array(7) {
  [0]=>
  object(stdClass)#73 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3806923"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#74 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/mme-ali-fahmy-beynee-alibertjpg-20230829115912.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#75 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(136) "Suatu malam, juru pintu mendengar pertengkaran suami istri dan memeriksanya, dan melihat sang suami sudah tewas tertembak oleh istrinya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#76 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/mme-ali-fahmy-beynee-alibertjpg-20230829115912.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "Mme Ali Fahmy Beynee Alibert"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 11:59:28"
      ["content"]=>
      string(19398) "

Intisari-Online.com - Suatu malam di Savoy Hotel, juru pintu mendengar pertengkaran suami istri dari sebuah kamar dan memeriksanya. Ketika ia memeriksanya untuk kedua kali, ia melihat sang suami sudah tewas tertembak oleh istrinya, Madame Fahmy.

----------

Dini hari tanggal 10 Juli 1923. Ujung Barat London mengalami hujan lebat. Menurut penduduk London yang pernah tinggal di daerah tropis, baru sekali itulah London tertimpa hujan selebat “hujan tropis”. Badai juga menderu-deru, mengecutkan hati siapa pun yang ketika itu masih terjaga.

Juru pintu Savoy Hotel ketika itu justru sedang meronda di lorong-lorong hotel. Suara angin dan hujan hampir meniadakan suara-suara lainnya yang timbul selarut itu. Namun juru pintu masih cukup tajam pendengarannya untuk mendengar suara manusia bersilat kata di balik sebuah pintu suite. Dia ingat suite tersebut dihuni oleh sepasang suami istri dari Mesir.

Sebagai petugas keamanan hotel, juru pintu lalu mendobrak masuk. Begitu pintu terbuka, tampak olehnya wajah-wajah bengis. Sang suami, yang menurut daftar tamu bernama Pangeran Ali Fahmy Bey, menunjuk pada beberapa carut di tubuhnya. Sang istri memperlihatkan lehernya yang tampaknya baru saja lepas dari cekikan tangan-tangan perkasa.

Tanpa mengetahui apa yang baru terjadi, juru pintu mengatakan kepada suami istri dari Mesir itu supaya tidur saja karena hari masih malam. Melihat kedua orang itu mulai beranjak menuju kamar tidurnya masing-masing, juru pintu mundur dan menutup pintu masuk suite. Ronda pun diteruskan.

Belum juga mencapai ujung lorong, Iagi-lagi dia dikejutkan suara dari balik pintu suite yang baru saja diperiksanya. Sekarang suara itu lebih mengerikan, bukan sekadar kata-kata manusia yang sedang beradu pendapat. Dia mendengar tiga letusan senjata api.

Juru pintu kontan lari menghampiri suite dan kontan pula menerobos masuk. Adegan kedua ini memperlihatkan sang suami tergeletak di lantai dan berlumuran darah. Sang istri yang mengenakan gaun tidur model baby doll tampak berdiri tertegun. Di tangannya ada sepucuk pistol yang bertatahkan mutiara.

Naluri juru pintu memerintahkan untuk segera mencari pertolongan bagi yang terluka. Tetapi yang terluka ternyata tidak memerlukan pertolongan lagi. Pangeran dari Mesir itu meninggal sudah, di lantai suite yang disewanya di Savoy Hotel, London.

Polisi London tanggal 10 Juli 1923 akhirnya menangkap pembunuh yang sama sekali tidak dapat berbahasa Inggris. Wanita itu menjadi janda setelah ia menembakkan peluru-peluru maut. Dia bebas akhirnya dari ikatan yang di mata orang modern bak rantai yang mengikat kaki budak belian. Pagi itu koran-koran London asyik dengan cerita yang tampaknya begitu saja direnggut dari Kisah 1001 Malam.

Sebelum menikah dengan laki-laki yang memiliki gelar pangeran, wanita itu memiliki nama Marie Laurent Alibert. Ia adalah orang Paris dengan potongan tubuh dan raut wajah elok menurut rata-rata orang timur. Marie Laurent sudah bercerai dari suaminya, ketika dia pertama kali berkenalan dengan Fahmy di ibu kota Prancis.

Fahmy adalah seorang yang kaya raya. Dari ayahnya, dia baru saja mewarisi harta yang nilainya sebesar satu juta pound Mesir. Ayahnya merupakan insinyur kenamaan di Mesir. Tetapi berlainan dengan sang ayah yang sangat menekuni profesinya, Fahmy sama sekali tidak mau bekerja. Kegemarannya adalah berfoya-foya dengan segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh manusia. Salah satunya tentu saja bersenang-senang dengan lawan jenis.

Marie Laurent begitu terpesona dengan kejantanan Fahmy. Berkat kemurahan hati pria itu yang dilimpahkan padanya, Marie Laurent menjadi begitu penurut. Ia seperti wanita-wanita lainnya yang sebelum itu memasuki kehidupan Fahmy. Marie Laurent mengikuti Fahmy terus dalam perjalanan bersenang-senangnya. Mereka ke Deauville, Biarritz, Nice, dan Venice. Di siang hari, pasangan itu berbaring sambil bermalas-malas dan menikmati hangatnya sinar matahari. Malamnya mereka bercengkerama di hotel bak dua ekor kucing dewasa.

Di akhir musim panas yang membawa kenangan indah itu, Marie Laurent mendapat hadiah perhiasan yang entah berapa ribu pound harganya. Fahmy sendiri pulang ke Mesir.

Tidak sehari pun terlewati tanpa saling mengirim telegram cinta dari Lembah Nil ke Lembah Seine. Sayangnya Marie Laurent tidak bisa berbahasa Arab dan Fahmy tidak dapat berbahasa Prancis dengan baik. Isi telegramnya cukup jelas, intinya adalah keduanya tidak bisa kehilangan satu sama lain. 

Lalu dari Mesir datang telegram yang memberi tahu bahwa Fahmy sakit keras dan Marie Laurent diminta untuk datang secepatnya.

“Kau tidak sakit!” teriak Marie Laurent ketika dilihatnya Fahmy berdiri di antara ribuan penjemput di pelabuhan. Fahmy membalasnya, “Bagaimana saya bisa sakit kalau engkau disini?” Sudah barang tentu Marie Laurent tidak marah ditipu demikian. Dia malahan kontan mengiyakan ketika Fahmy mengusulkan agar Marie Laurent berpindah agama agar bisa menikah dengan Fahmy. Bagi wanita Prancis yang sudah telanjur bercerai, ganti suami dan ganti agama sama mudahnya.

Marie Laurent kini bernama Madame Ali Fahmy Bey, karena Fahmy katanya bergelar “pangeran”. Tetapi Marie Laurent tidak mendapatkan gelar seperti suaminya di Mesir. Bagi Marie Laurent sudah lumayan, dia sudah menjadi istri Fahmy dan bukan gundiknya.

Hak antara istri dan gundik bisa berbeda. Tetapi bagi Fahmy, kewajiban semua wanita di sekelilingnya sama. Semua harus tinggal di harem yang dijaga ketat oleh para budak negro. Semua adalah pemuas nafsu suami.

Mesir sama sekali bukanlah surga dunia bagi Marie Laurent. Kesehatannya makin menurun dan kecantikannya memudar. Ia tidak memperoleh perawatan medis yang diperlukan. Hingga ia kembali ke Eropa, Marie Laurent mengikuti perjalanan suaminya yang memang tidak pernah betah tinggal di satu tempat yang sama.

Kali ini Fahmy ke Inggris. Dari Dover mereka berkereta ke London. Di kota itu tersedia sebuah suite di Savoy Hotel. Mme Fahmy ketika itu sudah sakit parah. Kesempatan berada di London itu digunakan Mme Fahmy untuk berkonsultasi dengan spesialis wanita.

Dokter Inggris menemukan Mme Fahmy sebagai rongsokan wanita, korban perlakuan semena-mena dari Iaki-laki yang sangat sadis. Mme atau Madame Fahmy harus dioperasi jika ia mau hidup lebih lama lagi. Ditunjukkannya alamat seorang spesialis di Paris.

Tiba di hotel, Mme Fahmy segera memerintahkan pelayan pribadinya supaya mengemasi koper-kopernya untuk berangkat ke Paris. Tetapi belum selesai koper-koper itu ditutup, Fahmy tiba-tiba kembali.

“Apa artinya semua ini?” tanya Fahmy. 

“Saya mau ke Paris. Menjalani operasi di sana demi kesehatan saya!” jawab Mme Fahmy. 

“Siapa bilang itu perlu?” tanya Fahmy kembali. 

Mme Fahmy masih cukup jujur untuk menceritakan kunjungannya ke dokter spesialis. Meledaklah amarah Fahmy. Fahmy mulai menggerayangi istri Prancisnya. Perlakuannya itu dibalas oleh sang istri dengan cakaran-cakaran kuku panjangnya. Perkelahian terhenti oleh terbukanya pintu suite. Itulah adegan pertama yang disaksikan oleh juru pintu yang sedang meronda di lorong-lorong Savoy Hotel.

Beberapa bulan sebelumnya di Kairo, Mme Fahmy menulis kepada pengacaranya, Maitre Assouard. Dalam suratnya ia menuturkan bahwa ia mengalami siksaan-siksaan sadis dari suaminya. Salah satunya ketika berselisih, Fahmy tiba-tiba mengambil sebuah Al-Qur'an dan mengucapkan sumpah “Bilahi, engkau akan mati oleh tangan saya!”

Sejak itulah Mme Fahmy selalu berada dalam ketakutan. Pasalnya, sewaktu-waktu dia bisa mati oleh tangan suaminya. Amarah suaminya di Savoy Hotel 10 Juli 1923 merupakan tanda bagi Mme Fahmy bahwa saatnya telah tiba. Itulah sebabnya Mme Fahmy mengambil pistol dengan gagang bertatahkan mutiara dari kamarnya. Ia menembakkan tiga pelurunya ke arah Fahmy. Fahmy roboh ke lantai. Itulah adegan kedua yang disaksikan juru pintu.

Pada suatu hari di bulan September 1923, ruang nomor satu Old Bailey di London penuh sesak. Dalam boks tertuduh tampak Mme Fahmy. Dia mengenakan jaket hitam ketat yang dihiasi oleh bulu binatang di bagian lehernya. Kepalanya ditutup dengan topi hitam pekat.

Sidang pengadilan yang diketuai Hakim Swift menyediakan seorang penerjemah untuk Tertuduh. Suara penerjemah yang rendah dan berat itu makin berat kedengarannya bagi Tertuduh. Itu karena yang pertama disampaikannya sudah pasti kalimat-kalimat tuduhan perbuatan. Bila ia terbukti salah, maka hukuman mati sudah menanti. Mme Fahmy didampingi 2 pembela, Sir Edward Marshall Hall dan Sir Henry Curtis-Bennett atas permintaan Pengacara Freke Palmer.

Pemeriksaan perkara itu juga menarik perhatian orang banyak karena perbedaan hukum yang berlaku di Prancis dan Inggris dalam apa yang sering disebut sebagai ‘crime of passion’, ‘crime passionelle’ atau kejahatan akibat salah meluapkan cinta. Di Prancis dalam hal itu dilindungi dengan semacam kode tak tertulis, sedangkan di Inggris hukum tertulislah yang berlaku. Dari Mesir datang pula Maitre Assouard yang segera menyelesaikan urusannya dan berlayar ke London.

Ketika sampai gilirannya untuk berbicara kepada juri, Marshall Hall menegaskan bahwa Tertuduh yang sedang dipertimbangkan mati hidupnya itu pernah diteriaki oleh suaminya. Kata Fahmy padanya, “Engkau tidak akan lepas dari saya. Dalam waktu 24 jam engkau akan mati.” 

Marshall Hall mengungkapkan pula soal surat yang isinya meminta agar Mme Fahmy jangan sekali-sekali pulang kembali ke Mesir. Satu kalimat, kata Marshall Hall, pernah membuat Mme Fahmy jatuh pingsan. “Waspada botol kecil berisi racun, senjata ampuh yang tidak terdengar suaranya maupun tampak rupanya!”

Tim pembela juga berhasil memohon pada hakim, agar Tertuduh diletakkan di boks saksi ketika bersaksi. Dan kemudian, apabila sampai pada hal-hal yang mesra, penerjemah diganti dengan pengacara wanita dari Prancis, Maitre Odette Simon. Ia sangat mahir berbahasa Inggris.

Kisah Tertuduh dimulai dengan perkenalannya dengan Fahmy, seorang pria yang sangat dominan. Awalnya ia menjadi kekasih dan kemudian sebagai calon suami. Tibalah pernikahan, yang dalam waktu beberapa jam saja merubah semua menjadi neraka bagi Mme Fahmy. Tindak tanduk Fahmy menjadi kasar. Fahmy menyewa budak-budak negro yang jadi kasim untuk mengawasi segala gerak-gerik Tertuduh.

Hadirin mendengar bagaimana, menurut Tertuduh, Fahmy mengucapkan sumpah demi Al-Qur'an untuk membunuhnya. Bagaimana Fahmy menembakkan peluru-peluru ke dekat telinganya, agar Tertuduh menurut dan mau melayani segala kemauan serta nafsu Fahmy. Katanya, Tertuduh pernah pula mengalami rahang copot akibat tamparan Fahmy.

“Mengapa Anda tidak meninggalkan dia saja?” tanya Marshall dengan tiba-tiba. Ia mewakili pertanyaan yang muncul di benak para juri.

“Kalau dia ramah, saya pun mencintainya,” jawab Tertuduh. “Tetapi dia pernah mengatakan, bahwa dia akan merusak saya dengan pasir dan air keras. Saya sangat takut padanya. Saya tidak dapat meninggalkannya.”

Sampai di sini Marshall Hall memotong lagi kisah Mme Fahmy dan memimpinnya hingga Mme Fahmy segera memulai bagian kisahnya. Saat di mana bumi Mme Fahmy runtuh di Savoy Hotel dalam amukan badai hujan. Tidak seorang pun dari hadirin tampak menyandarkan punggungnya, ketika tertuduh memulai bagian ini.

“Saya pergi ke atas, ke kamar tidur, seorang diri,” kata Tertuduh lirih. Pernyataannya diterjemahkan oleh Maitre Odette Simon dalam bahasa Inggris yang tidak kalah lirihnya. 

“Hari itu hujan badai mengerikan. Saya selalu takut mendengar halilintar. Malam itu saya juga terlalu takut untuk tidur. Suami saya datang dan mengetuk pintu kamar tidur. Ketika saya tidak segera membukanya, dia memukul-mukul pintu dan berteriak-teriak. ‘Buka! Buka, ayo buka! Engkau tidak seorang diri!’ Pintu saya buka. Saya lalu minta uang untuk bekal perjalanan. Saya masih mengenakan pakaian malam.

“Dia mengajak saya untuk pergi ke kamar tidurnya, untuk melihat betapa banyak uang yang dimilikinya. Ada lembaran-lembaran satu pound Inggris, 2.000 frank Prancis. Saya minta bekal untuk ke Prancis. Kata suami saya, ‘Akan saya beri, asal engkau berbuat sesuatu untuk saya.’

“Dia mulai menarik-narik baju saya. Saya lari mencapai telepon, tetapi telepon berhasil direnggutnya dari tangan saya. Itu membuat tangan saya seperti terkilir.”

Tertuduh berhenti sejenak untuk mengatur napas yang sudah terengah-engah. Lalu sambungnya,

“Tiba-tiba dia memegang leher saya, katanya, ‘Akan saya bunuh kau sekarang.’ Ibu jarinya menunjam pada tenggorokan saya, sementara jari-jari lainnya menjepit bagian samping dan belakang leher saya. Saya tendang dan pukul dia. Dia mundur dan berkata, ‘Saya bunuh kau sekarang!’ Saya pukul dia sekali lagi. Saya lari menghampiri pintu masuk. Dia terus memukul saya di mana-mana dan meludah ke muka saya.” 

Demikian adegannya ketika juru pintu hotel tiba-tiba mendobrak masuk untuk yang pertama kalinya. Cerita Mme Fahmy selanjutnya,

“Saya pikir dia mau pergi kembali ke kamar tidurnya. Tetapi ternyata dia masih berdiri di tempat semula, malahan berkata, ‘Akan saya balas kau.’ Dia mencoba menerkam saya, tetapi tangan saya berhasil menangkis terkaman itu.”

“Lalu apa yang terjadi dengan pistol itu?” tanya Marshall Hall kembali menyela. Tertuduh menjawab bahwa dia tidak mengetahui persis apa yang kemudian terjadi.

“Tahu-tahu suami saya sudah tergeletak di lantai. Saya berlutut di dekatnya. Saya pegang tangannya dan kata saya, ‘Manis, itu bukan apa-apa. Bicaralah, oh, bicaralah padaku.’”

Dalam pembelaannya, Marshal Hall mengeluarkan pula sepucuk surat yang ditulis oleh Mme Fahmy di hadapan Maitre Assouard pada tanggal 22 Januari 1923. Sebuah bukti bahwa selama 6 bulan penuh Tertuduh hidup dalam ketakutan, jangan-jangan hidupnya direnggut begitu saja oleh suaminya. Bunyi suratnya demikian,

“Saya, Marie Laurent Alibert, dalam keadaan sehat jiwa dan raga, dengan ini menuduh bahwa apabila saya mati akibat kekerasan atau lainnya, maka pastilah Ali Bey turut serta dalam usaha untuk menghilangkan nyawa saya. Kemarin, 21 Januari 1923, pada jam 3 siang, dia mengambil Al-Qur'an, menciumnya, meletakkan tangan di atasnya, dan bersumpah akan membalas besok atau dalam minggu, bulan, 3 bulan itu. Pokoknya saya harus musnah di tangannya. Sumpah itu diangkatnya tanpa sebab apa pun, entah itu cemburu atau kelakuan jahat lainnya. Dan bukan pula karena saya merengek-rengek. Saya menginginkan dan menuntut keadilan bagi anak dan keluarga saya.”

Tetapi ketika berbicara langsung kepada juri, Marshall Hall mendramatisasi adegan yang terjadi antara kunjungan juru pintu yang pertama dan kedua. Diulanginya lagi kisah Mme Fahmy di Savoy Hotel pada malam badai itu, dengan mengacungkan pistol bergagang mutiara dan membidikkan larasnya ke arah dahi ketua juri. Ditunggunya sampai 12 pasang mata anggota juri menatap senjata maut itu. Lalu kata Marshall Hall,

“Tanpa disadarinya, benda ini meletus.”

Bunyi “tus” pada akhir kalimat disertai dengan jatuhnya pistol dari tangan Marshall Hall ke lantai di depan ujung sepatunya.

Pembelaan Marshall itu juga diperkuat dengan keterangan ahli balistik terkenal Robert Churchill. Ia mengatakan bahwa pistol semacam itu memang sangat mudah sekali meletus. Dengan demikian penembakan itu mungkin hanyalah kecelakaan saja.

Juri memerlukan waktu 1 jam tepat untuk berembuk. Ketika ketua juri menyampaikan pendapat mereka bahwa Tertuduh “tidak bersalah”, Tertuduh memegang pinggiran boks erat-erat sambil berkata lirih, “Merci.” 

Janda yang malang itu keluar dari Old Bailey sebagai manusia yang bebas dari segala tuduhan dan tuntutan. Mme Ali Fahmy Bey, terlahir Marie Laurent Alibert, dibawa oleh saudaranya ke Prince’s Hotel di Jermyn Street. Hari berikutnya, dia tampak menjual kisahnya pada sebuah koran yang sangat populer di Inggris. Ketika penggal pertama kisahnya terbit, Marie Laurent sudah berada di Paris lagi untuk mencoba melanjutkan hidupnya setelah perkawinannya kandas total.

(Leonard Grdbble)

Baca Juga: 7 Menit Itu Misteri

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806923/mme-ali-fahmy-beynee-alibert" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310368000) } } [1]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3456986" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/7-menit-itu-misteri_petr-machace-20220905032254.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "911 menerima laporan tentang pengacau. Beberapa menit kemudian, telepon masuk lagi, kali ini tentang kasus penembakan suami terhadap istrinya." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/7-menit-itu-misteri_petr-machace-20220905032254.jpg" ["title"]=> string(19) "7 Menit Itu Misteri" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:23:21" ["content"]=> string(26515) "

Intisari Plus - Suatu malam, 911 menerima laporan tentang pengacau di satu rumah. Beberapa menit kemudian, telepon masuk lagi, kali ini tentang kasus penembakan suami terhadap istrinya. Apa yang terjadi?

-------------------

Telepon di 911 berdering. “Ada pengacau di rumah saya!” teriak lelaki di seberang sana. Suaranya terdengar sangat panik sekaligus geram. 

Petugas 911 yang menerima telepon ini menjawab dengan tenang. “Anda ada di mana saat ini?”

Lelaki yang sedang gusar itu menjawab dengan cepat “2424 Coker Avenue.”

Petugas di 911 melirik kalender. Sabtu, 10 Maret 2007. Jam menunjukkan pukul 21.00, masih cukup sore untuk teriakan gusar seperti ini. “Ada pengacau di rumah Anda. Apa yang Anda sebut dengan pengacau itu?”

“Orang paling kurang ajar,” suara di seberang sana terdengar seperti menggeram. 

Petugas waspada, “Anda mengenal orang itu?”

“Ya.” 

“Siapa dia?” petugas sigap mendesak agar penelepon tak punya kesempatan mengulur waktu. 

Suara di seberang mendengus kesal. “Dia yang selalu memburu istri saya.”

“Apa yang dilakukannya? Maksud saya, apa yang terjadi saat ini?” 

“Dia melakukan kesalahan besar. Dia bersama istri saya.”

Setelah itu sambungan telepon terputus. Ah, mungkin pertengkaran suami-istri. Biasalah, pikir petugas di 911. Tetapi sebentar kemudian panggilan dari saluran yang sama masuk lagi.

Masih lelaki yang tadi. “Sekarang dia sudah pergi.” 

“Oke, apakah Anda ingin berbicara dengan .... “ 

“Oh, tidak. Dia sudah pergi.” Sambungan telepon putus lagi. 

Artinya, persoalan itu sudah selesai. Sedemikian cepat. Tujuh menit kemudian, saluran telepon itu aktif lagi. Kali ini suara perempuan. 

“Suami saya membunuh,” kata perempuan di seberang dengan suara seperti tercekik. 

“Apakah dia ada bersama Anda sekarang?” tanya petugas 911. 

“Tidak, dia sudah pergi. Tetapi tubuh ... eh... darah ... ada di sini. Mengerikan!” perempuan itu sangat panik. “Cepat datanglah! Di sini penuh darah. Dia menembak dengan senapan!”

Polisi tak perlu waktu lama untuk sampai di titik mencekam, di 2424 Coker Avenue. Wajah panik sekaligus ngeri dari perempuan yang usianya belum menginjak 30 tahun itu sudah menunjukkan apa yang terjadi. Perempuan itu terduduk menempel dinding sambil matanya tak berkedip menatap pintu Mercedes lama yang terbuka.

Dari pintu yang terbuka itu, detektif Andrew Boatman dan Russell Whitfield dari kepolisian melihat sosok lelaki tampan, muda - “sangat muda” - tertelungkup di setir mobil. Sebenarnya tak bisa dikatakan tampan saat melihat sosok itu karena sisi kepala dan sebagian wajahnya tertutup darah.

“Erin McLean,” kata perempuan itu dengan suara nyaris tak terdengar ketika polisi menanyakan identitas. Dia menjawab dengan gugup. “Suami saya, Eric McLean… ” Dia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia hanya menunjuk, menggeleng, menangis.

“Suami saya yang menembak dia. Dengan senapan. Dia sudah lari.”

 

Dipergoki berduaan 

Knoxville bukan kota besar yang hiruk-pikuk. Ini kota yang relatif tenang. Di tempat ini Eric McLean lahir dan dibesarkan dalam keluarga berada yang hangat. Perasaannya yang halus membuat seluruh keluarga maklum saat dia menjatuhkan pilihan pada musik sebagai jalan hidupnya.

“Aku ingin mengajar musik,” kata Eric. “Aku juga ingin memiliki kelompok musik.”

Saat dia berkata seperti ini usianya baru 18 tahun. Saat itu dia melihat persamaan pada diri gadis yang dua tahun lebih muda, Erin Myers. Erin setali uang dengan Eric. Dia ingin menjadi guru. Alangkah mulia cita-cita gadis ini, pikir Eric. Ini pula yang membuat Eric jatuh cinta dan menetapkan pilihannya - “yang selalu dianggap paling tepat” - menikahi Erin, calon guru.

Dia tak ingin gadis pilihannya ini lepas dari tangannya. Saat menikah pada tahun 1996, Eric berusia 21 tahun dan Erin 19 tahun. Masih terhitung muda. Kebahagiaan mereka menjadi lengkap ketika Eric Jr. lahir tahun itu pula.

Mereka tinggal di 2424 Coker Avenue, di dalam rumah mungil yang hangat. Tak ada yang menyangkal mereka adalah potret keluarga muda yang bahagia. Apalagi ketika Ian, anak keduanya lahir tujuh tahun kemudian. Ini keluarga yang tenang, sangat tenang. Eric mengambil jurusan pendidikan seni musik di Universitas Tennessee. Saat itu dia sudah memiliki kelompok musik dan kerap mendapat job. Musik, musik, dan musik adalah puncak hidup Eric.

Erin pun sudah menikmati posisinya sebagai asisten guru di West High School. Menurut Shiloh Jines, mantan muridnya, Erin guru yang lembut dan sabar. Shiloh mengakui pesona Erin karena dia langsung bisa mengambil hati para siswa.

Salah satu siswa yang dekat dengan ibu guru ini Sean Powell. Sean masuk kategori siswa bermasalah. Dia merokok, mabuk, dan menjadi biang onar. Di tangan Erin, Sean takluk. Erin memahami perubahan pada pribadi Sean.

Ketika berumur tujuh tahun, Sean diadopsi keluarga berada. Masalahnya, saat itu ibunya, Debra Flynn, tersandung masalah hukum dan dipenjara: Padahal dia tak bersuami. Selama tinggal bersama keluarga baru, Sean hidup berkecukupan. Tetapi semua berubah ketika Flynn bebas dari penjara saat Sean berumur 17 tahun. Dia mengambil anaknya kembali dan tinggal di apartemen sempit. Ini membuat Sean berontak. Tetapi dia tak punya pilihan lain karena usianya belum 18 tahun, belum bisa menentukan nasibnya.

Erin merasa perubahan ini yang membuat Sean menjadi bengal. 

“Ah, siapa bilang Sean tidak bahagia? Saya ibu kandungnya, tentu dia senang bisa kembali hidup bersama saya,” kata Flynn yang melihat kebengalan Sean sebagai sesuatu yang wajar.

Di rumah, Sean tak mendapatkan apa yang dimaui. Tidak seperti ketika dia tinggal bersama keluarga Powell. Agaknya Sean bersimpati pada cara Erin memperlakukan dirinya. Sampai ketika lulus dari SMA, dia tak bisa melupakan Erin.

Mereka bertemu kembali saat musim dingin 2006, bukan lagi sebagai guru dan siswa tetapi sebagai perempuan dewasa yang kesepian karena hidup suaminya larut untuk musik dan lelaki yang baru tumbuh. Hubungan keduanya menjadi makin dekat.

Eric tak pernah menyangka ada api lain yang menghangatkan istrinya sampai suatu ketika Eric Jr, anak sulungnya, melapor dengan sebal. “Dad, aku melihat Mom memegang tangan muridnya itu. Mereka sangat dekat. Lalu Mom mencium lelaki itu di sofa ini. Aku muak melihatnya,” kata Eric Jr.

Eric kaget tetapi dia masih yakin Sean dan Erin hanyalah guru dan mantan siswa yang bermasalah. Musisi ini baru yakin hatinya telah disayat ketika dia datang ke sebuah bar di Knoxville. Duduk di sudut, Eric melihat dua sosok yang sangat dikenal. Erin dan ... Sean. Benar kata anaknya. Erin menggenggam tangan Sean dan berkali-kali dia mendekatkan bibir ke telinga Sean seperti tengah berbisik. Wajah Erin begitu bahagia. Dia kelihatan sangat muda dan bergairah.

Mata Eric panas. Apalagi di kota kecil yang membuat setiap orang saling mengenal, beberapa mata memandangnya dengan ganjil. Eric tak bereaksi. Seperti biasa dia tak menunjukkan emosi apa pun sampai Erin dan Sean berlalu melewati tempatnya duduk. Mata Erin dan Sean berpandangan mesra.

 

Pesan di ponsel

Kasus pembunuhan yang membuat koran-koran lokal memuatnya sebagai headline selama berminggu-minggu tak menunjukkan kemajuan. Mereka hanya menemukan nama Sean Powell yang menjadi korban. Judulnya pun mengerikan: suami membunuh mantan siswa sekaligus kekasih istrinya.

Flynn sangat terpukul mengetahui kematian anak tunggalnya. Dia bercerita, malam itu mendapat telepon dari perempuan bernama Erin. Dia mengabarkan Sean mati tertembak. “Ditembak psikopat!”

“Siapa psikopat itu?” tanya Flynn memburu. 

Dia menjawab, “Eric.” 

“Siapa itu?” 

“Suamiku,” jawab Erin. 

Flynn tidak mengenal Erin sebelumnya. Tetapi begitu melihat kenyataan anaknya menjalin cinta dengan mantan mentornya, Flynn berusaha merangkai fakta.

“Sean tak pernah bercerita banyak tentang sosok yang disebutnya sebagai kekasihnya. Saya beberapa kali menangkap pembicaraan lewat telepon. Sepenggal-sepenggal tetapi cukup membuat saya mengerti, Sean memiliki kekasih,” kata Flynn.

Flynn mengungkapkan, dia pernah mendapati pesan dalam ponsel Sean yang isinya: I love you. Kali lain ada pesan: Come home.

Setelah pembunuhan yang sadis itu, jejak Eric berhenti di depan West High School. Dia memarkir mobilnya di depan sekolah tempat istrinya bertemu Sean Powell kali pertama. Ketika polisi masih mengendus jejak Eric, suatu pagi lelaki bertutur lembut ini menyerahkan diri setelah berusaha melarikan diri keluar kota.

Sederet pemeriksaan dan wawancara eksklusif dengan Matt Lauer dari media Today tak banyak mendatangkan hasil. Eric tak banyak bicara. Pemeriksaan hanya berjalan sesuai prosedur tanpa bisa menggali apa yang sebenarnya terjadi.

Polisi dan detektif memakai kata kunci “tujuh menit yang misterius”, sesaat setelah Eric menelepon 911 dengan gusar hingga ketika Erin juga menelepon dengan panik ke 911. Apa yang terjadi dalam tujuh menit itu, hanya bisa dikorek dari Eric, sang tersangka pelaku.

“Bukan hanya apa yang terjadi, tetapi supaya terbuka apakah pembunuhan ini direncanakan atau tidak,” kata Andrew Boatman.

Di depan Matt Lauer, Eric hanya bisa menggeleng lemah. Berkali-kali dia mendesis, “Saya salah. Saya bersalah. Seharusnya ini tak perlu terjadi. Ini kecelakaan.”

Tentu tak mudah bagi polisi untuk menerima begitu saja pengakuan kecelakaan ini. Lauer mendesak dengan lembut. Dia tahu, Eric sangat perasa.

“Apakah Anda tahu istri Anda menyeleweng?” tanya Lauer. 

“Ya, saya tahu.” 

“Kalau tahu seperti itu, mengapa tidak tinggalkan saja istrimu?” desak Lauer. 

Eric menggeleng. “Tidak bisa. Saya tidak bisa.” 

“Mengapa?” 

Eric mendesis, “Karena saya mencintainya. Sangat mencintai istri saya.”

 

Menyiapkan senapan

Ayah dua anak ini akhirnya membuka sisi hatinya yang terluka. “Saya bisa merasakan ada yang tidak beres pada sikap istri saya tetapi saya pikir itu bisa kembali normal. Ternyata tidak. Makin hari, saya melihat Sean makin dekat meski saya hanya mendengar cerita dari anak-anak. Saya sangat memuja Erin, dan wajar bila orang lain juga melakukannya karena Erin memang patut dicintai. Dia perempuan luar biasa.”

Tetapi peristiwa di bar itu membuat Eric tak bisa melupakan wajah Sean dan Erin yang tengah mabuk kepayang. Bagi Eric, itu bisa berlalu, cepat atau lambat. Tetapi perhitungan Eric kali ini meleset. Keduanya makin intim.

Jika di bar muka Eric serasa ditampar oleh rasa malu, pada 10 Maret 2007, kembali Eric seperti disabet harga dirinya. Ketika pulang, Eric seperti biasa masuk lewat pintu samping. Saat itu dia melihat istrinya bergumul dengan Sean Powell di dalam rumahnya. Darahnya menggelegak. Apalagi ketika Sean hanya meliriknya.

Erin membentak suaminya, “Jangan buat keributan. Aku tidak ingin anak-anak bangun karena kamu.” 

Sean hanya menyeringai saat Eric menghardik dan menyuruhnya keluar dari rumah. Sean memang keluar rumah sambil berpakaian asal-asalan. Dengan tenang dia masuk ke dalam Mercedes lamanya dan mulai merokok. Dia sengaja tidak menutup pintu penumpang di sebelahnya. Eric melihat pintu yang terbuka itu dengan mata nanar. Jangan-jangan istrinya ....

Eric segera menghampiri Erin. Langkah istrinya bergegas menuju mobil Sean. Eric tersengat. Dia memohon dengan suara lirih. “Please, aku tak ingin kamu pergi.”

Erin menghardik. “Kamu bisa mengambil dua anakmu, kamu bisa memiliki rumah ini dan isinya, tetapi kamu tidak akan pernah bisa merampas kebebasanku.”

Hati Eric mencelos. Dia tak pernah membayangkan ini semua, bahkan dalam konser paling kacau pun, ini tak akan ada dalam partitur. Eric menahan Erin agar tidak pergi.

Tetapi Erin tidak menggubris. Eric kembali memohon agar ibu dua anaknya itu tidak keluar rumah. Istrinya tetap melangkah di bawah tatapan kemenangan Sean yang duduk di belakang setir sambil mengembuskan asap rokok.

Russell Whitfield memotong, “Dan Anda marah lalu pergi ke truk Toyota yang sudah disiapkan di belakang Mercedes milik Sean. Lalu Anda mengambil senapan yang sudah ada di truk itu kemudian mendekati Sean dan... door!

Eric menggeleng. 

Hakim, jaksa, pengacara, dan para juri menunggu jawaban Eric dalam sidang dengan tuduhan melakukan pembunuhan berencana. Lelaki itu bisa dikenai hukuman seumur hidup. Data dari polisi menunjukkan Eric sudah merencanakan pembunuhan karena cemburu itu.

Sebuah truk, senapan, situasi yang patut menjadi alasan untuk membunuh. Sidang ini akan dengan mudah menjatuhkan vonis sangat berat karena Eric satu-satunya terdakwa yang tampaknya sangat lemah, bahkan untuk membela dirinya sendiri.

 

Masuk rehabilitasi mental

Saksi kunci satu lagi menghilang. Erin McLean memakai nama gadisnya, Erin Myers. Dia menghilangkan semua jejak masa lalunya dan berhasil menjadi guru di sebuah sekolah di Nashville. Tetapi lagi-lagi dia tersandung masalah. Salah satu orangtua siswa protes karena anaknya yang berusia 17 tahun dipaksa Erin menginap di motel dan dicekoki alkohol.

Ketika diusut pihak sekolah, Erin mengelak, “Saya tidak memaksa anak itu. Dia siswa bermasalah karena itu saya butuh pendekatan untuk menyelesaikan masalahnya.”

Tetapi akhirnya jejak rekam Erin terdeteksi. Polisi menemukan Erin lagi. Erin dipersilakan keluar dari sekolah. Perempuan yang awet cantik ini masuk rehabilitasi mental. Dua anaknya dititipkan ke ibunya; Tetapi sebelum proses rehabilitasi selesai, saudara Erin menelepon polisi.

“Erin mengambil dua anaknya ketika ibunya tidur. Sekarang kami tidak tahu dia ke mana. Saya khawatir dengan nasib anak-anak,” kata saudara Erin.

Pengacara Erin, Gary Blackburn, mendapati Erin menjadi buruh harian di Texas. Mereka tinggal di apartemen sempit. Dua anaknya tampak tak terurus. Ketika berhasil menemui Erin, Blackburn mengajaknya bicara. Erin bersedia dan mulai bercerita tentang tujuh menit misterius itu. Sekali-sekali mata perempuan ini melirik dua anaknya yang melahap pizza dengan rakus.

“Erin sangat kesepian. Meski hidupnya berkecukupan, dia merasa ada yang kurang dalam kehidupan perkawinan dengan Eric. Ini jenis perkawinan klasik, sangat klasik, yang membuat Erin bosan. Dan dia menemukan gairah baru lagi di sekolah, dalam diri Sean,” kata Blackburn.

 

Niat bunuh diri

Delapan bulan setelah penembakan itu, di depan juri yang akan menentukan nasibnya di pengadilan, Eric tampil agak gugup. Didampingi pengacaranya, Bruce Poston, berkali-kali dia menggelengkan kepala sambil mengaku bersalah. “Saya bersalah, saya sungguh menyesal. Itu kecelakaan.”

Tak ada yang percaya. Debra Flynn yang selalu mengikuti jalannya sidang terus mengumpat Eric sebagai pembunuh berdarah dingin. Seperti kata Jaksa Bill Crabtree, “Ini pembunuhan yang sudah direncanakan.”

Eric mengaku mengambil satu senapan dari koleksi senapan ayahnya. Senapan itu disimpan di ruang cuci.

“Untuk apa menyimpan senapan?” tanya Hakim Mary Beth Leibowitz. 

Eric menggigit bibir bawahnya. “Sejak melihat istri saya dan Sean di bar, saya sudah menyiapkannya.” 

Tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Eric merasa hidupnya sudah hancur. Senapan ini satu-satunya cara paling mudah untuk mengakhiri perselingkuhan itu. “Saya ... akan bunuh diri dengan senapan itu,” kata Eric lirih.

Semua yang mendengar terdiam. Eric menyangkal tuduhan polisi dengan data truk dan senapan yang ada di dalamnya. Truk itu diparkir di belakang mobil Sean karena Sean sudah lebih dulu datang. Tempat yang biasa menjadi tempat parkir truk sudah ditempati Sean. Bukan hanya istri yang didului Sean, bahkan tempat parkirnya pun direbut.

“Saya tahu ini akan berakhir, cepat atau lambat. Saya tak punya pilihan lain. Ketika satu-satunya orang yang saya cintai memilih meninggalkan saya dan pergi dengan laki-laki lain, saya memutuskan untuk mengakhiri hidup saya.”

Ketika menemukan istrinya bersama mantan murid yang bermasalah itu, kepanikan muncul di kepala Eric. Apalagi saat Erin melenggang pergi bersama Sean. 

Mata Eric menatap para juri dan hakim dengan nanar. “Saya sangat mencintai Erin. Dia gadis yang bisa membuat saya jatuh cinta. Saya tidak ingin dia pergi. Saya mencintainya. Saya sangat mencintainya.”

Sean menyeringai penuh kemenangan. “Biarkan dia memilih yang terbaik untuk hidupnya. Dan dia memilih aku, bukan kamu. Hei ... tentang anak-anak, jangan khawatir. Mereka akan memanggil aku Dad, paling lama dua minggu lagi.”

Darah Eric bergolak. Erin lepas dari tangannya saja sudah membuat darahnya mendidih, apalagi ketika dua anaknya akan dibawa serta. Dua minggu lagi, dua minggu lagi mereka akan benar-benar pergi. Tak ada waktu lagi.

Eric menahan marah berjalan ke ruang cuci, tempat dia menyimpan senapan. 

“Saya tidak ingin menyakiti siapa pun meski saya mengambil senapan,” kata Eric.

Sosok Eric sama sekali tidak seperti jagoan dalam film yang tampil gagah dengan senapan. Tangan Eric yang lentik seperti memegang tongkat konduktor di atas panggung tempat orchestra.

Sean sama sekali tidak ngeri melihat tangan Eric memegang senapan. “Pergi!” seru Eric parau. “Tinggalkan istriku!” 

Sean malah terkekeh.

“Istrimu yang memilihku.”

 

Gagal bunuh diri

Tangan Eric menyentuh pelatuk. Sean tetap terkekeh dengan asap rokok di mulut. Langkah Erin mendekat. Eric gugup, istrinya benar-benar pergi. Pasti disusul dua anaknya. Tangan yang menyentuh pelatuk bergerak. Gerakannya yang gugup membuat ledakan keras. Begitu kerasnya sampai tubuh Eric terjengkang menabrak dinding. Peluru muntah dengan deras mengenai lengan kanan Sean sebelum kemudian menembus kepala.

Menurut Detektif Andrew Boatman, peluru itu menyerempet lengan kanan lebih dulu. Dokter yang mengautopsi mayat Sean juga mengungkapkan bukti, peluru itu nyasar di tangan kanan sebelum sampai di kepala. “Jika dia menginginkan nyawa Sean, peluru itu mestinya langsung ke kepala, tanpa mampir di tempat lain.” Semua mendengar rekaman saat Erin menelepon ke 911. Di belakang suara Erin terdengar keributan. Lamat-lamat terdengar suara Eric yang panik sebelum suara Eric hilang.

Eric tertunduk, “Saya bersalah. Seharusnya dia tidak mati. Seharusnya senapan itu untuk kematianku.” 

“Bisakah Anda membedakan, yang ditembak itu lelaki muda yang menjadi kekasih istri Anda atau mantan siswa bermasalah yang menjadi kekasih istri Anda?” tanya Jaksa Bill Crabtree.

Eric menggeleng. “Saya tidak tahu. Saya hanya ingin istri saya kembali. Ketika dia tidak kembali, saya harus bunuh diri.”

Dia diminta memeragakan cara menggunakan senapan. Awalnya Eric sudah ngeri duluan melihat senapan yang membuatnya masuk dalam kesulitan besar ini. Sambil memejamkan mata Eric memegang senapan itu. Tangannya yang menyentuh pelatuk agak bergetar di bawah pinggang, dekat dengan pinggang bawah.

Caranya memegang senapan sangat tidak meyakinkan, apalagi ketika diminta mengarahkan senapan pada benda yang diibaratkan menjadi sosok Sean. Sejenak mata Eric nanar melihat benda itu tetapi dia kembali konsentrasi pada senapan. Seperti memegang gitar, posisi Eric memang janggal. 

Setelah enam hari mendengarkan dan menyaksikan dua lusin testimoni, juri mengambil keputusan selama 11 jam dalam waktu dua hari. Dalam sidang pembacaan vonis, ketua juri, Rohr, berkata: “Dia tidak bersalah!”

Patricia Kerschieter, anggota dewan juri, angkat bicara. “Lepas dari peluru yang dimuntahkan, Eric ada di posisi terjepit. Dia harus kehilangan istri yang dicintai sekaligus dua anaknya. Istri dan kekasihnya sudah memberi vonis mematikan untuk Eric. Berdasarkan autopsi, peluru itu muntah tak terkendali. Bahkan Eric tak bisa menahan getaran senapan hingga terjatuh. Kepanikan membuat dia gugup dan menarik pelatuk. Dia tidak bersalah.”

Tiga kali hakim bertanya, tiga kali juga juri menjawab, “Dia tidak bersalah.”

Keluarga Powell tidak terima. Flynn mengumpat juri dan hakim. Tetapi vonis yang dijatuhkan tetap: Eric tidak bersalah. Eric menjalani hukuman percobaan enam bulan. 

Eric dan Erin bercerai Februari 2008. Sejak itu Erin dan dua anaknya tak pernah muncul. Sampai hari ini. (Endah Imawati)






" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553456986/7-menit-itu-misteri" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391401000) } } [2]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350093" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/jaksa-itu-ditembak-di-depan-pint-20220628020415.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Seorang wanita mengacungkan senjata ke arah seorang jaksa yang piawai dalam menangani kasus obat bius. Apa motif di balik penembakan ini?" ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/jaksa-itu-ditembak-di-depan-pint-20220628020415.jpg" ["title"]=> string(33) "Jaksa Itu Ditembak di Depan Pintu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-28 14:04:29" ["content"]=> string(29223) "

Intisari Plus - Ketika membuka pintu, seorang wanita mengacungkan senjata ke arah Gene Berry. Berry dikenal sebagai jaksa yang piawai dalam menangani kasus obat bius. Apa motif di balik penembakan ini?

------------------

Hari Sabtu, 16 Januari 1982. Rembang petang berubah menjadi gelap di pantai barat daya Florida. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi empat tembakan di daerah Charlottte Harbor. Letusan itu bergema sampai ke seberang muara Peace River yang lebar dan lenyap ditelan Teluk Meksiko. 

Penduduk yang keheranan mengintip lewat pintu dan jendela mereka di Melbourne Street. Mereka melihat seorang wanita berpakaian olahraga berwarna biru sedang joging. Wanita itu berteriak kepada mereka, "Panggil polisi!"

Sesaat kemudian, pukul 06.30, telepon berdering di kantor kepala polisi Charlotte County di seberang sungai di Punta Gorda. "Cepat datang ke rumah Gene Berry! Cepatlah!" Wanita itu memohon dengan suara yang membuat cemas.

Para wakil sheriff tahu alamat Eugene C. Berry yang adalah seorang pembantu jaksa negara bagian Florida, karena ia dikenal baik oleh para petugas hukum setempat. Di usianya yang ke-46 ia dihargai karena kebolehannya menangani kasus-kasus obat bius. Pada tahun 1981, jaksa berhidung mancung dan berambut putih itu menangani 33 kasus dan menangkan 27 di antaranya. 

Tetapi pada hari keenam belas dari tahun 1982 itu tubuhnya terbujur tidak bernyawa di muka rumahnya yang berpagar di Peace River. Dia ditembak oleh sang pembunuh yang siap dengan senjata di tangan pada saat ia baru saja membuka pintu rumah.

Sebentar saja para tetangga dan polisi sudah berdatangan. Orang berdatangan lebih banyak lagi setelah berita itu disiarkan melalui radio dan telepon. Sersan Dave Lucas diserahi tugas menyelidiki tempat kejadian. 

Kantor sheriff Lee County di Fort Myers mengirim beberapa penyelidik ke tempat kejadian dipimpin Sersan Jim Drake. Sedangkan para penyidik dari kejaksaan pimpinan Chief Investigator Ralph Cunningham bertanggung jawab atas penyidikan seluruhnya.

Raga Berry terbaring tertelentang di lorong antara pintu rumah dan ruang duduk. Dua buah luka kecil akibat peluru terdapat di lehernya dan sebuah tembakan fatal menembus jantungnya. Sedangkan peluru keempat tak mengenai korban, melainkan bersarang di tembok. Peluru itu berasal dari revolver kaliber 38, yang biasa dipakai untuk latihan menembak.

Tembakan-tembakan itu terdengar oleh janda Berry, tetapi ia tidak melihat penembakan tersebut. Kata wanita itu, suaminya sedang duduk santai di kursi sandar, menonton TV dan dia sendiri asyik membaca buku, ketika bel di pintu depan berdering. Sambil menggendong anjingnya Berry menuju ke pintu depan.

Terdengar pintu depan dibuka, lalu suara Berry, "Hai, apa kabar?" Nada bicaranya mengesankan bahwa tamunya seorang wanita yang dikenal. 

Sapaan sopan Berry ternyata dijawab dengan empat letusan pistol. Janda Berry segera memutar nomor telepon kantor sheriff dan tim pertolongan darurat. Hingga bantuan datang, janda malang itu terus berada di sisi mayat suaminya dengan penuh duka cita.

Letak mayat dan posisi peluru di tembok yang membentuk sudut 45 derajat menunjukkan peluru pertama ditembakkan dari luar pintu, sedangkan tiga berikutnya dari ruang dalam, yaitu setelah Berry berusaha meloloskan dirinya, tetapi dibuntuti pembunuhnya. Banyak penduduk setempat yang mendengar tembakan-tembakan itu, tetapi tak seorang pun melihat seseorang yang mencurigakan di pintu depan rumah Berry yang tersembunyi di balik halaman yang dipagari dengan tumbuhan rimbun.

Hanya saja, beberapa saat setelah penembakan, beberapa tetangga melihat seorang wanita yang berjoging ke arah timur beberapa meter dari arah timur rumah Gene Berry. Beberapa di antara mereka mendengar wanita itu berteriak agar memanggil polisi. Mungkin dia telah melihat sesuatu.

Tak seorang pun sanggup mengenali kembali wanita itu ke mana perginya. Ciri-cirinya: bertubuh besar, tinggi sekitar 165 - 175 cm, beratnya sekitar 65 kg, berpayudara besar, pinggulnya lebar, warna rambutnya gelap dan berpakaian joging berwarna biru.

Pemeriksaan di rumah itu tak menghasilkan apa-apa, kecuali keempat peluru. Itu pun tak ada artinya tanpa menemukan senjatanya.

 

Dibantu komputer

Tentu saja, orang pertama yang dicurigai adalah istri korban. Tetapi dengan lekas janda Berry lepas dari kecurigaan para penyelidik. Apakah korban mempunyai musuh? Karena korban adalah jaksa yang berhasil, Gene Berry tentu mempunyai banyak musuh, musuh-musuh yang dimasukkannya ke dalam penjara, dan banyak lagi yang khawatir akan mendekam di penjara. 

la bukan hanya akan menjadi duri dalam daging para pedagang besar narkotik, Gene Berrry juga merupakan asisten yang amat berharga bagi jaksa terkemuka, Joseph D'Alessandro. D'Alessandro dan asisten kepalanya, Donald Pellechia, bertekad bekerja sama siang-malam sampai menemukan pembunuh Berry dan menggiringnya ke belakang jeruji penjara.

Satuan tugas gabungan terdiri atas orang-orang kejaksaan dan polisi yang jumlahnya 33 orang dibagi menjadi dua giliran waktu. Masing-masing bekerja dua belas jam per harinya. 

Karena mendapat tugas khusus dalam kasus bidang obat bius, kemungkinan besar pembunuhan atas diri Berry ini ada hubungannya dengan dunia obat bius atau mereka yang pernah dihukum atau dituntut. Satuan tugas bekerja dengan rencana yang saksama dan dibantu dengan komputer.

Komputer membantu para detektif untuk: 

  1. Mencatat semua orang yang dituntut Berry 18 bulan terakhir dan semua keluarga mereka serta alamat dan nomor telepon mereka. 
  2. Mengumpulkan nama, alamat, nomor, dan SIM mobil semua orang yang terdaftar di motel setempat selama 30 hari ini. 
  3. Menyusun daftar semua penumpang yang datang dan pergi dengan pesawat terbang dalam waktu 30 hari terakhir. 
  4. Menyusun nama-nama mereka yang menyewakan kendaraan di sekitar daerah ini dalam waktu yang sama. 
  5. Mencatat daftar interlokal dari telepon umum dalam waktu yang sama, juga nomor yang dihubungi dan yang membayar interlokal. 
  6. Mengumpulkan daftar mereka yang mentransfer atau menerima uang ke atau dari daerah itu 30 hari terakhir. 
  7. Mengumpulkan daftar orang yang membeli senjata 38 mm atau amunisi dari toko-toko senjata di daerah itu dalam 30 hari terakhir. 
  8. Memasukkan ketujuh daftar tersebut ke dalam komputer dan menanyakan pendapat komputer. 
  9. Menahan pembunuh yang ditunjuk dan menuntutnya.

Tentu saja pada penyelidik tahu, persoalan takkan terpecahkan semudah itu. Tetapi dengan pertolongan komputer, setidak-tidaknya ditemukan satu orang atau lebih yang punya motif untuk membunuh Gene Berry.

Tugas rutin polisi termasuk menanyai penghuni penjara. Sering dalam penjara, mereka membicarakan kejahatan rekan lainnya. Mereka akan senang memberi ‘sumbangan’ pada polisi bila itu bisa meringankan hukuman mereka.

Satu hal diketahui para penyelidik itu dari para narapidana tentang Gene Berry. Laki-laki itu lebih ditakuti daripada dibenci oleh para penjahat obat bius.

Kebencian yang dalam sebenarnya adalah kepada Connie Dillman (25), seorang wanita informan profesional yang punya peranan penting dalam banyak kasus Berry. Berry memang ditakuti sebagai penuntut yang ulet dan efisien, tetapi di penjara tak pernah terdengar rencana membunuhnya.

Sebaliknya, Connie Dillman amat dibenci sebagai seorang pengkhianat dan membereskan Connie merupakan bahan pembicaraan hangat.

Yang paling banyak berbicara mengenai hal ini adalah Stephen Vance Taylor (29). Ia penghuni Penjara Charlotte County dan sedang menunggu diadili karena tuduhan menjual kokain. Malangnya, ia menjualnya kepada Connie Dillman. Wanita ini jadi saksi utama kalau Taylor diadili nanti. Karena itu, Taylor menghendaki wanita ini mati sebelum ia diadili. Sidang pengadilan dijadwalkan pada hari Senin, 18 Januari. Kematian Connie akan meruntuhkan tuduhan, sedangkan kematian Berry hanya akan menunda sidang pengadilan. Jadi, Taylor tidak termasuk orang yang dicurigai.

 

Teman wanitanya bertubuh besar

Dalam penjara, Taylor berteman dengan seorang pria asal Lexington, Kentucky, yang oleh Berry dituntut karena menyelundupkan mariyuana. Pada bulan Oktober pria ini dijatuhi hukuman penjara 45 tahun dan denda AS $ 210.000. Tetapi pada tanggal 23 Desember ia meminjami Taylor uang sebanyak AS $ 12.000 agar Taylor dapat bebas pada hari-hari Natal.

Namun Taylor termasuk dalam salah satu dari tujuh daftar komputer. Pada tanggal 29 Desember ia menerima uang dari Bonnie Lee Kelly lewat Western Union di Lexington sebanyak AS $ 500. Pada tanggal 31 Desember, dari Sarasota, Taylor terbang ke Lexington, kira-kira 45 mil di utara Punta Gorda.

Dalam salah satu pemeriksaan rutin, didapatkan bahwa Taylor masih tetap berada di Lexington pada malam kejadian. Sesungguhnya ia terluka kecil dalam suatu kecelakaan mobil pada hari Minggu, pukul 02.17, dan berada di rumah sakit sampai hari Senin sore. Ini dicek oleh para petugas polisi, yang menyelidiki keadaan dan menanyai Taylor bersama seorang kawan wanitanya di rumah sakit.

Menurut polisi, wanita itu bernama Bonnie Lee Kelly. Usianya kira-kira 30 tahun, berbadan besar, tinggi 162 cm, berat 62 kg, dan berpayudara besar. Coklatkah rambutnya? Tidak. Dia berambut pirang keputihan dan amat berbau cat rambut. Kata wanita itu, dia pada malam minggu berada di Lexington dan berani menjamin bahwa Taylor juga ada di situ. Kecuali rambutnya yang bau cat rambut itu, gambaran Ny. Kelly mirip betul dengan gambaran mengenai wanita yang berjoging di depan rumah Berry sesaat setelah Berry dibunuh.

Nama Ny. Kelly juga muncul dalam daftar dalam komputer. Pada tanggal 13 Januari, pukul 12.09, Bonnie Kelly menyewa sebuah mobil di Bandara Fort Myers dan mengembalikannya pukul 06.05 tanggal 14, walaupun namanya tidak muncul dalam daftar nama penumpang pesawat udara. Tetapi sebuah pesawat dari Knoxville, Tennessee, tiba beberapa menit sebelum ia menyewa mobilnya pada tanggal 14. Pada dua penerbangan tersebut terdaftar nama Ny. Cheryl Gee.

Nama kecil Bonnie Kelly adalah Gee. Komputer telepon menunjukkan sejumlah hubungan telepon antara nomor telepon Ny. Kelly di Lexington dengan macam-macam telepon umum di daerah Sarasota - Punta Gorda - Fort Myers.

Semua daftar penumpang untuk tanggal 15,16,17 Januari diteliti dengan amat cermat. Satu-satunya orang yang datang dan pergi dari Lexington yang tidak berhasil diidentifikasi, ditemukan, dan dikesampingkan adalah Brenda Rankin.

Wanita ini tiba di Bandara Fort Myers dari Lexington pukul 02.43 pada tanggal 16 Januari, lalu berangkat kembali menuju Lexington dari Bandara Sarasota pada tanggal 17. Inilah yang membuat dirinya jadi perhatian, terlebih-lebih lagi mengingat Bonnie Kelly bepergian dengan menggunakan nama palsu.

Nama Rankin muncul hanya pada satu daftar komputer lain dan tidak kelihatan penting. Pada tanggal 16, pukul 03.30 ada pasangan yang mendaftarkan diri pada sebuah motel di Fort Myers dengan nama Joe Rankin dan memberikan alamatnya di Ashland, Carolina Utara. 

Setelah ketujuh daftar dimasukkan ke komputer, para penyelidik menambahkan daftar kedelapan, yaitu daftar data hubungan telepon Bonnie Kelly dan kenalan-kenalannya. Komputer menunjukkan pola percakapan telepon antar daerah itu dengan pelbagai telepon di Lexington yang tak ada hubungannya dengan Bonnie Kelly, termasuk telepon-telepon umum di dekat rumahnya. Hal itu tentu saja menarik dan bisa dikatakan mencurigakan, tetapi tidak membuahkan apa-apa kecuali bahwa Ny. Kelly banyak berbicara dengan kawan-kawannya dan dia mempunyai seorang suami di penjara Florida.

Selain itu komputer penolong ini masih memberi sejumlah petunjuk. Para detektif dibuat repot dan frustrasi, karena dihadapkan pada hampir 48.000 hubungan telepon yang menurut komputer patut dicurigai dan harus diselidiki. Tidak jarang hubungan telepon yang mereka lacak itu ternyata cuma dilakukan oleh para usahawan atau keluarga-keluarga yang sedang berlibur.

Seminggu kemudian, Bonnie Kelly dan Vance Taylor tinggal satu-satunya yang harus dicurigai, meskipun tetap belum ada bukti untuk menuntut mereka.

 

Mungkin dia Ny. Randall

Kemudian ada kabar dari kepolisian Lexington bahwa Bonnie Kelly dan Taylor waktu itu sedang menuju ke Utara. Mereka pergi dengan mobil Dodge Ram Charger warna hijau gelap tahun 1980 milik Bonnie. Agen-agen polisi Florida Selatan diperintahkan mencari kendaraan yang dimaksud.

Hari Selasa, 26 Januari, mobil Dodge yang namanya terdaftar atas nama Bonnie Kelly tampak diparkir di sebuah motel di North Port, sekitar 32 km utara dari Punta Gorda di Tamiami Trail. Manajer motel yang dihubungi dengan telepon mengatakan tidak ada nama Bonnie Lee Kelly terdaftar di situ. Tidak juga nama Stephen Vance Taylor.

Lalu bagaimana dengan wanita yang berambut pirang, berbadan besar, berdada besar, dan berpinggul lebar? 

Mungkin saja wanita itu adalah Cheryl Randall dari Fayetteville Georgia. Namun mobilnya didaftar sebagai Chevrolet. Manajer motel itu memang melihat ada sebuah Ram Charger hijau gelap diparkir di depan kamar Ny. Randall. Kamar no. 37. Beberapa polisi begadang mengawasi Dodge dan kamar no. 37.

Hari Rabu, pukul 09.00, Bonnie Kelly meninggalkan kamarnya sebentar untuk menelepon kawan-kawannya lewat telepon umum.

Pukul 11.00 dia keluar lagi. Kali ini dikawani oleh Vance Taylor. Dari balik jaket Vance Taylor mengintip barang yang kelihatannya sepucuk senjata. Mereka naik ke mobil Dodge tersebut dan meluncur, diikuti beberapa petugas dengan beberapa mobil bergantian dari jarak agak jauh.

Selanjutnya Sersan Dave Lucas dari kepolisian dan Ralph Cunningham, kepala penyelidikan dari kejaksaan, ikut membuntuti Ny. Kelly dan Ralph yang beberapa kali berhenti sepanjang perjalanan ke sebuah bar. Di sini mereka berhenti selama satu jam, kemudian menuju ke sebuah motel. Nampaknya mereka menemui seseorang. Pukul 15.20 Taylor seorang diri meninggalkan motel dan pergi mengendarai mobil Dodge. Lucas dan Cunningham terus menguntit di belakang.

Pukul 16.25 Taylor menemui dua orang wanita. Yang seorang dikenali polisi sebagai pedagang obat bius jalanan, berpraktik di sebuah rumah makan. Mereka bertiga menghabiskan dua jam berkendaraan, berhenti, tukar kendaraan, dan terus-menerus bertindak dengan amat hati-hati sampai-sampai Lucas dan Cunningham berpikir sedang terjadi transaksi penjualan obat bius.

Pukul 18.50 sekali lagi Taylor seorang diri dalam Dodge-nya. Lucas dan Cunningham menariknya ke luar mobil. Mereka mengambil pistol otomatis yang dibawa Taylor di badannya. Ditemukan juga tablet Quaalude. Di sela kursi depan mobil itu, yang sebagian diselubungi, polisi melihat bagian dari tiga senjata api lainnya. 

Taylor kemudian ditahan, karena membawa senjata gelap. la dipenjarakan. Bonnie ditanyai, tetapi menyangkal terlibat dalam tindak kriminal. la dibebaskan. Taylor pun segera membayar uang jaminan dan bergabung kembali dengan Bonnie Kelly.

 

Ganti si Tikus Kecil

Lucas dan Cunningham mendapat surat kuasa untuk memeriksa mobil Ram Charger milik Bonnie Kelly. Di samping senjata api dan sejumlah amunisi, mereka menemukan sepasang sepatu wanita berwarna biru, perlengkapan pewarna rambut, dan sejumlah guntingan koran tentang kasus penyelundupan mariyuana. Meskipun tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk menangkap seseorang dengan tuduhan membunuh, tetapi temuan itu cukup menarik.

Bonnie Kelly dan Vance Taylor menyeberangi Semenanjung Florida ke Fort Lauderdale, menyewa mobil dan terlibat urusan obat bius seperti biasa yang kemudian menyeret mereka ke dalam tahanan pada tanggal 8 Februari dengan tuduhan membawa senjata gelap.

Sekali ini Bonnie menyembunyikan pistol kaliber 38 di pahanya. Tetapi ia membayar tebusan AS $ 1.000 dan bebas pulang kembali ke rumahnya di Lexington. Sedangkan Taylor kali ini tidak bisa bebas. Dia terus berada di Penjara Charlotte County di Punta Gorda.

Pada tanggal 19 Maret Taylor diadili untuk perkara penjualan kokain. Gene Berry sudah tak ada lagi, tetapi Connie Dillman masih hidup untuk menjadi saksi. Ditambah banyak hal yang membebani kepalanya, nampaknya masa depannya suram. Pada minggu kedua bulan April dia memutuskan untuk buka mulut. Pengacaranya menghubungi kantor kejaksaan negara bagian.

"Rasanya saya seperti mau meledak dan saya seperti ingin menceritakan segala-galanya," demikian pengakuan Taylor. 

Tentang apa? "Pembunuhan Gene Berry. Connie Dillman-lah sasaran sesungguhnya, tetapi polisi menyembunyikan orang itu dengan amat baik. Kalau si Tikus Kecil itu tak bisa didapatkannya, maka penuntut itulah yang harus jadi korban cadangan."

Siapa sesungguhnya yang membunuh Gene Barry? 

"Bonnie Kelly." 

Menurut Taylor, dia dan Bonnie menjadi sepasang kekasih juga teman bisnis, sejak Desember lalu, tidak lama sesudah dia keluar dari penjara dengan uang AS $ 12.000 dari Kelly.

Menurut Bonnie, dia benci sekali kepada Gene Berry, karena Berry antara lain memasukkan suaminya ke penjara. Tetapi yang lebih mengkhawatirkan Taylor adalah Connie Dillman. Bonnie setuju akan membunuh Connie. Mereka tidak tahu di mana Connie berada, tetapi tahu bahwa Connie ditugaskan memberikan pernyataan di bawah sumpah pada tanggal 13 Januari nanti dan jadi saksi dalam persidangan Taylor pada tanggal 18.

Tanggal 13 Bonnie terbang ke Fort Myers dengan nama Cheryl Gee, menyewa kendaraan, dan pergi ke gedung Pengadilan Charlotte County di Punta Gorda. Diawasinya wanita itu. Dibuntuti dengan maksud akan membunuhnya. Tetapi kemudian niat itu dibatalkan ketika dia menyadari bahwa beberapa laki-laki yang mengawal Connie adalah detektif. Bonnie kembali ke Lexington dan berdua dengan Taylor menyusun rencana baru. 

Mereka memutuskan lain waktu Bonnie akan minta bantuan orang lain di Florida. Untuk itu Taylor menghubungi kawan yang dikenalnya sewaktu dipenjarakan, Richard Holliman (26). Taylor sengaja melukai dirinya dan pura-pura mengalami kecelakaan mobil pada tanggal 16 malam. Dengan demikian, sidangnya akan diundur bila misi pembunuhan yang akan dilakukan Bonnie gagal. Kecelakaan itu juga bisa dijadikan alibi bila misi Bonnie berhasil.

Taylor bersikap hati-hati. la menyembunyikan identitas Bonnie dari Holliman. Kepada Holliman, Bonnie yang dibantunya untuk membunuh Connie itu dikatakannya bernama Brenda Rankin. Nama itu juga yang digunakan di Bandara Fort Myers, di mana Holliman harus menemuinya pada hari Sabtu, tanggal 16, sekitar pukul 02.30 - 03.00.

Hari Sabtu itu Taylor melewati hari yang menyenangkan di pegunungan. Lalu ia kembali ke rumah Bonnie untuk menunggu telepon dari Bonnie sebelum melaksanakan ‘kecelakaan’. Bonnie meneleponnya pukul 23.00 dari sebuah telepon umum di lobi Hotel Holiday Inn di Sarasota.

Kata Bonnie, karena Connie tak dapat ditemukan, maka ... Gene Berry-lah yang dibunuh sebagai pengganti.

 

Melukai diri sendiri

Taylor menelepon Holliman di kamar 422 hotel itu. Apa betul Bonnie telah membunuh Gene Berry? Holliman tidak menyaksikannya, tetapi ia memang mendengar beberapa tembakan. Taylor minta Holliman untuk pergi ke telepon umum di dekat rumah Bonnie Kelly guna memberikan keterangan yang lebih mendetail kepadanya. 

Tidak lama sesudah pukul 02.00, Minggu, Taylor melukai dirinya sendiri dengan pisau silet dan kertas amplas, menabrakkan mobilnya ke tiang listrik, dan minta dirawat di rumah sakit. Sekitar pukul 08.00 Bonnie pulang ke Lexington. 

Dengan demikian maka wajarlah kalau komputer merekam data-data sebagai berikut:

29 Desember: Bonnie Kelly mengirim AS $ 500 kepada Taylor dari Lexington. 

31 Desember: Taylor terbang ke Lexington dari Sarasota.

13 Januari: Cheryl Gee tiba di Fort Myers dari Knoxville pukul 12.03. Pukul 12.09, Bonnie Kelly menyewa kendaraan di Bandara Fort Myers.

14 Januari: Bonnie Kelly mengembalikan mobil pinjamannya pukul 06.05 dan pukul 07.00 Cheryl Gee berangkat dengan pesawat terbang dengan tujuan Lexington.

16 Januari: Brenda Rankin datang di Fort Myers dari Lexington pukul 02.43. Pukul 03.13 ia menelepon ke kediaman Kelly di Lexington lewat telepon umum. Tujuh belas menit kemudian Joe Rankin mendaftar di sebuah motel di Fort Myers. Pukul 09.05 ia menelepon lagi ke kediaman Kelly.

Pukul 18.40, Eugene C. Berry mati tertembak di rumahnya di Charlotte Harbor. 

Pukul 22.46, Richard Holliman mendaftarkan diri di Holiday Inn, Sarasota. Selanjutnya ada sejumlah hubungan telepon dari kamar penginapan, telepon di lobi, rumah Kelly di Lexington, dan telepon umum di dekat rumah Kelly. 

17 Januari: Brenda berangkat dari Bandara Sarasota pukul 08.17, menuju Lexington.

 

Masih kenal saya?

Pada tanggal 12 April Bonnie Lee Kelly ditahan di Lexington dan Richard Eugene Holliman di Florida.

Holliman mendapat tawaran yang sama dengan Vance Taylor dari pihak yang berwenang. Mereka akan mengaku bersalah melakukan pembunuhan tanpa rencana dan memberi kesaksian yang memberatkan Bonnie Kelly. Sebagai imbalan, tuduhan-tuduhan lain terhadap mereka ditiadakan.

Melakukan pembunuhan tanpa rencana bisa menyebabkan mereka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, tetapi tanpa batas waktu minimum untuk bisa mengajukan permohonan mendapat kebebasan bersyarat. Holliman setuju.

Menurut Holliman, Brenda Rankin - yang dari foto kemudian diketahuinya adalah Bonnie Kelly - membayarnya AS $ 1.000 sebagai upah menjemput di Bandara Fort Myers dan setelah itu mereka mendaftarkan diri di sebuah motel kecil. Ketika itu hari Sabtu, 16 Januari, antara pukul 02.03 - 03.00. Bonnie yang mengisi pendaftaran. Rupanya ia mendaftarkan Holliman sebagai Joe Rankin.

Holliman menceritakan betapa ia telah menghabiskan tanggal 16 itu dengan mengantarkan Bonnie Kelly berkeliling di daerah Punta Gorda untuk mencari dengan sia-sia Connie Dillman. Akhirnya, Bonnie Kelly menuju daerah sekitar rumah Gene Berry dan lewat di depan rumahnya. Kemudian mereka pergi ke sebuah pusat pertokoan, di mana Bonnie membeli sebuah baju olahraga biru, sepasang sepatu sport biru, dan selotip hijau. Benda terakhir itu akan digunakan untuk mengubah nomor mobil. Setelah melapisi pakaian biasa dengan pakaian olahraga itu, Bonnie dan Holliman kembali ke rumah Gene Berry.

Holliman membiarkan Bonnie turun mendekati rumah Gene Berry, mematikan lampu depan mobil mereka, dan mobil berjalan pelan sementara Bonnie berjoging. Dia tidak menyaksikan penembakan itu, tetapi mendengarnya, lalu menjemput Bonnie.

Menurut laki-laki itu juga, Bonnie bercerita bahwa ia memijat bel rumah Gene Berry sambil menggenggam revolver kaliber 38 di balik punggungnya. Dengan memeluk anjingnya Berry membuka pintu. "Masih ingat saya?" tanya Bonnie. Dia menodongkan senjatanya dan menembakkannya. Berry berbalik melarikan diri, tetapi dikejar terus oleh Bonnie sambil menembak. 

"Dia mati?" tanya Holliman. 

"Saya tidak tahu," jawab Bonnie, "tetapi mestinya ia mati. Tembakan terakhir itu mematikan. Darah menyembur di mana-mana.”

Dalam perjalanan ke tempat penginapan di Sarasota, Bonnie membuang pakaian olahraga, sarung tangan, dan senjatanya ke sebuah kali kecil. Holliman sudah tidak ingat lagi di mana persisnya. Hari Minggu paginya, dia mengantarkan wanita itu ke Bandara Sarasota. Sekitar pukul 08.00 Bonnie berangkat menuju Lexington.

Pada tanggal 5 Mei, secara resmi Vance Taylor dan Holliman mengaku bersalah melakukan pembunuhan tanpa rencana. Keputusan hukuman terhadap mereka ditunda sampai mereka selesai memberi kesaksian dalam sidang yang mengadili Bonnie Kelly. Bonnie dituduh melakukan pembunuhan berencana. Bonnie sendiri mengaku tidak bersalah.

Jaksa Donald Pellechia mengajukan 86 orang saksi dan 60.000 bukti-bukti konkret yang kebanyakan adalah dokumen.

Pada tanggal 20 Mei 1983 Bonnie Lee Kelly dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan yang direncanakan terhadap Eugene C. Berry.

Empat hari kemudian, juri mengusulkan hukuman penjara seumur hidup yang minimum harus dijalani 25 tahun sebelum bisa dibebaskan dengan bersyarat. Hakim James R. Adams menerima usul ini.

Suami Bonnie yang dijebloskan ke penjara oleh Jaksa Gene Berry karena dianggap menyelundupkan mariyuana, malah kemudian dibebaskan oleh pengadilan banding. (Terrel W. Ecker)

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350093/jaksa-itu-ditembak-di-depan-pintu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656425069000) } } [3]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3306284" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/yang-ditembak-ternyata-senator_m-20220603054811.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Tokoh Partai Demokrat, menjadi korban perampokan dan penembakan di depan rumahnya. Pelaku adalah dua orang pemuda berkulit hitam." ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/yang-ditembak-ternyata-senator_m-20220603054811.jpg" ["title"]=> string(30) "Yang Ditembak Ternyata Senator" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:48:40" ["content"]=> string(23170) "

Intisari Plus - Tokoh Partai Demokrat, John Stennis, menjadi korban perampokan dan penembakan di depan rumahnya. Pelaku adalah dua orang pemuda berkulit hitam. Atas perintah langsung presiden, FBI langsung mencari para pelaku.

-------------------------

Sesaat sebelum tengah malam 30 Januari 1973, Presiden Nixon menerima telepon dari L. Patrick Gray III, pejabat direktur FBI. Ia melaporkan: Senator John Stennis, tokoh Partai Demokrat dari Mississippi ditembak.

Nixon memerintahkan, "Cari penembaknya sekarang juga!"

Beberapa jam sebelum pemberitahuan itu, Senator lohn Stennis tiba di muka rumahnya yang terletak di daerah elite di barat laut Washington. Ia memarkir Buick Electra-nya di jalan dan keluar. Tubuhnya dirasakannya lelah sekali setelah bekerja sepanjang hari di kantor, lalu disambung dengan menghadiri resepsi di Capitol Hill. Ia segera menyadari bahwa pada umur 71 tahun ia tak sekuat pada masa muda.

Tiba-tiba ia didekati dua pemuda berkulit hitam. Seorang di antaranya memegang pistol.

"Serahkan semua milik Anda," kata seorang di antaranya.

Mereka segera menggeledah sang senator. Di sakunya didapati uang kecil sebanyak 25 sen dan dompet berisi kira-kira AS $ 20. Mereka juga melucuti arloji emas bergrafir inisial John Stennis.

"Okay," kata si pemuda berpistol. "Namun saya mesti menembak Anda juga."

Ia menembak dua kali dengan senjatanya yang berkaliber kecil itu. Sebuah peluru menembusi paha, antara lutut dan pinggul. Tulang Stennis kena, tetapi tidak patah, cuma retak. Peluru kedua masuk ke tubuh sebelah kiri, dekat rusuk bawah. Peluru itu melewati lambung dan pankreas.

Di dalam rumah, istri senator mendengar bunyi mobil suaminya„ lalu kedengaran dua letusan, seperti letusan mercon. Ia membuka pintu dan melihat suaminya terhuyung-huyung menuju rumah sambil memanggil namanya, “Coy!”

"Minta pertolongan," kata Stennis kepada istrinya. "Saya ditembak."

Si istri memapah Stennis ke dalam rumah untuk dibaringkan di sofa kamar duduk. Lalu ia memutar telepon.

Beberapa menit kemudian ambulans Dinas Kebakaran District of Columbia tiba untuk memberi pertolongan pertama. Sesuai dengan permintaannya, Stennis diangkut ke Walter Reed Army Medical Center. Ia pernah dirawat di rumah sakit tentara itu ketika menderita gangguan pada usus besarnya.

Stennis diangkut dengan kursi dorong ke ruang perawatan darurat. Enam dokter militer yang sudah senior, yang berpengalaman merawat luka-luka bekas tembakan, segera turun tangan. Pembedahan makan waktu lebih dari enam jam. 

Stennis dipindahkan ke kamar rumah sakit dari kamar bedah pada pukul 03.30 tanggal 31 Januari. Beberapa jam kemudian buletin rumah sakit menggambarkan keadaannya "sangat serius". Istilah itu sebenarnya berarti sangat gawat. 

Namun Mayor Frank Garland menyatakan bahwa tanda-tanda vital seperti denyut jantung, denyut nadi, tekanan darah, dan pernapasan Stennis stabil. Katanya, Stennis juga sadar dan tenang, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan luka-luka itu akan meninggalkan bekas yang permanen, walaupun selalu ada bahaya infeksi akibat cedera pada organ-organ di dalam tubuh.

 

Nixon sebentar-sebentar menelepon

John Stennis, salah seorang paling kuat di kongres, merupakan ketua Senate Armed Services Committee, yaitu komite yang menentang pengawasan terhadap pemilikan senjata api.

Stennis ternyata sembuh kembali dan bisa bekerja lagi. Namun FBI masih mengemban tanggung jawab besar untuk menemukan penembak sang senator. Maklum Presiden Nixon sebentar-sebentar menelepon atau mengirim memo kepada direktur Gray.

Polisi Washington ikut serta dengan FBI dalam mengadakan pengusutan dan Nixon menunjuk jaksa Agung Richard G. Kleindients untuk menyiapkan rancangan undang-undang yang baru dan lebih keras mengenai pengawasan pemilikan senjata api. Padahal sebelumnya Nixon tidak pernah menjadi tokoh di bidang itu. Di Capitol Hill politisi beramai-ramai menekankan perlunya hukum antikriminal yang lebih keras.

Empat hari setelah peristiwa penembakan itu, agen-agen FBI mewawancarai Stennis di RS Walter Reed. Stennis tidak bisa memberi petunjuk yang terperinci. Ia hanya dapat menyatakan bahwa kedua penyerangnya itu pria, berkulit hitam, umurnya sekitar 16 - 17 tahun, keduanya langsing dan tingginya kira-kira 170 cm. la ingat salah seorang remaja itu mengenakan jaket biru muda dan katanya ia yakin bisa mengenali mereka kalau melihatnya kembali.

Di Washington ada ribuan remaja hitam yang rupanya seperti digambarkan Stennis. Yang mana yang menembaknya?

Pencarian pun ditujukan pada kalangan remaja yang pernah tercatat melakukan kekerasan, terutama mereka yang tertangkap di daerah elite Upper Northwest. Agen-agen FBI dan polisi pun mewawancarai guru-guru serta para pejabat Wilson High School dan Deal Junior High School yang letaknya hanya lima blok dari rumah Stennis.

Markas Besar FBI juga menerima surat-surat kaleng yang isinya menyuruh FBI mengecek para aktivis hak-hak sipil. Pengirim surat-surat kaleng itu yakin Stennis ditembak karena ia "musuh bebuyutan integrasi dan hak-hak orang Negro". 

Namun FBI tidak percaya. Para pengusut yakin Stennis diserang oleh orang-orang yang menginginkan uangnya. Berlainan dengan mobil kebanyakan anggota kongres, nomor pelat pada Buick Stennis tidak memakai tanda yang menunjukkan bahwa pemiliknya seorang elite dari Capitol Hill.

Putra senator, John Hammond Stennis, anggota badan pembuat undang-undang dari negara bagian Mississippi, berkata kepada para agen FBI, "Mengapa ayah saya di tembak merupakan tanda tanya. Ia sudah memberikan semua harta yang dibawanya. Penodongan sudah berhasil. Tidak ada alasan untuk menembaknya."

Polisi Washington yang kenal betul kecenderungan kriminal di kota mereka, terutama di kalangan penodong remaja yang beroperasi di jalan-jalan, menunjukkan statistik yang memperlihatkan bahwa walaupun tidak mendapat perlawanan, para pemuda penjahat itu menyakiti korbannya.

Seorang informan FBI menyampaikan bahwa menurut omongan di jalan, penyerang-penyerang Stennis mencoba membunuh senator itu agar tidak bisa lagi mengenali mereka.

Banyak orang menyatakan kepada FBI bahwa mereka tahu persis siapa penembak Stennis. Nan-Lun ratusan petunjuk yang dilayani oleh FBI ternyata menemui jalan buntu.

Pengusutan terhadap kasus itu menghasilkan penangkapan terhadap delapan buronan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara Stennis. Yang berwajib juga berhasil menyita banyak senjata api yang dipakai dalam pelbagai kejahatan.

 

Si Mulut Besar

Akhir Februari 1973 agen-agen FBI dan polisi sudah mewawancarai 800 orang, termasuk orang-orang yang dicurigai dan pria
maupun wanita yang dianggap bisa memberi petunjuk ke arah si penembak.

Pada saat itu yang berwajib sama sekali tidak tahu bagaimana caranya para penyerang Stennis melarikan diri. Diperkirakan mereka memakai mobil. Cuma saja mereka tidak bisa menemukan orang . yang melihat mobil yang mungkin dipergunakan oleh penyerang-penyerang itu. Jalan-jalan sekitar rumah Stennis tampaknya sepi pada sore tanggal 30 Januari. itu.

Suatu malam, seorang agen FBI yang menyamar, menghirup bir sebuah rumah minuman di ghetto yang morat-marit keadaannya. Ia mengobrol dengan seseorang yang bisa pula datang ke sana. Agen FBI itu berkata bahwa salah seorang rekan minum mereka ditangkap polisi karena dituduh memperkosa.

"Ah, bukan si Shorty yang berbuat," kata orang itu. "Polisi sih biasa deh, salah melulu menangkap orang."

"Bagaimana kau tahu?"

"Si Shorty 'kan sepanjang malam itu main dadu. Saya tahu betul. Lagi pula ia tidak pernah menyakiti orang. Dia cuma nyolong di sana-sini."

"Si Shorty bajingan tidak berbahaya rupanya."

"Oh, ya. Dia lain dengan mereka yang suka besar mulut di sekitar sini."

"Siapa sih yang suka besar mulut?'

"Oh, banyak. Kemarin contohnya. Ada orang yang tidak pernah saya lihat sebelumnya, rupanya berasal dari Iuar daerah ini. Tidak ada yang kenal dia. Katanya, namanya Ty atau Pie. Dia memakai setelah lengkap. Mulut besar dia! Katanya, dia menodong orang yang sudah menyerahkan barangnya. Kalau sudah dapat barang, tinggalkan saja. Jangan gila-gilaan menembak."

"Mati orangnya?"

"Tidak. Dia bilang sih tidak. Dia menyombong, katanya dia baca di koran korbannya tidak mati. Katanya, penggede. Entah siapa. Tidak ada orang yang berani bertanya. Siapa tahu malah menjadi korban berikutnya."

Agen FBI itu, setelah lawan bicaranya pergi, dengan hati-hati mencoba mengorek lebih banyak keterangan mengenai si Mulut Besar, tetapi semua orang mengaku tidak tahu atau tidak kenal. 

Agen FBI itu tidak bisa mendesak. Ia pun yakin si Mulut Besar itu bukan orang setempat, mungkin cuma lewat saja. Tidak pula ada yang tahu namanya, walaupun petugas bar menyatakan namanya Ty atau kira-kira seperti itu bunyinya.

Beberapa malam setelah itu, agen itu datang lagi ke bar tersebut, tetapi si Ty atau Pie tidak pernah muncul. Yang didengarnya dari teman minumnya beberapa hari yang lalu tidak banyak artinya, namun ia laporkan juga, siapa tahu berguna.

 

Suami-istri berkelahi

Beberapa hari kemudian polisi dipanggil karena ada suami-istri berkelahi di daerah Northeast yang kotor. Ketika mereka mencoba melerai, si istri berteriak mengancam, "Saya akan bilang kepada polisi bahwa kau menembak senator."

Telinga polisi yang terlatih menangkap ancaman itu.

"Siapa namamu, Nak?" tanya seorang polisi kepada si suami. Pria itu malah memaki polisi. Polisi mengambil dompetnya. Dari SIM-nya diketahui bahwa namanya Tyrone Isaiah Marshall, berumur 18 tahun.

Suami-istri itu digiring ke kantor polisi paling dekat dan FBI dikabari. Mungkinkah Tyrone Marshall ini si Ty atau Pie yang ceritanya dilaporkan oleh agen FBI tempo hari, yang laporannya ada dalam berkas mengenai Stennis?

Tyrone Marshall dan istrinya ditaruh di ruang yang berbeda. Mereka ditanyai selama lebih dari lima jam oleh polisi dan agen-agen FBI. Ny. Debra Marshall menyangkal mengetahui tentang penembakan terhadap Stennis dan menuduh polisi salah dengar. Tyrone Marshall mengaku tidak pernah mendengar tentang penembakan terhadap Senator Stennis.

Sementara itu polisi sudah memperoleh surat perintah untuk menggeledah rumah Tyrone Marshall. Di sini mereka dan agen-agen FBI menemukan pistol kaliber .22 dengan enam peluru. Senjata itu dibawa ke laboratorium FBI. Menurut para ahli di laboratorium, tanda-tanda bekas laras pada dua peluru yang ditemukan pada tubuh Stennis cocok dengan tanda-tanda laras senjata yang ditemukan di rumah Tyrone Marshall.

Tyrone Marshall ditahan, bukan dengan tuduhan mencoba membunuh Senator Stennis, tetapi dengan tuduhan "memukul istrinya dengan tongkat". Istrinya dibebaskan.

Sebenarnya menurut rencana, Marshall harus dihadapkan ke pengadilan hari itu karena ia merampok dua wanita, seorang pada tanggal 14 Desember 1972 dan seorang lagi pada tanggal 3 Januari 1973. Rencana itu dibatalkan supaya ia bisa ditahan dengan tuduhan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Stennis.

Di kantor FBI, pistol yang dipakai oleh Marshall dilacak lewat formulir pendaftaran senjata. Senjata itu berasal dari sebuah toko di La Grange, Georgia, dan terakhir terdaftar sebagai milik Derrick Holloway yang tinggal di daerah Northeast, di Washington. Ia didatangi agen-agen FBI. Ternyata dialah yang meminjamkan senjata itu kepada Tyrone Marshall.

Katanya, setelah menyerahkan senjata, ia mengantar Tyrone dan saudara laki-lakinya, John Marshall, dengan mobil berkeliling Washington. Mereka mencari calon korban penodongan. Ia mengaku menunggu di mobil ketika Marshall bersaudara merampok Senator Stennis. Katanya, Tyrone kemudian menembak senator itu. Holloway dan John Marshall ditahan.

Tanggal 28 Maret 1973, hanya dua bulan setelah Stennis ditembak, Marshall bersaudara dan Holloway secara resmi dihadapkan pada tuduhan merampok dengan bersenjata, mencoba menyerang dengan tujuan membunuh, mencoba menyerang anggota kongres dan mencoba membunuh anggota kongres.

Pada saat itu polisi dan FBI sudah menanyai 1.100 orang.

 

Itu dia orangnya!

Senator John C. Stennis melihat ke arah Tyrone Marshall di ruang sidang pengadilan. "Saya yakin itulah pria yang memegang pistol," katanya.

Identifikasi itu dilakukan tanpa kehadiran juri, karena menurut penuntut, Stennis tidak akan bisa mengidentifikasi Marshall. Karena yakin bisa, Stennis diperkenankan melakukannya dengan syarat pernyataannya tidak akan disampaikan kepada juri.

Namun Stennis mendapat kesempatan menyampaikannya kepada Hakim Joseph C. Waddy. Entahlah, apakah hal itu mempunyai pengaruh terhadap juri pada akhirnya. Mungkin saja hakim cuma ingin menyatakan sikap sopan santun kepada korban yang merupakan orang gede itu.

Ketika persidangan berjalan, bukti-bukti yang memberatkan Ty Marshall menumpuk. Saksi-saksi FBI menjelaskan bagaimana senjata yang dipakai menembak Stennis itu tiba ke tangan Marshall. Yang mula-mula membelinya dari toko di Georgia ialah Tommy Lewis Thomton. 

Menurut Thornton kepada agen FBI, ia membeli senjata itu untuk sepupunya, John Webster dari Washington, yang waktu itu datang berkunjung ke rumah Thornton. Webster memberi kesaksian bahwa ia membawa pistol itu ke Washington dan menjualnya kepada Holloway dengan harga AS $ 40 pada pertengahan Januari.

Saksi-saksi lain didapat lewat pengusutan dan wawancara agen FBI yang mula-mula mendengar mengenai Ty atau Pie di sebuah rumah minum dalam ghetto. Mereka itu termasuk teman-teman Ty Marshall. Empat di antaranya menyatakan di pengadilan bahwa Marshall pernah membual telah melakukan penembakan.

Menurut salah seorang dari mereka, yaitu George Hutchinson yang berumur 19 tahun, ia dan Marshall baru saja meninggalkan Lapangan Turkey Thicket ketika Marshall menyatakan ingin menceritakan sesuatu.

"Tetapi kau tidak boleh menceritakannya kepada siapa-siapa," pesan Marshall. Kata Marshall, dialah orangnya yang telah merampok dan menembak senator tua itu.

"Mengapa kau tembak?" tanya temannya. Marshall cuma tertawa. Otto Brocks (19), salah seorang temannya pula, bercerita, "Suatu malam, kira-kira seminggu setelah peristiwa penembakan terhadap senator, di sudut jalan Ty bercerita bahwa John, Holloway, dan dirinya menodong. Saya bertanya bagaimana nasib korban penodongan itu. Ty menjawab bahwa orang itu ditembak.

Emmet Howard (19) memberi kesaksian bahwa sehari setelah penembakan itu ia berada di Psychedelic Haven Record Shop dengan Marshall. Marshall bercerita bahwa ia dan John mendekati korbannya untuk meminta si korban menyerahkan dompet, tetapi korban berteriak-teriak dan mengulur waktu, sehingga korban ditembak.

"Siapa yang menembak?" tanya Asisten Jaksa Agung AS Steven W. Graftman.

"Tyrone," jawab Howard.

Michael Ginyard (19) mengutip kata-kata Ty Marshall: "I shot the dude (Saya menembak orang itu)."

Akhirnya, diajukan John Thomas, karyawan bagian kebersihan District of Columbia. Ia menyatakan mendengar Ty Marshall bertengkar dengan istrinya. Istri Marshall menuduh suaminya menembak senator. Menurut Thomas, Marshall tidak membantah. Ia cuma berkata, "Gila kau. Dia (maksudnya Thomas) mungkin polisi."

 

Mumpung belum ulang tahun

Ketika persidangan sedang berjalan, john, kakak Ty, mengaku bersalah ikut dalam penodongan terhadap Stennis. Pengakuan itu dikeluarkannya lima hari sebelum ulang tahunnya yang ke21, agar ia dikenakan ketentuan hukuman yang lebih ringan. Kalau tidak, sebagai orang dewasa ia bisa kena tiga kali hukuman seumur hidup.

John Marshall dikenakan hukuman penjara 15 tahun dengan ketetapan bahwa ia bisa dibebaskan setiap saat kalau para petugas yang berwenang menganggapnya sudah cukup direhabilitasi. Jadi, paling banyak ia hanya akan menjalani hukuman penjara 13 tahun, karena ada ketentuan hukum lain yang menetapkan bahwa terhukum bisa dibebaskan dengan syarat dua tahun sebelum masa hukumannya habis.

Ty Marshall yang berumur 19 tahun meniru jejak abangnya. Tiba-tiba saja ia menyatakan dirinya bersalah. Keputusannya itu pasti dipengaruhi oleh pengumuman pemerintah bahwa Derrick Holloway dibebaskan karena setuju memberi kesaksian yang memberatkan Marshall.

Walaupun para pembela yang disediakan negara keberatan, Hakim Waddy menerima baik pernyataan Ty Marshall dan menyatakan kasus ini selesai. Hakim meminta pihak penuntut untuk membacakan kronologi peristiwa tanggal 30 Januari 1973, ketika John Stennis hampir saja direnggut maut. Steven W. Grafman membacakannya:

Kira-kira pukul 18.15 Holloway datang ke rumah Marshall bersaudara. Ia memperlihatkan pistolnya kepada John. Ty datang dan mengajak pergi menodong. 

Dengan mobil Dodge Darta Swinger milik ibu Holloway, mereka pergi dari daerah Northeast ke daerah yang lebih kaya di daerah Northwest, untuk mencari korban. Mereka melihat seorang wanita lanjut usia, tetapi ketika didekati wanita itu keburu menghilang ke dalam gedung.

Beberapa menit kemudian pemuda itu melihat seorang pria kulit putih yang sudah lanjut usia, yaitu Stennis, lewat dengan mobil putihnya.

"Kejar dia! Kejar dia!" seru Ty.

Ketika Ty dan John merampok Stennis, Holloway menunggu dalam mobil yang diparkir di pojok jalan yang berdekatan. Ia mendengar bunyi dua tembakan. Ketika kedua temannya muncul, Holloway diberi tahu Ty, "Tua bangka itu bikin banyak ribut, jadi kami tembak."

Sesudah itu mereka ke pusat Kota Washington, lalu menghadiri ceramah di Founding Church of Scientology. Keesokan harinya Holloway mendengar dari radio bahwa Stennis ditembak. Ia memberi tahu Ty, "Hai, kau tahu bahwa yang kau tembak itu senator?" Ty tertawa.

Setelah semuanya itu dibacakan, hakim bertanya, mengapa Ty Marshall menyatakan dirinya bersalah? Dengan suara terputus-putus ia menjawab, "Karena mereka mempunyai terlalu banyak bukti ...."

 

"Tyrone!"

Namun ketika ia dibawa masuk lagi ke dalam ruang pengadilan untuk dijatuhi vonis, ia menyatakan menarik pengakuan bersalahnya. Dua minggu kemudian ia dibawa lagi ke ruang pengadilan dan hakim memberi tahu bahwa permintaannya ditolak.

Ty Marshall dijatuhi hukuman sebagai orang dewasa. Ia dijatuhi hukuman 10 - 30 tahun penjara di bawah Congressional Assassination Law dan setahun penjara karena membawa senjata berbahaya. Marshall dinyatakan berbahaya bagi kesejahteraan rakyat, ia tidak memperlihatkan tanda-tanda penyesalan setelah menembak, tidak bermaksud mengubah kelakuannya, dan tampaknya tidak mau menerima hukum dan aturan bermasyarakat.

Marshall berteriak, "Saya tidak mau menerima vonis itu!" Ia berontak sementara tiga petugas meringkusnya untuk dibawa ke luar ruangan. Ayahnya dari bangku belakang dengan tegas menegur, "Tyrone!"

(Andrew Tully)

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306284/yang-ditembak-ternyata-senator" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278520000) } } [4]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246367" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/batu-mirah-di-tumpukan-daun-int-20220420042720.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(132) "Virginia Green ditemukan terbujur kaku di bawah tumpukan daun. Sehari sebelumnya, ia menghadiri pesta pantai bersama teman-temannya." ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/batu-mirah-di-tumpukan-daun-int-20220420042720.jpg" ["title"]=> string(27) "Batu Mirah di Tumpukan Daun" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:42:19" ["content"]=> string(36734) "

Intisari Plus - Virginia Green ditemukan terbujur kaku di bawah tumpukan daun. Sehari sebelumnya, ia menghadiri pesta pantai bersama teman-temannya. Beberapa saksi mata pun dimintai keterangan untuk menemukan siapa pelaku pembunuhan keji itu.

---------------------------------------

Kalau sedang merasa sumpek di Hollywood, saya pergi ke luar kota. Di sana ada sebuah rumah besar, kosong, dan tak terawat. Halamannya luas sekali. Enak buat dipakai latihan menembak. Minggu pagi itu ketika ke sana, saya memarkir mobil tidak jauh dari rumah besar. 

Saya segera merasa bahwa rumah kecil dekat gerbang, sekarang tidak kosong lagi. Soalnya, jendelanya yang menghadap ke jalan, yang tadinya berlubang, kini ditambal dengan karton. Lewat lubang yang dibuat di tengah karton itu saya melihat sepasang mata mengintip. 

"Halo," sapa saya. 

"Halo," sahut pemilik mata itu dengan nada enggan dari balik karton. Pintu rumah kecil itu berderit terbuka, lalu muncullah seorang tua berambut putih. Pria itu bertubuh besar, mungkin sekepala lebih tinggi dari saya. Senyumnya yang aneh itu bukan senyum keramahan, tetapi senyuman orang yang kurang waras. 

"Enyah, kau! Jangan ganggu aku," katanya. 

"Saya tidak bermaksud mengganggu," jawab saya. "Saya datang ke sini untuk latihan. Kita 'kan sama haknya di sini." 

"Cuma aku yang mempunyai hak di sini." 

Bulu kuduk saya berdiri, walaupun saya yakin ia orang sinting yang tidak berbahaya. 

"Saya tidak akan mengganggu Anda. Anda juga jangan mengganggu saya. Adil 'kan?" 

"Kau mengganggu aku dengan berada di sini. Aku tak betah dekat-dekat manusia, dekat-dekat kendaraan. Sudah dua kali ini kau datang mengganggu aku." 

"Ih, sudah sebulan saya tidak ke sini." 

"Pembohong besar!" serunya dengan suara seperti angin menderu. la mengepalkan tinjunya dan tampak siap melakukan kekerasan. 

"Sabar, Pak. Tempat ini cukup luas untuk kita berdua." 

la melihat berkeliling pada pepohonan yang hijau. Lagaknya seperti orang baru terbangun dari mimpi. 

"Kau betul," katanya dengan nada suara berbeda. la tersenyum dan matanya yang jelalatan menatap mobil saya. 

"Bukan kamu, ya, yang datang tadi malam? Saya ingat mobilnya lain." la pun ngeloyor sambil berguman akan mencuci kaus kakinya.

 

"Simpul nenek" 

Saya menuruni jurang untuk tiba di sebuah padang rumput tempat saya biasa menembak. 

Ketika sedang mengisi pistol dengan peluru, saya tertarik pada sebuah benda kecil merah berkilat, seperti mirah di antara dedaunan di tanah. Saya memungutnya, tetapi benda itu menempel pada sesuatu. Benda yang saya kira mirah itu ternyata kuku bercat merah di ujung jari tangan manusia! Tangan itu dingin dan kaku. 

Saya mengais-ngais tumpukan daun di tanah. Di bawahnya terbujur mayat seorang gadis yang mengenakan sweater dan rok biru tua. Rambutnya pirang. Saya taksir umurnya paling-paling 17 tahun. Tapi darah yang mengumpul di kepalanya membuat ia kelihatan tua dan hitam. Lehernya tercekik seutas tambang. Begitu kerasnya cekikan itu sampai tambang hampir tenggelam di tengkuk dengan simpul yang dikenal sebagai "simpul nenek", simpul sederhana yang biasa dibuat anak-anak. 

Dengan dengkul gemetar saya memanjat ke jurang menuju ke jalan yang berlapis kerikil. Di jalan itu saya tidak melihat tanda-tanda bekas ban mobil. Mungkin sudah terhapus oleh hujan besar semalam, tetapi di rumput pada tebing sampai tempat mayat ada tanda-tanda bekas menyeret mayat. 

Lewat jalan kerikil saya pergi ke rumah kecil dekat gerbang. Pintu berderit terbuka, tetapi di dalamnya tidak ada makhluk hidup. Sepasang kaus kaki basah tergantung. Rupanya ditinggalkan tergesa-gesa oleh pemiliknya. 

Saya mendatangi kantor Patroli Jalan Raya di seberang lapangan tempat penyimpanan kayu. Di kantor PJR hari Minggu itu cuma ada seorang wanita berumur 30-an yang bertugas menyampaikan berita lewat radio. Matanya yang hitam itu indah, rambutnya coklat, dan dadanya montok. Sayang, kukunya jorok. 

"Ya, kasihan si Ginnie," katanya setelah ia selesai mengirim berita buruk ke sheriff setempat. 

"Anda kenal Ginnie?" 

"Adik saya kenal. Mereka teman sekolah. Tadi ketika saya masuk kantor pukul 08.00, saya dilapori bahwa dia lenyap entah ke mana." Matanya berkaca-kaca. 

"Green, bapaknya, tadi ke sini dengan seorang guru," sambung wanita itu, "Mudah-mudahan dia tidak cepat-cepat muncul lagi. Soalnya, saya tidak tahu bagaimana harus menyampaikan kabar buruk ini." 

"Sejak kapan gadis itu menghilang?" 

"Baru tadi malam. Pukul tiga dinihari, ayahnya melapor. Tampaknya ia memisahkan diri dari teman-temannya di Pantai Cavern." 

Menurut wanita itu, semalam murid kelas terakhir Union High School mengadakan pesta perpisahan di pantai. 

"Gadis macam apa, sih Ginnie Green itu?" tanya saya. 

"Tidak tahu. Saya tidak begitu kenal." 

"Adik Anda 'kan kenal." 

"Saya tidak membiarkan adik saya bergaul dengan gadis seperti Ginnie Green. Anda paham sekarang?" 

"Saya belum tahu detilnya.” 

"Anda banyak sekali bertanya." 

"Saya tentu saja sangat tertarik, sebab saya 'kan penemunya. Lagi pula saya detektif partikelir." 

"Maaf, saya sibuk," katanya tiba-tiba sambil menghidupkan radionya. la mengirim pesan ke mobil-mobil patroli, memberi tahu Virginia Green sudah ditemukan. 

 

Pantang menolak tantangan 

Rupanya pesan itu tiba ke ayah Ginnie, sebab tidak lama kemudian ia muncul. Keliling matanya merah karena tidak tidur. 

"Saya dengar kau bilang, ia sudah meninggal, Anita." 

"Ya, menyesal sekali demikian, Pak Green." 

Pria itu menundukkan wajahnya seperti orang sedang bersujud. Suasana jadi sunyi sekali. 

Wanita di belakang radio mengulurkan tangannya untuk menyentuh ayah Ginnie dengan air mata berlinang-linang, tetapi ia menarik lagi tangannya dengan kemalu-maluan ketika muncul pria lain. Pria muda itu berkulit kecoklatan karena terbakar sinar matahari. Ia mengenakan kemeja Hawaii. Tampangnya bugar sekali, tetapi matanya risau. 

"Bagaimana kabarnya, Nn.Brocco?" tanyanya. 

"Buruk," jawab wanita itu dengan nada marah. 

"Ada orang membunuh Ginnie Green. Bapak ini detektif. Ia baru menemukan jenazah Ginnie di Jurang Trumbull." 

"Masya Allah!" kata pria itu. 

"Anda mesti mengawasi dia, 'kan?" kata wanita itu lagi. 

Mereka saling melotot. Pria itu kalah. Ia menoleh kepada saya dengan wajah merana. 

"Nama saya Connor, Franklin Connor. Saya rasa, saya memang patut disalahkan dalam hal ini. Saya guru penasihat di sekolah menengah dan bertugas mengawasi pesta seperti yang dikatakan Nn. Brocco." 

"Mengapa Anda tidak melakukannya?" 

"Waktu itu mereka semua kelihatan senang dan aman saja. Semua berpasangan sekeliling api unggun. Saya merusak suasana. Mereka 'kan bukan anak-anak lagi, mereka punya mobil. Jadi saya pulang. Saat itu kebetulan saya juga sedang menunggu telepon dari istri saya." 

"Pukul berapa Anda meninggalkan mereka?" 

"Mestinya hampir pukul 23.00. Mereka yang tidak berpasangan sudah pulang lebih dulu." 

"Siapa pasangan Ginnie?" 

"Saya tidak tahu. Saya tidak terlalu memperhatikan mereka." 

Kemudian sheriff datang. Ia meminta saya ikut di mobilnya untuk menunjukkan tempat Ginnie. Ayah Ginnie ikut. Ia menyetir sendiri Oldsmobile-nya. 

Ketika mereka memeriksa mayat dan keadaan di sekelilingnya, saya lihat Green bersandar ke pohon dan akhirnya duduk di tanah. Saya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. 

"Anda polisi?" tanyanya. 

"Bukan. Saya detektif swasta dari Los Angeles. Nama saya Archer, Lew Archer." 

"Menurut Anda, bukan gelandangan itu yang membunuhnya?" 

"Sulit membayangkan ia bisa melakukannya. Memang kelihatannya ia kuat, tetapi bagaimana mungkin ia bisa mengangkut Ginnie dari pantai? Tidak mungkin pula Ginnie mau ikut secara sukarela dengannya." 

"Tidak tahulah saya," kata ayah Ginnie. "Ginnie agak binal. Ia nekat dan pantang menolak tantangan orang, apalagi kalau yang menantangnya pria."

"Ia pernah punya pacar?" 

"Ia menarik bagi pria. Jangan salah paham. Ginnie bukan gadis nakal. Saya juga salah. Saya tidak mengawasi Ginnie secara semestinya. Saya punya restoran di kota. Baru tengah malam saya sampai di rumah, padahal ia tak punya ibu. Ibunya meninggalkan saya, sudah lama." 

"Kesalahan saya yang terbesar ialah membiarkan ia bekerja di restoran pada akhir minggu. Kira-kira setahun yang lalu 'kan ia sering minta uang untuk membeli pakaian. Saya bilang, ia mesti berusaha sendiri, mesti belajar disiplin. Jadi ia bekerja. Bekerja membuat rapornya acak-acakan. Saya ditegur petugas sekolah. Jadi beberapa bulan yang lalu saya suruh ia berhenti bekerja, tetapi rupanya sudah terlambat. Pak Connor menyalahkan saya." 

Sesudah sunyi sesaat, Green berbicara lagi. "Dia orang baik. Bulan lalu ia memberi les gratis kepada anak saya. Padahal dia sendiri juga sedang mempunyai masalah."

 "Masalah apa?" 

"Sama seperti saya. Istrinya meninggalkan dia." 

 

Mata keranjang 

"Tolong Anda ceritakan apa yang terjadi semalam," pinta saya. 

"Ketika saya tiba pukul 00.31 dia belum pulang. Jadi saya menelepon rumah Al Broca Dia 'kan koki saya yang bertugas malam. Anaknya yang bungsu, si Alice, pergi ke pesta juga di pantai. Katanya, Alice sudah ada di rumah." 

"Alice bilang ia tidak tahu mana Ginnie. Saya datang rumah Pak Connor. Saat itu sudah pukul 01.30. Ia ikut ke rumah saya. Setelah menunggu beberapa lama tanpa hasil kami bersama-sama pergi Pantai Cavern, memeriksa gua-gua. Di sini pun Ginnie tidak ada. Akhirnya Pak Connor setuju kalau saya melapor sheriff. Karena rumah Pak Connor letaknya di pantai, saya menelepon dari sana." 

Kami melewati pantai dan saya minta diajak ke gua-gua itu. Kami cuma menemukan kaleng-kaleng bir kosong dan kondom bekas. 

Ketika itu kami melihat dari iauh sepasang pria dan wanita berpacaran. Pria itu ternyata connor. Mereka saling menjauh ketika melihat kami. 

"Siapa wanita itu?" tanya saya kepada Green. 

"Ny. Connor," jawab Green. 

"Anda bilang ia meninggalkan suaminya." 

"Connor yang bilang tadi malam. Katanya, istrinya pergi meninggalkannya beberapa minggu yang lalu." 

Kami diperkenalkan kepadanya oleh Connor. Ia mengucapkan ikut berduka cita kepada Green, tapi suaranya tidak tulus. 

"Mari minum ke tempat kami," ajak Connor. Tetapi istrinya berkata, "Saya yakin Pak Green dan temannya tidak mau direpotkan oleh kita saat ini. Lagipula sekarang belum tengah hari, Frank." 

Saya mengantarkan Green sampai kantor Patroli Jalan raya. Hatinya sudah agak lega sekarang dan ia bisa pulang sendiri. Berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih. Wanita pengirim berita di kantor sedang membersihkan kukunya yang jorok dengan pisau berhulu gading. 

"Sudah tertangkap orangnya?" tanyanya. 

"Sebetulnya saya ingin mengajukan pertanyaan serupa, Nn. Brocco," kata saya. 

"Belum ada," katanya. 

"Tapi pasti ketemu. Sheriff sudah meminta anjing-anjing pelacak dikirim lewat udara." 

"Hebat amat? Saya sih sangsi orang tua itu yang membunuh." 

"Kalau dia tidak membunuh, kenapa dia kabur?" jawab wanita itu ketus. 

"Saya kira karena ia melihat saya menemukan mayat dan merasa pasti ia akan disalahkan." 

Wanita itu terdiam, sambil terus membersihkan kukunya. "Habis kalau bukan dia, siapa?" tanyanya. 

"Barangkali Anda bisa membantu memberi jawaban." 

"Saya membantu Anda? Bagaimana caranya?" 

"Anda 'kan kenal Frank Connor." 

"Saya kenal. Pernah beberapa kali bertemu untuk urusan sekolah adik saya." 

"Kelihatannya Anda sangat tidak suka kepadanya." 

"Ah, sangat tidak suka sih tidak, tapi dia berbahaya buat gadis-gadis." 

"Anda tahu dari mana?" 

"Saya dengar." 

"Apakah desas-desus itu menyangkut juga Ginnie Green?”

Ia mengangguk. 

"Karena itu istrinya meninggalkan dia?"

 "Tidak tahu. Saya tidak pernah melihat Ny. Connor." 

 

Bapaknya kalap! 

Saat itu saya mendengar ribut-ribut di luar. Green melompat ke luar dari mobilnya seraya mengacung-acungkan revolver di seberang jalan. 

"Saya lihat si pembunuh! Ke sana!" serunya. 

"Jangan!" teriak saya. "Serahkan revolver itu." Green nekat menyeberangi jalan empat jalur yang ramai dengari kendaraan. Rem-rem mobil mencicit. 

Orang tua sinting yang saya lihat tadi pagi berlari ke pagar kawat. Green berteriak, "Berhenti, atau aku tembak!" Orang itu nekat juga memanjat. Tiba-tiba terdengar tembakan. Pria tua tinggi besar itu terkejat-kejat, lalu diam, dan berdebam ke tanah. 

Green berdiri di sebelahnya sambil terengah-engah. Pria tua itu masih hidup, walaupun dari mulutnya keluar darah. 

"Jangan tembak, dong. Aku mau memberi tahu sesuatu, tapi takut," katanya ketika saya mengangkat kepalanya. 

"Kenapa takut?" 

"Aku lihat kamu menemukan gadis kecil di bawah daun. Pasti aku disalahkan." 

Di belakang saya Green menyeringai. 

"Gara-gara membunuh?"

 "Bukan. Gara-gara berkotbah di jalan tanpa izin."

 "Gila," kata Green. 

"Tutup mulutmu!" bentak saya pada Green. 

"Apa yang ingin Anda beritahukan?" tanya saya. 

"Semalam saya melihat mobil. Berhenti di bawah tempat perlindungan saya."  

"Mobil apa?" 

"Tidak tahu. Mobil asing, yang bunyinya bisa membangunkan orang mati." 

"Siapa yang mengemudikannya?" 

"Tidak tahu." 

"Pukul berapa?"

"Tidak tahu. Bulan sudah di balik pohon." 

Pria malang itu tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Matanya berubah warna dan ia meninggal. 

Green berkata, "Jangan lapor. Kalau kau lapor, aku bilang kau pembohong. Aku warga terhormat di kota ini. Aku punya bisnis yang bisa ambruk. Lagi pula, aku lebih dipercaya daripada kamu." 

"Tutup mulut!" 

"Lagi pula orang tua ini gila. Ia pembunuh gila. Aku punya alasan menembaknya!" sambil mengacung-acungkan revolvernya. 

"Kau tahu kau salah, Green. Berikan senjata itu kepada sebelum kau membunuh lagi.”

"Dengar," katanya. "Mungkin aku salah, tapi aku diprovokasi." la menarik ke luar dompetnya yang tebal dari saku celana. "Ini, aku bayar kau. Katakan saja aku klienmu. Kau tahu 'kan cara mengancing mulut?" Saya meninggalkan dia dengan muak. 

 

Diludahi 

Nona Brocco ada di tempat parkir kantornya. Dadanya terengah-engah, menunggu berita tegang. 

"Green menembak orang tua itu. Mati. Lebih baik Anda panggil anjing-anjing sialan itu." la seperti tersengat. 

"Kenapa marah kepada saya?" 

"Saya marah kepada semua orang." 

"Anda tetap tidak percaya orang tua itu pembunuhnya?" 

"Saya yakin bukan dia. Saya ingin berbicara dengan adik Anda, Alice." 

"Saya saja yang menanyakannya. Nanti saya beri tahu Anda." 

"Ah, saya tidak perlu permisi kepada Anda untuk mewawancarai dia. Kalau Anda tidak mau memberi tahu alamat Anda pun saya bisa melihatnya dari buku telepon." la marah-marah tetapi akhirnya memberi alamatnya. la juga mengaku adiknya sahabat Ginnie. 

Keluarga Brocco ternyata tinggal di daerah permukiman orang-orang menengah bawah. Seorang pria kurus sedang mencuci Fiat merah kecil di halaman rumah. Walaupun umurnya kita-kira 50, tapi rambutnya masih hitam. 

"Pak Brocco?" sapa saya. 

"Saya sendiri." Saya katakan bahwa saya detektif dan saya dikirim Anita Brocco untuk menanyakan sesuatu kepada Alice. 

Alice ternyata mirip betul dengan kakaknya, cuma jauh lebih muda dan jauh lebih langsing. 

Menurut Alice, semalam Ginnie bersama dia, karena mereka tidak punya pasangan. Ginnie memang tidak punya pacar, walaupun sering tergila-gila pada pria, katanya. 

"Apakah ia pergi dengan Pak Connor?" 

"Tidak. Sedikitnya selama saya ada di sana," jawab Alice. Setelah dipancing-pancing, ketahuan Ginnie pergi ke arah rumah Connor kira-kira pukul 23.00. Sampai pulang Alice tidak pernah melihatnya lagi. 

Ketahuan pula bahwa Ginnie mempunyai hubungan akrab dengan Connor, cuma Alice tidak mau mengungkapkannya terang-terangan. Ketika saya mendesak, ayah Alice masuk dan mengusir saya. Ia meludah ketika saya lewat di depannya. 

 

Dua orang yang patut dicurigai 

Saya berniat pergi ke rumah Connor, tetapi saya singgah dulu di restoran milik Green ketika melihat mobilnya ada di situ. 

Saya lega ketika ia bercerita bahwa ia sudah mengakui perbuatannya kepada sheriff dan beberapa waktu lagi akan dihadapkan ke pengadilan.  

"Apakah Ginnie sering bertemu dengan Frank Connor?" tanya saya. 

"Ya," jawabnya. 

"Connor sering datang membantu Ginnie belajar. Kadang-kadang di rumah, kadang-kadang di perpustakaan. Ia tidak meminta bayaran." 

"Baik sekali dia. Ginnie senang kepada Connor?" 

"Oh, senang. Ia menaruh hormat kepada Connor." 

"Jatuh cinta kepadanya?" 

"Jatuh cinta? Masya Allah! Tidak pernah terpikir oleh saya. Kenapa?" 

"Apakah mereka suka berkencan?" 

"Setahu saya tidak. Setidaknya di depan saya." Tiba-tiba matanya menyipit. "Anda kira Connor mempunyai sangkut paut dengan kematiannya?" 

"Mungkin saja. Jangan naik pitam dulu. Anda tahu sendiri apa akibatnya." 

"Pantas Connor aneh sekali semalam." 

"Aneh bagaimana?" 

"Ia tegang sekali semalam dan ketika berada-di pantai hampir histeris." 

"Ia peminum?" 

"Tidak tahu, tapi semalam ia memang minum Bourbon seperti minum air.” 

Green sudah jera rupanya mengejar orang yang ia curigai. "Begini saja, Pak Archer," katanya. "Bagaimana kalau Anda saja yang membuktikan kesalahan Connor? Berapa pun ongkosnya akan saya bayar." 

"Jangan buru-buru," kata saya. "Connor belum tentu bersalah. Bisa saja orang lain." 

"Siapa?" 

"Anda pernah bercerita, putri Anda membantu di restoran. Pada saat itu Al Brocco juga bekerja di situ?" 

"Ya. Dia pandai masak masakan Italia dan sudah 6 atau 7 tahun bekerja pada saya. Eh Anda sangka ia pacaran dengan Ginnie?" 

"Saya justru ingin bertanya kepada Anda." 

"Nonsens. Al terlalu tua, pantas jadi ayahnya. Lagi pula ia sudah terlalu kewalahan menghadapi kedua putrinya, apalagi Anita." 

"Bagaimana hubungannya dengan Ginnie?" 

"Baik. Ginnie satu-satunya yang bisa membuat ia tersenyum. Al 'kan pemurung. Ia pernah mengalami tragedi." 

"Istrinya meninggal?" 

"Lebih buruk daripada itu. Al Brocco membunuh istrinya dengan tangan sendiri. Ia memergoki istrinya serong dengan pria lain dan langsung saja ia menikam istrinya." 

"Ia tidak dihukum?" Seluruh kota berpihak pada Al, sehingga ia cuma dihukum ringan. Ketika keluar dari penjara, ia saya ambil, karena saya kasihan kepada anak-anaknya. Kerja Al baik sekali. Mustahil dia mengulangi kesalahan yang sama?" Green ragu-ragu. 

 

Istri galak 

Saya mendatangi rumah Donnor yang terletak di tepi laut. Saya tersandung gunting kebun di dekat garasinya. Dari jendela garasi ada dua hal yang melarik perhatian saya: mobilnya yang buatan luar negeri itu, yaitu sebuah Triumph, dan sebuah perahu layar yang tali layarnya putih, mirip seperti yang melilit leher Ginnie .... 

Baru saja saya mau memperhatikan lebih saksama, suara seorang wanita membentak dari loteng. "Hei, mau apa kau?" 

Saya tersenyum sambil melengadah kepadanya. "Suami Anda menawarkan minuman tadi pagi, ingat? Tawaran itu masih berlaku?" 

"Tidak! Pergi kau! Suamiku sedang tidur. Kalau kau tidak pergi, aku panggil polisi." 

"Panggil deh. Saya tidak punya apa-apa untuk disembunyikan." 

"Kau kira kami punya?" 

"Coba saja kita lihat nanti kenapa Anda meninggalkan suami Anda?" 

"Bukan urusanmu!" 

"Urusan saya, Ny. Connor. Saya detektif yang menyidik pembunuhan atas Ginnie Green. Apakah Anda meninggalkan Frank gara-gara Ginnie Green?" 

"Tidak! Tidak! Frank tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Ginnie Green." 

"Semua orang berpendapat lain." 

"Siapa? Anita Brocco? Wanita itu tidak dapat dipercaya. Bapaknya sendiri pembunuh. Semua orang di kota tahu." 

"Mungkin saja suami Anda begitu juga, Ny. Connor. Lebih baik berterus terang."

Ia naik pitam. Ketika saya memaksa akan masuk ke garasinya, ia memungut gunting dan mendorongkannya kepada saya, seperti induk singa melindungi anaknya. Anak singanya keluar dalam keadaan lesu dan cuma bercelana pendek. 

Giliran dia saya berondong dengan kata-kata. Ia tidak galak seperti istrinya. 

"Pak Connor, Anda pacar Ginnie, 'kan? Ia mengikuti Anda ke rumah ini tadi malam, ya?" kata saya. 

Wajah Connor pucat. Ny. Connor menjatuhkan guntingnya. "Kau tidak membantah, Frank?" katanya. 

"Saya tidak membunuh dia. Sumpah!" kata Connor. "Saya mengaku kami memang di sini semalam, Ginnie dan saya." 

Ny. Connor marah sekali. "Maaf, Stella. Saya tidak mau menyakiti hatimu.lebih banyak lagi. Tapi saya mesti menceritakan yang sebenarnya. Saya bergaul dengan gadis itu setelah kau pergi." 

"Bajingan kau ...!" teriak istrinya dengan suara kasar dan dalam. 

"la semalam ada di sini, Connor?" tanya saya. 

"Ya, tetapi saya tidak mengundangnya. Setelah hal yang saya takutkan terjadi, saya minum banyak-banyak untuk menumpulkan suara hati saya. Saya mabuk tak sadarkan diri. la masih sehat walafiat. Saya baru sadar lagi ketika ayahnya menelepon. Saat itu ia sudah tidak ada di sini." 

 

Ada wanita lain 

Ny. Connor kini tidak memusuhi saya lagi. Ia memusuhi suaminya. Saya dibiarkan memeriksa tali kapal layar milik Connor. Tapi layar gusi (cucur) sebelah kanan terpotong sepanjang kira-kira 1 m. 

"Hei!" seru Connor. Siapa yang mengganggu tali layar saya?" 

Kelihatan betul ia marah. "Kau, Stella?" 

"Aku tak pernah dekat-dekat dengan kapal keparat kesayanganmu," jawab istrinya. 

"Potongannya dipakai menjerat leher Ginnie," kata saya. Namun, saat itu saya yakin bukan Connor pembunuh Ginnie. Pencinta kapal tidak akan menggunting tali kapalnya untuk membunuh sekalipun. 

Lagi pula mustahil simpulnya "simpul nenek". Otomatis ia akan membuat simpul lain. Ny. Connorkah pembunuh yang saya cari? 

"Saya bisa berbuat apa pun, tetapi tidak akan menjebloskan dia agar disangka pembunuh," jawab Stella Connor. "Semalam saya tidak ada di sini, saya di rumah orang tua saya di Long Beach. Saya bahkan tidak tahu Frank berhubungan dengan gadis itu." 

"Lantas mengapa Anda meninggalkan dia sebulan yang lalu?" 

"Dia jatuh cinta kepada wanita lain dan ingin menceraikan saya untuk menikahi wanita itu tetapi ia takut akan posisinya di kota. Tadi pagi ia menelepon. Katanya, ia sudah putus hubungan dengan wanita itu. Jadi saya setuju untuk kembali. 

"Putus hubungan dengan Ginnie?" 

"Bukan Ginnie, tapi Anita Brocco," jawab Ny. Connor. 

"Masya Allah," kata Connor tiba-tiba. "Tadi malam saya melihat Fiat merah Anita diparkir beberapa ratus meter di sini, Kemudian ketika Ginnie datang saya seperti mendengar sesuatu di garasi, tetapi saya terlalu mabuk untuk menyelidikinya. Maka kita tanyai dia." 

"Frank, jangan pergi. Biar dia saja yang bertanya!" seru istrinya. 

 

Dompet ketinggalan 

Saya tiba di kantor Patroli Jalan Raya hampir pukul 16.00, artinya menjelang saat ganti giliran bertugas. 

"Mana Nn. Brocco?" tanya saya. 

"Sedang berdandan di toilet. Sebentar lagi ayahnya menjemput." 

Anita keluar. Wajahnya pucat ketika ia melihat saya. 

"Anita, kukumu bersih sekarang, tapi pagi ini masih kotor bekas dipakai menggali tanah semalam." 

"Tidak," katanya. 

"Kau menunggu dengan seutas tali dan mengalungkannya ke lehernya. Tali itu sekarang terkalung di lehermu juga." 

Wanita cantik itu menyentuh tengkuknya. Seluruh ruangan menjadi sunyi. 

"Dengan apa kau potong tali itu Anita, dengan gunting kebun?" 

Bibir Anita bergerak, tetapi tidak keluar suara. Akhirnya ia mampu juga menjawab. "Saya tergila-gila kepadanya, tetapi ia direbut dari saya. Semuanya berakhir sebelum mulai. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya ingin ia menderita." 

Anita menunduk seperti melihat ke dadanya yang montok "Saya tidak bermaksud membunuhnya, tapi ketika melihat mereka berdua.... Saya melihatnya dari jendela. Saya teringat pada malam ketika ayah ... ketika ia ... ketika ranjang ibu penuh dengan darah. Waktu itu saya yang harus mencuci seprai." 

Orang di sekeliling kami berguman, lalu seorang polisi bertanya, "Kau membunuh Ginnie Green?" 

"Ya." 

"Kau siap untuk membuat pengakuan?" tanya saya. 

"Ya. Saya ingin berbicara dengan Sheriff Pearsal. Saya tidak mau berbicara di sini, di hadapan teman-teman saya." Ia melihat berkeliling dengan ragu-ragu. 

"Saya akan membawa Anda ke sana." 

Tunggu sebentar," katanya. "Dompet saya ketinggalan di belakang. Saya ambil dulu." 

Ternyata ia tidak keluar-keluar. Kami mendobrak pintu. Kami dapati tubuhnya meringkuk di lantai yang sempit. Pisau kukunya yang berhulu gading menggeletak dekat tangan kanannya. Blus putihnya penuh darah. 

Tak lama kemudian muncul Al Brocco dengan Fiat merah. "Saya agak terlambat," katanya tanpa menyadari apa yang terjadi. "Anita minta mobilnya dicuci dulu. Mana dia?" 

Seorang polisi berdehem dulu sebelum menjawab.

(Ross Macdonald)

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246367/batu-mirah-di-tumpukan-daun" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650984139000) } } [5]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246384" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/penelepon-gelapjpg-20220420043655.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(109) "Seorang detektif disewa oleh Jud Canale untuk mencari identitas penelepon gelap yang selalu meneror putrinya." ["section"]=> object(stdClass)#96 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/penelepon-gelapjpg-20220420043655.jpg" ["title"]=> string(15) "Penelepon Gelap" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:40:34" ["content"]=> string(40111) "

Intisari Plus - Seorang detektif disewa oleh Jud Canale untuk mencari identitas penelepon gelap yang selalu meneror putrinya. Pencarian pun dilakukan, dimulai dari teman-teman terdekat sang putri. Apakah identitas penelepon gelap yang bersuara menakutkan itu dapat terungkap?

---------------------------------------

Rabu pagi di akhir Januari itu, saya pergi ke Montgomery Street, sebuah pusat keuangan di San Francisco. Seorang pengacara bernama Jud Canale, meminta saya menemuinya di kantornya di daerah itu. 

Ternyata kantor pengacara Teilmark, Graham, Canale, dan Isaacs berpenampilan anggun. Maklum, mereka bukan pengacara kelas kacang. 

Canale menerima saya di ruang kerjanya. la sebaya dengan saya, berumur awal 50-an. 

"Semalam, setelah menelepon Anda, saya menelepon putri saya, Lynn," katanya. "Ketika didesak, ia mau juga mengaku bahwa penelepon gelap menghubunginya lagi, untuk mengulangi ancamannya. Namun, Lynn tetap tidak mau menceritakan secara rinci apa yang dikatakan penelepon itu." 

"Bagaimana keadaan putri Anda?" tanya saya. 

"Menurut dia baik-baik saja, tetapi saya tidak yakin. Dia ... dia ... 'kan baru berumur 20." 

"Dia tidak sendirian 'kan hari ini?" 

"Tidak. Salah seorang teman wanitanya menginap di apartemennya. 

 

Pasti orang dekat

 Saya terdiam beberapa detik. 

"Pak Canale, Anda bersungguh-sungguh meminta jasa saya? Kemarin sudah saya katakan lewat telepon, saya mungkin tidak bisa berbuat banyak dalam kasus seperti ini. Setiap tahun polisi dan kantor telepon mengusut ratusan pengaduan perihal penelepon gelap ...." 

"Saya tahu ...," potongnya. 

"... bahkan mereka yang memiliki fasilitas, cuma bisa menangkap atau mengenali beberapa penelepon gelap saja. Lagi pula hampir tak seorang pun dari mereka benar-benar mewujudkan ancaman untuk mencemari wanita yang mereka telepon.”

"Saya tahu. Polisi pun berkata begitu ketika saya lapori dua hari yang lalu. Namun, pria yang terus-menerus meneror Lynn bukan asal memilih nama. Saya kira ia kenal dengan putri saya dan Lynn pun mengenalnya. Saya yakin." 

Saya berniat membuka mulut, tetapi Canale mencegah dengan mengangkat tangannya. 

"Saya yakin perlu meminta jasa detektif," katanya pula. "Orang itu menelepon Lynn tadi malam, padahal nomor teleponnya sudah saya ganti kemarin siang. Nomor itu tidak tercantum di buku telepon!". 

"Oh!" 

"Mungkinkah orang iseng bisa menemukan nomor telepon yang tidak terdaftar hanya dalam waktu kurang dari 12 jam?" 

"Rasanya memang tidak. Kecuali kalau ia bekerja di kantor telepon atau mempunyai teman yang bekerja di kantor telepon." 

"Rasanya bukan demikian," sahut Canale. "Saya yakin orang itu kenal baik dengan Lynn. Ia mendapat nomor itu dari Lynn atau dari salah seorang teman baik Lynn." 

"Barangkali Anda mempunyai dugaan, siapa orangnya?" 

"Tidak!" 

"Apa kata putri Anda?" 

"Ia bersikeras, pasti orang itu bukan kenalannya." 

"Apakah Anda diberi tahu putri Anda, siapa saja yang ia beri nomor telepon barunya?" 

"Tidak. Ia tidak mau memberi tahu." 

"Mengapa?" 

Canale tersenyum kecut. 

"Hubungan kami agak renggang beberapa bulan ini. Sejak ia bertunangan dengan Larry Travers." 

"Anda tidak merestui hubungan mereka?" 

"Memang. Tentu saja Lynn memberontak ketika saya menyatakan pendapat saya." 

"Barangkali ada hal tertentu yang menyebabkan Anda tidak menyukai Travers?"

"Saya pikir, ia tidak akan bisa membahagiakan putri saya. Lagi pula Lynn masih terlalu muda untuk menikah." 

Kemudian Canale berdehem. 

"Hubungan seorang ayah dengan putrinya kadang-kadang bisa sulit. Saya bercerai ketika Lynn berumur setahun." 

Karena tidak pernah menikah maupun menjadi ayah, saya merasa tidak berwenang memberi komentar. Sementara itu Canale mengawasi saya sejenak. 

"Jadi Anda menerima tawaran saya untuk mengusut hal ini?" 

"Baik, Pak. Cuma saja, saya harap Anda maklum. Kemungkinan berhasil sangat terbatas. Saya cuma bisa berusaha sedapat-dapatnya." 

"Memang itu yang saya minta. Anda ingin segera menemui Lynn?' 

"Ya!" 

 

Pantas jadi model 

Lynn Canale tinggal di salah sebuah apartemen di Parkmerced, dekat kampus San Francisco State College, sejak ia menjadi mahasiswi dua tahun yang lalu. Tadinya ia tinggal di rumah ayahnya di daerah Forest Hill. Ketika Lynn ketahuan diganggu penelepon gelap, ayahnya membujuknya agar mau kembali ke Forest Hill, tetapi Lynn bersikeras menolak. 

Penelepon gelap mulai mengganggu Lynn dua minggu yang lalu. Pada minggu pertama, Lynn ditelepon tiga kali. Setelah itu hampir setiap hari ia diganggu. Ayahnya baru tahu tiga hari yang lalu, gara-gara Lynn tampak resah dalam sebuah perjamuan keluarga. Setelah didesak-desak, Lynn akhirnya mengaku bahwa ia mendapat gangguan dari seseorang yang mengancamnya lewat telepon. Suara pria penelepon itu menakutkan dan kata-katanya cabul. 

Saya memarkir mobil di Grijalva Drive, tak jauh dari tempat tinggal Lynn. Apartemen gadis itu berada di tingkat IE. Saya memperkenalkan diri di interkom yang terletak di atas kotak suratnya di lantai dasar. Ia segera memijat tombol yang memungkinkan saya masuk ke lift. Di apartemen C-l itu saya berhadapan dengan seorang gadis semampai yang anggun. Wajahnya pasti menarik para juru potret dan pelukis. Rambutnya panjang, lebat, lurus, dan berwarna coklat. Matanya coklat keemasan dan bulu matanya yang panjang lentik itu asli. 

Sinar matanya menunjukkan bahwa sebenarnya ia sama khawatirnya dengan ayahnya. Cuma saja ia berusaha untuk menyembunyikannya. 

"Anda tidak sendirian 'kan Nona Canale? Kata ayah Anda, Anda ditemani seseorang." 

"Ya. Connie Evans, teman kuliah saya. Tapi ia ada kuliah pukul 10.00." 

"Ia segera akan kembali ke sini, 'kan?" 

"Ya. Tapi saya tidak takut sendirian, kok!" jawabnya. Lalu Lynn berkata bahwa ayahnya terlalu berlebihan, sampai menyewa detektif segala. Ia menduga peneleponnya orang sinting.

 

Suaranya suka selip 

Menurut Lynn, ia tidak mengenal suara peneleponnya. Mungkin suara remaja pria, karena nada suaranya tinggi dan suka selip. Lynn sependapat dengan saya bahwa penelepon itu sengaja mengubah suaranya. 

Kepada saya pun Lynn menolak menceritakan bunyi ancaman yang diterimanya. Pokoknya, isinya menyangkut seks, nadanya mendirikan bulu roma. Lynn ingin sekali teror ini segera berakhir. 

"Kepada siapa saja Anda berikan nomor telepon baru Anda?" tanya saya. 

"Cuma ayah saya, Connie, Larry, Tim Downs ...." 

“Tunggu! Satu-satu! Siapa Larry?" 

"Larry Travers, tunangan saya. Kami akan menikah bulan Juni." 

"Selamat! Anda sudah lama mengenalnya?" 

"Kami pertama bertemu tiga bulan yang lalu, waktu ia masih berpacaran dengan Connie. Entah mengapa hubungan mereka putus. Setelah saya berpacaran dengan Larry, barulah saya bersahabat dengan Connie." 

Larry mahasiswa University of California, tetapi tidak tinggal di Berkeley, melainkan di Missouri Street, Potrero Hill. 

"Tadi Anda menyebut Tim Downs. Siapa dia?" 

"Teman Larry." 

Tim Downs ternyata pembantu tukang leding. la tetangga Larry. Mereka bersahabat gara-gara keduanya sama-sama gila olahraga. 

"Mengapa Anda memberi nomor telepon Anda kepada Downs?" tanya saya. 

"Karena ia sahabat Larry." 

"Ia memintanya?" 

"Tidak. Semalam ia dan Larry singgah untuk mengajak saya menghadiri pesta kemenangan The Forty-niners, tetapi saya masih belum selesai ujian. Ketika itulah saya memberi nomor telepon kepada Larry. Karena Downs hadir, saya memberinya juga." 

Saya mencatat alamat rumah dan tempat kerja Downs. Menurut Lynn, selain mereka, tidak ada orang lain yang tahu nomor telepon barunya. 

"Apakah Anda kedatangan tamu yang melihat nomor di pesawat telepon Anda?" 

"Tidak. Tidak ada tamu. Eh… ada! Kemarin Joel Reeves datang pada saat petugas telepon berada di sini. Tapi cuma sebentar. Saya rasa sih tidak mungkin dia melihat nomor telepon saya." 

"Reeves itu teman Anda?" 

"Ya. Kenalan. Ia asisten dosen di jurusan sejarah dan tinggal di tingkat 5-E." 

"Untuk apa ia datang?" 

"Meminjam buku puisi zaman Victoria." 

"Ia pernah naksir, Anda?" 

Lynn tertawa. "Joel? Dia sih cuma berminat pada buku tua dan sejarah!" 

"Anda pernah melihat petugas kantor telepon yang kemarin kemari?" 

"Tidak. Tidak pernah." 

"Anda kenal seseorang yang bekerja di kantor telepon?" 

"Tidak. Anda menduga ...." 

Bel pintu berbunyi. Lynn melirik arlojinya.

"Mungkin Connie. Katanya, ia akan segera kembali begitu selesai ujian." 

Memang benar Connie. 

"Pukul berapa sih sekarang?" begitu kedengaran suaranya ketika pintu dibukakan oleh Lynn. 

"Sialan! Arlojiku mati lagi!" sambungnya. 

"Pukul 12.55. Kau tidak perlu ke universitas lagi 'kan hari ini?" tanya Lynn. 

"Tidak. Aku ingin menonton Another World di TV. Ujian ternyata lebih lama dari yang kuduga." 

Saat itu keduanya masuk ke ruang duduk. 

"Oh! Anda pasti detektif yang disewa ayah Lynn," kata gadis berambut pendek pirang yang sebaya dengan Lynn itu. Ia permisi mengambil Coca-Cola ke dapur sementara saya melanjutkan wawancara dengan Lynn. 

"Selain Anda, siapa lagi yang memiliki kunci apartemen ini?" 

"Tidak ada." 

"Tunangan Anda?" Wajah Lynn berubah merah. Menarik juga melihat ada gadis masih bisa tersipu-sipu di zaman serba boleh ini. 

"Tidak!" jawabnya. "Hubungan Larry dan saya bukan jenis demikian." 

Ketika Connie yang kurus itu muncul sambil menghirup Coca-Cola dari kaleng, saya bertanya kepada teman Lynn itu. "Apakah Anda memberikan nomor telepon Lynn kepada orang lain?" 

"Tidak! Tentu saja tidak!" 

"Apakah Anda menceritakan kepada orang lain bahwa Lynn mempunyai nomor telepon baru?" 

"Tidak." 

"Apakah Anda pernah meneleponnya pada saat Anda bersama orang lain?" 

"Tidak. Saya 'kan di sini terus sejak ...." 

 

Pengumpul buku porno

Saat itu telepon berdering. Lynn menggigit bibirnya. Saya bersikap waspada. Connie tidak jadi mereguk Coca-Colanya. 

"Mungkin Larry. Atau ayah," kata Lynn sambil beranjak ke telepon. Saya membuntutinya. Setelah ragu-ragu sejenak, Lynn mengangkat gagang telepon. 

"Halo." 

Setelah itu wajahnya pucat. Saya menyambar gagang telepon, tetapi yang saya dengar cuma desiran dan bunyi "klik", disusul bunyi sambungan lenyap. 

"Dia?" tanya Connie setengah berbisik. Lynn mengangguk. 

"Apa dia bilang?" Lynn menggelengkan kepala. Rasa takut membuat matanya tampak lebih besar. 

"Lynn, apa dia bilang?" 

“Dia bilang...." Kata-katanya seperti menyangkut di leher. Baru beberapa detik kemudian bisa keluar. 

"Dia bilang, dia akan membunuh saya." Kata Lynn, pria itu berkata, "Kalau aku tidak bisa memperolehmu, orang lain pun tidak." 

Saya tinggal beberapa menit lagi di apartemen itu, sebelum meninggalkan Lynn dengan Connie Evans. Ancaman itu mungkin saja sekadar omong kosong, tetapi bisa juga si pengancam itu cukup gila untuk melaksanakannya. Adalah tugas saya untuk menganggapnya serius. 

Saya tidak bisa segera menghubungi Jud Canale, sebab ia sudah memberi tahu bahwa sepanjang siang itu akan berada di ruang sidang pengadilan. Jadi saya pun naik ke tingkat V untuk mengetuk apartemen 5-E. 

"Siapa?" tanya Joel Reeves dari dalam. Saya beri tahu nama, pekerjaan, dan perihal saya sedang mengusut telepon gelap yang baru diterima Lynn. 

"Sebentar," sahut Reeves. Kedengaran kunci dibuka, kemudian pintu menganga sedikit, tetapi rantainya tetap tercantel. 

"Perlihatkan dulu kartu identitas Anda," katanya. Setelah puas mengamati fotokopi kartu identitas dan mengamati saya juga, barulah ia membuka cantelan rantai. 

"Mesti hati-hati. Soalnya, sudah beberapa kali ada maling masuk ke gedung ini. Saya 'kan punya sejumlah buku berharga," katanya. 

Reeves, berumur 25-an. Tubuhnya tambun dan rambutnya jarang. Matanya yang hijau itu mengintip dari balik kacamatanya yang bundar kuno. Penampilannya mencerminkan ia kutu buku. 

Apartemennya sama dengan apartemen Lynn, cuma jendelanya menghadap ke Danau Merced dan Lapangan Golf Harding Park. Perabotnya sederhana dan tanpa imajinasi, tetapi rapi. Dua dinding ruang duduknya ditutupi rak berisi buku. Kebanyakan novel zaman Victoria yang konon diperolehnya dari lelang buku-buku antikuariat di London.

Ketika saya perhatikan, ternyata novel-novel itu bukan cuma tua, tetapi juga ... porno! 

"Mestinya Anda cukup berada, sampai bisa membeli buku kuno di London," kata saya. 

"Ah, tidak," katanya. 

"Saya mendapat warisan kecil dari ayah saya tujuh tahun yang lalu. Lumayanlah untuk mengongkosi sekolah, pergi ke London, dan membeli buku," jawabnya. 

Orang ini jauh dari menarik. Ia sangat berminat pada buku-buku porno. Sementara itu Lynn gadis yang sangat menarik. Siapa tahu minat Reeves terhadap buku-buku porno bukan semata-mata karena alasan akademis. Lagi pula ceritanya tentang buku memberi kesan bahwa ia jenis orang yang obsesif. Bayangkan, ke London pun dikejar! 

"Lynn ditelepon lagi, ya?" tanyanya. 

"Dua kali. Sekali semalam. Sekali lagi pagi ini. Yang terakhir tidak porno, tapi mengancam akan membunuh." 

Reeves kelihatan kaget. 

"Jadi Anda paham mengapa saya harus menemukan si penelepon secepat mungkin?' 

"Paham. Tapi apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda?" 

"Tolong Anda jawab pertanyaan-pertanyaan saya." 

Kemarin, katanya, ketika ia singgah ke tempat Lynn, di sana memang sedang ada petugas telepon. Ia tidak melihat nomor telepon baru Lynn, tetapi ia bisa menduga apa yang kira-kira sedang dikerjakan petugas itu. 

Reeves pernah bertemu dengan tunangan Lynn. Ia tidak suka kepada Larry Travers, sebab orangnya sok, cuma memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak pandai. Yang dibualkannya cuma olahraga dan bir. Padahal Lynn cerdas dan belajar dengan serius. Reeves heran mengapa Lynn memilih Travers untuk menjadi tunangannya. Reeves tidak kenal pada Tim Downs. 

"Mengapa Anda begitu memperhatikan orang-orang yang dikenal oleh Lynn?" tanya Reeves. "Anda menduga penelepon itu salah seorang temannya?" 

"Kemungkinan besar demikian. Orang-orang yang diberi tahu nomor telepon barunya cuma teman-temannya. Saat ini sudah dua kali ia ditelepon, padahal telepon baru dipasang kemarin siang." 

"Oh!" kata Reeves. Ia menghela napas. "Kasihan Lynn. Tentu ia sangat tegang." 

"Seorang teman wanita mendampinginya saat ini." 

"Siapa?" 

"Connie Evans." 

"Oh, si Wanita Komputer! Saya tidak suka komputer karena dingin, tidak manusiawi," komentar Manusia Sejarah itu. 

Saya memberinya kartu nama saya, lalu meninggalkannya. 

Saat ini rasanya cuma ada tiga orang yang pantas dicurigai: Reeves, Travers, dan Downs. Untuk mengetahui apakah ada orang lain lagi, saya harus mencari Travers dan Downs dulu.

 

Tukang leding sangar 

Pukul 15.30 saya berada di muka pintu apartemen Travers. Sia-sia saja saya menekan tombol belnya. Menurut tetangganya, seorang wanita setengah baya yang tinggal tepat di bawah apartemen Travers, tunangan Lynn itu kelihatan mengangkuti barang-barangnya tadi pagi. Jangan-jangan ia pindah. Entah ke mana. 

Wanita itu mengeluh. Katanya, Travers sering mengadakan pesta liar yang ingar bingar di apartemennya. Travers dan para tamunya minum-minum sampai subuh. Gadis yang dibawanya menginap pun berganti-ganti terus. 

Wanita itu dan suaminya tidak suka kepada Travers, karena keluhan mereka selalu diabaikan. Mengapa Lynn tidak memberi tahu tunangannya akan pindah? pikir saya. Apakah ia sengaja tidak mau memberi tahu, ataukah ia memang tidak tahu? Apakah Lynn tahu tunangannya kerap mengadakan pesta-pesta liar dan mengajak para wanita menginap? Mungkin Tim Downs bisa mengungkapkannya. 

Saya mendatangi apartemen Tim Downs. Nama yang tertera di situ bukan namanya, tapi nama seorang wanita, Pam Scott. Keadaan apartemen itu lebih buruk lagi daripada apartemen Travers. Tidak ada orang di apartemen itu. Pada saat saya akan meninggalkannya, muncullah seorang pria muda bertubuh kekar seperti pemain American football. Rambutnya hitam, tergerai ke bahu, dan kumisnya yang lebat bersambung dengan cambangnya. Pria itu mengenakan pakaian kerja tukang leding. Ia Tim Downs, yang baru pulang kerja. 

Dengan mata galak ia memandang saya. Sinar matanya tidak banyak berubah, ketika saya memperlihatkan fotokopi kartu identitas saya. 

"Siapa yang menyewa Anda? Ayah Lynn?" tanyanya. 

"Ya."  

"Pantas! Orang mapan memang suka berlebihan. 'Kan bukan anaknya sendiri saja yang pernah ditelepon yang jorok-jorok. Apa anehnya! Di San Francisco 'kan banyak manusia sinting!" 

"Tapi tidak banyak yang jiwanya diancam." 

"Memang pria itu mengancam akan membunuh?" 

"Ya, pagi ini." 

"Astaga! Menurut Anda, dia serius?" 

Tim Downs berubah galak, ketika diberi tahu bahwa orang yang mendapat nomor telepon baru Lynn cuma ayah Lynn, Larry Travers, dan dia. 

"Anda menuduh saya, ya?" katanya. 

"Siapa menuduh Anda? Saya datang ke sini untuk bertanya." 

"Bertanya apa?" 

"Anda memberikan nomor telepon Lynn kepada orang lain?" 

Downs mengaku tidak memberikannya kepada siapa-siapa, bahkan juga kepada Pam Scott, wanita yang hidup bersamanya. Downs tidak tahu apakah Travers memberikan nomor telepon Lynn kepada orang lain. 

"Tanya saja kepadanya!" katanya. 

"Ia tidak ada di apartemennya.”

Akhirnya, setelah digertak, mau juga Downs memberi tahu tempat-tempat yang sering dikunjungi Larry Travers. Travers, katanya, biasa ada di rumah minum Elrod sekitar pukul 17.00. Kemungkinan ia juga masih akan kembali ke apartemennya atau menginap di kapal Hidalgo. 

Menurut Downs, Larry Travers akan segera pindah ke San Diego, karena pada semester yang lalu ia drop-out dari University of California. Ia akan berangkat bersama seorang temannya, membawa kapal Hidalgo ke Diego. Entah Lynn sudah tahu atau belum. 

"Dia 'kan akan menikah dengan Lynn," kata saya. 

Downs tertawa. 

"Dia bukan jenis pria yang berniat menikah. Lynn 'kan gadis cantik yang agak membosankan, karena gagasannya kuno. Mana mau dia tidur dengan Larry kalau tidak dijanjikan akan dinikahi!" 

Leher saya serasa tercekik oleh amarah. Kurang ajar Larry Travers! Rupanya janjinya kepada Lynn cuma sekadar gombal. Setelah merasa cukup mengisap madu seorang gadis baik-baik, dengan seenaknya saja ia akan pergi meninggalkan korbannya. Saya tidak heran kalau makhluk seperti itu bisa menjadi penelepon gelap!

 

Kalah gesit 

Saya mencari Travers di Elrod. Dia tidak ada. Menurut bartender, Travers belum datang. Katanya, Travers minum bir seperti minum air. Bahkan cereal-nya untuk sarapan pun bukan disiram dengan susu, melainkan dengan bir. 

Saat itu pukul 17.00. Saya meninggalkan Elrod sebentar untuk menelepon Jud Canale. Saya laporkan semua yang saya ketahui, termasuk bahwa Larry Travers sering mengadakan pesta liar dan mengajak pelbagai wanita menginap. Namun, saya tidak memberi tahu alasan Larry Travers untuk bertunangan dengan Lynn. Kehidupan seks Lynn adalah urusannya sendiri. 

Jud Canale marah sekali mendengar tingkah laku Larry Travers. Sekarang juga ia akan berangkat memberi tahu Lynn. Saya memberi tahu bahwa saya akan mencari Travers. Jud Canale memberi saya nomor telepon rumahnya, supaya bisa menghubungi dia setiap saat. 

Sampai pukul 18.30 Travers tidak muncul di Elrod. Jadi saya kembali ke apartemennya di Missouri Street. Jendelanya di tingkat III terang. Sementara itu di tempat parkir ada mobil Triumph TR-3 yang sudah butut. Seorang pria muda bertubuh atletis sedang memuat barang ke bagasi mobil itu. 

Travers segera tahu bahwa saya detektif yang disewa ayah Lynn, karena Downs sudah meneleponnya. Berlainan dengan Downs, ia tidak bersikap bermusuhan. Ia memberi kesan sebagai orang yang lurus hati. Wajahnya tampan dan tubuhnya yang atletis itu mirip remaja. Rambutnya panjang dan pirang. Kumisnya pun pirang. Pantas banyak wanita yang jatuh hati! Padahal hatinya busuk! 

"Di mana Anda pukul 13.00 siang ini?" tanya saya. 

"Pada saat Lynn menerima telepon gelap, ya?" 

"Di mana Anda?" 

"Bukan saya yang menelepon. Lynn gadis yang istimewa buat saya. Menyakitkan dia adalah hal yang paling tidak saya inginkan di dunia ini. Mengapa Anda merecoki saya, bukan mencari penelepon itu?" 

Saya maju selangkah. 

"Jawab pertanyaanku, Travers. Di mana kau pukul 13.00 ini?" 

Ia tidak menjawab, cuma menggabrukkan pintu bagasi dan menjauhi saya. Ketika ia masuk ke mobilnya, saya bergegas menghampiri, tetapi terlambat. Ia keburu menghidupkan mesin dan kabur. Saya menjemput mobil saya di tempat parkir, lalu pulang. Soalnya, percuma saja saya menyusul ke tempat kapal-kapal ditambat. Saya tidak akan bisa masuk tanpa kunci dan tanpa ada yang membukakan pintu. 

Malam itu saya telepon Jud Canale untuk memberi laporan terakhir. 

 

Lynn lenyap 

Pagi-pagi Jud Canale menelepon. Suaranya terdengar lelah dan risau. Katanya, semalam Lynn menolak diajak menginap di Forest Hill. Malah ia pergi dengan Connie ke pertemuan drama, karena tidak betah dikurung di apartemennya. Hari itu penelepon gelap tidak mengganggu. 

Lynn tidak mau mempercayai keterangan negatif tentang tunangannya. Ia yakin Travers mencintainya. Pagi ini, ketika Canale menelepon lagi, putrinya tetap pada pendapatnya. 

Canale berpesan, agar saya menyampaikan ancamannya kepada Travers. Kalau Travers berani mendekati putrinya lagi, Canale akan membunuhnya! 

Mendengar ancaman Canale, saya meninggalkan sarapan untuk memacu mobil saya ke tempat Hidalgo ditambat di China Basin. 

Ketika berkeliling mencari tempat parkir, saya melihat Triumph TR-3 tersembunyi di balik traktor. Sulit juga mencari Hidalgo di tempat sebesar itu. Untung saya bertemu dengan seorang pria berpotongan petinju, yang memberi tahu tempat kapal itu ditambatkan. Katanya, Larry tidak tampak sejak pagi. 

Kapal fiberglass sepanjang 10 m itu sepi saja. Geladak dan kokpitnya kosong. Saya melompat naik dan menuju ke sebuah ruangan di bawah yang diterangi lampu. 

"Travers!" panggil saya. Tetapi sunyi. Akhirnya saya tiba di dapur yang memperlihatkan sisa-sisa hamburger McDonald dan botol-botol bir kosong serta kaleng-kaleng bekas minuman ringan. Saat itu saya merasa bulu kuduk saya merinding. Saya mempunyai firasat ada sesuatu yang tidak beres. 

Dengan hati-hati saya singkapkan tirai ke ruang sebelah. Di sana menggeletak Travers dengan sebelah kaki menggantung ke geladak. Pelipis kirinya berlubang. Lubang itu hitam oleh darah kering. Sebelah tangannya memegang pistol otomatis Smith & Wesson kaliber .38. Namun, saya yakin ia tidak bunuh diri. Ada yang membunuhnya! 

Saya pulang ke kantor. Rasanya saya memerlukan secangkir kopi untuk mengembalikan semangat. Ketika sedang menunggu air mendidih, saya memeriksa alat penjawab telepon. Apakah selama saya pergi ada orang menelepon saya? Ternyata cuma seorang dan tidak mau berbicara dengan mesin, sebab ia tidak meninggalkan pesan apa-apa. 

Mesin .... Tiba-tiba saja otak saya bekerja, menghubung-hubungkan segala macam informasi yang saya peroleh selama ini. 

Lima belas menit kemudian, saya memperoleh gambaran lengkap. Saya yakin tahu siapa pembunuh Travers. Saya pun tahu siapa penelepon yang mengganggu Lynn. Saya merasa khawatir. Saya harus bergegas menyelamatkan Lynn. Jangan-jangan saya sudah terlambat. 

Saya ngebut ke apartemen Lynn. Walau berulang-ulang menekan bel di dekat namanya, panggilan saya tidak dijawab. Saya menjadi panik. Lalu saya teringat pada Joel Reeves. Saya tekan tombol 5-E. Reeves menjawab. Setelah saya memperkenalkan diri, ia membiarkan saya masuk. 

Untuk menghemat waktu, saya berlari menaiki tangga ke tingkat III. Rasanya dada saya hampir pecah ketika tiba di depan pintu apartemen C-l. Pintunya terkunci. Percuma saja saya memanggil-manggil dan menggedor-gedor pintu. Akhirnya ada wanita tetangga Lynn menjengukkan kepala dengan wajah khawatir. Untuk menghemat waktu, saya mengaku bahwa saya polisi. Apakah ia melihat Lynn hari ini? 

"Tidak," jawabnya. 

Pada saat saya mencari penjaga apartemen, Reeves muncul. Ia sudah menduga saya pergi ke apartemen Lynn.

Ketika saya bertanya apakah ia bertemu Lynn pagi ini, ia menjawab bahwa tadi pagi ia berpapasan dengan Lynn di lobi. Lynn kelihatan sangat risau. Saat itu Lynn bersama Connie Evans. Mereka berniat meninggalkan gedung sambil membawa koper. Mereka tidak memberi tahu akan ke mana. 

"Di mana Connie Evans tinggal?" tanya saya. 

Reeves cuma tahu Wanita Komputer itu tinggal di daerah Sunset dekat Great Highway. Tanpa mempedulikan Reeves lagi, saya berlari turun. Connie Evans adalah pembunuh Travers dan penelepon gelap itu! 

Di bilik telepon umum, pada buku telepon saya temukan nama C. Evans. Alamatnya Forty-seventh Avenue. Itulah satu-satunya Evans dekat Great Highway. 

Lima belas menit kemudian saya tiba di depan rumah itu. Di halamannya yang dipenuhi tanaman layu, saya melihat ada mobil. Telapak tangan saya berkeringat ketika tidak ada orang keluar setelah bel pintu ditekan. Waktu saya akan memijat bel lagi, pintu dibuka oleh Connie Evans. 

"Mana Lynn?" tanya saya. 

"Di kamar," jawab Connie dengan wajah dan suara datar saja. 

Lynn Canale terbaring di ranjang. Ia bergerak sedikit ketika saya memeriksa denyut nadinya yang ternyata jelas terasa. Lynn masih hidup! Tapi wajahnya sembap dan bibirnya yang kering itu pecah-pecah. 

"Apa yang kauberikan kepada Lynn?" tanya saya kepada Connie. 

"Obat tidur," jawab gadis kurus itu acuh tak acuh, diselingi menghirup Coca-Cola dari kaleng. 

"Berapa banyak?" 

"Paling-paling tiga. Dia sangat sedih, karena. ... Larry tewas." 

"Dari mana dia tahu? Kau memberi tahu?" 

"Bukan. Ayahnya menelepon. Ayahnya ingin membawa Lynn pergi, tapi dia tidak mau. Dia minta menginap di sini. Dari mana Anda tahu soal ...." 

Saya tidak segera menjawab. Di sebuah sudut ruang duduk terdapat pelbagai peralatan elektronik: radio, video, cassette recorder, komputer, dan macam-macam lagi. Sebuah mesin penjawab dikaitkan ke telepon. 

"Kemarin," jawab saya, "ketika Lynn menerima ancaman dari telepon, kita bertiga ada di apartemennya. Waktu saya mengambil gagang telepon dari Lynn, saya mendengar desiran dan bunyi 'klik' sebelum hubungan putus. Bunyi 'klik' selalu terdengar kalau seseorang memutuskan hubungan telepon, tetapi desiran hanya ada kalau kita mempergunakan mesin. Saya baru sadar tadi pagi, ketika memeriksa mesin penjawab telepon saya." 

Connie Evans cuek saja sambil menghirup Coca-Colanya. "Ada mesin lain yang menghasilkan bunyi desiran dan 'klik', yaitu mesin untuk menyampaikan pesan seperti cassette-recorder milikmu itu. Kau ahli elektronik, Connie. Kau merekam pesan di kaset dan menghubungkan rekaman ke telepon dan ke komputer. Lalu kau memprogram komputer supaya menelepon pada saat detektif yang disewa ayah Lynn ada di apartemen Lynn dan kau juga nadir di sana. Maksudmu, agar kau tidak dicurigai sebagai si penelepon gelap. Atau mungkin kau ingin melihat wajah Lynn pada saat kau mengancam akan membunuhnya?" 

"Saya tidak berniat membunuhnya. Saya cuma ingin menyakiti dia, lebih daripada ia menyakiti saya dengan merebut Larry dari saya. Saya mencintai Larry dan Larry dulu pun mencintai saya. Kami akan menikah lalu Lynn mengambilnya. Saya ingin Larry kembali, tetapi ia tidak mau. Ia malah selalu menjemput Lynn ke universitas. Saya benci Lynn." 

"Mengapa kau pura-pura nenjadi pria dan berkata yang jorok-jorok di telepon?" 

"Karena Lynn bilang dia takut dan benci kepada pria yang berbicara begitu." 

Ancaman itu masih ada di kaset, belum dihapus.

 

Ditolak mentah-mentah 

Ternyata kemarin malam Connie diam-diam mendengarkan Jud Canale memberi tahu bahwa Travers akan meninggalkan Lynn dan bahwa Travers bukan pemuda baik-baik. Connie seperti Lynn, tidak percaya Travers pemuda hidung belang. Harapan Connie timbul bahwa Travers akan kembali kepadanya. Ia pergi ke apartemen Travers. Pemuda itu tak ada. Ia menyusul ke China Basin, tetapi tidak diperkenankan masuk. Ketika ia sudah putus asa, Travers datang dengan Triumph-nya. Ia ikut masuk dengan Travers. 

Sesudah tidur bersama, Connie minta diperkenankan ikut ke San Diego. Larry Travers menolak betapapun Connie memohon-mohon. Travers malah menertawakannya. Connie, Lynn, dan para wanita lain sama saja baginya, kata Larry Travers. Karena merasa dipermalukan, Connie mengambil pistol penembak hiu yang ada di kapal itu dan menembak kepala Travers. 

"Kini saya tidak ingin menyakiti Lynn lagi," katanya. "Apakah Anda akan memanggil polisi sekarang?" 

"Ya," jawab saya dengan berat hati. 

"Silakan."

(Bill Pronzini)

" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246384/penelepon-gelap" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650984034000) } } [6]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246425" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/demi-ibu-cucu-membunuh-kakekjpg-20220420045801.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Sesaat setelah sampai di tempat kerja, seseorang menembaknya dua kali. Mayatnya ditinggalkan di kantornya seolah-olah seperti habis dirampok." ["section"]=> object(stdClass)#100 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/demi-ibu-cucu-membunuh-kakekjpg-20220420045801.jpg" ["title"]=> string(26) "Demi Ibu, Cucu Bunuh Kakek" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:37:44" ["content"]=> string(48028) "

Intisari Plus - Franklin Bradshaw bangun pagi dan melakukan rutinitas seperti biasanya. Sesaat setelah sampai di tempat kerja, seseorang menembaknya dua kali. Mayatnya ditinggalkan di kantornya seolah-olah seperti habis dirampok.

---------------------------------------

Hari belum pukul 06.00, ketika Franklin Bradshaw bangkit dari ranjangnya. la segera melakukan push-up 100 kali disusul dengan loncat tali. Bagi seorang pria berumur 76 tahun tentu saja kegiatan itu mengagumkan. 

Dengan tinggi lebih dari 1,80 m itu Bradshaw bukan saja tetap langsing, tetapi juga sehat walafiat, sehingga merasa ajalnya jauh di awang-awang. 

Hidupnya sangat teratur dan sederhana. Setiap pagi diminumnya dua macam obat yang dianggapnya bisa mengusir ketuaan, lalu ia makan bubur havermout, dan minum susu hangat. 

Pagi tanggal 23 Juli 1978 itu ia bangun dini bukan untuk menikmati hari Minggu, melainkan karena kebiasaan. Hari Minggu pun hari kerja baginya seperti hari-hari lain. la menikmati kerja seperti piknik ke ngarai yang indah. 

Pagi itu di tempat tinggalnya, Salt Lake City, Utah, AS, langit cerah sekali. Pukul 06.45 ia berangkat dengan pikup tuanya. Istrinya, Berenice, yang dinikahinya 54 tahun lalu, sudah bangun, tetapi masih enggan turun dari ranjang. 

Kehidupan mereka kurang harmonis. Si suami kikir dan betah betul di tempat kerjanya, sementara si istri merasa kurang diperhatikan dan tidak mendapat keleluasaan memakai uang, padahal ia tahu betul suaminya kaya. 

Seperti semua orang lain, Berenice tidak tahu persis berapa harta suaminya. Selain memiliki 31 toko suku cadang mobil di Utah, Franklin Bradshaw mempunyai saham di pertambangan minyak tiga belas negara bagian. Ia merupakan salah seorang pemegang saham terbesar perusahaan perminyakan, sehingga dijuluki Howard Hughes dari Utah. 

Bradshaw mengendarai pikup Ford Courrier-nya yang hijau itu ke arah barat. Di tempat duduk kosong di sampingnya tergeletak bekalnya untuk makan siang, roti katul dan roti daging. Kantornya terletak di sebuah bangunan gudang buatan tahun 1900, yang sudah bobrok seperti bangunan-bangunan di sekitar gudang itu. Di bangunan itu juga terdapat salah sebuah toko suku cadangnya. 

Ketika itu jalan-jalan masih sepi. Sebagian orang masih tidur dan sebagian lagi sedang di gereja. Maklum, Utah adalah daerah orang-orang Mormon yang saleh.

Hari itu ada seorang pria lain yang bangun pagi-pagi untuk pergi ke gudang Bradshaw. Ia bercelana berwarna gelap, kemeja kuning, dan jas biru. Di saku dalam jasnya terselip sebuah pistol Magnum .357 yang gagangnya berkilat karena digosok. Sepanjang malam pria ini tidak bisa tidur karena tegang. Matanya yang biru dingin mengawasi Bradshaw ke luar dari kendaraannya. Bradshaw memungut Koran Salt Lake Tribune di muka pintu toko onderdilnya, lalu masuk. 

Pria itu masuk juga tak lama kemudian. Bradshaw tercengang melihat tamunya. Mereka bercakap-cakap sekitar 15 menit tentang hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan mereka. 

Ketika Bradshaw membelakanginya, pria tersebut menembak punggung laki-laki lanjut usia itu dari jarak dekat. Bradshaw tersungkur. Si penembak membidik sekali lagi belakang kepala korbannya. 

Mayat Bradshaw ditelentangkannya. Sebelah kantung korban ditariknya ke luar dan isi dompet kulit korban diserakkan. Isi dompet itu: beberapa kartu kredit, daftar hal-hal yang harus dikerjakan, dan uang receh. Tidak ada yang istimewa. Pria itu ingin memberi kesan bahwa Bradshaw dirampok.

 

Mantan karyawan kaget 

Hari itu seorang mantan karyawan Bradshaw bernama Dan Schindler dimintai tolong teman-temannya untuk membelikan suku cadang mobil. Toko Bradshaw pada hari Minggu baru buka pukul 09.00, tetapi Dan tahu bahwa bekas majikannya biasa datang pagi-pagi. Pukul 08.00 lewat sedikit ia menelepon ke gudang. Ternyata telepon tidak diangkat orang. Dan Schindler mengira bekas majikannya tentu sedang asyik di ruang kerjanya di bawah tanah, sehingga tidak mendengar dering telepon. Jadi langsung saja ia mengendarai mobilnya ke sana.

Ia tiba beberapa menit menjelang pukul 09.00. Di dalam toko sudah ada orang lain, Kirk Taylor, yang mengaku tiba beberapa menit sebelumnya. Katanya, ia sudah berulang-ulang memanggil, tetapi tidak ada jawaban. 

"Mestinya sih ada orang," kata Kirk. "Tapi ketika saya melihat-lihat barang di rak dekat meja pajangan, saya mendengar suara gemeresik dan suara orang berdehem dari belakang gedung." 

"Oh, mungkin Pak Bradshaw sedang bekerja di belakang," kata Dan. "Dulu saya pernah bekerja di sini. Coba saya lihat ke belakang." 

Ia masuk melewati meja pajangan. Meja itu tinggi dan bertambah tinggi lagi karena di atasnya bertumpuk katalog suku cadang. Begitu Dan tiba di belakang meja pajangan, ia kaget setengah mati dan juga ketakutan. Franklin Bradshaw yang berumur 76 tahun itu telentang dalam genangan darah di lantai linoleum berwarna hijau. Matanya melotot, mulutnya terbuka, dan di dekatnya berserakan kartu kredit, dompet, uang receh, dan kunci. 

Kirk segera mendekati dan ikut menyaksikan pemandangan seram itu. Buru-buru Dan meraih gagang telepon di dekat kasa untuk menghubungi nomor panggilan darurat. Tak lama kemudian datanglah seorang perwira polisi bersama beberapa tenaga paramedis. 

Schindler dan Kirk Taylor dibawa ke luar. Pada saat itu muncullah mobil yang dikendarai seorang karyawan senior, Neil Swan. Ia mendapat giliran bekerja pada hari Minggu itu. 

"Ada apa?" tanyanya. 

"Pak Bradshaw ditembak!" jawab Dan. Orang kepercayaan Bradshaw itu minta diperkenankan masuk untuk melihat. Mula-mula permintaannya ditolak, namun setelah polisi mengetahui siapa dia, Neil boleh masuk. Ia memandangi wajah jenazah majikannya lama sekali. 

Dan meminta izin menelepon orang kepercayaan Bradshaw yang lain, Doug Steele. Ternyata Doug sedang bertandang ke tetangga, sehingga Dan meminta istri Doug untuk memanggilkannya. 

Doug mendengar laporan mantan karyawan yang kini menjadi pelanggan itu, lalu cepat-cepat menjemput rekannya, Clive Davis, untuk diajak ke gudang. Doug Steele, Clive Davis, dan Neil Swan merupakan orang-orang yang paling dipercaya oleh Franklin Bradshaw. 

Ketika Doug dan Clive tiba, ternyata Dan, Kirk, dan Neil sudah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan resmi. Doug dan Clive memperkenalkan diri kepada Detektif Joel Campbell, yang sedang mengawasi para bawahannya meneliti tempat kejadian. Mereka ditolak masuk. 

Campbell bertanya apakah mereka berdua kenal baik pada janda korban. 

"Ya," jawab mereka. Keduanya lantas diutus menemani pendeta polisi untuk memberi tahu musibah yang terjadi kepada Berenice Bradshaw. 

Kedua karyawan lama itu merasa khawatir. Soalnya, mereka tahu Berenice itu mentalnya rapuh. Benar saja, Berenice mengalami shock, sehingga Doug buru-buru memberinya obat penenang. 

Doug juga menelepon cucu kemanakan Franklin Bradshaw, yaitu Craig Bradshaw. Ayah Craig dulu manajer dan pemegang 43% saham Richfield Corporation yang antara lain terdiri atas empat toko Franklin. Franklin sering sekali bertengkar dengan ayah Craig. Ketika ayah Craig bunuh diri pada tahun 1968, Craig yang waktu itu berumur awal 20-an meneruskan usaha ayahnya dengan ambisius. la juga sering bertengkar dengan Franklin, tetapi kemudian bisa memahami sifat kerabatnya itu. Setelah itu hubungan mereka membaik. 

Pada tahun-tahun terakhir, Franklin yang mempunyai hanya seorang putra dan tiga orang putri itu begitu mencintai Craig, sampai dianggap sebagai putranya. Apalagi karena putra tunggal Franklin sejak remaja harus dirawat di rumah sakit jiwa. 

Begitu cintanya Franklin kepada Craig, sehingga akhir tahun 1976, atas saran putrinya, Marilyn, yang bersuamikan seorang ahli hukum, ia membentuk trust untuk kesejahteraan anak-anak dan para cucunya (sekalian menghindari pajak!) serta menunjuk Craig sebagai wali dari F & B (Franklin & Berenice) Trust itu. 

Doug Steel berhasil menghubungi Craig yang berjanji akan memberi tahu ketiga putri Franklin (Berenice tidak berhasil menghubungi mereka, sebab semuanya belum pulang berliburan akhir pekan) dan juga Don Bradshaw, salah seorang kemenakan korban.

 

Siapa yang membuka gembok? 

Doug dan Clive diperbolehkan kembali ke gudang dan masuk ke dalam, sebab polisi sudah selesai meneliti tempat itu. Jenazah pun sudah diangkut untuk diautopsi. 

Begitu masuk, Doug mendapatkan gembok pintu kantornya tidak terkunci, walaupun gembok itu tetap tercantol di tempatnya. 

"Siapa yang buka?" tanyanya kepada Detektif Campbell yang masih ada di sana. 

"Bukan kami," jawab detektif itu. "Mengapa?" 

"Kemarin sore, waktu meninggalkan tempat itu, gembok ini terkunci." 

"Bagaimana Anda bisa begitu yakin?" 

"Soalnya, di laci saya disimpan uang. Jadi setiap kali akan ditinggalkan, saya periksa dulu apakah gembok sudah benar-benar terkunci." 

Bersama polisi, mereka mendapatkan kuncinya di tempat biasa, yaitu di laci kanan meja tulis Clive. Ternyata pintu belakang gudang pun tak terkunci, walaupun gemboknya masih tercantel. Menurut keterangan Doug, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu di mana kunci-kunci itu disimpan. 

"Siapa?" tanya Campbell. "Frank, Clive, saya, dan dua cucu laki-laki Frank. Yang seorang, Larry, sedang berada di Salt Lake." 

Detektif Campbell lantas bertanya perihal keluarga Bradshaw, tetapi tampaknya Doug segan bercerita banyak, apalagi Clive dan Neil. Begitu pula ketika ditanyai mereka tahu siapa kiranya yang menginginkan nyawa Franklin Bradshaw. Mereka menjawab tidak tahu. 

“Barangkali salah seorang anggota keluarganya?" tanya detektif itu. Ketiganya kelihatan kikuk, tetapi tidak memberi jawaban. Dari kalangan sanak keluarga, yang tiba paling dulu di rumah korban adalah Don Bradshaw bersama istrinya, Jean. Don yang jangkung dan murah senyum itu seorang pengusaha asuransi yang paling berhasil di Salt Lake. Ia hampir sebaya dengan putra korban, Robert. Semasa kecil Don sering bermain dengan Robert, yaitu sebelum putra Franklin itu menjadi gila. 

Don meminta bibinya menceritakan apa yang terjadi tadi pagi kepadanya dan kepada Craig yang juga hadir. Kata Berenice, Franklin bangun pagi-pagi seperti biasa, berolahraga, dan menyiapkan bubur havermout sendiri. Mangkuknya sampai saat itu masih belum dicuci. Berenice bangun sesaat setelah suaminya pergi, untuk menyiapkan sarapan bagi Larry. Cucu yang sedang berlibur di rumah kakek itu harus berangkat pagi-pagi ke tempat latihan terbang. 

Pada saat mereka sedang bercakap-cakap, masuklah Larry. Katanya, ketika sedang terbang di atas rumah kakeknya, ia melihat banyak mobil diparkir di sekitar rumah. Ia bertanya-tanya di dalam hati ada apa di rumah. Jadi, buru-buru ia pulang. 

Doug muncul tak lama kemudian. Ia meminta Don menemaninya ke gudang, karena ia ingin membenahi uang penghasilan hari Sabtu sore. Clive sudah telanjur pulang. Mereka pergi berdua. Doug terheran-heran ketika membuka pintu, sebab pintu itu tidak terkunci, begitu pula pintu penahan api antara bagian depan dan gedung kantornya. Ia ingat betul kedua pintu itu dikuncinya pada saat ia meninggalkannya bersama Clive sejam yang lalu. 

Mereka khawatir si pembunuh datang lagi dan masih gentayangan di dalam. Jadi mereka buru-buru berlari ke luar. Kebetulan mobil polisi lewat. Don memberi tanda agar polisi singgah dan meminta dipanggilkan Detektif Campbell. Clive dipanggil pula dengan telepon. 

Menurut Campbell, kunci-kunci Franklin lengkap, tidak hilang digondol pembunuh. Jadi siapa yang membuka pintu? Doug, Clive, dan Don memutuskan agar semua kunci diganti hari itu juga. Mereka meminta ahli kunci datang. Sesudah selesai, Don berniat menyerahkan kunci-kunci baru kepada janda korban, tetapi Doug tidak setuju. Katanya, ia curiga kepada Larry. 

Ketika kembali ke rumah korban, Don bertanya kepada istrinya yang sedang menemani Berenice, ke mana saja Larry selama Don pergi. 

"Ia menghilang beberapa kali. Kalau ditanya oleh neneknya, dijawab, ia di lantai bawah tanah," jawab Jean. Berlawanan dengan saran Doug, Don segera menyerahkan kunci-kunci baru kepada Berenice. Larry muncul tak lama kemudian dan kunci-kunci itu pun pindah ke tangannya.

 

Takut perang saudara 

Berenice yang sejak tadi agak tenang tiba-tiba meledak tangisnya. Ia khawatir ketiga putrinya akan saling berebut warisan. "Marilyn akan mencoba menguasainya dan yang lain pasti tidak mau tinggal diam. Ah, sebetulnya sejak dulu aku tidak ingin mempunyai anak. Mereka semua cuma menyusahkan saja, tidak pernah memberi kesenangan," keluhnya. 

Berenice curiga, jangan-jangan suami Marilyn yang membunuh Franklin, supaya mendapat warisan. Tentu saja Don dan Jean tercengang. Don tahu hubungan Franklin dan Berenice tidak terlalu harmonis. Si suami kikir, sedangkan istrinya sering selingkuh dengan uang. Namun, Don tidak tahu kalau ketidakserasian itu juga terjadi di kalangan anak-anak mereka dan antara mereka dan anak-anak mereka. 

Franklin dan Berenice selain mempunyai Robert (lahir 1927) yang sakit jiwa, juga mempunyai Marilyn (lahir 1929) yang bersuamikan seorang ahli hukum, Elaine (lahir 1931) yang bersuamikan seorang Yahudi berhaluan kiri, dan Frances (lahir 1938) yang sejak kecil sulit sifatnya dan sudah bercerai dua kali. Frances itu ibu Larry. 

Setelah kembali dari liburan di rumah teman di Brooklyn, Marilyn dan suaminya, Robert Reagan, akhirnya bisa dihubungi di rumah mereka di West End Avenue, New York. Elaine dan suaminya, Mason Drukman, bisa ditelepon sepulang dari Washougal, Washington. Frances di New York juga bisa diberi tahu setibanya dari Long Island. Minggu sore itu diputuskan jenazah Franklin akan diperabukan pada hari Rabu. 

Sore itu juga Berenice dan Larry dijemput pendeta polisi untuk dimintai keterangan oleh Detektif Joel Campbell dan Carl Voyles. 

Berenice tidak tahu siapa yang menghendaki nyawa suaminya. "Ia tidak mempunyai musuh," jawabnya. "Ia baik kepada karyawan dan disukai teman-teman." 

Menurut keterangan istri korban, pada hari-hari biasa korban sudah ada di kantornya pukul 06.00. Hari Minggu ia muncul lebih siang. Sesudah tutup toko, ia masih ada di sana sampai sore. Walaupun toko belum buka atau sudah tutup, tetapi kalau ada orang menelepon untuk membeli sesuatu, pasti permintaan itu akan dilayani. Hari Minggu yang naas itu korban berangkat pukul 07.15. Demikian cerita jandanya. 

"Pernahkah toko itu dirampok?" tanya polisi. 

"Pernah beberapa kali, tetapi selalu pada saat tidak ada orang di sana," sahut Berenice. 

Polisi menanyakan siapa pengacara korban dan jandanya menyebutkan salah seorang di antaranya. 

"Apakah suami Anda membuat surat wasiat?" tanya Campbell. "Ya, tetapi isinya tidak kami sukai dan tidak ia sukai." Berenice menyatakan tidak tahu apa isi surat wasiat itu dan di mana surat itu ditaruh. 

"Apakah para karyawan seperti Doug Steele dan Clive Davis bisa dipercaya?" tanya Detektif. 

"Oh, mereka bisa dipercaya 100%." 

"Apakah mereka kebagian warisan?" 

"Setahu saya tidak, tetapi tidak tahu, ya." 

Para detektif bertanya perihal Larry. Putra Frances itu berumur 18 tahun dan tinggal di asrama sekolah menengahnya. Kini ia sedang berlibur di rumah kakek-neneknya di Salt Lake sambil mengikuti kursus terbang. 

Polisi mendengar dari para karyawan korban bahwa Larry pernah bekerja di toko kakeknya musim panas yang lalu. 

"Larry bekerja di toko kakeknya?" 

"Musim panas yang lalu bersama adiknya, Marc, tetapi para karyawan tidak suka, sebab mereka dianggap mengacau saja. Dalam musim panas ini cuma hari Sabtu kemarin Larry membantu di toko. Kakeknya senang, sebab Larry menaruh perhatian pada toko dan Larry juga senang bisa membantu." 

"Pukul berapa tadi ia meninggalkan rumah?" 

"Pukul 10.00, sebab latihan terbang baru saja dimulai pukul 10.30. Baru saja ia pergi, datang orang memberi tahu perihal musibah." 

Kedua detektif mengucapkan terima kasih, lalu memanggil Larry.

 

Surat wasiat hilang 

Pemuda yang kekar itu duduk dengan tenang di hadapan pewawancaranya. Ia menceritakan pagi itu ia berangkat pukul 10.00 ke tempat latihan. Ia tidak tahu siapa yang kira-kira ingin membunuh kakeknya. 

"Orangnya sangat baik dan pekerja keras," kata Larry tentang korban. Larry mengaku bahwa musim panas yang lalu ada masalah dengan para karyawan di gudang kakeknya. 

"Soal jadwal dan semacam itu," katanya. 

Polisi juga bertanya perihal ibunya. "Ibu saya tidak bekerja dan disokong oleh nenek," katanya. Ia mengaku ibunya tidak begitu akur dengan kakeknya. Dulu ibunya pernah bekerja di perusahaan kakeknya dan memiliki saham, namun kemudian ibu dan kakeknya bertengkar. Ia tak tahu apa yang mereka pertengkarkan tepatnya, tetapi jelas masalah uang. Kata Larry, akhir-akhir ini kakeknya kelihatan lelah dan juga risau memikirkan pajak. 

Larry dan neneknya dipersilakan pulang. Sementara itu salah seorang kerabat korban, Howard Bradshaw, meminta polisi mengecek, betulkah Larry terbang hari itu. Menurut Skyhawk Aviation, Larry memesan dan membayar ongkos penerbangan untuk pukul 10.30 -12.30, tetapi ia tidak tahu sejauh mana pesawat itu dipakai. 

Keesokan harinya Elaine dan suaminya, Mason Drukman, tiba, begitu pula Marilyn yang datang sendiri. Frances menyatakan beralangan datang. Ia baru akan tiba hari Selasa. 

Berenice, Marilyn, Elaine, dan Mason Drukman pergi ke gudang bersama-sama Doug Steele untuk memeriksa barang-barang korban. Doug menyatakan pada tahun 1977 majikannya pernah menyuruh seorang karyawan bernama Nancy Jones mengetikkan surat wasiat. Tembusannya diberikan kepada Doug untuk ditaruh di file. Tembusan itu ada beberapa buah dan dilihat oleh beberapa orang. Yang asli dibawa Franklin ke kota, katanya untuk diserahkan ke pengacaranya. 

Doug memperlihatkan tembusan surat wasiat tahun 1977 itu. Isinya secara singkat: Seluruh bisnis suku cadangnya harus dijadikan dua atau tiga perusahaan dan dibentuk holding company sebagai induknya. Para karyawannya yang sudah bekerja 30 tahun mendapat saham dan hak membeli saham sejumlah yang ditentukan olehnya. Para karyawan lain mendapat hak membeli sejumlah kecil saham. 

Franklin Bradshaw menunjuk Dough Steele sebagai co-administrator hartanya. Kalau Doug meninggal atau tidak lagi mampu melaksanakannya, tugasnya digantikan oleh Clive Davis dan kalau Clive Davis meninggal atau tak mampu lagi, tugasnya dialihkan kepada Neil Swan. Kalau Neil Swan meninggal atau tak mampu lagi melaksanakan tugas itu, maka yang berhak menggantikan tugas co-administrator adalah Walker Bank & Company. 

la juga menunjuk putrinya, Marilyn Reagan, sebagai co-administrator. Kalau Marilyn meninggal atau tak mampu lagi melaksanakan tugasnya, ia digantikan oleh Elaine Drukman dan kalau Elaine Drukman meninggal atau tak mampu melaksanakan tugasnya, ia digantikan Walker Bank & Trust Co. 

Pembagian harta setelah dipotong saham-saham untuk karyawan ialah sepertiga untuk Berenice, sepertiga untuk Marilyn, dan sepertiga untuk Elaine. Menurut Doug, ketika Franklin memperlihatkan surat wasiat itu kepadanya ia tertegun. Bukan saja karena ia diangkat sebagai co-administrator, melainkan juga karena Frances tidak diberi warisan. 

"Anda tidak main-main?" tanya Doug. 

"Tidak," jawab Franklin. 

Sebenarnya pada tahun 1970 Franklin pernah membuat surat wasiat yang menunjuk istrinya sebagai pewaris seluruh hartanya. Harta itu diwariskan dalam bentuk trust dengan wali Walker Bank & Trust Company. Pantas kalau di depan Detektif Campbell Berenice menyatakan tidak suka dengan bunyi surat wasiat suaminya, sebab kalau dulu ia mewarisi seluruh harta, kini cuma sepertiganya. 

Namun, di mana pun keluarga mencari, mereka tidak berhasil menemukan surat wasiat asli tahun 1977 maupun 1970. Yang ada cuma salinan-salinannya. Sementara itu para karyawan dengan sedih melihat keluarga mengaduk-aduk kantor tempat mereka bekerja pada saat mayat masih belum diperabukan. 

Yang ditemukan keluarga cuma tetek bengek dan uang yang diselipkan di sana-sini oleh Franklin Bradshaw yang eksentrik itu.

 

Istri, anak, cucu, sama saja 

Bradshaw sebenarnya mempunyai sembilan saudara, tetapi tinggal dua yang masih hidup. Seorang di antaranya, Bertha, segera menasihati Berenice agar meminta jasa pengacara, demi kebaikan Berenice dan anak-anaknya, namun janda Franklin menolak. 

Hari Senin itu Clive Davis dan Neil Swan yang mengetahui diri mereka termasuk orang yang dicurigai lantas datang menghadap Detektif Joel Campbell. Polisi sudah tahu sedikit perihal kemelut dalam keluarga Franklin Bradshaw dari Doug Steele dan kini dua karyawan kepercayaan lain merasa tidak bisa lain daripada menceritakan apa yang terjadi pada musim panas 1977 di gudang Bradshaw. 

Beberapa waktu sebelum musim panas 1977 itu majikan mereka dengan bangga memperlihatkan rapor putra-putra Frances, yaitu Larry dan Marc. Kedua anak itu pandai di sekolah. Ibu mereka pun dulu begitu. Franklin senang keduanya ingin membantu di gudang selama liburan musim panas. Franklin mengharapkan kedua anak itu bisa meneruskan usahanya. 

Keduanya tiba dan Franklin memanjakan mereka. Namun segera ketahuan bahwa Larry mencuri sebagian uang yang akan disetorkan ke bank oleh seorang karyawan. Mereka juga kepergok menggerataki laci-laci. Beberapa waktu kemudian ketahuan bahwa cek-cek Franklin hilang, begitu juga saham-saham. Cek-cek itu ternyata sudah diuangkan di New York oleh Frances, dengan tanda tangan palsu. Saham-saham yang kemudian ketahuan dicuri ternyata sudah dijual. Franklin kebobolan AS $ 300.000. Setelah peristiwa itulah Franklin membuat surat wasiat baru yang tidak mencantumkan Frances sebagai ahli waris. la menyuruh seorang karyawan mengetikkan surat wasiat itu. 

Memalsukan dan mencuri saham pernah dilakukan pula oleh Frances pada masa silam, yaitu ketika ia membantu di tempat ayahnya. Bahkan Berenice, janda Franklin, pernah juga memalsukan tanda tangan suaminya, sedikitnya dua kali, yaitu setelah kedua cucunya ketahuan mencuri, sehingga suaminya tak mau membiayai sekolah mereka. Uang hasilnya sekitar AS $ 7.000 dikirim kepada Frances. Berenice pun pernah kepergok karyawan bernama Nancy Jones sedang menggerataki lemari file Franklin pada masa itu, padahal tadinya setahu Franklin dan para karyawan, kunci file itu cuma satu, milik Franklin sendiri. Nancy Jones adalah karyawan yang diminta Franklin mengetikkan surat wasiat barunya. 

Selasa siang giliran Marilyn yang diwawancarai. Ia lebih terus terang daripada para karyawan. Kata Marilyn, Frances yang tidak bekerja itu memeras Berenice. Frances yang berulang-ulang membutuhkan perawatan psikiater itu, orangnya bisa kasar, bisa halus. Walaupun ia sering kasar kepada ibu dan anak-anaknya, namun ia bisa memeras mereka agar mau menuruti keinginannya. Kalau tidak dituruti, orang bisa merasa berdosa kepadanya. 

"Apakah Anda menaruh curiga kepada Clive Davis dan Neil Swan?" tanya Campbell. 

"Tidak," jawab Marilyn tegas. Ia juga menceritakan bahwa bersama Elaine ia sudah memeriksa surat-surat ayah mereka dan bahwa ibunya tidak menghendaki mereka berdua menginap di rumah ibu mereka kalau Frances sudah datang, karena ibu mereka khawatir mereka bertengkar dengan Frances. 

Marilyn ternyata tahu apa yang terjadi di gudang pada musim panas tahun lalu. Elaine pun diwawancarai. Berbeda dengan Marilyn, ia lebih tertutup. Namun, seperti Marilyn dan para karyawan, ia tidak percaya ayahnya dibunuh perampok. Seperti Marilyn dan para karyawan, ia yakin yang membunuh ayahnya ialah Larry atas suruhan Frances. 

Para detektif berpikir: Betulkah begitu? Semua orang menuduh demikian, tetapi bukankah yang lain pun patut dicurigai?

 

Tak ada pengacara datang 

Sebenarnya sejak mayat Franklin Bradshaw ditemukan, polisi sudah memeriksa hotel-hotel di sekitar tempat itu. Siapa tahu di antara penginap ada orang yang patut dicurigai. Ternyata tidak ada. 

Hasil pengambilan sidik jari di kantor Bradshaw pun tak mengungkapkan sesuatu. Polisi tidak bisa menemukan orang yang menyaksikan kepergian Franklin Bradshaw dan Larry dari rumah Bradshaw di Glimer Drive, sehingga tidak bisa mengecek pukul berapa Bradshaw pergi dan pukul berapa Larry pergi. Menurut kesaksian Don, Jean, dan Craig Bradshaw, Berenice bercerita bahwa sesaat setelah Franklin pergi, ia menyiapkan sarapan untuk cucunya yang harus berangkat pergi ke tempat latihan terbang, tetapi kepada polisi Berenice memberi keterangan bahwa Larry berangkat pukul 10.00. 

Apakah ia terlibat atau cuma ingin melindungi cucunya? Campbell menanyakan jam keberangkatan Larry sekali lagi kepada Berenice dan Larry. Mereka bersikeras Larry berangkat pukul 10.00. 

Hari Rabu jenazah Franklin Bradshaw dikremasi. Sepulang dari mengantarkan jenazah, keluarganya menerima orang yang menyatakan ikut berduka cita di Gilmer Drive. Jelas kelihatan bahwa keluarga itu tidak akur. Frances dan Berenice berada di pihak satu, sedangkan Marilyn dan Elaine di pihak lain. Namun, sore itu Berenice dan Frances pun sudah saling bentak, sedangkan Larry tidak diacuhkan oleh ibunya, seakan-akan ia tak ada. 

Sore itu Campbell meminta Frances datang dan menanganinya dengan hati-hati. Berlainan dengan saudara-saudaranya dan para karyawan, Frances yakin ayahnya dibunuh oleh perampok, karena seperti kata ibunya, tempat itu daerah rawan. Ia ditanyai perihal pencurian yang dilakukan oleh anak-anaknya dan juga tentang pemalsuan cek. 

"Ibu saya pun melakukannya sejak dulu-dulu,"' jawabnya. Singkatnya polisi tidak berhasil mendapat keterangan yang berarti dari Frances Schreuder. 

Surat wasiat Franklin Bradshaw yang dibuat tahun 1970 maupun 1977 tetap tidak bisa ditemukan, sedangkan Walker Bank menyatakan tak pernah dihubungi soal itu. Para pengacara pun tak ada yang datang untuk memberi tahu bahwa mereka memegang surat yang asli. 

Campbell pikir, mungkin Bradshaw membuatnya tanpa diperlihatkan kepada pengacaranya, atau siapa tahu sengaja dilenyapkan? Campbell teringat pada gembok-gembok di gudang yang terbuka. Menurut Doug, gembok-gembok itu pasti terkunci waktu ia tinggalkan. Untuk mengeceknya, Campbell menanyai karyawan yang pulang paling akhir pada hari Sabtu. Karyawan itu pulang lebih dulu dari Franklin Bradshaw. Sebelum pulang ia memeriksa apakah pintu-pintu sudah digembok. Memang semua sudah terkunci. 

Campbell menanyai Larry, apakah ia datang ke gudang untuk membuka pintu-pintu itu? Larry menyangkal. Ia tidak punya kuncinya, katanya.

 

Elaine mengancam 

Bulan demi bulan berlalu tanpa ada kemajuan. Semua anggota keluarga Bradshaw sudah kembali ke kediamannya masing-masing. Bulan Agustus 1978 Larry masuk Lehigh University (universitas tempat dulu Lee Iacocca, mantan chief executive dari Chrysler, belajar). 

Berenice dengan pertolongan para pengacaranya sudah bisa menikmati uang suaminya dengan leluasa. Toko-toko suku cadang suaminya sudah dijual. Seluruh harta Franklin Bradshaw jumlahnya ± AS $ 25 juta, walaupun banyak orang berpendapat toko-tokonya mestinya bisa menghasilkan lebih banyak, kalau tak dijual buru-buru. 

Kemudian terjadi suatu peristiwa: Marc yang pandai di sekolah menengah berasrama di Kent, Connecticut, ternyata begitu lulus lantas membongkar toko berulang-ulang sehingga ditahan polisi. Ia diketahui juga pernah memaksa temannya minum racun dan berniat meledakkan laboratorium. Akibatnya, namanya dihapus dari daftar alumni dan ia tak jadi diterima di Trinity College di Hartford, Connecticut. 

Namun, Marc selalu boleh pulang ke rumah Frances. Anehnya, Larry tak boleh pulang, sehingga ia harus berlibur di mana-mana dan berusaha setengah mati untuk bisa diterima oleh ibunya. Perlakuan seperti itu diterima Larry sejak ia masih awal remaja, bukan baru-baru ini saja. 

Kalau dulu neneknya selalu mau menerimanya, kini neneknya itu pun dingin saja. Larry jauh-jauh mencari tempat ibunya berlibur bersama neneknya, tetapi ternyata ia cuma disuruh enyah dengan dibekali uang AS $ 50 oleh Berenice, sehingga terpaksa tidur di pantai. 

Berenice pergi liburan dengan putrinya, karena rumahnya sedang didandani: diberi AC, garasi, dsb. Berenice ingin menikmati sisa hidupnya dengan memanfaatkan uang warisan. Sementara itu Frances yang ingin diterima di lingkungan orang-orang besar seperti Patricia Kennedy dsb. mulai menyumbangkan ribuan dolar untuk amal. Uang yang dipakai untuk sumbangan itu uang ibunya. Tampaknya Berenice selalu siap memberi uang kepada putri bungsunya itu. Tahu-tahu Larry yang sedang belajar di Lehigh menganiaya teman sekamarnya, Fred Salloum, yang ia curigai mau membunuhnya. Kepala teman sekamar itu ia pukuli dengan palu, sehingga hampir mati. 

Dengan tangan terborgol Larry dibawa ke kantor polisi. Di sana ia menyatakan Fred itu mata-mata polisi. Dalam kamar Larry polisi menemukan catatan harian yang menceritakan betapa tak betahnya ia semasa di sekolah menengah. Selain itu ada buku yang biasa dipakai menempelkan foto-foto atau gambar-gambar, tetapi isinya ternyata semua tulisan yang pernah muncul di koran perihal pembunuhan Franklin Bradshaw. Polisi setempat menghubungi Joel Campbell di Salt Lake City. 

Saat itu Larry sudah tenang lagi dan para dokter menganggap ia tak perlu dirawat di rumah sakit. Ia menyatakan tak menyesal menganiaya temannya, malah menyesal tak membunuhnya, karena katanya, Fred memperkosa kekasih Larry, Kathy van Tyne. 

Padahal Kathy sama sekali bukan kekasih Larry. Ia bahkan selalu menghindar dari Larry karena ia sudah mempunyai pacar. Ia juga tak pernah diperkosa Fred. Psikiater yang diminta oleh pengacara untuk memeriksa Larry menyatakan pemuda itu menderita paranoid schizophrenia, tak bisa melihat kenyataan, mengalami halusinasi dan delusi, sehingga perlu dirawat dengan obat maupun psikoterapi. 

Setelah dinyatakan cukup waras, Larry dihadapkan ke pengadilan. Ia dinyatakan bersalah mencoba melakukan pembunuhan tanpa direncanakan, bersalah melakukan penganiayaan berat, dan bersalah membahayakan jiwa orang lain. Larry dihukum 3,5 tahun penjara. 

Pada bulan Januari 1979 Elaine Drukman heran, mengapa dividen dari saham-saham Mountain Fuel atas nama putra-putranya begitu kecil. Dengan pertolongan FBI ia berhasil mengetahui apa yang terjadi. Ternyata Frances dengan salinan surat kelahiran Elaine membuka rekening bank di New York dan tempat-tempat lain. Dengan surat-surat palsu dan tanda tangan palsu ia menjual 700 dari 800 saham milik putra-putra Elaine. Uangnya dimasukkan ke rekening-rekening itu, lalu dipindahkan ke rekeningnya sendiri. 

Elaine mengancam: ia akan menuntut adiknya itu, kecuali kalau Frances mau mengganti saham-saham itu. Frances setuju, namun FBI tidak mau menerima cara damai macam begini. Berenice yang sedang dalam perjalanan keliling dunia mendapat kabar. Ia marah kepada Elaine, yang dikatakannya berlaku kejam terhadap adiknya. 

Marilyn dan Elaine Drukman makin lama bertambah yakin bahwa Larry adalah pembunuh ayah mereka atas suruhan Frances. Marilyn penasaran. Ia pergi ke rumah ibunya, memeriksa ruang bawah tanah tempat Larry dan Frances sering mengurung diri setelah Franklin terbunuh. Siapa tahu di sana ditemukan senjata yang dipakai membunuh ayahnya. Ternyata harapannya itu sia-sia. Yang ditemukannya cuma serenceng kunci. Ia menelepon Joel Campbell untuk memberi tahu. Ternyata kunci itu kunci gudang tempat Franklin Bradshaw dibunuh.

 

Marilyn ditelepon orang yang sakit hati 

Ketika harapan untuk menemukan pembunuh Franklin bertambah tipis, tahu-tahu Marilyn mendapat telepon dari seorang bernama Richard Behrens. Pria itu sahabat Frances sejak Frances masih menjadi Ny. Gentile. 

Behrens mengutarakan kekesalannya kepada Marilyn. Katanya, Frances mengajaknya membuka rekening bersama, simpanan bersama di bank. Tahu-tahu semua simpanan itu dikuras oleh Frances. Marilyn lantas mengemukakan teorinya kepada Behrens perihal Larry membunuh Franklin Bradshaw. 

"Kau salah. Bukan Larry, tetapi Marc," kata Behrens. "Senjatanya ada padaku di sini." 

Nomor seri senjata itu, kata Behrens, N 4281919. Ia juga punya sekotak peluru yang ditinggalkan padanya oleh Marc. Katanya, Marc membawa senjata itu dari Salt Lake pada minggu keempat bulan Juli untuk ditinggalkan di tempatnya. Behrens menyerahkan senjata itu kepada Marilyn. 

Menurut Behrens, Marc membelinya dari seorang "sheriff". Ternyata di kantung tempat senjata itu ada kertas dengan tulisan Marc: 

Dr. Herman Cavenaugh 

1805 Maberry 

Midland, Texas 

(915) 555 0700. 

Kata Behrens, senjata itu mungkin dibeli di Midland oleh Marc, yang waktu itu menginap di rumah Cavenaugh. Marilyn melapor pada Campbell. Senjata itu berhasil ditelusuri dan ternyata betul dibeli dari seorang alat negara! 

Campbell meminta ahli peluru untuk mencocokkan peluru yang keluar dari senjata itu dengan peluru dari dalam tubuh Franklin Bradshaw. Tanggal 17 November 1980 Campbell diberi tahu bahwa peluru dari punggung Bradshaw cocok dengan peluru dari senjata itu.

 

Behrens ganti kubu 

Ke mana Marc? Setelah ditolak masuk Trinity College, ia bekerja setahun sebagai kurir Mitsubishi Bank, tetapi tahun 1980 ia berhasil juga diterima di Trinity. Ia diciduk. Pengacaranya berhasil mengeluarkannya dari kurungan dengan jaminan AS $ 100.000. Ia tinggal bersama ibunya dan juga dengan Behrens, yang waktu itu sudah berhasil dirayu oleh Frances dan menyatakan menarik pulang percakapannya dengan Joel Campbell yang direkam pada tanggal 3 Desember 1980. Behrens berdalih bahwa ia mengeluarkan pernyataan itu karena terbujuk tawaran besar dari Marilyn. Marilyn sejak awal memang menyatakan akan memberi hadiah AS $ 10.000 kepada orang yang bisa memberi tahu pembunuh ayahnya. 

Campbell tentu saja penasaran. Ia lantas memeriksa daftar penumpang pesawat yang datang ke Salt Lake City pada hari Franklin dibunuh dan beberapa hari sebelumnya. Ternyata seorang penumpang Continental Airlines Flight 67 yang berangkat dari Midland tanggal 22 Juli 1978, pukul 15.15, adalah Gentile/L. Bukankah nama asli Larry dan Marc Schreuder adalah Lorenzo dan Marco Gentile? (Schreuder adalah nama bekas ayah tiri mereka, yaitu suami kedua ibunya). Apakah Marc bepergian dengan memakai nama Larry? 

Tiket pesawat itu dijual oleh American Airlines di New York City, tempat tinggal Frances. Diketahui pula seseorang bernama L. Schreuder meninggalkan New York City dengan United Airlines lewat Denver menuju Midland. Dari pengecekan pada keluarga Cavenaugh di Midland diketahui Marc tiba tanggal 20 Juli 1978 dan meninggalkan tempat itu tanggal 22 Juli 1978 antara pukul 15.00 dan 16.00.

Pada daftar penumpang United Airlines dari Salt Lake City tanggal 23 Juli 1978, pukul 09.25, ditemukan nama L. Schreuder. la ganti pesawat di Denver, Midland, dan Dallas sebelum tiba di New York. Tiketnya dipesan di New York City sejak tanggal 13 Juli. Marc melarikan diri, tetapi berhasil juga diciduk dan diajukan ke pengadilan sebagai orang dewasa yang dituduh melakukan pembunuhan tingkat pertama.

 

Gonta-ganti pesawat dan taksi 

Pemilik lama .357 Magnum mengenali Marc sebagai pembeli senjatanya, begitu pula dua orang saksi penjualan. Senjata itu dibeli Marc tanggal 22 Juli 1978 di Midland sekitar pukul 10.00. 

Diajukan juga seorang saksi bernama Myles Manning, yang menurut Behrens pernah diupah AS $ 5.000 oleh Frances untuk membunuh Franklin Bradshaw. Manning menerima upah itu, tetapi tidak melaksanakan tugasnya. Menurut Behrens, peristiwa itulah yang membuat Frances merasa perlu pembunuhan itu dilakukan oleh orang dalam. 

Frances berteriak-teriak histeris, namun menurut psikiater ia tidak pernah dirawat di rumah sakit. 

Doug Steele diminta memberi kesaksian perihal pencurian dua cek @ AS $ 10.000 oleh Marc yang sangat mengecewakan Franklin Bradshaw pada musim panas 1977. 

Ketika jelas kesalahan Marc membunuh kakeknya tidak bisa disangkal lagi, pengacaranya, David Frankel, menyatakan Marc disuruh oleh ibunya. Jadi Frances yang mengatur pembunuhan itu. Sudah sejak kira-kira satu setengah tahun sebelum pembunuhan itu ibunya berkata bahwa mereka akan menjadi gelandangan kalau Franklin Bradshaw tidak dibunuh, sebab menurut surat wasiat baru si kakek, mereka tidak akan kebagian apa-apa. Marc takut nasibnya akan seperti Larry yang tidak diterima oleh ibunya. Jadi sedapat mungkin ia berusaha mengikuti tuntutan ibunya itu. Marc dan Larry bukanlah anak-anak yang populer dalam pergaulan. Mereka selalu ditolak teman dan Marc merasa ibunya merupakan miliknya satu-satunya. 

Menurut Frankel, tanggal 22 Juli 1978 itu dari bandara Marc menginap di hotel yang dipesan oleh Larry. Ia memakai nama palsu David Jablonski. Paginya ia pergi ke gudang kakeknya dengan taksi. Ia berganti taksi tiga kali dan tiba antara pukul 06.00 dan 06.30. 

Marc menyesal setelah membunuh. Kakeknya, katanya, tak seburuk yang digambarkan ibunya. Selesai membunuh ia pulang ke New York. Ibunya tidak ada di rumah, sedang berlibur di pantai dengan Behrens. Lama sekali mereka baru muncul. Ibunya tahu tugasnya sudah dijalankan dengan baik dari Larry yang menelepon dari Salt Lake City. Begitu bertemu dengan ibunya, Marc dipeluk lama sekali dan diciumi. Belum pernah ia mendapat perlakuan seperti itu. Ibunya sangat senang, sedangkan Marc sendiri menangis tersedu-sedu. 

Setelah membunuh, Marc merasa dihantui dan ia berbuat yang bukan-bukan untuk meredakan kegelisahannya. 

Marc dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan tingkat dua.

 

Isi koper Larry 

Kini tiba giliran Frances untuk berhadapan dengan yang berwajib. Bulan November 1982 secara resmi ia ditahan dengan tuduhan melakukan pembunuhan tingkat satu. 

Sekarang kita lihat keadaan di bekas asrama Larry. Tiga tahun setelah Larry menganiaya teman sekamarnya, ibu asrama yang baru berniat bebenah. Barang-barang di gudang asrama yang sudah lama tidak diambil pemiliknya akan dibuang-buangi. Ketika koper Larry dibuka, ternyata di dalamnya didapati surat wasiat asli yang dibuat Franklin Bradshaw tahun 1970. Cepat-cepat ibu asrama menelepon jaksa yang dulu menuntut Larry. Jaksa menanyai Larry, dari mana ia mendapat surat wasiat itu. Kata Larry, ia "menemukannya" di kantor kakeknya pada musim panas 1977, beberapa hari sebelum pembunuhan. Ia tidak mencurinya, katanya, cuma mengambilnya pada saat mencari uang. 

Ketika ditanyakan perihal surat wasiat tahun 1977, Larry cuma tersenyum. Katanya, ia tidak tahu. Selain karyawan, ada orang lain yang tahu bahwa surat wasiat tahun 1977 memang ada, yaitu Sylvia Jean Christensen, adik tiri Franklin Bradshaw. Beberapa bulan sebelum menemui ajalnya, Franklin menunjukkan surat wasiat itu kepadanya. Mereka berbicara tentang Frances yang tidak dicantumkan sebagai ahli waris. 

Sementara itu Berenice Bradshaw yang sudah tua itu berusaha menyogok Doug Steele agar menarik keterangannya tentang surat wasiat tahun 1977. Ketika Doug menolak, Berenice mengancam. Doug tidak bisa bergeming. Franklin Bradshaw laksana ayah baginya. Dulu Doug tidak kemaruk harta, sekarang pun tidak. 

Akhirnya tiba juga saatnya Frances diseret ke pengadilan. Setelah mendengarkan keterangan para saksi, antara lain Behrens dan Marc, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

(Jonathan Coleman)

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246425/demi-ibu-cucu-bunuh-kakek" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650983864000) } } }