array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3448517"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/pembunuh-berantai-yang-terabaika-20220831011622.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(123) "Pembunuhan perempuan kulit hitam marak terjadi tapi karena salah teori, polisi mengabaikan kemungkinan pembunuhan berantai."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/pembunuh-berantai-yang-terabaika-20220831011622.jpg"
      ["title"]=>
      string(33) "Pembunuh Berantai yang Terabaikan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-31 13:16:50"
      ["content"]=>
      string(23916) "

Intisari Plus - Pembunuhan perempuan kulit hitam marak terjadi tapi karena salah teori, polisi mengabaikan kemungkinan pembunuhan berantai. Pelakunya pun bebas berkeliaran.

-------------------

Menciduk pelaku pembunuhan, apalagi pembunuh berantai bukan perkara gampang. Lazimnya, polisi harus melalui jalan berliku dan proses panjang. Sepanjang itu, bisa saja terjadi salah tangkap, tertipu petunjuk palsu, sampai salah analisis. Henry Louis Walace adalah salah satu pembunuh berantai (meski FBI menyebutnya bukan pembunuh berantai) di era 90-an yang cukup merepotkan polisi. Pembunuh paling dicari ini keluar masuk kantor polisi, bahkan keluar masuk penjara, “tanpa disadari” oleh polisi. Karena secara “teori”, dia diabaikan.

Saat dibekuk polisi pada 4 Februari 1994 di Charlotte, Carolina Utara, Amerika Serikat, Henry Louis Wallace sebenarnya patut dicurigai terlibat dalam lima kasus perkosaan dan pembunuhan yang menewaskan lima perempuan muda, semuanya berkulit hitam, semuanya bekerja di restoran cepat saji, dan semuanya kenal Wallace atau pacarnya, Sadie McKnight. Nama Wallace bahkan tercantum di buku telepon lima perempuan tadi.

Namun apa daya, karena dianggap tak memenuhi “syarat” sebagai pembunuh berantai, Wallace pun cepat dibebaskan. Lelaki berkulit hitam itu hanya ditangkap dan ditahan sebentar atas tuduhan mengutil di toko. Sebuah kesalahan yang kelak harus dibayar mahal. Wallace mengamuk dan membunuh lima lagi perempuan muda berkulit hitam. Sebuah sumber bahkan menyebut, korban Wallace sesungguhnya bisa mencapai 20 orang!

 

Saling tonjok

Henry Louis Wallace dilahirkan pada 4 November 1965 di Barnwell, Carolina Selatan, dari rahim seorang ibu yang suka gonta-ganti pasangan. Tak heran, sejak kecil Wallace tak pernah mengenal sosok bapak. Keluarganya begitu miskin, sampai-sampai listrik pun mereka tak mampu berlangganan. Carmeta Albarus, psikiater yang belakangan ditugaskan memeriksa Wallace selama di penjara, kepada juri pernah bercerita, betapa ibu Wallace sangat menikmati adegan saling pukul anak-anaknya. 

Ya, sang ibu kejam ini kerap mendorong anak-anaknya berkelahi, saling tonjok, saling gigit. Ibu dan kakak perempuan Wallace juga kerap memakaikan baju perempuan pada Wallace, lalu mengaraknya keliling kampung.

Celakanya, sudah rumahnya kacau balau, lingkungan tetangga Wallace pun kurang kondusif. la sudah menyaksikan adegan kekerasan seksual yang dilakukan sebuah geng, tak jauh dari tempat tinggalnya, pada usia tujuh tahun. Kejadian itu begitu membekas di benak Wallace. 

Entah karena sering dipakaikan pakaian perempuan saat kecil, ketika SMA, Wallace menjadi satu-satunya wakil pria di tim cheerleader yang 99,9% berisi anak perempuan. Bak penyamun di asrama putri. Untungnya, orientasi seksualnya tetap normal. Saat bekerja sebagai disc jockey (DJ) di sebuah stasiun radio lokal, dia - Wallace menyebut dirinya The Night Rider - sempat punya banyak pacar. Namun kariernya sebagai penyiar terhenti setelah Wallace tak bisa menghilangkan kebiasaan buruknya: gemar mencuri. Wallace kepergok mencuri di kantor, yang berujung pemecatan.

Susah mencari kerja, Wallace kemudian melamar jadi tentara. la diterima di Angkatan Laut, menghabiskan waktu delapan tahun sebagai pelaut. la sempat menikmati perjalanan keliling dunia, bahkan menikahi seorang gadis SMA pada 1985. 

Tapi lagi-lagi, hobi mencurinya tak pernah berhenti. Meski tertangkap basah saat jadi maling, Wallace dibebaskan dari proses hukum, namun dia harus kehilangan tempat di Angkatan Laut alias dipecat. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, pada 1992 Wallace ditinggal istri. 

Wallace kemudian balik ke rumah ibu dan saudara perempuannya, yang sudah pindah ke Charlotte-Mecklenburg, Carolina Utara. Di kota ini peruntungan Wallace naik-turun. la sempat bekerja di sejumlah restoran, tapi dipecat lantaran kelakuan buruknya sendiri. 

Terakhir, dia mendapat pekerjaan sebagai manajer toko Taco Bell. Di toko ini nafsu mencuri Wallace mulai terkekang, tapi ia mulai berkenalan dengan kokain. Sejak 1992 inilah, Wallace “naik kelas” dari seorang pencuri dan pengutil toko menjadi pemakai obat terlarang dan pembunuh berantai.

 

Ikut melapor

Tepat 19 Juni 1992, Wallace menyelinap ke apartemen pacarnya, Sadie McKnight, menggunakan kunci hasil curian. Entah apa tujuan awal Wallace masuk diam-diam ke apartemen tersebut. Yang pasti, ketika rekan sekamar yang juga teman kerja McKnight di rumah makan cepat saji Bojangles, Caroline Love tiba, Wallace berulah kurang ajar. Dia memaksa mencium Caroline. Caroline Love keruan marah, namun ia berjanji tidak akan bercerita pada McKnight, asal Wallace tidak mengulangi perbuatannya.

Wallace mengiyakan. Namun saat Caroline lengah, ia membekap dan memiting leher Caroline Love dari belakang, keahlian yang dia pelajari dan kuasai semasa masih berdinas di Angkatan Laut. Akibat gerakan yang mirip shime-waza atau piting leher dalam judo itu, Caroline kesulitan bernapas dan tak sadarkan diri. Saat itulah Wallace menyeret tubuh Caroline ke kamar tidur, memerkosa, lalu menjerat leher korban dengan kawat pengeriting rambut hingga tewas. 

Wallace sempat dibingungkan dengan “masalah logistik”, mau diapakan tubuh Caroline yang telah menjadi mayat? Dia kemudian mendapat ide untuk membungkus mayat Caroline dengan seprai dan memasukkannya ke dalam kantong sampah besar berwarna jingga. 

Kondisi sekitar apartemen yang sepi mendukung Wallace lebih leluasa beraksi. Kantong plastik itu lantas dimasukkan ke dalam mobil. Wallace sempat kembali ke apartemen untuk mengunci pintu, lalu tancap gas menuju pinggiran kota, tempat ia membuang tubuh Caroline ke sebuah selokan tak terpakai.

Sadie McKnight yang pulang beberapa waktu kemudian, sempat dikontak oleh Kathy Love, kerabat Caroline. Kathy ingin tahu keberadaan saudaranya, karena atasan Caroline di Bojangles menelepon. Konon, Caroline belum juga muncul di restoran, padahal giliran shift-nya telah tiba. McKnight mengakui, tak biasanya Caroline mangkir. Bersama McKnight, Kathy kemudian pergi ke kantor polisi Charlotte-Mecklenburg, melaporkan hilangnya Caroline. McKnight saat itu “ditemani” pacarnya, siapa lagi kalau bukan Henry Louis Wallace. 

Polisi yang datang ke apartemen McKnight memang menemukan sejumlah kejanggalan. Sofa yang tampak berantakan, seperti habis terjadi perkelahian. Juga tanda tanya seputar hilangnya seprai di kamar tidur. Namun hanya itu petunjuk yang didapat. Karena tak ada bukti pembunuhan, Caroline hanya dinyatakan sebagai “orang hilang”. Apalagi pintu apartemen ditemukan dalam kondisi terkunci. Anehnya, Wallace saat itu sama sekali tak dimintai keterangan oleh polisi, meski berstatus sebagai teman dekat McKnight. Kesalahan awal namun fatal yang membuat Wallace ketagihan mencari korban. 

Setelah kejadian itu, Wallace masih sempat “menjenguk” tempat pembuangan jasad Caroline, dua hari setelah pembunuhan. Saat itu, tubuh Caroline sudah membusuk dan tampak seperti boneka E.T. Saat Wallace kembali untuk ketiga kalinya beberapa waktu kemudian, tubuh Caroline tinggal tulang belulang. 

McKnight yang ketakutan kemudian pindah ke rumah Wallace. Hingga tujuh bulan ke depan, tak ada kejadian menggegerkan.

 

Korban kedua

Sampai suatu sore, 17 Februari 1993, Wallace diketahui bertandang ke kediaman Shawna Hawk, mahasiswi yang kebetulan pernah nyambi di Taco Bell, tempat Wallace bekerja. Hawk belum lama kembali dari kampus, ketika Wallace mengetuk pintu. Melihat manajer tokonya berdiri di depan pintu, mulanya Hawk terkejut. Tapi begitu rasa kagetnya hilang, ia segera membukakan pintu. 

Keduanya mengobrol sekitar satu jam. Kian lama kian mesra. Wallace tampaknya tidak kesulitan, bahkan bisa dibilang pandai mengambil hati perempuan. Hawk seolah lupa, Wallace sebenarnya lelaki asing yang dia belum tahu betul perangainya, dan telah punya pacar pula. 

Wallace terus menggoda dan menggiring Hawk agar mau melayani nafsu kelelakiannya. Hawk yang ketakutan mencoba menolak dan melawan. Namun dengan paksaan, Wallace akhirnya berhasil menaklukkan Hawk. Perempuan belasan tahun itu cuma bisa menangis tanpa henti.

Setelah merenggut mahkota Hawk, Wallace menggiring wanita muda itu ke kamar mandi. Sama seperti perlakuan terhadap Caroline Love, Wallace mengeluarkan jurus andalannya, aksi “piting leher” dan belakang untuk membuat korbannya tak berdaya. Wallace lalu menenggelamkan tubuh Hawk di bak mandi. Sebelum pergi, dia sempat naik ke lantai atas dan mencuri AS$ 50 dari tas korban.

Hasil autopsi pada tubuh Hawk - jasadnya ditemukan pertama kali oleh sang ibu dan pacar - menunjukkan penyebab kematian adalah cekikan di leher. Penyidik kepolisian mencoba mewawancarai rekan-rekan kerja dan teman-teman korban. Namun semuanya tak menemukan kejanggalan apa pun pada diri Hawk, sebelum maut menjemput. 

Saat itu, polisi belum mencoba menghubungkan kematian Caroline Love dengan terbunuhnya Shawna Hawk. Dugaan adanya pembunuh berantai pun belum terendus. Maklum, Charlotte-Mecklenburg tergolong kawasan “sibuk”. Pada 1993, ada 122 laporan kasus pembunuhan dan 350 laporan kasus pemerkosaan. Belum lagi ratusan laporan orang hilang. Tak sebanding dengan jumlah detektif bagian pembunuhan yang jumlahnya hanya tujuh orang saja.

 

Pandai merayu

Sekitar empat bulan setelah membunuh Hawk, Wallace mengunjungi wanita muda lain yang juga pernah bekerja di Taco Bell, Audrey Spain, 24 tahun. Sekali lagi, sikap santun dan kepandaian Wallace mengolah kata membuat Spain tak menaruh curiga. Perempuan yang baru kembali dari liburan itu pun tak keberatan menerima Wallace di apartemennya. 

Wallace awalnya hanya berencana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli narkoba. Dia menduga Spain tahu kode akses lemari tempat penyimpanan uang Taco Bell. Namun dugaan Wallace meleset. Spain ternyata tak tahu apa-apa. Spain juga tak menyimpan banyak uang di apartemennya, karena sebagian besar dolar baru saja dihabiskan saat liburan. 

Wallace yang frustrasi kemudian mengeluarkan jurus “piting leher” andalannya, lalu menggiring Spain ke kamar tidur, memerkosanya. la juga menjerat leher Spain dengan cabikan kain dari baju tidur korban, sampai tewas. Wallace kabur setelah merampas kartu kredit milik Spain.

Ada kemiripan antara Hawk dan Spain: keduanya masih muda, berkulit hitam, dibunuh di rumah mereka sendiri, dan pernah bekerja di Taco Bell selama beberapa waktu. Keduanya juga tewas akibat cekikan atau jeratan di leher, lalu dirampok. Si pembunuh “mencuci” kedua mayat untuk menghilangkan jejak. Jika mayat Hawk dibenamkan di bak mandi, mayat Spain “dimandikan” dulu di bak mandi sebelum dipindahkan ke tempat tidur. 

Sayangnya, meski aksi Wallace menampakkan pola yang mudah terbaca, polisi tetap menganggap dua pembunuhan tadi tak berhubungan. Justru Wallace yang dengan cerdik mencoba mengaburkan pola. Saat enam pekan kemudian, ia mendatangi Valencia Jumper, teman adiknya. 

Jumper tak hanya “dipiting di leher”, digiring ke kamar tidur, diperkosa, lalu dijerat dengan handuk, seperti modus operandi Wallace sebelumya. Untuk menghilangkan jejak, tubuh Jumper tidak dibenamkan dalam bak mandi, tapi dibakar dalam skenario yang dibuat agar terlihat seperti kebakaran. 

Hasil autopsi tak bisa menyembunyikan kejadian yang sebenarnya. Pemeriksaan tim dokter menunjukkan, korban meninggal bukan akibat zat karbon monoksida (yang biasa menyebabkan kematian pada kasus-kasus kebakaran) atau luka bakar. Seperti dibilang dokter dari County Medical, Michael Sullivan, penyebab kematian Jumper yang sebenarnya adalah sesuatu yang disengaja, yaitu cekikan atau jeratan di leher. Hasil pemeriksaan ini mestinya bisa meyakinkan polisi bahwa mereka tengah menghadapi kasus pembunuhan berantai. Tapi polisi tetap bergeming.

Lima minggu berlalu. Pada 15 September 1993, Wallace menghampiri kediaman Michelle Stinson, rekan kerjanya di Taco Bell. Stinson yang berusia 20 tahun dan memiliki dua anak laki-laki, masing-masing berumur satu dan tiga tahun, sebenarnya sedang sakit. 

Wallace memaksa dan memerkosanya di lantai dapur, sebelum dihabisi dengan empat kali tikaman menggunakan pisau dapur. Wallace memakai kain lap untuk menyeka sidik jari dari gelas, telepon, pintu, dinding, dan lantai. Sambil melarikan diri, Wallace melemparkan pisau dan kain lap lewat pagar belakang apartemen Stinson. 

Dr. Sullivan yang mengautopsi mayat lagi-lagi muncul dengan temuan yang mengaitkan pembunuhan ini dengan pembunuhan-pembunuhan sebelumnya: Michelle Stinson memang meninggal akibat luka tusukan pisau dapur, tapi ia terlebih dahulu dicekik.

 

Diprotes masyarakat

Kepolisian Charlotte-Mecklenburg masih terkesan adem ayem, walaupun banyak orang mulai mengaitkan pembunuhan-pembunuhan itu dengan Taco Bell. Lima kematian/kehilangan dalam 15 bulan, semua dalam radius 8 km dan hampir semua korban melibatkan Taco Bell, tentu aneh sekaligus mengkhawatirkan. Masyarakat kulit hitam (jumlahnya sekitar 31 % dari total penduduk kota) yang ketakutan menuduh Pemda berdiam diri. Setelah protes kian gencar, barulah Kepolisian menggelar konferensi pers. Sersan Gary McFadden yang berkulit hitam ditunjuk sebagai pemimpin satuan buru sergap.

Bagaimana dengan Wallace? Tiga bulan setelah memerkosa dan membunuh Stinson, Wallace memang ditangkap. Namun bapak dari seorang bayi perempuan (dari hubungan dengan pacar gelapnya, bukan dengan pacar resminya, Sadie McKnight) itu ditangkap karena diduga mengutil di toko tempatnya bekerja. Karena dianggap cuma melakukan tindak kriminal ringan, tak lama kemudian Wallace dibebaskan.

Pembebasan itu membuat Wallace makin percaya diri. Modus operandinya pun semakin nekat. Wallace menjadikan Charlotte Timur sebagai zona teror, khususnya selama hampir satu bulan ke depan. 

Dua minggu setelah dibebaskan dari penjara, Wallace mencoba memalak Vanessa Mack, adik dari salah satu karyawan Taco Bell. Untuk kesekian kali, Wallace menggunakan pesonanya saat mendekati Vanessa. Korban menolak rayuan Wallace untuk berhubungan intim, tapi tidak menolak untuk mengundangnya minum-minum.

Maka di apartemen Vanessa, Wallace mengeluarkan jurus “piting leher” lagi untuk memaksa korban memberikan kode akses rekening bank. Tak cukup sampai di situ, Wallace melakukan ritual di kamar tidur dan mengakhirinya dengan menjerat leher korban memakai sarung bantal yang disembunyikannya di balik kemeja. 

Begitu ada kesempatan meninggalkan apartemen, Wallace langsung menyetop taksi menuju lokasi anjungan tunai mandiri. Namun upaya Wallace mengeruk duit kali ini gagal karena Vanessa ternyata memberikan PIN palsu.

Dua minggu berlalu. Kegagalan menguras rekening Vanessa membuat Wallace makin ganas. Pada 8 Maret, Wallace pergi ke kompleks apartemen temannya, Vernon Lamar Woods, dengan maksud hendak merampok, memerkosa, dan membunuh pacar Woods, Brandi Henderson. Tapi ketika sampai di sana, Woods yang membuka pintu. Wallace yang tak menduga Woods sedang ada di rumah sempat kelabakan, tak tahu mesti bilang apa. Akhirnya dia hanya mengucapkan selamat tinggal dan bilang akan meninggalkan kota untuk sementara waktu.

Sebelum meninggalkan kompleks apartemen, Wallace ingat, masih ada orang lain yang tinggal di sana: Betty Baucom, teman pacar Wallace, Sadie McKnight yang juga asisten manager Bojangles. Wallace yakin, Betty punya kunci dan kombinasi kode lemari besi Bojangles. Kepada Betty, Wallace mengaku hendak pinjam telepon. 

Betty dengan senang hati mempersilakan pacar karibnya itu masuk. Tapi aksi “piting leher” Wallace membuat Betty tak berkutik. Meski sudah memperoleh kunci dan nomor kombinasi, Wallace tetap menggiring Betty ke kamar tidur, menidurinya, lalu menjeratnya sampai tewas. Wallace juga mencuri TV, mobil, dan perhiasan Betty.

Dua belas jam berlalu. Wallace kembali ke kompleks apartemen yang sama, tanggal 8 Maret, sekitar pukul 20.00. la ingin memastikan bahwa temannya, Vernon Woods bekerja, sehingga ia bisa melanjutkan rencana sebelumnya: mengerjai Brandi Henderson. Setelah yakin Woods tak ada di rumah, Wallace bertamu ke apartemen Brandi. 

Sama seperti korban-korban sebelumnya, Brandi diserang dari belakang, digiring ke kamar tidur, lalu dirampok. Yang mengharukan, semua itu dijalani Brandi sambil terus mendekap bayi laki-lakinya. Serupa juga dengan korban, setelah hasrat kelelakian Wallace terpuasi, ia menjerat Brandi dengan handuk sampai tewas. Bayi yang menangis keras ikut dicekik. Sampai diam tak bergerak.

 

Aksi beruntun

Polisi mulai kebakaran jenggot. Jarak pembunuhan yang begitu dekat membuat tekanan terhadap mereka semakin besar. Dr. Sullivan kembali menguatkan modus operandi yang sama, kematian Betty dan Brandi disebabkan cekikan di leher. Dua hari setelah kematian Brandi, Sersan McFadden mengadakan rapat untuk mengumpulkan dan membandingkan semua puzzle yang ada di tangan polisi. Baru saat itu mereka sadar, Betty Baucom tinggal di kompleks apartemen yang sama dengan Brandi. Metode pembunuhan terhadap Betty dan Brandi pun cocok dengan pembunuhan terhadap Mack. 

Para detektif mendatangi keluarga dari tiga korban tersebut dan mengumpulkan daftar orang-orang yang dekat dengan mereka. Nama Wallace muncul di tiga daftar. Keesokan harinya, 11 Maret, mobil Betty ditemukan. Namun tak ada sisa sidik jari di kemudi, tongkat persneling, dan jok. Keberuntungan datang ketika polisi memeriksa bagasi. Wallace tampaknya lupa membersihkan bagian belakang kendaraan. Sidik jarinya tertinggal di badan bagasi. Upaya perburuan terhadap Wallace segera dimulai. 

Sementara itu, pada hari yang sama, Wallace membunuh korban terakhirnya, Debra Slaughter, karyawan Bojangles. Kepada Debra, Wallace terus terang menyatakan butuh banyak uang untuk membeli narkoba. Debra berhasil digiring paksa ke kamar tidur, tapi dia sempat mengadakan perlawanan ketika Wallace hendak mengalungkan handuk di lehernya. “Pasti kamu yang telah membunuh Betty dan Brandi,” teriak Debra.

Wallace menanggapi ucapan Debra dengan mengencangkan handuk dan meminta Debra mendekat. Di tengah perlawanan, Debra berusaha meraih pisau kecil yang tersimpan di tasnya. Tapi sia-sia, Wallace merebut pisau itu dan membantai Debra dengan 38 luka tusuk di perut dan dada.

Baru keesokan harinya, 12 Maret, polisi berhasil mendeteksi keberadaan Wallace. Saat ditangkap, Wallace telah membunuh sembilan perempuan muda kulit hitam. Tahun 1997, Wallace divonis sembilan hukuman mati. 

Kasus ini menjadi salah satu tonggak perbaikan layanan dan perlindungan buat masyarakat kulit hitam AS. Dee Sumpter, ibu Shawna Hawk bilang, polisi lambat bertindak karena korban adalah orang-orang biasa dan berkulit hitam. Sedangkan Slaughter, ayah dari Debra menambahkan, korban-korban banyak berjatuhan karena polisi selalu memprioritaskan kasus berdasarkan ras dan status ekonomi. “anak-anak kami memang tidak penting bagi polisi. Mereka hanya pekerja restoran cepat saji,” ujar Slaughter.

Darrell Alleyne, pensiunan polisi asal New York juga menyatakan, Wallace seharusnya sudah dimintai keterangan sejak kasus hilangnya Caroline Love pada 1992. Sedangkan Organisasi Nasional Perempuan Charlotte meminta dibentuknya komisi independen untuk menyelidiki kinerja kepolisian. 

Namun pihak Kepolisian Charlotte berdalih, kasus Wallace begitu lambat terungkap lantaran kurangnya pengalaman mereka menangani pembunuhan berantai. Pada awal 1994, mereka sebenarnya pernah minta nasehat FBI, namun analisis FBI justru menyesatkan. FBI menyimpulkan, pembunuhan-pembunuhan di Charlotte bukanlah kasus pembunuhan berantai. Profil pembunuh berantai biasanya berkulit putih dan hanya membunuh orang-orang tak dikenal. Wallace? Dia ‘kan berkulit hitam dan hanya membunuh teman.

Robert Ressler, pakar pembunuh berantai FBI bersaksi, “Jika Wallace memang pembunuh berantai, dia melakukannya dengan cara yang salah.” Pembunuh berantai sulit ditangkap lantaran selalu membunuh secara acak, sedangkan semua korban Wallace punya banyak kesamaan. Jadi, mestinya tidak ada alasan buat polisi setempat untuk meringkus Wallace, jika memang mereka serius menyelidiki.

Yang mengejutkan, selama di penjara, Wallace mengobral pengakuan mengerikan: dia juga membunuh wanita lain di luar sembilan korban. Pembunuhan-pembunuhan lain itu dilakukan Wallace ketika ditempatkan di seluruh dunia selama berdinas di Angkatan Laut. Konon, korbannya mencapai hampir 20! (Jason Lapeyre)




" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448517/pembunuh-berantai-yang-terabaikan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661951810000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304472" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/bayangan-pembunuh-berantai_rene-20220603020701.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Dalam beberapa bulan terjadi pembunuhan berantai yang meresahkan di Singapura. Semua korbannya wanita, kedua belah tangannya lenyap dibuang." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/bayangan-pembunuh-berantai_rene-20220603020701.jpg" ["title"]=> string(26) "Bayangan Pembunuh Berantai" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:07:49" ["content"]=> string(43159) "

Intisari Plus - Dalam beberapa bulan terjadi pembunuhan berantai yang meresahkan di Singapura. Semua korbannya wanita, mereka tidak diperkosa namun kedua belah tangannya lenyap dibuang.

-------------------------

Miss Savi Moorthy, wanita warga negara Singapura keturunan India, mengajar di sekolah menengah bergengsi, Mount Emily Girls' School di republik pulau itu. Karena apartemennya jauh dari Mount Emily, terpaksa Miss Moorthy berangkat ke tempat kerjanya pagi-pagi sekali. Tidak heran kalau ia tidak pernah sempat membaca koran.

 

Korban ketujuh

Senin pagi ia belum tahu kalau Pembunuh Berantai yang belakangan meresahkan penduduk Singapura sudah berhasil memakan satu korban lagi. Jadi, pembunuh misterius ini selama enam bulan terakhir sudah mencabut nyawa tujuh orang. 

Korbannya semua wanita bujangan yang berhasil dalam karier. Mereka tidak diperkosa, tetapi kedua belah tangannya selalu lenyap dibuang.

Miss Moorthy baru tahu perihal korban ketujuh itu ketika tiba di ruang guru di Mount Emily Girls' School. Suasana mencekam meliputi guru dan murid, sebab korban si Pembunuh Berantai adalah Miss Ngui, salah seorang guru di sekolah mereka!

"Evelyn Ngui?" tanya Miss Moorthy tidak percaya. Terbayang olehnya Miss Ngui yang tertutup dan tidak pernah mau membeli majalah wanita, tetapi selalu meminjam dari teman. "Saya harus menabung untuk menikah," begitu alasannya.

Mengingat hal itu, Miss Moorthy merasa aneh. Miss Ngui rasanya bukan termasuk wanita karier yang biasa dijuluki ‘berhasil’. Apakah Pembunuh Berantai sekarang sudah meluaskan pilihannya?

Jenazah Miss Ngui ditemukan di Fort Canning yang sepi di malam hari. Ia diperkirakan dibunuh di tempat itu dan di malam itu juga.

Kepala sekolah berpendapat, apa pun yang terjadi, sekolah mesti berjalan seperti biasa. Jadi para orang tua dikabari dan para guru mendapat tugas tambahan untuk secara bergilir menggantikan tugas Miss Ngui.

Pada jam istirahat, Miss Moorthy menelepon pacarnya. Mayor dr. Anthony Tan, ahli patologi forensik di Singapore General Hospital. Ternyata Anthony sedang tidak ada di kantor maupun laboratoriumnya. 

Miss Moorthy ingin mengetahui reaksi David Kwa, teman Anthony yang pernah menjadi pacar Evelyn Ngui. Setahu Miss Moorthy, David Kwa sangat terpukul ketika Evelyn Ngui memutuskan hubungan tiga bulan lalu.

Miss Moorthy merasa tergoda untuk menelepon David di rumahnya. Dicarinya nomor telepon pria itu. "David sedang tidak bisa menerima telepon. Siapa ini?" jawab seorang wanita dengan ketus. 

Miss Moorthy mengenali suara Ny. Wee, ibu David. Ia kenal wanita itu, karena pernah beberapa kali diajak Anthony ke rumah David. Tadinya ia berniat memperkenalkan diri, tetapi akhirnya ia cuma berkata, "Nanti saja saya telepon kembali. Terima kasih." Di ujung sana, Ny. Wee mengira peneleponnya wartawan.

Akhirnya, bisa juga Miss Moorthy menghubungi Anthony. "Tadi untuk pertama kalinya aku memeriksa mayat orang yang aku kenal," cerita Anthony yang ketika ditelepon sedang bersama Ny. Wee. Wanita itu kebingungan setengah mati karena anaknya yang cuma semata wayang itu mengunci diri saja di kamar.

"Nanti sore aku akan ke sana," kata Anthony. "Kau ikut, Savi?" Tentu saja Miss Moorthy mau. 

Setahu Miss Moorthy, Anthony sebetulnya tidak begitu cocok bergaul dengan David yang cengeng dan perajuk, walaupun baik hati. 

Namun, karena orang tua Anthony dulu bersahabat dengan orang tua David, sejak kecil mereka sering disuruh bermain bersama-sama. Apalagi setelah ibu-bapak Anthony meninggal bersama ayah David dalam kecelakaan perahu.

 

Tamu tidak diundang

Ny. Wee sangat sayang kepada putranya. Repot sekali ia menyambut Anthony dan Miss Moorthy. Ketika Anthony naik ke kamar David, Miss Moorthy disuguhi sekoteng yang lezat. Ny. Wee hidup lumayan makmur berkat usaha kantin di sebuah sekolah politeknik. 

Miss Moorthy melihat sebuah piagam dari sekolah tersebut dipajang di dinding, bertuliskan: Penghargaan untuk Ibu Wee Siew Cheng, Juli 1988.

"Kasihan gadis itu," kata Ny. Wee. "Tadinya aku pikir, dia tidak cocok untuk David. Tapi akhirnya, yaah ... kami bisa cocok juga. Aku kaget waktu David tiba-tiba bilang mereka sudah memutuskan hubungan."

Dalam perjalanan pulang, Anthony bercerita bahwa David menderita shock. Anthony memberinya obat penenang. David menceritakan bahwa ia putus hubungan dengan Evelyn Ngui gara-gara ada pria lain. Ia tidak tahu pria itu. 

Evelyn menyebutnya ‘Stevie’. David berharap, suatu ketika nanti Evelyn akan kembali kepadanya, sebab pria itu beristri. Ternyata Evelyn memang meminta hubungan mereka disambung kembali, tidak lama sebelum meninggal.

"Hah!" seru Miss Moorthy tidak percaya. "Miss Ngui ingin kembali kepada David? David kan bukan pria menarik!"

Malam itu Miss Moorthy sendirian saja di apartemennya, di tingkat tiga Gedung Greenleaf Lodge. Teman seapartemennya, Connie Chye, belum pulang. Tengah malam Miss Moorty terbangun. Apartemennya gelap. Tiba-tiba ia kaget, karena dilihatnya pintu kamarnya terbuka. 

Miss Moorthy merinding melihat bayangan asing muncul dari celah pintu. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, pintu depan terbuka. Rupanya Connie pulang. Bayangan itu menyelinap masuk ke kamar Miss Moorthy.

Terdengar bunyi ‘klik’ beberapa kali. Rupanya Connie mencoba menyalakan lampu, tetapi tidak berhasil.

“Savi...," begitu kedengaran suara Connie. "Kau baik-baik saja?" Miss Moorthy tidak menjawab. Kerongkongannya kering kerontang. "Sialan! Sekring putus lagi!" gerutu Connie. Suaranya aneh. Apakah ia menyadari ada sesuatu yang ganjil? 

"Minum dulu, ah!" suara Connie pula, seperti orang mabuk. Kedengaran gelas berdenting dengan botol di dapur. Bayangan di kamar Miss Moorthy menyelinap ke luar.

Sambil menahan rasa tegang, Miss Moorthy bangkit lalu merayap ke luar. Ruang duduk lebih terang, sebab cahaya lampu jalan menembus kaca jendela. Miss Moorthy melihat seorang pria menuju ke dapur. 

Miss Moorthy lantas menyambar sepotong bata di ruang duduk. Di situ memang ada setumpuk bata dan beberapa lembar papan. Rencananya, bata dan papan itu akan disusun agar menjadi rak buku darurat, tetapi belum keburu.

Ia segera ikut masuk ke dapur. Tiba-tiba cahaya lampu senter menyorot ke arah pria itu dan Miss Moorthy. Pria tak diundang itu berbalik dan langsung berhadapan dengan Miss Moorthy. Serta merta Miss Moorthy mengayunkan bata dengan kedua belah tangannya ke wajah pria itu. Berbarengan dengan ayunan Miss Moorthy, Connie menghantam belakang kepala pria itu dengan batu bata pula! Pria itu roboh.

Connie dan Miss Moorthy segera menelikung tangan dan kaki pria itu dengan kabel rice cooker dan kabel pengisap debu. Lalu, Connie menelepon polisi.

"Aku curiga. Jadi aku pura-pura ke dapur sambil menyambar batu bata dan senter," cerita Connie.

Sehabis menangkap tamu tidak diundang, keduanya tidak bisa tidur, sehingga mereka mengobrol tentang Miss Ngui.

 

Enam bukan tujuh

Keesokan harinya, seperti biasa Miss Moorthy mengenakan sarinya dan pergi bekerja. Di kantor ia malas bercerita perihal kejadian semalam. Apalagi ia segera ke bagian tugas menghadapi Ny. Chan yang terkenal rewel. 

Seperti biasa, Ny. Chan yang konon bekas ratu kecantikan di Hongkong itu hendak memprotes nilai yang diperoleh putrinya, Sybil.

Sybil yang bertubuh besar dan lumayan cantik itu termasuk murid pandai, tapi anehnya ia tidak pernah mau berbicara sejak beberapa tahun lalu.

Miss Moorthy pernah sekali melihat ayah Sybil. Pria ahli kandungan dan kebidanan terkemuka itu bertubuh kecil. Di samping istrinya yang tinggi besar, ia kelihatan seperti anak laki-laki yang sangat tahu aturan atau pelayan yang terdidik dengan baik. Miss Moorthy sampai geli mengingatnya.

Setelah meladeni Ny. Chan, Miss Moorthy mulai mengajar seperti biasa. Sorenya, ketika dalam perjalanan pulang, di stasiun kereta api bawah tanah, terbaca olehnya headline The New Paper. Bunyinya: "Pencekik Dibekuk". Miss Moorthy menghela napas.

Dengan mengantuk Miss Moorthy menaiki tangga ke apartemennya. Alangkah herannya dia melihat wartawan mengerubungi tetangganya, Ny. Chew. Lalu, wartawan itu berbalik ke arahnya untuk berebut memotretnya. 

Miss Moorthy tercengang. Baru beberapa saat kemudian ia tahu, bahwa Connie dan dia semalam meringkus Pencekik Beruntun!

"Astaga!" pikir Moorthy. "Orang yang penampilannya biasa begitu kok bisa jadi pembunuh tujuh wanita!" 

Malamnya, Mayor dr. Anthony Tan datang. Mereka mengobrol tentang Pembunuhan Berantai. Menurut penuturan Anthony, jahanam berumur 38 tahun itu penganggur dan pernah berurusan dengan polisi. Sekali karena memperkosa dan sekali karena kencing di lift.

Dalam menjalankan kejahatannya, ia pernah berpura-pura menjadi wartawan dan mahasiswa kedokteran. Terakhir kalinya ia bekerja pada seorang wanita karier bernama Vivien Chee. Tapi karena ketahuan menggelapkan uang, ia diancam majikannya akan dimejahijaukan. Vivien Chee lantas menjadi korban pertama. Tidak ada orang yang mengaitkan kematian wanita itu dengan si karyawan, sebab para korban lain segera berjatuhan.

Mengapa ia membunuh berulang-ulang dan memotong tangan korban-korbannya? Penjelasan tentang ini simpang siur. Antara lain ia mengaku ingin membuat si wanita tidak berdaya, sebab katanya, wanita selalu menindas pria. The New Strait Times menulis bahwa si Pencekik tidak memberi keterangan berbelit-belit. Ia menunjukkan tempat menyembunyikan tangan semua korbannya.

Ada keterangan lain yang didapat Miss Moorthy. Menurut berita yang diperoleh Anthony, si Pencekik tidak membunuh Evelyn! "Pihak imigrasi membenarkan bahwa ia tidak berada di Singapura sejak Jumat malam sampai Senin pagi," cerita Anthony kepada Miss Moorthy. "Ia berada di Malaysia, sebab diam-diam ia mempunyai istri dan tiga anak di Johor."

Selain itu, kata Anthony di tempat tangan-tangan korban disembunyikan, cuma dijumpai enam pasang tangan. Semuanya kini berada di laboratorium Anthony.

"Evelyn dicekik dengan tali. Korban lain dengan tangan telanjang," kata Anthony membocorkan keterangan kepada pacarnya. "Enam pasang tangan korban sebelumnya dibacok dengan kasar, tapi tangan Evelyn dilepaskan oleh seseorang yang sedikit banyak mengenal anatomi."

"Mungkin si Pencekik sudah lebih terampil," gugat Miss Moorthy.

“Mana bisa mendadak! Itu sih pekerjaan dokter atau jagal," bantah pacarnya. "Ada hal lain," sambung Anthony pula. "Evelyn hamil tiga bulan."

 

Boneka kelinci lenyap 

Karena dikejar-kejar wartawan, Miss Moorthy tidak segera pulang sehabis sekolah usai. la tetap tinggal di ruang guru, sambil membenahi raknya. Perhatiannya tertarik pada sebuah boneka kelinci berwarna biru putih di rak Miss Ngui. 

Setahu dia Miss Ngui bukanlah sejenis orang yang suka benda-benda semacam itu. Di rak itu juga ada mantel kuning yang kadang-kadang di pakai almarhumah, dan sebuah kotak. Selama ini tidak ada orang yang ingat pada benda-benda peninggalan Miss Ngui.

Isi kotak begitu biasanya bukan rahasia. Jadi Miss Moorthy merasa terkejut ketika di dalamnya ia menemukan buku tabungan milik almarhumah. Di dalam buku itu terselip cek yang sudah ditandatangani Miss Ngui, tetapi nama penerima tidak ditulis. 

Jumlah tabungan sejak awal normal saja, tetapi pemasukkan terakhir sangat besar jumlahnya. Yang lebih mencengangkan ialah isi sebuah amplop tebal. Di situ terdapat enam buah foto berwarna yang menggambarkan Evelyn berdua dengan seorang pria berumur. Sikap mereka jelas bukan seperti bapak dan anak. Pria itu serasa tidak terlalu asing bagi Miss Moorthy. Siapa, ya?

Tiba-tiba Miss Moorthy merasa ada orang di belakangnya. Ia menoleh. Sybil Chan! Segera Miss Moorthy ingat pria di foto itu. Ya, pria itu ayah Sybil, dr. Chan!

"Kenapa kau belum pulang, Sybil?" tanyanya seraya membenahi foto. Seperti biasa anak itu tidak menjawab, cuma memberi isyarat ia enggan pulang seraya memandang boneka kelinci dengan penuh minat.

Buru-buru Miss Moorthy membungkus foto tersebut dan menaruhnya kembali ke rak. Sebuah benda kecil jatuh. Miss Moorthy cepat memungutnya untuk dimasukkannya ke saku, lalu digiringnya Sybil ke luar. Entah mengapa, ia menaruh simpati kepada anak itu.

Sore hari, ketika Miss Moorthy membuka sarinya, jatuh benda kecil yang tadi dipungutnya di ruang guru. Ternyata benda yang berasal dari kotak Miss Ngui itu sebuah kantung kecil. Di dalamnya ada sebuah cincin emas bermata hijau bulat. Cincin itu sederhana, kuno, dan jelek. Di bagian dalamnya tertulis: S.C 20 April.

Hati Miss Moorthy terkesiap. "S.C. Stephen Chan! Ayah Sybil!" pikirnya. "Kok dokter ahli kandungan sebeken itu membeli cincin sejelek ini. Apa uangnya semua dipegang oleh istrinya yang galak itu?" Cincin itu begitu kecilnya sampai tidak muat di kelingking Miss Moorthy. Pasti di Evelyn Ngui pun tidak muat, sehingga tidak dikenakan. Teringat pada jari Evelyn yang raib entah ke mana, hati Miss Moorthy jadi kecut.

Keesokan harinya Miss Moorthy memberi tahu kepala sekolah bahwa Miss Ngui meninggalkan sesuatu di rak. Kepala sekolah tidak tahu barang-barang itu harus dikemanakan sebab 

Miss Ngui tidak mempunyai sanak saudara di Singapura. Mereka bengong ketika melihat pemasukan terakhir di tabungan Miss Ngui. Dua puluh ribu dolar! Kepala sekolah memutuskan untuk menyerahkannya kepada polisi.

Saat melapor kepada kepala sekolah, Miss Moorthy sudah mengangkat foto-foto Miss Ngui. la khawatir murid-murid ribut mengetahui Miss Ngui berpacaran dengan ayah Sybil.

Namun yang mengagetkan Miss Moorthy adalah: kelinci biru sudah lenyap. Apakah Sybil yang mengambilnya?

 

Bertengkar di restoran

Miss Moorthy menceritakan semua yang didengarnya dari Anthony kepada Connie, karena teman seapartemennya itu bisa dipercaya.

"Ooh! Jadi pembunuhnya bukan si Pencekik Beruntun? Kok tidak dimuat di koran," komentar Connie. 

"Mungkin dirahasiakan. Atau polisi tidak percaya pada keterangan Anthony sebagai ahli forensik." 

"Jadi siapa dong pembunuhnya?" 

"Stephen Chan, karena Evelyn hamil!" jawab Miss Moorthy. "Uang 20.000 dolar itu ia terima sebagai uang tutup mulut tidak lama sebelum meninggal."

Connie menggugat, "Kalau mulutnya bisa ditutup dengan uang, buat apa ia dibunuh?”

"Mungkin karena Evelyn tidak mau uang. Ia ingin Stephen Chan. Istrinya tahu atau tidak, ya? Kalau istrinya tahu, pasti istrinya yang membunuh."

Lalu Connie menambahkan. "Atau mungkin temanmu, si David itu. Dia kan mengharapkan Evelyn kembali kepadanya, tetapi ternyata tidak."

Rupanya bukan cuma Anthony sendiri yang mengira pembunuh Evelyn bukan si Pembunuh Berantai. Buktinya David diinterogasi polisi. Anthony merasa bersalah, sebab gara-gara keterangan sebagai ahli forensik, temannya mendapat kesusahan.

David dicurigai, karena pada malam sebelum Evelyn dibunuh, sejumlah pelayan dan tamu Restoran Jack's Place menyaksikan David bertengkar dengan Evelyn. Menurut pelayan bernama Johannie Tan (22), wanita yang makan bersama David marah, lalu menangis, dan keluar dari restoran. la terakhir kelihatan menelepon dari lobi.

Ibu David, Ny. Wee, memberi kesaksian bahwa putranya tinggal bersamanya di rumah sepulang dari restoran. Namun, David bukan pendusta ulung. la tidak mampu memberi keterangan yang cocok.

Menurut versi David, sepulang dari restoran ia berjalan-jalan sendirian, lalu menonton di Bioskop Cathay, juga sendirian. Barulah ia pulang ke rumah. Seluruhnya makan waktu tiga jam.

Walaupun diketahui suka keluyuran sendiri dan bisa menceritakan film yang diputar hari itu di Cathay, ia tetap dicurigai.

Namun David tidak ditahan. Miss Moorthy membujuk Anthony agar mengajak David makan malam bersama mereka, untuk menghibur hatinya. Soalnya, David sangat grogi. Untung, ibunya tabah dan melindungi anaknya bagai induk macan. "Jangankan membunuh manusia. Membunuh kepiting pun ia tidak tega," kata Ny. Wee.

David kehilangan gairah hidup dan nafsu makan. Dari percakapan di restoran ketahuanlah bahwa Evelyn lahir di tahun kelinci, tetapi tidak suka kelinci. David tidak tahu-menahu perihal boneka kelinci di rak Miss Ngui. Polisi memberi tahu David perihal isi buku tabungan Evelyn, tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya 20.000 dolar itu.

"Tak mungkin dari keluarganya. Mereka miskin dan Evelyn tidak akur dengan keluarganya. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai dan meninggalkan Singapura. Evelyn tidak mau ikut dengan mereka. Ia tinggal menumpang pada Jek."

"Siapa Jek?" tanya Miss Moorthy. David segan menjawab. Katanya, Evelyn tidak mau orang tahu tentang Jek, yang semula diakuinya sebagai sepupunya. "Jek itu bencong," kata David. "Ia pelukis.”

David tidak tahu dengan jelas perihal pacar baru Evelyn, kecuali bahwa pria itu dipanggil Stevie, beristri, kaya, dan mengendarai Mercedes. "Stephen Chan!" seru Miss Moorthy. "Ia dokter ahli kandungan dan kebidanan terkemuka."

"Kalian bertengkar soal apa sih Sabtu Malam di Jack's Place?" tanya Miss Moorthy.

Kata David, Evelyn mendesak agar mereka segera kawin. David meminta waktu. "Aku perlu meminta Ibu berpikir dulu, dong. Ibu mau tinggal bersama kami, atau kami tinggal bersama Ibu. Evelyn malah ngambek diberi tahu begitu." Miss Moorthy bersimpati kepada Evelyn dalam hal ini.

"Evelyn tidak punya banyak waktu untuk menunggu. Kandungannya 'kan terus membesar," kata Miss Moorthy.

"Oh, kalian tahu Evelyn mengandung, ya? Sebenarnya aku minta agar dia jangan menceritakan kepada siapa pun ...."

 

Jek suka Evie

Keesokan harinya Miss Moorthy nekat mendatangi apartemen kecil yang tidak memiliki telepon di daerah Ang Mo Kio. Menurut David, di sanalah Jek tinggal.

Walaupun bersiap-siap menemui seorang waria, tidak pernah terbayang oleh Miss Moorthy, kalau Jek Kok Kee begitu cantik. Jek mengenakan kaus oblong longgar dan celana pendek longgar. Wajahnya mirip ABG (anak baru gede) yang tak kenal dosa. Bulu matanya panjang dan lentik.

Miss Moorthy mengaku teman Evelyn Ngui. Jek menanggapi datar saja, tanpa memberi kesan percaya ataupun tidak. Ternyata ia tahu banyak tentang Evelyn. Ia tahu tentang David, bahkan juga bahwa Miss Moorthy bukan teman dekat Evelyn. "Evie menceritakan semuanya," katanya.

Akhirnya, Miss Moorthy terpaksa mengaku bahwa ia teman David. "Saat ini David dicurigai. Jadi saya ingin meminta keterangan dari Anda, barangkali Anda bisa membantu menunjukkan pembunuh Evelyn."

"Jelas bukan saya," jawab Jek, "saya menyukai Evie. Ia membantu saya."

Menurut pendapat Jek, yang paling patut dicurigai memang David. Kalau bukan David, ya Steve. Ia tidak tahu siapa Steve, kecuali bahwa orang itu kaya, suka memberi banyak uang, dan mengendarai mobil besar. Jek tidak suka pada Steve.

"Sinting orang itu," kata Jek. "Ia tidak suka Evie tinggal dengan saya dan memaksa Evie untuk pindah dari sini. Mau pindah ke mana? Ke rumahnya dan tinggal dengan anak-istrinya?"

Miss Moorthy bertanya-tanya di dalam hati, bantuan apa yang diberikan oleh Evie kepada pelukis waria itu. Rasa ingin tahunya rupanya terjawab ketika Jek memperlihatkan lukisan-lukisannya. Modelnya Evie. Jek membuat Evie tampak cantik di atas kanvas. Tapi ada pula Evie yang digambarkan sebagai karikatur yang mengerikan. Miss Moorthy bergidik.

Ketika tiba di apartemennya Miss Moorthy menceritakan temuannya kepada Connie. "Aku kira Jek itu gila. Jangan-jangan ia ayah anak Evelyn. Ia membunuh Evelyn karena tidak sanggup memikul tanggung jawab," tutut Connie.

"Tapi Connie, Jek itu kecil."

"Anthony 'kan bilang, untuk mencekik dengan tali tidak dibutuhkan tubuh besar." 

"Aku tidak berani bilang ia pembunuh Evelyn atau bukan. Tetapi percayalah kepadaku, ia pasti bukan ayah anak Evelyn."

 

David merasa membunuh 

Anthony ditelepon Ny. Wee. Katanya, David mogok makan dan tidak mau keluar kamar. Kerjanya cuma menangis. Jadi Ny. Wee meminta tolong Anthony agar datang membujuk anaknya.

"Ajak Savi, untuk makan malam sekalian di rumah kami," undangnya.

Anthony pun datang bersama Miss Moorthy. Sementara Miss Moorthy menunggu di bawah ditemani Ny. Wee, Anthony naik ke kamar David. Ny. Wee sudah menyediakan makanan semeja penuh. Miss Moorthy teringat pada peringatan Connie: "Hati-hati kau diracuni Ny. Wee, Savi! Aku sih yakin David yang membunuh Evelyn. Siapa tahu Ny. Wee menganggap kau berbahaya, karena berusaha menyelidiki. Kalau kau tidak pulang, aku laporkan ke polisi!"

Ny. Wee mengeluh David lemah. "Padahal kalau kita tabah, semuanya akan berlalu. Aku tidak tahu deh, bagaimana kalau aku sudah tidak ada," katanya.

Ketika Anthony turun, Ny. Wee memaksa mereka makan masakannya yang enak-enak. "Anthony, David sudah tidak bisa aku ajak bicara lagi," katanya. "Aku khawatir ia malah jadi gila. Sebaiknya, kau saja yang menanganinya. Aku betul-betul minta tolong, nih!" Kentara betul ia bertambah risau akan nasib putranya.

Dalam perjalanan pulang, di mobil, Anthony bercerita bahwa pikiran David kacau. David berkata, bahwa rasanya memang dia yang membunuh Evelyn!

Miss Moorthy tertegun. "Anthony, apakah betul David yang membunuh Evelyn?" 

"Aku tidak tahu, Savi." 

Miss Moorthy mengerti, Anthony mengira hal itu mungkin terjadi.

"Mengapa David berkata rasanya ia membunuh Evelyn?" tanya Miss Moorthy ketika sudah di apartemennya. Saat itu Connie pun hadir. "Aku sangsi David mampu membunuh Evelyn. Aku, Connie, dan kau Anthony, pasti mampu membunuh Evelyn kalau ada motifnya. Tapi David 'kan orang yang tidak pernah bisa bertindak tegas. Kecuali kalau ia dipojokkan ...."

Namun, tidak semua orang berpendapat bahwa David tidak mau membunuh.

 

Jek ingin bertemu

Malamnya, Anthony menelepon Miss Moorthy untuk memberi tahu bahwa ia baru saja ditelepon David. Menurut David, Jek Kok Kee meneleponnya. Jek meminta David datang ke apartemennya besok pukul 16.00, karena ada hal penting yang ingin ia sampaikan sehubungan dengan kematian Evelyn. David menyanggupi, tetapi kemudian menyesal. 

"Kalau ibuku tahu, pasti aku dilarang datang," katanya. Ia tidak bisa membatalkan janjinya, karena Jek tidak mempunyai telepon. Sebetulnya, ia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Jek. Jadi, David meminta tolong Anthony untuk mewakilinya datang.

"Savi, apakah menurut pendapatmu David akan diperas oleh Jek?" tanya Anthony.

"Rasanya susah membayangkan Jek sebagai pemeras," jawabnya. "Lagi pula bisa mendapat apa dia dari David?" lanjut Miss Moorthy.

"Anthony, rasanya lebih masuk akal kalau Jek membunuh Evelyn. Lalu ia khawatir David bisa menduganya. Karena itu ia meminta David datang untuk dibunuh. Kalau kau yang datang kau yang dibunuh. Ah, gila! Kalau kau pergi juga, aku ikut!"

Pukul 15.50 mereka tiba di muka pintu apartemen Jek. Ketika Miss Moorthy mengetuk, pintu itu terbuka sedikit. "Halo!" kata Miss Moorthy. Tak ada yang menjawab. 

Percuma Miss Moorthy memanggil-manggil. Anthony mendorong pintu. Jek kelihatan duduk bersandar ke dinding. Matanya melotot. Kedua tangannya memegang dadanya yang datar. Di celah-celah jarinya kelihatan noda darah di baju kausnya yang kotor.

"Mati," kata dr. Anthony Tan. Tubuh Jek masih hangat. "Kita mesti menunggu di sini sampai polisi datang," kata Anthony. "Di mana teleponnya, ya?"

"Dia 'kan tidak punya telepon."

Mereka terpaksa turun dengan lift ke lobi. Miss Moorthy menunggu sementara Anthony menelepon. Di gedung apartemen murah itu cukup banyak orang berlalu-lalang.

Miss Moorthy dan Anthony ditanyai polisi sampai lama sekali dan berulang-ulang sebelum boleh pergi. Ketika Anthony mengantarkan Miss Moorthy ke apartemennya, ternyata Connie sudah pulang.

"Jangan-jangan waktu kalian datang, pembunuhnya masih bersembunyi di tempat Jek," kata Connie. "Eh, Savi, waktu kau menunggu Anthony menelepon, kau melihat ada orang yang lewat tidak?"

"Banyak dong. Namanya juga di apartemen rakyat."

Lalu tiba-tiba Miss Moorthy ingat bahwa ia melihat seorang pria yang rasa-rasanya pernah ia jumpai, keluar dari lift lalu bergegas ke tempat parkir. Pria itu meluncur pergi dengan mobilnya yang berwarna putih. 

"Kau ingat nomornya?" tanya Connie bersemangat. 

"Tidak." 

"Waaaah ...." 

"Mobilnya seperti mobil menteri. Besar, bersih, putih ... Eh, aku ingat sekarang. Itu 'kan dr. Stephen Chan, ayah Sybil!" 

"Anthony," kata Miss Moorthy pula. "Kau bilang tangan Evelyn Ngui dipotong oleh orang yang sedikit banyak mengerti anatomi. Stephen Chan adalah kekasih Evelyn dan ia dokter walaupun bukan ahli bedah. Kemarin Jek meneleponnya dan kini Jek meninggal. Apa artinya?"

"Savi," kata Anthony, "jangan keburu nafsu menarik kesimpulan. Dari mana kau tahu Jek meneleponnya?"

"Kalau ia tidak ditelepon, mengapa ia ada di sana? Bisa saja dia yang membunuh Evelyn dan kini dia membunuh Jek. Aku harus berbicara dengannya."

"Kau jangan gegabah, Savi. Ia dokter terkenal. Ia pasti mempunyai pengacara. Kau bisa dituntut."

 

Ditawari uang suap 

Walaupun dilarang Anthony, Miss Moorthy nekat juga. Connie bersedia membantunya. Mereka menemui dr. Stephen Chan di kliniknya.

Miss Moorthy bertanya dengan sopan dan dr. Chan menjawab dengan tenang dan sopan juga. Ia menyangkal membunuh Evelyn Ngui ataupun Jek. Katanya, ia cuma sebulan pacaran dengan Evelyn, lalu tiba-tiba Evelyn memutuskan hubungan. 

Alasan Evelyn: ia ingin menikah dan mempunyai anak dan kedua hal itu tidak bisa diharapkan dari dr. Chan. Dokter Chan bisa memahami Evelyn, sehingga mereka berpisah baik-baik. Ia mengakui tidak pernah diperas, tidak pernah memberikan uang 20.000 dolar kepada Evelyn, walaupun beberapa kali ia pernah memberi uang karena ia senang dengan Evelyn dan karena Evelyn memerlukan bantuan. 

Evelyn bukan pengelola uang yang baik, katanya. Namun, pemberiannya paling banyak hanya 200 dolar setiap kali. Pernah dulu ia menjanjikan akan menolong Evelyn untuk belajar di Inggris. Ketika Evelyn tewas, ia menerima surat dari Jek, yang menyatakan ingin menyampaikan sesuatu perihal kematian Evelyn. 

Surat itu dialamatkan ke kliniknya. Ia terlambat datang, karena tidak bisa meninggalkan pasiennya. Ketika ia tiba, ia melihat Miss Moorthy di lobi, tetapi tidak tahu kalau Miss Moorthy berada di sana karena Jek. Ketika naik ke apartemen Jek, ia kaget mendapati Jek sudah tewas. Jadi ia buru-buru menyingkir.

Connie, Miss Moorthy, maupun Anthony merasa keterangan Stephen Chan masuk akal.

"Dia mirip David, ya. Maksudku David takut kepada ibunya. Dia takut kepada istrinya," kata Connie. "Jangan-jangan istrinya yang membunuh Evelyn dan berusaha agar kelihatannya si Pembunuh Berantai yang melakukannya. Bisa saja, 'kan ia menemukan surat Jek yang berbau pemerasan itu, lalu menghabisi Jek. Apa kau bilang senjata yang dipakai menikam Jek itu?"

"Obeng yang masih ada tempelan harganya. Barang itu dibeli di Pasar Swalayan Cold Storage."

Connie tidak terlalu ngawur, pikir Miss Moorthy. Namun, apa betul Ny. Chan bisa melakukan hal itu? Ia agak sangsi.

Di sekolah Miss Moorthy ternyata didatangi Ny. Chan yang bertubuh tinggi besar dan cantik. Dari beberapa kali pertemuan sebelumnya, Miss Moorthy tahu, wanita itu sangat cerdas, efisien, dan berwatak kuat.

Miss Moorthy selalu menghargai keterusterangan, namun ia tidak menduga kalau Ny. Chan langsung menembak begini: "Sebaiknya kita tidak usah berbasa-basi. Apa maksud Anda mendatangi suami saya? Ia sudah menceritakan semuanya. Kami bukan orang kaya (Dusta, pikir Miss Moorthy). Bagaimana kalau saya memberi Anda 10.000 dolar?"

Miss Moorthy kaget. Lalu ia sadar bahwa Ny. Chan mengira ia mendatangi dr. Chan untuk memeras. "Anda mau menyuap agar saya tidak memberi tahu orang lain perihal hubungan suami Anda dengan Miss Ngui?" tanyanya. 

"Ya," jawab Ny. Chan tegas. 

"Dulu Anda juga menyuap Evelyn? Dua puluh ribu dolar?" 

Wanita itu tercengang sejenak. 

"Saya tidak mau uang Anda." 

"Jadi apa yang Anda kehendaki?" 

"Saya ingin mengetahui pembunuh Evelyn Ngui."

Ny. Chan memandang dengan sikap penuh selidik kepada Miss Moorthy. Tampaknya ia percaya pada kata-kata guru anaknya itu, sebab nada suaranya menjadi lebih lemah.

"Maaf. Saya menawarkan uang bukan untuk menghina Anda. Cuma ... cuma saya pikir itu yang paling baik. Mengapa perlu diributkan lagi. Dia 'kan sudah meninggal."

“Ya, tapi kita mesti mencari pembunuhnya." 

"Lo, pria yang ditangkap itu ...." 

"Ia bisa saja pembunuh Evelyn, tetapi tidak mungkin pembunuh Jek Kok Kee." 

Ny. Chan memandang tajam. "Kalau Anda usil, Anda bisa celaka."

 

Mencoba bunuh diri

“Ia lebih banyak mengancam daripada memperingatkan," kata Anthony ketika Miss Moorthy menceritakan pengalamannya. Hari itu juga Miss Moorthy mendapat berita besar dari pacarnya: David yang selama ini di rumah saja dan mengurung diri di kamar, mencoba bunuh diri dengan meminum obat penenang cukup banyak. Kemudian ia memberi tahu ibunya dan wanita itu bergegas menelepon Anthony.

"Obat begitu sih sebetulnya tidak cukup untuk mematikan," cerita dokter itu. "Paling-paling ia akan teler lama. Aku pompa perutnya. Ia mengigau terus. Katanya, rasanya ia membunuh Evelyn, tapi ia baru menyadari hal itu ketika menemukan tangan dingin yang keras seperti batu. Ia tahu, pasti itu tangan Evelyn."

"Ibunya yang sebelumnya tabah, sekarang ikut senewen." sambung Anthony. "Aku risau melihat keadaan David. Melihat gejala-gejalanya sih, ia menderita skizofrenia." Miss Moorthy pun sama risaunya, karena sekarang ia tahu pembunuh Evelyn Ngui!

Selama ini ia telah mencoba mencari jawaban untuk hal-hal berikut: Evelyn tinggal dengan Jek Kok Kee. Walau ia putus hubungan dengan David Kwa, tetapi ia masih mempunyai pekerjaan, tempat berteduh, dan uang ekstra dari Stephen Chan. Jadi keadaannya tidak gawat.

Mengapa ia memutuskan untuk kembali kepada David dan ingin menikah secepatnya? Karena ia hamil. Jek mempunyai kesempatan paling besar untuk membunuhnya, tapi Jek pun dibunuh. 

Ada dua kemungkinan: Jek membunuh Evelyn, lalu ada orang yang mewakili Evelyn membalas perbuatan keji itu. Bisa juga Evelyn dibunuh orang lain, lalu Jek dibunuh juga karena ia tahu terlalu banyak.

Selain itu Evelyn kelihatan menelepon sebelum ditemukan menjadi mayat. Siapa yang diteleponnya?

Sehari sebelum Jek meninggal, David mengaku menerima telepon dari Jek. Jek menyatakan ada yang ingin ia sampaikan perihal kematian Evelyn. Dokter Stephen Chan mengaku mendapat surat dari Jek, yang ingin bertemu dengannya untuk membicarakan kematian Evelyn. Mengapa Jek tidak menelepon saja? 'Kan nomor telepon dokter terkenal itu tercantum di buku telepon. 

Miss Moorthy penasaran. Ia ingat di rumah Jek tidak ada buku, majalah, maupun koran. Ketika dicek ke tetangga, ternyata Jek buta huruf! Ia mengandalkan Evelyn untuk baca-membaca dan tulis-menulis.

 

Menolak jadi mertua

Keesokan harinya Miss Moorthy tidak bisa memusatkan pikiran di sekolah. Ia memeriksa kotak surat Miss Ngui di sekolah dan menemukan surat yang dikirim dengan pos udara. Kalau saja Evelyn Ngui tidak meninggal, Miss Moorthy tidak berani membacanya. 

Surat itu berasal dari orang tua Miss Ngui di Kuching. Mereka mengucapkan selamat karena Miss Ngui akan menikah dengan David Kwa. Orang tua Miss Ngui menyatakan tidak mampu datang karena ongkosnya besar.

Setelah itu Miss Moorthy berpikir-pikir apa yang sebaiknya ia lakukan dan apa akibatnya bagi orang lain.

Dengan bersusah payah, berhasil juga Miss Moorthy meyakinkan polisi, bahwa sebaiknya mereka mencari tangan Evelyn Ngui di lemari pembeku milik Ny. Wee! Polisi memang menemukannya, walaupun sudah tidak berupa tangan lagi, melainkan berupa daging dan tulang cincang yang disatukan dengan tulang babi yang biasa dipakai untuk membuat kaldu. Hanya dengan penelitian laboratorium tangan Evelyn Ngui bisa dikenali.

Pembunuh Miss Ngui adalah Ny. Wee! Ny. Wee yang tidak setuju bermenantukan Evelyn Ngui, pernah menyogok pacar anaknya itu sebesar 20.000 dolar agar memutuskan hubungan. Kebetulan ada dr. Stephen Chan yang menjanjikan akan menyekolahkan Miss Ngui. Miss Ngui berpacaran dengan Stephen Chan, Miss Ngui mendapati dirinya hamil. 

Ia terpaksa meminta pertanggungjawaban ayah janin dalam kandungannya, yaitu David Kwa. David memang ingin Evelyn kembali kepadanya, tetapi ia takut pada ibunya. Ia meminta Evelyn menunggu. Evelyn tidak mau. 

Di restoran ia mengancam David, akan memberi tahu ibu David perihal ia hamil. Evelyn menduga, mau tidak mau Ny. Wee akan menerima dia sebagai menantu, karena ia mengandung anak David. Pemberitahuan itu disampaikan Evelyn lewat telepon sehabis bertengkar di restoran.

Evelyn Ngui menyatakan bersedia mengembalikan uang yang 20.000 dolar kepada Ny. wee. Ceknya sudah ia siapkan. Ny. Wee pura-pura setuju, sambil menyuruh Miss Ngui menemuinya segera di Fort Canning. Di sanalah Evelyn Ngui dihabisi. Supaya dikira dibunuh si Pembunuh Berantai, Ny. Wee yang mahir memotong-motong ayam, kaki babi, dsb. itu memotong tangan Miss Ngui.

Ny. Wee membunuh Evelyn Ngui karena ia yakin wanita itu bukan orang baik-baik dan tidak akan bisa membahagiakan putra yang disayanginya. Ia yakin Evelyn hamil oleh orang lain, tetapi menangkap David untuk menutupi malu. 

Sekali ini tampaknya David tidak bisa dicegah untuk menikahi Evelyn. David meminta cincin segala untuk diberikan kepada Evelyn sebagai ‘tanda jadi’. Ny. Wee terpaksa memberikan sebentuk cincinnya yang paling jelek. S.C. bukanlah singkatan Stephen Chan, melainkan Siew Cheng, nama kecil Ny. Wee.

Ny. Wee membunuh Jek, karena ia mendengar dari telepon extension bahwa Jek ingin menyampaikan sesuatu kepada David. Ia takut Jek tahu pembunuh Evelyn. 

Ia menulis surat kepada dr. Stephen Chan yang dianggapnya sebagai ayah bayi di rahim Evelyn Ngui, agar datang ke tempat Jek, supaya Stephen Chan-lah yang dituduh membunuh Jek. Sementara itu David menemukan tangan Evelyn di freezer (bekas dicincang), sehingga ia tahu ibunya membunuh Evelyn. David lantas mencoba bunuh diri. 

Tentang boneka kelinci yang lenyap dari rak Miss Ngui: ternyata itu milik Sybil yang disita Miss Ngui karena dipegang-pegang terus di dalam kelas. Setelah Miss Ngui tewas, Sybil diam-diam mengambilnya kembali.

(Ovidia Yu)

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304472/bayangan-pembunuh-berantai" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265269000) } } }