 

Ia kembali lagi ke mobil putih berkursi merah itu, tetapi kembali lagi. Agaknya ia membersihkan sesuatu, sebab ia membuang beberapa helai kertas tisu dekat Marcella. Ia menyisipkan lembaran £ 5 ke tangan Marcella sambil mengatakan jangan melapor kepada polisi sebelum bergegas ke mobilnya.

Marcella yang pakaiannya berlumuran darah setengah berjalan dan setengah merangkak ke boks telepon terdekat untuk memanggil ambulans. Luka menganga di bagian belakang kepalanya membutuhkan 52 jahitan dan ia harus menginap selama tujuh hari di rumah sakit. 

Berbulan-bulan setelah peristiwa itu ia membenci laki-laki dan tak tahan berkumpul dalam satu kamar dengan pria. 

Dia tidak keluar-keluar lagi dan tidak bepergian bila tak perlu. Depresi mental dan pusing-pusing di kepala masih sering mengganggunya. Waktu berusaha bekerja di suatu pabrik, Marcella terpaksa keluar lagi. 

Bahkan sesudah anaknya, Alan, lahir pada tahun 1981, waktu koran-koran memberitakan tertangkapnya orang yang dituduh menjadi pelaku pembunuhan-pembunuhan itu, ia tak terlalu menaruh harapan kepada masa datang.

Dia tak mengerti pernyataan para temannya bahwa dia “untung masih hidup”, bahkan ia sering ingin mati saja malam itu di Soldier Field. Matanya yang cokelat itu berkaca-kaca dan tangannya diremas-remasnya sendiri sambil memandang lantai rumahnya di Cathorne Terrace, mengingat-ingat malam seram itu. 

“Setelah saya memutar nomor 999 lalu terjerembap di lantai boks telepon, orang yang bermobil putih itu lewat lagi berkali-kali. Tampaknya ia masih mencari saya.”

Yang selamat tetapi menderita, masih ada dua orang wanita lain. Seperti Anna Patricia Rogulskyj dari Keighley yang mengalami musibah sama sekitar enam bulan sebelumnya. Kini pintu rumahnya di Highfield Lane diperkuat dengan jalinan kawat, tali, dan berbagai macam alarm. 

Dia sangat mencurigai setiap orang yang tak dikenalnya dan dia lebih suka tinggal di belakang pintu yang diberi perintang bersama lima ekor kucingnya. 

Di kepalanya ada cekungan yang dalamnya lebih dari 0,5 inci. Dia tak mau pergi ke penata rambut, sehingga harus memotong rambutnya sendiri. Ia dikenal di warung-warung minum di kota itu sebagai “Irish Annie”. 

Meskipun gelisah dan sering diberi obat penenang, tetapi ia masih mampu berdandan rapi kalau sedang keluar. Katanya, ia sering hidup dalam dunianya sendiri dan banyak menangis. Ia tak bekerja lagi dan pekerja sosial yang ditugaskan mendampinginya harus berbelanja untuknya.

 

Temannya tinggal kucing

Pada hari Senin, 7 Juli 1975, koran The Yorkshire Post memuat berita ini di halaman belakang untuk berita kota. Kepala beritanya berbunyi: “Wanita Masuk Rumah Sakit Setelah Diserang”. Selanjutnya terbaca: “Anggota-anggota polwan sedang menunggui seorang wanita cedera di Rumah Sakit Umum Leeds pada akhir minggu. 

Ny. Patricia Anna Rogulskyj, umur 34 tahun, diduga sudah bercerai, alamat Highfield Lane, Keighly, ditemukan dengan luka-luka di kepala di sebuah gang dekat Bioskop Ritz, sekitar pukul 02.00 pada hari Sabtu. 

Ia telah sadar kembali, tetapi masih dalam keadaan gawat dan para polwan itu menunggu di sisi ranjangnya sampai ia dapat memberikan keterangan mengenai apa yang terjadi.” 

Bahkan sampai sekarang pun Anna Rogulskyj masih sukar untuk melukiskan secara saksama apa yang menimpa dirinya pada malam tanggal 4 Juli itu. Wanita kelahiran Irlandia keturunan Polandia itu sudah bercerai dari suaminya sejak dua tahun lalu.

Pada malam tanggal 4 Juli itu Ny. Rogulskyj pergi ke Bradford untuk melewatkan malam panjang. Menjelang tengah malam ia ada di Bibby's Club. Dua orang Jamaika memberikan tumpangan sampai ke rumahnya. Ia tiba di rumahnya di Keighly sebelum pukul 01.00.

Ia mengira akan menemui pacarnya di sana, tetapi rupanya pacarnya sudah pergi lagi. Lalu ia memutar piringan hitam Elvis Presley kegemarannya. Lama-kelamaan ia mendongkol, lalu memutuskan untuk berjalan menuju ke rumah pacarnya untuk menegurnya. 

Ia berulang-ulang mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang membukakan. Kemudian ia menggedor-gedor sambil memanggil-manggil sekuat tenaga. Karena geramnya ia mencopot sepatunya, lalu memukulkannya pada salah sebuah jendela, tetapi tetap tak ada jawaban. 

Gaduhnya kaca berantakan membuatnya agak tenang kembali, lalu ia memutuskan untuk pulang. Tak lama kemudian pada pukul 02.20 suara rintihannya terdengar orang. 

Ia ditemukan rebah telentang dengan pakaian utuh di sebuah lorong gelap di belakang Bioskop Ritz, tak jauh dari tempat tinggalnya. Tasnya tergeletak di dekatnya, tetapi tampaknya tak ada yang dicuri.

Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Di sana diketahui ternyata ia menderita tiga kali hantaman kuat pada belakang kepalanya. Waktu para dokter melepaskan pakaiannya mereka menemukan luka-luka bacokan pada perutnya. Si penyerang rupanya menarik pakaian korban untuk melukai perutnya, kemudian mengembalikan pakaiannya pada keadaan semula. 

Luka kepalanya ternyata begitu gawat, sehingga ia dipindahkan ke RSU Leeds untuk menjalani operasi selama 12 jam. Pada saat tertentu ia sampai diberikan sakramen terakhir.

Polisi bingung karena tampaknya serangan ini tak mempunyai motif apa-apa. Perampasan dianggap mustahil dan tidak terbukti adanya serangan seksual. Teman prianya dan anak muda yang menemukannya di gang gelap itu akhirnya bisa ditemukan, lalu diinterogasi dengan ketat. 

Akhirnya, mereka dibebaskan kembali karena dapat membuktikan bahwa mereka bukan penyerang korban. Ny. Rogulskyj sendiri tidak ingat apa­apa sesudah memecahkan kaca jendela rumah temannya dengan tumit sepatunya.

Akibat malam celaka itu Ny. Rogulskyj yang bertubuh tinggi dan berambut pirang kelabu, harus menjalani kehidupan yang sepi di belakang pintu terkunci rapat dan tirai tertutup dengan hanya ditemani oleh kucing-kucing kesayangannya. 

Ia selalu hidup dalam suasana terancam dan ketakutan. Pada kesempatan langka kalau keluar rumah, ia selalu berjalan di tengah-­tengah jalan sebab takut pada bayang-bayang dan orang yang menyusul dari belakangnya. Dia selalu dikejar rasa takut akan diserang lagi.

 

Tengkoraknya seperti kulit telur remuk

Hampir 20 km sebelah selatan Keighley, antara Bradford dan Keighley, terletak kota kecil Halifax. Lima minggu lebih enam hari setelah Ny. Rogulskyj terkapar di gang gelap itu, Ny. Olive Smelt yang berumur 46 tahun bersiap-siap akan keluar rumah Jumat malam itu. 

Acaranya sudah tetap: menemui teman-teman wanitanya dan minum-minum di Halifax, lalu mampir di toko goreng kentang dan ikan untuk membeli makan malam keluarga.

Sebelum waktu kedai minum itu tutup, mereka bertemu dengan dua orang laki-laki yang mereka kenal, yang mengatakan akan memberi tumpangan kepada para wanita itu. Ny. Smelt berjalan kaki saja, sebab rumahnya tak jauh dari situ. 

Ia berjalan cepat-cepat, sebab khawatir toko kentang goreng sudah tutup sebelum ia sempat berbelanja. Waktu ia memintas lewat sebuah lorong, seorang pria yang berjalan di belakang mendahuluinya. 

Belakangan ia bisa menerangkan bahwa pria itu berumur sekitar 30 tahun, tidak tinggi, agak kurus, dengan rambut warna gelap dan berjanggut.

Ny. Smelt baru mendengar orang itu mengatakan, “Wah, cuaca kurang baik, ya?” ketika merasakan pukulan dahsyat di bagian belakang kepalanya, lalu sekali lagi sebelum ia roboh ke tanah. Ia masih mampu menyeret tubuhnya sendiri di sepanjang trotoar sambil berteriak minta tolong dan beberapa menit kemudian para tetangga sudah mengetuk pintu Smelt.

 Segera setelah sampai di rumah Ny. Smelt segera dibawa ke rumah sakit, tempatnya dirawat selama 10 hari.

Seorang anggota polisi yang melihat foto sinar-X kepala korban mengatakan bahwa tengkoraknya kelihatan seperti kulit telur remuk. Meskipun pakaiannya terganggu, baru sesudah para dokter menanggalkan rok dan pakaian dalamnya mereka mengetahui adanya luka guratan 15 dan 20 cm panjangnya pada punggung Ny. Smelt, sedikit di atas pantatnya. 

Luka-luka itu mirip sekali dengan yang diderita Anna Rogulskyj. Juga tasnya ditemukan di dekat tempat itu tanpa diganggu isinya.

Para dokter berhasil menyelamatkan jiwa Ny. Smelt, tetapi setelah keluar dari rumah sakit ia menderita depresi hebat dan kehilangan ingatan. Ia sama sekali tak merasa beruntung masih hidup. Ia diganggu oleh pergunjingan dan masalah keluarga. 

Anak tertuanya, Linda, menderita gangguan saraf yang menurut para dokter merupakan akibat serangan atas ibunya. Ia takut bepergian, bahkan kalau diantarkan suaminya ia selalu ingin cepat pulang. Ia takut melihat kerumunan orang. 

Di rumah terjadi berbagai pertengkaran keluarga. Mulut-mulut jahat mempergunjingkan bahwa dia pelacur dan dia merasa selalu dipandangi orang.

 

Jalan sepi dari pelacur

Kira-kira 13 bulan setelah terbunuhnya Ny. Jackson, pada hari Minggu, 6 Februari 1977, seorang akuntan bernama John Bolton melakukan lari pagi di Soldiers Field. Ia melihat seorang wanita di tanah di belakang gedung olahraga. Ia bertanya, “Ada apa?” 

Polisi yang segera dipanggil, menemukan mayat itu dianiaya di luar batas. Kepalanya diremukkan dengan tiga kali hantaman alat pemukul seperti palu. Ia ditikam pada leher dan belakang lehernya, sedangkan di perutnya masih ada tiga tusukan senjata tajam. 

Prof. Gee memperkirakan waktu kematiannya sekitar tengah malam. Jadi, kira-kira setengah jam setelah ia keluar dari kamar sewaannya.

Korban dapat dikenali sebagai Irene Richardson (28), ibu dua orang anak perempuan, masing­ masing berumur 4 dan 5 tahun. Kedua anak itu hidup bersama orang tua pungut, karena ibu mereka tak mampu memeliharanya. 

Irene sendiri tidak mempunyai tempat tinggal yang pantas. Terdesak oleh kebutuhan ekonomi, ia berkeliaran di sudut-sudut jalan Chapeltown untuk mencari pelanggan. Pada malam tanggal 5 Februari itu ia meninggalkan kamar sewaannya di Cowper Street pada pukul 23.30, sambil mengatakan bahwa ia akan ke kota, ke Tiffany Club. 

Di tempat pembunuhan ditemukan bekas ban mobil yang sangat jelas. Berkat kerja sama dengan pembuat ban, polisi bisa menentukan merek dan ukuran ban secara cepat. 

Tetapi ternyata ada 26 merek mobil yang bisa menggunakan ban ukuran itu. Tidak putus asa oleh hal itu, secara diam-diam polisi mengadakan pemeriksaan atas sekitar 100.000 kendaraan yang mungkin memakai ban tersebut. 

Sementara itu di kedai-kedai minuman, kelab-kelab malam, toko-toko, dan sudut-sudut jalan di Chapeltown, tempat berhimpunnya wanita penghibur, cerita tentang The Ripper mulai berkembang. Jack the Ripper ialah julukan bagi pembunuh tak dikenal yang dalam abad XIX meneror Kota London dengan menggorok leher para pelacur di sudut jalan­ jalan berkabut. 

Sesudah terbunuhnya Irene Richardson, selama beberapa minggu jalan-jalan Chapeltown sepi dari wanita jalanan. Mereka yang pemberani atau nekat beroperasi, berduaan atau bertigaan, dengan salah seorang mencatat mobil calon pelanggannya.

Polisi juga memperingati mereka agar tidak beroperasi di jalan. Juga para detektif lebih sering mengunjungi tempat tinggal mereka untuk mencari keterangan tentang pembunuh keji itu. 

Mereka beranggapan bahwa orang yang membunuh tiga orang wanita yang melacurkan diri, tentunya akan dikenal juga oleh rekan-rekannya yang lain.

 

Di rumah juga jadi korban

Baru dua bulan lebih kemudian sang pembunuh beraksi lagi. Patricia Atkinson, janda cerai dengan tiga anak perempuan kecil­-kecil, yang hidup sendiri di sebuah flat di Oak Avenue, tidak pernah memikirkan bahaya akan menimpa dirinya seperti rekan-rekannya, sebab dia beroperasi di rumah. 

Wanita yang sering dipanggil Tina ini tak pernah menjajakan diri di jalan atau berhubungan dengan pengendara mobil yang tak dikenal.

Pada hari Minggu, 24 April, seorang temannya mengetuk pintunya pada pukul 16.30, tetapi tak ada yang menjawab. Ia mencoba membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Ia masuk perlahan-lahan karena kemungkinan Tina menerima tamu. 

Tapi dia sudah tahu kebiasaan Tina: setelah bekerja keras dan mabuk malam Minggu, ia selalu melewatkan hari liburnya dengan tidur. 

Waktu melewati ambang pintu ia melihat genangan darah beberapa tindak dari pintu masuk. Ketika memasuki kamar tidur ia melihat temannya itu rebah di ranjang tak bernyawa, ditutupi oleh selimut.

Prof. Gee yang datang bersama polisi menyingkapkan selimut itu. Wajah korban hampir tak dapat dikenali. Menurutnya, korban disergap sewaktu memasuki pintu rumahnya, kemudian dipukul kuat-kuat sampai empat kali pada kepalanya. 

Pembunuh membuka mantel luar korban, lalu meletakkannya di alas tempat tidur. Celana jinsnya ditanggalkan, kemudian dinaikkan lagi sebagian. Ia ditikam empat kali pada perut. 

Agaknya pelakunya juga mencoba menikam di bagian punggung, tetapi tak sampai menggores kulit. Lebih jauh polisi menemukan tapak bekas sepatu lars merek Dunlop Warwick pada seprai ranjang, serupa dengan yang ditemukan pada paha Emily Jackson.

Pada tanggal 26 Juni korban jatuh lagi. Kali ini bukan perempuan yang berkeliaran di jalan atau membuka praktik di rumah sendiri, melainkan seorang gadis baru lepas sekolah berumur 16 tahun, Jayne Macdonald. 

Hari Sabtu sore itu Jayne berpamitan pada ayahnya untuk berdansa. Keesokan harinya mayat karyawati bagian sepatu dari sebuah pasar swalayan itu ditemukan oleh anak-anak yang sedang bermain. 

Pola pembunuhannya sama dengan yang lain. Dia dipukul tiga kali pada kepalanya, lalu ditikam beberapa kali di dada dan sekali pada punggungnya. 

Untuk pertama kalinya pembunuh gelap itu memilih korbannya seorang wanita bukan pelacur. Hal itu membuat seluruh masyarakat tersentak.

Sementara itu polisi telah mewawancarai 679 rumah tangga di 21 jalan di sekitar tempat kejadian. Sekitar 3.500 pernyataan telah dicatat, banyak di antaranya berasal dari pelacur. 

Dua belas bulan sebelumnya, 152 orang wanita ditangkap atas alasan pelacuran. Tetapi tampaknya polisi tidak lebih maju setapak pun dalam usaha menangkap The Ripper, pembunuh yang nama julukannya mulai dikenal seluruh dunia.

Jean Jordan mula-mula melarikan dirinya dari rumah orangtuanya ketika masih berumur 16 tahun ke Manchester. Secara kebetulan ia bertemu dengan Alan Royle, seorang juru masak. Karena kasihan, Royle mengajaknya tinggal bersama di flatnya. Kemudian mereka menikah dan punya anak dua orang. 

Setelah kelahiran anak keduanya, hubungan mereka menjadi renggang dan masing-masing menuntut hidup sendiri­-sendiri walaupun masih seatap. Jean bergaul dengan teman­ temannya sendiri dan terjerumus dalam dunia pelacuran.

 

Lembaran uang £ 5 diperiksa

Pada malam tanggal 1 Oktober 1977 Jean Jordan diajak oleh seorang pengendara Ford Corsair warna merah dengan imbalan £ 5, bayar di muka. Di tempat sepi yang diusulkan oleh pengendara itu untuk melaksanakan kencan mereka, Jean dipukul dengan martil sampai 13 kali, lalu disembunyikan di semak-semak. 

Alan Royle tidak cemas istrinya tak pulang malam itu. Dia mengira Jean pergi ke Glasgow untuk menemui kerabatnya. Baru sepuluh hari kemudian mayatnya yang rusak ditemukan oleh seorang penduduk.

Polisi terperanjat dan heran melihat keadaan mayat, yang diserang secara membabi buta sesudah korban meninggal, seakan-akan pelakunya kalap. Pakaiannya dicabik-cabik, lalu ditebarkan ke segala penjuru. Lima hari kemudian tas Jean ditemukan, tak sampai 100 m dari tempat jenazah. 

Uang yang menurut suaminya berjumlah sekitar £ 15 yang ada di dalamnya ternyata lenyap. Tetapi dalam saku rahasia di bagian depan tas kulit imitasi itu ditemukan sehelai uang kertas £ 5 yang masih baru. Uang ini memberikan jejak baru bagi polisi yang melacak pembunuh massal itu. 

Bank of England membuka arsipnya. Akhirnya, mereka mengetahui bahwa uang kertas itu berasal dari kiriman ke cabang­cabang Midland Bank di Bingley dan Shipley, di tengah wilayah Ripper.

Polisi kini berusaha melacak penerima uang itu, karena menurut pemikiran mereka, orang yang menerima uang itu kemudian membayarkannya kepada Jean Jordan, lalu membunuhnya. Mungkin orang itu menerima uang tersebut dalam amplop gajinya beberapa hari sebelum Jean dibunuh. 

Uang kertas itu dikeluarkan hanya 14 hari sebelum hari Sabtu, ketika wanita malang itu menghilang. Kalau pembunuh Jean berhasil ditangkap, besar kemungkinannya mereka dapat pula menangkap The Ripper.

Ternyata melacak jejak ini tidak mudah, bahkan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bank yang bersangkutan membagikan £ 17.500 kepada sejumlah perusahaan di daerah Bradford dan Shipley yang mempekerjakan sekitar 8.000 karyawan.

Sementara polisi masih sibuk menelusuri jejak uang baru itu di antara sekian ribu karyawan yang diduga menerima uang itu, si Ripper telah beraksi lagi. Pada tanggal 14 Desember Marilyn Moore, yang mencari pelanggan di tepi jalan, ditegur oleh seorang pengendara mobil. 

Pria itu kemudian dikatakan berumur sekitar 30 tahun, berambut ikat hitam, berjanggut, mengenakan kemeja warna kuning, baju hangat biru gelap, dan celana jins. Orang itu menegur Marilyn, “Anda sedang melakukan bisnis?”

“Ya,” jawabnya.

Orang itu bertanya lagi, “Lima pon?”

Tawar-menawar selesai. Marilyn dipersilakan naik di samping pengemudi. Di tempat sepi orang itu menyarankan agar mereka parkir dan pindah ke bangku belakang. 

Waktu perempuan itu akan membuka pintu belakang, ternyata terkunci. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya dipukul sekuat tenaga. Ia tidak langsung roboh, tetapi masih bisa memegangi kepalanya sambil memekik sekuat-kuatnya.

Ia jatuh lalu dipukul lagi secara bertubi-tubi.

Marilyn Moore ternyata selamat meskipun mengalami cedera parah, karena si pembunuh khawatir akan jeritannya, ditambah dengan salak anjing yang mendatangkan orang-orang di sekitarnya. Marilyn berhasil diselamatkan oleh para dokter, tetapi seperti korban lainnya ia tetap menderita akibat penyerangan itu.

 

Celana dalam di gudang kayu 

Dalam bulan Januari 1978 polisi terpaksa menghentikan operasi pelacakan terhadap orang yang pernah memiliki uang kertas £ 5 itu. Ribuan orang telah diwawancarai, dan banyak pula yang masuk dalam daftar dicurigai, tetapi tak ada bukti-bukti lebih lanjut, sehingga tak ada seorang pun yang ditahan.

Dalam bulan Januari itu juga Yvone Pearson, seorang gadis panggilan berumur 22 tahun yang punya dua orang anak kecil, mempunyai pelanggan-pelanggan tetap yang namanya dicatat dengan rapi dalam buku catatannya yang berwama putih dan emas. Kebanyakan mereka itu orang berduit dan berkedudukan. 

Entah mengapa waktu itu usahanya sedang sepi, sehingga rupanya ia terpaksa beroperasi di jalan.

Menurut seorang rekannya, ia sudah tahu tentang bahaya Ripper, tetapi ia malah mengatakan bahwa ada juga yang terbunuh di rumahnya sendiri, sedangkan di jalan masih ada kesempatan untuk melepaskan diri. 

Yvone Pearson menghilang dalam malam dingin di bulan Januari. Mayatnya baru ditemukan dalam bulan Maret 1978 di bawah sebuah sofa terbalik di tanah tak terurus dekat Lump Lane, Bradford. 

Mayatnya sudah dalam keadaan rusak, tetapi masih dapat diketahui bahwa kepalanya dihantam dengan benda tumpul berukuran besar, sehingga Prof. Gee menduga bahwa alat pembunuhnya sebuah batu besar. Belakangan pembunuhnya mengaku bahwa ia tidak menggunakan martilnya yang biasa, tetapi sebuah palu berukuran besar!

Helen Rytka, seorang gadis berdarah campuran yang berwajah menarik, sering bermimpi memperbaiki nasibnya. Ambisinya ialah menjadi penyanyi lagu-lagu soul. Kenyataan sehari-harinya dia bekas seorang karyawati pabrik kembang gula yang menganggur, yang menjadi wanita jalan raya. 

Adik kembarnya, Rita, mendapat beasiswa untuk memasuki Batley Art College. Keduanya dibesarkan di panti asuhan, ketika ibunya yang berdarah Italia dan bapaknya yang seorang Jamaika, bercerai. 

Mereka biasanya beroperasi berdua. Sesudah berkencan sekitar 20 menit dengan seorang pria, masing-masing akan selalu bertemu kembali di depan sebuah WC umum.

Pada malam terakhir bulan Januari itu Helen diajak kencan oleh seorang pria yang naik sebuah sedan Corsair wama putih. Seperti biasanya ia mengajak laki-laki itu ke penimbunan kayu Garrard yang tak jauh letaknya. 

Keesokan harinya seorang sopir menemukan celana dalam Helen yang hitam di dalam gudang kayu itu dan penjaga gudang melihat bekas genangan darah di tanah tempat Helen dibunuh. Tetapi mereka anggap lumrah saja karena segala apa bisa terjadi malam hari di penimbunan kayu ini. Baru hari Jumat berikutnya polisi menemukan mayat tak jauh dari tempat itu, di bawah onggokan kayu.

Korban berikutnya adalah Vera Millward (41), bertubuh lemah, dan sedang sakit, ditemukan mati oleh tiga kali hantaman palu. Tidak puas dengan itu, pembunuh keji itu memporak-porandakan perutnya dengan senjata tajam. 

Ia terbunuh di tempat yang terang, di halaman rumah sakit Manchester. Seorang pria yang mengantarkan anaknya ke bagian gawat darurat mendengar tiga kali jeritan minta tolong, lalu sepi kembali.

Vera Millward, ibu tujuh orang anak, keturunan Spanyol, hidup bersama dengan seorang laki-laki Jamaika. Ia terpaksa menjual diri untuk menghidupi anak-anaknya. Ia hanya mempunyai sebuah paru-­paru dan telah mengalami tiga kali operasi. 

Yang terakhir dilakukan dalam bulan Mei 1978 itu juga. Selasa malam itu diduga Vera keluar untuk membeli dua bungkus rokok dan mengambil obat dari rumah sakit.

 

Surat dari pembunuh

Setelah peristiwa mengerikan ini, berbulan-bulan lamanya tak terdengar apa-apa tentang kegiatan si Ripper. Namun orang belum melupakan perbuatan-perbuatan kejinya. 

Di mana-mana ia masih menjadi pokok pembicaraan. Sementara orang menduga ia kembali menjadi orang biasa dan menghentikan kejahatannya. Ada pula yang menduga ia pindah ke tempat lain yang jauh.

Dalam bulan Maret 1978 George Oldfield, perwira polisi yang ditugaskan menangani pengusutan perkara si Ripper itu, menerima surat yang mengaku berasal dari penjahat tersebut. Surat itu dianggap biasa karena polisi menerima ratusan surat dari orang-orang aneh atau tidak waras.

Setahun kemudian Oldfield menerima lagi surat dari orang yang mengaku “Jack the Ripper” itu. Tak lama menyusul lagi dua surat serupa. Surat yang ketiga mulai diperhatikan karena memuat keterangan terinci tentang luka­-luka Vera Millward yang tak diketahui orang luar. 

Tes ludah di amplop tak berhasil menemukan apa­-apa. Pada amplop ketiga dapat ditemukan golongan darah B yang jarang di Inggris. Sementara itu para ahli pembaca tulisan menentukan bahwa ketiga surat itu berasal dari penulis yang sama. 

Surat yang ketiga mengancam bahwa korban berikutnya ialah “seorang sundal tua” dengan menyebutkan lokasinya di Bradford atau Liverpool (polisi tidak menyebutkan di mana tepatnya), ternyata tidak benar.

Tiga belas hari kemudian, pada tanggal 4 April, seorang sekretaris bernama Josephine Whittaker terbunuh di dekat rumahnya di Kota Halifax.

Malam itu Josephine berjalan sendiri pulang setelah berkunjung ke rumah kakek dan neneknya, acara tetapnya setiap minggu. Biasanya ia mengunjungi neneknya pada hari Minggu sore, tapi kali ini menyimpang dari kebiasaannya. Ia datang pada hari Rabu sore. 

Hari sudah gelap ketika Josephine berkemas akan pulang dan kedua orang tua yang sangat menyayangi cucunya itu menahannya agar mau bermalam. Josephine tetap hendak pulang dan menolak diantarkan. Jaraknya cuma 10 menit berjalan cepat.

Di tengah jalan ia ditegur oleh seorang laki-laki tak dikenal. Dia bertanya Josephine baru dari mana. Seperti si Topi Merah dalam dongeng ia menjawab: dari rumah neneknya. Lalu orang itu bertanya lagi pukul berapa. Sambil berbasa­-basi mengagumi tajamnya pandangan mata gadis itu yang bisa membaca waktu pada sebuah jam yang jauh. 

Dia cuma mengulur waktu dan mengambil kesempatan baik untuk mengeluarkan sebuah martil dari balik bajunya, lalu menimpakannya ke kepala Josephine. 

Waktu ia rebah di rumput, orang itu menyeretnya sejauh kira-kira 10 m ke tempat gelap, menjauhi jalan. Di situ ia menyingkapkan pakaian sang gadis, lalu menghujani bagian-bagian tubuhnya dengan tikaman sebilah pisau dapur.

Polisi tak mau menyerah kalah menjelang akhir Juli, ketika polisi melancarkan usaha pelacakan besar-besaran dengan mengerahkan segala dana dan daya yang tersedia, George Oldfield mengalami serangan jantung karena tekanan pekerjaannya. 

Selama dua tahun selanjutnya ia belum sembuh betul untuk bertugas kembali. Tugasnya dilanjutkan oleh Jim Hobson.

Sementara itu Ripper yang selicin belut itu masih saja bisa meloloskan dirinya dari jaring raksasa yang dipasang oleh polisi. Selepas musim panas ia bertindak lagi. Kali ini korbannya seorang mahasiswi tingkat tiga yang sedang belajar ilmu-ilmu sosial di Bradford.

Lewat tengah malam tanggal 1 September 1979 Barbara Leach, setelah bersantai dan minum-minum di rumah minum Manville Arms, berjalan menuju ke asrama dalam keadaan hujan. 

Belum sampai melangkahkan kakinya sejauh 200 m, pembunuh gelap itu menyergapnya dari belakang dengan hantaman palu mautnya. 

Besoknya polisi menemukan jenazahnya dalam keadaan menyedihkan. Ia dianiaya serupa seperti korban-korban sebelumnya di tempat terbuka di Ash Grove, dekat tempat pembuangan sampah, ditutupi dengan karpet bekas.

Dalam perburuan besar-besaran yang pernah dilancarkan dalam abad ini, polisi mempergunakan hasil teknologi mutakhir. Suatu program khusus dimasukkan dalam Police National Computer. 

Program itu mengerjakan suatu sistem pencarian kembali merek-merek mobil didasarkan atas angka-angka indeks. 

Komputer itu bisa memetakan dengan tepat pola aliran mobil individual, di samping informasi tambahan sehingga lebih memudahkan pencarian. 

Misalnya kalau di daerah pembunuhan dilihat sebuah mobil Ford Cortina biru, maka komputer bukan hanya dapat memberikan keterangan terinci tentang semua Ford Cortina warna biru, tetapi juga memisahkan mobil jenis itu yang dilihat di daerah yang diamati.

Kecuali itu memory bank-nya dapat mengingat waktu-waktu lain, tanggal-tanggal dan tempat-­tempat mobil tersebut dilihat orang. Pada akhirnya, polisi berharap bisa menemukan mobil yang dipakai oleh si pembunuh. 

Otak elektronik itu juga membantu mengesampingkan 200.000 buah mobil, suatu tugas yang akan menyibukkan sekian banyak anggota kepolisian selama berbulan-bulan. Tetapi kemudian ternyata bahwa pengusutan lewat komputer itu ada untung-ruginya. 

Mesin itu mengeluarkan terlalu banyak informasi sehingga polisi makin repot untuk mengecek kebenarannya. Pada permulaan tahun 1980 polisi dihadapkan pada jutaan fakta (5 juta dalam hal nomor mobil saja), sehingga mereka merasa kewalahan sendiri.

Penelusuran berdasarkan lembaran uang £ 5 yang ditemukan dalam tas Jean Jordan juga menemui jalan buntu, sekalipun para detektif telah bertugas selama tiga bulan di Kota Bradford dan menanyai sebanyak 7.764 orang yang dikaitkan dengan lembaran uang itu.

Setelah bekerja keras sekitar enam minggu, tim kepolisian itu menyaring, mengurangi jumlah itu menjadi sekitar 300 orang, di antaranya termasuk si pembunuh. Akhirnya, tim yang terdiri atas 60 orang petugas itu dapat membatasi kecurigaan mereka pada karyawan tiga perusahaan, yakni Clarks, Butterfield, dan Parkinson. 

Dalam proses pengusutan itu berkali-kali para petugas itu menatap muka dan berwawancara dengan si pembunuh, tapi entah mengapa mereka tak berhasil mengenalinya.

 

Rakyat marah

Sementara pihak yang berwajib tak henti-hentinya berusaha, jatuh lagi korban. Hampir setahun setelah terbunuhnya Barbara Leach, seorang wanita pegawai sipil bernama Marguerite Walls ditemukan mati tercekik dan remuk kepalanya di halaman berpohon rapat dari sebuah rumah megah di Farsley, Leeds. 

Orang meragukan bahwa ini pekerjaan si Ripper. Ada yang mengira bahwa ia sudah menghentikan perbuatan jahanamnya atau bahkan sudah bunuh diri diam-diam. Polisi menemukan ciri­ciri pembunuhan agak berlainan, yakni menggunakan jerat. 

Marqueritte Walls (47) pegawai Departemen Pendidikan dan llmu Pengetahuan pada tanggal 18 Agustus 1980 itu melembur sampai malam di kantornya. Ia pulang antara pukul 21.30 dan 22.30. Ia akan mengambil cuti sepuluh hari esoknya, karena itu hendak membereskan semua pekerjaannya di kantor.

Ia pulang mengenakan mantel hitam yang berpenutup kepala sambil menjinjing sebuah tas belanja dari kanvas yang berwarna hitam juga. Marqueritte hampir sampai ke rumah ketika ia melewati pilar-pilar besar pada akhir jalan masuk Claremont House, tempat tinggal Hakim Peter Hainsworth. 

Saat itulah si pembunuh mengalungkan tali jerat pada lehernya, lalu menyeretnya ke sebuah kebun. Keesokan harinya ia ditemukan oleh dua orang tukang kebun. Pakaiannya sebagian cabik­-cabik, tubuhnya disurukkan ke bawah timbunan potongan rumput. 

Beberapa bulan kemudian, pada suatu malam Selasa di bulan November yang basah dan gelap, seorang mahasiswi bahasa sedang berjalan pulang menuju flatnya di Lupton Court, Leeds. 

Jacqueline Hill adalah seorang mahasiswi yang serius. Gadis yang berpembawaan tenang, yang tertua di antara tiga bersaudara ini, sedianya sudah akan lulus dalam musim panas tahun berikutnya.

Pembunuh misterius itu mulai mengamatinya ketika gadis muda itu turun dari bus no. 1 di seberang pertokoan Arndale pukul 21.23. Lalu terlihat Jacqueline menyeberangi jalan, membelok ke kiri, melewati depan toko-toko, lalu memasuki Alma Road menuju ke flatnya yang jaraknya kurang dari 100 m.

Hanya beberapa meter dari Otley Road yang ramai, si Ripper memukul belakang kepala Jacqueline Hill, menyeretnya kira-kira 10 m ke suatu halaman kosong di belakang pertokoan Arndale di dekat tembok pemisah lapangan parkir pertokoan. Di situ, teralang oleh pohon dan semak-semak, ia menikam korbannya berulang-ulang.

Pembunuhan keji atas gadis tak bersalah ini menimbulkan kegemparan besar di Kota Leeds yang meluas ke seluruh negeri. Pada Sabtu malam sesudah pembunuhan itu para feminis di Leeds melancarkan demonstrasi yang meluap. Bioskop-bioskop diserang dengan melontarkan cat merah pada layar. 

Mobil-mobil digebraki dengan tinju. Anehnya, baru setelah seorang gadis dari kalangan menengah dibunuh di daerah elite timbul luapan kemarahan, padahal sebelumnya sudah ada tiga orang wanita baik-baik yang menjadi korban, belum terhitung para wanita jalanan yang menjadi korban di daerah lampu merah.

Sampai tiba tahun 1981, polisi yang mendapat tekanan berat dari pelbagai pihak masih belum juga menemukan titik terang dalam pengusutannya, sekalipun mereka terus berusaha sekuat tenaga dan kekuatan serta dana terus ditambah untuk memperkuat usaha itu.

 

Tertangkap tangan

Pada hari Jumat, 2 Januari 1981, Olivia Reivers (24) yang ibu dua orang anak meninggalkan rumah untuk mencari “objekan”. Olivia wanita keturunan kulit hitam berkulit sawo matang, bertubuh ramping, berambut lebat, pindah ke Kota Sheffield tujuh tahun berselang dari Birmingham. 

Olivia sudah cukup berpengalaman dengan segala macam laki-laki, banyak di antara pelanggannya laki-laki yang sudah beristri, ada yang malu-malu, ada yang gugup, kadang-kadang pria yang sukar dibangkitkan gairahnya. Menjelang pukul 21.00, Olivia bertemu dengan kawannya Denise, juga seorang keturunan kulit hitam. Lalu mereka berjalan bersama. Dalam waktu beberapa menit Denise hampir mendapat peminat. 

Sebuah mobil Rover 3500 warna cokelat dengan atap vinyl hitam tiba-tiba berhenti. Denise membungkukkan badannya untuk melihat wajah si pengemudi. Ia melihat sesuatu yang tak wajar pada mata yang gelap, hampir hitam, yang menatap matanya sendiri, seakan ingin menembusnya. 

Pria itu bertampang lumayan, dengan janggut hitamnya yang terawat rapi dan rambut yang hitam ikal. Tetapi matanya menakutkan. Sebab itu ia hanya berkata, “Sorry”, lalu berjalan terus.

Mobil cokelat itu meneruskan perjalanannya, tetapi kembali lagi sejam kemudian. Kali ini ia mendapat apa yang dicari. Olivia Reivers juga memandang mata laki­-laki pengemudi itu, tetapi ia tidak melihat sesuatu yang aneh seperti rekannya tadi. Lagi pula ia menawarkan £10. Mungkin agak di atas pasaran. 

Olivia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Beberapa menit kemudian mereka berdua·sudah ada di jalan masuk Light Trades House, tadinya rumah tinggal seorang industriawan kaya, sekarang kantor pusat Asosiasi lndustri Besi dan Baja lnggris di Sheffield. 

Laki-laki ini memang berbeda dengan yang lainnya yang sudah pernah dikenalnya. Ia malah ngomong tentang istrinya dan bahwa mereka tak mempunyai anak dan istrinya pernah mengalami keguguran.

Setelah beberapa lama, saya berusaha untuk memanaskannya, tutur Olivia kemudian, tetapi tak ada hasilnya. Ia tetap dingin seperti es. Ia mendekatkan badannya ke pria itu sambil membisikkan kata-kata rayuan dan tangannya mengusap-usap. Tetapi itu sia-sia juga.

Sementara itu tangan laki-laki itu tak tinggal diam. Ia bukan meraba tubuh lawan jenisnya, melainkan ke bagian-bagian rahasia di mobilnya. Otaknya sedang menimbang-nimbang senjata apa yang akan digunakan. Ada pisau tajam yang diselipkan di suatu tempat di dekat tempat duduk. 

Ia meraba kantungnya dan lewat lubang di situ tangannya menggerayang ke arah martil yang disembunyikan di punggungnya. Atau barangkali pakai tali saja? Atau lebih baik palu yang pada satu sisinya bulat dan lainnya rata, yang ditaruhnya di bawah jok pengemudi? 

Ketika Sersan Robert Ring dan agen polisi Robert Hydes dengan mobil patroli melewati Melbourne Road pada pukul 22.50 itu, mereka melihat mobil berwarna gelap diparkir di tengah-tengah jalan masuk Light Trades House itu. Mereka hampir merasa pasti tahu apa yang dilakukan pemiliknya.

Ketika ditanya, pria itu mengatakan ia bernama Peter William Sutcliffe dan perempuan itu teman kencannya. Tetapi Sersan Bob Ring tak pernah melupakan wajah orang yang pernah dihadapinya. Bukankah perempuan ini pernah diadili karena melacur? 

Saat Olivia dipindahkan ke mobil patroli, pria temannya menyatakan akan membuang air kecil dulu. Tanpa menunggu diberi izin, ia sudah melangkah ke tempat gelap, ke arah rumah yang tak didiami itu. 

Dia bukan melakukan hajat kecil, tetapi menaruh sebilah pisau belati dan palu dengan menyandarkannya pada dinding di sudut yang tak terlihat. Mudah-mudahan mereka tak mendengar apa-apa, pikimya. Lalu ia bergegas menuju ke mobil polisi kembali.

 

Nomor palsu

Mobil Rover itu diperiksa. Ternyata memakai nomor palsu yang dilekatkan dengan pita perekat. Seharusnya nomor palsu itu nomor sebuah mobil Skoda. STNK aslinya menunjukkan bahwa Rover itu milik seseorang bernama Peter William Sutcliffe, beralamat Garden Lane 6, Heaton, Bradford. Pria berjanggut itu mengakui bahwa itu namanya.

Di kantor polisi, perempuan itu segera mereka lepaskan. Tetapi yang pria harus tinggal lebih lama, sebab paling tidak dia dipersalahkan mengendarai mobil dengan nomor palsu. 

Sutcliffe mengakui bahwa ia mengambil pelat nomor itu dari tempat pembuangan mobil. Tuduhan mencuri dan mengemudikan mobil dengan nomor palsu merupakan pelanggaran ringan, tetapi polisi telah menerima instruksi agar memperhatikan secara khusus semua laki-laki yang ada kaitannya dengan pelacur. 

Dalam tahanan polisi, Sutcliffe masih sempat membuang sebilah pisau lagi ke WC yang diselipkan dalam celananya.

Dalam interogasi, Sutcliffe tetap tenang, bahkan ramah dan bersedia menjawab setiap pertanyaan. Polisi juga sangat hati-hati dan bersikap biasa, tanpa sekali pun menanyakan hal yang berhubungan dengan si Ripper. Hanya Sutcliffe agak heran mengapa minat mereka terhadapnya begitu besar, padahal tuduhannya sepele saja. 

Kini polisi mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan seorang laki-laki berjanggut, berambut hitam ikal, dan gigi depannya ada yang ompong. Juga bahwa pekerjaannya sopir truk dan hobinya mobil. 

Para pemeriksa mengajaknya mengobrol tentang mobil, sehingga mereka mengetahui mobil apa saja yang pernah dimilikinya, antara lain mobil-mobil yang disinyalir oleh para korban. Diketahui juga bahwa orang ini sudah pernah diwawancarai sehubungan dengan uang kertas £ 5 itu dan sepatunya berukuran 8, mungkin 7.

Sementara para pejabat kepolisian secara bergantian mengajak ngobrol Sutcliffe untuk mengorek keterangan tentang latar belakang kehidupannya dan mencari-cari apakah orang berjanggut ini ada hubungannya dengan pembantaian beberapa belas wanita, Sersan Robert Ring pada hari Sabtu malam telah mengambil suatu keputusan penting. 

Keputusan itu nantinya akan besar pengaruhnya atas jalan hidupnya sendiri, tetapi yang pasti hidup Peter Sutcliffe. Juga pada pejabat polisi dan sekian banyak orang lain yang terlibat dalam perburuan besar-besaran atas pembunuh yang diberikan julukan The Ripper itu.

Malam itu Ring memutuskan untuk kembali ke Light Trades House. Ia ingat pria berjanggut itu minta izin membuang hajat di suatu sudut. Apakah dia mendengar suara dentingan barang logam? Apa barangkali dia berkhayal saja? 

Dengan pengalaman 26 tahun sebagai anggota polisi, terlalu mudah kalau dia bisa dikibuli begitu saja. Sebaiknya dia pergi memeriksa. Ketika sampai di Light Trades House ia menuju ke sudut gelap itu, memutari tempat penyimpanan minyak untuk alat pemanas ruangan. 

Ia menyorotkan lampunya pada dinding dan di situ ia melihat sebuah palu dan sebilah pisau tergeletak di tanah.

 

Menyerah

Pada hari Minggu siang, akhirnya secara tak terduga Sutcliffe menyerah. Secara sukarela ia mengakui bahwa yang dinamai Yorkshire Ripper itu tidak lain daripada dirinya sendiri. 

Dalam 26 jam berikutnya para pejabat polisi mendengarkan untuk pertama kalinya perbuatan-perbuatan kejinya selama lima tahun terakhir, yang dikisahkan oleh pelakunya secara datar tanpa emosi.

Ia menyusun daftar yang begitu mengejutkan sehingga ada beberapa pejabat yang tak mempercayai ketelitiannya. Ia hampir­-hampir tak menyentuh soal alasannya, pernah ia mengatakan bahwa ia ribut mulut tentang uang kembalian £ 10. 

Tetapi mengapa Jayne Macdonald, mengapa Josephine Whittaker, Barbara Leach dan korban yang lain-lain yang belum pernah disapanya, diserang dari belakang? 

Kejadiannya sudah lima tahun berselang, tetapi ia masih ingat semuanya. Ia ingat betapa Wilma McCann yang agresif, mengatakan bahwa ia tak becus, meragukan kejantanannya. 

Ia ingat parfum Emily Jackson yang disebutnya murahan dan keras, dan mengatakan sepatah dua patah kata kepada Jayne Macdonald sebelum membunuhnya. 

Ia ingin kalau bisa memenggal kepala Jean Jordan dan menyembunyikannya. Ia masih mengisahkan bagaimana ia harus menindih tubuh Helen Rytka karena dua buah taksi parkir kurang dari 50 m di dekatnya. Ia harus berpura-pura seakan-akan pelanggan biasa. 

Waktu mereka keluar dari mobil sesudah kedua taksi itu pergi, ia mencoba menghantam kepala Helen dengan palunya, tetapi luput, mengenai pintu mobilnya. 

Josephine Wittaker diserang sebab di daerah lampu merah terlalu banyak polisi yang berkeliaran. Ia menjerat Margot Walls dalam usaha untuk menyesatkan polisi. Seorang korban lain diserang sebab roknya ada belahannya dan yang lain lagi sebab mengenakan jins terlalu ketat.

Di tempat kerjanya, Peter dianggap sebagai karyawan teladan. Perangainya berlainan dengan para sopir truk lainnya. Ia rajin dan pendiam. Pada permulaan tahun 1980 perusahaan tempatnya bekerja terpaksa mengeluarkan semua pengemudinya sebab dicurigai mencuri muatan, tetapi Peter tidak. 

“Peter tidak pernah tersangkut dalam kecurangan-kecurangan itu,” kata salah seorang majikannya di Clark. 

Pimpinan begitu terkesan oleh prestasi kerjanya, menganggap dia memiliki semua ciri yang harus dipunyai oleh pengemudi truk yang baik, sehingga ia difoto sedang menyetir truknya untuk menghiasi brosur promosi perusahaan truk itu.

Para teman, kenalan, dan keluarganya sendiri menganggap Peter seorang yang baik meskipun kadang-kadang agak aneh.

Sidang pertama untuk mengadilinya dibuka pada tanggal 29 April 1981. Sebelumnya sudah menjadi pendapat umum bahwa Sutcliffe sakit jiwa, menderita penyakit yang jarang terdapat tetapi jelas bisa ditentukan yakni skizofrenia paranoid. Penyakit itu dianggap tak bisa disembuhkan karena itu ia harus mengeram seumur hidup dalam rumah sakit jiwa.

Selama sidang diragukan apakah ia benar-benar sakit atau berpura-pura gila untuk meloloskan diri dari hukuman. Sutcliffe sendiri dengan gamblang mengakui bahwa ia telah membunuh 13 orang wanita. Para pembelanya berpegang pada paham bahwa Sutcliffe sakit jiwa, karena itu tidak bisa dimintai pertanggungan jawabnya. 

Peter Sutcliffe sendiri tidak mau mengakui bahwa ia gila, tetapi ini dilakukannya karena ia mendengar suara Tuhan di pekuburan yang memerintahkan dia melakukan semua itu. Ia bahkan mengatakan bahwa Tuhan melindunginya, sehingga polisi tak berhasil menangkapnya meskipun sudah berkali­-kali menanyainya sampai tak terhitung olehnya.

Sidang terakhir diadakan pada tanggal 22 Mei 1981. Juri harus bersidang selama enam jam untuk menentukan putusan." ["url"]=> string(58) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306305/the-yorkshire" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278799000) } } [14]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3305971" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/badut-pembunuh_robert-zunikoffj-20220603054341.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Mulai dari hilangnya Robert, anak berusia 15 tahun dan beberapa anak-anak lainnya, hanya ada tuduhan yang menguat bahwa seorang badut yang aneh." ["section"]=> object(stdClass)#176 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/badut-pembunuh_robert-zunikoffj-20220603054341.jpg" ["title"]=> string(14) "Badut Pembunuh" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:44:14" ["content"]=> string(39548) "

Intisari Plus - Mulai dari hilangnya Robert, anak berusia 15 tahun dan beberapa anak-anak lainnya, hanya ada tuduhan yang menguat bahwa seorang badut yang aneh, bisa saja yang menculik dan membunuh mereka.

-------------------------

Hari Senin malam, 11 Desember 1978, markas besar polisi di Des Plaines, Illinois, AS, mendapat telepon dari seorang wanita. Suara wanita itu gemetar. Katanya, putranya yang berumur 15 tahun, Robert Piest, tiba-tiba menghilang. 

Polisi meminta wanita itu menceritakan keadaan secara lebih jelas. 

Kata wanita itu, ia tinggal dengan keluarganya di Craig Drive, Des Plaines. Hari ini ulang tahunnya yang ke-46. Sore itu akan ada pesta untuk merayakannya. Tapi putranya, Robert, baru akan hadir setelah pukul 21.00 karena ia sedang mendapat pekerjaan paruh waktu di sebuah drugstore (toko obat yang menjual juga barang-barang lain seperti koran, alat-alat tulis, minuman ringan) di Touhy Avenue. Ibunya bermaksud menunggu Robert sebelum memotong kue ulang tahun. 

Si ibu berkata kepada anaknya : bahwa ia akan menjemput si anak dengan mobil pukul 21.00. Sepuluh menit sebelum pukul 21.00 si ibu tiba di muka drugstore. Ketika sudah pukul 21.00 Robert mengambil mantelnya dan menghampiri ibunya.

 

Robert lenyap 

Di muka pintu drugstore, Robert tiba-tiba berhenti. "Tunggu sebentar, Mom," katanya. "Saya harus menemui orang untuk urusan pekerjaan bangunan. Pekerjaan ini akan menghasilkan AS $ 5 sejam. Saya pergi cuma beberapa menit saja." 

Ibunya mengangguk dan menunggu lagi di drugstore sambil memperhatikan anaknya pergi. la tahu AS $ 5 sejam kira-kira dua kali penghasilan anaknya sekarang di drugstore. Si ibu mengira anaknya paling-paling akan pergi 10 - 15 menit. Lima belas menit berlalu. Robert belum muncul. 

la menunggu 5 menit lagi. Akhirnya, ia keluar, menengok ke kanan-kiri. Anaknya tidak ada. Akhirnya, ia pergi ke tempat mobilnya diparkir dan pulang. Ternyata di rumah Robert tidak ada. Padahal ia bukan anak yang tidak bisa dipercaya mulutnya. Ia juga tidak menelepon untuk memberi tahu kenapa menghilang. 

Ibunya jadi khawatir dan menelepon polisi. Polisi minta nomor telepon drugstore. Polisi yang dilapori itu sambil menelepon, mengisi formulir orang hilang. Salinan-salinan laporan itu dikirim ke Kepala Polisi Leroy Alfano dan Kapten Joseph Kozenczak. Yang terakhir ini mempunyai putra berumur 15 tahun juga. Jadi, ia bisa ikut merasakan bagaimana perasaan orang yang kehilangan anak umur sekian. 

Keesokan harinya pagi-pagi Kapten Kozenczak sudan bangun. Hari itu Selasa, 12 Desember 1978. Ia mengecek laporan-laporan semalam yang menyatakan polisi sudah menyisiri daerah-daerah sekitar tempat itu tanpa berhasil menemukan Robert. 

Para polisi dikirim ke rumah keluarga Piest. Ayah-ibu Robert menggambarkan anaknya tahu aturan, ambisius, dan suka bekerja keras. Ia bisa berdiri sendiri dan bisa dipercaya. 

Karena ciri-cirinya ini maka Robert tidak pernah mengalami kesulitan mendapat pekerjaan pada musim panas atau pekerjaan paruh waktu pada masa sekolah tidak libur. Orang tua ini berpendapat, inilah sebabnya kontraktor yang ingin mempekerjakan Robert menawarkan upah AS $ 5 sejam, upah yang sangat tinggi untuk anak umur 15 tahun. 

Siapa kontraktor itu? Orang tua Robert tidak tahu nama dan alamatnya, tapi mengira kantornya pasti tidak jauh dari drugstore atau Touhy Avenue. Kalau tidak, maka Robert takkan berkata akan kembali dalam waktu beberapa menit saja.

 

Pekerjanya semua remaja pria 

Kapten Kozenczak minta nama dan alamat teman-teman Robert. Salah seorang di antaranya ternyata putra sang kapten sendiri. Mereka sama-sama murid Sekolah Maine Township. 

Pada saat itu anak-anak tentu sedang bersekolah. Jadi, Kozenczak tidak bisa menanyai mereka sekarang. Tapi tampaknya kecil kemungkinan Robert semalam menginap di rumah temannya. 

Ketika tiba di sekolah, Kapten mengetahui bahwa Robert tidak masuk. Menurut kepala sekolah, guru Robert tidak mendapat pemberitahuan dari siapa pun bahwa hari ini Robert tidak bisa masuk. Padahal biasanya kalau ia sakit atau beralangan, selalu ada pemberitahuan. 

Rapor Robert menunjukkan ia murid yang pandai. Ia juga aktif dalam atletik dan jujur. la juga dianggap luar biasa karena bisa menemukan waktu dan energi untuk ikut atletik dan bekerja paruh waktu selain mengerjakan pekerjaan rumah dan tetap mempertahankan prestasi tinggi di sekolah. 

Kepala sekolah berjanji akan menghubungi polisi kalau ia mengetahui sesuatu terjadi pada Robert. Kozenczak harus menunggu sampai istirahat makan siang untuk mendatangi teman-teman Robert. Jadi, ia pergi dulu ke drugstore. 

Petugas yang biasa berdinas bersama-sama Robert menerangkan bahwa ia melihat Robert terakhir malam kemarin, pukul 21.00, ketika Robert dijemput ibunya. Ia ingat wanita itu menunggu di dalam beberapa menit ketika Robert pergi dulu. Ketika wanita itu akhirnya pergi ke luar dari drugstore, ia menyangka akan menyusul Robert yang diduganya menunggu di muka pintu. 

Kozenczak mendapatkan drugstore itu luar biasa bersih dan sebagian rupanya baru diperbaharui. Tampaknya perombakan baru saja selesai dilakukan. Jadi, ia bertanya apakah belum lama ini interior drugstore itu baru dirombak? Ya, jawab seseorang. 

Sang Kapten bertanya apakah ada hal yang agak menarik perhatian dalam pekerjaan perombakan itu. Cuma satu, kata orang itu. Para pegawai kontraktor yang mengerjakan perombakan ini praktis anak-anak remaja semua atau pria-pria muda. 

Kontraktor itu mengontrol beberapa kali dan beberapa kali ia tampak bicara dengan Robert Piest. Orang itu tahu nama kontraktor tersebut: John Wayne Gacy Jr. 

"Apakah Anda tahu apa yang dipercakapkan sang kontraktor dengan Robert?" tanya Kozenczak kepada petugas drugstore itu. 

"Tampaknya kontraktor itu membujuk Robert agar meninggalkan drugstore untuk bekerja di tempatnya," jawabnya. Ia yakin bayaran yang ditawarkan kepada Robert jauh lebih tinggi daripada bayaran yang diterima Robert sekarang. 

"Apakah Robert terampil sekali dalam pekerjaan perombakan?" 

"Tidak tahu," jawab petugas drugstore itu. "Tetapi mungkin begitu," katanya. Sebab siapa yang mau membayar kalau tidak ahli? Kecuali ... kecuali .... Kozenczak bergidik ketika memikirkan alternatif ini. 

la terus mengobrol dengan petugas itu dan mendapat keterangan bahwa Gacy berkantor di rumahnya di Summerdale Avenue di Norwood Park Township.

 

Resi rol film memberi petunjuk 

Walaupun rumah Gacy bukan terletak di wilayah kekuasaan polisi Des Plaines, tapi drugstore yang dirombaknya itu terletak di daerah yang masih di bawah kekuasaan polisi Des Plaines. Jadi, Kozenczak menelepon Gacy, memintanya datang ke markas besar polisi Des Plaines untuk ditanyai. Gacy berjanji akan datang pagi-pagi keesokan harinya. 

Walaupun Kozenczak hampir yakin bahwa Gacy satu-satunya orang yang bisa menceritakan kepada polisi apa yang terjadi pada Robert, tetapi ia dan atasannya, Kepala Polisi Alfano tidak mau terlalu yakin. 

Mereka mengirim beberapa orang polisi untuk menanyai teman-teman Robert yang namanya diberi oleh orang tua anak itu.

 Berita bahwa Robert menghilang ternyata sudah bocor di sekolah. Jadi, teman-temannya tidak heran melihat kedatangan polisi. Namun, mereka tidak bisa memberi keterangan yang membantu polisi untuk mengetahui di mana Robert berada." 

Tapi banyak juga dari teman Robert yang tahu bahwa Robert akan bekerja pada Gacy. Kata Robert kepada mereka, ia harus menemui pemilik "PDM" sekali lagi sebelum menerima pekerjaan itu dan meninggalkan pekerjaannya di drugstore. Mungkin ia menemui orang itu pada malam ia menghilang. 

"PDM" kata mereka merupakan singkatan "Painting, Decorating and Maintenance" dan perusahaan itu kebanyakan mengerjakan perombakan serta pekerja-pekerjanya sebagian besar laki-laki remaja. Selain itu teman-teman Robert tidak tahu apa-apa lagi. 

Keesokan paginya, Rabu, 13 Desember, John Wayne Gacy yang gemuk dan berpakaian baik muncul di markas besar polisi Des Plaines. Pria berumur 36 tahun ini berambut gelap, berkumis, dan langkahnya tegap. la ditanyai panjang-lebar. la mengaku tidak tahu menahu perihal apa yang terjadi pada Robert Piest. 

Akhirnya, ia setuju untuk menerima polisi-polisi di rumahnya pukul 16.00 hari itu. Ia sedang menunggu ketika polisi datang. Polisi melihat-lihat rumah berwarna kuning bergaya ranch yang mempunyai 2 kamar tidur itu. Tetapi yang cukup menarik yang bisa mereka temukan ialah resi untuk sebuah rol film yang sedang diafdruk. Dengan izin Gacy, polisi mengambil resi itu. 

Dari rumah Gacy, polisi pergi ke rumah Piest. Resi itu ditunjukkan dan menurut keluarga Piest, nama pada resi ialah nama seorang gadis yang dikenal Robert. Robert menawarkan pada teman wanita itu untuk membawa film ke tempat pengafdrukan dan kelak akan mengambilnya lagi bersama foto-foto yang sudah jadi untuk diantarkan ke si gadis. Tetapi bagaimana resi itu bisa sampai di rumah Gacy? 

Para deputi sheriff dari Cook Country bersama polisi-polisi Des Plaines ditunjuk untuk menangani kasus ini. Mereka mengawasi rumah Gacy siang-malam.

 

Pernah dipenjarakan 

Sementara itu polisi Chicago diminta menolong. Laporan mengenai orang-orang yang hilang dalam beberapa bulan terakhir ini diperiksa. Terutama anak-anak remaja. Ternyata lebih dari separuh remaja yang dilaporkan hilang sudah kembali ke rumah masing-masing. Sebagian lagi ditemukan oleh polisi atau petugas hukum lain. Bagaimana nasib sisanya tidak diketahui. 

Polisi Chicago lantas mencari keterangan tentang Gacy. Ia dilahirkan di Chicago tanggal 17 Maret 1942. Ia dibesarkan di bagian utara kota dan setelah lulus sekolah menengah lantas masuk ke college untuk belajar ilmu dagang. 

Sesudah tamat ia pindah ke Springfield, ibu kota negara bagian Illinois. Di sini ia bekerja di toko sepatu. Tahun 1963 ia bertemu dengan seorang wanita yang menjadi istrinya setahun kemudian. 

Polisi menelusuri jejak ibu anak-anaknya ini. Wanita itu bersedia berbicara dengan polisi asal namanya tidak disebutkan. Gacy dengan istrinya ini mempunyai 2 anak. 

Kata istrinya, ia ayah yang baik dan salesman yang sangat mempesona. Tapi ia menambahkan bahwa Gacy orang yang selalu berusaha kelihatan lebih hebat daripada sebenarnya dan kadang-kadang melakukan hal yang kegila-gilaan. 

Tahun 1966 mertua Gacy menjadikan menantunya ini manajer restoran ayam goreng yang ia peroleh konsesinya. Untuk jabatan ini Gacy dan keluarganya pindah ke Waterloo, timur laut Iowa City, Iowa. 

Polisi menghubungi orang-orang di Waterloo yang pernah mengenal Gacy. Kata mereka, Gacy sangat disukai. la senang pergi ke pesta-pesta dan menjadi pusat perhatian. Tapi ia juga tekun mengurusi restoran-restoran milik ayah mertuanya. 

Tahun 1967, kantor polisi Blackhawk County di Waterloo mulai menerima laporan-laporan bahwa Gacy tidak sebaik penampilan luarnya. Sebuah laporan menyatakan ia sering mengundang pria-pria remaja yang dipekerjakan di restoran-restoran ayam gorengnya ke pesta-pesta yang ia adakan. Di sana mereka disuguhi wiski dan dianjurkan melakukan kegiatan seksual. 

Ini bukan cuma terjadi sekali, tetapi sudah berlangsung berbulan-bulan sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan diketahui Gacy ini berwatak seperti Jekyll and Hyde. Seorang remaja memberi kesaksian di pengadilan bahwa Gacy memberinya wiski lalu ia disuruh mengikuti suatu permainan. Yang kalah harus melakukan adegan seksual. 

Remaja itu menolak sehingga Gacy memaksanya masuk ke kamar di bawah todongan pisau. Di sana tangan dan kakinya dirantai, lehernya dicekik. Ketika ia sudah lemas, cekikan dan rantai dilepaskan.

 

Narapidana teladan

  Kesaksian lain oleh remaja lain menyatakan Gacy melakukan sodomi. Tahun 1968 ia diadili karena sodomi dan dijatuhi hukuman 10 tahun di lembaga pemasyarakatan. 

Teman-temannya dan banyak orang di County itu merasa tercengang. 

"Kami tidak bisa mempercayainya," kata salah seorang rekan bisnisnya. 

"Gacy melakukan pelbagai kegiatan amal seperti mengirimkan berkeranjang-keranjang ayam goreng ke berbagai perkumpulan pria remaja, berbelanja pada hari Natal untuk anak-anak yang kekurangan, dan selalu bersedia menolong teman." 

Gacy sendiri bersikeras bahwa ia difitnah dan banyak orang yang percaya. 

"Ia narapidana teladan, pekerja yang giat, tapi harus diawasi karena selalu ingin jadi pemimpin," kata pengawasnya di lembaga pemasyarakatan. 

"Ia benar-benar orang bisnis," kata seorang pejabat lain. "Tampaknya ia manusia biasa, tidak aneh sama sekali. Saya kira yang benar-benar diinginkannya ialah disukai semua orang." 

Tahun 1960 istrinya menceraikan Gacy. Delapan belas bulan setelah masuk lembaga pemasyarakatan ia dilepaskan dengan syarat. Ditetapkan agar masa percobaannya dijalani di Chicago. 

Di Chicago, tanggal 12 Februari 1971 ia ditahan karena mengajak seorang laki-laki remaja yang sedang menunggu di bus di stasiun, ke apartemennya dan mencoba memaksa anak itu melakukan tindakan seksual. Tanggal penyidangan perkara sudah ditetapkan, tetapi perkara dibatalkan karena remaja itu tidak muncul. 

Gacy membeli rumah bata berwarna kuning di Norwood Park Township yang diperalati sekadarnya saja. Tidak lama kemudian, pada tahun 1972, masa percobaannya habis. Ia dilepas. Beberapa waktu setelah dilepas, ia bertemu dengan seorang wanita muda yang menarik dan merebut hati wanita itu dengan kemampuannya merayu. 

Wanita itu sebelumnya sudah pernah menikah dan punya 2 orang anak perempuan. Mereka menikah dan wanita bersama kedua anaknya itu pindah ke rumah Gacy dengan membawa perlengkapan rumah tangganya.

 

Polisi mulai mengancam 

Tahun 1975 Gacy membuka usaha sendiri, PDM Contractors. Tapi pada waktu yang hampir bersamaan, pernikahannya yang kedua ini retak. Mereka bercerai pada tanggal 2 Mei 1976. Gacy tetap berkantor di rumah kuningnya itu. 

Rupanya bisnisnya maju dan Gacy mempekerjakan belasan pria muda dan pria remaja. Polisi menemukan seorang pria yang mengaku pernah pergi ke rumah Gacy untuk mencari pekerjaan. 

Katanya, Gacy mengajaknya berhubungan seksual. Ketika ia mencoba meloloskan diri, Gacy sangat marah. Ia berteriak bahwa ia mempunyai senjata dan mudah saja untuk membunuh serta membuang mayatnya. 

"Sebenarnya, saya telah membunuh beberapa orang," katanya menirukan kata-kata Gacy. Pemuda itu mengatakan bahwa pada waktu itu ia tidak percaya. 

Tetapi seorang teman dan rekan sekerja Gacy yang baru berusia 46 tahun mengatakan bahwa itu mungkin benar. Beberapa minggu sebelumnya ia mengatakan polisi sedang mengawasinya. "Mereka mencoba untuk menuduh saya melakukan pembunuhan," kata Gacy. 

Sementara itu polisi Chicago meneruskan penyidikan tentang laporan orang-orang yang hilang, terutama yang menyangkut pemuda remaja. Beberapa orang tua atau kekasih yang telah melapor ke polisi bersedia memberikan foto-foto mereka. 

Tanggal 14 -18 Desember Gacy diawasi terus-menerus. Kenalan-kenalan dan rekan-rekan sekerjanya ditanyai, tetapi ini tidak menghasilkan apa-apa. 

Pada tanggal 19 Desember, pengacara Gacy mengajukan gugatan dan menuntut AS $ 750.000 " ganti rugi dari pemerintan Kota Des Plaines dan jawatan kepolisiannya. Mereka dituduh telah melakukan penyelidikan dan penangkapan yang tidak sah sehingga menjatuhkan nama baik Gacy. 

Pada hari yang sama, penyidik Des Plaines dengan menggunakan resi film dan keterangan yang didapat dari kenalannya, berhasil mengeluarkan surat perintah untuk menggeledah rumah Gacy dan tanah di sekitarnya. Bersama dengan penyidik Cook County, para petugas itu pergi ke rumah Gacy. la mempersilakan mereka masuk. 

Gacy dituduh menahan Robert Piest dengan paksa. Polisi mengancam akan membongkar lantai rumah jika Gacy tidak mengatakan di mana ia menyembunyikan pemuda itu. Gacy mungkir bahwa pemuda itu ada di dalam rumah atau di sekitarnya.

 

Korban mulai bermunculan 

Setelah diinterogasi terus, akhirnya ia mengaku pernah terpaksa membunuh seseorang, tetapi ia bersikeras bahwa waktu itu ia membela diri. 

Dengan menggunakan sekaleng cat semprot, Gacy menandai lantai di mana pemuda itu terkubur. Polisi tidak mempercayainya. Ada cara yang lebih mudah untuk mengetahui apakah ia berbohong atau tidak daripada membongkar lantai. 

Petugas-petugas pergi ke bagian belakang rumah, memeriksa lemari-lemari dinding, dan akhirnya mereka menemukan pintu kolong yang menuju ruangan yang rendah di bawah lantai. Sambil merangkak masuk, mereka menemukan tiga mayat laki-laki remaja dan beberapa bagian tubuh yang lain. 

Dr. Roberet J. Stein, petugas kesehatan Cook County, segera diberi tahu di rumahnya sebelum para petugas melakukan tindakan lebih lanjut di rumah Gacy. Meskipun hari sudah pukul 22.00, dr. Stein dengan seorang asisten segera datang. 

Sambil mengenakan "baju montir", anggota polisi menceritakan kepadanya tentang kecurigaan mereka terhadap Gacy. Kemudian ia ditunjukkan lemari dinding yang menuju ruang di bawah tanah. 

Ia masuk lewat pintu kolong itu dan jatuh di tanah yang lunak dan lembap dari ruang bawah tanah itu. Dr. Stein menyalakan senter dan dengan matanya yang terlatih ia segera mengenali tulang-tulang manusia. Mula-mula ada sisa kerangka dari dua lengan manusia. 

Dr. Stein naik kembali. Rumah disegel dan diikat dengan tali. Penjaga ditempatkan di sekeliling rumah dan bangunan-bangunan di sekitarnya. Kemudian Stein pulang. 

Dia kembali keesokan harinya dengan pakaian kerja yang bersih. Dia menyuruh membongkar lantai. Petugas kesehatan menemukan tiga mayat yang dipindahkan untuk dilakukan autopsi. 

"Beberapa mayat dikubur sedalam 2 m," kata dr. Stein. 

"Siapa yang bisa melakukan hal seperti itu?" tanya seseorang. 

"Penderita sizofrenia tentu saja," jawab dr. Stein. 

Bukan hanya mayat dan tulang-tulang yang ditemukan di ruang bawah tanah itu. Ada bermacam-macam perhiasan, pakaian, dan tali yang melilit leher ketiga mayat yang ditemukan hari itu. Semua itu ada gunanya untuk menentukan sebab kematian, mengenali korban, dan mungkin juga menghukum pembunuhnya.

 

Cerita Panjang lebar 

Pemeriksaan kesehatan juga dibantu oleh beberapa ahli gigi dan ia berharap kartu keterangan gigi yang dilampirkan pada laporan orang-orang yang hilang itu akan bisa membuktikan identitas korban. Pada saat itu ia tidak tahu beberapa mayat yang akan ditemukan. 

Hari itu, 22 Desember, Gacy ditanyai lama sekali. Penemuan mayat dan bagian-bagian tubuh lain pada malam sebelumnya membuat Gacy menyadari bahwa ia tak dapat memungkiri keterlibatannya dalam pembunuhan-pembunuhan itu. Ia mulai berbicara .... 

Sejak menjadi dewasa, John Wayne Gacy Jr. bercita-cita untuk menjadi tokoh dalam dunia bisnis, tetapi tingkah laku seksualnya yang aneh membuatnya tidak bisa mencapai ambisinya. 

Setelah polisi mengetahui tentang hukuman yang pernah dijatuhkan kepadanya karena melakukan sodomi di Iowa dan belakangan pembunuhan laki-laki remaja di daerah Chicago karena menolak ajakan untuk berhubungan seksual, mereka bertanya apakah ia seorang homoseksual. Dia mengakuinya terus terang, meskipun ia telah menikah dua kali dan menjadi ayah dari dua orang anak. 

Bicaranya mulai berani. Dia tahu bahwa ada beberapa jalan baginya untuk menghindari hukuman; dia bisa menyatakan diri gila sementara. Seorang pengacara yang baik akan membebaskan dia. Jadi, sebaiknya dia menceritakan itu semua. 

Ketika ditanyai oleh polisi, Gacy mengakui bahwa selama tiga tahun belakangan ini dia telah membunuh 32 pria remaja dan pria muda, setelah mereka dipaksa melakukan hubungan seksual yang tidak normal. Dari 32 korban itu, 27 dikubur di tanah miliknya, 1 di bawah lantai beton garasinya, dan 5 lainnya, termasuk Robert Piest, dibuang dengan cara-cara lain. Mayat Robert dibuang di Sungai Des Plaines, tidak jauh dari Joliet. 

Ketika ditanya lagi di mana yang lain disembunyikan, Gacy menggambarkan diagram dari tanah miliknya dengan rapi, lalu menandai tempat-tempat di mana ia telah menguburkan ke-27 mayat tersebut. Kebanyakan di ruang bawah tanah tadi, 1,25 m di bawah rumah. 

Ia memberikan nama dari keenam korban dan ia diperlihatkan 2 foto dari arsip orang-orang yang hilang. Ia tidak mengetahui nama mereka, meskipun mereka termasuk korbannya. Dia menandaskan bahwa mereka tidak termasuk nama enam korban yang telah disebut sebelumnya.

 

Disumpal dengan pakaian dalam 

Keesokan harinya, 23 Desember, polisi mulai memeriksa tanah miliknya. Kertas-kertas, dompet, dan barang-barang milik pribadi lainnya dari laki-laki yang hilang di daerah Chicago ditemukan. Ada yang di dalam rumah, di gudang, dan juga di gudang bawah tanah. 

Sementara itu dr. Stein dan para pembantunya mulai melakukan autopsi pada mayat-mayat yang telah ditemukan dan berusaha untuk mengenalinya. 

Dalam pemeriksaan korban Gacy itu dr. Stein dan para pembantunya menggunakan foto gigi, sinar X, dan peralatan lain untuk mengenali identitas dan menentukan sebab-sebab kematian. 

Penyidikan dihentikan pada tanggal 24 dan 25 Desember untuk libur Natal. Tetapi pagi-pagi tanggal 26 Desember polisi, petugas kesehatan, dan yang lainnya kembali bekerja. Para penyelam juga memeriksa Sungai Des Plaines beberapa kilometer sebelah selatan Joliet, di mana Gacy mengatakan telah membuang mayat Robert Piest. 

Menurut beberapa pemeriksa, banyak orang di Norwood Park menganggap Gacy orang yang menyenangkan. Ia senang menghibur anak-anak. Dia mempunyai 2 setel pakaian badut yang dirancang sendiri. Dia mengenakannya ke pesta anak-anak atau pesta amal. Kebanyakan orang yang mengenalnya suka padanya. 

Empat mayat lagi ditemukan di kolong bawah tanah. Seperti tiga yang ditemukan sebelumnya, pakaian dalam dan lap disumpalkan ke dalam mulut mereka. Ini menjadi ciri khas korban Gacy. Pada bulan November 1978, beberapa minggu sebelum Gacy dituduh melakukan pembunuhan, seorang remaja ditemukan di Sungai Des Plaines, dengan pakaian dalamnya disumpalkan ke mulutnya.

Sheriff penyidik mencoba untuk mengenali laki-laki yang dibuang ke sungai itu dan meminta foto gigi dari orang tuanya ketika ia dilaporkan hilang. Setelah ia diangkat dari sungai, foto itu dibandingkan dengan giginya dan memang cocok. Baru belakangan, setelah Gacy ditahan karena pembunuhaan Robert Piest, ia mengakui membunuh laki-laki tersebut. 

Pada hari Rabu, 27 Desember, dimulai penggalian dengan menggunakan diagram yang ditandai oleh Gacy, di mana ia telah mengubur 27 korbannya. Suatu tempat yang banyak mayatnya adalah ruang bawah tanah di bawah bangunan sebelah timur laut. 

Galian yang seperti parit di dalam ruang bawah tanah itu tampaknya telah dipersiapkan lebih dahulu. Ternyata dugaan itu benar ketika seorang laki-laki remaja mendekati seorang penyidik di tempat kejadian. Gacy telah mengupah dia untuk menggali parit sedalam 60 cm di ruangan bawah tanah itu, katanya. 

Kebanyakan dari mayat itu disiram dengan kapur supaya cepat rusak. Beberapa hanya tinggal sisa-sisa kerangka, beberapa yang lain tulang-tulangnya sudah terlepas dari kerangka. Kebanyakan tengkoraknya masih lengkap. Dr. Stein dan pembantunya mengatur kembali tulang-belulang itu menjadi kerangka. 

Pada hari itu, delapan mayat lagi ditemukan di bawah rumah Gacy.

 

John bekerja pada John 

Sementara itu pemeriksa kesehatan telah menyelesaikan beberapa autopsi dan mereka menemukan bahwa kebanyakan korban mati karena dicekik. Beberapa dengan tangan, beberapa lagi dengan mengikat leher erat-erat dengan tali. 

Kata seorang penyidik, "Kebanyakan tengkoraknya masih lengkap dan hanya satu yang mempunyai gigi yang baik. Yang lainnya semua memerlukan perawatan gigi, syukurlah." 

Alasannya, orang yang memerlukan perawatan gigi yang rumit akan mempunyai foto gigi yang mudah dibedakan dan itu akan membantu untuk mengenali mereka. 

Penyidik mengatakan bahwa tampaknya korban-korbannya yang pertama dikuburkan dalam beton, satu di lantai garasi dan dua dilapisi semen di lantai ruang bawah tanah. Untuk alasan-alasan tertentu, Gacy tidak lagi memakai semen dan memutuskan untuk menggali parit di dalam ruang bawah tanah. Parit-parit itu hanya beberapa kaki dalamnya. 

"Ketika paritnya penuh, ia menjadi bingung. Ia mulai membuang mayat ke sungai, padahal itu akan lebih mudah ketahuan." 

Gacy mengaku membuang lima dari korbannya ke Sungai Des Plaines, termasuk Robert Piest yang menghilang dan menjadi permulaan penyidikan besar-besaran ini. 

Hari Kamis, 28 Desember, empat mayat ditemukan lagi dalam ruang bawah tanah, dan atas petunjuk dr. Stein dipindahkan ke rumah mayat setempat. 

Dari hasil perbandingan foto gigi dapat dipastikan bahwa anak muda yang diangkat dari sungai pada bulan November ialah John Butkovich yang menghilang pada tanggal 31 Juli l975. John bekerja pada seseorang yang bernama John Wayne Gacy, tetapi ia berhenti sebulan sebelum menghilang. Gacy tidak membayar upahnya dan pada hari terakhir bulan Juli ia berkata kepada orang tuanya bahwa ia akan mengunjungi Gacy untuk mencoba meminta bayarannya. Ia tak pernah kembali. 

Kepada polisi ia dilaporkan hilang. Orang tuanya mencurigai Gacy karena dua hal. Sang ayah pemilik beberapa bangunan yang disewakan dan pernah meminta kepada beberapa kontraktor agar mengajukan tawaran untuk membangun. Gacy mengajukan tawaran, tetapi ia tidak mendapat pekerjaan itu. Kemudian John bekerja pada perusahaan kontraktornya. 

Orang tuanya tak pernah mengetahui mengapa John berhenti bekerja. Mereka juga tak pernah mengetahui apakah John berhasil mendapatkan upahnya. Ayahnya melapor, tetapi seorang polisi yang tidak dikenal namanya mengatakan bahwa mungkin John lari. Ia menceritakan tentang Gacy kepada polisi, tetapi tidak ada kabar beritanya. Ayahnya menelepon Gacy. 

"Saya bertanya apakah polisi telah menghubunginya. Ia selalu mengatakan tidak. Ia senang andaikata bisa menolong saya," katanya. Ibu anak itu sekarang duduk menangis di kursi ruang tamunya. 

"Semua orang seharusnya tahu tentang nasib anak-anaknya," katanya. "Setiap orang yang merasa mungkin anaknya ada di sana, haras mengetahuinya dengan pasti." 

"Di sana" yang dimaksudkan adalah rumah Gacy. Sejak penyidikan itu dimulai, mereka mengharapkan kabar buruk. 

"Lebih baik mendapat kepastian," kata ayahnya.

 

Sama sadisnya 

Sudah 22 mayat ditemukan selama ini. Menurut catatan polisi, ini jumlah korban terbesar yang dihubungkan dengan seorang pelaku. Sebelumnya ada seorang yang bernama Herman W. Mudgett yang lebih senang memakai nama H.H. Holmes. Dia mencapai gelar dokter di Michigan dan memiliki sebuah rumah di Gilmanton, New Hampshire, di mana satu dari paling sedikit empat istrinya menunggu dia. Tetapi ia lebih senang tinggal di Chicago. Di sana ia membangun sebuah bangunan berlantai tiga yang aneh, yang kemudian dikenal sebagai Istana Holmes. 

Pada tahun 1893, ada iklan yang mencari para wanita muda untuk pembantu rumah tangga dan pembantu laboratorium. Beberapa diterima dan mereka tak pernah terlihat lagi. Di laboratoriumnya di lantai tiga ada sebuah meja di mana tubuh-tubuh itu dibedah. Tulang-tulangnya diluncurkan ke ruang bawah tanah, ke dalam tong yang berisi asam sehingga larut. 

Orang yang mengaku dirinya dr. Holmes ini pertama kali mengalami kesulitan ketika ia mencoba untuk mengambil asuransi dari seorang pria yang dibunuhnya. Seorang detektif dari Pinkerton menguntit Holmes, istrinya, tiga anaknya dari tiga istri tak sah (masing-masing tidak tahu-menahu adanya istri yang lain) ke bagian kota di Amerika dan Kanada. 

Detektif akhirnya menangkap dr. Holmes dan dia diadili karena melakukan pembunuhan di Philadelphia. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum gantung pada tahun 1896. Ada bermacam-macam tafsiran tentang jumlah korban yang telah dibantainya. Menurut yang berwajib, jumlah yang paling mendekati kebenaran adalah antara 15 dan 29. 

Pada tahun 1973, Elmer Hensley (17) membawa polisi Houston ke tiga kuburan di Texas di mana 17 laki-laki dan remaja dimakamkan. Hensley mengatakan kepada polisi bahwa ia telah membunuh Dean Corll (33) untuk membela diri. Dia dibebaskan, tetapi kemudian dituntut karena 27 pembunuhan padahal sebelumnya ia telah menuduh Corll sebagai dalangnya. Dia dijatuhi hukuman penjara 594 tahun. (Di AS orang memang bisa dijatuhi hukuman ratusan tahun, Red.) 

Belakangan Hensley naik banding. Pada tanggal 20 Desember 1978 pengadilan tinggi membatalkan hukuman dan memerintahkan untuk melakukan pengadilan ulang. Ini terjadi sehari sebelum mayat pertama yang berhubungan dengan Gacy ditemukan. Tetapi pengadilan ulang Hensley sekali lagi menjatuhkan hukuman karena 27 pembunuhan.

 

Robert Piest no. 33 

Penyelidikan di ruang bawah tanah di bawah rumah Gacy berjalan terus pada hari Jumat, 29 Desember. Para wartawan yang berada di sekeliling rumah mencatat sedikit dari sana-sini, tetapi terutama mereka menunggu berita dari pemeriksa kesehatan.

 "Bapak-bapak," kata dr. Stein kepada para wartawan ketika dia keluar malam itu, "saya membawa kabar buruk. Enam mayat lagi telah digali." 

Menurut dr. Stein ada petunjuk adanya kerangka lain di parit-parit sepanjang tembok selatan. Daerah ini belum diselidiki. Seperempat bagian dari ruang bawah tanah itu juga belum. 

Pemeriksa kesehatan itu juga menambahkan bahwa dua dari enam mayat yang diketemukan hari itu berada dalam satu parit, yang satu di atas yang lain, rupanya keduanya dikuburkan pada waktu yang sama. Dr. Stein mengatakan bahwa sebelumnya sudah pernah dijumpai kasus serupa, dua mayat ditumpuk dalam satu lubang. Pembunuhnya takut kehabisan tempat. 

Sementara penggalian berjalan terus, Dr. Lawrence Freedman, profesor psikiatri di Universitas Chicago mengatakan bahwa orang cenderung untuk mempunyai gambaran tertentu dari seorang pembunuh masal. Itu tidak benar. 

"Pembunuh seperti itu tidak selalu mempunyai tampang mengerikan," kata Dr. Freedman, yang mengkhususkan diri dalam bidang kekerasan. 

Gacy, misalnya digambarkan oleh para tetangganya sebagai seorang yang ramah, suka bekerja keras, dan seorang pengusaha yang terkenal suka menghibur anak-anak sambil berpakaian badut. "Seseorang yang melakukan kejahatan dengan kekerasan tidak selalu orang yang kelihatan berbahaya, dan tampak sebagai pembunuh," kata Dr. Freedman. 

"Di samping keadaan jiwa yang cenderung tidak seimbang, orang yang melakukan pembunuhan masal sering kali mengharapkan pujian orang. Itu sesuai dengan pribadi Gacy." 

Karena Gacy mengatakan kepada polisi bahwa ia membunuh 33 laki-laki-muda dan remaja, para penyidik berunding dengan pengacara Bernard Carey dan diputuskan bahwa pencarian mayat akan diteruskan sampai semuanya ditemukan, atau sampai yang lain tak dapat ditemukan. 

Pencarian berjalan terus. Baru pada hari Jumat, 16 Maret, ditemukan mayat yang ke-29, di kolong rumah Gacy yang masih berdiri. Beberapa kali hakim memerintahkan untuk merobohkannya, tetapi keputusan dibatalkan lagi oleh hakim yang lain. Hal ini berjalan terus sampai tanggal 3 April, ketika rumah itu tinggal sebesar "kulit kerang". Kemudian pada hari Selasa, 10 April, bagian terakhir dirobohkan. Dalam beberapa hari seluruh rumah itu lenyap. 

Penggalian di jalanan mobil rumah Gacy dan di bagian lain dari tanah miliknya itu tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi pencarian akan diteruskan sampai satu mayat lagi - yang ke-33 - ditemukan. 

Sementara itu orang-orang yang memeriksa Sungai Des Plaines tetap bekerja mati-matian. Mereka sampai pada bagian Sungai Illinois, dekat Morris. 

Di sini mereka menemukan mayat no. 33. Dengan menggunakan sinar X dan foto gigi, tubuh itu dikenali sebagai Robert Piets, yang hilang pada tanggal 11 Desember. la ditakdirkan untuk menjadi awal pencarian mayat terbesar yang pernah dilakukan di daerah Chicago. 

Pada hari Sabtu, 14 April, keluarga Robert mengumumkan bahwa untuk mengenang Robert akan didirikan sebuah yayasan. Orang tua Robert, anggota keluarganya yang lain, pengacara keluarga, dan anggota polisi Des Plaines hadir saat pengumuman itu dibacakan. 

"Yayasan ini didirikan dengan maksud memberi bantuan kepada perorangan, organisasi, atau usaha yang dilakukan untuk mengurangi kejahatan terhadap anak-anak." Beberapa penduduk dan perusahaan setempat juga menjanjikan sumbangan. 

Setelah masuk rumah sakit penjara Cook County karena keluhan sakit dada John Wayne Gacy Jr. dipindahkan ke bangsal yang mempunyai penjagaan khusus di penjara setempat pada tanggal 1 Juli 1979. Ketika tulisan ini dibuat pada bulan Februari 1980, dia masih di sana menunggu tindakan hukum selanjutnya.

 (W.T. Brannon)

" ["url"]=> string(59) "https://plus.intisari.grid.id/read/553305971/badut-pembunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278254000) } } [15]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304472" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/bayangan-pembunuh-berantai_rene-20220603020701.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Dalam beberapa bulan terjadi pembunuhan berantai yang meresahkan di Singapura. Semua korbannya wanita, kedua belah tangannya lenyap dibuang." ["section"]=> object(stdClass)#180 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/bayangan-pembunuh-berantai_rene-20220603020701.jpg" ["title"]=> string(26) "Bayangan Pembunuh Berantai" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:07:49" ["content"]=> string(43159) "

Intisari Plus - Dalam beberapa bulan terjadi pembunuhan berantai yang meresahkan di Singapura. Semua korbannya wanita, mereka tidak diperkosa namun kedua belah tangannya lenyap dibuang.

-------------------------

Miss Savi Moorthy, wanita warga negara Singapura keturunan India, mengajar di sekolah menengah bergengsi, Mount Emily Girls' School di republik pulau itu. Karena apartemennya jauh dari Mount Emily, terpaksa Miss Moorthy berangkat ke tempat kerjanya pagi-pagi sekali. Tidak heran kalau ia tidak pernah sempat membaca koran.

 

Korban ketujuh

Senin pagi ia belum tahu kalau Pembunuh Berantai yang belakangan meresahkan penduduk Singapura sudah berhasil memakan satu korban lagi. Jadi, pembunuh misterius ini selama enam bulan terakhir sudah mencabut nyawa tujuh orang. 

Korbannya semua wanita bujangan yang berhasil dalam karier. Mereka tidak diperkosa, tetapi kedua belah tangannya selalu lenyap dibuang.

Miss Moorthy baru tahu perihal korban ketujuh itu ketika tiba di ruang guru di Mount Emily Girls' School. Suasana mencekam meliputi guru dan murid, sebab korban si Pembunuh Berantai adalah Miss Ngui, salah seorang guru di sekolah mereka!

"Evelyn Ngui?" tanya Miss Moorthy tidak percaya. Terbayang olehnya Miss Ngui yang tertutup dan tidak pernah mau membeli majalah wanita, tetapi selalu meminjam dari teman. "Saya harus menabung untuk menikah," begitu alasannya.

Mengingat hal itu, Miss Moorthy merasa aneh. Miss Ngui rasanya bukan termasuk wanita karier yang biasa dijuluki ‘berhasil’. Apakah Pembunuh Berantai sekarang sudah meluaskan pilihannya?

Jenazah Miss Ngui ditemukan di Fort Canning yang sepi di malam hari. Ia diperkirakan dibunuh di tempat itu dan di malam itu juga.

Kepala sekolah berpendapat, apa pun yang terjadi, sekolah mesti berjalan seperti biasa. Jadi para orang tua dikabari dan para guru mendapat tugas tambahan untuk secara bergilir menggantikan tugas Miss Ngui.

Pada jam istirahat, Miss Moorthy menelepon pacarnya. Mayor dr. Anthony Tan, ahli patologi forensik di Singapore General Hospital. Ternyata Anthony sedang tidak ada di kantor maupun laboratoriumnya. 

Miss Moorthy ingin mengetahui reaksi David Kwa, teman Anthony yang pernah menjadi pacar Evelyn Ngui. Setahu Miss Moorthy, David Kwa sangat terpukul ketika Evelyn Ngui memutuskan hubungan tiga bulan lalu.

Miss Moorthy merasa tergoda untuk menelepon David di rumahnya. Dicarinya nomor telepon pria itu. "David sedang tidak bisa menerima telepon. Siapa ini?" jawab seorang wanita dengan ketus. 

Miss Moorthy mengenali suara Ny. Wee, ibu David. Ia kenal wanita itu, karena pernah beberapa kali diajak Anthony ke rumah David. Tadinya ia berniat memperkenalkan diri, tetapi akhirnya ia cuma berkata, "Nanti saja saya telepon kembali. Terima kasih." Di ujung sana, Ny. Wee mengira peneleponnya wartawan.

Akhirnya, bisa juga Miss Moorthy menghubungi Anthony. "Tadi untuk pertama kalinya aku memeriksa mayat orang yang aku kenal," cerita Anthony yang ketika ditelepon sedang bersama Ny. Wee. Wanita itu kebingungan setengah mati karena anaknya yang cuma semata wayang itu mengunci diri saja di kamar.

"Nanti sore aku akan ke sana," kata Anthony. "Kau ikut, Savi?" Tentu saja Miss Moorthy mau. 

Setahu Miss Moorthy, Anthony sebetulnya tidak begitu cocok bergaul dengan David yang cengeng dan perajuk, walaupun baik hati. 

Namun, karena orang tua Anthony dulu bersahabat dengan orang tua David, sejak kecil mereka sering disuruh bermain bersama-sama. Apalagi setelah ibu-bapak Anthony meninggal bersama ayah David dalam kecelakaan perahu.

 

Tamu tidak diundang

Ny. Wee sangat sayang kepada putranya. Repot sekali ia menyambut Anthony dan Miss Moorthy. Ketika Anthony naik ke kamar David, Miss Moorthy disuguhi sekoteng yang lezat. Ny. Wee hidup lumayan makmur berkat usaha kantin di sebuah sekolah politeknik. 

Miss Moorthy melihat sebuah piagam dari sekolah tersebut dipajang di dinding, bertuliskan: Penghargaan untuk Ibu Wee Siew Cheng, Juli 1988.

"Kasihan gadis itu," kata Ny. Wee. "Tadinya aku pikir, dia tidak cocok untuk David. Tapi akhirnya, yaah ... kami bisa cocok juga. Aku kaget waktu David tiba-tiba bilang mereka sudah memutuskan hubungan."

Dalam perjalanan pulang, Anthony bercerita bahwa David menderita shock. Anthony memberinya obat penenang. David menceritakan bahwa ia putus hubungan dengan Evelyn Ngui gara-gara ada pria lain. Ia tidak tahu pria itu. 

Evelyn menyebutnya ‘Stevie’. David berharap, suatu ketika nanti Evelyn akan kembali kepadanya, sebab pria itu beristri. Ternyata Evelyn memang meminta hubungan mereka disambung kembali, tidak lama sebelum meninggal.

"Hah!" seru Miss Moorthy tidak percaya. "Miss Ngui ingin kembali kepada David? David kan bukan pria menarik!"

Malam itu Miss Moorthy sendirian saja di apartemennya, di tingkat tiga Gedung Greenleaf Lodge. Teman seapartemennya, Connie Chye, belum pulang. Tengah malam Miss Moorty terbangun. Apartemennya gelap. Tiba-tiba ia kaget, karena dilihatnya pintu kamarnya terbuka. 

Miss Moorthy merinding melihat bayangan asing muncul dari celah pintu. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, pintu depan terbuka. Rupanya Connie pulang. Bayangan itu menyelinap masuk ke kamar Miss Moorthy.

Terdengar bunyi ‘klik’ beberapa kali. Rupanya Connie mencoba menyalakan lampu, tetapi tidak berhasil.

“Savi...," begitu kedengaran suara Connie. "Kau baik-baik saja?" Miss Moorthy tidak menjawab. Kerongkongannya kering kerontang. "Sialan! Sekring putus lagi!" gerutu Connie. Suaranya aneh. Apakah ia menyadari ada sesuatu yang ganjil? 

"Minum dulu, ah!" suara Connie pula, seperti orang mabuk. Kedengaran gelas berdenting dengan botol di dapur. Bayangan di kamar Miss Moorthy menyelinap ke luar.

Sambil menahan rasa tegang, Miss Moorthy bangkit lalu merayap ke luar. Ruang duduk lebih terang, sebab cahaya lampu jalan menembus kaca jendela. Miss Moorthy melihat seorang pria menuju ke dapur. 

Miss Moorthy lantas menyambar sepotong bata di ruang duduk. Di situ memang ada setumpuk bata dan beberapa lembar papan. Rencananya, bata dan papan itu akan disusun agar menjadi rak buku darurat, tetapi belum keburu.

Ia segera ikut masuk ke dapur. Tiba-tiba cahaya lampu senter menyorot ke arah pria itu dan Miss Moorthy. Pria tak diundang itu berbalik dan langsung berhadapan dengan Miss Moorthy. Serta merta Miss Moorthy mengayunkan bata dengan kedua belah tangannya ke wajah pria itu. Berbarengan dengan ayunan Miss Moorthy, Connie menghantam belakang kepala pria itu dengan batu bata pula! Pria itu roboh.

Connie dan Miss Moorthy segera menelikung tangan dan kaki pria itu dengan kabel rice cooker dan kabel pengisap debu. Lalu, Connie menelepon polisi.

"Aku curiga. Jadi aku pura-pura ke dapur sambil menyambar batu bata dan senter," cerita Connie.

Sehabis menangkap tamu tidak diundang, keduanya tidak bisa tidur, sehingga mereka mengobrol tentang Miss Ngui.

 

Enam bukan tujuh

Keesokan harinya, seperti biasa Miss Moorthy mengenakan sarinya dan pergi bekerja. Di kantor ia malas bercerita perihal kejadian semalam. Apalagi ia segera ke bagian tugas menghadapi Ny. Chan yang terkenal rewel. 

Seperti biasa, Ny. Chan yang konon bekas ratu kecantikan di Hongkong itu hendak memprotes nilai yang diperoleh putrinya, Sybil.

Sybil yang bertubuh besar dan lumayan cantik itu termasuk murid pandai, tapi anehnya ia tidak pernah mau berbicara sejak beberapa tahun lalu.

Miss Moorthy pernah sekali melihat ayah Sybil. Pria ahli kandungan dan kebidanan terkemuka itu bertubuh kecil. Di samping istrinya yang tinggi besar, ia kelihatan seperti anak laki-laki yang sangat tahu aturan atau pelayan yang terdidik dengan baik. Miss Moorthy sampai geli mengingatnya.

Setelah meladeni Ny. Chan, Miss Moorthy mulai mengajar seperti biasa. Sorenya, ketika dalam perjalanan pulang, di stasiun kereta api bawah tanah, terbaca olehnya headline The New Paper. Bunyinya: "Pencekik Dibekuk". Miss Moorthy menghela napas.

Dengan mengantuk Miss Moorthy menaiki tangga ke apartemennya. Alangkah herannya dia melihat wartawan mengerubungi tetangganya, Ny. Chew. Lalu, wartawan itu berbalik ke arahnya untuk berebut memotretnya. 

Miss Moorthy tercengang. Baru beberapa saat kemudian ia tahu, bahwa Connie dan dia semalam meringkus Pencekik Beruntun!

"Astaga!" pikir Moorthy. "Orang yang penampilannya biasa begitu kok bisa jadi pembunuh tujuh wanita!" 

Malamnya, Mayor dr. Anthony Tan datang. Mereka mengobrol tentang Pembunuhan Berantai. Menurut penuturan Anthony, jahanam berumur 38 tahun itu penganggur dan pernah berurusan dengan polisi. Sekali karena memperkosa dan sekali karena kencing di lift.

Dalam menjalankan kejahatannya, ia pernah berpura-pura menjadi wartawan dan mahasiswa kedokteran. Terakhir kalinya ia bekerja pada seorang wanita karier bernama Vivien Chee. Tapi karena ketahuan menggelapkan uang, ia diancam majikannya akan dimejahijaukan. Vivien Chee lantas menjadi korban pertama. Tidak ada orang yang mengaitkan kematian wanita itu dengan si karyawan, sebab para korban lain segera berjatuhan.

Mengapa ia membunuh berulang-ulang dan memotong tangan korban-korbannya? Penjelasan tentang ini simpang siur. Antara lain ia mengaku ingin membuat si wanita tidak berdaya, sebab katanya, wanita selalu menindas pria. The New Strait Times menulis bahwa si Pencekik tidak memberi keterangan berbelit-belit. Ia menunjukkan tempat menyembunyikan tangan semua korbannya.

Ada keterangan lain yang didapat Miss Moorthy. Menurut berita yang diperoleh Anthony, si Pencekik tidak membunuh Evelyn! "Pihak imigrasi membenarkan bahwa ia tidak berada di Singapura sejak Jumat malam sampai Senin pagi," cerita Anthony kepada Miss Moorthy. "Ia berada di Malaysia, sebab diam-diam ia mempunyai istri dan tiga anak di Johor."

Selain itu, kata Anthony di tempat tangan-tangan korban disembunyikan, cuma dijumpai enam pasang tangan. Semuanya kini berada di laboratorium Anthony.

"Evelyn dicekik dengan tali. Korban lain dengan tangan telanjang," kata Anthony membocorkan keterangan kepada pacarnya. "Enam pasang tangan korban sebelumnya dibacok dengan kasar, tapi tangan Evelyn dilepaskan oleh seseorang yang sedikit banyak mengenal anatomi."

"Mungkin si Pencekik sudah lebih terampil," gugat Miss Moorthy.

“Mana bisa mendadak! Itu sih pekerjaan dokter atau jagal," bantah pacarnya. "Ada hal lain," sambung Anthony pula. "Evelyn hamil tiga bulan."

 

Boneka kelinci lenyap 

Karena dikejar-kejar wartawan, Miss Moorthy tidak segera pulang sehabis sekolah usai. la tetap tinggal di ruang guru, sambil membenahi raknya. Perhatiannya tertarik pada sebuah boneka kelinci berwarna biru putih di rak Miss Ngui. 

Setahu dia Miss Ngui bukanlah sejenis orang yang suka benda-benda semacam itu. Di rak itu juga ada mantel kuning yang kadang-kadang di pakai almarhumah, dan sebuah kotak. Selama ini tidak ada orang yang ingat pada benda-benda peninggalan Miss Ngui.

Isi kotak begitu biasanya bukan rahasia. Jadi Miss Moorthy merasa terkejut ketika di dalamnya ia menemukan buku tabungan milik almarhumah. Di dalam buku itu terselip cek yang sudah ditandatangani Miss Ngui, tetapi nama penerima tidak ditulis. 

Jumlah tabungan sejak awal normal saja, tetapi pemasukkan terakhir sangat besar jumlahnya. Yang lebih mencengangkan ialah isi sebuah amplop tebal. Di situ terdapat enam buah foto berwarna yang menggambarkan Evelyn berdua dengan seorang pria berumur. Sikap mereka jelas bukan seperti bapak dan anak. Pria itu serasa tidak terlalu asing bagi Miss Moorthy. Siapa, ya?

Tiba-tiba Miss Moorthy merasa ada orang di belakangnya. Ia menoleh. Sybil Chan! Segera Miss Moorthy ingat pria di foto itu. Ya, pria itu ayah Sybil, dr. Chan!

"Kenapa kau belum pulang, Sybil?" tanyanya seraya membenahi foto. Seperti biasa anak itu tidak menjawab, cuma memberi isyarat ia enggan pulang seraya memandang boneka kelinci dengan penuh minat.

Buru-buru Miss Moorthy membungkus foto tersebut dan menaruhnya kembali ke rak. Sebuah benda kecil jatuh. Miss Moorthy cepat memungutnya untuk dimasukkannya ke saku, lalu digiringnya Sybil ke luar. Entah mengapa, ia menaruh simpati kepada anak itu.

Sore hari, ketika Miss Moorthy membuka sarinya, jatuh benda kecil yang tadi dipungutnya di ruang guru. Ternyata benda yang berasal dari kotak Miss Ngui itu sebuah kantung kecil. Di dalamnya ada sebuah cincin emas bermata hijau bulat. Cincin itu sederhana, kuno, dan jelek. Di bagian dalamnya tertulis: S.C 20 April.

Hati Miss Moorthy terkesiap. "S.C. Stephen Chan! Ayah Sybil!" pikirnya. "Kok dokter ahli kandungan sebeken itu membeli cincin sejelek ini. Apa uangnya semua dipegang oleh istrinya yang galak itu?" Cincin itu begitu kecilnya sampai tidak muat di kelingking Miss Moorthy. Pasti di Evelyn Ngui pun tidak muat, sehingga tidak dikenakan. Teringat pada jari Evelyn yang raib entah ke mana, hati Miss Moorthy jadi kecut.

Keesokan harinya Miss Moorthy memberi tahu kepala sekolah bahwa Miss Ngui meninggalkan sesuatu di rak. Kepala sekolah tidak tahu barang-barang itu harus dikemanakan sebab 

Miss Ngui tidak mempunyai sanak saudara di Singapura. Mereka bengong ketika melihat pemasukan terakhir di tabungan Miss Ngui. Dua puluh ribu dolar! Kepala sekolah memutuskan untuk menyerahkannya kepada polisi.

Saat melapor kepada kepala sekolah, Miss Moorthy sudah mengangkat foto-foto Miss Ngui. la khawatir murid-murid ribut mengetahui Miss Ngui berpacaran dengan ayah Sybil.

Namun yang mengagetkan Miss Moorthy adalah: kelinci biru sudah lenyap. Apakah Sybil yang mengambilnya?

 

Bertengkar di restoran

Miss Moorthy menceritakan semua yang didengarnya dari Anthony kepada Connie, karena teman seapartemennya itu bisa dipercaya.

"Ooh! Jadi pembunuhnya bukan si Pencekik Beruntun? Kok tidak dimuat di koran," komentar Connie. 

"Mungkin dirahasiakan. Atau polisi tidak percaya pada keterangan Anthony sebagai ahli forensik." 

"Jadi siapa dong pembunuhnya?" 

"Stephen Chan, karena Evelyn hamil!" jawab Miss Moorthy. "Uang 20.000 dolar itu ia terima sebagai uang tutup mulut tidak lama sebelum meninggal."

Connie menggugat, "Kalau mulutnya bisa ditutup dengan uang, buat apa ia dibunuh?”

"Mungkin karena Evelyn tidak mau uang. Ia ingin Stephen Chan. Istrinya tahu atau tidak, ya? Kalau istrinya tahu, pasti istrinya yang membunuh."

Lalu Connie menambahkan. "Atau mungkin temanmu, si David itu. Dia kan mengharapkan Evelyn kembali kepadanya, tetapi ternyata tidak."

Rupanya bukan cuma Anthony sendiri yang mengira pembunuh Evelyn bukan si Pembunuh Berantai. Buktinya David diinterogasi polisi. Anthony merasa bersalah, sebab gara-gara keterangan sebagai ahli forensik, temannya mendapat kesusahan.

David dicurigai, karena pada malam sebelum Evelyn dibunuh, sejumlah pelayan dan tamu Restoran Jack's Place menyaksikan David bertengkar dengan Evelyn. Menurut pelayan bernama Johannie Tan (22), wanita yang makan bersama David marah, lalu menangis, dan keluar dari restoran. la terakhir kelihatan menelepon dari lobi.

Ibu David, Ny. Wee, memberi kesaksian bahwa putranya tinggal bersamanya di rumah sepulang dari restoran. Namun, David bukan pendusta ulung. la tidak mampu memberi keterangan yang cocok.

Menurut versi David, sepulang dari restoran ia berjalan-jalan sendirian, lalu menonton di Bioskop Cathay, juga sendirian. Barulah ia pulang ke rumah. Seluruhnya makan waktu tiga jam.

Walaupun diketahui suka keluyuran sendiri dan bisa menceritakan film yang diputar hari itu di Cathay, ia tetap dicurigai.

Namun David tidak ditahan. Miss Moorthy membujuk Anthony agar mengajak David makan malam bersama mereka, untuk menghibur hatinya. Soalnya, David sangat grogi. Untung, ibunya tabah dan melindungi anaknya bagai induk macan. "Jangankan membunuh manusia. Membunuh kepiting pun ia tidak tega," kata Ny. Wee.

David kehilangan gairah hidup dan nafsu makan. Dari percakapan di restoran ketahuanlah bahwa Evelyn lahir di tahun kelinci, tetapi tidak suka kelinci. David tidak tahu-menahu perihal boneka kelinci di rak Miss Ngui. Polisi memberi tahu David perihal isi buku tabungan Evelyn, tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya 20.000 dolar itu.

"Tak mungkin dari keluarganya. Mereka miskin dan Evelyn tidak akur dengan keluarganya. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai dan meninggalkan Singapura. Evelyn tidak mau ikut dengan mereka. Ia tinggal menumpang pada Jek."

"Siapa Jek?" tanya Miss Moorthy. David segan menjawab. Katanya, Evelyn tidak mau orang tahu tentang Jek, yang semula diakuinya sebagai sepupunya. "Jek itu bencong," kata David. "Ia pelukis.”

David tidak tahu dengan jelas perihal pacar baru Evelyn, kecuali bahwa pria itu dipanggil Stevie, beristri, kaya, dan mengendarai Mercedes. "Stephen Chan!" seru Miss Moorthy. "Ia dokter ahli kandungan dan kebidanan terkemuka."

"Kalian bertengkar soal apa sih Sabtu Malam di Jack's Place?" tanya Miss Moorthy.

Kata David, Evelyn mendesak agar mereka segera kawin. David meminta waktu. "Aku perlu meminta Ibu berpikir dulu, dong. Ibu mau tinggal bersama kami, atau kami tinggal bersama Ibu. Evelyn malah ngambek diberi tahu begitu." Miss Moorthy bersimpati kepada Evelyn dalam hal ini.

"Evelyn tidak punya banyak waktu untuk menunggu. Kandungannya 'kan terus membesar," kata Miss Moorthy.

"Oh, kalian tahu Evelyn mengandung, ya? Sebenarnya aku minta agar dia jangan menceritakan kepada siapa pun ...."

 

Jek suka Evie

Keesokan harinya Miss Moorthy nekat mendatangi apartemen kecil yang tidak memiliki telepon di daerah Ang Mo Kio. Menurut David, di sanalah Jek tinggal.

Walaupun bersiap-siap menemui seorang waria, tidak pernah terbayang oleh Miss Moorthy, kalau Jek Kok Kee begitu cantik. Jek mengenakan kaus oblong longgar dan celana pendek longgar. Wajahnya mirip ABG (anak baru gede) yang tak kenal dosa. Bulu matanya panjang dan lentik.

Miss Moorthy mengaku teman Evelyn Ngui. Jek menanggapi datar saja, tanpa memberi kesan percaya ataupun tidak. Ternyata ia tahu banyak tentang Evelyn. Ia tahu tentang David, bahkan juga bahwa Miss Moorthy bukan teman dekat Evelyn. "Evie menceritakan semuanya," katanya.

Akhirnya, Miss Moorthy terpaksa mengaku bahwa ia teman David. "Saat ini David dicurigai. Jadi saya ingin meminta keterangan dari Anda, barangkali Anda bisa membantu menunjukkan pembunuh Evelyn."

"Jelas bukan saya," jawab Jek, "saya menyukai Evie. Ia membantu saya."

Menurut pendapat Jek, yang paling patut dicurigai memang David. Kalau bukan David, ya Steve. Ia tidak tahu siapa Steve, kecuali bahwa orang itu kaya, suka memberi banyak uang, dan mengendarai mobil besar. Jek tidak suka pada Steve.

"Sinting orang itu," kata Jek. "Ia tidak suka Evie tinggal dengan saya dan memaksa Evie untuk pindah dari sini. Mau pindah ke mana? Ke rumahnya dan tinggal dengan anak-istrinya?"

Miss Moorthy bertanya-tanya di dalam hati, bantuan apa yang diberikan oleh Evie kepada pelukis waria itu. Rasa ingin tahunya rupanya terjawab ketika Jek memperlihatkan lukisan-lukisannya. Modelnya Evie. Jek membuat Evie tampak cantik di atas kanvas. Tapi ada pula Evie yang digambarkan sebagai karikatur yang mengerikan. Miss Moorthy bergidik.

Ketika tiba di apartemennya Miss Moorthy menceritakan temuannya kepada Connie. "Aku kira Jek itu gila. Jangan-jangan ia ayah anak Evelyn. Ia membunuh Evelyn karena tidak sanggup memikul tanggung jawab," tutut Connie.

"Tapi Connie, Jek itu kecil."

"Anthony 'kan bilang, untuk mencekik dengan tali tidak dibutuhkan tubuh besar." 

"Aku tidak berani bilang ia pembunuh Evelyn atau bukan. Tetapi percayalah kepadaku, ia pasti bukan ayah anak Evelyn."

 

David merasa membunuh 

Anthony ditelepon Ny. Wee. Katanya, David mogok makan dan tidak mau keluar kamar. Kerjanya cuma menangis. Jadi Ny. Wee meminta tolong Anthony agar datang membujuk anaknya.

"Ajak Savi, untuk makan malam sekalian di rumah kami," undangnya.

Anthony pun datang bersama Miss Moorthy. Sementara Miss Moorthy menunggu di bawah ditemani Ny. Wee, Anthony naik ke kamar David. Ny. Wee sudah menyediakan makanan semeja penuh. Miss Moorthy teringat pada peringatan Connie: "Hati-hati kau diracuni Ny. Wee, Savi! Aku sih yakin David yang membunuh Evelyn. Siapa tahu Ny. Wee menganggap kau berbahaya, karena berusaha menyelidiki. Kalau kau tidak pulang, aku laporkan ke polisi!"

Ny. Wee mengeluh David lemah. "Padahal kalau kita tabah, semuanya akan berlalu. Aku tidak tahu deh, bagaimana kalau aku sudah tidak ada," katanya.

Ketika Anthony turun, Ny. Wee memaksa mereka makan masakannya yang enak-enak. "Anthony, David sudah tidak bisa aku ajak bicara lagi," katanya. "Aku khawatir ia malah jadi gila. Sebaiknya, kau saja yang menanganinya. Aku betul-betul minta tolong, nih!" Kentara betul ia bertambah risau akan nasib putranya.

Dalam perjalanan pulang, di mobil, Anthony bercerita bahwa pikiran David kacau. David berkata, bahwa rasanya memang dia yang membunuh Evelyn!

Miss Moorthy tertegun. "Anthony, apakah betul David yang membunuh Evelyn?" 

"Aku tidak tahu, Savi." 

Miss Moorthy mengerti, Anthony mengira hal itu mungkin terjadi.

"Mengapa David berkata rasanya ia membunuh Evelyn?" tanya Miss Moorthy ketika sudah di apartemennya. Saat itu Connie pun hadir. "Aku sangsi David mampu membunuh Evelyn. Aku, Connie, dan kau Anthony, pasti mampu membunuh Evelyn kalau ada motifnya. Tapi David 'kan orang yang tidak pernah bisa bertindak tegas. Kecuali kalau ia dipojokkan ...."

Namun, tidak semua orang berpendapat bahwa David tidak mau membunuh.

 

Jek ingin bertemu

Malamnya, Anthony menelepon Miss Moorthy untuk memberi tahu bahwa ia baru saja ditelepon David. Menurut David, Jek Kok Kee meneleponnya. Jek meminta David datang ke apartemennya besok pukul 16.00, karena ada hal penting yang ingin ia sampaikan sehubungan dengan kematian Evelyn. David menyanggupi, tetapi kemudian menyesal. 

"Kalau ibuku tahu, pasti aku dilarang datang," katanya. Ia tidak bisa membatalkan janjinya, karena Jek tidak mempunyai telepon. Sebetulnya, ia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Jek. Jadi, David meminta tolong Anthony untuk mewakilinya datang.

"Savi, apakah menurut pendapatmu David akan diperas oleh Jek?" tanya Anthony.

"Rasanya susah membayangkan Jek sebagai pemeras," jawabnya. "Lagi pula bisa mendapat apa dia dari David?" lanjut Miss Moorthy.

"Anthony, rasanya lebih masuk akal kalau Jek membunuh Evelyn. Lalu ia khawatir David bisa menduganya. Karena itu ia meminta David datang untuk dibunuh. Kalau kau yang datang kau yang dibunuh. Ah, gila! Kalau kau pergi juga, aku ikut!"

Pukul 15.50 mereka tiba di muka pintu apartemen Jek. Ketika Miss Moorthy mengetuk, pintu itu terbuka sedikit. "Halo!" kata Miss Moorthy. Tak ada yang menjawab. 

Percuma Miss Moorthy memanggil-manggil. Anthony mendorong pintu. Jek kelihatan duduk bersandar ke dinding. Matanya melotot. Kedua tangannya memegang dadanya yang datar. Di celah-celah jarinya kelihatan noda darah di baju kausnya yang kotor.

"Mati," kata dr. Anthony Tan. Tubuh Jek masih hangat. "Kita mesti menunggu di sini sampai polisi datang," kata Anthony. "Di mana teleponnya, ya?"

"Dia 'kan tidak punya telepon."

Mereka terpaksa turun dengan lift ke lobi. Miss Moorthy menunggu sementara Anthony menelepon. Di gedung apartemen murah itu cukup banyak orang berlalu-lalang.

Miss Moorthy dan Anthony ditanyai polisi sampai lama sekali dan berulang-ulang sebelum boleh pergi. Ketika Anthony mengantarkan Miss Moorthy ke apartemennya, ternyata Connie sudah pulang.

"Jangan-jangan waktu kalian datang, pembunuhnya masih bersembunyi di tempat Jek," kata Connie. "Eh, Savi, waktu kau menunggu Anthony menelepon, kau melihat ada orang yang lewat tidak?"

"Banyak dong. Namanya juga di apartemen rakyat."

Lalu tiba-tiba Miss Moorthy ingat bahwa ia melihat seorang pria yang rasa-rasanya pernah ia jumpai, keluar dari lift lalu bergegas ke tempat parkir. Pria itu meluncur pergi dengan mobilnya yang berwarna putih. 

"Kau ingat nomornya?" tanya Connie bersemangat. 

"Tidak." 

"Waaaah ...." 

"Mobilnya seperti mobil menteri. Besar, bersih, putih ... Eh, aku ingat sekarang. Itu 'kan dr. Stephen Chan, ayah Sybil!" 

"Anthony," kata Miss Moorthy pula. "Kau bilang tangan Evelyn Ngui dipotong oleh orang yang sedikit banyak mengerti anatomi. Stephen Chan adalah kekasih Evelyn dan ia dokter walaupun bukan ahli bedah. Kemarin Jek meneleponnya dan kini Jek meninggal. Apa artinya?"

"Savi," kata Anthony, "jangan keburu nafsu menarik kesimpulan. Dari mana kau tahu Jek meneleponnya?"

"Kalau ia tidak ditelepon, mengapa ia ada di sana? Bisa saja dia yang membunuh Evelyn dan kini dia membunuh Jek. Aku harus berbicara dengannya."

"Kau jangan gegabah, Savi. Ia dokter terkenal. Ia pasti mempunyai pengacara. Kau bisa dituntut."

 

Ditawari uang suap 

Walaupun dilarang Anthony, Miss Moorthy nekat juga. Connie bersedia membantunya. Mereka menemui dr. Stephen Chan di kliniknya.

Miss Moorthy bertanya dengan sopan dan dr. Chan menjawab dengan tenang dan sopan juga. Ia menyangkal membunuh Evelyn Ngui ataupun Jek. Katanya, ia cuma sebulan pacaran dengan Evelyn, lalu tiba-tiba Evelyn memutuskan hubungan. 

Alasan Evelyn: ia ingin menikah dan mempunyai anak dan kedua hal itu tidak bisa diharapkan dari dr. Chan. Dokter Chan bisa memahami Evelyn, sehingga mereka berpisah baik-baik. Ia mengakui tidak pernah diperas, tidak pernah memberikan uang 20.000 dolar kepada Evelyn, walaupun beberapa kali ia pernah memberi uang karena ia senang dengan Evelyn dan karena Evelyn memerlukan bantuan. 

Evelyn bukan pengelola uang yang baik, katanya. Namun, pemberiannya paling banyak hanya 200 dolar setiap kali. Pernah dulu ia menjanjikan akan menolong Evelyn untuk belajar di Inggris. Ketika Evelyn tewas, ia menerima surat dari Jek, yang menyatakan ingin menyampaikan sesuatu perihal kematian Evelyn. 

Surat itu dialamatkan ke kliniknya. Ia terlambat datang, karena tidak bisa meninggalkan pasiennya. Ketika ia tiba, ia melihat Miss Moorthy di lobi, tetapi tidak tahu kalau Miss Moorthy berada di sana karena Jek. Ketika naik ke apartemen Jek, ia kaget mendapati Jek sudah tewas. Jadi ia buru-buru menyingkir.

Connie, Miss Moorthy, maupun Anthony merasa keterangan Stephen Chan masuk akal.

"Dia mirip David, ya. Maksudku David takut kepada ibunya. Dia takut kepada istrinya," kata Connie. "Jangan-jangan istrinya yang membunuh Evelyn dan berusaha agar kelihatannya si Pembunuh Berantai yang melakukannya. Bisa saja, 'kan ia menemukan surat Jek yang berbau pemerasan itu, lalu menghabisi Jek. Apa kau bilang senjata yang dipakai menikam Jek itu?"

"Obeng yang masih ada tempelan harganya. Barang itu dibeli di Pasar Swalayan Cold Storage."

Connie tidak terlalu ngawur, pikir Miss Moorthy. Namun, apa betul Ny. Chan bisa melakukan hal itu? Ia agak sangsi.

Di sekolah Miss Moorthy ternyata didatangi Ny. Chan yang bertubuh tinggi besar dan cantik. Dari beberapa kali pertemuan sebelumnya, Miss Moorthy tahu, wanita itu sangat cerdas, efisien, dan berwatak kuat.

Miss Moorthy selalu menghargai keterusterangan, namun ia tidak menduga kalau Ny. Chan langsung menembak begini: "Sebaiknya kita tidak usah berbasa-basi. Apa maksud Anda mendatangi suami saya? Ia sudah menceritakan semuanya. Kami bukan orang kaya (Dusta, pikir Miss Moorthy). Bagaimana kalau saya memberi Anda 10.000 dolar?"

Miss Moorthy kaget. Lalu ia sadar bahwa Ny. Chan mengira ia mendatangi dr. Chan untuk memeras. "Anda mau menyuap agar saya tidak memberi tahu orang lain perihal hubungan suami Anda dengan Miss Ngui?" tanyanya. 

"Ya," jawab Ny. Chan tegas. 

"Dulu Anda juga menyuap Evelyn? Dua puluh ribu dolar?" 

Wanita itu tercengang sejenak. 

"Saya tidak mau uang Anda." 

"Jadi apa yang Anda kehendaki?" 

"Saya ingin mengetahui pembunuh Evelyn Ngui."

Ny. Chan memandang dengan sikap penuh selidik kepada Miss Moorthy. Tampaknya ia percaya pada kata-kata guru anaknya itu, sebab nada suaranya menjadi lebih lemah.

"Maaf. Saya menawarkan uang bukan untuk menghina Anda. Cuma ... cuma saya pikir itu yang paling baik. Mengapa perlu diributkan lagi. Dia 'kan sudah meninggal."

“Ya, tapi kita mesti mencari pembunuhnya." 

"Lo, pria yang ditangkap itu ...." 

"Ia bisa saja pembunuh Evelyn, tetapi tidak mungkin pembunuh Jek Kok Kee." 

Ny. Chan memandang tajam. "Kalau Anda usil, Anda bisa celaka."

 

Mencoba bunuh diri

“Ia lebih banyak mengancam daripada memperingatkan," kata Anthony ketika Miss Moorthy menceritakan pengalamannya. Hari itu juga Miss Moorthy mendapat berita besar dari pacarnya: David yang selama ini di rumah saja dan mengurung diri di kamar, mencoba bunuh diri dengan meminum obat penenang cukup banyak. Kemudian ia memberi tahu ibunya dan wanita itu bergegas menelepon Anthony.

"Obat begitu sih sebetulnya tidak cukup untuk mematikan," cerita dokter itu. "Paling-paling ia akan teler lama. Aku pompa perutnya. Ia mengigau terus. Katanya, rasanya ia membunuh Evelyn, tapi ia baru menyadari hal itu ketika menemukan tangan dingin yang keras seperti batu. Ia tahu, pasti itu tangan Evelyn."

"Ibunya yang sebelumnya tabah, sekarang ikut senewen." sambung Anthony. "Aku risau melihat keadaan David. Melihat gejala-gejalanya sih, ia menderita skizofrenia." Miss Moorthy pun sama risaunya, karena sekarang ia tahu pembunuh Evelyn Ngui!

Selama ini ia telah mencoba mencari jawaban untuk hal-hal berikut: Evelyn tinggal dengan Jek Kok Kee. Walau ia putus hubungan dengan David Kwa, tetapi ia masih mempunyai pekerjaan, tempat berteduh, dan uang ekstra dari Stephen Chan. Jadi keadaannya tidak gawat.

Mengapa ia memutuskan untuk kembali kepada David dan ingin menikah secepatnya? Karena ia hamil. Jek mempunyai kesempatan paling besar untuk membunuhnya, tapi Jek pun dibunuh. 

Ada dua kemungkinan: Jek membunuh Evelyn, lalu ada orang yang mewakili Evelyn membalas perbuatan keji itu. Bisa juga Evelyn dibunuh orang lain, lalu Jek dibunuh juga karena ia tahu terlalu banyak.

Selain itu Evelyn kelihatan menelepon sebelum ditemukan menjadi mayat. Siapa yang diteleponnya?

Sehari sebelum Jek meninggal, David mengaku menerima telepon dari Jek. Jek menyatakan ada yang ingin ia sampaikan perihal kematian Evelyn. Dokter Stephen Chan mengaku mendapat surat dari Jek, yang ingin bertemu dengannya untuk membicarakan kematian Evelyn. Mengapa Jek tidak menelepon saja? 'Kan nomor telepon dokter terkenal itu tercantum di buku telepon. 

Miss Moorthy penasaran. Ia ingat di rumah Jek tidak ada buku, majalah, maupun koran. Ketika dicek ke tetangga, ternyata Jek buta huruf! Ia mengandalkan Evelyn untuk baca-membaca dan tulis-menulis.

 

Menolak jadi mertua

Keesokan harinya Miss Moorthy tidak bisa memusatkan pikiran di sekolah. Ia memeriksa kotak surat Miss Ngui di sekolah dan menemukan surat yang dikirim dengan pos udara. Kalau saja Evelyn Ngui tidak meninggal, Miss Moorthy tidak berani membacanya. 

Surat itu berasal dari orang tua Miss Ngui di Kuching. Mereka mengucapkan selamat karena Miss Ngui akan menikah dengan David Kwa. Orang tua Miss Ngui menyatakan tidak mampu datang karena ongkosnya besar.

Setelah itu Miss Moorthy berpikir-pikir apa yang sebaiknya ia lakukan dan apa akibatnya bagi orang lain.

Dengan bersusah payah, berhasil juga Miss Moorthy meyakinkan polisi, bahwa sebaiknya mereka mencari tangan Evelyn Ngui di lemari pembeku milik Ny. Wee! Polisi memang menemukannya, walaupun sudah tidak berupa tangan lagi, melainkan berupa daging dan tulang cincang yang disatukan dengan tulang babi yang biasa dipakai untuk membuat kaldu. Hanya dengan penelitian laboratorium tangan Evelyn Ngui bisa dikenali.

Pembunuh Miss Ngui adalah Ny. Wee! Ny. Wee yang tidak setuju bermenantukan Evelyn Ngui, pernah menyogok pacar anaknya itu sebesar 20.000 dolar agar memutuskan hubungan. Kebetulan ada dr. Stephen Chan yang menjanjikan akan menyekolahkan Miss Ngui. Miss Ngui berpacaran dengan Stephen Chan, Miss Ngui mendapati dirinya hamil. 

Ia terpaksa meminta pertanggungjawaban ayah janin dalam kandungannya, yaitu David Kwa. David memang ingin Evelyn kembali kepadanya, tetapi ia takut pada ibunya. Ia meminta Evelyn menunggu. Evelyn tidak mau. 

Di restoran ia mengancam David, akan memberi tahu ibu David perihal ia hamil. Evelyn menduga, mau tidak mau Ny. Wee akan menerima dia sebagai menantu, karena ia mengandung anak David. Pemberitahuan itu disampaikan Evelyn lewat telepon sehabis bertengkar di restoran.

Evelyn Ngui menyatakan bersedia mengembalikan uang yang 20.000 dolar kepada Ny. wee. Ceknya sudah ia siapkan. Ny. Wee pura-pura setuju, sambil menyuruh Miss Ngui menemuinya segera di Fort Canning. Di sanalah Evelyn Ngui dihabisi. Supaya dikira dibunuh si Pembunuh Berantai, Ny. Wee yang mahir memotong-motong ayam, kaki babi, dsb. itu memotong tangan Miss Ngui.

Ny. Wee membunuh Evelyn Ngui karena ia yakin wanita itu bukan orang baik-baik dan tidak akan bisa membahagiakan putra yang disayanginya. Ia yakin Evelyn hamil oleh orang lain, tetapi menangkap David untuk menutupi malu. 

Sekali ini tampaknya David tidak bisa dicegah untuk menikahi Evelyn. David meminta cincin segala untuk diberikan kepada Evelyn sebagai ‘tanda jadi’. Ny. Wee terpaksa memberikan sebentuk cincinnya yang paling jelek. S.C. bukanlah singkatan Stephen Chan, melainkan Siew Cheng, nama kecil Ny. Wee.

Ny. Wee membunuh Jek, karena ia mendengar dari telepon extension bahwa Jek ingin menyampaikan sesuatu kepada David. Ia takut Jek tahu pembunuh Evelyn. 

Ia menulis surat kepada dr. Stephen Chan yang dianggapnya sebagai ayah bayi di rahim Evelyn Ngui, agar datang ke tempat Jek, supaya Stephen Chan-lah yang dituduh membunuh Jek. Sementara itu David menemukan tangan Evelyn di freezer (bekas dicincang), sehingga ia tahu ibunya membunuh Evelyn. David lantas mencoba bunuh diri. 

Tentang boneka kelinci yang lenyap dari rak Miss Ngui: ternyata itu milik Sybil yang disita Miss Ngui karena dipegang-pegang terus di dalam kelas. Setelah Miss Ngui tewas, Sybil diam-diam mengambilnya kembali.

(Ovidia Yu)

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304472/bayangan-pembunuh-berantai" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265269000) } } [16]=> object(stdClass)#181 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3257490" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#182 (9) { ["thumb_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/kisah-keenamjpg-20220428065846.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#183 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(119) "Tiga generasi semua merasakan perang. Rasputin dan Pangeran Aria Franz Ferdinand ternyata diserang pada saat bersamaan." ["section"]=> object(stdClass)#184 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Misteri" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "mystery" ["id"]=> int(1368) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Misteri" } ["photo_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/kisah-keenamjpg-20220428065846.jpg" ["title"]=> string(43) "Tsar Rusia Terakhir dan Pembunuh yang Mirip" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-29 10:09:21" ["content"]=> string(8845) "

Intisari Plus - Tiga generasi semua merasakan perang. Rasputin dan Pangeran Aria Franz Ferdinand ternyata diserang pada saat bersamaan. Mata-mata KGB tertangkap oleh pengarang novel.g sama.

---------------------------------------

Keluarga Pejuang

SELAMA jangka waktu yang lama, tiga generasi keluarga Jackson berdinas di bawah bendera Royal Australian Navy. Tahun 1942 kelasi muda John Jackson terlibat dalam perang di Laut Coral, saat gabungan pasukan AS - Australia berhadapan dengan armada Jepang yang kuat dan menghentikan rangsekan Jepang ke selatan. 

Tepat lima puluh tahun kemudian, cucunya, Todd, ikut dalam latihan-latihan perang untuk memperingati kerja sama AS - Australia di lepas pantai Australia. Nama sandi latihan perang itu Operation Coral Sea. 

Todd seorang veteran Perang Teluk dan Jackson generasi ketiga yang pernah berperang. Ayahnya, Peter, pernah lima kali dinas ke Vietnam dengan kapal HMAS Sydney pada tahun 1960-an. 

Namun yang paling luar biasa adalah kaitan antara Todd dan kakeknya. Todd masuk angkatan laut tanggal 10 Januari 1989, tepat 50 tahun setelah kakeknya masuk dinas AL. Delapan belas bulan setelah bergabung dengan AL, untuk pertama kalinya ia merasakan bertempur, yaitu dalam Perang Teluk. 

Hari keberangkatan kapalnya dari Fremantle, yaitu persinggahan terakhir di Australia sebelum mengarungi Samudra Hindia menuju Teluk, bertepatan dengan 50 tahun keberangkatan kakeknya dari Fremantle menuju Inggris, tempat pertama kalinya kakeknya merasakan bertempur.

 

Kenyataan dan Masa Depan

Pada bulan Juni 1957, ketika Norman Mailer sedang mengarang novelnya, Barbary Shore di apartemennya di New York, seorang mata-mata Sovyet mulai muncul dalam ceritanya. Mula-mula, mata-mata itu cuma tokoh yang tidak penting, tetapi lama-kelamaan menjadi tokoh yang dominan. Ketika novel itu selesai ditulis, FBI menangkap gembong mata-mata Sovyet, Rudolph Abel, yang tinggal dalam gedung apartemen yang sama dengan Mailer. Mailer, seperti penulis-penulis lain, entah bagaimana, berhasil menangkap kejadian yang sebenarnya maupun yang terjadi di masa depan.

 

Langganan Berduel

HENRI Tragne dari Marseille, Prancis, berduel lima kali antara tahun 1861 - 1878. Dalam empat duel yang pertama, lawan-lawannya roboh dan tewas sebelum sebutir peluru pun ditembakkan. Pada duel yang kelima, Tragne yang tewas. Seperti empat duel terdahulu, saat itu belum sebutir peluru pun ditembakkan.

 

Pasangan yang Tidak Berbahagia

HARI pernikahan Putri Maria del Pozzo della Cisterna yang menikah dengan Amadeo, Pangeran D'Aosta, putra raja Italia di Turin tanggal 30 Mei 1867, terganggu oleh kejadian-kejadian berikut: 

 

Pembunuh yang Mirip

SEORANG pembunuh bernama Claude Volbonne, membunuh Baron Rodemire de Tarazone di Prancis tahun 1872. Dua puluh satu tahun sebelumnya, ayah baron juga dibunuh oleh seseorang bernama Claude Volbonne. Kedua pembunuh itu tidak ada sangkut pautnya.

 

Tsar Rusia Terakhir

DALAM bukunya, The Occult (1971), Colin Wilson memberikan detail dari pengusutannya yang terampil. Pengusutan itu mengungkapkan bahwa kalau tidak karena suatu kebetulan, PD I mungkin takkan terjadi. Hal ini merupakan suatu pernyataan yang sulit dipercaya. Namun, komponen-komponennya terbentuk dengan cara misterius seperti biasa. 

Wilson mulai dengan menekankan bahwa satu dari dua tokoh dalam cerita ini adalah Rasputin, rahib yang sangat besar pengaruhnya atas Tsar dan Tsarina dari Rusia. Pada dua kesempatan, Rasputin berhasil membujuk Tsar agar jangan berperang demi daerah-daerah Balkan yang dianggap Austria sebagai miliknya. 

Tokoh lain adalah Pangeran Aria (Archduke) Franz Ferdinand dari Austria yang dibunuh di Sarajevo oleh seorang pejuang Bosnia, Gabriel Princip, bulan Juni 1914. Sebagai akibatnya, Austria menyatakan perang terhadap Serbia. Ini berarti, nasib dunia terletak dalam tangan Tsar, karena ia harus membuat keputusan untuk berpihak ke Serbia dan menyatakan perang pada Austria, atau membiarkan orang-orang Balkan menyelesaikan masalah mereka sendiri. 

Inilah saatnya saran Rasputin bisa menentukan terjadinya perang atau damai. Sayangnya saat itu Rasputin tidak ada untuk memberi saran. Ia sudah ditikam oleh seorang yang ingin membunuhnya di desa kediamannya, Pokrovskoe dan terombang-ambing antara hidup dan mati selama berminggu-minggu. 

Ketika Wilson menulis buku tentang Rasputin, ia melihat kebetulan itu, yaitu bahwa Rasputin dan Pangeran Aria Franz Ferdinand diserang pada waktu yang kira-kira bersamaan. Karena rasa ingin tahunya tergelitik, ia berusaha mengetahui waktu penyerangan yang lebih tepat terhadap mereka. Keterangan tentang tanggal Rasputin ditikam ternyata berbeda-beda. 

Sejarawan Sir Bernard Pares berpendapat Rasputin ditikam pada hari Sabtu, 26 Juni 1941. Namun buku Maria Rasputin tentang ayahnya menyatakan dengan jelas bahwa penikaman terjadi hari berikutnya. Hal ini lebih masuk di akal karena Rasputin ditikam setelah pulang dari gereja. Ini berarti ia ditikam pada hari yang sama dengan penembakan terhadap Pangeran Aria. Menurut Maria Rasputin, saat penikaman adalah tidak lama setelah pukul 14.00. 

Pangeran Aria sudah yakin ia akan tewas bahkan sebelum berkunjung ke Sarajevo. Ia berkata kepada guru pribadi anak-anaknya, "Peluru yang akan membunuh saya sudah disiapkan." 

Tidak lama setelah pukul 10.00 hari Minggu itu, sebuah bom rakitan dilemparkan ke mobilnya, tetapi Pangeran Aria dan istrinya tidak cedera. Mereka menghadiri upacara di balaikota dan pergi setengah jam kemudian. Ketika mereka dalam perjalanan kembali ke Sarajevo, kira-kira pukul 11.00, seorang mahasiswa muda yang menderita penyakit paru-paru dan yang terlibat dalam percobaan pembunuhan sebelumnya, mencondongkan tubuhnya ke depan dan melepaskan dua tembakan yang membunuh Pangeran Aria dan istrinya. 

Sarajevo dipisahkan oleh garis bujur sejauh 50 derajat dari Pokrovskoe, sehingga waktu di kedua tempat itu berbeda. Wilson menghitung perbedaannya. Perhitungannya mudah saja: bumi berputar 360 derajat dalam waktu 24 jam, atau 180 derajat dalam 12 jam, atau 90 derajat dalam enam jam dan 45 derajat dalam tiga jam. 

Jadi untuk berputar 50 derajat diperlukan waktu tepat tiga jam 20 menit. Pangeran Aria Franz Ferdinand dibunuh sesaat sebelum pukul 11.00. Rasputin ditikam pukul 14.15. Pukul 10.55 di Sarajevo, tepat pukul 14.15 di Pokrovskoe. 

Wilson menyimpulkan: 'Pria yang kematiannya menyebabkan Perang Dunia I, dan pria yang mestinya bisa mencegah perang, diserang pada saat yang sama. Kebetulan ini merupakan yang paling luar biasa, yang pernah saya temukan.'

 

 

" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257490/tsar-rusia-terakhir-dan-pembunuh-yang-mirip" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651226961000) } } [17]=> object(stdClass)#185 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3256177" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#186 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/26/siapakah-pembunuh-raja-siamjpg-20220426045006.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#187 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(128) "Raja Siam, Ananda Mahidol ditemukan tewas di istananya. Padahal, tidak seorang pun yang diperkenankan menyentuh raja sedikitpun." ["section"]=> object(stdClass)#188 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/26/siapakah-pembunuh-raja-siamjpg-20220426045006.jpg" ["title"]=> string(27) "Siapakah Pembunuh Raja Siam" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 17:20:04" ["content"]=> string(22793) "

Intisari Plus - Raja Siam, Ananda Mahidol ditemukan tewas di istananya, Istana Bahompiman. Beberapa menyatakan bahwa sang raja tewas dalam kecelakaan, padahal kondisinya diduga tewas karena dibunuh. Padahal, tidak seorang pun yang diperkenankan menyentuh raja sedikitpun, membuat kematiannya berbuntut misteri.

----------------------------

Suatu pagi di bulan Juni 1946, sambil sarapan saya membaca Koran The Times. ' Ada sebuah berita menarik dari Associated Press di Bangkok. Tanggal 9 Juni, Raja Siam yang masih muda, Ananda Mahidol, ditemukan meninggal di tempat tidurnya di Istana Barompiman dengan luka bekas peluru di kepalanya. la ditemukan dalam keadaan ini oleh seorang pelayan menjelang tengah hari. Kepala kepolisian dan para direktur RS Chulnlongkorn segera dipanggil ke istana dan mereka kemudian menyatakan raja wafat akibat kecelakaan. Orang-orang yang berduka bergerombol diam-diam di luar istana. Kebanyakan di antara mereka baru mengetahui raja wafat setelah mendengar siaran resmi dari radio pukul 07.00

Tentu saja pada saat itu saya tidak pernah berpikir akan terlibat di dalamnya. Saya juga tidak tahu bahwa pernyataan "meninggal karena kecelakaan" cuma usaha pemerintah untuk menutupi kejadian sebenarnya. Apa pun yang dikeluarkan dalam pernyataan resmi, kepala kepolisian dan para dokter semestinya mengetahui bahwa ini kasus pembunuhan.

Raja-raja Siam dari dinasti Chakri sudah memerintah negara ini selama tujuh abad. Tidak seorang pun dari rakyatnya diperkenankan menyentuh raja atau membelakanginya. Mereka juga bahkan tidak boleh bertumpang kaki pada saat raja hadir. Raja dianggap seperti dewa. Membunuhnya bukan berarti melakukan kejahatan membunuh raja, tetapi membunuh dewa. Namun dalam kenyataan, dari 33 raja sepertiganya dibunuh atau tewas di tangan saingannya. Menjadi dewa hidup rupanya bukan jaminan untuk terlindung dari pembunuhan.

 

"Raja menembak diri!" 

Ananda diangkat menjadi Rama VIII pada tahun 1935. Ketika itu umurnya 10 tahun. la menggantikan ayahnya, Mahidol atau Raja Rama VII yang memakzulkan diri. Dalam PD II pada saat pemerintah Thai tunduk pada Jepang tetapi diam-diam terus berhubungan dengan Amerika, ia tinggal di Swiss. la kembali ke negaranya sebagai pemuda yang cerdas berumur 21 tahun. 

Tanggal 8 Juni 1946 atau tahun Anjing 2489 menurut perhitungan Buddhis, ia merasa perutnya kurang enak. Jadi pukul 10.00 ia masuk ke tempat kediaman pribadinya untuk berganti pakaian dengan baju kaus tipis dan celana sutra model Cina, lalu naik ke ranjang.

Ketika tidur itu ia dilindungi oleh empat pengawal dan kepala penjaga. Pukul 06.00 keesokan harinya ibunya berkunjung. Ibunya membangunkan raja dan mendapat kenyataan putranya dalam keadaan baik-baik saja. Pukul 07.30 pelayan kepercayaannya, Butr, mulai bertugas. Butr menyiapkan meja makan di balkon yang berhubungan dengan kamar tempat raja berpakaian. Pada saat itu juga para penjaga malam selesai bertugas digantikan oleh para petugas siang. 

Pukul 08.30 Butr melihat raja berdiri di kamar tempat berganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia masuk membawakan segelas air jeruk, seperti yang biasa diminum raja setiap pagi. Tetapi ketika itu raja sudah kembali ke ranjangnya. Dengan gerakan tangan ia memberi tanda bahwa ia tidak mau air jeruk dan Butr boleh pergi. Demikian menurut taksiran Butr. 

Pukul 08.45 pelayan kepercayaan lain bernama Nai Chit muncul secara tidak terduga. Kedua pelayan itu bertugas bergiliran. Sebenarnya giliran Nai Chit baru akan tiba dua jam kemudian. Katanya, ia datang untuk mengukur medali-medali raja atas permintaan seorang pandai emas yang akan membuat kotak untuk benda-benda itu.

Pukul 09.00 Pangeran Bhumibol, adik Ananda, datang menjenguk untuk menanyakan kesehatan kakaknya. Kemudian ia memberi keterangan bahwa ia menemukan kakaknya sedang tidur nyenyak di ranjang yang seluruhnya tertutup kelambu. 

Dua puluh menit kemudian sebuah tembakan terdengar dari kamar raja. Nai Chit berlari masuk, lalu keluar dan berteriak-teriak sepanjang lorong yang menuju ke apartemen ibusuri. 

"Raja menembak diri!" katanya. Ini kelak dipakai untuk bukti yang memberatkan dirinya.

 

Polisi tak boleh menyentuh "Sang Suci" 

Peristiwa ini kemudian diceritakan secara lisan dengan saksama kepada saya oleh mayor jenderal dari Kepolisian Siam yang datang ke departemen saya di Guy's Hospital, London, untuk minta tolong. Ini merupakan kasus saya yang pertama di luar Inggris. 

Ananda terbaring di ranjang yang tertutup kelambu. Tubuhnya berselimut, tetapi lengannya terletak di luar selimut, sejajar dengan tubuh. Dekat lengan kirinya ada sebuah pistol otomatis, American Army 45 Colt. Di atas mata kirinya ada sebuah lubang bekas peluru. 

Tetapi tidak ada sebuah foto pun yang dibuat oleh polisi untuk menyokong pernyatan ini, karena ketika polisi datang segalanya sudah "dibereskan".

Salah seorang pertama yang masuk ke kamar raja ialah ibusuri. Ibu yang sedih ini segera menjatuhkan dirinya ke tubuh putranya dan menangis meraung-raung. la diikuti oleh bekas pengasuh raja. Wanita tua itu memegang nadi raja, lalu meletakkan pistol ke atas lemari kecil di sebelah ranjang. 

Ketika mendengar ribut-ribut, Pangeran Bhumibol masuk. Butr memasukkan pistol ke laci "demi keamanan". Jadi pistol itu selain dinodai sidik jari pengasuh, juga dinodai sidik jari Butr. Butr disuruh memanggil dokter. 

Sesudah dokter datang, ibusuri, bekas pengasuh raja, Pangeran Bhumibol dan dua pelayan memandikan jenazah raja, membaringkannya di seprai baru, menaruh balok-balok es, dan memasang kipas angin untuk mendinginkan tubuh, supaya proses perusakan terhambat.

Sementara itu pelbagai pejabat berdatangan: kepala keamanan istana, kepala rumah tangga istana, para menteri kabinet yang dikepalai oleh PM Pridi Banomyong yang sudah lama menjadi tokoh penuh teka-teki dalam kehidupan politik Siam. Sebagai pengacara muda, Pridi bersama seorang perwira artileri yang masih muda, Pibul Songram, pernah bersekongkol menggulingkan monarki tahun 1932. Revolusi ini lekas bisa ditanggulangi dan Pridi pergi ke pengasingan. Tetapi ketika kembali ia berhasil naik lagi bersama temannya, Pibul. Pibul saat itu sudah menjadi jenderal. 

Pridi kelihatan senewen. Ia berkata kepada pejabat tinggi lain, "Raja bunuh diri", kalimat sama seperti yang diucapkan Nai Chit pada saat mengumumkan kematian raja. 

Akhirnya, polisi tiba. Yang dimaksudkan dengan polisi ialah kepala kepolisian yang harus berdesak-desakan di antara para pejabat untuk bisa mendekati jenazah. Saat itu pun ia tidak diperkenankan melakukan sesuatu yang berguna. Mengikuti ketentuan protokol, tidak seorang pun boleh menyentuh tubuh Sang Suci. Paman raja mencegahnya memeriksa bekas luka maupun tangan jenazah. Tidak seorang pun boleh meraba tubuh raja untuk mengetahui apakah tubuh itu masih hangat atau sudah dingin. Yang bisa dilakukan kepala kepolisian hanyalah meminta pistol. Ketika benda itu disodorkan, ia menambah sidik jarinya pada sidik pengasuh dan pelayan yang sudah tertera di situ. Ia melihat bahwa benda itu dalam keadaan siap ditembakkan dan sebuah peluru hilang. Di kamar itu tidak ditemukan peluru, tetapi Nai Chit menyerahkan selongsong peluru yang sudah dipakai. Katanya, benda itu ditemukan di lantai sebelah kiri tubuh.

Sebelum tubuh raja dibalsem, para dokter di RS Chulalongkorn diperkenankan memeriksanya. Mereka menemukan luka kedua, yang lebih kecil daripada yang pertama di bagian belakang kepala. Berdasarkan anggapan keliru bahwa luka keluar selalu lebih besar dari luka masuk, mereka menarik kesimpulan raja ditembak dari belakang kepala. 

Kabar angin segera tersebar di Bangkok. "Raja dibunuh". "Pridi membunuh raja". Kalau bukan Pridi, salah seorang dari kaki tangannya. Dua di antara yang paling dicuriga i yaitu Letnan Vacharachai, yang biasa disebut Too dan bekas ajudan raja, tetapi baru saja dipecat, dan Chaleo, bekas sekretaris pribadi raja. 

Tiga hari setelah penembakan itu Nai Chit menunjukkan kepada polisi tentang sebuah lubang di kasur pada bagian yang tadinya terletak di belakang kepala raja. Di situ ditemukan sebuah peluru.

 

Terlalu banyak ahli yang tak perlu

Kecelakaan bunuh diri atau pembunuhan? Komisi penyelidikan dibentuk untuk mengetahui peristiwa yang sebenarnya. Komisi ini dibantu oleh subkomisi kedokteran yang terdiri atas terlalu banyak orang, yaitu 15 dokter: dokter umum, ahli bedah, seorang psikiater, seorang ahli racun, seorang ahli anatomi, tetapi hanya satu ahli patologi forensik, yaitu Dr. S.G. Niyomsen, dosen patologi forensik pada Universitas Bangkok. 

Komisi mulai mencari keterangan tanggal 26 Juni dan masih bekerja pada bulan Agustus, ketika partai Pridi menang dalam pemilu. 

Pridi yang rupanya merasa namanya dibersihkan, mengundurkan diri dari jabatan sebagai PM. Bulan Oktober komisi penyelidik melaporkan bahwa kematian raja tidak mungkin disebabkan oleh kecelakaan, tetapi mereka tidak bisa memperoleh bukti yang meyakinkan bahwa raja bunuh diri atau dibunuh.

Bulan November 1947, hampir 18 bulan setelah kabar-kabar angin, intrik, dan pergolakan di dalam, tank menggilas jalan-jalan lama di Kota Bangkok, karena AD di bawah Jenderal Pibul menjalani kudeta. Pridi kabur dengan sampan. Vacharachai juga lenyap. Bekas sekretaris pribadi raja, Chaleo, ditahan bersama Butr dan Nai Chit. Mereka bertiga dituduh bersekongkol membunuh raja. Kepala kepolisian yang baru, Mayjen Phra Phinik Chankadi diinstruksikan mengumpulkan bukti-bukti untuk mengadili mereka. Diputuskan untuk mencari bukti-bukti kedokteran dan karena itulah saya ikut menangani kasus ini. Tanggal 13 Mei 1948 mayjen Siam itu datang menemui saya di London, ditemani seorang penerjemah. la ingin tahu raja meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh. 

Raja sangat senang pada senjata api yang kecil-kecil. la sering latihan menembak dengan Vacharachai. la menaruh sepucuk American Army 45 Colt otomatis di laci yang terletak di sebelah ranjangnya. Mungkinkah senjata itu meletus pada saat sedang diperiksa raja? Mungkinkah seorang pria cerdas yang mengenal betul senjata api memeriksa pistol penuh peluru yang alat pengamannya tidak terpasang sambil telentang di ranjang, dengan kepala menggeletak ke bantal dan pistol ditodongkan ke dahinya? 

Tampaknya hal ini sangat tidak mungkin. Apalagi mata raja begitu kabur, sehingga tidak bisa memeriksa sesuatu tanpa kacamata. Kacamata raja terletak di meja sebelah ranjangnya

Mengingat posisi tubuhnya ketika itu, bunuh diri hampir sama tidak mungkinnya. Selama 20 tahun bergerak dalam bidang kedokteran forensik, saya tidak pernah mengalami ada orang menembak diri sambil berbaring telentang. Kasus semacam itu setahu saya tidak pernah ada. Orang yang menembak diri biasanya melakukannya sambil duduk atau berdiri. 

Ada indikasi kuat lain yang tidak memungkinkan bunuh diri. Pistol ditemukan di sisi sebelah kiri raja, padahal raja tidak kidal. Luka berada pada bagian atas mata kanan dan tempat yang biasa dipilih oleh orang yang menembak diri. Luka ini juga bukan disebabkan oleh tembakan yang dikeluarkan oleh senjata yang menempel pada kepala.

Senjata yang menyebabkan luka itu tidak menempel pada korban. Jurusan tembakan tidak menuju pusat kepala. Lagi pula raja tidak pernah memberi bayangan kepada siapa pun akan bunuh diri dan tidak dalam keadaan depresi pada saat kematiannya. 

Satu-satunya yang bisa menyebabkan kematian ini ialah pembunuhan. Bukti-bukti ke arah ini memang kuat. Saya pikir boleh dipastikan raja ditembak pada saat sedang pulas. Mulut pistol pasti dekat sekali, tetapi tidak menyentuh kulitnya sehingga raja tidak menyadari adanya bahaya dan tidak mempunyai kesempatan mencoba mempertahankan diri.

"Ini bukan kasus bunuh diri atau kecelakaan, tetapi pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja memakai senjata api," demikian saya simpulkan dalam laporan saya.

 

Dua pembela dibunuh 

Chaleo, Butr, dan Nai Chit diadili tiga bulan setelah laporan saya buat. Bulan Agustus 1948 itu mereka berhadapan dengan empat hakim yang dikepalai seorang hakim kepala. Penuntut didukung 124 saksi dan bukti-bukti tertulis yang begitu banyaknya sehingga pembela meminta pengunduran waktu. Ketika permintaan ini ditolak, pembela mengundurkan diri. Perkara tertunda lagi sampai ditemukan pembela baru. Sidang berjalan dengan bertele-tele dan permintaaan untuk ditahan di luar ditolak. 

Menurut penuntut, pistol yang ditemukan di luar kelambu dan yang merupakan pistol milik raja sendiri itu bukanlah alat yang dipakai membunuh. Butr dituduh menaruh pistol itu di sana setelah terjadi penembakan agar dikira raja menembak dirinya sendiri. 

Bulan Januari 1949 saya dihubungi lagi untuk kasus ini. Sekali ini oleh Dr. Niyomsen dari Univesitas Bangkok, yaitu patolog dalam tim pertama yang ditugaskan menyelidiki kasus ini. 

la datang ke London dan tinggal selama sembilan hari untuk memberi tahu fakta-fakta tambahan dari tangan pertama. Keterangan menguatkan pendapat yang sudah saya berikan. Situasi noda-noda darah dan posisi kepala raja sedang menggeletak di bantal pada saat ia ditembak. Dalam laporan saya selanjutnya saya menunjukkan bahwa dengan perbandingan mikroskop, mudah saja untuk menemukan apakah peluru yang ditemukan di kasur dan selongsong yang ditemukan di lantai itu ditembakkan dari pistol yang ditemukan di sebelah tubuh raja ataukah oleh pistol lain. Hal ini tidak pernah dilakukan. 

Dr. Niyomsen bertanya, apakah saya mau memberikan kesaksian dalam persidangan. Saya jawab bahwa saya bersedia dan itu disetujui oleh Departemen Dalam Negeri Inggris. Menurut perkiraan Dr. Niyomsen, saya akan dipanggil ke Bangkok pertengahan April. Tetapi pada bulan Maret, di luar dugaan siapa pun Pridi dan Vacharachai masuk ke Siam dari Cina, melalui S. Menam. Mereka mencoba merebut kekuasaan di Bangkok. Mereka berhasil menduduki stasiun radio, tetapi Jenderal Pibul berhasil dengan cepat mencegat pemberontak. Pridi dan Vacharachai menghilang lagi. Persidangan ditunda, ketika dua dari pembela dibunuh.

Dr. Niyomsen menulis surat, 'memberi tahu bahwa saksi ahli dalam bidang kedokteran tampaknya tidak akan dipanggil sebelum Agustus dan September. "Persidangan berlangsung lama dan membosankan," tulisnya. "Seorang saksi bisa ditanyai selama seminggu dan perkara ini mungkin baru bisa diselesaikan dalam waktu setahun." ini merupakan taktik ulur waktu. 

Bulan September Niyomsen menulis surat lagi. Ketika itu para tertuduh sudah ditahan dua tahun. "Sidang berlangsung dua minggu sekali, setiap kali selama tiga hari penuh. 

Menurut dirjen Departemen Ilmu Pengetahuan dalam kesaksiannya, pistol yang ditemukan di dekat tubuh raja, terakhir ditembakkan sedikitnya seminggu sebelum raja wafat. Katanya, laboratoriumnya tidak mempunyai alat dan bahan untuk memeriksa apakah peluru yang ditemukan di kasur berasal dari selongsong peluru yang ditemukan di lantai. Tetapi menurut seorang perwira polisi, peluru itu cocok dengan selongsong yang ditemukan. Beberapa "ardi" dari pihak penuntut menyatakan bahwa peluru itu tidak mungkin peluru yang menembus kepala raja, "Karena tidak gepeng, mestinya gepeng kalau melewati tulang." 

Para ahli ini juga dengan panjang-lebar memberi keterangan bahwa mesti ada otot-otot yang kejang apabila peluru menembus bagian tertentu dari otak, padahal raja ditemukan tenang seperti tidur, tidak ada tanda-tanda kejang atau bekas menggenggam senjata. 

"Saya kira giliran kita baru akan tiba tahun depan," tulis Dr. Niyomsen yang memiliki kesabaran seorang Timur. 

Beberapa minggu kemudian dua dari pembela ditahan dan dituduh berkhianat. Sedangkan dua lagi mengundurkan diri, sehingga tinggallah seorang pengacara muda yang tidak meyakinkan, Fat Nasingkhla. Menjelang akhir perkara, ia selalu didampingi oleh putri Chaleo yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. 

Akhirnya, para saksi kedokteran dipanggil, dimulai dengan lima belas dokter yang berada dalam subkomite dari komisi penyidikan yang dibentuk setelah raja meninggal. 

"Semuanya kini memberi kesaksian bahwa raja dibunuh, tetapi bukan tanpa ragu-ragu. Niyomsen menulis, "Berhubung dengan krisis politik di negara ini, tidak bisa dipastikan apakah perkara ini akan dilanjutkan. Jika pemerintah baru terbentuk, aspek peradilan mungkin berubah dan kami para dokter yang menguatkan bahwa raja dibunuh tidak tahu bagaimana nasib kami kelak. Kami sedang menunggu kudeta yang bisa terjadi setiap saat dan serbuan komunis pun bisa terjadi setiap waktu." Ia menasihati agar saya membongkar koper saja dan saya anggap sarannya beralasan.

 

Dibayar di tepi jalan 

Siam ternyata terhindar dari kudeta maupun serbuan komunis. Saya tidak pernah diminta muncul untuk memberi kesaksian. Pada musim panas tahun 1950, ketika tertuduh menyangkal ikut dalam pembunuhan terhadap raja, Nai Chit paling buruk kedudukannya, karena ia hadir dengan alasan meragukan di istana pada saat terjadi pembunuhan dan karena ia berteriak, "Raja menembak diri." 

Pada bulan Mei 1951, dua tahun sembilan bulan setelah raja wafat, pengadilan menyatakan Raja Ananda dibunuh. Chaleo dinyatakan tidak terbukti bersalah dan tidak seorang pun dari dua pelayan mempunyai kemungkinan menembak raja. Nai Chit dinyatakan bersalah ikut berkomplot dalam pembunuhan. Chaleo dan Butr dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. 

Nai Chit naik banding. Penuntut juga naik banding karena Chaleo dan Butr dibebaskan. Lima belas bulan kemudian pengadilan banding menolah permintaan banding Nai Chit. Malah Butr dinyatakan bersalah juga. 

Permintaan banding terakhir diajukan ke pengadilan tinggi yang mempertimbangkan selama sepuluh bulan dan Chaleo juga dinyatakan bersalah. Empat bulan kemudian, ketika ketiga orang itu sudah enam tahun ditahan. Chaleo, Nai Chit, dan Butr menjalani hukuman mati. 

Saya sangat menyesal tidak bisa pergi ke Bangkok. Tetapi saya mendapat kotak rokok dari perak yang sangat indah yang dihiasi gambar istana. Benda itu selalu mengingatkan saya pada kasus ini. Kotak itu diserahkan kepada saya di London oleh Mayjen Phra Phinik mewakili raja. Honor saya anehnya dibayar malam hari dalam bentuk uang kontan yang dihitung hati-hati di bawah lampu jalanan di Cromwell Road, dekat kedutaan. Saya dijanjikan agar datang ke sana pada waktu yang sudah ditentukan. Saya tidak pernah berhasil mengungkapkan alasan untuk tindakan ganjil ini. 

Sementara itu Siam menjadi Thailand dan Dr. Niyomsen diangkat menjadi mahaguru kedokteran forensik pertama di Universitas Bangkok. Pada waktu yang hampir bersamaan saya diangkat menjadi ketua pertama dalam bidang yang sama di Guy's Hospital. Saya tidak pernah bertemu lagi dengan Dr. Niyomsen. Tetapi 20 tahun kemudian, akhirnya saya pergi juga ke Bangkok untuk memberi ceramah di Medico-Legal Institute. Di sana saya berhadapan dengan Dr. Niyomsen di ruang utama, tetapi ia sudah dalam bentuk kerangka yang ditaruh dalam lemari yang bagus. Mengerikan sebetulnya, tetapi ini merupakan cara yang mengharukan bagi orang Timur untuk menyatakan penghormatannya pada almarhum pemimpin mereka yang meninggal dua tahun sebelumnya.

Saya juga pergi ke Istana Barompiman sebagai pengunjung biasa. Salah satu tempat yang ditunjukkan kepada pengunjung ialah kamar tidur bekas tempat Raja Ananda ditembak. "Apakah Anda pernah mendengar peristiwa ini?" tanya pramuwisata kepada saya. Gadis itu lulusan universitas. Saya menggumamkan kata-kata bahwa saya menaruh perhatian pada kasus itu. Lalu diceritakannya peristiwa itu dengan cepat. Saya diam saja, kemudian saya mengucapkan terima kasih kepadanya untuk kebaikannya. Ya, bagaimana pun peristiwa ini sekarang sudah menjadi sejarah belaka.

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553256177/siapakah-pembunuh-raja-siam" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650993604000) } } }