array(16) {
  [0]=>
  object(stdClass)#109 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3822813"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#110 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(89) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/mafiajpg-20230829120424.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#111 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(146) "Sebelum 1969, kasus penculikan jarang terjadi di Inggris. Namun di akhir tahun itu, ada kasus salah culik yang tidak pernah ditemukan oleh polisi."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#112 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(89) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/mafiajpg-20230829120424.jpg"
      ["title"]=>
      string(9) "M.3-Mafia"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 12:04:40"
      ["content"]=>
      string(15062) "

Intisari Plus - Sebelum tahun 1969, kasus penculikan jarang terjadi di Inggris. Namun di akhir tahun itu, ada kasus salah culik. Dan hingga proses pengadilan selesai, korban tidak pernah ditemukan oleh polisi.

----------

Melarikan diri dan menyandera seseorang untuk memperoleh sesuatu atau yang lazim disebut menculik, tampaknya tidak terlalu banyak penggemarnya di kalangan penjahat Inggris. Itu mungkin karena karakter orang Inggris pada umumnya, mereka terlalu perhitungan. Ini termasuk para penjahat. Alih-alih menculik, mereka itu lebih suka menodong, merampok bank, atau mencegat kiriman uang. Besar kecilnya hasil operasi lebih mudah diperhitungkan dan dipastikan jauh-jauh hari dengan saksama. 

Dalam hal penculikan, pertama dan terpenting adalah masyarakat mengutuk para penculik. Ini sudah menjadi momok tersendiri dan kerap menghantui perencanaan penculikan. Lalu yang kedua, penculikan dengan tujuan memeras uang tebusan merupakan tindakan kriminal yang sulit pelaksanaannya. Meski sudah diperhitungkan dengan cermat, ini hampir selalu bermasalah. Tawar-menawar besarnya tebusan membuat urusan semakin berlarut-larut. Sementara itu penculik selalu melarang polisi turut campur. Lalu jika negosiasi gagal, penculik akan dihadapkan pada pilihan terakhir yaitu membunuh. Hal itu merupakan suatu keterpaksaan yang tidak mudah dihindari.

Setelah sekian lama tidak pernah terjadi, pada tanggal 29 Desember 1969 kasus penculikan pun muncul lagi di Inggris. Namun ada dua hal yang berbeda. Pertama, korban bukan orang yang seharusnya diculik. Dengan kata lain, si penjahat salah menculik orang. Kedua, penculik bukanlah orang Inggris. Hal buruk pun terjadi. Rasa keadilan masyarakat Inggris dihadapkan pada soal yang rumit sekali. Pelaku-pelakunya ditemukan dan diadili. Para saksi hadir dalam persidangan. Namun sayangnya korban tidak pernah ditemukan.

Pada tanggal 29 Desember 1969 itu Nyonya Muriel MacKay dibawa orang dari rumahnya di Wimbledon. Ketika Alick MacKay pulang dari kantornya di The News of the World di Bouverie Street, dia tidak menemukan istrinya. Ada tanda-tanda perkelahian, seperti meja dan kursi yang jungkir-balik, pesawat telepon yang tergeletak di lantai.

Beberapa jam kemudian telepon di rumah keluarga MacKay berdering. Rupanya itu telepon dari si penculik yang minta uang tebusan sebesar satu juta pounds. “Kalau tidak, dia mati!” kata suara di seberang sana. Saat itu keluarga MacKay dan polisi merasa putus asa. Namun apa yang tidak diketahui oleh keluarga MacKay adalah si penculik salah menculik orang.

Alick MacKay adalah wakil ketua perhimpunan The News of the World. Dia dan istrinya adalah warga Australia, tetapi sejak bertahun-tahun tinggal di St. Mary's House di Arthur Road, Wimbledon. Penculik sebenarnya bermaksud menculik istri Rupert Murdoch. Ia berasal dari Australia juga dan ketua perhimpunan The News of the World. Tentu saja, suami istri itu juga kaya raya.

Mayat Nyonya MacKay tidak pernah ditemukan. Suatu ketika muncul pendapat bahwa tanpa mayat, tuduhan pembunuhan tidak dapat dikenakan pada tersangka mana pun. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Memang pada kebanyakan kasus, mayat merupakan bukti yang paling meyakinkan. Luka bekas peluru di kepala atau racun dalam perut bisa membuktikan terjadinya pembunuhan, sekali pun bukti-bukti itu belum menunjukkan siapa pembunuhnya.

Menghadapi aspek khas dalam kasus penculikan Nyonya MacKay ini, pihak berwajib di Inggris benar-benar menghadapi hal yang tidak mengenakkan. Mungkin agar penuntutan perkara dapat berlangsung seefektif mungkin, Jaksa Agung Sir Peter Rawlinson turun tangan. 

Ketika penyelidikan dimulai, polisi sebenarnya sama sekali tidak mengetahui dari mana harus memulainya. Untunglah ada peristiwa lain, sebelum 29 Desember 1969, yang ternyata ada hubungannya dengan penculikan “Nyonya Murdoch”. Pada tanggal 19 Desember 1969, seorang laki-laki yang mengaku bernama Sharif Mustapha dari Norbury Road-Streatham, melapor ke balai desa. Ia mengaku baru saja terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Mobilnya menabrak sebuah Rolls-Royce. Dia ingin mengetahui alamat pemilik Rolls-Royce itu. Alamat yang diterima laki-laki itu ialah kantor The News of the World di Bouverie Street. Itu adalah alamat bersama Murdoch dan MacKay.

Dalam bulan Desember 1969 itu sebenarnya Murdoch dan istrinya sedang berada di luar negeri. Rolls-Royce Murdoch berulang kali bolak-balik antara St. Mary's House di Wimbledon dan kantor di Bouverie Street. Jadi kalau penculik menguntit Rolls-Royce, pastilah St. Mary's House dikira kediaman Murdoch. Tampaknya hal ini yang menyebabkan kesalahan tragis yang mengakibatkan diculiknya Nyonya Mackay

Dari sinilah polisi memiliki formulir isian yang diisi oleh Sharif Mustapha di balai desa saat ia melapor soal kecelakaan lalu lintas itu. Menurut ahli tulisan tangan, tulisan Sharif Mustapha sengaja dibuat sedemikian rupa. Tujuannya agar tidak mirip dengan tulisan tangan yang sebenarnya milik si pelapor. Lalu mengapa nama Sharif Mustapha yang dipilihnya?

Pengejaan Sharif Mustapha agak aneh, menurut polisi. Ini memberikan kesan bahwa Sharif Mustapha hanyalah nama palsu. Pilihan nama itu sendiri menyiratkan bahwa si pengguna nama adalah orang Pakistan atau daerah sekitarnya. Pilihan polisi pada orang Pakistan karena kebanyakan orang Pakistanlah yang namanya mirip-mirip nama Arab atau Persi seperti Sharif Mustapha.

Berpegang pada dugaan itu mulailah polisi mencari laki-laki asal Pakistan. Berapa orang? Paling sedikit dua. Menurut perhitungan polisi, satu menguasai korban, lainnya mengemudikan mobil. Dugaan polisi mengenai jumlah dua orang itu juga berdasarkan keterangan seseorang yang mengaku bernama Anderson. Anderson pada tanggal 29 Desember itu, jam 4.35 sore mengendarai mobilnya melalui Wimbledon Common menuju Putney. Di depannya sebuah mobil Volvo berjalan lambat-lambat. Anderson lalu menyalipnya. Saat melewati mobil itu, dilihatnya dua orang 'seperti Arab', tepatnya berkulit kehitaman.

Anderson rupanya memang pengamat yang cermat. Sebab 10 menit kemudian saat kembali menuju Wimbledon, dia terkejut karena melihat Volvo itu lagi. Penumpangnya masih sama. Saat itu mereka berbelok ke Church Road yang menuju St. Mary's Road. Tambahan keterangan diberikan oleh seorang wanita yang pada hari yang sama lewat di depan rumah keluarga MacKay. Katanya, dia sekitar jam 6 sore melihat rumah itu lampunya menyala dan pintu depannya tertutup. Di jalan halaman ada mobil “salon bercat gelap”.

Menurut orang-orang yang mengenal Nyonya MacKay, pintu depan rumah selalu dipalang apabila ia berada di rumah seorang diri. Kalau sampai ada tamu yang dipersilahkan masuk rumah, tentunya tamu itu dapat meyakinkan ia bahwa alasan kunjungannya benar-benar penting dan mendesak.

Ketika Alick MacKay tiba di rumahnya pada tanggal 29 Desember malam itu, dengan Rolls-Royce yang dikemudikan sopir Murdoch, dia harus membunyikan bel pintu. Tetapi tidak ada jawaban. Pintu depan pun ternyata hanya tertutup namun tidak terpalang. Alick MacKay segera ke tingkat atas mencari istrinya. Namun istrinya tidak ada di atas. Ia mencoba menghubungi polisi dengan telepon tapi ternyata kabelnya tercabut. Ketika memeriksa lebih lanjut, ia menyadari bahwa perhiasan istrinya yang seharga 600 pounds hilang. Jas hangatnya bisa digunakan bolak-balik pun ikut raib.

Di lantai ruang duduk bertebaran beberapa lembar koran The People. Salah satu dari lembaran koran tersebut memperlihatkan bekas telapak tangan manusia. Ketika diperiksa, salah satu bekas sidik jarinya ternyata sama dengan bekas sidik jari yang kemudian ditemukan pada surat Nyonya MacKay dari tempat penculikannya. 

Alick MacKay masih sempat memberitahukan putrinya, Diane Dyer, bahwa sang ibu mungkin diculik. Ketika Diane tiba bersama suaminya dari Sussex, Alick MacKay terbaring di tempat tidur. Itu dilakukan atas nasihat dokter pribadinya karena kondisi jantungnya yang tidak baik. Pesan yang diterima oleh David Dyer lewat ditelepon berbunyi, “Katakan kepada Tuan MacKay, di sini M.3, Mafia. Kami minta 1 juta pounds.” Menurut David dan polisi yang menyadap telepon, bahasa Inggris penculik tidak terlalu baik. 

Pihak polisi lalu mengusulkan agar penculik diberi saja uang palsu sebanyak yang dimintanya dan disimpan dalam sebuah tas. Tetapi sebuah mobil Volvo yang pengemudinya tidak mudah dikenal ternyata tidak mau berhenti untuk mengambil tas yang berisi uang palsu itu. Sementara itu petugas polisi lainnya yang juga menyelidiki sisik melik dari polisi lain yang pergi ke pertanian Rook. Terletak di tempat terpencil di Stocking Pelgam, pertanian itu merupakan kediaman dua bersaudara Arthur Hosein dan Nizammodeen Hosein. Keduanya ditangkap dengan tuduhan menculiknya dan membunuh Nyonya MacKay. Berminggu-minggu setelah penangkapan itu, polisi memeriksa tiap jengkal tanah pertanian yang luasnya 122.160 meter persegi. Namun tidak ditemukan mayat atau potongan tubuh satu pun. 

Pengadilan yang dipimpin Hakim Sebag Shaw berakhir dengan dinyatakannya kedua bersaudara Hosein bersalah. Mereka mendapat vonis hukuman penjara. Berapa tahun tidak penting bagi kasus penculikan Nyonya MacKay ini. Yang paling menarik ialah kenyataannya bahwa kasus tersebut sebenarnya tidak pernah terselesaikan. Banyak kritik dilontarkan pada yang berwajib yang menangani soal itu.

Begitu perbuatan kriminal itu terjadi, Detektif Wilfred Smith segera membentuk tim anti pembunuhan yang diwakili oleh Detektif John Minors dan Detektif Jim Parker. Keduanya ini masing-masing memimpin belasan bintara dan hampir 100 agen. Berkat ketekunan petugas-petugas polisi itulah, dan bantuan masyarakat, Hosein bersaudara berhasil ditangkap dan dikenakan tuduhan penculikan dan pembunuhan. Segala macam cara ditempuh polisi untuk menjebak penculik Nyonya MacKay. Misalnya, Detektif Roger Street yang perawakan dan tampaknya mirip Ian MacKay, anak laki-laki Alick MacKay, menyamar sebagai Ian MacKay. Detektif Street lalu membawa uang tebusan ke tempat yang disetujui. Di saat yang sama, sekitar 50 petugas polisi lainnya mengepung tempat tersebut. Tujuannya agar mereka dapat segera menangkap penculik dan menyelamatkan Nyonya MacKay. 

Polisi lainnya bersiap-siap di dalam mobil preman, agar sewaktu-waktu dapat menyerbu ke tempat uang tebusan harus diletakkan. Beberapa petugas polisi lainnya diberi motor preman dan berpakaian seperti lazimnya anak-anak brandalan anggota Klub Pengebut Maut. Mereka mengenakan jaket kulit dan helm yang berlambang swastika. Sayangnya, ide unik yang terakhir itu malahan menjauhkan penculik dari perangkap polisi. Sebab mana ada tukang ngebut yang memperhatikan rambu-rambu lalu lintas atau berperawakan gagah.

Polisi juga menggunakan metode rumit untuk mengidentifikasikan suara yang muncul dalam pembicaraan-pembicaraan antara penculik dan keluarga korban. Suara-suara lewat telepon direkam. Suara itu diputar ulang dengan alat-alat elektronik yang juga menghasilkan grafik, sesuai dengan logat pembicaraan. Dengan cara inilah pula diperkuat dugaan bahwa penculik Nyonya MacKay bukan orang Inggris asli, sekalipun bahasa Inggrisnya cukup baik. Dari suaranya, diperkirakan para penculik adalah orang Pakistan atau Hindia Barat.

Sekalipun penangkapan sudah dilakukan, pernyataan salah sudah dijatuhkan, namun banyak hal sebenarnya belum terjawab dalam pengadilan kasus penculikan Nyonya MacKay. 

Tidak terbukti bahwa Nyonya MacKay langsung dibawa ke rumah pertanian Rook setelah diculik. Mungkin Nyonya MacKay pernah disekap di kediaman Hosein bersaudara itu. Apakah dia dibawa, misalnya, ke salah satu rumah di Streatham di mana memang banyak orang Hindia Barat? Kalau dibunuh, siapa yang sebenarnya membunuh dan bagaimana caranya? Hosein bersaudara dinyatakan bersalah, tetapi benarkah keduanya yang membunuh Nyonya MacKay? Mungkinkah salah satu dari mereka yang membunuh atau jangan-jangan ada pihak lain? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab dengan jawaban yang menyelesaikan persoalan. Lalu di mana mayat Nyonya Mackay? Mungkinkah dimasukkan ke dalam tembok ruang bawah tanah yang biasa dimiliki oleh sebagian besar rumah?

Banyak orang yang mengikuti sidang pengadilan kasus itu meragukan ketepatan tindakan polisi dalam mencari penculik. Tidakkah usaha polisi mengepung tempat uang tebusan justru menimbulkan kepanikan penculik? Mungkin karena itu penculik akhirnya memutuskan untuk membunuh si korban saja.

Banyak orang menganggap keliru prioritas yang diberikan oleh polisi pada pembunuhan, sedangkan soal penculikan malahan dinomor duakan. Soal prioritas ini menyebabkan polisi berusaha mati-matian untuk mencegah pembunuhan. Bahkan niat pihak keluarga untuk berusaha membayar uang tebusan dan mengeluarkan polisi dari urusan dengan penculik, justru dianggap oleh polisi sebagai keengganan keluarga untuk bekerja sama dengan polisi. Polisi menganggap keluarga takut jangan-jangan ancaman penculik itu dilaksanakan.

Masih ada pertanyaan besar yang juga tidak terjawab dengan tepat. Pengadilan menyatakan, “Oknum-oknum ini menculik Nyonya MacKay. Mereka menguasai korban. Karena kini korban hilang, pastilah mereka yang membunuhnya.” Banyak orang yang mengikuti jalannya sidang meragukan kebenaran pernyataan itu. Benarkah untuk menculik, seseorang juga harus membunuh?

(Gerald Sparrow)

Baca Juga: Penculiknya Mirip Tsar Nikolas II

 

" ["url"]=> string(53) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822813/m3-mafia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310680000) } } [1]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3822797" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/136-di-mana-margaret-reynoldsjp-20230829120108.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(152) "Karena sekolahnya berbeda, Margaret dan kakaknya berpisah di tengah jalan. Namun sejak hari itu Margaret tidak pernah sampai di sekolah untuk selamanya." ["section"]=> object(stdClass)#116 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/136-di-mana-margaret-reynoldsjp-20230829120108.jpg" ["title"]=> string(26) "Di Mana Margaret Reynolds?" ["published_date"]=> string(19) "2023-08-29 12:01:16" ["content"]=> string(23238) "

Intisari Plus - Setelah istirahat makan siang, Margaret dan kakaknya kembali ke sekolah. Karena sekolahnya berbeda, mereka berpisah di tengah jalan. Namun rupanya hari itu Margaret tidak pernah sampai di sekolah untuk selamanya.

----------

Berawal di Birmingham, Inggris. Di bilangan Aston. Harinya Rabu tanggal 8 September 1965. 

Margaret Reynolds berusia 6 tahun dan tinggal di Clifton Road. Saat itu ia mau menempuh hujan lagi untuk kembali ke sekolahnya. Sebelumnya juga dalam kondisi hujan, ia pulang ke rumah untuk makan siang. Susan, kakaknya yang berusia 11 tahun, menggandengnya. Keduanya menyusuri Clifton Road dengan menggunakan payung plastik kecil berwarna hijau.

Sekitar 100 yard dari rumah, mereka berpisah. Susan mengawasi adiknya menyeberang jalan, sampai dia mencapai kios telepon Potters Hill. Susan kemudian berbalik dan berlari menembus hujan menuju sekolahnya sendiri. 

Karena hari hujan, tidak banyak orang tampak di jalan. Toko-toko yang hari itu buka, ditutup selama 1 jam. Pemilik dan pelayannya sedang istirahat makan siang. Margaret dan Susan meninggalkan rumah sekitar jam 13:15.

Biasanya sekolah usai pada jam 15:30. Namun pada jam 15:45 Margaret belum tiba kembali di rumahnya. Hal ini membuat Nyonya Reynolds mulai bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Margaret. Margaret lahir di rumah itu, tumbuh dan besar di sana. Kini sudah 2 tahun dia bersekolah, jadi tentunya sudah hafal benar dengan daerah sekitar rumahnya.

Margaret tidak pernah tiba di rumah lebih dari jam 16:00 bila ia pulang sekolah. Jadi kalau sudah lewat jamnya dan Margaret belum juga tiba di rumah, Nyonya Reynolds benar-benar gelisah. Ketika Susan juga tiba di rumah, dan Margaret belum juga, Susan serta-merta disuruh mencari adiknya. 

Susan keluar lagi. Ia mengikuti rute Margaret ke sekolah, sambil menanyai orang-orang apakah mereka melihat Margaret. Ternyata tidak seorang pun yang melihat Margaret siang itu. Alangkah kagetnya Susan, ketika ia mengetahui bahwa Margaret tidak kembali ke sekolah setelah makan siang. Susan berlari sekencang-kencangnya pulang.

Nyonya Florence Reynolds tidak dapat percaya. Dia pun segera pergi ke sekolah Margaret. Di sekolah, guru Margaret menegaskan bahwa ia tidak melihat Margaret siang itu setelah makan siang. Nyonya Reynolds kembali ke rumah, namun Margaret belum juga tiba dari sekolah.

Ia lalu melaporkan masalah ini ke pos polisi terdekat di Victoria Road. Nyonya Reynolds mengatakan bahwa Margaret tidak mempunyai alasan untuk tidak ke sekolah atau tidak pulang ke rumah siang itu. Dan sebelumnya Margaret tidak pernah menghilang begitu saja. Sang ibu sama sekali tidak dapat membayangkan di mana kiranya Margaret mungkin berada saat itu.

Catatan tentang hilangnya Margaret di pos polisi Victoria Road berbunyi demikian, “Usia 6 tahun, rambut dikepang dan berponi. Baju luar tweed warna-warni, gaun putih dengan pola bunga biru, kaus kaki pendek, sepatu sandal plastik. Ia membawa payung kecil, dari plastik dengan motif bunga putih.”

Laporan anak “hilang” bukan hal baru di sana. Rata-rata 2 orang anak “hilang” tiap hari. Bahkan pernah dalam satu hari ada 8 atau 9 orang anak sama-sama “menghilang”. Kebanyakan mereka “ditemukan” 2 atau 3 jam setelah dilaporkan “hilang”. Bahkan ada pula yang sudah “ditemukan” sebelum “hilang”.

Tetapi hilangnya Margaret Reynolds benar-benar membuat gelisah. Ia seolah lenyap begitu saja, “seperti menguap”, menurut istilah di sana. Polisi segera melakukan penyelidikan ke daerah di sekitar rumah dan sekolah. Namun mereka tidak menghasilkan apa-apa. Kawan-kawan, tetangga-tetangga, saudara-saudara, semuanya ditanyai. Tempat-tempat bermain diperiksa. Sepulangnya dari tempat kerja, William Reynolds segera membentuk tim pencari yang terdiri dari kawan-kawan dan tetangga-tetangga. Mereka menyusuri jalan-jalan dan lorong-lorong di distrik Aston, mengunjungi rumah semua teman dan murid di sekolah putrinya.

Informasi tentang Margaret disebarkan. Semua upaya sudah dilakukan tapi sampai hari gelap Margaret belum juga muncul. Seluruh anggota polisi dikerahkan untuk mencari Margaret. Anjing-anjing pelacak pun tidak ketinggalan untuk ikut mencari Margaret, di sekolahnya dan di jalan-jalan yang menuju ke sekolah. 

William Reynolds sendiri pergi mencari hingga ke jalan-jalan dan lorong-lorong yang gelap sampai fajar menyingsing hari berikutnya. Malam itu tanggal 8 September ia bahkan sama sekali tidak tidur di tempat tidurnya.

Menurut William, Margaret selalu bersikap ramah terhadap siapa pun yang kenal dengannya. Terhadap orang asing yang belum dikenalnya, Margaret biasanya sedikit malu-malu. Tetapi itu hanya terhadap orang asing laki-laki. Margaret tidak pernah malu bertanya tentang jalan kalau ia tersesat. Margaret sudah tahu betul alamat orang tuanya. Ia bahkan sudah mengetahui nomor telepon penting yang harus ia hubungi jika mendapatkan kesulitan.

Di sekolah, polisi mendapatkan keterangan jika Margaret adalah seorang anak yang normal, cerdas, bahagia, dan tidak pernah membolos. Tetapi satu hal pasti, hari Rabu itu dia tidak kembali ke sekolah setelah makan siang. Teman-teman sekolah Margaret juga ditanya, siapa saja teman mainnya, tempat kesukaannya, serta permainan yang disukainya. Tapi tidak seorang pun yang berhasil membantu.

Saat menelusuri rute Margaret ke sekolah, polisi mendapat fakta yang membuat cemas. Seorang petugas parkir di penyeberangan jalan dekat sekolah, Paman Harry, mengenal Margaret dengan baik. Ia memberi informasi bahwa hari Rabu Margaret menyeberang jalan. Tapi setelah makan siang, ia tidak terlihat menyeberang.

Kemudian keluarga Reynolds diperiksa polisi. Seluruh rumah digeledah, dari bawah rumah hingga gudang di bawah lantai. Tujuannya untuk mencari tanda-tanda keberadaan Margaret. Detektif-detektif mencari sisik melik di halaman rumah. Membosankan memang, tetapi semua gerakan yang mungkin dari Margaret diselidiki. Tujuannya adalah untuk mendapat kepastian bahwa Margaret tidak kembali ke rumah, lalu misalnya, ia terjatuh ke dalam lubang yang tidak diketahui.

Dalam waktu yang sangat singkat, kasus Margaret menjadi serangkaian teka-teki yang tak terjawab. Mungkinkah dia membolos dari sekolah? Mengalami kecelakaan? Tersesat di rumah yang bobrok dan tak berpenghuni? Atau ia dibawa oleh gelandangan? Disembunyikan orang? Mungkinkah ia diculik oleh pria atau wanita?

Karena Margaret hilang tidak jauh dari Villa Park, seluruh vila di Aston itu “diacak-acak”, halaman di sekitar rumah. Hujan turun cukup lebat hari Rabu itu. Polisi khawatir, mungkin Margaret mau berteduh, tetapi kemudian terperosok ke bekas ruang bawah tanah atau gudang di bawah lantai rumah. Di area itu, banyak ruang bawah tanah dan gudang di sekitar Villa Park. Jangan-jangan dia terjatuh, lalu pingsan dan terluka. Alhasil, Margaret tidak bisa keluar atau berteriak-teriak minta tolong.

Para tetangga mengais-ais tumpukan sampah dan barang bekas. Semua pemilik mobil di Aston diminta untuk memeriksa garasi mobilnya, jangan-jangan Margaret berteduh di sana karena hujan atau sembunyi begitu saja. Hari Jumat berikutnya seluruh Birmingham penuh dengan poster berisi foto dan keterangan tentang Margaret.

Benar-benar mengharukan, saat Nyonya Florence Reynolds harus menyaksikan pemotretan teman Margaret. Model itu, Sandra James, memiliki perawakan seperti Margaret. Ia mengenakan pakaian serupa dengan yang dikenakan Margaret pada hari Rabu yang nahas itu. Setelah Nyonya Reynolds mengizinkan, lampu-lampu dinyalakan untuk mengambil fotonya yang mirip dengan Margaret.

Polisi mengumumkan ciri-ciri laki-laki yang terlihat bersama-sama dengan gadis cilik yang mirip Margaret. Itu terjadi pada hari Rabu 8 September antara jam 17:00 dan 17:25. Laki-laki itu memasuki sebuah toko agen koran di tempat yang kurang dari 1 mil jauhnya dari lokasi di mana Margaret berpisah dengan kakaknya. Ia membeli jas hujan, sebungkus kerupuk, dan koran. Tapi misteri ini tidak terungkap lebih jauh lagi.

Pihak TV BBC juga memutar film khusus untuk orang tua Margaret dan petugas-petugas polisi senior. Hal itu dilakukan setelah beberapa penonton TV merasa melihat gadis cilik seperti Margaret berada di antara orang-orang dewasa di Trafalgar Square. Gadis itu tampak sedang menonton tari-tarian yang diselenggarakan dalam rangka festival Seni Sekemakmuran. Petugas-petugas polisi metropolitan segera meneliti seantero Trafalgar Square dengan saksama, tetapi mereka tidak berhasil memperoleh jejak Margaret.

Setelah berkali-kali menyaksikan film dari BBC dan mengamati potret-potret yang dibuat oleh wartawan-wartawan, ayah Margaret berkata, “Gadis cilik itu kemungkinan besar adalah Margaret. Persamaannya jelas sekali!”

Untuk menemukan Margaret, begitu banyak tenaga polisi ditarik dari daerah lain untuk membantu polisi di Aston. Namun tidak ada kejahatan yang dilaporkan terjadi setelah Margaret menghilang. Tampaknya seolah penjahat dan penegak hukum sedang melakukan gencatan senjata. Pasalnya, polisi sedang mencari gadis cilik berusia 6 tahun yang hilang.

Hadiah sebesar 300 pounds ditawarkan pada siapa saja yang dapat mengembalikan Margaret dengan selamat pada orang tuanya. Tetapi ternyata bukan uang sebanyak itu yang menjadi pendorong bagi banyak orang untuk turut serta dalam upaya pencarian Margaret. Semua keluarga yang memiliki anak seusia Margaret merasa turut kehilangan, sebab hal yang sama bisa pula terjadi pada mereka. Semua orang ingin membantu. Tetapi bagaimana caranya?

Kesempatan membantu itu tiba pada tanggal 12 September, hari Minggu pertama setelah hilangnya Margaret. Sabtu malamnya siaran TV memberitakan bahwa Polisi Birmingham bisa menggunakan preman untuk membantu mencari Margaret. Begitu berita itu selesai disampaikan oleh penyiarnya, semua telepon di kantor Polisi Birmingham berdering terus semalaman. “Di mana kami harus melapor? Jam berapa? Apa perlu membawa obor?”

Hari Minggu jam 6 pagi kantor Polisi Aston secara harfiah kebanjiran sukarelawan. 2.000 orang menunggu untuk dibagi dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh polisi. Bahkan sukarelawan itu sudah membentuk tim tersendiri, seperti regu SAR. Tidak sedikit pasangan suami istri, ada juga yang disertai anak mereka yang cukup besar. Mereka semua datang mendaftar sebagai sukarelawan. Agar tidak mengecewakan calon pendaftar lain, polisi mengumumkan lewat radio di siang hari bahwa lowongan sudah ditutup.

Pada hari Minggu itu Kepala Polisi Aston, Arthur Brannigan, menargetkan daerah seluas 6 mil persegi untuk diperiksa dengan saksama. Tetapi dengan banyaknya sukarelawan, pencarian hari Minggu itu bahkan mencapai daerah seluas 18 mil persegi. Karena itu, polisi yakin jika Margaret tidak ada di daerah itu.

Tetapi sebenarnya kemungkinan kecelakaan masih tetap ada. Beberapa orang melaporkan melihat seorang gadis berpayung plastik hijau berjalan-jalan di daerah itu pada jam-jam sekolah. Hal ini menguatkan dugaan bahwa jangan-jangan Margaret memang bersembunyi (main-main) di taman. Adanya hujan yang cukup deras memang agak memperkecil kemungkinan itu. Tetapi untuk mendapat kepastian, polisi dan tim pencari merasa perlu mengeringkan parit-parit, kolam-kolam, gorong-gorong. Termasuk segala macam tempat penampungan dan penyaluran air di sekitar Aston.

Meski Margaret tidak ditemukan juga di tempat-tempat air itu, pengeringan itu mengungkapkan banyak peristiwa kriminal lain. Dasar kolam, gorong-gorong, dan parit ternyata penuh dengan rongsokan sepeda motor, sepeda, mobil, ban serap, dan peti besi yang terbuka.

Ada kemungkinan Margaret tertabrak mobil. Mungkin karena takut, pengendaranya membawa Margaret pergi. Tetapi petunjuk ke arah ini juga tidak ada sedikit pun. Orang mulai menduga, jangan-jangan Margaret dibawa orang jahat dan diperlakukan secara tidak wajar. Lalu ia dibunuh dan jenazahnya dimusnahkan. Untuk menyelidiki hal tersebut, polisi membentuk tim yang terdiri dari 160 orang polisi. Mereka bertugas mengunjungi rumah-rumah di seputar Aston dalam radius seluas 8 mil persegi. Setiap penghuni rumah ditanya perihal aktivitasnya pada hari Rabu 8 September. Tiap penghuni tanpa kecuali dimintai keterangan. Semua keterangan itu kemudian dicocokkan satu sama lain.

Penyelidikan dari rumah ke rumah membutuhkan waktu 6 minggu. Tetapi tidak diperoleh petunjuk yang berarti mengenai keberadaan dan kondisi Margaret. Bahkan polisi bertanya pada orang yang tinggal di luar Aston.

Lalu sesuatu terjadi pada tanggal 30 Desember. Lepas tengah hari Nyonya Tift dari Hollemeadow mengantarkan anaknya Diane dan Ian ke rumah nenek mereka di Chapel Street. Selesai mengantar, Nyonya Tift lalu pulang ke rumahnya. Ia menidurkan anaknya Marie, menyuruh Jean agar menemani adiknya, lalu mengajak Susan dan Rita ke toko yang menyewakan mesin cuci. 

Ketika sedang menunggu di depan mesin cuci, Susan berkata pada ibunya bahwa dia baru saja melihat gadis kecil lewat di depan kaca jendela toko itu. “Seperti Diane,” kata Susan. Nyonya Tift tidak terlalu memperhatikan cerita Susan. Ia bahkan mengira jika Susan salah lihat, pasalnya mata Susan memang tidak terlalu awas.

Nyonya Tift sama sekali tidak menyangka bahwa 15 menit setelah berada di rumah neneknya, Ian keluar dari sana. Ia bermain dengan anak tetangga di sebelah rumah orang tuanya. Sedangkan Diane ditinggalkan di tempat neneknya.

Selesai mencuci, Nyonya Tift mendapati jika Ian sudah ada di rumah. Itu tidak aneh sebab memang rumah sang nenek tidak terlalu jauh bagi anak kecil seusia Ian. Ian kemudian diminta untuk menjemput Diane.

“Diane belum tiba di rumah? Ia sudah pulang tadi!” kata sang nenek pada Ian. Ian pulang dan menyampaikan kepada sang ibu jika Diane sudah pulang ke rumah.

Alangkah kagetnya Nyonya Tift, ketika mendapat keterangan dari nenek Diane, bahwa Diane pulang ke rumah seorang diri sekitar jam 3 siang. Pencarian Diane pun dilakukan oleh para kakak dan tetangganya. Tetapi ketika sampai jam 7 Diane juga ditemukan, Nyonya Tift melaporkan masalah itu pada polisi.

Malam akhir tahun dingin sekali. Tim-tim pencari Diane dengan tergesa-gesa segera melaksanakan tugasnya. Diane Tift memiliki ciri-ciri tinggi badan 3 kaki 3 inci, perawakan sedang, mata biru, dan rambut agak kecokelatan. Ia mengenakan baju luar tweed hitam cokelat, penutup kepala pink putih, kaus kaki biru, dan sepatu cokelat. Selain itu Diane juga membawa tas plastik bekas hadiah Natal.

Pencarian Diane Tift berlangsung seperti pencarian Margaret Reynolds. Hasilnya pun sama: tidak ditemukan dalam keadaan hidup. Jenazah kedua gadis kecil itu ditemukan di tempat yang sama.

Pada tanggal 12 Januari 1966, Tony Hodgkiss dari Cannock sedang mencari udara segar dengan bersepeda ke Mansty Gully. Di Mansty Gully itulah Hodgkiss melihat jenazah anak kecil. Hodgkiss segera pergi meninggalkan Mansty Gully untuk melaporkan pada Polisi Cannock. Tetapi baru keesokan harinya tempat penemuan jenazah itu didatangi oleh tim penyelidik dari Scotland Yard.

Lokasinya yang di parit itu sudah cukup menunjukkan adanya pembunuhan. Karena korbannya anak kecil, polisi menduga jika pembunuhnya adalah seorang maniak yang suka mengganggu gadis kecil. Kalau pembunuhnya maniak, mungkin ada korban lain di tempat yang sama. Pasalnya, cara operasi maniak biasanya sama. Maka polisi mengaduk-aduk parit berlumpur tempat ditemukannya jenazah gadis cilik pertama.

Dugaan mereka terbukti. Polisi menemukan satu jenazah gadis cilik lagi. Jenazah yang ditemukan Tony Hodgkiss pada tanggal 12 Januari adalah Diane Tift. Sedangkan jenazah yang ditemukan polisi pada tanggal 13 Januari adalah Margaret Reynolds. Pada kedua jenazah, tepatnya di leher, terdapat bekas-bekas ikatan dengan tali. Pada jenazah Diane Tift terdapat tanda-tanda bekas perkosaan. Diane Tift rupanya sudah meninggal ketika dibuang ke parit di Mansty Gully itu. Dan Margaret Reynolds hanya tinggal kerangkanya saja.

Bagi Tony Hodgkiss, penemuan kedua jenazah gadis kecil itu sangat tidak mengenakkan. Banyak orang menduga jika Tony Hodgkiss adalah pelaku pembunuhan yang kejam itu. Untunglah setelah dicek alibinya, polisi dapat memastikan bahwa Tony Hodgkiss bukan pembunuh kedua gadis kecil itu.

Jenazah Diane Tift dikebumikan pada tanggal 21 Januari. Suami istri Reynolds ikut menghadiri pemakamannya. Margaret baru dikebumikan 3 hari kemudian. Orang tua Diane, Terry dan Irene Tift, harus dirawat di rumah sakit karena menderita tekanan jiwa yang berat. 

Pencarian pembunuh Margaret Reynolds dan Diane Tift tentu saja diteruskan, meskipun petunjuk yang semakin lama semakin tidak jelas. 

Kemudian pada hari Minggu 14 Agustus 1966, muncul misteri baru di desa kecil Mobberly.

Sehabis makan siang di rumahnya di Bucklow Avenue, Jane Elizabeth Taylor (10 tahun) berganti pakaian. Ia mengenakan kaos biru, jaket biru, celana jeans cokelat, kaus kaki pendek, dan sepatu sandal merah. Ia mau main bola dengan Alan Cavaney, gadis sebaya yang tinggal di sebelah rumahnya. Jane menyambar sepeda Alan adiknya. Ternyata, ia pergi untuk selama-lamanya dan tidak pernah kembali ke rumah.

Sepeda Alan memang ditemukan di Pavement Lane, setengah mil dari rumah. Tetapi tidak ada tanda-tanda ke mana perginya Jane. Seperti kasus Margaret dan Diane, segera dibentuk tim pencari oleh polisi. 

Petunjuk pertama datang dari seorang wanita yang sekitar jam 2 siang mengendarai mobilnya lewat Pavement Lane. Dia melihat gadis cilik dengan ciri-ciri seperti Jane berjalan di tengah jalan. Gadis itu diapit oleh dua orang pemuda. Ketika mobil wanita itu mendekat, seorang pemuda menggandeng tangan gadis cilik itu. Lalu ketiganya mundur, agar mobil bisa lewat.

Menurut wanita itu, ketiganya pergi menjauhi tempat di mana nantinya sepeda Alan ditemukan. Mereka menuju ke Knutsford. Wanita itu juga melihat sebuah mobil tua bercat abu-abu yang diparkir di tepi jalan. Menurut wanita itu juga, kedua pemuda yang mengapit gadis cilik itu kira-kira berusia 23 tahun.

Sisik melik lain diberikan oleh teman main Jane, Julie Patmier. Julie mengatakan pada polisi bahwa setahun sebelumnya dia dan Jane pernah dihampiri oleh seorang laki-laki yang mengendarai mobil biru. Saat itu mereka sedang berjalan-jalan di Pavement Lane. Laki-laki itu menawarkan limun dan kue. Julie dan Jane serentak mengatakan ‘tidak mau’ dan terus lari menjauh.

Polisi membandingkan kasus ini dengan kasus Margaret dan Diane. Maka dibuatlah daftar yang isinya tentang kesamaan antara ketiga kasus. Kesamaan itu antara lain: 

  1. Semuanya hilang di dekat jalan besar Birmingham — Cannock, yang oleh polisi ditandai dengan nama A34.
  2. Semuanya gadis cilik, antara usia 6-10 tahun. 
  3. Semuanya hilang setelah tengah hari.
  4. Semuanya gadis yang menarik. 
  5. Semuanya berasal dari keluarga pekerja. 
  6. Semuanya hilang pada saat toko-toko setempat tutup. Margaret di Aston, di mana pada hari Rabu toko-toko tutup pada tengah hari. Diane di Blaxwich, Kamis tengah hari. Dan Jane di Mobberley, hari Minggu. 
  7. Semuanya menghilang dengan cepat sekali tanpa meninggalkan jejak yang nyata.

Benarkah ketiga peristiwa penculikan gadis kecil itu saling berhubungan satu sama lain? Polisi Inggris masih terus mencari pelakunya. Jane Elizabeth Taylor tidak pernah ditemukan kembali. 

Sejak hilangnya Margaret Reynolds, polisi sudah menyerukan agar orang tua jangan membiarkan anak-anak mereka, terutama yang masih kecil, berkeliaran di jalan raya tanpa pengantar yang dapat dipercaya. Tetapi seruan tinggal seruan. 3 bulan setelah hilangnya Jane, polisi menemukan beberapa anak kecil berjalan seorang diri di jalan raya.

(Harry Hawkes)

 

Baca Juga: Ia Hampir Tidak Kembali Hidup

 

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822797/di-mana-margaret-reynolds" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310476000) } } [2]=> object(stdClass)#117 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799236" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#118 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/15-perkara-loeb-dan-leopoldjpg-20230728054141.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#119 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Dua orang anak bercita-cita untuk menjadi penjahat terhebat di abadnya. Maka mereka pun membuat rencana penculikan, pembunuhan, dan pemerasan." ["section"]=> object(stdClass)#120 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/15-perkara-loeb-dan-leopoldjpg-20230728054141.jpg" ["title"]=> string(24) "Perkara Loeb dan Leopold" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-28 17:41:50" ["content"]=> string(37051) "

Intisari-Online.com - Loeb dan Leopold adalah anak dari keluarga jutawan yang hidup bergelimang harta sejak kecil. Keduanya bercita-cita untuk menjadi penjahat terhebat di abadnya. Maka mereka pun membuat rencana penculikan, pembunuhan, dan pemerasan.

----------

Dalam sejarah peradilan perkara Loeb dan Leopold, yang terjadi pada tahun 1924, sangat terkenal. Dianggap merupakan tonggak dalam sejarah kriminologi. Entah berapa banyak buku dan artikel-artikel yang memperdebatkan kasus dua anak muda itu. Mereka dianggap semacam “makhluk jadi-jadian” karena jenis kejahatan mereka.

Keduanya anak jutawan yang sejak kecil bergelimang dalam kemewahan. Natham Leopold, 19 tahun, sangat berbakat. la termuda di antara mahasiswa-mahasiswa pilihan di Universitas Chicago. Spesialisasinya filsafat dan bahasa. la pandai bicara Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, Latin, Yunani kuno dan modern, bahkan Sansekerta. Hobinya ornitologi (ilmu tentang burung). Ayahnya adalah wakil presiden perusahaan Sears Roebuck yang bergerak di bidang pengiriman paket pos.

Leopold dan Loeb saling mengenal ketika mereka sekolah di Harvard School. Keduanya berasal dari Universitas Michigan.

Loeb tak kalah cemerlang. Ayahnya adalah pemilik pabrik kotak. Pada usia 17 tahun Loeb lulus menjadi sahabat karib. Proses saling memengaruhi terjadi. Sampai akhirnya mereka bercita-cita menjadi penjahat hebat.

Mula-mula dua anak muda itu melakukan serentetan kejahatan keciI-kecilan. Menipu dalam permainan kartu, melaporkan berita palsu perihal kebakaran, mencuri uang dan mesin tik. Semua berjalan lancar hingga dua anak itu mulai bosan dan menginginkan suatu perbuatan yang lebih hebat: membunuh. Agar tampak fantastis, pembunuhan itu akan mereka gabungkan dengan penculikan dan pemerasan.

Sebagai calon korban, mula-mula dipertimbangkan adik Loeb sendiri, kemudian bahkan ayah salah satu anak muda itu. Tapi akhirnya diputuskan untuk mengambil sembarang anak di Harvard School. Di sana banyak anak orang-orang kaya dan terpandang.

Kejahatan yang akan mereka lakukan harus sempurna, dalam arti tidak mungkin terbongkar. Maka rencana mereka persiapkan secermat-cermatnya. Tidak boleh ada lubang yang dapat ditembus oleh faktor kebetulan.

Memakai mobil sendiri jelas berbahaya. Maka akan digunakan mobil sewaan dan sebagai penyewa, mereka akan menggunakan alamat palsu. Untuk ini mereka memesan kamar di sebuah hotel atas nama Morton B. Allard. Mereka pun membuka rekening bank khusus. 

Korban akan dihantam dengan pahat, lalu dicekik dengan tali. Dalam menjeratkan tali, dua pemuda itu bersepakat bahwa masing-masing akan menarik satu ujung — untuk membagi tanggung jawab agar sama rata.

Setelah dibunuh, korban akan dihancurkan mukanya dengan zat asam. Lalu dibuang ke rawa-rawa di suatu tempat sunyi yang sering dikunjungi Leopold bila sedang mengamati tingkah laku burung-burung. Baru setelah itu mereka akan menelepon ayah korban untuk minta uang tebusan sebesar 10.000 dolar.

Paling sulit adalah siasat untuk memperoleh uang tebusan tanpa terjebak oleh polisi. Taktik mereka memang licik.

Pada kontak pertama lewat telepon, mereka akan mengatakan kepada ayah korban agar menunggu sampai keesokan harinya. Pada telepon kedua mereka akan memerintahkan sang ayah datang ke sebuah toko obat di 63rd Street dan menunggu telepon ketiga di sana.

Pada saat itu mereka akan minta agar sang ayah naik kereta api jam 15.18 di Stasiun Sentral. Waktu yang disediakan bagi ayah korban untuk mengejar kereta sangat sempit hingga pasti tidak ada kesempatan menghubungi polisi. Dalam kereta, ayah korban akan menemukan sepucuk surat. Lewat surat ini Leopold dan Loeb memintanya untuk melempar uang tebusan pada saat kereta api berjalan melintasi pabrik Champion Company Factory.

Begitulah apa yang dibayangkan kedua anak muda tersebut bagaimana kejahatan sempurna akan terlaksana. Masyarakat akan heboh dan ramai membicarakan penculikan itu. Mereka akan bertanya-tanya apakah korban masih hidup, ada di mana, dan siapa penculiknya. Dan hanya mereka berdua saja — Loeb dan Leopold — yang tahu apa sebenarnya yang terjadi.

Hari H ditentukan tanggal 21 Mei 1924. Leopold dan Loeb menyewa sebuah mobil merek Willys-Knight. Mereka menuju Harvard School. Muncul seorang anak, tapi ia menghilang lagi. Muncul anak kedua — ternyata saudara sepupu Loeb sendiri. Namanya Bobbie Franks.

“Hei Bob,” seru Loeb kepada anak yang baru keluar dari halaman sekolah itu. Ia pun kemudian menawarkan apakah Bobbie mau menumpang mobilnya untuk pulang ke rumah. Tadinya Bobbie tak mau. Tapi setelah Leopold dan Loeb berpura-pura meminta pendapatnya tentang raket tenis yang akan dibelinya, akhirnya Bobbie ikut juga.

Dan terwujudlah rencana dua anak muda itu. Pahat bekerja. Bobbie pingsan dan berlumuran darah. Pahat bekerja berkali-kali. Setelah gelap, mayat dibawa ke tempat yang telah direncanakan di sebelah selatan Chicago, kira-kira sejauh 30 km. Di tengah jalan, mereka berhenti sebentar untuk makan sore. Mayat ditelanjangi, zat asam bekerja, dan mayat korban dimasukkan ke dalam rawa-rawa.

Setelah itu kedua pembunuh kembali ke kota dan langsung ke rumah Loeb. Di sana keduanya membakar pakaian korbannya dalam tungku. Selesai makan malam dengan seluruh keluarga, Loeb pergi ke rumah Leopold. Pada saat itulah mereka menelepon ayah korban, Jacob Franks. 

“Anak Tuan diculik. Jangan takut, ia baik-baik saja. Tunggu perintah-perintah selanjutnya. Jangan sekali-kali menghubungi polisi.” Pesan ini disampaikan oleh Leopold yang mengaku bernama George Johnson lewat telepon.

Hari berikutnya Leopold dan Loeb mencuci lantai mobil sewaan. Mereka melakukannya di jalan masuk dalam halaman rumah keluarga Leopold. Sopir keluarga Leopold, Sven Englund menawarkan bantuannya untuk mencuci mobil. Tapi ditolak oleh Leopold yang mengatakan bahwa mobil sewaan itu ketumpahan anggur merah.

Kini dua anak muda itu melaksanakan rencana pemerasan. Leopold pergi ke Stasiun Sentral dan membeli karcis masuk kereta api yang direncanakan. Ia menempatkan surat terakhir kepada Jacob Franks di atas rak bagasi. Lalu menanti saat ia harus menelepon ayah korban yang pagi itu sudah menerima surat pertama dari para penculik. 

Inti isi surat itu bahwa Bobbie Frank sehat walafiat. Jangan sekali-sekali menghubungi polisi jika menghendaki anaknya tetap hidup. Sebelum tengah hari agar menyediakan uang tebusan 10.000 dolar yang terdiri dari lembaran-lembaran uang lama. Yang 2.000 dalam bentuk pecahan 20 dolar, sisanya dalam bentuk pecahan 50 dolar. Jika sampai terselip uang baru atau ditandai, maka anaknya akan mati. Uang hendaknya dimasukkan dalam kotak karton yang berat, terkunci aman, dibungkus dengan kertas putih. Bungkus harus disegel. Setelah jam 13.00 supaya siap menunggu telepon.

Surat berakhir dengan penjelasan bahwa hubungan dengan Jacob Franks bersifat bisnis murni. Jika sampai melanggar syarat yang telah ditentukan, Bobbie Frank akan mati.

Yours truly, George Johnson” demikian tertanda di akhir surat yang diketik itu.

Jacob Franks menyediakan uang dalam kotak seperti diminta oleh para penculik. Tetapi pada waktu ayah yang malang itu menunggu telepon berikutnya, terjadi peristiwa kebetulan yang membuat rencana “kejahatan sempurna” itu jadi berantakan.

Faktor pengganggu itu ialah penemuan mayat seorang anak Iaki-laki oleh sejumlah pekerja yang kebetulan menyeberangi rawa-rawa. Mereka juga menemukan kacamata yang bingkainya terbuat dari tanduk.

Setelah mendapatkan laporan-laporan, polisi segera menghubungi Jacob Franks. Barangkali itu mayat anaknya. Tapi ayah malang, yang sedang menanti-nanti telepon dari para penculik, tidak percaya. Bukankah penculik menegaskan bahwa Bobbie masih sehat walafiat dan tidak akan dilukai selama ayahnya taat semua perintah para penculik?

Sesaat kemudian penculik menelepon untuk menyampaikan instruksi selanjutnya. Jacob Franks akan dijemput dengan taksi kuning sesuai dengan rencana “kejahatan sempurna”. Baru saja Franks mau berangkat, polisi menelepon bahwa identitas mayat sudah diketahui. Itu adalah mayat Bobie Franks.

Maka ketika Leopold menelepon toko obat di 63rd Street, Jacob Franks tidak ada. Keluar dari toko obat, Leopold melihat koran dengan berita “Mayat Anak Tidak Dikenal Ditemukan di Rawa-Rawa”. Menyadari bahwa rencananya gagal, Leopold mengembalikan mobil sewaan lalu pulang. Baik dia maupun sahabatnya tetap yakin bila perbuatannya tidak akan terbongkar. Siapa akan mencurigai mereka, anak keluarga baik-baik yang kaya raya. Lagi pula Loeb merupakan saudara Bobbie Franks.

Masyarakat Chicago gempar mendengar berita penculikan dan pembunuhan kejam dengan rencana pemerasan yang amat keji itu. Seluruh kekuatan detektif dikerahkan untuk mencari pembunuh. Pihak kejaksaan menugaskan Robert Crowe untuk memimpin pengusutan kejahatan.

Petunjuk-petunjuk yang ada hanya sedikit, seperti surat penculik, kacamata, dan seorang saksi yang melihat mobil merek Willys-Knight dekat Harvard School pada hari penculikan. Usaha mencari mobil seperti itu milik “George Johnson” mengakibatkan kejadian tragis. Seorang Iaki-laki bunuh diri karena kebetulan namanya sama dan memiliki mobil merek itu.

Para detektif amatir membuat pencarian makin ramai. Loeb, yang masih saudara dengan Bobbie Franks dan bekas murid Harvard School, pun berusaha melontarkan berbagai kemungkinan untuk mengecoh. Ia mengatakan mungkin anak itu dibunuh oleh guru yang kesulitan uang. Teori ini menyebabkan tiga orang guru Harvard School ditahan.

Tapi kesimpangsiuran pengusutan tak berlangsung lama. Penjual kacamata yang ditemukan di tempat kejadian, mengatakan hanya ada tiga orang yang membeli kacamata jenis itu. Mereka adalah seorang langganan yang berada di Eropa, seorang nenek, dan Natham Leopold.

Ketika ditanya apakah itu kacamatanya, Leopold menjawab mungkin ya jika kacamata miliknya tidak ada di rumah. Polisi mengikutinya pulang dan memang kacamata Leopold tidak ada. Pemuda ini mengatakan barangkali kacamatanya jatuh pada waktu itu mengobservasi burung di rawa-rawa. la mau mendemonstrasikan di depan polisi bahwa benda itu gampang jatuh. Tapi demonstrasinya tidak berhasil. Kacamata itu tidak mau jatuh.

Polisi belum menaruh curiga, namun mereka bertanya di mana Leopold berada pada tanggal 21 Mei. Dijawab, ia dan Loeb sore itu pesiar dengan dua orang gadis ke sebuah taman hiburan. Ketika ditanya, Loeb juga memberikan keterangan yang sama. Jawaban ini memang telah dipersiapkan oleh dua anak muda tersebut.

Jaksa Robert Crowe belum puas dengan hasil interviu. Maka ia bertanya kepada Leopold, mesin tik merek apa yang dipakainya. Jaksa tahu, mesin tik yang digunakan oleh penculik untuk menulis surat pemerasan adalah merek Underwood. Leopold menjawab mesin tiknya merek Hammond. Kamar Leopold diperiksa, tapi mesin tiknya tidak ada.

Polisi tahu bahwa Leopold dan beberapa temannya sering menulis catatan kuliah dengan mesin tik. Maka mereka mengambil beberapa lembar kertas ketikan dari kamar Leopold. Hasil pemeriksaan para ahli menunjukkan bahwa catatan-catatan Leopold dan surat penculik diketik dengan mesin tik yang sama. Leopold mengatakan bahwa mesin tiknya hilang beberapa bulan yang lalu. Tapi pembantu rumah tangga menyebutkan bahwa 2 minggu yang lalu masih melihat mesin tik majikannya.

Rencana kejahatan yang “kedap detektif” sudah goyah dengan sendirinya. Satu kesaksian lagi membuatnya hancur berantakan. Sven Englund, sopir keluarga Leopold melaporkan bahwa mobil Leopold selama sore tanggal 21 Mei itu ada di dalam garasi.

“Waktu itu mobil saya reparasi dan cuci,” kata si sopir. Sven Englund bermaksud menolong anak majikannya. Ia tidak tahu bahwa pernyataannya itu malah menghancurkan alibi Leopold.

Seperti dikatakan di atas, Leopold menyatakan kepada polisi bahwa tanggal 21 Mei sore ia membawa mobilnya pesiar ke sebuah taman. Lebih parah lagi bagi Leopold, sang sopir menambahkan jika pada tanggal 22 Mei pagi ia melihat Loeb dan Leopold mencuci lantai mobil yang tak dikenalnya. Mereka mencucinya untuk membersihkan noda-noda merah.

Dickie Loeb lebih dulu menyerah kalah. la mengakui perbuatannya. Tapi menurutnya, Leopold yang menghantamkan pukulan maut. Leopold tadinya tetap menyangkal. Tapi setelah Crowe mengatakan bahwa Loeb sudah mengaku, maka ia pun bertekuk lutut. Hanya menurut dia, pembunuhan dilakukan oleh Leopold.

Orang tua Leopold dan Loeb mencari pembela bagi anak mereka. Pilihan jatuh pada Clarence Darrow, salah seorang pengacara terbesar di Amerika. la tinggal di Chicago dan bersahabat dengan keluarga Loeb.

Selama 40 tahun Darrow membela kaum lemah dan miskin hingga terkenal sebagai pembela besar di negaranya. Dan ia terkenal sebagai penentang gigih hukuman mati. 

Mula-mula Darrow ragu untuk menerima tugas pembelaan Leopold dan Loeb. Itu karena mereka anak orang kaya raya. Seluruh rakyat muak dengan kejahatan teramat keji yang dilakukan dua anak muda itu dan mengharapkan mereka dihukum seberat-beratnya. Pembelaan Darrow dengan itu akan mendapat penolakan. Masyarakat akan menuduh bahwa Darrow dibeli oleh orang tua Loeb dan Leopold. Mereka akan berteriak bahwa uang dapat membeli segala-galanya.

Tapi Darrow yang pernah menyelamatkan sekitar seratus orang tertuduh dari hukuman mati itu, akhirnya menerima permintaan orang tua Leopold dan Loeb. Sebab menurutnya, orang kaya juga berhak atas pembelaan di depan hukum. Akan berhasilkah dia?  

Darrow mempersiapkannya dengan Jaksa Crowe. Sang jaksa sadar, satu-satunya pembelaan yang bisa diajukan adalah bahwa Leopold dan Loeb abnormal jiwanya. Maka ia berusaha keras mengumpulkan bukti bahwa dua anak muda itu secara mental sehat dan dapat dituntut pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Jaksa Crowe mendatangkan sejumlah psikiater untuk memeriksa para tertuduh. Pemeriksaan dilakukan di Hotel La Salle, tempat Leopold dan Loeb ditahan.

Darrow minta kesempatan mengunjungi kliennya tapi ditolak oleh jaksa. Maka ia mencari akal, yaitu minta kepada pengadilan agar memerintahkan penahanan Leopold dan Loeb di penjara setempat. Permintaannya dikabulkan. Dengan itu para tertuduh kini berada dalam kekuasaan kepala penjara, hingga sang pembela dapat mengunjunginya. Bagi Darrow ini kemenangan pertama.

Sementara itu dalam masyarakat sudah beredar desas-desus tentang apa kiranya yang akan diperbuat oleh pembela. Perkiraan orang, Darrow akan mengatakan para tertuduh memang bersalah, tapi tidak waras jiwanya. Lalu diusahakan agar setelah dinyatakan bersalah, mereka dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Setelah selang beberapa tahun, keduanya bisa dibebaskan. Dan pembela akan menerima imbalan uang yang sangat banyak.

Darrow tahu bahwa desas-desus tersebut akan sangat merugikan pembelaannya. Maka ia mesti berhati-hati dalam mengambil langkah.

Mula-mula Darrow diam-diam menjajaki opini publik dengan menyebar penyelidik-penyelidik. Hasilnya, 60 persen responden memberi jawaban “ya” atas pertanyaan “apakah mereka harus digantung”. Kemudian Darrow minta kepada orang tua Leopold dan Loeb untuk menyiarkan pernyataan bahwa pembela tidak akan berusaha membebaskan anak mereka. la hanya akan membuktikan bahwa mereka tidak waras jiwa. Kini ternyata 60 persen responden bisa menerima seandainya kedua tertuduh hanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Darrow mempersiapkan senjata-senjata pembelaannya. Kebetulan himpunan Psikiater Amerika sedang mengadakan pertemuan di Philadelphia. Darrow mendatangkan 7 orang spesialis ilmu jiwa dari himpunan tersebut untuk memeriksa Leopold dan Loeb.

Perkara Leopold dan Loeb mulai disidangkan pada tanggal 21 Juli, dengan Hakim Pimpinan John Robert Caverly. 3.000 orang berebut untuk mendapatkan tempat di dalam ruang pengadilan yang hanya bisa menampung 300 kursi.

Para tertuduh masuk ruang sidang. Keduanya bermuka dingin dan tampak tenang. Pakaiannya bersih dan rapi. “Ini pertunjukan kami. Penonton tidak boleh kecewa,” kata mereka kepada seorang wartawan. Tidak kelihatan menyesal, bahkan keduanya tampak gembira karena menjadi pusat perhatian.

Darrow membuka pidatonya. la menyatakan kedua kliennya bersalah dan mohon diperbolehkan mengajukan bukti-bukti yang meringankan hukuman. 

Siasat Darrow cerdik sekali. Sebab pernyataannya berarti bahwa soal apakah kliennya harus dihukum mati ataukah dipenjara seumur hidup bukanlah wewenang 12 juri. Juri-juri itu berasal dari kelompok awam. Hakimlah yang berwenang untuk memutuskan soal keputusan penjara atau hukuman mati. Dan Darrow tahu bahwa sang hakim orang yang berpengalaman, tanpa prasangka, bijaksana, dan berperikemanusiaan.

Pembukaan pidato Darrow bagaikan ledakan bom dan Jaksa Crowe langsung bangkit untuk protes. Darrow main curang, katanya. la tidak bisa langsung saja menyatakan kliennya bersalah, lalu minta keringanan hukuman! “Keringanan adalah pembelaan,” jawab Darrow seakan meledek Crowe.

“Pembelaan Darrow bertolak dari filsafat hidupnya yang berbahaya,” tukas jaksa. “Dalam hukum tidak ada apa yang disebut tingkat-tingkat tanggung jawab mental. Pengadilan tidak punya kekuasaan untuk mendengar kesaksian tentang kondisi mental tertuduh. Manusia bertanggung jawab penuh atas akibat-akibat perbuatannya atau sama sekali tidak.”

Tapi dengan tenang Darrow mengajukan argumen-argumennya. Dia tidak bermaksud memberikan bukti yang tak terbantahkan bahwa kedua kliennya sakit jiwa. la hanya ingin menunjukkan suatu keadaan mental yang tidak tercakup oleh definisi hukum tentang sakit jiwa. Itu pemahaman soal baik atau buruk dan kemampuan memilih salah satunya.

Ia tidak mengajukan pembelaan. Namun ia mengajukan pernyataan yang harus didengar demi meringankan hukuman bagi seseorang yang dinyatakan bersalah. 

Lalu Darrow menggugat suasana dalam menghadapi perkara ini. Jaksa dan masyarakat menjadi kawanan serigala haus darah yang siap merobek-robek kedua kliennya. Padahal hukuman mati seharusnya kita jatuhkan, tidak dengan lantang, marah, ataupun benci, tapi dengan iba, haru serta menyesal bahwa hukuman itu terpaksa dijatuhkan. Darrow menggugat suasana kejam dan tidak berperikemanusiaan itu.

Menanggapi pidato ini, Hakim Caverly menyatakan akan mendengarkan apa yang ingin dikemukakan pembeIa. Maka dimulailah pertarungan memperebutkan nyawa Leopold dan Loeb.

Riwayat hidup mereka ditelusuri sampai masa bayi. Oleh jaksa diajukan seorang saksi, salah satunya adalah seorang profesor hukum Universitas Chicago. Profesor menyatakan, sehari setelah pembunuhan itu Leopold memperdebatkan dengannya soal pembunuhan dengan penculikan serta pemerasan.

Kawan-kawan tertuduh memberikan kesaksian tentang tingkah laku dan obrolan mereka. 

Dibuktikan bahwa surat pemerasan dan catatan kuliah Leopold ditulis dengan mesin tik yang sama. Para dokter menerangkan bahwa sebelum dibunuh, Bobbie Franks menjadi korban perbuatan homoseksual.

Penyelidikan atas jalannya kejahatan dengan semua tahap-tahapnya itu membuktikan bahwa perbuatan Leopold dan Loeb semua telah direncanakan sebelumnya. Bukan itu saja. 

Setelah melakukan perbuatan terkutuk, kedua tertuduh sedikit pun tidak memperlihatkan air mata tanda penyesalan. Mereka bahkan merasa bangga. Mereka sungguh tidak patut diberi belas kasihan atau keringanan. 

Penuturan kisah hidup Leopold dan Loeb oleh jaksa membuat seluruh masyarakat Amerika makin keras berteriak menuntut hukuman gantung. 

Pembela mengajukan enam saksi ahli, semuanya dokter-dokter spesialis. Antara lain Dr. Karl Bowman, bekas dosen penyakit mental di Harvard University; Dr. Bernard Glueck, direktur klinik psikologi dari penjara terkenal Sing Sing; Dr. William Healy dari Yayasan Hakim Baker.

Menurut mereka, Loeb sangat terpengaruh oleh wanita pengasuhnya, yang berwatak keras dan terlalu banyak menuntut dari anak itu. Seringkali Loeb takut dimarahi atau mendapat hukuman. Akibatnya sejak kecil ia terbiasa berbohong bila berbuat tidak baik, tanpa menyesalinya. Di umur 10 tahun, anak itu sering berkhayal yang tidak-tidak.

la membayangkan dirinya sebagai penjahat cemerlang di abadnya, begitu hebat hingga tidak mungkin tertangkap oleh detektif-detektif terhebat di dunia.

Leopold juga korban didikan wanita pengasuhnya. Wanita itu kerap kali mendorong Leopold untuk mencuri, dengan tujuan agar bisa memeras anak itu. Sang pengasuh menanamkan pengertian-pengertian abnormal tentang baik dan buruk.

Di sekolah Leopold sangat menonjol kecerdasannya. Tapi ia memandang Loeb sebagai anak dengan kelebihan-kelebihan yang melampaui bakatnya sendiri. Keduanya menjadi sahabat karib dan Leopold merasa tidak bisa hidup tanpa persahabatan Loeb. Dalam khayalan Leopold, Loeb adalah raja dan Leopold merupakan budak beliannya yang bersedia melakukan semua perintahnya.

Pada suatu ketika kedua sahabat itu membuat perjanjian. Masing-masing pihak bersedia melakukan fantasi yang ada di benak mereka.

Kemudian dibuat perjanjian lain lagi, yaitu Loeb mempunyai kekuasaan penuh atas Leopold.

Apa pun yang diminta Loeb, jika itu dimintanya “demi perjanjian”, maka Leopold wajib melaksanakannya.

Leopold mempunyai pandangan bahwa apa pun yang memberi kenikmatan kepadanya adalah baik. Bila terjadi sebaliknya, maka hal itu dianggapnya buruk. Ia tidak percaya pada norma-norma moral. Leopold, yang belajar filsafat, terpengaruh oleh ide-ide filsuf Nietzsche dengan manusia super-nya. Baginya Loeb adalah manusia super itu.

Dalam psychiatric reports tentang kedua anak itu, para dokter ahli menyatakan bahwa Leopold dan Loeb menunjukkan divergensi patologis yang mencolok. Artinya terdapat celah antara kehidupan intelektual dan kehidupan emosional mereka. Sama sekali tidak mampu memberi tanggapan emosional sedikit pun sebagaimana mestinya. Perasaan Leopold tidak tergetar sedikit pun ketika ia menculik dan membunuh anak yang masih saudaranya sendiri. Dalam hati ia bahkan tertawa ketika melihat ibunya mengumpat-umpat pembunuh Bobby Franks.

Tentu semua itu dibantah oleh tim jaksa yang menampilkan pula saksi-saksi ahli. Sebulan penuh pertempuran antara para psikiater berlangsung di ruang pengadilan. Sampai tiba saatnya Darrow mengajukan pembelaannya yang terakhir.

Pledoi Darrow, yang memakan waktu 3 hari, adalah yang paling terkenal di antara pidato pembelaannya.

Pada awal pembelaannya, Darrow menarik simpati publik dengan menyesalkan bahwa kedua kliennya anak jutawan. Sering kali uang dapat berbuat segala-galanya. Tapi dalam hal Leopold dan Loeb, uang malah merugikan. Kekayaan orang tua mereka membuat pembelaannya lemah. Sebab orang berprasangka bahwa Darrow mendapat bayaran dan sogokan melimpah. Oh, seandainya kedua kliennya anak keluarga miskin, pembelaannya akan lebih didengar. 

Lalu ia memperingatkan hakim akan tanggung jawabnya. Seperti dikatakan, dengan langsung menyatakan kedua kliennya bersalah, Darrow menarik mereka dari kekuasaan 12 juri dan menempatkan mereka dalam tangan hakim. Bila Leopold dan Loeb sampai dihukum gantung, maka hakimlah yang bertanggung jawab penuh atas hal itu. Dia sendirian dalam hal ini.

Kemudian argumen demi argumen dibentangkannya untuk menghancurkan pembuktian jaksa.

Dikatakan oleh penuntut bahwa kedua kliennya kejam dan Ialim. Kekejaman dapat diukur dengan kesakitan yang dilakukannya pada korban. Darrow menekankan bahwa pembunuhan terjadi cepat tanpa penyiksaan. Sebelum mengetahui apa yang terjadi, Bobbie Franks sudah tidak sadarkan diri akibat pukulan.

Darrow tidak membenarkan perbuatan para klien. Tapi hal di atas perlu diingat bila orang mau berbicara tentang kekejaman.

Kekejaman juga dapat diukur berdasarkan motif pembunuhan. Misalnya karena dendam, benci, marah, dan sebagainya. Tapi motif-motif tersebut sama sekali tidak ditemukan pada Loeb dan Leopold. Pembunuhan ini, kata Darrow, tanpa makna, tanpa manfaat, tanpa tujuan, dan tanpa motif.

Motif “ingin mendapat uang” seperti dituduhkan oleh jaksa, sama sekali tidak bisa diterima. Sebaliknya, Leopold dan Loeb uangnya melimpah. Pada saat pembunuhan Loeb mempunyai uang sekitar 3.000 dolar dan kapan saja ia dapat minta cek pada sekretaris ayahnya, atas instruksi ayahnya sendiri. Leopold menerima cek sebesar 125 dolar setiap bulan dan bisa mendapatkan uang bila ia membutuhkannya. Ketika Leopold berencana untuk keliling Eropa, ayahnya segera memberinya uang 3.000 dolar.

Tidak ada motif dendam atau kebencian, tidak ada motif uang, juga tidak ada motif lainnya. Dan tanpa motif, pembunuhan ini hanya bisa diartikan sebagai perbuatan tanpa makna, tanpa tujuan dari anak yang sakit mental. Mereka meraba-raba dalam kegelapan dan didorong oleh kekuatan tertentu yang sekarang ini barangkali kita belum mampu menjajakinya secara memadai.

Darrow tidak minta belas kasihan, tapi hanya minta hukum dilaksanakan. Ada 3 kemungkinan hukuman bagi para kliennya: mati di tiang gantung, penjara seumur hidup, atau penjara sekurang-kurangnya 14 tahun.

Hukum tertulis sudah terlampaui oleh semakin halusnya perasaan perikemanusiaan orang-orang yang berpikiran maju dan menentang hukuman mati. Pilihan atas berbagai kemungkinan hukuman ada di tangan hakim. 

Tuduhan jaksa bahwa pembunuhan sudah direncanakan 6 bulan sebelumnya, yaitu ketika Leopold beli mesin tik, sama sekali tidak masuk akal. Sebab anak itu tidak pernah main sembunyi dengan mesin tiknya, yang kerap kali ia pinjamkan kepada teman-temannya.

Terus-menerus Darrow dengan berbagai cara menunjukkan bahwa perbuatan kliennya sama sekali tidak memiliki motif. Mereka membunuh bukan karena uang, bukan karena iri atau benci. Mereka membunuh Bobbie Franks seperti membunuh seekor lalat atau nyamuk - semata-mata karena ingin pengalaman.

Mereka membunuh karena memang itulah keadaan kedua anak muda itu, akibat faktor-faktor dari masa lalu. Darrow melukiskan proses pertumbuhan jiwa Leopold dan Loeb. Ia memanfaatkan sebaik-baiknya keterangan-keterangan para saksi ahli jiwa.

Loeb pada masa kanak-kanak tersiksa oleh tekanan-tekanan batin karena sikap pengasuhnya yang terlalu keras. Ia suka bersembunyi, berbohong, membuat tipu muslihat. Muak dengan buku-buku bermutu yang disodorkan sang pengasuh, ia mencari pelarian dan hiburan dengan buku-buku detektif dan kejahatan. Kebiasaan berbohong dan tipu muslihat dipupuk dengan cerita-cerita tentang kejahatan. Sampai akhirnya ia bercita-cita untuk menjadi penjahat paling cemerlang di abadnya.

Tentang Leopold, Darrow memaparkan pengaruh filsafat Nietzsche atas anak yang mempunyai bakat-bakat cemerlang ini. Leopold keranjingan ide manusia super-nya Nietzsthe. Dia percaya bahwa dirinya dan Loeb adalah manusia-manusia super.

Darrow mengambil contoh betapa hebatnya pengaruh ide-ide yang merasuki seseorang. Di New York, seorang ayah bernama Freeman keranjingan cerita tentang Nabi Abraham. Nabi Abraham mengurbankan anaknya pada Tuhan. Freeman membuat altar di rumahnya dan menggorok Ieher anaknya yang masih bayi untuk dikurbankan kepada Tuhan. Leopold juga termasuk orang yang terpengaruh pada gagasan-gagasan tertentu.

Darrow menunjuk pada kenyataan bahwa saksi-saksi ahli dari pihak jaksa hanya selama beberapa jam memeriksa tertuduh dalam waktu berminggu-minggu. 

Menanggapi tuntutan jaksa agar para tertuduh tidak diberi belas kasihan, seperti apa yang mereka lakukan pada korbannya, Darrow berkomentar,

“Jika negara tempat saya berteduh ini tidak lebih baik hati, tidak lebih berperikemanusiaan, tidak lebih berperasaan halus, tidak lebih pandai dari perbuatan kedua klien saya ini, maka saya sangat menyesal hidup sekian lama di negara ini.”

Satu nada dasar terjalin dalam seluruh pembelaan Darrow: proses pertumbuhan seorang anak menjadi dewasa, tidak terperikan. Dan dalam proses pertumbuhan Leopold dan Loeb telah terjadi sesuatu. Akibatnya adalah kedua anak muda yang malang itu dibenci, dicemooh, dan dikucilkan. Masyarakat berteriak-teriak meminta darah mereka.

Dengan suara berbisik yang hampir tidak terdengar, Darrow mengakhiri pembelaannya:

“Saya mengajukan pembelaan untuk masa depan di mana kebencian dan kekejaman tidak lagi menguasai hati manusia. Masa di mana kita dengan akal budi, penilaian dan pengertian dapat belajar bahwa setiap jiwa patut diselamatkan dan bahwa belas kasih adalah perbuatan tertinggi manusia.”

Ketika Darrow turun dari mimbar, ruang sidang sunyi senyap selama 2 menit. Banyak dari hadirin yang mengusap air mata.

Tiba kini giliran Jaksa Crowe untuk memberikan tanggapan akhir. Pidato sanggahannya makan waktu 2 hari. Tapi ternyata ia tidak mampu menghapuskan kesan mendalam yang telah ditanamkan pembela.

Pada tanggal 10 September hakim menjatuhkan keputusan hukuman penjara seumur hidup bagi Leopold dan Loeb. Saat mengumumkan keputusannya, hakim menanggapi argumentasi-argumentasi dari segi ilmu kejiwaan. Yaitu bahwa para tertuduh tidak normal jiwanya dan itulah yang mendorong mereka untuk berbuat kejahatan. 

Menentukan kadar tanggung jawab perbuatan manusia adalah di luar tugas serta kemampuan pengadilan.

Namun hakim mengakui bahwa analisa yang cermat tentang riwayat hidup para tertuduh, keadaan mental, emosional, dan etika mereka, sangat penting dan merupakan sumbangan yang amat berharga bagi kriminologi. Masalah tanggung jawab manusia dan hubungannya dengan hukuman peradilan sangat luas ruang lingkupnya dan bukan hanya menyangkut tertuduh dalam perkara ini. Masalah ini pantas menjadi pemikiran badan legislatif— bukannya badan yudikatif.

Pertimbangan utama mengapa dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup dan bukannya hukuman mati, adalah usia para tertuduh yang masih muda belia, 18 dan 19 tahun. Keputusan ini sejalan dengan kemajuan hukum kriminal di seluruh dunia dan sesuai dengan rasa perikemanusiaan yang makin halus. Di samping itu juga sesuai dengan preseden-preseden di Illinois yang dalam sejarah peradilannya hanya mencatat dua perkara di mana anak muda dihukum mati. Pengadilan tidak berkeinginan menambah jumlah itu.

Demikianlah berakhir perkara Leopold dan Loeb yang dianggap sebagai tonggak dalam sejarah kriminologi. Sebab ketika itulah untuk pertama kali suatu sidang pengadilan dapat leluasa menjajaki kondisi mental dan psikis para tertuduh, mencoba menyelidikinya, bebas dari kekangan pengertian-pengertian hukum yang berlaku tentang tanggung jawab. Mengenai nasib selanjutnya dari para tertuduh, Leopold lebih beruntung dari Loeb. Yang terakhir ini mati ditikam oleh sesama narapidana pada tahun 1936.

Riwayat Leopold dikisahkannya sendiri dalam bukunya Life Plus Ninety-Nine Years (Hidup plus 99 Tahun). Tahun 1924 ia masuk penjara Joliet. Anak cemerlang yang pada tahun 1924 dikenal sebagai makhluk jadi-jadian ini, dalam penjara mengabdikan hidupnya kepada masyarakat narapidana. Ia mempelajari sistem hukuman yang bersifat mendidik dan mengadakan reformasi di bidang ini. Belajar radiologi dan psikiatri. Memelopori pendirian bagian riset sosiologis untuk menyelidiki kemungkinan mengetahui reaksi-reaksi narapidana setelah dibebaskan. Dalam Perang Dunia, Leopold mengajukan diri sebagai kelinci percobaan untuk pengamatan cara kerja pil malaria. Ia belajar berbagai bahasa dan menjadi anggota terkemuka dari the Fellowshop of American Medical Technologists.

Setelah 25 tahun dalam penjara, ia mohon dibebaskan agar bisa lebih leluasa mengabdikan dirinya. Tapi permohonannya ditolak. Ia diminta untuk menunggu 12 tahun lagi. Akhirnya pada tahun 1958 ia dibebaskan. Leopold memilih kegiatan di suatu koloni lepra di Amerika Selatan.

(Rupert Furneaux)

Baca Juga: Mereka Diangkut dengan Kereta Jenazah

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799236/perkara-loeb-dan-leopold" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690566110000) } } [3]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760967" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/ia-hampir-tidak-kembali-hidupjp-20230511110220.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Terjadi penculikan jutawan minyak yang menarik perhatian banyak orang di Amerika. Rupanya, pelakunya adalah penjahat-penjahat kelas kakap." ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/ia-hampir-tidak-kembali-hidupjp-20230511110220.jpg" ["title"]=> string(29) "Ia Hampir Tidak Kembali Hidup" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:02:29" ["content"]=> string(41706) "

Intisari Plus - Pada tahun 1933, terjadi penculikan jutawan minyak yang menarik perhatian banyak orang di Amerika. Berkat kerja sama yang hebat, polisi akhirnya berhasil membekuk komplotan penculik. Rupanya, mereka adalah penjahat-penjahat kelas kakap.

---------------

Pada tahun-tahun 1932 sampai 1935, Amerika mengalami beberapa perkara penculikan yang menarik perhatian dan yang membuat masyarakat kebingungan. 

Istilah kidnapping dibentuk dari kata kid yang artinya anak dan kata dari bahasa setempat nap yang berarti mengambil. Jadi kata kidnap itu berarti suatu jenis penculikan manusia. Untuk dapat dikatakan kidnap, maka penculikan ini harus dilakukan dengan tujuan meminta uang tebusan dari orang ketiga. Inilah arti kidnap dalam percakapan sehari-hari dan dalam Kitab Undang-undang Pidana.

Penculikan berarti yang pertama dilakukan di Amerika, terjadi pada tanggal 1 Juli 1874. Pada tahun itu Charley Ross dari Germanstown dibawa lari. Si penculik meminta 20.000 dolar melalui surat pada orang tua anak. Akan tetapi karena mereka akhirnya sangat ketakutan, maka mulai suatu waktu tertentu, mereka tidak mengadakan hubungan apa pun lagi. Anak yang diculik sampai kini tidak muncul kembali. 

Perkara kedua yang serius terjadi pada tahun 1900 pada waktu anak seorang pengusaha perkalengan daging diculik oleh seorang penjahat profesional. Sesudah diberi pembayaran 25.000 dolar, korban dibebaskan. Si penjahat kemudian ditangkap dan mengaku. Ia dihadapkan ke pengadilan, akan tetapi kemudian dibebaskan kembali.

Pada masa-masa prohibition (larangan minuman keras) yaitu sejak tahun-tahun 1919 atau 1920, perkara penculikan meningkat. Pada tahun 1932, jumlah penculikan selama tahun-tahun 1930 dan 1931 diperkirakan sampai 200 kali dengan uang tebusan sebanyak 2 juta dolar.

Sangat menarik perhatian seluruh dunia adalah penculikan dan pembunuhan anak penerbang Lindbergh yang berusia 18 bulan. Cerita ini pernah dimuat dalam Intisari no. 91 bulan Februari tahun 1971. Pada tahun-tahun 1932 dan 1934, wewenang petugas pemerintah diperluas dan hukuman diperketat. Pelaku perkara-perkara berat diancam hukuman mati.

Tapi pada tahun 1933 sampai 1935, masih saja terjadi perkara-perkara penculikan yang berat-berat. Beberapa korban dibebaskan sesudah membayar uang tebusan yang banyak, yang lain dibunuh agar jangan sampai menjadi saksi. Baru sesudah tahun 1935, perkara-perkara penculikan berkurang. FBI (Federal Bureau of Investigation) yang dikepalai oleh J. Edgar Hoover, direkturnya yang baru, mulai membuahkan hasil.

Yang dinamakan Undang-undang Lindbergh dengan ancaman hukuman yang keras baru saja setahun berjalan, waktu terjadi lagi sebuah perkara penculikan yang berat.

Tanggal 22 Juli 1933 di malam hari, jutawan minyak Charles F. Urschel dan istrinya duduk-duduk di beranda tertutup di rumah mewah mereka di Oklahoma. Bersama dengan teman-temannya, Tuan dan Nyonya Jarrett, mereka bermain bridge. Nyonya Urschel adalah bekas janda jutawan minyak Schlick, yang harta peninggalannya diperkirakan 25 juta dolar. 

Setengah jam sebelum tengah malam, tiba-tiba pintu ke beranda dibuka dan dua orang lelaki masuk. Yang seorang dengan senapan mesin dan yang lain dengan sebuah pistol. Keduanya hanya memakai kemeja dan tidak bertopi. Yang tampak lebih hitam dan tubuhnya tegap, berkata keras, “Ini perampokan. Kami mencari Urschel. Jangan bergeser dari tempat, jika tidak kami akan menembak kepala. Yang mana Urschel?”

Tidak ada yang menjawab. Mereka berempat tidak bergerak. Mereka tegang terkejut. 

“Kalau begitu, kedua lelaki ini ikut!”

Pemikiran pertama Tuan Urschel ialah melawan kedua perampok tetapi pandangan istrinya menahan keinginannya. Perlawanan sepertinya tidak berguna dan sama dengan bunuh diri. Lelaki yang membawa pistol menggiring kedua korban keluar dan menyuruh mereka masuk ke dalam mobil. Sementara itu lelaki dengan senapan mesin menahan kedua wanita lalu ia masuk ke dalam mobil. Beberapa detik kemudian mereka hilang dalam kegelapan.

Segera Nyonya Urschel memanggil Kepala Polisi Oklahoma dan menerangkan duduk perkara. Kepala polisi tersebut malam itu juga menghubungkannya dengan Edgar Hoover di Washington. Nyonya Urschel diberi kesempatan untuk memberi tahu kepada pemimpin jawatan pengusutan itu. Hoover segera memberikan alarm secara menyeluruh dan memerintahkan sejumlah agen khusus agar meneliti perkara. Para petugas polisi setempat sudah berada di tempat kejadian beberapa menit sesudahnya, kepala polisi dan sheriff datang untuk melakukan pemeriksaan yang pertama.

Pada hari berikutnya surat-surat kabar memberitakan besar-besaran tentang penculikan baru ini. Rumah keluarga Urschel segera dikerumuni orang banyak. Wartawan datang berbondong-bondong.

Menurut peraturan yang ada, maka para petugas polisi negara serikat (FBI) segera berhubungan erat dengan Nyonya Urschel. Mereka menjaga agar semua pergerakan tidak membahayakan hidup Tuan Urschel. Itu kewajiban yang utama. Penangkapan si penjahat itu baru kemudian mereka pikirkan. Juga ada peraturan untuk menyerahkan kepada kebijaksanaan keluarga apakah mereka mau menawarkan atau membayar uang tebusan atau tidak.

Segera sesudah berita tentang penculikan tersebar luas, banyak sekali surat dan telepon yang sampai di rumah keluarga Urschel, kebanyakan anonim. Setiap telepon didengar oleh tiga orang. Tetapi tidak ada petunjuk-petunjuk yang serius tentang Urschel. Biasanya segera diketahui bahwa penipu mau mengambil kesempatan dari situasi. Para petugas dari Washington memberi saran-saran yang baik pada Nyonya Urschel bagaimana menghadapi itu semua.

Pada tanggal 26 Juli hubungan pertama dengan penculik terjadi. Tuan John Catlett, juga seorang jutawan minyak dan teman erat keluarga Urschel, diberi sebuah bungkusan pos kilat. Bungkusan memuat tiga surat. Salah sebuah ditujukan pada Catlett dan ditulis dengan tangan Urschel. Surat itu bunyinya demikian:

John yang baik hati, 

Tentu kamu sudah mengetahui bahwa saya berada dalam keadaan buruk. Jika Arthur (ipar tuan Urschel) sudah kembali, berikanlah surat tertutup ini, jika belum berikan kepada Kirkpatrick. Berikanlah sendiri dan jangan menggunakan telepon. Janganlah bercerita apa-apa tentang surat ini, bahkan juga pada istrimu. Dan jika engkau memberikannya, maka jangan diberikan di rumahnya. Para petugas tidak boleh dilibatkan dalam hal ini. Sebab kalau demikian, maka nanti kebebasan saya terancam. Oleh karena itu turutilah apa yang aku katakan dan jangan berbicara dengan siapa pun, kecuali mereka yang disebut di dalam surat. Ini adalah surat yang terakhir pada salah seorang kawan dan keluargaku. Jika hubungan ini tidak berhasil, aku khawatir akan keselamatan jiwaku. Jika engkau sedang berada di Oklahoma City, berhati-hatilah. Aku tumpahkan segala harapan kepadamu dan aku percaya bahwa engkau akan berhati-hati. 

Salam hangat seperti biasa.

Temanmu C.F. Urschel

Jika nanti hubungan sudah ada, maka lawan menginginkan kartu identitasku. Berikanlah surat yang aku kirim bersama ini pada Berenice (istri Urschel), Arthur atau Kirk (Kirkpatrick).

Surat yang ditujukan pada Kirkpatrick memuat permintaan agar segera mengumpulkan 200.000 dolar dalam lembaran 20 dolar. Dalam surat selanjutnya diminta agar uang 20 dolar itu harus dalam bentuk tunai dan tidak boleh terdiri dari seri. Jika menginginkan hubungan lebih lanjut, maka di dalam koran Oklahoma harus ditempatkan iklan: “Dijual 160 acre tanah, rumah mungil dengan lima kamar dan sumur yang dalam. Selain itu sapi, alat-alat trator-traktor, palawija, dan rumput kering. 3.750 dolar, untuk mereka yang dapat segera mengambil keputusan. Penawaran pada kotak no. 807.” Jika iklan ini terbit seperti yang direncanakan, maka hubungan akan diteruskan. Akan tetapi semuanya harus bersifat rahasia, apalagi terhadap para petugas.

Iklan dipasang seperti permintaan. Beberapa hari kemudian, ke redaksi koran datanglah surat di bawah nomor yang sudah ditentukan, sebuah surat pos udara yang dimasukkan di Joplin (Missouri). Surat itu memberitahukan kepada Tuan Kirkpatrick apa yang harus dikerjakan. la harus memasukkan 200.000 dolar dalam pecahan 20 dolar ke dalam tas kulit yang terang warnanya. Kemudian ia menggunakan kereta api malam yang berangkat dari Oklahoma jam 10 malam ke Kansas City. Jika melewati stasiun-stasiun, ia harus berdiri di peron luar.

Pada suatu waktu, di sebelah kanan kereta api, ia akan melihat dua tumpukan api. Yang pertama semacam peringatan. Pada tumpukan yang kedua ia harus melemparkan koper dari kereta. Tuan Urschel yang akan menerimanya dan mengalihkan isinya ke dalam karung. Jika semua berjalan memuaskan, maka Tuan Urschel akan dibebaskan. Jika ada yang tidak beres, maka ia (Kirkpatrick) harus meninggalkan kabar di Hotel Muehlebach di Kansas City dan menunggu instruksi-instruksi baru. Ia diberi peringatan keras agar jangan menggunakan tipu atau memberi tahu kepada para petugas. Jika ia berani melakukan demikian, maka jenazah Urschel akan dikirimkan. 

Bagi istri korban, tidaklah mudah untuk mengumpulkan uang dalam jumlah begitu banyak. Dengan bantuan keluarga dan teman ia berhasil. Tetapi sebelum ia memasukkan uang ke dalam tas, ia menyuruh mencatat nomor-nomornya. Ini sebenarnya tidak dikehendaki si penculik.

Di dalam jumpa pers, yang dilakukan Nyonya Urschell pada hari yang sama, ia mengeluh bahwa belum ada hubungan dengan penculik. Dengan sangat ia meminta kepada para wartawan agar pergi dari rumahnya. Karena dengan berkumpul demikian, para penculik tidak mau mengambil risiko melakukan hubungan dengannya. Ia yakin, jiwa suaminya terancam jika ada sesuatu yang bocor mengenai hubungan yang sedang dijalankan.

Pada tanggal 29 Juli, jam 10 malam Kirkpatrick naik kereta api, ditemani Catlett, ke Kansas City. Mereka membawa dua koper kulit yang agak berbeda warnanya. Dalam koper yang lebih gelap ada 200.000 dolar dan di dalam yang lebih terang ada koran-koran dan majalah. Keduanya beratnya sama. Andai kata gerombolan lain mencium adanya tebusan dan mencoba untuk merampas uang, maka tas berisi koran akan diberikan. Jika semuanya berjalan seperti direncanakan, maka mereka akan melemparkan tas dari kereta api, jika tumpukan api yang kedua tampak.

Pada setiap stasiun, Kirkpatrick pergi ke peron, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian. Di sepanjang rute yang panjang tidak dilihatnya onggokan api. Sesudah mereka melalui 51 stasiun, kedua penumpang sampai di Kansas City. Seperti direncanakan, mereka mengambil kamar di Hotel Muelebach. Jam 10 pagi datang sebuah telegram yang dikirimkan dari Tulsa (Oklahoma). Telegram itu berbunyi: “Sebuah halangan memaksa saya untuk tidak bertemu dengan Anda. Saya akan melapor pada jam 18.” Tanda tangan: E.W. Moore. Saat itu hari Minggu tanggal 30 Juli.

Sementara mereka tidak sabar menunggu telepon. Kedua teman tadi berpikir apakah mereka salah melaksanakan instruksi. Sebenarnya mereka harus duduk di peron terakhir, tetapi tidak bisa karena dipenuhi dengan grup yang berpergian bersama. Apakah itu menimbulkan rasa curiga pada para penjahat? Lagi pula mereka telah membawa dua tas dan tidak satu. Atau juga diperhatikan bahwa Kirkpatrick tidak bepergian sendiri. Kirkpatrick curiga bahwa mereka ingin menipu dan mungkin juga menculik dirinya.

Waktu berjalan lambat. Hampir 10 jam telah lalu sesudah mereka masuk hotel. Tiba-tiba telepon berdering. Beberapa menit sebelum jam 18. 

“Siapa yang berbicara?” tanya seseorang. 

“Kincaud,” jawab Kirkpatrick. 

“Di sini Moore. Apakah Anda menerima telepon saya?” 

“Ya.” 

“Anda bersedia untuk menyelesaikan semuanya?” 

“Ya saya bersedia, akan tetapi dengan syarat, saya dapat percaya bahwa saya berhubungan dengan orang-orang yang benar.” 

“Ini sebenarnya sudah harus Anda yakini kini. Saya memberikan instruksi-instruksi baru. Naiklah taksi, pergi ke Hotel La Salle, turunlah di situ. Bawa koper di tangan kanan dan berjalanlah ke arah barat.”

“Saya akan berada di tempat kira-kira jam 16.20. Bolehkah saya membawa teman yang sudah ikut sampai kemari?”

“Persetan, tidak. Kami mengetahui tentang teman Anda. Kami telah melihatnya kemarin di dalam kereta api. Anda harus muncul sendirian dan tidak bersenjata.”

Catlett ingin menemani temannya, akan tetapi Kirkpatrick menganggap hal itu berbahaya dan menolak. Tetapi ia mempersenjatai dirinya dengan senjata otomatis. Kemudian di pengadilan ia mendengar bahwa para bandit dilengkapi dengan senapan mesin. Andai kata ada sesuatu yang meleset dan ia memakai senjata, maka sudah pasti ia ditembak dahulu.

Sesampai di depan Hotel La Salle, Kirkpatrick pergi ke arah barat dengan tasnya dan menunggu kejadian. Waktu berhenti sejenak untuk menyulut rokok, ia melihat dua mobil besar yang sedang parkir. Setiap mobil ditumpangi oleh tiga orang. Tiba-tiba seseorang yang besar dan tegap berdiri di dekatnya. Lelaki itu berpakaian rapi dan memakai topi Panama. Ia mengatakan pada Kirkpatrick bahwa ia ingin menerima uang tebusan. Waktu Kirkpatrick ragu, orang ini menjadi tidak sabar. Menurut cerita Kirkpatrick terjadilah dialog demikian:

“Segera berikan,” kata orang yang tidak dikenal. 

“Siapa yang mengatakan bahwa Andalah orang yang benar?” 

“Persetan, Anda mengetahui dengan pasti bahwa sayalah orangnya!” 

“200 ribu dolar itu banyak. Kami telah menjalankan peran kami dengan baik. Ketentuan mana yang dapat meyakinkan kami bahwa Anda juga menjalankan peran dengan baik?” 

“Tidak usah berpidato panjang. Mereka menunggu.” 

“Kapankah kami dapat menunggu kedatangan Urschel? Saya sekarang segera kembali ke hotel untuk menelepon Nyonya Urschel. Apa yang harus saya katakan kepadanya?”

“Urschel akan pulang dalam waktu 12 jam. Tetapi sekarang Anda harus berbalik, kembali ke hotel dan jangan melihat ke belakang.”

Kirkpatrick meletakkan koper di jalanan. la kembali ke hotel Muehlebach dan segera melapor pada Nyonya Urschel lewat telepon. Para penculik masih saja menahan Urschel dan kini mereka juga mempunyai uang tebusan yang sudah dijanjikan. Apakah mereka akan menepati janji atau akan memanfaatkan situasi untuk pemerasan baru. Ataukah mereka akan membunuh Urschel untuk menghilangkan saksi yang berbahaya? Itu semua tinggal pertanyaan.

Kemudian di depan pengadilan terungkap bahwa para penjahat benar-benar ingin membunuh korban. Hal itu terutama disetujui oleh wanita-wanita yang ikut penjahat waktu uang tiba di tangan mereka. Akan tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk memenuhi janji.

Penjahat telah berjanji untuk membebaskan Urschel dalam waktu 12 jam. Waktu Kirkpatrick jam 8 pagi datang ke tempat Nyonya Urschel, belum ada kabar berita dari suaminya. Jam demi jam berlalu dan ia tidak kunjung datang. Semuanya bingung. Tampaknya mereka tertipu. Tidak dapat dipercaya! Jadi kalau demikian, memang lebih baik untuk melapor pada polisi.

Akhirnya sudah jam 8 malam. Tiba-tiba dari pintu belakang rumah datang seseorang dan meminta pada petugas polisi yang menjaga pintu supaya boleh masuk. Orang itu adalah Urschel yang pulang sesudah ditahan selama 9 hari. Istrinya memeluknya. Diberitahukan tentang kembalinya Urschel, maka kepala-kepala polisi segera berdatangan dalam 10 menit untuk menginterogasi Urschel. Karena Urschel sangat lelah, ia meminta agar interogasi dilakukan nanti saja. Tapi mereka berkata, “Waktu adalah kunci bagi pemecahan persoalan semua perkara penculikan.”

Karena argumentasi ini, Urschel menurut dan memberi mereka keterangan pertama. “Pada waktu hendak dibebaskan, saya diberitahu bahwa jika saya menceritakan kepada orang lain,apa yang telah saya lihat, maka mereka akan menculik saya kembali dan akan menganiaya saya. Termasuk para anggota keluarga akan dianiaya dan dibunuh. Mereka lebih berkuasa dari pada pemerintah. Namun, saya akan menceritakan semuanya.” Sesudah 30 menit, Urschel sangat lelah. Jadi pemeriksaan harus dihentikan.

Pada malam hari itu, surat-surat kabar memberitakan bahwa Gubernur Negara Bagian New York, Lehman, telah mengajukan rencana Undang-undang pada parlemen negara bagiannya yang memberi hukuman mati bagi para penculik jika korban tidak dikembalikan hidup-hidup. “Penjahat-penjahat ini musuh negara. Jika mereka tidak mau hidup seperti apa yang dikatakan undang-undang dan peraturan kita, mereka harus dibinasakan.”

Pada hari berikutnya, Urschel mulai bekerja penuh kembali. Sesudah didengar kembali, ia terpaksa mengaku bahwa ia tidak mempunyai bayangan sedikit pun di mana ia telah disembunyikan dan oleh siapa.

Sesudah temannya Jarrett turun dari mobil, begitu ceritanya, maka para penjahat menutupi matanya dengan plester. Plester ini beberapa kali diganti. Selama ia ditahan, dua kali ia tidak ditutupi matanya. Sekali pada waktu ia hendak menulis surat pada temannya Catlett dan untuk kedua kalinya, waktu ia hendak mencukur jenggot.

Perjalanan kebanyakan melalui jalan-jalan yang rusak dan tampaknya bukan jalan raya. Ia selalu diingatkan bahwa ia harus berlaku tenang. Kalau tidak, mereka akan memberinya suntikan yang akan membuatnya tertidur selama 24 jam. Di perjalanan ia mendengar ayam jago berkokok dan menarik kesimpulan bahwa sudah dini hari. Lalu mereka sampai di halaman rumah petani. Di situ mereka mengatakan bahwa harus berganti mobil. Penjahat memberinya kacamata hitam dan topi Panama. Mereka lalu berjalan kembali serta akhirnya berhenti di sebuah garasi. Ia pernah menanyakan jam berapa dan mereka menjawab kurang lebih jam 2.30 siang. Mereka telah berjalan kurang lebih 560 km. Sampai malam tiba, ia ditahan di garasi. Kemudian ia dibawa ke sebuah rumah. Ia tentu saja sama sekali tidak dapat tidur. 

“Setiap jam lamanya seperti seminggu dan setiap hari seperti sebulan. Karena perjalanan jauh yang saya tempuh di lantai mobil, saya lelah sekali. Selama hari-hari pertama saya merasa kurang sehat.”

Pada hari Senin pagi ia diberi sarapan yang sederhana. Salah seorang penculiknya membacakan halaman depan surat-surat kabar dan mengatakan bahwa sesudah mereka (keluarga Urschel) mengikutsertakan polisi, situasi menjadi sulit untuk mengadakan perundingan. Kemudian, begitu Urschel melanjutkan, ia dibawa ke rumah lain. Di situ ia diborgol dan diikat pada sebuah kursi anak-anak. Selimut tebal tua yang digelar di lantai adalah tempat tidurnya. 

Selama ditahan, ia dijaga oleh seorang penculik. Mereka tidak memberikan kesempatan untuk berganti baju. Salah seorang penjaga meminjamkan sebuah piama. 

“Mereka memberi makan dengan teratur, meskipun mutu makanan sangat sederhana. Biasanya makanan dalam kaleng, tomat dan kacang polong bakar. Kopinya jenis kopi yang diberikan di tempat-tempat berkemah. Tidak pernah diberikan sayuran segar ataupun daging segar.”

Sesudah sampai di tempat tujuan, ia dipaksa untuk menulis surat pada temannya Catlett dan memintanya untuk menyediakan uang tunai. Ia menulis surat itu akan tetapi mengatakan bahwa simpanannya di bank tidak memungkinkan mengambil jumlah uang yang sedemikian banyaknya. Surat itu dirobek para penculik dan sebagai gantinya mendiktekan surat yang kemudian dikirimkan kepada Mr. Catlett.

Dua orang penculik meninggalkan peternakan pada hari Jumat untuk mengadakan perundingan mengenai pemberian uang tebusan. Sebenarnya mereka akan kembali hari Minggu akan tetapi baru Senin tiba. Lalu mereka memberikan kaca dan alat cukur sehingga ia dapat bercukur. Kemudian matanya ditutup kembali. 

Salah seorang penculik menyuruhnya naik ke sebuah mobil dan mereka membawanya pergi. 1 jam kemudian orang lain ikut naik. Keduanya mengatakan ia akan dipulangkan ke rumah. Jika ia (Urschel) menceritakan sesuatu tentang apa yang telah dialaminya sejak ia diculik, maka ia akan dibunuh bersama seluruh keluarganya. Di perbatasan Utara Oklahoma ia dibebaskan, sambil diperintahkan agar berjalan ke pompa bensin yang terdekat dan memesan taksi untuk perjalanan selanjutnya. Itu semua dikerjakannya.

Salah seorang dari kedua lelaki yang membawanya kembali, masih agak muda, yang lainnya sudah lebih tua. Keduanya memberi kesan bahwa mereka bertempat tinggal di daerah utara Oklahoma dan Texas. Keterangan terpenting yang dapat diberikan Urschel adalah bahwa dua kali sehari, kira-kira jam 9.45 dan 17.45 ada kapal terbang melintasi rumah tempat ia ditahan, kecuali tanggal 30 Juli pagi hari.

Waktu ia mendengar dengung kapal terbang untuk pertama kalinya ia segera menyadari bahwa itu suatu kejadian penting yang akan banyak menolong. Sesudah dengung menghilang, ia telah bertanya secara sambil lalu pada penjaganya, jam berapa. Kemudian ia menghitung menit yang berlalu sesudah suara kapal terbang menghilang. Pada hari berikutnya ia mengulangi pertanyaan jam berapa dan menghitung ke belakang.

Pengamatan Urschel tentang hal-hal yang terjadi di sekelilingnya juga bermanfaat untuk pengusutan lebih lanjut. 

Ia mencatat di luar kepala segala hal yang remeh-remeh. Misalnya ia dapat menceritakan kepada polisi bahwa air minum yang diberikan, sedikit terasa besi. Bahwa cangkir yang diberikan sudah tidak bertelinga lagi. Juga sumur yang diambil airnya itu terletak di sebelah barat laut rumah dan ember yang dipakai mengambil air sumur sangat keras bunyinya.

Pada waktu dipulangkan, mereka melewati jembatan panjang. Ia sempat mendengar gemeretak kayu yang merupakan dasar jembatan. Ternyata jembatan itu adalah jembatan yang melintasi Canadian River, di antara Lexington dan Purceh. Urschel juga masih ingat bahwa di pagi hari sesudah penculikan, mobil masuk jalan yang becek waktu hujan lebat. Roda mobil sering hampir selip. 

Pada pagi itu ia juga menjadi saksi percakapan salah seorang penculik dan seorang wanita yang melayani di pompa bensin. Lelaki itu bertanya apakah hujan masih berguna untuk panen. Jawabnya, “Tidak, semua sudah terbakar. Akan tetapi mungkin masih menolong panen sorgum.” Pengamatan ini penting, karena sorgum hanya ditanam di beberapa daerah tertentu. 

Pada akhir perjalanan pulang, Urschel melanjutkan, lagi-lagi turun hujan lebat selama 1 jam. Lalu sampai Minggu tidak ada hujan. Pada hari Sabtu angin bertiup dengan kencangnya, sehingga mereka takut ada angin puyuh. Dengan cara bertanya kepada para penjaganya dan juga dari apa yang didengarnya, Urschel mengetahui bahwa di peternakan itu ada ayam, sapi jantan, ayam kate, anjing bulldog, dan keledai.

la mengamati semuanya dan menyimpannya di dalam ingatan. Para petugas FBI di Washington belum pernah mendengar saksi yang demikian. Mereka sangat menghargai keterangan-keterangan yang diberikan dan semuanya dipakai sebagai dasar pencarian penjahat oleh petugas-petugas mereka.

Pertama, mereka menanyakan keadaan cuaca di jarak yang luas. Di mana turun hujan pada tanggal 23 dan 30 Juli dan di antara hari itu tidak hujan? Di manakah bertiup angin bagaikan angin puyuh di hari 29 Juli? Dan di mana pada tanggal 30 Juli sebuah kapal terbang mengadakan perubahan rute perjalanan?

Di dalam lingkar 800 km di keliling Oklahoma diperiksa semua rute kapal terbang dengan teliti. Mereka menemukan bahwa pada waktu-waktu yang dikatakan Urschel setiap hari ada kapal terbang yang terbang dengan rute Amarillo ke Forth Worth di Texas dan melewati sebuah kota kecil di dekat Paradise di Texas. Pada hari Minggu yang dimaksud pesawat mengambil rute lain, karena cuaca pada rute biasa terlalu buruk.

Penelitian laporan cuaca menunjukkan fakta bahwa di Texas dan Oklahoma memang turun hujan di waktu Urschel sedang ditahan di peternakan. Pada 6 hari berikutnya sebaliknya tidak jatuh hujan. Kemudian ditemukan lebih lanjut, bahwa di daerah di mana disangka terletak peternakan yang dimaksud, pada tanggal 29 Juli ada angin puyuh, pada tanggal 30 hujan terus-menerus selama 14 jam, Ketika kombinasi dengan keterangan yang diberikan Urschel, maka para petugas di Washington bisa menentukan letaknya. Peternakan harus dicari di dekat kota Paradise. Yang dicurigai akhirnya sebuah peternakan milik seseorang yang bernama R.C. Shannon.

Untuk menentukan benar tidaknya, seorang agen FBI menyamar sebagai agen perusahaan real estate. la diperintahkan pergi ke peternakan milik Shannon. Di situ ia harus menanyakan harga tanah sambil mengamat-amati peternakan. Orang yang diperintahkan menjalankan tugas ini ialah seorang lelaki yang ramah, yang pandai bergaul dengan para petani. 

Yang berhasil diamati-amati petugas persis sama dengan keterangan yang diberikan Urschel. Rumah itu mempunyai tiga ruangan, menghadap ke selatan, sumurnya di sebelah timur laut. Petugas mengatakan ia haus dan meminta air segar segelas. Air yang diberikan mempunyai rasa besi yang nyata. Jumlah binatang peliharaan juga sesuai dengan apa yang dikatakan Urschel.

Di samping rumah ada sebuah rumah kecil. Petugas mendapat keterangan bahwa rumah itu didiami oleh anak lelaki Shannon yang bernama Armon Shannon. Di kamar yang menghadap ke tenggara, semuanya seperti yang diceritakan Urschel. Jika masih ada keraguan, maka keraguan ini dihilangkan oleh adanya kaca di dinding. Kaca ini di bagian atas kiri mempunyai retak, seperti yang diamati Urschel sewaktu mencukur. Bukti-bukti sudah cukup, kini sudah dapat dilakukan tindakan.

Sebelum para petugas dari Washington melakukan tindakan menentukan, mereka masih menyempatkan diri berhubungan sekali lagi dengan petugas-petugas setempat. Mereka mendapat informasi jika peternakan ini sudah berbulan-bulan diamati-amati karena ada lalu-lalang yang menarik perhatian. Yang sering berkunjung ke situ, konon seseorang yang bernama George Kelly, yang menikah dengan anak tiri Shannon. la sudah lama dikenal polisi sebagai seorang penjahat yang berbahaya.

Kepala polisi setempat membentuk tim terdiri dari empat petugas dari Washington dan delapan petugas dari Texas. Semuanya penembak jitu. Hari yang sebenarnya ditentukan untuk melakukan aksi sudah agak larut, sehingga kepala polisi yang bertanggung jawab memutuskan untuk melakukan penyergapan pagi berikutnya. Keputusan ini ternyata membantu mereka menangkap salah seorang penjahat Amerika yang paling berbahaya. Penjahat itu tiba di peternakan pada malam sebelumnya.

Dini hari, tiga mobil menuju ke peternakan. Waktu mobil pertama sampai di depan rumah, seorang lelaki yang berambut putih dan kelihatan marah, keluar. Urschel yang duduk di mobil pertama dengan susah payah menahan jeritan. Itu adalah bos Shannon, yang menjaganya siang malam. Para petugas menjelaskan bahwa jiwanya tidak berharga sama sekali jika ia mencoba untuk membuat onar.

Waktu mereka memeriksa rumah dan sekelilingnya, para petugas menemukan sesuatu yang mengejutkan. Di sebuah kursi panjang di halaman ada seorang lelaki sedang tidur. Mukanya seperti mereka kenal. Tiba-tiba mereka mengetahui orang itu ialah Harvey Baily, seorang penjahat kelas kakap yang sudah dicari-cari polisi seluruh Amerika berbulan-bulan lamanya. Di sebelah Harvey sudah disiapkan senapan mesin, senapan, dan dua pistol otomatis. Sepuluh langkah darinya ada mobil Ford yang siap dijalankan. Baily yang telah melakukan sederet kejahatan, pada tanggal 30 Mei tahun itu melarikan diri dengan sepuluh tahanan lain dari sebuah penjara. Sebelum sempat meraih senjata, ia sudah diborgol. Si Shannon tua dan tamunya yang berbahaya itu disergap dengan begitu tiba-tiba, sehingga tidak sempat membela diri.

Di samping rumah ada gudang, tempat orang dapat menembak sekelilingnya dengan senjata-senjata ampuh. Di tengah gudang ada lubang yang dibuat seperti benteng, sehingga si penembak yang ada di dalamnya, dapat menembak sekeliling dan tetap terlindung. Para petugas lega, sebab di sini pun tidak ada perlawanan.

Waktu mereka lebih teliti memeriksa penghuni rumah, mereka menemukan Ora Shannon istri bos dan dua gadis remaja. Yang seorang anak Shannon dan seorang lagi Kathryn Kelly, anak tiri Shannon. Di kamar tidur, para petugas menemukan tangga yang menuju ke ruang di bawah atap. Sewaktu dengan hati-hati ruangan diperiksa ternyata tidak ada orang di dalamnya. 

Sementara itu para petugas yang menjaga Baily di luar, menemukan sesuatu yang cukup menarik perhatian. Di dalam saku-saku celana orang itu mereka menemukan 1.200 dolar uang tebusan. Dengan demikian telah terbukti, bahwa Baily termasuk dalam komplotan penculik.

Di bawah tumpukan uang kertas 20 dolar, ditemukan uang perak yang ternyata diperoleh dari perampokan di Bank Kingfisher di Oklahoma. Uang lain yang juga berasal dari perampokan bank ini ditemukan di kaleng tempat penyimpan roti Nyonya Shannon. Waktu diadakan perampokan pada bank tersebut, pemimpin kelompok perampok memakai baju overal yang dengan merek pabrik berwarna merah. Overal yang serupa ditemukan di rumah itu, yang katanya milik bos Shannon. Akan tetapi anehnya tidak sesuai dengan besar badannya.

Sesudah semua penghuni rumah ditangkap, para petugas menuju ke rumah kecil yang dihuni oleh anak Shannon bernama Armon Shannon. Rumah itu kira-kira jaraknya 1,6 km dari rumah utama. Di situ mereka temukan Armon yang berusia 23 tahun dan istrinya yang masih muda. Segera Urschel melihat bahwa itulah tempat ia ditahan. Semua tepat dengan yang masih dapat diingatnya. Binatang-binatang, sumur, tempat tidur besi, dan kursi anak-anak dimana ia diikat. Juga kaca yang retak ada di situ.

Sesudah mereka selesai dengan pemeriksaan, kepala polisi berbicara empat mata dengan Shannon Jr. Ia mengaku sepenuhnya. Diungkapkannya bahwa ipar Armon yang bernama George Kelly adalah pelaku utama penculikan.

Orang tua Armon malah tidak mengaku. Mereka menyatakan Urschel tidak dikenalnya sama sekali, mereka juga tidak mengenal Baily. Baru 2 hari kemudian bos lelah dan mengaku ikut dalam penculikan. Akhirnya Nyonya Shannon juga mengaku.

Atas dasar pengakuan Armon Shannon dapat ditentukan, bahwa selain dari keluarga Shannon dan Harvey Baily, George Bates, George Kelly, Bob Brandy, dan Jim Clark juga terlibat. Semuanya penjahat kelas kakap yang pernah dihukum berat. Yang masuk ke dalam vila Urschel adalah Bates dan Kelly. Hidup Baily sudah diungkapkan tadi. Bates pernah ikut beberapa pencurian dan perampokan bank dan dapat ditangkap pada tanggal 14 Agustus di Denver. Kelly pernah dihukum beberapa kali karena menyelundupkan alkohol dan juga dicurigai melakukan perampokan bank.

Tetapi otak semuanya ini kemudian ternyata istri Kelly, Kathryn Thome Kelly. Edgar Hoover, direktur FBI menyebutnya dalam bukunya Persons in Hiding (1938) sebagai wanita di balik kejahatan. Wanita ini tabiatnya kejam dan mempunyai energi untuk melakukan kejahatan yang sedemikian besarnya hingga jarang dapat ditandingi. Ia mempunyai kecerdasan tinggi dan menikah pada usia 15 tahun. Waktu ia berumur 17 perkawinannya retak. Suami-suaminya yang kedua dan ketiga merupakan penjahat yang hidup dari pencurian dan penyelundupan alkohol. Suaminya yang ketiga, George Kelly, yang dinamakan “Machine Gun Kelly” takut kepadanya. Ide untuk menculik orang kaya dicetuskan olehnya. Ia sebenarnya juga ingin membunuh Urschel sehingga mereka tidak akan memiliki masalah dengannya. Namun wanita itu tidak berhasil memaksakan kehendaknya.

Pada tanggal 4 September 1933, surat-surat kabar memberitakan kabar sensasional, bahwa Baily berhasil lolos dari Penjara Dallas yang dijaga sangat ketat. Keberhasilannya ini diakui sebagai sesuatu yang hebat. Sebab Baily dikurung di dalam sebuah sel yang terisolasi di tingkat 8 dan mendapat penjagaan istimewa. Dengan bantuan gergaji yang diselundupkan dari luar, ia berhasil merusak terali besi sehingga dapat meninggalkan selnya. Kemudian ia bersembunyi di dalam sel di sebelahnya dan menunggu hingga petugas yang dinas siang datang. Waktu petugas ini tiba, Baily mengarahkan pistol ke matanya, menarik kunci, dan memasukkannya ke dalam sel. Lalu ia tenang saja turun ke tingkat 6, di situ mengulangi apa yang telah ia kerjakan dan akhirnya memaksa penjaga lift untuk membawanya ke lantai bawah.

Di situ ia mengancam pemegang buku dengan senjata dan memaksanya untuk membuka pintu luar dan memberikan kunci mobilnya yang diparkir di situ. Dengan mobil ini, Baily memulai perjalanan yang membabi buta menuju Oklahoma. Akan tetapi karena telah turun hujan selama beberapa hari, jalan-jalan biasa hampir tidak dapat dilaluinya. Ia harus menggunakan jalan raya dan di kota Ardmore. Si penjahat ditangkap kembali sesudah kejar-kejaran yang seru. Pemeriksaan kemudian mengungkapkan, bahwa Baily dapat memiliki gergaji dan revolver berkat pertolongan penjaga penjara dan pembantu Sheriff Thomas Manion yang untuk jasanya itu dijanjikan 10.000 dolar. Manion mendapat hukuman 2 tahun penjara dan harus membayar 10.000 dolar. Kini Baily dipindahkan ke penjara Oklahoma dan dikumpulkan dengan bapak dan anak Shannon. Kemudian masuk Bates. Para petugas yang menjaga mereka dilengkapi dengan senapan mesin dan bom gas air mata.

Pada tanggal 23 Agustus Grand Jury di Oklahoma City menghadapkan 14 orang ke pengadilan dengan tuduhan terlibat dalam penculikan Charles F. Urschel. Kelly serta istrinya masih belum tertangkap. Untuk menangkap mereka maka salah satu aksi pencarian yang paling besar di Amerika dijalankan. Para penjahat melarikan diri dengan menjelajahi kira-kira 35.000 km Amerika dan berminggu-minggu tidak berhasil ditangkap. Akhirnya baru pada tanggal 26 September petugas berhasil menangkap mereka.

Pada tanggal 18 September 1933, dimulailah sidang utama di depan pengadilan di Oklahoma City. Yang mengetuainya seorang hakim bernama Vaught.

Sidang mendapat perhatian sangat besar di Amerika. Untuk menghindari gangguan, maka dilakukan penjagaan yang sangat ketat. Semua orang yang masuk ruang sidang sebelumnya diperiksa dengan teliti dan para tertuduh serta juri dijaga dengan ketat. Di gedung pengadilan petugas polisi yang bersenjata berat mondar-mandir. Pada tanggal 30 September 1933 pengadilan di Oklahoma City menyatakan keluarga Shannon, Baily, Bates, dan dua orang tertuduh lain bersalah melakukan penculikan. 

Pada tanggal 7 Oktober, dibacakan keputusan oleh hakim. Seumur hidup bagi suami istri Shannon, Baily, dan Bates. Shannon Jr. mendapat 10 tahun dan dua tertuduh lain mendapat masing-masing 5 tahun. Kathryn dan George Kelly tidak lama kemudian juga dijatuhi hukuman seumur hidup.

Sesudah itu maka dengan gairah baru dicari sisa uang tebusan. 75.000 dolar dapat diamankan, tapi 125.000 dolar tidak dapat ditemukan. Beberapa hal menunjukkan bahwa Kelly dan Bates masing-masing mendapat 80.000 dolar, serta sisanya dibagi-bagikan pada mereka yang bersangkutan, yang tidak begitu penting. Berdasarkan petunjuk Nyonya Bates, petugas dapat menemukan tempat penyimpanan di mana ada 44.000 dolar dalam uang kertas 20 dolar. Sisanya tetap tidak ditemukan.

Badan pemerintahan yang memberantas kejahatan besar, FBI, telah meraih kesuksesan besar. Belum ada 3 bulan berlalu sejak dilakukan penculikan dan sudah 16 orang yang ditangkap, 6 di antaranya dihukum penjara seumur hidup. Juga suami istri Kelly hanya dapat menghindari cengkeraman polisi selama 56 hari. Yang juga dimintai pertanggungjawaban adalah mereka yang pernah memberikan pertolongan, memberi penginapan, ataupun bekerja sama dengan sangat baik, begitu pula dengan para petugas pusat.

Fakta bahwa dalam kejadian ini segera dapat dijatuhkan hukuman sesudah kejadian, telah membawa akibat yang sebelumnya tidak dapat dihasilkan oleh karena Lindbergh yaitu bahwa sesudah itu, kejadian-kejadian penculikan berkurang dengan nyata.

Untuk menghindarkan percobaan-percobaan melarikan diri, maka mereka yang dihukum seumur hidup ditahan di sebuah penjara di pulau Alcatraz, di Laut Teduh.

(Maximilian Jacta)

Baca Juga: Penculiknya Mirip Tsar Nikolas II

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760967/ia-hampir-tidak-kembali-hidup" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802949000) } } [4]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3725993" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/penculiknya-mirip-tsar-nikolas-i-20230406072139.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Berlin digemparkan dengan kasus penculikan salah satu anggota Merkel Sisters. Beberapa saksi mengatakan penculiknya mirip dengan Tsar Nikolas II." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/penculiknya-mirip-tsar-nikolas-i-20230406072139.jpg" ["title"]=> string(33) "Penculiknya Mirip Tsar Nikolas II" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:21:49" ["content"]=> string(42320) "

Intisari Plus - Kota Berlin digemparkan dengan kasus penculikan salah satu anggota Merkel Sisters. Setelah ditelusuri, beberapa saksi mengatakan bahwa penculiknya mirip dengan Tsar Nikolas II.

----------

Seluruh kota Berlin gempar, ketika tanggal 21 November 1908 seorang anggota Merkel Sisters diculik orang!

Merkel Bersaudara ini adalah empat wanita penari berkebangsaan Inggris, yang memukau publik di Berlin karena kerapian langkah tari mereka. Merkel Sisters bisa dipandang pendahulu Revue Girl yang kenamaan dari tahun-tahun 20-an.

Pagi itu anggota rombongan itu yang paling muda tidak muncul untuk melakukan latihan seperti biasanya.

Mary — demikianlah nama gadis itu — malam sebelumnya setelah pertunjukan selesai kembali ke hotel bersama ketiga saudaranya dan langsung masuk ke kamarnya. Ketiga gadis bersaudara itu sangat menjaga nama baik mereka. Sehabis pertunjukan, tidak pernah keluyuran. Keesokan paginya Mary masih sarapan di kamar, seperti biasanya. Tapi setelah itu, ia lenyap!

Kegelisahan semakin memuncak ketika malam itu Mary belum juga kembali. Ketiga saudaranya terpaksa mengadakan pertunjukan tanpa dia. Ketiga kakaknya memohon pada direksi Wintergarten, yaitu gedung tempat mereka mengadakan pertunjukan, agar menghubungi polisi.

Kedua polisi yang memeriksa bersikap skeptis. Mereka tidak bisa membayangkan penari yang cantik-cantik seperti mereka mengaku tidak punya kenalan pria. Jadi polisi curiga, jangan-jangan kejadian itu cuma siasat pemasaran belaka untuk menarik perhatian masyarakat.

Karenanya pengusutan pada mulanya berjalan dengan tersendat-sendat. Ketika beberapa hari sudah berlalu dan gadis yang hilang itu tidak muncul-muncul juga, barulah beberapa petugas disuruh melakukan pengusutan lebih lanjut. Tindakan itu antara lain juga terdorong oleh pemberitaan yang dimuat dalam koran-koran.

Pengusutan berpangkal pada dugaan yang paling logis. Inspektur Zimmermann yang diserahi tugas itu membayangkan, apakah yang akan dilakukan seorang gadis yang juga penari, apabila ia dikekang begitu ketat? Pasti ia sekali-sekali ke pinggir juga mengenal kehidupan kota besar seperti Berlin. Dan itu paling enak dilakukan jika ditemani seorang pria.

Tapi baik rekan-rekan seniman di Wintergarten mau pun para pengawal hotel tempat Mary Merkel menginap, belum pernah melihatnya bersama seorang pria. Kemudian pengusutan dilanjutkan di sebuah kafe di pojok jalan, tempat para seniman Wintergarten biasa berkumpul. Lalu diteruskan ke berbagai klub malam yang terdapat di sepanjang Friedrichstrasse.

Tetapi di mana-mana tidak ada yang merasa pernah melihat Mary Merkel, walau polisi tidak bosan-bosannya menunjukkan foto gadis itu. Pencarian lantas diteruskan ke barat, ke tempat-tempat umum sekitar Kurfurstendamm. Akhirnya sampai di Romanisches Cafe. Ternyata justru di tempat yang sama sekali tak terduga-duga itu akhirnya ditemukan jejaknya. Kepala pelayan ingat bahwa pada tanggal 21 November siang ia berbicara dengan Mary Merkel.

“Saya ingat sekali karena kami berbicara dalam bahasa Inggris,” kata pelayan restoran itu. “Ia bertanya pada saya tentang keadaan kafe serta para tamunya dan terutama tentang masing-masing seniman yang tampil di sini. Kelihatannya wanita itu sedang menunggu seseorang. Dan kemudian memang datang seorang laki-laki padanya.”

“Anda masih bisa mengingat orang itu dan menyebutkan bagaimana rupanya pada kami?” tanya Inspektur Zimmermann. 

Pelayan itu mengingat-ingat sebentar, “Saya cuma ingat bahwa ia juga berbahasa Inggris — tapi nanti dulu! Masih ada lagi yang saya ingat ya, saya tahu lagi sekarang. Orangnya agak mirip tsar Rusia dan bercambang seperti pemimpin Kekaisaran Rusia itu.”

Itu merupakan petunjuk yang bisa dijadikan pegangan. Soalnya, zaman itu orang Jerman kebanyakan tahu bagaimana tampang Nikolas II. Juru gambar di kantor pusat pasti bisa membuat gambarnya.

“Anda kenal laki-laki itu?” usut Zimmermann lebih lanjut.

“Saya setidak-tidaknya belum pernah melihatnya di sini. Tapi mungkin ada rekan saya yang ingat”

Zimmermann menunjukkan foto Mary Merkel pada para pelayan ditambah dengan keterangan mengenai pria yang menemaninya di situ. Tapi para pelayan itu tak seorang pun yang merasa pernah melayani pria yang dilukiskan.

Sekembalinya di kantor pusat, Zimmermann langsung meminta pada juru gambar agar dibuatkan wajah seorang pria yang mirip Tsar Nikolas II. Dengan gambar itu ia kemudian kembali ke Romanisches cafe.

“Janggutnya lebih gelap warnanya,” kata kepala pelayan yang ditanyai. “Kumisnya tidak sebegitu lebar sedang janggutnya dicukur pada dua tempat. Tapi selebihnya, menurut pengamatan saya sudah persis.”

Gambar yang sudah dikoreksi dimuat dalam koran-koran bersama foto Mary Merkel, juga dipasang pada papan-papan pengumuman.

Beberapa jam saja setelah dimuat dalam koran, seorang kusir kereta kuda menelpon untuk melaporkan bahwa dua hari yang lalu ia  mengantarkan kedua orang itu, dari Wielandstrasse ke Bahnhof Zoo, jadi ke stasiun dekat kebun binatang. Kusir itu diminta agar segera datang ke kantor pusat. Tetapi ia tidak bisa memberikan keterangan lebih lanjut.

Ia lantas diajak polisi ke Wielandstrasse. Ternyata ia masih ingat, ke rumah mana ia waktu itu diminta datang. Papan nama losmen yang terpasang di pintu masuk, menunjukkan di mana mereka harus mulai dengan penyelidikan lebih lanjut. 

Ternyata orang-orang di losmen belum membaca koran hari itu. Tetapi bisa diberikan keterangan bahwa sampai belum lama berselang di tempat itu menginap seorang tuan berkebangsaan Rusia. Namanya Zaharov. Teman wanita tuan itu juga ikut dengannya selama beberapa hari. Tapi tiba-tiba wanita itu jatuh sakit dan terpaksa tinggal di tempat tidur terus. Wanita itu berbangsa Inggris.

Inspektur Zimmermann langsung tertarik. Apa-apaan lagi ini? Miss Merkel seorang penari, jadi kondisi fisiknya tentu sempurna. Sedang menurut informasi yang diperoleh, gadis itu selama hari-hari belakangan tidak menampakkan gejala-gejala akan sakit. Di sini ada sesuatu yang tidak beres!

“Anda ingin memeriksa kamar yang disewa?” tanya wanita pemilik losmen. Hari sebelumnya hari Minggu, jadi kamar itu belum dirapikan lagi untuk tamu berikut. Hanya kamar yang dipakai tuan Zaharov saja yang sudah dibereskan dan sudah dipakai tamu lain.

Ketika Zimmermann memasuki kamar yang ditempati wanita yang mestinya Mary Merkel, ia agak kaget. Kamar itu kocar-kacir keadaannya. Tempat tidur acak-acakan, kedua lemari yang ada di situ terbentang lebar pintu-pintunya. Dan di lantai terserak sobekan kertas. Keadaan begitu hanya mungkin jika kepergian dilakukan dengan sangat tergesa-gesa.

Zimmermann lantas menanyakan pada pelayan yang bertugas membereskan kamar-kamar, apakah ia sering mendengar kedua tamu itu bertengkar. Dengan agak ragu, gadis pelayan itu mengangguk.

“Tapi saya tidak memahami kata-kata yang diucapkan tamu yang wanita,” katanya. “Ia berbicara dalam bahasa asing. Tapi tuan Zaharov selalu berhasil menenangkannya kembali lalu wanita itu pulas lagi. Sering sepanjang hari saya tidak bisa masuk ke dalam kamarnya karena ia tidur terus.”

Keterangan pelayan itu kedengaran aneh. Inspektur Zimmermann meneliti kamar dengan lebih saksama lagi. Di bak cuci ada sebuah botol berwarna cokelat, mirip yang biasa dipakai apotek. Dipegangnya botol itu dengan hati-hati pada bagian leher dan dimasukkannya ke dalam tas. Setelah itu sobekan-sobekan kertas yang terserak di lantai dikumpulkan. Pada beberapa di antaranya nampak angka-angka serta beberapa potongan kata dalam bahasa Inggris. Semuanya akan diperiksa di laboratorium.

Ternyata potongan-potongan kertas itu merupakan bagian dari sepucuk surat yang kelihatannya dialamatkan pada salah satu bank. Tapi baik nama bank maupun uang yang tertera tidak bisa diketahui.

Inspektur Zimmermann kembali menanyai ketiga bersaudara Merkel yang masih menunggu adik mereka di Berlin. Dari mereka Zimmermann mendapat informasi yang membuat perasaannya tidak enak. Mary, yang berpendidikan di bidang perdagangan, ternyata merupakan bendahara grup penari itu. Ia yang mencatat uang yang masuk dan keluar. Ia juga yang mengelola kekayaan mereka yang disimpan di Barkley Bank di London. Jangan-jangan Zaharov ingin menguasai harta itu, pikir Zimmermann.

Ia langsung bertindak cepat tanpa mengikuti alur birokrasi yang biasa. Ia mengirim kawat ke bank Inggris bersangkutan untuk menyarankan agar membekukan simpanan Merkel Sisters di bank itu.

Jawaban yang datang beberapa jam kemudian membenarkan dugaan Zimmermann yang paling buruk! Peringatannya datang terlambat. Tiga hari sebelumnya telah dipindahkan uang sebanyak 1.000 poundsterling ke Deutsche Bank.

Dengan segera Zimmermann menelepon Deutsche Bank. Tapi jawaban yang akan didengarnya sudah diduga lebih dulu olehnya. Uang itu sudah diambil sedang tanda penerimaan ditandatangani oleh orang yang bernama Mary Merkel.

Inspektur Zimmermann jengkel setengah mati. Semuanya terjadi hari Sabtu pagi, sebelum berita penculikan gadis itu dimuat di koran-koran dan dipasang di papan pengumuman di mana-mana! la pergi ke Deutsche Bank. Di sana ia mendapat keterangan bahwa Mary Merkel datang bersama seorang laki-laki, yang menurut indentifikasi jelas Zaharov.

Zimmermann benar-benar bingung saat itu. Tidak sampai setengah kilometer dari tempat ketiga kakaknya menunggu dengan bingung, Mary yang katanya sakit itu muncul di bank, bersama laki-laki yang mungkin menculiknya. Dan tak seorang pun di bank mengenal mereka. Setelah mengambil uang, keduanya kembali ke Wielandstrasse. Dan Mary Merkel ikut saja, tanpa perlawanan sedikit pun. Setelah itu barulah mereka buru-buru berangkat ke Bahnhof Zoo, di mana jejak keduanya lenyap. Zimmermann mengumpat-umpat.

“Masa mereka menghilang begitu saja,” katanya. 

Ia menyebarkan pengumuman mengenai hilangnya gadis itu lewat administrasi jawatan kereta api, pada para petugas semua kereta yang berangkat dari stasiun itu. Kemudian pengumuman itu juga dipasang di segala stasiun. Tapi sia-sia. Tidak ada laporan masuk.

Dr. Fehrenbach dari laboratorium kimia datang pada Inspektur Zimmermann untuk menyerahkan hasil analisanya.

“Saya telah memeriksa isi botol cokelat yang Anda serahkan waktu itu,” katanya. “Hasilnya aneh! Saya menemukan sisa-sisa cairan pentatol dan karbamin, suatu campuran yang belum pernah saya jumpai sebelum ini. Apa efek campuran itu, perlu saya selidiki dulu dengan beberapa bahan bacaan yang ada. Hanya dari asam karbamin yang ada dalam larutan itu saya menduga bahwa larutan itu mempunyai efek bius.”

Inspektur Zimmermann lantas menceritakan laporan pelayan losmen pada dr. Fehrenbach.

“Ini benar-benar aneh,” kata ahli kimia itu kemudian, sambil merenung. “Saya dulu bekerja sebagai dokter angkatan laut di Tiongkok tahun 1900, ketika di sana pecah pemberontakan. Secara kebetulan saya mendapat keterangan dari seorang rekan bangsa Inggris: dengan campuran scopolamin dan morfium orang bisa dibius sehingga tidak berdaya. Jangan-jangan larutan itu juga begitu efeknya! Saya pernah membaca entah di mana bahwa orang Indian daerah Rio Grande bisa membuat minuman yang membuat orang lupa diri dari kaktus. Setelah mendengar Anda tadi tentang keadaan Mary Merkel, saya akan berusaha mencari artikel itu kembali. Mungkin dengan bantuan artikel itu pemeriksaan kita bisa diteruskan.”

Zimmermann menatapnya dengan sangsi. Dari mana Zaharov bisa memiliki pengetahuan khusus itu. Tapi dr. Fehrenbach menggeleng.

“Dalam bidang kami, tidak ada yang tidak mungkin,” katanya. “Saya berterima kasih atas informasi Anda sehubungan dengan keadaan penyakit gadis yang hilang itu. Saya memang belum melakukan analisa mengenai kemungkinan adanya meskalin dalam larutan itu karena saya tidak melihat ada hubungannya. Tapi kelihatannya gadis itu dibius. Sedang minuman yang dibuat orang Indian di Rio Grande itu mengandung zat meskalin. Saya akan melakukan penelitian lebih lanjut ke arah itu.”

Dr. Fehrenbach pergi tetapi tak sampai sejam kemudian sudah kembali membawa sebuah buku tebal. “Sudah kukira aku pernah membacanya,” serunya dengan gembira. “Dalam buku ini rekan H. Heffter memberitakan tentang gejala-gejala aneh yang dilihatnya pada orang yang terbius karena zat meskalin. Orang itu menjadi seperti tidak punya kemauan. Dengan gampang sekali bisa dipengaruhi dan mau disuruh melakukan apa saja. Lalu yang lebih penting lagi, saya menemukan jejak meskalin dalam larutan yang masih tersisa dalam botol cokelat itu!”

Zimmermann kaget mendengar kata-kata itu. Dr. Fehrenbach melanjutkan:

“Masih ada satu lagi, yang sebetulnya tidak termasuk bidang saya. Nama Zaharov itu menurut saya palsu. la bukan orang Rusia. Jadi Anda coba saja menyelidiki lebih lanjut dengan memakai sidik jari yang ditemukan. Mungkin saja orang itu berbangsa Inggris, kenalan lama Mary Merkel. Kabarnya di London sudah ada kumpulan sidik jari. Coba saja Anda meminta Scotland Yard menyamakan bekas jari yang ditemukan pada botol itu.”

Setelah itu dr. Fehrenbach hendak pergi lagi. Tapi sesampai di pintu ia berhenti sebentar.

“Masih ada satu lagi. Hampir saya lupa mengatakannya. Orang yang mengaku bernama Zaharov itu harus seorang ahli kimia atau setidak-tidaknya luas pengetahuannya di bidang itu. Anda coba tanya apotek-apotek, barangkali ada yang belum lama berselang menjual preparat yang mengandung asam pentatol atau karbamin. Perlu juga ditanyakan ke perusahaan-perusahaan yang menyalurkan obat-obatan. Karena menurut dugaan saya orang itu ahli kimia, ia bisa saja memperoleh bahan itu di sana. Tapi meskalin tidak dijual di sini. Mestinya ia memperolehnya dari Meksiko. Atau mungkin Texas.”

Penyelidikan Inspektur Zimmermann dengan segera membawa hasil. Zaharov ternyata memang mendatangi sebuah apotek, yaitu Elisabeth-Apotheke dekat Hallesches Tor. Di situ ia mengaku dokter dan meminta agar diberikan asam pentatol dan karbamin, yang diperlukannya untuk suntikan narkose. 

Permintaan informasi menyangkut sidik jari pada pihak Scotland Yard ternyata tidak segampang yang diperkirakan dr. Fehrenbach. Waktu itu belum ada badan kepolisian internasional macam Interpol. Hanya lewat saluran diplomatik saja bisa diperoleh informasi kepolisian. Tapi lewat saluran itu, persoalan memakan waktu agak lama.

Sebelum polisi di Berlin menerima jawaban dari Scotland Yard apakah laki-laki yang dicari itu tercatat dalam dosir mereka, dari Leipe di Spreewald masuk laporan yang mengejutkan. Seorang wanita asing ditemukan di sana dalam keadaan seperti linglung. Wanita itu dikeluarkan dari sebuah mobil dan ditinggalkan di situ. Dokter yang buru-buru dipanggil dengan segera mengangkutnya ke rumah sakit di Lübben. Laporan itu disertai pemaparan ciri-ciri jelas wanita itu karena padanya sama sekali tidak ditemukan surat-surat indentifikasi.

Begitu Inspektur Zimmermann menerima laporan itu, dengan segera ia menelepon ketiga kakak-adik Merkel, lalu menjemput mereka di hotel untuk kemudian diajak naik kereta api ke Lübben.

Dan di sana harapan mereka terkabul! Gadis yang diserahkan ke rumah sakit ternyata memang Mary Merkel. Tapi ia tidak mengenali ketiga kakaknya yang datang. “Efek obat bius yang memengaruhi kesadarannya lenyap dengan pelan sekali,” kata dokter. “Masih beberapa hari lagi baru ia bisa ditanyai.”

Tapi pemeriksaan polisi yang pertama terhadapnya kemudian langsung menyibakkan beberapa hal yang menarik. Ternyata pada pagi hari tanggal 21 November itu Mary Merkel disapa seorang laki-laki di ruangan depan hotel tempatnya menginap. Ia berkenalan dengan laki-laki itu di rumah bibinya di London, beberapa waktu sebelum peristiwa itu. 

Saat keduanya berjumpa di hotel, Mary sebetulnya hendak berbelanja. Laki-laki itu menawarkan diri untuk mengantar. Mary menerima tawaran itu karena ia sendiri tidak bisa berbahasa Jerman. Sedang laki-laki itu, yang ternyata Zaharov, lancar berbahasa Jermannya. Dan dengan segera ternyata Zaharov besar sekali jasanya. Ia bukan saja mengenal baik kota Berlin, tapi juga tahu mana toko-toko yang baik.

Ia menyarankan pada Mary Merkel agar pakaian dibeli di daerah barat saja dan jangan di Friedrichstrasse. Kemudian mereka naik kereta kuda menuju Kurfurstendamm. Di sana Mary berbelanja. Kemudian diajak makan-makan oleh Zaharov di sebuah restoran besar. Sehabis makan Zaharov meminta agar Mary Merkel menunggu sebentar di Romanisches kafe yang letaknya tidak jauh dari restoran itu, sementara ia pergi untuk mengurus sesuatu. Kata Zaharov di kafe itu sering mampir seniman-seniman yang menarik.

Belum lama Mary menunggu di situ, Zaharov sudah kembali lagi. Setelah itu mereka masih minum segelas sherry. Tapi tiba-tiba Mary merasa tidak enak badan. Zaharov menganjurkan agar cepat-cepat pergi ke dokter. Mereka berangkat dengan terburu-buru. Mary masih bisa ingat bahwa pengiringnya itu memanggil kereta kuda dan mereka naik kereta itu.

Setelah itu hanya samar-samar saja teringat olehnya bahwa tahu-tahu ia terbangun di suatu tempat tidur. Zaharov ada di sampingnya. Laki-laki itu menyuruhnya cepat-cepat minum obat supaya bisa segera diantar kembali ke hotel.

Itulah kejadian terakhir yang masih bisa diingatnya. Mary Merkel dengan keras membantah bahwa ia pergi ke bank untuk mengambil uang.

Inspektur Zimmermann masih berusaha mengorek keterangan lebih banyak. Tapi sia-sia. Mary Merkel tidak mampu mengingat apa-apa lagi setelah itu. Zimmermann sampai mulai menduga, jangan-jangan yang mengambil uang itu wanita lain. Zaharov jelas penjahat ulung. Baginya tentu tidak sulit untuk mendapat pembantu yang wajahnya bisa dibikin mirip dengan foto Mary Merkel di paspornya. Kecuali itu pegawai bank tidak pernah terlalu cermat meneliti orang-orang yang berurusan di situ.

Pokoknya, tanda tangan pada cek sebagai tanda penerima uang yang diambil, tampak agar bergetar dan tidak lancar. Tapi mungkin juga itu disebabkan karena pengaruh obat bius.

Semuanya bisa dijelaskan apabila pelakunya berhasil ditangkap. Tapi harapan untuk itu bisa dikatakan nihil, karena jawaban yang ditunggu-tunggu dari London hanya menyatakan dengan singkat bahwa sidik jari yang dikirim tidak tercatat dalam dosir Scotland Yard.

Akte berisi kasus Mary Merkel masih tetap tersimpan dalam laci meja kerja Inspektur Zimmermann. Akhirnya dipindahkan ke bagian arsip dengan catatan “pelaku tidak berhasil ditemukan” serta “pembahasan kembali dalam dua tahun”. Keterangan terakhir diperlukan agar perkara itu tidak sampai kedaluwarsa.

Musim panas tahun 1911 penduduk Berlin digemparkan lagi karena di kota itu terjadi serentetan pembongkaran brankas. Para pencuri terutama mengarahkan operasi mereka terhadap rumah-rumah gadai. Bukan saja uang tunai yang digondol tapi juga benda-benda berharga yang bisa dengan gampang dijual pada penadah.

Para pemilik rumah gadai yang merasa terancam tentu saja tidak tinggal diam. Mereka memasang berbagai peralatan pengaman. Tetapi walau begitu pencuri masih saja berhasil menerobos masuk. Inspektur Huthöfer, kepala bagian pembongkaran dan pencurian di kantor pusat kepolisian di Alexanderplatz setiap kali hanya bisa tercengang saja menghadapi hal itu.

“Kawanan itu bekerja menurut rencana matang,” katanya. “Setiap kesempatan baik mereka pergunakan dan mereka selalu menghilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Di tempat kejadian tidak ditemukan bekas-bekas jari karena mereka bekerja dengan sarung tangan. Selama ini di Berlin boleh dibilang belum pernah ada maling yang begitu cermat kerjanya.”

Karena keistimewaan ini para penjahat itu mendapat julukan populer, “Kawanan Maling Siluman”.

Pemilik suatu rumah gadai di Joachimsthaler Strasse paling bingung menghadapi situasi rawan itu. Soalnya, langganannya banyak dari kalangan berada, yang sering menggadaikan perhiasan mereka yang berharga apabila kebetulan di rumah sedang tidak ada uang tunai. Karena itu segala hal yang mungkin dilakukan olehnya untuk membuat tempat usahanya itu seaman mungkin. Tapi kawanan siluman tidak kalah panjang akalnya. Rintangan yang dipasang tidak merupakan penghalang karena mereka memang sama sekali tidak berusaha menerobosnya. Mereka masuk ke ruangan brankas dengan jalan membobol dinding kantor yang letaknya di sebelah!

Tapi mereka tidak mau bersusah payah membongkar brankas kokoh yang baru dibeli untuk mengganti yang lama. Dengan memakai semacam bor mereka membongkar brankas lama karena di situ tersimpan kunci cadangan brankas baru yang berada di sebelahnya. Dengan begitu mereka kemudian bisa membukanya dengan gampang saja.

Hal inilah yang sulit diselidiki keterangannya karena kunci cadangan itu dilekatkan pada sisi atas brankas. Dari luar kunci itu tidak keliatan menempel di situ. Hanya orang dalam saja yang mungkin mengetahui bahwa kunci disimpan di situ.

“Saya benar-benar tidak mengerti,” kata si pemilik rumah gadai itu pada Inspektur Huthöfer. “Orang luar tidak akan mungkin bisa menduganya!”

“Lalu pegawai-pegawai Anda?” tanya Huthöfer.

“Mereka tidak tahu apa-apa! Tapi tentu saja mungkin ada yang secara kebetulan mengetahuinya. Cuma yang membingungkan saya bukan itu saja. Di atas brankas tua kami terletak peti uang yang dipakai sehari-hari. Hanya saya dan pemegang kas saja yang memiliki kunci peti itu. Tapi kenyataannya peti itu dibongkar tanpa malingnya berusaha mencari dulu kuncinya.”

“Mungkin itu cuma kebetulan saja,” kata Inspektur Huthöfer. “Mungkin peti uang itu yang lebih dulu dibongkar.”

“Saya rasa tidak begitu! Mereka bekerja menurut rencana. Pertama-tama diambil dulu kunci cadangan untuk membuka brankas tempat menyimpan perhiasan yang digadaikan. Setelah itu baru peti uang yang dibongkar, untuk mengambil uang yang ada di situ. Kami bisa menaruh uang beberapa ratus mark di situ, gunanya supaya sudah ada uang tunai apabila rumah gadai dibuka. Jumlah yang terbesar baru kemudian kami ambil dari bank dan malam kalau kami tutup, sebagian besar uang tunai kami simpan lagi ke bank.”

Inspektur Huthöfer memeriksa lokasi pembongkaran itu sekali lagi. Diperhatikannya lubang di dinding yang dibobol oleh maling. Di bawah lubang itu nampak debu dan sedikit semen terserak di lantai. Salah seorang dari kawanan maling ketika masuk menginjakkan kakinya pada sampah itu, sehingga meninggalkan jejak sepatu berwarna putih di lantai kayu yang bersih. Terutama jejak sepatu sebelah kanan yang nampak jelas.

“Ini perlu dipotret,” kata Huthöfer kepada petugas indentifikas, “Siapa tahu mungkin nanti ada gunanya!”

Ia pergi ke gang lalu ke kantor perusahaan asuransi yang ruangannya bersebelahan dengan pegadaian. Pintu-pintu kantor itu sederhana saja kuncinya, bisa dibuka dengan kunci maling.

“Siapakah yang mau membongkar kantor asuransi,” kata kepala kantor itu. la meneruskan sambil tersenyum, “Agar tidak terjadi penyalahgunaan dan para wanita yang membersihkan di sini tidak bisa mengacak surat-surat kantor, atas instruksi direksi kami membeli brankas. Tapi Anda lihat sendiri, brankas kami tidak diapa-apakan.” 

Rupanya maling itu tahu, di sini tak ada yang bisa mereka curi. Jadi brankas cuma digeser menjauh dari dinding karena di sebuah kursi tersandar di dinding bawah lubang. Rupanya dipakai untuk memanjat masuk ke lubang itu. Di situ pun tampak jejak kaki, tapi sulit dipotret karena jejak itu di atas kain bekleding kursi.

Pada brankas tidak dijumpai bekas jari yang jelas. Satu-satunya yang merupakan teka-teki di tempat itu ialah selembar papan persegi empat yang tersandar ke dinding di samping lubang bobolan. Pada satu sisi papan itu terpasang gelang-gelang pelor. Papan begitu biasanya terdapat di perusahaan-perusahaan mebel. Gunanya sebagai landasan mengangkut perabot yang berat-berat.

Kelihatannya kawanan maling mula-mula berniat memakai papan itu untuk menggeser brankas. Tapi brankas itu ternyata tidak begitu berat. Jadi papan itu tidak jadi dipakai dan kemudian lupa dibawa lagi.

Papan macam begitu tidak begitu banyak jumlahnya di Berlin. Mungkin bisa diusut, perusahaan mana yang kehilangan alat semacam itu, yang tampaknya sudah sering dipakai.

Inspektur Huthöfer meminta agar dibuatkan suatu daftar barang berharga yang dicuri. Di antaranya banyak terdapat arloji yang tercatat nomor serinya. Dengan bantuan nomor-nomor itu, akan bisa cepat diketahui apabila ada di antaranya yang ditawarkan untuk dijual.

Daftar itu keesokan paginya disebarkan pada toko-toko perhiasan, toko-toko arloji dan rumah-rumah gadai. Penyebaran itu tidak terbatas pula pada kota Berlin saja, tapi juga ke kota-kota lain.

Beberapa hari kemudian polisi Hamburg mengirim laporan dengan kawat, bahwa di kota itu ada sebuah arloji curian yang dibawa ke tukang arloji untuk dibetulkan.

Barang itu ternyata arloji kantong yang dihiasi berlian. Yang membawanya untuk dibetulkan, seorang pelaut dari Chili. Tukang arloji yang didatanginya langsung memeriksa daftar barang curian karena merasa aneh bahwa ada pelaut memiliki barang yang begitu berharga. Dan ia menjumpai nomor seri arloji itu dalam daftar barang curian dari rumah pajak di Berlin yang disuruh sebarkan oleh Huthöfer.

Petugas polisi itu langsung menelepon rekannya di Hamburg. Ia minta tolong agar pelaut Chili yang katanya mualim itu diinterogasi. Ia minta agar diambil tindakan cepat karena ia tahu bahwa kapal-kapal asing jarang yang berlabuh lebih dari sehari di Hamburg.

Untungnya saat itu hanya ada satu kapal Chili yang sedang sandar yaitu Ciudad Santiago.

Dengan bahasa Inggris patah-patah mualim memberi keterangan pada polisi bahwa ia membeli arloji kantong curian itu seharga 500 mark dari seorang laki-laki berkepala botak. Mula-mula ia tidak mau. Tapi karena didesak terus, akhirnya arloji itu dibelinya juga. Tapi tidak lama kemudian ketahuan bahwa arloji itu tidak cocok jalannya. Karena itu lantas dibawanya ke tukang arloji untuk dibetulkan.

Mualim itu mengumpat-umpat ketika mendengar bahwa yang dibelinya itu barang curian dari Berlin dan karenanya tidak bisa menjadi miliknya. Bukan itu saja, ia sendiri pun mungkin bisa terlibat dalam tuntutan.

“Bajingan itu penampilannya begitu terhormat, tapi ternyata maling!” umpatnya.

Dari pemeriksaan selanjutnya diketahui bahwa jual beli yang tidak sah itu berlangsung di Tattersall di Grosse Freiheit. Tampang orang yang menjual arloji itu berumur sekitar 40 tahun, kepala agak botak dan berkumis cokelat tua. Bahasa Inggrisnya lancar.

“Tapi ia bukan orang Inggris,” sambung mualim itu. “Ia sendiri bercerita pada saya, sewaktu masih di Rusia ia beternak kuda.”

Tidak terlalu banyak informasi yang bisa disampaikan oleh polisi Hamburg pada rekan-rekan mereka di Berlin. Tapi walau begitu polisi Hamburg diminta juga agar mencari kalau-kalau bisa menemukan seorang laki-laki yang mengaku orang Rusia dan bisa berbahasa Inggris di Reeperbahn, jadi di daerah pelancongan anak kapal yang turun ke darat.

“Untuk sementara orang itu hanya perlu diamati-amati saja,” kata Huthöfer lewat telepon pada rekannya di Hamburg. “Mungkin ia cuma satu dari sekian banyak anggota kawanan yang bertugas menjual barang-barang curian itu. Tapi kami ingin membekuk dalangnya!”

Siasat kawanan maling dari Berlin untuk berusaha menjual barang-barang hasil curian mereka di Reeperbahn merupakan siasat yang sangat licin. Pelaut-pelaut yang mendapat cuti turun ke darat pasti tidak segan-segan membeli arloji berharga dengan murah di situ. Mereka takkan peduli apakah yang dibeli itu barang halal atau tidak. Dan hanya kebetulan saja bahwa salah satu arloji itu sampai di tukang arloji karena rusak.

Dua hari kemudian datang lagi telepon dari Hamburg.

“Kami sudah menemukan orang yang dicari,” kata polisi yang menelepon pada rekannya di Berlin. “Ia mengaku bernama Wollenhagen. Baru saja ia naik kereta api yang berangkat ke Berlin. Dua jam lagi akan tiba di stasiun untuk kereta api yang datang dari barat. Jadi Anda masih mempunyai waktu untuk mempersiapkan pengamatan terhadap dirinya.”

Dengan segera Inspektur Huthöfer mengerahkan orang-orangnya yang terbaik. Pengamatan harus dilakukan sedemikian rupa, jangan sampai ketahuan oleh Wollenhagen.

Orang itu datang tepat pada waktunya di stasiun. la pergi ke Stadtbahn, lalu naik kereta api dalam kota yang menuju ke Friedrichstrasse. Huthöfer ikut naik bersama dua bawahannya.

Wollenhagen turun di halte Jannowitz-Brucke Alexanderplatz. Dengan santai ia berlenggang dan akhirnya masuk ke sebuah rumah minum yang kecil.

Polisi mengamat-amati pintu masuk tempat itu dari agak jauh. Tapi Wollenhagen tidak keluar lagi. Akhirnya Huthöfer masuk ke tempat minum itu. Orang yang diamat-amati ternyata tidak ada lagi di situ. Ia keluar lagi lewat pintu samping!

Polisi kalang kabut, mencari ke mana-mana. Tapi sia-sia, Wollenhagen tetap tidak bisa ditemukan. Beberapa hari berlalu. Jangan-jangan orang itu sudah pergi lagi dari Berlin! Mungkin kembali ke Hamburg?

Inspektur Huthöfer sedang berpikir apakah sebaiknya ia menelepon lagi rekannya di Hamburg untuk menolongnya mencari Wollenhagen di sana. Tahu-tahu telepon di mejanya berdering. Seorang petugas pos polisi di Neukölln hendak menyampaikan laporan.

“Saya baru saja melihat orang yang dicari, masuk ke gedung bioskop Knübbel. Bagaimana, apakah dia saya jemput saja keluar?”

Huthöfer tidak berpikir panjang. 

“Jangan, Anda tidak perlu masuk!” katanya. “Nanti saja tangkap sewaktu dia keluar. Saya datang selekas mungkin.”

Tapi baru setengah jam kemudian Huthöfer tiba di depan gedung bioskop di Neukölln itu. Polisi yang tadi melapor tampak berdiri sendiri di trotoar. Jadi rupanya Wollenhagen belum keluar. Huthöfer mengajak polisi itu ke tempat minum di seberang jalan, dari mana mereka bisa mengamat-amati pintu keluar dari gedung bioskop. Menit demi menit berlalu…..

“Itu dia!” seru polisi bawahan Huthöfer dengan tiba-tiba. Ia menuding ke arah pintu bioskop. “Tapi ia membawa tas — padahal tadi tidak!”

Huthöfer kaget, tapi setelah itu langsung mengambil keputusan bertindak.

“Tangkap dia!” perintahnya tegas, lalu cepat-cepat lari menuju gedung bioskop dan masuk ke dalam. Didatanginya wanita yang bertugas mengantar penonton ke kursi masing-masing.

“Polisi!” kata Huthöfer dengan suara pelan. “Coba tunjukkan, di mana tuan yang baru saja keluar tadi duduk!”

Wanita itu menuding salah satu deretan kursi yang letaknya agak ke tengah. Kecuali beberapa wanita, di situ duduk pula seorang laki-laki. Kursi di sebelahnya kosong.

“Di situ ia tadi duduk!” 

Huthöfer menghampiri laki-laki yang duduk di samping kursi kosong itu.

“Polisi!” katanya pada laki-laki itu. “Harap ikut saya keluar!”

Laki-laki yang diajak bicara bangkit dengan ragu-ragu. Tapi kemudian berjalan mendahului keluar. Tapi sampai di pintu, dibantingnya pintu itu keras-keras, membentur petugas polisi yang mengikuti dari belakang. Tapi usaha minggat itu sia-sia belaka, karena di luar sudah menunggu polisi yang tadi. Wollenhagen ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Tapi belum sampai tiga meter ia lari, dari belakang ia sudah disergap lagi.

Hasil penangkapan itu ternyata sangat menggembirakan. Dalam tas yang dijinjing Wollenhagen ditemukan perhiasan yang dicuri dari rumah gadai. Rupanya ia baru saja menerimanya dari kawannya yang sudah menunggu dalam gedung bioskop.

Dan kawannya itu ternyata bernama Erich Bechmann, seorang pencuri yang sudah berulang kali keluar masuk penjara. Ia selalu memakai sarung tangan pada waktu melakukan pembongkaran. Ia tinggal bersama ibunya di Blankenfelderstrasse. Ia tidur sekamar dengan saudaranya yang bernama Fritz.

Ketika diadakan penggeledahan di situ, polisi menemukan sepasang sepatu karet yang sudah aus.

Tapi yang sebelah kanan pola telapaknya mirip dengan jejak sepatu yang ditemukan di lantai rumah gadai. Ketika diteliti dalam laboratorium, ternyata memang sama. Dengan begitu terbukti bahwa Fritz Bechmann juga ada di tempat kejadian itu, karena sepatu itu miliknya.

Ia bekerja sebagai tukang angkat barang. Papan transpor yang ditemukan di ruangan perusahaan asuransi berasal dari tempat Fritz bekerja dan juga diakui merupakan milik mereka.

Penelitian sidik jari Wollenhagen yang ditahan dengan dakwaan menjadi tukang tadah, memberikan hasil yang sangat mengejutkan polisi. Karena ternyata bahwa sidik ibu jari dan telunjuknya cocok dengan kepunyaan Zaharov, orang yang dicari-cari polisi karena diduga pernah menculik.

Inspektur Huthöfer mempelajari laporan itu. Sambil menggeleng-geleng, diperhatikannya kemudian Wollenhagen yang duduk di hadapannya. Ini kan tidak mungkin, pikirnya. Orang yang dicari itu kan lain sekali tampangnya. Ya, cambangnya yang dulu lebat, bisa saja kini dicukur licin. Begitu pula bagian kepalanya yang botak, dulu bisa ditutup dengan rambut palsu.

Tapi yang tidak dimengerti olehnya, adalah bahwa air mukanya bisa begitu berubah. Rupanya hanya ada satu keterangan untuk itu. Sementara itu Zaharov sudah bertambah gemuk dan hal itu memengaruhi tarikan mukanya.

Wollenhagen membantah keras bahwa ia Zaharov. Apalagi tuduhan bahwa ia ada hubungannya dengan penculikan terhadap Mary Merkel itu ditolaknya mentah-mentah!

Ketika dikemukakan fakta tentang sidik jari yang sesuai, ia masih tetap tidak mau menyerah. Katanya, dalam hal itu juga bisa saja terjadi kemiripan. Akhirnya Huthöfer terpaksa meminta bantuan tenaga ahli di bidang itu. 

Pendapat ahli yang diterimanya, bersandar pada penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti bangsa Inggris, Sir Francis Galton. Ia ini berhasil menyelidiki bahwa kemungkinan adanya kesamaan antara dua pola jari pada hakikatnya kecil sekali, yaitu 1:64 milyar! Kalau jumlah penduduk dunia waktu itu meningkat dengan tiba-tiba menjadi 30 kali lipat, barulah ada kemungkinan bahwa ada dua orang yang sama pola jarinya. Jadi dengan kata lain, bisa dibilang mustahil.

Berdasarkan keterangan ahli itu, pernyataan Wollenhagen bahwa ia bukan penculik Mary Merkel berhasil dibantah. Tapi kemudian ketika kamar yang ditinggalinya digeledah, berhasil ditemukan satu barang bukti yang memperkuat tuduhan terhadap dirinya. Di situ ditemukan surat mahasiswa yang sudah tua dari Universitas Riga, yang berasal dan tahun 1888. Selain itu juga sebuah buku catatan kuliah yang mengungkapkan bahwa mahasiswa Ladislaw Metlitzki pernah mengikuti kuliah dan praktikum kimia di universitas itu. Dan pengetahuan tentang ilmu kimia merupakan indikasi penculik Mary Merkel!

Dalam pemeriksaan kedua bersaudara Bechmann diperoleh keterangan lebih lanjut mengenai cara kerja Kawanan Maling Siluman. Terutama berdasarkan keterangan Erich Bechmann, ternyata pemimpin kawanan itu Wollenhagen. Ialah yang mengatur rencana pembongkaran tempat yang akan dicuri.

Mula-mula ia mengadakan pengamatan cermat. Dihubunginya pelayan atau pegawai tempat itu, supaya memperoleh keterangan yang lebih terperinci. Sedang sebelum melakukan pencurian di rumah gadai yang terletak di Joachimsthalerstrasse, ia menyempatkan diri mengajak bicara pemegang kas perusahaan itu. Pegawai itu, seorang wanita berumur 40 tahun yang belum menikah, disapanya di jalan. Lalu diajaknya berkencan. Dan pada saat itulah ia berhasil mengorek segala rahasia yang ingin diketahuinya.

Bahkan Wollenhagen kemudian mendapat ganjaran hukuman ganda, tentunya sudah dapat kita bayangkan.

(Hanz – Walter Gaebert

Baca Juga: Dikenali dari Suaranya

 




" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553725993/penculiknya-mirip-tsar-nikolas-ii" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680808909000) } } [5]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561340" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/kalah-cerdik_ron-lachjpg-20221111035049.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(113) "Sebuah keluarga panik karena anak semata wayang mereka diculik demi tebusan. Dua pekerja di rumah jadi tersangka." ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/kalah-cerdik_ron-lachjpg-20221111035049.jpg" ["title"]=> string(12) "Kalah Cerdik" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:51:07" ["content"]=> string(34302) "

Intisari Plus - Sebuah keluarga panik karena anak semata wayang mereka diculik demi tebusan. Dua pekerja di rumah jadi tersangka.

-------------------

Hari Selasa pukul 13.00 telepon di meja Mandala Baring berdering, padahal ia bermaksud keluar kantor untuk makan siang. Setengah hati, direktur utama perusahaan importir buah-buahan itu meraih gagang telepon. 

“Halo, ya, oh Mama. Ada apa, Ma?” sahutnya asal-asalan. 

“Dewi, Pa, Dewi. Dewi diculik!” kata Aryati, istrinya, sambil menangis. 

“Hah! Diculik?” teriaknya tak percaya. “Bagaimana ceritanya sampai bisa terjadi dan siapa yang menculik?” tanyanya gugup.

“Enggak tahu, sampai sekarang belum ada kabarnya.”

Mandala Baring bergegas pulang ke rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Menurut istrinya, seperti biasa sopirnya, Salyono, menjemput Dewi Anggraini di sekolah. Namun, gadis cantik kelas 3 SD itu sampai usai jam sekolah tidak tampak batang hidungnya.

Dari gurunya, Salyono mendapat informasi bahwa sekitar pukul 09.00, Dewi dijemput seseorang yang mengaku pegawai rumah sakit. la mengatakan, ibu Dewi mendapat musibah kecelakaan mobil dan kini terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma. Dewi dijemput untuk menengoknya di rumah sakit. Si penjemput menambahkan bahwa sopirnya, Salyono, tak sadarkan diri.

“Lo, Salyono itu saya sendiri, Pak. Bisa-bisanya ngarang orang itu,” sanggah Salyono. 

Mandala Baring duduk tertegun di samping istrinya yang terus-menerus menangis. Sesaat kemudian, ia berdiri memanggil Salyono yang duduk diam di tangga teras.

“Kamu kenal sama penculik Dewi?” tanya Mandala gusar.

Ndak, Pak. Lihat mukanya saja tidak, apalagi kenal,” sanggah Salyono.

“Kok dia tahu nama kamu?” 

“Mungkin tahu dari sopir-sopir lain.”

Jam sudah menunjuk pukul 15.00, tapi tidak ada kabar berita tentang gadis kecil itu. Mandala makin panik. la memutuskan segera melapor ke polisi.

Setengah jam kemudian tiga orang polisi dipimpin oleh Kapolsek AKP Taufik Abdullah, perwira muda yang energetik, muncul di rumah Mandala.

“Sudah ada kabar dari si penculik, Pak?” tanya AKP Taufik pelan. 

“Belum.”

“Kalau begitu, saya akan segera memasang telepon paralel dan alat perekamnya.”

Sekitar pukul 17.00 telepon berdering. AKP Taufik memberi isyarat agar Mandala mengangkatnya.

Dengan tangan sedikit gemetar, pria berusia empat puluhan itu mengangkatnya.

“Putri Bapak aman di tangan saya. Jangan khawatir,” terdengar suara seorang laki-laki dengan suara serak. “Kalau Bapak mau bekerja sama, dia akan pulang dengan selamat.”

“Kerja sama, apa maksud Anda?” 

“Saya akan buktikan bahwa putri Bapak memang bersama kami. Ada tanda lahir di punggung kiri dan tahi lalat di pangkal paha kanan. Betul ‘kan? Nah, kalau Bapak sudah yakin, sediakan uang tunai seratus lima puluh juta rupiah. Saya beri Anda waktu 48 jam. Selanjutnya, tunggu telepon dari saya. Jangan sekali-kali melapor ke polisi kalau ingin putri Anda selamat! Kalau Bapak lapor ke polisi, perjanjian batal. Saya tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Berapa nomor ponsel Anda? Saya akan menghubungi lewat ponsel agar tidak di kuping orang lain,” ancam si penculik yang lalu menutup telepon setelah diberi tahu nomor ponsel Mandala.

 

Cerai dari istri pertama

Tumini, pembantu rumah tangga yang sibuk menghidangkan kopi dan makanan kecil, ikutan tegang. Meski baru bekerja tiga bulan di Keluarga Mandala, Tumini yang berwajah lugu itu sudah akrab dengan Dewi. Apalagi anak tunggal Tumini sepantaran dengan anak perempuan majikannya itu. 

Sekitar pukul 23.00, telepon kembali berdering. Ketiga polisi itu pun siap kembali dengan tugas masing-masing.

“Ya, halo ...?” jawab Mandala dengan suara bergetar.

“Perjanjian kita batal, sebab di rumah Anda banyak polisi. Nanti saya hubungi kalau keadaan sudah memungkinkan.” Telepon langsung ditutup. Mandala dan istrinya lemas seketika.

AKP Taufik gusar, “Kok dia tahu di sini ada polisi, pasti ada yang tidak beres di rumah ini. Oh, ya, Pak Mandala tadi bercerita kalau guru Dewi menyatakan, si penculik menyebut nama Salyono, sopir Ibu. Jangan-jangan Salyono kenal dengan si penculik atau malah bekerja sama?” desak Taufik.

“Salyono sudah hampir tiga tahun bekerja di sini, saya kira tidak,” timpal Aryati.

“Itu dulu, Bu. Di zaman krismon begini, siapa tahu mendadak timbul masalah menyangkut soal ekonomi. Saya kira, Salyono orang pertama yang patut dicurigai,” tegas AKP Taufik sambil mengeluarkan buku catatan untuk mencatat alamat Salyono.

“Selain keluarga Bapak, siapa lagi yang tinggal di rumah ini?” tanyanya lagi. 

“Tiga orang pembantu perempuan dan satu pembantu laki-laki, Sutardi namanya, tukang kebun. Pembantu perempuan kami, Tumini, tiga bulan lalu kami ambil dari yayasan, tugasnya memasak dan ke pasar. Yang dua lagi sudah lima tahun ikut kami, sebagai tukang cuci dan setrika, lalu satu lagi bertugas membersihkan rumah.”

“Dalam bisnis, apakah Bapak punya pesaing atau musuh?”

“Rasanya tidak ada,” jawab Mandala. 

“Maaf, selain Ibu, apakah Bapak mempunyai ... WIL (wanita idaman lain)?” tanya Taufik sambil melirik ke istri Mandala. Tentu saja Mandala menyanggah.

“Sekali lagi maaf, Pak. Apakah Ibu istri pertama Bapak?”

“Bukan, dia istri kedua. Istri pertama sudah ‘pisah’ dua belas tahun lalu.” 

“Boleh tahu alasannya?” 

“Dia mandul.”

“Sekarang apakah istri pertama Bapak itu sudah menikah lagi? Lalu di mana alamatnya?”

“Wah, saya tidak tahu, sebab tidak pernah berhubungan lagi.” 

“Ketika Bapak menceraikannya, apakah ia merasa dendam atau sakit hati? Atau ia menerima saja?”

“Sulit dikatakan, sebab selama delapan tahun perkawinan, kami jarang bertengkar. Paling-paling berdebat soal anak yang tidak kunjung kami miliki.”

AKP Taufik mengalihkan pertanyaan kepada Aryati.

“Maaf, ini pertanyaan pribadi. Sebelum bertemu Bapak, apakah Ibu pernah berpacaran dengan seseorang?”

Sedikit ragu-ragu Aryati menjawab singkat sambil melirik ke arah suaminya, “Ya, pernah.” 

“Mantan pacar Ibu sekarang sudah menikah?”

“Dengar-dengar sih belum.” 

“Kok ‘dengar-dengar’, apakah Ibu masih berhubungan dengan dia?”

“Wah, enggak. Itu tidak sengaja saya dengar, pas keluarga saya datang dari daerah.”

 

Surat dari pencuri

Esok harinya ketika Mandala mampir ke kantor polisi, AKP Taufik mengatakan, “Pak Mandala, dari empat orang yang kami curigai, dua orang patut diduga kuat terlibat kasus ini, yaitu Salyono dan Tumini. Alasannya, si penculik tahu persis kalau malam itu di rumah Bapak ada polisi.”

Polisi memutuskan untuk sementara tidak mengunjungi rumah Mandala walaupun tetap akan diawasi selama 24 jam nonstop.

Kamis pagi sekitar pukul 06.00, ponsel Mandala berdering. Aryati yang sejak peristiwa itu kurang tidur selalu berdebar hatinya kalau mendengar bunyi dering telepon.

“Ya, Mandala Baring di sini.”

“Coba lihat di kotak surat. Di sana ada surat.” Telepon langsung mati. 

Mandala meloncat dari tempat tidur, lari bergegas ke luar.

Sebuah amplop berwarna cokelat dalam kotak surat itu berisi dua lembar kertas. Satu lembar berisi denah suatu lokasi, satu lagi surat yang berbunyi, “Dewi akan selamat kembali ke rumah jika tuntutan saya dipenuhi. Pada denah tergambar lapangan pacuan kuda. Di utaranya ada jembatan. Kira-kira seratus meter dari jembatan, sebelum halte bus, ada sebuah tong sampah plastik biru. Pukul 23.00 masukkan uang seratus lima puluh juta rupiah yang dibungkus plastik hitam ke dalam tong sampah itu. Anda harus mengendarai mobil sendirian. Awas, jangan sampai ada orang lain yang melihat dan curiga.”

“Ikuti saja kemauannya. Tapi jangan berikan seluruhnya, sebab kata-kata si penculik belum bisa dipercaya,” saran AKP Taufik kepada Mandala yang segera menemuinya.

“Maksud Pak Taufik?”

“Selipkan saja dengan potongan kertas HVS, hanya tumpukan paling atas dan paling bawah yang uang asli. Seperti di film-film itu lo!”

Tepat pukul 22.45 Mandala Baring mengendarai mobilnya keluar kompleks perumahannya yang tergolong mewah itu. Langit sedikit cerah dan jalanan tidak macet. Dengan tenang Mandala mengendarai mobilnya melewati depan lapangan pacuan kuda, lalu menuju jembatan sesuai instruksi si penculik.

Saat berhenti di atas jembatan, terlihat dua orang sedang memancing di sungai dekat jembatan itu. Tong sampah plastik ternyata berada dekat halte bus. Selain ada tukang rokok, di sana ada gerobak roti dengan lilin menyala terang. 

“Sial!” pikir Mandala, “Kalau plastik berisi uang itu saya buang ke tong sampah, tentu kedua orang itu akan curiga.” Perlahan-lahan mobil Mandala meluncur ke arah halte. Untungnya, kedua pedagang itu tidak memperhatikan; sebab mereka tengah asyik memainkan bidak-bidak catur. Sesudah menaruh bungkusan plastik ke tong sampah, Mandala pulang menunggu reaksi penculik dengan rasa waswas.

Sepeninggal Mandala dari tempat itu, tampak sesosok gelandangan yang jalannya sedikit pincang perlahan turun ke sungai persis di bawah jembatan. Salah satu dan kedua orang yang sedang memancing tadi merasa agak terganggu, lalu dengan senternya menyorotkan cahaya ke arah orang itu.

“Mau ke mana, Pak? Bikin takut ikan-ikan saja,” bentaknya. 

“Maaf, mau buang hajat. Permisi,” jawab orang itu.

Tak berapa lama kedua pemancing itu naik ke seberang jembatan, menemui dan bercakap-cakap dengan seorang tukang becak. Malam makin gelap. Salah seorang pengail mengeluarkan teropong kecil dari saku, mengawasi dengan teliti kawasan di sekitar tong sampah dekat halte.

“Mana Suwandi?” tanya si pembawa teropong kepada si tukang becak. 

“Sedang main catur dengan Bakri, Pak.”

“Boleh main, asal jangan lupa tugas dan jangan lengah.” 

“Siap, Pak!”

Rupanya, mereka adalah sejumlah petugas polisi yang sedang menyamar. Hampir tiga jam mereka mengamati keadaan, tetapi belum ada orang yang datang mendekati tong sampah atau orang yang patut dicurigai.

Karena yang ditunggu tak juga muncul, para petugas itu lalu mendekati dan memeriksa tong sampah plastik yang penuh dengan sampah kertas itu. Rupanya, bungkusan plastik hitam berisi uang itu sudah raib. Setelah diperiksa, sebagian dasar tong sampah itu ternyata berlubang, tembus ke gorong-gorong air yang langsung menuju ke sungai di bawah jembatan. Diameter gorong-gorong itu hampir satu meter; cukup bagi orang dewasa untuk berjalan dalam posisi jongkok.

“Sialan, jangan-jangan si gelandangan tadi orangnya,” AKP Taufik geram karena merasa kecolongan.

 

Mau menikah lagi

Masih belum ada perkembangan baru sampai di suatu Sabtu pagi Mandala Baring kembali menerima surat dari si penculik. Kali ini disertai selembar foto polaroid.

Sepertinya, Anda mau bermain-main. Boleh saja. Uang yang Anda sampaikan ternyata kurang dari Rp 10 juta, selebihnya hanya potongan kertas tak berguna. Sekali lagi, jangan main-main, karena akibatnya ... lihatlah foto kiriman saya ...” Di foto itu tampak Dewi Anggraini hanya mengenakan kaus singlet, tangannya terikat ke belakang. Namun, yang mengejutkan, terlihat goresan luka yang meneteskan darah, seperti bekas sayatan pisau, pada pipi kanan gadis itu.

Menyaksikan foto itu, Aryati serta-merta pingsan. 

Dalam beberapa hari selanjutnya tidak ada informasi apa pun dari si penculik. Keluarga Baring makin panik. Polisi mencoba bertindak cepat dengan melakukan penyelidikan terhadap Salyono dan Tumini. 

Brigpoltu Ayu Mawarni melaporkan, setiap dua hari sekali Tumini belanja ke pasar. Pulangnya selalu naik ojek.

“Meski tukang ojeknya selalu berganti-ganti, ia tetap perlu diawasi. Itu karena ia punya kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain,” tutur Brigpoltu Ayu.

“Bagaimana dengan Salyono?” 

“Ia tinggal di Prumpung. Anaknya empat orang. Tapi sepertinya ia ‘ada main’ dengan Partinah, pemilik warung nasi di dekat kantor majikannya,” jawab Bharatu Suwandi.

“Apa perempuan itu masih lajang?” 

“Lajang, tapi ‘perawat’.”

“Katanya tukang nasi, kok ‘perawat’?” tanya AKP Taufik. 

“Maksud saya, ‘perawan agak lewat’,” jawab Bharatu Suwandi sambil tersenyum.

“Hus, jangan bercanda. Terus, apa lagi?” 

“Partinah mengaku, ia diberi kalung emas 15 gram, sebagai tanda jadi.”

“Berarti, Salyono banyak uang dong, dari mana mendapatkannya? Kalau begitu, bikinkan surat perintah pemanggilan untuk Salyono sebagai saksi,” perintah AKP Taufik.

Esok paginya Salyono memenuhi panggilan polisi. Pakaiannya rapi. Tampangnya memang lumayan.

“Selamat pagi, Pak Salyono,” AKP Taufik memberi salam. “Saya dengar dari beberapa rekan Anda di Kantor Pak Mandala Baring, Pak Salyono hendak menikah lagi dengan Partinah, pemilik warung nasi, benarkah?” 

Dengan malu-malu Salyono mengiyakan. 

“Masalahnya, istri saya sakit-sakitan, Pak. Katanya, gejala sakit kuning. Enggak boleh kerja berat, enggak boleh capek. Kalau begitu, saya kebagian apa?” katanya sambil tersenyum penuh arti. 

“Sudah dapat izin dari istri?”

“Belum sih, Pak. Tapi saya pernah menyinggung persoalan ini. Kayaknya, dia bisa maklum,” jawabnya. 

“Mengurus dua keluarga itu berat lo, Pak, terutama soal keuangannya.”

“Partinah ‘kan punya warung, saya tinggal tambahi sedikit modal, beres.”  

“Berarti, Pak Salyono banyak duit dong,” pancing AKP Taufik.

“Banyak sih tidak, Pak, tapi ada sedikit. Pembagian warisan dari kampung. Sawah orang tua kami kena proyek jalan tol. Nah, uang ganti rugi itu dibagi dengan adik saya.”

“Omong-omong, selain Tumini, siapa lagi pembantu rumah tangga Pak Baring?” 

“Ada Bu Sumiati, tukang cuci, dan Bu Piyah, tukang bersih-bersih rumah. Maaf, Pak, di sini boleh ngerokok?”

“Oh, silakan,” jawab Taufik spontan. 

Dari sakunya Salyono mengeluarkan sebungkus rokok kretek, lalu sebotol kecil minyak angin. Salyono punya kebiasaan, sebelum disulut dan diisap, ia melumuri batang rokoknya dengan minyak angin.

“Memang enak, rokok diolesi minyak angin?” 

“Kalau sudah biasa, enak, Pak. Kretek rasa mentol,” sahutnya.

 

Pembantu baru misterius

Seminggu kemudian rumah Keluarga Mandala kedatangan seorang perempuan muda berambut pendek. Ia turun dari bajaj, menjinjing kopor. Tumini yang kebetulan mau berangkat ke pasar membukakan pintu pagar untuknya.

“Maaf, Mbak. Apa betul ini rumah Pak Mandala Baring?” 

“Betul, Adik siapa?” 

“Saya keponakan Bi Piyah, dari Tasikmalaya.”

“Oh, yang mau menggantikan Bi Piyah? Iya, kemarin Bi Piyah bilang, mau pulang kampung beberapa hari, ada urusan penting.” 

Gadis hitam manis bernama Sugiarti itu mengangguk.

Sugiarti tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar Tumini dan hanya dibatasi tembok berventilasi. Di malam hari Sugiarti lebih suka ngendon di kamar mendengarkan radio. Sudah hampir 10 hari Sugiarti bekerja di rumah Mandala Baring.

Bila hari sudah malam, Sugiarti sering mendengar Tumini seperti berbicara dengan seseorang. Ia juga sering memergoki Tumini sendirian di taman belakang malam-malam. Sugiarti tidak tahu apa yang dilakukan teman kerjanya itu.

Suatu sore selagi masih di kantor, ponsel Mandala Baring kembali berdering. 

“Halo, ya. Bagaimana? Saya harus antarkan ke mana?” jawab Mandala gugup.

“Malam ini pukul 23.00 Anda mengendarai mobil sendirian. Siapkan uang, jangan lupa bawa ponsel. Saya akan beri petunjuk selanjutnya nanti malam. Ingat, jangan melapor pada aparat,” ujar suara dari seberang.

“Ya, ya. Tapi, bagaimana dengan anak saya?” 

“Jangan khawatir, dia aman bersama saya,” jawabnya singkat sebelum mematikan telepon.

Tanpa buang waktu, Baring menyiapkan uang yang diperlukan. Malam itu Sugiarti dipanggil Bu Aryati. Cukup lama ia berada di rumah induk. Ketika mau kembali ke kamarnya, ia dicegat Tumini.

“Kok lama amat? Disuruh apa sama Nyonya?” 

“Bantu ngitung duit, sekalian memasukkan ke koper.” 

“Banyak duitnya?” 

“Banyak sekali, ratusan ribu semua. Saya sampai bingung ngeliat-nya.”

“Untuk apa malam-malam begini nyiapin duit segitu banyak?” 

“Enggak tahu. Katanya, malam ini Tuan ada urusan.”

Menjelang pukul 23.00, Tumini membukakan pintu gerbang. Mandala Baring memasukkan koper ke dalam mobil mewahnya. Ia tampak terburu-buru. Di perjalanan Mandala tampak seperti orang linglung, karena tidak tahu arah yang harus dituju. 

Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. “Anda terus saja ke lokasi yang dulu, dekat lapangan pacuan kuda. Dulu Anda ke kiri ke arah jembatan, sekarang ke kanan ke arah kuburan. Lewati terus gerbang kuburan, sampai Anda menemukan telepon umum. Berhenti di situ, turun dari mobil, tapi mesin mobil jangan dimatikan. Tinggalkan uang di jok depan. Saya akan memberi petunjuk selanjutnya.”

Perlahan Mandala mengemudikan mobilnya. Di sepanjang jalan tampak deretan warung remang-remang. Di dekat telepon umum di bawah pohon mangga, seperti yang dimaksud si penculik, ponselnya kembali berdering. 

“Seperti perintah saya sebelumnya, tinggalkan uang di jok depan. Mesin mobil harus tetap menyala. Anda bisa mengambil putri Anda di depan gerbang makam.”

Mandala sempat terkesima, keningnya berkerut. Nada suara orang yang meneleponnya sejak tadi sore terdengar berbeda dengan yang sudah-sudah. Suaranya dibuat-buat, seperti takut dikenali.

Makam itu sangat gelap. Tak tampak sebentuk sosok manusia pun di sana. Ketika ia tengah menajam-najamkan penglihatannya, tiba-tiba terdengar bunyi derum mobil. Terlambat, seseorang telah melarikan mobilnya dan uang tebusan sebesar Rp 150 juta.

 

Salah perhitungan

Sekitar pukul 04.00 Tumini tampak berjingkat-jingkat ke luar dari kamarnya membawa tas besar. Saat ia keluar pintu gerbang, sebuah taksi kebetulan melintas. Taksi dengan penumpang Tumini kemudian meluncur ke arah Cililitan, lalu terus ke selatan. Sesudah melewati perempatan Kampung Rambutan, mobil itu berbelok ke kiri. Sekitar 100 m dari mulut gang, taksi berhenti di depan sebuah rumah papan bertingkat. Tumini segera masuk dengan kunci cadangan.

Tanpa disangka, setengah jam kemudian, polisi sudah mengepung tempat itu. Setelah memberikan peringatan, polisi langsung mendobrak tempat itu. Di sebuah kamar di lantai atas, polisi mendapatkan Dewi Anggraini meringkuk di pojokan. Di depannya berdiri tegap Tumini. Di tangannya tergenggam sebuah cutter berlumuran darah.

“Sudah sering saya bilang. Kamu boleh memeras, tapi jangan menyakiti sandera. Eh, kamu malah berniat mencabuli bocah ingusan seumur anakku,” katanya beringas pada lelaki setengah mabuk, yang merintih di pojok lain ruangan itu. Bagian pinggul lelaki yang hanya bercelana dalam itu terluka memanjang bekas sabetan cutter Tumini.

Dalam pemeriksaan diketahui, Tumini dan Sumarlan ternyata komplotan penjahat. Mereka pernah beroperasi di daerah Jakarta Barat. Ketika kedua majikan Tumini bekerja, ia leluasa menguras harta majikannya. Saat itu Tumini baru setengah bulan bekerja. Ia kabur membawa hasil jarahannya dengan mobil sewaan yang dikemudikan Sumarlan. Setelah itu dua kali mereka melakukan kejahatan serupa di sebuah perumahan mewah di Jakarta Selatan.

Namun, mereka tampaknya salah perhitungan ketika bekerja di rumah Keluarga Mandala. Keluarga itu ternyata memiliki banyak pembantu rumah tangga sehingga kesempatan untuk merampok menjadi sulit. Memeras majikan dengan menculik anaknya adalah gagasan alternatif Tumini. Dengan harapan hasilnya akan lebih besar, meski risikonya juga tidak kecil.

Tumini, janda beranak satu, dan Sumarlan - perjaka pengangguran - berniat menikah dan membuka warung di kampung. Untuk itu, mereka perlu modal. 

Malam itu, begitu tahu kalau Mandala sudah mengirimkan uang tebusan, buru-buru Tumini ke rumah kontrakan Sumarlan. Ia khawatir Sumarlan kabur dan menipu dirinya. Tumini belum percaya sepenuhnya pada kekasihnya itu. Ketika sampai, didapatinya Sumarlan tengah mabuk, bahkan hendak berbuat tidak senonoh pada Dewi. Nalurinya sebagai ibu bangkit, ia teringat pada anak tunggalnya di kampung. Cutter - yang selalu ada di kantung bajunya pun ikut bicara.

“Di foto polaroid pipi Dewi tampak terluka, tapi ini kok tidak ada bekasnya?” tanya AKP Taufik pada Sumarlan yang terbaring kesakitan. 

“Saya dulu pernah membantu bagian tata rias dan efek khusus sebuah produksi film laga.”

“Jadi, lukanya cuma tipuan? Kamu buat dari apa?” 

“Dari sejenis lateks yang dilumuri ‘darah’, campuran madu dan zat pewarna.” 

“Supaya Pak Mandala syok dan cepat mengirimkan uang tebusannya? Begitu?”

Sumarlan mengangguk pelan. 

Tumini, yang duduk di samping Sumarlan, terkejut ketika seorang polisi wanita memasuki ruangan. Polwan itu ternyata Sugiarti. la menggamit tangan Bi Piyah. Rupanya, Bi Piyah hanya dititipkan pada salah satu keluarga Polisi. Tidak pulang kampung.

“Ini Komandan, bukti rekamannya,” katanya kepada AKP Taufik. Sugiarti diam-diam memasang wireless FM, mikrofon yang sangat peka, di lubang angin yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Tumini. Mikrofon itu dihubungkan dengan gelombang FM radio dan direkam. Dari bukti itu diketahui, setiap malam Tumini berkomunikasi dengan Sumarlan menggunakan ponsel.

“Lalu, mana uang seratus lima puluh juta itu?” tanya AKP Taufik setelah menerima laporan, di rumah kontrakan Sumarlan tidak ditemukan uang sebesar itu. 

“Uang? Uang apa, Pak?” tanya Sumarlan kaget.

“Yang semalam diantar sendiri oleh Pak Mandala!” 

“Kalau uang yang kurang dari sepuluh juta itu memang saya yang ambil. Tapi kalau yang semalam, saya tidak menerimanya. Saya harus menunggu perintah dari Tumini. Sejak sore saya hanya minum-minum,” jawabnya serius.

Pengakuan Sumarlan dibenarkan oleh Tumini. Ketika Mandala mengantar uang tebusan, Tumini segera menelepon Sumarlan dan memarahinya karena merasa belum memberi tanda aman, kok Sumarlan sudah meminta uang tebusan itu. Tumini melihat masih ada polisi yang sering datang ke rumah majikannya. Celakanya, jawaban Sumarlan kacau karena ia mabuk. Tumini tidak percaya. Karena takut dibohongi, pagi-pagi Tumini pergi ke rumah Sumarlan. Tanpa dia sadari, ia naik taksi yang dikemudikan Bharatu Suwandi, yang mendapat informasi dari Sugiarti.

Pagi itu juga AKP Taufik Abdullah meluncur ke rumah Mandala Baring. Dewi masih tampak lelah di pelukan ibunya. 

“Pak Mandala, selain Ibu, siapa saja yang tahu nomor ponsel Anda?”

“Yang ini khusus untuk keluarga, orang luar yang tahu hanya sekretaris saya.” 

“Bagaimana dengan Salyono, supir Anda?”

“Oh, betul, dia juga tahu. Ia sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri, karena sudah lama ikut saya.”

Dari anak buahnya AKP Taufik mendapat kabar bahwa mobil Mandala Baring ditemukan di pinggir jalan dekat TMII. Rombongan polisi segera mendatangi tempat itu. Mobil itu kosong, tas berisi uang itu pun raib. Di lantai jok pengemudi tampak puntung rokok kretek yang masih panjang. Puntung itu gepeng, sepertinya diinjak untuk mematikan apinya. Di dekatnya, agak terlindung karpet, terdapat botol minyak angin yang kosong. Puntung itu diambil lalu dicium AKP Taufik. Tidak tercium bau apa pun kecuali aroma tembakau. AKP Taufik menduga, si pengemudi siap merokok. Seperti kebiasaannya, rokok itu harus diolesi minyak angin sebelum diisap. Karena minyak anginnya habis, rokok yang terlanjur disulut itu dimatikannya dengan diinjak.

“Sekarang bagi tugas: Kamu ke rumah Salyono, kamu ke terminal bus,” perintah AKP Taufik kepada anak buahnya. 

“Mau ke mana, Pak Salyono? Kok sendirian?” sapa AKP Taufik setelah memergoki Salyono di sebuah terminal bus antarkota antarprovinsi di Jakarta Timur.

“Pulang kampung, ngobati istri. Sakit sejak dulu enggak sembuh-sembuh,” jawabnya agak grogi.

“Boleh lihat isi tasnya?” sela seorang polisi di sebelahnya. Dengan berat hati Salyono menyerahkan tas gendongnya. Di dalamnya terdapat setumpuk uang, jumlah dan nomor serinya sama persis dengan uang yang dibawa Mandala Baring semalam. 

Salyono memang cerdik. Ia pandai memanfaatkan kesempatan meski tidak punya sangkut paut dengan komplotan Tumini dan Sumarlan. (Riady B. Sarosa)

Baca Juga: Alat Pemantau di Uang Tebusan

 

" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561340/kalah-cerdik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181867000) } } [6]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561113" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/korek-apinya-tertinggal-di-losme-20221111033311.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(130) "Dua gadis dilaporkan telah dua hari menghilang. Teman-teman curiga mereka diculik karena menjadi aktivis. Apa penyebab sebenarnya?" ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/korek-apinya-tertinggal-di-losme-20221111033311.jpg" ["title"]=> string(33) "Korek Apinya Tertinggal di Losmen" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 15:33:43" ["content"]=> string(22353) "

Intisari Plus - Dua gadis dilaporkan telah dua hari menghilang. Teman-teman curiga mereka diculik karena menjadi aktivis. Apa penyebab sebenarnya? 

-------------------

Siang itu, langit di atas Bandung terlihat mendung. Di kantornya, Iptu Toni tampak sibuk melayani rombongan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tunas Bangsa (STIETB), yang mendatangi kantor polisi untuk melaporkan kasus penculikan dua rekan mereka. Wakil mahasiswa, Arga dan Randy menuturkan, sudah dua hari dua rekan mereka tidak muncul. “Semula kami pikir Ervina pulang kampung, tapi ayahnya di Lampung bilang, Ervina tidak ada. Begitu juga Mona, kami telah mencarinya ke mana-mana,” jelas Arga.

“Mengapa kalian pikir mereka diculik?” selidik Toni. “Selama ini Ervina tidak pernah mangkir tanpa alasan jelas. Kami curiga, hilangnya mereka ada hubungannya dengan aktivitas kami,” tambah Arga. “Belakangan ini, kami sering menggelar demonstrasi di kampus dan Ervinalah motor penggeraknya,” timpal Randy. Menurut Randy, kekompakan para pengunjuk rasa di kampus mereka terjalin tidak hanya lantaran kesadaran, tapi juga jerih payah Ervina yang rajin memengaruhi mereka untuk bangkit.

“Kami menekan yayasan untuk membenahi dan memperbaiki berbagai kekurangan di kampus. Mulai kepastian status kelulusan, perbaikan sarana, prasarana, manajemen yang amburadul hingga penggantian dosen-dosen yang tidak kredibel,” jelas Randy, ketua Himpunan Mahasiswa Peduli Kampus (Himaka). 

“Itu sebabnya kalian mencurigai yayasan sebagai dalang penculikan Ervina dan Mona? Apa kalian punya bukti, semacam ancaman misalnya?” tanya Toni serius.

“Kalau ancaman sih belum, tapi tekanan sering kami rasakan. Terutama Ervina, dia sering mengeluhkan sikap Pak Berry, salah satu dosen kami. Dia merasa terintimidasi,” jawab Arga. Drs. Berry Demrius, M.Sc. sendiri dikenal sebagai orang kepercayaan dan punya hubungan sangat dekat dengan Pak Muchtar, ketua yayasan STIETB. 

Toni mengangguk kecil lalu berkata, “Bagaimana dengan Mona?” Randy dan Arga cuma saling pandang. “Setahu kami, Pak Berry sangat baik pada Mona,” jawab mereka serentak. “Apa kalian curiga, hilangnya Mona juga didalangi Pak Berry?” cecar Toni. “Justru karena itu kami datang ke sini, Pak,” sambut keduanya. Lagi-lagi, Toni cuma mengangguk kecil.

 

Intimidasi dosen

Kedatangan Sersan Dani, anak buah Toni ke STIETB cukup mengejutkan Ir. Tinton, wakil ketua sekolah tinggi itu. Apalagi Drs. Muchtar Mulyono, M.Sc, sang ketua yayasan sedang di luar negeri, sedangkan ketua STIETB Drs. Rusdiyo sudah dua hari dirawat di rumah sakit, kena serangan jantung. “Baru hari ini kami tahu mereka hilang. Asal Bapak tahu, kami selalu memberi mereka kebebasan untuk menyampaikan unek-uneknya. Kami diam bukannya menutup mata. ‘Kan perlu waktu dan biaya untuk meluluskan permintaan mereka,” terang Tinton.

Pukul 08.00 keesokan harinya, giliran Drs. Berry Demrius, M.Sc. datang ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Dosen berusia 46 tahun yang dicurigai para mahasiswa itu tampak tenang menjawab setiap pertanyaan Toni. “Saya mengenal Ervina dan Mona, keduanya mahasiswi saya. Saya juga tahu keduanya aktivis, terutama Ervina. Tapi pengaduan anak-anak bahwa saya yang menculik mereka sungguh menggelikan. Untuk apa?” kilah Berry. “Menurut mereka, Anda tidak suka Ervina dan suka mengintimidasinya,” pancing Toni. Berry cuma tersenyum.

“Saya mengerti kesalahpahaman ini. Sejujurnya, saya tidak membenci Ervina. Jauh di lubuk hati, saya mengagumi semangat dan daya juang anak itu,” ujar Berry. Berry menambahkan, apa yang dilakukannya terhadap Ervina semata-mata ingin membentuk gadis itu agar kuat dan mampu bertahan dalam tekanan. “Anak itu punya potensi, IQ dan EQ-nya juga tinggi. Dia bisa memimpin, memengaruhi serta mengendalikan orang lain,” imbuh Berry. “Tapi Mona agak beda. Dia bukan gadis tangguh. Jika ditekan, dia akan down dan kehilangan motivasi belajar,” tegasnya.

 

Mayat di hotel

Hari menjelang siang ketika Toni mendengar kabar dari Polresta Bandung Timur tentang penemuan mayat perempuan muda di sebuah penginapan di daerah Cileunyi. Dia kaget bukan main, mayat perempuan muda itu, berdasar KTP yang ditemukan, ternyata Mona Triyandini, 22 tahun, mahasiswi STIETB. Polisi menerima laporan penemuan mayat itu pukul 09.40 dari Rustam, si pemilik motel. Mona check in bersama seorang pria berpakaian rapi, berusia sekitar 30 tahun, Kamis pukul 17.30.

Sersan Rio yang melakukan observasi lapangan menambah penjelasan. “Tampaknya korban meninggal karena dibekap pakai bantal. Kami juga menemukan luka memar di kedua lengan korban. Mungkin saat menekan wajah korban dengan bantal, kedua lutut pelaku ikut menekan lengan korban,” analisis Rio. “Tidak ada tanda-tanda perkosaan, tapi kami menemukan kondom yang sudah dipakai. Foto TKP dan analisis sidik jari tinggal menunggu hasil lab, Pak,” tutup anak buah Toni itu. “Siapa nama laki-laki yang membawa korban?” tanya Toni. “Atna, Pak,” jawab Rio. “Hanya Atna?” lanjut Toni. “Ya, Pak!”

Berita kematian Mona cepat tersebar. Para wartawan berlomba mengungkap kisah mengenaskan itu. Kasus hilangnya Mona dan Ervina pun mulai jadi pembicaraan hangat di banyak kalangan. Toni sendiri tak menyangka, hilangnya dua aktivis perempuan itu berkembang demikian rumit. “Jadi, Anda tidak tahu aktivitas Mona di luar kampus?” kejar Iptu Toni pada Arga, yang kembali dipanggil untuk dimintai keterangan. “Tidak, Pak. Saya bahkan tidak menyangka dia ditemukan meninggal di motel,” jelas Arga, kali ini ditemani Randy dan Diki.

Menurut Arga, Mona gadis top di kampus. Banyak lelaki menaruh hati dan berusaha mendekatinya. “Termasuk Anda?” pancing Toni. “Ah, saya tahu diri, kok. Mana mau dia dengan saya. Lagi pula, dia sudah punya pacar, Beno namanya.” Lain Arga, beda Diki. Mahasiswa tampan yang selalu menenteng kamera ini agak ceriwis. “Mona itu cewek gaul. Makanya saya kaget waktu dia bergabung di Himaka. Lain dengan Ervina. Saya yakin Ervina hilang karena ambisinya, sedangkan Mona karena terlalu bersenang-senang,” urai Diki.

Diki lalu mengeluarkan sejumlah foto dari tas kucelnya. 

“Foto-foto ini saya ambil saat berdemonstrasi. Yang sedang orasi itu Ervina,” jelasnya. Toni memperhatikan foto-foto tersebut. “Ini siapa?” tanyanya tiba-tiba. “Oooh, yang di samping Mona, Pak Priatna,” sebut Diki. “Apa panggilannya Atna?” sergah Toni. “Di kampus sih biasa dipanggil Pak Pri,” balas Diki. “Apa mereka punya hubungan khusus?” tanya Toni lagi. “Saya pikir mereka saling memanfaatkan. Mona mau nilai bagus, sedangkan Pak Pri ingin mendapatkan kesenangan,” tukas Diki. Percakapan mereka terus berlanjut.

“Lo, bagaimana dengan Beno?” 

“Wah, di otaknya cuma ada Mona. Kalau ada orang menceritakan kejelekan pacarnya, dia selalu marah. Dia juga pernah bersitegang dengan Ervina yang menegur Mona supaya lebih serius memberikan sumbangan pikiran dalam rapat. Sejak itu hubungan ketiganya tak lagi harmonis.” 

“Ervina sendiri sudah punya pacar?”

“Setahu saya belum. Teman-teman cowok segan mendekatinya. Entah kalau di luar kampus.” 

Sayang, pacar Mona, Beno, belum bisa dimintai keterangan. Sersan Dani mencoba menghubunginya lewat telepon, tapi pembantunya bilang Beno sedang masuk angin. Hari itu juga, Toni membawa foto yang dipinjamnya dari Diki untuk ditunjukkan pada Rustam. “Benar Pak, ini orangnya yang membawa Mona,” ujar Rustam mantap. Hasil penelitian lab juga memberatkan Priatna. Sidik jari dosen STIETB itu tersebar merata di TKP, terutama di tempat tidur dan tubuh Mona. Namun Toni tak mau terlalu percaya diri.

 

Profesi ganda?

Priatna terduduk lesu, wajahnya gelisah. “Kami memang bermalam bersama. Tapi saya tidak membunuhnya,” bantah dosen berusia 38 tahun itu. “Percuma menyangkal. Di tubuh korban cuma sidik jari Anda yang kami temukan,” desak Toni. “Tapi berani sumpah, Pak. Saya tidak membunuhnya,” ulang Priatna. “Lalu mengapa Anda kabur, meninggalkan Mona begitu saja?” kejar Toni. “Saya tidak kabur. Saya pulang ke rumah saat dia masih tidur. Bapak seharusnya mencari pelakunya, bukan menyalahkan saya,” pekik Priatna.

“Jangan mengajari saya, Pak Dosen. Saya tahu siapa yang harus dihukum. Tidak seperti Anda yang tega-teganya meniduri mahasiswi sendiri, benar-benar tidak bermoral! Apa jadinya negeri ini jika dosen-dosennya berperilaku kotor seperti Anda?” Toni menatap tajam Priatna yang langsung terdiam. Sia-sia dia mencoba menceritakan semuanya; semua bukti tetap memberatkan dan menunjuknya sebagai tersangka. Terbayang sudah rumah tangga, masa depan, dan kariernya bakal hancur. Istrinya yang tengah mengandung anak keempat pun pasti shock berat.

Saat itulah, Sersan Dani menghampiri Toni. Interogasi terhadap Priatna pun terhenti sejenak. “Ada mahasiswi yang bisa membawa kita ke tempat kos Ervina,” bisik Dani. “Oke, kita jemput dia,” sambut Toni, tanpa berpikir lagi. Tania, juga aktivis Himaka, adalah satu dari sedikit orang yang tahu tempat kos anyar Ervina. Di perjalanan, gadis manis ini berkali-kali mengeluhkan berita surat kabar tentang kedua teman kuliahnya.

“Mereka menulis seolah-olah Mona itu wanita panggilan dan Ervina sama dengan Mona. Mestinya mereka investigasi lebih dulu. Masa mereka dijuluki aktivis berprofesi ganda?” ujarnya gemas.

Padahal, kata Tania, Ervina itu gadis mandiri, sederhana, pintar, punya prinsip, dan pantang menyerah. “Kalau tentang Mona, apakah yang dibilang koran-koran itu benar semua?” pancing Dani. “Memang sih Mona agak matre. Reputasinya juga sedikit negatif, tapi saya rasa dia bukan wanita panggilan. Tapi sudahlah, enggak baik ngomongin orang yang sudah meninggal,” penggal Tania. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah gang. Setelah berjalan beberapa belas meter menyusuri gang sempit itu, Tania berhenti di sebuah rumah sederhana berlantai dua. Seorang wanita setengah baya menyambut mereka.

“Saya baru tahu Non Ervina hilang, itu pun dari wartawan yang datang ke sini. Padahal, setahu saya dia pulang kampung,” tutur wanita tadi. “Kami sudah menelepon ayahnya di Lampung. Dia bilang, Ervina tidak ada,” jelas Tania. Ibu Tiyah, si pemilik kos menuturkan, Ervina pergi diantar temannya. “Ibu tahu namanya?” tanya Toni. “Kalau namanya tidak tahu. Tapi ciri-cirinya saya ingat. Mata besar, kulit sawo matang, rambutnya cepak. Pakai kacamata gaya, hidung dan telinganya beranting,” sebut Tiyah. “Apa di pipinya ada bekas luka?” selidik Tania. “Betul, seperti luka bekas jahitan,” sambung Tiyah. “Pasti Idi,” gumam Tania.

“Nama lengkapnya Samidi, bekas mahasiswa STIETB, yang dipecat karena menghajar Pak Priatna,” jelas Tania. Tanpa diminta, cewek manis berambut pendek itu kembali menambahkan, “Mereka saling benci. Pak Pri tak pernah meluluskan Samidi, sedangkan Samidi sepertinya alergi melihat Pak Pri.”

“Mengapa bisa begitu?” potong Toni. “Dulu Mona itu pacarnya Samidi. Karena Pak Pri dosen killer, Mona berusaha mendekatinya dengan berbagai cara. Mengira pacarnya diganggu, Samidi mengamuk. Pak Pri dihajar sampai babak belur. Setelah itu, Mona pacaran dengan Diki, kemudian Beno.”

“Masalahnya, apa hubungan Samidi dengan Ervina? Setahu saya, mereka tidak terlalu akrab,” timpal Tania. Setelah itu, mereka bertiga larut dalam diam. Malamnya, Toni mendapat fakta baru dari Lukas, koleganya di kepolisian Lampung. Konon, rumah kediaman ayah Ervina kosong sejak tiga hari lalu. Pak Osdiko dan istrinya sedang ke Padang, membesuk ibu mertuanya yang sakit. Ervina sendiri putri istri pertama Osdiko yang kini tinggal di Belitung.

 

Kamar bersebelahan

Keesokan harinya, Sersan Karim melaporkan kasus perkelahian dua anak muda semalam. “Kami mengamankan seorang pemuda yang menyerang pemuda lainnya bernama Bernanto Prawiro alias Beno. Tapi katanya, Beno akan datang siang ini untuk mencabut tuntutannya,” jelas Karim. Toni yang penasaran, langsung meminta Karim membawa lawan berkelahi Beno. Pucuk dicinta ulam tiba, yang dibawa Karim ternyata Samidi. Tanpa membuang waktu, Toni langsung mencecarnya dengan pertanyaan seputar Ervina.

“Setahu saya Ervina pulang kampung,” tegas Idi. Versi Samidi, dia mendapat titipan telegram dari ibu kos Ervina yang lama yang juga tetangganya. “Itu sebabnya saya mendatangi Ervina ke tempat kosnya yang baru. Lalu dia minta saya mengantar sampai terminal. Kalau enggak percaya, silakan cek ke Belitung,” tantang Idi. “Kalau Ervina tidak ada di sana, kamu mau bertanggung jawab?” balas Toni. “Kenapa saya yang harus bertanggung jawab?” elak Idi ketus. Ah, pantas saja Priatna sebel banget sama pemuda satu ini, gumam Toni dalam hati.

“Lalu mengapa kamu berkelahi dengan Beno?” 

“Dia yang menyerang duluan, eh yang ditangkap malah saya. Ini enggak adil!” 

“Saya tanya, apa yang menyebabkan kamu berkelahi dengan Beno!”

“Saya sendiri tidak tahu. Saya menyapa dia dan bilang Mona titip salam, eh dia malah menyerang saya.” 

“Padahal, saya ‘kan cuma bercanda. Mungkin dia kebanyakan bergaul dengan Diki si tukang kompor.”

“Dulu Diki juga yang mengompori saya dengan berita perselingkuhan Mona dan Pak Priatna. Dia mengompori Mona agar mendekati Priatna untuk mendapat nilai bagus, sekaligus menyebar isu bahwa Mona itu cewek yang bisa dipakai.”

Sayang, saat pembicaraan mulai menarik, Beno masuk ke ruangan. Seperti dilaporkan Sersan Karim, dia datang untuk mencabut tuntutan. “Saya enggak mau memperpanjang urusan,” kilah pemilik sedan BMW terbaru itu. “Tidak perlu, saya senang di sini. Atau kamu baru sadar, sebenarnya kamu yang salah?” hardik Idi. “Terserah. Yang jelas, saya enggak mau urusan ini diperpanjang,” ulang Beno. Pertengkaran mereda, seiring masuknya Sersan Dani dan Rustam. Rustam sengaja dijemput untuk dipertemukan langsung dengan Priatna, calon tersangka pembunuh Mona.

Namun saat melihat Beno, dia berhenti melangkah. “Maaf, Andakah yang menginap di motel saya beberapa hari lalu?” tanya Rustam. Beno sekilas menatap Rustam, kemudian menukas, “Tidak, Bapak salah menuduh orang.” Tapi Rustam malah mendekat. “Maaf, saya hanya mau mengembalikan barang Anda yang tertinggal,” sambungnya. “Heh, saya tidak pernah menginap di tempat Bapak!” pekik Beno, mengagetkan semua yang hadir. “Tapi ini milik Anda ‘kan?” Rustam menyodorkan pemantik api bergambar naga berlapis emas. “Bagaimana barang ini bisa sampai ke tangan Bapak? Saya sudah lama mencarinya,” tanya Beno. “Pemantik ini ketinggalan di kamar yang Anda sewa,” tegas Rustam. “Terima kasih. Tapi saya tidak pernah menginap di losmen Bapak,” tegas Beno lagi.

“Kenapa ia mengenali Anda sebagai orang yang menginap di motel?” pancing Toni, setelah Rustam pergi. 

“Saya tidak tahu. Bukan menyombongkan diri, seumur hidup, saya tidak pernah menginap di tempat seperti itu,” kilah Beno.

“Anda tidak pernah mendengar gosip tentang Mona dan Priatna?” 

“Saya pernah mendengar gosip seperti itu, tapi selama ini saya pikir, sayalah laki-laki yang dia inginkan.”

“Kapan terakhir Anda melihat Mona dan Ervina?” 

“Senin, saat kami berdemontrasi. Esoknya, saya tidak lagi melihat keduanya.”

“Lalu, di mana Anda berada saat Mona terbunuh?” 

“Saya ada di rumah. Silakan tanya kakak saya, ia ikut mengantar saya sekarang.”

Beninta, kakak Beno, membenarkan ucapan adiknya. Hari Kamis itu dia tidak melihat adiknya keluar rumah. “Anda yakin dia tidak keluar rumah?” desak Toni. Beninta mengangguk. “BMW-nya terparkir rapi di garasi. Sejak dulu Beno tak pernah pergi keluar rumah tanpa mobil. Apalagi malam hari. Tubuhnya rentan, bisa-bisa ia sakit,” jelas Benin.

Selesai menanyai Beno, Toni kembali memintai keterangan Rustam, yang bersikukuh Beno dan seorang temannya menginap di motelnya beberapa hari lalu. “Bapak yakin tidak salah orang?” tegas Toni. “Penginapan saya kecil. Setiap tamu yang datang pasti saya ingat,” jawab Rustam. “Pakai BMW merah?” balik Toni bertanya. “Tidak. Dia dan temannya naik motor.” Fakta tambahan ini membuat Toni berpikir keras. Priatna sudah hampir menyerah, tapi motifnya lemah. Sedangkan Beno? Kalau memang dia datang ke motel pakai motor, tubuh rentannya pasti terganggu. Cocok dengan keterangan pembantunya yang bilang, sang majikan sedang masuk angin. Artinya? Toni tetap tak mau berspekulasi.

 

Kalah cepat

Saat “dijemput” Toni di rumahnya, Beno yang hendak berangkat melanjutkan kuliah ke Australia langsung menangis tersedu-sedu. Ah, Toni tak menyangka bisa semudah ini. Tapi dia bisa mengerti perasaan berdosa yang mungkin terus memburu Beno. “Awalnya saya bangga jadi pacarnya. Tapi ternyata saya hanya tameng untuk menutupi hubungannya dengan Priatna. Diki-lah yang selama ini membantu saya memata-matai Mona. Di Cileunyi, kami menyewa kamar persis di sebelah mereka. Semula kami hanya ingin membuat Mona dan Priatna malu. Tapi Diki, mestinya ....” tangis Beno akhirnya pecah.

“Ada apa dengan Diki?” 

“Dia bilang, saya laki-laki pengecut. Seharusnya saya mengambil tindakan tegas. Kami akhirnya merencanakan pembunuhan itu. Tak lama setelah Priatna pulang, kami masuk dan membekap wajah Mona pakai bantal. Diki lalu menukar bantal tadi dengan bantal Priatna. Diki berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini,” kata Beno, sembari menutup wajahnya. 

Toni menarik napas panjang. Kini dia bisa berkonsentrasi pada hilangnya Ervina. Setiba di kantor, rasa penat mendorongnya menyalakan teve. Lagi-lagi infotainment, batinnya memprotes. Untungnya dia belum sempat mengganti channel, karena sejurus kemudian matanya melotot, bak melihat setan. Puluhan reporter tampak mengerubungi seorang gadis manis berwajah pucat. “Saya mohon maaf kepada teman-teman, tidak memberi kabar atau titip pesan saat melayat nenek saya di Belitung, sehingga kekacauan ini terjadi,” katanya penuh sesal. Ervina telah ditemukan. Toni tak tahu lagi, harus menarik napas lega atau sebal. Untuk kesekian kalinya, dia kalah cepat dari wartawan! (R. Yuliantina)

Baca Juga: Mafia 3 Salah Culik

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561113/korek-apinya-tertinggal-di-losmen" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668180823000) } } [7]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517189" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/alat-pemantau-di-uang-tebusan_al-20221009072238.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Toni mendapat telepon dari orang yang menculik kedua anaknya. Si penculik meminta sejumlah uang tebusan yang sekaligus akan dijadikan alat jebakan." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/alat-pemantau-di-uang-tebusan_al-20221009072238.jpg" ["title"]=> string(29) "Alat Pemantau di Uang Tebusan" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:23:14" ["content"]=> string(36245) "

Intisari Plus - Toni mendapat telepon dari orang tidak dikenal yang telah menculik kedua anaknya. Si penculik meminta sejumlah uang tebusan yang sekaligus akan dijadikan alat jebakan.

-------------------

Duduk santai di teras belakang menikmati udara pagi, wajah Toni Suharta tampak segar karena baru saja mandi. Pagi itu ia bisa merasakan nikmatnya bangun agak siang yang sangat jarang bisa ia lakukan. 

Hari itu hari kedua cuti tiga harinya setelah lebih dari empat bulan tanpa henti memantau pengembangan perusahaannya. Sejak didirikan 10 tahun silam, perusahaannya kini telah memiliki tujuh unit usaha. 

Teras tempatnya bersantai menghadap ke sebuah kolam renang berukuran 12x26 m yang didesain alami. Tiga pohon kelapa hibrida, dua pohon kemboja berbunga merah marun dan kuning, pohon bintaro, dan beberapa jenis tanaman hias jenis perdu mengelilingi kolam renang yang tepinya terbuat dari batu candi hitam itu.

Di sebelah kanan kursi malas tempat ia duduk terdapat sebuah meja berisi menu sarapan paginya. Beberapa helai roti gandum, potongan-potongan keju impor, dan dua botol selai cokelat dan kacang tanah. Tak ketinggalan jus campur kesukaannya, terbuat dari wortel, bayam, jeruk, apel, dan stroberi.

Di atas meja kecil di sisi kirinya tergeletak berbagai macam koran: berbahasa Inggris dan harian umum terbitan Indonesia, surat kabar ekonomi, dan majalah berita terbitan Amerika Serikat. Tapi kali ini ia memprioritaskan untuk membaca majalah gaya hidup pria terbitan Amerika Serikat sambil menikmati setangkap roti tawar gandum dengan selai cokelat.

Meskipun bukan perjaka lagi dan telah menikah 11 tahun lalu, sesekali Toni masih suka melihat moleknya tubuh para model bule yang cantik di majalah itu. Istrinya, Tamara Cinta Priyatna, ketika menikah baru berusia 22 tahun. Wanita cantik bertubuh atletis itu berdarah Rusia, Brasil, dan Sunda. Dari hasil perkawinan mereka lahir dua orang anak yang kini bersekolah di SD internasional: Sekar Ayu (10), kelas 4 dan Bayu Utama (8), kelas 2.

Saat itu Sekar dan Bayu sudah berangkat ke sekolah diantar sopirnya, Basuki. Tamara sedang ke pasar swalayan ditemani pembantunya, Tuminah, dan sopirnya, Sulharnudin.

 

Sopir dibuang di jalan tol

Tiba-tiba dering HP Toni, yang diletakkan di dekat piring tempat roti gandum, mengejutkan pikirannya yang sedikit ngelantur.

“Halo,” ucapnya dengan suara berat tanpa melihat identitas di layar HP. 

“Anda Toni Suharta?” tanya seseorang dari seberang sana.

“Betul, saya Toni Suharta. Saya bicara dengan siapa?” tanya Toni dengan tenang.

“Tidak usah tanya siapa saya. Saya hanya mau memberi tahu bahwa Sekar dan Bayu saat ini di bawah ‘lindungan’ saya. Sopir saya titipkan di jalur hijau Tol Jakarta - Cikampek km 60+700! Nanti saya hubungi kembali. Ingat, jangan menelepon polisi kalau Anda ingin Sekar dan Bayu selamat!”

Pembicaraan jarak jauh itu pun terputus. 

“Wah, anakku diculik,” guman Toni. 

Toni tetap tenang, walaupun hatinya sangat gundah. Ia memang dikenal sebagai orang yang berkarakter sangat tenang. Bahkan, apabila di kantornya ada masalah genting yang membuat orang lain sudah kelimpungan, ia tetap tenang. Namun, begitu mengambil keputusan, keputusan itu cespleng. Maka wajar kalau perusahaannya juga berkembang dengan mantap.

Dari record di HP, Toni tahu HP yang digunakan meneleponnya milik Basuki! Kontan, Toni menghubungi kembali HP Basuki. Tapi HP keburu dimatikan oleh penculik.

Dengan HP-nya Toni segera menghubungi bagian informasi jalan tol Jakarta - Cikampek.

“Halo, selamat siang Pak. Saya Toni. Saya mau memberi informasi, baru saja sopir saya dibuang di km 60+700. Mobil dan dua orang anak saya dibawa kabur penculik. Boleh minta tolong petugas patroli menyelamatkan sopir saya?”

“Baik, Pak. Boleh tahu merek, jenis, dan nomor polisi kendaraan Bapak agar kami bisa berkoordinasi dengan petugas gerbang tol Cikampek?” tanyanya hendak membantu.

“Saya bicara dengan siapa?” Toni balik bertanya.

“Saya Sunoto, Pak.” 

“Terima kasih Pak Sunoto atas kesediaan Anda membantu. Tapi demi keselamatan anak saya, saya belum bisa memberikan informasi yang Anda butuhkan.”

“Baik Pak. Bagaimana dengan nomor telepon Bapak yang bisa kami hubungi?” tanyanya. 

“0-8-1-1-2-6-0-1-6-4. Saya ulang ya Pak, 0-8-1-1-2-6-0-1-6-4.” 

“Baik, Pak. Kalau ada perkembangan akan saya kabari.”

“Terima kasih, Pak Sunoto,” Toni mengakhiri pembicaraan.

Segera Sunoto mengontak petugas patroli untuk mendekat ke lokasi tempat Basuki “dibuang”.

Toni ingat, ada perusahaan sekuriti yang memiliki detektif swasta. Tameng Indonesia namanya. la segera mencari nomor telepon perusahaan itu di HP-nya. Namun, sebelum menelepon, Toni mengambil gelas berisi jus, lalu meminum isinya tiga teguk. HP Tony berdering lagi. Di layar HP-nya muncul nomor 0264324661.

“Halo, Pak Toni ya.” 

“Betul.” 

“Saya yang ‘melindungi’ anak Anda. Kalau ingin kedua anak Anda selamat, siapkan uang sebesar satu miliar rupiah. Cash! Hubungi saya besok di hape sopir Anda pada pukul 09.00.”

“Boleh saya bicara deng ...,” belum selesai Tony bertanya, telepon segera ditutup penculik.

Kesedihan mulai tampak di wajah Toni. Setelah menyempatkan diri minum segelas air, ia lalu menghubungi Tameng Indonesia dan berbicara dengan petugas customer service. Ia kemudian dihubungkan dengan Divisi Penculikan dan Jasa Penagihan Piutang. Toni kemudian menceritakan kejadian yang menimpa anaknya. Setelah memastikan tim divisi itu pernah berhasil menangani kasus penculikan, serta biaya yang harus dia siapkan, Toni memutuskan untuk meminta bantuan perusahaan itu. Data-data sementara yang diperlukan, ia berikan semua.

Dalam perjalanan ke Tameng Indonesia, Toni mengontak istrinya bahwa ia pergi untuk suatu urusan di Jln. Jenderal Sudirman.

 

Mantan sopir jadi tersangka

Kantor Tameng Indonesia berada di lantai 32 sebuah gedung perkantoran mewah. Ruang tamunya tertata apik dan terkesan modern. Beberapa buku tentang perusahaan tersebut tersusun rapi di meja sudut. Foto Presiden dan Wakil Presiden RI tergantung rapi di salah satu dindingnya.

Toni tak lama berada di ruangan tersebut, seorang pria tampan berbaju rapi warna krem dengan dasi merah marun mengajak Toni masuk ke ruang kerjanya. Pria itu adalah Riyanto, manajer Divisi Penculikan dan Jasa Penagihan Piutang. Mantan Komisaris Besar yang banyak malang melintang di direktorat reserse beberapa Kepolisian Daerah di Indonesia ini punya prestasi baik dalam upaya membongkar kasus pembunuhan, pemalsuan uang, dan penculikan, serta membongkar sindikat narkoba.

Prestasi terakhirnya sebelum mengundurkan diri dari kepolisian dan bergabung ke Tameng Indonesia adalah mengungkap pelaku pembunuhan terhadap artis sinetron yang lagi berada di puncak karier. Tiba di ruang kerjanya, Riyanto mempersilakan Toni duduk. Ia kemudian ke mejanya dan menelepon Heriyanu. Lalu, segera menuju kursi di depan Toni.

HP Toni berdering. Panggilan itu dari Sunoto yang memberi tahu bahwa Basuki sudah diselamatkan oleh petugas patroli jalan tol dan kini berada di kantor Cikampek. la kemudian menghubungi Jayadi, sopirnya, yang mengantarnya ke Tameng Indonesia untuk menjemput Basuki.

“Sopir anak saya selamat dan sekarang berada di kantor gerbang tol Cikampek,” tutur Toni membuka pembicaraan.

Belum sempat melanjutkan perbincangan, pintu ruang kerja Riyanto diketuk seseorang dan seorang pria berperawakan sedikit kurus, berkumis tipis, berhidung mancung, dan berambut hitam sepangkal leher, muncul.

“Perkenalkan Pak Toni, dia Heriyanu, staf kami yang akan memimpin penyelamatan anak Bapak,” ujar Riyanto memperkenalkan anak buahnya.

“Di Tameng Indonesia, Heriyanu termasuk senior dalam penanganan penculikan. Sekitar 95% kasus yang ditanganinya berhasil baik dengan korban diselamatkan dalam keadaan hidup tanpa terluka. Selebihnya, berhasil namun korban diselamatkan dalam keadaan terluka,” ungkap Riyanto tentang anak buahnya itu. “Baik Pak Toni, bisa ceritakan kronologi kejadiannya,” tambahnya.

Toni menceritakan apa yang ia ketahui tentang penculikan yang dialami Sekar dan Bayu pagi tadi.

“Boleh tahu, apakah selama ini Anda atau istri Anda pernah memiliki masalah dengan seseorang?” tanya Riyanto.

“Maksud Anda di kantor atau di rumah?” Toni balik bertanya.

“Keduanya.” 

“Seingat saya, di kantor saya tak pernah punya masalah dengan karyawan, klien, atau pemasok perlengkapan kerja. Di rumah, saya, istri, dan anak saya juga tidak pernah punya konflik dengan pembantu, tukang kebun, atau sopir kami. Hanya saja dua bulan lalu kami memang memberhentikan sopir anak kami, Warsidi, lantaran tidak jujur. Ia ketahuan bekerja sama dengan mekanik bengkel langganan kami untuk memalsukan data penggantian suku cadang mobil yang ia kemudikan. Tierod, balljoint, serta oli gardan yang dalam bon tertulis diganti, pada kenyataannya tidak. Si Basuki itu sopir baru kami.

HP Toni kembali berdering. Kali ini dari istrinya. Menurut Tamara, ia baru menerima ancaman yang akan menghabisi nyawa Sekar dan Bayu bila tuntutan Rp 1 miliar tidak dipenuhi besok. Lagi-lagi Toni menenangkan istrinya sembari menyatakan akan segera pulang setelah urusan di Tameng Indonesia beres.

“Baik Pak Riyanto dan Pak Heriyanu, sampai di mana tadi? Oh ya, setelah PHK itu, Warsidi tak pernah muncul lagi, sampai peristiwa ini terjadi.”

“Ketika Warsidi Anda pehaka, apa reaksi dia?”

“Dia bisa menerima, sebab ketika mulai bekerja dia menandatangani perjanjian kerja dengan kami. Semua pekerja di rumah kami juga terikat aturan yang sama, bila tidak jujur mereka kami berhentikan

“Segala kewajiban terhadap Warsidi telah Bapak penuhi?” tanyanya.

“Kewajiban bulanan selama dia bekerja semua saya penuhi, termasuk berbagai tunjangan lainnya. Hanya uang pesangon memang tidak saya berikan karena sesuai perjanjian, pekerja yang kami pehaka akibat ketidakjujuran berkaitan dengan uang, tak diberi uang pesangon.”

“Warsidi paham soal itu?” 

“Tentu, soalnya ketika hendak menandatangi perjanjian itu, istri saya menekankan soal ini.”

“Dia tinggal di mana Pak?” 

“Sebentar saya lihat di hape saya ..... di Jalan H. Muni Gg. III No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.”

Hmmm ... kira-kira siapa lagi yang ada kemungkinannya melakukan penculikan ini?” tanya Riyanto. 

“Itulah yang membingungkan saya. Rasanya kami tidak pernah melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada orang lain,” jawab Toni.

“Kalau begitu, bisa disampaikan pembicaraan apa yang telah Pak Toni lakukan dengan penculik.”

“Dia meminta saya menyiapkan uang satu miliar rupiah dan besok pukul 09.00 saya diminta menghubungi dia.”

“Saya akan datang ke rumah Pak Toni sebelum pukul 09.00 untuk mendampingi Bapak berkomunikasi dengan penculik,” janji Heriyanu.

“Sementara, informasi awal ini kami gunakan untuk bahan analisis kami. Untuk lebih tajam, bagaimana kalau kami juga ingin meminta keterangan Basuki?” sambung Riyanto.

“Baik, nanti sesampai di rumah, saya akan minta dia datang ke sini. Perlu hari ini juga?”

“Akan lebih baik, Pak.” 

“Baik, saya segera pulang untuk menyiapkan hal-hal yang saya perlu lakukan.” 

Dengan menumpang taksi, Toni pulang.

 

Penculik berhelm full face

Setelah Toni pulang, Heriyanu mengumpulkan anggota tim untuk kasus ini. Semua informasi dari Toni disampaikan. Dalam diskusi muncul dugaan Warsidi berada di balik penculikan. Tapi ada pula yang menganalisis bahwa motif penculikan ini hanya uang semata.

“Baik, kalau begitu kita bagi tugas. Besok pagi sebelum pukul 09.00 saya akan siap di rumah Pak Toni. Saya akan mem-brief Pak Toni bagaimana cara berbicara dengan penculik. Komeng dan Gerald, siapkan kerja sama dengan Telkomselindo untuk melacak keberadaan penculik melalui sinyal hape. Karena posisi terakhir penculik di dekat Cikampek, Gusmanto dan Binarwan mesti stand by di Cikampek sebelum pukul 09.00. Lakukan koordinasi Polres Cikampek, terutama polisi lalu lintas, untuk memeriksa setiap mobil Peugeot 807 hitam yang digunakan penculik. Untuk melengkapi data, kita nanti secara bersama-sama meminta keterangan Basuki di sini. Waktunya belum tahu. Yang pasti sore ini Basuki sudah bisa dimintai keterangan.”

Pukul 15.45 Basuki tiba di kantor Tameng Indonesia bersama Toni. Mereka lantas berkumpul di ruang rapat 3201. Di sana Basuki menceritakan awal kejadiannya.

Sekitar 500 m menjelang sekolah Sekar dan Bayu, Basuki mendapat kode ada ketidakberesan pada mobil sebelah kiri dari pengendara sepeda motor yang menyalipnya dari kiri. Basuki segera menepikan mobilnya dan berusaha melihat apa yang tidak beres. Ketika Basuki melihat bagian kiri belakang mobil, pembonceng sepeda motor lain yang berada di belakang mobil turun langsung menodongkan pistol ke punggung Basuki dan menggiringnya masuk mobil.

Pada saat bersamaan, pembonceng motor yang memberitahukan ketidakberesan mobil masuk mobil lewat pintu pengemudi. Kedua pembonceng itu mengenakan helm full face sehingga tidak tampak wajahnya. Dalam sekejap, dua pengendara motor tancap gas dan menghilang di keramaian lalu lintas.

Dalam ketakutan, Sekar dan Bayu juga tak bisa berkutik. Berbekal tiga lembar kain yang sudah disiapkan pria yang menodongkan pistol, Basuki, Sekar, dan Bayu diminta menutup mata mereka sendiri. HP Basuki dirampas. Sekitar dua jam Basuki berada dalam kegelapan tanpa tahu dibawa ke mana. Orang di luar mobil juga sulit melihat apa yang terjadi di dalam karena kaca samping dan belakang mobil dilapisi kaca film 80%.

Sekar dan Bayu tak henti-hentinya menangis minta diantar pulang. Tapi tak digubris oleh penculik. Menurut penculik, mereka takkan diapa-apakan dan ayah-ibu mereka akan menjemput mereka di tempat yang akan diberitahukan kemudian. Mereka memang tak disentuh, apalagi dikasari oleh penculik.

Tiba-tiba mobil berhenti. Basuki diminta keluar dengan mata masih tertutup.

“Kalau tidak mau mati, jangan buka penutup matamu sebelum mobil ini melaju!” gertak salah seorang dari pelaku.

Tentu Basuki menuruti apa yang diperintahkan penculik. Begitu mendengar suara mobil semakin menjauh, barulah dia buka penutup matanya. Dari penunjuk jarak di jalan tol itu, dia tahu bahwa gerbang tol Cikampek hanya berjarak sekitar 4 km dari tempatnya berdiri. la pun menyusuri bahu jalan menuju arah gerbang Tol Cikampek. la tak tahu berapa lama berjalan sampai kemudian petugas patroli jalan tol menyelamatkannya.

“Dari logat bicaranya, apakah Pak Basuki mengenali para penculik?” tanya Heriyanu.

“Sepertinya ia orang Jawa, Pak,” jawab Basuki.

“Pak Basuki kenal dengan Warsidi, sopir Pak Toni yang Anda gantikan?” 

“Tidak, Pak.”

“Apa lagi yang kira-kira Pak Basuki ketahui tentang penculik yang bisa kami gunakan sebagai bahan pelacakan mereka?”

“Tidak ada lagi, Pak.” 

“Baik Pak Basuki, terima kasih atas keterangannya,” tutup Heriyanu. 

Tepat pukul 18.00 tim berkumpul di ruang rapat. 

“Ada masukan tentang strategi pelacakan dan penangkapan penculik?” buka Heriyanu. 

“Saya kira, kita perlu mendengar di mana uang tebusan itu akan diberikan,” ujar Komeng. 

“Kita mungkin perlu juga menyiagakan rekan-rekan kita di Bandung. Siapa tahu dari data monitoring pergerakan HP Basuki mereka lari ke sana,” sambung Binarwan.

“Jadi, strategi kita tidak berubah, hanya saja ada tambahan tugas bagi Gusmanto dan Binarwan untuk menghubungi Bandung. Besok pagi kalian stand by di Cikampek untuk memantau pergerakan mobil Pak Toni yang dibajak dan memudahkan bergerak kalau memang para penculik itu benar berada di Bandung. Saya juga minta Titus dan Togar bergabung dengan tim kita untuk melacak keberadaan Warsidi. Sekarang kita bersiap-siap untuk tugas besok pagi. Saya berharap, tugas ini bisa sukses seperti tugas-tugas kita sebelumnya.”

 

Upaya penangkapan gagal 

Sesuai jadwal, tim Heriyanu sudah siap di masing-masing lokasi tugas mereka. Gusmanto dan Binarwan siap di Cikampek. Komeng dan Gerald, telah berada di ruang kontrol Telkomselindo. Titus dan Togar pergi ke rumah Warsidi. Sementara, Heriyanu berada di rumah Toni.

Tepat pukul 09.00 Toni menelepon penculik melalui HP Basuki. Namun, tidak dapat terhubung. Suara di HP Toni mengindikasikan HP Basuki belum diaktifkan atau masih berada di luar area jangkauan. Suasana menjadi tegang. Hariyanu berusaha menenangkan Toni sembari memberi arahan.

Sepuluh menit kemudian Toni mencoba menelepon lagi. Belum juga terhubung. Toni kali ini benar-benar cemas. Dalam hidupnya, inilah kecemasan terberat yang pernah ia rasakan. Pikiran-pikiran buruk tentang nasib kedua anaknya kembali menghantuinya.

Bersamaan dengan itu, air mata mulai menggenangi bola mata Tamara. Sejak pagi ia hanya duduk diam di sisi Toni. Sesekali matanya memandang wajah suaminya yang mulai menampakkan kecemasan. Tak ada yang dapat diperbuat Toni kecuali merangkul kepalanya dan mencium dahinya.

Pukul 09.30 Toni mencoba kembali menghubungi penculik. Berhasil!

“Halo, ini Toni. Bagaimana anak saya?” tanya Toni. 

“Anak Anda baik-baik saja,” jawab salah seorang penculik. 

“Boleh saya bicara pada mereka?” 

“Oh, kalau yang itu baru dapat Anda lakukan setelah uang yang kami minta Anda sediakan.” 

“Uang itu sudah siap, tapi bolehlah saya bicara sebentar pada mereka.” 

Tak kuat menahan diri, Tamara segera merampas HP dari tangan Toni.

“Hei penculik! Segera serahkan anak kami. Apa yang kalian minta sudah kami siapkan!” hardik Tamara.

“Oh, ini mamanya Sekar dan Bayu ya?” jawab penculik. 

“Iya ... mana anak saya!?” 

“Oh, ada. Segera saja serahkan uang yang kami minta.” 

“Jangan coba-coba sakiti anak kami ya!”

“Ya tolong dong Bu, serahkan telepon ke suami Anda, biar kami berunding dengannya.” Tamara mengembalikan HP ke suaminya.

“Halo ....” 

“Iya. Kami mau uang bisa diterima hari ini. Jika tidak Sekar dan Bayu akan kami habisi. Ingat, jangan melibatkan polisi kalau ingin anak Anda selamat.”

“OK ... OK. Di mana saya harus serahkan uang itu?” 

“Bungkus uang itu dalam beberapa tas kresek hitam. Masukkan bungkusan-bungkusan itu dalam dua karung plastik. Letakkan satu karung di rumput-rumput tepi jalan tol Cikampek kilometer 42+300 ke arah Cikampek dan satu karung lagi di kilometer 50+600 arah Jakarta.”

“Bagaimana kalau ada yang mengambil?” 

“Tidak usah khawatir. Letakkan saja karung itu pukul 14.00 di bawah pohon terdekat. Kami yang akan membereskan.”

“OK, uang akan saya taruh di sana sesuai dengan waktu yang Anda tentukan. Tapi tolong HP ini Anda aktifkan terus.”

“Itu urusan saya.” 

Hubungan telepon langsung terputus.

Ketika Toni berbicara dengan penculik, Heriyanu melakukan kontak dengan Komeng dan Gerald. Pada saat itu terlacak, HP Basuki berada di sekitar Cilandak, Jakarta. Menurut informasi Titus dan Togar, Warsidi sudah seminggu tak ada di rumah. Menurut tetangga, dia sedang mencari perkerjaan ke Medan.

Melihat kondisi demikian, Hariyanu memutuskan untuk meminta Titus dan Togar menyamar di jalan tol Cikampek km 43+100 ke arah Cikampek dengan mengendarai mobil boks khusus pengintaian. Ketika Toni, Heriyanu, dan Jayadi meletakkan karung berisi uang, di sana mereka diminta berhenti di bahu jalan. Togar dan Titus diminta berpura-pura memperbaiki mobil.

Hal yang sama dilakukan Gusmanto dan Binarwan. Hanya saja Gusmanto dan Binarwan menggunakan mobil operasional mereka. Mereka berhenti di km 41+500. Sementara, Komeng dan Gerald tetap di Telkomselindo.

Namun, pengintaian tak membuahkan hasil. Hingga pukul 18.00, tak ada yang mengambil karung uang tersebut. Togar dan Titus serta Gusmanto dan Binarwan diminta mengamankan kembali karung itu. Di kantor Telkomselindo Komeng dan Gerald juga kehilangan jejak, karena HP Basuki dimatikan.

Toni dan Tamara semakin gelisah. Semalam mereka tak bisa tidur. Beberapa kali Toni berusaha mengontak HP Basuki, juga tak berhasil. Pukul 21.30 tiba-tiba HP Toni berdering. Toni segera mengangkatnya. Kali ini nomor yang tertera berkode wilayah Bogor.

“Halo,” sapanya. 

“Hei, Toni kurang ajar kamu ya. Kamu menempatkan mata-mata. Saya beri kesempatan sekali lagi. Kalau kau ulangi lagi, kita sama-sama rugi. Aku enggak dapat uang, nyawa anakmu juga melayang. Besok kita bicara lagi!” ancam penculik yang langsung menutup hubungan telepon. 

Toni segera menyampaikan perkembangan terakhir pada Heriyanu.

 

Pakai sistem pemantau

Pukul 22.00 tim Heriyanu berkumpul kembali di kantor. Heriyanu menyampaikan informasi yang didengarnya dari Toni. Diskusi pun berlangsung seru mengenai alternatif cara yang dapat ditempuh. Dari ide-ide yang disampaikan itu, ide Komeng, rupanya lumayan menarik. 

Komeng mengusulkan, di bagian dalam tempat uang tebusan diberi alat pemantau (tracking system) yang terhubung dengan GPS. Alat berukuran kecil itu menggunakan baterai arloji sebagai sumber listriknya. Komunikasi dari sistem pemantau dengan tim pemantau menggunakan jaringan GSM, menggunakan kartu SIM, mirip yang dipakai pada ponsel. Dari HP khusus yang akan dipegang Heriyanu akan diketahui posisi koordinat geografis penculik sesuai format laporan GPS (lintang, bujur, dan ketinggian). Toni pun menyetujui cara ini.

Pagi harinya Komeng dan Gerald sudah tiba di kantor PT Global Perdana Sejahtera, penyelenggara jasa pemantauan dan penjual sistem pemantau. Mereka berhasil mendapatkan alat tersebut dan bantuan pemantauan dari pusat kontrol perusahaan itu. Alat segera dipasang di bagian dalam karung plastik.

Sementara, Heriyanu berada di rumah Toni sejak pagi. Togar dan Titus diminta stand by di rest area tol Cikampek arah Cikampek, sementara Gusmanto dan Binarwan siap di Cibubur yang memudahkan mereka masuk ke tol Jagorawi, ke arah Jakarta maupun Bogor.

Hari itu, upaya Toni menghubungi HP Basuki tidak berhasil, yang membuatnya dan Tamara sangat tertekan. Hari berikutnya juga demikian. Namun, pada esok dini harinya, HP Toni berdering. Kali ini yang menghubungi berada di wilayah dengan kode area Cilegon.

“Toni, saya ingatkan, kali ini jangan pakai mata-mata. Anakmu masih bersama saya. Taruh uang tebusan di km 64+900 tol Jakarta-Merak ke arah Jakarta dan arah Merak pada pukul 10.00. Jelas?”

“Saya paham. Apakah saya bisa bicara dengan anak saya?”

“Oh, dia sedang tidur. Semalam dia makan di KFC Cilegon. Jadi, anakmu saya urus baik-baik.” 

Telepon segera terputus. Pukul 05.00 Toni menyampaikan kabar terbaru ini kepada Heriyanu, yang segera meneruskannya ke timnya sekaligus membagi tugas. Togar dan Titus diminta siap di rest area km 69 tol Tomang-Merak arah Merak, sementara Gusmanto dan Binarwan stand by di km 62 arah Jakarta.

Tepat pukul 10.00 Toni, Heriyanu, dan Jayadi sudah berada di km 64+900. Karung pertama diletakkan Jayadi di sisi jalan tol arah Merak. Dengan menyeberang jalan tol, Jayadi meletakkan karung kedua di sisi jalan tol seberangnya. HP Heriyanu menunjukkan alat pemantau berfungsi baik. Mereka segera meninggalkan tempat untuk bergabung dengan Togar dan Titus.

Setelah meninggalkan tempat sejauh 700 m, Toni melihat mobil yang sama persis dengan mobilnya bergerak menuju Jakarta.

Namun, mobil tersebut menggunakan nomor polisi Bandung. Tak lebih dari empat menit kemudian, Heriyanu melihat alat pemantau bergerak menuju ke arah Jakarta. Pasti, penculik telah mengambil uang tebusan. Heriyanu segera mengontak Gusmanto dan Binarwan untuk membuntuti mobil penculik dan menginformasikan pergerakannya. Togar dan Titus juga diperintahkan mengejar penculik. Heriyanu melakukan hal yang sama bersama Toni dan Jayadi.

Tak lama kemudian, Heriyanu menerima informasi dari Gusmanto bahwa penculik keluar dari jalan tol di gerbang tol Ciujung. Penculik masuk jalan raya ke arah Balaraja. Di sebuah lahan kosong, tiba-tiba mobil Toni yang dikuasai penculik berhenti. Namun, Binarwan tetap mengendari mobilnya. Dari dalam mobil Gusmanto melihat dua anak diturunkan, lalu mobil penculik melaju kembali. Kedua anak itu ia yakini sebagai Sekar dan Bayu.

Ia segera melaporkan hal itu kepada Heriyanu dan meminta Titus segera mendekat hingga mereka bisa mengapit mobil penculik. Binarwan berusaha mengendarai mobilnya agar tetap berada di depan mobil penculik.

Tak lama kemudian, posisi dua mobil tim pemburu penculik itu telah mengapit mobil penculik. Ketika jalan agak lengang Binarwan mengendarai mobil agak kencang dan mengerem mendadak. Rupanya penculik tidak mampu mengendalikan mobil dan menabrak mobil Binarwan. Titus pun segera menabrakkan moncong mobilnya di bumper belakang mobil penculik.

Binarwan dan Gusmanto segera keluar mobil. Penculik tak menyadari bahwa keduanya sedang memburu mereka. Mereka juga keluar dari mobil. Dengan muka meradang penculik yang mengemudikan mobil memaki-maki Binarwan. Sementara, dua penculik lainnya bergerak ke belakang menuju mobil Titus.

Ketika saatnya tepat, Gusmanto segera berteriak, “Action!”. Mereka berempat segera menangkap si penculik. 

Gusmanto dan Binarwan berhasil membekuk penculik yang mengemudikan mobil, Titus berhasil membuat penculik kedua bertekuk lutut, namun Togar tak berhasil memborgol penculik ketiga yang lari ke arah belakang mobil Titus. Beruntung tak jauh dari tempat itu Heriyanu sudah muncul. Melihat Togar mengejar penculik, Jayadi segera menghentikan mobil dan Heriyanu turun untuk membantu Togar. Penculik ketiga pun ditangkap.

Dengan tangan dan kaki diborgol, ketiga penculik dibawa ke Polsek Cilandak. Berdasarkan informasi ketiganya, polisi juga berhasil membekuk sang pimpinan penculik. la adalah Bejo, mantan anggota polisi yang dipecat karena indisipliner. Tiga anggota komplotannya; Tompel, Bodong, dan Jalu adalah residivis yang sudah sering masuk-keluar penjara karena kasus pencopetan dan penjambretan.

Motivasi tindak kriminal yang mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan uang. Sebelum beraksi, Bejo telah mengamati selama seminggu kebiasaan harian sasarannya. Selama masa penculikan, mereka selalu berpindah tempat dan tidak dalam tim yang lengkap. Mereka juga sempat mengganti nomor polisi mobil Toni dengan nomor polisi palsu. Mereka bermalam di penginapan murah dengan menggunakan uang pinjaman.

Selama itu pula, mereka memaksa Sekar dan Bayu untuk mengaku sebagai keluarga jika ada yang menanyakan hubungan mereka. Mereka juga selalu mengancam akan membunuh Sekar dan Bayu kalau sampai mereka melawan atau berteriak. (Gde Yudhana) 

 

Baca Juga: Wajah Ganda sang Rockefeller

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517189/alat-pemantau-di-uang-tebusan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343394000) } } [8]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448352" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/wajah-ganda-sang-rockefeller_max-20220831010901.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(101) "Hopkins mendapatkan penumpang yang tidak biasa: Rockefeller gadungan yang juga seorang penculik anak." ["section"]=> object(stdClass)#144 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/wajah-ganda-sang-rockefeller_max-20220831010901.jpg" ["title"]=> string(28) "Wajah Ganda sang Rockefeller" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:09:29" ["content"]=> string(18507) "

Intisari Plus - Juli 2008, Hopkins mendapatkan penumpang yang tidak biasa: Rockefeller. Alih-alih orang terkenal, penumpangnya itu adalah Rockefeller gadungan yang juga seorang penculik anak.

-------------------

27 Juli 2008. Teriknya cuaca panas kota Boston teredam juga oleh semilir angin dan gemerisik daun. Pas bagi Daryll Hopkins yang sedang menunggu penumpang. Bukan sembarang pelanggan tapi seorang Rockefeller, yang siap membayar AS$ 3.000 untuk kerja sehari itu saja. Siapa pun yang menyandang nama itu pasti punya pundi-pundi teballah! Rockefeller dan anak gadis kecilnya (baru tujuh tahun) minta diantarkan ke Newport di Rhode Island. “Ada kencan dengan putri seorang senator,” katanya. Kemungkinan besar akan ada seorang teman yang bakal ngotot mau ikut, padahal Rockefeller enggan mengajak. Bisakah Hopkins nanti membantu? Untuk AS$ 3.000 sehari, apa pun dia siap.

Pas lewat tengah hari, di kaca spion tampak Rockefeller datang menghampiri. Di gendongannya ada gadis kecil. Benar saja ... ada laki-laki yang juga bergegas di sebelah mereka! Dalam sekejap tahu-tahu pintu mobil dibuka, anaknya didudukkan di jok, lalu menyusul si ayah, dan pintu dibanting. “Go, go, go!” kata Rockefeller setengah berteriak.

Hopkins langsung menginjak pedal gas. Mobil mendecit. Dari kaca spion terlihat si teman berlari sekencang-kencangnya sambil bergayut di pegangan pintu sampai tak mungkin lagi ia bertahan, terbanting jatuh sambil berlutut, ditinggalkan taksi Hopkins yang melaju kencang.

Siapa nyana kalau yang terjatuh itu ternyata bukan teman. Baru kemudian Hopkins mengetahui, kalau si pria itu petugas Dinas Sosial, yang begitu terjatuh lalu menelepon nomor darurat 911. Hopkins celingukan sambil menggaruk kepala yang tak gatal, waktu polisi memberi tahu, dia telah dimanfaatkan dalam sebuah aksi penculikan. Rockefeller menculik anaknya sendiri, namanya Reigh, alias Snooks, dari mantan istrinya.

 

Rockefeller juga “pelaut”

Bagaimana ceritanya seorang bapak sampai menculik anaknya sendiri, polisi juga tak punya bayangan. Sampai kemudian muncul seorang perempuan bernama Sandra Boss yang ternyata mantan Nyonya Rockefeller.

“Kami belum lama bercerai. Dua belas tahun menikah, ternyata saya tidak tahu apa-apa tentang suami saya. Karena dia ternyata bukan Rockefeller, Pak. Hidupnya penuh kebohongan.”

Sandra Boss adalah eksekutif puncak perusahaan konsultan Mckinsey & Co, sehingga kredibilitasnya dapat diandalkan. Boss sebenarnya sudah bergerak sejak awal dengan menyewa jasa Frank Rudewicz, detektif swasta. Sayangnya, data latar belakang yang didapat nyaris nihil. “Ibarat laki-laki 48 tahun yang lahir pada tahun 1993,” karena catatan tentang Rockerfeller ya cuma sampai segitu.

Empat hari berlalu, Snooks belum juga ditemukan. Superintendent Kepolisian Boston Sersan Thomas Lee makin kuatir. Suka tak suka Sandra Boss tak ragu memohon lewat rekaman video, “Kumohon, please, kembalikan Snooks. Mari kita cari solusi yang lebih baik untuk mengatasi ketidakcocokan kita. Dan sayangku Reigh, Mama sayang kamu dan merindukan kamu.”

Tidak ada respons. Permohonan penuh perasaan yang ditayangkan di televisi itu ibarat gema di ruang kosong. Sekosong hati Sandra Boss. Otaknya berpikir keras, hatinya makin was-was.

Untunglah menginjak hari kelima, ada respons masuk dari orang yang membaca poster “Wanted” yang disebarkan polisi. Pengusaha real estate Julie Gochar mengaku pernah melihat foto orang itu di internet. Tapi namanya bukan Clark Rockefeller melainkan Charles Smith yang lebih suka dipanggil Chip.

Chip Smith adalah nakhoda kapal. Ia mengontak Gochar lewat e-mail hampir setahun sebelum peristiwa penculikan. Ia berniat akan menetap di Baltimore bersama anak perempuannya, bernama Muffy. Ke mana ibunya? “Oh, ibunya saya sewa [surrogate - Red.) di Swedia,” tuturnya kepada Gochar. 

Baru sekitar April, Gochar punya kesempatan tatap muka dengan klien istimewa itu. Anehnya ia tak tampak seperti pelaut profesional. Kacamata hitamnya menggunakan frame dari plastik hitam. Topinya ditarik dalam-dalam sampai ke bawah, rambutnya disemir merah terang dan ... wajahnya amat pucat. Pelaut kok pucat?

Gochar menunjukkan kepada polisi rumah mobil yang dijualnya kepada Chip. Rumah itu dibayar dengan cek kontan sebesar AS$ 450.000.

Sepanjang malam polisi memata-matai rumah itu sampai saat Chip muncul keesokan harinya. Benar, ia Clark Rockerfeller. Tapi bagaimana caranya memancing dia keluar dari rumah? Kebetulan Gochar tahu Rockefeller mempunyai kapal di marina. Ke sanalah mereka, menemui manajer marina, Jim Ruscoe. Dengan senang hati Ruscoe menelepon orang yang sepengetahuannya bernama Chip Smith itu.

“Perahu Anda mau tenggelam,” katanya. Kalau tidak segera datang, perahu itu tak bisa diselamatkan lagi.” Benar saja, Rockefeller kontan tergesa-gesa keluar dari rumahnya. Langsung dikepung dan ditangkap. Anaknya segera diamankan.

 

Anak dari Jerman

Chip Smith diringkus dan dijebloskan ke penjara Baltimore, walaupun bersikeras namanya Clark Rockefeller. la diajukan ke pengadilan Boston dengan tuduhan penculikan anak dan dua kali tindak kekerasan. Lucunya, si penuntut tetap menyebutnya “Tak Dikenal”.

Untunglah hanya beberapa hari kemudian muncul titik terang berkat sebuah gelas anggur yang mengandung sidik jari Rockefeller. Gelas itu ditemukan di apartemen seorang temannya. Begitu dicocokkan dengan database sidik jari yang dimiliki FBI, terkuaklah identitas “The Mystery Man” yang membuat geger itu.

Clark Rockefeller sejatinya seorang warga negara Jerman bernama Christian Karl Gerhartstreiter, lahir tahun 1961 di Jerman Barat. Sampai di sini, polisi boleh bernapas lega. Tapi bagaimana seorang Gerhartstreiter beralih rupa jadi seorang Rockefeller?

Semua berawal di sebuah kota kecil, Siegsdorf namanya. Di sinilah tempat kelahiran Gerhartstreiter. Menurut Nenek Luise Huber (89) pemilik sebuah warung kecil, ayah Gerhartstreiter pelukis, ibunya penjahit. Di kota kecil yang tenang, nyaman, dan damai ini Christian terus gelisah.

Dalam kenangan Nenek Huber, Christian kecil gampang naik darah. Penyebabnya tak lain karena anak itu sejak kecil sudah punya pembawaan sombong. Dalam bahasa Jerman, Nenek Huber nyerocos, “Di dalam tokoku Christian bisa demikian saja memaki temannya ‘Minggir, anjing!’ Maka tak ada yang keberatan waktu ia minta izin merantau saat usia delapan belas tahun. Ia berniat mencari jati diri di Amerika. Baginya, tak ada yang patut diingat-ingat dari kota kecil ndeso itu.

Si pemuda kampung menetap di Connecticut, tahun 1978. Ia mendaftarkan diri di SMA dan tinggal di keluarga Ed Savio. Semula mereka percaya saja bahwa dia anak seorang industrialis yang kaya raya. Kadang kala bicaranya menyiratkan ia keturunan bangsawan Eropa. Bahwa tinggal di keluarga Savio sepertinya terpaksa, meskipun merendahkan derajat. Dijajalnya macam-macam mode rambut, termasuk style berpakaian, lalu mengamati bagaimana efeknya. 

Christian Karl Gerhartstreiter hanya tujuh bulan tinggal bersama keluarga Savio. Bukan ia yang tak tahan, tapi seluruh keluarga induk semangnya yang tak tahan pada sifat pongahnya. Angkat kaki dari rumah itu, ia lalu mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di University of Wisconsin.

Entah memang tak serius mau belajar, atau sifatnya yang sulit, hanya beberapa bulan Christian betah jadi mahasiswa. Setelah itu ia menghilang tanpa bekas ke dunia yang luas.

Sampai pada tahun 1983, seorang pemuda yang menyebut diri Christopher Chichester, Baronet ke-13 (gelar kebangsawanan Inggris sedikit di bawah Baron - Red.), mendarat di San Marino, California. Di daerah pinggiran kota yang mahal di Pasadena ini tak sulit tebar pesonanya menggaet banyak hati. Dalam waktu tak lama “CC” sudah populer di Rotary Club dan lingkungan gereja. Christian Karl Gerhartstreiter telah berhasil memoles penampilan dan membuang perilaku kasarnya. Dia sopan, pembawaannya bermartabat, bahkan cara berpakaiannya pun sedap dipandang. Semua itu dikemas dengan pembawaan yang ramah disertai humor-humor cerdas.

Mulanya cukup sukses ia memperluas jaringan (sekalian mencari korban). Sasarannya, anak-anak perempuan keluarga kaya di daerah itu, termasuk yang masih bau kencur. Secepat ia menaklukkan hati masyarakat San Marino, secepat itu pula ia kehilangan pesonanya gara-gara sering mengajak kencan anak-anak cewek di bawah umur. Lama-lama orang agak ngeri dan melihatnya sebagai orang yang aneh. Mungkin menyadari kegagalannya, “CC” pun ambles ditelan bumi lagi.

 

Ayah posesif

Tak berhasil di San Marino, jejak Gerhartstreiter baru terlacak lagi lebih dari satu dekade kemudian di New York sebagai Clark Rockefeller. Entah dari mana ia memperoleh modal untuk hidup dengan gaya industrialis bertaraf Rockefeller. Mungkin selama sepuluh tahun ia berhasil juga di sana-sini mendapatkan ikan di jaring yang ditebarnya.

Di restoran ia selalu disambut ramah oleh pramusaji. Bahkan artis William Quigley yang pernah diajak ke rumahnya amat terkesan melihat di rumahnya tergantung sebuah lukisan Rothko dari tahun 1969-1970. Sebagai pelukis ia tahu benar mengapresiasi hasil karya Mark Rothko, pelukis Amerika yang terkenal dengan bentuk-bentuk kotak dan segiempatnya itu. Mahal pastinya! Rockefeller dikenal royal. Ia sering menjamu teman-teman di klub-klub eksklusif. Acara makan malam tak pernah lepas dari sajian champagne. Quigley mengenang:

“Ia juga tidak suka pamer. Malah tak suka jadi perhatian. Kalau berjalan di jalanan, selalu menarik topinya dalam-dalam.” 

Gerhartstreiter agaknya sedang menerapkan metode baru untuk menjaring. Metode yang lebih afdal untuk menjaring ikan besar…

Mangsa itu ternyata berupa Sandra Boss. Perempuan cerdas dengan karier sukses itu berhasil ditaklukkannya. Mereka menikah dan Mei 2001, lahir Reigh. la memutuskan menjadi “Mr. Mum”.

Sandra-lah yang tiap hari berangkat pulang ke Boston untuk bekerja. Untuk membantu mengasuh Reigh atau Snooks, dipekerjakan baby sitter, bernama Emily Miller, yang baru 16 tahun. Sebagai ayah, Rockefeller sangat lembut. Dia suka mengantar Snooks jalan-jalan ke museum, galeri seni. Juga sudah mengajarnya membaca saat Snooks baru dua tahun. 

“Mr. Rockefeller suka kembaran dengan anaknya: celana khaki, kaus polo warna biru dan sepatu kets cokelat dan Snooks mengenakan sepatu sandal cokelat dan celana khaki ... he he he. Aneh saja,” komentar Emily Miller.

la juga posesif terhadap anaknya. 

Tahun 2006, keluarga Rockefeller pindah ke Boston. Mereka baru saja membeli rumah seharga AS$ 3 juta di daerah termahal di AS: Beacon Hill! Snooks dimasukkan juga ke sekolah swasta unggulan. Cita-cita Christian si pemuda kampung dari Jerman untuk hidup bergaya tercapai sudah. Sehari-hari kerjanya menikmati hidup bersama anak semata wayangnya: jalan-jalan di taman, makan malam di Algonquin Club yang eksklusif. Sayangnya, kehidupan yang sudah serba sempurna bagi pihak suami, ternyata siksa mahaberat bagi sang istri. Terbukti tak berapa lama sesudahnya, Sandra mengajukan permohonan cerai.

Rockefeller amat terpukul. Hakim pengadilan keluarga di Boston memutuskan Sandra boleh pindah ke London dengan membawa Snooks; dan sebagai ayahnya ia hanya diberi jatah bertemu tiga kali setahun, di bawah pengawasan. Waktu itulah dunia serasa runtuh.

 

Tak menyumbang sepeser pun

Kasus seorang “Rockefeller” yang menculik anaknya sendiri menjadi makanan empuk media massa. Setelah dipindah paksa dari rumah mewahnya ke sel berukuran 4x4 m, Gerhartstreiter diwawancarai oleh wartawan stasiun TV NBC. Saat ditanya soal identitas masa kecilnya di Jerman, ia mengaku tak ingat. Mengenai identitas Rockefeller, menurut dia, bukankah yang paling diuntungkan justru mantan istrinya. 

Karena nama itu mendongkrak lingkaran pergaulan istrinya. Bukankah ia perempuan termuda yang pernah jadi direktur McKinsey & Co.? Rockefeller, atau Gerhartstreiter, mengaku tidak menyesal telah menculik anaknya. “Enam hari yang membahagiakan, setelah delapan bulan perpisahan yang amat memilukan.”

Di pengadilan, ia menyatakan diri tak bersalah terhadap semua dakwaan jaksa: dua tindak kekerasan terhadap seorang petugas dinas sosial, satu kali memberikan identitas palsu kepada polisi. Sedangkan terhadap penculikan ia juga tidak bersalah dengan argumen itu dilakukan dalam kondisi kejiwaan yang tidak normal.

Tapi menurut jaksa penuntut David Deakin, nyatalah persiapan dikerjakan selama berbulan-bulan. Pengusaha real estate mengaku dihubungi soal rumah bulan November 2007, bahkan sebelum Sandra pindah ke London. Lalu ada lagi pengakuan pedagang batu mulia Ken Murphy yang mengatakan Gerhartstreiter membeli koin emas seharga AS$ 465.000. Lalu belakangan membeli lagi senilai AS$ 300.000. Semua itu bukankah agar penggunaan uangnya jangan sampai terlacak?

Yang paling menarik perhatian tentu saja kesaksian dari saksi utama. Menurut Sandra Boss, dulu laki-laki yang mendekati dan merayu dia adalah pria berbudaya, halus budi bahasanya, sangat cerdas, sopan, bisa diajak ngobrol mengenai apa saja. Belakangan ia berubah menjadi pria sok kuasa yang pemarah. Di awal pernikahan, bulan madu belum hilang manisnya, Rockefeller sudah mengeluh gaji istrinya terlalu kecil. Beberapa tahun kemudian, dengan gaji lewat sedikit dari $AS 1 juta, tetap saja si suami belum puas. Begitu Reigh lahir, didorongnya Sandra untuk cepat masuk kerja lagi. Dan ia tidak mau mempekerjakan pengasuh.

Anehnya, selama dua belas tahun membina bahtera rumah tangga bersama, sang Rockefeller tak pernah sesen pun turut mengisi kas keluarga. Malah akhirnya mereka bersepakat, Boss akan diizinkan membawa Reigh untuk pindah ke London asalkan ia memberinya satu juta dolar. Jadi si ayah rela menukar anaknya dengan uang AS$ 1 juta!

Giliran tim pembela beraksi, Sandra didesak untuk mengakui bahwa suaminya itu berperilaku di luar kebiasaan (yaitu menculik Snooks) akibat tertimpa kesedihan luar biasa. Kurang waras mendadak karena merasa amat kehilangan. 

Namun betapa pun yang memutuskan tentu pada juri. Setelah enam hari pemeriksaan berjalan, mereka memutuskan: tertuduh bersalah atas tuduhan penculikan, tetapi tidak bersalah untuk dakwaan yang lain. Hukumannya empat sampai lima tahun penjara.

Barangkali Gerhartstreiter memang amat sayang pada putrinya dan amat menderita dipisahkan dari Snooks. Tetapi rekam jejaknya sebagai penipu ulung lebih berteriak lantang. Tragisnya, menurut saksi ahli, Gerhartstreiter telah termakan oleh kebohongannya sendiri. 

Setelah bertahun-tahun hidup sebagai Rockerfeller, ia benar-benar “telanjur” percaya, bahwa ia memang seorang Rockefeller. Maka sulit baginya memahami di mana letak kesalahannya? Di awal tahun 2010 ia mengajukan permohonan untuk memperoleh pengadilan ulang; ditolak. Juga permohonannya untuk mendapatkan keringanan hukuman tidak dikabulkan. (Endah Imawati) 




" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448352/wajah-ganda-sang-rockefeller" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661951369000) } } [9]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400653" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/dikenali-dari-suaranya_will-pate-20220803020733.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Sebuah kasus penculikan anak terjadi di Jepang sulit diungkap. Petunjuknya, sebelum hilang anak itu sempat bercakap-cakap dengan orang asing di taman." ["section"]=> object(stdClass)#148 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/dikenali-dari-suaranya_will-pate-20220803020733.jpg" ["title"]=> string(22) "Dikenali dari Suaranya" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:08:03" ["content"]=> string(23074) "

Intisari Plus - Sebuah kasus penculikan anak terjadi di Jepang sulit diungkap. Petunjuknya, sebelum hilang anak itu sempat bercakap-cakap dengan orang asing di taman.

-------------------

Sore itu, 31 Maret 1963, angin bertiup pelan. Semilirnya menyejukkan badan. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun, Murakoshi Yoshinobu, tampak asyik bermain di sebuah taman yang terletak tak jauh dari rumahnya, di Taito Ward, Tokyo, Jepang. Keasyikan seorang bocah, yang tak menyadari, nun jauh di sana, sepasang mata mengawasi, menanti kesempatan untuk merenggut keceriaan masa kecilnya.

Murakoshi sudah biasa bermain di taman yang memang disediakan untuk warga sekitar. Sebuah taman kecil yang berhimpitan dengan blok-blok rumah warga, toko-toko, dan gedung-gedung beton. Saking seringnya bermain di taman itu, apalagi biasanya ditemani anak-anak tetangga, membuat orang tua Murakoshi merasa aman, sehingga menganggap tak perlu lagi mengawasi anaknya.

Makanya, sang Ayah, Yoshinobu, kontraktor berusia 34 tahun, tak pernah tahu kalau saat itu, anaknya tiba-tiba dihampiri orang tak dikenal. Yoshinobu juga tak tahu, orang asing itu bahkan sempat mengajak Murakoshi bercakap-cakap, bercanda sebentar, berjalan-jalan di sekitar taman, sebelum akhirnya raib entah ke mana. Bujukan macam apa yang dikeluarkan si Orang Asing, sehingga Murakoshi merurut saja diajak pergi menjauhi tempat tinggalnya. 

Orang tua Murakoshi baru sadar, sesuatu yang kurang beres terjadi pada anaknya, ketika sampai menjelang pukul 18.00, putra pertama mereka itu tak kunjung pulang. Padahal biasanya, Murakoshi selalu pulang jauh sebelum pukul 18.00 tiba, dengan perut lapar tentunya. Dibantu para kerabat dan tetangga, Yoshinobu mencoba menemukan Murakoshi dengan menyisir daerah sekitar taman. Namun, hasilnya nihil.

Bingung dan khawatir, pada pukul 19.00, mereka akhirnya mendatangi kantor polisi terdekat, persisnya kantor polisi Higashi Iriya, Tokyo. Mereka melaporkan hilangnya Murakoshi. Begitu sarat emosi, istri Yoshinobu, Toyoko, ibu muda yang baru berusia 28 tahun, bercerita kepada polisi yang mencatat laporannya. "Taman tempat dia bermain itu letaknya di seberang jalan, Pak, persis di depan rumah kami. Selama ini saya tak pernah khawatir ia bermain di sana. Karena memang tak pernah ada kejadian apa-apa," Toyoko meradang.

Polisi terpaksa harus menenangkan Toyoko. Yah, untuk sementara, memang hanya itu yang bisa mereka lakukan. Karena mereka belum bisa memastikan, kasus apa yang sebenarnya tengah mereka hadapi. Apakah pembunuhan, penculikan, atau si Anak sekadar mampir ke rumah temannya? "Mudah-mudahan bukan penculikan," timpal seorang petugas jaga kepada rekan detektifnya.

Semoga bukan penculikan. Sebab, dari 171 kasus pembekapan bocah bermotif uang tebusan yang dilaporkan di Jepang, pada tahun 1945 - 1993, 31 korbannya tewas dibunuh penculiknya. Statistik yang tentu saja membuat kecut hati para orang tua!

 

Titik terang Kikuo

Untuk memperjelas persoalan, polisi segera bergerak cepat. Setelah menanyai sejumlah saksi mata, yaitu para tetangga dan teman-teman Murakoshi, polisi mendapat informasi, si Anak Hilang itu terakhir kali terlihat bermain dengan Kikuo, temannya yang berusia lebih tua. 

Tanpa membuang waktu, sejumlah detektif mengejar keterangan Kikuo di rumahnya. Jawaban Kikuo sedikit memberi titik terang. 

"Memang benar. Tadinya kami bermain bersama. Tapi kemudian, ketika kami sedang mengisi pistol air Murakoshi, datang seorang laki-laki. Orang itu mengajak ngobrol Murakoshi. Karena sudah ada yang menemani, saya lalu meninggalkan mereka berdua," jawab Kikuo lancar.

"Kamu sempat mendengar pembicaraan mereka?" tanya seorang detektif. 

"Pria itu menegur duluan. Mereka ngobrol soal pistol-pistolan yang dipegang Murakoshi.”

“Hanya itu?" 

"Hanya itu yang saya tahu, karena saya langsung pergi," Kikuo mengangguk.

Polisi juga menanyai ciri-ciri pria asing yang membawa pergi Murakoshi. Menurut Kikuo, si Pria masih muda, tingginya sekitar 160 cm dan memakai jas parasut warna abu-abu. Hanya sampai di situ keterangan yang dapat dikorek polisi dari anak laki-laki yang tadinya diharapkan menjadi saksi kunci. 

Belakangan, ternyata masih ada lagi satu ciri fisik penting si Pria Asing yang luput dari perhatian Kikuo. Lelaki pembawa lari Murakoshi itu ternyata pincang.

Polisi juga mulai mencari motif, karena tampaknya kasus ini mengarah pada penculikan. Seorang detektif datang ke rumah Yoshinobu, menanyakan apakah pengusaha muda itu punya masalah di kantor. 

Baik dengan sesama teman kerja maupun rekan bisnis di luar perusahaan. Namun, sejauh ini belum ada nama yang dianggap pantas masuk daftar orang-orang yang dicurigai.

Agar pencarian berjalan efektif, polisi menyebarkan ciri-ciri Murakoshi, terutama saat terakhir kali meninggalkan rumah. Tingginya sekitar satu meter, dengan rambut dipotong pendek layaknya anak-anak kecil di Jepang saat itu. Di saat-saat terakhirnya, ia memakai sweater hitam, kaus oblong, dan celana panjang kuning setrip hitam abu-abu, kaus kaki biru tua, dan sepatu hitam.

Berdasarkan data, fakta, dan laporan yang masuk, dugaan polisi masih belum berubah: kasus hilangnya Murakoshi kemungkinan besar penculikan. Namun, polisi belum berani menyimpulkan secara resmi. Mereka terus menunggu kontak dari penculiknya.

 

Lolos jebakan polisi

Setelah beberapa hari tak ditemukan, kasus Murakoshi tak menjadi milik polisi dan warga sekitar. Sejumlah media cetak terbitan Tokyo ikut mengekspos kisah hilangnya bocah yang dikenal selalu ceria itu. Sejak pemberitaan gencar itu, seluruh Tokyo bak larut dalam lautan duka mendalam yang menimpa keluarga besar Yoshinobu.

Tanggal 3 April 1963, Maruyama Tasaku, ketua Asosiasi Pengacara Jepang, bahkan secara resmi menyampaikan permintaan kepada penculik, agar tak melanjutkan aksi kejinya. Seorang pejabat polisi, saat ditanya wartawan, juga menjanjikan "perlakuan khusus", jika penculik Murakoshi bersedia menyerahkan diri. Selain mereka berdua, masih banyak lagi "orang penting" yang ikut berbicara di media, mengimbau pembebasan Murakoshi. 

Esok harinya, poster Murakoshi mulai dicetak secara besar-besaran dan disebarkan ke seantero kota. Pihak keluarga berharap, gencarnya pemberitaan dan banyaknya poster yang disebarkan membuat hati si Penculik (jika memang benar Murakoshi diculik) luluh, sehingga tak melanjutkan niat jahatnya. Kadang, cara seperti ini lebih efektif ketimbang memburu langsung si penculik.

Contoh keberhasilannya sudah ada. Beberapa bulan sebelumnya, pemberitaan meluas di media massa seperti ini pernah terjadi pada kasus penculikan terhadap seorang anak perempuan. Bertubi-tubinya "hantaman" media massa, tampaknya membuat si Penculik stres, sehingga memutuskan "menyerah". la meninggalkan korbannya tak jauh dari sebuah stasiun rel bawah tanah Shinjuku.

Begitu juga dengan kasus pembekapan dengan tebusan Kim Min Soo, seorang bocah asal Korea Selatan di Chiba. Setelah diberitakan secara luas, kasus penculikan itu akhirnya berujung damai. Si Bocah pun kembali ke pangkuan orang tuanya dengan selamat, setelah sempat dibekap selama dua bulan. 

Apakah taktik serupa mempan untuk menekuk penculik Murakoshi? Tentu saja waktu yang akan membuktikan. Namun, setidaknya, ramainya pembicaraan tentang nasib bocah yang tengah menjadi "anak kesayangan" Tokyo itu membuat penculiknya tahu alamat dan nomor telepon keluarga korban. Alhasil, tanggal 6 April, telepon di rumah orang tua Murakoshi yang telah lama disadap polisi berdering.

Untuk pertama kalinya sejak dilaporkan raib, penculik Murakoshi menelepon, dan seperti diduga sebelumnya, meminta uang tebusan. Buat polisi, dering telepon itu sekaligus memastikan, mereka memang benar-benar berhadapan dengan penculik bocah. Salah satu pelaku tindak kriminal yang paling mereka benci. Orang dewasa yang memanfaatkan ketidakberdayaan bocah-bocah tak berdosa. 

“Anda membawa uangnya, 'kan?" bunyi suara di seberang sana. 

"Tentu, tentu, saya akan bawa uangnya," Yoshinobu agak gugup. 

"Tapi ingat, tidak ada orang lain. Anda harus sendirian." 

"Tidak masalah. Saya akan datang sendirian. Di mana harus diserahkan?" 

"Apa?" 

"Uangnya. Di mana harus saya serahkan?" ulang Yoshinobu. 

"Datanglah ke Jin. Showa Dori. Di ujung jalan, Anda akan melihat Sunagawa Motor Company."

"Maksud Anda, Shinagawa Motor?" 

"Ya, betul. Shinagawa. Ada lima truk yang diparkir di sana. Letakkan uangnya di truk ketiga dari depan. Sekali lagi saya ingatkan, sebaiknya Anda datang sendirian. Kalau tidak ...," si penculik mengancam. 

"Bagaimana kalau saya ditemani seorang anggota keluarga?" 

"Mmmm." 

"Dia akan jadi sopir saya. Bagaimana?" 

"Mmmmm." 

"Boleh 'kan?" 

"Okelah. Sampai nanti."

Menyadari pentingnya "transaksi" yang akan dilakukan, polisi langsung melakukan persiapan. Mereka menempatkan lusinan detektif berbaju preman di sekitar titik pertemuan. Sayangnya, meskipun rencana penyergapan yang mempertaruhkan nyawa bocah tak berdosa itu dipersiapkan dengan matang, hasilnya ternyata mengecewakan. Keteledoran kecil yang dilakukan kerabat sekaligus sopir Yosbinobu berdampak sangat besar. Pelaku penculikan lolos begitu saja dari jebakan polisi.

Sopir Yoshinobu salah memahami kode lambaian tangan yang dilakukan seorang perwira polisi. Tanda itu dianggapnya sebagai isyarat agar mengambil rute terdekat dan segera menyerahkan uang rebusan yang telah disiapkan, sesuai petunjuk penculik. Akibanya, polisi di lapangan tak lagi terkoordinasi, mereka bahkan baru sampai ke titik penyerahan uang tiga menit setelah tebusan ditaruh. Polisi mencoba menyisir lokasi kejadian tapi terlambat, karena si Penculik dan uang tebusan ¥ 500.000 telah kabur entah ke mana.

Kegagalan tadi jelas berimplikasi besar. Si Penculik menjadi orang yang benar-benar "beruntung". Uang didapat, sandera tetap di tangan. Tak ada yang bisa memperkirakan, bagaimana nasib bocah itu kini. Murakoshi yang malang, dia bisa saja kembali, tapi bisa juga tak akan pernah terlihat lagi.

 

Gagal berulang tahun

Sejak gagalnya "transaksi" penyelamatan Murakoshi, makin banyak pihak yang mengkhawatirkan nasib anak tak berdosa itu. Logikanya, jika si Penculik sudah mendapatkan semua yang diminta, buat apa lagi menyimpan sandera? Bukankah keberadaan si Bocah justru menjadi beban yang sangat merepotkan? Hanya ada dua pilihan yang dimiliki si penculik, melepaskan sandera atau membunuhnya. Nah, kemungkinan kedua inilah yang ditakutkan warga kota.

Di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah, para kepala stasiun berinisiatif mengumandangkan himbauan agar si Penculik membebaskan Murakoshi. Himbauan yang disampaikan secara berkala itu menunjukkan keprihatinan mendalam masyarakat Tokyo atas raibnya Murakoshi. 

Berbagai tulisan tentang ibu kandung Murakoshi, Toyoko yang dicetak sejumlah media luas, terasa menyentuh. Dalam tulisan itu diceritakan, betapa Toyoko tak pernah bisa benar-benar tidur, sejak anaknya diculik.

"Saya berharap, Murakoshi dibebaskan sebelum ulang tahunnya yang kelima, 17 April nanti. Saya juga ingin membawanya ke festival anak, tanggal 5 Mei. Setiap tahun kami sekeluarga selalu ke sana," harap Toyoko, seperti dilansir sejumlah media cetak. 

Namun, permintaan Toyoko tampaknya hanya akan menjadi sekadar permintaan. Terbukti, sampai hari ulang tahunnya tiba, bahkan sampai festival anak selesai dilaksanakan, Murakoshi tak juga kembali ke rumah.

Di luar stasiun kereta api serta rumah keluarga, kerabat, dan tetangga, imbauan dan gerakan moral menuntut Murokashi di bebaskan pun makin sering terdengar. Berbagai LSM mendesak penculik agar tak menjadikan bocah tak berdosa sebagai tameng kejahatannya. Para politisi pun tak mau kalah, ikut bersuara. Total jenderal, tak kurang dari 700 ribu orang menjadi sukarelawan, sebagian besar bergerak secara tak resmi, membantu polisi mencari Murakoshi.

Namun, hari berlalu, bulan berganti, tahun pun bergulir, jejak si Penculik masih juga misterius. Untuk mengatasi kebuntuan, polisi bahkan memperbanyak dan menyebarkan rekaman percakapan telepon antara si Penculik dengan orang tua korban, ke stasiun-stasiun radio dan televisi. Rekaman itu menjadi bahan perbincangan menarik di media massa. 

Tujuan polisi, agar khalayak - berbekal kaset rekaman tadi - ikut memberi penilaian atau informasi yang langsung mengarah pada pelaku, mendapat sambutan luar biasa. Menurut para ahli bahasa, dialek si Penculik menunjukkan dia berasal dari Tohuku, sebuah daerah di utara Jepang. 

Dari rekaman suara itu terungkap pula, pelaku kerap menggunakan istilah-istilah yang berhubungan dengan dunia militer. Pelaku diperkirakan berusia sekitar 40-an tahun, bisa juga lebih.

Selain komentar, banyak juga telepon masuk ke kantor polisi, rata-rata menyatakan "sepertinya mengenal" orang yang suaranya mirip dengan suara penculik di kaset rekaman. Namun, setelah diselidiki lebih jauh, polisi belum atau tidak menemukan bukti-bukti keterlibatan orang-orang yang dilaporkan sebagai pemilik suara mirip penculik Murakoshi itu. 

Toh aparat penegak hukum tak pemah putus asa. Penyelidikan terus bergulir. Sampai akhirnya, tahun 1964, seiring peresmian kereta api cepat Shinkansen dan status Tokyo sebagai tuan rumah olimpiade, perhatian warga terhadap kasus Murakoshi mulai terpecah. Sepertinya, sulit buat polisi menemukan jalan keluar kasus ini. Bahkan hidup-mati Murakoshi pun tak diketahui.

Ajaibnya, justru ketika hampir semua melupakan tragedi yang menimpa anak kesayangan Yoshinobu, persisnya Juni 1965, dua tahun tiga bulan setelah kasus penculikan Murakoshi pertama kali dilaporkan, polisi mengumumkan keberhasilannya menemukan jejak tersangka penculikan. 

Hasil penyelidikan yang melibatkan 30 ribu polisi dan 13 ribu calon tersangka itu, menurut aparat penegak hukum, mulai mengerucut pada sebuah nama, Kohara Tamotsu.

Pria 32 tahun, yang sudah beberapa kali keluar-masuk penjara (termasuk tahun 1956, ketika dia ditahan karena pencurian, data yang dijadikan dasar penelusuran polisi) terakhir melakoni pekerjaan sebagai tukang servis jam tangan. 

Anak petani miskin yang memiliki 10 saudara itu, terserang penyakit tulang ketika duduk di kelas 5 SD, sehingga satu kakinya tak dapat berjalan normal. Umur 15, dia belajar teknik servis jam di Ishikawa, kota kecil tak jauh dari kampung halamannya.

Bosan tinggal di kampung, Kohara mengadu nasib di belantara Tokyo ketika menginjak usia 27 tahun. Dia mendapat pekerjaan sebagai tukang servis di sebuah toko jam, dengan gaji ¥ 24.000 per bulan. Gaji yang sebenarnya lumayan, tapi buat Kohara, uang sebesar itu tak sebanding dengan kebutuhan hidupnya di kota sebesar Tokyo.

Tak heran, dia meninggalkan banyak utang di mana-mana. Utang itu makin lama makin menumpuk, sehingga kadang harus dilunasinya dengan melakukan tindak kejahatan. Sebelum terlibat kasus penculikan Murakoshi, setidaknya Kohara telah lima kali ditangkap aparat kepolisian, dua kali di antaranya membuat penjahat kambuhan ini masuk bui.

Polisi yakin, Kohara yang berasal dari utara Jepang (dialeknya cocok dengan dialek penculik hasil rekaman polisi) adalah pelaku sejati penculikan Murakoshi. Untuk lebih meyakinkan, polisi Jepang mengirim dua sampel rekaman suara ke Amerika Serikat untuk diperbandingkan. 

Sampel pertama berisi rekaman suara Kohara paling akhir, sedangkan sampel kedua, berisi rekaman suara penculik saat meminta uang tebusan di telepon beberapa tahun lalu.

Hasilnya, pas bin cocok. Dua suara yang diperbandingkan disimpulkan berasal dari satu sumber. Namun, meski telah didukung oleh bukti ilmu pengetahuan, polisi tetap mengharapkan pengakuan Kohara. Di Jepang pengakuan tersangka tetap menjadi dasar paling kuat untuk menjebloskan seseorang ke penjara. Apalagi jika tuduhannya tindak pidana berat.

Sialnya, dari hari ke hari, sikap Kohara justru makin menyebalkan. Dia kerap berpolah tidak kooperatif. Bahkan Kohara bersikukuh tak pernah melakukan penculikan seperti yang dituduhkan kepadanya. 

"Saat kejadian itu berlangsung, saya sedang ada di rumah," jawabnya mantap, meski alibinya itu tak didukung saksi mata. Untuk ukuran seorang penjahat, Kohara tergolong cerdas, walaupun kecerdasannya itu tampak nyata, lebih sering dimanfaatkan untuk menipu dan berbuat tidak jujur.

Guna membungkam kebandelan Kohara, polisi akhirnya merencanakan interogasi maraton, antara tanggal 3 Juli dan 4 juli 1965. Kohara didesak dengan berbagai pertanyaan, disajikan berbagai fakta, termasuk utang-utangnya yang langsung lunas pasca penculikan Murakoshi, atau alibinya yang dengan mudah dipatahkan karena tak didukung saksi mata. Kerja keras polisi akhirnya berbuah manis.

Dalam rasa lelahnya, Kohara mengaku. Dia mengaku menculik Murakoshi seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Motifnya semata demi uang, lantaran terbelit utang yang menggunung. Ketika melihat Murakoshi di sebuah taman kecil, niat jahat langsung terbersit di hati Kohara. Setan membisikinya untuk membujuk bocah yang sedang bermain pistol air itu, mengajak ngobrol, lalu jalan-jalan menjauhi kawasan tempat tinggal Murakoshi.

Sekitar pukul 22.00 waktu setempat, mereka sampai di Kuil Entsuji, Minami Senju, Arakawa Ward, Tokyo. Namun, Kohara sebal, karena di perjalanan, Murakoshi terus-menerus merengek minta pulang. Karena tidak ingin mengundang perhatian orang banyak, Kohara memutuskan membungkam mulut Murakoshi, selamanya. 

Buah hati Yoshinobu itu dicekik sampai meninggal, di sebuah tempat sepi di lingkungan kuil. Mayatnya sempat disembunyikan di gudang, sebelum akhirnya dikuburkan di pekuburan belakang kuil.

Berdasarkan pengakuan Kohara, dini hari itu juga polisi langsung mengecek pekuburan di belakang Kuil Ensutji. Benar saja, mereka menemukan sisa tulang belulang Murakoshi, tak jauh dari batu nisan bertuliskan "Ikeda". Orang tua korban yang diberi tahu soal penemuan mayat anaknya tampak sangat terpukul. Tak lama kemudian, mereka mendatangi lokasi penemuan mayat. Harapan menjumpai Murakoshi dalam keadaan hidup pupus sudah.

"Ini benar sepatu Murakoshi?" tanya seorang polisi, di lokasi penggalian.

"Ya. Celananya juga," papar sang ayah pelan.

Setelah itu, suasana berubah hening. Tak ada kata-kata yang sanggup melukiskan kepedihan hati orang tua Murakoshi, polisi yang bertahun-tahun menyelidiki kasus ini, dan banyak orang yang masih menginginkan Murakoshi dapat kembali bermain dengan teman-teman sebayanya. Yang terdengar hanya bunyi denting pacul dan peralatan lain untuk menggali, saat terbentur batu-batu kerikil.

Kepedihan itu sedikit terobati ketika pada 1967, pengadilan memutuskan Kohara sangat layak dijatuhi hukuman mati. Di usia 38 tahun, tepatnya tanggal 23 Desember 1971, hidup Kohara berakhir di tiang gantungan di Kosuge, Tokyo. 

Satu hal yang menarik, Kohara ternyata mendapat ide untuk melakukan penculikan Murakoshi, ketika sedang menonton film di gedung bioskop. Ceritanya, 11 hari sebelum beraksi, ia berniat refreshing, menonton sebuah film yang baru saja dirilis, judulnya "High and Low", dibintangi Mifune Toshiro. Entah disengaja, entah kebetulan semata, cerita film itu ternyata berputar-putar soal penculikan bocah.






" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400653/dikenali-dari-suaranya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535683000) } } [10]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400659" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/si-rambut-merah_taylor-smithjpg-20220803020545.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(133) "Seorang perempuan punya kebiasaan menjemur bayinya. Namun seseorang ternyata menukar bayinya itu dengan bayi laki-laki berambut emas." ["section"]=> object(stdClass)#152 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/si-rambut-merah_taylor-smithjpg-20220803020545.jpg" ["title"]=> string(15) "Si Rambut Merah" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:06:04" ["content"]=> string(28725) "

Intisari Plus - Seorang perempuan punya kebiasaan menjemur bayinya. Namun seseorang ternyata menukar bayinya itu dengan bayi laki-laki berambut emas.

-------------------

“Seorang wanita muda ingin bertemu Anda, Pak. Katanya, bayinya ditukar orang ketika sedang ditinggalkan di kereta dorong," kata Polwan Polly Davies kepada Inspektur Kepala Wexford.

"Anda bergurau, Constable Davies," jawab atasannya itu. "Tidak, Pak. Sungguh!"

Jadi Wexford pun mengikuti Polly menemui seorang wanita yang sedang menangis di ruang wawancara. Wanita itu umurnya paling-paling 19 tahun. Rambutnya berwarna seperti jerami. Wajahnya seperti kanak-kanak: naif dan ketakutan. la memakai jins dan kaus oblong bergambar buah-buahan. Sulit untuk mempercayai ia sudah menjadi ibu.

Sementara itu Detective Constable Loring dengan kikuknya sedang menggendong bayi yang masih berpopok. Bayi itu berbaju putih, bermantel wol dan berkaus kaki katun. Rambutnya merah.

 

Sama-sama berwarna merah

Wanita muda itu diminta menceritakan kembali apa yang yang sudah dipaparkannya kepada para polisi yang ada disitu. Katanya, ia tinggal di tingkat lima sebuah gedung apartemen di Greenhill Court. Karena apartemennya tidak memiliki balkon, padahal bayi memerlukan udara segar, setiap hari selama beberapa jam anaknya ditaruh di kereta bayi yang diletakkan di halaman rumput. 

Hari itu, pukul 14.00, seperti biasa ia menurunkan kereta dari apartemennya, menaruh bayinya di sana dan menutupinya dengan jala supaya jangan diganggu kucing, dsb.

Pukul 16.30 ia turun untuk menjemput bayinya. Kereta bayi masih berada di tempat semula. Jalanya pun masih rapi. "Cuma saja bayi di dalamnya bukan Karen!" seru wanita itu. Tangisnya meledak. Bayi dalam gendongan Loring pun terbangun dan menangis.

“Siapa nama Anda, Ny. Bond?" tanya Wexford. 

"Philippa. Saya biasa dipanggil Pippa." 

"Pippa, tolong jelaskan bagaimana rupa bayi Anda. Rambutnya, umurnya."

“Karen berumur 9 minggu. Matanya biru. Bajunya putih dan rambutnya merah keemasan." Serta-merta Wexford menoleh ke bayi yang berkaok-kaok dalam pelukan Loring. Bayi itu pun berbaju putih dan rambutnya merah keemasan.

Karena Wexford pernah membaca bahwa wanita yang belum lama melahirkan sering menjadi korban pelbagai gangguan mental, ia bertanya: "Anda yakin Anda tidak keliru?"

Pippa marah dan menangis lebih keras. "Anda kira saya mengada-ada? Mustahil saya tidak mengenali bayi saya sendiri?" teriaknya.

Loring dan Polly buru-buru memeriksa si Bayi. "Bayi ini memang bukan Karen, Pak," kata Polly. "Coba Anda lihat. la laki-laki."

 

Si Ginger

Polisi menelepon suami Pippa, Trevor Bond, di tempat kerjanya. Pemuda yang tampak cuma lebih tua sedikit dari istrinya itu datang disupiri seorang wanita berambut merah. 

Pippa memeluk leher Trevor dan menangis tersedu-sedu. Wanita berambut merah itu, Susan Rains, ternyata kakak Pippa. la dan suaminya tinggal di Greenhill Court juga. Dialah yang menunjukkan kepada polisi di mana kereta dorong biasa ditaruh, yaitu di halaman rumput yang memisahkan dua buah gedung apartemen. Tampaknya ia kesal sekali kepada adiknya yang dianggapnya lalai.

Pippa tidak mau mengurus bayi yang bukan anaknya. Jadi anak laki-laki berambut merah yang dijuluki si Ginger oleh Wexford itu terpaksa dibawa ke tempat penitipan bayi. Semua polisi merasa iba, ketika bayi itu membenamkan kepalanya ke dada Polly yang rata. Diperkirakan bayi itu berumur kira-kira empat bulan. Jadi lebih tua dari Karen.

Kepala Wexford dipenuhi oleh pelbagai dugaan perihal mengapa penukaran bayi itu bisa terjadi. Manusia normal umumnya tidak akan menukarkan bayinya. Wexford curiga, penukarnya jangan-jangan seorang wanita yang tertekan jiwanya. 

Wanita itu terdesak untuk menyingkirkan bayinya sendiri, tetapi harus kelihatan tetap mempunyai bayi. Mungkinkah wanita itu sudah memiliki banyak anak laki-laki, sedangkan suaminya menuntut ia melahirkan anak perempuan? Ataukah wanita itu sudah mengandung pada saat berpacaran dengan pria lain dan ia ingin meyakinkan pacarnya bahwa bayi itu betul anak si Pacar? 

Atau siapa tahu ia bosan merawat anak yang cengeng - Si Ginger sering betul menangis - sehingga menukarkannya dengan anak yang dianggapnya anteng? Atau bisa terjadi ia diberi tahu dokter bahwa bayinya mengidap penyakit keturunan yang menakutkan, sehingga ia ingin menyingkirkan bayi itu, tetapi harus mempunyai bayi lain untuk diperlihatkan kepada ibunya atau suaminya yang lama absen.

Sebagai langkah pertama, Wexford memerintahkan anak buahnya mengecek catatan kelahiran di pelbagai rumah sakit, klinik dan catatan sipil daerah Kingsmarkham

Wexford tidak bisa melepaskan kekhawatirannya akan nasib Karen. Kalau penukar bayi itu tega menukarkan bayinya sendiri, bagaimana perasaannya terhadap bayi orang lain? Karen pasti dibutuhkan untuk suatu maksud. Kalau maksud itu sudah tercapai, bagaimana nasibnya?

 

Neneknya pun berambut merah

Bangunan apartemen tempat tinggal keluarga Bond letaknya tidak berjauhan dari tempat rawan, yaitu daerah yang akhir-akhir ini sering mengalami kemalingan. Penjaga pintu tiga blok apartemen ditanyai polisi, tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan pada siang sampai menjelang senja itu.

Apartemen itu dihuni oleh banyak keluarga muda, sehingga Wexford berpapasan dengan banyak anak-anak, juga dengan wanita yang menggendong bayi. 

"Sayang, halaman rumput tidak boleh dijadikan tempat bermain oleh anak-anak," sesal Wexford. "Kalau anak-anak boleh bermain di situ mungkin ada di antara mereka yang bisa memberi keterangan berharga."

Tetangga di sebelah rumah Pippa, Ny. Louise Pelham, menyatakan kepada polisi bahwa pukul 15.45 tadi, ia lewat dekat kereta dorong Karen, yaitu setelah menjemput anaknya dari sekolah. la merasa aneh, karena Karen kok agak lain. 

Wajahnya lebih lebar dan rambutnya lebih merah daripada ketika ia lewat di sana setengah jam sebelumnya. Polisi tadinya merasa bisa menentukan saat penukaran dari keterangan itu. Namun, kemudian diketahui bahwa sebelum polisi datang, Ny. Pelham sudah mendengar cerita panjang-lebar dari Susan, kakak Pippa. Jangan-jangan Ny. Pelham cuma mengada-ada, sehingga keterangannya patut disangsikan.

Susan Rains, kakak Pippa yang tujuh tahun lebih tua, ditanyai oleh Wexford. la tidak mempunyai anak. Tetapi di rumahnya dijumpai popok dan peralatan makan bayi. Katanya, Pippa yang baru berumur 20 tahun itu masih terlalu muda untuk mempunyai anak. Baik adiknya maupun Trevor tidak becus mengopeni bayi, sehingga sering membawa Karen kepada Susan untuk dititipkan. Kebetulan Susan tidak bekerja.

Saat polisi berada di kediaman Susan, muncullah seorang wanita berumur akhir 40-an. Ny. Leighton yang rambutnya lebih merah daripada Susan tampaknya tidak terlalu prihatin cucunya hilang. Katanya, pasti akan kembali dalam keadaan sehat walafiat. 

la dalam perjalanan ke rumah anaknya yang lain, Mark, karena berjanji akan mengawasi bayi putranya itu. la singgah ke tempat Pippa karena perlu menagih utang dari putrinya sebesar 1 pon lebih sedikit. Kini ia bingung: menemani Pippa atau menjaga anak Mark.

 

Ditaruh di tangga 

Malam itu Sersan Willoughby berpatroli dengan pikiran dipenuhi masalah bayi hilang. Dalam keadaan normal ia tidak akan memedulikan kehadiran sebuah Ford Transit di semak-semak di Ploughman's Lane. 

Namun, karena terpengaruh cerita-cerita tentang orang gipsi yang konon suka menculik anak-anak, ia mendekati mobil gerbong yang banyak dipakai sebagai rumah berjalan oleh bangsa pengembara itu.

Baru saja ia memarkir skuternya, pengemudi mobil gerbong, seorang pria muda, buru-buru menghidupkan mesin dan kabur menuju kota. Ternyata Ford Transit itu tidak ada hubungannya dengan Karen Bond. Mobil itu dipakai untuk kabur oleh dua orang maling yang menggerayangi rumah seorang makelar saham sampai habis-habisan. 

Di rumah itu tidak dijumpai sidik jari maling, tetapi dari jejak sepatu ketahuan ada dua orang yang masuk. Mobil gerbong yang ternyata curian itu ditemui di Myringham. Pelat nomornya sudah dilucuti.

Pagi harinya, ketika Wexford dan kawan-kawan sedang membicarakan soal perampokan itu, muncullah seorang pastor sambil menggendong bayi! Bayi itu tidur nyenyak sekali dalam pelukannya. 

Kelihatannya ia merasa nyaman dalam buntalan selimut berwarna biru muda. Kulitnya merah jambu dan rambutnya halus berkilat seperti tembaga. Constable Polly Davies tidak tahan untuk tidak mengelus jari kecil bayi itu.

Kata pastor, bayi itu ditemukan pukul 09.00 pagi ini di tangga rumahnya dekat gereja. Selain diselimuti baik-baik, si Bayi ditaruh di dalam kotak karton yang biasa ditemui di pasar swalayan. Pastor diminta polisi membawa juga kotak itu.

Bayi yang berselimut biru biasanya laki-laki, tetapi tidak selalu. Jadi Polly ditugaskan memeriksanya. Ternyata anak itu perempuan!

Trevor dan Pippa Bond segera dipanggil. Mereka datang diantar oleh Susan Rains. Ketiganya mengenali makhluk kecil mungil itu sebagai Karen! Keadaannya sehat walafiat, bersih dan tidak kelaparan.

Polisi memeriksa selimut bekas pembungkus Karen. Selimut biru itu tidak baru lagi, tetapi bersih, terbuat dari wol. Sebuah ujungnya kayak dan sudah ditisik, walaupun jelas penisiknya bukan profesional. 

Di selimut itu dijumpai sejumlah rambut halus. Mungkin rambut Pippa, mungkin rambut bayi lain. Ada juga rambut lain yang lebih panjang dan lebih kasar. Warnanya merah. Mungkin rambut orang dewasa. Rambut wanita? Rambut Susan? Ny. Leighton?

 

Di mana-mana ada bayi

Pagi itu juga Wexford diberi tahu Sersan Willoughby bahwa ia mengenali pria yang semalam dipergokinya mengemudikan mobil gerbong perampok. Pria itu tidak lain daripada Tony Jasper, adik Paddy Jasper, langganan polisi. Sepanjang yang diketahui polisi, Paddy Jasper sudah lama tidak bermukim di Kingsmarkham lagi. Tapi wanita yang selama ini hidup bersama Paddy, Leilie Somers, sudah beberapa waktu kembali ke Kingsmarkham. 

la tinggal di atas sebuah toko di Roland Road. Jadi Wexford dan Inspektur Burden buru-buru datang ke tempat Leilie Somers. Sesaat sebelum tiba ke tempat yang mereka tuju, mereka melihat Ny. Leighton yang berambut merah mendorong kereta bayi yang lebih besar dan lebih mewah daripada kereta bayi Karen. Mungkin milik cucunya yang seorang lagi, anak Mark.

Burden mendorong pintu yang terletak di antara kios penjual koran dan makanan binatang peliharaan. Di dalamnya ada seorang ibu muda sedang mengangkat bayi dari kereta dorong. 

"Kami mencari Ny. Jasper," kata Burden. 

Wanita itu tahu siapa yang dimaksud. "Oh, Leilie," katanya. "Naik saja. Pintunya tepat sebelah kanan tangga."

“Suaminya ada di rumah?" 

"Tadi pergi, kira-kira pukul 08.00."

Begitu diketuk, pintu dibuka, sehingga Burden curiga: jangan-jangan sejak tadi Leilie sudah mendengar kedatangan mereka. Wanita kurus itu berumur sekitar 28 tahun. Rambutnya merah. Sejak berumur belasan tahun ia hidup bersama Paddy Jasper yang mencari nafkah dengan merampok dan kadang-kadang melakukan kekerasan fisik.

Cuma berlainan dengan wanita-wanita yang menuntut hidup yang serupa dengannya, Leilie tidak pernah bersikap bermusuhan dengan polisi. la tetap hormat dan pemalu. la membenarkan bahwa ia sudah menetap kembali di Kingsmarkham. Tapi Paddy cuma sekali-sekali saja datang. 

Apartemen itu terdiri atas satu ruang tamu, satu kamar tidur dan satu dapur dengan sebuah sudut untuk mandi. Peralatan tamunya buruk, tua dan murahan, tetapi bersih.

“Kami tahu ia ada di sini kemarin malam dan sudah pergi tadi pagi," kata Wexford. Polisi tahu bahwa Leilie itu wanita yang tidak bisa melepaskan diri dari Paddy. Entah karena cinta, entah karena ia jenis wanita yang setia atau karena sudah begitu terbiasa dengan Paddy.

Dari tanya-jawab dengan polisi, Leilie menyatakan Paddy main kartu sepanjang malam dengan beberapa teman. la tidak mau mengaku bahwa Tony salah seorang dari mereka. "Saya tidak tahu, saya 'kan bekerja sebagai petugas tempat penitipan mantel di Andromeda mulai pukul 20.00 - 24.00," katanya. Andromeda adalah kasino. Setahu Wexford, terakhir kali bertemu Leilie, wanita itu bekerja sebagai asisten penata rambut.

Wexford melihat sebotol susu bayi yang hampir kosong. "Saya tidak tahu Anda punya bayi," katanya.

"Ada di kamar," jawab Leilie. Pada saat itu terdengar bayi menangis. Leilie tersenyum, lalu tertawa geli. "Semalam Paddy dan teman-temannya menjaga bayi saya. Sepanjang malam mereka main kartu di sini."

Wexford yakin Paddy dan kawan-kawan tidak berada sepanjang malam di situ, melainkan pergi merampok ke tempat makelar bursa di Ploughman's Lane.

"Paddy bapak anak itu?" 

"Anda tidak berhak bertanya semacam itu," jawab Leilie. "Maaf, Leilie. Bayi itu mungkin memerlukan Anda." Tahu-tahu sang Bayi berhenti menangis dan Leilie pun menarik napas panjang.

 

Penganiaya bayi

Ketika berada di luar apartemen Leilie, Burden berkata kepada Wexford. "Itu 'kan anak keduanya."

"Ya, saya ingat. Di mana yang pertama, ya?" 

"Leilie 'kan penganiaya bayi. Beberapa tahun yang lalu, ketika kau lama sakit, dia 'kan diadili gara-gara tengkorak bayinya retak. Heran wanita seperti itu tega memukuli bayi. la sampai disuruh ke psikater segala. Waktu itu 'kan dia mendapat hukuman percobaan."

“Bayinya ke mana sekarang?" 

"Sehabis lama dirawat di rumah sakit, bayi itu diadopsi orang. Leilie memberi izin. Aneh, ya. Dia 'kan termasuk lemah lembut. Tak terbayang oleh saya dia bisa memukuli bayi. Sakit jiwa barangkali."

Wexford meminta apartemen di Roland Road itu diamat-amati terus. Kemudian Loring memberi tahu bahwa Paddy Jasper sudah kembali ke apartemen Leilie. Saat Wexford tiba, Tony Jasper yang tinggi besar seperti kakaknya, tetapi jauh lebih muda dan lebih hijau, sudah pula berada di sana.

“Leilie bilang, Anda ingin tahu ke mana saja saya semalam," kata Paddy, "saya ada di sini." Menurut Paddy, ia datang ke Kingsmarkham untuk menjenguk 'anak-istri'. la tinggal jauh di Utara sebab mendapat pekerjaan di sana. Karena di Utara sulit mendapat tempat tinggal yang pantas, Leilie dimintanya pulang saja ke Kingsmarkham. 

Sejak mendapat putra, ia baru sempat menjenguk satu dua kali. Terakhir ia datang hari Sabtu yang lalu. Didengarnya Leilie sudah bekerja di Andromeda. Supaya bisa bersamanya pada hari Senin, Leilie minta cuti. Hari Selasa ia memang libur. Karena hari Rabu kemarin Leilie tidak bisa minta libur lagi, terpaksa Paddy menjaga bayi di rumah, ditemani oleh Tony, Johnny Farrow dan Pip Monkton. 

"Kalau tidak percaya, tanya saja tetangga sebelah," tantang Paddy, "la datang untuk mengecek apakah kami bisa menjaga bayi dengan baik," Paddy menambahkan bahwa Pip Monkton pulang pukul 23.30 karena takut dimarahi istrinya. Seperempat jam kemudian Leilie pulang.

"Biasanya siapa yang menjaga bayi Anda, kalau Anda bekerja?" tanya Wexford kepada Leilie.

"Julie, tetangga sebelah. Itu lo, yang Anda ajak berbicara waktu pertama kali datang," Leilie menerangkan. "Sebetulnya saya selalu menitipkan bayi saya kepada ibu saya. Tapi Ibu masuk ke rumah sakit dan baru pulang menjaga kemarin. Julie menawarkan diri untuk membantu menjaga Matthew malam hari. Saya bilang, biar saja Matthew di sini, tidak usah dibawa ke sebelah. la sering rewel kalau malam, apalagi kalau tidur bukan di tempat yang biasa. Toh kalau Matthew menangis akan kedengaran ke sebelah.”

"Saya bangga untuk memberi tahu Leilie, bahwa putra saya tidak menangis sedikit pun semalam," timpal Paddy. 

Julie Lang membenarkan bahwa Paddy, Tony, Pip dan Johnny ada di apartemen sedang tidur nyenyak. “Karena tersinggung, saya bilang, kunci sebaiknya saya kembalikan saja. Memang sebaiknya begitu, katanya, sebab ia tidak memerlukan bantuan saya lagi. Saya betul-betul tersinggung."

Setahu dia empat pria itu berada di sebelah terus. la tidak mendengar Pip Monkton turun pukul 23.30, sebab ia sudah lama tertidur. Matthew juga tidak kedengaran menangis.

 

Cerita Raja Sulaiman

Pukul 18.00 Wexford menemui manajer Andromeda. Kemudian ia bertanya kepada Burden, "Ketika diadili, Leilie mengaku salah atau tidak?”

"Mengaku salah. Katanya, ia terlalu lelah dan tertekan, sehingga tidak tahan mendengar bayi menangis."

"Nonsens," kata Wexford. la mengajak Polly ke rumah Leilie. Pijatan bel tidak mendapat jawaban, jadi Wexford memijat bel apartemen di sebelah. Julie Lang membukakan pintu. Leilie ada bersamanya. Tampaknya ia lebih kurus, lebih kuyu, wajahnya pucat dan sedih. Leilie diajak Wexford ke apartemennya. Sebelum berpisah Julie memegang lengan Leilie seperti memberi semangat.

Begitu di dalam, Wexford berkata, "Leilie, Paddy tidak sepatutnya Anda bela sampai begitu. Mana bayi Anda?"

"Dengan Ibu." 

"Tak mungkin begitu keluar dari rumah sakit ibu Anda langsung merawat lagi bayi." Leilie mula-mula tidak mau berkata apa-apa, tapi Wexford tidak putus asa. "Anda ingat cerita Raja Sulaiman? la didatangi dua wanita yang memperebutkan seorang bayi. Ibu yang sejati merelakan anak itu dirawat orang lain daripada dibelah dua. Anda dulu mengaku bersalah di pengadilan untuk perbuatan yang tidak pernah Anda lakukan terhadap putra pertama Anda.” 

“Jasperlah yang mencederai anak itu. Jasper pula yang menyuruh Anda mengakui bahwa Anda yang bersalah, sebab ia tahu Anda cuma akan mendapatkan hukuman ringan, padahal ia akan mendapat hukuman berat. Anda membiarkan bayi itu diadopsi bukan karena Anda tidak sayang, tetapi Anda lebih suka ia dirawat wanita lain daripada celaka. Betul 'kan?"

Leilie memandang Wexford, kemudian mengangguk hampir tidak kentara. Wexford membuka jendela dan melambai kepada Polly yang menunggu di mobil. Sementara itu Leilie sedang berusaha menyembunyikan air matanya.

"Saya membawa tamu untuk Anda dan ia harus menginap di sini." Polly masuk sambil menggendong Ginger, bayi yang ditukar dengan Karen. Leilie memandang tidak percaya, memejamkan mata, lalu membukanya lagi. Kemudian ia melompat ke arah Polly. Tubuhnya gemetar. Dengan penuh kasih sayang ia mengambil Ginger dari Polly. "Matthew," katanya sambil mengusap rambut merah bayi itu. "Matthew."

Setelah Leilie duduk kembali, Wexford meminta ia menceritakan semuanya.

 

Serba salah

Semangat hidup Leilie tampak kembali. Sambil memeluk Matthew ia bercerita. Setelah putra sulungnya, Patrick, diadopsi empat tahun yang lalu, Leilie berpisah dari Paddy. Tapi ketika Paddy memanggilnya ke Utara untuk hidup bersama dia lagi, Leilie menurut. la selalu tidak bisa menolak Paddy. Tapi kemudian Paddy mempunyai kekasih lain. 

Karena hubungan Paddy dengan kekasih baru itu tidak putus juga, Leilie merasa putus asa. la tidak punya teman di sana dan merasa kesepian. Jadi ia sering menghibur diri dengan pria-pria lain, sampai akhirnya ia mengandung. la tidak tahu, siapa bapak anak itu. Mungkin Paddy, mungkin bukan. 

Leilie memberi tahu Paddy, ia mengandung dan akan kembali ke ibunya di Kingsmarkham. Paddy menahannya sambil berjanji tidak akan melanjutkan hubungan dengan kekasih barunya. Karena janji itu cuma gombal, Leilie pulang juga ke ibunya. Saat itu Matthew sudah lahir. 

Leilie beruntung mendapat apartemen dan bekerja di Andromeda. Tahu-tahu Paddy datang hari Sabtu. Hari Senin Leilie tidak berani bekerja, karena takut Matthew rewel malam hari dan mengalami nasib yang sama seperti Patrick. Hari Selasa ia memang libur. Tapi tibalah hari Rabu, kemarin. 

Paddy menyatakan akan menjaga bayi ditemani Tony, Pip Monkton dan Johnny. Leilie menyatakan Paddy tidak usah repot-repot, Matthew bisa ia titipkan kepada Julie. Paddy malah marah. Katanya, wanita itu sok ikut campur. 

Mustahil Leilie tidak percaya Paddy mampu menjaga anaknya sendiri? Leilie tidak percaya sebab Patrick dulu dianiaya gara-gara menangis. Saat itu ibu Leilie tidak bisa dititipi karena baru keluar dari rumah sakit.

Leilie jadi serba salah. la tahu Tony dan kawan-kawannya tidak akan berani mengalangi Paddy. Leilie saja dulu hampir dibunuh ketika membela Patrick. Membawa bayi ke tempat kerja jelas tidak mungkin.

 

Nekat

Ketika pukul 11.00 Paddy keluar rumah, dengan kebingungan Leilie juga keluar membawa Matthew dalam keranjang bayi. la keluyuran tanpa tujuan. Dalam perjalanan pulang, tidak jauh dari rumahnya ia melihat kereta bayi dengan bayi berambut merah di dalamnya. 

la tahu bayi itu anteng, sebab ia pernah antre bersama dengan ibu si Bayi itu di pasar swalayan. Ketika mereka bercerita tentang bayi masing-masing, ibu bayi itu menyatakan anaknya anteng sekali, tidak pernah menangis sepanjang malam.

Tanpa pikir panjang lagi Leilie menukarkan Matthew dengan bayi di dalam kereta dorong. Bayi itu agak lebih kecil dari anaknya, tetapi rambutnya sama-sama merah.

Mendengar cerita itu Polly Davies berseru ngeri, sedangkan Wexford menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Demi keselamatan anak Anda sendiri Anda tega mengorbankan anak orang lain?" tanyanya. 

"Tidak benar!" sangkal Leilie. "Saya merawatnya baik-baik, memandikan dia, memberinya susu dan menidurkannya. Saya berdoa agar dia jangan menangis sepanjang malam. Setelah itu saya meninggalkannya. Ketika saya kembali pukul 23.45 ia masih tidur dan sehat-sehat saja."

"Anda melupakan sesuatu Leilie," kata Wexford. Leilie tidak berani menatap mata polisi itu. Dipeluknya Matthew lebih erat.

“Paddy berangkat pagi-pagi," Leilie melanjutkan. "Saya pikir sebaiknya saya kembalikan bayi yang saya pinjam. Saya bawa ia naik bus ke depan rumah pastor. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengambil Matthew kembali. Saat itu saya rasa, saya tidak pernah akan memperolehnya kembali. Tak lama setelah saya pulang dari rumah pastor, Anda datang. Kebetulan bayi Julie di sebelah menangis. Anda mengira suara bayi itu datang dari kamar saya."

"Bukan itu yang saya maksud, Leilie." 

"Saya tidak tahu apa yang Anda maksudkan."

"Anda tahu. Saya sudah menemui manajer Andromeda. Anda dipecat 'kan gara-gara Anda pulang semalam? Soalnya, di tempat bekerja, Anda risau memikirkan nasib bayi yang Anda pinjam. Anda khawatir ia menangis dan rewel karena bukan tidur di ranjangnya sendiri. Pada dasarnya memang Anda orang baik. Jadi Anda pulang dengan bus pukul 21.35 dan tiba di rumah pukul 21.55. Ketika Anda masuk, Anda lihat Karen sedang tidur nyenyak dalam keadaan sehat walafiat."

Senyum tipis menghiasi bibir Leilie. "Saya khawatir setengah mati, membayangkan bayi itu berlumuran darah. Hati saya lega melihat dia baik-baik saja."

"Saat Anda datang itu, Paddy dan kawan-kawan tidak ada di rumah," kata Wexford. Leilie mencoba membantah. Katanya, Paddy dan kawan-kawannya ada, sedang main kartu.

Sulit juga bagi Wexford untuk membuat wanita itu mengakui apa yang sebenarnya terjadi. Wexford berusaha meyakinkan Leilie bahwa Matthew selamanya terancam kalau Paddy bebas. la juga menyatakan Leilie akan dihukum berat kalau diajukan ke pengadilan, karena membiarkan bayi orang lain berada dalam bahaya, sebab ia pernah dihukum karena dinyatakan bersalah menganiaya Patrick, anaknya sendiri. 

Tak ada gunanya memberi dalih yang tidak benar bagi Paddy. Sebaliknya Leilie menceritakan yang sebenarnya, dengan imbalan dibebaskan dari hukuman menukarkan bayi. Dengan demikian ia bisa merawat Matthew.

Leilie memeluk Matthew erat-erat, tetapi masih ngotot juga. Ketika Wexford mengajak Polly meninggalkan tempat itu, Leilie bangkit. Sambil tetap memeluk Matthew dengan tangannya yang sebelah, ia menarik lengan baju Wexford. "Pak Wexford, saya sudah memikirkan apa yang Anda katakan," katanya. Wexford mengerti, Leilie berhasil diyakinkan. 

 

" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400659/si-rambut-merah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535564000) } } [11]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350295" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/beraksi-setiap-rabu_kyrie-kimjp-20220629070407.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(113) "Penculikan dan pembunuhan wanita cantik terjadi beberapa kali di Leeds. Anehnya, pelaku beraksi setiap hari Rabu." ["section"]=> object(stdClass)#156 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/beraksi-setiap-rabu_kyrie-kimjp-20220629070407.jpg" ["title"]=> string(19) "Beraksi Setiap Rabu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:04:49" ["content"]=> string(35005) "

Intisari Plus - Penculikan dan pembunuhan wanita cantik terjadi beberapa kali di Leeds. Anehnya, pelaku beraksi setiap hari Rabu. Sempat membuat bingung polisi, ia meminta sejumlah uang tebusan untuk aksinya itu.

------------------

Ketenteraman kawasan Leeds, Yorkshire, Inggris, belakangan ini terusik oleh peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa wanita cantik. Selama pelakunya masih gentayangan, warga masyarakat terutama kaum wanitanya terus merasa waswas. 

Selain itu modus kejahatan yang dilakukan penculik dengan berbagai surat kaleng dan telepon gelap, amat merepotkan kepolisian setempat. Sampai saat itu kepolisian masih menangani kasus raibnya Julie Dart (18).

Menurut kalangan terdekatnya, kehidupan wanita cantik berambut panjang cokelat yang supel dan gemar berdansa ini diliputi misteri. Setelah pertunangannya dengan Dominic berantakan ia terus menganggur, padahal gaya hidupnya boros. Utangnya banyak. 

Ternyata untuk melunasinya, diam-diam ia menjerumuskan diri ke lembah hitam kawasan lampu merah Chapeltown. Kepada ibunya, Lynn Dart, ia mengaku bekerja di Haselton Laboratories, lembaga penelitian dekat Leeds General Infirmary.

Selasa siang, 9 Juli 1991, Julie masih menelepon ibunya memberitahukan bahwa ia akan lembur hingga pukul 23.00. "Kalau Mama mau tidur, silakan. Tapi pintu tak usah dikunci." Itu pesan terakhir Julie kepada sang Ibu. Besoknya, Julie belum juga pulang. Lynn Dart mengira anaknya menginap di rumah temannya. Namun, ketika dua hari lewat tak ada kabarnya, ia menjadi cemas.

Jumat pagi, 12 Juli, sang Ibu menerima surat bercap Huntington Rabu, 10 Juli, tanpa nama pengirim, yang memberitahukan bahwa Julie diculik. Pada hari yang sama kepolisian juga menerima surat serupa dialamatkan ke Leeds City Police. 

Alamat ini asing karena memang sudah 20 tahun berubah menjadi West Yorkshire Polisi. Isinya: Tadi malam saya menculik seorang pelacur muda dari kawasan Chapeltown. la akan dibebaskan tanpa dicederai apabila syarat ini dipenuhi. Kalau tidak, sandera akan dibunuh, dan sebuah toko di pusat kota akan diledakkan pukul 17.00, 17 Juli. Uang tebusan yang diminta £ 140.000.

 

Minta tebusan

Setelah sidik jari pada surat itu dicocokkan dengan sidik jari Julie, terbukti surat itu memang ditulis oleh Julie, meski isi dan bahasanya didikte orang lain. Penculik meminta agar uang tebusannya dibawa oleh seorang kurir wanita paling lambat Selasa, 16 Juli. 

Caranya, si kurir pergi ke Stasiun Birmingham, New Street, menunggu telepon di peron 9 sampai pukul 19.00. la harus memakai rok biru dan membawa uang dalam tas bahu. Setelah menerima telepon ia menuju ke Utara, ke arah luar kota di A38M Aston Expressway hingga bertemu jalur M6. Setelah uang tebusan diambil, akan diberi tahu tempat dan cara pembebasan sandera.

Polisi menuruti perintah. Selasa malam, kurir sudah berada di telepon umum Mercury, Stasiun Birmingham, New Street. Telepon berdering, tapi terputus ketika diangkat. Dia menunggu selama 20 menit, namun tidak terjadi apa-apa. 

Sampai hari berikutnya penculik tidak mengontak. Namun muncul kabar, 90 mil dari Lincolnshire, seorang petani menemukan mayat tergeletak di samping rel kereta. Mayat itu terbungkus kain seprai bergaris-garis putih dan merah muda, terikat tali hijau.

Tak salah, korban yang mati mengenaskan itu tak lain adalah Julie Dart. Belum diketahui pasti penyebab kematian. Pada pemeriksaan awal ditemukan luka di belakang kepala dan di atas telinga kiri. Tulang tengkoraknya retak terkena pukulan benda keras. 

la diduga meninggal selewat pukul 18.30, Rabu, 10 Juli. Pada pergelangan kaki terdapat bekas ikatan erat dengan rantai atau sejenisnya. Dari kain seprai ditemukan bukti forensik berupa serat wol kuning dari nilon cokelat, diduga berasal dari karpet. Pada tali pun didapati serat yang sama. 

Tiga hari setelah penemuan mayat Julie, Senin, 22 Juli, polisi menerima surat lain dengan cap pos Leeds. Isinya, Julie Dart terpaksa dibunuh. Saya ingatkan sesuatu akan terjadi kalau tidak menuruti perintah saya. Jangan ada publikasi soal ini. Saya masih perlu uang. Oleh karena itu kalau tak ingin terjadi lagi pembunuhan berikutnya, hubungi saya lewat iklan kolom di Harian The Sun, Sabtu. Bunyi iklannya: Mari kita coba lagi demi Julie. Saya akan hubungi lewat telepon umum di Leicester Forest East.

Menurut psikolog kepolisian Paul Britton, pelaku kejahatan ini diduga menderita penyakit jiwa dan memiliki kepribadian aneh. Ditaksir usianya hampir lima puluh. Paling tidak lulusan sekolah dasar. Tahu tentang teknik. Dengan modus operandi seperti ini, ia ingin dianggap penjahat kelas kakap yang profesional.

 

Ditayangkan Crimewatch

Tiga hari setelah pemasangan iklan di The Sun, si Penjahat kembali mengirim surat, mengancam akan menculik orang kalau uang tebusan tidak segera dikirim. Tempat transaksi yang diminta adalah telepon umum Leicester Forest End di jalur MI, pukul 20.30, Selasa, 30 Juli. Namun, lagi-lagi transaksi itu gagal dilakukan karena suara di telepon tidak jelas lantaran lalu lintas yang ramai. Polisi waswas, pria ini mungkin kalap dan akan membunuh lagi. Oleh karena itu perlu ditangkap secepatnya.

Rabu, 14 Agustus, surat lain datang dengan cap pos Nottingham. Isinya memberi tahu ia telah menculik Sarah Davies dari Walkman Gardens, Ipswich, berikut perintah untuk mengirim tebusannya: Saya harap kurir Anda pergi ke persimpangan 40, lalu melewati A638 ke arah Wakefield, dan bergerak 18 mil. Di sebelah kanan ada telepon umum dekat halte bus. Tunggu perintah berikutnya.

Menurut surat itu, nanti malam ia akan menelepon kembali untuk instruksi selanjutnya. Lagi-lagi setelah ditunggu, ia tak kunjung menelepon. 

Bersamaan dengan itu polisi melakukan penyelidikan di kawasan Ipswich, mencari wanita bernama Sarah Davies. Hasilnya nihil. Di kawasan lampu merah Portman Road, Ipswich, polisi menanyai sejumlah pelacur. Mereka tak kenal nama itu. Kesimpulan sementara, Sarah cuma sosok rekaan penculik.

Penyelidikan yang dilakukan polisi untuk menguak misteri penculikan ini cukup melelahkan. Berkali-kali si penculik mengirim surat kaleng dan menelepon polisi, memberitahukan aturan main untuk menyerahkan tebusan dan cara pembebasan sandera. Tapi selama beberapa bulan ini pula polisi hanya dipermainkan. 

Merasa tak sabar melayani permainan kucing-kucingan ala film-film spionase ini, akhirnya polisi mempublikasikan kasus ini seluas-luasnya lewat tayangan program televisi Crimewatch UK.

Rekonstruksi dilakukan tanggal 12 September, dengan memutar ulang kehidupan Julie di hari-hari terakhir. Selain itu memeriksa surat yang ditulis pembunuh, memperlihatkan berbagai cap pos dan kesalahan ketik. Surat-surat itu diduga ditulis dengan mesin ketik manual. Para saksi pun dimintai keterangannya. Rincian tentang si pembunuh diumumkan kepada khalayak. Rekaan wajah tersangka berhasil disketsa oleh psikolog Paul Britton atas dasar delapan petunjuk: benci polisi, pria paruh baya, autodidak, tahu tentang teknik, kemungkinan belum pernah membunuh, bekerja sendirian, tujuannya bukan untuk membunuh, melainkan hanya untuk memperoleh uang.

 

Bak tidur di dalam peti mati 

Rabu, 8 Januari 1992, kantor pemasaran properti PT Shipways, di Birmingham, kedatangan seorang pria bernama Mr. Southall. la mengaku tertarik dan ingin membeli rumah di 153 Turnberry Road. Yang melayani adalah Stephanie Slater, salah seorang karyawan Shipways. Keduanya berjanji untuk melihat-lihat rumah di alamat tersebut pada hari Rabu, 22 Januari mendatang.

Ketika bertemu di 153 Turnberry Road, pria itu tampil lain. la mengenakan kacamata hitam tebal, di jaketnya tersemat lencana bergambar kereta. Namun sejak datang, ia tampak gelisah. Seperti biasanya Stephanie mulai menjelaskan segala sesuatu tentang rumah, fasilitas, serta harga jualnya.

Stephanie menangkap kesan, Mr. Southall tak berminat pada rumah tersebut. Tapi sebagai penjual, Stephanie tidak patah semangat. Ketika mereka sedang melakukan pemeriksaan ruangan kamar mandi, tiba-tiba Mr. Southall berkata dengan suara dalam dan parau, "All right." Yang amat mengagetkan, pria ini sudah memegang pisau di tangan kirinya, pahat di tangan kanannya. Bahkan tangannya sudah terbungkus sarung tangan.

Terjadilah pergumulan tidak seimbang antara Stephanie dengan seorang pria nekat bersenjata tajam. Mudah diduga, akhirnya dalam waktu singkat wanita malang ini bisa dilumpuhkan. Dengan mata tertutup Stephanie didorong masuk ke mobil, berbaring di jok. Tubuhnya dibungkus semacam selimut. Mulutnya disumpal dan wajah ditutup syal. 

"Diam! Kamu saya culik. Semuanya akan beres kalau kau tidak bikin masalah. Kau takkan mati kalau tak berulah. Mengerti?" gertak pria itu ketika mobil sudah berjalan. Stephanie mengangguk. Dia berkata lagi, "Kita akan membuat rekaman untuk dikirimkan kepada bosmu."

Dengan wajah masih tertutup, Stephanie disandarkan dan sumpal mulutnya dilepas. Pria itu mengeluarkan tape recorder. "Ini Stephanie Slater. Saat ini pukul 11.45. Saya baik-baik saja. Kalau permintaan ini dituruti, Jumat, 31 Januari, saya akan dilepaskan. Pada hari Rabu, Kevin Watts harus menjadi kurir. la perlu membawa peta 103 tentang Blackburn dan Burnley. Di setiap tempat pemberhentian yang ditentukan, bagasi mobil harus dibuka selama paling tidak 30 detik. Jangan coba-coba menipu dengan uang tersebut." Selesai merekam pesan itu, pria itu keluar dari mobil untuk menelepon Shipways, dan mengeposkan kaset serta surat.

Telepon di kantor Shipways berdering. Seorang pria ingin bicara dengan direktur perusahaan, Kevin Watts, tapi sayang yang dicari sedang keluar kantor. Penelepon itu mengatakan, "Stephanie Slater diculik! Ada permintaan uang tebusan dalam surat yang dikirim besok pagi. Menghubungi polisi, dia akan mati."

Keruan saja para karyawan di perusahaan itu menjadi panik. Kabar penculikan beberapa gadis belakangan ini membuat pimpinan perusahaan Shipways tak mau ambil risiko. Tanpa memedulikan ancaman penculik, mereka segera melaporkan kasus Stephanie kepada kepolisian. Menurut catatan tugas Stephanie, gadis ini diculik ketika mengantarkan kliennya di kawasan Turnberry Roads.

Polisi meluncur ke tempat kejadian perkara bersama Kevin Watts. Di tempat itu mereka hanya menemukan mobil Stephanie, serta kunci mobil yang jatuh di lantai. Noda darah ditemukan di kamar mandi dan di kunci pintu. Rumah itu lantas disegel. 

Sementara itu oleh penculik, Stephanie sudah dibawa ke tempat yang cukup jauh dari Leeds. Karena melihat gadis malang ini kedinginan, si penculik memberi pakaian wol, round necked, sweater tanpa lengan, baju hangat katun, dan celana dril. Juga sepasang kaus kaki, meski semua terasa tua dan usang.

Pergelangan tangan dan kaki Stephanie diborgol. "Apakah kau suka ikan dan keripik? Besok malam saya memasak daging," katanya. Dia pergi sekitar 10 menit dan kembali membawa keripik. Stephanie sempat mencicipi sedikit. Pria itu bilang, "Saya akan membaringkanmu dalam peti sebagai tempat tidurmu. Saya harap kamu tidak takut ruang sempit dan tertutup."

 

“Aku baik-baik saja”

Karena pinggul Stepanie terlalu besar, tubuhnya tidak bisa berbaring lurus di dasar peti. Akibatnya, posisi lututnya sedikit menekuk. Pergelangan tangannya diikat di atas kepala. Sepanjang malam Stephanie tidak dapat tidur. Bayangan kematian selalu menghantuinya. Kasihan. Malam itu sangat dingin.

Dua kali si penculik menelepon kantor Shipways. Wakil Kepala Polisi Phil Thomas dari West Midlands Police mengatakan, "Tampaknya penculik siap bernegosiasi. Kami menduga Stephanie masih hidup. Bos Stephanie pun sudah menyediakan uang tebusan. Media takkan memublikasikan hingga korban dibebaskan. Hidup Stephanie tergantung pada operasi ini."

Kedua orang tua Stephanie, yakni Betty dan Warren Slater, semula tak percaya anaknya masih hidup. Kaset dari penculik diterima Kamis pagi, 23 Januari, dan sorenya diputar. Mereka baru percaya, itu suara anak mereka. 

Detektif Polisi Bob Taylor dari Leeds berhasil mengumpulkan keterangan beberapa saksi. Seorang tetangga Stephanie melihat ada seorang pria berdiri di trotoar menunggu Stephanie. la mengenakan lencana rel kereta di jaketnya. Saksi lain melihat mobil Metro merah berputar di luar rumah. Pria yang diperkirakan berusia 50-an itu tingginya 5 kaki 2 inci.

Minggu, 26 Januari, pukul 14.11, ada telepon untuk Warren Slater, orang tua korban. 

"Halo Papa, ini Stephanie. Mereka mengizinkan aku mengirim pesan untukmu. Aku baik-baik saja. Jangan cemas, aku sayang Papa dan Mama. Tolong urus kucing yang di rumah." 

Lewat surat yang dikirimkan ke pihak kepolisian, penculik minta Kevin Watts mengirimkan uang tebusan itu hari Rabu, 29 Januari. Dalam suratnya, dia juga memberitahukan telepon selanjutnya pukul 16.00. Ternyata penculik menelepon lebih awal.

Malam itu polisi membentuk Satuan Pemberantas Kejahatan pimpinan Detektif Mick Foster. Strategi segera disusun. Satu tim menjaga Stephanie kalau ditemukan, tim berikutnya bertugas mengurus penculik bila tertangkap, dan tim ketiga mengawasi Kevin Watts dan uang tebusan yang dibawanya. Untuk mempermudah pelacakan, Kevin diperlengkapi dengan pesawat transmiter dan mikrofon kecil.

 

Mikrofon mati, komunikasi putus

Siang itu, pukul 15.23, penculik mengontak kantor Shipways. Dalam pesannya Kevin Watts disuruh pergi ke Stasiun Glossop, sebelah barat Manchester. Pesan berikutnya akan disampaikan pukul 19.00 di telepon umum di lorong masuk stasiun.

"Kalau tidak kooperatif, Anda tidak akan memperoleh pesan itu. Saya harap Anda di sana secepatnya. Satu setengah jam perjalanan dari sini." Penelepon sempat meyakinkan bahwa kondisi Stephanie baik-baik saja. Kalau semuanya berjalan lancar sesuai rencana, gadis ini akan dibebaskan besok malam, setelah pukul 24.00.

Kevin memulai perjalanan panjang yang mendebarkan. Cuaca berkabut tebal dan dingin, mendadak menjadi gelap. Radio komunikasi dua arah terpasang di mobil. Transmiter dan mikrofon dikenakan untuk mengirim setiap perintah penculik ke markas besar polisi. Petugas di markas akan melanjutkan informasi itu ke tim di lapangan. Dengan memakai rompi antipeluru, Kevin berangkat dari M6 menuju ke Manchester. 

Sampai di Stasiun Gtossop, Kevin segera mendekati telepon umum tanpa menghiraukan sejumlah orang yang memandang ke arahnya. Tak lama kemudian, benarlah, telepon berdering.

"Kevin Watts di sini!" teriak Kevin. 

"Segera tinggalkan stasiun. Lalu bergeraklah ke kanan, turun di persimpangan jalan. Di sana Anda akan menemukan telepon umum. Ada pesan yang harus Anda ambil di situ," kata penelepon.

Kevin keluar dari stasiun menuju ke telepon umum sekitar 200 m dari jalan. la menemukan pesan itu dan membacanya keras-keras, "Ambil B6105, lalu berjalan menanjak, dan bertemu JI. A628." Pesan itu dibacanya berulang kali.

Nun jauh di ruang kontrol, Mick Foster memberi pengarahan kepada para detektif di lapangan. "Kevin diarahkan melewati Pennines ke Yorkshire, barat daya Barnsley. Di sana dia belok kanan ke A629, ke telepon umum tempat pesan itu, sekitar 2 km dari jalan." Kevin harus sampai di sana pukul 19.40.

Untuk mengejar waktu yang minim, pukul 19.30 Kevin segera meluncur ke tempat yang diperintahkan. Begitu meninggalkan pusat kota, kabut turun. Jarak pandang ke depan hanya sekitar 1 atau 2 m. Rambu-rambu jalan tidak kelihatan. Kalau tidak hati-hati Kevin bisa kehilangan belokan itu. 

Kevin perlu waktu 55 menit untuk mencapai boks telepon umum yang dimaksud. Artinya, ia sudah sangat terlambat. Polisi masih bisa menghubunginya lewat transmiter. Begitu mendapatkan pesan dalam amplop, Kevin segera membacanya keras-keras agar bisa terlacak dari markas.

Pesan itu menyuruhnya berputar balik, belok ke kanan 45 m, belok ke kiri sekitar 90 m, dan turun ke jalan berlumpur. "Saat menyusuri jalan tanah, tampak ada tanda pancang kayu tertancap di tanah dengan tulisan Shipways. Saya mengira dia menunggu di ujung jalan. Kabut dan kondisi jalan itu membuat saya berpikir dua kali," tutur Kevin. Rupanya, saat ia berbelok, polisi kehilangan kontak radio. Mikrofon mati total.

Jalan tanah berlubang-lubang, Kevin khawatir mobilnya mogok, dan berharap polisi mengetahui posisinya. Dia diperintah mencari kerucut plastik merah putih. Di situ ada tas untuk menaruh uang tebusan. 

Kevin menarik napas dalam-dalam melihat kerucut itu. "Suasana berkabut tebal, saya amat ketakutan. Rasanya tak ingin turun dari mobil. Betapa tidak? Lokasinya yang terpencil dan terbuka membuat saya amat mudah diawasi dan diserang. Tak ada jalan lain, saya harus melakukan itu," kata Kevin.

Kevin keluar dari mobil, mengambil tas dari bawah kerucut dan secepatnya masuk ke mobil. Dia memindahkan uang. Di tas itu juga ada pesan berbunyi, "Pergi ke ujung jalan - putar balik ke km menuju putaran A628/9 belok ke kanan - telepon umum 5 km, pita rekaman pesan di bawah rak, tersedia waktu 15 menit."

Memang Kevin harus berani melakukan itu. Hidup-mati Stephanie tergantung pada keberanian Kevin, la meluncur perlahan dalam kabut tebal, dan melihat kerucut itu di sisi kanan jalan. "Saya melaju dengan kemudi otomatis, dan berhenti untuk membaca pesan itu ... Jangan memindahkan talam kayu yang ada sensornya. Taruhlah tas uang di atas talam yang tersedia. Kalau bel listrik tidak berbunyi, tinggalkan uang di sana, geser kerucut dari depan mobil, lantas pergi. Uang tidak akan diambil sampai Anda pergi.

Saya di bawah kontrolnya. Saya menaruh uang di atas talam, dan cepat-cepat pergi. Ada pesan di talam, tapi tidak saya ambil karena panik. Saya diperintahkan kembali ke kantor dan menunggu telepon yang akan memberi tahu keberadaan Stephanie," tutur Kevin

Stephanie pulang, Sams ditangkap

Ternyata kali ini si penculik benar-benar menepati janjinya. Malam itu Stephanie dipulangkan. Tetangga melihat sebuah mobil Metro merah berhenti di luar rumah keluarga Slatter menjelang petang. Seorang wanita keluar dari mobil itu dan tampak gontai. Benar, itu Stephanie!

"Saya tidak percaya pada apa yang terjadi. Tidak yakin dia sudah ada di rumah. Dia pun tidak yakin, dan mencubit dirinya sendiri," tutur Warren. Betapa harunya suasana saat kedua orang tua itu merangkul Stephanie.

Dalam penyelidikannya, polisi menemukan tempat Kevin Watts menjatuhkan uang tebusan, di bawah jembatan rel kereta api. Saat itu mungkin penculik berada di jembatan berikutnya, Dove Valley Trail. Berjarak 4 km dari jembatan tempat ditemukan batu bata dan botol bercat pada kasus Julie Dart.

Stephanie menceritakan perlakuan yang dialaminya selama dalam penyekapan. Selain wajah, tingkah laku serta kebiasaan si penculik, ia juga memberi gambaran rinci tentang bangunan yang dipakai untuk menyekapnya. Ruang itu mirip bengkel. Sering terdengar benturan keras dan pukulan palu. Ada bau minyak, pelumas, dan lembap.

Dari informasi Stephanie itu dihasilkan sketsa rekaan wajah pria buronan itu. Gambar rekaan wajah si penculik itu segera disebar. Polisi pun mengincar sebuah kawasan di Nottinghamshire.

Seminggu sejak pembebasan Stephanie, penculik mengirim surat dengan cap pos Barnsley tertanggal Rabu, 5 Februari. Surat berjudul The Facts itu berbunyi: "Saya memang menculik Stephanie Slater, tapi bukan pembunuh Julie Dart. Tidak ada hubungan antara dua kasus tersebut. Saya yakin ada pria lain yang membunuh Julie dan memakai mesin tulis saya untuk membuat surat itu."

Surat itu dikopi delapan kali. Antara lain diterima Lynn Dart, West Yorkshire Police, West Midlands Police, BBC Television, Yorkshire Television, surat kabar The News of the World, dan The Sun. 

Kamis malam, 20 Februari, program Crimewatch UK kembali menyiarkan secara khusus tentang ciri-ciri, sketsa wajah, dan rekaman suara penculik itu. Lewat tayangan itu masyarakat diharapkan melaporkan petunjuk atau informasi orang yang mirip dengan gambar rekaan wajah pria itu, atau yang bersuara mirip suara itu, dan punya mobil merah. Untuk itu disediakan 38 saluran telepon di Birmingham dan 20 di Bradford.

Jutaan orang dipastikan menonton tayangan itu, tak terkecuali Susan Oake, mantan istri Michael Sams yang berada 150 km dari Keighley, West Yorkshire. la mengira pria itu adalah mantan suaminya. 

Beberapa hari kemudian Susan Oake sempat bertemu Sams di pemakaman ayah Sams. Saat itu ia sengaja menghindari tatapan mata. Juga menolak Susan menumpang mobilnya. Ini sangat aneh. 

Hari itu Michael Sams mengendarai mobil Metro merah, tapi dia menyangkal terlibat kasus penculikan itu. Alasannya, polisi tidak menyebut-nyebut kakinya yang palsu. 

Kecurigaannya terhadap keterlibatan mantan suaminya dalam kejahatan itu semakin tebal saat surat kabar memasang gambar rekaan wajah. Tapi hal itu belum cukup kuat bagi dia untuk menghubungi polisi. Baru ketika detail tentang lencana jalan kereta api diperlihatkan, dia yakin.

Gagal menghubungi studio karena saluran telepon sibuk, Susan menelepon kantor polisi setempat, Keighley, yang kemudian disambungkan ke Milgarth di Leeds. 

Susan menyebut nama "Michael Sams" dan menceritakan kepada polisi bahwa tersangka memiliki mobil kecil warna merah, punya bisnis peralatan listrik ringan di Newark, dan menyukai rel kereta. Satu kakinya palsu, tetapi kenapa tak seorang pun menyebut pincangnya itu?

 

Kawin cerai melulu

Malam itu polisi mendatangi Susan untuk mengorek informasi selengkapnya. Dari foto Michael Sams, tim yang dipimpin Detektif Grogan melihat ciri-ciri sesuai dengan yang digambarkan Stephanie. Sekitar pukul 10.30 polisi menyatroni rumah Sams, "Eaves Cottage", Sutton-on-Trent. 

Menurut Teena, istri Sams, sang Suami sedang di tempat kerja dan pulang pukul 16.00. Di ruang depan, mata polisi tertuju pada hiasan rel kereta yang dipasang di dinding. Di ruang lain ada mesin tulis, akuarium.

Michael Sams bekerja di T and M Tools di Newark. Bengkelnya membelakangi River Trent dan sebaris dengan Newark Castle. Tim Grogan segera ke sana. Tempat itu persis seperti yang diceritakan Stephanie. Mobil menuruni jalan landai. Ada embusan angin saat melangkah ke pintu. Dari jauh tampak sebuah mobil Metro merah diparkir di sisi kanan tempat itu. 

Nama T and M Tools ditulis huruf cetak, seperti di surat. Ada papan tertulis, "Tutup Setiap Rabu". Fakta ini penting karena semua kegiatan yang berkaitan dengan penculikan berlangsung pada hari Rabu. Di hari itu surat diposkan, hubungan telepon dilakukan, dan uang tebusan dikirimkan.

Dari dalam muncul seseorang dalam pakaian kerja, berperawakan kecil, dengan satu kaki palsu dan berambut klimis. Tim Grogan seakan tidak percaya melihat sang penculik yang selama ini amat merepotkan polisi sudah berdiri di hadapan mereka. Dia orangnya. Tanpa perlawanan sama sekali, Michael Sams ditangkap dan diseret ke kantor polisi Newark.

Sebelum dipindahkan ke sel dia mengaku, "Saya memang menculik Stephanie Slater, tapi saya tidak membunuh Julie Dart."

Michael Benniman Sams dilahirkan di Keighley, West Yorkshire, tahun 1941. la kurang pandai mengeja kalimat, meski sebenarnya ia sempat belajar di Hull Nautical College. Belakangan diketahui ia menderita disleksia. Pada usia 19 tahun dia menjadi anggota Merchant Navy, bahkan selama tiga tahun menjelajahi dunia.

Awal 1960-an dia kembali ke Keighley, bekerja di Keighley Lifts. Tahun 1967 dia membuka usaha central heating. Sams bertemu Susan Oake tahun 1962, dan menikah dua tahun kemudian. Dua anak mereka kini tinggal di Oakworth, Keighley.

Sebagai pelari lintas alam, Michael Sams pernah menjadi atlet hebat. Beberapa tahun lamanya ia menjadi anggota klub olahraga setempat, Bingley Harriers. Tendon lututnya pernah meradang. Orangnya suka mengotak-atik mesin apa saja. Terutama sekali ia menyukai kereta api.

Tahun 1974 Sams diduga menderita radang selaput otak atau sumsum tulang belakang. la berubah kasar pada istrinya dan sering cekcok. Tiga tahun kemudian mereka bercerai. Tahun 1978 dia dipenjara enam bulan karena kasus pencurian.

Sebelum ditahan, ia mengalami cedera lutut ketika terjadi kebakaran di rumahnya. Dalam penjara kondisi lututnya makin memburuk. Dokter menduga kanker dan kakinya diamputasi. Dalam tahanan Sams berkenalan dengan Jane lewat iklan kolom di surat kabar. 

Hubungan mereka sampai ke pelaminan. Pernikahan mereka hanya bertahan tiga tahun. Suatu saat tempat kerjanya yang baru, Black and Decker Tool Company di Leeds, memutasi Sams ke Birmingham. Lagi-lagi lewat iklan jodoh di koran, duda ini berkenalan dengan Teena, yang menjadi istri ketiganya.

Sams mengelola usaha sendiri, Peterborough Power Tools, kemudian T and M Tools di Newark - tempat menyandera Stephanie Slater. "Dia justru merasa bangga atas tindakannya menculik Stephanie. Dia menganggap misinya sukses, dan berhasil melakukan semuanya sesuai rencana. Dia merasa terkenal," kataGrogan. Namun ia tetap tak mengaku membunuh Julie. la yakin pembunuh Julie adalah temannya.

Namun, ketika polisi bertanya siapa nama pria itu, Sams menjawab, "Saya tidak bisa memberi tahu karena kalau saya melakukan itu dia pasti memberikan uang tebusan itu pada orang lain. Saya juga tidak mau ambil risiko terhadap nyawa Stephanie."

 

Diganjar seumur hidup

Hasil penyelidikan lebih lanjut memberi bukti kuat keterlibatan Sams atas dua kejahatan itu. Di bengkelnya tim forensik menemukan rambut dan gordin tua bernoda darah. Juga rambut milik Stephanie dan Julie Dart. Noda darah cocok dengan darah Julie. Serat karpet tidak berbeda dengan serat yang ada di seprai dan tali untuk membungkus tubuh Julie.

Di ruang investigasi, polisi menunjukkan kepada Sams surat terakhir, The Facts, yang diposkan seminggu setelah Stephanie dilepas. Sams mengakui menulis surat itu, tapi tetap menyangkal terlibat tindakan kejahatan lain. 

"Dalam pengakuan sebelumnya, kau mengatakan mengenal pria yang membunuh Julie Dart."

“Ya, betul." 

"Tapi temuan terakhir di bengkelmu akan membuktikan bahwa kedua kasus itu berhubungan?" 

"Sekarang kasus itu bisa dihubungkan."

Akhirnya, Sams mengakui beberapa bukti yang disodorkan kepadanya. Termasuk tulisan tangannya dalam semua surat terdahulu yang dikirim ke polisi. Juga serat karpet yang sama dengan serat yang ditemukan pada seprai pembungkus mayat Julie.

Kesaksian dari seseorang yang melihat seorang pria pincang dengan memakai satu tongkat berada di depat tempat mayat Julie ditemukan, semula juga disangkal mentah-mentah. la mengaku berada di kawasan Stoke Summit, 3 km dari tempat tubuh Julie Dart ditemukan. 

Alasannya, karena setiap Rabu selalu mengamati kereta lewat dan mencatat nomor lokomotif. Padahal saat itu cuaca hujan. Ini menimbulkan pertanyaan polisi, kenapa dia pergi mengamati kereta saat hujan, di jalur kereta Eats Coast Line, di samping rumahnya? Padahal ia bisa melihat kereta lewat jendela.

Dia mengaku berada di kawasan itu Rabu, 19 Februari, sehari sebelum Crimewatch UK menayangkan kasusnya. Tim Grogan mulai curiga, jangan-jangan di tempat itu ia mengubur uang tebusan yang sampai kini belum ditemukan.

Sams membantah mengubur uang itu. Dia mengaku menggali lubang di samping rumahnya, tapi tidak memakainya karena "temannya" tak ingin uang itu dikubur di sana. Polisi meyakini ini cerita palsu. Sams pasti telah memindahkan uang itu. Tempat terpencil yang aman untuk menyimpan uang itu dicurigai di Stoke Summit. 

Untuk melacak kawasan itu polisi meminjam radar pendeteksi tanah dari Aberdeen. Selasa, polisi mulai mencari uang itu. Pada hari ketiga, ketika mereka mulai kelelahan, di kedalaman 20 cm, ditemukan sebuah peti terbungkus tas Black and Decker di dalam talam, dan terdapat uang di situ. Tanpa dibuka, bungkusan dikirim untuk pemeriksaan forensik.

Paginya, Micahel Sams membaca temuan itu di koran dan kepada detektif yang memeriksanya ia mengatakan, "Kau hanya menemukan separuh dari uang itu." Setelah dicek, memang benar. Jumlah uang itu hanya separuh.

Alat pendeteksi sudah dikembalikan ke Aberdeen. Untuk mencari sisa uang itu, polisi terpaksa menggunakan garpu. Pukul 07.00 polisi meluncur ke Stoke Summit. Setelah tiga jam polisi menemukan sebidang tanah gembur 5 m dari temuan pertama. Saat ditusuk garpu, benar di bawah tanah itu ada uang terbungkus kardus es krim dalam tas Black and Decker.

Kini lengkap sudah semua bukti terkumpul. Dalam persidangan yang digelar Kamis, 8 Juli 1993, juri memutuskan Michael Sams terbukti bersalah, dan diganjar hukuman kurungan seumur hidup. 

Akhirnya, dua tahun sejak kematian Julie, Sams mengaku membunuh Julie Dart, "la membunuh Julie, Rabu, 10 Juli 1991. la memukulnya dari belakang. la memberi keterangan itu tanpa berbelit-belit dan tak menunjukkan penyesalan." (Liz Mills)





" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350295/beraksi-setiap-rabu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656529489000) } } [12]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309400" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/penculiknya-bertopeng-kantung-pl-20220603062349.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Sebuah penculikan berhasil memperoleh uang tebusan dalam jumlah besar. Operasi yang rapi membuat otak penculikan tidak tertangkap. " ["section"]=> object(stdClass)#160 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/penculiknya-bertopeng-kantung-pl-20220603062349.jpg" ["title"]=> string(37) "Penculiknya Bertopeng Kantung Plastik" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:24:34" ["content"]=> string(22315) "

Intisari Plus - Sebuah penculikan yang melibatkan beberapa pengangguran berhasil memperoleh uang tebusan dalam jumlah besar. Operasi yang rapi membuat otak penculikan tidak tertangkap. Polisi hanya menangkap para pelaksana di lapangan.

-------------------------

Pukul 08.30, 12 April 1983, Wang Teh-huei alias Wong Tak-fei dan istrinya berangkat ke kantor dengan Mercedes putih. Wang seorang hartawan, direktur pelaksana Chinachem Group, yang bergerak di bidang bangunan. Ia tinggal di 15 Bluff Path, the Peak, yaitu daerah elite di Hongkong.

Belum jauh mereka meluncur, masih di Bluff Path juga, Wang terpaksa menghentikan mobilnya, karena sebuah kendaraan barang mengalangi jalan.

Dua orang pria melompat dari belakang mobil barang itu untuk menaruh rambu lalu lintas di jalan. Wang membuka jendela dan memberi tanda agar kendaraan itu menepi. Tahu-tahu di kiri-kanan mobilnya sudah ada orang berdiri.

Yang seorang membuka pintu di sebelah tempat duduk Ny. Wang. Pria itu bersenjata pisau besar. Lengan kiri wanita itu disambarnya, lalu pria itu mengancam akan menggorok pergelangan tangan Ny. Wang. Pria yang lain membuka pintu di sebelah Wang. Ia menodongkan pistol.

“Jangan bergerak!” hardik mereka. “Kami bersenjata. Kami tidak mau jiwa kalian. Yang kami inginkan uang!”

 

Minta AS $ 11 juta 

Suami-istri itu disuruh ke luar dari mobil. Ny. Wang dijebloskan ke tempat duduk belakang. Suaminya diseret pergi. Ny. Wang menengok ke belakang, karena ia ingin melihat ke mana suaminya dibawa. Tetapi ia didorong agar membungkuk dan dipakaikan kacamata. Lewat kacamata itu semuanya tampak kabur.

Ny. Wang dibawa pergi dengan mobil. Di dalam mobil itu selain dia, ada tiga pria. Di jalan ia diberi tahu bahwa mereka berasal dari satu organisasi yang memerlukan uang. Kalau ia tidak mau membantu, suaminya akan dibunuh.

Ny. Wang diperintahkan membuka rekening di Overseas Trust Bank dan memasang iklan untuk memberi tahu nomor rekening itu di sebuah surat kabar.

Ia diancam agar tidak melapor kepada polisi. Kata mereka, jika ia sampai lari ke luar negeri, organisasi mereka akan mampu menemukannya.

Ketika tiba di daerah Kwai Chung, Ny. Wang dibebaskan. Ia segera berusaha membuka rekening di OTB. Hari itu juga, sekitar pukul 15.00 ia menerima telepon. Penelepon menyebutkan dirinya sebagai 1188.

Ny. Wang diperintahkan pergi ke kamar kecil wanita di Beaconsfield House, yang letaknya di bagian Pulau Hongkong yang disebut Central. Ia diberi tahu bahwa di kamar kecil no. 4 ada pita kaset yang memuat perintah-perintah yang harus dijalankan.

Ny. Wang pergi ke tempat yang ditunjukkan. Betul saja, ia menemukan bungkusan berisi kunci mobil Mercedesnya dan foto suaminya sedang terbaring di ranjang dengan mata tertutup dan kedua belah tangan dirantai menjadi satu.

Pita itu berisi perintah untuk menaruh uang AS$ 11 juta di OTB sebelum tanggal 16 April. Ny. Wang juga diminta memasang iklan di Surat Kabar Sing Tao Yat Pao, yang memuat rekening bank itu.

Sore itu keluarga Wang melaporkan peristiwa penculikan Wang pada polisi.

Malamnya, pukul 22.40, Ny. Wang ditelepon oleh 1188 ke rumahnya. Ia ditanyai apakah sudah mengambil bungkusan di kamar kecil Beaconsfield House dan apakah ia bisa mendapat uang sejumlah yang diminta. Jumlah itu tidak bisa ditawar, karena “perintah dari atas”. Ny. Wang diperintahkan agar masuk kantor esok paginya, karena ia akan ditelepon di kantor.

Ny. Wang memasang iklan di Sing Tao Yat Pao untuk tanggal 13 April. Hari. itu, pukul 15.00, ia ditelepon di kantornya oleh 1188. Penelepon ingin mengecek apakah angka rekening bank di OTB betul sama seperti yang tertera di iklan. Ny. Wang menjelaskan bahwa ia mendapat kesulitan untuk mengumpulkan sekian banyak uang dan meminta organisasi penculik memberi kelonggaran.

 “Tidak mungkin,” jawab 1188 dan pembicaraan telepon diputuskannya. Permintaan Ny. Wang untuk berbicara dengan suaminya pun ditolak.

 

Bungkusan dalam pipa pemadam kebakaran

Kira-kira pukul 15.45 sore itu juga ia ditelepon lagi oleh 1188. Katanya, organisasinya merasa tidak senang pada sikap Ny. Wang. Mereka merasa dipermainkan. Ny. Wang sekali lagi berkata bahwa ia sulit memperoleh uang sebanyak itu.

“Tidak mungkin,” jawab 1188. “Kami tahu Anda bisa memperolehnya sebelum hari Sabtu kalau perlu.”

Kalau uang sudah dimasukkannya ke rekening bank paling lambat pukul 10.30 hari Sabtu siang, Wang akan selamat. Demikian kata 1188. Ia berkata akan menghubungi Ny. Wang lagi hari Sabtu pagi.

Tetapi Jumat, 15 April, Ny. Wang sudah ditelepon 1188 lagi di kantornya. Penelepon itu ingin menanyakan perihal uang yang diminta. Ny. Wang menjawab bahwa uang sudah ditaruh di rekening yang dimaksud.

Hari itu pukul 17.45 sekali lagi ia ditelepon. Ia disuruh tinggal di rumah keesokan harinya untuk menunggu perintah-perintah selanjutnya. Tanggal 16 April Ny. Wang diperintahkan pergi ke tangga tingkat tiga Far East Finance Centre. Di situ, katanya, ada bungkusan dalam pipa alat pemadam kebakaran yang berada di kotak kaca pada dinding gedung.

Ny. Wang melaksanakan perintah dan memperoleh sebuah amplop berisi dua foto suaminya yang sedang ditawan, sebuah pita kaset, dan fotokopi berisi perintah-perintah yang diketik.

Pita kaset itu berisi perintah 1188 dan pesan-pesan Wang serta perintah-perintah untuk Ny. Wang. Ny. Wang diharuskan pergi ke OTB untuk mentransfer uang ke sebuah rekening bank di Taipei, Taiwan, lewat teleks.

Perintah itu pun dilaksanakan. Tanggal 18 April pagi, hari Senin, Ny. Wang ditelepon di kantornya oleh 1188. Penelepon memberi tahu bahwa teman-temannya sudah menerima keterangan perihal pentransferan uang. 

Ia menghibur Ny. Wang dengan berkata bahwa suaminya baik-baik saja. Keesokan sorenya 1188 memberi tahu bahwa diperlukan waktu tiga hari lagi sebelum uang bisa diterima di bank Taipei dan diambil. Wang, katanya, akan dibebaskan sebelum hari Jumat. Penculik berjanji akan menghubungi Ny. Wang keesokan harinya, sore-sore.

Ny. Wang memang menerima telepon dua kali lagi dari 1188. Pada kedua kesempatan itu 1188 berjanji Wang akan dibebaskan sebelum hari Jumat.

 

Dimasukkan ke lemari es

Hari Sabtu, 29 April siang, ketika Ny. Wang ada di kantornya, ia ditelepon oleh suaminya. “Saya sudah dibebaskan,” kata suaminya.

“Di mana kau sekarang?”

“Di klinik adikmu,” jawab si suami.

Cepat-cepat Wang dijemput ke klinik adik laki-laki Ny. Wang di Mongkok.

Menurut Wang kepada polisi kemudian, pada tanggal 12 April pagi itu, setelah diseret dari mobilnya, mulutnya disumpal. Ia dibawa ke belakang mobil barang, matanya ditutup, dan kaki serta tangannya diikat dengan kawat. Ia dimasukkan ke sebuah lemari es dan dibawa berkeliling selama kira-kira setengah jam. 

Ia merasa dibawa melewati terowongan di bawah laut yang menghubungkan P. Hongkong dengan Kowloon. Tidak lama setelah melewati terowongan, ia diturunkan dan diberi tahu bahwa mereka akan berganti kendaraan. Lemari es tempatnya “disimpan” diturunkan dan dipindahkan ke kendaraan lain. Kemudiaan lemari es itu pun diturunkan di suatu tempat. 

Ia meminta tutup matanya diganti, karena ia memakai lensa kontak. Permintaannya tidak langsung dikabulkan. Tangan dan kakinya kini dirantai, lalu ia didorong ke sebuah ranjang.

Kemudian seorang pria yang mengaku sebagai si No. 18 berbicara dengannya. Katanya, Wang diculik suatu organisasi, karena organisasi itu memerlukan uang. 

Ia disuruh berbalik dan duduk dengan punggung menghadap para penculiknya. Tutup matanya dibuka. 

Wang melihat dirinya ada di sebuah flat. Cahaya dalam kamar itu remang-remang

Para penculiknya mempergunakan kantung plastik untuk menutupi wajah mereka. Ia diperintahkan membaca tulisan pada sebuah kertas dan ucapannya itu direkam dengan tape recorder. Kemudian ia disuruh makan dan dipotret.

Menurut Wang, selama disekap, matanya terus-menerus ditutup, sedangkan tangan dan kakinya diikat dengan rantai. Para penculiknya saling memanggil rekan bicara mereka dengan angka, bukan nama.

Dalam penculikan itu Wang boleh gerak badan sedikit dan pergi ke WC. Walaupun matanya ditutup, tetapi tidak selalu penutup mata itu mengalangi seluruh penglihatannya. Kadang­-kadang ada celah yang memungkinkan ia mengenali bangunan tempatnya ditahan.

Pada hari kesembilan, Wang terbangun, karena mendengar suara benda berat didorong masuk ke kamar tempatnya ditahan. Ia diberi tahu bahwa ia akan dibebaskan. Rantai pada tangan dan kakinya dilepaskan dan sebagai gantinya dipakaikan plester.

Ia dimasukkan ke kotak baja yang dinaikkan ke pikup. Ia dibawa pergi dengan kendaraan itu. Di dalam ia bisa melepaskan lilitan plester dan tangannya, tetapi menahan diri untuk tidak mencopot penutup matanya. Ia merasa dibawa melewati terowongan dan mendaki bukit. 

Setelah perjalanan kira-kira setengah jam kendaraan dihentikan. Kotak tempatnya disembunyikan dibuka, lalu ia dibantu turun dari kendaraan. Ia disuruh duduk di tepi jalan dan disuruh menghitung sampai 500 kali, baru boleh membuka penutup matanya.

Namun begitu mendengar kendaraan penculik menderu pergi, Wang mencabut penutup matanya dan melihat sebuah pikup putih menjauh. Pikup itu memakai stiker Jesus Loves You dan nomor polisinya dimulai dengan CU.

Wang mencegat taksi yang lewat. Ketika tahu bahwa ia berada di daerah Shatin, ia minta diantarkan ke klinik iparnya. Dari sana ia menelepon istrinya.

 

Beli arloji Rolex

Keesokan harinya polisi menemukan pikup yang dimaksud oleh Wang ditempat parkir di Sha Kok, di daerah Shatin. Dari pengusutan diketahui kendaraan itu terdaftar alas nama Lo Siu-chung. 

Ia membelinya bulan Maret 1983 dengan membayar uang muka HK$ 4.000 dan sisanya sebanyak HK$ 12.000 lagi akan dibayar dengan cicilan.

Seseorang bernama Leung Yun­fuk ikut menandatangani perjanjian mencicil itu untuk menguatkan Lo. Namun kedua orang itu tidak bisa ditemui. Polisi mengadakan penjagaan di bandara untuk mencegah mereka kabur.

Tanggal 25 April petugas imigrasi di Bandara Kai Tak tidak mengizinkan seseorang menaiki pesawat yang akan berangkat ke Bangkok. Orang itu tidak lain dari Lo Siu-chung. Ia ditangkap dan terpaksa menunjukkan tempat Wang disekap. 

Ternyata di sebuah flat di Valley Road, daerah Hunghorn di Kowloon. Anggota satpam di gedung itu mengenali Lo sebagai penghuni salah sebuah flat di gedung itu. Di kantor polisi akhirnya Lo mengaku ikut ambil bagian dalam penculikan terhadap Wang.

Lo Siu-chung, pekerja serabutan berumur 28 tahun, menceritakan: Pada awal bulan Maret di sebuah restoran di Mongkok ia bertemu dengan seorang mandor bemama Kwok Kam-tai dan seorang pria lain bernama Chan Chiu­ hoi. 

Lo yang saat itu bekerja sebagai buruh kasar di sebuah terminal peti kemas diajak ke tempat parkir di gedung Ocean Terminal. Di situ ia diajak menculik Wang. Upah yang dijanjikan kepadanya antara HK $ 500.000 - HK$ 1 juta. Menurut Lo, ia ragu­-ragu dan tidak mau memberi jawaban dulu.

Namun, ia tergoda juga, karena ia butuh uang. Ia anak sulung dan adik-adik yang menjadi tanggungannya banyak, sedangkan orangtuanya sudah lanjut usia. Keesokan harinya mereka bertemu lagi di sebuah restoran di daerah Yauma­tin, dekat daerah Mongkok. 

Ia setuju ikut menculik, asal tidak usah melukai siapa-siapa. Sore itu juga ia dipertemukan dengan dua orang lain dan disuruh membeli pikup.

Dua atau tiga hari kemudian ia diminta datang ke seorang penjual mobil bekas di Kowloon City. Di sini ia bertemu dengan orang-­orang yang akan melaksanakan penculikan bersamanya, yaitu Leung Yun-fuk (24), seorang buruh angkutan, dan Lo Yau-chuen, seorang penderita lepra yang bekerja sebagai tukang batu merangkap petani, dan bisa menyetir.

Lo Siu-chung dibekali uang HK$ 4.000 untuk membayar uang muka. Menurut Lo, ia dan Leung diperintahkan tinggal di flat di Valley Road, Hunghom.

Seminggu setelah itu ia disuruh datang ke Far East Finance Centre. Di situ ia ditunjukkan Mercedes putih milik Wang. Katanya, pada hari penculikan ia membuka pintu mobil Wang, menarik hartawan itu ke luar dari mobilnya, dan menyeretnya bersama temannya ke belakang mobil barang. Wang lalu didorongnya masuk ke mobil.

Bersama temannya, ia memasukkan Wang ke lemari es. Mobil barang yang dikemudikan oleh Lo Yau-chuen (Lo Lepra) lalu dilarikan ke Valley Road.

Menurut pengakuan Lo Siu­ chung, sebelum Wang dibebaskan, ia mendapat HK$ 20.000 dan sehari setelah Wang dibebaskan ia mendapat HK$ 30.000 lagi.

Uang itu dipakainya membeli arloji Rolex seharga HK$ 9.680, pulpen, dan pemantik api merek DuPont seharga HK$ 2.700, sedangkan yang HK$ 30.000 lagi dihamburkannya di pelbagai tempat dansa dan pacuan kuda. Setelah ditahan dan digeledah, diketahui padanya tersisa uang HK$ 8.000.

Lo kemudian dikenali oleh Wang sebagai salah seorang penculiknya.

 

Bersembunyi di RRC

Setelah pemeriksaan terhadap Lo Siu-chung, polisi berjaga­-jaga agar penculik lain tidak kabur.

Leung Yun-fuk tertangkap ketika seperti Lo, ia bermaksud kabur ke Bangkok dengan pesawat terbang.

Menurut Leung yang hampir buta huruf itu, otak penculikan adalah Kwok yang mandor itu dan Chan. Ia dihubungi oleh mereka sesaat setelah tahun baru Imlek (Februari). Sesudah mencari flat, Leung disuruh menandatangani persetujuan sewa-menyewa dengan pemilik flat dan membayar uang jaminan antara HK$ 4.000 dan HK$ 5.000.

Pada hari penculikan, ia membuka pintu di sisi Ny. Wang dan menodong wanita itu dengan pisau. Ia ikut dalam mobil yang membawa Ny. Wang sampai Kwai Chung.

Menurut pengakuannya, ia diberi HK$ 10.000 oleh Kwok setelah penculikan, disuruh membeli tiket pesawat pulang-pergi ke Bangkok dan disuruh menunggu instruksi lebih lanjut.

Lo Lepra juga tertangkap enam bulan kemudian, yaitu tanggal 5 November 1983. Tukang batu merangkap petani itu dibekuk di Stasiun Luwu yang terletak di perbatasan Hong Kong dengan RRC ketika ia akan memasuki wilayah Hong Kong.

Ia mengaku ambil bagian dalam penculikan terhadap Wang. Katanya, ia diajak oleh Chan yang dikenalnya sejak tahun 1981. Ia dijanjikan uang antara HK$ 500.000 dan HK$ 1 juta. 

Beberapa hari setelah itu ia menyatakan persetujuannya. Ia disuruh menjadi pengemudi kendaraan yang akan dipakai untuk menculik. Dalam kendaraan itu, katanya, ada pistol palsu, pisau daging, segulung kawat, dan tiga gulung perban.

Pagi hari tanggal 12 April, ia berada dalam kendaraan ketika dihubungi dengan walkie-talkie agar bersiap-siap melaksanakan penculikan. Kendaraan yang dikemudikannya diparkir di tengah jalan supaya mobil Wang tidak bisa lewat, sehingga rekan-rekannya bisa melaksanakan penculikan.

Tanggal 22 April Lo Lepra mendepositokan uang sebesar HK$ 600.000 ke tabungannya di Dah Sing Bank. Lalu ia naik taksi ke San Po Kong untuk memberitahukan Chan bahwa ia akan bersembunyi di RRC. Dua hari kemudian ia pergi ke Canton dengan bekal HK$ 24.000.

Enam bulan kemudian, tanggal 4 November 1983, di Canton ia diperiksa oleh para pejabat Biro Sekuriti Umum dan dianjurkan pergi ke Hong Kong untuk menyerahkan diri.

 

Di kandang babi

Orang keempat, Cheung Wing­ yiu, seorang pemelihara babi, sudah tertangkap polisi di Tung Tau, daerah Wong Tai Sin, di Hongkong sejak tanggal 25 April 1983. Di kediamannya ditemukan buku tabungan Lo Lepra.

Menurut Cheung, ia sudah mengenal Lo Lepra lebih dari sepuluh tahun, karena mereka bertetangga di daerah Tsz Wan Shan dan sama­-sama memelihara babi. Bulan April 1983 ia ditelepon Lo Lepra yang menceritakan bahwa ia ikut menculik jutawan Wang. Lo Lepra berpesan agar ia jangan menceritakan hal itu kepada siapa pun.

Cheung setuju untuk menemui Lo di kaki sebuah bukit dekat rumahnya. Di situ Lo Lepra menyerahkan ember plastik merah berisi bermacam-macam benda, antara lain sebuah pisau dan lembaran plastik.

Benda itu ia sembunyikan di kandang babi. Beberapa hari kemudian Lo menghubunginya lagi untuk memberi tas berisi HK$ 51.000.

“Yang HK$ 1.000 pembayar utang saya kepadamu. Yang HK$ 50.000 lagi boleh kaugunakan sesuka hatimu,” pesan sahabatnya itu. Tanggal 23 April Lo menelepon, menanyakan apakah Cheung bisa mengantarkannya dengan mobil ke Stasiun Hunghom keesokan harinya. Cheung mau.

Cheung dititipi buku tabungan Lo Lepra dan kunci. Kunci mobil itu harus diserahkannya kepada seseorang.

 Tanggal 25 April Cheung terpaksa mengantarkan polisi ke kandang babinya. Dalam ember plastik merah ditemukan lembaran ratusan dolar sebanyak HK$ 30.000.

Jadi, mereka yang tertangkap itu cuma pelaksana-pelaksananya, bukan otak penculikan.

Pertengahan bulan Desember 1983, hakim menjatuhkan hukuman penjara masing-masing 10 tahun kepada Lo Siu-chung dan Leung Yun-fuk serta delapan tahun pada Lo Yau-chuen atau Lo Lepra. Lo Lepra mendapat keringanan dua tahun dibandingkan dengan dua rekannya, karena cuma berperan sebagai sopir dan juga ia menderita lepra. Makin lama ia dipenjara, artinya makin besar beban yang harus ditanggung pemerintah untuk pengobatannya.

Cheung Wing-yiu dijatuhi hukuman delapan bulan penjara potong masa tahanan.

Menurut jaksa, uang yang dibayar sebagai tebusan oleh keluarga Wang adalah HK$ 74.492.000. Yang HK$ 5,2 juta bisa diperoleh kembali oleh polisi. Lewat civil action, Wang bisa mendapat tambahan HK$ 10.663.292 lagi.

Menurut pembela, dari pelbagai rekening bank di Taiwan bisa diketahui bahwa ada uang sejumlah HK$ 40.845.350 yang berasal dari tebusan itu. Uang itu dibekukan oleh pemerintah Taiwan sambil menunggu hasil pengusutan. Namun diragukan apakah Wang bisa mendapat kembali uang itu. Yang belum ditemukan berarti HK$ 17.783.

 Polisi Taiwan sudah menahan seorang pria. Tetapi dua orang wanita yang diperkirakan terlibat penculikan itu keburu kabur ke luar negeri. 

(Dawa Leonard)

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309400/penculiknya-bertopeng-kantung-plastik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654280674000) } } [13]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304086" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/mafia-3-salah-culikjpg-20220603014518.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Sekomplotan mafia menculik Muriel Mckay, istri direktur koran. Mereka memeras suaminya untuk memberikan sejumlah uang agar Muriel dibebaskan." ["section"]=> object(stdClass)#164 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/mafia-3-salah-culikjpg-20220603014518.jpg" ["title"]=> string(19) "Mafia 3 Salah Culik" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 13:45:48" ["content"]=> string(48731) "

Intisari Plus - Sekomplotan mafia menculik Muriel Mckay, istri direktur koran. Mereka memeras suaminya untuk memberikan sejumlah uang agar Muriel dibebaskan.

-------------------------

Akhir tahun 1969 Rupert Murdoch, raja surat kabar asal Australia, pergi meninggalkan London selama enam minggu untuk berlibur ke negara asalnya. Ketika itu ia belum membeli Koran The Times of London yang menjadi kebanggaan orang Inggris, tetapi sudah melebarkan sayapnya ke Eropa dengan membeli koran sensasi News of the World yang terbit di London.

Ia meminjamkan Rolls-Royce yang biasa dipakainya kepada salah seorang direktur News of the World, Alick McKay, yang berasal dari Australia pula. Daripada dibiarkan menganggur lebih baik mobil mewah itu dimanfaatkan orang lain, pikirnya.

Hari Senin sore, tanggal 29 Desember 1969, setelah menghadiri rapat yang berkepanjangan, Alick McKay diantar pulang oleh sopir Rolls-Royce. Ia turun di muka rumahnya pukul 07.45 dan berpesan agar besok pagi dijemput seperti biasa, lalu ditekannya bel.

Ternyata istrinya, Muriel, tidak muncul-muncul. Setelah lama menunggu, McKay mencoba membuka pintu. Ia heran sekali pintu itu tidak terkunci, padahal sejak kemalingan bulan September Muriel tidak mau membiarkan pintu tidak terkunci setelah gelap.

McKay masuk, berjalan menuju pintu ruang dalam dan membukanya. la hampir terjatuh, karena tersandung benda-benda yang berantakan. Karena mengira ada maling, ia menyambar arit yang dilihatnya tergeletak di meja, lalu berlari ke tingkat atas sambil memanggil-manggil istrinya. Tetapi ia tidak menemukan Muriel.

Ia turun ke ruang duduk di lantai bawah, tempat istrinya biasa menunggu kedatangannya. Dilihatnya koran terbuka di lengan kursi Muriel. Carl, anjing tekel mereka, duduk di muka perapian, sedangkan TV dalam keadaan menyala.

Di dapur McKay melihat mantel istrinya di atas kursi. Dua potong steak untuk makan malam sudah berada di oven, tetapi belum dimasak.

Di tangga yang terletak di ruang dalam, tas istrinya tergeletak. Ia memeriksa isinya. Uang serta perhiasan yang biasa dibawa Muriel tidak ada di tas itu. Pintu ke ruang itu tampak bekas dibuka dengan paksa dari sebelah luar.

McKay mencarinya ke kebun. Ford Capri yang biasa dikendarai Muriel berada di garasi. Lalu ia pergi ke tetangga untuk bertanya kalau-kalau mereka mendengar sesuatu. Ternyata mereka tidak mendengar apa-apa. Jadi McKay meminjam telepon mereka untuk melapor kepada polisi.

 

Seperti panggung sandiwara Agatha Christie 

Rumah-rumah di kota satelit selatan London ini tampak kokoh dan makmur. Rumah McKay besar, dari bata merah dan diberi nama St. Mary House. Selain penampilannya memberi kesan pemiliknya makmur, rumah ini juga jauh dari tetangga. Dari jalan rumah itu tertutup sebagian oleh pagar kayu dan dari tetangga sebelah dialangi oleh deretan pohon.

McKay yang berumur antara 50 dan 60 tahun itu mengantar Birch ke ruang dalam yang besar berbentuk persegi. Sepasang sepatu berhak tinggi terletak rapi di kaki tangga. Di anak tangga pertama tampak tas tangan berwarna hitam dalam keadaan terbuka. Isinya tercecer di lima anak tangga lain. 

Sebuah telepon putih yang mestinya berada di meja seberang tangga, tergeletak dalam keadaan terbalik di lantai. Tempat angka-angkanya dicabut dan kabelnya direnggut dari dinding. 

Sebuah kacamata (milik McKay) berada di sebelah telepon. Di kursi ada segulung tali pengikat dan di atas meja, dekat foto anak-anak McKay ditemukan arit karatan. Di meja kecil dekat pintu ada plester yang sudah keriput.

Bagi Birch, keporakporandaan dalam ruangan berbentuk persegi ini tampak seperti dibuat-buat. la teringat pada panggung sandiwara yang akan mementaskan misteri Agatha Christie.

McKay menyatakan ia merasa yakin istrinya diculik, tetapi polisi tidak mau percaya begitu saja, karena jenis kejahatan seperti ini merupakan barang baru di Inggris. 

Muriel McKay digambarkan bertubuh sedang, tingginya sekitar 170 cm, berambut coklat tua, kulitnya agak gelap, bermata hijau, berwajah bundar telur, dan berumur 55 tahun. Ia dan Alick sudah menikah lebih dari 36 tahun. Menurut Alick, pernikahan mereka bahagia. 

Mereka mempunyai dua putri dan seorang putra, semuanya sudah dewasa. Tahun 1957 mereka datang ke Inggris. Sang putra, Ian, kemudian kembali ke Australia untuk berusaha dalam bidang periklanan seperti ayahnya. Dua putrinya, Diane dan Jennifer, sudah menikah dan tinggal di Inggris.

Diane Dyer dan Jennifer Burgess tiba tengah malam ditemani suami masing-masing.

Kemudian Birch menanyai Ny. Nightingale, yaitu pembantu rumah tangga yang datang setiap pagi dan pulang sore hari. Menurut Ny. Nightingale, sepanjang hari Ny. McKay tampak biasa.

Sore itu Ny. McKay mengantarkan Ny. Nightingale pulang dengan mobilnya. Karena Ny. Nightingale tiba di rumah pukul 17.30, diperkirakan Ny. McKay sudah kembali ke rumahnya sendiri 10 menit kemudian. Alick McKay baru pulang dua jam setelah itu.

Anak-anak McKay juga merasa ibu mereka pasti diculik, sebab untuk apa ia kabur. 

Sementara itu polisi memeriksa rumah-rumah sakit dan tidak mendapati Ny. McKay di sana.

Lewat tengah malam telepon berdering di rumah McKay. Suami Diane, David Dyer, mengangkatnya. Dahinya berkerut, lalu ia memberi isyarat dengan panik, agar ayah mertuanya datang. Sersan Detektif Wally White yang bertugas malam mengerti tanda itu. la berlari ke dapur untuk mengangkat extension yang berada di sana.

"Ini Grup Mafia 3," suara seorang pria di telepon. "Kami dari Amerika. Istri Anda ada pada kami."

"Istri saya ada pada Anda?" 

"Kami memerlukan uang 1 juta hari Rabu." 

"Saya tidak mengerti." 

Sesaat tidak ada suara.

"Mafia. Anda mengerti?" 

"Ya, saya pernah mendengarnya." 

"Istri Anda ada pada kami. Anda mesti membayar 1 juta." 

"Ah, yang betul! Dari mana saya bisa mendapat uang 1 juta?" 

"Lebih baik Anda berusaha mendapatkannya. Anda punya banyak teman. Minta dari mereka. Kami mencoba mendapatkan istri Rupert Murdoch. Kami tidak bisa mendapatkannya. Jadi kami ambil istri Anda." 

"Rupert Murdoch?" tanya McKay. 

"Anda harus mempunya uang 1 juta Rabu malam atau istri Anda kami bunuh." 

"Apa yang harus saya lakukan?" 

"Tunggu instruksi-instruksi kami untuk penyerahan uang. Usahakanlah mendapat uang itu atau Anda kehilangan istri. Kami akan menghubungi Anda lagi."

Dari operator yang menghubungkan pembicaraan ini, Sersan Detektif White mendapat keterangan berikut: Orang yang mengaku M3 itu menelepon dari bilik telepon umum di Belli Common, London Utara. Karena sulit mendapat sambungan ke nomor telepon McKay, operator menyambungkannya. 

Seperti polisi, operator juga mendapat kesan suara penelepon itu dalam, mulutnya ditutupi dengan kain dan aksennya seperti orang Amerika atau emigran kulit berwarna.

 

Mata saya ditutup, saya kedinginan

White melapor pada atasannya, Detective Chief Superintendent Bill Smith, mengenai Mafia 3 yang meminta uang tebusan 1 juta.

"1 juta? Dari mana McKay bisa memperolehnya? Apa orang yang meminta itu tahu berapa banyaknya uang 1 juta? Perlu truk untuk membawanya," komentar Smith. "Kita berurusan bukan dengan orang profesional."

Sulitnya, berita penculikan Muriel McKay ini disiarkan oleh BBC kira-kira 15 menit sebelum penelepon minta bantuan

Polisi lebih repot lagi setelah berita penculikan ini dimuat koran-koran keesokan harinya. Telepon McKay segera dibanjiri orang-orang yang ingin memberi keterangan dan juga oleh orang-orang yang mengancam dan yang iseng. Polisi memasang tape-recorder untuk merekam semua pembicaraan telepon

Smith memilih orang-orang yang terbaik untuk tim penyelidiknya. 

Hari Selasa, 30 Desember, pukul 17.01, telepon yang selalu sibuk itu berbunyi lagi. David Dyer mengangkatnya dan pita rekaman mulai berputar. Kedengaran mata uang menggelinding ke dalam kotak dan suara orang berbicara dengan mulut ditutupi.

"Istri Anda baru saja memposkan surat untuk Anda. Demi keselamatannya, mari kita bekerja sama dan jangan memanggil polisi. Uangnya sudah ada?" Telepon ditaruh sebelum Dyer sempat bertanya apa-apa.

Surat yang dimaksudkan tiba hari Rabu, 31 Desember pagi. Dari sampulnya diketahui surat itu diposkan pukul 06.45 di Tottenham N. 17. Kertas tulis yang dipergunakan bergaris biru. Tulisan itu rupanya dibuat dengan tangan sangat gemetar, sehingga sulit dibaca. Kalimat-kalimatnya tidak rata.

"Alick sayang, mata saya ditutup dan saya kedinginan. Hanya ada selimut-selimut. Harap berbuat sesuatu supaya saya bisa pulang. Harap mau bekerja sama, kalau tidak saya tidak bisa terus hidup. Saya selalu teringat kepadamu dan berlaku tenang selama ini. Apa kesalahan saya mengalami hal ini?" 

Love, 

Muriel

Alick McKay yakin itu tulisan istrinya. Jadi Smith menarik kesimpulan M3 memang menawan Muriel McKay. Dari Koran The People yang ditemukan McKay di dekat garasi mobilnya pada hari istrinya diculik, polisi berhasil mendapat sidik jari yang ternyata identik dengan sidik jari pada sampul surat ini. Tetapi tidak ada sidik jari yang cocok di file polisi. Hal ini dirahasiakan terhadap McKay.

Untuk mengimbau pengembalian Muriel McKay dengan selamat dan untuk menarik perhatian publik (siapa tahu ada yang bisa menolong), polisi menganjurkan Diane Dyer muncul dalam wawancara dengan Televisi BBC hari Selasa, 30 Desember malam. Keesokan harinya seluruh keluarga McKay muncul di Independent Television, tetapi penculik tidak memberi instruksi apa-apa. Deadline lewat. 

Hari Rabu malam, 31 Desember itu juga polisi menyarankan agar David Dyer muncul menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan yang bergerombol di muka pintu rumah McKay. la dianjurkan bertanya mewakili ayah mertuanya kepada para wartawan itu, "Apa yang mesti dilakukan Alick McKay untuk memperoleh kembali istrinya?" Padahal pertanyaan ini ditujukan kepada penculik Muriel McKay.

Keesokan harinya, Kamis siang, 1 Januari 1970, M3 memberi reaksi. la bercakap-cakap dua kali dengan Diane Dyer. M3 tidak memberi instruksi mengenai bagaimana caranya uang tebusan harus diserahkan, tetapi mengancam, "Anda sudah bertindak terlalu jauh, sudah terlalu jauh sekarang." Diane protes, "Apa yang terlalu jauh? Tidak ada yang terlalu jauh." 

Percakapannya diputuskan oleh M3. Beberapa menit kemudian M3 menelepon lagi. "Kalian harus mendapatkan 1 juta. Saya akan menghubungi lagi besok. Uang itu harus dalam pecahan 10 dan 5."

 

Minta tolong dukun

Hari-hari berlalu tanpa berita dari M3. Kesungguhan polisi mengesankan McKay. Polisi bahkan mencoba menghubungi dukun, tetapi pencarian di rumah kosong yang ditunjukkan dukun ternyata sia-sia.

Smith mencoba pendekatan lain untuk berhubungan dengan penculik. Dalam sebuah wawancara di rumah McKay diungkapkan bahwa Muriel akan mati kalau tidak memakan obatnya. Padahal ia cuma menderita encok dan minum Cortisone untuk mengobatinya.

‘Umpan’ ini diperkuat oleh McKay yang muncul di TV hari Jumat, 9 Januari. Tetapi M3 tidak masuk perangkap untuk membeli obat itu di apotek. Ia menulis surat pada News of the World dengan kertas dari buku tulis. Isinya menyatakan, begitu McKay mengenyahkan polisi, mereka akan memberi tahu bagaimana caranya menyerahkan uang tebusan.

Tanggal 12 Januari Diane Dyer menerima instruksi untuk menumpang bus pukul 05.45 dari Catford Garage. Sersan Detektif White menyamar sebagai Diane. Ia mengenakan rok mini dan menutupi wignya yang pirang dengan kain penutup kepala. 

Dua detektif lain mengikutinya. Mereka berpakaian sebagai pekerja. Sementara itu Inspektur Detektif Bland dari Scotland Yard membuntuti dengan taksi palsu. Di belakangnya ada rekannya dalam mobil preman. Bus yang mereka ikuti berjalan dari Catford ke Stamford Hill. 

Mereka semua tidak melihat mobil yang konon akan berjalan di belakang bus dan memasang headlight (lampu besar) sebagai tanda bahwa Diane harus turun di perhentian berikutnya. Jadi semua kembali dengan sia-sia. 

Tanggal 14 Januari, M3 menyatakan kepada McKay, ia akan mendapat istrinya kembali jika mau bekerja sama dan meyakinkan McKay bahwa Muriel memakan obat yang dibutuhkannya dan katanya M3 akan menghubungi McKay lagi.

Dari pita rekaman, polsi mendengar McKay berkata, "Saya mau bekerja sama, tetapi saya tidak bisa memenuhi permintaan yang tidak mungkin saya laksanakan. Mintalah jumlah uang yang masuk akal. Tidak ada orang yang mempunyai uang 1 juta dan saya tidak bisa memberi yang tidak saya miliki."

Polisi menasihati McKay yang putus asa itu jangan terlalu banyak bicara. Biarkan M3 yang bicara. Tetapi polisi kemudian bahwa McKay memang tidak diharapkan untuk lebih menahan diri, sebab ia seperti halnya dengan putri-putrinya sudah terlalu emosional. 

Kini polisi mengalihkan harapan pada Ian McKay. Putra Alick McKay ini sudah datang dari Australia dan dia bermental baja, objektif, serta cerdas. Kiranya ia bisa melayani penculik serakah yang tidak mau melihat kenyataan bahwa McKay tidak mungkin mendapat uang 1 juta.

Ian diminta berpura-pura sudah berhasil mendapat uang 1 juta, tetapi ia harus mendesak M3 untuk membuktikan ibunya masih hidup dan ada di tangan M3. Dari sikap Ian sendiri polisi menarik kesimpulan bahwa pria ini yakin ibunya sudah tewas.

Polisi mengingatkan Ian bahwa tugas ini tidak mudah, tetapi Ian bersedia melakukannya.

M3 minta polisi menarik diri dari kasus ini, tetapi atas instruksi polisi, Ian nyatakan hal ini tidak mungkin, karena polisi curiga ayahnya terlibat dalam kasus ini.

Smith merasa sedih akan nasib Muriel dan terdorong untuk berusaha sekuat tenaga ketika datang dua surat lagi dari Muriel. Satu ditujukan untuk Alick dan satu lagi untuk Diane. Surat itu tiba tanggal 21 Januari. 

Muriel memohon agar keluarganya mau memenuhi permintaan penculik secepatnya dan jangan berhubungan dengan polisi kalau ingin ia selamat. Seperti pada surat pertama, ia menulis: "Mata saya ditutup dan saya kedinginan." Ia juga menulis kesehatan dan semangatnya merosot. 

Dari isinya jelas kedua surat itu dikirim dengan urutan yang keliru. Menurut penilaian Smith, surat-surat itu mestinya ditulis tidak lama setelah Ny. McKay diculik, tetapi baru dikirimkan saat itu oleh si penculik.

 

Hari H: 1 Februari

Berbarengan dengan kedatangan surat-surat itu, M3 menyatakan tanggal 1 Februari sebagai hari pembayaran tebusan. Smith menyarankan agar Ian meminjam beberapa ratus poundsterling asli dan sisanya akan disediakan oleh polisi. Sisanya ini uang palsu.

M3 menginstruksikan agar uang itu dibawa oleh Alick McKay dalam Ford Capri. Polisi mengajari Ian agar meminta kepada penculik untuk menggantikan ayahnya dan diperbolehkan memakai Rolls-Royce yang bersopir, tetapi sebenarnya bukan Ian yang akan pergi karena risikonya besar. 

Seorang polisi akan menyamar sebagai Ian dan polisi lain menyamar sebagai sopir. Karena itulah polisi ingin memakai Rolls-Royce

Hari Minggu, 1 Februari, pukul 10.37 itu M3 menelepon. 

"Sudah menerima surat?" 

"Sudah, kemarin," jawab Ian. Lalu putra McKay ini melanjutkan, "Tetapi tidak ada bukti ia masih hidup dan sehat. Surat-surat itu bisa saja ditulis berminggu-minggu yang lalu. Kami sudah punya uangnya, tetapi baru akan diserahkan kepada Anda kalau terbukti ia masih hidup."

"Jadi mau apa?" suara M3 meninggi. "Kami harus membuka bajunya dan mengirimkannya kepada Anda? Kita 'kan sedang bisnis dan kami mau menjual barang yang baik. Kalau Anda tidak mau bekerja sama, Anda akan menemukannya sebagai mayat di muka pintu Anda. Untuk terakhir kalinya saya bertanya: Mau bekerja sama atau tidak?"

"Tentu saja mau, tapi kami ingin bukti...." 

"Kalau begitu Anda tidak akan mendapatkan dia dalam…”

"Memang tidak bisa," tukas Ian. "Yang Anda miliki kini mayat. Mayat!" 

"Ia masih hidup." 

"Yang Anda miliki mayat. Ia sudah meninggal. Anda cuma mencoba menipu kami."

"Masa bodoh kalau Anda berpendapat begitu. Kami masih banyak pekerjaan lain."

"Berapa kali Anda pernah menculik?"

Sepi sebentar, seakan-akan M3 terkejut mendengar pertanyaan tidak terduga ini. 

"Selama ini saya belum pernah membunuh orang," jawabnya kemudian. "Tetapi akan segera membunuh satu orang. Mengerti?" 

"Baik, tapi Anda tidak akan memperoleh uangnya."

"Saya akan meletakkan telepon ini." Tetapi tampaknya M3 segan meletakkan telepon. Ian McKay berpikir-pikir, apakah ia tidak terlalu gegabah? Mungkin saja M3 meletakkan telepon dan tidak akan menghubungi mereka lagi. Kemudian M3 berkata lagi, "Coba pikir, kalau Anda mau bekerja sama, kita teruskan. Kalau tidak, persetan dengan uang itu dan Anda tidak akan melihat ibu Anda lagi."

Ian menarik napas panjang. "Saya ingin mendengar suaranya di pita rekaman."

"Tidak, tampaknya Anda tidak mau...." 

"Baik, minta ia menulis surat lagi. Beli Koran Evening Standard yang keluar sore ini dan suruh dia menyalin headline serta tanggalnya dengan penuh." 

"Kami tidak mau meladeni Anda ...." 

Ian memotong, "Headline surat kabar sore ini dan tanggalnya dengan penuh. Saya akan menaruh telepon ini." Ian membanting telepon untuk menekankan kesungguhannya.

 

Mengantarkan koper uang

Sesaat setelah tengah hari M3 menelepon lagi. "Saya baru berbicara dengan dia, eh ibu Anda. Ia bertanya mengapa Anda mau mengorbankan dia. Kalau Anda ingin ia kembali, ikuti instruksi-instruksi saya."

Kini antara Ian dan M3 sudah ada ikatan dan M3 bicara terus dan sederas air sungai, karena yakin polisi tidak bisa melacak dari bilik telepon umum mana ia menelepon.

Senin, 26 Januari Alick McKay menerima guntingan pakaian dan mantel yang dikatakan hilang dari lemari Muriel oleh Diane dan Jennifer. Juga guntingan kulit sepatu. Jelas benda-benda itu digunting dengan gunting bergerigi. Alick diinstruksikan oleh M3 untuk menurut dan M3 tidak mau berurusan dengan Ian McKay.

M3 tidak bisa memberi bukti yang diminta Ian, sehingga harapan bahwa Muriel masih hidup boleh dikatakan tidak ada. M3 pasti tahu polisi tetap mengikuti kasus ini. Mengapa ia masih tetap mau minta tebusan? Para pelaku kriminal yang berpengalaman pasti tidak akan melakukannya. Mungkin mereka amatir. Mereka juga melakukan kesalahan besar dengan mengirimkan surat-surat yang urutannya keliru. 

Lagi pula sidik jari salah seorang di antara komplotan ini tidak ada dalam file polisi. Jadi ia bukan langganan polisi. Tetapi amatir ataupun bukan, kalau terpojok ia bisa berbahaya. Yang jelas mereka licik dan serakah, mereka akan mengecek apakah Ian McKay diikuti.

Smith meminta bantuan Scotland Yard dan juga Kementerian Dalam Negeri. Scotland Yard menyediakan 180 polisi, 56 mobil preman, ruang berteleks yang mempunyai map besar serta telepon-telepon sirkuit terbuka maupun tertutup untuk mengikuti penyerahan uang tebusan dan menyergap para penculik itu.

Semua surat dari M3 dikirimkan dari London Utara. Jadi diperkirakan uang tebusan harus diserahkan di daerah itu juga.

Jumat, 30 Januari 1970, setelah seminggu berdiam diri, M3 menelepon. Ian McKay sudah diajari polisi untuk bersilat lidah dengannya. Dengan berusaha sewajar mungkin Ian berkata Ford Capri ibunya sudah lima minggu di garasi. Kalau dibawa ke luar pasti dipotreti para wartawan. 

Ia akan naik Rolls-Royce saja ke bilik telepon yang ditentukan. Karena ia tidak begitu kenal daerah London Utara dan karena sebelah tangannya luka sehingga harus digendong, ia akan membawa sopir. 

Apalagi ia belum pernah menyetir sendiri Rolls-Royce, pasti para wartawan tahu ia akan menyerahkan uang tebusan kalau ia pergi sendiri. M3 menelan umpan tanpa banyak rewel.

Smith memutuskan agar Inspektur Detektif John Minors menyamar sebagai sopir, tetapi di balik seragam sopirnya ia menyelipkan pistol. Sersan Detektif Roger Street menyamar sebagai Ian McKay. Pada malam yang gelap ia mirip dengan putra Alick McKay. Apalagi tidak mungkin para penculik berani terlalu dekat dengannya.

Di lapisan pengikat tangannya ada radio dua arah. 

Dalam perjalanan, Street berhubungan dengan Smith. Mereka mengikuti instruksi yang ditentukan oleh penculik untuk pergi ke bilik telepon di Church Street. Bilik itu terletak di sudut dan kosong. Ketika mereka tiba, hari hampir pukul 22.00. 

Street turun dan menunggu di bilik telepon. Rasanya lama sekali, walaupun cuma sebentar. Telepon berdering dan suara M3 terdengar, "Siapa itu?"

"Ian McKay," jawab Street menirukan aksen Australia.

M3 menginstruksikannya untuk pergi ke bilik telepon lain di Southbury Road. Di sini Street mendapat telepon dari M3 pukul 23.45. Dari mobil, Minors melihat Street tiba-tiba berhenti berbicara dan membungkuk untuk memungut secarik kertas dari lantai yang berisikan instruksi tertulis. 

Kertas itu ternyata bekas bungkus rokok Picadilly. Mereka disuruh pergi ke Desa High Cross, di Hertfordshire dan meninggalkan koper berisi uang di tanggul jalan, yaitu di tempat yang diberi tanda dengan dua bunga kertas. 

Setelah itu mereka mesti kembali ke bilik telepon di Church Street untuk mendapat instruksi di mana bisa ditemukan Ny. McKay. 

Mereka mengulur waktu untuk menyempatkan Smith memasukkan polisi ke dalam mobil-mobil preman ke daerah itu, tetapi tentu mereka tidak bisa terlalu berlamban-lamban, supaya M3 tidak curiga. Dane End, tempat yang ditunjuk oleh M3, merupakan tempat yang tidak menguntungkan bagi polisi, sebab di sana tidak ada banyak tempat untuk bersembunyi. 

Satu demi satu mobil preman berisi polisi melewati Rolls-Royce dan lenyap dalam kegelapan malam. Minors mengangkat kakinya dari gas ketika melihat tanda-tanda yang ditunjukkan M3 dalam instruksi tertulisnya: sebuah tonggak penunjuk arah ke Dane End. Di tanggul jalan mereka melihat dua bunga kertas dari tisu, sebuah kuning, sebuah hijau.

 

Volvo yang mencurigakan 

Suasana sepi sekali. Air hujan menitik dari pohon-pohon tidak berdaun, menimpa atap mobil. Ketika Minors membantu Street menurunkan koper, mereka mendengar suara gemeresik dari pagar taman di belakangnya, seakan-akan ada orang merangkak di rumput yang basah untuk melihat lebih dekat. 

Minors segera meraba pinggulnya. "Kembali ke mobil dan kunci pintunya," bisiknya pada Street. Street menurut. Minors tahu ada orang yang mengawasinya dari balik pagar. 

Orang itu berkepala botak. la mengenalinya. Tiba-tiba saja ketegangannya menurun, walaupun hatinya tetap berdebar-debar. Ketika kembali ke mobil, Street bertanya: 

"Siapa?" 

"Orang kita, O'Hara." Minors mengemudikan mobil kembali ke Edmonton.

Pukul 02.30 koper di tepi jalan belum ada yang mengambil. Selama dua setengah jam jumlah mobil yang lewat tidak lebih dari selusin. Semua nomor pelat dan pengemudinya dikenal oleh Smith, kecuali sebuah Volvo 144 yang penuh lumpur. Lampu kirinya mati.

Sampai pagi koper itu tidak diambil orang. Keluarga McKay sudah kehilangan harapan, tetapi Ian masih mau mendengarkan saran-saran polisi untuk menghadapi M3 kalau menelepon lagi. Sebenarnya kecil harapan mendengar lagi dari M3, tetapi M3 ternyata menelepon. Suaranya marah. 

"Anda menipu kami." 

"Apa?" 

"Kami melihat polisi." 

"Kalau Anda melihat polisi, artinya mereka hadir di luar tahu saya." 

"Anda tidak mau bekerja sama." 

"Saya bekerja sama. Mana saya tahu mereka mengikuti saya." 

"Saya menghubungi anak buah dengan radio dan mereka bilang polisi mengikuti Rolls."

M3 menyatakan bos mereka melihat mobil-mobil sekeliling tempat pengambilan uang. M3 bilang, ia akan memberi instruksi, tetapi hanya mau berurusan dengan Alick McKay.

Polisi tidak percaya penculik memakai peralatan radio. Polisi juga mendapat keterangan dari seorang penduduk bahwa tanggal 29 Desember ketika mengendarai mobil dari Wimbledon ke Putney, ia menemukan sebuah Volvo berlumpur diparkir dekat lapangan. Di dalamnya ada dua pria. Yang seorang seperti orang Arab.

(Smith begitu yakin M3 itu memiliki aksen Hindia Barat. Bisa saja orang Hindia Barat tampak seperti orang Arab). Sepuluh menit kemudian Volvo yang diparkir itu menuju Church Street yang tidak jauh dari Arthur Road. Mungkin Volvo itu patut diperhatikan, demikian saran Sersan Detektif Stevens, mengingat Volvo 144 di Dane End pada hari pembayaran tebusan yang gagal itu. 

Sayang, Volvo itu tidak bisa dilihat nomornya. Daerah sekitar Herthordhire disisiri, tetapi di daerah itu tidak didapati penduduk dari Hindia Barat maupun bertampang Arab. Ada seorang petani Pakistan yang tinggal di Stocking Pelham. 

Ia naik Volvo, tetapi baik orang itu, istrinya yang berkebangsaan Jerman, maupun adik laki-lakinya tidak tampak mempunyai potensi menjadi kriminal.

Dari kertas pembungkus rokok Picadilly, polisi menemukan sidik ibu jari yang cocok dengan sidik jari di sampul berisi surat pertama Ny. McKay dan dari Koran The People yang ditemukan di halaman rumah direktur Surat Kabar News of the World.

 

Dicoba lagi

Kemudian M3 menelepon lagi, mengajak mengatur pembayaran uang tebusan sebanyak 0,5 juta. Ia ingin uang itu dibawa oleh Alick McKay dan Diane Dyer. Penculik rupanya tidak tahu berapa banyaknya uang 0,5 juta. Ia minta uang itu dibawa dalam dua tas, padahal perlu dua koper.

Beberapa jam kemudian M3 menyatakan bahwa keesokan harinya, Jumat, 6 Februari, McKay dan Diane harus naik Rolls-Royce ke bilik telepon di Chruch Street. Di situ mereka akan menerima instruksi baru.

Mereka harus ada di sana pukul 16.00. Artinya, Smith hanya mempunyai waktu kurang dari 24 jam untuk membuat rencana dan menjalankannya. Sekali ini ia tidak mau gagal lagi. 

Ia tidak lagi menyuruh mobil Rolls-Royce, melainkan meminta bantuan polisi Hertforshire. Lalu dipilihnya orang untuk disebar di jalan-jalan daerah tertentu di London Utara. Dua koper berisi uang tebusan diberi homing device, obat yang akan memudahkan pelacakan. 

Ia juga menganggap helikopter diperlukan pada saat-saat udara masih terang dan bagian atas atap Rolls-Royce perlu diberi tanda agar mudah dikenali dari atas.

Minors menyamar sebagai Alick McKay, sedangkan Detective Constable Joyce Artmitage yang sudah berpengalaman menyamar jadi Diane Dyer. Inspektur Detektif John Bland akan disembunyikan dalam mobil.

Bland yang bertubuh kecil dan langsing berbaring dalam ruang bagasi. Ia dilengkapi dengan tabung oksigen, karena khawatir keracunan asap karbon monoksida. Ia juga dilengkapi dengan radio dua arah supaya Minors bisa memberi tahu apa yang terjadi.

Di bilik telepon Minors menunggu 40 menit, barulah M3 menelepon. Hari mulai gelap. Artinya, helikopter sudah tidak berguna lagi. Minors menirukan aksen Australia dan mengaku bahwa ia Alick McKay yang pergi hanya dengan Diane. 

Ia diperintahkan ke bilik telepon di Bethnal Green Road. Minors menelepon Komandan Guiver di Scotland Yard untuk memberi tahu ia diperintah ke sana. 

Letak bilik telepon itu dekat kantor polisi. Beberapa menit kemudian M3 menyuruhnya meninggalkan Rolls di stasiun trem bawah tanah Bethna Green dan naik trem Central Line ke Epping dari Meydon Bors. 

Di sebuah bilik telepon yang ditunjukkan M3 di Stasiun Epping itu ia harus menunggu instruksi selanjutnya. M3 juga minta berbicara dengan Diane. Berarti polisi harus menyusul mereka ke luar London lagi.

Bland di dalam bagasi sudah pegal dan mengantuk ketika Minors menghubunginya lewat radio dan memberi tahu instruksi M3. Bland akan naik kereta juga dengan mereka, tapi duduk di ujung gerbong. Di Epping ia akan turun dan melalui kantor penjual karcis akan keluar dan menunggu kedua temannya di jalan yang berdekatan.

Bland dikeluarkan di pelataran parkir, lalu ia antre karcis kereta. Kira-kira 10 m dari Bland berdiri Minors dan Joyce Artmitage dengan dua koper. Ketika Minors dan Joyce sudah naik ke kereta, Bland juga naik. Di Epping, Bland turun dan menuju tempat yang agak terlindung di tepi jalan. Dari tempat ini ia bisa mengamati stasiun.

Minors dan Joyce masuk ke bilik telepon yang dimaksudkan oleh M3. Pukul 19.30 telepon berbunyi. M3 menyatakan kedua orang itu diikuti.

"Ah, Anda membayangkan yang bukan-bukan," jawab Minors. "Kami tidak diikuti siapa pun."

 

Sopir taksi heran

Mereka diperintahkan naik taksi ke Gates Garage. Kata M3, di sebuah bekas pelataran parkir ada mobil gerbong kecil UMH 587F. Koper-koper harus ditaruh di trotoar di seberang mobil gerbong ini. Lalu mereka diperintah kembali ke Epping menunggu instruksi. "Kami akan memberi tahu di mana Muriel. Mengerti?" kata M3.

Ia berpesan lagi, “Kalau naik taksi, taruh koper itu di bangku belakang, supaya saya bisa melihatnya." M3 juga mengancam akan membunuh Muriel dan mempergunakan senjata-senjata api teleskopik untuk membunuh mereka kalau polisi campur tangan.

Minors memberi tahu Guiver dan Smith. Lalu ia memesan taksi lewat telepon. Sebetulnya lebih baik kalau polisi bisa menyediakan taksi palsu, tetapi saat ini tidak mungkin. Terpaksa mereka harus mempergunakan taksi-taksi sejati, walaupun ini membahayakan keselamatan sopirnya.

Bland melihat kedua temannya menaruh koper-koper di bangku belakang sebuah taksi Ford Zephyr. Joyce duduk di belakang, Minors menutup pintunya, lalu duduk di sebelah sopir. Bland keluar dari tempat berlindung. 

Ia pergi ke tepi jalan dan berhati-hati agar cahaya lampu mobil cuma menyinarinya sesaat. Temannya melihat dan meminta taksi berjalan perlahan. Pintu belakang dibukakan. Bland merangkak masuk dan Minors menutup pintu. Sopir taksi tidak senang. "Apa-apaan kalian?" tegurnya.

"Kami mau mengibuli teman," jawab Minors yang memakai topi berbulu.

Sementara itu Smith meninjau ke tempat tujuan Minors. Didapatinya mobil gerbong yang dimaksudkan oleh M3 berada dalam cahaya terang. Daerah itu sulit diawasi polisi secara tidak kentara. Tetapi menurut pertimbangannya, dua polisi bisa diselundupkan ke halaman kantor pajak di sebelah pelataran parkir.

Ketika taksi yang ditumpangi Minors tiba ke dekat tempat itu, Minors meminta Bland merangkak ke luar dari taksi menuju kebun di muka sebuah rumah di sebelah kiri dan bersembunyi di belakang pagar. Dari sana ia akan bisa mengawasi tempat koper uang harus diletakkan.

Minors keluar dari membuka pintu belakang, membungkuk ke dalam taksi untuk mengambil koper, sementara Bland merangkak ke luar melalui kedua kaki Minors.

Sopir heran karena kedua koper ditinggalkan di trotoar. "Nanti disambar orang," katanya

"Tidak apa-apa," jawab Minors. "Kami sedang bergurau." Setelah itu ia meminta sopir membawanya kembali ke Epping.

Dari belakang pagar, Brand mengawasi koper-koper yang hampir bisa diraihnya. Udara dingin sekali, sehingga ia merasa menderita. Pukul 09.05 sebuah Volvo biru tua yang bernoda lumpur lewat perlahan-lahan. Lampu kiri kendaraan itu mati. Sopirnya berhenti di tepi jalan, menjenguk ke luar dan memandang koper-koper di tepi jalan. 

Rambutnya panjang, hitam. Kupingnya besar dan wajahnya muda. Bland menaksir umurnya mungkin awal 20-an. Dari kulitnya diperkirakan ia berasal dari India. Tampaknya ia mau turun, tetapi tidak jadi ketika sebuah mobil membunyikan klakson di belakangnya. Volvo yang lampu kirinya mati juga tampak di Dane End!

Kira-kira sepuluh menit kemudian, pintu rumah terbuka dan seekor anjing kecil mencium-cium menuju ke kebun. Di beberapa tempat ia mengangkat sebelah kaki belakangnya. Tiba-tiba itu berhenti dan menegakkan kepalanya. 

Bland mengira pasti binatang itu telah menangkap baunya. Ia hampir tidak berani bernapas. Untung pemilik anjing memanggil dari dalam dan anjing itu masuk.

Volvo datang lagi. Sekarang dari arah yang berlawanan. Pengemudinya melirik koper itu, ragu-ragu lagi. Koper-koper itu jelas sekali tampak oleh orang-orang yang lewat di sana, tetapi mereka cuma melirik sebentar, lalu tidak mengacuhkannya.

Sejam kemudian Volvo itu kembali. Jalannya perlahan sekali. Sekali ini di sebelah pengemudi ada penumpang pria. Mobil itu berhenti. Kedua pria itu seperti akan membuka pintu, tetapi tidak jadi. Kendaraan itu pergi perlahan-lahan dan menghilang dalam kegelapan malam.

Kini mulai ada orang lain yang tertarik pada koper itu. Sepasang orang muda menghentikan mobilnya untuk memeriksa koper itu. Lalu datang seorang pria yang berjalan membawa anjing. Mereka bertiga bercakap-cakap. 

Bland mengharapkan mereka pergi meninggalkan benda itu, tetapi mereka tetap saja di situ. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengusir mereka. "Pergi! Saya polisi," bisiknya dari balik pagar. Ketiga orang itu memandang ke kanan dan kiri. "Polisi!" ulangnya dengan galak.

Pria yang membawa anjing pergi. Pasangan yang naik mobil kembali ke kendaraannya. Tampaknya mereka akan melapor pada polisi setempat. Bland ingin sekali menghubungi Smith dengan radio mengenai Volvo bernomor XG0994G itu. Tetapi ia pikir lebih bijaksana kalau radio dibiarkan membisu, kalau-kalau tertangkap oleh lawan. Pasti ada polisi lain yang memberi tahu Smith, pikirnya.

Bland benar. Smith sudah tahu nomor Volvo itu dan meminta Scotland Yard mengeceknya. Sejam kemudian ia mendapat jawaban bahwa Volvo itu tercatat sebagai milik Ny. Ella Hosein dari Rooks Farm, Stocking Pelham. Tempat ini pernah didatangi polisi, tapi penghuninya dianggap tidak mempunyai potensi sebagai penculik.

Pada saat itu para polisi sudah dalam keadaan lelah dan pada hari semalam itu tidak mungkin mereka menggeledah tanah pertanian itu dengan tim lain, sebab Bland dan para polisi yang sedang mengawasi Gates Garage harus hadir mengidentifikasi pengemudi dan penumpang Volvo. 

Ia memutuskan untuk memblokir saja jalan ke rumah pertanian itu dan bergerak kalau sudah terang dengan orang-orang yang sudah segar, agar jangan terjadi kesalahan. Mereka sudah mencoba mencari M3 selama hampir enam minggu, dan kini mereka harus menunggu beberapa jam lagi.

 

Terjebak

Iring-iringan mobil polisi itu menuju Rooks Farm. Dua ekor anjing Alsatian menggonggong ketika Smith dan Superintendent Harvey dari kepolisian setempat turun dari kendaraan ke pintu rumah. Pintu diketuk dua kali sebelum dibukakan oleh seorang wanita pirang yang gemuk, tetapi menarik. 

"Ny. Elsa Hosein?" 

"Betul." 

"Kami polisi. Saya mempunyai surat perintah resmi untuk menggeledah rumah ini." 

Seorang pria langsing berkulit gelap muncul di samping wanita itu. "Saya Arthur Hosein,” katanya. "Barangkali saya bisa menolong Anda?"

Smith dan Harvey memperkenalkan diri. Mereka menyatakan mencari perhiasan yang dicuri dari Ny. Muriel McKay.

"Oh, tetapi saya tidak tahu-menahu," jawab Arthur dengan tenang sambil tersenyum. "Saya mempunyai penghasilan lebih dari £ 150 seminggu. Saya bukan tukang tadah, tetapi Anda boleh mencari sekehendak Anda."

Ketika polisi menggeledah, Smith dan Harvey diajak minum oleh Arthur. la mengaku datang dari Trinidad, Hindia Barat, tahun 1955, tetapi asalnya dari Pakistan.

Di sebuah kamar tidur Bland menemukan seorang pria muda berambut panjang, berkuping besar, dan tanda bekas cacar di pipi dan mulut setengah terbuka seperti sulit bernapas dari hidung. Namanya Nizamodeen. la adik Arthur, la pria pengemudi Volvo semalam! 

Detektif lain menemukan bunga-bunga kertas biru dan kuning di salah sebuah kamar anak-anak, sama seperti yang ditempatkan di tanggul Dane End untuk memberi tanda di mana uang tebusan harus ditempatkan.

Arthur Hosein menyatakan belum pernah melihat bunga kertas itu. Sersan Detektif Quarry mengenali Arthur Hosein sebagai pria yang duduk di sebelah pengemudi Volvo semalam.

Di kamar Nizam ditemukan buku tulis bergaris biru yang kertasnya seperti yang digunakan untuk surat-surat minta tebusan. Dalam salah sebuah celana panjangnya ada secarik kertas bertuliskan nomor mobil gerbong kecil di Gates Garage. Di kamar kerja Arthur ditemukan gunting bergerigi empat yang dipakai menggunting pakaian dan sepatu Muriel. 

Selain itu ditemukan seikat tambang seperti yang didapati di rumah McKay pada hari penculikan, kotak plester kosong, dan bungkus rokok Picadilly seperti yang dipakai menuliskan instruksi. Di dapur ditemukan arit seperti yang dijumpai di ruang persegi rumah McKay dan sebuah senapan. Arthur dan Nizamodeen di bawa ke London.

Di jalan Arthur membual. Katanya, ia penjahit dan orang bisnis yang sukses. Katanya, bapaknya kaya. Ia sama sekali tidak keseleo lidah. Namun kenyataannya, sidik jarinya cocok dengan yang terdapat pada Koran The People, pada sampul dan prangko surat Muriel yang pertama dan pada bungkusan rokok Picadilly di bilik telepon Church Street.

Para ahli forensik memeriksa buku tulis yang didapati di kamar Nizam dengan ultraviolet. Ternyata tampak tulisan seperti yang diterima News of the World dari M3 pada tanggal 10 Januari 1970.

Arit di rumah McKay dikenali oleh petani setempat sebagai miliknya yang hilang di Rooks Farm. Para ahli tulisan tangan menyatakan sedikitnya dua surat permintaan tebusan ditulis oleh Nizam.

Kemudian diketahui juga bunga-bungaan kertas tisu yang ditemukan, dibuat oleh Ny. Liley Mohammad, pacar Nizam. Pegawai pos Garage, Michael Byres, melihat Volvo lewat beberapa kali hari Kamis, 5 Februari, dan sekali ia berbicara dengan pengendaranya, Nizamodeen, yang ia kenal.

Pada hari penculikan, Arthur cuma berdua dengan Nizam di Rooks Farm, karena Elsa dan anak-anak berlibur ke Jerman dan baru kembali tanggal 3 Januari.

Diketahui pula tanggal 19 Desember, Nizam pergi ke Country Hall, Westminster, untuk bertanya ke kantor pendaftaran kendaraan. Katanya, ia terlibat kecelakaan kecil dan ingin tahu siapa pemilik Rolls-Royce bernomor ULO 18F. Di formulir ia mengaku bernama Sharif Mustapha dari Norbury, London (Sharif Mustapha yang asli ialah sepupunya).

Kakak-beradik Hosein mengira Rolls-Royce itu milik Rupert Murdoch, tapi petugas menyatakan mobil mewah itu didaftarkan sebagai milik News of the World. Karena tidak tahu keadaan Murdoch di London, keduanya mengikuti Rolls waktu meninggalkan gedung News of the World, dengan akibat menemui Muriel McKay, bukan Anna Murdoch.

Meskipun Rooks Farm diperiksa dengan saksama, Muriel McKay dan perhiasannya yang hilang tidak bisa ditemukan.

Bulan September 1972 kedua bersaudara ini diadili di Old Bailey. Selain dituduh membunuh Muriel McKay, mereka juga dituduh melakukan lima kejahatan lain, dua di antaranya meminta 1 juta dengan ancaman. Sidang berlangsung lebih dari tiga minggu. 

Arthur Hosein dijatuhi hukuman penjara seumur hidup untuk pembunuhan, ditambah 98 tahun penjara untuk kejahatan lainnya. Nizam dijatuhi hukuman seumur hidup, ditambah 78 tahun. (The Super Sleuths)



" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304086/mafia-3-salah-culik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654263948000) } } [14]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3257657" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/kisah-keempat-belas-eduardo-olsz-20220428070657.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(122) "Peristiwa penculikan ternyata sudah diramalkan oleh sebuah novel. Jika diceritakan riwayatnya, sebuah pistol akan meletus." ["section"]=> object(stdClass)#168 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Misteri" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "mystery" ["id"]=> int(1368) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Misteri" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/kisah-keempat-belas-eduardo-olsz-20220428070657.jpg" ["title"]=> string(61) "Mati Bareng dengan Loncengnya dan Pistol yang Masih Penasaran" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-29 10:12:31" ["content"]=> string(8093) "

Intisari Plus - Peristiwa penculikan ternyata sudah diramalkan oleh sebuah novel. Jika diceritakan riwayatnya, sebuah pistol akan meletus. Sebuah peluru yang baru menewaskan orang bertahun-tahun kemudian.

--------------------------------------

Mati Bareng dengan Loncengnya

SEBUAH lonceng penuh hiasan milik Raja Louis XIV dari Prancis, mati bertepatan dengan saat kematian sang raja, pukul 07.45, 1 September 1715 dan sejak itu tidak pernah bisa dihidupkan lagi.

 

Penculikan Politik

ADA sebuah buku yang menceritakan penculikan dan "cuci otak" terhadap Patty Hearst, putri seorang hartawan Amerika, sebelum penculikan itu terjadi. Novel itu, Black Abductor (Penculik Hitam) ditulis oleh James Rusk dan diterbitkan tahun 1973. Peristiwa-peristiwa yang diceritakannya begitu mirip dengan penculikan terhadap Patty Hearst yang terjadi 1974 sampai sangat mencengangkan. 

Baik peristiwa penculikan tahun 1974 itu, maupun novel rekaan Rusk sama-sama mempunyai tokoh-tokoh berikut: Seorang mahasiswi bernama Patricia, putri seorang hartawan dan tokoh sayap kanan terkemuka, diculik dekat kampus universitasnya saat sedang bersama dengan pacarnya yang dipukuli sampai luka parah. Mula-mula, pacarnya menjadi orang yang dicurigai dalam kasus ini. 

Para penculik yang dipimpin oleh seorang pemuda hitam yang berang, adalah anggota sebuah kelompok teroris revolusioner. Mula-mula, gadis tawanan itu tidak mau bekerja sama, tetapi kemudian ia menganut ideologi mereka dan ikut dengan kelompok itu. Muncullah istilah "penculikan politik pertama di Amerika". 

Para penculik mengirimkan foto-foto polaroid wanita muda itu bersama dengan pesan-pesan untuk ayahnya. Para penculik rekaan meramalkan - seperti terjadi dalam penculikan yang sebenarnya - bahwa akhirnya mereka dikepung polisi, dilempari gas air mata, dan tewas. 

Empat minggu setelah penculikan Hearst, FBI mengunjungi Rusk, pengarang novel itu. Mereka mencurigai dia terlibat dalam rencana dan penculikan, atau penculik mendapat ide dari bukunya. Mereka sulit menerima bahwa peristiwa itu cuma kebetulan.

 

Kepingan Penny Tahun 1942

BARBARA Mercier, yang genap berumur 50 tahun akhir 1991, diberi sekeping uang penny buatan tahun 1942 oleh saudara laki-lakinya untuk memperingati peristiwa itu. Ia meletakkannya di atas video keluarga mereka. 

Keesokan harinya, Ny. Mercier membawa cucunya yang masih kecil, Cassie, ke dokter. Di ruang tunggu, ia melihat anak itu mempermainkan sekeping uang penny tahun 1942. Ia memarahi Cassie karena mengambil uang itu dari atas video. Cassie bersikeras tidak mengambilnya. Katanya, ia menemukan uang penny itu di ruang tunggu. 

Ketika mereka pulang ke rumah, uang penny yang satu lagi masih bertengger di atas video.

 

Pistol yang Masih Penasaran

KJSAH berikut ini dituturkan oleh Sir Harold Nicolson dalam eseinya Coincidences (Kebetulan-kebetulan). 

Mei 1866, Pangeran Bismarck, ketika sedang berkendaraan di Unter den Linden, didekati oleh seorang mahasiswa bernama Cohen Blind, yang mencabut revolver dan menembak empat kali dari jarak dekat. Dua peluru luput, yang sebuah menancap di bahu Bismarck dan sebuah lagi menembus paru-paru. 

Sang Kanselir Raja bukanlah orang yang mempan diganggu hal kecil seperti itu. Enam hari kemudian ia sudah muncul di muka umum dengan tubuh tegak dan dominan, berkendaraan di Unter den Linden. Hen (Tuan) Blind sudah ditangkap dan revolvernya disita. Senjata itu dihadiahkan kepada Bismarck sebagai kenang-kenangan peristiwa itu.

Tahun 1886, ayah teman saya, Leopold, menginap di rumah Bismarck , yang masih terhitung kerabatnya karena pertalian pernikahan. Ada beberapa wanita menginap di rumah itu. Setelah makan siang, Putri Bismarck mengajak kaum wanita berkeliling melihat-lihat ruangan, sambil menunjukkan kepada mereka benda-benda bersejarah di dalamnya. 

Bismarck sendiri dan para tamu pria tinggal di ruang tempat merokok sambil mengisap cerutu Hamburg. Suara para wanita di ruang kerja Kanselir bisa terdengar. "Dan ini," kata suatu suara, "adalah pistol yang digunakan Blind tahun 1866." Terdengar gumaman orang-orang yang tertarik, diikuti oleh satu letusan. Bismarck melompat dari kursinya dan menghambur ke ruang sebelah. 

Para wanita sedang saling pandang dengan wajah keheranan, sementara udara berbau mesiu. Pistol itu masih berasap, tergeletak di lantai. Kemarahan Kanselir meledak, padahal ia jarang sampai begitu. "Siapa yang begitu goblok menyentuh revolver itu?" tanyanya. Sungguh suatu mukjizat tidak ada orang yang tewas. Tidak seorang pun boleh menyentuh senjata itu lagi. 

Tahun 1906, teman saya Leopold, juga menginap di tempat para sepupunya di Friedrichsruh. Pada siang yang hujan itu, beberapa orang muda datang untuk makan siang. la menunjukkan kepada mereka kamar kerja Kanselir. la mengambil pistol itu dari meja tulis. "Inilah," katanya, "pistol yang dipakai Blind menembak Bismarck tahun 1866. 

Dua puluh tahun kemudian, ketika ayah saya menginap di sini, ada sejumlah wanita datang dan salah seorang dari mereka memegang pistol ini dan dengan gobloknya menekan picu seperti ini ...." Terjadilah kilatan cahaya dan letusan. 

Mereka melompat ke pinggir dan saling pandang dengan wajah pucat. Tangan salah seorang gadis terserempet. Leopold sendiri berdarah jarinya dan tangannya terbakar serta hitam oleh mesiu. Peluru keenam dan terakhir dalam revolver Herr Blind, bersarang di otot lengan atas Leopold.

 

Berkat Alasan yang Berbeda-beda

MAJALAH Life mengisahkan perihal 15 orang yang terlambat menghadiri latihan paduan suara yang seharusnya dimulai pukul 19.15 di Beatrice, Nebraska, tanggal 1 Maret 1950. Masing-masing mempunyai alasan sendiri. Ada yang mesin mobilnya tidak bisa dihidupkan, ada yang mendengarkan dulu acara radio sampai selesai, ada yang belum selesai menyetrika, ada yang keenakan mengobrol, dsb. 

Gereja tempat mereka mestinya berkumpul musnah oleh ledakan pukul 19.25. Peristiwa mereka kebetulan terlambat diperkirakan merupakan satu di antara sejuta kemungkinan. Para anggota paduan suara tidak menghubungkan keterlambatan itu pada kemungkinan, tetapi pada sebab yang lebih nyata

 

Peluru yang Menewaskan

TAHUN 1883, Henry Ziegland dari Honey Grove, Texas, memutuskan hubungan dengan kekasihnya, yang kemudian bunuh diri. Saudara laki-laki kekasihnya mencoba membalas dendam dengan menembak Ziegland, tetapi pelurunya cuma menyerempet wajah Ziegland lalu bersarang di sebuah pohon. Penembak itu, yang mengira sudah membunuh Ziegland, kemudian bunuh diri. 

Tahun 1913, Ziegland menebang pohon yang ada pelurunya itu. Pekerjaan itu ternyata sulit, sehingga ia mempergunakan dinamit. Ledakan melayangkan peluru tua dalam pohon itu ke kepala Ziegland dan menewaskannya.



 

 

" ["url"]=> string(106) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257657/mati-bareng-dengan-loncengnya-dan-pistol-yang-masih-penasaran" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651227151000) } } [15]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3110560" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/01/24/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220124070835.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Francis X Bush" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9362) ["email"]=> string(19) "intiplus-7@mail.com" } } ["description"]=> string(41) "Bayinya diculik dan tidak pernah kembali." ["section"]=> object(stdClass)#172 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/01/24/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220124070835.jpg" ["title"]=> string(25) "Penculikan Bayi Lindbergh" ["published_date"]=> string(19) "2022-01-28 19:56:32" ["content"]=> string(28048) "

Intisari Plus - Wabah penculikan pernah melanda Amerika Serikat di tahun '30-an. Selama lima tahun menjelang tahun 1932 tercatat tidak kurang dari 300 peristiwa kejahatan jenis ini dengan motif pemerasan uang. Terkadang tebusan yang mereka minta bisa mencapai AS $ 100.000.

Puncak wabah penculikan ini memuncak pada tanggal 1 Maret 1932, ketika seorang bayi umur 20 bulan, anak laki-laki Charles A. Lindbergh, hilang dari buaiannya. Seluruh Amerika heboh. Bukan saja karena Kolonel Lindbergh seorang yang terkemuka, tetapi terutama karena rasa perikemanusiaan terlukai dengan amat bengisnya.

Jutaan ayah-bunda dengan penuh ketegangan dan simpati mengikuti perkembangan usaha mendapatkan kembali bayi Lindbergh. Presiden Hoover menaruh perhatian khusus terhadap kasus ini dan memerintahkan FBI agar memberikan bantuan sebisa mungkin untuk menemukan para pelaku.

Sorotan pers dan masyarakat seluruh negara yang tertuju pada perkara Lindbergh mengakibatkan Undang-undang Pencegahan Penculikan diperkeras, baik di tingkat negara bagian maupun di tingkat federal.

 

"Krak, buk!"

Keluarga Lindbergh bertempat tinggal di Englewood. Mereka mempunyai tiga orang pembantu. Sepasang suami-istri Tuan dan Ny. Oliver Whateley dan seorang gadis berumur 28 tahun, Nona Betty Gow, yang bertugas sebagai pengasuh anak.

Keluarga yang kaya raya itu mempunyai sebuah rumah peristirahatan di Hunterdon County, New Jersey, kira-kira 5 km di luar kota kecil Hopewell. Setiap akhir pekan suami-istri Lindbergh beristirahat di tempat itu yang letaknya ± 110 km dari Englewood. Biasanya mereka
tinggal di vila itu sekitar dua tiga hari, Jumat atau Sabtu sampai Minggu.

Vila itu bertingkat dua, bagian bawah terdiri atas ruang makan, ruang duduk, dapur, dan garasi; sedangkan bagian atas terdiri atas kamar tidur, kamar bayi (di atas perpustakaan), dan kamar pembantu (di atas garasi). Bagian timur pekarangan berbatasan dengan sebuah jalan besar dan bagian selatan dengan sebuah lorong kecil.

Jika berakhir pekan ke Hopewell, biasanya Ny. Lindbergh merawat sendiri anaknya. Betty Gow ditinggalkannya di Englewood. Ia tidak menyimpang dari kebiasaan ini ketika akhir Februari 1932 ia menuju ke rumah peristirahatannya.

Ketika hari Senin, 29 Februari hendak pulang, ternyata bayinya sedikit masuk angin. Keluarga Lindbergh tak jadi berangkat. Betty Gow bahkan ditelepon agar datang untuk membantu mengawasi si Buyung.

Gadis pengasuh ini tiba pada hari Selasa sore. Pukul 19.30 Betty siap membantu Ny. Lindbergh menyiapkan si kecil pergi tidur. Sekitar pukul 20.00 mereka berdua meninggalkan kamar si kecil dan turun ke bawah. Pukul 20.25 bersama-sama mereka makan malam setelah itu bercakap-cakap di ruang duduk.

Kira-kira pukul 21.00 mereka mendengar bunyi "krak" disusul dengan bunyi "buk". Mereka mengira pembantu di dapur menjatuhkan sesuatu. Tanpa menaruh curiga Lindbergh dan istrinya terus saja bercakap-cakap.

Pukul 21.15 Ny. Lindbergh naik ke tingkat dua dan pergi ke kamarnya, sedangkan suaminya menuju ruang perpustakaan untuk sedikit baca-baca sebelum tidur. Sementara itu Nona Gow bercakap-cakap di dapur dengan Whately dan istrinya. Pukul 22.00 ia melihat arlojinya dan berseru, Lo, sudah pukul 22.00. Saya harus menengok si kecil sebentar."

Betty naik ke atas dan perlahan-lahan masuk ke kamar bayi. Ternyata ranjang si bayi kosong. Barangkali diambil ibunya, pikirnya. Hetty masih tenang-tenang saja. Ia mencari Ny. Lindbergh dan menanyakan bayinya.

"Heh, saya tidak mengambilnya. Apa tidak ada di ranjangnya?"

"Tidak ada," kata Betty sambil menambahkan, "well, tentu ikut ayahnya."

Kedua wanita itu bersama-sama turun ke tingkat bawah. Kolonel Lindbergh yang masih duduk di ruang perpustakaan mengatakan sama sekali belum ke atas.

Kini mereka bertiga menjadi panik dan memanggil suami-istri Whately. Berlima mereka memeriksa semua kamar dan setiap sudut rumah, tetapi sia-sia. Si kecil menghilang.

 

Banyak salah eja

Kolonel Lindbergh segera menelepon polisi setempat dan ibu kota negara-negara bagian, lalu mengambil senapan dan lari ke luar rumah. Ia tidak bisa melihat apa-apa karena gelap gulita. Lindbergh kembali dan langsung menuju kamar bayi.

Jendelanya yang menghadap ke Timur ditutup, tetapi tidak dikunci oleh ibunya. Bukan karena lengah, tetapi karena memang tak dapat dikatupkan rapat-rapat dan dikunci. Rangka daun jendela itu sudah bengkok.

Di lantai sepanjang tembok sebelah timur mulai dari jendela menuju ke buaian tampak samar-samar jejak kaki. Di atas radiator (tempat pemanas ruangan) di bawah jendela ditemukan selembar kertas nota putih dengan tulisan yang banyak salah eja:

Dear Sir!

Have 50.000 $ redy 25.000 $ in 20 $ bills 15.000 in 10 bills and 10.000 $ in 5 & bills. After 2 – 4 days we will inform you were to deliver the Mony.

We warn you for making anyding public or for notify the Police the child is in gute care Indication for all letters are signature and 3
holds.

Yang artinya: Dengan hormat, Siapkan $ 50.000. $ 25.000 berupa lembaran. $ 10 dan $ 10.000 $ 5. Setelah 2 - 4 hari kami akan memberitahukan di mana harus menyerahkan uang tersebut. Kami peringatkan, jangan membuat pengumuman apa pun atau melapor kepada polisi - anak dirawat baik-baik, tanda pengenal untuk semua surat adalah tanda tangan dan tiga bundaran.

Di sebelah kanan signature dan and 3 holds terdapat tiga tanda khas dan lubang-lubang.

Setengah jam kemudian polisi datang. Setelah mendengarkan laporan Lindbergh para petugas segera melakukan penelitian secara sistematis. Ditemukan jejak-jejak kaki yang berkaus tepat di bawah jendela kamar bayi.

Selanjutnya di sudut tenggara bangunan ditemukan sebuah tangga kayu yang terdiri atas tiga bagian, masing-masing sepanjang ± 2m. Sisi salah satu bagian itu rupanya baru saja pecah dan patah.

Jejak-jejak kaki serupa di atas dapat diikuti mulai dari tempat tangga itu sampai di bawah jendela kamar bayi. Jejak itu terlihat dari jalan besar sebelah timur vila masuk pekarangan Lindbergh. Selanjutnya masih terlihat beberapa noda di tembok. Rupanya bekas ujung tangga ketika dicoba disandarkan di beberapa tempat.

Hanya itulah bekas-bekas yang ditinggalkan penculik. Di samping surat pemerasan. Dari penyelidikan yang dilakukan kemudian, bekas-bekas sidik jari ternyata tidak ada.

Berita penculikan bayi Lindbergh dengan cepat menjalar. Atas perintah khusus Presiden Hoover, FBI dikerahkan untuk mengusut kejahatan ini. Gubernur New Jersey minta kepada komandan State Police supaya menangani sendiri perkara ini.

Rintangan-rintangan dipasang di berbagai persimpangan, jalan, jembatan, dan kanal. Ribuan mobil distop dan digeledah.Rumah-rumah sakit dan panti anak-anak dalam jarak radius 300 m ditanyai apakah mereka menerima bayi baru.

Pembantu rumah tangga Lindbergh diselidiki. Segera diketahui bahwa suami-istri Whately tak punya sangkut paut apa-apa dengan penculikan. Betty Gow lama diinterogasi. Hari Senin di Englewood ia berkencan dengan pacarnya, Henry Johnson, seorang bekas pelaut Norwegia. Johnson ditahan dan menjalani pemeriksaan saksama.

Karena mempunyai alibi yang tak terbantahkan Johnson dilepaskan, tetapi harus segera meninggalkan Amerika Serikat, karena tak mempunyai surat izin tinggal di negara itu. Betty Gow yang mendapat kepercayaan penuh suami-istri Lindbergh juga dipandang tak layak dicurigai.

Penyelidikan meliputi pula para pembantu rumah Lindbergh di Englewood. Seorang pembantu rumah bernama Violet Sharpe ketika dimintai keterangan menjadi histeris dan mengigau tidak keruan. Memang Violet sangat penggugup dan perasa.

Penyelidikan ditunda sampai Violet menjadi tenang. Percobaan untuk menanyai diulangi sampai dua kali, yang terakahir bulan Juni. Tetapi setiap kali gagal karena sebab yang sama. Yang terakhir kali karena Violet ketakutan. Bahkan ia bunuh diri dengan menelan racun. Rahasia Violet tak pernah terpecahkan.

Sementara itu hanya beberapa hari setelah tersebarnya berita penculikan, membanjirlah surat-surat - hampir semua tanpa alamat pengirim – yang memberikan keterangan atau saran untuk membantu proses pencarian. Banyak yang menyatakan melihat si penculik. Tetapi surat-surat itu ternyata tak ada yang bermanfaat satu pun.

Suatu hal yang menarik adalah penjahat terkenal Al Capone yang waktu itu sedangmeringkuk di penjara di Chicago menyatakan bahwa ia dan istrinya sangat sedih mendengar peculikan ini dan menjamin bahwa jika dilepaskan ia pasti dapat menangkap si penculik dan mengembalikan si kecil kepada orang tuanya. Tawarannya tidak dianggap serius.

 

Uang tebusan dinaikkan

Suami-istri Lindbergh sendiri tentu saja lebih memen tingkan anaknya kembali daripada penangkapan si penculik. Dua hari setelah anaknya hilang, Lindbergh mengumumkan berita ini lewat surat kabar.

Pengumuman itu menyatakan bahwa Lindbergh ingin berhubungan dengan penculik. Bagi dia dan istrinya, sebagai orang tua, satu-satunya yang diinginkannya adalah kembalinya bayi dalam keadaan sehat. Syarat-syaratnya bisa disampaikan lewat perantara dan segalanya akan dirahasiakan. Ini dijamin oleh Lindbergh. Dengan mempertaruhkan dirinya ia berjanji tak akan melakukan tindakan apa pun yang merugikan mereka sehubungan dengan pengembalian anaknya.

Ny. Lindbergh yang tersiksa hati keibuannya minta kepada pers agar menyiarkan bahwa sebetulnya si kecil sedang sakit dan dietnya sehari-hari mesti diikuti baik-baik. Diet harian itu dilukiskannya secara mendetail: 11 susu, 3 sendok makan sayur rebus sekali sehari, kuning telur satu sehari, dan obat Viosterol 14 tetes sehari.

Penculik tidak menunggu lama untuk mengeksploitasi kecemasan hati orang tua si kecil. Tanggal 5 Maret Lindbergh menerima surat dengan sampul yang bertanda "Brooklyn, 9 pm March 4".

Surat itu mempersalahkan Lindbergh yang tak mengindahkan surat pertama dengan melapor pada polisi. Hal ini menyebabkan mereka terpaksa menahan si kecil sampai suasana menjadi reda.

"Tak perlu mencemaskan keadaan bayi, dua wanita merawatnya siang malam. Wanita itu akan memberinya makan sesuai dengan diet. Karena harus merawat lebih lama dan dengan cara-cara tertentu, maka uang tebusan terpaksa dinaikkan menjadi $ 70.000. Kapan dan di mana uang mesti diserahkan akan diberitahukan kemudian.

Dua hari kemudian, tanggal 7 Maret, sahabat Lindbergh yang namanya banyak disebut-sebut dalam koran karena sejak 1 Maret membantu Lindbergh mencari anaknya, mendapat surat tak beralamat dengan catatan: Surat dalam amplop ini serahkan kepada Kolonel Lindbergh. Demi kepentingan sendiri, jangan sampai ia melapor pada polisi.

Surat itu menanyakan apakah Lindbergh sudah menerima surat tertanggal 4 Maret yang dikirimkan dari Brooklyn. Pengirim menambahkan bahwa surat-surat kepada Lindbergh untuk selanjutnya akan dikirim lewat Tuan Breckinridge. Alasannya, untuk menemukan para penculik, polisi pasti akan memeriksa semua surat yang dialamatkan kepada Lindbergh.

Sekali lagi dalam surat tertanggal 7 Maret itu penculik mengulangi bahwa uang tebusan kini dinaikkan menjadi $ 70.000, karena bayi terpaksa dirawat lebih lama.

 

Kakek Condon ingin menolong

Hubungan berikutnya antara Lindbergh dan penculik terjadi pada tanggal 9 Maret, lewat seorang kakek berumur 72 tahun yang selanjutnya akan memegang peran penting dalam perkara ini. Perantara bernama John Francis Condon ini muncul dalam perkara bayi itu dengan cara unik.

"Doktor" Condon adalah seorang profesor pendidikan pada Fordham University. Orangnya eksentrik, tetapi amat baik hati. Dalam setiap kegiatan amal dan cinta kasih ia selalu tampil di barisan terdepan.

Tanggal 8 Maret dalam harian lokal, Home News, kakek ini mengeluarkan pernyataan bahwa ia merelakan semua uang simpanannya sebanyak $ 1.000 untuk ditambahkan pada uang tebusan yang diminta penculik. "Agar ibu yang begitu sayang kepada anaknya itu mendapatkan kembali buah hatinya."

Dr. Condon selanjutnya bersedia pergi ke mana pun atas biayanya sendiri untuk menyerahkan uangnya kepada penculik. Ia tak akan menyebut-nyebut nama penculik kepada siapa pun.

Bila penculik tidak bersedia menerimanya sebagai perantara pengembalian bayi, maka Concon minta agar penculik menyerahkan si kecil kepada seorang imam Katolik dengan ketentuan iman itu tak akan mengungkapkan rahasia si penculik.

Reaksi penculik datang pada hari berikutnya berupa kiriman pos. Di dalamnya terdapat amplop tebal disertai sepucuk surat pengantar tertuju kepada Dr. Condon. Surat ini menyatakan menerima doktor tersebut sebagai perantara dan memintanya menyampaikan amplop tebal itu kepada keluarga Lindbergh.

"Jangan takut. Kami tidak menginginkan uang Tuan yang $ 1.000. Simpan saja. Tetapi harap bertindak sesuai dengan instruksi," begitu kata penculik.

Selanjutnya bila telah menerima uang dari Kolonel Lindbergh, Dr. Condon diminta memasang pemberitahuan di Harian New York American dengan tiga patah kata saja: mony is redy (sekali lagi terdapat salah eja dalam surat penculik).

Penculik juga minta kepada Dr. Condon agar setiap hari dari pukul 18.00 - 24.00 selalu ada di rumah supaya penculik bisa menghubunginya.

Surat kepada keluarga Lindbergh memberikan petunjuk bagaimana uang $ 70.000 harus diserahkan melalui Dr. Condon, yaitu agar dimasukkan ke dalam kotak yang ukurannya diberikan secara terperinci, disertai gambar. Si kecil berada di tempat ± 225 km. Pemberitahuan alamat si anak akan diberikan setelah pukul 20.00.

Pada akhir surat terdapat tanda-tanda khas seperti surat terdahulu, yaitu berupa bundaran dengan tiga lubang.

Lindbergh, Kolonel Breckinridge, sahabatnya, dan Dr. Condon berunding bagaimana menanggapi permintaan penculik. Akhirnya, diputuskan agar dalam menjawabnya melalui surat kabar, Dr. Condon menggunakan nama samaran. Kakek itu memilih nama Jafsie, diambil dari inisial namanya J.F.C.

Keesokan harinya, tanggal 11 Maret, di kolom pesan-pesan pribadi New York American muncul pesan dari Dr. Condon: "Money is ready, Jafsie."

 

Di kuburan

Hari berikutnya, tanggal 12 Maret, pukul 20.30, seorang sopir taksi mendatangi rumah Dr. Condon untuk menyampaikan sepucuk surat.

Seorangyang tak dikenalnya, dengan upah $1 minta kepadanya agar menyampaikan surat itu, begitu kata si sopir. Ternyata dari penculik dan berisi petunjuk-petunjuk yang mendetail, bagaimana cara menemuinya. Disebutnya sebuah stasiun metro dan bahwa Dr. Condon harus ke sana.

Setelah mencatat nama sopir (Joseph Perone) dan nomor taksinya, segera Dr. Condon melaksanakan instruksi penculik walaupun sebenarnya hari telah larut malam. Ia pinjam mobil seorang sahabatnya, Al Reich, yang menemuinya pula.

Dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan, akhirnya Dr. Condon sampai di sebuah kuburan: Woodlawn Cemetery. Dalam kegelapan ia bertemu dengan seorang laki-laki yang tak dapat dikenali mukanya dengan jelas dan menyebut dirinya John.

"Mana uangnya?" tanya laki-laki misterius itu.

"Belum saya bawa," jawab Dr. Condon. "Saya tak dapat membawa uangnya sebelum melihat anak itu atau mendengar di mana dia."

Pada saat itu rupanya John takut dijebak dan lari. Dr. Condon mengejarnya. John rupanya membiarkan dirinya dikejar menuju tempat yang lebih aman. Di sini mereka bercakap-cakap kira-kira satu jam. Lelaki misterius itu menyatakan takut sekali kepada polisi. Pada suatu saat ia bertanya, apakah ia akan dibakar hidup-hidup jika bayi Lindbergh sampai mati.

"Tidak, jika itu bukan kesalahanmu," jawab Dr. Condon.

Sambil menuturkan bahwa bayinya sehat walafiat, akhirnya John mengatakan bahwa ia hanya bertindak sebagai perantara. Sebagai buktinya, John akan mengirimkan pakaian tidur bayi Lindbergh.

Setelah beberapa kali dihubungi melalui surat kabar oleh Dr. Condon, akhirnya penculik mengirimkan pakaian tidur bayi Lindbergh disertai pemberitahuan bahwa penculik tidak bersedia lagi dihubungi dengan cara yang terjadi tanggal 12 Maret itu. Dianggapnya terlalu berbahaya.

Tuntutannya pertama-tama uang, baru kemudian alamat bayi akan diberikan. Delapan jam setelah uang diterima, alamat akan diberitahukan. Jika setuju dengan syarat ini, cukup memberitahukan lewat koran dengan kata-kata: I accept money is ready (saya setuju uang siap).

Setelah berunding dengan Lindbergh, Dr. Condon memasang pemberitahuan "I accept. Money is ready", tetapi masih ditambahkan kata-kata ingin menyampaikan surat penting kepada penculik.

Penculik kini makin jual mahal. Pokoknya, bersedia menerima syarat atau tidak. Kalau tidak, penculik akan terus menahan bayi dan ini akan berarti penderitaan batin yang lebih lama bagi Lindbergh.

Ketika Dr. Condon minta pengertian bahwa dengan pengalamannya selama 50 tahun di dunia usaha ia tidak bisa membayar tanpa melihat barang yang akan dibelinya, maka penculik bersikap makin kejam. Jika Lindbergh sampai tanggal 8 April tidak menyetujui syarat yang diajukan, maka uang tebusan terpaksa dinaikkan menjadi $ 100.000!

Dr. Condon segera memberi jawaban tanpa syarat: I accept. Money is ready. Jafsie.

 

Kasir bioskop bermata jeli

Dengan surat-menyurat sampai sejauh ini, pertemuan diatur oleh penculik. Nomor seri semua lembaran uang yang akan diserahkan kepada penculik terlebih dahulu dicatat oleh Lindbergh dan Dr. Condon. Setelah itu mereka berdua menemui penculik dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan olehnya. Pertemuan terjadi sebagai berikut.

Tanggal 2 April seorang sopir taksi menyampaikan surat penculik kepada Dr. Condon. Isinya petunjuk tempat yang harus dituju Dr. Condon. Untuk mencapai tempat itu ia diberi waktu tiga perempat jam. Ini supaya ia tidak sempat menghubungi polisi. Uang itu harap diikat dalam satu bundel.

Dengan mengikuti instruksi penculik, Dr. Condon dan Kolonel Lindbergh naik mobil dan ternyata sampai di suatu kuburan, yaitu St. Raymond's Cemetery. Sepucuk surat yang ditindihi batu mengandung perintah agar Dr. Condon seorang diri berjalan lebih jauh sambil membawa uang tebusan. Setelah mengikuti petunjuk, ia mendengar seseorang memanggil namanya.

"He, doktor, Anda sudah bawa uangnya?" tanya suara itu. Pertanyaan itu dijawab bahwa uang itu masih ada di mobil.

"Ambillah," kata orang yang tak terlihat itu. Dr. Condon menjawab bahwa ia baru akan memberikan uangnya setelah mendengar di mana bayi Lindbergh.

Ditambahkan bahwa ia hanya membawa uang sebanyak $ 50.000, sesuai dengan tuntutan pertama. Penculik tidak berkeberatan.

"Saya akan kembali dalam beberapa menit lagi dengan membawa surat pemberitahuan di mana bayi itu," katanya.

Dr. Condon kembali ke mobil dan menceritakan kepada Lindbergh apa yang terjadi. Kolonel Lindbergh mengurangi uang dalam kotak (seluruhnya tadi berjumlah $ 70.000) dan menyerahkan sisanya kepada Dr. Condon yang segera kembali menemui orang yang belum menampakkan diri itu.

Ternyata dia adalah John yang pernah dijumpainya dulu. Uang diserahkan dan Dr.Condon menerima surat pemberitahuan alamat bayi.

Bayi ada di kapal Nelly, sebuah kapal kecil berukuran kira-kira 10 m. Kapal itu berada di antara Horseneck Beach dan Gay Head, di Elisabeth Island. Penumpangnya dua orang. Mereka tak ada sangkut pautnya dengan penculikan.

Tengah malam Kolonel Lindbergh, Kolonel Breckinridge, Dr. Condon, dan seorang kawan lagi menuju Bridgeport, Connecticut, Rhode Island, dan Massachusettes, mencari kapal Nelly, tetapi tidak menemukannya.

Hari berikutnya, seorang diri Kolonel Lindbergh (seperti ketika melakukan penerbangan yang termasyhur melintasi Samudera Atlantik) terbang lagi menyusuri pantai selatan sejauh Virginia. Semuanya sia-sia. Ia telah menjadi korban penipuan ganda yang teramat kejam.

Dengan hati hancur ia kembali ke Hopewell untuk memberitahukan hasil jerih payahnya yang sia-sia kepada istrinya.

Kira-kira sebulan kemudian, tepatnya tanggal 12 Mei, mayat si kecil Charles A. Lindbergh Jr. ditemukan oleh dua orang sopir truk dalam sebuah lubang dangkal kira-kira 25 m dari jalan besar. Tempat itu kurang lebih hanya 7 km dari rumah Lindbergh.

Dua tahun lebih telah berlalu. Penculikan bayi Lindbergh dianggap suatu perkara yang tak pernah terpecahkan dan sudah dilupakan masyarakat, kecuali jika sesekali koran menyinggungnya lagi.

Misalnya ketika disahkannya Lindbergh - Kidnapping Law dalam bulan Mei 1934, yang menganggap penculikan sebagai kejahatan federal apabila penculik melintas ke negara bagian lain dan menetapkan hukuman mati apabila korban penculikan tidak kembali dalam keadaan selamat.

Sementara itu secara diam-diam FBI dan berbagai instansi pemerintah masih berusaha mengusut kejahatan tersebut. Ini tertolong oleh tindakan pemerintah AS yang pada tahun 1933 menghapuskan standar uang emas.

Dengan peraturan baru ini, memiliki uang emas dianggap sebagai kejahatan. Semua sertifikat dengan tanggungan uang emas harus disetorkan ke Federal Reserve Bank pada tanggal 1 Mei 1933.

Kebetulan uang tebusan bayi Lindbergh sebagian, sebanyak $ 35.000, berupa sertifikat emas. Pemerintah segera mencetak 250.000 lembar sirkuler, berisi laporan penculikan bayi Lindbergh disertai semua nomor seri uang tebusan. Sirkuler itu diedarkan di seluruh AS, Kanada, dan negara-negara lain.

Sejak April 1932 beberapa sertifikat emas yang diidentifikasi sebagai uang tebusan Lindbergh masuk ke kas negara, tetapi tidak bisa diketahui persis siapa pemilik terakhirnya.Tanggal 30 April seorang laki-laki menyerahkan uang sebanyak $ 2.980 berupa sertifikat emas kepada Federal Reserve Bank di New York City dan menukarkannya dengan uang baru yang berlaku.

Orang itu mengaku bernama J.J. Faulkner, alamatnya 557 W. 149. Terlambat! Para petugas bank mengetahui bahwa sertifikat emas itu termasuk uang tebusan Lindbergh. Lelaki tak dikenal itu dicari lewat alamat yang diberikannya. Tetapi di situ tak pernah berdiam seseorang dengan nama J.J. Faulkner.

Tanggal 26 November 1933 seorang kasir bioskop menerima sertifikat emas $ 5 yang ternyata adalah salah satu uang tebusan Lindbergh. Kasir bioskop wanita itu, Cecile Barr, diwawancarai polisi. Kebetulan ia masih ingat orang yang menyerahkan lembaran uang itu, bahkan bisa melukiskan beberapa cirinya. Dagunya lancip, matanya besar, berwarna biru.

Gambaran itu cocok dengan John seperti yang pernah bertemu Dr. Condon. Hampir satu tahun kemudian, tanggal 15 September 1934, sebuah mobil sedan biru merek Dodge berhenti di pompa bensin 125th Street New York.

Pengendaranya minta 20 liter bensin dan membayarnya dengan $ 10. Ternyata sertifikat emas.

Penjual bensin ingat uang tebusan Lindbergh. Segera ia mencatat nomor mobil sedan biru itu pada lembaran uang yang diterimanya. Nomor itu: 4 U 13-41. Uang diserahkan ke bank dan memang termasuk tebusan Lindbergh.

Polisi kini mempunyai pegangan kongkret. Soal mudah untuk mengecek siapa pemilik mobil dengan nomor tersebut. Namanya Richard Hauptmann, alamatnya 1279 E 222nd Street, Bronx, umur 34 tahun.

 

Alamat Condon di pintu WC

Polisi kini mempunyai data orang tersebut. Maka mereka tidak mau ambil risiko. Kira-kira 75 orang polisidari New Jersey, New York, dan polisi federal mengepung rumah Hauptmann dan daerah sekitarnya, sebagian berjalan kaki, sebagian naik mobil. Mereka menunggu sampai penghuni keluar, menuju garasi dan pergi dengan mobilnya yang ternyata memang bernomor 4 U 13-41.

Setelah keluar halaman dan berjalan beberapa puluh meter, mobil itu dihentikan. Pada pengemudinya ditemukan uang $ 20 dari tebusan bayi Lindbergh.

Orang yang mengaku terus terang bernama Bruno Richard Hauptmann itu segera dibawa kembali ke rumahnya. Di rumahnya ditemukan uang tersembunyi sebanyak $ 14.500. Semuanya uang tebusan.

Pada rangka pintu WC ditemukan catatan alamat Dr. Condon dan nomor teleponnya, ditulis dengan pensil pada tempat yang tak mudah dilihat orang.

Richard Hauptmann mengaku dilahirkan di Jerman. Datang di Amerika pada tahun 1923 dan bekerja sebagai tukang kayu. Uang yang ditemukan polisi padalah hasil tabungannya selama bertahun-tahun. Dia mengaku belum pernah tersangkut kejahatan.

Dari penyelidikan polisi diketahui memang ia belum pernah terlibat tindak kriminal, paling tidak di New York dan New Jersey. Tetapi kawat ke Jerman segera mendapat jawaban bahwa Richard Hauptmann seorang penjahat yang amat lihai, pernah meringkuk di penjara karena perampasan, melarikan diri dari tahanan, setelah dua kali akhirnya berhasil sembunyi di kapal sebagai penumpang gelap dan tanpa surat-surat izin masuk AS.

Perkara Bruno Richard Hauptmann disidangkan pada tanggal 2 Januari 1935 di Pengadilan Hunterdon County, Flemington, negara bagian New Jersey. Ia dituduh melakukan pemerasan $ 50.000 sekaligus pembunuhan.

Tampil sebagai penuntut jaksa agung negara bagian D.T Wiente dibantu beberapa orang. Pihak pembela yang dipimpin Reilly, seorang ahli hukum yang berpengalaman, mencoba mengarahkan kecurigaan pada Violet Sharpe yang bunuh diri secara misterius dengan racun, dan pada Oliver Whately yang sementara itu juga sudah mati. Usaha tim pembela tak berdaya menghadapi arus kesaksian, bukti-bukti yang memberatkan terdakwa.

Bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk itu antara lain dari para ahli grafologi terkenal yang menganalisis surat-surat penculik kepada Dr. Condon dan mencocokkannya dengan tulisan Richard Hauptmann.

Begitu tertangkap dalam pemeriksaan pertama ia langsung disuruh memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan tulisan yang didiktekan polisi. Bukan saja ciri-ciri khas tulisan tangan terdakwa, tetapi kesalahan ejaan yang spesifik pun memberikan petunjuk yang sulit dibantah.

Juga tangga kayu wing ditemukan di vila Lindbergh merupakan bukti yang fatal. Seorang sarjana ahli kayu menganalisisnya. Suatu bagian dari tangga itu ternyata diambil dari kayu rangka di rumahnya. Bukan saja jenis kayunya yang sama, tetapi pohonnya, umurnya, ciri-ciri khasnya bisa dibuktikan persis sama dengan kerangka langit-langit di rumahnya.

Rekonstruksi selanjutnya memberikan gambaran bahwa bayi Lindbergh telah mati pada hari ia diculik, tanggal 1 Maret 1932. Pemeriksaan mayat menunjukkan bahwa tulang tengkoraknya pecah di beberapa tempat.

Rupanya ketika tangga patah, bayi itu terlepas dari pegangan penculik dan jatuh ketanah. Jatuhnya bayi itulah yang menimbulkan suara "buk" yang didengar suami-istri Lindbergh dari ruang duduk Vila Hopewell.

Juri memutuskan Richard Hauptmann bersalah melakukan penculikan, pemerasan, penipuan, dan pembunuhan tingkat pertama. Keputusan ini dijatuhkan pada tanggal 13 Februari 1935, setelah sidang yang makan waktu 32 hari.

Hakim menjatuhkan hukuman mati yang harus dijalankan pada tanggal 18 Maret.

Beberapa pembela mengajukan permohonan naik banding. Tetapi tidak ada alasan yang cukupkuat untuk mengabulkannya sekalipun dilakukan usaha keras untuk mencari bukti dan yang sekiranya dapat membuktikan kebalikan dari keputusan yang telah dijatuhkan.

Setelah beberapa kali ditunda, hukuman mati di kursi listrik pada tanggal 3 April 1936 atas diri penculik yang keji itu dilaksanakan juga.

Richard Hauptmann tak meninggalkan pesan terarkhir dan tidak mengeluarkan protes sedikit pun. Juga tidak pernah menyebutkan nama orang-orang yang membantu pelaksanaan kejahatannya (bila ada). (Francis X. Bush)

 

 

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110560/penculikan-bayi-lindbergh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643399792000) } } }