array(9) {
  [0]=>
  object(stdClass)#81 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3805148"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#82 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/patrick-mahon-bodoh-atau-abnorma-20230711015325.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#83 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(149) "Seorang pria yang sudah keluar-masuk penjara memiliki pacar seorang wanita baik-baik. Suatu kali wanita itu ditemukan telah terbunuh dan termutilasi."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#84 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/patrick-mahon-bodoh-atau-abnorma-20230711015325.jpg"
      ["title"]=>
      string(38) "Patrick Mahon, Bodoh ataukah Abnormal?"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-07-11 13:53:35"
      ["content"]=>
      string(27201) "

Intisari Plus - Seorang pria yang sudah keluar-masuk penjara memiliki pacar seorang wanita baik-baik. Suatu kali wanita itu ditemukan telah terbunuh dan termutilasi. Polisi harus mencari kesesuaian antara dua fakta ini.

----------

Kisah di bawah ini ditulis oleh Robin Squire, penulis perkara-perkara kriminal, dianggap mempunyai sesuatu keistimewaan. Karena itu, ia memasukkannya ke dalam kategori “pembunuhan klasik”. Memang kisah pembunuhan yang kami sajikan kali ini, menunjukkan ciri-ciri yang cukup unik.

Tindakan-tindakan si pembunuh begitu bodoh, aneh, dan sekaligus mengerikan. Di sisi lain, dia pun memperlihatkan kecerdikan. Pembunuhan diaturnya sedemikian rupa, hingga bisa diselesaikan tanpa ada orang-orang yang bisa memberikan keterangan atau kesaksian. Kecuali si korban tentu saja. Namun dia sudah di alam baka hingga mustahil dapat memberikan kesaksian. Tapi akhirnya pembunuh tersebut tertangkap juga — dengan cara yang cukup aneh.

Patrick Mahon adalah seorang kriminal profesional yang bernasib baik. Tampan, ramah, dan pandai bergaul. Ia mempunyai bakat di bidang organisasi hingga berhasil mendapat pekerjaan di suatu perusahaan. Dan di samping itu, Patrick mempunyai seorang istri yang amat mencintainya dan penuh toleransi. Sang istri senantiasa menerima dengan tangan terbuka setiap kali Patrick keluar dari penjara.

Patrick terdorong melakukan kejahatan karena cara-cara hidupnya. Dia mempunyai serangkaian kegemaran yang mahal, seperti suka mengadakan pesta dan minum-minum dengan sobat-sobatnya. Dia pun seorang Don Juan yang penuh nafsu.

Karena penghasilannya sebagai pegawai kantor tak mencukupi bagi semua hobinya yang menghabiskan uang, maka Patrick mencari penghasilan tambahan dengan kejahatan. MuIa-mula hanya melakukan penipuan kecil-kecilan di sana sini, main cek kosong, menyalahgunakan kepercayaan orang, dan lainnya. Sering kali ia ketahuan, diperkarakan, dan masuk penjara. Hukuman kurungan kian lama kian bertambah panjang.

Di penjara, rupanya Patrick mendapat “pelajaran” dari rekan-rekan narapidana. Setelah keluar dari penjara, dia semakin nekat. Patrick merampok sebuah bank. Rumah kediaman direktur bank seatap dengan bank tersebut. Seorang gadis pelayan mendengar suara yang mencurigakan. Patrick kepergok oleh pelayan itu sehingga ia memukuli gadis itu sampai terluka parah. Sekali lagi Patrick masuk penjara dengan hukuman 5 tahun kurungan. 

Tapi Patrick tetap “bernasib baik”. Keluar dari penjara, ia masih diterima istrinya dengan pelukan hangat. Selama suaminya di penjara, Nyonya Mahon bekerja pada sebuah firma terkemuka di London. Kini, wanita itu menggunakan seluruh pengaruhnya untuk mendapatkan pekerjaan bagi suaminya di firma yang sama. Usahanya berhasil. Patrick menjadi pegawai di bidang pemasaran.

Begitulah kisah kehidupan perkawinan Patrick dengan istrinya yang penuh toleransi. Hanya satu hal saja yang tidak bisa ditoleransi oleh Nyonya Mahon. Itu adalah soal Patrick yang suka main perempuan.

Di sinilah kita mulai memasuki liku-liku perkara kriminal ini.

Nyonya Mahon sia-sia mengharapkan suaminya bisa menyingkirkan sifat Don Juan-nya. Ada petunjuk-petunjuk kuat bahwa Patrick tidak setia lagi padanya. Maka Nyonya Mahon menyewa seorang detektif swasta.

Di tahun 1930-an jika seorang wanita seperti Nyonya Mahon sampai menyewa seorang detektif, tujuannya biasanya hanya satu yaitu mau bercerai dari suaminya. Untuk itu, ia perlu mengajukan alasan serta bukti yang kuat.

Rupanya kejengkelan Nyonya Mahon terhadap sang suami sudah memuncak. Walaupun anggapan orang terhadap perceraian sudah tidak seperti di zaman Ratu Victoria (ketika itu di Inggris perceraian tak dapat diterima oleh masyarakat), tapi di zaman itu, perceraian masih dianggap serius. Seorang wanita yang bercerai tidak bisa mengharapkan bahwa semua pintu di lingkungannya akan selalu terbuka untuknya. 

Ketika memberikan instruksi-instruksi kepada sang detektif, Nyonya Mahon menyerahkan selembar karcis titipan bagasi di sebuah stasiun. Katanya, karcis itu terjatuh di suatu tempat di rumahnya. Mungkin apa yang dikatakan Nyonya Mahon itu tidak benar. Barangkali dia menemukan karcis tersebut, karena wanita itu terus-menerus menyelidiki gerak-gerik suaminya. Dan setiap kali suaminya terlena atau tidak ada, Nyonya Mahon lantas menggeledah koper, tas, atau pakaiannya. 

Bagaimanapun juga, karcis bukti penitipan bagasi itu kini berada di tangannya. Pada karcis tersebut tercantum bahwa barang yang dititipkan berupa koper. Barangkali koper itu milik seorang wanita, pacar Patrick, pikir Nyonya Mahon yang penuh kecurigaan. 

Atas instruksi direktur perusahaan tempatnya bekerja atau sering juga atas inisiatifnya sendiri, Patrick kerap keluar kantor atau bahkan keluar kota. Siapa tahu, pada waktu tugas luar itu Patrick diam-diam menjalin kasih dengan seseorang perempuan.

Siapa tahu, koper tersebut milik kekasihnya dan dititipkan di sebuah stasiun saat kencan. Mungkin Patrick dan sang kekasih bertemu di stasiun itu lalu dari sana menuju ke suatu tempat untuk bermesraan di sana. Siapa tahu…

Detektif swasta itu segera bertindak. Ketika dia menuju ke stasiun yang bersangkutan, angan-angannya melambung. Mengecek siapa pemilik koper lalu mengambil tindakan pertama, pikirnya. Setelah itu akan menyusul Iangkah-langkah berikutnya. Ia akan mencari alamat pemilik koper, membayangkan ke mana-mana, mencatat di mana saja “kekasih” itu berkencan dengan Patrick. Ia juga akan menyelidiki sudah sejauh mana hubungan keduanya.

Itulah yang dibayangkan oleh sang detektif. Tapi kenyataannya Iangkah-langkah yang harus ditempuhnya itu pendek sekali. Di stasiun yang bersangkutan, setelah menunjukkan tanda bukti titipan bagasi, detektif itu menerima sebuah koper kecil. Koper itu memiliki inisial E.B.K. Ketika dibuka ternyata berisi pakaian wanita yang berlumuran darah dan pisau tukang daging.

Detektif itu segera menutup koper tersebut dan langsung menuju ke pos polisi yang terdekat untuk melapor dan menyerahkan penemuannya. Sudah barang tentu bahwa orang yang pertama-tama diperiksa polisi adalah Patrick Mahon. 

Lelaki itu memberikan keterangan sebagai berikut:

E.B.K. adalah singkatan dari Emily Beilby Kaye. Wanita ini tidak menikah, umur kira-kira 35 tahun, bekerja pada suatu perusahaan yang banyak berhubungan dengan perusahaan tempat Patrick bekerja. Emily tidak terlalu cantik, tapi wataknya tenang, riang, peramah, dan bebas dalam pergaulan.

Dalam tugas-tugasnya mengurusi soal-soal dagang dengan perusahaan tempat Emily bekerja, Patrick berkesempatan mengenal wanita itu dan menjalin hubungan akrab. Beberapa kali Emily diajaknya makan bersama di sesuatu restoran. Hubungan makin intim, sampai akhirnya Emily diajak Patrick tamasya berdua dengan perahu ke suatu tempat yang sepi. 

Begitulah cerita terjalinnya hubungan antara Emily dan Patrick. Tentu saja itu menurut Patrick karena Emily sudah meninggal dan tidak bisa memberikan kesaksian.

Lelaki itu menekankan bahwa Emily Kaye sepenuhnya menginginkan hubungan itu. Wanita itu toh sudah dewasa, bahkan sudah berusia 35 tahun dengan cukup banyak pengalaman asmara.

Dengan membeberkan latar belakang seluruh peristiwa, Patrick berencana untuk menampilkan dirinya yang “bersih” dan tidak bersalah di hadapan polisi. 

Emily Kaye tampaknya benar-benar mencintai Patrick. Dan lelaki ini, menurut keterangannya sendiri, juga menyukai wanita itu dalam banyak hal. Namun ia tidak pernah terlalu mengacuhkannya. Ini pola biasa dalam hubungan antara seorang wanita yang kesepian dan seorang lelaki Don Juan. Apalagi mengingat bahwa Emily bukan lagi gadis muda belia dan sudah tidak banyak mempunyai harapan akan mendapatkan seorang suami.

Patrick menjalankan suatu usaha dagang bersama Emily, antara lain dengan berspekulasi di bidang tukar-menukar uang franc Perancis. Keuntungannya dibagi dua. Dua kali Emily memberi Patrick cek bank sebesar £ 100 untuk keperluan dagang mata uang asing. Apakah benar keterangan ini, tentu saja sukar untuk memeriksanya. Sebab satu-satunya orang yang bisa menilai keterangan itu adalah almarhumah Emily Kaye.

Bagaimanapun juga Patrick masih dimanjakan oleh sang nasib. la mempunyai pekerjaan terhormat dan sukses dengan pekerjaannya. Di rumah selalu ditunggui istri yang setia. Di tempat lain mempunyai seorang kekasih yang melimpahinya dengan kemesraan dan uang.

Tapi keadaan cepat berubah karena dua hal. Pertama, Emily mengandung dan kedua, wanita itu dikeluarkan dari kantor karena kehamilannya.

Sukar melukiskan perasaan seorang wanita yang hamil tanpa suami di Inggris pada tahun 1930-an. Di zaman Victoria, orang memandang anak dari seorang ibu tanpa suami sebagai penjahat sejak lahir.

Meski zaman sudah berubah, tetapi di tahun 1930-an masyarakat di Inggris belum bisa menerima dengan baik “wanita yang terjerumus”. Mereka dianggap pemburu kenikmatan badani. Padahal menurut anggapan umum di waktu itu, seorang wanita selayaknya menganggap seks pertama-tama sebagai kewajiban perkawinan. Seakan-akan kepuasan seks dalam perkawinan hanya layak dinikmati oleh lelaki saja. 

Seorang ibu tanpa suami dicemoohkan oleh masyarakat. Pekerjaan-pekerjaan terhormat tertutup baginya. Paling-paling dia hanya bisa mengharapkan pekerjaan sebagai pelayan rumah tangga, itu pun dengan gaji rendah. Padahal Emily Kaye seorang yang berpendidikan dan pernah menduduki posisi sosial terhormat.

Terdorong oleh situasi itu dan karena cintanya yang tulus terhadap Patrick, maka Emily mendesak lelaki itu untuk menikahinya secara resmi. Untuk menghindari pergunjingan orang, Emily mengajak Patrick beremigrasi ke Afrika Selatan. Di sana mereka tidak dikenal orang dan dapat memulai hidup baru dengan masa depan cerah. Demikian saran dan desakan Emily.

Tapi sayangnya, cinta Patrick tidak terlalu besar untuk membuatnya bersedia melaksanakan saran-saran itu. Bukankah dia telah memiliki pekerjaan di perusahaan terhormat? Dan dengan segala ketidaksetiaannya, rupanya Patrick Mahon pada dasarnya menaruh cinta tulus kepada istrinya. Atau sedikitnya ia merasa banyak berhutang budi dan berterima kasih kepada istrinya yang setia itu.

Emily mencari upaya untuk menekan kekasihnya. Dan — setelah menyelidiki masa lalu Patrick — wanita itu mengetahui bahwa kekasihnya pernah dipenjarakan 5 tahun gara-gara mencoba merampok bank dan melukai seorang gadis.

Informasi ini digunakan oleh Emily untuk mendesak Patrick meninggalkan Inggris bersamanya. Kalau Emily lapor kepada majikan Patrick tentang masa lalu pegawainya yang satu ini dan kalau Emily memberitahukan Nyonya Mahon perihal kehamilannya, maka Patrick tidak bisa berbuat lain kecuali mengabulkan permintaan Emily.

Semua cerita ini masih tetap berasal dari Patrick sendiri dalam keterangannya kepada polisi. Terdesak oleh Emily, Patrick beli cincin pertunangan. Dia menyebarkan cerita kepada teman-teman mereka bahwa Emily telah bertunangan dengan seorang laki-laki bernama Derek Patterson. Dalam waktu singkat Emily akan berlayar ke Afrika dengan Patterson.

Setelah itu rencana untuk pindah ke Afrika pudar. Patrick mengajukan dalih bahwa perusahaannya terlibat dalam sengketa. Maka Patrick mau tak mau terpaksa tetap di perusahaannya sampai perkaranya diselesaikan. Sementara itu kehamilan Emily tidak bisa menunggu lebih lama. Bukankah lebih baik menunggu di Inggris sampai si bayi lahir? Ini jauh lebih baik daripada mesti melahirkan bayi di kapal.

Tapi Emily sudah tidak sabar. Untuk menekan kekasihnya, maka wanita itu mengakhiri kontrak sewa apartemennya. Kini Emily tidak punya tempat tinggal. Kedua kekasih mencapai kompromi. Mereka akan menyewa sebuah bungalo di suatu tempat yang terpencil sebagai kediaman sementara. Di sana mereka bisa mematangkan rencana pindah ke Afrika dengan tenang.

Menurut Patrick, gagasan menyewa bungalo itu berasal dari Emily. Tempat tinggal sementara itu jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Di sana, pikir Emily, dia dan Patrick bisa memperteguh ikatan asmara. Hingga Patrick benar-benar jatuh cinta padanya dan akhirnya bersedia pindah ke Afrika.

Bungalo pun disewa. Tapi Patrick “terpaksa” tidak bisa melaksanakan rencana emigrasi. Sementara itu kehamilan Emily makin lanjut dan karena itu, ia menekan Patrick lebih keras lagi. Patrick “akhirnya mengalah” dan pergi ke London untuk menyelesaikan paspor secepatnya. Namun tidak berhasil.

Akhirnya Emily menulis sejumlah surat ke berbagai alamat. Tujuannya adalah memperkuat ikatan Patrick pada janjinya untuk beremigrasi ke Afrika. Salah satu surat itu ditujukan kepada perusahaan tempat Patrick bekerja, isinya tentang permohonan berhenti dari pekerjaan. Emily menyodorkan surat itu dan Patrick tinggal menandatanganinya saja. Tapi Patrick tidak mau.

Nah, maka (sekali lagi kami catatkan bahwa semua keterangan ini berasal dari Patrick Mahon saja) terjadi pertengkaran yang fatal. Emily kalap, kata Patrick. Dan wanita itu melemparkan kapak pemecah batu bara ke arah Patrick. Senjata tajam itu mengenai pundak Patrick. Tangkai kapak patah ketika benda tersebut membentur pintu. Jika keterangan ini benar, lemparan Emily rupanya kuat sekali.

Setelah itu wanita ini menyerang Patrick, mencengkeram muka dan tengkuknya. Pergumulan terjadi. Sampai akhirnya Emily terlempar jatuh; kepalanya terbentur pada tungku batu bara. 

Menurut penyelidikan, tungku tersebut bukanlah benda yang kuat kokoh. Benturan kepala yang keras, seperti yang dikisahkan Patrick, seharusnya membuat tungku itu penyok. Tapi nyatanya tungku itu tidak menunjukkan sesuatu kerusakan.

Begitu Emily jatuh, Patrick menubruknya. Pernyataan Patrick selanjutnya tidak jelas. Katanya, “Saya tidak ingat apa-apa lagi kecuali bahwa kejadian itu seperti mimpi buruk yang menakutkan. Saya melihat darah mengalir dari kepalanya yang terbentur tungku. Saya sungguh tak ingat lagi apalah dia meninggal karena saya cekik atau karena jatuh terbentur tungku.”

Setelah kejadian itu Patrick berkeliaran seperti orang gila di kebun selama beberapa waktu. Setelah itu dia kembali lagi ke kamar dan melihat kepala Emily masih mengucurkan darah. Jika keterangan ini benar, maka berarti Emily masih hidup.

Pihak jaksa meragukan banyak bagian dari keterangan Patrick. Misalnya tentang penyewaaan bungalo di tempat yang terpencil. Bukankah ini petunjuk bahwa Patrick dengan saksama telah merencanakan kejahatannya? Siapa yang menjamin kebenaran keterangan, bahwa ide bungalo itu datang dari Emily dan bukannya dari Patrick sendiri yang memang sudah bermaksud mau membunuh Emily? Di tempat yang sepi dan terpencil, dia bisa leluasa melaksanakan rencana jahatnya.

Entah bagaimana persisnya cara kematian Emily, tetapi yang sangat aneh adalah perbuatan Patrick Mahon selanjutnya setelah dia berhadapan dengan mayat Emily.

Patrick berada di tempat yang terpencil. Tak ada saksi-saksi. Mengapa tubuh korbannya tidak dikuburnya di sesuatu tempat di sekitar sana? Bila dilakukan, polisi akan sukar menyusuri jejak kejahatannya. Dan Patrick menyewa bungalo itu dengan nama palsu, hingga polisi lebih sukar lagi untuk membongkar kejahatan ini.

Banyak pembunuh dalam usaha melenyapkan jejaknya, membuat sesuatu kebodohan hingga akhirnya mereka tertangkap. Tapi kebodohan Patrick Mahon luar biasa, hingga orang bertanya-tanya apakah orang ini waras.

Menurut pengakuan Patrick sendiri, Emily meninggal tanggal 15 April 1930. Lantas, katanya lagi, pada tanggal 17 April dia pergi ke London untuk membeli pisau pencincang daging dan gergaji kecil. Dua alat itulah yang akan digunakan Patrick untuk melenyapkan jenazah Emily.

Setelah itu, dari penyelidikan terbukti secara pasti bahwa Patrick membeli pisau dan gergaji itu bukan tanggal 17 April, tetapi tanggal 12 April.

Data yang terakhir ini paling menentukan nasib Patrick. Sebab data ini dimanfaatkan baik-baik oleh jaksa sebagai dasar kesimpulan bahwa Patrick melakukan pembunuhan secara terencana.

Pelayan toko masih ingat benar peristiwa pembelian pisau dan gergaji itu dan mengenali pula Patrick. Sebab ketika itu toko sudah waktunya tutup. Tapi Patrick mendesak-desak minta dilayani dan tampak tidak sabar hingga membuat pelayan toko jengkel.

Dengan pisau dan gergaji itu Patrick mencincang-cincang jenazah Emily. Entah sebelum ia memulai “operasinya” ini, entah sesudahnya, Patrick pergi ke London untuk berkencan dengan seorang gadis yang dijumpainya di gedung bioskop Richmond. Dan gadis ini dibawanya ke bungalo tempat pembunuhan dilakukan. Di situ, Patrick berzinah dengannya.

Ketika berada di bungalo, perhatian gadis tersebut tertuju pada sebuah pintu kamar yang terkunci rapat. Dia bertanya kepada Patrick, apa isinya. Dijawabnya bahwa ruangan itu berisi buku-buku. Gadis itu cukup puas dengan jawaban Patrick.

Sangat mungkin bahwa yang terkunci dalam kamar itu adalah jenazah Emily yang belum selesai dicincang. 

Setelah itu Patrick menjalani masa yang sangat sibuk: muncul di kantornya, melewatkan sebagian waktu dengan istrinya, dan kembali ke bungalo untuk menyingkirkan jenazah Emily.

Mula-mula ia memutuskan untuk membakar sisa-sisa tubuh korbannya. Rupanya ia berhasil membakar kepala, kedua tangan, dan kakinya. Lalu ia menemui kesulitan karena bungalonya kecil dengan ruang sempit dan tungku kecil pula. Masih tersisa banyak sekali tulang yang tak habis terbakar dalam tungku. Tulang-tulang itu kemudian ditemukan oleh polisi.

Patrick mulai kebingungan, bagaimana melenyapkan sisa-sisa tubuh Emily. Dalam keputusasaannya, lelaki itu mengambil tindakan yang sungguh sukar dipahami orang yang normal.

Tubuh korban dicincangnya menjadi potongan-potongan kecil, seluruhnya tak kurang dari 37 potong. Sebagian ada yang direbusnya. Banyak potongan-potongan daging manusia itu dia masukkan ke dalam tas atau koper. Dengan dibubuhi inisial E.B.K., tas dan koper itu dibawanya ke London dan Richmond. Dari waktu ke waktu, Patrick melemparkan semua tas dan koper itu dari jendela kereta api. 

Ada pula koper yang dititipkannya di suatu stasiun. Lalu Patrick pulang ke rumahnya. Di sanalah karcis titipan bagasi itu terjatuh dari sakunya dan ditemukan oleh istrinya. Atau mungkin juga Nyonya Mahon memeriksa semua saku pakaian suaminya dan kemudian menemukan karcis tersebut.

Di atas belum disebutkan, bagaimana Patrick Mahon akhirnya mengakui segala perbuatannya kepada polisi.

Memang mula-mula Patrick berusaha menghindari. Dikatakannya bahwa dia pencinta anjing dan membawa potongan-potongan daging untuk binatang kesayangan. Tapi polisi mengatakan kepadanya, bahwa daging itu adalah daging manusia. Barulah Patrick Mahon mengakui apa yang terjadi. Tapi ia menyajikan kisah bahwa Emily terbunuh secara tidak disengaja dalam suatu perkelahian seperti disebutkan di atas.

Patrick Mahon diajukan di depan pengadilan di Lewes Assizes. Ketika ditanya mengapa dia begitu tidak berperikemanusiaan terhadap sisa-sisa jenazah bekas kekasihnya, Patrick tiap kali hanya bergumam, “It was horrible. It was horrible.” (Itu mengerikan. Itu mengerikan).

Keterangan-keterangan Patrick di dalam sidang kerap kali saling bertentangan, terutama dalam tanya jawab gencar dengan jaksa yang dengan berbagai cara berhasil menjebak tertuduh.

Pada suatu saat Patrick jatuh dan menangis tersedu-sedu ketika mengisahkan perbantahan dan perkelahiannya dengan Emily Kaye.

Segi kecil yang menarik dari proses Patrick adalah tanya jawab antara tertuduh dan hakim. Yang terakhir ini menanyai Patrick tentang bungalo yang disewanya dengan Emily di bawah nama palsu Tuan dan Nyonya Waller. Bungalo itu disewanya untuk 2 bulan, walaupun kenyataannya Patrick merencanakan tinggal di sana selama 1 minggu saja.

Patrick menyatakan bahwa setelah seminggu, dia bermaksud mengajak istrinya, Nyonya Mahon yang resmi, berakhir pekan di bungalo tersebut.

“Apakah Anda juga akan menggunakan nama Tuan Waller jika Anda ke sana dengan istri Anda?” Jaksa Henry Curtis Bennett bertanya. 

“Tidak perlu,” jawab Patrick. 

“Andai kata selama Anda dengan istri di sana, datang surat untuk Anda dengan nama Tuan Waller, lantas bagaimana? Apa yang hendak Anda katakan kepada istri?” tanya hakim.

Patrick menjawab bahwa dia akan buka kartu dan membeberkan seluruh peristiwa kepada istrinya sambil minta maaf. Sebab dia sudah bertekad hendak mengakhiri hubungan gelapnya dengan Emily.

Jawaban ini mungkin menerangi salah satu segi watak yang menonjol pada Patrick Mahon. Orang ini tampaknya terlalu optimis. Segala kesulitan, segala kekalutan, juga yang dia timbulkan sendiri, dalam anggapannya akan beres dengan sendirinya seperti dalam suatu mukjizat. Dan dia dapat menerangkan seluk-beluk persoalan kepada setiap orang, tersenyum, minta maaf, dan semua orang akan memahami serta mengampuninya.

Segi lain dari watak Patrick — kalau pengakuannya benar — adalah kelemahannya. 

“Mengapa tidak Anda tidak mengatakan dengan terus terang dan baik-baik jika Anda sudah tidak bisa berhubungan dengan Emily Kaye lagi?” tanya Jaksa Curtis Bennett. 

“Sudah saya katakan,” jawab Patrick lesu. 

“Mengapa tetap ke bungalo dengan Miss Kaye?” 

“Karena saya telah berjanji.” 

“Ini kelemahan dari pihak Anda?” 

“Ya, kelemahan dari pihak saya,” jawab Patrick.

Pada pidato pembelaannya yang terakhir, Tuan Cassels sebagai advokat Patrick, menekankan kepada juri, bahwa mereka tidak boleh mempertimbangkan bahwa Patrick adalah seorang yang amoral dan pembohong. Ini bukan persoalannya. Di depan pengadilan Patrick hanya dituduh sebagai pembunuh. Dan hanya ini saja tuduhan terhadapnya. Tapi pembela Patrick tidak dapat berbuat banyak.

Setelah mengemukakan berbagai segi yang menguntungkan Patrick Mahon, Hakim Avory merujuk pada pertanyaan-pertanyaan Mahon yang saling bertentangan. Apabila seseorang mau dipercaya kata-katanya, maka pertama-tama orang harus mulai dengan bersikap jujur dan berbicara terus-terang, apa adanya.

Juri hanya memerlukan waktu 1 jam untuk mencapai keputusan “bersalah”. Patrick hampir pingsan ketika mendengar hukuman mati dijatuhkan padanya. Dengan lesu dan suara lirih ia menggumamkan protes.

Seperti biasa, diajukan permohonan naik banding, tapi ditolak. Selama hari-hari terakhir dalam penjara, keadaan Patrick sangat buruk. Ia terpaksa digotong ke tempat penggantungan ketika tiba saatnya ia menjalani hukuman.

Dengan pelaksanaan hukuman mati ini, berakhir pula kemungkinan untuk mendalami lebih jauh kasus Patrick Mahon ini. Sukar menentukan sejauh mana dalam pembunuhan ini terlibat unsur patologis (ketidakwarasan jiwa). Mungkin Patrick hanya seorang pembunuh biasa. Hanya cara-caranya melenyapkan jenazah korbannya, dalam sejarah kriminalitas modern, tercatat sebagai cara yang paling bodoh dan tidak efisien.

(Robin Squire)

Baca Juga: Tragedi Sebuah Perkawinan

 

" ["url"]=> string(81) "https://plus.intisari.grid.id/read/553805148/patrick-mahon-bodoh-ataukah-abnormal" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083615000) } } [1]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726679" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-203-1980-40-kalau-20230314072239.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Di usianya yang ke-9, Dillinger bergabung dengan geng dan sejak itu, ia tidak berhenti berbuat onar. Berulang kali masuk penjara dan berhasil kabur." ["section"]=> object(stdClass)#88 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-203-1980-40-kalau-20230314072239.jpg" ["title"]=> string(40) "Kalau Dia Keluar, Saya Menyalakan Cerutu" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-14 07:22:51" ["content"]=> string(34395) "

Intisari Plus - Di usianya yang ke-9, Dillinger bergabung dengan geng dan sejak itu, ia tidak berhenti berbuat onar. Berulang kali masuk penjara dan berhasil kabur, ia menjadi buronan polisi dan FBI selama bertahun-tahun.

----------

Seorang pemilik toko kecil di Mooresville, Indiana, AS, menutup pintu tokonya, menghitung uang yang didapatnya hari itu dan memasukkannya ke sakunya. Ia mematikan lampu tokonya dan menurunkan tirai besi. Ketika itu tanggal 6 September 1924. Seperti biasa, setiap Sabtu pemilik toko yang bernama Morgan itu bercukur di langganannya yang buka sampai malam. Dalam perjalanan ke tukang cukur, entah mengapa, berlainan dari kebiasaannya ia merasa lebih baik pulang dulu untuk menaruh uang. Hal ini dilaksanakannya. Lalu ia pergi lagi. Di depan gereja, ia berpapasan dengan seorang pemuda yang dikenalnya dan ditegurnya: “Hello, Johnnie!”

Johnnie tidak menjawab. Tampaknya ia tidak seperti biasanya. Tiba-tiba saja Morgan mendapatkan sebuah revolver ditodongkan kepadanya oleh lengan kanan Johnnie sedangkan lengan kiri pemuda itu memegang sebuah benda yang ditutupi saputangan. Pasti alat pemukul. 

“Ah, jangan begitu Johnnie! Gila kau?” 

“Duit! Cepat!”

Rupanya tidak mudah bagi Johnnie untuk menakut-nakuti Morgan yang tingginya 1,98 meter dan yang hanya punya uang untuk cukur di saku itu. Mereka bergulat. Sebuah letusan terdengar. Tetangga-tetangga berlarian keluar.

Johnnie kabur ketakutan. la mengira telah membunuh Morgan. Di ujung jalan, sekutunya yang bernama Ed Singleton menunggu di dalam mobil. Ia juga kabur.

Sementara itu Morgan bangun dalam keadaan tidak kurang suatu apapun. Ia bukan marah, malah bergumam dengan sedih: “Ah, anak itu! Sekali ini ia sudah bertindak terlalu jauh....”

Petualangan yang tidak berhasil ini ternyata membawa John Dillinger ke penjara dan kemudian ia berkembang menjadi “musuh masyarakat nomor 1” di AS.

John Dillinger lahir tanggal 2 Juni 1903 di pinggiran kota Indianapolis. Ayahnya pemilik toko P & D yang berkecukupan. Ibunya meninggal ketika Johnnie baru berumur 3 tahun. Tahun 1912 ayahnya menikah kembali. Tahun itu juga, Johnnie yang berumur 9 tahun bergabung dengan geng anak-anak dan ia menjadi pemimpinnya.

Pada umur 9 tahun ini, pemimpin 12 anak nakal ini untuk pertama kalinya berhubungan dengan polisi dan dihadapkan ke pengadilan anak-anak. Tahun berikutnya, ia mengikat seorang temannya di bidang tempat meletakkan benda-benda yang akan digergaji. Mesin gergaji dijalankan dan dihentikan ketika hampir menyentuh tubuh anak malang itu. Kemudian Johnnie mencuri lokomotif, mencuri berpeti-peti wiski dan tiba di sekolah dalam keadaan mabuk. Pada umur 13 tahun ia mencemarkan seorang gadis.

Tahun 1919 ayahnya menjual toko mereka dan pindah ke sebuah rumah peternakan bersama seluruh keluarga. Letaknya di Mooresvile juga. Johnnie masuk perkumpulan pemuda-pemuda Kristen dan menyatakan ingin menjadi pendeta. Tetapi keputusan baik ini tidak bertahan lama. Ia mencuri lagi.

Setelah terlibat dalam pencurian mobil, ia masuk angkatan laut. Tetapi 8 bulan kemudian ia kabur. Ia menemukan pekerjaan di perusahaan mebel dan tergila-gila main bisbol. Ketika itu umurnya 21.

Saat itulah ia bersahabat dengan Ed Singleton, wasit pertandingan-pertandingan bisbol dan kerabat ibu tiri Johnnie. Dengan Singleton ini ia menodong Morgan.

Ia dinyatakan bersalah menjalankan percobaan mencuri, melakukan serangan bersenjata dan mencoba membunuh. Karena itu ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Singleton cuma kebagian 6 bulan.

 

Ketemu gangster kelas berat

Johnnie dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan Pendleton. la minta dipindahkan ke Michigan City, ke sebuah penjara yang lebih keras tetapi mempunyai regu bisbol tangguh. Di sinilah ia berkenalan dengan gangster kelas berat yang merasa senang sekali mengajari seluk-beluk pekerjaan mereka pada pemuda ini.

Di penjara Johnnie bukan penghuni teladan. Sebagai ganjaran atas berbagai ulahnya ia dihukum di kamar gelap. Tetapi tahun 1930 tiba-tiba ia berubah seperti malaikat di seksi 8A yang merupakan bagian pembuatan kemeja. Tapi cuma malaikat di kulit, sebab sebenarnya ia merencanakan pelarian bersama Jenkins, Pierpont dan van Meter. Bukan cuma pelarian yang mereka atur, tetapi juga program perampokan-perampokan yang akan dijalankan setelah melarikan diri. Yang menyusun program cermat ini Pierpont.

Tetapi Johnnie tidak perlu melarikan diri. Kelakuan baiknya dihargai dan permintaannya untuk dibebaskan dengan syarat dipertimbangkannya. Lagipula 200 penduduk terhormat dari Mooresville (seorang di antaranya Morgan!) meminta Johnnie dibebaskan. Semua merasa bahwa Johnnie dimanipulasi oleh Singleton dan bahwa Singleton yang jahat, Johnnie cuma korbannya.

Tanggal 10 Mei 1933, gubernur McNutt menandatangani pembebasan dengan syarat bagi John Dillinger. Ia keluar dari penjara 10 hari kemudian pada saat ibu tirinya meninggal. Ketika itu umurnya hampir 30 tahun.

Pada upacara penguburan ibu tiri yang tidak pernah dicintainya, ia mengesankan semua orang karena sikapnya yang memperlihatkan kebaktian yang besar dari seorang anak terhadap orang tua. Pada hari Minggu, dalam gereja Quaker di kota itu, Ny. Rainer memilih tema “kembalinya si anak hilang” untuk menyambut Johnnie yang berlinang-linang air mata ketika menyatakan kepada wanita itu: “Anda tidak bisa membayangkan betapa besarnya pengaruh Anda bagi saya.”

Setelah memeluk ayahnya dan mengucapkan terima kasih kepada jemaat yang terharu, ia berhubungan dengan William Shaw, pemimpin geng “helm putih”. Pierpont-lah yang memberi rekomendasi.

Tanggal 4 Juli, hanya 2 minggu setelah dibebaskan, Johnnie Dillinger ikut merampok supermarket.

Tanggal 10 Juli pagi mereka merampok New Carlisle National Bank di Ohio. Siangnya giliran sebuah apotek.

Perampokan-perampokan terjadi dengan gencar, sesuai dengan program yang dirancang di penjara. Mereka beroperasi dengan helm putih dan wajah ditutupi kain. Kini Dillinger menjadi pemimpinnya dan mengganti helm putih dengan topi anyaman.

Kemudian di akhir Juni, ia dan William Shaw pergi ke Monticello, Indiana. Dengan muka tidak tertutup mereka mendatangi pabrik Marshall Field. Mereka pura-pura mencari pekerjaan. Tetapi direktur muda, Fred Fisher, bersikap galak karena hari itu hari bayaran. Ketika Shaw akan beraksi, Fisher mengangkat revolvernya. Shaw dan Dillinger kabur ke mobil mereka. Dillinger sempat menembak Fisher sehingga terluka, walaupun ringan. 

Mereka melarikan mobil dengan kecepatan 100 km per jam. Tetapi Shaw tertangkap juga. Dillinger mencoba menolong dengan tembakan-tembakan walaupun kemudian harus kabur. Wajahnya tidak sepenuhnya dikenali.

 

Gaya Maurice Chevalier

Tahun 1933 walaupun ada Bureau of Investigation (yang kemudian menjadi FBI), gangster merajalela di AS yang ekonominya sedang runyam dan terdapat 13 juta orang pengangguran.

Robin Hood dan Jesse James diangkat menjadi pahlawan pada masa itu.

Dillinger yang makin lama makin percaya akan kemampuannya di dunia hitam, beroperasi lagi bersama 2 teman tanggal 17 Juli. Mereka mendatangi bank kecil di Dalesville, Indiana. Wajah mereka tidak ditutupi. Dillinger memakai topi anyaman yang agak dimiringkan sedikit seperti gaya Maurice Chevalier. Tetapi tangannya memegang revolver. Pada kasir yang terperanjat ia berkata: “Hallo, Manis. Ini perampokan.”

Tanpa menunggu gadis itu membuka loket, ia menggasak uang sementara temannya menjaga. Sekali ini gayanya scperti Douglas Fairbanks.

Margaret Good, pegawai di bagian kasir mencatat ciri-ciri penyerangnya. Dari pengakuan seorang gangster yang tertangkap dan keterangan-keterangan Good, kepala polisi Indiana, Matt Leach, melihat titik terang.

Nama “Dan Dillinger” (nama John Dillinger dalam geng) disebarkan ke seluruh negara bagian, gambar muncul di koran-koran. Pencarian terhadap Dillinger dimulai. la mendapat nama julukan “kepala terbakar”.

Mula-mula Matt Leach seperti menjaring angin. Dillinger seperti belut yang meloloskan diri dengan licin dari genggamannya. la tidak ditemukan di Mooresville. Di tempat saudara perempuannya di Maywood, polisi mendapat keterangan bahwa Dillinger sering berkunjung ke Dayton, Ohio, ke 324 West 1st Avenue. Itu adalah tempat seseorang bernama Mary Longmaker, kekasihnya waktu itu.

Matt Leach tidak tahu bahwa Mary itu saudara perempuan Jenkins dan Jenkins itu teman baik Dillinger di penjara. Dillinger datang ke sana untuk mengurus pembebasan Jenkins dan teman-teman lain dari penjara. Ketika keluar dari Michigan City, Dillinger sudah berjanji akan membebaskan mereka. la memegang janjinya.

Matt Leach mengirimkan Inspektur Pfaulh dan Inspektur Gross ke Dayton. Keduanya menyewa kamar di seberang flat yang didiami Mary dan menunggu dengan sabar kedatangan Dillinger.

Tampaknya Dillinger sudah melupakan Mary, pikir mereka karena hari-hari lewat begitu saja. Atau jangan-jangan Dillinger curiga.

Dillinger sebetulnya tidak curiga. Hanya saja ia sedang sibuk di dekat Michigan City. Ia sedang berusaha menyelundupkan senjata ke teman-temannya di penjara.

Akhirnya tanggal 22 September, Dillinger tampak di Dayton. Pada saat ia mendatangi Mary, Pfaulh dan Gross baru saja bermaksud pergi. Mereka menodong Dillinger: “Kami Polisi. Menyerah! Ikut kami!” Mary pingsan. 

Dillinger berusaha meloloskan diri dengan tenang. “Anda bilang Anda polisi? Saya cuma tahu bahwa polisi berseragam.” 

“Cukup Johnnie! Anda ikut atau kami tembak!”

Dillinger tidak melawan. Empat bulan setelah dibebaskan bersyarat, John Dillinger mendekam lagi di balik terali. Tetapi teman-temannya di Michigan City sudah berhasil mendapat senjata. Tanggal 26 September 1933, 10 narapidana, di antaranya Pierpont dan Jenkins kabur dengan menggunakan senjata. Mereka menyandera penjaga. Tetapi Jenkins tewas.

Empat Oktober 1933 teman-teman Dillinger merasa memerlukan uang untuk membebaskan Dillinger. Mereka merampok sebuah bank di St. Marys, Ohio. Pada saat itu bank hampir kosong karena semua penduduk sedang asyik menonton siaran pertandingan sepak bola untuk memperebutkan piala dunia.

Dillinger saat itu sudah dipindahkan ke penjara Lima. Sheriff Sarber di penjara itu termasuk orang yang menghargai orang-orang lain dan Dillinger berhasil menarik simpatinya.

Tanggal 12 Oktober, teman-teman Dillinger: Pierpont, Hamilton, Clark, Makley dan Shouse datang ke Lima memakai 2 mobil. Hamilton dan Shouse menunggu di mobil. Pierpont, Clark, Makley masuk ke kantor penjara. Sheriff Sarber tercengang dan minta pengunjung-pengunjung itu memperlihatkan kartu pengenal mereka. Sambil meminta, ia bergerak ke arah lacinya. Tetapi Pierpont menembak. Sheriff Sarber roboh. Ia kemudian meninggal.

“Serahkan kunci sel-sel, cepat!” teriak Makley.

Ny. Sarber yang ketakutan dan kebingungan memberi kunci. Clark menembaknya. Lengannya kena tetapi lukanya ringan. Sharp, wakil sheriff, tidak berani bergerak.

Dillinger sedang main kartu di sebuah sel bersama penghuni-penghuni lain. Ia segera bangun ketika mendengar tembakan. Ia menyambar topi dan jasnya sehingga ia sudah siap ketika Pierpont membukakan pintu seraya memberi revolver. Mereka lewat kantor Sarber. Sarber sedang sekarat. Pria itu memandang mereka:

“Oh, anak-anak... Kenapa kau berbuat seperti ini terhadap saya?” 

Dillinger dengan wajah pucat memandang Sarber sambil membungkuk. Lalu tiba-tiba saja ia keluar bersama Clark tanpa berkata apa-apa.

Pierpont dan Makley memasukkan Sarber, istrinya dan Sharp ke sel lalu mengikuti yang lain ke kendaraan.

Sirene meraung-raung mengejar mereka tetapi mereka sudah cukup jauh menuju ke Cincinnati. Di sana mereka ditunggu 2 wanita: Mary Kinder kekasih Pierpont dan Billie Frechette yang segera menjadi kekasih Dillinger.

 

Membentuk geng pribadi 

Mereka semua tinggal di sebuah apartemen luas di Chicago. Dillinger kini mempunyai geng sendiri yang terdiri dari 7 pria dan 4 wanita. John Dillinger yang sudah melupakan Mary Longmaker kini berpasangan dengan Billie Frechette, Pierpont dengan Mary Kinder, John Hamilton dengan Elaine Dent, Clark dengan Opal Long. Charles Makley, Harry Copeland dan Ed Shouse tidak mempunyai kekasih di dalam geng, tetapi tidak lama kemudian Dillinger mulai merasa jengkel menyaksikan perhatian istimewa Shouse terhadap Billie.

Suatu hari bahkan Dillinger memutuskan akan membunuh Billie. Tetapi sesudah mengajak Billie berjalan-jalan dengan mobil, ia kembali membawa Billie dalam keadaan masih hidup. Tampaknya Dillinger lebih tenang. “Saya tidak mampu membunuhnya.”

Sementara itu Matt Leach, yang terus menerus mencari jejak Dillinger, berhasil mengetahui alamat geng ini. Keterangan ini disampaikan pada Letnan John Howe, pemimpin suatu organisasi polisi khusus seperti Scotland Yard di Inggris.

Kalau bandit-bandit itu dikepung di apartemen mereka atau disergap di trotoar, ada kemungkinan korban-korban jatuh di kalangan penghuni apartemen-apartemen lain atau orang-orang yang lewat. Jadi Howe memutuskan akan menyergap Dillinger pada saat sedang bermobil saja.

Polisi berhasil menyelundupkan mata-mata ke geng itu. Dari mata-mata ini diketahui bahwa Dillinger akan pergi ke seorang dokter di Irving Park Boulevard. la tiba dengan sebuah mobil Terraplane dengan nomor Illinois 1 269 037.

Howe dan Leach sepakat untuk membiarkan Dillinger masuk ke tempat praktik dan menunggunya kembali ke mobil. Di sini ia akan disergap. Kendaraan-kendaraan lain akan menyergapnya di ujung jalan.

Dillinger tiba ditemani Billie pukul 16.00 tanpa curiga apa-apa. Polisi menunggu lama. Baru pukul 19.00 ia keluar lagi. la curiga melihat kendaraan begitu banyak diparkir tidak wajar. “Polisi,” bisiknya kepada Billie. “Jangan menoleh, menyeberang seperti tidak ada apa-apa. Tetapi begitu berada dalam kendaraan, segera merapat kepadaku.” 

Mereka menyeberangi jalan sambil bercakap-cakap. Mereka masuk ke dalam kendaraan dan tahu-tahu bergerak mundur sehingga polisi-polisi tertegun. Polisi-polisi berusaha mengejar. Tapi terlambat. Dillinger kini maju ke depan dan kabur. Terdengar Ietusan-letusan senjata api. Seorang polisi lalu lintas yang tidak tahu-menahu malah mengira polisi-polisi itu gangster dan menembak mereka.

Dalam kekacauan itu, Dillinger masuk ke jalan trem di sebelah kanan dan membanting setir dua kali untuk menghindari 2 trem yang berpapasan. Beberapa sentimeter saja lagi ia akan tergilas kendaraan itu. Pengejar-pengejarnya terhalang dan Dillinger selamat.

Tetapi pengalaman ini menurunkan semangat geng yang mulai tidak sepaham. Copeland ditangkap polisi dan Shouse yang makin lama makin tidak berkenan di hati Dillinger diusir.

Peristiwa ini terjadi awal November. Tanggal 20 November 1933, mereka merampok sebuah bank di Racine, Wisconsin. Mereka gugup sehingga membuat serentetan kesalahan. Makley melukai seorang pegawai dan polisi. Di tengah-tengah tembak-menembak, Dillinger dan Pierpont menyandera 5 orang untuk memungkinkan mereka melarikan diri.

Tanggal 14 Desember Hamilton dan Elaine masuk ke jebakan polisi. Hamilton berhasil kabur dengan membunuh seorang polisi tapi Elaine tertangkap.

Suatu brigade khusus, “Brigade Dillinger” dibentuk di bawah pimpinan Kapten John Stege. Brigade berpedoman: “tembak mati dan dahului menembak.”

 

Alamat tak ditemukan

Tidak lama kemudian diberitakan seorang anggota brigade, Reynolds, berhasil membunuh Pierpont, Hamilton dan Dillinger dalam suatu tembak-menembak yang seru. Ternyata ini tidak benar. Yang ditembaknya itu 3 bandit yang tidak ada sangkutannya dengan geng Dillinger. Reynolds menerima ucapan selamat yang ironis dari Dillinger sendiri.

Tanggal 15 Januari 1934, geng Dillinger merampok First National City Bank Chicago Timur. John Dillinger untuk pertama kalinya membunuh orang. Gengnya dalam beberapa bulan ini sudah membunuh belasan orang.

Ketika Hamilton menggasak uang, Dillinger menodong pegawai yang bertugas. Masuk seorang polisi, Wilgus. Polisi ini ditodong dan diperintahkan menjatuhkan senjatanya. Di luar, polisi lain bernama O’Malley merasa waswas karena rekannya tidak keluar-keluar lagi. Jadi dengan revolver di tangan ia masuk ke bank. Wilgus segera berontak ketika melihat temannya dan O’Malley menembak Dillinger. Dillinger membalas. O’Malley luka di tungkai sedangkan Dillinger yang dilindungi kaos anti peluru tampaknya tidak apa-apa. O’Malley menembak lagi dan dibalas. Sekali ini polisi itu roboh dan tewas seketika karena jantungnya ditembusi peluru Dillinger.

Hamilton harus pula menghadapi polisi-polisi lain. Walaupun mengenakan kaos anti peluru, ia terluka juga. Dillinger membantunya mencapai mobil di bawah tembakan-tembakan. Mereka berhasil kabur membawa 20.376 dolar.

Mereka melarikan diri sampai Tucson, dekat Meksiko. Walaupun memakai nama palsu, Makley, Clark dan Pierpont dikenali dan tertangkap. Sebelum lengannya diborgol, Pierpont mencoba menelan sepotong kertas. Kertas itu direbut polisi. Ternyata bertuliskan alamat Dillinger: 1304 East 5th. Alamat itu didatangi, tetapi kosong. Dillinger sedang menyusul Billie.

Polisi menunggu dan menyiapkan pengepungan. Malam itu Dillinger yang memakai nama Frank Sullivan datang bersama Billie, tanpa curiga apa-apa.

“Angkat tangan!” 

Dengan terkejut, ia angkat tangan. Tapi ia berlagak pilon. “Kenapa sih? Nama saya Frank Sullivan.”

Di kantor polisi ia dikenali secara resmi. John Dillinger yang membunuh seorang polisi menunggu diadili di penjara Lake County, Crown Point, Indiana. Polisi menganggap jika berada di penjara itu maka ia tidak mungkin melarikan diri.

Dengan senang hati ia berpose di depan juru potret-juru potret. Sebelah sikunya diletakkan di bahu Robert Estill, jaksa Indiana yang bertugas mengirimkannya ke kursi listrik. Di potret itu ia juga tampak didampingi sheriff setempat, Ny. Lillian Holley. Bahkan Matt Leach menyalami Dillinger dengan hangat. Kata orang ini akhir pertandingan persahabatan.

 

Masih enggan mati

Dillinger dikurung di tingkat ke dua di bagian khusus. Baginya didatangkan penjaga bersenjata tambahan dan lampu sorot ditugaskan sepanjang malam.

Tapi pisau cukurnya lupa diminta. Dengan alat itu ia membuat revolver kayu yang diberinya warna hitam dengan pertolongan lilin.

Tanggal 3 Maret ia menodongkan revolver palsunya ke bawah hidung penjaga.

“Saya tidak mau membunuh orang. Ayo, serahkan kunci-kunci! Panggil si Anu di bawah.”

Si Anu ini wakil sheriff, namanya Blunk. Ia datang tanpa curiga apa-apa dan ditodong dengan revolver kayu. Ia disuruh memanggil Lou Baker, direktur penjara. Baker ditemukan di tangga dan masuk perangkap juga. Sandera-sandera ini dikurung di selnya. Ia membawa Blunk ke kantor kepala penjaga, Blake. Blunk disuruh memanggil Blake. Blake mengenali suara Blunk dan mendekati tanpa curiga. Dillinger menyambar dua senjata api yang diletakkan dekat jendela. Keduanya berisi. 

Sebelum kabur, ia terpaksa menangkap belasan penjaga yang dikurungnya bersama direktur. Ia keluar dari penjara membawa Youngblood, seorang narapidana berkulit hitam. Youngblood yang dihukum karena membunuh orang diberinya sebuah senjata. Blunk tetap dibawa.

Di belakang penjara, montir bernama Ed Saager sedang membetulkan kendaraan. 

“Tunjukkan mobil yang paling cepat dan naik bersama kami,” perintahnya.

Saager menunjukkan mobil sheriff Ny. Holley. Mereka semua naik, Blunk menjadi sopir. Beberapa kilometer dari penjara, Blunk dan Saager dibebaskan. Mereka diberikan uang 4 dolar, entah dari mana.

“Uang lelah, Bung! Saya tidak punya lebih banyak lagi, tapi kalian tidak akan saya lupakan hari Natal nanti.”

Mobil dilarikannya ke arah Illinois. Kemudian Dillinger berpisah dengan Youngblood yang beberapa hari kemudian berhasil ditangkap polisi.

Dillinger segera membentuk geng baru terdiri dari 6 pasangan dan seorang “bujangan”. Mereka itu Eddie dan Bessie Green, Tommy dan Jean Carroll, Lester Gillis dan Helen Nelson, Homer van Meter dan Marie Conforti, John Hamilton dan Patricia Crierrington, ia sendiri dengan Billie Frechette dan Pat Reilly si bujangan.

Sisa geng lama hanya Hamilton dan Billie Frechette. Tetapi van Meter teman lamanya semasa di Michigan City.

Eddie Green segera menjadi ahli persiapan perampokan dan otak geng, Lester Gillis Nelson yang kemudian terkenal sebagai “Baby Face Nelson” menjadi motor utama.

Mereka merampok di Sioux Falls dan Mason City. Sementara itu di Lima dibuka sidang untuk mengadili Pierpont, Makley dan Clark. Pihak yang berwewenang khawatir Dillinger akan mengadakan penyerangan untuk membebaskan kawan-kawannya. Jadi penjagaan diperkuat di gedung pengadilan dengan polisi-polisi dari daerah-daerah berdekatan dan dengan anggota-anggota Legiun Amerika.

Shouse, bekas anggota geng yang sudah diusir ternyata menjadi saksi yang memberatkan Pierpont dan Clark dalam perkara pembunuhan Sarber. Pierpont dan Makley dijatuhi hukuman mati. Clark tidak.

Dillinger, yang terluka di pundak ketika perampokan di Mason City, tinggal dengan nama palsu bersama Billie Frechette di St. Paul. la segera dikenali oleh polisi setempat. Mereka kabur di bawah hujan peluru dan mengungsi ke Minneapolis di rumah Eddie Green. Sekali ini paha Dillinger luka. Ia perlu waktu cukup lama untuk sembuh tetapi hal ini tidak mengalanginya untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain.

 

FBI hampir “panen”

Sementara itu di Chicago, di tingkat 19 Bankers Building J.E. Hoover, pemimpin FBI, menyatakan perang pada Dillinger.

la minta perkara Dillinger dipercayakan kepadanya. la mempunyai polisi yang bisa bergerak cepat dan di segala negara bagian, seperti halnya geng Dillinger.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, FBI menemukan tempat persembunyian Dillinger, di St. Paul. Mereka tidak menemukan Dillinger di sini, tetapi berhasil menangkap Eddie dan Bessie Green.

Tanggal 5 sampai 8 April 1934, Dillinger bersama Billie menginap di Mooresville. Johnnie datang untuk memeluk ayahnya dan mengucapkan terima kasih atas pernyataan si ayah pada pers. Dillinger tua yang jujur tidak pernah setuju dengan tindak-tanduk putranya tetapi tetap bangga pada putra yang melakukan tindakan-tindakan spektakuler ini.

Diadakan pesta besar dan tetangga-tetangga diundang makan ayam. Tetapi dua orang FBI yang menjaga di muka pintu tanah peternakan tidak tahu pasti apakah Dillinger ada di dalam atau tidak. Soalnya tidak ada seorang pun penduduk yang mau mengkhianati teman sekampungnya dan tanpa izin, kedua agen itu tidak bisa masuk ke dalam.

Dillinger mengunjungi keluarga Pierpont di Indianapolis lalu pergi ke Chicago. Di sini Billie ditangkap. Dillinger bersembunyi ke tempat van Meter di Fort Wayne. Keduanya menyerang pos polisi untuk merampas kaos-kaos anti peluru.

Ada lagi orang lain yang tidak kenal kasihan pada Dillinger. Namanya Inspektur Melvin Purvis dari FBI. la kepala biro Chicago dan menerima perintah langsung dari Hoover.

Beberapa hari setelah suatu jebakan yang gagal di Louisville, Purvis mendapat kabar bahwa Dillinger, seorang wanita dan Hamilton menuju ke Wisconsin utara. Mereka ada di penginapan kecil. Di sini Dillinger menemui van Meter, Caroll, Baby Nelson dan teman-teman mereka. 

Kalau penangkapan berhasil artinya panen besar bagi FBI. Tetapi bandit-bandit keburu mencium bau. Dalam perjalanan kembali ke Chicago, Dillinger menjalani bedah wajah dan sidik jari. Ahli-ahli bedah yang melakukannya tentu saja yang reputasinya kurang baik dan dicarikan oleh pengacaranya.

Walaupun wajahnya yang baru tidak seberapa beda tetapi Dillinger merasa lebih aman dan besar hati. Tanggal 30 Juni 1934 dengan van Meter dan Baby Nelson ia merampok bank di South Bend, Indiana. Tembak-menembak gencar terjadi dan mereka melarikan diri dengan bertameng sandera. Seorang polisi tewas, 6 luka-luka.

Kegagalan ini membuat Dillinger patah semangat dan ia istirahat dulu. Billie Frechette dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Jadi Dillinger mengambil pacar baru, seorang pelayan restoran berumur 26 tahun, Poly Hamilton. Poly tinggal di rumah seorang wanita bernama Anna Sage, 42 tahun. Dillinger merasa simpati pada wanita Rumania ini. Didorong oleh itu, ia jadi kurang hati-hati. Ia menceritakan identitasnya dan rencananya akan kabur ke Meksiko.

Ia sama sekali tidak curiga kepada Anna Sage, imigran yang ingin menyenangkan polisi. Lagipula hadiah bagi orang yang bisa menangkap Dillinger 10.000 dolar dan yang bisa memberi tahu polisi sampai Dillinger berhasil ditangkap akan mendapat 5.000 dolar.

Hari Sabtu 21 Juli, Anna Sage mengadakan pertemuan dengan Inspektur Purvis di tempat terpencil.

“Besok malam, ia akan ada di bioskop Marbro bersama Poly dan saya,” katanya.

FBI bersiap-siap untuk menangkap Dillinger. Mereka menyamar dan berkeliaran sekitar Marbro. Tetapi Dillinger berkata pada dua wanita temannya:

“Bagaimana kalau kita nonton di Biograph saja. Filmnya tentang gangster yang dihukum mati di kursi listrik.”

Yang dimaksudkannya ialah film “Manhattan Melodrama” dengan Clark Gable sebagai pemeran utama.

Pukul 17.30 Anna menelepon FBI. 

“Belum pasti. Ia menyebut-nyebut Biograph saat ini.” 

“Masya Allah! Coba dong ketahui tepatnya di mana. Kami ‘kan tidak bisa bolak balik dari satu bioskop ke bioskop yang lain.”

Pukul 19.00 Anna Sage menelepon lagi. Suaranya perlahan. “la ada di rumah saya, di ruang sebelah dengan Poly. Kami akan pergi ke bioskop, tapi belum tahu yang mana.”

Purvis dan Brown menunggu dalam sebuah mobil di muka bioskop Biograph. Inspektur Zarkovitch dan Inspektur Winstead di depan Marbro. Sejumlah polisi di bawah perintah Inspektur Cowley bersiap di muka Bankers Building, menunggu isyarat ke bioskop mana mereka mesti pergi. Sesudah menunggu sejam, Purvis melihat kedatangan Dillinger, Anna Sage dan Poly Hamilton.

Dillinger tampaknya merasa aman di antara orang banyak karena yakin hasil operasi membuat ia tidak dikenali. Berkat isyarat Anna Sage, yang berdiri di sebelah Dillinger dengan gaun panjang berwarna merah, Purvis mengenali Dillinger. Purvis memberi isyarat pada Cawley yang menunggu di Bankers Building, lalu ia ikut membeli karcis dan masuk ke bioskop. Film mulai main. Dalam ruang yang remang-remang itu Inspektur Purvis tidak berhasil menemukan Dillinger. Ia keluar lalu kembali ke loket. Tapi Cowley sudah menelepon Hoover: “Sekali ini rasanya ia terpegang.”

 “Tunggu sampai ia keluar di bioskop. Jangan ada pertumpahan darah di dalam gedung.”

Polisi dari Bankers Building maupun dari Marbro kini mengepung Biograph. Jumlahnya semua 27 orang. Purvis menggigit cerutu dan berjaga di pintu keluar utama.

“Kalau saya melihat ia keluar, saya nyalakan cerutu,” katanya. Ini isyarat.

Semua mencari tempat seperti yang sudah direncanakan semula. Jalan-jalan kecil sekitar bioskop diblokir. Kasir bioskop mengira mereka bersiap-siap akan merampoknya. Direktur bioskop diberitahu oleh kasir dan ia memanggil polisi-polisi Chicago. Inspektur-inspektur polisi lokal datang ke tempat itu dan berhadapan dengan orang-orang FBI. Mereka saling menerangkan. Beres.

Pada saat itu penonton-penonton mulai keluar. Dillinger termasuk yang pertama keluar. Purvis menyalakan cerutu. Dillinger mencium bahaya. Ia berjalan tenang-tenang dengan dua wanita temannya, lalu tiba-tiba mengeluarkan revolver dan berlari. Tembak menembak terjadi. Dillinger roboh. Ia kena 2 peluru yang mematikan seketika itu juga. Ada 2 wanita luka kena peluru nyasar.

Kalau Dillinger masih hidup, umurnya sekarang 76 tahun….

(Jean-Marie Peaprat)

Baca Juga: Kumis yang Menyelamatkan

 

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726679/kalau-dia-keluar-saya-menyalakan-cerutu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678778571000) } } [2]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635694" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/kasih-ibu-berakhir-di-penjara_fe-20230105070644.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(117) "Seorang wanita mengalami bayinya dua kali diculik dan tewas. Anehnya hanya bayi perempuan saja yang diincar. Ada apa?" ["section"]=> object(stdClass)#92 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/kasih-ibu-berakhir-di-penjara_fe-20230105070644.jpg" ["title"]=> string(31) "'Kasih' Ibu Berakhir di Penjara" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:07:02" ["content"]=> string(35205) "

Intisari Plus - Seorang wanita mengalami bayinya dua kali diculik dan tewas. Anehnya hanya bayi perempuan saja yang diincar. Ada apa?

--------------------

Berita koran edisi 17 Juni 1986 tentang penculikan Loralei Sims, bayi usia 12 hari, dari rumah orang tuanya di Brighton, Illinois, membuat penduduk kota kecil sekitar 100 mil timur laut Missouri, AS, tersebut larut dalam kesedihan.

Menurut pengakuan Paula Sims, ibu sang bayi, kepada Sheriff Frank Yocom, petang itu ia sedang duduk santai menonton televisi sambil menanti kedatangan suaminya pulang kantor, sementara bayi perempuannya tidur nyenyak di ranjangnya. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang laki-laki agar ia menelungkupkan kepalanya di lantai. Kurang lebih 10 menit kemudian, ketika ia menengok ke atas, tampak seorang pria bertopeng sambil mengacungkan pistolnya berdiri di tangga lantai dasar.

Sesuai pesan sang suami, jangan sekali-kali melawan orang yang mengacungkan pistol, ia menuruti apa yang dikatakan pria tersebut.

“Saya tak berani beranjak dari lantai. Saya tahu pria itu menaiki tangga menuju ke kamar tidur,” katanya. 

“Setelah itu samar-samar terdengar langkah-langkah kaki menuju pintu, sebelum akhirnya suara pintu kamar ditutup keras-keras.”

Semula ibu muda itu mengira pria tersebut perampok yang ingin mengambil barang berharga. Ternyata dugaannya keliru. Begitu laki-laki tadi menghilang, ia terentak saat menyadari bayinya tidak berada di ranjangnya. Ya. Bayinya telah diculik! 

Usahanya mengejar sekuat tenaga ke arah pria tadi menghilang sia-sia. Dengan perasaan pilu dan berurai air mata, wanita malang tersebut tertunduk lemas dan bersimpuh di depan pintu sambil melolong-lolong minta tolong tetangganya.

Lantaran masih terguncang, Ny. Sims hanya memberikan keterangan samar-samar saja tentang siapa penculiknya. Yang masih diingatnya, si penculik berdiri di atas tangga. la yakin pria tersebut berkulit putih, kira-kira berusia awal 30- an. 

Sheriff Yocom kemudian minta bantuan kantor polisi, agen FBI Illinois dan Missouri, para ahli kejahatan dan anjing pelacak lengkap dengan pawangnya untuk mencari bayi serta si penculik. Penciuman anjing pelacak tidak berhasil mendeteksi bau si penculik. Diduga si penculik langsung lari, masuk ke sebuah mobil dan segera meninggalkan lokasi sebelum ibu bayi keluar rumah.

Polisi penyelidik yakin motif penculikan ini bukan uang tebusan karena orang tua si bayi tidak kaya. Seingat pasutri ini mereka pun tidak mempunyai musuh.

Sheriff Yocom berusaha menghibur pasangan Sims yang sedang kebingungan dengan mengatakan semoga penculikan ini dilakukan oleh seseorang yang menginginkan kehadiran seorang bayi karena tidak mempunyai anak. Kalau ini penyebabnya, mestinya sang bayi akan dirawat dengan baik. Masalahnya tinggal bagaimana melacak alamat si penculik.

la lalu mengecek RS Alton di mana bayi ini dilahirkan. Menurut staf rumah sakit, bayi ini lahir normal dan tidak ada orang lain kecuali orang tuanya sendiri yang pernah berurusan dengannya.

Kepada media massa, Sheriff Yocom menitipkan pesan dalam pemberitaan, siapa saja yang mengetahui belakangan ini ada seseorang yang tiba-tiba merawat seorang bayi, harap segera melapor ke kantornya.

Pencarian Loralei Sims yang hilang sudah berlangsung satu minggu tanpa hasil. Polisi terus berusaha melacak di mana bayi ini disembunyikan serta mencari-cari petunjuk siapa penculiknya dan apa motifnya. 

Penuh penasaran, Sheriff Yocom sekali lagi minta bantuan pawang anjing pelacak. “Siapa tahu si penculik tidak langsung naik mobil seperti yang diduga sebelumnya, tapi berjalan kaki menuju daerah bersemak di belakang rumah tersebut,” kata Yocom.

Rupanya sinyalemen Yocom tidak meleset. Pada suatu siang seorang pawang anjing pelacak memberitakan bahwa anjingnya mencium sesuatu. Anjing menuntun beberapa penyelidik menuruni jurang. Di lokasi tempat anjing itu berhenti ditemukan tulang-tulang kecil berserakan. Para polisi yakin tulang berserakan tersebut adalah tulang-tulang bayi yang dicari-cari. Tingginya suhu udara selama seminggu menyebabkan cepatnya tubuh sang bayi membusuk sehingga hanya tinggal kerangka saja. 

Tulang-tulang tersebut langsung dikumpulkan untuk diperiksa bagian patologi forensik. Ternyata benar. Kerangka tersebut memang tulang-tulang si kecil Loralei yang hilang. Tapi belum dapat diketahui apa penyebab kematiannya.

Polisi yakin, penculik dengan cepat meninggalkan rumah keluarga Sims bersama bayi tersebut dan langsung masuk ke semak-semak itu. Diduga dalam kegelapan ia tersandung, jatuh menimpa sang bayi. Kemungkinan karena melihat si bayi sudah meninggal, ia langsung membuangnya. 

Meskipun demikian, penemuan barang bukti tersebut tak juga membantu mengungkap tindak kriminal itu. Motif penculikan tersebut tetap tidak jelas. Apalagi orang tua korban agaknya sudah tidak terlalu peduli lagi dengan kejadian tersebut. Buktinya, sehari setelah ditemukannya tulang-tulang korban, mereka malah meninggalkan rumah mereka di Brighton. 

Alasannya, Paula Sims merasa sedih tinggal di rumah penuh dengan segala macam barang peninggalan putri kecil kesayangannya. Selama beberapa minggu pasutri ini pindah ke rumah saudaranya dekat Cottage Hills, sampai akhirnya mereka membeli rumah Alton, dekat Sungai Missouri, berdekatan dengan tempat kerja Sims. Mereka bertekad untuk memulai hidup baru dan merencanakan punya anak lagi.

 

Meneliti keluarga korban

Setelah sekian lama belum juga ditemukan perkembangan baru mengenai siapa dan mengapa terjadi penculikan, akhirnya pihak kepolisian dan FBI menghentikan upaya penyelidikan kasus ini. Namun, Sheriff Yocom tetap penasaran. la bersumpah akan terus mencari siapa penjahat kejam yang begitu tega membunuh serta membuang bayi mungil tak berdosa.

Setiap hari Yocom berusaha memperoleh kunci baru dan berharap mendapatkan sesuatu yang sebelumnya terabaikan.

Dari Pusat Analisis Kejahatan dengan Kekerasan FBI, ia memperoleh gambaran profil psikologis berbagai macam pelaku pembunuhan. Antara lain dikatakan, pada kasus kriminalitas yang sulit pun akhirnya si pelaku bisa tertangkap. Biasanya si pelaku tindak kejahatan tersebut, seiring dengan perjalanan waktu, akan menderita kecemasan hebat yang tercermin dari tingkah lakunya.

Berpegang pada asumsi tersebut, perhatian Yocom kini tertuju pada orang yang menurut psikolog bertingkah laku tidak seperti biasanya. Untuk mengawali penyelidikannya, terlebih dahulu Sheriff Yocom meneliti latar belakang keluarga Sims. Siapa tahu ada sesuatu yang tidak beres pada keluarga ini.

Paula Marie Blew Sims (27), ibu sang bayi, dilahirkan di La Plata, Missouri. Hidupnya normal dan cukup bahagia. Paula yang lulus sekolah menengah tahun 1977, terkenal tomboy dan masuk tim sofbol serta atlet lari. Ia juga sempat menjadi anggota paduan suara Sekolah Menengah Civic Memorial.

Ketika berusia 15 tahun, Paula pernah mengalami trauma. Bersama kakaknya yang 3 tahun lebih tua, mereka mengalami kecelakaan mobil. Kakaknya meninggal seketika sedangkan Paula menderita luka serius pada mukanya sehingga memerlukan operasi.

Bersama orang tuanya Paula kemudian pindah dari La Plata ke Cottage Hills. Di situ Paula bekerja sebagai pramuniaga sebuah toko dekat Alton. Di tempat ini pula ia ketemu jodoh, sampai akhirnya mereka menikah pada 2 Mei 1981. Anak pertamanya, Loralei Marie, lahir 5 Juni 1986. Tapi malang, belum sampai satu bulan keluarga muda itu menimang bayi, Tuhan telah mengambilnya lagi dengan jalan yang amat tragis.

Suami Paula dilahirkan di Carbondale, tetapi masa mudanya dihabiskan di Alton. Sempat kuliah di Universitas Southern Edwardsville selama 4 semester sebelum kemudian ditinggalkan karena ia diterima di angkatan laut. Selama dinasnya ia pernah ditugaskan di stasiun angkatan laut di Brunswick, Maine. 

Di Brunswick ini Sims bertemu dengan seorang gadis berusia 17 tahun. Mereka menikah 5 Juli 1974. Setelah tugas selesai, bersama istrinya ia kembali ke Alton dan bekerja pada sebuah koperasi kredit. Sims keluar dari pekerjaan tersebut setelah para pegawai wanita di sana mengeluh, mereka sering terganggu oleh sikap sok patriotiknya walaupun ia menyangkal. Terakhir ia bekerja pada sebuah perusahaan kotak papan. Karena tidak tahan atas perilakunya yang keras, istrinya minta cerai Juni 1978 dan pulang ke Maine. 

Yocom lalu mengontak istri pertama Sims di Maine. Ia malah tidak menyangka bahwa Sims sudah menikah lagi, mempunyai anak, dan si anak telah diculik serta dibunuh. 

Dari hasil penelitian tersebut, Sheriff Yocom tetap tidak menemukan sesuatu pun dalam kehidupan pasutri tersebut yang membawanya pada titik terang motif penculikan bayi itu.

 

Terulang kembali

Sementara itu pasangan suami-istri Sims sudah hidup dalam suasana lain di tempat tinggalnya yang baru. Tampaknya mereka sudah melupakan tragedi yang pernah dialami. Tidak lama kemudian, Paula hamil kembali. Ia melahirkan seorang anak laki-laki, namanya sama dengan nama kakak Paula yang meninggal karena kecelakaan dulu. 

Kejadian tragis di masa lalu tampaknya membuat pasutri ini menjadi superprotektif atas kepentingan keluarga. Paling tidak itu tecermin dari apa yang dilakukan Sims. Di sekeliling halaman depan rumahnya dipasang pagar setinggi 2 m. Begitu pula di bagian belakang rumah. Sejak kejadian tersebut pasutri ini agak tertutup, jarang bergaul keluar. Mungkin untuk menghindari terjadinya malapetaka yang sama seperti di Brighton dulu. Karena jarangnya bergaul dengan masyarakat setempat, tidak satu pun tetangga yang tahu kalau Paula mulai hamil lagi. Anak ketiganya, seorang perempuan lagi, Heather Lee, lahir 29 Maret 1989.

Semenfara itu, Sheriff Yocom terus melakukan penyelidikan. Selama 3 tahun, ia telah melakukan ratusan wawancara dan mengumpulkan petunjuk-petunjuk yang bisa memberikan kunci terbongkarnya penculikan itu. Ia begitu yakin pasti ada sesuatu yang terlewatkan atau terabaikan yang merupakan kunci motif penculikan tersebut. Walaupun keluarga Sims dan polisi rupanya telah melupakan peristiwa tersebut, bagi Yocom kasus ini belum tertutup.

Sabtu malam, 29 April 1989. Ketika Sims pulang kantor sekitar pukul 23.40, ia menemukan istrinya tidak sadarkan diri di halaman belakang rumah dekat sebuah tong sampah. Begitu siuman, Paula bercerita, sekitar pukul 10.30 ia sedang membawa sampah ke halaman belakang, tiba-tiba seorang laki-laki menghantam bagian belakang kepalanya dengan pukulan karate sampai tak sadarkan diri. Berarti, ia pingsan sekitar tiga perempat jam.

Ketika pasutri ini bergegas masuk rumah untuk mencari anaknya, mereka tidak menemukan Heather yang baru berusia 3 minggu. Tapi anak laki-lakinya masih tertidur pulas dalam ranjangnya.

Polisi Alton segera datang ke tempat kejadian dan Paula Sims dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Wakil kepala polisi Alton, Tony Vintimiglia serta Detektif Rick McCain langsung bekerja. Mereka juga menghubungi seorang sheriff St. Charles, Ed Uevinger, Letnan Tom Bishop serta beberapa agen polisi setempat. Vintimiglia dan McCain juga minta kepada Sheriff Yocom ikut serta dalam penanganan kasus ini. Apalagi Yocom masih terus menyelidiki kasus pertama.

Kepada polisi, Paula Sims mengatakan ia tidak mampu mengenali wajah si penculik karena hanya bertatap muka sekejap. Namun ia merasa yakin, orangnya sama dengan yang dulu memaksanya berbaring di lantai dasar rumahnya di Brighton ketika penculikan pertama terjadi.

Penyelidikan besar-besaran segera dilaksanakan baik oleh polisi setempat dari Illinois dan Missouri maupun agen FBI Springfields. Mereka bekerja di bawah pengarahan agen polisi khusus Bob Groom.

Pencarian jejak serta motif penculikan bayi perempuan terus diusahakan. Anjing pelacak dikerahkan untuk mencari jejak di sekitar rumah. Sementara itu para ahli kriminal memeriksa kediaman keluarga Sims untuk mencari bukti-bukti fisik yang bisa memberikan petunjuk siapa orang yang masuk dan merenggut bayi tersebut. 

Tim polisi penyelam skuba pun tak ketinggalan memeriksa kolam dekat rumah Sims kemudian mengalihkan perhatiannya ke Sungai Missouri, 4,5 km dari rumah tersebut yang juga sebagai pusat rekreasi. 

Kasus langka ini begitu menarik perhatian nasional sampai para wartawan berbondong-bondong datang ke Alton untuk meliput. Mereka belum berhasil mendapatkan jawaban pasti dari polisi yang menangani kasus ini. Para ahli hukum pun heran mengapa kasus yang sama terulang kembali. 

Bersama polisi lain, Sheriff Yocom sekali lagi mempelajari file yang pernah dikumpulkan sehubungan dengan penculikan pertama. “Walaupun sudah tiga tahun saya berusaha meneliti dari segala macam segi, kasus ini belum terpecahkan,” akunya. 

Satu hal aneh, kedua bayi yang diculik perempuan. Rupanya penculik tidak tertarik dengan bayi laki-laki. Yang lebih tak masuk akal, walaupun si bayi ketiga ini lahir normal dan orang tuanya begitu menjaganya dengan hati-hati, toh berhasil diculik!

 

Misteri kantung plastik

Sementara para wartawan berdatangan dan polisi terus mengecek rumah, keluarga Sims langsung diungsikan di rumah seorang saudaranya dekat Cottage Hills. Suami Paula memohon agar wartawan segera meninggalkan mereka karena Paula sangat tertekan menghadapi penculikan kedua ini. 

Kasus kedua ini seperti juga kasus yang pertama hampir mengalami jalan buntu. Tak hanya motif, jejak-jejak penculiknya pun belum berhasil diidentifikasikan. 

Untunglah Rabu sore, empat hari setelah peristiwa itu, mulai tercium jejak baru. Seorang pria yang kebetulan memancing di sepanjang Sungai Missouri, menemukan kantung plastik hitam dalam sebuah tong sampah. Karena merasa penasaran untuk mengetahui isi kantung tersebut, iseng-iseng ia mengorek-ngorek kantung itu dengan pisaunya. Betapa terperanjatnya ketika ia menemukan mayat telanjang seorang bayi perempuan. 

Polisi langsung datang ke lokasi dan hampir dapat dipastikan mayat tersebut adalah jenazah si kecil Heather Sims. Barang bukti ini langsung direkam gambarnya sebelum jenazah tersentuh atau terkontaminasi. 

Ketika diperiksa, jenazah sudah membusuk. Barangkali karena pengaruh cuaca panas. Menurut pendapat polisi, kalau memang betul bayi ini Heather Sims, penculik pasti membiarkan ia hidup sebentar sebelum akhirnya dibuang ke tong sampah. 

Identifikasi yang tepat dilakukan dengan membandingkan sidik telapak kaki Heather dari rumah sakit tempat ia dilahirkan dengan jenazah tersebut. Setelah itu jenazah dikembalikan ke pusat pemeriksaan medis daerah St. Charles untuk diautopsi oleh dr. Mary Case, ahli patoligi forensik. 

Informasi lebih jelas didapat dari seorang pemulung yang dijumpai di dekat sungai tadi. Kepada para penyelidik ia mengatakan, saat mencari barang-barang bekas berupa kaleng serta botol sambil mengorek sampah, ia merasa yakin pukul 10.30 kantung plastik berisi mayat itu belum ada. Ketika ia datang kedua kalinya ke tempat yang sama sekitar pukul 13.00, ia melihat kantung tersebut. Namun sengaja tidak dibukanya karena ia pikir toh isinya hanya sampah, bukan barang bekas. 

Yang menjadi pertanyaan ke mana Heather Sims dibawa selama 4 hari sebelum jenazah dibuang? Siapa pula yang membuangnya ke sana? Apakah si pelaku pernah datang ke pusat rekreasi sepanjang sungai tersebut?

Salah satu jawaban datang dari dr. Mary Case. Dari hasil pemeriksaan mayat diketahui terdapat sayatan di mulut si bayi. Analisis ahli patologi menjelaskan bayi itu dicekik oleh seseorang yang sebelumnya menutup mulut dan hidungnya. Selain itu ditemukan pula luka pada kulit akibat pernah dibekukan. Di sini menunjukkan bahwa si bayi meninggal akibat kekurangan zat asam dalam darah pada hari ia diberitakan diculik kemudian untuk sesaat ia dimasukkan ke dalam freezer (lemari es).

Ketika beberapa detektif berkumpul untuk mengevaluasi apa yang sudah ditemukan, seorang detektif tiba-tiba nyeletuk, “Apakah pendapat kalian mungkin sama seperti apa yang saya pikirkan saat ini? Mungkinkah ibunya sendiri yang membunuh?”

Semuanya tercengang! Bukankah ibu yang tega membunuh atau membuang anak hanya mereka yang melahirkan di luar nikah? Mana mungkin! Pasutri Sims tampak pasangan serasi. Pekerjaan suaminya cukup baik. Mereka memiliki rumah yang cukup nyaman dan sang ibu tampak sangat mengasihi putra tunggalnya.

“Menurut Anda bagaimana?” tanya Detektif McCain kepada Sheriff Yocom, “Bukankah selama ini Anda juga menyelidiki kasus pertama?”

“Ya,” jawab Yocom. “Kasus ini tidak pernah terlupakan dan selama ini saya telah berusaha mengumpulkan segudang kemungkinan. Saya belum bisa percaya bahwa kemungkinan sang ibu sendiri yang membunuh bayinya.”

“Ya, marilah kita periksa kembali,” ajak McCain pula. 

“Saya akan segera minta surat perintah penyelidikan.”

Begitu William R. Haine, pengacara daerah Madison menerima surat perintah tersebut, bersama para polisi menuju kediaman keluarga Sims. Sialnya pasutri Sims sudah tidak berada di sana. Mereka telah pindah ke rumah saudaranya bersama putra tunggalnya.

Di rumah itu hanya ada sebuah lemari es di dapur. Di lemari itu tergantung penanggalan magnetik. Sedangkan pada kalender dinding tak jauh dari situ terdapat tulisan tangan berbunyi “Kami mencintai si manis Heather”, “Heather Lee Sims cantik”, “Terima kasih Tuhan atas pemberian Heather Lee”.

“Nah, apa pendapat Anda setelah membaca tulisan tersebut?” tanya Detektif McCain.

Sambil memperhatikan tulisan tersebut Sheriff Yocom berkomentar, “Mudah-mudahan Tuhan, pendapat kami salah. Tak masuk di akal seorang ibu tega membunuh kedua anak yang dilahirkannya.”

Teknisi laboratorium kemudian memeriksa kotak pendingin dalam lemari es. Hasil pemeriksaan menyatakan tidak ada bukti sedikit pun bahwa mayat bayi pernah dimasukkan ke pendingin itu. Begitu pula, luka pada jenazah Heather tidak mungkin terjadi akibat disimpan dalam kotak pendingin lemari es ini.

Ketika pemeriksaan dilakukan lebih cermat, polisi menemukan gulungan kantung plastik berjenis sama dengan kantung pembungkus jenazah Heather yang ditemukan di tong sampah. 

“Tapi kantung seperti ini ‘kan ada di hampir semua toko,” bantah seorang detektif. “Saya ragu apakah ini bisa dijadikan barang bukti.”

Namun agen khusus FBI Groom mengusulkan agar gulungan kantung plastik tersebut diambil, paling tidak untuk satu barang bukti. 

Groom segera mengirimkan kantung plastik ini bersama kantung plastik pembungkus mayat ke lab kriminal FBI di Quantico, Virginia. 

Selang seminggu agen khusus David W. Attenberger menyatakan, berdasarkan pemeriksaan labkrim FBI, dapat dipastikan kantung plastik pembungkus mayat diambil dari gulungan besar kantung di rumah itu.

Pengepresan bagian bawah setiap kantung di pabrik biasanya dilakukan dengan proses pemanasan melalui sistem running. Kantung plastik buatan pabrik memiliki ciri-ciri khas pada seal-nya. Berdasarkan hasil penyelidikan lab tersebut, agen Attenberger menyatakan bahwa dari ciri-ciri seal kantung tersebut dapat terdeteksi bahwa kantung yang dipakai untuk membungkus bayi Heather dibuat hanya dalam tenggang waktu 10 detik dari kantung dalam sisa gulungan yang ditemukan di rumah Sims. 

“Nah, kalau begitu saya akan menemui pengacara Bill Haine,” kata McCain. 

Kepada Haine, McCain mengatakan bahwa ia menginginkan surat perintah untuk menyelidiki Paula Sims yang mungkin terlibat dalam pembunuhan bayinya Heather. 

“Bukti apa yang sudah Anda dapatkan,” tanya Haine.

McCain menunjukkan bukti berupa kantung plastik yang telah diberikan oleh FBI, sambil menambahkan bahwa ia juga telah mewawancarai dr. Duk C. Kim yang pernah memeriksa Paula Sims ketika dirawat di rumah sakit karena kepalanya terkena pukulan karate dari belakang. 

“Dokter ini tidak menemukan luka, benjolan atau apapun di kepalanya. Tambahan lagi, wanita ini tidak kelihatan bingung, kaget, ataupun mengalami disorientasi seperti halnya seseorang kalau dipukul kepalanya sampai pingsan,” tegas McCain.

“Jelas sudah, dia memang tidak pernah dipukul oleh siapa pun karena memang tidak ada penculiknya. Dia sendiri pembunuh anaknya!” tambahnya tegas.

“Mengapa ia membunuhnya?” Haine bertanya-tanya.

Detektif McCain sudah menyiapkan jawaban. Seorang wanita, teman sekamar Paula Sims saat dirawat di rumah sakit pernah mengungkapkan kepada seorang polisi, saat Paula dijenguk seseorang, sekilas terdengar pembicaraan mereka soal anak perempuan. Paula kecewa ia melahirkan anak perempuan kembali karena suaminya mengharapkan anak keduanya laki-laki.

“Tapi bagaimana sampai anak sempat dibekukan?” tanya Haine kembali.

Bagi McCain pertanyaan ini tak sulit untuk dijawab.

“Begini,” katanya pula. “Setelah Paula membunuh sang bayi dengan cara mencekiknya, mungkin sekali ia membawa jenazahnya ke rumah seorang sanak saudaranya di Cottage Hills. Jenazah dimasukkan ke dalam freezer di rumah tersebut sambil menunggu waktu yang tepat. Tapi begitu mendengar anak Paula diculik, saudaranya segera pulang ke rumahnya. Panik bakal ketahuan rahasianya, Paula segera mengambil kembali kantung dalam freezer tadi. Tanpa pikir panjang ia membawa bungkusan itu ke daerah wisata di tepi sungai dan membuangnya ke dalam tong sampah.”

“Saya tidak mengerti,” sanggah Haine pula. “Anda kaya teori tapi bukti yang diberikan baru sedikit sekali.” Haine segera minta pendapat Don W. Weber, asistennya yang mempunyai reputasi hebat dalam menangani kriminal.

Sehabis Detektif McCain memberikan beberapa fakta tentang kasus ini, Weber kembali bertanya, “Apakah kalian bisa menambahkan bukti lain lagi?”

“Saya masih ragu,” sahut McCain. “Tidak seorang pun melihat dia membunuh dan membuang kantung itu ke tong sampah, tetapi berdasarkan penyelidikan kantung plastik, FBI merasa yakin ia yang melakukannya.”

Sambil mengangkat bahunya Weber mengatakan, “Ya, kalau bukti yang kalian peroleh hanya itu, tidak ada kesempatan lagi memperoleh bukti lain dan kalian merasa yakin ia bersalah, marilah kita teruskan. Tentu tidak mudah, tapi saya akan membantu semampu saya.”

 

Hukuman seumur hidup

Tanggal 12 Mei 1989, tiga tuduhan menutupi kebenaran dan menyembunyikan pembunuhan diajukan Pengadilan Jersey atas diri Paula Marie Blew Sims atas kematian putrinya Loralei, tiga tahun lalu. 

Dua bulan kemudian pihak berwenang daerah Madison mengajukan tuntutan terhadap Paula Sims atas empat tindakan melawan hukum serta dua tuduhan penyembunyian pembunuhan. Tuntutan berdasarkan kebohongan Paula Sims kepada polisi saat ia menyatakan bahwa bayinya Heather diculik seorang bersenjata dan bertopeng. Tuduhan pembunuhan diajukan oleh Grand Jury daerah Madison tanggal 11 Juli 1989. Hari berikutnya, Paula mengajukan pembelaan bahwa dirinya tidak bersalah terhadap tuduhan pembunuhan tingkat pertama atas Heather. 

Di lain pihak, sanak saudara Paula menghubungi Pengacara Donald E. Groshong minta pembelaan hukum. Pengacara kriminal tenar yang selalu mengendarai mobil Rolls Royce klasiknya ini mempunyai reputasi tinggi karena siasatnya.

Dalam sidang pengadilan itu, dua pengacara veteran yang sudah lama bersahabat bertemu, “berperang” satu melawan satu. Mengenai lawannya, Weber berkomentar, “Donal Groshong adalah pengacara terbaik di Illinois. Sekali saya membuat kesalahan, pasti akan terus didesak sampai tidak berkutik.” 

Karena publisitas kasus Madison ini sudah begitu meluas, tempat pengadilan dipindah ke Springfield, 150 mil dari kota kecil Alton, di mana peristiwa itu terjadi.

Pengadilan dimulai pada tanggal 8 Januari 1990 dipimpin Hakim Andy Matoesian. Namun sebelum memilih juri, ada dua masalah yang harus diselesaikan lebih dulu. Groshong menyarankan agar pengadilan dilaksanakan di Illinois karena tempat kejadian perkara (TKP) terakhir di Missouri. Ia juga menuntut agar dalam pengadilan nanti tidak akan disinggung soal penculikan serta pembunuhan yang satu lagi. Namun Hakin Matoesian tidak menyetujui kedua permintaan Groshong. 

Memakan waktu sampai tiga hari untuk memilih juri yang bersifat netral, tidak berat pada salah satu pihak. Di hadapan panel, Jaksa Penuntut Weber menyatakan bahwa kasus negara bagian ini memang belum terbukti jelas. Namun ia mempunyai alasan kuat bahwa Paula Sims pembunuh sang bayi. Ia juga mencoba menyembunyikan tubuh bayi itu serta membohongi polisi jika anaknya telah diculik.

Weber menilai terdakwa seorang yang licin tapi cerdik, menunjukkan kebencian terhadap anak-anak perempuannya secara tidak wajar. Weber menggambarkan kasus penculikan bayi ini bagaikan cerita dalam dongeng. “Seperti seorang anak melupakan kuenya yang hilang dan cukup mengatakan: Ya, kue saya diambil setan nakal,” tambah Weber.

Lawannya, Pengacara Groshong dalam pernyataan pertamanya dalam sidang menyatakan kliennya tidak bersalah. Kasus ini tidak memiliki bukti-bukti yang kuat. Lantaran para penyelidik begitu memusatkan kecurigaan pada Paula Sims, langkah ini langsung menghilangkan kecurigaan pada pembunuh lain.

Selama 15 hari bersidang, ruangan dipenuhi 90 orang saksi dan 215 jenis barang bukti. Animo pengunjung yang menghadiri persidangan ini luar biasa. Sampai siaran dalam radio pun mengingatkan agar para pengendara mobil tidak melewati gedung pengadilan karena jalanan dipenuhi mobil-mobil televisi.

Pertanyaan besar yang dinantikan oleh para hadirin adalah, apakah hanya berdasarkan bukti sebuah kantung plastik yang diperiksa agen FBI Weber akan mampu meyakinkan hakim bahwa terdakwa terbukti bersalah?

Suami tertuduh juga siap tampil sebagai saksi yang meringankan. Selama 5 jam kesaksian, berkali-kali menegaskan bahwa ia yakin istrinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan hilangnya dan terbunuhnya kedua anak perempuannya.

Sims memberikan sanggahannya tidak benar bahwa selama ini ia tak menginginkan anak perempuan dan mentah-mentah menyangkal tidak ada hubungannya sama sekali dengan kematian kedua anak perempuannya. Bahkan ia mengaku selalu menginginkan anak perempuan. Sebab itu ia masih menyimpan boneka-boneka Barbie lengkap dengan pakaiannya yang diperolehnya waktu ia kecil. “Boneka itu saya simpan kalau saya mempunyai anak perempuan kelak,” katanya.

Dalam suatu perdebatan yang panjang di hadapan para juri, Weber mengatakan, “Saya berharap Anda dapat mengabulkan tuduhan ini. Bukankah seorang bayi semestinya tidur di ranjang buaian, bukan di tong sampah? Saudari terdakwa rupanya tidak bisa membedakan antara buaian bayi dengan tong sampah!”

Sementara itu, Groshong mengajukan pembelaan agar tertuduh diberi kebebasan. Alasannya, tidak ada saksi mata ataupun bukti lain yang menunjukkan kliennya melakukan tindak kejahatan terhadap kedua bayi perempuannya. 

Para juri berunding sampai 5 jam. Pengambilan suara pertama menyatakan bahwa Paula Sims bersalah. Menurut laporan wartawan saat putusan diumumkan, Paula Sims duduk tenang di kursi terdakwa dengan kepala menunduk dan kedua tangannya di pangkuannya. Ekor matanya melirik ke kanan dan ke kiri, tapi tidak menampakkan tanda-tanda emosional saat mendengar putusan juri. 

Hakim Matoesian memohon para juri tidak beranjak dulu untuk mempertimbangkan putusan. Ia mengusulkan keputusan ini harus dibuat di bawah hukum Illinois. Perlu diingat bahwa korban masih berusia di bawah 2 tahun dan merupakan kejahatan keji, tidak berperikemanusiaan. 

Sementara itu Groshong mohon agar panel juri masih memberikan kesempatan hidup kepada tertuduh karena pada setiap orang selalu ada “cahaya pada ujung terowongan dan harapan untuk merehabilitasi diri.”

Pada tanggal 30 Januari 1990, 9 bulan setelah bayi Heather terbunuh, juri kembali memberikan keputusan. Paula dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa syarat. Jaksa Penuntut Weber puas dengan keputusan juri tersebut. 

Jaksa Penuntut Richard Ringhausen dari Jersey menyatakan, Paula Sims mungkin akan diajukan ke pengadilan lagi dengan tuduhan sebagai pembunuh Loralei Sims. Namun sampai tulisan ini diturunkan, belum ada tuduhan tambahan atas diri Paula Sims. (Jack Heise)

Baca Juga: Agar Jadi Lelaki Sejati

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635694/kasih-ibu-berakhir-di-penjara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945622000) } } [3]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3643299" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/cemburu-buta-110-tahun-penjara-o-20230105045532.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Pamela Mason ditemukan tewas mengenaskan di garasinya. Pembunuhan dilakukan secara profesional dan tidak ada harta bendanya yang hilang." ["section"]=> object(stdClass)#96 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/cemburu-buta-110-tahun-penjara-o-20230105045532.jpg" ["title"]=> string(30) "Cemburu Buta 110 Tahun Penjara" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 16:56:20" ["content"]=> string(36355) "

Intisari Plus - Pamela Mason ditemukan tewas mengenaskan di garasinya. Pembunuhan dilakukan secara profesional dan tidak ada harta bendanya yang hilang. Siapa tega melakukannya?

--------------------

Pamela Mason dikenal sebagai wanita yang baik. Di usianya yang sudah di atas kepala empat, ia masih tetap tampak cantik. Selain terkenal dan hebat, wanita ini juga kaya raya. Di Boone County, ia salah seorang pemilik Big Red Flea Market, semacam pusat jual beli (pelelangan) barang bekas yang sangat terkenal.

Sudah seumur-umur Pamela Mason tinggal di Boone County. Rumahnya, sebuah farmhouse, bangunan rumah megah di daerah pertanian amat luas. Letaknya dekat North Highway 421. Di tempat ini ia hidup berdua dengan seorang cucu laki-lakinya. Ia sudah bercerai dari suaminya, John Mason, dan mempunyai tunangan baru lagi.

Tak ada hujan ataupun angin, petir bagaikan menyambar kawasan yang tenteram itu. Suatu siang yang panas, pada tangga 15 Oktober 1985, Pamela Mason ditemukan tewas mengenaskan. Tubuhnya telentang di lantai ruang garasi dan lehernya melintir kaku dengan kepala menoleh ke satu sisi. Lelehan darahnya membekas dari sisi kanan kepala dan membentuk genangan yang lengket di atas lantai semen. Nenek seorang cucu ini dibunuh secara kejam.

Sheriff Ern Hudson agak terlambat datang di tempat kejadian. Pasalnya, pada saat terjadi pembunuhan itu ia berada di Kota Indianapolis dan sedang mengusut kasus kriminal lain. Begitu ia tiba di lokasi, jalan masuk yang berbentuk U di halaman rumah Pamela Mason sudah dipenuhi sejumlah mobil polisi dan mobil boks polisi. Usai menanyai petugas di tempat kejadian, Hudson masuk ke garasi, tempat di mana korban tergeletak. Dingin dan gelap.

Ern Hudson bukan sekadar sheriff biasa, melainkan juga kepala penyidik di Boone County, Indiana. Ia seorang detektif yang hebat. 

 

Tulang tengkoraknya retak

Penyidikan demi penyidikan dilakukan. Sejumlah detektif dan ahli masalah kriminal ditanyai. Hudson juga mewawancarai tunangan baru Pamela dan salah seorang keluarganya.

Perlahan-lahan kronologi kejadiannya mulai terungkap. Pada pukul 11.00, di hari yang naas itu, Pamela dan seorang familinya pergi ke Pittsboro untuk meninjau sebuah rumah yang hendak dibelinya. Setelah itu, mereka mampir untuk bersantap siang di sebuah restoran fast-food di Lebanon.

Pamela, kata familinya itu, kemudian mengantarnya pulang lalu melanjutkan perjalanan pulang lewat jalan yang sama ke farmhouse-nya. Rencananya, Pamela akan sekalian menjemput cucu laki-lakinya dari tempat penitipan anak. Namun, yang terjadi kemudian justru si famili menerima telepon dari direktur pusat penitipan anak tersebut. “Pamela ternyata tidak datang menjemput cucunya,” tuturnya kepada Hudson. “Saya curiga, pasti ada yang tak beres.”

la lantas mencoba menelepon Pamela di rumah. Tapi sama sekali tak ada jawaban. Akhirnya, setelah menjemput cucu laki-laki Pamela, ia langsung ke farmhouse.

Mobil Pamela Mason tampak berada di halaman tapi tak seorang pun membukakan pintu. Setelah mengecek lantai satu rumah megah itu, ia kemudian menelepon tunangan Pamela.

“Saya datang seketika itu juga,” ujar tunangan Pamela kepada Sheriff Hudson. “Saya periksa seluruh rumah, saya coba ke garasi.”

Pintu garasi terkunci. Dengan alat pengendali jarak jauh elektronik yang ada di mobil Pamela, pria itu berhasil membukanya dan masuk.

“Ia (Pamela) tergeletak di atas lantai,” tuturnya kepada Hudson. “Di lantai banyak darah.”

Penyidikan masih dilanjutkan hingga menjelang petang. Para pakar kriminal mengukur dan memotret jasad korban dan dengan cermat menyelidiki ruang garasi yang berantakan. Penyidikan diperluas ke seluruh bagian rumah, bahkan sampai ke tanah pekarangan.

Kasus pembunuhan itu betul-betul mengejutkan banyak orang. Menurut ahli patologi, dr. John Olson, korban mengalami luka memar yang sangat parah pada bagian sisi kanan kepala, tampak seperti bekas dihantam dengan martil. Pukulan itu meretakkan tulang tengkoraknya mulai dari telinga sebelah kanan sampai ke bagian atas mata kanan.

“Suatu pukulan dahsyat,” tegas ahli ilmu patologi itu. Kemudian korban ditembak empat kali, semua dari jarak dekat sekali.

Diduga, pembunuhan itu terjadi antara pukul 14.45 (pukul 14.30 - 14.45 seorang tetangga melihat Pamela berdiri di dekat kotak surat) dan pukul 15.30 (saat si famili memasuki halaman rumah itu).

Pembunuhan itu sangat profesional. Meskipun sudah dilakukan pengusutan secara teliti, para penyidik nyaris tidak menemukan petunjuk apa-apa, selain luka kepala bekas tembakan. Mereka lalu menduga, korban dijebak paksa masuk ke garasi yang besar, dingin, dan gelap seperti gua itu, tempat ia dieksekusi.

Motif pembunuhan yang mengerikan itu amat sulit dipahami. Sebagai pemilik Big Red Flea Market, Pamela sering kali membawa banyak uang tunai. Dompetnya berisi uang kontan senilai hampir AS $ 2.000. Anehnya, uang yang ditemukan di samping tubuh korban, masih utuh.

Tidak ada tanda-tanda pemerkosaan atas diri Pamela. Pun tak ada indikasi ia meronta-ronta melawan penyerangnya.

Di mata Sheriff Hudson, ini kasus yang aneh. Sungguh-sungguh aneh.

Hanya ada satu orang yang diharapkan bisa memperjelas keganjilan itu, yakni mantan suami Pamela, John Mason (47). Tanpa membuang waktu polisi meluncur ke apartemen mewahnya di Big Red Flea Market. Tapi yang diburu tidak ada di rumah.

Menjelang petang pada hari itu juga, kebetulan John Mason menghubungi seorang familinya di Indiana bagian selatan dan mendapat kabar bahwa polisi mencarinya. Mason berjanji akan segera pulang.

 

Menolak uji kebohongan

Pada tanggal 16 Oktober, John Mason masuk ke kantor Sheriff. “Anda ingin bicara dengan saya?” tanyanya kepada Ern Hudson yang berada di hadapannya.

“Mungkin Anda bisa menceritakan kepada kami di mana Anda berada kemarin pagi?” kata Hudson balik bertanya.

Mason menggangguk.

Sebagai seorang pengusaha di Boone County, ia mengaku sibuk sekali pada tanggal 15 Oktober itu. Pagi hari ia pergi ke Boone County State Bank untuk membicarakan masalah bisnis pinjaman dengan seorang petugas bank. Sorenya, bersama teman wanitanya ia duduk minum-minum wiski campur es soda di sebuah bar di West Wilcox. “Sekitar pukul 18.00 mereka makan malam, kemudian meluncur ke Nashville, Tennessee.

“Saya baru mendengar kabar tentang Pamela ketika saya menelepon saudara saya itu,” tutur Mason kepada Sheriff Hudson. “Ia mengatakan, polisi mencari saya, jadi saya segera pulang.”

Mason ngotot tidak tahu-menahu perihal kasus pembunuhan istrinya. Meskipun sudah bercerai, ia mengaku masih merasa dekat dengan istrinya. “Saya menikahi wanita itu ketika ia berumur 14 tahun. Saya sangat mengenalnya,” ucap Mason.

Ia merasa sedih dan marah atas berita pembunuhan itu. “Saya berharap Anda bisa menangkap pelakunya,” pintanya kepada penegak hukum.

“John, maukah Anda melakukan uji polygraph?’ kata Sheriff Hudson kepada Mason, untuk mengungkap kebohongan.

“Tidak!” cetus Mason. “Tapi kalau uji itu bisa membantu Anda, saya akan melakukannya.”

Usai interogasi, Mason meninggalkan kantor Sherif.

Namun itu belum berakhir. Pada tanggal 22 Oktober, John Mason menyewa sendiri seorang detektif swasta Indianapolis untuk melakukan penyelidikan atas kematian mantan istrinya. la menawarkan hadiah $ AS 100.000 kepada siapa saja yang dapat memberikan info berharga.

Lucunya, justru uji polygraph tidak ia kerjakan dengan alasan pengacaranya tidak setuju.

Hal itu tak mengherankan Hudson, karena bagaimanapun, Mason adalah terdakwa utama dalam kasus pembunuhan istrinya.

“Semua terpulang ke motifnya,” ujar Hudson kepada seorang wartawan, bertahun-tahun kemudian. “Siapa yang diuntungkan atas pembunuhan itu?”

Jawabannya kembali lagi, John Mason. Semua terpusat sekitar perceraian mereka.

Berdasarkan pengakuan John Mason di hadapan penyidik, ia mengaku jengkel dan kesal ditinggal istrinya. Ia juga tidak senang mendengar Pamela diam-diam menjalin hubungan dengan lelaki lain, seorang juru lelang di Big Red Flea Market. Bagaimana Mason tak tersulut, ia sendiri yang merekrut pria itu.

Mason semakin terbakar karena Pamela dan teman prianya itu merencanakan membuka rumah pelelangan sehingga bakal bersaing dengannya.

Tapi yang paling menyakitkan Mason adalah urusan farmhouse. Sebagai bagian dan proses penyelesaian perceraian mereka, Pamela punya rencana menggadaikan rumah itu. Uangnya akan dibelikan rumah lain di Pittsboro. Transaksi itu mestinya diselesaikan pada tanggal 18 Oktober, 3 hari setelah Pamela dibunuh secara kejam.

Pukulan martil dan tembakan 4 buah peluru pada kepala Pamela Mason ternyata telah mengubah semuanya. John Mason sekarang punya hak penuh atas farmhouse dan Big Red Flea Market. Rezeki nomplok sebesar AS $ 300.000, yang mesti dibayar dengan nyawa Pamela Mason.

Masuk akal bila harta warisan itu membuat John Mason sebagai calon tertuduh. Tingkah polah dan sikapnya selama interogasi pun tidak membantu. Di hadapan penyidik Mason menangis dan beberapa kali berhenti untuk mendapatkan kembali ketenangan.

Tapi Sheriff Hudson memberi ‘catatan khusus’ pada air mata itu, “la memainkan air mata buaya.” Berpura-pura.

Mason menyangkal terlibat dalam kasus pembunuhan istrinya. Meski demikian dalam interogasinya tercetus juga dari mulutnya, “Seorang pria yang sudah menikah selama saya, bisa melakukan apa saja bila istrinya menceraikan dia untuk kabur ke pelukan pria lain.”

la pun mengingatkan Hudson, “Ingatlah, Ern ... seorang teman baik tak akan buka mulut.”

Namun karena yakin bahwa Mason berada di belakang kematian mantan istrinya, Sheriff Hudson terus memeras otak, mencari bukti yang dapat melemparkan Mason ke balik jeruji penjara.

Sayang, Mason punya alibi yang amat kuat pada saat terjadi pembunuhan, Mason berada di Boone County State Bank atau minum-minum di sebuah bar setempat!

Jadi pastilah Mason tidak memegang martil ataupun menarik picu sendiri. Seseorang telah melakukan itu untuknya. Itu dugaan Sheriff dan para detektif. Jadi belum ada alasan kuat untuk bisa menahan John Mason.

 

Ibarat kucing hitam

Selama empat bulan berikutnya, yang berwajib berusaha melacak si pembunuh bayaran. Mereka menanyai lusinan saksi.

John Mason masih sebagai orang yang bebas dan kembali bekerja seperti biasanya. Bahkan Big Red Flea Market yang kini menjadi “miliknya” makin laris saja. Uang terus bergulir ke kantungnya. Duda tua itu tetap mempertahankan gayanya yang angkuh, menerima tamu di bar favoritnya, dan kerap kali ditemani wanita cantik.

Paling sering, ia berkencan dengan Ilse Daniels (43) pemilik rumah makan South Meriden Street. Keduanya kerap bermesraan dan minum-minum di bar langganannya.

Akhir bulan November, dua sejoli yang sedang mabuk asmara itu berlibur dan bersenang-senang selama dua minggu di Florida. Pada tanggal 8 Desember, wanita cantik tersebut ditemukan tewas dengan badan setengah telanjang dan wajah menelungkup, terendam air pantai Fort Pierce, di Florida bagian selatan. Berjarak ribuan mil ke arah selatan dari Kota Indianapolis.

John Mason memang sempat melaporkan bahwa Ilse hilang pada pukul 11.00, setelah mereka berpisah di pantai. la dan beberapa teman dekatnya diinterogasi. Mason mulai menghadapi kehancuran.

“Ini tragedi yang mengerikan,” kata Mason kepada polisi.

Memang tragedi. Tapi betulkah ini kecelakaan?

Dari hasil autopsi ditemukan bahwa Ilse tewas tenggelam. Namun kenyataannya menunjukkan, korban ditenggelamkan ke dalam air secara paksa, dan sebelumnya menerima beberapa pukulan pada bagian kepalanya. Ada seorang saksi mengatakan melihat seorang wanita meronta-ronta melawan seorang laki-laki di tempat itu.

John Mason menegaskan tak tahu apa-apa atas kejadian itu. Ketika ditanya penyidik, kenapa ia baru melaporkan Ilse hilang hampir 6 jam setelah mereka diketahui berduaan untuk terakhir kalinya, jawabnya, “Saya sedang mencarinya. Saya berharap dapat menemukannya.”

Mason masih belum bisa dituntut. Tapi yang berwenang di pantai Fort Pierce Florida, tetap curiga. Demikian juga Sheriff Ern Hudson.

Hanya dalam waktu dua bulan sudah jatuh korban dua orang wanita. Rupanya, tragedi itu setia mengikuti John Mason, ibarat kucing hitam.

Sheriff pun bertanya-tanya: Apakah Ilse Daniels tahu perihal pembunuhan atas Pamela Mason, sehingga ia sengaja dilenyapkan? Dengan begitu Ilse tidak akan pernah dapat menceritakan kepada yang berwenang. Polisi pun terus menduga-duga demikian.

Bulan berganti bulan terlewati. John Mason meninggalkan Florida, pulang ke Boone County dan kembali sibuk dengan bisnisnya seperti tidak terjadi apa-apa. la segera berkencan dengan wanita yang lain lagi. Tetap berlagak seperti tidak pernah ada masalah apa-apa.

 

Lima tahun kemudian

Tahun sudah berganti lima kali, sementara pelaku pembunuhan belum juga tertangkap. Di Kantor Sheriff Boone County, Sheriff Hudson masih terus bekerja keras untuk membongkar kasus dua tragedi pembunuhan itu. Perkara tidak dipeti-eskan.

Akhirnya, betul juga apa yang pernah diomongkan Hudson, “Cepat ataupun lambat seseorang pasti akan buka mulut.”

Kira-kira hampir lima tahun berlalu setelah pembunuhan Pamela, seseorang mau buka mulut.

Awal tahun 1990, setelah bertahun-tahun menderita serangan jantung, David Ralston menemui Sheriff Hudson.

“Anda masih ingat Pamela Mason?” tanya Ralston kepada penegak hukum itu.

Bagi Hudson, peristiwa buruk yang mengerikan itu senantiasa terpatri dalam benaknya, seperti kejadian kemarin sore.

“Ya,” jawab Sheriff. 

“Saya dapat membantu Anda memecahkan teka-teki itu,” ucap Ralston. Tapi sebagai balas jasa, ia minta kepada Sheriff untuk bermurah hati mau menolong anak laki-lakinya yang dipenjara gara-gara mengendarai mobil sambil mabuk.

“Baiklah,” sahut Sheriff Hudson.

Kemudian Ralston menceritakan kepada Hudson bahwa John Mason telah mengontrak seorang pembunuh bayaran untuk membunuh istrinya, Pamela.

Hudson manggut-manggut. “Siapa pembunuh bayaran itu?” tanyanya.

Tapi Ralston mengaku tidak tahu. Sepengetahuannya, Mason tidak pernah secara langsung bertemu dengan orang upahan itu. Ia berhubungan lewat seorang perantara, Bill Grand.

“Grand yang mengatur,” jelas Ralston.

Bill Grand adalah salah seorang teman lama Mason. Polisi pun menyelidikinya. Tapi begitu Sheriff menanyakan tentang kasus pembunuhan yang sudah terpendam selama hampir lima tahun itu, Grand (39) langsung menyangkal.

“Saaaya ... tidak melakukan itu!” akunya kepada Sheriff Hudson. “Sal Reidy yang mengaturnya.”

Nama itu sudah dikenal Hudson. Reidy adalah preman yang tinggal di apartemen belakang Big Red Flea Market dan sering disuruh-suruh Mason. Seperti halnya Ralston dan Grand, Reidy sudah pernah diinterogasi.

Namun tahun berikutnya, Reidy menghilang. Tak seorang pun tahu di mana ia berada, kecuali Bill Grand. “Dia pindah ke Florida,” kata Grand kepada detektif. “Orlando.” 

“Baik,” sahut Hudson. “Anda mesti menunjukkan kepada kami di mana tepatnya.”

Pada tanggal 9 April 1990, Sheriff Hudson, Detektif Francis Shrock dari Indiana State Police, dan Bill Grand berjubel dalam kendaraan tanpa identitas polisi dan siap melakukan perjalanan 16 jam ke arah selatan menuju Orlando, Florida.

Orlando adalah kota yang sarat dengan taman hiburan, di antaranya Disney World dan Epcot Center. Sebuah kota impian. Tapi kompleks apartemen yang mereka tuju, pada malam hari tanggal 10 April, ternyata kompleks yang kumuh dan muram.

Di luar apartemen, Sheriff mengikatkan mikrofon penyadap di dada Bill Grand dan memberikan arahan kepada Grand agar mengatakan kepada Reidy bahwa Mason sekarang sedang ketakutan karena khawatir ada temannya yang melapor ke polisi perihal pembunuh Pamela Mason. 

Bill Grand menuju ke apartemen tempat Reidy tinggal dan mengetuk pintunya. Pintu dibuka dan Grand melangkah masuk.

Sementara di luar apartemen, dengan merundukkan badan di balik mobil, para penyidik menyadap pembicaraan mereka.

Alat penyadap di dada Grand siap merekam pembicaraan mereka. Kepada Reidy, Grand mengaku takut pada Mason. “Ia (Mason) amat senewen,” ujar Grand kepada Reidy. “Semua orang dianggap lawannya.”

“Makanya saya nekat kabur dari Boone County,” sahut Reidy. “Saya tidak ingin mati konyol.”

Sementara itu di luar, di tempat parkir mobil, para penyidik terus menyadap pembicaraan rahasia itu. Setelah dirasa cukup, mereka matikan alat perekamnya dan melangkah menuju ke apartemen untuk menemui Grand dan Reidy yang lagi asyik ngobrol.

Sheriff Hudson merupakan penegak hukum pertama yang memasuki pintu apartemen itu. “Ada apa ini?!” seru Reidy, matanya melotot sebulat kuning telur mata sapi.

Hudson menjelaskan kepada Reidy bahwa penyidikan menunjukkan dialah perantara dalam kontrak pembunuhan Pamela Mason. Mereka memperlihatkan kepada Reidy mikrofon perekam yang terpasang di dada Grand dan kemudian memutar ulang sebagian dari hasil rekaman tadi.

“Anda perantaranya,” tegas Hudson. “Sekarang kami ingin tahu siapa pembunuh bayarannya.”

 

Menyewa pembunuh bayaran

Reidy menjadi serba salah. la betul-betul terjepit dalam dilema. Di satu sisi, John Mason adalah teman karibnya. Sementara di sisi lain ada Sheriff Hudson dan pita perekam pembicaraan menyangkut Reidy dan pembunuh Pamela Mason.

Akhirnya Reidy terpaksa menceritakan kronologi terjadinya kasus pembunuhan kejam itu.

Saat itu musim gugur tahun 1985. Reidy membuka sebuah kios senjata di Big Red Flea Market dan tinggal di apartemen di belakang bar pelelangan. John Mason adalah teman baiknya. Mereka berdua sering minum-minum. Mason sempat mengupahnya untuk suatu pekerjaan sambilan, antara lain berputar-putar menguntit Pamela Mason dan setiap kali melaporkan ke mana Pamela pergi dan siapa yang ditemui. Baginya itu pekerjaan mudah dan ia pun butuh uang. Suatu transaksi yang bagus, tentu saja.

Pada suatu hari, aku Reidy, Mason menemuinya dan menanyakan apakah ia punya kenalan orang upahan yang berlengan kekar dan kuat.

“Saya menjawab, ya,” cerita Reidy. “John ingin menyingkirkan laki-laki teman kencan Pamela. Saya pun siap mencarikan orang yang akan melakukan pekerjaan itu.”

Reidy memperkenalkan Mason dengan John L. Morgan (55), pria peminum berat bertubuh kekar dan kasar berasal dari Alexandria. Kemudian pada 15 Oktober 1985, Pamela Mason terbunuh.

“Apakah Morgan membunuh janda cantik itu?” tanya Sheriff.

“Saya sungguh tak tahu,” jawab Reidy. “Mason tidak pernah mengatakan itu, demikian juga Morgan. Tapi setelah pembunuhan itu, Mason memberi amplop tertutup kepada Morgan lewat saya. Kira-kira 1,5 inci tebalnya. Saya berani bertaruh, amplop tersebut berisi uang.”

Belakangan, menurut cerita Reidy, Mason mengirim lagi amplop lain berisi AS $ 1.000 kepada Morgan.

Setelah pembunuhan itu, Reidy masih sering menemui Mason. Cuma tidak seperti biasanya. “la nampak lain, uring-uringan terus,” jelasnya.

Tak lama setelah pembunuhan, menurut beberapa saksi, Mason mabuk di bar. la berdansa dan ngoceh tentang pembunuhan istrinya.

Dua minggu kemudian, Ilse Daniels mati tenggelam di pantai Fort Pierce, Florida.

Sal Reidy mengatakan tidak tahu-menahu Mason membunuh Ilse atau tidak. Tapi ada kemungkinan, bahkan sangat mungkin.

Interogasi pun berakhir. Reidy telah membeberkan informasi cukup banyak kepada penegak hukum. Tapi itu belum selesai.

“Anda ikut bersama kami,” ajak Sheriff Hudson kepada Reidy.

“Ke mana?” tanya Reidy. 

“Indiana,” jawab Hudson. “Kami ingin Anda membantu membongkar rahasia pembunuhan Mason.”

Sheriff Hudson dan Detektif Shrock menangani kasus tersebut begitu serius. Tiga hari tiga malam tanpa tidur. Urusan belum juga selesai. 

John Morgan, si pemilik bar Alexandria, yang juga pembunuh bayaran itu, sedang menerima tamu di Center Point Tavern, di Alexandria. Sebelum menyuruh Reidy masuk menemui Morgan, lebih dulu penyidik memasang perekam di dada Reidy. Skenarionya sama seperti yang dilakukan Bill Grand saat menjebak Reidy. Reidy mengungkapkan tentang senewennya John Mason dan bagaimana peran Morgan sendiri bisa terbongkar. 

“Tak mungkin mereka dapat melacak pembunuhan itu ke arah saya!” kata Morgan kepada Reidy, sementara pengakuannya direkam secara diam-diam.

Selanjutnya giliran John Mason. Menjelang pukul 02.00 dini hari, penyelidik menemukannya di sebuah bar di Lebanon. Sementara Reidy dengan tape penyadap menemui Mason dan mengatakan bahwa Morgan kini sinting karena tindakan pembunuhan itu.

“Memangnya kenapa? Polisi dapat membuktikan apa?” tanya Mason. Mason sama sekali tak menunjukkan kekhawatiran. 

Mason punya alasan kuat untuk merasa aman. Lima tahun telah berlalu sejak ia dengan angkuhnya meninggalkan kantor Sheriff.

Mason menghabiskan minumannya. “Jangan khawatir,” katanya kepada Reidy. “Saya tidak akan kurang tidur hanya karena perkara ini. Apa yang sudah terjadi, ya sudah selesai.”

Ternyata ia keliru. Dengan pita hasil rekaman di tangan, penyidik tidak menemui kesulitan dalam melakukan penangkapan dan penggeledahan.

John Morgan, orang pertama yang ditangkap. Saat itu sore hari, tanggal 11 April, salah seorang saudara laki-laki Morgan menghubunginya untuk menyampaikan sesuatu yang penting. Mereka lantas bertemu di sebuah agen mobil Chevrolet di Alexandria.

Saudaranya itu juga seorang polisi. Ketika Morgan hendak masuk ke dalam mobil, Sheriff Hudson sudah menunggunya di sana. Begitu melihat ada Sheriff, Morgan berusaha menyelinap di bawah dashboard mobil. Hudson tak ingin kehilangan buruannya, ia pun bergegas membuka pintu mobil, lalu menempelkan moncong pistolnya ke muka Morgan dan menyuruhnya untuk tidak bergerak.

John Morgan ditangkap dan dijebloskan ke dalam jeruji penjara dengan tuduhan melakukan pembunuhan.

Tak lama kemudian, John Mason juga ditahan. “Apa-apaan ini, Ern?” tanyanya kepada Sheriff Hudson ketika hendak diseret ke sel penjara. Ketika Sheriff mengatakan akan menahannya, Mason bilang ingin menjumpai pengacaranya.

 

Divonis 110 tahun

Pada saat diinterogasi di kantor polisi, Morgan tidak banyak cincong. Pembunuh bayaran, yang sekaligus pemilik bar itu hanya mengatakan, “Saya menyerah.”

Cerita Morgan yang terekam selama beberapa kali penyidikan membuat bulu kuduk merinding.

Morgan pertama kali kenal John Mason pada tahun 1985. Ketika itu Mason menyuruhnya menghajar pacar Pamela. “Ia (Mason) mengatakan tidak menyukai laki-laki itu dan ingin mencelakainya,” ungkap Morgan.

Morgan melaksanakan pekerjaan itu tapi kurang sukses. “Laki-laki itu sulit terpisah dari kerumunan,” tuturnya kepada Detektif. “Di sekitarnya selalu banyak orang. Saya tidak dapat mendekatinya.”

Belakangan, lanjut Morgan, ia mengupah dua pria lain untuk melakukan pekerjaan itu. Tapi tak berhasil juga.

Morgan melaporkan kembali kegagalannya itu kepada Mason. “Ia mengira Mason bakal mengamuk. Tapi ternyata Mason punya rencana lain. “Lupakan saja dia,” kata Morgan, menirukan ucapan Mason. Lalu kepada Morgan, Mason mengatakan, “Saya ingin kamu menghabisi Pam.”

“Bagaimana dia ingin kamu melakukannya?” tanya Detektif Shrock.

“Dengan cara yang sama,” jawab Morgan. “Menembaknya!” Morgan menawarkan kontrak awal AS $ 5.000. Kemudian dinaikkan sampai AS $10.000.

Pada hari. “H” itu, menurut pengakuan Morgan, Mason dengan mengendarai mobil mengajak dirinya melewati farmhouse-nya dan menunjuk ke arah mantan istrinya, Pamela; yang sedang berkebun. Tak lama kemudian Morgan balik lagi untuk menemui dan mengatakan kepada Pamela bahwa mantan suaminya mengupahnya untuk memperbaiki pagar. “Kami masuk ke ruang garasi dan saya minta martil kepadanya,” ungkap Morgan. Setelah Pamela memberikan martil kepadanya, ia minta paku.

“Ketika ia (Pamela) bergegas mengambil paku,” lanjut. Morgan, “saya mengikuti dari belakang dan memukulnya tepat pada bagian kepala dengan martil.”

Pamela jatuh terkulai ke lantai, tapi ia belum mati.

Morgan keluar menuju ke mobil, mengambil pistol, kemudian kembali lagi ke garasi.

“Ia memohon-mohon dibiarkan hidup,” ucap Morgan dengan ekspresi dingin. “Jadi saya tembak dia.”

Peluru pertama tepat mengenai kepalanya, tapi tidak menewaskannya. Saat itu, masih menurut pengakuan Morgan, Pamela menggapai-gapaikan tangannya bermaksud menghentikan aksinya, tapi Morgan malahan menembaknya lagi.

“Itu pun masih belum menewaskannya,” aku Morgan. Sehingga ia menembaknya dua kali lagi. Akhirnya, empat logam bundar bersarang di kepala dan menamatkan riwayat Pamela.

Kemudian Morgan masuk ke dalam mobilnya dan meluncur pulang. Sekitar 1 mil sebelah utara Highway 421, ia membuang martil dan pistol yang baru saja digunakannya untuk membunuh Pamela Mason. Belakangan Morgan balik lagi dan mengambil pistol itu. Karena, “Senjata itu bagus,” jelasnya.

Oktober 1990, John Morgan yang pertama dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan Pamela Mason. Ia divonis 110 tahun penjara.

Setahun kemudian, September 1991, John Mason ganti diadili dalam kasus yang sama. Sidang diketuai oleh Hakim Jack O’Neil dan Rebecca McClure sebagai penuntutnya. Pada tanggal 5 Oktober, Mason divonis 110 tahun hukuman. Dalam pemeriksaan terpisah, Mason juga dinyatakan bersalah atas usaha pembunuhan terhadap lelaki tunangan Pamela. Untuk itu ia mendapatkan bonus hukuman 30 tahun.

Akhirnya, John Mason resmi menjadi penghuni bui. Sisa masa hidupnya dihabiskan di balik jeruji, dengan hanya bisa menyesali kesalahannya. (Bruce Gibney)

Baca Juga: Mayat Berselimut Rapi

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553643299/cemburu-buta-110-tahun-penjara" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672937780000) } } [4]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355874" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ..." ["section"]=> object(stdClass)#100 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-20220701064028.jpg" ["title"]=> string(37) "Tak Ada Jalan Keluar dari Pulau Setan" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:40:40" ["content"]=> string(26743) "

Intisari Plus - Sebuah kisah yang mengerikan dari penjara koloni Prancis, Pulau Setan. Keluar dari kamp mudah, tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan ...

------------------

Di masa lampau, ribuan tahanan dari Prancis dikirim ke penjara di French Guiana, yang juga dikenal dengan nama Pulau Setan. Tokoh utama dalam cerita berikut fiktif belaka, namun semua kejadian dan situasi yang digambarkan ditulis berdasarkan kisah nyata yang benar-benar terjadi di penjara.

Baiklah, aku memang penjahat. Aku banyak melakukan pembobolan. Kami melakukan tindak kriminal di Nice pada tahun 1905. Pemiliknya sedang berlibur di atas kapal pesiar. Barang-barang yang mereka miliki ... perak, jam emas di sebuah mantel, dan lukisan-lukisan itu ... Renoir, Rembrandt, dan yang modern itu Picasso. 

Aku tidak terlalu paham tentang itu, temanku Marie Jean mengerti. Dan ia tahu betul siapa yang mau membeli semua itu tanpa membuka mulut. Orang-orang yang menakutkan, kebanyakan, tapi mereka membayar dalam jumlah besar. Kami menghasilkan berjuta-juta Franc dari pekerjaan tersebut. Peristiwa itu bahkan masuk koran.

"Lukisan Berharga Hilang Dicuri" begitu bunyi judul artikel di Le Figaro,

Setelah itu kami pensiun dan menjadikannya sebagai masa lalu. Cara hidup yang nyaman. Namun, salah seorang dari grup kami mabuk di bar dan membeberkan semuanya. Selanjutnya, tahu-tahu ia sudah berada di kantor polisi. Para polisi memukulinya dan akhirnya ia menceritakan segalanya.

Pengadilan berlangsung brutal. Polisi menggambarkan kami sebagai penjahat kelas kakap, kejam sekali. Sebenarnya, kami tidak seperti itu. Memang kami penjahat, tapi kami tidak pernah membunuh siapa pun, dan kami tidak pernah mencuri dari siapa pun yang tidak terlalu kaya raya. 

Mereka mengirim kami ke penjara koloni Amerika Selatan. Kau belum pernah melihat penjahat sebenarnya, jika belum pernah ke French Guiana. Sebagian orang menyebutnya Pulau Setan ... Penjara tersebut adalah penjara paling mengerikan, busuk, dan tempat paling jahat di permukaan bumi.

Di akhir persidangan, kami dijatuhi hukuman sepuluh tahun masing-masing, ditambah sepuluh tahun lagi sebagai "koloni". Begitulah hukum. Kau jalani masa hukumanmu, lalu kau tinggal di daerah itu dalam waktu yang sama persis dengan masa hukumanmu. 

Tak seorang pun dari mereka yang berakal sehat mau tinggal di lubang itu dengan senang hati. Itulah sebabnya mereka mengubahnya menjadi penjara koloni. Prancis menguasai negara itu pada tahun 1817. Tak ada yang mau tinggal dan hidup di sana, jadi mereka mengirim narapidana saja.

Istriku, Bernice, aku merelakannya. Kami bercerai. Banyak pasangan yang melakukannya bila sang pria dikirim ke sana, meskipun mereka masih saling mencintai. Aku mengucapkan sampai jumpa lagi padanya tahun 1907, tepat sebelum mereka mengirimku. Kami tak pernah berpikir akan bertemu lagi. 

Putra-putraku, mereka akan menjadi laki-laki dewasa saat ini ... Aku takkan berani menemui mereka. Mereka tidak akan menyerahkanku pada polisi, tapi mungkin saja seorang di antaranya akan melakukannya. Lebih baik aku bunuh diri daripada kembali ke sana.

Perjalanan ke sini hampir membunuhku. Mereka mengirimkan perahu, Martinière, dua kali setahun. Mereka mencukur rambut kami, memberikan pakaian bergaris-garis ini pada kami, dan menggiring kami ke pelabuhan dengan ujung bayonet, kemudian mengurung kami di sebuah kandang di bawah dek, sekandang sembilan puluh orang. Sangat mengerikan. Kami diberi makan dengan timba dan disiram dengan air laut setiap pagi.

'Teman-temanku" ... wah banyak! Pencuri, penipu, penjahat kejam, pembunuh. Bahkan aku ingin mengirim mereka ke alat pemenggal kepala. Aku pergi bersama René dari grup kami. 

Kami saling menjaga, tidak peduli apa pun yang kami lihat. Pria di sebelah mati tadi malam, tertusuk pisau yang menembus tempat tidur gantungnya. Kami menemukannya di pagi hari dengan mata terbelalak lebar. Kata mereka, uang selundupan sejumlah dua puluh ribu Franc, telah dirampok. 

Narapidana lainnya, seorang akuntan, menjadi gila. Ia mulai berteriak-teriak. Para penjaga menyemprotnya dengan air selang dan meninggalkannya menggigil sendirian. Ia jatuh sakit, tidak mau makan dan minum. Tetapi mereka tetap membiarkannya di dalam kandang. Ia meninggal di pagi hari saat kami tiba di sana.

Aku tidak akan melupakan peristiwa itu. Delapan belas hari kami habiskan di atas laut. Tidak ada apa-apa di luar sana kecuali laut yang suram. Lalu, kapal sampai di tepian. Atmosfer terasa berubah saat kami menuju kota St. Laurent. 

Bukannya angin laut yang dingin yang kami hirup, melainkan sesuatu yang lebih berat dan membawa penyakit. Angin yang mengisap seluruh kekuatan dari tubuh Angin yang penuh dengan wabah penyakit. Kami segera sadar, kami tiba di neraka.

Sambil berdesak-desakan, aku mencoba melihat ke luar kandang. Sungainya sangat lebar, dan aku dapat melihat tepiannya berjarak kira-kira setengah mil. Hutannya terlihat seperti sebongkah batu emerald, dan takkan ada yang percaya betapa lebatnya hutan itu.

"Aku tidak suka membayangkan ular dan serangga jenis apa yang berkeliaran di dalamnya," kata René.

Banyak burung nuri berbulu merah dan biru yang muncul dari atas pohon dan terbang. Kami melihat seekor elang menukik dari angkasa, kemudian mencengkeram seekor nuri. Semua terjadi tak lebih dari sedetik. Kejadian itu seperti suatu pertanda.

Awak kapal kelihatan mulai sibuk saat kami mendekati St. Laurent. Di sepanjang pelabuhan, tampak kerumunan orang seakan datang untuk menjemput kami. Penjaga toko Cina, tukang rumput, istri, dan anak-anak para penjaga, semua sipir dengan seragam putihnya. Mereka semua menengok ke arah kapal, penasaran melihat siapa yang datang.

Semakin kami mendekat, aku melihat sesuatu yang membuat tubuhku gemetar. Di antara kerumunan itu ada orang-orangan untuk menakuti burung ... kurus kering, buta. Tuhan tolong aku. Mereka seperti mayat hidup dengan pakaian compang-camping itu, seluruh tubuh mereka ditato dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mereka adalah narapidana yang bertahan hidup serta sudah selesai menjalani masa hukuman, dan sekarang mereka menjalani kewajibannya sebagai koloni. Aku membalikkan tubuhku ke René dan menunjuk ke arah mereka. Ia tidak berkata apa-apa, tapi jelas bagiku ia kesulitan menelan air ludahnya.

Mereka menghalau kami keluar dari kapal dan menggiring kami ke penjara yang berada di sisi kanan pelabuhan. Kami berdiri di lapangan utama penjara, di bawah terik matahari yang panas. Ada sebuah alat pemenggal kepala di sudut lapangan. Aku bertanya-tanya dalam hati, berapa kali dalam setahun alat itu melakukan hal yang mengerikan itu.

Kepala penjara sudah menanti kedatangan kami. Ia adalah pria kecil berpakaian serba putih. Kemudian ia naik ke atas podium dan mulai berbicara. 

"Kalian semua bajingan yang tak berharga," katanya, "Dikirim ke mari untuk membayar segala kejahatan yang kalian lakukan. Jika kalian bersikap baik, kalian tidak akan mendapat kesulitan. Sebaliknya, kalau kalian bertingkah, kalian ada dalam kesulitan yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya." 

Ia berhenti dan melihat alat pemenggal kepala.

"Kebanyakan dari kalian di sini pasti sudah memikirkan rencana untuk kabur. Lupakan saja! Kalian akan punya banyak kebebasan di kamp dan di kota. Kalian akan segera tahu bahwa penjaga sebenarnya di sini adalah hutan dan laut."

Begitulah. Kami digiring ke dalam blok penjara dan dimasukkan ke semacam penampungan. Aku berpisah dengan René, dan itu membuat kami berdua sangat, sangat gelisah.

Minggu-minggu pertama sangat mengerikan, tapi aku cepat menyesuaikan diri. Aku tidak bertubuh besar, tapi kuat. Untuk mendapatkan segala sesuatu, aku harus berkelahi. Orang akan kehilangan selimut jika kau tidak mempertahankannya.

Aku tidak tahu mana yang lebih buruk, malam atau siang hari. Di siang hari para tahanan harus menjalani kerja paksa di hutan, membersihkan ranting dan tanaman menjalar untuk membuat jalan atau membuka peternakan. Sangat melelahkan. 

Keringat membuat badan basah kuyup, sementara serangga memakan hidup-hidup. Para penjaga akan memukul atau menendang dengan sepatu mereka yang keras jika napi berhenti sebentar mengatur napas.

Aku juga mendengar cerita orang yang ditembak mati di tempat oleh penjaga. Mereka punya kuasa menentukan hidup atau mati. Tak akan ada yang bertindak jika mereka memutuskan menguburmu hidup-hidup. 

Suatu kelompok kerja paksa lebih memilih gantung diri daripada bekerja di bawah pengawasan penjaga yang mereka sebut "Sang Bencana". Beberapa penjaga memang psikopat. Salah seorang teman di penampunganku bernama Henri Bonville, seorang profesor sejarah, yang dikirim ke tempat ini karena membunuh istrinya. Ia memberitahu aku bahwa Raja Napoleon III-lah yang membangun tempat ini pada tahun 1854.

Ketika seorang bawahannya bertanya padanya, "Siapa yang akan Tuan tempatkan untuk menjaga tahanan itu?"

Napoleon menjawab, "Untuk apa? Penduduk di sana lebih kejam dari mereka!"

Ketika malam tiba ... kami dikurung di penampungan. Ruang yang besar, panjang, dan sangat panas. Aku tidak akan bisa melupakan ketegangan orang-orang itu, tapi perkelahian antargeng itulah yang terburuk. Aku menghindari hal itu, tapi tak satu malam pun terlewati tanpa ada yang terbunuh.

Setelah enam bulan René dan aku sudah mengenali tempat ini dengan baik, saatnya kami memutuskan untuk merencanakan sebuah pelarian. St. Laurent, tempat kami berada adalah tempat yang baik untuk itu. 

Orang dapat datang dan pergi dengan leluasa sepanjang hari jika tidak sedang bekerja, tapi harus kembali ke kamp di malam hari. Kamp yang paling mengerikan ada di dalam hutan. Setiap narapidana yang dikirim ke dalam sana, tidak pernah keluar lagi.

Tahun 1907, informasi yang beredar di kamp mengatakan bahwa Venezuela adalah tempat yang paling baik untuk dituju. Letaknya di dekat pantai, dan mereka tetap mengizinkan orang tinggal sekalipun mereka tahu yang bersangkutan seorang buronan. 

Setidaknya, begitulah kondisinya sampai tahun 1935. Saat itu, angkatan bersenjatanya ingin menggulingkan presiden, jadi mereka membayar seorang buronan untuk membunuh presiden, tapi ia gagal. Jadi, sang presiden memerintahkan untuk memulangkan semua buronan yang ada ke kamp.

Suriname, di dekat French Guiana juga merupakan tempat yang aman, sampai suatu hari seorang buronan membakar sebuah toko yang menolak melayaninya. Sejak saat itu, siapa saja yang berasal dari kamp langsung dipulangkan kembali. 

Begitu juga Brasilia, langsung mengirim buronan kembali begitu tertangkap. Namun Brasilia sangat luas, dan sangat mudah menghilang di sana. Argentina juga aman. Banyak pekerjaan untuk orang semacam kami di Buenos Aires. Hanya saja, perjalanan ke sana sangat mengerikan.

Aku dan René berpikir untuk mencoba pergi ke Venezuela. Jadi, kami mengajak dua bersaudara Marcel dan Dedé Longueville. Mereka penjahat bertubuh besar dan bertato. Bukan teman yang ideal memang, tapi sangat berguna jika kau mendapat gangguan. 

Kami mengumpulkan uang yang kami bawa atau yang kami hasilkan selama di penjara untuk membeli perahu dari nelayan lokal. Seorang narapidana berkebangsaan Prancis bernama Pascal, dan temannya yang masih berumur delapan belas bergabung dengan kami. 

Teman baru lainnya adalah Silvere, mantan pelaut. Ia tidak mengumpulkan uang, tapi ia akan menggunakan kemampuannya berlayar selama perjalanan sebagai gantinya.

Maka di suatu malam di bulan Desember, setelah hampir setahun kami berada di sana, kami berusaha kabur. Kami menyelinap saat jam kerja dan bersembunyi di hutan sampai malam tiba. Sebelum pemeriksaan malam, kami menyelinap ke Sungai Maroni dan naik ke perahu. 

Perahunya dalam kondisi baik dengan bekal dan perlengkapan yang komplet untuk perjalanan. Tahap pertama sangat mudah. Arus sungai cukup kencang, jadi kami tidak begitu jauh lagi dari St. Laurent. 

Kemudian sungai melebar. Semakin kami mendekati Samudra Atlantik, semakin kuat bau asin air laut. Baunya seperti kebebasan, dan aku sudah tak sabar lagi untuk bebas.

Namun, setiba kami di sana, segala sesuatu berubah menjadi buruk, sangat buruk. Muara Atlantik penuh dengan pasir dan kami terjebak di sana. Dedé menjadi panik dan menikam Silvere sampai mati. René dan aku sadar riwayat kami sudah tamat. Kami tak ingin membahas tentang Longueville bersaudara.

Perahu kami tak bisa bergerak, dan kami tahu sebentar lagi para penjaga akan datang mencari kami begitu mereka sadar kami menghilang. Kami sempat berdebat sengit mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan semua sepakat untuk menuju hutan. 

Kami turun dari perahu dan mulai menyeberang menuju tepian dengan air sepinggang. Aku berusaha meraih kotak makanan, tapi ombak besar datang dan menerpaku. Semua makanan hanyut. Dedé ingin membunuh aku di setiap kesempatan, untunglah Marcel bisa menenangkannya.

Hari-hari selanjutnya seperti mimpi buruk. Kami tak dapat menemukan apa pun yang bisa dimakan di hutan, juga terpisah jauh dengan beberapa ekor kepiting di tepi sungai. 

Kami kelaparan. Kemudian Pascal berkata, ia dan temannya akan ke dalam pulau untuk mencari apa saja yang bisa dimakan. Kami menunggu, berharap mereka akan kembali dengan sesuatu yang lezat.

Keesokannya Pascal kembali sendiri. Ia mengaku telah kehilangan temannya, tapi nampaknya hal itu sama sekali tidak mengganggunya. Longueville bersaudara pasti akan membunuhmu jika kau mengecewakan mereka, anehnya kali ini mereka seperti memiliki solidaritas tinggi. Mereka pergi mencari pemuda itu. Pascal terlihat agak ketakutan dan terus mengatakan pada mereka tindakan itu sia-sia saja.

Akhirnya, kami segera tahu mengapa Pascal tidak menginginkan mereka pergi. Longueville belum pergi terlalu jauh saat mereka menemukan mayat. Pemuda itu tewas dan beberapa bagian tubuhnya telah dimakan. 

Orang bodoh pun bisa menduga Pascal telah membunuhnya. Mereka kembali dan membunuh Pascal di tempat. Malam itu kami sangat kelaparan dan akhirnya memasak bagian kecil tubuhnya. Ya, kami merasa bersalah, tapi ia pantas menerimanya. 

Lagipula, jika aku tidak memakannya, aku tidak akan ada di sini dan menceritakan semua ini.

Setelah itu, kami kebingungan. Kami berkeliling-keliling berhari-hari, tidak tahu apa yang harus dilakukan, sampai polisi lokal menangkap kami dan mengirim kami kembali ke kamp.

Selanjutnya aku menjalani dua tahun terburuk dalam hidupku. Keinginan kabur sudah lumrah di sini, kepala tidak akan dipenggal karenanya. Namun bisa berakibat lebih buruk. Mereka menempatkan napi di sel pengasingan. Empat dari lima orang di sana menjadi gila atau mati. 

Pemenggal kepala melakukan tugasnya dengan cepat. Kepala napi dipotong hanya sekejap. Kalau tidak, sel pengasingan membunuh orang perlahan-lahan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari. Siksaan paling kejam yang bisa di bayangkan.

Bisa jadi, seorang napi akan dikirim ke pulau St. Joseph dan dimasukkan ke dalam blok sel yang sempit. Di situ orang bahkan tak dapat merentangkan tangan. 

Ada tempat tidur lipat dan pintu dengan lubang seukuran besar kepala, hingga orang bisa menengok keluar. Kesunyiannya sangat menyiksa. Tak ada seorang pun yang bisa diajak bicara. Para petugas memakai sepatu dengan alas lembut agar tidak mengeluarkan suara berisik. Hanya makanan saja yang membantu bertahan hidup. Itu saja.

René dan aku dihukum dua tahun. Ada juga yang lima tahun. Hukuman itu pasti akan membunuhmu sama seperti alat pemenggal kepala atau regu penembak. 

Aku menjaga kewarasanku dengan menulis pesan pada narapidana lainnya atau mengusir kelabang yang ada di selku. Aku menghabiskan waktu dengan tidur, memimpikan gadis-gadis, dan negara yang ingin aku kunjungi, dan masa kecilku.

Aku berteman dengan narapidana yang membantu membersihkan blok, dan mungkin merekalah yang menyelamatkan hidupku. Mereka menyelundupkan sebutir kelapa, lima batang rokok setiap harinya. 

Kelapa menjagaku tetap sehat, dan rokok menemaniku melewati hari. René juga mendapatkan hal yang sama, tapi ketahuan. Satu setengah tahun tak ada kelapa, tak ada rokok. Lalu ia terkena demam tinggi dan tak pernah sembuh. Ia meninggal satu bulan sebelum ia bebas.

Aku tidak akan pernah melupakan hari saat aku melangkah keluar dari tempat itu. Setelah dua tahun berada di sel sempit, aku bahkan tak sanggup berdiri di hadapan orang banyak. 

Aku takut ketika mendengar orang-orang berbicara, apalagi ketika mereka berteriak. Dan ruang terbuka yang luas, sangat membingungkan. Namun, aku tetap berkeinginan kabur.

Kali ini aku lebih hati-hati, dan memilih teman pelarian dengan selektif. Setelah satu tahun, aku sudah selesai mengatur rencana pelarian. Kali ini, kami berlima. Kami membayar nelayan lokal, Bisier des Ages, untuk membawa kami ke Brasilia.

Awalnya, segalanya berjalan lancar. Des Ages menemui kami di tempat yang sudah ia janjikan, kami menyerahkan uangnya. dan kami segera berlayar. Des Ages pelaut yang cukup ulung. 

Keesokan paginya kami sudah tiba di Samudra Atlantik. Kelihatannya ia orang baik, pendiam, dan menjaga jarak. la duduk di tempatnya menghisap pipanya. Selanjutnya, di pagi pertama itu, ia memberitahu kami untuk berlayar di dekat pantai, melewati daerah berpasir.

Setelah kami tiba di daerah berpasir, ia menyuruh kami keluar dan mendorong kapal. Jadi, kami turun. Kami terbenam di lumpur sampai selutut. Beberapa waktu kemudian des Ages berhasil menyalakan mesin dan menjalankan perahu beberapa meter ke depan. Kami masih di air, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

la masuk ke dalam kabin, lalu keluar lagi dengan senapan di tangannya. Semua berakhir begitu cepat ... Masih terbayang jelas dalam benakku, ia berdiri di pinggir dek, menghisap pipanya, menjemput kami, tenang, sangat profesional. 

Akhirnya ia menghampiriku. Aku hanya bisa berdiri kaku, seperti kelinci yang terkepung ular. Segalanya seperti bergerak lambat.

Satu-persatu orang di sekelilingku berjatuhan di air, dan ia mengarahkan senapannya tepat di depanku dan menarik pemicunya.

Tidak terjadi apa-apa.

Des Ages agak kesal, dan ia memeriksa pengunci senapan dan mengumpat. Aku berbalik dan menyeberang secepat yang aku bisa menuju hutan yang berada di tepian. Aku mengira sebuah peluru akan menembus kepalaku dalam hitungan detik, tapi sepertinya des Ages kehabisan amunisi. Aku bisa mendengarnya tertawa. Tawa yang mengolok-olok.

"Larilah, bajingan kecil," teriaknya.

"Hutan itu cukup untuk menghabisimu."

Namun, kali ini aku beruntung. Saat berjalan di tepi pantai, aku menemukan rakit yang terbuat dari empat tong plastik yang diikatkan pada sepasang tangga. 

Orang yang telah menggunakannya juga meninggalkan dayung di sampingnya. Aku segera mengetahui mengapa mereka meninggalkannya. Saat mendorongnya ke laut untuk meninggalkan French Guiana, aku langsung dikelilingi hiu. Namun, semuanya sudah telanjur jauh, aku tak mungkin menyerah.

Hiu-hiu itu mengelilingiku, toh akhirnya mereka bosan juga. Waktu malam tiba, aku hampir mencapai perbatasan Brasilia. Ada sebuah perkampungan kecil di tepi pantai. Aku mencuri sedikit makanan dari sana agar dapat bertahan. Keesokannya aku menyelinap masuk ke Brasilia dan pergi ke Bemen, kota besar terdekat.

Dengan keberuntungan, aku tiba di kota tersebut ketika karnaval tahunan sedang diselenggarakan, dan di jalan sedang ada parade kostum. Aku lewat sebagai pengemis, dan tak seorang pun yang memperhatikan diriku. Setelah itu, segalanya menjadi mudah.

Aku mencopet dompet beberapa orang, lalu memesan kamar hotel. Aku mandi dan membeli pakaian, dan segera mencari pekerjaan di kota. Setelah satu tahun, tabunganku cukup untuk membeli tiket kembali Prancis.

Jadi, di sinilah aku. Kembali ke "rumah". Aku bekerja di toko roti di Paris, di dapur, terhindar dari pelanggan. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil di Jalan St. Dennis, dekat pusat kota. 

Aku suka Paris dengan segala kesibukan dan penduduknya, jauh dari rumah lamaku di daerah selatan, sehingga aku tidak akan berjumpa dengan orang yang mengenaliku.

Namun, terkadang aku berpikir bahwa aku tidak bebas sepenuhnya. Aku tidak menikah lagi, aku menjaga jarak dengan orang. Di setiap pojok jalan, aku bertanya-tanya kalau-kalau ada yang mengenaliku dan mengadukan diriku.

Jika aku mendengar suara dari luar apartemenku ketika tidur malam, aku mulai gemetar dan takut akan mendengar ketukan di pintu. Tidak akan ada orang yang datang berkunjung, jadi yang mengetuk pintu pasti polisi. Aku tidak sanggup kembali ke sana lagi. 

Perjalanan di dalam Martinière, penghukuman di sel pengasingan, dan tahun-tahun mengeri kan di hutan French Guiana. Aku sudah di sana selama dua puluh dua tahun.

 

Setelah Pelarian

Antara tahun 1854 dan 1937, lebih dari tujuh puluh ribu narapidana dikirim ke penjara French Guiana. Dari jumlah tersebut, lima puluh ribu di antaranya mencoba untuk kabur, dan satu dari enam orang berhasil. 

Pengiriman narapidana dihentikan tepat sebelum Perang Dunia II meletus. Selama perang, suplai makanan dari Prancis berkurang, sehingga para tahanan di koloni tersebut menderita kelaparan. Setelah perang pemerintah Prancis menutup penjara itu dan membawa kembali para tahanan yang bertahan hidup untuk menjalani sisa masa hukuman mereka di Prancis.

Bisier des Ages diadukan oleh buronan yang gagal ia bunuh, sehingga ia ditahan. Ia dihukum dua puluh tahun penjara.

Di sana, ia masih saja membawa sengsara bagi narapidana lainnya. Ia menjadi tahanan yang dipercaya untuk melacak tahanan yang melarikan diri. 

Beberapa buku pernah menceritakan kehidupan di penjara French Guiana. Mungkin yang paling terkenal adalah Papillon. Ditulis oleh seorang mantan narapidana bernama Henri Charrière dan diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, dibintangi oleh Steve McQueen dan Dustin Hoffman. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES  Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355874/tak-ada-jalan-keluar-dari-pulau-setan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700840000) } } [5]=> object(stdClass)#101 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355907" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#102 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/sepuluh-pintu-yang-terkuncijpg-20220701063727.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#103 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Sepuluh pintu yang terkunci berdiri di antara Tim Jenkin dan dunia luar. Namun, aktivis anti-apartheid ini bak ditakdirkan untuk lolos dari penjara." ["section"]=> object(stdClass)#104 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/sepuluh-pintu-yang-terkuncijpg-20220701063727.jpg" ["title"]=> string(27) "Sepuluh Pintu yang Terkunci" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:37:41" ["content"]=> string(24436) "

Intisari Plus - Sepuluh pintu yang terkunci berdiri di antara Tim Jenkin dan dunia luar. Namun, aktivis anti-apartheid ini memang ditakdirkan untuk lolos dari penjara Pretoria.

-------------------

Jika ingin mengunjungi sel Tim Jenkin di penjara Pretoria di Afrika Selatan, seseorang harus melewati tidak kurang dari sepuluh pintu terlebih dahulu. Dari halaman luar, ia akan melewati dua pintu pertama di lantai dasar untuk masuk ke dalam penjara. Lalu, satu pintu lagi di dalam lorong. 

Dari sana, sebuah koridor panjang akan mengantarnya pada tiga pintu lainnya sebelum mereka tiba di pos sipir penjara. Lalu, koridor lainnya akan menuntunnya pada sebuah pintu di anak tangga menuju lantai satu. Di sana ia akan melewati pintu lain menuju koridor panjang lainnya. 

Di situlah sel Jenkin berada, bersama dengan sel tahanan politik lainnya. Bahkan selnya mempunyai pintu dalam dan pintu luar. Dan setiap pintu-pintu tadi terkunci di malam hari.

Siapa saja yang mendukung rezim apartheid rasis Afrika Selatan bisa tidur dengan tenang malam itu, karena mereka tahu Jenkin terkunci dalam penjara. "Kejahatan" Jenkin adalah menjadi anggota partai terlarang, yaitu Partai Kongres Nasional Afrika (PKNA) yang memperjuangkan hak Afrika Selatan agar bebas berdemokrasi.

Jenkin telah menjalani jalan yang sama dalam penjara itu sejak Juni 1978. Saat itu, ia telah menjalani satu setengah tahun dari dua belas tahun masa hukumannya. Hidup di penjara begitu membosankan hingga tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, tetapi ada kompensasinya. 

Di sel koridor yang sama ada Steven Lee yang juga anggota PKNA, teman Jenkin sejak di bangku kuliah. Keduanya sudah menyusun rencana kabur sejak mereka tiba di sana. Mereka melihat bahwa tahanan lainnya sudah menerima nasib mereka dan membuang pikiran untuk kabur. 

Namun, tidak demikian dengan Alex Moumbaris. la berada di sana sejak tahun 1973. Ketika Jenkin memberitahunya bahwa mereka sedang memikirkan cara untuk melarikan diri, Moumbaris langsung meminta mereka untuk memberitahu dirinya jika rencana kabur sudah tercetus. Dia rela menjadi kelinci percobaan.

*

Menyusun rencana kabur mengurangi kebosanan Jenkin hidup di penjara. Sedangkan Moumbaris merupakan berkat tersendiri. Sementara tahanan lain mencoba bersikap sopan dan bisa bekerja sama dengan para penjaga, sebaliknya ia justru bersikap kasar dan menolak merapikan selnya. Bagi Moumbaris, penjaga mewakili rezim politik yang dibencinya, dan ia tidak ingin mereka lupa akan hal tersebut.

Tahanan yang bersikap demikian akan diawasi lebih ketat dan lebih mudah dicurigai. Jenkin dan Lee menganjurkan Moumbaris untuk mengubah kelakuannya dan berusaha menjadi tahanan yang baik. Ternyata benar, para penjaga mulai tidak terlalu mengawasinya lagi, sehingga ketiganya bisa mulai menyusun rencana pelarian mereka.

Kini mereka terpaksa terbiasa dengan rutinitas di penjara dari hari ke hari. Ini merupakan keuntungan tersendiri. Ketiganya bisa memperkirakan dengan hampir tepat apa yang akan dikerjakan oleh penjaga pada jam-jam tertentu. 

Mereka juga tahu kapan mereka akan tidak terlalu diganggu. Misalnya, jam makan para penjaga adalah waktu mereka tidak akan diawasi. Mereka juga mengetahui, jam setengah lima saat para tahanan dikunci dalam sel sampai malam, hanya ada satu penjaga yang tetap tinggal dalam penjara, di pos penjagaan di lantai dasar. 

Lalu, ada seorang penjaga di jembatan kaca di halaman depan luar penjara. Ditambah satu orang lagi yang menjaga pintu keluar utama, tapi ia tidak akan ada sebelum jam enam sore.

Tampaknya, hanya ada dua pilihan. Pilihan pertama cukup sederhana. Mereka tinggal memecahkan jendela sel masing masing, lalu lari sekencang-kencangnya melewati halaman penjara, dan memanjat pagar setinggi enam meter yang mengelilingi penjara. 

Sederhana memang, tapi risiko terluka atau mati sangat besar. Begitu dimulai pasti sudah diadang anjing pelacak di halaman, yang terlatih membenamkan giginya ke tubuh siapa saja yang mencoba lari.

Para tahanan diizinkan berada di halaman pada jam-jam tertentu sepanjang hari. Jenkin dan Moumbaris mencoba membuat variasi pada rencana mereka. Beberapa ekor anjing digunakan pada rotasi mingguan, dan sekalipun sebagian dari anjing-anjing itu diberi makan, yang lainnya masih menggeram bila melihat makanan baru.

Tetapi, ada masalah lain dengan rencana tadi, yaitu para penjaga bersenjata di jembatan kaca di atas halaman yang dilengkapi dengan senter pada saat jaga malam. Mungkin mereka bisa menciptakan pengecoh, tapi semakin dipikir mereka semakin merasa bahwa rencana itu tidak akan berhasil.

Jadi, ketiganya beralih pada rencana yang lebih rumit. Artinya, keluar lewat jalan masuk. Hati Jenkin ciut membayangkan hal rumit yang membentang di hadapan mereka. Akan memakan waktu berabad-abad untuk menemukan cara lolos dari sepuluh pintu tersebut.

Apapun yang akan dikerjakan harus dilakukan dengan cerdik, karena mereka hanya punya satu kesempatan. Bila tertangkap, jika tidak dibunuh di tempat, sejumlah tahun tahun akan ditambahkan pada masa hukuman mereka, dan mereka akan diawasi lebih ketat lagi. Bahkan mungkin saja mereka akan dipindahkan ke penjara lain yang lebih mengerikan.

Maka, tiga sekawan itu mulai memikirkan cara meloloskan diri dari setiap pintu yang ada di penjara, dan dari mana lagi mereka harus mulai kalau bukan dari pintu sel masing-masing? Jenkin mencatat ukuran lubang kunci dan mengukur dengan teliti bentuk "pasak" yang ada di dalamnya yang menggerakan mekanisme penguncian.

Jenkin mendapat ukuran dan bentuk pasak dengan membuat cetakan yang terbuat dari kertas kosong yang ia masukkan ke dalam lubang kunci dengan hati-hati.

Di penjara ada bengkel, tempat para tahanan menghabiskan waktu membuat perabotan rumah tangga. Ini merupakan kesempatan emas bagi tiga sekawan tersebut. Mereka mempunyai materi dan peralatan lengkap untuk membuat kunci. Bahkan petugas yang berjaga di sana terlalu mengantuk untuk mengawasi yang dibuat Jenkin.

Secara bertahap, lewat kegagalan dan kesalahan, Jenkin berhasil membuat kunci pertamanya. Pertama-tama ia membuat bentuk dasarnya di bengkel penjara, lalu mengukir potongan-potongan penting lainnya di dalam selnya dengan alat yang dicurinya dari bengkel. Ketika kunci pertamanya selesai, ia menemukan satu hal penting, yaitu kunci yang sama bisa membuka pintu sel di koridor yang sama.

Kunci yang mereka butuhkan untuk membuka pintu lainnya ada di sekitar mereka. Kunci-kunci tersebut bergelantungan di pinggang atau di tangan para penjaga. Jenkin merasa bahwa mereka sengaja menciptakan suara gemerincing kunci-kunci tersebut untuk menyiksa batin para tahanan. Ketika ia menyaksikan penjaga mengunci atau membuka pintu selnya, ia berusaha keras melihat bentuk kuncinya serinci mungkin.

Semakin mereka menyusun rencana kabur dari yang sepertinya tak terkalahkan ini, mereka semakin sadar akan adanya beberapa perubahan luar biasa di bidang keamanan. Di siang hari, para tahanan diizinkan berada di beberapa bagian penjara lainnya, melewati sepuluh pintu tersebut. 

Ajaibnya, kuncinya pun sering tertinggal di masing-masing pintu, dan hanya dicopot bila pintu dikunci di malam hari. Mencuri kunci pasti akan ketahuan, tapi tiga sekawan itu bisa membuat cetakannya dengan sabun dan membuat duplikatnya nanti. 

Ada beberapa kunci yang tidak tertinggal di pintunya, tetapi bertambahnya pengetahuan mereka tentang mekanisme penguncian, Jenkin, Lee, dan Moumbaris membuka kunci pintu, atau membukanya di tempat lalu mengukur pasaknya dan memasangnya kembali. Ajaibnya, mereka tidak pernah tertangkap basah.

Satu pintu yang merupakan masalah besar bagi mereka adalah pintu luar sel mereka yang hanya bisa dikunci dari luar. Namun, itu bukan pekerjaan yang mustahil. Setiap sel memiliki jendela dengan pemandangan koridor. Mereka membuat engkol dengan gagang dan materi lainnya yang mereka curi dari bengkel. 

Diperlukan waktu empat bulan untuk menyelesaikan pembuatan kunci bergagang itu. Moumbaris menyembunyikannya dalam bentuk beberapa potongan di dalam selnya.

Seiring bertambahnya jumlah kunci mereka, mereka sadar ada beberapa kunci mempunyai bentuk yang sama. Mereka menemukan bahwa satu kunci pintu cocok dengan pintu lainnya, atau hanya perlu diberi tambahan kecil untuk membuka pintu lain. 

Selain itu, semakin banyak kunci yang mereka buat, semakin besar pula kesulitan untuk menyembunyikan semuanya. Sama seperti penjara lainnya, sel digeledah secara rutin. 

Untungnya, karena sipir penjara beranggapan bahwa Jenkin, Lee, dan Moumbaris termasuk tahanan teladan, sel mereka tidak digeledah dengan ketat. Meski demikian, mereka tetap harus berhati-hati. 

Mereka menyembunyikan kunci-kunci itu di dalam toples sabun atau gula, beberapa di antaranya dibungkus dengan rapi, dan dikubur di taman, di bawah tanaman tertentu supaya mereka bisa mengingatnya.

*

Elemen lainnya yang cukup vital dalam rencana ini adalah baju yang akan mereka pakai. Tahanan penjara Pretoria wajib memakai seragam, tapi mereka diperbolehkan memesan "baju olahraga" yang memang dilakukan oleh mereka. Mereka juga mendapatkan celana jin dan t-shirt yang disediakan penjara untuk dipakai tahanan yang sedang membersihkan lantai.

Menyembunyikan pakaian-pakaian tersebut jauh lebih sulit daripada menyembunyikan kunci. Keberuntungan menghampiri mereka lagi. Para pekerja datang untuk membetulkan pancuran mandi dan alat pemanas di koridor sel mereka, tak sengaja meninggalkan pintu lemari yang biasanya terkunci dalam keadaan terbuka. 

Mereka segera melepaskan grendel kunci dan membuat kunci duplikatnya, kemudian memasang kembali semua pada tempatnya sebelum ada yang memperhatikan. Kini mereka mempunyai tempat yang aman untuk menyimpan semua pakaian dan segala perlengkapan yang diperlukan untuk kabur. 

Semuanya sangat praktis, karena jika penjaga menemukan barang-barang tersebut, mereka tidak akan tahu milik siapa semua itu.

Pada saat kabur nanti, mereka pikir mereka tidak akan punya banyak waktu untuk melakukan semua itu, tetapi lambat laun bukan itu masalahnya. Ketika Jenkin pertama kali tiba di penjara, ia menyembunyikan uangnya tanpa diketahui sipir. Mereka pasti akan memerlukannya saat melarikan diri nanti. Masalahnya, mata uang Afrika Selatan akan diganti, dan uang itu tidak akan berlaku lagi.

Masih ada masalah lain yang harus diatasi. Dekat pintu masuk utama penjara terdapat pintu elektronik yang dioperasikan sebuah tombol di pos jaga malam. Membuka pintu tersebut tentunya merupakan bahaya besar. 

Selain itu, ada dua pintu lainnya yang sama sekali belum sempat mereka lihat sebelumnya. Satu di koridor menuju jalan keluar penjara, dan yang satu lagi adalah pintu keluar penjara. Semua itu harus dikerjakan di malam mereka melarikan diri. 

Mungkin salah dari kunci mereka akan cocok, atau mereka harus membawa perkakas yang mereka curi dari bengkel.

Tanggal 11 Desember 1979 adalah hari yang mereka pilih untuk melarikan diri. Petugas jaga malam itu Sersan Vermeulen, adalah petugas paling lesu dan sering mengantuk yang mereka tahu. 

Tetapi mereka harus cepat. Jam enam sore nanti seorang penjaga akan berdiri di depan pintu masuk penjara. Artinya, mereka cuma punya waktu sekitar satu setengah jam untuk kabur.

*

Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Untungnya banyak hal yang harus dikerjakan untuk mengalihkan pikiran mereka dari bahaya yang akan dihadapi nanti. Minggu lalu terasa berjalan dengan lambat, dan masing-masing mengkhayalkan teman-teman yang dapat mereka temui lagi, serta makanan lezat yang bisa mereka makan. 

Setelah bertahun-tahun makan makanan hambar tanpa gizi di dalam penjara, mereka benar-benar tak sabar untuk bisa makan sesuatu yang benar-benar lezat.

Sore itu, ketiganya mengatur sel masing-masing sedemikian rupa agar tidak meninggalkan jejak apa pun. Mereka tahu, anjing pelacak akan dikerahkan untuk mencari mereka, jadi mereka mencuci pakaian yang mereka kenakan hari itu menyemprot wewangian di atas tempat tidur mereka, dan membubuhkan lada di sepatu yang mereka tinggal. 

Semua catatan rahasia tentang rencana ini dibuang ke saluran pembuangan air. Jenkin merasa sulit melakukannya. Selama ini, di kegelapan malam ia telah menyatu dengan semua kenangan tersebut.

Selanjutnya, sebagai sentuhan akhir, mereka membuat tubuh palsu di tempat tidur. Mereka mengisi celana overall dengan handuk, baju, dan buku-buku, kemudian meletakkan sepatu di ujung tempat tidur agar terlihat seperti kaki.

Semua tahanan lainnya di koridor yang mengetahui rencana pelarian ini memberi ucapan semoga berhasil pada mereka. Beberapa bertanya-tanya apakah para penjaga sudah mengetahui rencana tersebut dan telah bersiap-siap menyergap mereka, tapi semua itu tak beralasan.

Pada waktu jam mandi sore itu, mereka membuka lemari dan mengatur urutan pakaian mereka agar mereka bisa berpakaian dengan cepat. Di jam makan malam, mereka makan sup sebanyak-banyaknya, lalu kembali ke dalam sel dan menunggu. Rutinitas terakhir (ditutupnya semua pintu dan para penjaga pergi) dimulai. 

Semua adalah ritual di malam hari yang mereka harap tidak akan pernah mereka dengar lagi. Begitu para tahanan lain beristirahat, saatnya bagi mereka untuk menguji segala kerja keras mereka selama berbulan bulan.

*

Jadi, pukul 04.40 sore itu, saat penduduk Pretoria bersiap pulang kerja, atau saat buruh keluar dari pabrik, sebuah pelarian mulai dilaksanakan. Ketiganya membuka pintu dalam sel masing-masing dengan kunci palsu, kemudian Moumbaris membuka pintu luar selnya dengan kunci bergagang, lalu lari secepatnya menuju sel Jenkin dan Lee untuk membebaskan mereka.

Selanjutnya, tiga sekawan itu menyelinap ke kamar mandi untuk melepaskan seragam dan berganti pakaian biasa. Mereka memakai sarung tangan agar tidak meninggalkan sidik jari, dan topeng untuk berjaga-jaga bila penjaga melihat mereka dari jauh, mereka bisa langsung lari kembali ke sel tanpa dikenali. Kemudian mereka lari ke ujung koridor dan membuka pintunya dengan kunci palsu ketiga.

Di balik koridor tersebut terdapat anak tangga. Di sana ada kotak sekring. Dengan hati-hati, Jenkin membukanya dan melepaskan satu sekring. Dalam sekejap listrik di lantai satu padam. Setelah mengunci pintu di belakang mereka, ketiganya segera menuruni anak tangga menuju lantai dasar dan bersembunyi di lemari penyimpanan di belakang tangga.

Setelah beberapa saat, seperti yang telah diinstruksikan sebelumnya, para tahanan di lantai satu mulai berteriak, mengeluhkan padamnya listrik. Petugas malam, Sersan Vermeulen, tersentak di kursinya. Ia tengah asyik membaca stensilan dan tidak ingin diganggu. Ia berjalan lambat di aula, melewati lemari penyimpanan dan naik ke lantai satu.

"Tenang, tenang," teriaknya."Ada apa?"

la segera sadar masalah yang terjadi di lantai satu. 

"Diam, diam. Paling-paling sekringnya terbakar. Sekarang, tenang semua. Akan segera kuperbaiki."

Namun, teriakan berlanjut. Vermeulen heran mengapa para tahanan begitu gelisah malam itu. Cukup cepat ia memperbaiki sekring itu, dan listrik pun segera menyala. Lalu, ia menghabiskan waktu lima menit untuk mondar-mandir di koridor, mencoba menenangkan tahanan yang masih berteriak.

Rencana berjalan sempurna. Sementara Vermeulen berteriak-teriak di lantai satu, Jenkin, Lee, dan Moumbaris menyelinap keluar dari persembunyian mereka dan bergegas melewati pintu dekat tangga yang dibiarkan terbuka oleh Vermeulen. 

Perhentian selanjutnya adalah pos penjagaan Vermeulen. Mereka masuk ke dalam, mata mereka segera mencari tombol pembuka pintu elektronik yang ada di lorong Mereka menemukannya dan langsung menekannya. Dari kejauhan mereka bisa mendengar bunyi 'klik'.

Tiga pintu lainnya berdiri di antara mereka dan pintu elektronik yang baru saja mereka buka. Dua pintu pertama dapat mereka buka dengan kunci palsu. Pintu nomor tujuh merupakan masalah. Mereka belum pernah mencoba pintu ini sebelumnya, jadi mereka membawa tiga kunci sebelumnya yang mereka pikir mungkin bisa cocok. Tiga sekawan ini berkumpul, Jenkin lebih dulu mencoba.

Ini adalah rintangan yang bisa saja menggagalkan pelarian mereka, ketiganya mencoba membuka kunci dengan rasa cemas yang luar biasa.

Jenkin mengumpat pelan saat kunci pertama tidak bisa membuka pintu.

"Satu gugur, masih ada dua lagi." 

Kunci kedua dimasukkan dan diputar. Terdengar suara grendel kunci membuka. Mereka ingin bersorak kegirangan. Tetapi kini Vermeulen pasti sudah kembali ke pos jaganya, jadi mereka hanya mengepalkan tinju ke udara sambil tersenyum lebar.

Pintu ke delapan (dioperasikan secara elektronik) seperti mengundang mereka di ujung koridor. Ketiganya bergegas melewatinya dan sampai di aula luar penjara.

Sisa dua pintu ...

Pintu ke sembilan, yang menuntun mereka ke pintu keluar terakhir, tidak menjadi masalah. Pintu itu dibuka dengan kunci yang telah membuka pintu sebelumnya. Kini hanya ada satu pintu mengadang di depan, merintangi mereka dengan kebebasan.

*

Pintu terakhir belum pernah mereka coba sebelumnya, dan di situlah mereka kehilangan keberuntungan yang menyertai mereka selama ini. Mereka tiba di puncak ketakutan karena tak satu pun kunci yang cocok dengan pintu tersebut. 

Fakta pintu datar ini terbuat dari kayu biasa dengan gerendel kunci biasa, sangat mengesalkan mereka. Semua pintu yang mereka lewati sebelumnya adalah pintu besi penjara yang sangat besar dan kuat.

Waktu juga jadi masalah bagi mereka. Sejam sudah berlalu, terhitung saat mereka mulai kabur, dan sebentar lagi jam 06.00. Dengan adanya seorang penjaga di depan pintu, tentu akan semakin menyulitkan pelarian.

Setelah gagal membuka pintu dengan semua kunci ada, kini saatnya untuk bertindak kasar. Moumbaris meminta sebuah pahat dan mulai memahat pintu di bagian grendel kunci. Jenkin melihatnya dengan rasa kecewa. Kalau semua berjalan lancar sesuai rencana, maka nampaknya tiga sekawan ini seolah-olah menghilang bersama udara. 

Mereka telah mengunci semua pintu di belakang mereka, jadi tidak akan ada indikasi bagaimana cara mereka melarikan diri dari penjara. Sekarang, jika mereka memang berhasil lolos, pihak berwenang akan mendapat petunjuk dari bekas pahatan di pintu kayu. Petunjuk yang bagus untuk mengumumkan bagaimana cara mereka kabur. 

Setelah memahat, Moumbaris mencoba untuk mengakali mekanisme kunci, tapi selalu gagal, bahkan obeng yang digunakan mengeluarkan suara cukup keras. Setiap kali ini terjadi, mereka yakin Vermeulen mendengar suara tersebut. Namun, Vermeulen benar-benar asyik dengan bukunya. Jadi, mereka bisa melanjutkan tanpa ketahuan.

Akhirnya, mekanisme kunci terbuka, ketiganya bersiap-siap menghadapi dunia luar. Mereka melepaskan sarung tangan dan topeng mereka, lalu mengenakan sepatu lari, berusaha terlihat sewajar mungkin. Lalu, Moumbaris menyentak pintu dengan kencang, pintu pun terbuka dengan suara decitan keras.

Mereka mengintip ke luar, dan mengira akan melihat seorang penjaga di jembatan, atau ditodong senapan. Ternyata, penjaga telah berjalan ke sisi lain halaman dan tidak terlihat. Dengan situasi aman seperti itu, tak ada hal lain yang harus segera dilakukan selain berjalan keluar ditemani matahari yang tenggelam di ujung barat, berjalan terus sampai ke jalan besar dan menyetop taksi.

 

Setelah Pelarian

Beberapa hari kemudian, Jenkin, Lee, dan Moumbaris telah berhasil menyelundup keluar dari Afrika Selatan ke Maputo di dekat Mozambik. Dari sana mereka pergi ke Eropa. Pelarian mereka membuat pemerintah Afrika Selatan sangat malu, sehingga mereka memaksa salah satu dari penjaga untuk mengaku telah berkomplot dengan tiga buronan tersebut.

Rezim apartheid Afrika Selatan yang menyangkal hak suara orang kulit hitam untuk memilih, serta menyangkal hak asasi lainnya, menjadi masa lalu. Pemilihan umum multiras yang pertama diselenggarakan pada 1994.

Setelah terbang ke London, Tim Jenkin kembali ke tanah kelahirannya, Afrika Selatan, pada 1991. Ia bekerja sebagai petugas humas untuk PKNA di Johannesburg. Steven Lee hidup mapan di London, bekerja sebagai tukang listrik di surat kabar nasional. Alex Moumbaris pergi ke Paris dan bekerja di bidang komputer. (Nukilan dari buku:

TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355907/sepuluh-pintu-yang-terkunci" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700661000) } } [6]=> object(stdClass)#105 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355972" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#106 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#107 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk kabur dari penjara Jerman. Padahal dia tidak bisa berbicara dalam bahasa Jerman." ["section"]=> object(stdClass)#108 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/menyamar-sebagai-ivan-bagerovjp-20220701063449.jpg" ["title"]=> string(29) "Menyamar sebagai Ivan Bagerov" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:35:05" ["content"]=> string(23817) "

Intisari Plus - Pada tahun 1943, seorang perwira Angkatan Laut Inggris mempersiapkan jalan untuk melarikan diri dari penjara Jerman. Dia tidak dapat berbicara dalam bahasa Jerman, namun penyamarannya sebagai perwira Angkatan Laut Bulgaria sangat membantunya. 

---------------------

"Keluar dari sini, itu sangat mudah. Keluar dari negara ini, itu bagian yang tersulit."

Perwira Angkatan Laut Inggris, Letnan David James, sedang menjelaskan rencananya untuk kabur kepada tahanan lainnya, Kapten David Wells. Keduanya merupakan penghuni penjara tahanan perang, Marlag und Milag Nord, dekat Bremen, Jerman. Waktu itu, awal musim dingin tahun 1943, empat tahun setelah dimulainya Perang Dunia II.

James telah memikirkan dua penyamaran untuk mengeluarkan dirinya dari kamp menuju Swedia, tempat ia bisa kembali ke Inggris. 

Kedua pria tersebut duduk di depan tungku batu bara. Pondok mereka sangat dingin, tapi untunglah api menjaga mereka tetap hangat. Di luar jendela, hujan yang dingin turun sepanjang hari. Musim dingin di Jerman utara turun bagaikan balas dendam.

James mulai merinci rencananya untuk lari.

"Begini...Aku adalah orang asing yang hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman. Jadi, aku akan tetap menyamar sebagai orang asing. Penjaga dan perwira yang akan kutemui telah terbiasa melihat kartu identitas setiap hari. Mereka bisa mengenalinya seperti punggung telapak tangan mereka sendiri dan mampu melihat apapun yang palsu hanya dengan jarak dua puluh langkah. Jadi, aku akan tampil dengan identitas yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Aku akan menyamar sebagai orang Bulgaria!"

Wells terbengong-bengong sesaat, lalu matanya membelalak.

"Kenapa?"

James melanjutkan, "Seperti yang kau tahu, Bulgaria adalah sekutu Jerman, tapi tak seorang pun di sini yang tahu banyak tentang mereka. Mereka tidak akan bisa mengenali jika ada seorang Bulgaria yang datang dan menonjok hidung mereka. Lagipula, aku pikir jika aku bisa membuat seragamku tampak seperti seragam Angkatan Laut Bulgaria, tidak akan ada yang bisa membedakannya. Setidaknya, aku tidak bisa."

Wells tertawa.

"Angkatan Laut Bulgaria. Mereka hanya punya kira-kira tiga kapal. Kau ada di pihak yang menang, Bung. Apa yang ada padamu?"

James menunjukkan bukti-bukti padanya. Seorang teman di kamp yang bekerja sebagai penjahit sebelum perang telah membuatkan untuknya sebuah lencana berwarna keemasan dan biru berinisial KBVMF yang merupakan inisial dari Angkatan Laut Bulgaria.

"Huruf-huruf itu kelihatan aneh. Itu inisial Rusia kan?" tanya Wells.

"Bukan, ini inisial Bulgaria," jawab James. "Mereka menggunakan alfabet yang sama dengan Rusia. Itulah langkah selanjutnya dalam rencanaku. Bahkan aku telah memiliki setumpuk dokumen yang dipalsukan teman kita di pondok D. Ia biasa bekerja sebagai ilustrator buku, dan menyelesaikan pekerjaannya yang brilian. Lihat ini!"

James menuju lokernya dan mengeluarkan sebuah map yang penuh dengan kertas-kertas, surat-surat, kartu pas, dan sebuah foto berukuran besar. 

"Ini kartu identitasku. Letnan Ivan Bagerov— Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Semua tulisan Bulgaria itu tidak akan dimengerti oleh penjaga."

Wells tertawa.

"Siapa laki-laki tampan di foto itu? Pastinya itu bukan kau!"

James tersenyum.

"Coba perhatikan. Kami menemukannya di majalah Jerman. Ia adalah pahlawan Jerman. Kelihatannya agak mirip denganku, tapi karena kami membubuhkan stempel Bulgaria di atas setengah wajahnya, jadi tidak akan terlihat dengan jelas!

Aku sudah memastikan segala sesuatu di koporku terlihat seperti milik orang Bulgaria, setidaknya orang akan beranggapan itu milik orang Bulgaria. Bahkan, aku telah mengelupas tulisan Inggris di merk sabunku dan menggantinya dengan tulisan Bulgaria."

"Yang besar itu foto siapa?" tanya Wells."Sepertinya ia penari balet. Siapa namanya?"

James tertawa lagi.

"Itu sayangku Margot Fonteyn. Cantik kan! Aku akan mengaku pada siapa saja yang menggeledah koporku bahwa ia adalah tunanganku. Itu akan jadi pengecoh yang efektif. Kau kenal Robert di pondok E? Ia bisa berbicara dalam bahasa Rusia, jadi aku memintanya menuliskan sebuah surat cinta untukku. Kita bahkan bisa menipu malaikat! Dan ... aku telah mengganti semua merk pakaianku yang buatan Inggris. 

Aku tidak bisa mendapatkan merk Bulgaria atau Rusia. Tetapi, beberapa teman asal Yunani di kamp telah memberikan yang mereka punya. Merk-merk tersebut cukup terlihat berbeda. Dan di atas segalanya, Bulgaria juga kerajaan monarki, jadi ukiran mahkota di kancing seragam Angkatan Laut Inggris milikku tidak perlu diganti."

"Dan, ini dia!"

James mengeluarkan dokumen palsu lainnya.

"Ini sebuah surat pengantar dari Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria. Surat itu tertulis dalam bahasa Jerman, akan kutunjukkan kepada siapa saja yang menghalangiku.Aku pikir surat itu akan banyak membantuku. Bunyinya : Letnan Bagerov bertanggung jawab di bidang teknik yang mengharuskan dirinya banyak bepergian.

Karena ia hanya berbicara sedikit bahasa Jerman, maka setiap perwira Jerman dimohon untuk membantunya.”

Wells menertawakan rencana nekad tersebut. Dia terkesan, tapi nampak khawatir. 

"Oh, kabar buruk, James. Beberapa perwira Angkatan di sini telah pergi ke Bremen beberapa minggu lalu mengunjungi rumah sakit di sana. Seragam Angkatan Lautmu mungkin terlihat agak berbeda, tapi tidak terlalu berbeda. Aku yakin seseorang akan mengetahui dan menangkapmu." 

"Aku telah memikirkannya juga. Aku akan memulai pelarianku dalam samaran yang lain! Kancing seragamku akan kubungkus dengan perca sutra, aku punya topi kain, scarf, dan celana kanvas tua. Aku akan menjadi Christof Lindholm, seorang tukang listrik Denmark! Aku juga sudah punya kartu pasnya."

"Wah, kau benar-benar sibuk selama ini, ya!" kata Wells. "Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan identitas aslimu bila kau berhasil mencapai Swedia, atau bahkan Inggris?"

"Aku juga sudah memikirkan hal itu. Aku telah memasukkan semua identitas asliku di lapisan dalam jaketku, jadi aku bisa menjadi diriku lagi kapan saja bila diperlukan."

"Kalau begitu, semoga sukses, sekalipun dengan semua itu aku pikir kau tidak memerlukannya," kata Wells.

James terlihat agak sakit.

"Sebenarnya, duduk di depan api ini dibandingkan hujan di luar sana, aku tidak yakin aku ingin kabur. Tetapi, banyak orang yang sudah bersusah-payah membantuku dalam hal ini, jadi aku harus mencobanya."

*

Dan ia memang mencobanya. Pagi hari, 8 Desember 1943, James berjalan menuju tempat pemandian di kamp. Tak diduga! Sebuah jendela di sana terbuka, jadi yang perlu dilakukan James adalah langsung memakai kostum tukang listrik Denmark, dan menyelinap keluar saat tak ada yang melihat.

Berjalan keluar dalam penyamarannya, ia sama seperti pekerja lokal yang ada di sana. Tetapi, masalah muncul tak lama setelah ia keluar dari kamp. Dia dihentikan oleh seorang polisi yang mencurigainya. Dalam hatinya, James sangat panik. Setelah susah payah kerja kerasnya selama ini, di sinilah dirinya, jauh dari kamp, hampir tertangkap. 

Polisi itu memeriksa kopornya. Untunglah hanya ada beberapa potong pakaian di dalamnya. James sudah menyembunyikan semua dokumen Ivan Bagerov dengan hati-hati, semuanya diikat di kakinya dengan perban.

Polisi mulai mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Apa yang dilakukannya, siapa dirinya, dengan siapa ia tinggal. Benar-benar mimpi buruk. James hanya bisa berbicara sedikit bahasa Jerman, dengan tak jelas ia mengatakan bahwa ia tinggal bersama seorang pendeta lokal. Ia bahkan tidak tahu siapa namanya, hanya menyebutnya "Bapa."

Polisi masih tetap curiga dan bertanya seperti apa perawakan sang pendeta. James nekad berspekulasi. Pendeta itu berambut abu-abu, dan ternyata memang benar. Ia menambahkan beberapa cerita dengan harapan polisi tersebut tidak mempermasalahkan logat pekerja Denmark yang aneh ini.

Ternyata cerita karangannya tidak berguna. Polisi membawanya ke kantor polisi. Untunglah James punya akal lain. la menunjukkan surat penugasan palsu dari sebuah rumah sakit yang mengharuskan dirinya untuk melapor ke sana siang ini. 

Surat palsu itu meyakinkan sang polisi bahwa James memang seorang tukang listrik Denmark. Akhirnya, polisi itu memperbolehkan James pergi dengan salam selamat siang yang kaku. James segera pergi dari hadapannya, dan berusaha keras agar kakinya tidak terlalu gemetaran selama ia berjalan.

*

James berhasil sampai di stasiun Bremen tanpa kesulitan baru, dan langsung masuk ke sebuah kamar mandi kecil. Di sana, ia melepaskan samarannya dan menyembunyikan pakaian, topi dan celana tukang listrik itu di belakang tangki air. Sekarang, James merasa aman untuk melakukan penyamarannya sebagai orang Bulgaria. 

Di dalam kamar mandi yang sempit itu ia melepaskan perca kain sutra yang membungkus kancing seragamnya, menjahitkan lencana ke pundaknya, dan menggelapkan warna rambutnya dengan tata rias teater supaya ia lebih terlihat seperti orang Eropa timur.

Christof Lindholm lenyap, muncullah Ivan Bagerov. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, lalu berjalan mendekati seorang petugas di stasiun dan menunjukkan surat pengantar palsunya.

Petugas tersebut membacanya dan tersenyum pada James. 

"Ke mana tujuan Anda, Tuan?" tanyanya.

James memberitahunya bahwa ia hendak menuju ke pelabuhan Lübeck di Laut Baltic. Itu adalah titik yang sangat baik untuk perjalanan selanjutnya ke Swedia.

"Silakan ikuti saya, Tuan," kata petugas tersebut. Mereka pun berjalan menuju loket karcis.

Surat palsu James bekerja seperti jimat saja. Petugas itu memberitahu kereta apa yang harus ia naiki, menuliskan rinciannya untuknya, dan memberikan karcis untuknya. Lalu, mengantar James ke ruang tunggu dan membelikannya bir! 

James sampai harus menahan dirinya untuk tidak tertawa terbahak-bahak, atau menjaga wibawanya. Sebenarnya ia ingin memeluk petugas itu, tapi ia tetap menjaga dirinya bersikap formal, layaknya seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria.

Keretanya tiba, dan tak lama kemudian James sudah dalam perjalanan menuju pantai. Semua petugas yang dijumpai selama dalam perjalanan (petugas pemeriksa karcis, polisi, da sebagainya), semua tertipu oleh surat pengantar palsunya, da mereka memberi salam hormat dengan anggukan kepala yang sangat sopan.

Beberapa jam kemudian, kereta tiba di Hamburg, di mana James harus berganti kereta. Ia harus menghabiskan satu jam menunggu di ruang tunggu. Di sana ia ditatapi dengan rasa penuh curiga oleh seorang prajurit Jerman. 

James merasa prajurit itu mengetahui samaran dan mengenali seragam Angkatan Lautnya, tapi ia memutuskan untuk menggertaknya. Pikirnya, "Apa yang akan aku lakukan jika aku memang seorang Ivan Bagerov, pada waktu seseorang sedang menatapku? Ya, tatap kembali!"

James melihatnya sekilas dengan penuh keramahan, hingga prajurit tersebut merasa malu dan membuang pandangannya ke lantai. Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan ruang tunggu. James bertanya-tanya, jangan-jangan ia melapor pada polisi. Namun, sampai kereta selanjutnya tiba, tak seorang pun yang mengganggu dirinya.

Perjalanan terasa lambat. James harus turun untuk ganti kereta lagi, dan melewati malam yang tak nyaman di ruang tunggu Bad Keinen. Ia telah menempuh 320 km dalam sehari. Pelariannya ternyata berjalan lebih lancar dari yang ia duga.

Keesokan harinya, kereta melaju menuju Stettin, stasiun lainnya di Laut Baltic. James berpikir ia harus mencoba peruntungannya di sana, karena nampaknya di Stettin juga ada kapal Swedia, sama seperti di Lübeck.

Ternyata, tidak. James tidak melihat satu kapal Swedia pun di pelabuhan. Sambil mengumpat, ia pergi ke kota dan mengunjungi beberapa bar dengan harapan akan mendengar suara orang Swedia.

Sorenya, James baru menyadari bahwa singgah di Stettin merupakan kesalahan besar. Tak ada yang bisa dilakukannya selain melanjutkan perjalanan. Jadi, ia kembali ke stasiun dan naik kereta menuju Lübeck. Lagi-lagi, ia harus turun dari kereta dan menghabiskan malam yang tak nyaman di ruang makan di sebuah kamp militer yang sesak.

Ketika ia mencoba untuk tidur di meja pojok ruangan, beberapa perwira Angkatan Laut Jerman bergabung dengannya. Teman semeja yang baginya buruk, mungkin saja mengenali seragam Kerajaan Inggrisnya. Namun, sepertinya mereka lebih letih daripada dirinya, karenanya mereka tidak berkata sepatah kata pun pada James, apalagi memperhatikannya.

Keesokan hari, ia bergegas pergi ke stasiun dan tiba di Lübeck siangnya. Saat itu, penampilannya sebagai seorang letnan mulai terlihat agak kumal, apalagi dengan janggut berumur dua hari di dagunya. James segera pergi ke tukang pangkas rambut terdekat dan minta supaya janggutnya dicukur. Tukang pangkas di sana memandangnya heran.

"Tidakkah Anda tahu?" tanyanya dengan agak sinis. "Anda tidak mengetahui tentang distribusi sabun? Tidak seorang pun yang mencukur janggutnya di tempat seperti ini selama dua tahun!"

James mengangkat bahunya dan meninggalkan tempat tersebut diliputi rasa panik. Pasti setiap orang di jalan melihat dirinya.

Dengan perasaan bingung, ia memesan sebuah kamar di hotel la meninggalkan kopornya di sana, lalu pergi ke pelabuhan. Di sini tampak secercah harapan. Hal pertama yang dilihat nya adalah dua kapal Swedia. Sebuah gerbang tampak di antara dirinya dan kapal-kapal tersebut.

Seorang penjaga berdiri di satu sisi jalan, jadi James mengikuti sebuah truk besar yang berjalan menuju pelabuhan, bersembunyi di sisi yang berseberangan dengan penjaga tadi. Begitu tiba di sisi pelabuhan, ia berjalan menuju kapal Swedia dan menghampiri awak kapalnya. Kapal tersebut memuat batubara. Debu batu bara ditambah dinginnya udara musim dingin membuatnya batuk.

James mendengar suara orang Swedia dari dalam kabin, maka ia mengetuk pintunya. Ia masuk ke dalam dan melihat dua orang sedang duduk di meja kopi. Mereka melihat James. Salah satu di antaranya menyapa James dengan bahasa Inggris yang sangat baik.

"Pasti Anda perwira Angkatan Laut. Aku mengenali seragam Anda dari jauh!"

James tertawa. Ia lega dua orang tersebut ternyata sangat ramah.

"Ya," jawab James. "Ini hanyalah samaran. Aku menyamar sebagai Ivan Bagerov, perwira Angkatan Laut Kerajaan Bulgaria!"

Selanjutnya mereka mengundang James bergabung dengan mereka. Lalu James menceritakan kisahnya pada mereka, dan bertanya apakah mereka mau membawanya ke Swedia.

Pria yang berbicara dalam bahasa Inggris itu mengangkat bahunya dan meminta maaf.

"Begini kawan, aku ingin membantu, tapi sepertinya tidak mungkin. Ketika batu bara ini dimuat, kami akan kedatangan beberapa petugas Jerman yang akan ikut di dalam kapal ini. Mereka pasti akan melihatmu. Jika mereka curiga kau adalah buronan, pasti kita semua akan ditahan. Lihatlah, kapal begitu kecil untuk menyembunyikan dirimu."

James sangat kecewa. Padahal ia merasa orang itu sangat ramah dan pasti mau menolongnya. Ia berpikir keberuntungannya pasti sudah berakhir.

"Tolonglah," pintanya. "Aku telah lari tiga hari, dan ini satu-satunya saat aku merasa aman. Pasti ada tempat di mana aku bisa sembunyi."

Namun, orang Swedia itu telah menetapkan keputusannya. la berbicara tegas dengan nada datar yang berarti tak ada lagi yang perlu didiskusikan.

"Aku ingin menolongmu, tapi aku juga tidak ingin berakhir di kamp konsentrasi. Lihat ke sana," katanya sambil menunjuk ke arah utara kabin. "Kapal itu juga menuju Swedia dan akan berangkat beberapa menit lagi. Cobalah peruntunganmu."

James berterimakasih pada mereka dan pergi. Berdiri di dek, ia melempar pandang ke kapal lainnya. Beberapa menit yang lalu, ia merasa aman dan sukses. 

Perjalanan dari tangga kapal ini ke kapal lainnya sepertinya amat sangat berbahaya, dan nampak seperti jarak yang tak dapat ditempuhnya. James diliputi kecemasan yang besar.

Ketika ia menuruni anak tangga kapal, ia seperti melihat mimpi buruknya: kapal lainnya segera berangkat. James bergegas lari mencapainya, tapi sudah terlambat. Tadinya ia sempat berpikir loncat saja ke kapal tersebut, tapi ia pasti akan menjadi pusat perhatian dan kapal akan diberhentikan sebelum sempat meninggalkan perairan Jerman.

*

"Ya," katanya pada diri sendiri, "Kembali ke hotel, dan coba lagi besok." Kali ini James yang putus asa agak ceroboh.

la tidak berusaha sembunyi dari pandangan penjaga di pintu masuk pelabuhan, akibatnya ia terlihat dan diberhentikan. Mungkin karena penampilannya yang agak kumal, samaran Ivan Bagerov-nya tidak berguna. Penjaga itu bersikeras agar James ikut dengannya ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Tak ada yang dapat dilakukan James, kecuali ikut dengannya Selain itu, ia tidak terlalu khawatir. Masih ada kemungkinan sang polisi nantinya (sama seperti yang lainnya) akan tertipu oleh surat Bulgaria miliknya.

Tak lama kemudian, James sudah berdiri di hadapan petugas senior di kantor polisi Lübeck. Polisi di sana memeriksa kartu identitasnya dengan kaca pembesar, lalu berkata santai dalam bahasa Inggris, "Jadi, Anda kabur dari mana?"

James, yang sejak tadi menahan napasnya, menghela napas panjang. Ia menerima kenyataan bahwa segalanya sudah berakhir.

*

Tak diduga, sang polisi bersikap cukup sopan. Ia menawarkan kursi pada James, lalu memanggil beberapa rekannya masuk ke dalam ruangan. Salah satu di antara mereka mengolok-olok kartu identitas palsunya, tapi yang lainnya salut pada James dengan pemalsuan tersebut, apalagi James hanya memiliki sumber yang sangat terbatas di dalam penjara. 

Ia bahkan mengatakan James seharusnya memakai kata Polizei Präsident di kartu identitas, bukannya Polizei Kommissar.

Setiap orang nampaknya terkesima oleh kisahnya, dan itu membuat James agak lega. Ia sering mendengar bahwa seorang buronan langsung ditembak bila tertangkap. Petugas yang mengantarnya ke penjara lokal bahkan menyampaikan rasa prihatinnya terhadap James yang peruntungannya tidak begitu baik.

 

Setelah Pelarian

James dikirim kembali ke penjara Marlag und Milag Nord dan dikurung sendiri selama sepuluh hari di sel hukuman. Keinginannya untuk kabur tidak pernah padam. Lima minggu berikutnya, ia menghilang lagi, kali ini dalam penyamaran sebagai nelayan. Dengan rute yang sama, ia sukses mencapai Swedia dan berhasil kembali ke Inggris dengan aman.

Setibanya di kampung halamannya, ia menulis buku berjudul An Escaper's Progress (Kemajuan Seorang Buron), sebuah catatan petualangannya di Marlag und Milag Nord. la menulis, kabur dari penjara sama seperti bertemu dengan seseorang di pesta yang namanya tidak kita ingat. 

Kita harus menemukan petunjuk selama percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengarah. Dengan demikian, ia belajar bagaimana caranya untuk lolos, tanpa membuat dirinya menjadi pusat perhatian di tempat dan situasi ia berada.

Setelah perang, James menjadi seorang penjelajah Antartika dan menjadi anggota parlemen pada tahun 1959-1964 dan 1970-1979. Ia juga turut membantu mempersiapkan berdirinya Biro Investigasi Loch Ness, sebuah organisasi yang dedikasikan untuk menemukan bukti keberadaan monster Loch Ness. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355972/menyamar-sebagai-ivan-bagerov" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700505000) } } [7]=> object(stdClass)#109 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3355985" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#110 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/kabur-dari-alcatrazjpg-20220701063343.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#111 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Orang berpikir bahwa penjara Alcatraz di San Francisco tidak akan pernah bisa dijebol. Frank Morris membuktikan bahwa mereka salah." ["section"]=> object(stdClass)#112 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/kabur-dari-alcatrazjpg-20220701063343.jpg" ["title"]=> string(19) "Kabur dari Alcatraz" ["published_date"]=> string(19) "2022-07-01 18:34:24" ["content"]=> string(29742) "

Intisari Plus - Orang berpikir bahwa penjara Alcatraz di San Francisco tidak akan pernah bisa dijebol. Frank Morris membuktikan bahwa mereka salah. Namun sampai hari ini nasib mereka tidak pernah diketahui. 

--------------------

Pada tahun 1930, Alcatraz, sebuah pulau berbatu di teluk San Francisco, merupakan sebuah penjara yang terkenal kejam. Dikenal sebagai "The Rock", karena tidak mungkin ada yang bisa lolos dari sana, dan rumah yang suram bagi bandit-bandit seperti "Creepy" Karpis dan "Machine Gun" Kelly. Bahkan, seorang mafia yang terkenal seperti Al Capone pun secara perlahan menjadi gila ketika menghabiskan sisa hidupnya di ruang penatu penjara ini.

Pada tahun 1950, Alcatraz menjadi bayangan yang meremukkan. Walaupun sering kali bertindak brutal, namun para penjahat yang berada di sana tidak lagi kejam. Pulau Alcatraz menjadi tanah lembab yang terus menerus menghantui para tahanan yang dipindah dari penjara lainnya di Amerika barat.

*

Frank Morris, seorang perampok bank dan pembobol rumah, memang hebat. Serangkaian hukuman, pelarian, dan penangkapan membawanya ke pulau ini. Ia tiba pada 1960, dan menolak anggapan bahwa tidak ada yang dapat lolos dari Alcatraz. Sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di pulau ini, ia telah merencanakan pelariannya.

Morris, seorang yang kurus, tampan, sama sekali tidak terlihat seperti Clint Eastwood yang memerankannya di film produksi Hollywood. Wajahnya yang simpatik serta perangainya yang kalem, menyamarkan sifat kasar dan pikiran tajamnya.

Seiring dengan berlalunya hari pertamanya di Alcatraz, Morris langsung terbiasa dengan rutinitas di penjara. Setiap harinya para tahanan bisa pergi ke bengkel untuk memperoleh penghasilan dengan membuat sikat atau sarung tangan. Ada rutinitas penggeledahan badan, absensi selama setengah jam, dua jam "rekreasi" berputar-putar di lapangan olahraga. Tiga kali makan di kantin penjara.

Kantin dianggap tempat yang paling berbahaya di penjara. Untuk menghindari terjadinya keributan, di dinding kantin sudah ada lubang tempat menembak, dan bom air mata telah terpasang di langit-langit kantin.

Setelah makan malam, para tahanan dikunci di sel masing masing. Mereka mempunyai waktu empat jam untuk melakukan hobi mereka, sampai lampu dimatikan pada jam sembilan malam. Waktu itu bisa mereka gunakan untuk melukis, membaca, memainkan alat musik, atau apa saja di dalam sel masing-masing. 

Ada beberapa di antara mereka yang bermain catur dengan tahanan di sel sebelahnya, ada juga yang mengancam tahanan lain yang akan mereka serang keesokan harinya pada saat jam olahraga.

Karena mudah bergaul, dengan cepat Morris mendapatkan teman. Di sel sebelahnya ada Allen West, seorang pencuri mobil dari New York. Mereka cukup akrab. Di kantin, tempat para tahanan bisa duduk di bangku panjang di mana saja mereka suka, Morris juga berkenalan dengan kakak beradik Anglin, John, dan Clarence. Mereka adalah pemuda desa yang meninggalkan pekerjaannya di peternakan Florida—dan menjadi perampok bank. Sel mereka berada di lantai yang sama dengan sel Morris, sekalipun letaknya agak jauh.

Setelah Morris berada di Alcatraz selama satu tahun, seorang tahanan memberitahunya bahwa sebuah kipas besar telah dipindah dari terowongan ventilasi atap tiga tahun sebelumnya, dan tidak pernah diganti. Pikiran tajam Morris langsung membayangkan sebuah pelarian yang nekad di malam hari melalui terowongan tersebut. Ada jalan keluar dari "The Rock", sembilan meter di atas kepalanya.

Pelarian tersebut akan sangat sulit, tetapi bukan tidak mungkin. Satu yang pasti, hal itu memerlukan waktu yang tidak sedikit dan rencana yang matang. Waktu adalah satu-satunya kemewahan yang dimiliki seseorang selama di penjara, dan Morris akan menggunakannya dengan baik.

Yang harus dilakukan Morris adalah mencari jalan untuk keluar dari sel yang terkunci menuju atap. Para tahanan diawasi dengan ketat saat mereka keluar dari sel, jadi hal itu tidak mungkin dilakukan pada saat itu.

Suatu hari, muncul sebuah inspirasi. Di bawah di setiap sel, tepat di bawah tempat cuci piring, terdapat sebuah ventilasi udara kecil. Di belakangnya terdapat sebuah koridor sempit tempat air mengalir, listrik, dan pipa saluran pembuangan. Seandainya Morris dapat memindahkan ventilasi itu, lalu membuat sebuah lubang yang cukup besar baginya, maka ia dapat memanjat ke terowongan dan keluar ke atap. Di malam hari, ia hanya sendirian di dalam sel selama sembilan jam. Ini adalah waktu yang tepat untuk mencobanya.

Seberapa mudahkah membuat lubang itu? Morris membungkuk dan menggores tembok baja itu dengan sebuah gunting kuku. Sebuah percikan api kecil muncul. Tembok tersebut bisa dilubangi, tapi memerlukan waktu berabad-abad untuk melakukannya. Membuat lubang bukanlah masalah. Bagaimana menyembunyikan lubang yang semakin membesar itulah yang harus dipertimbangkan. 

Morris memutuskan untuk membeli sebuah akordion, seperti milik West, dengan uang yang diperolehnya dari bengkel, untuk menutupi lubang galiannya. Seiring bertambah besarnya lubang galiannya sehingga tidak dapat ditutupi dengan akordion lagi, Morris mendapat ide untuk membuat tembok tiruan dengan papan yang dilukis lengkap dengan ventilasi udaranya.

Semakin dipikirkan, Morris semakin sadar bahwa rencana ini akan lebih baik dilakukan dengan bantuan orang lain. West dan kakak beradik Anglin pun direkrut. Keberadaan mereka di blok sel yang sama sangat membantu. Empat serangkai ini pun menjadi kompak. 

Langkah pertama yang diambil adalah menjadikan melukis sebagai hobi mereka. Hal ini tentu tidak akan memudahkan mereka untuk memesan kuas, kanvas, dan papan lukis yang akan mereka gunakan untuk membuat tembok palsu yang mereka perlukan.

Sementara West mengawasi patroli para sipir dari selnya, Morris mulai menggali tembok dengan gunting kukunya. Setelah satu jam, ia hanya bisa mendapat kepingan-kepingan kecil tembok, dan jarinya sangat kesakitan.

la berbisik pada West, "Aku rasa kita pasti masih akan menggali pada saat kita mendapatkan pembebasan bersyarat." "Kita harus bicara dengan Anglin pada saat sarapan nanti," kata West. Lalu keduanya pun tidur.

"Jadi ..." 

Clarence Anglin selalu membiarkan kalimatnya menggantung, tidak selesai. Namun kalimat selanjutnya merupakan kalimat yang pantas untuk disimak. West dan Morris menunggu kata-kata selanjutnya. 

"Lihat sendok ini? Aku rasa bisa kita jadikan alat penggali yang pantas. Lekatkan gunting kukumu di pegangannya, maka kau akan menggali lebih mudah."

Morris memasukkan sendoknya ke dalam sakunya. 

"Ide bagus, Clarence," katanya. "Dan aku tahu bagaimana caranya melekatkan sendok dan pisau! Sampai ketemu lagi ..."

Malam itu, saat tahanan lain melukis, atau memainkan ala musik mereka, Morris mempersiapkan aktivitas sesuai rencana Pertama, ia mematahkan pegangan sendok yang diselundupkannya, lalu memindahkan salah satu mata pisau dari gunting kukunya.

"Hei, Westy," bisiknya, "Kau punya koin?"

"Ya, siapa yang bertanya?" 

"Berikan padaku, akan kuganti saat kita lolos dari tempat ini! Sekarang, berjagalah untukku."

Morris mulai mengerat koin sampai ia mendapatkan gundukan kecil serpihan logam di atas mejanya. Kemudian ia mengikat sekitar lima puluhan batang korek api menjadi satu Lalu ia mengambil beberapa buku dan disusun seperti dua menara yang berdekatan dan memosisikan pegangan sendok dan gunting kuku hingga saling menyentuh.

Selanjutnya ia membubuhkan serpihan logam tadi di atas sendok dan mata pisau tersebut. 

"Ada yang datang? Bagus. Ini saatnya!"

Wuuush... Morris menyalakan ikatan korek api yang ada di bawah pegangan sendok dan mata pisau itu. Dalam hitungan satu atau dua detik, keduanya menjadi panas.

"Hore!" ia bersorak pada dirinya pelan. Ketika apinya sudah cukup panas melelehkan logam tadi, dia menyatukan pegangan sendok dan mata pisau.

"Bau apa itu, Frank? Apa kau memelihara setan di dalam sana?" tanya West yang mencium bau korek api terbakar. Morris memastikan tidak ada penjaga yang mendekat, lalu lewat jeruji selnya ia memberikan peralatan barunya pada West. 

"Sungguh," kata West. "Aku akan membuat satu untuk diriku!"

*

Segera, keempat tahanan tersebut membuat peralatan menggali yang sama. Namun mereka masih kesulitan untuk menggali tembok tersebut, bagaimana pun juga tebalnya 20 sentimeter.

"Pasti ada cara yang lebih baik dari ini," pikir Morris. Dan ternyata memang ada.

Allen West menikmati pekerjaannya sebagai tukang bersih bersih di penjara. Ia bebas berjalan ke sana ke mari bercakap-cakap dengan tahanan lain, pada saat yang sama ia tetap dianggap bekerja. Pekerjaannya ini juga membawa kemujuran yang tidak disangka-sangka, misalnya akses menuju ruang elektronik. Mengenai kesulitan menggali tembok, kepada Morris ia berkata, "Yang kita perlukan adalah mesin yang terdapat di dalam alat pengisap debu, dan aku tahu di mana kita bisa mendapatkannya. Ambil dinamonya, lekatkan dengan mata bor, dan yang kita dapat adalah sebuah bor!"

"Berikan dinamonya, maka kau kubuatkan sebuah bor" kata Morris.

West menyelundupkan sebuah dinamo ke selnya, lalu Morris memasangnya dengan mata bor yang didapatnya dari bengkel penjara. Mereka tahu apa yang dikerjakan akan mengeluarkan suara yang ribut. Maka mereka menunggu sampai 'jam musik', saat para tahanan diizinkan memainkan alat musik di dalam sel.

Morris mencolok kabel dinamo ke colokan lampu yang ada di selnya.

"Ini saatnya ..."

Ia menyalakan saklarnya dan dinamo tersebut pun berputar. Itu saja sudah menimbulkan suara cukup keras, namun suara saat mengebor lebih bising. Morris mengebor selama ia berani, lalu berhenti. Hasilnya cukup menjanjikan. Dua lubang tembus sampai sisi di sebelahnya. Pekerjaannya memang lebih cepat dikerjakan dengan alat tersebut.

Keesokan paginya, saat sarapan, Morris menghampiri Anglin.

"Kita akan menggilir pemakaian bor ini di antara kita berempat, tapi kita harus hati-hati menggunakannya," katanya. "Buatlah beberapa lubang selama tahanan lain memainkan alat musik mereka. Ini akan menghemat waktu kita dalam menggali. Pada saat kita memperoleh lubang di dinding, gali sisanya dengan mata pisau di malam hari, maka kita akan bebas,"

Mata Clarence membesar. Jari-jarinya sudah penuh kapalan.

*

Dengan rencana pelarian yang kelihatannya semakin nyata, pikiran mereka tertuju pada cara keluar dari pulau tersebut. Sambil makan malam, mereka duduk bersama memikirkan masalah yang mengadang di depan.

"Airnya bisa membekukan kita. Pulau ini pun selalu berkabut sepanjang tahun. Aku tidak ingin melalui segala kesulitan untuk keluar dari sini hanya untuk mati membeku di air," kata Clarence dengan mulut penuh.

"Itu sudah pernah dilakukan," kata West."Aku dengan tiga orang gadis perenang pernah melakukannya tahun 1933."

Morris lebih realistik. "Tetapi mereka atlet. Mereka di selama berbulan-bulan, bahkan tubuh mereka dihangatkan oleh pakaian selam, dan pastinya mereka tidak hidup dengan standar makanan di penjara, sehingga mereka kuat untuk berenang ... lagi pula aku yakin, mereka pasti dikawal dengan perahu. Yang kita perlukan adalah bantuan kecil, rakit, jaket pelampung, sesuatu yang membuat kita tetap terapung, atau keluar dari air."

John Anglin menyambung. "Aku melihat jas hujan plastik di bengkel. Kita dapat mencurinya, memotong lengannya, lalu meniupnya menjadi seperti pelampung. Bahkan kita bisa melekatkannya menjadi satu dan menjadikannya rakit."

Senyuman Morris mengembang. "Begitu kita bisa menembus tembok itu, kita mulai mengumpulkan barang barang." 

*

Lubang di tembok semakin besar setiap harinya. Keempat serangkai pun cepat-cepat menyelesaikan lukisan tembok palsu mereka yang akan digunakan untuk menutupi pekerjaan tangan mereka. Mereka melukis tembok sama persis seperti tembok di dalam sel, lengkap dengan ventilasi udaranya. Lalu dengan hari-hati mereka menyingkirkan potongan tembok di sekitar ventilasi, supaya tembok palsunya bisa terpasang pas dan tidak jatuh.

Di cahaya yang terang, tembok palsu itu pasti akan langsung ketahuan, namun di cahaya remang-remang dalam sel, perpaduan tembok palsu dan asli cukup sempurna. Kini mereka bisa menggali dengan rasa aman, dan akhirnya mereka memperoleh lubang yang cukup besar bagi mereka untuk menyusup keluar.

Menyusup keluar di malam hari juga masalah yang besar. Semua pintu di penjara Alcatraz terbuat dari jeruji besi, ini artinya seorang penjaga bisa melihat ke sel mana saja, kapan saja, untuk mengawasi tahanan mana pun. Namun Morris mempunyai jalan keluar yang brilian. Halaman majalah yang disobek, dihancurkan di tempat cuci piring di selnya. Kemudian kertas tersebut dijadikan bubur kertas, dan dikeringkan dengan bentuk kepala orang.

Setelah kira-kira satu minggu, kepala palsu itu sudah cukup kering untuk dicat. Clarence Anglin yang bekerja sebagai pemangkas rambut di penjara menyelundupkan rambut-rambut untuk Morris, Rambut yang jenisnya sama dengan model rambut Morris itu memberikan sentuhan akhir yang sempurna. 

Morris juga menambahkan alis. Bila ditutup dengan selimut, dalam sel yang gelap, kepala itu akan terlihat sama seperti aslinya. Buntalan baju di balik selimut akan terlihat seperti bentuk tubuh. Akhirnya, prototipe kepala Morris selesai. Allen dan Anglin juga mulai membuat kepala palsu mereka .

Akhirnya, malam pun tiba, saatnya bagi mereka untuk naik ke atap. Morris menghabiskan sehari sebelumnya dengan mencoba mengatasi rasa khawatirnya. Bagaimana jika jalan ke atas atap ternyata telah ditutup? Bagaimana jika dinamo ventilasi telah diganti? Segala jerih payah mereka akan menjadi sia-sia. Hukuman dua belas tahun pun terbentang dalam benaknya.

Lalu bayangan buruk lainnya pun muncul. Lubang di dalam sel akhirnya tersingkap, artinya sekian tahun hukuman akan ditambahkan padanya.

Akhirnya, malam tiba, dan aktivitas dalam penjara perlahan-lahan mulai terhenti. Dengan penjagaan West, Morris meletakkan kepala palsu di atas bantalnya dan menyusup ke lubang yang telah dibuatnya, lalu menggeser tembok palsu dengan hati-hati.

Koridor di belakang tembok adalah tempat yang sempit dan lembap, dan dipenuhi bau busuk air laut yang mengalir di sepanjang pipa pembuangan kotoran. Di sekelilingnya adalah pipa saluran dan kabel-kabel, sementara debu dan kotoran ada di setiap tempat yang disentuhnya. Namun, berdiri di sebuah koridor sempit, ada rasa gembira besar di hati Morris, seperti seorang murid melakukan sesuatu yang dilarang keras oleh guru yang dibenci.

Ia harus menunggu beberapa saat, agar matanya terbiasa dengan keremangan ruangan. Kemudian ia memanjat ke atas, melewati pipa-pipa dan kabel-kabel yang berantakan untuk mencapai terowongan ventilasi. Terowongan itu ada di depannya, setinggi 1,5 meter dari atas atap, dengan sudut tajam berukuran 30 sentimeter.

Hal pertama yang disadarinya adalah ia memerlukan seseorang untuk mengangkatnya masuk ke dalam.

la pun memberi selamat pada dirinya karena telah memikirkan konsep lebih baik untuk melaksanakan rencana ini dalam sebuah tim daripada sendirian. Morris juga memperhatikan ada ruang yang cukup untuk beberapa orang di atas atap tersebut. Di tempat yang tidak terpantau penjaga penjara inilah yang merupakan tempat paling sempurna untuk menyembunyikan segala perlengkapan yang mereka perlukan untuk berenang ke daratan.

Malam berikutnya, Morris dan Clarence Anglin naik ke atap bersama. Clarence mengangkatnya masuk ke terowongan Namun, apa yang dilihat Morris di dalam sana membuat perutnya mulas. Memang, baling-baling kipas dan dinamonya telah dipindahkan, tetapi di sana telah dipasang palang dan terak besi sebagai gantinya. Penghalang yang tak terduga ini terbuat dari besi yang sangat kuat.

Pagi harinya, mereka memberitahukan kabar tersebut pada West."Kau pikir, apa yang akan kau temukan di atas sana?" katanya sinis. "Dua buah tiket ke Brasilia? Kita berhasil menjebol tembok tebal itu, tetapi beberapa jeruji jangan sampai menghentikan rencana kita."

West betul. Selama beberapa hari Morris berpikir memecahkan masalah tersebut, dan datang dengan solusinya Dua palang itu bisa dilekukkan dengan pipa yang ditinggalkan oleh tukang di koridor. Namun, terali besi merupakan masalah lainnya. Bor yang mereka miliki mungkin bisa membantu, tetapi suara yang ditimbulkannya akan sangat bising.

Yang mereka perlukan adalah sesuatu yang bisa memotong jeruji tersebut. Di bengkel ada sejenis senar karborundum (tali tipis dengan bubuk ampelas) yang digunakan untuk menggergaji benda logam. Akan dibutuhkan kerja keras beberapa jam memotong dengan senar itu, namun masih mungkin dilakukan.

Jadi, selama beberapa malam, secara berpasangan, keempat serangkai ini naik ke atas untuk menggergaji dan menggergaji. Tidak mudah, dan sangat menyakitkan, tapi akhirnya terali besi tersebut bisa disingkirkan. Morris pun terpikir untuk mengganti jeruji tersebut dengan sabun batangan yang dicat hitam. Ia tidak ingin ada penjaga yang memperhatikan bahwa jeruji itu sudah tidak ada.

*

Sekarang sudah pertengahan musim panas, tahun 1962. Segalanya sudah pada tempatnya, dan tidak ada waktu yang lebih baik untuk kabur sepanjang tahun itu. Tingkat kedinginan suhu air laut di sekeliling penjara merupakan yang paling mematikan dibanding waktu lainnya. Di kantin, mereka duduk bersama, berdiskusi kapan waktu yang terbaik bagi mereka untuk kabur.

"Aku rasa sekarang, dan John setuju denganku," kata Clarence Anglin. "Suatu saat, jas hujan yang kita simpan di atas akan ketahuan, dan lubang di sel pun tidak mungkin menjadi rahasia selamanya."

"Itu betul," kata West. "Tembok palsuku selalu bergeser di malam hari. Aku harus memperbaikinya dengan semen, jadi mari kita tetapkan sebuah tanggal, supaya aku punya cukup waktu untuk memperbaikinya."

"Kita akan berangkat kira-kira sepuluh hari lagi," kata Morris. "Aku akan berkunjung ke perpustakaan, dan meminjam buku tentang pasang surut laut. Air di teluk sangat berbahaya, jadi kita harus pergi pada saat yang tepat, kalau tidak kita akan mati."

Apa yang terjadi seminggu setelahnya sangat mengkhawatirkan. Setelah jam makan, sekembali ke sel masing-masing, para tahanan mendapati beberapa perbedaan. Posisi handuk dan buku yang berubah. Ini artinya sel mereka telah digeledah. Mungkin itu hanya pemeriksaan rutin, atau mungkin saja penjaga penjara telah mencium sebuah rencana pelarian.

Tiga hari setelah percakapan terakhir mereka dengan West, kakak beradik Anglin tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Sekitar jam sembilan malam tanggal sebelas Juni, Morris mendengar suara di balik temboknya. Itu suara John Anglin yang memberitahunya bahwa ia dan Clarence kabur SEKARANG. 

Sebelum Morris sempat mengutarakan pendapat, John sudah meninggalkan koridor. Sementara itu, di sel sebelah, West diserang rasa panik yang luar biasa. Tak siap, dan tersedak oleh rasa marah dan terkejut, ia mulai mengorek pinggiran dinding palsu yang dilapisi semen.

Morris membantunya mengawasi selama yang ia bisa. Saat itu lampu belum dimatikan, dan para tahanan masih belum bersiap untuk istirahat malam.

Sementara ini, dengungan percakapan dan aktivitas di sana masih bisa menenggelamkan suara yang ditimbulkan galian West. Namun, Morris tidak bisa tinggal lebih lama.

Saat lampu dimatikan, Morris harus pergi. Ia naik ke atas atap, meninggalkan West yang masih terus menggali. Kakak beradik Anglin sudah berada di atas sana menantinya. Tak ada gunanya berdebat tentang apa yang telah mereka lakukan terhadap West, pokoknya mereka harus melanjutkan rencana ini tanpa West.

John mengangkat Morris ke dalam terowongan. Saat ia memindahkan jeruji palsu yang terbuat dari sabun itu, wajahnya tersorot seberkas cahaya dari menara penjaga yang menyapu atap. 

Secara perlahan Morris memindahkan murnya. Tetapi angin meniupnya sampai jatuh ke lantai dan mengeluarkan suara. Seketika itu juga Morris diam membeku di dalam ventilasi. Ia sangat tegang sampai tak dapat bergerak. 

Ketiga pria itu diam dalam kegelapan malam, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Mereka mengira akan mendengar bunyi alarm, penjaga-penjaga yang datang memeriksa. Sementara, di bawah sana, seorang petugas patroli cepat-cepat melapor pada petugas piket.

"Jangan khawatir," katanya. "Banyak sampah di atas atap. Mungkin itu sebuah kaleng cat yang tertiup angin."

Sepuluh menit berlalu sebelum Morris dan Anglin bersaudara memutuskan situasi telah aman untuk bergerak lagi. Setiap orang menyusup ke luar atap secara perlahan dengan tiga atau empat jas hujan di pinggang mereka. 

Mereka mengedipkan mata karena cahaya yang menyilaukan dari mercusuar. Jauh dari ruang yang panas di penjara, udara malam terasa sangat dingin, dan kebekuan air laut yang asin tercium.

Rute yang harus dilalui dari atap menuju pantai disinari oleh lampu sorot dan diawasi oleh menara penjaga. Banyak yang harus dilakukan sebelum mereka bisa lolos dengan aman. Ketiga serangkai berlindung di bawah bayang-bayang, dan merayap ke atap. 

Morris naik ke pinggiran dinding ke atas pipa. Di bawahnya terbentang jarak 15 meter untuk sampai ke tanah. Ia bergerak sangat pelan, menghindari gerakan tiba-tiba yang bisa menjadi perhatian penjaga di menara. Lalu, ia turun dengan meluncur pelan di pipa, dan menunggu Anglin bersaudara di bawah. 

Jauh dari blok penjara, ketiga pria ini kabur melewati beberapa pagar dan tebing yang curam untuk sampai ke tepi pantai. Di seberang lautan, daratan hanya sejauh 2,5 kilometer.

Merayap di pasir yang lembap, menggigil karena angin laut, mereka mulai meniup jas hujan mereka dan membuat rakit, lalu menyeberangi teluk San Francisco yang dingin ...

Akhirnya, lewat tengah malam, West berhasil melepaskan tembok palsunya. la bergegas naik ke atas atap, namun Morris dan Anglin bersaudara telah jauh. Saat ia menjulurkan kepalanya keluar ventilasi, ia diganggu oleh sekawanan burung camar yang sangat berisik. 

Ia terpaksa kembali ke dalam sel diselimuti rasa panik. Ia menjalani masa tahanannya dengan rasa penasaran apa yang akan terjadi jika saja Anglin bersaudara terlebih dahulu memberitahunya tentang keberangkatan mereka. Mungkin ia sudah berada di sebuah bar dengan minuman dingin dan gadis cantik. Mungkin ia terbaring di dasar teluk San Francisco, sementara kepiting memakan tulang pipinya yang putih.

 

Setelah Pelarian

Pagi harinya, para penjaga yang bertugas membangunkan, mereka hanya menemukan kepala palsu di tempat tidur kosong. Penjaga lainnya teringat akan suara yang mencurigakan pada malam sebelumnya, dan memperkirakan mereka melarikan diri sekitar pukul sepuluh malam. Itu memang waktu yang paling baik untuk kabur. 

Air teluk tenang, arusnya pun tepat. Jika buronan itu selamat dari dinginnya air laut, mereka punya banyak kesempatan untuk mencapai daratan.

Perahu, tentara dan penjaga dengan anjing pelacak dikerahkan untuk mencari mereka. Setelah dua hari penuh, mereka kembali membawa satu plastik yang penuh dengan foto keluarga milik Clarence Anglin.

Setelah itu, nihil. Tidak seorang pun. Tidak sehelai pakaian pun. Tidak seberkas bayangan pun. Tiga serangkai tersebut mungkin saja terseret arus dan tenggelam ke dasar laut, tapi mungkin pula mereka telah berhasil lolos. Bahkan mungkin mereka masih hidup sampai hari ini.

Kisah pelarian dari Alcatraz langsung menjadi berita nasional, dan merupakan hal yang memalukan bagi pihak berwenang Alcatraz. Kepala penjaga Olin Blackwell harus mengakui bahwa struktur tembok beton memang bisa ditembus, dan ini memungkinkan tahanan untuk menggalinya dari dalam sel.

Pada saat pelarian, banyak perwira pemerintah merasa bahwa penjara itu telah dipakai lebih lama daripada seharusnya, maka pada tahun 1963 seluruh tahanannya dikeluarkan dari pulau dengan kapal dan dibubarkan atas dasar hukum Amerika.

Pada 1979, Clint Eastwood memerankan Frank Morris dalam film Escape from Alcatraz, yang kebanyakan adegannya diambil di pulau Alcatraz. Perusahaan film menghabiskan dana sebesar USD 500.000 untuk mendekor ulang penjara yang telah ditutup selama 16 tahun.

Kebanyakan aktor film tersebut menjadi sakit yang malah membuat akting menjadi mereka begitu nyata. Film tersebut membawa cerita Morris dan Anglin bersaudara ke mata dunia. Sampai hari ini, Alcatraz masih merupakan objek wisata yang terkenal. 

Keluarga Anglin mengaku mereka menerima kartupos dari saudara mereka yang dikirim dari Amerika Selatan, namun tidak pernah memberikan bukti nyata. Morris yang tidak memiliki keluarga dekat, menghilang tanpa jejak. Allen West tidak pernah memperoleh kebebasannya. Ia meninggal di penjara di Florida, tahun 1978. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)




" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355985/kabur-dari-alcatraz" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700464000) } } [8]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304506" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/dijemput-seorang-wanita-mungil_y-20220603021201.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Pada malam Natal, Carmentt menjemput Geoffroy di penjara. Ia mendapatkan cuti Natal selama 50 jam. Namun mereka berdua menikah dan kabur." ["section"]=> object(stdClass)#116 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/dijemput-seorang-wanita-mungil_y-20220603021201.jpg" ["title"]=> string(30) "Dijemput Seorang Wanita Mungil" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:12:25" ["content"]=> string(43472) "

Intisari Plus - Pada malam Natal, Carmentt menjemput Geoffroy di penjara. Ia mendapatkan cuti Natal selama 50 jam. Namun alih-alih kembali tepat waktu, mereka berdua menikah dan kabur.

-------------------------

Penjara federal di St. Vincent de Paul dekat Montreal, Kanada, berdiri angker seperti sebuah puri. Letaknya di atas bukit, dikelilingi tembok batu yang kokoh. Di atas dinding tembok itu masih ada pagar besi dan di atas pagar besi itu ada kawat berduri. Bentuk atapnya segi delapan dan di tiap ujung segi itu ada menara, tempat pengawal bersenjata bedil mengawasi ke bawah.

Suatu hari, sebelum Natal 1971, padang terbuka sekeliling penjara itu kelihatan putih oleh salju, sedangkan langit tampak kelabu kotor. Angin menderu-deru menerpa tembok yang tebal.

Pagi-pagi hari itu, sebuah mobil berhenti di muka pintu penjara. Pengemudinya tetap duduk di belakang setir dan mesin mobil tidak dipadamkan. Seorang wanita turun membuka pintu. Wanita itu kecil langsing, padahal mantelnya tebal, sehingga ia seperti tenggelam dalam pakaiannya. Matanya tampak tegang.

Pintu itu membuka ke sebuah kamar tunggu. la segera mendekati sebuah jendela kecil. Di belakang jendela itu duduk seorang penjaga, sedangkan di belakangnya terdapat pintu-pintu yang terkunci kuat.

"Nama Anda?" tanya penjaga pada wanita bertubuh kecil itu. 

"Carment Parent." 

"Nama narapidana yang ingin ditemui?" 

"Joseph Yves Geoffroy." 

Penjaga itu menuliskan nomor yang disebutkan si wanita di secarik kertas. 

"Silakan simpan tas Anda dilaci," katanya seraya menunjukkan dengan gerakan kepala sederet laci di sebelah kiri si wanita. 

"Tidak."

Penjaga itu terkejut. Untuk pertama kalinya ia memandang wanita itu dengan penuh perhatian. 

"Saya tidak akan masuk. Ia yang akan keluar." 

"Dibebaskan maksud Anda? Pada hari Jumat begini? Pada malam Natal?" tanya penjaga tidak percaya. 

"Tidak. Ia boleh cuti Natal selama 50 jam." 

Pengawal itu merengut, seakan-akan tidak setuju dengan cuti semacam itu. Wanita itu memegang tasnya erat-erat ketika pengawal menelepon ke dalam.

Pintu besi terbuka. Yves Geoffroy melangkah ke luar. Umur nya 38 tahun. Ia pendek, hanya lebih tinggi sedikit dari wanita kecil itu. Tubuhnya kekar dan wajahnya bundar. Matanya tampak berseri-seri. Ini untuk pertama kalinya sejak hampir dari 14 bulan ia keluar dari pintu itu.

Di belakangnya ada Direktur Bagian Kunjungan dan Surat-menyurat Monsieur Alain Moreau. Di penjara Geoffroy bekerja sebagai juru tulisnya. Berkat bantuan Moreau, Geoffroy sekarang boleh cuti.

Moreau membuka pintu yang menuju ke kamar tunggu.

"Selamat hari Natal," katanya kepada Carment.

Ketika Geoffroy sudah berada di ruang tunggu pula, ia menjangkau kedua belah tangan wanita itu. 

"Carment," katanya dengan suara hangat. Kemudian ia berpaling kepada Moreau, berkata sambil tertawa, "Sampai bertemu 50 jam lagi, Pak dan tidak semenit pun lebih awal."

 

Kawin

Pasangan itu melangkah ke luar untuk masuk ke mobil yang dikendarai oleh Philip Leclerc, bekas teman sekolah Geoffroy. Mobil meluncur menuju Gereja St. Vincent de Paul, yang letaknya tidak sampai 1 km dari penjara. Ketiga orang itu masuk menemui imam. Carment sudah mengatur agar hari itu mereka diresmikan sebagai suami-istri.

Sesudah upacara pernikahan dan menerima wejangan dari Pastor Tetterin, Philip Leclerc mengantarkan pasangan itu ke daerah pinggiran Kota Montreal, Longueuil. Mobil berhenti di sebuah rumah kecil di Ste. Catherine Street, yaitu tempat Carment tinggal. Leclerc pun minta diri.

Siang hari, sehabis makan, Carment memasuk-masukkan pakaian mereka ke koper, sedangkan Geoffroy menulis surat. Pukul 19.00 sebuah taksi datang menjemput dan Geoffroy berkata kepada sopir, "Dorval Airport."

Mereka meminta taksi berhenti di pintu bandara no. 4, yaitu pintu untuk para penumpang British Overseas Airways. Namun setelah taksi pergi, mereka tidak masuk ke pintu itu, melainkan ke pintu no. 3, untuk penumpang BOAC. "Dua untuk London dengan BOAC flight no. 1600 pukul 22.00, lalu disambung dengan British European Airways flight 782 untuk Oslo. Tiket untuk kembali masih open. Betul?" kata petugas.

Carment mengangguk dan seperti diajarkan oleh Geoffroy ia berkata, "Suami saya sedang membeli koran dulu."

Petugas kemudian mengembalikan tiket. "Ini tiket Anda, selamat hari Natal." 

Geoffroy menunggu di belakang tiang sambil membaca koran. Kerah mantelnya dinaikkan, sehingga menutupi sebagian wajahnya.

Di pesawat mereka duduk diam-diam. Rasanya lama sekali sebelum pintu pesawat menutup. Pesawat menggelinding, tetapi berhenti di ujung landasan dan berbelok lagi ke terminal.

"Ibu-ibu dan Bapak-bapak," terdengar suara pilot, "karena gangguan salju kita harus kembali." 

"Wah, jangan-jangan mesti menginap di sini," kata seorang pria yang duduk dekat jendela. 

Carment sangat gelisah. "Yves," bisiknya. "Jangan-jangan mereka memergo ...." 

"Tidak," jawab Geoffroy tegas. "Tenang saja. Tidak ada yang mencari kita. Ayo, lihat saja brosur-brosur ini.”

Empat puluh menit rasanya lama sekali. Akhirnya, mereka jadi juga terbang. 

Geoffroy dan Carment bercakap-cakap dalam bahasa Prancis, sehingga pria di sebelah Geoffroy yang duduk dekat jendela tidak tahu apa yang dipercakapkan pasangan itu. Ia hanya tahu mereka melihat-lihat folder perjalanan tentang Norwegia. 

Ketika Carment terlelap di bahu Geoffroy, pria pendek kekar itu duduk tetap tegak dengan mata terbuka lebar.

 

Louise jadi rewel 

Geoffroy berasal dari keluarga kelas menengah baik-baik di Montreal. Seorang saudara laki-lakinya menjadi dokter, saudara yang lain menjadi ahli kacamata. Geoffroy sendiri ahli hukum lulusan University of Montreal. 

Teman sekelasnya antara lain Jean-Pierre Goyer, yang saat itu menjadi jaksa agung Kanada. Teman sekelasnya yang seorang lagi ialah Philip Leclerc, yang juga tokoh politik di Kanada.

Geoffroy memilih bidang perdata dan berkantor di Montreal Utara. Selain memberi nasihat-nasihat hukum, ia juga melakukan jual-beli.

Istrinya, Louise Cote, berasal dari keluarga terkemuka, cantik, dan langsing. Mereka tinggal di Lac Noir, dekat Joliette, yang letaknya hampir 100 km dari Montreal. Louise memiliki usaha sendiri di bidang penjualan alat-alat dapur dan hiasan kue. 

Tahun 1963, ketika Geoffroy berumur 30 tahun, lahirlah putra sulung mereka, diikuti dua anak lagi. Semuanya laki-laki. Namun bisnis Geoffroy mandek. Mereka tidak sampai gulung tikar, tetapi keadaannya payah. Kemudian rumah mereka di Lac Noir terbakar, sehingga mereka perlu membangun rumah baru di situ. 

Pada umur 35 tahun tiba-tiba Geoffroy merasa khawatir. Usahanya payah dan pernikahannya pun goyah. Ia melihat hidupnya kosong dengan menyongsong hari tua. 

Ia merasa kasihan kepada dirinya sendiri dan merasa tidak betah berada dekat istrinya yang juga risau. Si istri sebaliknya tambah merasa tergantung kepada Geoffroy. Ia kehilangan semangat mengurusi tokonya dan menjadi penuntut: minta uang, minta pakaian, minta perhatian, dan sering marah. 

Ketidakserasian itu akhirnya mengakibatkan Louise melarikan diri ke minuman keras. Geoffroy makin segan berdekatan dengan istrinya. Ia makin sering tidak pulang dari kantornya. Ia memang mempunyai kamar tidur di sana.

Ketika pergi ke Expo 67 tanggal 8 Agustus 1968, Geoffroy yang berumur 34 tahun diperkenalkan kepada seorang guru fisika berusia 24 tahun, Carment Parent. Wanita muda itu tidak secantik Louise, tetapi lembut, hangat, tidak banyak bicara dan tenang.

Ketika seorang penjual bunga lewat, secara spontan Geoffroy menghentikannya, mengambil setangkai mawar, dan menyerahkannya dengan dua belah tangan kepada Carment yang menjadi gugup. 

Carment merasa bunga itu mawar paling indah yang pernah dilihatnya. Tajuk-tajuknya yang merah jambu itu baru saja mulai merekah. Ia juga menangkap sinar mata lembut dari pria yang sudah matang itu.

Ternyata mereka merasa cocok dan Geoffroy bertanya apakah ia boleh berkunjung. Akhirnya, Geoffroy sering datang. Mula-mula mereka hanya menonton konser dan makan malam, namun kemudian Geoffroy juga menginap.

Sementara itu Louise bertambah kurus dan sering sakit. Untuk menarik perhatian Geoffroy ia berkata ia punya kekasih, seorang Inggris bernama Dwight yang bekerja pada Air Canada. Sebaliknya dari cemburu, Geoffroy malah merasa kebetulan. 

Hampir saja ia tidak bisa menahan diri untuk menceritakan bahwa ia juga punya kekasih. (Kemudian ternyata Dwight itu cuma tokoh rekaan Louise).

Dalam buku hariannya Geoffroy menulis, "Kalau ia mau berlaku gila-gilaan, saya akan menolongnya. Orang akan menyalahkan dia, karena ia yang mulai serong lebih dulu, bukan saya. Lagi pula dalam hal seperti itu, masyarakat cenderung lebih menyalahkan wanita daripada pria."

Mereka pun hidup saling menyakiti. Suatu ketika Geoffroy menyewa detektif untuk memergoki kekasih Louise, ternyata tidak ada. Kadang-kadang Louise siap bercerai, tetapi di saat lain ia mundur lagi.

Geoffroy makin sering menemui Carment, sedangkan Louise makin kurus. Dokternya memberi suntikan-suntikan vitamin, tetapi Geoffroy menyuruh hentikan, sebab tidak perlu, katanya.

 

Bukan karena asap

Tanggal 12 November 1969, pukul 03.20 dinihari, dr. Henri-Paul Lessard ditelepon oleh Geoffroy. 

"Cepat datang! Terjadi sesuatu yang mengerikan. Saya kira istri saya mati lemas."

Dua puluh menit kemudian Lessard sudah berada di kamar pasiennya. Louise telentang di ranjang bekas terbakar. Jendela-jendela terbuka ketika itu dan udara dingin masuk ke dalam. 

Wajah Louise memar dan rambut pendeknya acak-acakan. Di lehernya ada bercak merah, di dadanya ada tanda bekas cakaran dan sebelah payudaranya terbakar.

Kata Geoffroy, ia pulang dari Montreal pukul 01.00 dan pergi tidur. Sudah dua bulan ia pisah kamar dengan istrinya. Ia tidak menjenguk ke kamar si istri.

Pukul 03.00 ia terbangun karena ingin buang air kecil. Ketika itu diciumnya bau asap. Ia membuka kamar Louise dan kamar itu ternyata penuh asap. Louise dilihatnya tergeletak di lantai, ranjang terbakar, dan televisi masih menyala.

Dokter memperhatikan wajah Geoffroy yang kelihatan cukup tenang. Kata Geoffroy, ia mengambil alat pemadam api untuk memadamkan api di ranjang.

Lalu dibukanya jendela untuk mengeluarkan asap. Istrinya diangkatnya ke ranjang dan pesawat TV ia matikan. Gigi palsu istrinya keluar separuh dari mulut. Benda itu ditaruhnya di ranjang. 

Karena Louise tidak bergerak, ia membuka kelopak mata istrinya dan bola mata istrinya itu tidak bergerak. Ia mengira asaplah yang menewaskan istrinya. Setelah itu diteleponnya Lessard.

Di bibir mayat ada darah dan di seprai pun ada bercak-bercak darah. Sebuah buku terbuka di meja kecil di samping ranjang dan dekat buku itu ada botol Valium. Dokter menganjurkan agar polisi ditelepon. Geoffroy bertanya, "Apa perlu? Saya lebih suka kalau tidak dilakukan autopsi. Saya khawatir kalau kabar-kabar tentang hal itu akan mengganggu putra saya, Philippe, yang kini sudah bersekolah."

Seorang wanita teman Louise dimintai tolong untuk membawa pergi anak-anak Louise dari rumah itu dan merawat mereka sementara.

Polisi datang bersama dokter ahli forensik. Sementara dokter memeriksa Louise, polisi menanyai Geoffroy. Mereka merasa sulit untuk percaya bahwa Louise tewas begitu cepat akibat kebakaran kecil itu. Selain itu tanda memar dan luka-luka pada Louise dari mana datangnya?

Sore itu juga hasil autopsi menyatakan bahwa Louise sudah tewas pada saat kebakaran terjadi. Ia dibunuh. 

 

Geoffroy tidak pulang

Sudah banyak orang tahu bahwa Geoffroy sering cekcok dengan Louise. Jadi, otomatis ia dicurigai. Ternyata bekas darah pada bantal Louise bukanlah darah korban, melainkan darah golongan A, Rh-positif, sama seperti darah Geoffroy. 

Telunjuk dan jari tengah Geoffroy memang luka. Menurut Geoffroy, luka itu diperoleh ketika membuka makanan kaleng, tetapi pihak yang berwenang memperkirakan bekas gigitan Louise.

Geoffroy dituduh membunuh istrinya. Selama setahun ia masih bisa hidup di luar dengan Carment dan putra bungsunya. Namun tuduhan terhadapnya begitu kuat, sehingga pembelanya tak berdaya, meskipun Geoffroy bersikeras ia tidak bersalah. 

Juri memutuskan Geoffroy bersalah dan hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup padanya. Ia dimasukkan ke Penjara St. Vincent de Paul awal November 1970. Carment menjenguknya dengan setia.

Geoffroy tidak sama dengan penghuni penjara lain. Ia dipandang dengan segan dan mendapat pekerjaan administrasi. Hasil kerja dan kelakuannya sangat memuaskan. Di samping itu di penjara ia juga menyiapkan permintaan naik banding. 

Natal tinggal setengah tahun lagi. Sekitar 400 narapidana akan diperbolehkan ‘cuti’ selama tiga hari. Karena Geoffroy menunjukkan dirinya sebagai narapidana teladan dan bisa memberi alasan kuat, ia boleh cuti 50 jam untuk merayakan Natal di luar.

Sebelumnya Geoffroy minta izin untuk menikah dengan Carment. Alasannya, dua kakaknya menderita penyakit jantung yang hebat. Kalau mereka sampai meninggal, siapa yang akan merawat ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu dengan baik? 

Carment bersedia, namun tentu tidak diperkenankan oleh negara. Kalau saja mereka bisa menikah, Carment mempunyai hak untuk merawat anak-anaknya.

Kepala Bagian Kunjungan dan Surat-menyurat Alain Moreau merasa bersimpati terhadap Carment yang dilihatnya sering berkunjung. Ketulusan wanita itu terhadap si narapidana teladan tidak diragukan lagi. Karena itulah ia mau menolong Geoffroy dalam mengajukan permohonan untuk menikah.

Pihak berwenang di Ottawa pun merasa simpati ketika mewawancarai Carment yang memang tulus dan polos. Tanggal 3 November permohonan Geoffroy dikabulkan. Sebagai langkah berikutnya, Geoffroy minta cuti pada hari Natal, dan ingin menikah di saat itu. Sekali ini pun permintaannya diluluskan, karena ia dianggap bisa dipercaya. 

Begitulah, pada malam Natal 1971, Geoffroy meninggalkan penjara, menikah dengan Carment dan terbang ke London. Keesokan paginya mereka sudah berada dalam pesawat yang menuju ke Oslo.

Hari Minggu, pukul 10.00, mestinya Geoffroy sudah kembali ke penjara. Mengapa ia tidak muncul? pikir petugas penjara. Ah, paling-paling ia teralang oleh cuaca. Ketika ia belum kembali juga, dikirimlah laporan pada polisi Propinsi Quebec.

 

Minta jasa interpol

Tiga hari setelah hari Minggu, kantor pos baru mulai bekerja lagi. Alain Moreau mendapat surat yang cap posnya tidak terbaca, tetapi dari Kanada juga.

Longueuil, 24 Desember 1971 

Bapak Moreau yang terhormat. Kalau Anda membaca surat ini, Anda sudah tahu bahwa saya tidak menepati janji saya. Saya minta maaf sebesar-besarnya. Sulit sekali bagi Carment dan saya untuk menepati janji kami. Saya tidak minta Anda menyetujui apa yang saya lakukan, tapi harap Anda mengerti bahwa menunggu sia-sia membuat kami gila.

Jawaban hakim atas surat saya menginsafkan saya bahwa harapan bagi saya sudah tidak ada. Saya tidak bersalah dan ingin menikmati sedikit tahun yang tersisa dari masa muda saya. Jadi, saya pergi.

Terimalah terima kasih yang setulus-tulusnya dari Carment dan saya untuk semua kebaikan Anda selama ini. Anda selalu bertindak sebagai ‘gentleman’ dan saya harap saya juga bisa bersikap demikian. 

Wasalam, 

      Yves Geoffroy

Jelaslah bagi Moreau bahwa Geoffroy tidak akan kembali. Karena ia sudah lima hari meninggalkan penjara, mungkin sekarang ia sudah berhasil kabur keluar dari Provinsi Quebec.

Polisi provinsi melapor ke pusat. Segera keluar perintah ke seluruh negara untuk menangkap Yves Geoffroy yang buron. Surat perintah dan gambaran tentang Geoffroy pun masuk ke dalam komputer di Pusat Informasi Polisi Kanada. Dalam surat perintah itu disertai pula keterangan tentang Carment dan tentang situasi. 

Informasi ini pun tiba ke Pusat Nasional Intelijen Kejahatan di Washington D.C., AS. Di sini informasi itu dimasukkan pula ke komputer supaya mudah dicari.

Philip Leclerc ditanyai. Ternyata ia tidak tahu-menahu. Malah namanya dirugikan, karena dihubungkan dengan kaburnya Geoffroy.

Polisi menyelidiki, kalau-kalau Carment Parent memiliki atau membeli mobil untuk dipakai kabur. Ternyata ia tidak pernah mempunyai mobil dan tidak ada tanda-tanda membeli mobil. 

Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan paspor untuk Carment Andree Parent tanggal 29 Juni 1971, tetapi tidak mengeluarkan paspor untuk Geoffroy. Kedubes-kedubes ditanyai, tetapi tidak pernah menerima kedatangan kedua orang itu. 

Para petugas perbatasan Amerika juga tidak merasa pernah melihat kedua orang itu. Daftar penumpang pesawat terbang, bus, dan kereta api diperiksa, hasilnya nihil. "Mungkin mereka tidak meninggalkan Kanada," kata Inspektur Raymond Ebert. Atasannya, Inspektur John Burris, tidak mau percaya begitu saja.

Salah seorang tetangga Carment Parent yang ditanyai memberi keterangan bahwa Carment pernah mengajar di Afrika. Sementara itu diketahui pula bahwa saudara perempuan Geoffroy belum lama ini pergi berlibur ke Meksiko. Mungkinkah mereka ke sana?

Inspektur Burris dari Bagian Penyidikan Kejahatan memerintahkan agar status simpanan uang Carment Parent diperiksa. 

"Periksa, apakah ada uang yang ditransfer, apakah ia membeli cek perjalanan, dsb.," pesannya.

Tidak lama kemudian Kopral Fresnard memberi laporan: Tanggal 16 Desember, Carment Parent membeli cek perjalanan American Express di bank dekat rumahnya dengan seluruh uangnya.

Polisi segera menghubungi American Express di New York City untuk memberi tahu nomor-nomor cek perjalanan yang dibeli Carment dan meminta agar memberi tahu kalau cek-cek itu sudah diuangkan dan di mana diuangkannya. 

Bank itu mempunyai sistem komputer yang luas, yang mengawasi cek perjalanan mereka yang beredar di seluruh dunia. Maksudnya, agar mereka bisa mengganti cek yang oleh pemiliknya dilaporkan hilang atau dicuri dan melacak pemunculan cek yang dicuri atau hilang itu.

Setelah itu Burris menghubungi Interpol. Buris, Kepala Bagian Penyidikan Kejahatan, juga mengepalai Interpol Ottawa.

Interpol (International Criminal Police Organization) merupakan organisasi dunia yang independen, hampir sama seperti PBB. Gedung Sekretariat Jenderalnya ada di puncak bukit di St. Cloud, dekat Paris, Prancis. 

Ke St. Cloud inilah keterangan mengenai Yves Geoffroy dan istrinya yang kini menjadi buronan disampaikan dengan kode Morse. Segeralah polisi di seluruh dunia yang menjadi anggota Interpol (kini lebih dari 125 negara termasuk Rumania dan Yugoslavia) dikabari.

 

Disimpan di ikat pinggang 

Sekarang kita ikuti jejak Geoffroy dan istri barunya. Mereka tiba dengan pesawat British European Airways flight 782 di Goteborg, Swedia, dan harus meneruskan perjalanan ke Oslo dengan bus, karena dua bandara dekat Oslo, Norwegia, ditutup akibat cuaca buruk.

Pukul 23.00 mereka masuk ke Fonix Hotel yang kecil dekat Jl. Karl Johan yang besar. Geoffroy memperlihatkan paspornya dan mengisi formulir. Paspor Carment tidak diminta.

Dari kamar 307 mereka bisa melihat jalan di luar yang kelabu, beku, dan kosong. Esok paginya dengan kedinginan mereka keluar dan mendapatkan tidak banyak orang asing di Oslo. Mereka melihat beberapa orang Inggris, tetapi tidak ada orang Prancis.

Mereka memilih Oslo dengan harapan orang lain tidak pernah berpikir akan mencari mereka di sana. Tidak terpikir oleh mereka bahwa di ujung dunia seperti ini sulit untuk bangkit memulai hidup baru.

Saat ini Geoffroy mempunyai kira-kira $ 6.000, dari hasil penjualan miliknya yang tersisa selama tahun yang lalu. Uang itu sebagian besar berupa lembaran ribuan (dolar Kanada) dan ditaruh dalam ikat pinggangnya. Kalau uang itu ditukarkan, akan menarik perhatian. Jadi, lebih baik disimpan saja dulu.

Rencananya, mereka akan hidup hemat saja dulu, sambil mencari pekerjaan. la ingin bekerja, sedangkan Carment ingin menjadi guru bahasa Prancis.

Bagaimana caranya mencari koneksi di Oslo tanpa menarik perhatian? Pemilik hotel menganggap kedua orang tamu itu menyenangkan. Geoffroy mengaku dosen sejarah dan Carment disebutnya fisioterapis.

Setiap hari mereka menunggu kesempatan, yang tidak kunjung muncul di kota dingin yang sepi itu. Lama-kelamaan Geoffroy jadi merasa pahit. Setiap hari mereka melihat orang-orang pergi dan pulang kerja dengan dandanan necis, seperti Geoffroy ketika belum masuk penjara di Montreal. 

Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri. Mereka tidak peduli pada Geoffroy. Mana mungkin mengadakan kontak dengan mereka?

Pada suatu hari Carment pergi ke bank di sebelah penginapan mereka, Bergens Privatbank, yang hanya mempunyai dua orang kasir. la menguangkan selembar cek perjalanan bernilai 100 dolar Kanada. Ternyata mudahnya memang sama seperti yang diiklankan.

Saat itu sepi, tidak ada orang lain. Kasir bertanya dengan bahasa Inggris yang fasih, "Anda menyukai Oslo?"

Carment menjadi kaget. la tidak menduga akan ditegur dalam bahasa Inggris. Dengan senyum dipaksakan ia cepat-cepat mengambil uang kronernya dan pergi. Seorang pria pendek kekar lantas menggandengnya.

Geoffroy makin risau. Sedikit demi sedikit uang simpanan mereka terpakai, sedangkan pekerjaan belum juga didapat.

Malam itu di restoran yang penuh mereka harus berbagi meja dengan seorang pria muda bernama Ole Reinhardsen, yang pernah ikut kontingen Norwegia dalam pasukan PBB di Mesir. Ia menolong Geoffroy dan Carment memesankan makanan, karena ia bisa berbahasa Inggris sedikit.

Geoffroy mengaku ia juru masak dan ingin memasarkan sandwich jenis baru yang katanya sedang populer di AS. Namun, saat ini ia ingin bekerja dulu pada orang Norwegia untuk belajar selera penduduk Oslo.

Pemuda itu menasihatkan agar Geoffroy pergi ke kantor yang mencarikan pekerjaaan sementara. "Mungkin pekerjaan itu tidak memuaskan Anda, tetapi bisa menjadi pembuka jalan," kata Reinhardtsen.

 

Paspor orang mati

Ke kantor Interpol di Oslo, tiba kawat mengenai buronnya Geoffroy yang disertai dengan istrinya. Kantor itu letaknya cuma beberapa blok dari Fonix Hotel. Tanggal 11 Januari buletin tentang Geoffroy dibagikan pada kantor-kantor polisi seluruh Norwegia.

Kalau saat itu Geoffroy berkelahi dengan orang lain misalnya, sehingga ia ditahan, maka ia bisa ketahuan sebagai buronan yang dicari Interpol. Namun, Geoffroy tidak berbuat yang aneh-aneh dan ia tidak diketahui berada di Oslo.

Di Kanada, Inspektur Kepala Burris menuntut bawahannya meneliti lagi surat-surat permintaan paspor sambil berbekal foto Geoffroy. Bawahannya dengan enggan memeriksa surat-surat permohonan sampai mata mereka kabur. 

Pada hari ketiga, setelah mereka memeriksa lebih dari 30.000 surat, mereka menemukan surat permintaan paspor yang memakai foto persis seperti yang mereka pegang, yaitu yang dibuat di penjara. Foto itu tertempel pada surat permintaan Real Rolland Lafond, lahir 25 April 1934 (9 bulan setelah Geoffroy lahir), pekerjaan: karyawan tata usaha. 

Permohonan itu dibuat 28 September 1971, tiga bulan sebelum Geoffroy kabur. Permohonan itu diminta lewat pos dan paspornya dikirim dengan pos pula, ke alamat Carment Parent.

Polisi ingin tahu, siapa orang yang namanya dipinjam oleh Geoffroy itu. Ternyata Lafond asli sudah tewas tenggelam di Danau Otter tanggal 28 Desember 1959. Ia sepupu Carment Parent! Carment rupanya memiliki surat permandian almarhum, yang dipakai untuk meminjam paspor.

Orang yang disebutkan sebagai penjamin dalam surat permohonan ialah seorang notaris setempat. Ketika diperiksa, ternyata notaris itu tidak tahu-menahu dan tanda tangan yang tertera bukanlah tanda tangannya.

Foto Geoffroy, gambaran tentangnya, dan sidik jarinya sudah dikirim ke markas Interpol di Paris. Kini anak buah Burris mengirim pula nama palsu yang dipakai Geoffroy, untuk ditambahkan pada keterangan yang sudah ada.

 

Oh, Pak Profesor

Suatu hari telepon Burris di Ottawa berdering. American Express di New York ingin memberi tahu: cek perjalanan yang dikeluarkan tanggal 16 Desember di Montreal, bernomor X2230157 senilai 100 dolar Kanada, baru saja diuangkan oleh Carment Parent di Bergens Privatbank di Oslo, tanggal 7 Januari.

Astaga! pikir Burris. Akhirnya, ketahuan juga mereka ada di mana. Burris mengirim pesan ke Oslo. 

Di Oslo, Geoffroy masuk ke kantor yang diusulkan oleh Ole Reinhardsten. 

"Oh, Tuan Lafond, saat ini tidak ada pekerjaan," jawab petugas di sana dengan bahasa Inggris terpatah-patah. Datang saja kapan-kapan, tetapi jangan dalam dua tiga hari."

Geoffroy merasa lesu. Pulang ke rumah ia dan Carment merencanakan akan pergi saja meninggalkan Oslo. Ke mana?

Setelah memikirkan pelbagai kemungkinan, mereka memilih Barcelona di Spanyol, di tepi Laut Tengah. Di sana panas, tidak seperti di Oslo ini. Di kota pelabuhan yang kosmopolitan itu pasti banyak orang asing dan mungkin juga banyak lapangan pekerjaan. 

Bahasa Prancis pasti banyak dipakai dan beralih ke bahasa Spanyol lebih mudah daripada ke bahasa lain. Dengan menguasai tiga bahasa dan pendidikan hukum mungkin tidak sulit baginya mencari pekerjaan.

Interpol Oslo berkantor di gedung bekas markas besar Gestapo pada PD II. Permintaan untuk menangkap Geoffroy diterima oleh Gunnar Lund, kepala kantor pusat untuk penyelidikan kriminal. 

Lekas-lekas dihubunginya Bagian Penyidikan Kriminal Oslo, Per Hagen. Berlainan dengan negara-negara Barat lain, prosedur yang dijalankan oleh polisi Norwegia dirahasiakan. 

Nama detektif yang diutus mencari Geoffroy dan laporan yang dibuat si detektif disimpan dalam arsip tanpa boleh diketahui umum. Namun, mereka bisa merekonstruksi apa yang dilakukannya.

Ia mendatangi petugas yang melayani Carment di Bergens Privatbank. Petugas itu tidak ingat lagi nama wanita itu, tetapi segera mengenali foto Geoffroy. Ia membuka daftar tamu. "Tuan dan Ny. Real Lafond cuma tinggal dua malam, lalu pergi entah ke mana," katanya. Lafond meninggalkan nomor paspornya.

Di hotel kelima atau keenam, pemilik mengenali foto yang diperlihatkan si detektif. "Oh, Pak Profesor!" katanya. "Ia orang baik. Temannya juga baik, Pak Reinhardsten." (Tentu saja Reinhardsten pun kemudian ditanyai). Namun Pak Profesor dan istrinya sudah pergi. Setelah menanyai Reinhardsten, polisi juga menghubungi perusahaan-perusahaan penerbangan.

 

Tinggal di seberang kantor polisi

British European Airways ingat pada Lafond, karena ada ketidakberesan pada tiketnya. Lafond akhirnya minta bantuan Biro Perjalanan Winge untuk membereskan tiket itu.

Petugas di Winge ingat pada Lafond. Katanya, Lafond pergi ke Barcelona lewat Frankfurt. Mereka naik SAS dan disambung dengan Iberia. Petugas menyarankan mereka tinggal di Hotel Colon, namun Lafond ingin hotel yang lebih murah, jadi baginya dipesankan tempat di Regencia Colon.

Barcelona menyambut kedatangan Geoffroy dan Carment dengan kehangatan sinar matahari. Mereka tidak mendapat kesulitan di imigrasi. Geoffroy juga merasa betah ketika tiba di Regencia Colon. Lobi hotel itu memberi kesan hangat dengan lantainya yang merah dan dengan ukiran kayunya yang halus.

Tidak lama kemudian mereka sudah berjalan-jalan di Ramblas, jalan lebar penuh kafe terbuka di tepi-tepinya. 

Operator di Interpol Mardrid menerima permintaan untuk menangkap Joseph Geoffroy, beralamat di Regencia Colon, Barcelona. Dari Madrid permintaan itu diteruskan ke Barcelona yang jaraknya sekitar 600 km ke arah timur laut.

Kasus Geoffroy diserahkan kepada Inspektur Luis Serra. "Gonzales," katanya kepada asistennya. "Ini ada kriminal kelas kakap dari Amerika Utara. la kabur keliling dunia sampai Barcelona, la memilih hotel apa, coba terka? Regencia Colon, yang tidak sampai seratus langkah dari pintu kantor kita!" 

Kemudian katanya, "Coba kau lihat ke sana, tapi hati-hati." Gonzales mengangguk. la berbekal Cadix 38 di pinggangnya, lalu pergi ke Regencia Colon. Geoffroy tidak ada di lobi. Gonzales memperlihatkan foto Geoffroy pada petugas di counter dan bertanya, "Kenal orang ini?" 

"Oh, Tuan Lafond, sudah pergi."

Geoffroy memang sudah pindah. Lewat operator lift, Geoffroy mengetahui ada apartemen yang akan disewakan tidak jauh dari hotel. Operator itu mengantar mereka ke Apartementos Colon dan di situ Geoffroy menyewa sebuah apartemen kecil di tingkat keenam. 

Tempat itu letaknya di Via Layetana 42, sedangkan Jefatura Superior de Policia terletak hampir di seberangnya, di no. 43. Di depan gedung kokoh bertembok kelabu itu polisi bersenjata berjaga siang-malam, sedangkan polisi berpakaian preman berjalan ke luar-masuk gedung.

Dari jendela kamarnya Geoffroy senang memandang ke bawah, ke toko-toko di seberangnya. Kalau lewat di depan kantor polisi, ia mengangguk hormat kepada polisi jaga. Ia tidak membaca koran Kanada, sehingga tidak tahu apa yang terjadi di sana dan betapa banyak kolom-kolom surat kabar dimuati berita tentang pelariannya.

Yang kini merisaukan Geoffroy ialah ia perlu pekerjaan. Dari berbagai pamflet yang diperolehnya di Bandara Frankfurt, ia mengetahui bahwa Afrika membutuhkan banyak tenaga seperti dia, terutama Zaire, yang dulu bernama Kongo.

 

Trudeau turun tangan

Di Ottawa, Inspektur Kepala Burris merasa kecewa sekali ketika tiba berita dari Inspektur Luis Serra: Geoffroy sudah tidak ada di Regencia Colon.

PM Pierre Trudeau minta supaya kasus Geoffroy ditangani lebih baik. Bagaimana mungkin pembunuh seperti Geoffroy sampai bisa melarikan diri! Maka dikirimkanlah polisi Kanada ke Spanyol.

Di Via Layetana 43, Inspektur Serra memanggil Gonzales. "Coba kau tanyai lagi semua karyawan hotel. Siapa tahu ia berbicara sesuatu kepada salah seorang dari mereka yang bisa dijadikan kunci untuk menemukannya. Malu kan kalau sampai polisi Amerika Utara sendiri yang datang kemari untuk menyelidiki. Jangan-jangan mereka mengira kita tidak bekerja di sini." 

"Bueno," kata Gonzales.

Ia menanyai setiap karyawan, sambil memperlihatkan foto. Waktu tiba giliran Victor Lopez, operator lift itu berkata, 

"Aah, ini kan bapak yang sopan betul itu. Saya menolong dia mencari apartemen." 

"Oh!" 

"Saya tunjukkan kalau mau." 

Lopez dan Gonzalez bersama-sama pergi ke Apartementos Colon. Dari jalan Lopez menunjuk ke atas. 

"Di sana, di tingkat enam," katanya. 

"Jangan menunjuk, goblok!" kata Gonzalez. 

Gonzalez lalu masuk menemui pengurus apartemen. Lafond dan istrinya masih ada, katanya. Cepat-cepat Gonzalez menyeberang ke kantor polisi untuk menceritakan penemuannya pada Serra. Ternyata Serra sedang menerima tiga polisi Kanada. 

Serra meninggalkan dulu ketiga tamu asing itu untuk mendengarkan cerita Gonzalez, lalu bersama Gonzalez dan tiga detektif lain mereka pergi ke Apartementos Colon, tentu saja berbekal Cadix 38, karena katanya, "Ia mungkin bersenjata dan pasti berbahaya."

Pengurus apartemen kaget ketika melihat kedatangan mereka. Ia disuruh tutup mulut dan diam di tempatnya, setelah ditanyai apakah Lafond dan istrinya ada di apartemen.

Seorang detektif ditempatkan di bawah supaya bisa mengawasi lift maupun tangga. Serra sendiri dengan yang lain naik ke tingkat 6. Serra mencabut senjatanya dan mendekati pintu bertanda B. Gonzalez merapatkan dirinya ke dinding di sebelah kanan pintu.

Serra mengetuk pintu. Tangan Carment masih di tombol pintu ketika Serra masuk. Kaki kiri Serra menahan pintu supaya tidak bisa ditutup lagi, sedangkan tangan kanannya menodongkan pistol.

"Polisi," katanya. 

Carment menjadi pucat pasi. la tidak bisa bergerak. Matanya terbuka lebar seperti mata rusa. Tepat di seberang Serra, pintu kamar mandi membuka. Geoffroy keluar memakai jas kamar berwarna kuning. 

Carment menoleh kepada Geoffroy dan ia tampak lebih takut lagi. Gonzalez memegang lengan Carment, sedangkan Serra mendekati Geoffroy. 

"Polisi," katanya dalam bahasa Prancis. 

"Angkat tangan." 

"Ada apa?" tanya Geoffroy. 

"Anda ditahan, Monsieur Geoffroy, dengan surat perintah penahanan dari Kanada." 

"Geoffroy? Ah, barangkali Anda salah. Nama saya Real Lafond. Perkenankanlah saya memperlihatkan paspor saya. Paspor itu ada di meja." 

Paspor diperiksa. Serra tersenyum.

"Mungkin ada kesalahan, Monsieur Lafond," katanya. "Kalau begitu atas nama pemerintah Spanyol, saya minta maaf kepada Anda. Namun, saya mempunyai surat perintah penangkapan terhadap Anda di bawah nama Joseph Yves Geoffroy.” 

“Jadi, saya mesti meminta Anda ikut ke kantor saya. Dekat saja, barangkali Anda juga tahu. Semuanya akan dibereskan di sana. Sekarang silakan berpakaian dulu, seorang demi seorang. Madame Lafond lebih dulu."

Geoffroy diminta untuk tidak diborgol. Serra, seperti gentleman terhadap gentleman, setuju.

 

Dibutakan oleh cinta

Serra masuk lebih dulu ke ruang kantornya. Ketiga polisi Kanada bangkit. Mereka sudah ditinggalkan Serra 28 menit. Serra tampak gembira.

"Messieurs," katanya dalam bahasa Prancis. "Saya ingin memperkenalkan rekan Anda setanah air, Monsieur Geoffroy."

Geoffroy yang masuk setelah Serra berkata cepat, "Nama saya Lafond." 

"Ah, Geoffroy," kata Kopral Fresnard. "Senang bertemu kembali dengan Anda."

Ketika itu di Kanada, Inspektur Kepala Burris baru saja tiba di kantornya. Teleponnya berbunyi. Kopral Fresnard ingin memberi laporan. Geoffroy sudah tertangkap.

Geoffroy diekstradisi dan tanggal 13 Maret ia dan Carment dikembalikan ke Kanada. Tanggal 19 Februari 1973, keduanya dinyatakan bersalah. Hukuman seumur hidup dijatuhkan pada Geoffroy ditambah lagi dengan hukuman penjara dua tahun, karena kabur dari penjara. Carment yang membantunya, dibebaskan karena dianggap dibutakan oleh cinta.

Carment menjenguk Geoffroy sesering yang diperkenankan. Bulan madu mereka hanya berlangsung 73 hari, padahal mereka mengharapkan bisa bersama-sama selama bertahun-tahun.

(David Nevin)

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304506/dijemput-seorang-wanita-mungil" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265545000) } } }