array(18) {
  [0]=>
  object(stdClass)#117 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3806901"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#118 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/10-tangan-pengadilan-selalu-lebi-20230711015405.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#119 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(149) "Potongan tubuh Setty ditemukan di sebuah rawa. Polisi pun berhasil menemukan orang yang membuang potongan tubuh itu. Namun ia telah menyiapkan alibi."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#120 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/10-tangan-pengadilan-selalu-lebi-20230711015405.jpg"
      ["title"]=>
      string(38) "Tangan Pengadilan Selalu Lebih Panjang"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-07-11 13:54:13"
      ["content"]=>
      string(20400) "

Intisari Plus - Potongan tubuh Setty ditemukan di sebuah rawa. Polisi pun berhasil menemukan orang yang membuang potongan tubuh itu. Namun ia telah menyiapkan alibi agar bisa terbebas dari tuduhan pembunuhan.

----------

Lepas tengah hari 21 Oktober 1949, seorang petani penggarap bernama Sidney Tiffin menyusuri pantai Essex, Inggris. Ia sedang mencari itik liar. Tetapi hari itu di Dengie Marshes yang berawa tidak seekor itik pun tampak olehnya. Lama sudah Tiffin mengintai.

Ketika bangkit dari tempat pengintaiannya, Tiffin melihat sebuah bungkusan yang mengapung di air. Namun karena yang dicarinya itik liar, bungkusan yang terikat kuat dengan tali-temali goni itu tidak dipedulikannya.

Hingga kira-kira setengah jam kemudian, didekatinya juga bungkusan yang timbul tenggelam terombang-ambing oleh gelombang kecil akibat gerak-gerik kaki Tiffin. Ditariknya dari air lalu dipotongnya segera taIi pengikatnya.

Ternyata isinya sepotong besar tubuh manusia. Ya, sepotong. Itu adalah mayat yang sudah mulai mengurai, tanpa kepala, tangan kaki, dan tanpa lengan. Hanya batang tubuh dan tangan, dari siku hingga jari, yang tertambat di bagian punggung tubuh dengan tali kulit.

Sebagai seorang petani yang memiliki karakter tenang, Tiffin tidak terlalu kaget melihat pemandangan yang sangat mengerikan itu. Dengan tenang diambilnya sepotong kayu yang terapung di air. Dihunjamkannya hingga dasar paya, sekadar untuk menambatkan potongan mayat itu agar tidak terbawa air.

Tiffin segera bergegas pergi dan mencari telepon untuk memberitahukan penemuannya kepada polisi. Tetapi membawa polisi ke daerah yang berawa tidaklah semudah pergi ke sana seorang diri. Tiffin dan polisi tiba di tempat penemuan ketika hari sudah gelap. Dan jenazahnya sudah makin tidak keruan.

Baru keesokan harinya sisa-sisa manusia tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa lengan itu sampai ke balai jenazah di Chelmsford. Polisi telah menghubungi Scotland Yard. Dan Scotland Yard pun datang dengan membawa serta patolog kenamaan Prof. Dr. Francis Camps.

“Katakan kepada kami siapa dia dan bagaimana dia menemukan ajalnya,” kata polisi menyambut kedatangan Prof. Camps. “Kirimkan saja tangan-tangan itu ke markas dulu,” jawab Prof. Camps. “Cepat! Sidik jarinya masih mungkin untuk diperiksa!”

Setelah mengamati, Prof. Camp mengemukakan hasilnya. Ia mengungkapkan bahwa sepotong tubuh manusia itu bagian dari manusia yang dulunya lebih dari sekadar cukup terpelihara fisiknya. Almarhum agak kegemukan, tetapi tidak terlalu besar, tinggi badannya sekitar 175 cm, dan beratnya 85 kg.

Mengenai keadaannya ketika itu, Prof. Camp menyatakan bahwa potongan mayat itu sudah 20 hari lamanya berada di rawa Dengie Marshes. Dan kurang dari 48 jam setelah dipotong-potong ketika diceburkan ke sana. Sekali pun tidak lagi ada kepalanya yang otaknya bisa diperiksa untuk menentukan kematiannya, namun menurut Prof. Camp, si empunya batang tubuh itu tewas karena ditusuk. Di bagian dada tampak lima lubang bekas tusukan.

Dari sisa-sisa pakaian mayat, Prof. Camps dapat memeriksa bahwa alat penusuknya bermata tajam pada kedua tepinya, lebarnya sekitar 3 cm dan panjangnya 12 cm. Perkiraan patolog itu, orang tersebut dalam sikap berdiri atau tegak lurus ketika pembunuhnya menghunjamkan pisaunya ke dada korban. Benda lainnya yang juga masuk ke dalam tubuh korban ialah minuman keras. “Scotch atau brandy,” kata Prof. Camps.

Belum genap 24 jam, Fred Cherrill, Komandan Detasemen Polisi di Scotland Yard, sudah dapat melaporkan bahwa potongan tubuh itu milik Stanley Setty. Ia seorang catut mobil di Warren Street, kelahiran Irak. Korban pernah dihukum karena menjalankan kegiatan seperti bank tanpa memiliki dana. Seorang kenalan yang masih ada hubungan saudara dengan Setty memberi kesaksian kepada polisi. Ia terakhir melihat Setty pada 4 Oktober sekitar setengah enam sore. Ketika itu Setty mengendarai Citroen putih susu di Great Portland Street.

Seorang saudara perempuan Setty pada hari yang sama juga masih melihat Setty hidup. Dialah yang melaporkan hilangnya Setty kepada polisi hari berikutnya. “Pasti terjadi sesuatu atas diri Setty,” katanya kepada polisi. “Setty hidupnya teratur,” ia menambahkan. 

Polisi menemukan mobil Setty di luar garasi di Cambridge Terrace Mews. Kunci kontaknya berada di lubangnya. Penyelidikan yang dipimpin oleh Inspektur kepala Jamieson dari Kantor Polisi Albany Street menemukan bahwa Setty mengantongi uang £ 1000. Itu adalah hasil penjualan sebuah mobil sehari sebelum dia menghilang. Hal ini dikemukakan oleh seorang kasir bank, yang juga mencatat nomor-nomor seri dari Iembaran £ 5 yang diberikan kepada Setty. Di pihak lain, keluarga Setty sendiri menawarkan hadiah sebesar £ 1000 kepada siapa saja yang dapat memberi keterangan tentang keberadaan Setty. Tetapi tidak ada yang mengambil tawaran itu.

Prof. Camps menemukan bahwa golongan darah Setty adalah O. Menurut pengamatannya, orang yang memotong-motong tubuh Setty sangat ahli dalam memotong ternak, tetapi sedikit pun tidak mengetahui soal viviseksi kedokteran. Lengan Setty dilepas seperti tukang daging mencabut sayap dari tubuh unggas potong. Tangan Setty, dari siku hingga jari, dibungkus bersama-sama batang tubuh yang sudah tanpa kaki.

Bungkusan di Dengie Marshes itu berukuran 79x43x21 cm, yang dalam keadaan kering paling tidak beratnya 55 kg. Prof. Camps berpendapat bahwa setelah tewas bagian-bagian tubuh Setty hendak diremukkan juga. Jelasnya, tulang rusuk yang patah memberi kesan bahwa bungkusan itu dijatuhkan dari suatu ketinggian tertentu.

Penemuan Prof. Camps terakhir ini dicatat dalam sejarah kriminalitas di Inggris. Dialah yang pertama membongkar kejahatan yang hendak menyingkirkan mayat korban dengan jalan memotongnya dan membuangnya ke tempat-tempat yang berlainan. “Sangat mungkin jika bagian-bagian tubuh itu dilempar dari pesawat terbang,” kata Prof. Camps.

Begitu laporan ini disebarkan lewat pers, polisi segera saja mendapat informasi lewat telepon dari lapangan terbang kecil Elstree. Kata pemberi info, pada hari 5 Oktober ada seorang Iaki-laki bernama Donald Hume yang menyewa pesawat terbang kecil jenis Auster di lapangan terbang Elstree. Hume datang ke Elstree dengan mobil dan membawa dua bungkusan. Hume membayar sewa pesawat terbang dengan lembaran £ 5-an.

“Biasa saja sebenarnya,” kata pemberi info yang bernama Bill Davey. “Tetapi anehnya, Hume meletakkan bungkusan tersebut satu di kursi pilot, satu di kursi belakang.” Atas saran Bill Davey, Hume kemudian memindahkan bungkusan yang pertama ke kursi co-pilot.

Penyelidikan lebih jauh mengungkapkan bahwa pada hari 5 Oktober itu sekitar jam setengah enam sore mendaratkan Auster di Southend. Cukup banyak orang di Southend ketika itu tertarik pada kehadiran Hume. Bukan karena tiadanya bungkusan, melain karena caranya Hume mendaratkan pesawatnya. Ia hampir saja menubruk pesawat terbang lainnya. Beberapa orang di antara yang menyaksikan kejadian itu juga ingat detail lain dari pendaratan Hume di Southend. Salah satunya adalah kegagalan mencari pilot untuk menerbangkan Auster kembali ke Elstree. Malam harinya Hume meninggalkan lapangan terbang Southend menuju Finchley dengan taksi.

Hari berikutnya, 6 Oktober, Hume tampak kembali di Southend. Ia membawa beberapa bungkusan lagi dan segera dimasukkan ke dalam Auster. Hume mengangkasa dan hari itu juga diketahui mendarat di Gravesend sekitar jam 6 sore. Tanpa bungkusan satu pun. Selanjutnya Hume pergi dengan taksi ke Golders Green.

Dengan data-data tersebut, pergilah seorang patolog lain, Dr. H.S. Holden ke Elstree. Pesawat Auster ternyata sudah kembali ke Elstree. Dr. Holden menemukan bekas-bekas darah di belakang kursi co-pilot. Pada 26 Oktober Donald Hume dibawa oleh Inspektur Kepala Jamieson dari sebuah flat di Finchley Road, Golders Green. Ia dibawa ke Pos Polisi Albany Street.

Mula-mula Hume menyangkal mengetahui tentang hilangnya Setty dan soal keberadaan bungkusan-bungkusan di pesawat terbang Auster. Ia pun akhirnya merasa jika polisi sudah mengetahui banyak hal. Hume kemudian mengalihkan perhatian polisi dengan cerita alibi yang kemudian ternyata tahan uji dalam pertanyaan gencar di pengadilan.

“Saya ini seorang kepala keluarga,” kata Hume mengawali pernyataannya di depan Polisi Albany Street. “Istri saya Cynthia, anak perempuan kami berusia 3 bulan, dan kami tinggal di Golders Green.

“Saat Perang Dunia, saya anggota RAF selama 8 bulan. Pernah pula mendapat latihan menerbangkan pesawat udara. 8 bulan yang lalu saya mendaftarkan diri menjadi anggota United Services Flying Club. Saya berhak terbang solo, meski pengetahuan saya mengenai membaca peta tidak terlalu baik.

“Sudah 3 tahun lamanya saya berurusan dengan jual beli mobil, antara lain dengan Tuan Salvador dan Tuan Manfield. Keduanya mengetahui bahwa saya bisa menerbangkan pesawat. Agaknya karena itulah keduanya sering menanyakan apakah saya berani menerbangkan orang ke Italia atau ke Belgia.

“Pada suatu hari di kantor Salvadori, saya bertemu dengan Tuan Mac atau Max. Saya tidak begitu jelas namanya. Usianya sekitar 35 tahun, tingginya kira-kira 170 cm, orangnya besar dan gagah, bercukur bersih, tampan, rambutnya disisir lurus ke belakang dengan sibakan tepat di tengah. Sepatunya sering kulit suede berwarna cokelat dan di tangan kanannya ada cincin batu akik besar.

“Pada hari Jumat 30 September saya bertemu lagi dengan Mac, juga di kantor Salvadori. Mac menanyakan apakah saya termasuk ‘penyelundup udara’. Saya mengangguk. Kemudian Mac memperkenalkan saya dengan Tuan Gree atan Green, saya tidak begitu jelas namanya. Gree bertanya apakah saya suka uang. Saya tidak menjawab, hanya memberikan nomor telepon saya kepada Green atau Gree itu.”

Hume seterusnya menceritakan kepada polisi bahwa pada hari 5 Oktober jam 10 pagi Mac menelepon dan menyuruh Hume mencari pesawat terbang. “Antara pukul 2 dan 3 siang,” kata Hume, “datang Mac, Gree, dan satu orang lagi bernama Boy ke flat saya. Gree dan Boy masing-masing membawa bungkusan. Saya diminta untuk menjatuhkan bungkusan-bungkusan itu dari pesawat terbang ke laut, British Channel misalnya.

“Saya diberi sepuluh lembar uang £ 5-an dan sepucuk pistol. Sebelum pergi, Mac mengatakan akan kembali ke flat saya antara pukul 8 malam untuk menyerahkan upah £50 lagi.

“Bungkusan yang dibawa Boy besarnya kira-kira 40x40x40 cm dan terikat dengan kuat. Bungkusan lainnya sekitar 60x15x15 cm. Yang ini agak berat. Ketika saya sentuh, rasanya lunak. Tetapi ketika saya angkat, bungkusan yang memanjang bentuknya itu tidak menjadi bengkok. Seingat saya bungkusan itu kering dan tidak basah sama sekali.

“Setelah mereka pergi, bungkusan itu saya masukkan ke dalam lemari di dapur. Saya kira istri saya tidak pernah melihat bungkusan-bungkusan itu di sana. Setengah lima sore saya berangkat dengan mobil sewaan ke Elstree, membawa kedua bungkusan yang diminta untuk dibuang ke British Channel.

“Saya terbang menuju Southend dengan pesawat Auster. Setelah melewati atas dermaga, saya terbang lurus ke laut, seperempat jam lamanya, menghadap ke Pantai Kent.

“Tepat sebelum saya harus membelok ke kanan, pintu di sebelah kursi pilot saya buka dengan tangan, sedangkan kemudi saya jepit dengan kaki. Meskipun angin bertiup kencang sehingga pintu sulit dibuka, saya akhirnya berhasil juga menjatuhkan kedua bungkusan itu ke laut. Ketika itu saya berada di ketinggian 1000 kaki dan di antara 6,4 dan 8 km dari ujung dermaga Southend.”

Hume terbang kembali ke Southend dan menyewa taksi untuk pergi ke Golders Green. Dia membayar ongkos taksi dengan lembaran £ 5, sambil berkata “ambil saja sisanya” kepada sopir. Ternyata Gree dan Boy sudah menanti di flatnya. Lagi-lagi mereka menyediakan beberapa bungkusan untuk dibuang di British Channel, malam itu juga.

“Saya,” kata Hume, “tidak sanggup lagi karena hari sudah terlalu malam. Akhirnya mereka setuju jika bungkusan-bungkusan itu saya buang esok paginya.

“Pagi hari 6 Oktober saya mulai bertanya-tanya apakah gerangan sebenarnya isi bungkusan-bungkusan itu. Siangnya, ketika saya mengangkat bungkusan-bungkusan itu dan turun ke bawah, agak kecut juga hati saya. Jangan-jangan berisi mayat Setty yang menurut berita koran tidak lagi tampak batang hidungnya sejak 5 Oktober sore. Saya kenal Setty karena saya pernah menjual sebuah Pontiac padanya, kira-kira 2 tahun yang lalu, seharga £ 200.

“Sopir taksi membantu saya memasukkan bungkusan-bungkusan ke dalam taksi dan kemudian juga ke dalam pesawat Auster di Southend. Saya mendapat kesulitan untuk menjatuhkan bungkusan yang paling besar. Itu juga karena besarnya angin yang mendorong pintu pesawat hingga tetap tertutup. Akhirnya saya berhasil memiringkan pesawat sampai sayapnya hampir dalam posisi vertikal. Pintu terbuka dengan sendirinya dan bungkusan jatuh ke Iaut.

“Setelah itu saya tidak tahu arah lagi dengan baik. Terpaksa mendarat di sawah yang baru saja dibajak, di Faversham, Kent. Seorang petani memutarkan baling-baling pesawat, sehingga saya berhasil mengudara kembali. Hari sudah gelap benar ketika saya mendarat di Gravesend.”

Dalam pernyataannya kemudian, Hume mengatakan, “Seingat saya, pada hari 7 Oktober saya mencocokkan nomor seri uang £ 5-an tersebut, semuanya dari Boy.”

Mengenai lembaran £ 5-an lainnya, Hume memerinci demikian, “£ 80 saya berikan Cynthia yang segera menabungkannya ke Tabungan Pos, £ 40 atas nama anak perempuan kami dan £ 40 atas nama Cynthia sendiri. Dengan satu lembaran £ 5-an saya membeli sebuah buku alamat, satu £ 5-an lagi untuk sebuah gunting dalam wadah kulit merah, dua £ 5-an saya belanjakan untuk tembakau dan permen di Edgware Road.”

Berikutnya Hume menuturkan bagaimana pada hari 23 Oktober menerima telepon dari Boy bahwa menurut koran mayat Setty sebagian sudah ditemukan oleh polisi di Essex. Boy melarang Hume agar jangan sekali-sekali dia menyatakan tahu-menahu mengenai bungkusan-bungkusan dari Boy. “Kau ada istri dan anak, bukan?” ujar Boy menurut cerita Hume kepada polisi. Sejak itu Hume, katanya, tidak pernah lagi mendengar berita soal Mac, Gree, atau Boy.

Keterangan Hume di pengadilan sedikitnya tidak menyimpang dari apa yang sudah dikemukakannya kepada Polisi Albany Street. Cerita alibi Hume itu pula yang menyelamatkan leher Hume dari tali gantungan. Hal-hal lain yang memberatkan ternyata tidak cukup meyakinkan sebagai bukti. Tetesan darah, misalnya, di flat Hume memang dari golongan darah O, tetapi apa mau dikata kalau lebih dari 40 persen orang Inggris bergolongan berdarah O. Atau saksi yang melihat Hume tergesa-gesa minta kembali pisau besar yang ia asah di tukang asah pisau. Saksi ini bahkan pernah membantu Hume membawa bungkusan-bungkusan dari flat ke taksi.

Pendapat umum di seputar peradilan kasus Hume mengatakan bahwa tuntutan terhadap Hume lemah sekali. Banyak fakta justru tidak dikemukakan, seperti kesaksian Prof. Camps tentang minuman keras yang menyebabkan Setty tak berdaya menghadapi penyerang-penyerangnya. Sebaliknya jaksa malah mengemukakan kesaksian patolog ketiga, Dr. Donald Teare, yang menyatakan bahwa tidak adanya luka di tangan Setty membuktikan Setty dipegangi oleh orang lain sementara pembunuhnya menusukkan pisau ke dada Setty. Fakta ini jelas memperkuat cerita Hume tentang Mac, Gree, dan Boy.

Salvadori, Manfield, Mac, Gree, dan Boy, andai kata mereka benar-benar ada, tidak pernah ditemukan oleh polisi untuk dimintai kesaksiannya dalam kasus Hume. Kebanyakan catut mobil menggunakan nama samaran dalam usahanya. Hume divonis, tidak untuk pembunuhan Setty, melainkan untuk kejahatan membantu menyingkirkan bukti-bukti kejahatan. Untuk itu, ia dijatuhi hukuman penjara. 

Karena kelakuan baik di penjara, pada hari 1 Februari 1958 Donald Hume sudah mengecap udara kebebasan kembali. 5 hari kemudian, Hume memasuki kantor redaksi Daily Express untuk menjual cerita pembunuhan Setty yang dilakukannya sendiri. Hume tak terjamah lagi oleh tangan pengadilan manusia karena asas ne bis in idem. Suatu perkara yang sudah diputus oleh pengadilan tidak dapat diperiksa dan diputus lagi untuk kedua kalinya.

Dengan alasan harganya terlalu tinggi — Hume minta 10.000 — Daily Express tidak mau membeli cerita nyata Hume. Tetapi Hume, meskipun dengan harga yang lebih rendah, berhasil juga menjual ceritanya kepada koran lain. Diceritakan bagaimana dia melakukan pembunuhan Stanley Setty, si catut mobil kelahiran Irak. Juga tentang bagaimana dia mengakali pengadilan dengan cerita-cerita bohong tentang Mac, Gree, dan Boy.

Tetapi ne bis in idem tidak bisa lagi diterapkan pada kasus Hume berikutnya di Swiss. Tepat setahun setelah ia keluar dari penjara, Hume merampok sebuah bank di London. Untuk menghindari pengejaran Polisi Inggris, Hume kabur ke Swiss. Di Swiss pada hari 30 Januari 1959 Hume merampok sebuah bank di Zurich. Hasilnya kalau dinilai dengan ponsterling hanyalah £ 17 dalam pecahan perak dan Arthur Maag, 50 tahun, seorang sopir taksi yang berusaha menghentikan Hume.

Hari berikutnya Hume tertangkap Polisi Swiss dengan tuduhan pembunuhan. Kini Hume menjalani hukuman seumur hidup kerja paksa di Penjara Regensdorf. Hari-harinya dihabiskan dengan melukis binatang.

(Percy Hoskins)

Baca Juga: Perampokan Kereta Api Cepat Rock Island

 

" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553806901/tangan-pengadilan-selalu-lebih-panjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083653000) } } [1]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760974" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/perampokan-kereta-api-cepat-rock-20230511110111.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Pesuruh kereta ditemukan tewas mengenaskan di dalam gerbong yang membawa 20.000 dolar. Tiga orang detektif pun ditugaskan untuk mencari pelaku." ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/perampokan-kereta-api-cepat-rock-20230511110111.jpg" ["title"]=> string(39) "Perampokan Kereta Api Cepat Rock Island" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:01:20" ["content"]=> string(37257) "

Intisari Plus - Seorang pesuruh kereta ditemukan tewas mengenaskan di dalam gerbong yang membawa 20.000 dolar. Tiga orang detektif pun ditugaskan untuk mencari pelaku yang mudah berkelit itu.

---------------

Pada tanggal tanggal 12 Maret 1886, kereta api cepat Rock Island meninggalkan Chicago pada jam 10 lewat 45 menit. Kereta itu membawa 20.000 dolar dalam bentuk lembaran 50 dan 100 dolar yang dipegang oleh Kelog-Nichols. Ia adalah seorang pesuruh yang sudah bertahun-tahun bekerja pada United States Express Company. Uang tersebut adalah kiriman sebuah bank di Chicago dan akan diberikan pada bank pusatnya di Davenport, Iowa. 

Selain gerbong penumpang, kereta api itu juga menarik dua gerbong barang dari jawatan pos. Yang satu untuk membawa paket pos, tepat di belakang lokomotif. Sedangkan gerbong kedua untuk bagasi penumpang, di belakangnya lagi. Kedua gerbong ini mempunyai dua pintu yang selalu menarik perhatian para perampok. Nichols si pesuruh berada di gerbong pertama. Waktu kereta api berhenti di Joliet, sebuah kota yang terletak kira-kira 60 kilometer di sebelah barat Chicago, ia sedang memilih-milih paket. Akan tetapi pada pemberhentian sesudahnya di kota Morris, penjaga rem Harry Schwartz, pucat dan kebingungan. Ia keluar dari gerbong pertama dan berteriak, “Nichols mati!”

Mereka menemukan tubuh Nichols yang sudah tidak bernyawa di lantai gerbong. Kepalanya pecah karena tertimpa barang berat dan bahu kanan menunjukkan cedera penembakan. Tampaknya ia baru dikalahkan sesudah perlawanan sengit. Wajahnya masih menunjukkan air muka yang penuh tekad, tangannya dikepalkan. Tangan serta jari-jari dirusak dan dicakar dengan cara yang mencolok. Di bawah kuku terdapat rambut serta beberapa bagian kulit manusia. 

Tembakan telah dilakukan dengan senjata kaliber 32. Tetapi cedera itu tidak mengundang maut. Mungkin maut baru datang waktu ia diberi pukulan-pukulan yang bengis, yang dilakukan si pembunuh pada kepala korban sesudah menembak. 

Semua yang mengenal Nichols heran melihat perlawanan yang mungkin terjadi, sebab Nichols bukanlah seorang yang kuat. Tingginya tidak sampai 1,70 meter dan paling beratnya hanya 65 kg. Kawan-kawannya pun mengetahui bahwa ia bukanlah seorang pemberani.

Segera gerbong paket dilepaskan dari kereta api dan ditinggalkan di kota Morris, bersama dengan semua pegawai kereta api. Pemeriksaan pertama yang dilakukan sambil lalu. Setelah itu tidak boleh lagi ada orang masuk ke dalam gerbong di mana Nichols ditemukan terbunuh. Oleh karena itu, orang belum mengetahui pasti berapa banyak yang dirampok.

Bahwa dilakukan perampokan itu sudah jelas. Pintu lemari uang terbuka dan kertas-kertas serta uang kertas berserakan di lantai.

Telegram penting segera dikirim ke Chicago, dan sesudah beberapa jam, tibalah beberapa orang detektif di Morris. Jalan-jalan dan jalan kereta api diperiksa ke semua jurusan. Beratus-ratus orang diperintahkan mencari, sebab berita pembunuhan segera tersebar di sekitarnya. 

Tidak ada tempat sekecil apa pun yang lupa diperiksa. Meskipun salju menutupi daerah sekelilingnya, tidak dapat ditemukan jejak-jejak kaki yang mencurigakan. Waktu para pencari kembali beberapa jam kemudian, mereka hanya menemukan satu hal. Di sebuah tempat sepi dekat Minorka, ditemukan topeng. Topeng ini terbuat dari bahan hitam dan mempunyai tali-tali putih pada setiap sisi. Tali di sisi yang satu hilang tersobek. Sepertinya disebabkan karena perkelahian.

Sementara itu Detektif Kepala Pinkerton memeriksa gerbong paket dengan sangat teliti. Penemuan pertama adalah sebuah pemukul dari besi, yang ada bekas darah dan rambut yang menempel pada pemukul. Pemukul ini, yang mungkin dipakai sebagai alat membunuh, biasa digantung di belakang tungku api. Diambil kesimpulan bahwa hanya pegawai kereta apilah yang mungkin melakukan kejahatan. Pasalnya, hanya mereka yang bisa mengembalikannya pada tempat biasa, secara mekanis dan menurut kebiasaan. Seorang pelaku yang bukan pegawai kereta api, yang tidak biasa dengan keadaan kelilingnya, akan membiarkan besi tergeletak di lantai. Atau ia bahkan akan membuangnya.

Waktu Pinkerton memeriksa lemari besi, ia menemukan bahwa uang 20.000 dolar telah hilang. Kertas-kertas lain dibuang-buang dan ditinggalkan. Di antaranya ada setumpukan wesel yang tidak terpakai yang dibuka pelaku dengan tergesa-gesa dan dibuang di bawah meja. Semula Pinkerton tidak memperhatikan kertas-kertas yang dibuang. Kemudian ia baru ingat bahwa dari kertas-kertas wesel, ada sudut kertas yang hilang.

Pinkerton menginterogasi semua pegawai yang bertugas di kereta tersebut. Akan tetapi tidak ada keterangan yang berharga, kecuali dari seorang yang bernama Morel Watt. Ia menjadi pengawas atas gerbong yang kedua. 

“Sewaktu sedang menghitung surat-surat muatan dan surat tanda terima, saya dikejutkan oleh suara kaca pecah. Kaca ventilasi dirusakkan. Pada saat yang sama seorang lelaki gemuk pendek dan memakai topeng hitam berdiri di muka saya. Ia berteriak, ‘Jika kamu bergerak, maka orang yang ada di atasmu akan membunuhmu!’ Saya melihat ke atas dan melihat melalui kaca yang pecah bahwa ada tangan yang memegang revolver. Ditakut-takuti demikian, tentu saja saya tidak berani mencoba meminta pertolongan. Orang yang bertopeng menghilang, namun saya tetap dijaga oleh tangan yang memegang revolver. Ini terjadi sampai kereta berhenti di kota Morris. Saya ingat bahwa lelaki asing itu masuk ke dalam gerbong saya ketika melewati kota Minorka dan peluit lokomotif berbunyi.” 

Menurut keterangan ini, maka antara waktu kejadian dan menghilangnya si pembunuh, ada jarak waktu sekitar 30 menit. Itu dapat diperiksa pada jadwal kereta.

Pinkerton kembali ke Chicago dan mencari keterangan tentang pegawai yang bernama Watt. Masa lalu orang ini tidak ada celanya. la termasuk seorang pegawai yang dapat dipercaya dan cakap. la mempunyai tiga saudara lelaki, semuanya menjadi pegawai kereta api sudah sejak bertahun-tahun. Semuanya selalu bekerja memuaskan. Nama baik Watt dan tabiatnya yang jujur sangat membantunya. Akan tetapi lengan yang tampak di lubang ventilasi di atas gerbong meninggalkan keraguan. Sebab di salju yang ada gerbong itu tidak ada jejak kaki.

Akhirnya hanya Harry Schwartz saja satu-satunya orang yang ada di gerbong selama pembunuhan dan yang belum didengar kesaksiannya. Baru malam sesudahnya ia kembali dari Davenport. Pada pagi berikutnya ia memberi kesaksian pada Pinkerton. Schwartz seorang lelaki yang tinggi, tampan, kira-kira 27 tahun, bibirnya tipis, dan wajahnya tegas. Ia berpakaian bersih dan rapi. Ia tidak menanggalkan sarung tangan waktu berbicara. 

Pinkerton menerimanya dengan ramah. Sesudah mereka 1 jam merokok dan berbicara, ia meminta Schwartz agar duduk santai dan membuka sarung tangan. Penjaga rem melakukan apa yang diminta. Tangan-tangannya memperlihatkan cedera-cedera kecil yang sudah kering.

“Di manakah Anda mendapat cedera begitu, Tuan Schwartz,” tanya Pinkerton.

“Oh, itu terjadi waktu menaikkan barang-barang,” jawab Schwartz meyakinkan. Kemudian ia menceritakan sambil lalu, bahwa selama perjalanan dari Davenport ke Chicago, pengemudi lokomotif Danforth menemukan tas di kereta api. Seseorang telah meninggalkannya di kamar mandi.

Karena itu maka Pinkerton meminta Danforth datang. Dia menyatakan bahwa tas itu sudah lama ada di situ, tidak berharga, dan tidak berisi. Oleh karena itu ia dan Danforth membuang tas ke tumpukan abu. Satu-satunya barang yang ditemukan di dalamnya hanya secarik kertas. Hal ini menarik perhatiannya karena dicoret-coret dengan garis-garis merah. Secarik kertas ini disimpannya. Ia menunjukkannya pada Pinkerton.

Pinkerton berkesimpulan bahwa itu secarik kertas wesel. Lalu ia teringat akan setumpukan kertas wesel yang ditemukan di dalam gerbong-gerbong. Pasti bahwa seorang itu tidak mungkin menyobek dua lembar kertas dengan cara yang sama. Sobekan kertas itu hanya tepat pada helai yang sama. Percobaan ini dilakukan. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa secarik wesel yang ditemukan Danforth adalah sobekan dari wesel yang ada di gerbong barang.

Tepi-tepinya tepat sekali dan garis-garis merahnya langsung melurus. Jadi tidak diragukan lagi bahwa seseorang telah membawa secarik sobekan itu dari kereta api yang satu ke kereta api lainnya. Dengan kata lain, seseorang yang tersangkut dengan kejahatan 24 jam kemudian pergi dengan lokomotif dari Davenport ke Chicago.

Segera Pinkerton memerintahkan agar tas dicari. Selain itu ia menyuruh memeriksa semua orang yang bepergian dengan kereta api yang dimaksud dari Davenport ke Chicago. Tas ditemukan di tumpukan abu, di tempat ia dibuang oleh masinis kereta api. 

Beberapa hari kemudian sejumlah penumpang kereta api sudah dapat ditentukan identitasnya, kecuali seorang lelaki. Ia naik kereta dengan kartu gratis. Masinis hanya samar-samar ingat wajah orang itu. Penumpang lainnya masih ingat akan wajah orang yang pergi dengan kartu gratis. Namun masinis  tidak berhasil ingat nama dan siapa si penumpang itu. Sesudah dipastikan jika penumpang lain tidak ada kaitannya dengan pembunuhan, maka petugas lebih teliti mencari orang yang menggunakan kartu gratis itu.

Perhatian masyarakat pada kejahatan itu sedemikian besarnya. Oleh karena itu, dilakukan tiga penyelidikan terpisah untuk mengungkapkan rahasia yang menyelubungi kejahatan ini. Sebuah pemeriksaan dilakukan oleh para pegawai Perusahaan Kereta Api Rock Island dengan detektif mereka. Yang kedua dilakukan sebuah harian besar di Chicago, Daily News. Sedangkan yang ketiga dilakukan oleh petugas-petugas Pinkerton untuk kepentingan Jawatan Pos Paket Amerika. 

Pinkerton tetap berpendapat bahwa yang melakukan kejahatan adalah pegawai-pegawai jawatan kereta api. Tentu saja jawatan tadi tidak senang menerima tuduhan demikian. Semuanya ini ditambah dengan sebuah kejadian, yang makin meragukan teori Pinkerton. Pimpinan jawatan kereta api mendapat sepucuk surat dari seorang tahanan di penjara di Michigan City, bernama Plunkett. Ia menyatakan dapat memberikan keterangan-keterangan penting untuk memecahkan persoalan perampokan.

St. John, direktur jawatan kereta api pergi sendiri ke penjara untuk mendengarkan keterangan Plunkett. Si tahanan menyatakan bahwa ia mengenal orang-orang yang telah melakukan perampokan dan membunuh Nichols. Ia pun bersedia menyebutkan nama-nama, asal pimpinan jawatan kereta api menggunakan pengaruhnya untuk membebaskan dia. Pimpinan menjanjikan hal itu, asal apa yang diceritakannya benar. 

Kemudian Plunkett menceritakan tentang sebuah rencana yang telah dibuat kira-kira setahun yang lalu. Saat itu ia masih “bekerja” dengan sekelompok pencopet di pekan raya. Ia bersama-sama dengan “Butch” McCoy, James Connor “palu kuning”, dan seorang lelaki lain bernama “Jeff”. Ketiganya merencanakan perampokan kereta api. Tempat dan caranya yang direncanakan sama persis dengan perampokan yang baru terjadi itu. 

Ceritanya kedengaran masuk akal dan direktur jawatan kereta api pun cenderung untuk percaya. Juga Melville E. Stone, pemilik Daily News, percaya akan cerita Plunkett. Karena itu para detektif jawatan kereta api yang bekerja sama dengan para detektif surat kabar, diperintahkan untuk meneliti jejak baru. Pertama-tama mereka mencoba untuk menemukan “Butch” McCoy, pemimpin kelompok. Butch adalah seorang pencopet dan pencuri yang beroperasi di seluruh Amerika.

Tadinya mereka bekerja sama dengan petugas-petugas polisi di berbagai kota, tetapi tidak berhasil. Akhirnya Stone memutuskan untuk berbuat seeuatu yang belum pernah dilakukan oleh seorang pemilik surat kabar. Ia mencari McCoy dan teman-teman secara pribadi. 

Ditemani oleh Frank Murray, salah seorang detektif yang paling baik di Chicago dan beberapa detektif lainnya, Stone pergi ke Galesburg. Di tempat itu, kelompok penjahat tadi katanya mempunyai markas besar. Namun mereka tidak menemukan orang-orang yang dicari. Tapi mereka mendengar bahwa “Thatch” Grady, penjahat ulung yang bersahabat dengan “Butch” McCoy, berada di Omaha. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Omaha. Sesampainya di sana, mereka diberi tahu bahwa Grady pergi ke St. Louis.

Jadi Stone dan para detektif ke St. Louis. Di situ mereka tinggal beberapa hari dan rajin mengadakan penyelidikan. Mereka pertama meminta keterangan pada polisi setempat soal restoran biasa didatangi oleh para penjahat. Stone dan para detektif duduk-duduk lama di restoran-restoran tersebut. Mereka mempelajari tamu-tamu yang menjadi pelanggan restoran dan dengan cerdik mengalihkan percakapan mengenai orang yang dicari. 

Tidak benar bahwa para detektif sewaktu mengadakan penelitian, berpakaian lain daripada orang biasa. Selama 25 tahun berkarier, Frank Murray tidak pernah berbuat demikian. Malah para detektif bersikap dan mengikuti kebiasaan orang-orang yang mereka temui. Detektif mencoba meyakinkan bahwa mereka itu sama sekali tidak mempunyai maksud apa-apa. 

Segera sesudah Stone dan para pembantunya tidak dicurigai, mereka berhasil mendapatkan keterangan tentang McCoy dan teman-temannya. Tidak banyak tapi bisa berguna. Mengikuti berbagai jejak, para detektif pergi dari sebuah kota ke kota lain. Meski mendapatkan beragam informasi, mereka tidak berhasil menemukan orang yang dicari. 

Pencarian telah berlangsung selama 6 minggu tanpa hasil dan telah menghabiskan uang tidak sedikit. Mereka belum juga mendapat keterangan pasti di mana orang-orang yang dicari itu berada. Para detektif itu pun mulai putus asa.

Di New Orleans mereka mendapat kabar dari Pinkerton bahwa “Butch” McCoy telah kembali ke Galesbur. Itu adalah tempat di mana mereka mencarinya pertama kali. Tergesa-gesa mereka ke sana. McCoy ditemukan di sebuah tempat hiburan. 

Tiga detektif menangkapnya dengan revolver yang siap untuk ditembakkan. Si penjahat membuat percobaan untuk melarikan diri, tetapi tidak berhasil.

Jawatan kereta api dan Daily News percaya jika misteri perampokan dan pembunuhan itu bisa terungkap bila penjahatnya ditangkap. Namun McCoy dapat membuktikan bahwa ia baru meninggalkan New Orleans dalam perjalanan ke utara pada Sabtu malam sebelum pembunuhan. Ia semalam suntuk berada dalam kereta api Illinois. Sedangkan Connor “palu kuning” berada di penjara saat kejadian. Dan orang ketiga, Jeff, sudah meninggal. Dengan demikian, seluruh cerita Plunkett tidak terbukti.

Namun, orang yang memakai tiket gratis itu secara kebetulan ditemukan oleh Jack Mullins, seorang tukang rem kereta api ke Danforth. 

Penumpang yang sudah lama dicari itu adalah agen iklan yang bekerja untuk koran Melville E. Stone. Stone dengan senang hati akan memberikan 1.000 dolar, jika ia mengetahui apa yang diketahui pegawainya itu. Sebab lelaki ini melihat, bahwa masinis lokomotif membawa tas, tanpa mengerti apa isi atau tujuannya. Pinkerton tidak mau mengatakan padanya. Sebab sedikit kebocoran saja ke orang-orang Daily News tentu akan digembar-gemborkan oleh surat kabar. Dan dengan demikian akan menarik perhatian para pembunuh. Baru waktu Pinkerton melihat orang itu aman duduk kembali di kereta api, ia merasa lega. Beberapa bulan sesudah itu Stone diberi tahu, bahwa ia hampir saja bisa mengungkapkan sesuatu yang akan meningkatkan martabatnya sebagai seorang wartawan ulung di kota. Nama baiknya akan tersebar di seluruh negeri!

Apa yang diterangkan oleh pemilik tiket gratis menimbulkan anggapan bahwa tas dibawa ke dalam kereta api oleh seorang penumpang. Tetapi tas ada di kereta api. Bagaimana ia bisa sampai ke situ? Selama pemeriksaan, dua orang penumpang menyatakan bahwa mereka telah melihat Schwartz masuk ke dalam toilet selama perjalanan. Juga penjaga rem Mullins masuk ke situ sebanyak dua kali pada malam hari. Ia mengatakan, waktu ia masuk pertama kali tas tidak ada, akan tetapi waktu masuk kedua kalinya tas memang ada di situ. Saksi-saksi lain dalam gerbong yang sama menyatakan dengan tegas, bahwa orang yang masuk sebelum Mullins menemukan tas, adalah Schwartz. Dengan demikian, maka rantai demi rantai terikat dalam pembuktian. Pinkerton menyuruh menjemput penjaga rem Harry Schwartz.

la berbincang-bincang santai dengan penjaga rem dan kemudian menanyakan hal ihwal temannya Watt. Schwartz mengatakan bahwa Watt seorang lelaki yang baik. Ia hanya menceritakan yang bai-baik saja. Sejenak Pinkerton tampak ragu-ragu, tetapi kemudian ia bertanya:

“Apakah saya dapat mempercayai Anda, Schwartz?” 

“Tentu saja!”

“Ya, terus terang saja si Watt ini agak saya curigai. Coba saja pikir cerita tentang tangan memegang revolver yang katanya ia lihat di atas kepala. Saya tidak mau berlaku tidak bijaksana, tetapi ia harus diawasi. Kini saya berpikir, apakah Anda menghabiskan banyak waktu dengannya? Juga mengawasi apakah ia bergaul dengan orang-orang asing, atau mengeluarkan banyak uang. Semuanya yang Anda perhatikan, tolong beritahukan pada saya. Maukah Anda?”

Schwartz mau dengan syarat bahwa pimpinan jawatan kereta api memberinya cuti. Sebab ia selalu dinas dan dengan demikian tidak bisa sering menghabiskan waktu dengan Watt. Tetapi pada hari berikutnya, ia sudah melaporkan bahwa Watt telah berjumpa dengan seorang lelaki yang memakai topi besar dan rambut merahnya tidak disisir. Secara keseluruhan, orang itu tampak seperti penjahat yang mondar-mandir di perbatasan. Schwartz ikut mendengarkan percakapan Watt dengan orang asing ini di sebuah tempat hiburan di Cottage Grove Avenue. Ia mendengar bagaimana orang asing tadi menceritakan detail pembunuhan dan tampaknya sangat mengetahui kejadian tersebut. Tampaknya Schwartz telah menyimpulkan bahwa sekelompok penjahat dari Amerika Barat yang menjalankan pembunuhan itu. Lelaki yang ikut didengarkan percakapannya adalah anggota kelompok itu.

Pinkerton mendengarkan semua itu dengan perhatian besar. Akan tetapi tidak sebesar yang diharapkan Schwartz. Topi besar dan rambut merah dalam cerita Schwartz tidak disukai Pinkerton. Ahli kriminal yang berpengalaman segera mengetahui bahwa orang-orang semacam itu hanyalah ada di khayalan saksi. Selain itu, dua orangnya telah mengikuti penjaga rem itu ke mana saja. Mereka membuat laporan yang membuktikan bahwa pertemuan yang diceritakan Schwartz itu sama sekali tidak terjadi. Penjahat yang berambut merah itu tentunya hanya khayalan belaka. 

Meskipun demikian, Pinkerton menyatakan bahwa ia sangat puas dan menyarankan agar penjaga rem melanjutkan pengamatannya terhadap Watt dan si rambut merah. Schwartz terus memberi informasi yang tidak benar. Akhirnya ia masuk bekerja kembali, tanpa mengetahui akan kecurigaan terhadapnya.

Para detektif yang masih mengikuti Schwartz melaporkan bahwa ada hubungan erat antara Schwartz dan Watt. Seorang detektif yang lincah, Frank Jones, ditugaskan untuk mendapatkan kepercayaan kedua orang tadi. Jones mendapat “tugas” sebagai penjaga rem antara Des Moines dan Davenport. Diatur sedemikian rupa, sehingga jika ia datang dari barat dapat beristirahat pada hari-hari yang sama di Davenport dengan Schwartz dan Watt sesudah mereka datang dari timur. 

Jones memainkan perannya dengan sangat baik dan segera dipercayai keduanya. la makan di restoran yang sama dan tidur di kamar yang terletak di sebelah kamar tidur mereka. Akhirnya keduanya sangat menyukainya sehingga menyarankan agar Jones meminta dipindahkan untuk bertugas di jalur antara Davenport dan Chicago. Hal ini terjadi dan kemudian ketiganya selalu bersama-sama. Ya, malah Frank Jones makan dan tidur di tempat Harry Schwartz.

Pada waktu-waktu itu Schwartz menyatakan jika ia ingin berhenti kerja di jawatan kereta api dan pindah ke Kansas atau ke Amerika Barat. Maka diputuskan bahwa Jones menemani dia dan istrinya ke Amerika Barat yang jauh. 

Lalu Schwartz meminta cuti pada jawatan kereta api dengan keterangan bahwa ia ingin mengunjungi kerabatnya di Philadelphia. 

Pinkerton, yang diberitahukan oleh Jones, menggunakan pengaruhnya agar permintaan cuti itu dikabulkan. Waktu Schwartz pergi ke arah timur, ia tidak sendiri. Setiap gerakannya diamat-amati dan dilaporkan. Selama ia berada di New York, Philadelphia, dan beberapa kota di sebelah timur Amerika, ia di buntuti siang dan malam. 

Jika Pinkerton tidak mempunyai kantor-kantor di seluruh Amerika Serikat, tentu saja membuntuti seseorang ke mana-mana itu tidak mungkin. Misalnya saja Schwartz beberapa hari di kota Buffalo. Apa yang dikerjakannya di sana dilaporkan, sampai ia membeli karcis kereta api ke Philadelphia. Waktu ia masuk kereta api, maka “buntut” baru naik juga, mengambil tempat di gerbong yang sama. Ia makan pada waktu-waktu yang sama dengan Schwartz, apakah itu di gerbong restorasi ataupun di restoran di stasiun. Baru saja kereta api meninggalkan Buffalo, waktu seorang petugas Pinkerton telah mengirim telegram rahasia ke Philadelphia yang dituju Schwartz.

Telegram dengan kata-kata rahasia itu berbunyi: 

R.J. Linden 

44 Chestnut Street Philadelphia P.A. 

Sepatu menyerap Cokelat, orang berbeda warna turun delapan Toelpel, besarnya lima puluh, berbeda warna. Barang diteruskan atau Derby Rock kapal sangat cokelat. Yang merusakkan ini telah memakainya dan pita tinta debu dipusatkan hari Selasa digunakan untuk beras, topi, kertas. Rompi kuning, tinta datang harus ada perhiasan besok di stasiun. 

  1. Robertson

Dengan perantaraan telegram itu, para detektif selalu mengirimkan kabar-kabar mengenai penjahat-penjahat dari satu kota ke kota lain, mereka tidak khawatir jika kabar akan bocor.

Dalam hal Schwartz, hasil membuntuti itu menentukan. Oleh karena itu selalu dilepaskan tiga atau empat “buntut” untuk mengikutinya. Untungnya bekerja seperti ini adalah yang seorang dapat mengganti yang lain sehingga dapat menghindari kecurigaan. Seorang penjahat yang lihai, mungkin dapat lepas dari seorang pembuntut. Namun ia tidak lebih lihai dari beberapa pembuntut. Jika seorang pembuntut datang dengan yang dibuntuti di sebuah kota yang lain, maka ia akan mengetahui siapa yang akan menggantikannya. Pembuntut yang baru akan memberi tanda seperti yang sudah disepakati.

Baru saja Schwartz meninggalkan Chicago, ia mulai mengeluarkan uang yang jauh melebihi penghasilannya. Ia membeli setelan pakaian yang mahal-mahal, perhiasan, dan hadiah-hadiah untuk istrinya. Schwartz mulai mengumpulkan senjata-senjata api yang mahal dari berbagai jenis. Mereka yang membuntutinya menemukan bahwa ia membayar apa yang dibelinya dengan uang kertas 50 atau 100 dolar. Para detektif meneliti uang-uang kertas ini di tempat penjual-penjual yang menerimanya dan mencoba untuk mendapatkannya. Sebab uang yang dirampok memang terdiri dari uang kertas 50 dan 100.

Penelitian yang dilakukan para detektif di Philadelphia menyatakan bahwa Harry Schwartz anak seorang pedagang daging yang kaya. Ayahnya itu seorang yang terhormat di masyarakat. Tetapi anak lelakinya telah meninggalkan istri dan anak di Philadelphia untuk menikah lagi di Chicago. Ini merupakan alasan yang baik untuk menangkapnya. Tidak dikatakan bahwa ia masih juga dituduh melakukan kejahatan yang lebih berat. Istri dan anaknya dibawa dari Philadelphia ke Chicago, Schwartz ditangkap dan dituduh melakukan poligami.

Pinkerton mengunjungi Schwartz di penjara. Agar Schwartz tidak curiga, ia mengatakan bahwa ini terjadi bukan karena dia. Namun karena prasarana detektif-detektif Smith dan Murray yang diketahui Schwartz bekerja untuk jawatan kereta api dan Daily News. Pinkerton menceritakan bahwa ia masih saja percaya bahwa Watt-lah yang bersalah. Ia menjelaskan bahwa ia berjanji untuk mengerjakan apa yang mungkin, agar dapat membantu Schwartz. 

Schwartz tidak curiga dan menyatakan bahwa seorang pembela akan datang dari Philadelphia dan akan membelanya. Pengacara itu memang datang beberapa hari kemudian. la membayar uang jaminan 2.000 dolar dan Schwartz dikeluarkan dari tahanan. Akan tetapi tuduhan terhadapnya semakin kuat. Maka pihak berwajib menganggap perlu untuk tidak membebaskannya. Schwartz pun tinggal di penjara, ditahan atas tuduhan membunuh.

Apakah karena ia sudah lama mempunyai kesempatan untuk bersiap sedia ataukah seorang yang bermental kuat, tuduhan ini tidak mengguncangnya. Ia tidak tampak ia bingung.

Dengan tenang ia masuk kembali ke penjara. Ia hanya menginginkan pertemuan sesegera mungkin dengan istrinya.

Sebetulnya kini Pinkerton telah memiliki bukti yang cukup di tangan untuk menuduh Schwartz. Namun ia belum mempunyai bukti yang menyangkut Newton Watt, yang juga diduga ikut terlibat. 

Terus terang saja Pinkerton sudah dari semula sangat ramah terhadap istri Schwartz yang kedua. Karena itu, ia dapat mengharapkan bantuannya pada saat yang tepat. Dengan si nyonya, ia pergi ke Morris dan pada hari berikutnya kembali ke Chicago. Dengan demikian ia dapat mencegah wanita tersebut mendapat nasihat-nasihat dari pengacara suaminya yang melakukan perjalanan untuk mencegah Pinkerton bertemu Nyonya Schwartz. 

Sementara itu Nyonya Schwartz menganggap Pinkerton lebih sebagai seorang pelindung daripada seorang lawan. Pinkerton mencoba untuk mengorek keterangan yang memberatkan darinya. Ia menyatakan bahwa memang tuduhan terhadap suaminya itu cukup berat, tetapi tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya dengan tepat. Ia bercerita tentang uang kertas yang dimiliki suaminya, kertas sobekan yang ada di dalam tas, bekas cakaran yang ada di tangan suaminya, dan juga dari berita-berita yang bohong. Semuanya ini, begitu kata Pinkerton, membuktikan bahwa Schwartz mempunyai hubungan dengan perampokan. Namun menurutnya, Watt-lah pelaku utama, sedangkan Schwartz hanya membantunya.

la membujuk Nyonya Schwartz, demi keselamatan suaminya, untuk memberi keterangan yang benar. Ia memintanya agar percaya bahwa keterangan benar itu akan dipergunakan uncuk kepentingan suaminya.

Nyonya Schwartz mendengarkan semua itu. la mencoba dengan berbagai cara untuk mengelak memberi jawaban atas pertanyaan utama. Akhirnya ia menyatakan bahwa suaminya, saat kembali dari Chicago dengan kereta api yang dikemudikan Danforth, menemukan sebuah bungkusan di bawah kursinya. Bungkusan itu yang berisi 5.000 dolar, sebagian dari uang rampokan. Uang ini telah diambilnya dan dipakainya untuk keperluan pribadi. Itulah semuanya yang dikerjakan Schwartz. Nyonya Schwartz tidak mengubah keterangan ini dan tidak mau mengaku yang lainnya.

Akhirnya Pinkerton berkesimpulan bahwa ia tidak dapat lagi mengorek sesuatu dari Nyonya Schwartz. Ia menemani wanita itu ke penjara di mana ia bisa berjumpa dengan suaminya. Perkataan-perkataan pertama yang dikatakannya pada Schwartz adalah, “Harry, saya telah menceritakan kepada Tuan Pinkerton apa yang sebenamya telah terjadi. Saya kira itu yang terbaik, sebab ia itu temanmu. Saya telah menceritakan bahwa kamu telah menemukan 5.000 dolar itu di bawah kursimu. Dan bahwa itulah semua yang telah kau kerjakan.”

Untuk pertama kali Schwartz kebingungan. Tetapi ia masih menahan diri dan hanya mengaku bahwa yang dikatakan istrinya ada yang benar. Namun ia tidak bersedia untuk mengungkapkan detailnya. Schwartz tampak kebingungan dan meminta agar dia diperbolehkan berbicara berdua dengan istrinya. 

Pinkerton sudah mengharapkan hal itu dan sudah berjaga-jaga. Ia sudah mengerti bahwa pernyataan istrinya yang tidak terduga mengguncangkan Schwartz. Maka Pinkerton berharap bahwa hal tadi menyebabkan Schwartz akan mengakui hal-hal yang sebenarnya. Oleh karena itu sangat penting bahwa percakapan ikut didengarkan oleh saksi-saksi yang dapat dipercaya. Untuk tujuan itu, ruangan memang sudah diatur sehingga semuanya dapat didengar oleh saksi-saksi, tanpa diketahui yang berkepentingan. 

Sherif setempat, seorang pengusaha yang terpandang, dan seorang bankir, sudah menunggu di tempat persembunyian masing-masing untuk mendengar apa yang akan terjadi. Segera sesudah pintu tertutup di belakang Pinkerton, dan suami istri itu berdua saja, Schwartz berkata,

“Apa yang telah kamu perbuat? Engkau telah mencekik Watt dan saya!”

“Ah, Harry, saya ‘kan harus menceritakan sesuatu. Ia telah mengetahui terlalu banyak. Kamu dapat mempercayainya.” 

“Sebenarnya lebih baik, kamu jangan mempercayai siapa pun.” 

Sementara itu Schwartz berjalan ke sana kemari dengan bingung sedangkan istrinya dengan sia-sia mencoba menenangkannya. Jika ia memegang suaminya dengan mesra, Schwartz menolaknya dengan kasar dan mengumpat keras-keras. 

Tiba-tiba terlontar dari mulutnya, “Apa yang telah kamu perbuat dengan rok itu?” 

“Rok yang mana?” tanya istrinya. 

“Rok yang sebagian kaubuat topeng!” 

“Oh, beres. Ada di gudang di bawah tumpukan kayu.” 

Mereka masih berbicara 1 jam lamanya, acap kali membicarakan tentang perampokan dan pembunuhan tersebut. Percakapan itu memberikan cukup bukti,untuk menentukan keterlibatan Schwartz dan Watt.

Sementara itu Watt telah ditangkap di Chicago, juga karena dituduh membunuh. Dalam beberapa pemeriksaan, Watt seakan-akan mau jatuh pingsan dan mengaku. Namun setiap kali sadar kembali, ia tidak mengakui hal-hal yang memberatkan. Meskipun demikian, bukti-bukti yang telah dikeluarkan Schwartz selama percakapan di penjara, bersama semua bukti yang lain, yang lambat laun sudah terkumpul, sudah cukup untuk menahan kedua lelaki itu.

Mereka dihukum penjara seumur hidup. Sebenarnya mereka tentu dihukum mati. Namun salah satu juri, yang bukan penganut hukuman mati, menyatakan keberatannya.

Kira-kira setahun sesudah perkara, Nyonya Schwartz meninggal. Sewaktu sekarat ia membuat pengakuan menyeluruh. Ia mengatakan bahwa khayalan suaminya itu dipengaruhi oleh berita-berita acara polisi dan cerita-cerita kriminal. Ia menyangka bahwa gampang saja untuk menakut-nakuti seorang lemah seperti Nichols dan melarikan diri dengan uang, tanpa mencederainya. Akan tetapi Nichols malah melawan bagaikan singa dan memaksa Schwartz untuk melakukan pembunuhan. Pasalnya, selama perlawanan itu Nichols berhasil menarik topeng yang dipakai Schwartz. Topeng itu dibuat istrinya dari rok tua. 

Watt menembakkan revolver pada korban, sedangkan Schwartz memukul dengan besi pembesar api. Kemudian Schwartz memberikan 5.000 dolar pada Watt dan sisanya diambil untuk dirinya. Uang itu dibawa di dalam tas sekolah tua yang khusus dibeli untuk tujuan ini. Sebagai tempat menyembunyikan uang, ia memilih suatu tempat yang istimewa, yang tadinya benar-benar tidak disangka oleh para detektif. Padahal sewaktu mengadakan pemeriksaan, mereka telah berkali memegang-megangnya. 

Schwartz telah mengosongkan patron-patron peluru yang dibelinya untuk senapannya dan di dalamnya dimasukkan uang kertas 50 atau 100 dolar. Kemudian peluru diisi kembali, sehingga patron-patron peluru yang terletak di laci lemari seperti biasa saja nampaknya.

Dengan demikian, 13.000 dolar tersimpan di dalam peluru-peluru untuk beberapa lama. Uang itu kemudian hilang. Soalnya waktu Harry Schwartz sedang di dalam tahanan, datanglah seorang pengacara terkenal dari Philadelphia menemui Nyonya Schwartz. Ia menyampaikan permintaan suaminya agar memberikan uang itu padanya. Nyonya Schwartz menyangka bahwa uang itu diperlukan untuk membayar perkara dan untuk pengacara-pengacara lain yang bekerja untuk pengacara terkenal tadi. Ia pun memberikan uangnya. Untuk selanjutnya, ia tidak pernah melihat uang itu kembali.

Inspektur Polisi Robertson masih sering menceritakan kemarahan wanita itu yang dalam sakratul maut menceritakan apa yang terjadi. Pengakuan itu cukup memberatkan seorang lelaki, seorang yang membela kebenaran, dan yang termasuk golongan terpandang. Wanita tersebut sakit keras, suhu tubuhnya tinggi, dan ia mengetahui bahwa ajalnya dekat. Meskipun demikian, mukanya merah karena marah dan matanya penuh rasa benci waktu ia menerangkan bahwa tidak sedolar pun telah dikembalikan kepadanya ataupun dipakai untuk membayar biaya perkara.

Begitu pula jawatan kereta api atau bank yang merupakan pemilik uang, tidak pernah mendapat satu sen juga.

(Cleveland Moffet)

Baca Juga: Pembunuhan Waktu Dini Hari

 

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760974/perampokan-kereta-api-cepat-rock-island" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802880000) } } [2]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760993" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/perampokan-di-bank-northamptonj-20230511110032.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Rumah kasir Bank National didatangi oleh perampok. Salah satu bukti yang tertinggal di tempat kejadian menuntun polisi pada seorang ahli lemari besi." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/perampokan-di-bank-northamptonj-20230511110032.jpg" ["title"]=> string(30) "Perampokan di Bank Northampton" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:00:49" ["content"]=> string(48428) "

Intisari Plus - Rumah kasir Bank National didatangi oleh sekelompok perampok yang ingin merampas kunci bank. Salah satu bukti yang tertinggal di tempat kejadian menuntun polisi pada seorang ahli lemari besi. Ia diperkirakan membantu komplotan perampok itu.

---------------

Pada hari Selasa tanggal 25 Januari 1876, sekitar tengah malam, lima lelaki bertopeng, masuk sebuah rumah di Northampton, Massachusetts. Rumah itu dihuni oleh Tuan Whittelsey, kasir Bank National di Northampton. Kunci-kunci gedung bank dan kunci kombinasi yang dapat membuka gembok ruangan bank bagian bawah dipegang olehnya. 

Kelima lelaki itu diam-diam masuk ke dalam rumah, yang mereka buka dengan kunci palsu. Mereka naik ke kamar-kamar tidur, mengikat tujuh orang yang ada di rumah itu sehingga tidak dapat melawan atau berteriak. Ketujuh orang itu antara lain Tuan Whittelsey, istrinya, Tuan dan Nyonya Cutler, Nona White, Nona Benton dan seorang pembantu rumah tangga.

Dua lelaki yang masuk ke kamar tidur suami istri Whittelsey, tampaknya adalah pemimpin kelompok. Salah seorang di antaranya memakai mantel dari linen yang panjangnya melebihi lutut. Lelaki ini memakai sarung tangan dan sepatu bot dengan sol tebal. Yang seorang lagi berjas warna gelap dan memakai pelindung sepatu. Keduanya menutupi muka dengan topeng. 

Salah seorang membawa lampu teplok. Waktu mereka masuk ke dalam kamar, yang seorang pergi ke sisi kanan tempat tidur dan seorang lagi ke sisi lain. Yang seorang memborgol Tuan Whittelsey dan yang lain memborgol istrinya. Orang yang bertopeng itu membawa revolver. Di kamar-kamar tidur lain, keadaannya sama.

Para perampok itu beberapa lama berbisik-bisik, kemudian mereka memerintahkan kelima wanita untuk berdiri dan memakai pakaian. Waktu itu pergelangan kaki dan tangan mereka diikat dan mereka dibawa ke sebuah kamar yang sempit. Mereka ditunggui oleh salah seorang anggota kelompok.

Tuan Cutler diperlakukan demikian juga. Sesudah itu, kedua pemimpin menyibukkan diri dengan Tuan Whittelsey. Mereka mengatakan dengan polos bahwa mereka menginginkan kunci-kunci bank dan kombinasi kunci ke bagian bawah bank. Jika ia tidak mau memberikan, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Whittelsey menyatakan bahwa tidak ada gunanya mencoba merampok bank. Ia tidak akan memberikan kunci-kunci sedangkan gembok-gemboknya sangat pelik. Lelaki yang memakai mantel mengangkat bahu dan berpendapat bahwa hal itu masih harus ia periksa kebenarannya.

Tuan Whittelsey kemudian dibawa turun tangga dan sekali lagi diminta untuk memberikan kunci-kunci. Tuan Whittelsey tidak mau. Lelaki yang memakai pelindung sepatu memasukkan tangan ke dalam saku kasir dan menarik keluar sebuah kunci. 

“Inikah kuncinya?” tanyanya.

“Ya,” kata kasir. Ia berharap bisa mengulur waktu. 

“Anda berdusta,” kata si perampok. Ia mencoba membuka pintu rumah dengan kunci tadi dan pintu terbuka.

“Jangan digarap dulu,” kata yang seorang. “Ia sakit.” Lalu ia bertanya pada Tuan Whittelsey, apakah kasir itu mau seteguk konyak. 

Tuan Whittelsey menggelengkan kepala.

Si lelaki dengan mantel kini sedikit demi sedikit bertanya tentang kombinasi kunci bagian bank yang berada di bawah tanah. Tuan Whittelsey memberikan beberapa angka untuk pintu luar. Si perampok mencatat angka-angka di secarik kertas. Dan kemudian meminta kombinasi untuk pintu dalam. Kasir sekali lagi menyebutkan beberapa angka. 

Waktu si perampok juga sudah menuliskannya, ia mendekati Tuan Whittelsey dan bertanya, “Anda bersumpah bahwa angka-angka itu benar?”

“Ya,” jawab Tuan Whittelsey. 

“Sekali lagi Anda berdusta. Jika angka-angka itu benar, maka ulangilah.”

Kasir tidak dapat berbuat demikian, maka ketahuanlah bahwa itu bukan angka-angka yang dimaksudkan.

“Dengarkan, Nomor Satu,” kata seorang perampok pada temannya, “kita kehilangan waktu. Kita harus menghajarnya agar jangan berdusta kembali.”

Serta-merta ia memukul Tuan Whittelsey dengan ujung pensil sehingga terjadi goresan berdarah. Lalu ia memukul perut pria yang diikat itu. “Kini mau berkata benar?”

Kasir tetap diam. Kedua perampok ini menjewer telinga, mencekik leher, melemparnya ke lantai, dan duduk di atas dadanya. Penganiayaan ini lamanya 3 jam. Lebih dari sekali si jahanam-jahanam itu meletakkan revolver di pelipis korban dan mengancam akan menembaknya, jika ia tidak mau mengaku. Akhirnya kasir tunduk. Sakitnya tidak tertahankan. Sekitar jam 4 pagi Whittelsey, yang dianiaya dari kepala sampai ke kaki, tidak melawan lagi. Ia memberikan kunci-kunci dan menyebutkan kombinasi yang benar dari pintu-pintu bagian bawah gedung.

Para perampok segera pergi, meninggalkan temannya di situ menjaga korban yang diikat. Seorang dari kelompok itu masih sempat mengambil jam emas dengan rantai dan 14 dolar dari pakaian Tuan Whittelsey. Yang terakhir dari penjahat-penjahat masih tinggal di situ sampai jam 6 pagi dan kemudian juga pergi. Sejam kemudian, Tuan Whittelsey berhasil membuka borgolnya.

Ia pergi ke bank. Tidak lama sesudah jam 7 ia sampai di sana. Ia menemukan bagian bawah gedung terkunci dan angka-angka jam pengaman rusak. Oleh karena itu, ia tidak mungkin segera menentukan berapa yang sudah dirampok, terjadi perampokan atau tidak. Harus didatangkan seorang ahli dari New York dahulu, sebelum pintu-pintu lemari baja bisa dibuka. Akhirnya pintu terbuka dengan susah payah jauh malam hari, 20 jam sesudah perampokan. Terbukti bahwa para perampok sangat berhasil. ¼ juta dolar dalam bentuk uang dan kertas-kertas berharga telah dirampok.

Para petugas polisi tadinya tidak mempunyai perkiraan siapakah yang menjalankan perampokan. Meskipun perampok itu telah meninggalkan berbagai bukti seperti lampu teplok, topeng, martil, dan sepatu. Mereka telah lolos dengan lihai, selihai menjalankan perampokan. Jerih payah para petugas polisi dan detektif tidak membawa hasil. Presiden bank bersedia mengeluarkan hadiah 25.000 dolar jika ada yang berhasil menangkap perampok dan mengembalikan barang-barang nasabah. Akan tetapi tidak ada satu pun yang ditemukan.

Baru beberapa bulan kemudian, Kantor Detektif Pinkerton dimintai bantuan. Para detektif mulai mempelajari semua keterangan yang diperoleh dari direktur-direktur bank dari orang-orang yang menyatakan kehilangan surat-surat berharga. Keterangan yang pertama tiba di New York kira-kira sebulan sesudah perampokan. Keterangan itu berupa surat yang ditulis tangan akan tetapi dengan huruf cetak, sehingga tidak dapat diambil ketentuan-ketentuan dari cara menulis. Isinya demikian:

Tuan-tuan yang terhormat, jika Anda sekalian telah jemu memikirkan kemampuan para detektif, maka Anda dapat menghubungi kami, pemilik surat-surat berharga. Dan jika Anda berpikiran luas, maka mungkin kita dapat bekerja sama. Kalau Anda setuju dengan saran kami, maka pasanglah iklan di surat kabar New York, Herald. Alamatkan kepada XXX dan tandai dengan “Rufus”. Agar membuktikan bahwa kami memiliki surat-surat berharga, kami mengirimkan dua lembar pada Anda.”

Tidak ditandatangani 

Surat ini tadinya sengaja tidak diperhatikan, meskipun dilampirkan dua surat obligasi yang sudah tidak salah lagi berasal dari simpanan bank. Iklan tidak dipasang. Masih menyusul tiga surat dengan isi sama dan salah sebuah surat ini dijawab bank dengan hati-hati. Datanglah balasan berbunyi begini: 

New York, tanggal 20 Oktober 1876

Tuan-tuan yang terhormat. Karena Anda menanggapi surat kami dengan baik, maka kini kami akan menyebutkan harga pengembalian surat-surat. Surat-surat pemerintah dan uang tidak dapat dikembalikan. Akan tetapi yang Iain-lain, obligasi-obligasi dan semua surat, sampai dokumen yang terkecil akan dikembalikan dengan imbalan 150.000 dolar. Jika Anda setuju dengan jumlah ini, maka kami akan mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan perjanjian. Segera sesudah pembicaraan permulaan mengenai penyelesaian yang dijamin, maka Anda akan memiliki surat-surat itu kembali. Jika Anda setuju dengan harga ini, iklankanlah di surat kabar yang terbit di New York Herald, di bawah iklan-iklan keluarga dengan kode “Agatha”. 

Wasalam, 

Rufus

Surat ini bagi para detektif penting karena memberi petunjuk tentang kelompok mana, yang waktu itu “bekerja” di Amerika, yang melakukan kejahatan itu. Robert Pinkerton, pemimpin Kantor Detektif Pinkerton, tahu cara kerja kelompok-kelompok ini, sehingga dari keterangan yang seakan-akan tidak berharga, dapat ditarik kesimpulan penting. la mengetahui, bahwa kelompok yang dipimpin James Dunlop cenderung mau mengembalikan surat-surat berharga dengan cara yang seenaknya. Sebab Dunlop mempunyai prinsip menyimpan sendiri hasil perampokannya selama mungkin hingga orang mulai melupakan perampokan itu. Akan tetapi kelompok lain, yang dipimpin Jimmy Hope, “Worchester Sam” dan “George Bliss”, mungkin sudah membagi-bagi hasil pada anggota kelompok. Tujuannya agar mereka itu puas, barulah mencoba untuk membuat kompromi pembagian yang Iain-lain.

Suatu hal yang sangat menarik perhatian menurut Pinkerton adalah perhatian yang diberikan seorang yang bernama J.G. Evans pada perkara ini. Evans ini adalah wakil salah sebuah pabrik lemari besi yang besar. Ia juga ahli dalam hal lemari uang dan tempat penyimpanan uang di bank-bank. Sehari sesudah perampokan, Evans berada di Bristol karena mengerjakan sesuatu untuk perusahaannya. Segera sesudah pabrik itu mendengar tentang perampokan, mereka mengirim telegram ke Evans agar ia pergi ke Northampton. Di kota itu ia tidak menarik perhatian orang lain, karena selama bulan-bulan sebelum perampokan terjadi ia sudah sering berada di sana untuk mengontrol apakah kunci-kunci bank berfungsi. 

Yang menarik perhatian adalah Evans menaruh perhatian khusus perihal pelaksanaan kompromi pengembalian surat-surat berharga. Berkali-kali ia membicarakan perampokan dan cara masuk para perampok dengan presiden dan para petugas bank lainnya. Ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia dapat membantu mengembalikan surat-surat berharga. Beberapa bulan sesudah perampokan, ia malah menceritakan kepada direktur bahwa ia dapat membeberkan siapa-siapa yang tersangkut dalam perampokan.

Gejala menarik perhatian orang sewaktu akan diadakan perundingan, dianggap Pinkerton sebagai gejala yang penting. Sebab telah terdengar desas-desus bahwa serentetan perampokan bank yang baru-baru itu telah terjadi di beberapa bagian di Amerika, berhasil karena dibantu oleh seorang ahli dalam bidang lemari uang dan kunci-kunci pengaman. Ahli ini karena kedudukannya dapat menunjukkan pada para perampok di mana letaknya bagian-bagian lemah pada kunci-kunci dan menemukan rahasia lemari-lemari uang. 

Desas-desus ini tadinya hanya diceritakan begitu saja. Orang tidak berani untuk terang-terangan menyebutkan nama. Akan tetapi memang benar, bahwa si ahli yang berkhianat itu mempunyai kedudukan yang penting dan dianggap tidak dapat diganggu gugat dalam pekerjaannya. Juga diceritakan perampok kelompok lain iri hati karena kelompok yang bekerja sama dengan seorang ahli itu, berhasil sekali. Dikatakan bahwa beberapa pemimpin kelompok telah mencoba untuk menggaet sang ahli agar menyeberang ke mereka.

Pinkerton berkesimpulan bahwa kelompok yang dibantu itu adalah kelompok Dunlop. la juga berkeyakinan bahwa kelompok inilah yang menjalankan perampokan di Northampton. Hal ini sudah merupakan alasan untuk menaruh perhatian khusus pada si ahli lemari besi Evans.

Waktu mempelajari perampokan bank yang baru-baru terjadi, Pinkerton ingat akan perampokan yang sejenis, yang terjadi kira-kira setahun sebelumnya. Waktu itu Bank Nasional Pittson di Pennsylvania dirampok sebesar 60.000 dolar. Pinkerton segera berada di tempat itu untuk menyelidiki kejadian. Di sana ia bertemu dengan beberapa ahli lemari besi, yang selalu dijumpainya di tempat-tempat perampokan besar terjadi. Mereka menawarkan lemari besi baru untuk mengganti yang telah dirusak oleh para perampok. 

Di bagian bawah Bank Nasional Pettson, masih tersebar reruntuhan yang disebabkan oleh ledakan. Salah seorang wakil dari sebuah pabrik lemari besi mengangkat pompa kecil yang telah dipakai oleh perampok. Ia meneliti alat itu baik-baik dan mengatakan bahwa ia bersedia bersumpah, bahwa pompa ini milik perusahaannya. Hal ini tentu tidak mungkin, karena menurut ahli tadi, pompa ini baru saja dirancang untuk suatu maksud tertentu. 

Waktu itu tuan Pinkerton menyangka bahwa itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini ia ingat bahwa ahli yang mengatakan demikian itu bekerja pada perusahaan di mana Evans bekerja.

Mereka memutuskan untuk menginterogasi Evans. Tidak mungkin, bahwa Evans mencoba mendapatkan kembali surat-surat berharga karena memikirkan nasib para nasabah yang dirugikan oleh perampok. Ia pun sudah curiga bahwa ia diperlakukan tidak adil dalam hal ini. Oleh siapa ia diperlakukan demikian, tidak mau diungkapkannya. Para detektif yang sudah berpengalaman melihat bahwa Evans agak ragu-ragu dan bingung.

Kini George H. Bangs, detektif utama di kantor Pinkerton, seorang yang pandai benar memancing pengakuan dari tersangka, berbicara dengan Evans. la menerangkannya bahwa Scott dan Evans telah berminggu-minggu diamat-amati. Polisi setiap saat dapat menangkap mereka. Para detektif mempunyai bahan bukti yang lengkap untuk mengungkapkan semuanya. Mereka mengetahui dengan pasti bahwa perampokan dilakukan oleh kelompok Dunlop dan Scott. Juga bahwa Evans telah menjadi pembantu mereka. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa kelompok itu ingin mengkhianatinya dan tidak ragu-ragu mengorbankannya. 

Evans hanya dapat memilih satu di antara dua. Ia dapat melapor dan ditangkap karena perampokan bank, kemudian mendapat 20 tahun hukuman penjara. Atau ia dapat menyelamatkan diri dan mendapat jumlah uang yang tidak sedikit, jika membuka rahasia perihal peranannya dalam perampokan. 

Meskipun hal-hal itu hanya dugaan belaka, Bangs mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Evans tidak tahan. Ia terjerat dan mengaku, serta menceritakan semua yang diketahuinya.

Pertama Evans mengaku bahwa perampokan di Northampton dilakukan oleh Scott, Dunlop, dan kawan-kawan. Untuk menerangkan hubungannya dengan kelompok yang jahat ini ia menceritakan hal ihwal di masa lalu.

Pemimpin kelompok adalah James Dunlop alias James Barton. Sebelum menjadi perampok bank, ia adalah seorang pegawai perusahaan kereta api di Chicago-Anton dan St. Louis. Ia tertarik untuk mencari tempat-tempat berkumpul pencuri dan tempat bersembunyi perampok. Ia berjumpa dengan Johnny Lamb dan seorang lelaki bernama Perry. Mereka senang padanya dan mengajarkan bagaimana membuka lemari-lemari besi. Segera keahlian Dunlop melebihi gurunya. Ia berkembang menjadi organisator ulung dan perampok yang paling ditakuti. Bahkan Jimmy Hope, perampok tersohor dari Bank Manhattan menghormatinya. 

Dunlop dianugerahi pemikiran yang lihai dan ketahanan nenek moyangnya yang berasal dari Skotlandia. Ditambah, ia memiliki daya tahan Amerika. Ia mengorganisir perampokan yang paling berbahaya dan teknisnya paling sempurna yang pernah terjadi di Amerika.

Tangan kanan Dunlop adalah Robert Scott, yang juga dinamakan “the hustling Bob”. Ia sebelumnya bekerja sebagai pelaut di sebuah kapal Sungai Mississippi lalu menjadi pencuri di hotel-hotel. Scott seorang yang sangat kekar dan ulet.

Di antara pengikut mereka terdapat seorang pencuri profesional dari Kanada yang bernama James Greer. Juga John Leary yang tersohor dengan sebutan Leary si Merah. Dalam kelompok mereka masih ada beberapa orang yang bekerja sebagai penjaga, perantara, ataupun hanya sebagai pembawa barang saja.

Perampokan pertama yang mereka jalankan adalah perampokan di Bank City di Louisville. Hasil rampokan 200.000 dolar. Perampok bisa lolos dengan hasil rampokannya. Sebagai permulaan hasil itu sangat memuaskan mereka. Akan tetapi Dunlop dan Scott memimpikan perampokan-perampokan yang lebih hebat. Mereka mengadakan penelitian di beberapa negara bagian. Tujuannya untuk mengetahui di mana ada bank-bank yang mempunyai tempat penyimpanan yang tidak begitu kuat dan kuno, serta banyak menyimpan harta. 

Akhirnya John Leary menemukan yang dicarinya. Di Bank Nasional Kedua di Elmira, di negara bagian New York, yang digunakan pemerintah sebagai bank deposit, tersimpan 200.000 dolar uang kontan dan 6.000.000 dolar dalam obligasi.

Pemeriksaan setempat yang berkali-kali dilakukan oleh kelompok memberikan kepastian yang memuaskan. Meskipun dikelilingi oleh tembok-tembok tebal dan kunci-kunci yang pelik konstruksinya, bagian bawah bank sama sekali tidak sukar dicapai. Di tingkat atas bank, terletak ruangan-ruangan “Perkumpulan Pemuda Kristen.” Salah sebuah dari ruangan mereka ini tepat di atas tempat penyimpanan. Di antara kedua tingkat, ada papan-papan dan semen yang tebalnya 1,3 meter, beberapa bagian beratnya lebih dari satu ton. Di bawah semen itu masih ada selapisan rel kereta api, yang diletakkan di atas papan baja yang tebal. Semua itu tidak membuat perampok putus asa, malahan memberikan mereka dorongan. Pasalnya, penjagaan gedung tidak begitu diperhatikan. Yang paling sukar adalah masuk ke dalam ruangan-ruangan “Perkumpulan Pemuda Kristen” tanpa menarik perhatian.

Sekretaris “Perkumpulan Pemuda Kristen” ini seorang pemuda yang hati-hati. Pada pintu luar ruangan perkumpulan, ia memasang sebuah kunci Yale. Itu adalah jenis kunci yang tergolong baru dan pencuri yang mencoba mencongkelnya, tidak berhasil. Baik Dunlop maupun Scott, juga yang Iain-lain tidak mampu membuka kunci tanpa merusakkan pintu. Hal itu akan membahayakan mereka. Berhari-hari kunci ini, yang dipasang pada sebuah pintu kayu, memusingkan mereka. Meskipun semua detail lain telah dibicarakan. Akhirnya Dunlop dan Scott menemukan jalan keluar. Mereka masuk ke rumah si sekretaris. Mereka mencari di saku-saku pakaiannya, mengharapkan menemukan kunci di dalamnya, agar dapat membuat tiruan. Akan tetapi juga di sini sang sekretaris berhati-hati. Ia menyembunyikan kunci di bawah permadani dan para pencuri tidak ingat mencari sampai ke situ. Dengan kecewa mereka keluar lagi tanpa membawa apa-apa. Hal ini mengherankan sekretaris yang lugu. Karena ia melihat bekas-bekas pencuri membobol, akan tetapi tidak ada barang yang hilang.

Kunci Yale masih saja merupakan sesuatu yang belum teratasi. Kemudian Perry pergi ke New York. Ia mengharapkan agar dapat mengumpulkan keterangan tentang bagaimana membuka kunci-kunci Yale. Dalam pencariannya, ia berkenalan dengan Evans. 

Pada waktu itu Evans menjadi seorang penjual pada sebuah perusahaan lemari besi yang terkenal. Sebelum menjadi pegawai, ia pernah memiliki usaha sejenis di Kanada. Di Kanada ia dianggap sebagai seorang kaya yang tiada cela. Ia mempunyai hubungan luas dengan bagian selatan Amerika dan dapat saja mengambil kredit-kredit besar. Perang saudara memungkinkannya untuk tidak membayar utang lagi. Ia sangat lihai menangani kebangkrutannya. Ia kemudian tunggang-langgang meninggalkan Kanada. Bagaimanapun, ia akhirnya dapat membereskan urusannya dengan penagih-penagihnya.

Sesudah pergi dari Kanada, Evans tinggal di New York. Di sana ia menjalankan cara hidup yang jauh melampaui penghasilannya. Ia menyukai kuda balap. Perry pertama mendengar tentang Evans dari seorang yang bernama Ryan, yang tahun-tahun sebelumnya diketahui menjadi seorang pencuri dan yang kini mempunyai kandang kuda yang dapat di sewa di kota. Sebenarnya kandang kuda sewaan ini hanyalah tempat untuk menjual kuda-kuda yang sudah jelek mutunya. Kuda itu dibuat “sehat” dengan obat-obatan, untuk mengelabui pembeli. Evans tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu. Ia telah menyimpan salah seekor kudanya di tempat Ryan. Hal ini menyebabkan adanya hubungan dekat antara Ryan dan dia. Atas anjuran Perry, Ryan terus mendorong Evans untuk hidup melampaui batas.

Tidak lama kemudian, Evans terjerat dalam kesukaran uang. Ia meminjam uang dari Ryan dan tidak mampu membayar kembali. Ia juga tidak mampu membayar sewa tempat menyimpan dan makanan kuda. Akhirnya ia ingin menjual kudanya dan mengeluh bahwa ia kekurangan uang. Lalu Ryan menyatakan, “Jika saya di tempat Anda, saya tidak pernah akan kekurangan uang.”

Evans bertanya apa yang dimaksudkan Ryan. 

“Ada beberapa orang yang akan membayar banyak, jika Anda memberikan pengetahuan Anda tentang lemari-lemari besi dan bank,” kata Ryan.

Sedikit demi sedikit Ryan berbicara lebih jelas. Evans tidak mau mendengarkannya. Sementara itu Evans makin lama makin terjerat dan pada suatu hari ia berkata, “Apakah yang sebenarnya ingin diketahui oleh orang-orang itu?”

“Mereka ingin mengetahui cara untuk membuka kunci-kunci Yale yang baru itu,” jawab Ryan.

“Dengan sebuah Dietrich memang tidak bisa dibuka, terlampau lama. Akan tetapi ada cara lain untuk membukanya.” 

“Bagaimana?”

“Kita akan membicarakan hal itu lain kali.” 

Tidak lama kemudian Evans benar-benar terjebak. la berkenalan Perry. Perry segera menerangkan bagaimana mudahnya seorang yang mengetahui seluk-beluk pembuatan lemari besi dapat mengumpulkan uang, tanpa terlibat bahaya.

“Dengan kami, Anda akan mendapat lebih dalam semalam saja, dibandingkan dengan setahun kerja pada pabrik lemari besi,” kata Perry.

Dengan bayaran 50.0000 dolar, Evans akhirnya mau memberikan alat untuk membuka kunci Yale. Kunci yang menghalangi mereka untuk mendapat harta yang diinginkan.

Perry kembali ke Elmira dan mengabarkan kepada Dunlop dan Scott tentang keberhasilannya. Agar dapat mendatangkan Evans dengan jalan yang tidak menarik perhatian ke Elmira, maka mereka menyurati perusahaan. Mereka menuliskan bahwa di Elmira ada yang membutuhkan lemari-lemari besi. Segera Evans diutus ke sana. Di Rathbone House, tempat ia menginap, ia sudah ditunggu oleh Scott, yang membuat rencana dengannya.

Pada malam hari, Scott akan memasang sebilah kayu tipis dalam kunci Yale hingga kunci tidak jalan. Kehadiran Evans sudah diketahui di kota dan tentunya yang berkepentingan akan memanggilnya sebagai seorang ahli dalam kunci-kunci yang pelik. Pada kesempatan itu ia akan mengambil tiruan dari kunci. Rencana berhasil. 24 jam kemudian, perampok sudah berhasil masuk ke dalam ruang “Perkumpulan Pemuda Kristen”. Mereka keluar masuk tanpa kesukaran dan tanpa diketahui orang bahwa mereka berada di situ.

Kini hanya tinggal masuk ke dalam bagian bawah bank. Ini suatu pekerjaan yang sukar. Kehadiran seluruh kelompok di Elmira diperlukan. Keadaan ini tidak boleh menarik perhatian. Untuk maksud ini maka datanglah seorang wanita dari Baltimore, yang pada perampokan yang terdahulu sudah ada hubungan dengan kelompok ini. Ia menyewa sebuah rumah di pinggiran kota. Rumah itu ditatanya dengan sederhana. Di ruangan-ruangan rumah, tinggallah Scott, Dunlop, Leary si Merah, Conroy, dan Perry. Selama siang hari mereka tidak pernah keluar rumah dan malam hari mereka demikian hati-hati keluar rumah. Tidak seorang pun mengetahui kehadiran mereka, meskipun mereka di situ 6 bulan lamanya.

Setiap malam mereka berkumpul di ruangan-ruangan “Perkumpulan Pemuda Kristen”. Mereka membuka ruangan dengan kunci tiruan dan tinggal berjam-jam di situ. Gerak-gerik mereka sewaktu bekerja membuat terowongan ke dalam gedung bank begitu hati-hati dan dipikirkan dengan matang. Ini membuat tidak seorang pun menyangka mereka berada di dalam gedung. 

Setiap malam permadani dan lantai dibongkar. Setiap pagi dikembalikan dengan teliti, segera sesudah kelompok berhenti dengan pekerjaan membongkar. Reruntuhan dan batu-batu berat dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang dan dibawa ke atap gedung opera yang berdampingan dengan gedung bank. Di atas atap yang lebar semua diratakan, hingga tidak ada bahaya bahwa reruntuhan itu ditemukan. Begitulah kelompok bekerja bergiliran. Akhirnya rel-rel kereta api berhasil disingkirkan. Kelima lelaki itu kini hanya terpisah dari bagian bawah bank oleh lapisan baja saja. Keberhasilan sudah dekat. Tapi suatu hal yang tidak diperhitungkan terjadi dan semua terbongkar.

Presiden bank, Mr. Pratt, menemukan debu halus waktu masuk ke bagian bawah bank. Tanda bahaya. Segera diadakan penyelidikan cermat. Terowongan di atas ditemukan. Anggota kelompok menyadari apa yang terjadi dan melarikan diri, kecuali Perry. la ditangkap waktu hendak melihat apakah semuanya aman. la dihukum 5 tahun penjara karena mencoba merampok. 

Akan tetapi anggota kelompok tidak putus asa karena pukulan ini. Scott dan Dunlop mencari bank yang lain, yang sesuai bagi rencana mereka. Tidak lama kemudian, keduanya dapat mengabarkan kepada kelompok mereka bahwa di Quincy, Illinois, mereka menemukan “pekerjaan” baru.

Perampokan di Quincy dikerjakan dengan cara yang sama seperti di Elmira. Wanita dari Baltimore, sekali lagi menyewa rumah yang digunakan untuk tempat tinggal kelompok. Dengan kunci-kunci tiruan, mereka masuk ke dalam ruangan di atas bank. Lantai setiap malam dibongkar, tanpa menarik perhatian, dan dikembalikan lagi. Reruntuhan diangkut, lapisan baja dibor. Akhirnya pada suatu malam, Scott dan Dunlop dapat masuk melalui terowongan yang sempit ke dalam lemari baja.

Kini lemari-lemari besi di bagian bawah harus dibuka. Pada waktu ini perampok menggunakan pompa udara, untuk pertama kali dalam sejarah pembongkaran lemari besi Amerika. Cara yang ditemukan Evans dan diajarkan kepada Scott serta Dunlop, dimanfaatkan benar-benar.

Pada perampokan bank di Quincy, Evans tidak hadir. la tidak ada pekerjaan lain, selain memberikan pompa udara dan alat-alatnya. Pertama semua lubang di lemari besi ditutup. Hanya di bagian atas dan bagian bawah ditinggalkan lubang kecil. Pada lubang yang atas, Scott memasukkan corong yang diisi dengan bubuk halus, sedangkan pompa udara diletakkan Dunlop dibagian bawah. Karena sedotan maka bubuk halus masuk ke dalam semua lubang-lubang pintu lemari besi. Kemudian sebuah pistol kecil yang diisi dengan bubuk disambungkan ke lubang atas. Pelatuknya dihubungkan sebuah tali agar dapat ditarik dari kejauhan sehingga tidak membahayakan. Beberapa kali dicoba, terjadilah ledakan yang sempurna. Lemari-lemari besi terbuka. Perampok lari dengan 120.000 dolar uang kontan dan 700.000 dolar dalam bentuk kertas-kertas berharga.

Uang tunai tidak ditemukan kembali. Mereka juga tidak bisa menemukan anggota kelompok. Kertas-kertas berharga kemudian dibeli kembali oleh bank. Semuanya dikerjakan demikian lihainya, hingga tidak ada prasangka sedikit pun pada Scott, Dunlop, ataupun anggota kelompok lainnya.

Kali ini kelompok dengan mudah mendapat uang. Tentu mereka menyangka akan mendapat lebih dengan cara yang sama. Selama musim panas Scott dan Dunlop hidup mewah di New York. Mereka menarik perhatian di Coney Island, di mana mereka melarikan kuda balap. Tetapi tidak seorang pun menyangka bahwa mereka adalah pemimpin dari kelompok perampok kuda yang berani, yang pernah bergerak di negara mana pun.

Pada akhir tahun, uang mereka berkurang. Mereka pun mencari objek baru. Pada perampokan di Quincy, mereka tidak memenuhi janji pada Evans dan hanya membayar sedikit untuk saran-saran dan pompa udara. Kini mereka mencari Evans lagi. Dengan ancaman tapi juga dengan janji muluk, mereka memaksanya bekerja untuk mereka kembali. Serentetan perampokan yang dicoba tidak berhasil. Dalam beberapa kesempatan, rintangan datang justru pada waktu mereka menyangka sudah akan berhasil.

Di Covington, mereka memakai nitrogliserin untuk membuka lemari besi. Akan tetapi ledakan demikian dahsyatnya hingga perampok terkejut dan melarikan diri. 200.000 dolar uang kertas dan 1,5 juta dolar kertas-kertas berharga ditinggalkan di lemari besi yang diledakkan.

Di Rockville tadinya semua berjalan sesuai dengan rencana. Sebuah terowongan dibuat dengan susah payah dan atap tempat penyimpanan dibongkar, tinggal selapisan batu bata yang tipis. Scott meneroboskan besi melalui lubang atap ruangan bagian bawah, alat ini terlepas dan masuk ke dalam terowongan ke bagian bawah. Karena terlampau lambat untuk menyelesaikan pekerjaan di malam itu juga, dan tentu linggis akan menarik perhatian di ruangan bawah, pekerjaan ditinggalkan.

Petualangan yang istimewa, dialami kelompok waktu mereka merampok Bank First National di Pittston, Pennsylvania. Gedung bank bertingkat satu dengan atap dari tembaga. Perampok menentukan untuk masuk dari atap. Kesulitannya ialah jika waktu mulai bekerja hujan turun, air akan masuk melalui lubang dan dapat membuka rahasia.

Jadi setiap malam mereka mengembalikan lapisan-lapisan tembaga sesudah bekerja dan mengecat sambungan dengan meni yang sama warnanya dengan atap. Mereka demikian berhati-hati mengecat meni, sehingga tidak setetes air pun yang masuk. Meskipun pada hari sesudah dimulai pekerjaan, hujan turun dengan lebat. 

Pada malam tanggal 4 November 1875, selapisan batu bata saja menghalangi mereka sampai ke bagian bawah bank. Mereka memutuskan untuk menghentikan penerobosan dan merampok malam itu juga. 2 jam bekerja keras dengan alat-alat berat, cukup untuk membuat lubang. Scott dan Dunlop dimasukkan ke dalam. Mereka menemukan tiga buah lemari besi Marvin yang dilengkapi dengan sirene anti pencuri. Dunlop berpengalaman sebagai seorang ahli listrik. la mengelilingi sirene dengan papan-papan berat, hingga suaranya hanya terdengar samar-samar. Akan tetapi dalam meledakkan lemari besi, mereka mengalami banyak kesulitan. Lemari yang pertama baru pada ledakan kedua terbuka dan mereka dapat mengambil 500 dolar uang tunai dan 60.000 dolar surat-surat berharga. Lemari kedua, lebih-lebih menyusahkan. Sepuluh kali meledakkan baru berhasil.

Waktu pekerjaan selesai dan mereka hendak mengambil jumlah uang yang cukup besar, ada peringatan dari Conroy, yang mengintai di atap. Mereka harus melarikan diri.

Dunlop dan Scott harus ditarik oleh kawan-kawan mereka dari terowongan. Terbukti bahwa mereka tidak bisa berjalan lagi. Selama ledakan 12 kali di bagian bawah, mereka tidak meninggalkan tempat dan hanya menyembunyikan diri di dekat papan-papan yang mengelilingi sirene. Mereka hanya berada sejengkal dari ledakan-ledakan yang begitu dahsyat hingga lapisan-lapisan baja terangkat dan seluruh gedung berguncang. Akan tetapi yang lebih mengganggu, adalah gas yang dihasilkan, yang terjadi waktu ledakan dan dihirup oleh Scott dan Dunlop. Waktu mereka keluar, pakaiannya bagai kain lap yang bisa diperas. Mereka begitu lemah sehingga kakinya bergetar dan kawan-kawan harus mengangkat mereka. Meskipun demikian, mereka masih sempat pergi hampir 50 kilometer sampai ke Lehigh, di mana mereka naik kereta api sampai ke New York.

Pada perampokan ini, mereka telah meninggalkan pompa udara yang kemudian diingat oleh Robert Pinkerton. Hal ini merugikan Evans. 

Dalam pengakuannya, ia menyatakan bahwa kelompok telah merencanakan perampokan ini beberapa bulan sebelumnya. Tadinya mereka ingin merampok Bank First National, di mana Evans sedang membuatkan pintu-pintu besi dan beton. Rencana ini kemudian dibatalkan. Karena Evans dipercayai sepenuhnya oleh para pegawai dari Bank Northampton, ia dapat sering mengunjungi bank. Sehingga ia bisa mendapat kabar yang berharga bagi kawan-kawan. Karena pengaruhnya, para direktur memutuskan memberikan seluruh kombinasi pada kasir Whittelsey yang dulunya hanya mengetahui separuh saja, sedangkan yang sebagian diketahui oleh seorang wakil direktur.

Pada malam perampokan, Evans berada di New York. Akan tetapi 2 hari kemudian, ia pergi lagi ke Northampton. Di situ ia untuk pertama kali sadar betapa banyak kerugian yang harus diderita oleh para nasabah yang tidak bersalah karena para perampok itu. Dan kesadaran inilah yang menyebabkannya untuk mencoba mendapatkan kembali surat-surat berharga.

Waktu ia kembali ke New York, ia mencari hubungan kembali dengan Scott dan Dunlop melalui iklan di Herald. Dan selama bulan Februari, ia telah bertemu beberapa kali dengan mereka. Sementara mereka berunding untuk mengembalikan surat-surat berharga, perampok mencurigai Evans. Mereka bermaksud untuk mengurangi bagiannya pada hasil perampokan, dan berbuat sedemikian rupa, seakan-akan mereka menyetujui langkah-langkah yang diambil Evans untuk mencapai suatu kompromi dengan bank. Saling mencurigai itu sudah tidak bisa dihilangkan lagi. Waktu pada suatu hari Evans berjumpa dengan Scott di Propect Park, ia berkata, “Kapan Anda memberikan bagian saya?”

“Anda tidak akan mendapat seperak pun,” jawab Scott, “Anda telah mengkhianati kami.”

Sesudah pertemuan ini, mereka tidak saling berjumpa sementara waktu. Evans mencoba dengan sia-sia untuk “berdamai”, berbulan-bulan lamanya. Bulan demi bulan berlalu. Ia melihat bahwa bahaya makin mengancam. Ketakutannya bertambah. Pada tanggal 9 November ia kebetulan berjumpa dengan Scott, Dunlop, dan Leary si Merah, di perbatasan Brooklynn. Tercetus pertengkaran yang hebat. Mereka saling menyalahkan. Evans dalam keadaan bahaya.

Segera sesudah percakapan ini, maka Evans yang kecewa itu berhasil dikorek detektif Bangs. Ia mencoba menyelamatkan diri dengan mengaku terus terang. la sama sekali tidak merasa bersalah berbuat demikian. Pasalnya ia mengetahui bahwa pada perampokan yang terdahulu di Quincy, ia ditipu oleh Scott dan Dunlop. Ia menyatakan bahwa kelompok ini dalam minggu-minggu sebelum perampokan di Northampton, telah bersembunyi di tingkat atas sebuah gedung sekolah yang terletak 15 atau 20 meter di samping jalan dan agak jauh dari rumah-rumah lain.

Keterangan Evans ternyata benar. Di tingkat atas ditemukan selimut, tas-tas dari linen, bor, penarik botol, bahan makanan, dan juga sebotol whisky. Sesudah mereka merampok bagian bawah bank, perampok memasukkan uang dan surat-surat berharga ke dalam karung dan ditaruh di dalam sarung bantal. Semua itu disembunyikan di gedung sekolah. Salah satu tempat persembunyian ditemukan di bawah mimbar tempat terletak meja guru. Yang kedua di belakang papan tulis. Hampir 2 minggu lamanya tersembunyi harta sebanyak 2 juta dolar di dalam gedung sekolah, tanpa diketahui seorang pun. Guru setiap hari berdiri di atas beberapa ratus ribu dolar, murid-murid menuliskan soal hitungan di atas papan tulis, yang menyembunyikan sisa perampokan.

Hasil perampokan lama disimpan di situ, karena semua orang yang tampaknya asing di stasiun-stasiun dan juga di jalan akan diperiksa dengan sangat teliti, kata Evans. Akhirnya Scott membeli gerobak yang ditarik dua kuda dengan harga 900 dolar. Bersama Jimmy Brady, ia pergi dari Springfield ke Northampton. Mereka dapat menaruh hasil perampokan di atas gerobak, namun kemudian sukar untuk maju. Seekor kuda pincang dan Brady jatuh ke dalam tempat sampah yang dilaluinya. Kecelakaan ini memaksa mereka untuk berhenti semalam di sebuah gubuk di hutan.

Detektif kini tentu memusatkan usaha mencari tempat penyimpanan berharga curian. Dari cerita Evans dan dari yang diketahui Pinkerton tentang cara-cara kerja kelompok itu tadi, maka agaknya sudah tidak diragukan lagi, bahwa hanya Dunlop yang mengetahui rahasia. Ia tidak akan mengatakannya kepada orang lain kecuali kalau dipaksa. Langkah yang harus diambil kini adalah menangkapnya. Ini dapat dilakukan, sesudah Evans bersedia untuk membuat kesaksian terhadapnya.

Berminggu-minggu Pinkerton menyuruh membuntuti Scott dan Dunlop. Kebanyakan mereka berada di New York. Scott hidup di sebuah hotel kecil yang anggun di Washington Square. Pada tanggal 14 Februari 1877, kedua orang ini ditangkap di Philadelphia, waktu mereka hendak naik kereta api ke selatan.

Meskipun mereka membawa sejumlah banyak surat-surat berharga, tampaknya uang sudah berkurang, sementara mereka menunggu “usaha damai” dengan bank. Sepertinya mereka ingin merencanakan perampokan baru. Keduanya dibawa ke tempat tahanan sementara di Northampton.

Kini terjadi apa yang telah diramalkan Pinkerton. Karena mereka telah hilang kebebasannya, maka Dunlop dan Scott merasa perlu untuk menyatakan tempat penyimpanan hasil perampokan kepada seorang anggota lain. Mereka memilih si Leary Merah.

Seperti terungkapkan kemudian, maka surat-surat berharga waktu itu disembunyikan di sebuah gudang bawah tanah di Sixth Avenue di New York. Tempat itu dijelaskan kepada Leary oleh Nyonya Scott, yang bersama dengan keterangannya itu mengingatkan Leary akan adanya perjanjian yang telah ditentukan antar anggota kelompok. Setiap anggota dapat meminta kawannya agar menjual surat-surat berharga jika berada di dalam bahaya, sehingga dengan hasil itu dapat membebaskannya. Semula Leary menertawakan perjanjian ini. Akan tetapi ia juga menuntut janji ini pada sisa kelompok, waktu ia juga ditangkap oleh inspektur polisi Byrnes, karena ikut bersalah pada perampokan Bank Manhattan. Percobaan membuntuti Leary ke arah persembunyian surat-surat berharga tidak berhasil. Sehingga mereka menginginkan ia segera ditangkap, tanpa menunggu surat perintah penahanan.

Sejarah penjahat Amerika tidak mempunyai bab yang lebih memesona dari pada sejarah si Leary Merah. Menurut penampilannya, ia seorang desperado (tidak mempunyai harapan) dengan rambut merah yang tipis, kumis merah dan wajah buruk dengan tulang menonjol, leher kekar, bahu kuat, kepala gemuk dan tangan besar yang berambut. Semua menunjukkan bahwa ia mempunyai kekuatan fisik yang dahsyat. Beratnya hampir 150 kg. Kawan-kawan penjahatnya selalu bangga mengatakan bahwa tidak ada orang yang memakai topi yang lebih besar dari pada Leary, ukuran 8¼.

Meskipun Leary sebagian besar hidupnya menjalani aneka kejahatan, pada beberapa kesempatan ia juga telah membuktikan keberaniannya. Leary tergolong salah seorang pertama yang secara sukarela membela negara dengan masuk ke dalam korps pertama Resimen Kentucky di bawah Letkol Guthrie. Ia menjadi seorang tentara yang baik sejak masuk dinas sampai ke pembebasannya dengan hormat.

Para pengacara yang terlihai kini diperintahkan membela Leary dan mereka menyibukkan pengadilan di New York dengan segala tipu muslihat yang diperbolehkan dalam rangka hukum. Sementara itu Leary beristirahat di penjara di Ludlow Street. Ia menikmati segala sesuatu yang diberikan pada seorang tahanan. Untuk kemungkinan itu, ia membayar penjaga sejumlah 30 dolar seminggu. Terlepas dari ikut dalam perampokan di Northampton atau tidak, ia mempunyai banyak uang.

Sore hari tanggal 7 Mei, Nyonya Leary mengunjungi suaminya dengan diantarkan oleh “Butch” McCarthy. Ketiganya sampai jam 8 sendiri saja di sel Leary. Sesudah itu Leary berjalan-jalan di dalam penjara. Pada jam 10 lebih, pengawas Wendell, yang menjaga tingkat pertama tempat sel Leary, melihat bahwa Leary pergi dari tingkat 2 ke tingkat 3. Sebenarnya tidak mengapa, karena Leary biasanya menggunakan kamar mandi yang terletak di tingkat 3. 

Seperempat jam kemudian, Wendell mulai meronda seperti sudah ditetapkan di penjara. Itu dilakukan untuk melihat apakah setiap tahanan sudah ada di dalam selnya. Waktu sampai di sel Leary, ia terkejut karena menemukan sel itu kosong. Tetapi ia masih percaya bahwa tahanan akan segera datang. Ia menunggu sia-sia beberapa waktu dan menjadi bingung. Ia pun mulai mencari. Pertama-tama ia pergi ke kamar mandi. Ketika tidak menemukan Leary di sana, ia mencari ke tempat-tempat lain di semua tingkat. Lalu ia kembali ke kamar mandi dan di situ melihat sesuatu yang sangat mengejutkannya. Di tembok ia melihat lubang besar, yang cukup untuk meloloskan orang. Terowongan itu seakan-akan menuju ke bawah. Segera si pengawas memukul alarm. Tetapi si Leary Merah sudah lolos.

Terbukti bahwa terowongan dari kamar mandi masuk ke dalam sebuah kamar di tingkat 5 sebuah rumah yang berdekatan dengan penjara. Kedua tembok pemisah terdiri dari tembok yang tebalnya 120 cm yang telah diterobos oleh kawan-kawan Leary. Di dalam ketiga ruangan rumah itu telah ditemukan bukti-bukti kerja mereka.

Leary tadinya melarikan diri ke Eropa, tetapi kembali lagi dan kemudian ditangkap di Brooklynn oleh Pinkerton dan petugas-petugasnya. Mereka menangkapnya waktu Leary sedang bermain kereta salju dan memborgolnya sebelum ia dapat memakai revolver besar yang dibawanya. Segera ia dibawa ke penjara di Northampton.

Beberapa waktu sebelumnya, Pinkerton telah menemukan Conroy, yang juga melarikan diri dari penjara di Ludlow Street, di Philadelphia. Segera sesudah Leary ditangkap, ia mengirimkan detektif-detektifnya ke Philadelphia, di mana Conroy ditangkap pada malam yang sama.

Sementara itu Scott dan Dunlop, yang kini mendekam dalam penjara, telah membuat kesaksian mengenai Leary. Leary-lah yang memiliki surat-surat berharga. Waktu Leary dibawa ke Northampton, mereka menulis surat kepadanya, menerangkan bahwa mereka akan memberi kesaksian mengenai dia, jika ia tidak mengembalikan surat-surat berharga pada masing-masing pemilik. Jika ia mengembalikannya, mereka tidak akan membuat kesaksian. Surat ini ada hasilnya dan bank mendapat hampir semua surat-surat berharga kembali, kecuali surat-surat berharga negara dan uang tunai.

Beberapa surat berharga yang dicuri, begitu turun nilai, sehingga menyebabkan kekurangan hampir 100.000 dolar. Surat-surat berharga lain nilainya 700.000 dolar. Surat-surat itu selama hampir 2 tahun dipegang oleh perampok.

Karena kini Scott dan Dunlop tidak mau memberikan kesaksian terhadap Leary dan Doty, maka Leary dan Doty dibebaskan. Begitu pula Conroy, yang hanya dipergunakan sebagai perantara saja dan tidak bisa dibuktikan benar-benar ikut dalam perampokan.

Perkara Scott dan Dunlop berakhir dengan keputusan bahwa mereka dihukum 20 tahun. Scott meninggal di dalam penjara. Dunlop beberapa tahun kemudian diberi pengampunan. Ia pergi ke sebuah kota di sebelah barat, di mana ia mencari kehidupan dengan halal. Conroy akhirnya juga menjadi seorang yang dihormati semua kawan-kawan.

Sedangkan Si Leary Merah, ia meninggal dengan cara aneh. 

Pada suatu malam ia minum-minum dengan beberapa kawan di sebuah bar yang terkenal di New York. Dalam kelompok itu juga ada “Billy Train”, yang waktu mereka berada di jalan, mengangkat sebuah batu bata dan melemparkannya ke atas sambil berteriak, “Hati-hati kepala kalian, kawan-kawan!”

Leary tidak mengindahkan peringatan itu. Batu bata mengenai kepalanya dengan keras di kepala dan menghancurkan tengkoraknya. Ia dibawa ke rumah sakit yang terdekat dan meninggal di situ sebelum fajar.

(Gerhart Herrman Mostar dan Robert Stemmle)

Baca Juga: Perampok Dikira Pemain Film

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760993/perampokan-di-bank-northampton" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683802849000) } } [3]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726473" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/pembunuhan-waktu-dini-harijpg-20230406072759.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(127) "Seorang petani tewas tertembak sekitar dini hari. Pengusutan membawa polisi pada dua penjahat yang melakukan banyak perampokan." ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/pembunuhan-waktu-dini-harijpg-20230406072759.jpg" ["title"]=> string(26) "Pembunuhan Waktu Dini Hari" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:28:09" ["content"]=> string(38213) "

Intisari Plus - Seorang petani tewas tertembak sekitar dini hari. Pengusutan membawa polisi pada dua penjahat yang melakukan banyak perampokan.

---------

Istri petani itu tiba-tiba terbangun. la mendengar suaminya turun dari tempat tidur dan berlari ke gang. Kemudian terdengar suaranya berseru-seru, seperti mengusir. Istri petani memanggil-manggil dari tempat tidur, menyuruhnya masuk kembali.

“Kau bermimpi, Wilhelm!” 

Petani itu memang agak sering juga mengigau dalam tidur dan kelayapan di bar.

Tapi tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Petani berteriak minta tolong, disusul dentaman bunyi tembakan beruntun. Terdengar pintu pekarangan tertutup dengan keras serta langkah bergegas di luar. Setelah itu — sepi.

Kini istri petani meloncat dari tempat tidur. la lari ke gang. Di situ dilihatnya suaminya terkapar dalam posisi menelungkup di lantai. Darah tergenang di bawah dada, makin lama semakin melebar. Istri petani terpekik melihatnya

Mendengar teriakan ibunya, anak laki-laki keluarga itu terbangun, lalu muncul bergegas dari kamarnya. Dengan cepat ia mengerti apa yang telah terjadi. Ia berbalik, hendak mengambil pistol yang disimpan di tempat tersembunyi. Maksudnya hendak mengejar penembak ayahnya. Tapi ibunya mencegah. Dalam keadaan bingung, keduanya lantas membuka pintu rumah dan bergegas ke halaman depan. Saat itu tampak seseorang lari melintas. Orang itu menembak ke arah mereka, tapi tidak mengenai sasaran.

Sementara itu wanita pelayan di pertanian itu ikut terbangun, lalu keluar dari biliknya yang menghadap ke gang. Pekerja pertanian, yang tidur dalam kandang sapi di ujung rumah, juga sudah muncul.

Anak petani berlari ke desa, memanggil dokter dan polisi desa. Sementara itu mereka yang tinggal mengangkat petani dengan hati-hati. la dibaringkan di tempat tidur. Tapi nyawanya tidak bisa diselamatkan lagi. la meninggal dalam usia 40 tahun.

Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 04.00 dini hari tanggal 31 Maret 1937, di sebuah desa pinggiran kota Bremen di Jerman Utara. Bremen merupakan kota bebas dengan wewenang kepolisian tersendiri. Tapi desa itu termasuk wilayah wewenang daerah Prusia. Karena itu kepala dinas kepolisian desa di samping melapor pada kejaksaan yang berwenang di Verden/Aller. Ia juga memberitahukan jawatan kepolisian daerah Prusia yang bertempat kedudukan di kota Hannover.

Dengan segera Komisaris Karl Kiehne, kepala dinas kriminal kepolisian di Hannover berangkat ke desa itu. la disertai petugas penyidik, juru foto serta seorang petugas pembantu. Sesampai di desa itu, ternyata di sana sudah hadir Komisaris Bollmann dari dinas kriminal kepolisian kota Bremen bersama sejumlah anak buahnya. Mereka juga diminta datang karena ada kemungkinan pelaku pembunuhan berasal dari kota itu.

Sementara itu diperoleh keterangan, telah terjadi pencurian dengan jalan paksa di beberapa desa sekitar situ, termasuk di desa itu sendiri. Karenanya kemudian diadakan pembagian tugas. Polisi Bremen bersama kepolisian desa mengadakan penyidikan di tempat-tempat peristiwa pencurian, sedang regu dari Hannover memeriksa peristiwa pembunuhan. Kedua rombongan itu berpisah, setelah bersepakat akan bertemu lagi malamnya untuk saling bertukar informasi.

Kemudian Komisaris Kiehne beserta orang-orangnya memulai pelacakan. Mula-mula sekeliling tempat pertanian yang diperiksa. Walau sebelum mereka sudah ada orang-orang lain berkeliaran di situ, sehingga jejak-jejak yang barangkali ada mungkin sudah menjadi kabur atau bahkan terhapus, tapi mereka mematuhi prinsip kriminalistik: menghampiri tempat mayat ditemukan dari arah luar. Sedapat mungkin bergerak memutar sambil menuju ke tempat kejadian.

Di depan rumah tampak jejak ban sepeda. Polanya khas, jadi bisa dipakai untuk penyidikan selanjutnya. Di belakang rumah ditemukan jejak sepatu, mengarah ke jendela berdaun dua, masing-masing dengan tiga lembar kaca. Kaca atas sebelah kiri terlepas dari bingkainya, sehingga terdapat lubang di situ berukuran 25 x 40 sentimeter. Bingkai jendela di bawahnya rusak. Di situ tampak serat benang wol hitam tersangkut. Pasti pelaku masuk lewat dari situ karena pada ambang jendela nampak jejak sepatu bertumit karet dengan tanda-tanda jelas. Petugas penyidik merekam semua jejak, termasuk sidik jari di bingkai jendela.

Jendela itu letaknya di dapur belakang. Dari situ orang bisa masuk ke gang lewat dapur. Di sisi kanan terdapat ruang duduk dan ruang keluarga. Tampak meja tulis tertutup. Tutupnya dalam keadaan terbuka. Menurut keterangan istri petani, uangnya hilang sebanyak 30 pfennig dari meja itu. Dalam kamar tidur besar yang bersebelahan dibaringkan mayat petani, hanya dalam baju tidur.

Dilihat sepintas sudah bisa dilihat dua lubang bekas tembakan di dada sebelah kiri. Satu tembakan lagi rupanya mengenai lengan kanan. Tapi pemeriksaan lebih cermat serta penetapan sebab kematian diserahkan pada petugas autopsi yang menurut rencana akan datang siang itu.

Polisi desa sebelumnya sudah menemukan empat selongsong peluru di lantai gang. Semua kaliber 9 mm. Komisaris Kiehne kini mencari lubang-lubang bekas tembakan serta proyektil, agar bisa merekonstruksi posisi penembak. Satu proyektil ditemukan dalam bak umpan hewan di gang lumbung yang bersebelahan letaknya dengan tempat kejadian. Satu lagi menancap pada ambang pintu, satu di dinding gang. Sedang proyektil keempat mengenai pohon di depan rumah, sekitar tiga meter di atas tanah. Proyektil itu rupanya yang menyebabkan lubang pada bingkai pintu rumah.

Rekonstruksi arah tembakan dilakukan dengan bantuan benang panjang. Tembakan pertama mungkin terjadi ketika petani menyalakan lampu. Ketika pencuri keluar dari kamar duduk setelah mengacak-acak isi meja tulis, tahu-tahu ia melihat jalan larinya terpotong, lalu langsung menembak. Demikian perkiraan Komisaris Kieane. Sedang tembakan-tembakan berikut mungkin menyusul dengan segera ketika korban dan pelaku kejar-mengejar mengelilingi meja yang terdapat di tengah gang. Sedang peluru keempat mungkin tembakan nyasar.

Malamnya diperoleh informasi hasil penyelidikan spesialis perkara pencurian dari regu Bremen, yang mencatat 13 pencurian di daerah desa dan sekitarnya. Kecuali di satu tempat, pencuri selalu masuk lewat lubang jendela yang sempit. Pelaku itu selalu mengincar uang tunai.

“Bagaimana dengan waktu kejadian?” tanya Komisaris Kiehne. 

“Semua malam ini, sekitar puku 12.00 sampai 04.00 dini hari.”

Setelah dilakukan pencocokan cara kerja yang sama, ditarik kesimpulan bahwa pelaku pencurian itu besar kemungkinannya orang yang membunuh petani. Tapi penyelidikan selanjutnya di masing-masing bagian tidak menghasilkan apa-apa. Baik  di Bremen maupun di Hannover, tidak bisa diketahui siapa pelaku itu berdasarkan file sidik jari yang ada. Karena itu keesokan harinya kedua regu bekerja sama kembali.

Dari daerah Delmenhorst-Bremen masuk laporan: terjadi sejumlah pencurian dengan jalan paksa, memakai cara kerja yang serupa. Di mana-mana yang diincar selalu uang tunai. Cuma di beberapa tempat saja diambil bahan makanan. Di satu rumah petani dilaporkan kehilangan sepeda yang masih cukup baru. Tapi di situ ditemukan pula sepeda tua yang bannya kempes. Penyelidikan yang dilakukan menunjukkan bahwa jejak ban sepeda di depan rumah tempat pembunuhan berasal dari ban sepeda tua itu. Jadi jejak pembunuh sampai ke Delmenhorst, yang rupa-rupanya berkeliaran naik sepeda.

Sementara itu pemeriksaan secara sistematis di semua tempat kejadian menghasilkan keterangan saksi yang dirasakan besar gunanya mengenai orang yang mungkin pelaku kejahatan itu. Seorang gadis berumur 16 tahun, pembantu rumah tangga di suatu tempat pertanian dalam kesaksiannya mengatakan:

“Saya melihat jam. Saat itu sekitar pukul 02.40. Saya terbangun karena mendengar bunyi menggeresek di balik jendela. Saya mendengar langkah kaki orang di luar. Dengan segera saya pergi ke kamar duduk yang letaknya di sebelah, tapi tanpa menyalakan lampu. Saya melihat seorang laki-laki yang berjalan sambil mendorong sepeda. Ia lewat di depan jendela kamar saya. la mengenakan jas yang agak panjang. Pasti tidak memakai pantalon, tapi mungkin bersepatu lars berwarna gelap ....”

Berdasarkan identifikasi itu Komisaris Kiehne lantas menyebar luaskan berita pencarian secara besar-besaran. Salinan berita juga dikirimkan ke negara-negara tetangga melewati jalan tidak resmi, yaitu melalui para komisaris daerah perbatasan. Komisaris Kiehne memutuskan untuk melakukannya, karena arah gerak pelaku menuju ke Belanda. Kesimpulan ini diperoleh, melihat tempat-tempat terjadinya pencurian, disesuaikan dengan perkiraan waktu terjadinya.

Sementara itu sudah diperoleh hasil autopsi. Di situ tertulis:

“Tiga tembakan mengenai tubuh petani. Dua masuk ke dada dari depan dan tembus ke punggung. Satu dari kedua tembakan ini menewaskannya, yaitu yang melukai bilik jantung sebelah kanan dan merobek otot jantung. Kematian terjadi karena perdarahan. Tembakan ketiga miring arahnya, menembus lengan kanan....”

Kemeja korban serta robekan kulit di tempat peluru menembus tubuh korban diserahkan pada pengadilan untuk diperiksa selanjutnya. Ini dilakukan atas permintaan Komisaris Kiehne, yang menginginkan pemeriksaan dengan mikroskop guna menentukan dari jarak mana tembakan dilepaskan. Pihak kejaksaan setuju bahwa pemeriksaan itu dilakukan oleh Profesor Mueller, direktur institut kedokteran hukum pada Universitas Goettingen, yang sudah berulang kali bekerja sama dengan Komisaris Kiehne dalam berbagai perkara pembunuhan.

Dengan pertimbangan serupa, Komisaris Kiehne juga menyarankan pada pihak kejaksaan agar proyektil dan selongsong yang dijumpai di tempat kejadian diperiksa oleh dr. Heess dari lembaga kimia daerah di Stuttgart, bagian tehnik kimia dan kriminalistik. Dengan bantuan suatu alat yang waktu itu masih baru, di situ bisa dikenali jejak-jejak khas pada peluru dan selongsong sehingga bisa ditarik kesimpulan tentang senjata yang dipakai.

Setelah itu setiap hari Komisaris Kiehne sibuk menyimak lembaran-lembaran berita kepolisian kriminal dari Berlin, baik yang baru masuk maupun yang sudah lewat. Laporan-laporan itu memuat perkara-perkara kejahatan terpenting yang terjadi di daerah negara Jerman masa itu. Komisaris Kiehne mengharapkan akan bisa menemukan jejak pembunuh yang dicari berdasarkan indikasi cara kerja serupa. 

Dalam penelaahan itu ditemukannya lembaran berita Nomor 2711. Di situ dilaporkan bahwa pada malam menjelang tanggal 9 Maret 1937, jadi tiga minggu sebelum peristiwa pembunuhan, seorang polisi desa di Emsland mengalami pencurian. Kecuali uang tunai, polisi itu juga kehilangan pistol dinasnya merek Parabellum kaliber 99 mm bertanda “L.O 144”, lengkap dengan dua magasin berisi peluru 16 butir serta tas pistol. Di situ pencuri juga masuk lewat lubang jendela yang sempit.

Sayang polisi itu tidak memiliki proyektil peluru yang sudah ditembakkan serta selongsongnya untuk dijadikan bahan perbandingan. la hanya bisa mengirimkan dua butir peluru senjata itu. Peluru-peluru itu bertanda “P 24”. Pada dua selongsong peluru yang ditemukan di tempat kejadian juga tertera tanda itu.

Keesokan harinya ternyata bahwa penyebarluasan salinan sidik jari yang ditemukan di tempat pembunuhan, besar sekali gunanya. Dari Württemberg, dari daerah sekitar Dessau, dari ruang wilayah antara Berlin dan Guben, dari Westfalen dan Bergisches Land masuk keterangan mengenai kejadian-kejadian, yang melihat cara kerja serupa serta sidik jari yang berhasil ditemukan menunjukkan kemungkinan bahwa pelakunya orang yang sama. Ternyata dalam waktu tiga bulan saja ia telah melakukan pencurian sebanyak sekitar 300 kali!

Juga dari Belanda datang surat penting. Kepolisian Groningen memberitahukan bahwa di situ juga terjadi serangkaian peristiwa pencurian yang dilakukan dengan cara serupa. Sidik jari yang ditemukan juga sama dengan yang terdapat di tempat pembunuhan terjadi. Sebagai bukti dikirimkan salinan sidik jari itu. Dengan segera diminta pada kepala bagian identifikasi Hannover, Lindner, untuk menelitinya. Ternyata para rekan mereka di Belanda tidak keliru.

Dari Bremen juga masuk kabar baik. Di sana diterima laporan dari manajer sebuah hotel. Manajer itu melaporkan seorang tamu hotel yang gerak-geriknya mencurigakan. Ia sering pergi malam-malam. Juga pada malam pembunuhan. Keterangan diri tamu itu: “... mantel panjang yang dipotong, celana hitam sampai lutut serta sepatu lars berwarna hitam.” Ini persis dengan identifikasi yang diperoleh di desa tempat pembunuhan terjadi. Jadi benang wol hitam yang ditemukan tersangkut di ambang jendela rumah petani yang menjadi korban, mungkin berasal dari kain celana itu. Dan ketika seorang wanita pelayan kamar di hotel itu membenarkan keterangan atasannya sambil menambahkan, “gigi taringnya sebelah atas ompong,” dan bahwa ia melihat tamu itu memiliki pistol serta uang recehan sejumlah besar, jejak pelacakan menjadi semakin hangat.

Pihak kepolisian dinas kriminal di Bremen tidak melepaskan jejak itu lagi. Mereka berhasil mengorek keterangan bahwa tamu tak dikenal itu pernah bercerita, ia bekerja pada sebuah perusahaan Belanda dan saat itu berkunjung ke Bremen karena hendak bertunangan dengan seorang penari. Di buku tamu hotel, ia mencatatkan diri dengan nama Willie Ziegler, tenaga tehnik. Asal Dessau.

Polisi Bremen juga mendapat keterangan bahwa orang yang mengaku bernama Ziegler itu pernah mengirimkan keranjang berisi sarapan pagi serta buket kembang pada seorang penari. Polisi lantas mencari penjual kembang bersangkutan sampai ketemu. Dari penjual itu diperoleh keterangan, hadiah-hadiah yang berasal dari orang yang dicurigai itu dikirim ke alamat seorang penari yang katanya tinggal di suatu hotel tertentu. Nama hotel itu juga dilaporkan.

Ketika para petugas datang ke hotel bersangkutan, ternyata penari yang dicari sudah pergi sehari sebelumnya. Tapi untungnya, kamar yang ditempatinya belum dibenahi. Di atas meja tergeletak buket kembang yang sudah layu. Pada buket terselip kartu nama.

“Max Peter N. Inspektur Pertamanan.” Ditambah alamat yang ditulis dengan tangan “Haarlem/Nederland.”

Keesokan harinya Komisaris Kiehne menerima radiogram dari Bremen, yang memberitahukan bahwa Komisaris Wisman dari perbatasan Belanda akan datang sehari setelah itu ke Bremen, untuk berunding dengan petugas-petugas Jerman yang menangani perkara pembunuhan petani. Ketika Kiehne tiba di Bremen, ternyata kecuali Wisman yang datang dari Nieuwe Schans, desa perbatasan di rute Leer-Groningen, ikut hadir pula jaksa yang menangani perkara itu serta para petugas dinas kriminal Bremen yang waktu itu datang ke tempat pembunuhan terjadi. Semua berkumpul di kamar kerja kepala dinas kriminal kota Bremen, Bollmann.

Komisaris Wisman, yang mengenal baik wilayah kota Bremen, membawa sejumlah besar dokumen termasuk salinan sidik jari serta contoh-contoh tulisan tangan. Tapi pihak Jerman benar-benar tidak menduga kata-kata yang diucapkannya sebagai pembuka.

“Kemarin polisi kriminal di Groningen berhasil menyergap orang yang dicari di tempat tidur dan menangkapnya,” kata Wisman.

Tepat pada saat itu Inspektur Otte dari dinas kriminal kota Bremen memasuki ruang rapat. la meletakkan sepucuk kartu pos dari Belanda di atas meja di depan atasannya, disertai komentar,

“Ini baru saja saya temukan di hotel.”

Bollmann merasa jengkel karena Otte dengan seenaknya saja mengganggu rapat.

“Ada apa dengan kartu itu?” tukasnya. 

“Anda tidak melihatnya? Dialamatkan pada Willi Ziegler!” 

“Lalu?” 

Inspektur Otte heran melihat atasannya tidak langsung mengerti.

“Bandingkan tulisan pada kartu pos dengan tulisan pada kartu nama ini,” katanya menjelaskan, sambil menyodorkan kartu nama Max Peter N. Inspektur Pertamanan, yang ada tambahan alamat ‘Haarlem/Nederland’ dengan tulisan tangan.

Atasannya membanding-bandingkan kedua tulisan tangan itu, disaksikan yang lain-lainnya. Dengan wajah berseri Bollmann akhirnya menyatakan, “Ya, besar sekali kemungkinannya kedua tulisan ini dibuat oleh orang yang sama. Rupanya orang yang mengaku bernama Ziegler mengirim kartu pos pada dirinya sendiri dari Belanda, untuk menutupi pelariannya ke sana.”

Saat itu Komisaris Wisman menyela. la menyodorkan contoh tulisan tangan orang yang ditangkap di Groningen, yang mengaku bernama Max Peter N. Setelah dibanding-bandingkan dengan cermat, ternyata tulisannya identik dengan tulisan Ziegler. Komisaris Wisman menyerahkan lembaran sidik jari tangan tersangka kepada komisaris Kiehne, agar dia ini bisa melancarkan pemeriksaan identifikasi untuk mengetahui apakah Max Peter N. merupakan nama yang sebenarnya atau tidak. Wisman juga menyarankan agar semua yang hadir saat itu juga ikut ke Groningen.

Pihak Jerman saling berpandang-pandangan. Semua mengingat adanya hambatan birokrasi yang tidak memungkinkan mereka dengan begitu saja pergi ke luar negeri untuk urusan dinas. Tapi Wisman langsung menyela.

“Biaya di Belanda, biar saya saja yang menanggung,” katanya. “Perjalanan ini ‘kan bisa diatur secara tidak resmi. Nanti di perbatasan saya akan memberitahukan dulu pada para petugas kami, sehingga Anda semua bisa memasuki wilayah kami tanpa formalitas sedikit pun.”

Dan benarlah, semua berlangsung dengan lancar, walau tidak resmi. Iring-iringan mobil mula-mula mampir di rumah Wisman yang terletak dekat perbatasan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mobil petugas polisi Belanda itu.

Komisaris Wisman membawa mereka ke gedung polisi bagian kriminal di Groningen. Di sana pihak yang menangani kasus itu memaparkan proses penangkapan. Mereka juga menunjukkan barang-barang yang ditemukan pada orang Jerman yang ditangkap. Semuanya terletak di atas meja. Komisaris Kiehne dengan segera mengenali dua pistol Parabellum, lalu mengambilnya. Yang satu berstempel “L.O. 144”. Rupanya itu senjata api dinas polisi desa Emsland yang hilang.

Di samping kedua pistol itu terletak empat magasin yang masih berisi peluru, sebagian di antaranya berstempel “P 24”.

Kemudian polisi Belanda yang menangani kasus itu menawarkan kesempatan pada Kiehne untuk berbicara dengan orang yang ditangkap. Dan kalau perlu, juga bisa langsung dibawa ke Jerman. Tapi mengingat orang itu disangka melakukan paling sedikit 20 pencurian di Belanda, maka ia harus diadili dulu di negara itu, sebelum menyusul penyerahannya secara resmi ke Jerman. Demikian instruksi kejaksaan Belanda.

Beberapa menit kemudian Komisaris Kiehne dengan ditemani rekannya yang bernama Elster sudah berhadap-hadapan dengan Max Peter N. alias Willi Ziegler. Begitu orang itu masuk, Kiehne langsung melihat bahwa gigi taringnya sebelah atas tidak ada lagi. Max Peter tersenyum ramah ketika masuk. Matanya terpicing.

“Saya tahu, Anda datang dari Jerman,” katanya pada Komisaris Kiehne. “Saya mengakui segala perbuatan pencurian, juga di desa di mana petani itu mati tertembak.”

Max Peter bahkan mau membuat sketsa tempat kejadiannya. la menjelaskan cara dia masuk ke rumah petani itu.

“Ini jendela tempat saya masuk,” katanya. “Dan ini pintu yang ada di samping jendela, yang saya buka supaya teman saya Albert bisa masuk. Saya menunggu di pintu sini, untuk mengamankan jalan ke luar. Sementara itu Albert masuk ke dalam untuk mencari tempat penyimpanan uang. Tapi kemudian saya mendengar suara seseorang berseru-seru menyuruh keluar disusul bunyi tembakan beberapa kali. Albert muncul sambil berlari-lari. Kami lari mengitari rumah, menuju tempat sepeda kami....”

Kedua petugas kepolisian sebelumnya sudah sepakat membiarkan Max Peter bercerita tanpa selingan pertanyaan. Soalnya, mereka tidak ingin orang itu bisa menarik kesimpulan apa saja yang belum diketahui polisi, dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sementara itu Max Peter melanjutkan pengakuannya.

“Sehabis pencurian terakhir di desa Niedersachsen itu kami lantas berpisah. Saya tidak tahu di mana Albert sekarang, walau setelah itu kami masih beberapa kali berjumpa. Kedua pistol beserta peluru dihadiahkannya pada saya sebagai tanda mata.” 

Max Peter N. tersenyum lagi dengan ramah.

Barang-barang bukti diserahkan oleh Komisaris Wisman pada rekannya dari Jerman. la juga mengantarkan mereka pulang lewat jalan sama. Dalam perjalanan kembali ke Bremen, Komisaris Kiehne berunding dengan Elster mengenai kelanjutan pemeriksaan.

Kiehne mengatakan, senjata dan peluru-pelurunya akan segera dikirimkan pada dr. Heess dari lembaga kimia daerah di Stuttgart, supaya diselidiki kesamaannya dengan proyektil dan selongsong yang ditemukan di tempat pembunuhan terjadi.

“Saya ingin tahu apakah Max Peter seorang diri pada saat pembunuhan itu atau memang benar-benar ada kawannya bernama Albert,” kata Elster. “Masa dia tidak tahu siapa nama keluarga kawannya itu.”

“Anda tadi juga sempat memperhatikan bahwa dia nyaris terlanjur bicara, ketika saya bertanya dari mana dia kenal Albert?” kata Kiehne. “Ia mengatakan berkenalan dengan kawannya itu di sebuah perusahaan tanam-tanaman di L., di mana ia pernah bekerja. Mereka tinggal bersama-sama di sebuah losmen.”

“Kalau itu betul, pasti Max juga tahu namanya yang lengkap,” sela Elster. 

“Kita harus segera minta informasi ke L,” kata Komisaris Kiehne. “Saya rasa mereka sungguh-sungguh pernah tinggal di sana, tapi sudah saling mengenal sebelum itu. Siapa tahu, kita bernasib mujur.”

Mereka ternyata memang mujur. Di sebuah losmen di L., berhasil diperoleh nama Albert selengkapnya. Dalam buku tamu di situ tertera nama Albert W. dari suatu desa di daerah Lausitz.

Pencarian dirinya lantas diberitahukan dalam lembaran dinas kepolisian kriminal Jerman. Sebagai jawaban masuk sejumlah kabar dari pihak kejaksaan berbagai tempat, yang mencari Albert W. dengan tuduhan melakukan sejumlah tindakan kejahatan. Di antaranya pencurian dengan jalan paksa di sebuah toko alat-alat senjata di J., di mana antara lain berhasil dicuri sebuah pistol Parabellum kaliber 9 mm. Nomor serialnya cocok dengan nomor senjata genggam yang ditemukan pada diri Max Peter di Belanda.

Jadi mungkin memang Albert terlibat dalam perkara pembunuhan itu, demikian dugaan Komisaris Kiehne.

Orang bersangkutan tidak lama kemudian tertangkap di tempat asalnya. Komisaris Kiehne lantas berangkat ke Lausitz. Albert W. ternyata penjahat yang bermental keras. la hanya mau mengakui perbuatan yang bisa dibuktikan seratus persen merupakan perbuatannya. Tapi karena polisi di Lausitz banyak memiliki bukti-bukti, dalam waktu dua hari Albert W. memberikan pengakuan pertama. Setelah itu menyusul pengakuan-pengakuan selanjutnya. la juga mengakui melakukan serentetan pencurian bersama Max Peter N. di tempat-tempat sekitar L., di mana ia tinggal bersama kawannya itu. Tapi ia membantah keikutsertaannya dalam perkara pencurian yang berakhir dengan pembunuhan di desa Niedersachsen, yang sedang diselidiki Komisaris Kiehne.

Namun Kiehne tidak lekas putus asa. Ia mendesak terus, sambil berulang kali mengemukakan keterangan Max Peter, serta pencurian pistol yang sudah diakuinya dan sangat memberatkan dirinya. Akhirnya karena bingung, Albert W. mengakui sejumlah pencurian lagi di beberapa vila di sekitar Berlin, yang dilakukannya bersama seorang kawan lain. Dan salah satu pencurian di antaranya dilakukan pada malam pembunuhan.

Albert W. berhasil membuktikan keterlibatannya dalam pencurian pada malam itu, dengan menunjukkan berbagai jejak di tempat kejadian serta tempat barang hasil curian disembunyikan. Dengan begitu ia terlepas dari kecurigaan ikut terlibat dalam pembunuhan petani. Soalnya, tempat kejadian di Niedersachsen itu terlalu jauh dari Berlin.

Jadi Max Peter N. ternyata berbohong. Ia sudah tidak bersama-sama Albert W. lagi, sejak delapan hari sebelum peristiwa pembunuhan. 

Sekembalinya Komisaris Kiehne dari Lausitz, di meja kerjanya sudah ada laporan para ahli yang menyelidiki barang-barang bukti. Di antara laporan yang datang berdasarkan hasil penelitian Profesor Mueller dari institut kedokteran hukum di Goettingen ternyata korban ditembak dari jarak 120 sampai 170 sentimeter. Sedang keterangan lain-lainnya, sesuai dengan hasil pemeriksaan petugas autopsi. Laporan yang datang dari dr. Heess ternyata membenarkan dugaan Komisaris Kiehne: semua proyektil dan selongsong peluru yang dijumpai di tempat kejadian berasal dari satu pistol, yaitu pistol dinas polisi desa yang dicuri di Emsland. Pistol Parabellum 9 mm dengan stempel “L.O. 144”.

Keterangan Max Peter N. yang menyatakan bahwa Albert yang menewaskan petani dengan tembakan-tembakannya, ternyata tidak benar berdasarkan penyelidikan Komisaris Kiehne di Lausitz. Dengan mempertimbangkan kesaksian ahli-ahli, bisa dianggap pasti bahwa Max Peter N. sendiri yang melakukan tembakan yang mencabut nyawa petani malang itu. 

Sementara di Belanda berlangsung perkara pengadilan terhadap orang itu, yang didakwa melakukan serentetan pencurian di sana. Komisaris Kiehne sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu saat ekstradisi orang itu, karena ingin bisa menyelesaikan penyelidikan perkara pembunuhan yang ditangani olehnya. Akhirnya pada akhir tahun, saat yang ditunggu-tunggu datang juga. Max Peter N. diserahkan oleh pihak Belanda pada pengemban hukum di Jerman.

Tapi mereka mengajukan persyaratan. Sebelum Max Peter menjalani hukuman yang akan dijatuhkan terhadap dirinya di Jerman, terlebih dulu ia harus dikembalikan pada pihak berwenang di Belanda. Ia dijatuhi hukuman penjara empat tahun di negara itu. Ekstradisi sementara itu merupakan tindakan kompromi yang sangat luwes dari pihak kehakiman Belanda, karena sebenarnya mereka bisa saja menahan Max Peter sampai ia selesai menjalani hukumannya di sana.

Max Peter N., beberapa hari setelah penyerahannya pada pihak Jerman kemudian diangkut ke Hannover, di mana dilanjutkan pemeriksaan terhadap dirinya oleh Komisaris Kiehne, yang dibantu oleh dua orang asisten, masing-masing Lorenz dan Thiele.

Ketika bertatapan muka kembali dengan Kiehne, Max Peter tersenyum ramah. Persis seperti dalam perjumpaan pertama di Groningen delapan bulan sebelum itu. Gigi taringnya sebelah atas juga masih tetap ompong. Ia memakai celana hitam yang panjangnya sampai lutut, serta sepatu lars yang juga berwarna hitam. Komisaris Kiehne bertanya-tanya dalam hati, itukah pakaian yang dikenakan Max Peter pada malam pembunuhan? Kenapa justru itu yang dipakainya? Mungkinkah Max Peter kini bertukar siasat? Komisaris Kiehne bersikap waspada.

Tapi ia masih sempat dibikin kagum, betapa baik ingatan orang yang duduk di hadapannya itu. Berbagai perincian kejadian diingatnya dengan baik, padahal tidak sedikit pencurian yang sudah diakuinya.

Pemeriksaan sudah berlangsung selama 14 hari. Sekitar 300 kasus pencurian berhasil dijelaskan. Selama itu Komisaris Kiehne dengan sengaja tidak menyinggung-nyinggung soal pembunuhan. Secara sistematis diurutnya rute aksi pencurian yang dilakukan oleh Max Peter. Ia ingin terlebih dulu mengenali watak orang itu dengan secermat-cermatnya. Ia juga berharap tersangka akan menaruh kepercayaan padanya.

Hari ke-15 dalam proses pemeriksaan, barulah dibicarakan perkara pencurian di rumah petani, yang berakhir dengan peristiwa penembakan yang mengakibatkan kematian petani itu. Ternyata segala-galanya berjalan lebih lancar daripada perkiraan Komisaris Kiehne sebelumnya. Max Peter N. melukiskan urut-urutan kejadian, persis seperti hasil rekonstruksi polisi berdasarkan jejak-jejak yang dijumpai. Menurut keterangan Max Peter, rupanya petani itu terbangun ketika ia sedang berada dalam kamar duduk dan mengambil uang di meja tulis, yang menimbulkan bunyi menggerincing.

“Sekali itu saya tidak berhasil lari tanpa ketahuan,” kata Max Peter dalam keterangannya. “Dalam gang saya kepergok dengan petani, tepat pada saat dia menyalakan lampu. Saya masih sempat berseru agar dia jangan maju — kalau tidak akan saya tembak. Saat itu pistol ada dalam kantong jas sebelah kanan, dalam keadaan terisi. Pistol saya ambil, lalu saya acungkan ke sosok tubuh yang datang mendekat. Picu saya tarik — tapi ternyata palang pengaman masih terpasang. Dengan tangan kiri saya geserkan palang itu. Pistol saya acungkan kembali, disusul tembakan beberapa kali ke arah orang itu.”

Ia menembak berulang kali, sampai tubuh petani tidak berkutik lagi di lantai. 

“Setelah itu saya lari ke luar,” sambung Max Peter. “Saya terpaksa mengitari rumah, menuju ke sepeda saya. Saat itu saya melihat dua orang berdiri dekat pintu rumah....” Tapi ia tidak mengaku melakukan tembakan lagi saat itu. Karena juga tidak ditemukan jejak-jejak yang membantah keterangannya itu, maka harus dianggap bahwa istri petani serta anak laki-lakinya salah dengar. Hal itu tidak mengherankan. Mungkin bunyi keempat letusan pertama masih terngiang di telinga mereka.

Bulan Juni 1938, 14 bulan setelah peristiwa terjadi, Max Peter N. diajukan ke pengadilan, dengan tuduhan membunuh petani dan melakukan serentetan pencurian sebanyak 60 kali. Pihak kejaksaan membatasi jumlah tuntutan pada kasus yang berat-berat saja.

Dalam kesempatan rekonstruksi di tempat kejadian, Max Peter N. mendapat kesempatan melihat lagi gang dalam rumah petani di mana terjadi tembakan-tembakan yang membawa bencana itu. Tapi pada dirinya sama sekali tidak terlihat bekas-bekas proyektil yang membawa maut. Tapi di pihak lain ia sangat membantu pihak pengadilan dalam pengumpulan bukti-bukti. Akhirnya keputusan dijatuhkan terhadap dirinya: hukuman mati untuk pembunuhan, serta hukuman penjara 15 tahun serta kurungan preventif untuk perbuatan pencurian dengan paksa. Dalam keputusan hukuman terutama dikemukakan wataknya yang berbahaya serta itikadnya yang keras untuk melakukan kejahatan.

Seperti sudah disepakati sebelumnya, begitu hukuman dijatuhkan Max Peter N. dikembalikan pada pihak hukum Belanda, di mana ia harus menjalani hukuman penjara selama empat tahun seperti keputusan pengadilan daerah Groningen terhadap dirinya.

Awal tahun 1941 Komisaris Kiehne datang lagi ke Groningen. Sekali ini secara resmi, untuk keperluan mengambil barang-barang bukti dalam suatu perkara penipuan besar-besaran. Di sana ia berjumpa lagi dengan rekan-rekan Belanda yang sangat banyak membantu dalam perkara Max Peter N. Dan ia pun mendapat kesempatan bertemu muka dengan orang itu, yang ditunggu penyerahannya di Jerman untuk menjalani hukuman yang sudah dijatuhkan di sana. Kedua orang itu berjabatan tangan dengan sikap terbuka. Max Peter N. masih tetap tersenyum ramah seperti dulu.

Pendeta Coolsma yang mengasuh kesejahteraan rohani para narapidana di rumah penjara Groningen memanfaatkan situasi itu untuk mengajukan suatu permintaan pada Komisaris Kiehne.

“Saya ingin minta bantuan Anda,” katanya. “Sebentar lagi Max Peter harus kembali ke Jerman, di mana sudah menunggu hukuman mati terhadap dirinya.”

“Lalu apa yang bisa saya lakukan?” tanya Kiehne. 

“Dia sudah menyatakan bersedia untuk dibuang dan bekerja keras seumur hidup di salah satu daerah jajahan kami,” kata pendeta itu. Yang dimaksudkannya mungkin Indonesia atau Suriname. “Pihak kami bersedia meluluskan permintaannya itu. Dengan begitu ia masih akan ada gunanya dan nyawa seseorang bisa diselamatkan.”

Max Peter N. mengangguk. Dipandangnya Kiehne dengan penuh pengharapan.

Hati nurani pejabat kepolisian Jerman itu tersentuh. Pada dasarnya ia juga bukan orang yang cenderung mendukung hukuman mati. Ia berpikir-pikir, apa yang bisa dilakukan olehnya. Akhirnya ia berjanji akan berusaha sebisanya.

Kiehne sungguh-sungguh berniat untuk membantu. Mungkin terdorong rasa bersalah, karena perjumpaannya kali itu dengan para rekan di Belanda sudah dengan kedudukan lain. Pasalnya, saat itu Belanda sudah diduduki Jerman di bawah kekuasaan Hitler. Di Groningen bahkan sudah ada kantor dinas Sicherheitspolizci, yaitu dinas sekuriti kepolisian Jerman serta dinas rahasia Nazi, SD.

Kiehne bertindak dengan hati-hati karena kedua jawatan itu tidak boleh sampai tahu bahwa ia berkunjung ke rumah penjara Groningen. Kalau salah tindakan sedikit saja, jangan-jangan kedua lembaga yang ditakuti itu malah lantas tahu bahwa dalam rumah penjara itu ada seorang pembunuh yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Jerman.

Tapi kemudian ternyata bahwa segala usaha Kiehne sia-sia belaka. Sekembalinya di tempat dinasnya yang sudah pindah ke Berlin, ia mendengar kabar bahwa Max Peter N. sudah diangkut ke Köln, beberapa hari setelah kunjungannya di Groningen. Dan pada hari kedatangannya itu di Köln, hukuman terhadapnya dilaksanakan di Halshof, tempat pelaksanaan hukuman mati yang suram dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dalam rumah penjara Klingelputz, tepat empat tahun setelah ia sendiri mencabut nyawa seorang petani yang tidak bersalah.

(Karl Kiehne)

Baca Juga: Pengakuan di Selembar Kertas

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726473/pembunuhan-waktu-dini-hari" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680809289000) } } [4]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3725983" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/perampok-dikira-pemain-filmjpg-20230406072101.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Di London tahun 70-an, perampokan bank merajalela. Polisi sempat kewalahan untuk menangkap sekelompok perampok yang seakan tidak tersentuh itu." ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/perampok-dikira-pemain-filmjpg-20230406072101.jpg" ["title"]=> string(27) "Perampok Dikira Pemain Film" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:21:13" ["content"]=> string(33836) "

Intisari Plus - Di London tahun 70-an, perampokan bank merajalela. Polisi sempat kewalahan untuk menangkap sekelompok perampok yang seakan tidak tersentuh itu.

----------

Suatu sore di bulan Maret 1969. Enam orang pria minum-minum di ruang dalam Cabin Club di Paddington, London. Seorang di antaranya ialah pemilik klub itu. Pria berumur 33 tahun itu bernama Derek Crichton Smalls, tetapi teman-temannya menyebutnya Bertie.

Lima orang lagi ialah Johnny Richards atau Vodka Johnny, Tony Edlin, Micky Green, Jimmy Jeffrey dan Lenny Jones. Mereka menunggu orang ketujuh. la datang mengenakan sweater polo dan jeans tambalan. Orangnya kurus, kepalanya hampir botak dan matanya berkedip-kedip senewen. Namanya Clem Eden, berumur 49 tahun.

Smalls memperkenalkannya kepada yang lain. Clem Eden petugas kebersihan dari Acme Cleaning Company yang dikontrak untuk membersihkan bank di no 63-66 Hatton Garden, E.C.1. setiap pagi. Pukul 06.30 ia sudah muncul di tempat tugasnya. Centeng tempat itu yang tinggal di tingkat atas akan turun mematikan alarm dan menyuruhnya masuk. Lalu Clem Eden dibiarkan sendirian membersihkan bank itu selama dua jam, yaitu sebelum pegawai-pegawai datang.

Walaupun sendirian, ia tidak bisa mencomot uang dan barang-barang berharga, sebab semuanya ditaruh di lemari-lemari besi yang terletak di ruang besi di basemen. Semuanya dilindungi sistem alarm yang sangat baik. Sedangkan lantai pertama merupakan ruang-ruang tempat administrasi.

Tadi pagi, pukul 06.30 Smalls pergi melihat-lihat ke bank milik Raw Bros Ltd itu. Ia mengenakan setelan bagus seperti yang dipakai orang-orang bisnis dari City of London. Clem membukakan pintu baginya lalu menunjukkan peti besi di belakang loket, ruang-ruang kerja yang masih kosong, basemen, alarm dsb. Sepuluh menit kemudian, Smalls sudah keluar lagi dari bank itu.

Clem berjanji akan memasukkan teman-teman Smalls supaya mereka bisa merampok bank.

 

Tukang pos terlambat datang

Clem juga memberi keterangan bahwa selain uang kontan, di bank itu disimpan pula perhiasan dan batu-batu berharga. “Wah, mendingan duit,” kata Micky Green. “Perhiasan cuma laku dijual seperempat dari nilainya.”

Dari Clem juga diketahui bahwa karyawan bank ada 14 orang. Mereka datang pukul 09.00, sedangkan tukang pos datang pukul 08.30.

“Kami datang besok,” kata Jeffrey. Rencananya Clem akan membiarkan pintu depan tidak terkunci.

“Masuk saja tenang-tenang,” pesan Clem. “Kalau ada orang melihat di jalan, mereka tidak akan tahu kemana tujuan kalian.” Di gedung bertingkat tujuh memang ada kantor-kantor lain.

“Kita perlu senjata,” kata Tony Edlin. “Saya akan mengajak Ronnie Dark. Ia memiliki beberapa buah. Micky, kau bisa mengatur kendaraan?” 

“Beres!”

Tanggal 26 Maret 1969 udara cerah tetapi dingin sekali. Kadang-kadang salju yang terbawa angin berjatuhan. Jalan masih sepi ketika sebuah Ford Cortina dan sebuah Corsair diparkir di tempat parkir strategis yang tidak jauh dari bank. Tidak ada orang yang menaruh perhatian pada kedua mobil itu maupun pada penumpang-penumpangnya. Kemudian datang mobil ketiga. Jumlah penumpang ketiga mobil itu enam orang. Dua orang menunggu di mobil. Empat orang lagi: Bertie Smalls, Tony Edlin, Jimmy Jeffrey dan Ronnie Dark masuk ke gedung tempat Clem Eden bekerja. Mereka tidak datang berempat sekaligus, tetapi seorang-seorang.

Mereka berkumpul di WC wanita. Clem Eden terus membersihkan lantai. Mereka menunggu kedatangan tukang pos. Tetapi ia tidak datang-datang. Padahal rencananya Clem akan pura-pura disergap setelah tukang pos pergi lagi, yaitu pada saat ia akan menutup pintu. Tiga pegawai bank malah datang lebih awal dari biasa. Untung ketiga-tiganya pria, jadi mereka tidak masuk ke WC wanita.

Perampok-perampok jadi tegang menghadapi keadaan yang di luar perhitungan. Jeffrey ingin cepat-cepat pergi saja, tetapi Tony Edlin yang selalu tenang dan Bertie Smalls ingin tetap menjalankan rencana semula.

Pukul 08.45 tukang pos baru datang. Clem Eden harus membukakan pintu, menerima surat- surat yang diantarkan dan menandatangani tanda terima. Ketika melewati WC wanita, ia mengetuk pintu.

Beberapa saat setelah tukang pos pergi, dua pria berkedok dan bersenjata mengiringinya ke WC.

Di sini sudah menunggu dua orang lain yang mengikatnya dan menyumbat mulutnya. Kurir bank dan dua karyawan lain disergap ketika sedang duduk menghadapi meja mereka. Tidak ada yang memberi perlawanan berarti karena Jeffrey dan Dark bersenjata. Mereka diikat dan disumbat. Setiap datang karyawan lain, ia ditodong di pintu. Kalau berteriak kepalanya dipukul. Mereka diserahkan kepada Edlin yang menodong mereka sementara perampok lain mengikat mereka dan menyumbat mulut mereka. Semua dikumpulkan di sebuah sudut.

Seorang karyawan wanita bereaksi cepat di pintu. Ia mencoba berbalik dan berlari keluar, tetapi Jeffrey menyeretnya dan menyumpal mulutnya.

 

Ada kunci A, ada kunci B 

Kini para perampok menunggu kedatangan kepala bagian administrasi. Clem Eden sudah menjelaskan rupa orang ini. Ketika ia datang, ia diseret ke tengah ruangan kantor dan dimintai kunci. Dua perampok yang menunggu di luar kini sudah menyusul masuk.

Sambil menyerahkan kunci, kepala administrasi itu berkata: “Kunci ini tak berguna tanpa Mr. Crafter.”

“Siapa itu si Crafter?” 

“Salah seorang karyawan administrasi. Saya cuma memegang kunci-kunci A. Demi keamanan, satu orang saja tidak bisa membuka lemari besi. Crafter memegang kunci-kunci B.” 

“Ayo tunjukkan, yang mana si Crafter?”

“Ia belum datang”. 

Perampok-perampok ini menunggu sambil diam-diam menyumpahi Clem Eden karena tidak mengetahui kunci A dan kunci B.

Crafter datang terlambat karena kereta api yang ditumpanginya terhalang salju. Sebelum ia datang, muncul seorang karyawan lagi dan dua nasabah. Mereka juga diamankan. Ketika Crafter tiba, sudah ada 18 pria dan seorang wanita terikat tangan dan kakinya di lantai. Mulut mereka tersumbat. Dua orang bersenjata menodong mereka. Dua perampok lagi menunggu di belakang pintu, bersiap-siap menyergap orang yang masuk.

Smalls dan Edlin menodong kepala administrasi dan Crafter ke tempat alarm di kaki tangga. Alarm dimatikan agar tidak berbunyi. Lalu mereka diharuskan membuka lemari-lemari besi. Smalls, Jeffrey dan Edlin menyapu isinya. Semuanya dimasukkan ke dalam dua tas kanvas. Sementara itu kawan-kawan mereka merobohkan tiga nasabah yang baru masuk.

Ternyata isi lemari-lemari besi itu lebih banyak daripada yang mereka perkirakan. Tas mereka sudah gembung. Jadi mereka mengambil dua tas ekstra milik karyawan. Sedangkan kaleng-kaleng tempat uang mereka kepit di ketiak.

Mereka mendorong kedua tawanan mereka ke dalam ruang besi lalu berlari ke teman-temannya yang menunggu dengan tegang.

“Ayo kita pergi!” ajak Smalls. “Bersikap biasa saja agar dikira nasabah.”

Di belakang pintu, dengan punggung ke arah tawanan, mereka mencopot kedok mereka keluar seorang demi seorang setenang mungkin. Di jalan lalu lintas sudah ramai. Bis-bis menyesaki jalan dan mobil-mobil berderet menunggu lampu hijau.

 

Kasir tidak berteriak

Kasir kepala, Cyril Preston, berhasil melepaskan ikatannya ketika perampok-perampok sedang menguras isi lemari besi. Begitu semua perampok keluar, ia berdiri dan bergegas ke pintu. Salahnya ia tidak berteriak, melainkan cuma mengamat-amati mobil yang dipakai kabur oleh perampok-perampok itu. Ia mengingat-ingat nomor dan warna mobil itu. Setelah itu cepat dinyalakannya alarm.

Di St. Cross Street seorang wanita petugas parkir sedang mengisi surat denda untuk sebuah mobil Cortina yang masih tetap berada di situ walaupun sudah melewati waktu parkirnya. Ketika itu pukul 09.23. Empat pria yang membawa dua tas gembung dan sebuah kotak timah datang terburu-buru. Hampir saja ia terlanggar. Mereka masuk ke mobil itu.

“Hei, tunggu dulu! Saya belum selesai menulis,” katanya ketika mobil itu akan pergi.

“Kirimkan saja suratnya kepada kami,” kata pengemudi. 

Setelah mendengar berita perampokan bank, wanita itu melapor tetapi sayang ia tidak bisa menggambarkan dengan jelas bagaimana rupa perampok-perampok ini. 

Di rumah Vodka Johnny di Finchley, perampok-perampok memeriksa hasil yang mereka peroleh. Di dalam kotak-kotak kaleng dijumpai uang kontan 16.000 ponsterling. Selain itu mereka mendapat intan, zamrud, mirah, safir, yang menurut Rally Bros bernilai 400.000 ponsterling. Kebanyakan berupa batu yang belum dipotong. Tidak ada dari permata itu yang ditemukan kembali.

Kendaraan yang dilihat oleh kasir kepala ditemukan dalam keadaan kosong di London utara 10 hari kemudian. Kendaraan yang nomornya dicatat petugas parkir ditemukan di tempat lain tetapi di London utara juga pada hari perampokan. Keduanya mobil curian.

Clem Eden, petugas pembersih bank diperiksa dan diperiksa lagi. Apalagi karena diketahui ia pernah berurusan dengan polisi. Tetapi ia bersikeras bahwa ia disergap di pintu dan diikat seperti yang lain. Tidak ada orang yang membantah hal ini. Jadi ia dilepaskan. Clem Eden mendapat upah 10 ribu pounsterling dari para perampok, tetapi ini baru diketahui polisi setelah ia menghilang entah ke mana.

 

Ketagihan merampok

Tepat seperti yang diramalkan oleh Micky Green, batu-batu permata yang mereka peroleh cuma menghasilkan uang 100 ribu ponsterling. Perampok-perampok ini lantas berlibur ke luar negeri, membeli mobil bagus, berjudi, minum minuman keras dan bergaul dengan wanita-wanita bayaran. Uang yang diperoleh dengan mudah, mudah pula mengalir keluar. Beberapa bulan kemudian, uang mereka menipis. Kini mereka ketagihan merampok bank. Jadi mereka beraksi lagi. Bukan cuma sekali, tetapi berkali-kali. Komplotan mereka tidak selalu sama anggotanya, tetapi bisa berganti-ganti. Sekali dua kali mereka gagal, tetapi umumnya berhasil.

Awal 1970 Criminal Investigation Department (CID) dan Scotland Yard menaruh perhatian pada Derek Crichton (Bertie) Smalls, yang sudah berkali-kali berurusan dengan polisi tetapi untuk perkara-perkara kelas teri. la tinggal dengan Diana Whates di Selsdon, Surrey. Walaupun tidak menikah resmi mereka mempunyai tiga orang anak. Mereka hidup agak lebih mewah daripada yang wajar bisa mereka peroleh. Tetapi Smalls selalu mempunyai alasan yang masuk di akal. Bukankah ia mempunyai klub di Paddington dan ia juga mengaku mempunyai usaha-usaha lain.

Bulan Agustus 1970 Ny. Smalls membawa anak-anaknya berlibur ke Bournemouth. Ia mengaku bernama Ny. Johns. Ia disertai dua orang pria, Danny Allpress yang memakai nama samaran Teale dan Donald Barrett. Allpress ini seorang penjual mobil berumur 20-an. Rumah dan mobilnya jauh lebih bagus daripada milik pemuda-pemuda sebaya.

Beberapa hari kemudian Bertie Smalls menyusul. Mereka piknik ke mana-mana, tetapi juga menemui seorang perampok aktif yang dikenal polisi, Robert King.

Tanggal 2 Februari 1971 pria bertopeng merampok Lloyds Bank di Pool Hill. Salah satu senjata penjahat meletus terlalu dini sehingga mereka cuma keburu menyambar 2.226 ponsterling. Mereka bisa kabur. Tetapi mobil yang mereka tinggalkan menuntun polisi ke alamat Ny. Smalls. Ia ditahan dengan tuduhan berkomplot melakukan perampokan. Daniel Teale (Allpress) tidak bisa ditemukan, sedangkan Smalls dijumpai sedang tenang-tenang berada di rumahnya di Selsdon. Ia menyangkal pergi ke Bournemouth dan polisi tidak bisa membuktikannya. Dua perampok lain: Barrett dan King, berhasil diseret ke pengadilan. Barrett dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. King dan Ny. Smalls lolos dari hukuman. Mereka dinyatakan tidak bersalah.

Sementara itu perampokan bank terus terjadi dengan selang waktu yang singkat. Polisi seakan-akan mengejar bayangan yang tidak bisa disentuh. Padahal banyak di antara polisi ini yang jujur dan bekerja keras.

Tahun 1972 Scotland Yard menyimpulkan bahwa komplotan perampok bank ini mempunyai dua atau empat pemimpin. Mereka tidak membentuk grup tetap, biasanya beroperasi dengan bantuan orang dalam. Sebelum melakukan perampokan, mereka mengadakan pengamatan dulu selama berminggu-minggu.

Diketahui juga bahwa beberapa hari sebelum perampokan mereka akan mencuri dulu beberapa mobil: pick-up tertutup untuk melakukan perampokan dan sedan untuk melarikan diri. Hasil rampokan ditaruh dulu di satu tempat milik teman lain bersama senjata-senjata dan baru dibagi kalau keadaan sudah aman.

Scotland Yard mengawasi langganan-langganan polisi yang tiba-tiba jadi kaya atau mudah mengeluarkan uang banyak. Tetapi awal tahun 70-an itu kredit mudah didapat, uang “murah”, sehingga banyak orang bisa hidup lebih mewah daripada penghasilannya berkat pinjaman dari bank.

Selain itu diketahui pula perampok tidak mau memilih teman kelas teri yang mudah disuap polisi. Mereka mencari teman yang bisa diandalkan dan yang terlibat penuh. Orang yang tidak memenuhi standar tidak akan dipakai lagi dan ia diperingatkan agar jangan buka mulut. Kalau buka mulut tahu sendiri akibatnya.

 

Perampok dikira pemain film

Tanggal 22 Mei 1972, sesaat sebelum perampokan Westminster Bank di Palmers Green, Ny. Irene Harrington kembali ke kantornya setelah makan siang. Di Lightcliffe Road, ia melihat sebuah Ford diparkir. Empat penumpangnya berkacamata hitam dan berpakaian santai. Karena merasa aneh melihat empat penumpang berkacamata itu, ia mengira mereka sedang main film. Waktu ia melewati mobil itu seorang pria menyeberangi jalan dan membungkuk ke jendela mobil untuk berbicara dengan pengemudi.

Baru saja Ny. Harrington masuk ke kantornya, ia mendengar alarm berbunyi sehingga ia berlari lagi keluar. Di muka bank dilihatnya sebuah mobil kosong. Mobil itu Ford yang tadi dilihatnya di Lightcliffe Road. la melapor kepada polisi bahwa ia ingat wajah orang yang datang ke mobil untuk berbicara dengan pengemudi. Polisi mengundang Ny. Harrington ke Scotland Yard untuk melihat beberapa foto. Ia langsung menunjuk pada foto Derek Crichton Smalls.

Tiga hari sebelumnya seorang detektif pelabuhan udara melewati bank di Palmers Green. la melihat sebuah Jaguar merah berhenti. Dua penumpangnya masuk ke bank, keluar lagi lalu pergi dengan mobilnya. la curiga dan melaporkan peristiwa ini ke polisi. Dari nomor mobil diketahui bahwa Jaguar ini milik Smalls.

Tanggal 26 Mei 1972 Detektif Inspektur Fitzgerald datang ke rumah Smalls. Kata Ny. Smalls suaminya tidak ada di rumah. Rumah itu digeladah. Tidak ditemukan bukti yang bisa menunjukkan bahwa Smalls terlibat perampokan di Palmers Green.

Tiga hari kemudian Smalls menelepon polisi untuk bertanya mengapa polisi ingin bertemu dengannya. Polisi menjawab mereka ingin meminta bantuan Smalls dalam penyelidikan mengenai perampokan di Palmers Green. Smalls berjanji akan datang keesokan harinya dengan pengacaranya. Tetapi ia tidak muncul. Ia juga tidak pulang ke rumahnya. Istrinya menjawab ia tidak tahu suaminya pergi ke mana. Mungkin meninggalkan dia untuk selama-lamanya, katanya. Polisi menganggap ini tidak mungkin karena suami-istri ini dianggap saling menyayangi walaupun tidak menikah secara hukum. Lagi pula Smalls termasuk orang yang senang berada dekat keluarganya.

 

Polisi ganti taktik

Tanggal 10 Agustus 1972 Barclays Bank dirampok. 123.000 ponsterling uang kontan amblas. 

Scotland Yard mengadakan rapat. Semua chief superintendent (inspektur kepala) dan pimpinan-pimpinan dipanggil. Dalam dua tahun terakhir ini terjadi 58 kali perampokan besar yang menyebabkan kehilangan uang lebih dari 3 juta ponsterling, tetapi polisi cuma berhasil menahan setengah lusin pelaku penting.

Memang betul mereka sering menemukan orang yang dicurigai, tetapi orang-orang ini harus dilepaskan kembali karena tidak cukup bukti. Pokoknya Scotland Yard menghadapi kegagalan. Kini perampokan Barclays Bank di Wembley harus menjadi perampokan yang terakhir! Mereka mengganti sistem yang mereka pakai. Kini mereka membuat daftar nama bekas langganan polisi yang saat ini ada di luar penjara dan berpotensi melakukan kejahatan jenis ini.

Di antara nama-nama yang dianggap mempunyai potensi itu terdapat: 

Terkaan Scotland Yard benar. Brian Turner dan Bruce Brown termasuk perampok-perampok yang ikut menguras Barclays Bank di Wembley. Yang lain ialah: Bertie Smalls, Danny Allpress, Lenny Jones, Jimmy Wilkinson dan Brian Reynolds. Mereka dibantu karyawan bank itu, bernama Tony Holt.

Hasil rampokan mereka taruh dulu di rumah seorang wanita Jamaika bernama Maria Mercedes Dadd, yaitu pacar seorang teman mereka, Philip Morris, yang juga perampok.

Polisi memilih Brain Turner, Bruce Brown dan Bertie Smalls sebagai orang-orang yang mereka amat-amati. Mereka datang ke rumah Smalls di Selsdon ternyata Smalls belum kembali. Tetangga-tetangga sudah berbulan-bulan tidak melihatnya.

Turner didatangi di Heston. Kata orang-orang di sekitar tempat tinggalnya, ia sedang berlibur sendirian di Spanyol. Anak istrinya tidak diajak.

 

Gara-gara dua kunci yang tidak cocok 

Rumah Bruce Brown di Radlett didatangi juga. Tanggal 20 Agustus ia diketahui main golf. Brown ketua perkumpulan golf setempat. Suratnya kepada sekretaris perkumpulan diposkan di Heston tanggal 23 Agustus. Mobilnya juga ada di garasi. Tetapi rumahnya sepi. Kata tetangganya Ny. Brown dan anak-anaknya pergi berlibur ke Wales. Menurut Ny. Brown sebelum berangkat, suaminya akan menyusul beberapa hari lagi.

Polisi mengamat-amati rumah Brown yang terawat dan bagus. Detektif Inspektur Wilding merasa curiga. Tanggal 30 Agustus polisi mengepung tempat itu. Dengan membawa surat perintah penggeledahan, Wilding mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia meminta seorang tetangga menjadi saksi, lalu ia menjebol jendela belakang. Di dalam tidak ada orang. Tetapi ia belum puas. Polisi memeriksa juga loteng rumah. Bruce Brown ditemukan di belakang tangki air, memakai piama dan tampak gugup.

Ia menyangkal semua tuduhan. Rumah itu digeladah. Tidak ditemukan hal yang mencurigakan, kecuali di rencengan kuncinya terdapat dua kunci yang tidak cocok dengan lubang kunci manapun di rumah itu. Brown mengaku sudah lupa kunci apa ini. Memang banyak orang yang tidak segera membuang kunci-kunci yang sudah tidak berguna lagi. Tetapi Wilding masih penasaran. la ingat Brown ini ketua perkumpulan golf setempat. Jadi ia pergi ke gedung perkumpulan. Sebuah kunci cocok dengan kotak tempat Brown menyimpan alat-alat golfnya. Di dasar tas golfnya ditemukan sebuah kunci lain yang memakai label: “safe deposit”.

Di London Safe Deposit Company, Wilding membuka kotak deposit Brown. Di dalamnya ada uang kontan 14.940 ponsterling. Di antaranya ada yang diberi tanda oleh kasir-kasir Barclays Bank.

Scotland Yard jadi terbangkit semangatnya. Tetapi ini baru langkah permulaan. Tidak diketahui apakah Brown ini organisator perampokan ataukah salah seorang kakapnya atau mungkin cuma teri saja. Sesuai dengan saran pengacaranya, Brown tutup mulut.

 

Mercedes mengaku ikut merampok 

Polisi menyusun “Wembley Bank Squad”, pasukan yang terdiri dari 30 orang. Mereka mempelajari kembali setiap perampokan yang terjadi pada tahun terakhir. Mereka memperhatikan kesamaan gaya, lokasi, acara perampokan dan sebagainya. Setiap penjahat yang dicurigai kini diawasi. Mereka juga mendapat peralatan modern: helikopter dan teropong yang kuat. Mereka mempergunakan foto-foto dan alat perekam suara.

Kecurigaan polisi jatuh pada Maria Mercedes Dadd. Ia pernah tampak bersama salah seorang tersangka. Ketika apartemennya digeledah, ditemukan kantong uang seperti yang dipergunakan waktu merampok, gelang-gelang karet pengikat uang dan sebuah radio mahal yang gelombangnya disetel polisi pada gelombang radio.

Maria Mercedes Dadd mengaku ikut ambil bagian dalam perampokan tetapi tidak mau menyebut nama kawan-kawannya. Sementara itu ipar Bruce Brown sudah ditangkap karena menyimpan barang rampokan.

Forensik mengungkapkan lebih banyak bukti. Debu dan sampel lain dari rumah Bruce Brown ternyata cocok dengan yang didapat dari pick up yang dipakai merampok dan juga dengan debu dan sampel lain yang didapat di bank pada tanggal 10 Agustus 1972.

Turner dan Smalls dicari dengan bantuan Interpol. Diduga mereka kabur ke luar negeri. Bertie Smalls yang tadinya dianggap kurang penting kini diperkirakan sedikitnya sudah ikut dalam enam perampokan.

Koran-koran membuat foto Turner dan berita tentang dirinya. Ternyata seperti Brown, ia juga dianggap orang baik-baik oleh tetangga-tetangganya.

Empat bulan berlalu. Kedua buruan ini belum berhasil diketahui jejaknya. Diduga sudah kembali ke Inggis dan memakai nama palsu.

 

Ia baru turun dari ranjang 

Polisi menghubungi siapa saja yang kira-kira tahu tentang Smalls. Smalls pernah mempunyai pengasuh anak-anak. Gadis ini berhasil dicari polisi. Sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu Smalls. Tetapi ia mendengar dari temannya dan temannya itu mendengar dari teman pula, bahwa Smalls kini menyembunyikan diri di rumah saudaranya, Kelvin Smalls di Rushden, Northamptonshire.

Tanggal 23 Desember 1972 pagi polisi setempat dan beberapa detektif dari Scotland Yard mengurung rumah Kevin Smalls. Dari jendela tampak pohon Natal dan ruangan yang sudah dihias. Bertie Smalls ditemukan baru turun dari ranjang. Mula-mula ia mengaku bernama Bluff. Tetapi polisi tidak berhasil dikibuli.

Dalam perjalanan ke London, Smalls menawarkan kesediaannya membantu polisi dengan memberi keterangan lengkap mengenai perampok-perampok bank. Tetapi sebagai imbalan ia minta dibebaskan. Polisi memperingatkan: ia bisa dibunuh komplotan perampok. Tetapi Smalls menjawab: “Saya akan pergi tanpa mereka bisa mencari jejak saya.”

Polisi jadi bingung. Kalau menerima tawaran Smalls, maka mereka akan bisa menggulung komplotan yang sulit sekali dibongkar ini. Tetapi apakah Smalls pantas dibiarkan bebas? Akhirnya polisi menerima tawaran Smalls, demi kepentingan umum. Tetapi dengan syarat: kalau Smalls ternyata ketahuan pernah membunuh, ia tidak jadi dibebaskan. Kontrak ditandatangani bulan Maret 1973.

Smalls memberi keterangan lengkap. Tentu tidak semua keterangannya dipercaya polisi begitu saja, tetapi dicek dulu. Ternyata hasil keterangan ini menakjubkan. Polisi pun bergerak dengan cepat sekali. Dalam waktu singkat 17 perampok kelas tinggi disekap di penjara Brixton di Lambeth. Sembilan lagi dikenakan tahanan luar dengan uang jaminan. Tetapi penjara itu kurang ketat penjagaannya.

 

Sipir ditodong pisau sabun

Tanggal 30 Mei 1973 dua mobil Ford Escort sewaan diparkir ± 1,5 km dari penjara. Keduanya ditinggalkan dengan kunci tetap tertancap dan tanki bensin penuh. Setirnya ditutupi dengan koran supaya mudah dikenali.

Pukul 10 pagi sebuah Ford Transit sewaan ditinggal di Lyham Road, tidak jauh dari gerbang penjara. Pukul 10.30 sebuah truk sampah seperti biasa diperkenankan masuk dari pintu belakang penjara lalu petugas-petugasnya mulai melakukan pekerjaan mereka. Pukul 10.50 seorang sipir ditodong sehingga menyerahkan kunci kepada Bruce Brown, Philip Marris dan seorang lain. Padahal pistol yang dipakai menodong dibuat dari sabun, dihitamkan dengan semir sepatu dan diberi kertas timah. Bukan cuma perampok-perampok yang kabur tetapi juga banyak penghuni lain. Mereka berebut naik ke truk sampah yang direbut perampok dari petugas kebersihan. Truk itu ditubrukkan ke gerbang kayu sampai terbuka. Sementara itu alarm meraung-raung. Mereka dikejar penjaga-penjaga penjara ketika berlari meninggalkan truk ke Lyham Road. Terjadi baku hantam. Brown dan teman-temannya kabur ke arah mobil yang disediakan oleh teman-teman mereka. Mereka dikejar polisi dengan anjing dan helikopter. Akhirnya semua tertangkap kembali, kecuali dua orang (yang tidak termasuk komplotan mereka). 12 penjaga penjara luka-luka dan Brown masuk ke rumah sakit karena diperkirakan tengkoraknya retak. Polisi merahasiakan nama rumah sakit itu karena khawatir teman-temannya akan menyerbu ke sana.

Tanggal 29 Juni 1973 Maria Mercedes Dadd dijatuhi hukuman 12 bulan penjara di Old Bailey. Tanggal 12 Juli Bertie Smalls muncul sebentar di Old Bailey untuk dinyatakan bebas. la dikata-katai dan diteriaki serta diancam 26 perampok bank yang hari itu digiring ke sana.

Penjagaan terhadap Smalls ketat. Inspektur-inspektur dikuntit oleh kawan-kawan penjahat untuk mengetahui di mana Smalls tinggal. Mereka juga dicoba untuk disuap dengan jumlah uang besar sekali dan bahkan diancam. Tetapi iman mereka teguh.

 

Teman main bridge yang kampungan 

Interpol masih belum berhasil menemukan jejak Brian Turner yang merupakan salah seorang pemimpin perampok. Ketika itu di dekat Malaga di Spanyol, ada istri seorang perwira purnawirawan Inggris yang senang sekali bermain bridge di klub El Candado. Pada bulan-bulan terakhir ini pasangan mainnya seorang pria bernama Barry Thomas yang berumur 30-an. Pakaian pria ini kampungan dan aksennya pun menunjukkan ia bukan berasal dari sekolah yang baik. Tetapi ia pemain bridge kelas satu dan partner main yang menyenangkan. Artinya yang tidak marah-marah kalau kalah.

Wanita itu, Ny. Jean Mathers agak heran juga mengetahui pria itu tidak bekerja. Ia terlalu muda untuk menjadi pensiunan. Suatu kali, dalam percakapan pria itu menyebut “Folly Close”, dua kata yang mengingatkan Ny. Mathers pada berita-berita di koran awal tahun ini, yaitu mengenai pria yang sedang dicari-cari Scotland Yard. Keesokan harinya ia menelpon Scotland Yard di Inggris.

Kebetulan ada dua petugas CID dari Scotland Yard yang sedang berada di Malaga. Mereka sedang membujuk petugas-petugas Spanyol untuk mengekstradisi seorang lain yang melakukan kejahatan di Inggris.

Kedua petugas ini ditelepon Scotland Yard dari Inggris. Mereka diminta menghubungi Ny. Mathers. Malam itu petugas-petugas ini datang ke El Candado ditemani 3 polisi Spanyol yang bersenjata. Mereka bersembunyi. Pemilik klub diminta menutup pintu-pintu belakang. Barry Thomas datang membawa seorang wanita muda. la ditahan. Ia memakai paspor Australia palsu.

Gembong lain, Tony Edlin, tertangkap di Glasgow. Di kota ini ia hidup sebagai orang baik-baik dengan nama samaran Weaver. Ia bertetangga dengan kepala polisi kota itu.

Sementara itu Bertie Smalls hidup berpindah-pindah untuk menghindari balas dendam dari rekan-rekan yang ia khianati. Ia digaji 25 pon seminggu oleh polisi. Anak-anaknya bersekolah dengan dikawal polisi. Diana Smalls hampir tidak tahan hidup dalam ketegangan.

 

Prestise Scotland Yard naik 

Pada saat itu jumlah perampok bank yang sudah ditahan ternyata lebih dari 150 orang. Selain Brown, Turner dan Edlin juga Wilkinson, Allpress, Reynolds, Holt, Morris, Jeffrey, Green, Richards, Jones, King, Dark dan perantara penadah permata bernama Kozak.

Bertie Smalls muncul sebagai saksi di pengadilan. Bruce Brown dan Brian Turner mendapat hukuman 21 tahun penjara. Philips Morris mendapat 20 tahun ditambah 17 tahun karena menyebabkan kematian seorang tukang susu. Jimmy Wilkinson dan Daniel Allpress mendapat 16 tahun penjara (Allpress masih mendapat tambahan lagi), Brian Reynolds 13 tahun, Anthony Holt (karyawan bank Barclays) 5 tahun. Sisanya juga mendapat hukuman sesuai dengan kesalahan masing-masing.

Bertie Smalls yang mungkin mempunyai simpanan di luar negeri kemudian menghilang bersama keluarganya. Polisi menduga, sebagai orang yang tidak pernah bekerja lurus tetapi biasa hidup enak tentu uang simpanannya akan habis. Setelah itu apa yang akan dilakukannya? Mereka khawatir ia akan kembali lagi ke jalan yang lama.

Kini Scotland Yard memiliki pasukan khusus untuk memerangi perampokan bank. Anggotanya 200 orang, paling besar di Eropa. Mereka dilengkapi dengan teknik modern.

Di London dan daerah sekitarnya perampokan bank melonjak sampai 65 kali dalam tahun 1972 saja. Pada tahun 1976 merosot menjadi 28 kali. Prestise Scotland Yard naik lagi.

(Great Cases of Scotland Yard)

Baca Juga: Horor di Mount Vernon

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553725983/perampok-dikira-pemain-film" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680808873000) } } [5]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3725975" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/siapakah-perampok-ulung-itujpg-20230406072023.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Selama dua tahun, perampokan terhadap mobil-mobil pengangkut uang terjadi di beberapa tempat. Kerugian ditafsir mencapai Rp720 juta, siapa pelakunya?" ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/siapakah-perampok-ulung-itujpg-20230406072023.jpg" ["title"]=> string(28) "Siapakah Perampok Ulung Itu?" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:20:37" ["content"]=> string(24840) "

Intisari Plus - Selama dua tahun, perampokan terhadap mobil-mobil pengangkut uang terjadi di beberapa tempat. Kerugian ditafsir mencapai Rp 720 juta, siapa pelakunya?

----------

Polisi bagian kriminal di Main, Wiesbaden dan Mannheim menghadapi kasus pelik. Mereka merasa sedang berhadapan dengan sekelompok penjahat berpengalaman.

Dalam waktu sekitar dua tahun, dari bulan Maret 1978 sampai Juni 1980, terjadi lima kali perampokan berani. Setiap kali yang dijadikan sasaran adalah mobil-mobil pengangkut uang. Kerugian seluruhnya ditaksir lebih dari 2,4 juta mark (± Rp 720 juta).

Dalam setiap perampokan, pengemudi mobil pengangkut uang serta pengawalnya dipaksa para perampok yang bersenjata api untuk menelungkup di lantai. Penjahat-penjahat itu akhirnya sudah begitu yakin pada kehebatan mereka, sehingga mengabaikan pemakaian topeng. Menurut keterangan para petugas yang dirampok, pemimpin penjahat adalah pemuda bertubuh kurus, dengan rambut coklat dipotong pendek serta berkumis.

Seorang pemuda kurus, tidak begitu tinggi, berambut coklat dipotong pendek dan berkumis tipis, pada awal tahun 1978 masih duduk di bangku paling belakang di sebuah sekolah menengah swasta di Wiesbaden. Sekolah itu muridnya anak-anak dari golongan berduit. Gernot Bauerhorst, putra seorang dokter yang terpandang, yang tinggalnya di desa Taunusstein-Wehen, tidak jauh dari kota Wiesbaden, bukan murid teladan. Cerdas, tapi malas dan tidak punya perhatian dalam jam-jam pelajaran, kata guru-gurunya. Gernot tidak begitu tertarik pada gadis-gadis. Perhatiannya lebih tercurah pada hal-hal yang jantan, yang penuh kekerasan. Ia gemar sekali membaca. Apalagi buku detektif yang tegang.

Awal tahun 1978 itu terjadi perkembangan yang agak aneh pada diri Gernot yang pendiam itu. Tapi semua yang mengenalnya, menganggap itu gejala-gejala puber yang biasa. Gernot membeli pistol dan sepucuk senapan berburu. Pada kawan-kawannya ia bercerita, malam-malam ia berlatih menembak di daerah pegunungan Taunus.

Beberapa minggu kemudian, pagi-pagi pukul tujuh lewat sedikit, dua orang bertopeng dan bersenjata api mencegat sebuah mobil berlapis baja yang dipakai untuk mengangkut uang. Kejadian itu berlangsung di pelataran pusat perbelanjaan Metro di Mainz-Kastel, tidak jauh dari Wiesbaden. Dengan segera peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan yang populer di Wiesbaden. Juga di kalangan teman-teman Gernot.

Pada empat orang teman yang diundangnya makan-makan, dengan santai, Gernot bercerita bahwa dialah yang melakukan perampokan berani itu. Dengan panjang-lebar ia bercerita bagaimana ia bersama dua kawannya lagi merencanakan perbuatan itu, dan kemudian melaksanakannya.

Tapi kawan-kawannya itu tidak melapor ke polisi. Tiga hal yang menghalang-halangi: belum tentu cerita Gernot itu benar, mungkin ia cuma membual saja — lalu tidak ada bukti-bukti nyata. Di samping itu mereka tidak mau dikira mengkhianati teman!

Juga setelah kedua perampokan mobil pengangkut uang yang berikutnya, masing-masing di Wiesbaden-Biebrich dan di Mainz Weisenau, Gernot Bauerhorst menyindir-nyindir di depan teman-temannya bahwa ia ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa itu.

Minatnya terhadap belajar lenyap sama sekali. Kerjanya membolos terus. Musim panas tahun 1979 ia berhenti bersekolah. Ia pergi dari rumah orang tuanya, sebuah bungalo lengkap dengan kolam renang yang dibangun di pinggir kawasan Taurius, lalu menyewa kamar di gedung apartemen yang paling elegan di Wiesbaden, Vier Jahreszeiten. la dilihat mengemudikan mobil BMW 2002 yang laju itu, kemudian berganti dengan Audi 100. Akhirnya mobil Amerika Chevrolet V8 yang besar, dengan AC serta jendela-jendela yang bisa diturun-naikkan dengan menekan tombol saja. 

Gernot Bauerhorst mulai mencari kontak dengan kalangan top di Wiesbaden. Bersama dua orang temannya ia menjadi pengunjung tetap dari restoran Kraenzchen, tempat berkumpul para popper dan buaya disko. Kalau sarapan pagi, selalu di Mokka-Stube, di mana kalangan playboy kota Wiesbaden keluar-masuk. Nampaknya tidak ada yang heran melihat pemuda putus sekolah yang menganggur tapi kelihatannya banyak duit itu. Dan Gernot juga mulai gemar menghambur-hamburkan uang

Tapi ia juga memikirkan kemungkinan penanaman modal. Secara sambil lalu ia bercerita telah membeli saham perusahaan Canadian Nickel lalu saham Westinghouse Electric. Pernah pula kedua temannya yang masih tersisa dari bangku sekolah dulu ikut menyaksikan betapa seorang pedagang intan yang agak kurang bonafide penampilannya, datang menawarkan intan dari Afrika Selatan padanya. Gernot membeli intan-intan itu setelah memeriksakannya pada ahli permata dan meminta ditaksir nilainya terlebih dulu.

Gernot Bauerhorst yang dulunya pemalu dan serba kikuk, kini memamerkan sikap tahu harga diri. Walau banyak bicara, ia langsung membungkam jika ada yang menanyakan siapa saja temannya dalam melakukan perampokan. Pernah sekali ia terlanjur dan menyebutkan bahwa satu di antaranya seorang petinju amatir.

Salah satu teman lamanya dari sekolah menengah, Norbert, tergolong pemuda yang gemar bertualang nekat-nekatan. Karena itu ia sama sekali tidak merasa tersinggung ketika pada bulan Mei tahun 1980 Gernot mendatanginya dan mengajukan tawaran bekerja sama.

“Kalau kau kepingin memperoleh 100.000 mark, boleh juga kau sekali-sekali ikut,” kata Gernot. Norbert ingin melihat perkembangannya saja dulu, baru kemudian mengambil keputusan.

Kedua teman itu lantas naik mobil Gernot menuju ke kota Mannheim. Ternyata yang akan dijadikan sasaran adalah toserba Kaufhof di pusat kota. Menurut Gernot, setelah hari Sabtu panjang di toko itu terkumpul uang sampai tiga perempat juta mark. Kemudian ia menunjukkan pos polisi yang ada di dekat situ. Katanya, yang bertugas di situ polisi yang masih muda-muda — yang mungkin merasa lebih takut lagi daripada mereka. 

Setelah itu ia menjelaskan jalan lari setelah perampokan dilakukan. Untuk itu disediakan dua mobil. Norbert diserahi tugas menyetir mobil yang akan dipakai melarikan diri dari Kaufhof. Ia disuruh mengambil jalan di bagian yang tertutup untuk kendaraan bermotor, di sela orang banyak yang lalu-lalang.

Tapi akhirnya Norbert tidak berani. Gernot tidak marah tapi temannya itu disuruh menutup mulut.

Beberapa hari kemudian Gernot Bauerhorst menasihati temannya itu agar mengusahakan alibi yang kuat untuk tanggal 9 Juni. Norbert lantas berusaha keras agar banyak berjumpa dengan para kenalannya. Malamnya ia mendengar berita di radio bahwa di Mainz-Ingelheim terjadi perampokan terhadap sebuah mobil pengangkut uang. Norbert agak heran karena bukankah aksi itu direncanakan akan dilakukan di Mannheim.

Beberapa hari kemudian ia berjumpa lagi dengan Gernot. Norbert bertanya mengenai kejadian itu. Gernot Bauerhorst menjawab dengan nada jengkel bahwa ia tak ada sangkut-pautnya dengan kejadian di Ingelheim. Yang Iain-lain melakukannya tanpa mengajak dia.

Sekitar saat itu — jadi awal bulan Juni 1980 — Gernot sering tampak duduk-duduk di Cafe Kraenzchen bersama seorang pemuda baik-baik yang selalu berpakaian necis. Di kalangan remaja top kota Wiesbaden, pemuda itu tersohor namanya sebagai pengemudi mobil yang tangkas.

Olaf Becker, 19 tahun, duduk di kelas terakhir sekolah menengah atas. Biasa dilihat mengendarai mobil Citroen hijau yang besar atau sepeda motor Yamaha 500 cc. Di kalangan yang tidak begitu peduli dari mana orang mendapat uang, hanya didesas-desuskan bahwa ia ikut-ikutan berdagang mobil curian.

Tanggal 16 juni terjadi lagi perampokan terhadap mobil pengangkut uang. Dan kali ini dari toserba Kaufhof di Mannheim. Menurut saksi mata, para perampok melarikan diri dengan mobil Ford Taunus putih. Kemudian menyusul perincian tentang perampokan serta cara perampok melarikan diri.

Norbert yang mendengar berita itu, langsung terperanjat. Kejadiannya persis seperti yang direncanakan oleh Gernot ketika mengajaknya melihat-lihat situasi pada bulan Mei sebelumnya.

Sementara itu di Mannheim, para spesialis dari polisi kriminal masih terus sibuk melacak jejak. Satu jejak penting sudah ditemukan yaitu mobil Ford Taunus putih yang dipakai untuk melarikan diri. Dan berdasarkan tanda bukti itu, ditambah lagi suatu kejadian yang kebetulan saja, satuan tugas khusus dari dinas kriminal polisi negara bagian, untuk pertama kalinya berhasil menemukan jejak yang cukup hangat. 

Ternyata dua minggu sebelumnya seorang pensiunan di Alzey melihat dua pemuda sedang mengutik-utik sebuah mobil Ford berwarna putih. Pensiunan itu kebetulan mempunyai hobi memotret. Dan adegan yang mencurigakan itu sempat dipotret olehnya. Lalu ada lagi seorang pria tetangga pensiunan itu yang melihat bahwa sebelumnya kedua pemuda itu turun dari sebuah mobil VW Beetle berwarna oranye. Tetangga itu bahkan dicatat olehnya: RUD-AV 580.

Kedua orang yang awas penglihatannya dari kota kecil sekitar 40 kilometer di selatan Wiesbaden itu lantas melaporkan hasil pengamatan mereka pada polisi. Foto yang dibuat bahkan diserahkan sebagai tanda bukti. Tapi setelah dilakukan pengusutan waktu itu, ternyata mobil Ford yang dimaksud sama-sekali tidak dicuri. Karenanya penyelidikan tidak dilanjutkan.

Tapi kini Ford putih yang sama muncul kembali di Mannheim dan diketahui dipakai para perampok untuk melarikan diri. Jadi pemilik VW Beetle yang berwarna oranye mestinya ada sangkut pautnya dengan perampokan itu. Dengan segera diteliti dalam daftar, siapa pemilik mobil yang nomornya juga sudah diketahui polisi itu. Ternyata seorang wanita, bernama Hannelore Bauerhorst, bertempat tinggal di Taunus-Wehen. 

Polisi menelepon wanita itu. Frau Bauerhorst menjelaskan, mobil itu dipakai anaknya, Gernot. Tapi saat itu Gernot tidak ada di rumah. Polisi yang menelepon mengatakan bahwa keesokan paginya akan menelepon lagi. 

Pada tanggal 16 Juni itu, Gernot Bauerhorst, baru menjelang tengah malam kembali ke rumah orang tuanya. Sejak beberapa bulan ia tinggal lagi di situ, karena menurut pendapatnya, di tempat orang tuanya lebih gampang. Begitu ia masuk, kedua orang tuanya langsung bercerita tentang polisi yang menelepon. Mereka juga bertanya, ada urusan apa sampai polisi menanyakan mobil VW yang dipakai oleh anak mereka itu. Gernot menjawab bahwa mobil itu dipinjamkannya pada seorang temannya. Ia mengatakan pula persoalan itu pasti akan segera beres.

Pukul satu tengah malam Gernot pergi lagi. Ia tidak berpamitan pada orang tuanya, tapi langsung berangkat dengan Chevrolet coklat miliknya sendiri.

Menjelang matahari terbit tanggal 17 Juni, seorang petani yang gemar berburu, bernama Adolf Weber dari Hohenstein, datang ke tempat yang disewanya untuk berburu bersama seorang kawan.

“Sekitar pukul lima kurang seperempat kami melihat sebuah mobil besar diparkir di tepi jalan kecil dekat Landstrasse,” cerita Adolf Weber kemudian. “Kami mula-mula mengira, itu pasti mobil para pemburu dari desa di dekat situ. Kami lantas melanjutkan perburuan, dengan hasil seekor kijang. Sekitar setengah delapan pagi kami lewat lagi di jalan kecil itu. Dan mobil yang kami lihat sebelumnya, masih juga ada di situ. Saya lantas mengatakan pada kawan berburu saya, ‘Yuk, kita lihat ada apa dengan mobil itu.’ Yang paling dulu menarik perhatian kami, banyaknya pecahan kaca yang berserakan di tanah. Kemudian perhatian kami tertarik oleh seseorang yang ada dalam mobil. Kelihatannya seperti sedang tidur. Tapi saya mengatakan, ‘Ada sesuatu yang tidak beres di sini.’ Lalu mobil itu kami dekati lagi. Ternyata bahwa laki-laki yang seperti tidur itu sebetulnya sudah mati. Luka tembakan di kepala baru kemudian kami lihat.”

Pemburu itu cepat-cepat memberitahu polisi. Setelah diperiksa dokter jaga yang kemudian digantikan rekan yang lain, diketahui bahwa orang yang dalam mobil itu mati karena bunuh diri. Namanya Gernot Bauerhorst.

Rupanya sebelum itu Gernot masih mempertimbangkan akan melarikan diri. Dalam mobilnya ditemukan sebuah tas pakaian, pisau cukur, sikat gigi serta paspornya. Selain itu juga ada tas kamera, yang menurut kesaksian teman-temannya kemudian pada hari itu tak pernah dilepaskan dari pegangannya. Isinya: 130.500 mark. Lebih dari setengah hasil perampokan di Mannheim, sehari sebelumnya. Sedang 103.500 mark sisanya lenyap bersama pelaku perampokan yang satu lagi.

Tanggal 19 Juni, Olaf Becker, anak seorang arsitek harus menempuh ujian lisan tahap terakhir pendidikannya di sekolah menengah atas. Menurut guru-gurunya, Olaf pasti bisa lulus dengan mudah. Tapi sehari sebelumnya ia menelepon orang tuanya, entah dari mana.

“Dari dulu kan aku ingin bertualang keliling dunia!” katanya agak ketus. “Aku akan muncul setahun lagi.” Dan sejak itu jejak Olaf hilang. Polisi mencarinya karena dialah yang akrab dengan Gernot pada hari-hari terakhir sebelum tanggal 16 Juni. Selain itu, Olaf juga tersohor di kalangan remaja top di kotanya sebagai pengemudi mobil yang ulung!

Setelah kematian Gernot Bauerhorst, masih ada tiga pemuda lagi yang juga menghilang dari rumah masing-masing. Manfred Andreas, 23 tahun, anak pegawai negeri dari Rheindorf Bechtolsheim. Manfred ingin menjadi petinju amatir dan setiap hari berlatih memukul karung tinju di rumah orangtuanya. Lalu Thomas Andreas, 20 tahun, saudara sepupu Manfred. Anak pengusaha tangga konstruksi bangunan. Sedang yang ketiga Dietmar Egelhoff, 24 tahun, anak pengusaha kebun anggur di Alzey.

Tiga tahun sebelumnya, Manfred Andreas masih duduk sebangku dengan Gernot Bauerhorst di sekolah swasta pilihan di Wiesbaden, tempat Gernot dulu bersekolah. Lewat Andreas, anak dokter itu kemudian berkenalan dengan kawannya yang dua lagi.

Karena ada dugaan keras bahwa ketiga pemuda itu ikut terlibat dalam kasus perampokan yang dilakukan oleh Gernot, maka polisi Jerman Barat lantas menghubungi Interpol. Tapi berminggu-minggu berlalu tanpa hasil sedikit pun.

Setelah peristiwa bunuh diri Gernot Bauerhorst, tiga orang pemuda yang berpakaian jeans yang sudah luntur serta t-shirt, mengembara melintasi benua Eropa. Mereka membawa ransel-ransel besar. Tanggal 23 Juni mereka naik kereta api dari Innsbruck, Austria, menuju ke selatan. Setelah beberapa kali mampir sebentar di Bolzano, Milano, Roma dan Napoli, tanggal 26 Juni mereka tiba di Palermo. Dari situ mereka naik kapal yang menuju ke Tunis.

Tiga pemuda yang kesannya seperti mahasiswa sedang melancong itu kemudian menyewa kamar di hotel mewah kota Tunis, yaitu di Africa. Sewa kamar satu malam 140 mark. Dengan gaya turis, mereka melancong di kota pelabuhan Afrika Utara itu. Kalau makan, selalu di restoran yang mahal-mahal. Setelah tiga hari berada di Tunis, mereka membeli tiket ke Casablanca, dengan perusahaan penerbangan Saudi Arabian Airlines. Di tempat membeli tiket mereka juga menanyakan kemungkinan terbang lebih lanjut ke Amerika Selatan.

Hari Rabu tanggal 2 Juli, beberapa saat sebelum pukul 12 siang, ketiga pemuda itu menyerahkan barang-barang mereka ke bagian bagasi di Pelabuhan Udara Tunis-Carthage. Setelah barang jinjingan diperiksa dengan x-ray, mereka diperbolehkan lewat.

Tapi saat itu seorang petugas keamanan di situ merasa agak heran. Cuaca saat itu begitu panas namun dua dari ketiga calon penumpang itu tetap memakai jaket mereka. Petugas itu lantas memanggil mereka kembali kemudian melakukan penggeledahan.

Terasa kantong-kantong jaket kedua pemuda itu terisi penuh dengan sesuatu. Ketiga-tiganya lantas dipersilahkan masuk ke kamar pemeriksaan. Di situ diminta agar isi kedua jaket dikeluarkan. Isinya, menurut protokol pemeriksaan petugas bea cukai di pelabuhan udara itu: 286.650 franc Prancis, 143.250 franc Swiss, 40.400 mark Jerman Barat dan 61.670 dolar Amerika. Nilai keseluruhannya, lebih dari 400.000 mark Jerman. Pihak bea cukai Tunisia menyita paspor ketiga pemuda itu, yang ternyata dikeluarkan atas nama Dietmar Egelhoff, Thomas Andreas dan Manfred Andreas.

Pihak Tunisia menyangka berhasil menangkap tiga orang pedagang narkotika internasional yang hendak pergi ke Maroko untuk membeli barang dagangan terlarang itu di sana. Tapi ketika ditanyakan ke Biro Interpol di Tunis, diperoleh keterangan.

“Ketiga tahanan itu tidak dicari lewat Telex internasional. Tidak ada indikasi bahwa mereka anggota sindikat narkotika.”

Keterangan Biro Interpol itu tidak tepat. Permintaan tolong pihak kepolisian Jerman Barat pada Interpol untuk menangkap ketiga pemuda itu karena disangka ikut terlibat dalam perampokan, hanya belum sampai saja saat itu di Tunisia. Para pemuda itu lantas memaparkan kisah yang menarik pada para petugas yang menahan mereka.

“Uang ini kami peroleh dari orang tua kami yang kaya,” kata mereka. “Dengannya kami disuruh membeli tanah di Amerika Selatan untuk keluarga kami. Soalnya Republik Federal Jerman menghadapi ancaman negara-negara tetangganya yang komunis dan karena itu kami disuruh menanamkan uang yang diperoleh dengan jujur ini di luar negeri yang aman.”

Tapi pihak bea cukai Tunisia tetap keras. Uang tunai yang nilainya 400.000 mark (± Rp 120 juta) lebih serta ketiga paspor disita. Selain itu juga diajukan perkara ke pengadilan atas dakwaan pelanggaran devisa. Thomas, Dietmar dan Manfred tidak dimasukkan dalam penjara tahanan, tapi mereka tidak diperbolehkan meninggalkan kota Tunis.

Kepada mereka diserahkan uang beberapa ratus mark sebagai uang saku. Ketiganya lantas mencari penginapan murah di Hotel de Paris yang kumal. Di situ mereka merundingkan kemungkinan melarikan diri serta mengatur rencana-rencana ke arah itu. Mereka bertanya-tanya di mana bisa dibeli paspor palsu. Tapi paspor palsu mahal harganya. Tidak lama kemudian uang mereka tersisa sedikit, sehingga terpaksa menumpang makan di kantin mahasiswa yang harga makanannya sangat murah.

Tanggal 2 Agustus 1980, ketiga pemuda itu putus asa. Secara sukarela mereka melaporkan diri ke kedutaan besar Jerman Barat dengan permintaan agar secepat mungkin dipulangkan ke tanah air. 

Kedutaan besar Jerman Barat lantas menghubungi jawatan kepolisian kriminal negara bagian Hessen di Wiesbaden. Kepala satuan tugas khusus, Rudolf Werner, bersama komisaris besar Erich Lill langsung terbang ke Tunis. Tapi setelah itu dimulailah perjalanan yang berliku-liku bagi kedua petugas kepolisian dan juga bagi ketiga pemuda yang disangka keras terlibat dalam kasus-kasus perampokan besar itu. 

Mereka harus melewati rintangan-rintangan berbagai paragraf hukum pidana Jerman, Tunis dan hukum-hukum internasional. Pihak Tunisia tetap berkeras, ketiga pemuda Jerman itu mula-mula harus diajukan ke pengadilan di sana atas kesalahan melanggar peraturan devisa negara Tunisia. Sedang pihak kejaksaan Jerman pada mulanya tidak mau mengajukan permintaan ekstradisi secara resmi. 

“Ketiga pemuda itu sendiri yang ingin kembali ke Jerman,” demikian pendapat pihak kejaksaan. “Cara begitu, jauh lebih cepat, daripada kalau harus memakai prosedur ekstradisi resmi; yang umumnya bertele-tele dan memakan waktu lama.”

Jadi untuk sementara Dietmar Egelhoff, Manfred dan Thomas Andreas terpaksa meringkuk dalam tahanan Tunisia. Dalam pembicaraan dengan kedua petugas kepolisian Jerman yang datang dari Wiesbaden, Dietmar Egelhoff mengakui bahwa ia ikut bersama Gernot Bauerhoff dalam keempat kasus perampokan yang pertama.

“Tapi di Mannheim saya tidak ikut,” katanya berkali-kali. Mengenai Manfred dan Thomas, ia tidak mengatakan apa-apa. Manfred bersikap dingin. 

“Saya tidak bersalah, sampai bisa dibuktikan bahwa saya melakukan suatu tindak pidana,” katanya. Sedang Thomas Andreas berkeras menyatakan bahwa ia sama sekali tidak ada urusannya dengan segala kejadian itu. Cuma secara kebetulan saja ia ikut lari, katanya.

Dietmar, Manfred dan Thomas, sama sekali tidak bertampang penjahat. Sukar rasanya membayangkan mereka melakukan perampokan dengan darah dingin.

“Sayang, mereka itu sebetulnya anak baik-baik,” kata Komisaris Besar Erich Lill.

Hal itu juga dirasakan oleh ayah Gernot Bauerhorst. Pagi-pagi tanggal 17 Juni, dokter itu kebetulan mendapat giliran sebagai dokter jaga. Karenanya dr. Albrecht Bauerhorst bergegas datang ketika ada panggilan polisi yang mengatakan bahwa di suatu jalan kecil di tepi Landweg ditemukan mayat seseorang yang diduga mati karena bunuh diri. Tragedi yang kemudian terjadi di jalan kecil itu, dalam protokol polisi tercatat sebagai berikut: 

“Begitu dr. Bauerhorst sampai di tempat mayat ditemukan, ia langsung jatuh pingsan. Mayat yang terkapar dalam mobil ternyata Gernot — putranya sendiri.”

Seorang dokter lain terpaksa dipanggil untuk memeriksa mayat Gernot dan menyatakan pemuda itu benar mati karena bunuh diri. Ayahnya sendiri tidak mampu melakukan tugas itu. Ia tidak habis pikir, apa sebabnya putranya itu sampai bisa merampok.

Tapi apakah sebelumnya ia tidak pernah merasa curiga ketika Gernot yang umurnya baru sekitar 26 tahun tahu-tahu berhenti bersekolah, pindah ke apartemen mewah dan nampak memiliki uang yang berlebih-lebihan? Sebagai dokter yang terpandang, mungkin dr. Bauerhorst terlalu sibuk.

Lagi pula, bukankah mereka itu keluarga baik-baik?

(Stern)

Baca Juga: Akhir Petualangan El Bandito

 




" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553725975/siapakah-perampok-ulung-itu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680808837000) } } [6]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3725947" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/kartu-nama-yang-membuka-rahasia-20230406071910.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "Januari 1948, terjadi perampokan dan pembunuhan di Teikoku Bank. Pelakunya berpura-pura sebagai dokter yang ditugaskan untuk memberi obat disentri." ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/kartu-nama-yang-membuka-rahasia-20230406071910.jpg" ["title"]=> string(31) "Kartu Nama yang Membuka Rahasia" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:19:32" ["content"]=> string(21450) "

Intisari Plus - Di bulan Januari 1948, terjadi perampokan dan pembunuhan di Teikoku Bank. Pelakunya berpura-pura sebagai dokter dari kementerian sosial yang ditugaskan untuk memberi obat disentri.

----------

Tokyo pukul setengah empat sore. Tanggal 26 Januari 1948 itu salju kadang-kadang turun. Seorang pria ramping, setengah baya dan berambut pendek, memasuki Teikoku Bank cabang Shiina-machi pada saat pintu bank akan ditutup. Ia mengenakan setelan cokelat dan mantel putih longgar dengan ban lengan bertuliskan “kesehatan”. Dengan sopan ia memperlihatkan kartu nama. Segera saja ia diantar ke kantor manajer. Ketika itu penghitung-penghitung uang sedang sibuk.

Pria bersepatu bot merah yang membawa tas seperti milik dokter itu, membungkuk hormat pada penjabat manajer, Takejiro Yoshida. Mereka bertukar kartu nama. Pria itu menjelaskan bahwa ia datang dari markas besar tentara pendudukan Amerika atau MacArthur’s General Head Quarters dengan perintah untuk segera mengimunisasikan semua pegawai bank karena ada wabah disentri amuba di tempat itu. Sebentar lagi jip militer akan menyusul kedatangannya.

Penjabat Manajer Yoshida percaya. Tadi pagi seorang nasabah yang tinggal tidak jauh dari bank dikabarkan menderita disentri. Manajer bank sendiri, Senji Ushiyama tadi pagi terpaksa pulang karena tiba-tiba sakit perut. Yoshida juga tahu bahwa sekutu sangat keras dalam hal-hal yang menyangkut kebersihan dan kesehatan.

Pria bermantel putih itu menjelaskan apa yang harus dilakukan. Yoshida memerintahkan semua pegawai bank, termasuk centeng dan keluarganya untuk menghentikan pekerjaan mereka dan berkumpul di kantornya sambil membawa cangkir masing-masing.

“Semua hadir?” tanya pria bermantel putih itu. Yoshida menghitung pegawainya.

“Ya, semua hadir.”

Tamu itu menjelaskan, mereka masing-masing akan diberi dua macam obat anti disentri yang harus ditelan dengan cepat. 

Ia mengeluarkan dua botol dan sebuah jarum penyedot dari tasnya.

“Obat ini sangat manjur. Telan cepat dan jaga agar jangan kena email gigi. Tutupi gigi bawah dengan lidah ketika menelan.” Ia memberi contoh dengan cangkir kosong. “Setelah itu segera telan obat kedua.”

Dengan penyedot ia mengambil cairan ungu dari sebuah botol yang diberi tanda “No 1” dan membagikannya pada setiap pegawai bank yang datang membawa cangkir. Setelah itu semua diperintahkan minum bersamaan. Lalu cepat dibagikan lagi obat kedua. Ketika itu beberapa orang terbatuk-batuk dan terengah-engah setelah minum obat pertama yang seperti membakar leher.

“Obat kedua akan membuat Anda merasa lebih enak,” katanya. Kemudian semua minum obat kedua.

“Boleh minum air?” tanya seorang pegawai pria. 

“Boleh.”

Nona Masako Murata sedang antre air minum ketika orang di belakangnya tiba-tiba terjatuh. Akuntan Hidehiko Nishimura terkapar dengan mata mendelik. Masako berlari masuk ke kantor manajer sambil berteriak minta tolong. Tetapi ternyata orang lain juga tergeletak di lantai sambil merintih dan mengerang kesakitan. Masako sendiri roboh.

Tamu bermantel putih dengan tenang mengawasi korban-korbannya. Ketika semua pegawai bank sudah lumpuh, cepat-cepat disambarnya uang tunai 164.400 yen dan cek sebesar 17.405 yen. Jumlah itu kira-kira setara dengan 600 dolar. Uang sekian bagi orang Jepang masa itu cukup besar. Setelah itu ia menghilang di sore yang dingin itu.

 

12 jiwa melayang

Sejam kemudian Nona Murata siuman. Ia ngeri melihat keadaan di sekelilingnya. Ia merangkak melalui tubuh-tubuh tidak berdaya dan berhasil mencapai pintu belakang. Dengan suara tidak jelas ia berteriak-teriak minta tolong. Dua orang wanita yang sedang lewat mendengar teriakannya dan dengan ketakutan memberitahu polisi.

Ketika ambulans-ambulans dan mobil polisi datang, 10 korban sudah meninggal. Dua lagi meninggal kemudian. Di antara empat orang yang lolos dari maut terdapat Nona Murata dan Penjabat Manajer Yoshida.

Ketika itu keracunan makanan umum terjadi di Jepang. Maklum mereka baru kalah perang, keadaan ekonomi, sosial maupun politik masih kacau. Mula-mula diduga mereka keracunan makanan. Tetapi sisa cairan dalam cangkir korban (di antara korban masih ada yang tetap memegang cangkirnya), diperiksa juga.

Pukul setengah tujuh malam, jadi kira-kira 3 jam sesudah upacara minum obat yang menyebabkan kematian itu, pemeriksaan di rumah sakit mengungkapkan bahwa kematian yang menimpa begitu banyak orang ini bukan disebabkan oleh keracunan makanan biasa melainkan oleh kalium sianida.

Pembunuhan dan perampokan di Teikoku Bank ini merupakan kejahatan paling besar yang terjadi di Jepang sesudah perang. Inspektur Shigeki Horizaki ditunjuk untuk menangani perkara ini. Ia kepala bagian pembunuhan pada Kantor Polisi Metropolitan Tokyo. Tetapi yang akan memegang peranan penting dalam menangkap si pelaku kejahatan ialah seorang sersan detektif yang pendiam tetapi ulet bernama Tamegoro Igii. Malam itu juga polisi mendengarkan keterangan dari empat korban yang masih hidup.

Polisi tidak menemukan sidik jari “dokter” pada cangkir yang dipakai dalam demonstrasi minum, tidak juga pada kartu nama yang diserahkannya kepada Penjabat Manajer Yoshida.

Dari penyelidikan polisi, diketahui bahwa tiga bulan sebelum peristiwa ini, terjadi peristiwa yang hampir sama di Yasuda Bank cabang Ebara di Tokyo. Tanggal 14 Oktober 1947 itu seorang pria yang berpakaian seperti dokter pemerintah menyerahkan kartu nama pada manajer bank. Kartu nama itu bertuliskan: “dr. Shigeru Matsui, ahli kementerian sosial”. la menyatakan mendapat perintah dari markas besar pendudukan untuk memberikan obat anti disentri. la mengumpulkan 20 pegawai bank dan manajer bank, Toshio Watanabe. Mereka diberi obat minum tetapi tidak terjadi apa-apa. “Dokter” itu segera pergi. Mungkin ini cuma percobaan atau gladi resik saja.

Tanggal 19 Januari 1948, tujuh hari sebelum peracunan dengan kalium sianida di Taikoku Bank, ada orang yang datang ke Mitsubishi Bank cabang Nakai dengan membawa kartu nama bertuliskan “dr. Jiro Yamaguchi”, dari kementerian sosial. Tetapi ia kabur ketika manajer bank, Taizo Ogawa, dan pegawai-pegawai lain menanyakan surat tugasnya.

Dua peristiwa ini baru dilaporkan ke markas besar polisi setelah terjadi peristiwa Teikoku Bank. Menurut polisi setempat, karena tidak terjadi perampokan dan karena motif tamu tersebut tidak jelas waktu itu.

Sehari sesudah peristiwa peracunan, polisi kehilangan kesempatan menangkap si pelaku karena seorang petugas bank yang kurang cermat di Yasuda Bank cabang Itabashi membayarkan uang 17.405 yen pada pembawa cek atas nama Toyoji Goto, yaitu cek yang diambil pelaku peracunan di Teikoku Bank. Ketika manajer bank menyadari bahwa mereka ditipu, pria itu sudah lenyap.

 

Kartu nama

Inspektur Horisaki berpendapat bahwa satu-satunya kesempatan yang bisa mengantarkan polisi kepada si pembunuh mungkin hanya tinggal kartu nama. Ia yakin orang yang menyerahkan kartu nama berbeda pada ketiga bank itu cuma seorang.

Polisi segera bisa mengetahui bahwa kartu nama bertuliskan “dr. Jiro Yamaguchi” yang diterima manajer Mitsubishi Bank dicetak di sebuah toko kecil dekat Ginza di Tokyo. Nama Jiro Yamaguchi sangat umum di Jepang seperti nama John Smith di AS. Namun setelah diperiksa, tidak ada yang ingat lagi bagaimana rupa orang yang memesannya.

Dr. Shigeru Matsui adalah seorang dokter bereputasi baik di Sendai, di Honshu utara. Dengan sukarela ia datang ke markas besar polisi di Tokyo. Ia menyatakan bahwa kartu nama yang diserahkan ke Yasuda Bank itu betul kartu namanya tetapi bukan dia yang menyerahkannya ke bank itu. Ia juga tidak berada di dekat Tokyo ketika pembunuhan massal terjadi di Teikoku Bank.

“Saya memesan kartu seperti ini seratus lembar,” katanya. “Kartu ini dicetak di Sendai sebelum diadakan sebuah pertemuan kedokteran.” Ia sudah membagikan 96 kartu itu dan masih tersisa empat padanya.

Tukar-menukar kartu nama di Jepang masih tetap menjadi tradisi sampai kini dan dilakukan secara luas, apalagi di kalangan orang-orang bisnis dan profesional. Kartu yang disebut “meishi” ini biasanya dipertukarkan pada saat pertama kali bertemu dan sering disimpan dengan cermat untuk dijadikan referensi kalau kelak diperlukan.

Dari gambaran yang diberikan oleh saksi-saksi, polisi mengetahui bahwa orang yang mengaku “dr. Yamaguchi” sama dengan yang menyalahgunakan kartu nama dr. Matsui. Orang ini mempunyai tahi lalat di pipi kiri dan tanda bekas luka dibawah dagu. Semua saksi menyatakan ia sudah melewati umur setengah baya. Polisi mengedarkan keterangan ini ke seluruh Jepang. Polisi menanyai lebih dari 8.000 orang tetapi seorang demi seorang dibebaskan dari kecurigaan.

Inspektur Horizaki memanggil Sersan Igii yang berumur 43 tahun. Ia ahli kartu nama. Atas sarannya, dr. Matsui dipanggil kembali. Ia diminta membawa kartu-kartu nama yang diterimanya sebagai penukar kartu namanya sendiri.

Salah satu di antaranya bertuliskan nama “Sadamichi Hirasawa” yaitu seorang pelukis yang beralamat di Otaru, Hokkaido. Pada kartu itu tertulis bahwa ia ketua beberapa perkumpulan kesenian dan pelukis yang cukup terkenal.

Dr. Matsui ingat, ia bertemu dengan Hirasawa di sebuah feri antara Aomori dan Hakodate. Matsui mengaku terkesan oleh lukisan yang dibawa Hirasawa “Musim Semi Sudah Dekat”. Katanya lukisan itu akan dihadiahkan kepada putra mahkota di Tokyo.

Horizaki meminta polisi Otaru mendatangi Hirasawa di rumahnya. Polisi Otaru melapor, Hirasawa berumur 50-an, pemalu, orang baik-baik dan rasanya tidak mungkin terlibat dengan pembunuhan massal di bank. Polisi Otaru membebaskannya dari kecurigaan.

 

Bulldog tidak mau berhenti 

Bulan April, inspektur-inspektur polisi dari seluruh Jepang berkumpul di Tokyo untuk mengkaji kembali perkara ini, yang penyelidikannya menghadapi jalan buntu. Mereka memeriksa dengan cermat data-data yang sudah diperoleh dan memeriksa lagi semua bukti dan kesaksian. Sekali lagi dikirim penyelidik ke Otaru untuk menanyai Hirasawa dan sekali lagi polisi Otaru membebaskan Hirasawa dari segala kecurigaan.

Banyak penyelidik yang sudah mau memetieskan saja perkara ini. Tetapi Sersan Igii laksana anjing bulldog yang tidak mau melepaskan lagi barang yang sudah digigitnya. Ia mulai lagi penyelidikannya dari awal, setindak demi setindak. Ia mengunjungi kenalan-kenalan dr. Matsui seorang demi seorang, yaitu yang kartu namanya ada pada dokter itu. Ia juga berkunjung ke Hirasawa, diantar oleh saudara laki-laki pelukis itu, Sadatoshi Hirasawa yang mempunyai usaha peternakan.

Igii bertanya, apa pekerjaan Sadamichi Hirasawa. Saudaranya menjawab: “Ia di rumah saja, tidak mengerjakan apa-apa.” Igii menunggu di luar ketika Sadatoski Hirasawa masuk memberitahu kedatangan mereka.

Sadamichi Hirasawa berada di rumahnya bersama kedua orang tuanya yang tampak sehat walafiat. Padahal kepada istrinya yang tinggal di rumah mereka yang lain di Tokyo dan kepada polisi ia menyatakan akan ke Otaru karena orang tuanya sakit.

Melalui pintu sorong, Igii melihat di kamar sebelah berserakan kuas dan kanvas, seakan-akan Sadamichi Hirasawa sedang melukis. Padahal lukisan pada kuda-kuda tampak kering, begitu pula kuas-kuas.

“Mengapa ia ingin memberi kesan sedang bekerja?” pikir Igii.

Sadamichi Hirasawa berumur 57 tahun tetapi kelihatan awet muda. Seakan-akan tidak lebih dari 48 tahun. Bagi Igii ia mirip betul dengan pria yang digambarkan polisi. Lagipula Igii mempunyai tahi lalat di pipi kiri dan bekas luka di bawah dagu. Dan yang lebih mencurigakan lagi: tanpa diminta ia memberi alibi dengan menceritakan ada di mana saja ia berada pada hari pembunuhan massal itu terjadi.

Hirasawa menceritakan, waktu itu ia berada di Tokyo karena setiap hari ia menjaga pameran lukisan cat air yang diselenggarakan lembaga persahabatan AS Jepang di toko serba ada Mitsukoshi di Nihonbashi mulai 21 sampai 28 Januari. Tanggal 26 pagi hari ia pergi ke pameran lalu berkunjung ke menantunya di tempat dinas lewat tengah hari. Katanya ia mendengar peristiwa pembunuhan massal itu dari radio setelah tiba di rumah sore itu.

Igii tidak menanyai Hirasawa lebih lanjut karena ia dinyatakan sudah dibebaskan dari kecurigaan oleh polisi setempat. Igii meneruskan penyelidikannya ke Hokkaido. Tetapi sebelum kembali ke Tokyo ia singgah lagi ke rumah Hirasawa. Mereka bersikap saling menghormati. Igii mengundang Hirasawa di restoran. Ia juga meminta foto Hirasawa tetapi seniman itu menjawab tidak punya. Jadi ia meminta izin memotret Hirasawa untuk “kenang-kenangan”.

Sekali Hirasawa ditanyai lagi perihal pertemuannya dengan dr. Matsui. Pelukis ini menjawab ia ingat bahwa mereka bertemu di feri dan dr. Matsui menuliskan sebuah alamat di belakang kartu namanya dengan pulpen.

Igii minta diizinkan melihat kartu nama itu. “Maaf, dompet saya yang berisi uang 11.000 yen dan kartu nama dr. Matsui hilang dicopet tidak lama setelah itu di Tokyo.”

Igii pergi ke tempat dr. Matsui di Sendai dan menyampaikan cerita Hirasawa. Dokter itu mengerutkan dahi dan tampak heran: “Saya tidak pernah membawa-bawa pulpen,” katanya.

Hal ini yang menarik perhatian Igii pada Hirasawa ialah pengetahuannya mengenai bahan-bahan kimia yang dipancing Igii dalam percakapan.

Igii menyerahkan foto-foto Hirasawa dan laporannya kepada atasan-atasannya di Tokyo. Tetapi sekali lagi Hirasawa dibebaskan dari kecurigaan. Hirasawa dinyatakan sebagai pelukis yang mempunyai reputasi baik yang tidak pernah terlibat perbuatan kriminal. Foto Hirasawa dianggap tidak mirip dengan gambaran yang diberikan saksi-saksi selama ini.

Kalau Igii masih penasaran, ia boleh meneruskan penyelidikannya asal tidak menyusahkan markas besar. Atasannya terus terang menyatakan sudah akan menghentikan saja penyelidikan dan kalau ada bukti-bukti lain terungkap barulah penyelidikan akan dilakukan lagi. Igii diberi dana 70.000 yen, cukup untuk 70 hari. Kalau setelah itu ia tidak bisa mengungkapkan bukti baru yang berarti, maka ia harus keluar uang sendiri kalau mau melanjutkan penyelidikannya.

Igii mengawasi rumah Hirasawa yang berada di Tokyo. Ia juga menghubungi teman-teman Hirasawa yang sama-sama pelukis dan meminta keterangan mengenai cara hidup pelukis ini. Ia menanyai tetangga-tetangga Hirasawa bahkan juga menanyai Ny. Hirasawa dan putrinya.

Ia juga memperoleh contoh tulisan Hirasawa dari kartu pos yang dikirimkan pelukis itu kepada orang-orang lain. Ketika tulisan itu dicek dan dibandingkan oleh ahli tulisan dengan tanda-tangan pada cek yang diuangkan sehari setelah pembunuhan, ternyata cocok. Penulisnya dianggap orang yang sama.

 

Punya dua “simpanan”

Igii juga mengetahui dua fakta penting. Pertama, tanggal 9 Februari Ny. Masa Hirasawa memasukkan 44.500 yen pada rekening bank suaminya. Padahal dua hari sebelum pembunuhan massal, Hirasawa tidak mampu membayar iuran 150 yen pun pada perkumpulan kesenian. Menurut istri Hirasawa, suaminya memberi uang tiga kali berturut-turut yang jumlahnya semua 69.000 yen. Kedua, Hirasawa mempunyai dua wanita simpanan dan mereka mendesak minta uang kepadanya.

Semua ini dilaporkan Igii kepada atasan-atasannya dan tanggal 20 Agustus Igii mendapat perintah resmi menangkap Sadamichi Hirasawa di Otaru. Tujuh bulan setelah pembunuhan massal di Teikoko Bank, banyak orang bergerombol di stasiun Uono di Tokyo, ingin melihat Hirasawa. Pendapat umum terbagi dua. Sebagian menganggap Hirasawa ini tidak mungkin terlibat dalam kejahatan sekejam itu dan ia merupakan korban ketidakadilan.

Tetapi bukti-bukti bertambah banyak. Di rumahnya yang di Tokyo, ditemukan mantel putih dan setelan cokelat seperti yang dipakai oleh pembunuh. Ditemukan juga tas kecil hitam dari kulit. Dua di antara korban yang masih hidup, secara positif mengenali Hirasawa sebagai pembunuh. Masako Murata sebaliknya menyatakan bahwa “dokter” yang masuk ke Teikoku Bank bukan Hirasawa.

Hirasawa bersikeras ia tidak bersalah. Di markas besar polisi Igii bertanya kepada Hirasawa, dari mana mendapat uang. Sengaja Igii tidak menyebutkan uang yang sedang dilacak.

“Dari presiden IIna Industrial Company, Tuan Uzo Hanada”, jawab Hirasawa. 

“Kapan?” 

“Oktober yang lalu.” Artinya tiga bulan sebelum perampokan bank. Igii mencocokkan keterangan ini dengan buku catatannya. Tiba-tiba ia berbalik menghadap Hirasawa.

“Mana mungkin? Ia meninggal bulan Agustus”.

Wajah Hirasawa pucat. la tergagap-gagap dan tidak bisa menjelaskan ketidakcocokkan ini.

 

Sok gengsi 

Ketika berada dalam tahanan, tiga kali ia mencoba bunuh diri. Sekali dengan melukai nadinya. Alat yang dipergunakan ialah pena yang diambilnya dari meja polisi. Sekali lagi ia menelan banyak-banyak pil obat ambeien.

Akhirnya ia mengaku dan berdoa untuk korban-korban yang tewas. Katanya ia tidak bisa tidur karena dihantui terus. Ia juga minta dibunuh dengan kalium sianida. Tetapi pembela-pembelanya kemudian tidak mau menerima pengakuan itu. Kata mereka, pengakuan itu terpaksa dilakukan karena Hirasawa ditekan. Mereka menyangkal bahwa Hirasawa menyebut-nyebut setan dan kalium sianida.

Tanggal 12 Oktober 1948 Hirasawa dituduh merampok, mencoba membunuh dan memalsukan surat-surat resmi serta melakukan pembunuhan dengan dirancang lebih dulu.

Ketika itu polisi sudah mengeluarkan 6 juta yen senilai dengan 17.000 dolar, biaya yang memecahkan rekor dalam sejarah kejahatan Jepang. Polisi juga sudah menanyai dan membebaskan 8.796 orang.

Sidang pengadilan dibuka 10 Desember 1948. Hakimnya tiga orang.

Sidang yang mengadili perkara ini berlangsung 15 bulan. Hirasawa menyangkal semua tuduhan dan menyatakan dirinya tidak bersalah. Ia menyatakan pengakuan terdahulu dibuatnya karena tekanan polisi-polisi yang brutal. “Saya merasa seperti dihipnotis,” katanya.

Pengacara-pengacaranya yang juga meminta agar Hirasawa diperiksa oleh psikiater karena Hirasawa menderita korsakov syndrome yang katanya disebabkan oleh suntikan-suntikan anti rabies pada tahun 1925. Tes-tes psikiatris dilakukan dan Hirasawa dinyatakan waras.

Pengadilan menyatakan Hirasawa bersalah.

Hakim Ketua Kiyoo Eriguchi kemudian membacakan vonis: Hirasawa dijatuhi hukuman mati dengan digantung.

Seratus orang yang memadati ruang sidang terkejut ketika Hirasawa melompat dan berteriak-teriak: “Tuduhan palsu! Kalian membuat kesalahan besar!”

Hakim menyatakan bahwa karena penyakit otak yang disebut korsakov syndrome, Hirasawa yang sudah terkenal sebagai pelukis kemudian sering membohongi orang lain dan juga dirinya sendiri. Ketika karya-karyanya sudah tidak laku, ia tetap berkata kepada istri dan wanita-wanita simpanannya bahwa penghasilannya besar. Supaya bisa mempertahankan kebohongannya ini ia merampok bank dsb dengan harapan bisa cepat kaya.

 

Ingin menjadi anggota parlemen 

Hirasawa naik banding. Tetapi pengadilan tinggi maupun mahkamah agung menyatakan Hirasawa bersalah. Tetapi entah mengapa, perintah resmi untuk melaksanakan hukuman mati terhadapnya tidak pernah ditandatangani. Sampai tulisan ini dibuat tahun 1977 ia masih hidup dalam sel penjara di Sendai.

Hirasawa melewatkan waktunya dengan mengarang puisi dan melukis benda-benda mati. Ada orang yang menyebutkan karyanya sebanding dengan karya Paul Cezanne. Tahun 1977 ia sudah menghasilkan lebih dari 850 karya yang diedarkan oleh “Perkumpulan Penyelamat Hirasawa” yang berusaha membebaskannya.

Hirasawa sendiri bersikeras ia tidak bersalah dan berharap bisa keluar dari penjara sebagai orang yang bebas. Katanya ia akan ikut dalam pemilihan umum agar bisa menjadi anggota parlemen dan membela orang-orang yang senasib dengannya, yaitu dihukum karena tuduhan palsu.

Bagaimana dengan penangkapnya? Sersan Igii naik pangkat menjadi inspektur polisi dan kemudian menjadi instruktur di akademi polisi. la pensiun dari jabatan terakhir di bagian pembunuhan Kantor Polisi Metropolitan Tokyo tahun 1964.

“Saya yakin Hirasawa bersalah,” katanya. “Ia bukan manusia yang menjijikkan. Pada saat pertama kali bertemu, saya tidak menyangka ia pembunuhnya. Hirasawa tidak bersalah di mata saya, sampai saya berhasil menggali bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ia bersalah. Saya yakin ia melakukan pembunuhan massal itu walaupun saya kasihan kepadanya.”

(The Super Sleuths


Baca Juga: Mencari 'Mayat Hidup'

 

 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553725947/kartu-nama-yang-membuka-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680808772000) } } [7]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682450" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/berakhirnya-hari-hari-sibukjpg-20230213031425.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "Anson dan 2 temannya mengamati sebuah bank selama beberapa minggu. Mereka berencana merampok uang gaji karyawan yang dikirim pada tanggal tertentu." ["section"]=> object(stdClass)#148 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/berakhirnya-hari-hari-sibukjpg-20230213031425.jpg" ["title"]=> string(27) "Berakhirnya Hari-Hari Sibuk" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:14:50" ["content"]=> string(31492) "

Intisari Plus - Anson dan 2 temannya mengamati aktivitas sebuah bank selama beberapa minggu. Mereka berencana merampok uang gaji karyawan yang dikirim pada tanggal tertentu.

--------------------

“Jumat yang akan datang merupakan hari sibuk buat kami,” kata gadis montok itu, sehabis mereguk Manhattan-nya. “Jumat yang akan datang ‘kan tanggal 15. Setiap tanggal 1 dan 15, repot deh kami mengurusi uang gaji karyawan pabrik baja dan pabrik pesawat.”

“Oh, ya?” jawab Anson Grubb dengan penuh minat, tetapi pura-pura cuek.

“Ya. Bayangkan, kami harus menangani uang tunai hampir setengah juta dolar!”

“Kalau begitu kau perlu bersenang-senang dulu sebelum Jumat tiba. Ayo, kita berdansa,” kata Anson merayu. Padahal ia muak pada gadis norak itu. “Bisa saya bayangkan,” sambung Anson, “pagi-pagi uang datang, lalu sorenya karyawan berbondong-bondong menguangkan cek mereka.”

“Oh, uangnya tidak datang hari Jumat, tapi Kamis lewat tengah hari,” cerita karyawati bank itu sambil berdansa.

“Ya, lumayanlah buat kalian kalau begitu. Pasti uang itu datang setelah bank tutup.” 

“Ah, tidak! Kami baru tutup pukul 15.00. Uang datang kira-kira pukul 14.00. Jadi pukul 15.00 sudah aman di dalam ruang baja.”

 

Persiapan yang saksama

Jeremy Thorpe berdiri di ujung meja tempat para pelanggan biasa menulis di bank, sambil memegang bolpoin. la mengeluarkan buku tabungannya, lalu mengambil sehelai formulir tabungan dari meja itu. Salah sebuah ujung formulir tabungan itu ia lipat, sehingga bagian belakang kertas yang kosong kelihatan. Ia mencorat-coret sesuatu di bagian kertas yang kosong itu. Dahinya berkerut seakan-akan ia sedang mengerjakan hitungan yang sulit, padahal yang dibuatnya adalah gambar segi empat. Di sisi utara dibuatnya dua garis dan diberinya keterangan: “pintu”. Di sisi kanan digambarnya segi empat kecil dan ditulisinya: “manajer”. 

Sepanjang sisi selatan ditariknya garis, untuk menggambarkan dinding setengah badan yang memisahkan tempat tamu dengan tempat karyawan. Di sepanjang dinding itu terdapat empat loket kasir dan lorong menuju ke belakang bank, yaitu tempat ruang baja berada. Lorong itu berpintu dan pintunya terkunci. Di sisi kiri, dekat pertemuan dinding timur dan utara ditulisinya: “meja tempat menulis”. 

Jeremy melipat kertas yang digambarinya itu, lalu memasukkan ke saku mantelnya. Diambilnya formulir baru untuk diisi. Hari ini ia akan menabung 5 dolar. Di tempat yang disediakan untuk menuliskan nama, ditulisnya “Arthur Samuels”. Dibawanya formulir itu berikut uang 5 dolar ke salah sebuah loket.

Ini untuk ketiga kalinya ia berada di dalam bank itu. Hampir sebulan yang lalu ia membuka tabungan dengan menyimpan 50 dolar. Minggu lalu ia menambah tabungannya dengan menyimpan 20 dolar lagi. Sekarang ia akan memasukkan 5 dolar. Setiap kali ia mencari kasir yang berbeda.

Kasir mengambil buku tabungan Jeremy, formulir yang sudah diisi dan uang 5 dolar. Kasir itu belum pernah melihatnya dan pasti tidak tahu namanya bukan Arthur Samuels. Kasir mencap buku tabungan, menyimpan uang 5 dolaran, dan formulir yang sudah diisi di lacinya, lalu mengembalikan buku tabungan kepada Jeremy. Jeremy mengambil bukunya, lalu berjalan langsung ke pintu kaca sambil melirik sekali kepada manajer. 

Saat itu pintu keluar dari perunggu dalam keadaan terpentang lebar. Satpam bank yang berseragam, sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita lanjut usia yang rambutnya sudah putih semua. Ini berlangsung pada hari Selasa.

 

Mata-mata

Di sebuah kafetaria seberang bank, Carl Semmer bisa melihat dengan jelas ke bank. Di sebelah kanan bank, ada jalan untuk mobil yang berakhir di muka sebuah pintu. Pada hari kamis, truk-truk yang membawa uang gaji karyawan American Steel dan Tartogue Aircraft akan diparkir di muka pintu belakang itu. Para satpam yang mengawalnya akan turun dari kendaraan dan mengangkut uang ke dalam bank lewat pintu tadi. Uang itu akan disimpan di ruang baja dan baru akan dikeluarkan lagi pada saat karyawan datang untuk menguangkan cek mereka hari Jumat. 

Carl sudah dua kali berturut-turut menyaksikannya dari kafetaria ini. Uang gaji untuk karyawan American Steel tiba dalam truk berlapis baja yang menggunakan lambang International Armored Car Corp. Tanggal 14 bulan lalu truk itu tiba pukul 14.01 dan tanggal 31 bulan lalu tiba pukul 14.07. pada kedua kesempatan itu para satpam memerlukan waktu kira-kira 6 menit untuk menurunkan uang sampai berangkat lagi. 

Tanggal 14, gaji karyawan Tartogue Aircraft yang dibawa oleh truk Safeguard Company tiba pukul 14.10. Pada tanggal 31, truk Safeguard Company tiba pada saat truk International Armored Car Corp masih diparkir di muka pintu. Jadi truk kedua ini menunggu di depan Pasar Swalayan A&P di dekat bank. Ketika truk pertama berangkat, truk kedua masuk dan tiba di muka pintu pada pukul 14.15. Pada kedua kesempatan itu truk-truk pembawa uang sudah lenyap dari penglihatan pada pukul 14.22. 

Carl mengamati peristiwa ini dengan sangat saksama. Sekarang ia mengawasi peristiwa lain dengan sama saksamanya.

Lonceng besar di dinding luar bank menunjukkan pukul 14.59. Carl melirik ke arlojinya untuk mencocokkan waktu. Matanya bergerak ke tangga di muka bank, ketika ia melihat Anson Grubb menaiki tangga menuju ke pintu kaca. Saat Anson masuk ke bank, Carl mengamati lonceng besar lagi. Dengan sangat perlahan, jarum panjang bergerak. Pukul 15.00.

Kini kelihatan Jeremy Thorpe menaiki tangga. Ketika tiba di muka pintu kaca, satpam yang berseragam menggelengkan kepala dengan senyum menyesal. Jeremy menjentikkan jarinya dan berbalik untuk menuruni tangga sementara satpam menutup pintu perunggu. Carl memandang arlojinya. Untuk menutup pintu perunggu diperlukan waktu 30 detik.

Carl tetap mengawasi. Pukul 15.05 salah sebuah daun pintu perunggu terbuka dan seorang wanita lanjut usia keluar. Pintu tertutup lagi. Pukul 15.07 pintu terbuka lagi dan dua orang tamu keluar. Pukul 15.10 empat tamu keluar. Pukul 15.17 dua tamu keluar dan pukul 15.21 Anson Grubb keluar. Carl tahu, Anson adalah orang terakhir yang meninggalkan bank.

Carl membayar kopinya dan kembali ke kamar sewaannya di bagian lain kota itu. Ini terjadi pada hari Rabu.

 

Berlatih lagi

“Truk uang akan sudah lenyap pada pukul 14.25,” kata Anson malam itu, “Taruhlah truk terlambat sampai pukul 14.30 dan di dalam juga terlambat. Tapi bisa dipastikan kalau pada pukul 14.35 uang itu sudah selamat masuk ke ruang baja.” Anson menggosok dagunya sambil berpikir. Ia jangkung; rambutnya hitam, dan matanya biru, sedangkan hidungnya mancung sekali. Setelan jasnya yang biru itu tidak tercela.

“Mana gambarmu, Jerry?” tanyanya. Jeremy Thorpe bangkit untuk mengambil bagan dari bank yang tadi ia gambar di balik formulir tabungan, tetapi kini sudah disalin ke kertas yang lebih besar.

Sekali lagi teman-temannya mempelajari bagan itu. Padahal entah sudah berapa kali mereka mengamatinya sampai hafal, sambil membayangkan dalam tiga dimensi.

“Cuma dua dari kita yang akan masuk. Paham?” tanya Anson.

“Nggak sebaiknya kita semua masuk?” tanya Carl yang gemuk pendek dan berhidung seperti anjing bulldog. 

“Tidak. Dua cukup. Kau paham, Jerry?” 

Hidungnya yang seperti hidung wanita itu kembang kempis. “Kalau perhitungan kita meleset, celaka dong yang meninggalkan bank paling akhir.”

“Perhitungan kita tidak mungkin meleset. Bagaimana kalau kita ulangi lagi?”

“Ya, lebih baik diulangi,” jawab Jeremy.

“Baik. Begini, ya! Truk-truk itu sudah akan pergi pukul 14.30, menurut yang sudah kita saksikan. Uang sudah berada di ruang baja pukul 15.35. Saat itu Carl mengawasi dari kafetaria di seberang jalan. Kalau ternyata truk-truk itu datang terlambat, ia akan menelepon supaya kita membatalkan rencana sampai tanggal 1 bulan depan. Jadi tak ada risiko meleset. Ya, ‘kan?”

“Ya.” 

“Baik! Jika pukul 14.45 tidak ada telepon dari Carl, kamu, Jerry, dan aku berangkat dari sini. Kita cuma memerlukan waktu 5 menit untuk mencapai tempat parkir di Main dan West Davis. Karena itu tempat parkir umum, di situ kita tidak usah berurusan dengan tukang parkir segala. Kita tinggal memarkir dan meninggalkan mobil. Pukul 14.50 kita meninggalkan tempat itu menuju bank. Kita cuma memerlukan waktu 4 menit. Tapi kita akan berleha-leha supaya bisa tiba pukul 14.58, sehingga tidak akan menemui kesulitan masuk ke bank. Kalau terlalu mepet ke pukul 15.00 kita bisa ditolak” 

“Aku akan langsung menuju meja manajer. Pada pukul 15.00 ada empat hal yang akan terjadi! Pertama: satpam akan menutup pintu logam sehingga tidak ada orang lain yang bisa masuk. Kedua: Kau Jerry, akan pergi ke satpam untuk memberi tahu bahwa sedang terjadi perampokan bank dan ia mesti bersikap normal. Tak ada orang yang boleh masuk ke bank. Mengerti?”

“Mengerti.”

“Ketiga: Aku akan duduk di muka manajer dan memberi tahu bahwa di sakuku ada pistol dan aku ingin ia membawaku ke ruang baja. Keempat: Carl akan meninggalkan kafetaria begitu melihat pintu perunggu tertutup dan menuju ke tempat parkir.”

“Sampai sekian sih tidak apa-apa, tetapi berikutnya mengkhawatirkan,” kata Jeremy.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan! Pukul 15.00 kau dan aku berada di dalam bank. Cuma ada dua orang di bank itu yang tahu bahwa bank sedang dirampok. Orang lain baru akan tahu kalau kita sudah kabur.”

“Carl memerlukan waktu 4 menit untuk mencapai mobil di tempat parkir. Pada saat ia tiba di mobil pukul 15.04, manajer bank dan aku akan meninggalkan mejanya dan melalui pintu yang harus dibuka dulu kuncinya di sebelah kanan loket kasir, kami akan pergi ke ruang tempat ruang baja. Kau tetap di pintu masuk bersama satpam bank, Jerry. Beberapa tamu akan keluar. Biarkan saja. Pukul 15.05 pintu ruang baja akan dibuka. Manajer dan aku akan masuk ke dalamnya.”

Carl tiba-tiba memotong. “Lampu lalu lintas di sudut Main dan West Davis akan merah pada pukul 15.06 dan baru akan hijau lagi pukul 15.07,” katanya. “Kita perlu waktu 2 menit dari situ sampai di muka pintu belakang bank.”

“Pada pukul 15.09 itu berarti aku sudah 4 menit berada di ruang baja,” sambung Anson. “Menurut perhitunganku, dalam waktu 6 menit aku sudah selesai menguras isinya. Aku ‘kan sudah latihan mengisi koper dan selalu berhasil menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 menit. Taruhlah selesai dalam 6 menit. Berarti pukul 15.11 aku sudah siap meninggalkan ruang baja. Carl sudah parkir di pintu belakang, tempat truk uang biasa diparkir.”

“Saat itu aku masih bersama si satpam,” kata Jeremy.

“Betul!” jawab Anson. 

“Pukul 15.11 aku meninggalkan ruang baja dan mengunci pintunya. Si manajer berada di dalam ruang itu. Percuma saja ia berteriak teriak, karena tidak akan terdengar dari luar. Dari sana aku akan berbelok ke kiri, ke pintu belakang. Jaraknya kira-kira 3 m. Aku buka pintu dan masuk ke mobil. Aku duduk di belakang dan Carl akan meIuncur dari pintu belakang itu menuju ke jalan. Taruhlah dua menit. Kami sudah akan berada di muka pintu bank pukul 15.13. Saat itulah kau bergabung dengan kami, Jerry.”

“Ini dia yang paling tidak kusukai,” kata Jeremy. “Nggak enak pergi paling belakang.”

“Ah, apa yang perlu kau risaukan? Pukul 15.13 kau suruh satpam buka pintu, lalu kau keluar menuju ke mobil. Kau cuma perlu waktu 20 detik untuk itu. Padahal satpam memerlukan waktu sedikitnya 30 detik untuk menghilangkan kagetnya. Berarti ada selisih waktu 10 detik. Saat itu kita sudah berbelok. Kita sudah meluncur di jalan bebas hambatan sebelum polisi tahu. Satpam mungkin berlari ke jalan untuk berteriak-teriak sebelum sadar bahwa ia harus membunyikan alarm.”

“Betapapun aku tidak mau meninggalkan bank paling akhir.”

“Kenapa tidak? Yang membawa uang ‘kan aku? Kalau kau meninggalkan bank, ‘kan kau sama saja seperti semua orang lain. Percayalah, kami sudah akan ada kalau kau keluar. Tidak bakal meleset.”

“Harap saja begitu,” jawab Jeremy masih sangsi.

 

Berganti hidung

Kamis tanggal 14 pun tiba. Matahari bersinar cerah, membuat orang ceria. Di dalam bank, semua karyawan ingin agar waktu makan siang lekas tiba. Mereka mendambakan sentuhan sinar matahari di luar gedung.

Anson, Carl, dan Jeremy makan siang di sebuah restoran kecil. Mereka tidak berkumpul, melainkan berpencar dan pura-pura tidak kenal. Lalu mereka kembali ke sebuah kamar sewaan untuk berdandan. Anson sudah memberi tahu teman-temannya bahwa mereka harus tidak dikenali. Namun mereka tidak boleh memakai topeng, sebab orang di dalam bank akan lekas menyadari kalau bank dirampok.

“Kita harus kelihatan normal, seperti semua orang lain,” kata Anson. “Jadi kita harus menyamar.”

Carl yang hidungnya seperti bulldog lantas menambal hidungnya dengan lilin yang biasa dipakai para aktor panggung, agar tampak bengkok. Jeremy menyulap hidungnya yang halus seperti perempuan menjadi “hidung cutbrai”. Anson memilih hidung model petinju, Iantas mereka mewarnainya dengan peralatan panggung yang disediakan oleh Anson.

Setelah rampung, ketiganya mengenakan rambut palsu. Carl memakai alis palsu yang lebat, sedangkan Anson memasang kumis. 

Pukul 13.32 truk International Armored Car Corp tiba di kantor American Steel. Dua satpam bersenjata api mengangkut uang gaji ke dalam truk itu. Pukul 13.35 truk dari Safeguard Company tiba di Tartogue Aircraft untuk mengambil uang gaji. 

Sementara itu pukul 13.37 Anson Grubb menyuruh Carl agar buru-buru menyelesaikan dandanannya. Carl mengenakan kemeja kuning dan dasi. Mereka bertiga mengenakan jaket, bukan jas. Di luar jaket itu mereka mengenakan mantel. Orang yang melihat mereka tidak akan menyangka kalau di balik mantel itu ada jaket yang biasa digunakan para pekerja kasar, bukan jas karyawan kantor. 

Nanti, kalau sudah berada di dalam mobil, mereka akan mencopot semua atribut penyamaran itu, mulai dari tambalan hidung sampai dasi dan mantel. Mereka cuma akan mengenakan kemeja dan jaket. Jadi beda sekali dengan penampilan yang dikenal oleh orang di dalam bank. 

Jeremy akan diturunkan di suatu tempat sambil membawa koper berisi atribut penyamaran. Di tempat itu ia akan berlari ke belakang mobil, untuk mencopot nomor palsu yang ditempel di nomor asli mobil. Anson akan diturunkan di tempat lain sambil membawa koper duit. Ia juga akan membawa senjata apinya dan senjata api Carl. Jadi percuma saja kalau polisi mencari tiga orang yang bermobil bersama-sama. 

Kalau Carl sampai distop polisi sehabis menurunkan kawan-kawannya, maka padanya tidak akan dijumpai senjata maupun uang. Nomor mobilnya pun lain. Ia tidak mengenakan jas, tetapi jaket pekerja. Tidak ada alasan untuk menahannya. 

Dua minggu lagi, di tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari bank yang mereka rampok, mereka akan bertemu untuk membagi hasil rampokan. 

Carl berniat menggunakan uangnya untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik. Jeremy akan kabur ke Meksiko karena di sana ia merasa aman. Anson tidak memberi tahu rencananya. 

Akhirnya tiba saatnya untuk berangkat. Mereka mencocokkan waktu di arloji mereka dengan arloji Anson, yang sudah lebih dulu dicocokkan dengan jam di bank pagi itu. 

Pukul 13.50 Carl meninggalkan kamar sewaan mereka.

 

Hai, Mister!

Carl merasa lega ketika pelayan kafetaria tidak mengenalinya. Kemarin, sebagai pria berhidung bulldog ia memesan kopi. Hari ini sebagai pria berhidung bengkok ia memesan cherry coke. Begitu pesanannya tiba, ia segera membayar, supaya nanti tidak perlu terburu-buru membereskan pembayaran. Setelah itu ia duduk menghirup coke-nya perlahan-lahan sambil memandang ke seberang jalan.

Pukul 14.03 truk International Armored Corp tiba. Carl mengawasi para satpam turun membawa uang gaji para karyawan American Steel. Mereka masuk ke pintu belakang bank. Pukul 14.08 para satpam itu masuk ke truk. Truk mundur meninggalkan halaman bank, lalu meluncur ke jalan raya. Pukul 14.10 truk lapis baja kedua tiba dan pukul 14.16 sudah berangkat lagi. Carl mengakurkan arlojinya dengan jam di dinding bank. Ia merasa lega. 

“Minta koran, dong,” katanya kepada pelayan kafetaria. Pelayan memberi koran dan Carl membayarnya. Sambil pura-pura membaca, sebentar-sebentar ia melirik ke bank. Tidak banyak orang yang datang ke bank itu. Syukurlah. Semua tampaknya berjalan dengan lancar. 

Carl sebetulnya sangat ingin menelepon Anson dan Jeremy, untuk memberi tahu bahwa harta mereka sudah tiba, tetapi ia tidak ingin mengagetkan mereka. Menit demi menit merayap dengan lamban. Pukul 14.45, ia tahu Anson dan Jeremy meninggalkan kamar sewaan. Jadi dilipatnya koran itu, lalu perlahan-lahan dihirupnya coke yang dipesannya tadi. Pukul 14.57 dilihatnya kedua konconya itu muncul di jalan. Carl bangun, lalu berjalan menuju ke pintu kaca kafetaria. 

“Hai, Mister!” seru pelayan kafetaria. Carl berbalik kaget. 

“Ya?”

“Koran Anda ketinggalan.”

“Ooh! Terima kasih. Ambil sajalah!”

Dari balik pintu kaca dilihatnya Anson dan Jeremy berjalan melewati Pasar Swalayan A&P, menyeberangi jalan semen tempat truk duit biasa lewat dan menuju ke tangga depan pintu. Satpam tersenyum ketika mereka masuk melewati pintu kaca. Jam dinding di atas pintu itu menunjukkan pukul 14.58. Semua berjalan lancar seperti rencana. Pukul 15.00 satpam bank mengatupkan pintu perunggu yang besar itu. Carl segera meninggalkan kafetaria, menuju ke mobil di tempat parkir umum. 

 

Ada pistol di sakuku

“Bank sedang dirampok,” kata Jeremy kepada satpam bank. 

“Apa?” kata satpam itu ketika ia berbalik dari pintu yang baru selesai ditutupnya.

“Ada pistol di sakuku. Tutup mulut kalau tak mau ada korban jatuh. Kalau kau berani buka mulut, semua manusia di sini habis kutembaki.”

Satpam itu terbeliak lalu memandang tonjolan di saku Jeremy. Tadinya ia berniat berteriak tetapi ketika beradu pandang dengan pria di depannya hatinya menciut. Pria ini bertampang pembunuh. 

“Jangan biarkan orang masuk, tapi kalau ada yang mau keluar, silahkan. Bersikaplah seperti biasa. Jangan mencoba berbuat yang aneh-aneh. Kita akan bercakap-cakap di sini seakan-akan tidak ada apa-apa. Paham?” Satpam itu mengangguk. 

Sementara itu Anson mendekati meja manajer. 

“Selamat siang, Pak,” kata manajer. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Aku membawa pistol,” jawab Anson perlahan. “Aku mahir sekali menggunakannya. Bangkit dan berjalanlah bersama aku ke ruang baja. Jika ada yang memandang dengan curiga, tersenyumlah kepada mereka seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Nanti kau harus membuka pintu ruang baja dan kita masuk bersama-sama. Berani beri isyarat sedikit saja kepada orang lain, kau akan menjadi mayat. Mengerti?”

“Me…mengerti,” jawab manajer itu. Ia menaksir jarak kakinya dengan bel alarm di lantai, lalu jarak jantungnya dari pistol di saku pria berambut merah dan berkumis di depannya. Ia memutuskan untuk mengikuti permintaan si rambut merah. Ia bangkit lalu berjalan bersama Anson ke pintu menuju ruang baja. Ia memberi isyarat dengan tangan ke kasir yang paling dekat pintu itu. Kasir pun menekan tombol dan pintu itu pun terbuka.  Manajer dan Anson melewati pintu itu lalu berjalan ke pintu ruang baja. Salah seorang kasir menoleh kepada manajer. Manajer tersenyum dan mengangguk, sehingga kasir pun meneruskan pekerjaannya. 

“Buka,” bisik Anson. Manajer menurut. Ia memutar beberapa tombol di pintu besar dari baja itu. Pukul 15.05 pintu baja itu terbuka. Manajer dan Anson masuk. Satpam bank mengawasi dari tempatnya berdiri. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum kepada seorang pelanggan yang akan keluar dari bank. 

 

Duitnya masih baru

Carl duduk di belakang kemudi mobil dan melirik arlojinya. Pukul 15.06. ia melihat ke lampu lalu lintas di sudut Main dan West Davis. Ia menunggu sampai lampu hijau menyala pukul 15.07. Carl berbelok lalu meluncur ke bank yang letaknya di ujung jalan. Empat menit lagi Anson akan keluar dari pintu ke belakang bank, membawa tas berisi setengah juta dolar. Dua menit kemudian Jeremy akan meninggalkan pintu depan bank dan mereka bertiga akan melesat pergi sebelum orang-orang menyadari apa yang terjadi.

Carl meluncur santai di jalan. Di jalur yang berlawanan mobil antre, tetapi di jalur yang dilaluinya cuma ada sebuah mobil di belakangnya. Carl bisa melihat Pasar Swalayan A&P di depannya dan di sebelahnya terdapat jalan untuk mobil yang ingin memasuki halaman bank menuju pintu belakang. Ia memberi tanda dengan lampu sein bahwa ia akan berbelok ke halaman bank. Saat itulah ia melihat truk A&P melintang menutupi jalan masuk ke halaman bank. Truk itu bermaksud mundur ke depan pasar swalayan. Anson menyumpah-nyumpah di dalam hati sambil menginjak remnya. Truk raksasa itu seperti gajah dungkul, yang tidak lincah untuk dikendalikan, sehingga perlu waktu lama untuk sekadar parkir dengan benar di depan pasar swalayan. 

Carl memandang arlojinya. Pukul 15.09 dan moncong truk masih mengalangi mulut jalan ke halaman bank. Ia masih mempunyai waktu dua menit lagi. Pria di mobil yang berada di belakangnya mulai membunyikan klakson. “Diam kau!” maki Carl dari dalam mobilnya yang tertutup rapat sehingga suaranya tidak terdengar keluar. Pria di belakangnya membunyikan klakson lagi berulang-ulang. Ia meminta jalan. Carl jadi naik darah. Tiba-tiba ia menginjak gasnya sehingga mobil melejit ke sudut jalan lalu membuat putaran U melawan arus lalu-lintas. la meluncur lagi dan memberi tanda untuk berbelok ke kiri. la masuk ke jalan mobil di halaman bank, ketika truk mundur ke posisi di depan pasar swalayan. Saat itu sudah pukul 15.11. Beberapa detik lagi Anson akan keluar dari pintu belakang bank.

“Ya, ampun. Maju dikit dong!” kata seseorang dari pasar swalayan.

“Maju ke mana, tolol? Lihat enggak nih? Sudah hampir menutupi jalan orang,” jawab sopir truk.

“Persetan! Kau mundur terlalu dekat mobil ini. Aku tidak bisa buka pintumu.” Begitu Carl mendengar. Jantung Carl seperti mau copot ketika mendengar mesin truk dihidupkan lagi. 

Sementara itu di dalam ruang baja, Anson mengeduki duit yang masih baru-baru dengan gesitnya. “Berdiri di sudut sana!” perintahnya kepada manajer. Tangan Anson yang sebelah memegang pistol, sedangkan yang sebelah lagi menumpukkan gepokan uang di tas. Ketika koper ditutupnya, arloji menunjukkan pukul 15.10.

“Jangan berteriak-teriak. Dengan uang di tanganku, aku lebih siap membunuh, tahu!” katanya ketika mundur ke pintu ruangan itu. Lalu dimasukkannya pistolnya ke saku dan dibantingnya pintu. Diputarnya beberapa tombol. Ia berjalan cepat ke pintu belakang tanpa menoleh-noleh lagi. Jeremy melihat Anson bergegas keluar pintu ruang baja lalu keluar gedung. la melirik jam di dinding dekat loket kasir. Pukul 15.11. Dua menit lagi ia akan sudah keluar dari ini. 

Anson turun ke jalan mobil di samping bank. la membuka pintu belakang mobil. “Siap, jalan Carl!”

“Jalan ke mana? Jalan kita ditutupi truk!”

Anson menengok ke kaca belakang. Dahinya berkeringat melihat truk A&P mengalangi jalan keluar.

“Mundur sejauh yang kau bisa. Akan kusingkirkan truk itu ....”

“Bagaimana menyingkirkannya?”

“Pokoknya, mundur dulu!” 

“Lagi, Carl!”

“Tidak bisa lagi.” 

“Aku turun dulu memindahkan truk keparat ini. Begitu bisa keluar, segera keluar, aku susul kau di jalan.”

“Bagaimana”

“Ayo!” 

Anson berlari menuju truk, lalu memundurkannya. Terdengar teriakan dan bunyi logam menabrak logam, karena truk itu menggilas mobil di belakangnya. Ketika ia melompat keluar dari truk, dilihatnya Jeremy menuruni anak tangga. Wajah Jeremy pucat ketika tidak melihat kendaraan Carl di muka bank. Ia menengok ke belakang, ke arah pintu logam bank. Kedengaran bunyi mobil Carl mundur. 

“Jeremy!” teriak Anson. “Sini! Cepat!”

Jeremy melihat Anson dan cepat berlari. Saat itu pintu perunggu terbuka dan satpam bank berteriak, “Berhenti! Rampok!”

Jeremy tetap berlari tetapi sambil menoleh ke bank dan mengacungkan pistolnya. Anson berteriak, “Jeremy! Awas!” Saat itu mobil Carl mundur dengan cepat dan menabrak Jeremy. Jeremy berteriak. Tubuhnya terseret. Ia berteriak lagi ketika ban mobil menggilas badannya sampai gepeng. Setelah itu ia diam. 

Kini satpam bank sudah berada di kaki tangga. Tangannya memegang senjata api. Anson cepat membuka pintu belakang. Satpam membidik dengan cermat. Dua bunyi tembakan terdengar. Dua lubang berdarah terbentuk di punggung Anson. Ia terjengkang sambil masih berusaha berpegangan ke mobil yang mundur. Namun pegangannya terlepas. Ia terjerembab mencium tepi jalan. 

“Uang! Uang masih ada di mobil!” Itu yang terpikir oleh Carl. Saat itu kaca depan mobil berantakan. Carl masih mengira bahwa lubang-lubang di kaca ditimbulkan oleh peluru, sebelum lehernya lunglai dan wajahnya menimpa kemudi.

Hari yang sibuk sudah berakhir. Esok hari gajian. (Ed.McBain)

Baca Juga: Bob si Koboi Ternyata Perempuan

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682450/berakhirnya-hari-hari-sibuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301290000) } } [8]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517242" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/bob-si-koboi-ternyata-perempuan_-20221009071606.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(133) "Peggy Jo Tallas dikenal sebagai sering mengenakan pakaian koboi dan merampok bank. Polisi pun sempat dibuat bingung oleh kelakuannya." ["section"]=> object(stdClass)#152 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/bob-si-koboi-ternyata-perempuan_-20221009071606.jpg" ["title"]=> string(31) "Bob si Koboi Ternyata Perempuan" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 19:16:43" ["content"]=> string(32595) "

Intisari Plus - Peggy Jo Tallas dikenal sebagai sering mengenakan pakaian koboi dan merampok bank. Polisi pun sempat dibuat bingung oleh kelakuannya.

-------------------

Peggy Jo Tallas (46) memang wanita Texas yang baik hati. Sebagian besar masa dewasanya ia habiskan bersama ibunya yang sakit-sakitan, di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota Dallas, Amerika Serikat. Setiap pagi, usai bangun dan merapikan tempat tidur, ia masuk ke kamar tidur ibunya, membetulkan selimutnya, membimbingnya ke meja makan, membuatkannya sereal, dan menyiapkan obat-obatan buat ibunya.

Keduanya sering duduk di meja makan sambil ngobrol. Peggy baru makan setelah hari agak siang. la merokok dulu ditemani secangkir kopi. Setelah ibunya selesai makan, Peggy Jo menuntunnya masuk ke kamar, menyiapkan segelas air putih dan novel roman di meja samping, sebelum kembali ke kamarnya sendiri untuk berdandan.

Biasanya, ia suka mengenakan celana panjang warna khaki, blus dengan potongan simpel, dan sepatu tanpa tali. Tapi pada suatu pagi yang indah di bulan Mei 1991, Peggy Jo tampil beda. Kali itu ia memilih mengenakan celana panjang dan kemeja pria berwarna gelap, dilapisi jaket kulit warna cokelat. Biar kelihatan lebih berisi, tubuhnya diganjal dengan handuk. Habis itu ia memakai sepatu bot, meski agak kebesaran buat kakinya.

Ia mengambil topeng berbentuk kepala dari styrofoam yang sudah dipasangi janggut palsu dan topi koboi berwarna putih. Di kamar mandi, ia mengecat rambutnya dengan warna abu-abu. Tak lupa ia memakai kacamata hitam dan sarung tangan. Di secarik kertas, ia menuliskan sesuatu sebelum dikantongi.

“Sebentar ya, Ma,” kata Peggy Jo saat melewati pintu kamar ibunya. la pergi meninggalkan rumah dengan Pontiac Grand Prix dua pintu buatan 1975, menuju ke American Federal Bank (AFB). 

“Siang, Pak,” sapa kasir bank dengan ramah. “Ada yang bisa dibantu?”

Peggy Jo mengambil kertas dari kantong bajunya. “Ini perampokan,” bunyi tulisan di kertas itu. “Serahkan semua uang. Jangan ada yang diberi tanda, apalagi bom tinta.”

Setelah segepok uang disodorkan, Peggy Jo mengangguk sambil memasukkan uang itu ke dalam tasnya dan ngeloyor pergi, kembali ke apartemen. Ibunya masih terbaring di ranjang, menunggu Peggy menyiapkan makan siang untuknya.

 

Beraksi lagi

Dalam buku-buku kriminal, pelaku kejahatan selalu berlatar belakang tingkat sosio-ekonomi rendah. Kebanyakan orang muda pecandu narkoba. Saat masuk ke bank, jari-jari mereka tegang, kepala geleng kiri-kanan mencari satpam. Mereka juga berteriak-teriak mengancam sambil mengacung-acungkan senjata api. Begitu uang didapat, mereka menghambur keluar begitu rupa sampai menabraki orang-orang di jalan. 

Tapi gaya Peggy Jo Tallas beda. Menurut Michelle, kemenakannya, “Tiap kali saya ikut mobilnya, Bibi Peggy tak pernah melarikan mobilnya melebihi batas kecepatan maksimum. Dia juga tak pernah menerobos lampu merah.”

Peggy tak cuma merampok satu bank. Sejak menyatroni AFB, Mei 1991, ia merampok banyak bank yang lain. Selain selalu bekerja sendiri, Peggy juga pandai menyamar, sebagai laki-laki. Begitu sempurna sampai penegak hukum tidak menyadari kalau buron mereka itu wanita.

Satu lagi, Peggy bertekad tak mau melukai siapa pun. Makanya ia tak pernah bersenjata apa pun saat merampok. “Ia paham bagaimana masuk dan keluar bank dalam 60 detik. Sangat terampil dan efisien, sama hebatnya dengan perampok pria yang pernah saya temui,” kata Steve Powell, mantan agen FBI yang banyak menangani kasus perampokan bank di Dallas awal 1990-an.

Di AS, perampok bank wanita bukannya tak pernah ada. Namun, kebanyakan wanita muda. Seperti halnya perampok pria, mereka melakukannya untuk membeli narkoba.

Ketika akhirnya Powell bersama tim agen FBI-nya berhasil menangkap Peggy Jo di dekat apartemennya tahun 1992, mereka tak pernah menduga akan berurusan lagi dengan wanita itu. Perampok yang satu ini memang aneh. Ia tidak miskin, juga bukan pecandu narkoba ataupun alkohol. Dengan menyesal, Peggy Jo mengaku bersalah. Ia diganjar hukuman penjara selama tiga tahun.

Pada bulan Mei 2005, terbetik berita sebuah bank kecil Texas Timur disatroni wanita perampok berusia 60 tahun yang berpakaian serba hitam, topi lebar hitam, dan kacamata hitam. la begitu sopan dan tidak menggunakan senjata api saat berhadapan dengan kasir. Setelah menaruh uang hasil rampokan ke dalam tasnya yang juga berwarna hitam, ia mengangguk sambil mengucapkan “terima kasih”, lalu keluar menuju ke mobilnya, Frontier RV (semacam mobil rumah).

Setelah sekian tahun lamanya, Peggy Jo kembali beraksi.

 

Cantik dan liar

Jika ingin mengenal Peggy Jo, kita mesti kembali ke Dallas di akhir 1950-an, saat ia masih berusia belasan tahun. “Senyumnya manis dan tulus sehingga bikin orang ingin membalas senyumnya,” kata Karen Jones, teman akrab di masa kecilnya.

Peggy Jo anak bungsu dari tiga bersaudara. Saat ia berumur empat tahun, ayahnya meninggal karena kanker, lalu ibunya, Helen, bekerja sebagai pembantu perawat untuk menopang hidup keluarganya. Mereka tinggal di rumah kontrakan berukuran kecil di Grand Prairie, pinggiran kota. Nancy, saudara perempuan Peggy, seorang mayoret di SMU dan Pete, kakak laki-lakinya, pemain basket pada tim tingkat kabupaten. Peggy Jo sendiri drop out ketika kelas 1 SMU. “Banyak hal dapat dikerjakan dalam hidup daripada menghabiskan banyak waktu di sekolah,” ungkap Karen menirukan ucapan Peggy Jo.

Sewaktu berusia 20 tahun, Peggy Jo sudah punya apartemen sendiri di Dallas Utara. la bekerja sebagai resepsionis di Hotel Marriot. Bersama Cherry Young, juga resepsionis di hotel itu, ia keluar hampir tiap malam. Peggy Jo selalu naik Fiat kecilnya. la suka menginjak gasnya kuat-kuat, lalu menyalip mobil-mobil lain dari satu lampu merah ke lampu merah lain. Mereka gemar mengunjungi kelab malam atau main biliar di Dallas. Juga sering menonton pertunjukan musik atau film. Film favoritnya Butch Cassidy and The Sundance Kid sudah berkali-kali dia tonton. Dibintangi Paul Newman dan Robert Redford, film itu berkisah tentang dua perampok bank dan kereta api, yang mirip Robin Hood, yang akhirnya tewas dihujani timah panas.

Kata Cherry, Peggy Jo tidak punya rencana segera untuk menikah dan punya anak. la juga tak peduli dengan karier maupun uang. Yang ia inginkan hanyalah bisa bertahan hidup, dapat membayar tagihan rekening, dan punya sisa sedikit uang untuk belanja minuman dan makanan setiap minggunya. “Ia bilang punya sedikit tabungan agar kelak bisa pergi ke Meksiko, tinggal di rumah penduduk di kawasan pantai dan mengenakan baju renang siang-malam,” kata Cherry. “Ia cantik dan liar.”

Seberapa liar? Suatu petang, saat Peggy Jo dan Cherry berkeliling naik Fiat, mereka menyalip sebuah mobil lapis baja pengangkut uang. Peggy Jo saat itu berkomentar, “Eh, aku bisa merampok mobil itu dan tak perlu takut apa-apa.”

“Kau butuh senjata api,” kata Cherry. 

“Oh, aku lebih cerdas dari itu,” jawab Peggy. 

Ucapannya memang tidak pernah jadi kenyataan. Tapi Peggy memang pemberani. Suatu malam ketika ketahuan ngebut, Peggy merobek surat tilang di depan polisi yang menangkapnya. Pernah suatu malam Peggy dan Cherry bertengkar di sebuah restoran di Fort Worth. Untuk mendinginkan suasana, Cherry pindah ke bar lain. Beberapa saat kemudian, Peggy Jo keluar meninggalkan restoran itu, lantas melarikan sebuah mobil pikap yang tak terkunci pintunya.

Polisi berhasil menangkapnya dan ia diganjar hukuman percobaan lima tahun.

 

Hidup mulai hambar

Rasa kecewa dalam hidup bukannya tak pernah singgah di hatinya. Pertengahan 1970-an ia dikecewakan oleh kekasihnya yang menikah dengan wanita lain. Tak lama kemudian, Peggy Jo pindah ke sebuah apartemen di Irving dan tinggal bersama ibunya yang sedang berjuang melawan penyakit tulang keroposnya. la mendapat pekerjaan baru di pabrik komputer dekat kantor.

“Sekali-kali kami jalan bareng,” kata Cherry yang saat itu bekerja sebagai pelayan kafe.

Menjelang tahun 1980, Cherry menikah dan pindah ke Oklahoma. Karen, teman masa kecilnya, juga sudah menikah. Peggy Jo yang atraktif dan bertubuh langsing tentu punya banyak kesempatan untuk membangun hubungan baru, tapi tampaknya ia justru menjaga jarak dengan laki-laki. “Mungkin hatinya sudah terluka, dan memutuskan untuk hidup sendiri,” kata Karen.

Waktu terus berlalu, tiba-tiba sudah memasuki tahun 1984. Saat itu Peggy Jo berusia 40 tahun. Ia punya pekerjaan lain di bidang jasa kurir, sehingga menyetir mobil van merambah jalan raya Dallas menjadi makanannya sehari-hari. Ia pindah bersama ibunya ke apartemen baru di pinggiran Kota Dallas yang lain, kali ini lebih dekat dengan tempat tinggal Michelle dan keluarganya.

Dalam beberapa tahun berikutnya, ia sendiri menderita gangguan kesehatan. Punggungnya cedera. Ia mesti menjalani mastektomi yang membuatnya harus terbaring beberapa minggu lamanya. Peggy juga mulai mengonsumsi obat penenang gara-gara penghasilannya dan tunjangan sosial buat ibunya tidak cukup, terutama untuk membiayai pengobatan ibunya yang melonjak naik. Tapi, “Peggy enggan minta bantuan. Ia suka menolong, tapi ia sendiri tidak ingin ditolong.”

 

Dikira pacar perampok

Sebagai perampok yang baru pertama kali beraksi, mestinya Peggy Jo diliputi rasa takut saat masuk ke AFB tahun 1991 itu. Memang tidak sedramatis seperti perampokan di zaman dulu, yang pakai menjebol dinding atau meledakkan ruang besi segala. Peggy hanya menyodorkan secarik kertas berisi perintah tertulis. Tindakan Peggy di tengah keramaian itu terhitung berani. Tidak saja disaksikan oleh karyawan dan nasabah bank, tapi juga terekam oleh kamera pengaman.

Hebatnya lagi, Peggy Jo tidak melakukan kesalahan mendasar sedikit pun seperti kerap dilakukan perampok pemula. Kepalanya menunduk sehingga kamera sekuriti tak dapat merekam wajahnya dengan baik. Ia tidak gelisah saat kasir bank membaca pesan tertulisnya. Begitu menerima uang, ia keluar dengan tenang. Mobilnya pun dia jalankan seperti tak terjadi apa-apa. Lampu merah juga tidak ia terobos. Pendeknya Peggy Jo berusaha seminimal mungkin menarik perhatian orang.

Nyatanya, setelah agen FBI Steve Powell meminta keterangan pada sejumlah karyawan bank dan mengamati rekaman kamera, ia tak ragu kalau sedang berhadapan dengan perampok bank profesional. Powell akhirnya memperhatikan topi koboi yang dikenakan perampok terbalik dan ia juga menduga janggutnya palsu. Meski demikian, ia tak pernah mengira kalau perampok itu sebenarnya wanita.

Desember 1991 Peggy Jo dengan kostum yang sama berhasil merampok AS $ 1.258 dari Bank Tabungan Amerika yang juga terletak di Irving. Saat itu seorang saksi mata berhasil mencatat pelat nomor mobilnya. Ketika anak buah Powell berhasil melacak pelat nomor itu lalu mendatangi pemiliknya, seorang wanita, yang tinggal tak jauh dari bank. Menurutnya, hari itu ia belum keluar rumah. Wanita itu mengantar petugas memeriksa mobilnya, sebuah Chevrolet merah. Saat itulah ia baru tahu jika pelat nomor mobilnya hilang. Para agen FBI menduga, pelat nomor mobil itu dicuri oleh si perampok untuk mengecoh polisi.

Sebulan kemudian Peggy Jo beraksi lagi. Kali ini sasarannya Texas Heritage Bank di Garland, dan hasilnya AS $ 3.000. Mei 1992, ia menggasak AS $ 5.137 dari Nations Bank di Mesquite. Dalam perampokan itu ia mengembalikan secara baik-baik segepok uang yang sudah disisipi bom tinta. Beberapa detik setelah perampok melewati mata elektronik yang dipasang di pintu keluar bank, bom itu akan meletus, lalu tintanya menodai uang hasil rampokan, bahkan kadang mengotori si perampok itu sendiri.

Saat itu Powell menjuluki perampok itu Bob si Koboi. September 1992, Bob si Koboi merampok First Gibraltar Bank di Mesquite sebanyak AS $ 1.772. Sepasukan polisi mengejarnya dengan sirene meraung-raung, dan 10 menit kemudian diikuti sejumlah kendaraan berisi agen FBI. Mereka melacak pelat nomor mobil si perampok, yang ternyata milik seorang warga Mesquite.

Namun, ketika sedang melakukan penyelidikan di First Gibraltar, mereka menerima berita kalau First Interstate Bank, 1 mil jauhnya, dirampok oleh laki-laki berjanggut dengan topi koboi, jaket kulit, dan sarung tangan. Ia berhasil menggondol AS $ 13.706. “Dia lagi. Sialan!” teriak Powell sembari meloncat ke mobilnya menuju ke bank itu.

Kali ini pelat nomor kendaraan yang dipasang di mobil Pontiac milik si perampok terlacak sebagai kepunyaan Pete Tallas. Agen FBI menemui Tallas di kantornya, pabrik onderdil mobil Ford di dekat Carrollton. “Saya bilang betul ketika para agen FBI bertanya apakah Pontiac itu mobil saya,” kata saudara laki-laki Peggy Jo ini. “Tapi mobil itu saya berikan kepada ibu dan Peggy Jo setahun lalu karena mereka tak mampu beli mobil.” Kata agen FBI, “Mobil itu dipakai untuk merampok.” Saya bilang, “Masa, mobil itu tidak bisa dibawa lari kencang.”

Kepada FBI Pete lalu memberi alamat apartemen Peggy Jo. Saat tiba di apartemen itu, tampak oleh Powell dan agen lain mobil itu ada di tempat parkir. Ketika sedang berdiskusi soal cara masuk ke apartemen untuk menangkap basah Bob si Koboi, mereka melihat seorang wanita bercelana pendek dan memakai T-shirt berjalan ke arah mobil itu.

Powell memandanginya. “Itu pasti teman wanita Bob si Koboi,” gumamnya kepada agen-agen lain. Mereka sengaja membiarkan wanita itu pergi dengan mobilnya sehingga Bob si Koboi tidak memergoki mereka. Ketika akhirnya mereka menghentikannya di sebuah sudut jalan, Powell memperkenalkan diri, dan wanita itu dengan sopan membalas memperkenalkan dirinya bernama Peggy Jo Tallas. Peggy mengakui mobil itu miliknya dan pagi tadi ia pergi membeli pupuk. Di bagasinya betul ditemukan sekantong pupuk tanaman. Ketika Powell minta izin untuk memeriksa apartemennya, Peggy Jo terdiam sejenak lalu bilang, di apartemen hanya ada ibunya yang sedang sakit.

Ibunya pelan-pelan turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu depan begitu mendengar bel pintu berdering. Setelah membuka pintu, ia berteriak karena tiba-tiba para agen FBI dengan senjata api di tangan merangsek masuk ke dalam. Mereka masuk ke kamar tidur Peggy. Tempat tidurnya rapi, semua pakaiannya juga tergantung rapi di lemari.

Tiba-tiba salah seorang agen berteriak karena menemukan kepala manekin dari styrofoam dengan janggut palsunya, dan juga topi koboi. Ketika melongok ke kolong tempat tidur, dilihatnya sebuah tas penuh berisi uang.

“Sudahlah Peggy, Anda pasti menyembunyikan seseorang,” kata Powell.

Peggy Jo memandanginya. “Tidak ada orang lain lagi di sini.”

Powell terus memperhatikan Peggy Jo. Saat itulah Powell melihat ada bercak-bercak cat abu-abu pada rambut Peggy dan bekas lem di atas bibirnya.

“Sialan!” kata Powell sembari menarik borgolnya. Setelah membacakan hak-haknya, Powell lalu membawa Peggy Jo ke kantor FBI. Beberapa agen lain sudah menunggu di sana. 

“Bob si Koboi ternyata wanita,” kata Powell.

 

Rencana rahasia

Koran-koran pun ramai memberitakan perampok wanita berkostum pria yang menggunakan apartemen ibunya sebagai tempat bersembunyi. Para wartawan mengejar anggota keluarga Peggy Jo, tapi tak mendapat banyak keterangan karena mereka masih dalam keadaan shock. “Kami tidak tahu apa-apa,” kata Michelle. “Ketika kami bertanya pada Helen apa yang dilakukan Bibi Peggy, ia selalu menjawab, “Merampok bank? Peggy merampok bank?”

Sementara itu Powell mencoba mengorek keterangan dari Peggy. Ia ingin tahu bagaimana wanita itu belajar merampok bank. Lalu mengapa ia memutuskan merampok dua bank dalam sehari. Juga kenapa sebelum perampokan yang kedua, ia tidak mencuri pelat nomor kendaraan lain.

Namun, Peggy Jo tidak mengatakan apa-apa kepada Powell. Kepada pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan pun Peggy tidak bicara banyak. Tapi pengacara itu menyewa Richard Schmitt, psikolog yang ahli mengevaluasi pelaku kejahatan, untuk mewawancarainya. Dalam persidangan, Peggy Jo mengaku merampok bank untuk membiayai pengobatan ibunya. Tapi tentu, katanya lagi, ia tak bermaksud merampok bank kedua, ketiga, dan seterusnya.

Sampai saat ini, Schmitt sudah mewawancarai hampir 50 perampok bank, yang semuanya laki-laki. Tapi ia belum pernah mewawancarai apa yang dia sebut sebagai “wanita baik-baik berwajah normal” dan menyilangkan kaki saat berbicara dengannya. “Lalu kenapa Anda terus merampok bank?” kata Schmitt. Peggy Jo tak pernah menjawab pertanyaan itu.

Karena melakukan perampokan tanpa senjata api, Peggy Jo dijatuhi hukuman penjara 33 bulan. Seorang penulis kisah sejati sempat menghubungi Peggy di penjara, mengajaknya bekerja sama menulis buku untuk dijual ke Hollywood. Tapi Peggy menolak.

Pada pertengahan 1990-an ia keluar dari penjara dan kembali hidup bersama ibunya. Untuk menghindari tatapan mata para tetangga di kompleks apartemen, mereka pindah ke town house dengan dua kamar tidur di Garland. Ia meluangkan sebagian besar waktu bersama ibunya yang sejak itu tangannya menderita tremor hebat sampai tak sanggup memegang cangkir sendiri. Tiap malam ia memandikan ibunya, lalu membaringkannya di tempat tidur.

Selama beberapa waktu ia bekerja sebagai telemarketer. Belakangan ia bekerja sebagai kasir pada Harbor Bay Marina di Danau Ray Hubbard di luar Kota Dallas. “Ia salah satu karyawan terbaik kami,” kata Suzie Leslie, manajer Marina. “Tak pernah tekor sedikit pun saat ia mendapat giliran sebagai kasir. Ia juga ramah dan ringan tangan pada pelanggan.”

Tahun demi tahun berlalu. Peggy Jo hilang kontak dengan Cherry dan Karen. Nancy, saudara perempuannya, meninggal karena kanker. Desember 2002 ibunya meninggal dalam usia 83 tahun. Ia merasa sangat kehilangan. Di pemakaman, Peggy dan Pete yang sempat tak akur gara-gara ulah Peggy, rukun kembali.

 

Suara mirip wanita

Pada musim semi 2004, Peggy Jo membeli mobil bekas Frontier RV (semacam mobil rumah) dari seseorang di Marina seharga AS $ 6.400. Uangnya masih kurang AS $ 500, tapi ia berjanji akan melunasinya nanti. Ia bilang pada Suzy, yang kemudian jadi teman baiknya, “Akan mengumpulkan uang agar bisa pergi ke Pulau Padre atau Meksiko dan tinggal di pantai seperti yang selalu ia dambakan.”

Peggy Jo menjual atau membagi-bagikan semua mebel di town house-nya, dan menjual Volvo tuanya. Pot-pot tanaman ditaruh begitu saja di beranda para tetangga, lalu dia pergi begitu saja dengan mobil rumahnya.

Selama beberapa minggu Peggy Jo menetap di tempat parkir umum di dekat Danau Ray Hubbard. Ia sering memancing atau menyusuri pantai danau sambil menyaksikan kawanan burung bangau terbang melintas air. Kadang Michelle datang mengunjunginya di malam hari. Mereka duduk di kursi lipat di samping mobil. “Kadang ia menyetel radio mendengarkan rock’n roll lama,” kata Michelle. “Bibi juga senang menikmati matahari terbenam sebelum masuk ke mobil untuk memasak daging fajita dengan irisan bawang bombai. Ia melakukan segalanya sendiri, dengan caranya sendiri. Bibi sungguh menyukai kebebasan.”

Di akhir musim panas 2004, Peggy Jo meninggalkan pesan telepon buat Carla Dunlap, teman lain Peggy di Marina. “Dalam pesan itu ia menanyakan kabar saya dan bilang akan memulai melakukan perjalanan,” kata Carla. Lalu katanya, “Apa pun yang terjadi padaku, ingatlah aku selalu sayang padamu.”

John, suami Carla, mencoba menyusul dan menemui Peggy di tempat parkir dan hendak memberinya sedikit uang, tapi Peggy sudah menghilang.

Beberapa bulan kemudian, ada yang bilang melihatnya di sekitar Danau Texoma dan Danau Lavon. Yang lain mengatakan melihat dia mengendarai mobil rumahnya di kota-kota di Texas Timur. Yang lain lagi melihat Peggy di Tyler pada Oktober 2004, bersamaan dengan peristiwa perampokan di Guaranty Bank yang terletak di pinggir selatan kota itu. Menurut para kasir, perampoknya seorang lelaki tua berperut buncit dan berkumis tipis; bertopi koboi warna gelap, baju gombrong, dan sarung tangan. Kepada kasir perampok itu berkata, “Serahkan uang, semuanya. Jangan ada yang diberi tanda dan bom tinta.” Setelah menerima uang, ia kabur dengan mobilnya.

Kata salah seorang kasir kepada agen FBI, suara si perampok terdengar seperti suara wanita. Kumisnya pun terlihat seperti dilem dan perutnya tampak seperti diganjal.

Mungkin kalau Steve Powell masih aktif di FBI, ia tahu siapa perampok itu. Sayangnya Powell sudah pensiun. 

Namun, para agen FBI yang melakukan penyelidikan malahan tertawa saat dibilang perampoknya seorang perawan tua berumur 60 tahun yang mengendarai mobil rumah dengan gorden jendela warna ungu.

Pihak keluarga Peggy Jo sendiri tentu tidak pernah menaruh curiga kalau Peggy bakal kembali beraksi. Secara berkala sepanjang musim gugur tahun 2004 dan penghujung tahun 2005, Peggy Jo menelepon mereka lewat wartel sekadar kasih kabar tentang dirinya. Suatu petang, Michelle sempat menghampiri Peggy Jo yang sedang belanja di Wal Mart di Garland. Pada 4 Mei 2005 Pete kebetulan sedang berada di Kaufman County, timur Dallas, saat mendengar kabar mobil Peggy Jo tampak diparkir di dekat danau kecil di lahan pertanian milik seorang kerabat.

“Saya temui dia di sana. Kami bertemu sekitar satu jam.” kata Pete. “Setelah itu ia bilang mau bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan dan memulai petualangan. Kami berpelukan, ia tampak bahagia.”

 

Cuma pistol mainan

Esok paginya, Peggy Jo bangun lalu merapikan tempat tidurnya. Di kapstok baju di dekatnya tampak sejumlah pakaiannya yang lebih bagus: beberapa jins biru, celana panjang warna khaki, dan enam blus. Namun, pagi hari itu ia memilih mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam. Lalu ia memakai pewarna bibir dan perona pipi. Rambutnya yang sudah beruban itu disisir rapi. Setelah memakai topi dan kacamata hitam yang praktis menutupi setengah bagian wajahnya, Peggy naik ke mobil rumahnya dan meluncur menuju ke Tyler.

la memarkir mobilnya di seberang Guaranty Bank, yang pada Oktober tahun sebelumnya dirampok. Sambil membawa tas hitam, ia masuk lewat pintu depan. Saat melewati lobi terbaca tulisan, “Anda Perlu Sarana Yang Benar Untuk Mewujudkan Mimpi Anda”. Kepada seorang kasir bank ia berkata, “Ini perampokan. Serahkan semua uang. Jangan coba-coba menghidupkan alarm.”

Kasir itu menyerahkan semua uangnya yang ada di laci: AS $ 11.241! Hati Peggy berdetak kencang. Ini jumlah yang besar, seperti hasil perampokan di Mesquite tahun 1992. Yang mesti ia lakukan segera adalah keluar dari bank, membawa mobil ke arah selatan hingga tiba di Meksiko untuk memulai hidup baru di kawasan pantai.

Namun, karena terburu-buru, Peggy membuat kesalahan. Ia lupa memeriksa bom tintanya. Saat ia berjalan melewati pintu keluar, bom itu meletus, menodai uangnya dengan tinta merah. Asap merah mengepul dari tasnya ketika ia menyeberang jalan menuju ke mobilnya.

Kepulan asap itu menarik perhatian. Pasangan muda bernama Chris dan Courtney Smith yang sedang naik mobil meninggalkan Wal Mart juga melihat Peggy Jo. Mereka tidak tahu, orang yang mereka lihat itu laki-laki atau perempuan. “Tapi saya yakin itu si perampok,” kata Courtney, yang sempat menghubungi 911 lewat HP, sementara Chris mengejar dengan mobilnya untuk membuntuti mobil Peggy Jo.

Kebetulan pagi itu sejumlah agen FBI dan petugas polisi Tyler sudah keluar dari markas dengan mobil patroli. Mereka memang sedang memburu perampok bank. Tiga buah bank di wilayah Tyler baru-baru ini disatroni perampok. Pihak berwajib yakin jika dua-tiga orang kulit hitam adalah pelakunya.

Saat radio polisi mengabarkan kasus perampokan di Guaranty Bank, Jeff Millslagle, agen senior yang juga kepala kantor FBI di Tyler, baru saja mulai mewawancarai seorang pemuda kulit hitam yang tertangkap sedang mengendarai mobil curian. Millslagle dan sejumlah agen FBI lantas menuju ke TKP.

Dalam beberapa menit sepasukan petugas dan warga yang penasaran seperti Chris dan Courtney Smith persis berada di belakang mobil Peggy saat ia masuk ke jalan raya. Karena jalanan menanjak, mobil Peggy tak bisa dipacu kencang. Asap knalpotnya sampai mengepul.

Peggy Jo mencoba menginjak gas kuat-kuat, lalu menginjak rem secara tiba-tiba dan membelokkan mobilnya masuk ke kompleks perumahan kelas menengah di pinggir kota. Tapi sebelum ia mencapai ujung jalan, beberapa mobil polisi menyalip laju mobilnya. Polisi dengan rompi antipeluru berlompatan keluar dari mobil sambil menggenggam senjata api, beberapa memegang senapan. Seorang polisi bersembunyi di semak tanaman bunga, seorang yang lain merunduk di balik pohon.

Menit demi menit berjalan. Karena gorden jendela mobil Peggy tertutup rapat, polisi tak bisa mengintip ke dalam. Seorang polisi yang berada dekat mobil rumah itu lalu berteriak, “Keluar dari mobil, sekarang. Anda sudah dikepung.”

Beberapa menit sudah berlalu.

Akhirnya, Peggy Jo masuk ke kamar tidurnya. Pistol Magnum kaliber .357 berisi peluru tersembunyi di balik bantal. Tapi ia tidak menyentuh senjata api itu. Sebaliknya, ia mengambil pistol mainan yang selalu ia simpan di kamar tidur. Ia sengaja membeli pistol mainan itu, siapa tahu nanti dibutuhkan untuk mengancam kasir bank saat merampok.

Peggy Jo berjalan ke pintu dan membukanya. Ia berkacak pinggang. Para polisi yang mengepung mobilnya tidak percaya dengan apa yang mereka lihat: seorang wanita sederhana bertopi lebar dan sepantaran nenek mereka.

“Kalian pasti akan membunuh saya,” kata Peggy Jo.

“Jangan berkata begitu,” kata salah seorang polisi. 

“Kalian mau bilang, kalau saya keluar dengan senjata di tangan dan mengarahkannya ke kalian, kalian takkan menembak saya?”

“Tolong, jangan lakukan itu!” teriak polisi yang lain.

Tapi Peggy melangkah keluar, tangannya menggenggam pistol mainan. Nyaris serentak dengan Peggy Jo mengarahkan “pistolnya”, empat polisi menembakkan senjata apinya. Timah-timah panas menghunjam ke tubuhnya nyaris bersamaan. Tubuhnya roboh ke depan, meninggalkan suara berdebum.

Saat tubuhnya menyentuh tanah, ia masih sempat melepas kacamata hitamnya. Sesaat ia menengadahkan kepalanya. Pagi di bulan Mei itu, sinar matahari tampak berkilau. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut. Terdengar pula suara dekut burung merpati. Peggy menatap ke arah dedaunan lebat pohon karet yang sedang berbunga di atasnya. Setelah itu ia menutup mata untuk selama-lamanya.

Setelah bukti-bukti dalam kasus perampokan Guaranty Bank pada Oktober 2004 dipelajari, Millslagle memastikan kalau Peggy Jo pelakunya.

Sekitar 30 anggota keluarga Tallas dan beberapa teman Peggy Jo berkumpul di taman pemakaman Kota Kaufman untuk mengikuti upacara pemakaman. Salah seorang saudara lelaki Michelle membacakan ayat dari Kitab Suci lalu berkata, “Saya yakin, beberapa menit menjelang kematiannya, ketika duduk di dalam mobilnya dan merenungkan nasibnya, Peg sedang berdamai dengan Tuhan.” (Skip Hollansworth) 


Baca Juga: Jika Joki Balas Dendam

 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517242/bob-si-koboi-ternyata-perempuan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665343003000) } } [9]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517437" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/horor-di-mount-vernon_tima-miros-20221009063020.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Tiga sekawan merencanakan perampokan. Target pertama adalah merampas senjata untuk perampokan. Apakah rencana itu berjalan mulus?" ["section"]=> object(stdClass)#156 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/horor-di-mount-vernon_tima-miros-20221009063020.jpg" ["title"]=> string(21) "Horor di Mount Vernon" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 18:33:42" ["content"]=> string(26711) "

Intisari Plus - Tiga sekawan Hock, Kuan, dan Yeo merencanakan perampokan untuk mendapatkan uang. Target pertama adalah merampas senjata untuk perampokan. Apakah rencana itu berjalan mulus?

-------------------

Singapura tahun 1970- an bukanlah negeri yang bersahabat buat trio warganya, Ong Chin Hock, Yeo Ching Boon, dan Ong Hwee Kuan. Mereka merasakan betapa tersiksanya hidup dengan penghasilan pas-pasan. Sementara biaya hidup makin hari kian tinggi. Malam itu, 21 April 1978, seperti biasanya tiga pemuda berumur 20 tahunan itu bermain biliar di Kallang Amusement Centre (KAC). Hanya di tempat itulah mereka dapat tertawa lepas, melupakan segala beban.

Selepas nyodok, mereka ngobrol ngalor ngidul di sebuah taman, tak jauh dari KAC. Banyak hal diobrolkan, mulai masalah politik sampai kesehatan. Tapi ujung-ujungnya, tak jauh dari urusan perut. Maklum, kecuali Chin Hock yang sedang menjalani wajib militer, Ching Boon dan Hwee Kuan statusnya pengangguran.

“Hidup pasti jauh lebih mudah, kalau kita punya banyak duit,” ujar satu dari mereka. 

“Ya, dengan duit, kita bisa berbuat apa saja.” 

“Tapi dari mana kita bisa mendapat banyak uang?” 

Ketiganya terdiam. Kuan yang berwajah kasar melontarkan ide setan, “Bagaimana kalau kita merampok?”

“Ide gila. Tapi boleh juga,” sahut Yeo yang bertampang innocent

“Tapi kita harus punya pistol. Zaman sekarang, lebih enak merampok pakai pistol,” balas Kuan. 

“Ya. Aku tahu cara mendapatkan pistol dengan gampang,” cetus Yeo.

la lalu bercerita tentang tempatnya berdinas saat wajib militer dulu, markas polisi yang juga berfungsi sebagai asrama pasukan cadangan, di Mount Vernon. Tentang penjaga pos kecil di pintu gerbang, yang hanya dijaga satu orang dan lebih sering dipercayakan pada polisi wajib militer. Juga perihal waktu terbaik untuk melakukan tipu daya, yakni lewat pukul 24.00, ketika konsentrasi petugas jaga mulai kendur.

“Yang belum aku tahu, bagaimana caranya merebut senjata petugas jaga.” 

Mereka berpikir keras dan saling melontarkan ide. Tapi sampai pukul 23.00, tak jua terbersit jalan keluar. “Oke. Sekarang kita pulang. Tapi ingat, kita harus cepat mencari solusi masalah ini,” bisik Yeo pada kedua sohibnya.

 

Putus sekolah

Yeo, Hock, dan Kuan berteman sejak kecil. Ong Chin Hock alias Ah Hock masih bujang, tinggal di New Upper Changi Road, anak buruh bangunan. la putus sekolah, sehingga terpaksa mengikuti jejak bapaknya sebagai kuli bangunan, sebelum akhirnya masuk wajib militer.

Sedangkan Yeo Ching Boon, dikenal juga sebagai Ah Pui atau Freddy, masih tinggal bersama orangtuanya. Anak tertua dari empat bersaudara ini pernah dikeluarkan dari sekolah karena berkelahi. Pernah juga bekerja sebagai penjaga gudang pada sebuah perusahaan tekstil, namun dikeluarkan, lagi-lagi karena berkelahi.

Hwee Kuan alias Ah Kuan lain lagi. la sempat menjadi anggota kelompok Sio Kun Tong, yang kerap melakukan aksi pencopetan di sekitar Angullia Road. Tahun 1976, Kuan dan teman-temannya ditangkap polisi, sehabis merampok turis berkewarganegaraan Malaysia. Bulan April 1977, ia masuk rumah rehabilitasi, karena kecanduan narkoba.

Keesokan harinya, tiga sekawan bertemu lagi di KAC. Sorenya, para pengangguran banyak acara ini melanjutkan aktivitasnya dengan menonton pertandingan sepakbola di bekas Sekolah Dasar mereka, Tu Li. Di salah satu sudut sekolah inilah, mereka kembali mendiskusikan niat jahatnya.

“Sebagai modal, kita juga butuh senjata tajam. Aku sarankan pakai pencungkil es saja,” ujar Yeo.

“Aku setuju. Tapi kita juga perlu pisau,” balas Kuan.

“Duitnya dari mana buat beli pisau?” sergah Yeo. 

Hock membuka jam yang melingkar di tangannya. “Jual saja ini, pakai untuk membeli pisau,” katanya.

Yeo tertegun sebentar, lalu mengangguk dan tersenyum. “Begini kira-kira skenarionya. Kecuali Kuan, kita semua memakai seragam pakaian wajib militer. Dengan begitu, akan lebih mudah mendekati pos penjagaan.”

“Menurutku, kita sebaiknya jangan pakai seragam,” komentar Hock. “Di sana ‘kan ada asrama. Kalau terlalu mencolok, berbahaya. Jika terjadi sesuatu, polisi-polisi yang tidak sedang bertugas bisa menyulitkan kita.”

“Jadi, gimana dong?” nada bicara Yeo terdengar putus asa. 

Lagi-lagi mereka saling melontar ide. Namun dari beberapa ide yang dibahas, tak satu pun disetujui secara aklamasi. Sampai akhirnya, Yeo mengetuk palu.

“Oke, apa pun rencananya, tak boleh terlalu mencolok. Yang penting kita setuju untuk segera melaksanakan rencana ini.” Anggota tiga sekawan yang lain hanya manggut-manggut. Yeo pun melanjutkan, “Kita akan mulai bergerak jam dua dinihari, dua hari dari sekarang. Setuju?” 

Hock dan Kuan mengangguk.

 

Bajak taksi

Dua hari kemudian, persisnya sore menjelang malam, tiga sekawan seperti biasanya berkumpul di KAC. Yeo sempat main biliar dengan sejumlah temannya, sampai sekitar pukul 21.00. Setelah itu, Yeo pergi ke sebuah kawasan pertokoan, untuk menjual jam tangan Hock, sekalian membeli dua buah pisau dapur.

“Jam-jam segini banyak patroli polisi berkeliaran. Enggak aman bawa-bawa senjata tajam. Mending pisau-pisau ini disimpan di rumahku dulu,” tegas Yeo. Setelah menyimpan pisau, Yeo tak langsung keluar. la memotong sebuah tali terbuat dari nilon menjadi empat bagian. Cukup untuk mengikat tangan, kaki, atau menjerat leher. Lalu memasukkan tali-tali tadi dan alat pencungkil es ke dalam travel bag kecil kepunyaan adiknya.

Jam dinding menunjuk ke angka 10, masih empat jam lagi dari jadwal yang mereka rencanakan. 

“Aku masih butuh duit buat transportasi,” bilang Yeo memecah kesunyian.

“Jangan khawatir, aku punya seorang teman yang bisa meminjami uang,” tanggap Hock. Ditemani Kuan, Hock kemudian berangkat menuju rumah temannya di Lorong Koo. Ketiganya berjanji bertemu kembali pada pukul 23.45 di sekitar Kallang Bahru. Namun saat bertemu kembali, Hock ternyata datang dengan tangan hampa. Hanya Yeo berhasil meminjam Sin $10 dari seorang teman.

Sebagian uang itu mereka habiskan untuk makan dan minum di sebuah kafe. 

Setelah kenyang, Yeo menuturkan rincian rencananya. “Kita akan beroperasi dari atas taksi. Di tengah jalan, kita bajak taksinya. Hock lalu mengambil alih kemudi, sedangkan Kuan duduk di kursi belakang, pura-pura mabuk. Aku sendiri, keluar taksi dan pura-pura minta bantuan dari polisi di pos jaga. Setelah penjaga mendekat, aku akan mendorongnya masuk taksi, kemudian kita culik dan rampas senjatanya. Bagaimana?”

“Tapi jangan biarkan polisi dan sopir taksinya lolos begitu saja,” timpal Kuan. “Kamu ‘kan tahu, aku punya catatan di kantor polisi. Kalau sopir taksi dan penjaga mengenali ciri-ciriku, kita akan langsung diciduk.”

“Baiklah, kita main aman. Keduanya harus mati. Setuju?” usul Yeo. 

Kuan tampak senang, sedangkan Hock tak berkomentar sepatah kata pun.

Tepat pukul 01.30, Yeo menyempatkan diri pulang ke flatnya, mengganti pakaian dengan t-shirt merah dan celana biru gelap. la memutuskan tidak memakai pakaian seragam wajib militer, seperti rencana semula. Kemudian keluar dengan menenteng ransel, dengan pencungkil es terselip di pinggang. 

“Semua siap?” tanya Yeo. 

“Siap,” sahut Kuan dan Hock serentak.

 

Terjerembab di got

Chew Theng Hin, sopir sekaligus pemilik taksi, tentu tak menyadari nyawanya sedang di ujung tanduk. Jarang-jarang jam segini ia masih berada di belakang kemudi. Biasanya ia sudah pulang ke rumahnya di Selegie House. Namun entah mengapa, pagi itu ia masih ingin berputar-putar mencari penumpang. Hatinya begitu gembira, ketika melihat tiga pemuda melambaikan tangan, menyetop taksinya.

Meski sudah berusia 60 tahun, lelaki berambut pendek ini masih kelihatan energik, setidaknya jika dibandingkan dengan orangtua seusianya. Dengan tenang, Chew Theng Hin membuka pintu depan, mempersilakan penumpang nomor satu masuk. Penumpang nomor dua dan nomor tiga duduk di kursi belakang. Penumpang nomor satu dengan dingin berkata, “Asrama polisi Mount Vernon!”

Tak sedikit pun terbersit kecurigaan dalam hati Chew. Ya, siapa curiga, jika penumpangnya bertujuan ke kantor polisi? Kalau bukan penegak hukum, pasti korban kejahatan yang hendak melaporkan kemalangannya. Chew yang sudah hafal kawasan itu, segera meluncur melewati Jln. Bendemeer, lalu ke Jln. Aljunied.

Saat mendekati Police Reserve Unit (PRU) Mount Vemon, penumpang nomor satu meminta Chew belok kiri, ke arah gerbang belakang Mount Vernon yang selalu gelap gulita. Chew mulai menduga-duga, hendak ke mana sebenarnya tujuan tiga orang di taksinya. Akhirnya, ketika taksi hampir sampai gerbang belakang PRU Mount Vernon, penumpang nomor satu menukas cepat, “Berhenti!” Chew pun menginjak pedal rem.

Saat itulah, tiba-tiba penumpang nomor dua menempelkan pisau di leher Chew. Lelaki tua itu dapat melihat kilatan dan merasakan dinginnya senjata tajam pengiris daging dan sayuran tersebut. Setelah itu, penumpang nomor satu menutup mulut Chew dengan kain. Sambil memamerkan pencungkil es, ia berkata, “Jangan coba-coba melawan atau membuat gaduh.” Ia lalu mengambil tali dan mengikat tangan Chew erat-erat.

Sampai di sini, Chew mulai sadar, penumpangnya pagi itu bukan manusia baik-baik. Ia juga mulai punya firasat, sesuatu yang sangat buruk bakal menimpa dirinya. Sejurus kemudian, penumpang nomor tiga turun dari mobil, berjalan ke depan kendaraan, kemudian membuka pintu tempat Chew disandera. “Turun!” bentaknya. Chew merasa, ini baru awal dari perlakuan buruk yang bakal segera diterimanya. Instingnya berkata, meski menuruti semua perintah mereka, belum tentu ia akan dilepas begitu saja.

Akhirnya ia memutuskan memberikan perlawanan. Namun gerakan spontan Chew tak banyak menolong. Penumpang nomor satu mendorongnya dengan bahu, sedangkan penumpang nomor tiga mempermainkan badan Chew dengan lutut. Breppp! Sesuatu yang mengerikan terjadi. Penumpang nomor dua menusukkan pisau ke perut sang sopir taksi malang itu. Chew tersungkur di selokan, sembari merintih menahan sakit.

Penumpang nomor tiga segera duduk di depan kemudi. Taksi baru saja hendak tancap gas, ketika tiga penumpang yang sudah dikuasai nafsu setan itu melihat tubuh Chew merangkak naik dari selokan. “Dia masih hidup,” teriak salah satu penumpang. Penumpang nomor satu dan nomor dua spontan turun dari mobil, lalu tanpa ba-bi-bu menghujamkan pencungkil es dan pisau dapur ke leher Chew.

Dalam tempo sekejap, Chew terguling, kembali masuk got, tapi tubuhnya tampak masih bergerak-gerak. Tanpa membuang waktu, penumpang nomor satu dan penumpang nomor dua menghampiri lelaki tua yang sedang meregang nyawa itu. Secara bersamaan, mereka menusukkan pisau dan pencungkil es ke daerah vital sopir malang. Brepp! Kali ini Chew tak lagi bergerak.

Pagi itu, nyawa seorang kakek tak berdosa lenyap sia-sia di tangan Yeo, penumpang nomor satu, Kuan si penumpang nomor dua, dan Hock, penumpang nomor tiga. Sebaliknya, dengan pandangan nanar, tiga sekawan itu malah bertukar kegembiraan. Rencana pertama sukses terlaksana. Sasaran pembantaian berikutnya bakal menyusul. Setelah Hock mengarahkan taksi rampasan mereka ke pos penjagaan, persis di depan pintu gerbang PRU Mount Vernon.

 

Telunjuk terpotong

Lee Kim Lai masih sangat muda saat mendaftar wajib militer. Usianya baru 18 tahun. Ia berasal dari keluarga baik-baik, anak kedua dari empat bersaudara. Sebagai polisi wajib militer, ia tak boleh memilah-milih tempat berdinas. Itu sebabnya, dia bahagia saja saat ditempatkan di Mount Vernon. Pagi itu, dia baru saja menggantikan Koh Kah Kway, rekannya yang telah bertugas sejak pukul 13.00.

Seragam tebal tak sanggup melindungi Kim dari serangan dingin yang menusuk. Meski begitu, ia tetap berusaha menunaikan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab. Baru beberapa menit menjaga gerbang, ia melihat sebuah taksi kuning melintas di depan pos jaga. Dari tempatnya berdiri, Kim dapat melihat dengan jelas seorang pemuda keluar dari pintu depan, lalu menghampirinya.

Pemuda itu, Yeo, menunjukkan kartu keterangan wajib militernya. Kim memperhatikan dengan seksama kartu yang ditunjukkan Yeo. Sesekali, matanya melirik ke taksi kuning yang mesinnya masih hidup. “Jadi, kamu wamil yang tinggal di asrama ini?” tanya Kim ramah. 

“Betul sekali. Boleh aku minta tolong untuk memapah kawanku yang mabuk? Badannya berat sekali. Dia sekarang tergeletak di kursi belakang taksi,” sambung Yeo, sembari menunjuk ke arah taksi kuning.

“Dia tinggal di asrama ini juga?” 

“Betul.” 

“Memangnya kalian dari mana?” tanya Kim, mencoba tetap ramah.

“Kami berdua baru saja jalan-jalan dan bertemu beberapa teman. Namun dasar bandel, dia kelihatannya minum terlalu banyak. Akhirnya, seperti kamu lihat, malah menyusahkan teman,” bohong Yeo. 

Kim calon polisi yang baik. la merasa sebagai seorang wajib militer, tugasnya tak hanya sebatas perintah yang diberikan komandan, tapi juga membantu sesama yang membutuhkan pertolongan. Apalagi yang membutuhkan pertolongan sesama penghuni asrama. Itu sebabnya, dengan senang hati ia berjalan menuju pintu belakang taksi. Saat pintu dibuka, ia memang mendapati seorang lelaki tengah berbaring di kursi.

Namun ia terkejut saat Yeo tiba-tiba mendorongnya masuk ke dalam taksi. Lebih terkejut lagi setelah tahu, pemuda yang sebelumnya berbaring di kursi, Kuan, ternyata tidak mabuk sama sekali. Kim mencoba melakukan perlawanan. Tapi dari belakang, Yeo dengan pencungkil esnya langsung mengancam. “Tetap di dalam dan jangan coba-coba melawan,” bisiknya tepat di telinga Kim.

Setelah menutup pintu, Yeo bergegas ke pintu depan. Saat itu, ia sempat melihat beberapa orang di lantai satu dan lantai dua markas polisi Mount Vernon memperhatikannya. Untuk menghindari kecurigaan, Yeo mempercepat langkahnya.

“Cepat kabur! Ada beberapa polisi di atas sana sedang memperhatikan kita,” perintahnya pada pada Hock. Sedetik kemudian, Hock sudah melarikan taksinya menuju arah Jln. Aljunied. Sementara di kursi belakang, Kuan masih setia mengancam Lee dengan pisau dapur. “Mana pisau satunya lagi?” teriak Yeo pada Kuan. Kuan menunjuk sela di antara dua kursi depan.

“Aku enggak punya uang. Benar-benar enggak punya uang!” pekik Lee. la tampak begitu ketakutan.

Kuan mulai menempelkan pisau di leher Lee. Namun tanpa diduga, aksi Kuan saat mengambil pistol dari pinggang Kim ternyata mendapat perlawanan. Dalam pergumulan, pistol sempat jatuh. Yeo yang berada di kursi depan langsung membantu Kuan. la berbalik badan, seraya menghujamkan pisaunya beberapa kali ke leher Lee. Begitu membabi butanya aksi Yeo, sampai-sampai jari telunjuk Kuan ikut terpotong.

Tubuh Kim sendiri langsung jatuh menghujam jok. Darah segar mengotori kursi belakang taksi. Termasuk kaus dan celana yang dikenakan Kuan.

“Kita harus mengamankan senjatanya. Berikan pisaumu,” perintah Yeo pada Kuan. 

Lima menit kemudian, mereka telah sampai di kawasan Kallang Bahru, ketika Yeo minta Hock menghentikan taksi.

“Pui,” kata Kuan pada Yeo. “Kausku berlumuran darah.” 

“Bersembunyilah di belakang semak-semak,” lagi-lagi Yeo memberi perintah. “Aku akan mampir ke flat dan membawakanmu pakaian bersih.”

Yeo lalu berlari menuju flat. Sepuluh menit kemudian, ia sudah kembali ke semak-semak tempat Kuan bersembunyi, dengan membawa tas plastik berisi celana panjang biru gelap dan t-shirt warna putih. Kuan pun berganti pakaian, memasukkan pakaiannya yang berlumuran darah ke dalam tas plastik. Tapi ketika mereka bersiap hendak meninggalkan semak-semak, terjadi sesuatu yang sama sekali di luar perhitungan.

 

Kantung plastik ditemukan

Malam itu, detektif Siew Man Seng baru saja pulang berdinas. Polisi yang sudah bertugas selama 11 tahun itu berkantor di Kantor Polisi Beach Road. Ayah seorang anak perempuan dan seorang istri ini sudah tinggal di Geylang Bahru selama sekitar empat setengah tahun. Jadi, dia tahu betul daerah tersebut. Pagi buta itu, hatinya sedang berbunga-bunga, karena baru saja sukses menangkap tersangka kasus penipuan sejam sebelumnya.

Di persimpangan jalan Geylang Baru dan Kallang Bahru, perjalanannya terhalang lampu merah. Saat menunggu lampu hijau, sepintas dia melihat seseorang berjalan di belakang mobilnya, sambil menenteng bungkusan plastik. Lampu kembali hijau. Man Seng pun belok kiri, menuju arah Geylang Bahru. Namun dari balik spion ia sempat memperhatikan, lelaki yang menyeberang jalan barusan ternyata menghilang di sebuah jalan buntu.

Nalurinya sebagai detektif mencuat. Bertahun-tahun dia bergaul akrab dengan dunia kejahatan dan berbagai tipu muslihatnya. Tingkah laku lelaki tadi membuat Man Seng penasaran. Ia segera berbalik arah, mendekati jalan buntu. Dari kejahuhan dia melihat sebuah taksi kuning dengan mesin masih menyala. Tak jauh dari taksi, terhampar semak-semak. Lagi-lagi, insting polisinya memaksa Man Seng memeriksa lokasi di sekitarnya.

Mendekati semak-semak, ia melihat dua orang pemuda, Yeo Ching Boon dan Ong Hwee Kuan. “Sedang apa kalian?” teriak Man Seng, benar-benar memecah kesunyian. 

Yeo dan Kuan tampak gugup. Mereka punya feeling, orang yang dihadapinya seorang polisi. Dalam sekejap, mereka mengambil keputusan untuk mengambil langkah seribu.

Yeo yang lebih tahu medan, memilih kabur ke arah pertokoan. Sedangkan Kuan menuju blok-blok apartemen di sekitarnya. Namun malang buat Kuan, dia tidak hanya berhadapan dengan gelapnya malam, tapi juga medan yang sama sekali belum dikenal. Begitu paniknya, Kuan sampai jatuh, bangun, dan jatuh lagi. Kini di depannya terbentang semak belukar. Ia tahu, jika terus berlari, lambat laun pasti akan tertangkap. Akhirnya ia memutuskan bersembunyi di salah satu semak.

Namun, Man Seng bukan polisi ingusan yang gampang dikelabui. Di depan semak-semak itu ia berhenti. Kecurigaannya memuncak ketika melihat jejak kaki, tak jauh dari salah satu semak. Dengan langkah pasti ia mendekat, mengeluarkan pistol dari sarungnya dan membidik semak di depannya. “Cepat keluar!” Kuan pun keluar, masih dengan mata nanar. Meski sempat memberikan perlawanan ketika hendak diborgol, pemuda putus sekolah itu akhirnya tak berdaya di tangan Man Seng.

“Mana tasnya?” tanya Man Seng. 

“Aku buang saat lari tadi.” 

“Apa isi tasnya?” 

“Sisir,” jawan Kuan sekenanya. 

“Tadinya kami mau merampok Anda. Tapi begitu tahu Anda polisi, kami mengurungkan niat kami.” 

“Siapa nama temanmu?” 

“Ah Seng.” 

Sekilas, Man Seng melihat noda darah di kaus yang kenakan Kuan, meskipun ia baru saja berganti baju.

“Noda darah siapa di kausmu?” 

Kuan berpikir, mencari alasan untuk berkelit. Akhirnya ia menunjukkan jari telunjuknya yang berdarah. “Sebelum Anda datang, saya berusaha memecahkan sebuah botol, agar bisa dipakai sebagai senjata. Tapi karena ceroboh, botol tadi malah melukai jari telunjuk saya,” Kuan berkilah. 

Man Seng terus berusaha mencari tas yang dibuang Yeo dan Kuan. Karena tak memungkinkan melakukan pencarian sendirian, Man Seng akhirnya memutuskan membawa Kuan ke kantor polisi untuk diinterogasi. Namun sebelum masuk mobil, Kuan sempat minta. 

“Aku haus sekali. Boleh minta air?” katanya mencoba mengundang iba. Sebelum Man Seng bereaksi, Kuan telah melangkah menuju sebuah keran, tak jauh dari semak-semak.

Di kantor polisi Beach Road, Man Seng menceritakan apa yang dilihatnya pada Inspektur Polisi Poh Keng How. Tak lama kemudian, tersebar berita penemuan mayat seorang polisi, di dalam taksi kuning, tak jauh dari tempat Man Seng memergoki Yeo dan Kuan. Satuan polisi khusus pun segera diterjunkan. Mereka bergerak cepat dengan segera menginterogasi Kuan. Namun, mereka cukup kesulitan mengorek data dari pemuda lajang tersebut. 

Berbagai cara telah dilakukan, tapi Kuan lebih memilih tutup mulut. la juga menolak disangkutpautkan dengan kasus pembunuhan kejam terhadap sang polisi wamil. Beruntung, waktu tampaknya berpihak pada para detektif. Beberapa jam kemudian, mayat sopir taksi malang korban keganasan tiga sekawan, Chew Theng Hin, berhasil ditemukan.

Hasil penyisiran di sekitar lokasi kejahatan juga membuahkan hasil menggembirakan. Kantung plastik tempat Yeo dan Kuan menyimpan pakaian penuh noda darah misalnya, berhasil dilacak keberadaannya. Kali ini, Kuan tak dapat mengelak lagi, terlebih setelah Ong Hwee Huat, adiknya mengakui pakaian yang ditemukan memang milik Kuan. Yeo dan Hock pun akhirnya ditangkap, berdasarkan pengakuan Kuan.

“Beruntung”, tiga sekawan yang sudah kerasukan setan ini tak sempat melanjutkan aksinya. Jika mereka sempat memanfaatkan senjata yang berhasil mereka rebut dari Mount Vernon, apalagi menjalankan aksi perampokan, korban kebrutalan mereka pasti bakal lebih heboh dari dua nyawa sia-sia yang telah ditemukan. Sampai kini, tiga sekawan yang akhirnya dihukum mati ini dikenal sebagai salah satu pelaku kejahatan paling kejam di Singapura. (Nicky Moey)


Baca Juga: 2 Pembunuhan di Asrama

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517437/horor-di-mount-vernon" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665340422000) } } [10]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350798" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/jika-joki-balas-dendam_rowen-smi-20220629073407.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Memasuki area three in one, Sugondo menyewa jasa joki yang sudah dikenalnya. Namun hari itu berbeda, Wisnu merampok uang milik istri Sugondo." ["section"]=> object(stdClass)#160 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/jika-joki-balas-dendam_rowen-smi-20220629073407.jpg" ["title"]=> string(22) "Jika Joki Balas Dendam" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:34:43" ["content"]=> string(33301) "

Intisari Plus - Seperti biasa, ketika memasuki area three in one, Sugondo menyewa jasa joki yang sudah dikenalnya. Namun hari itu berbeda. Wisnu yang tampak tidak secerah biasanya merampok uang yang dititipkan oleh istri Sugondo.

------------------

Hari itu Senin minggu pertama di bulan April. Hari masih pagi, sekitar pukul 06.45. Sebuah sedan Mercedes hitam dengan pelat nomor polisi B 2349 XY meluncur perlahan, keluar dari rumah di Jl. Duta Kencana, kompleks permukiman mewah Pondok Indah, Jakarta Selatan. 

Seperti biasa, sopir yang bernama Ahmad membawa sang Majikan, Sugondo, ke kantornya di Jl. Jenderal Sudirman. Sugondo memang berkantor di salah satu gedung pencakar langit di daerah yang setiap hari macet itu, sebagai salah seorang direktur bank swasta nasional terkenal.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, menjelang masuk ke daerah three in one Sugondo yang hanya ditemani Ahmad harus mencari seseorang untuk menemani mereka sehingga bisa melintas di kawasan yang mensyaratkan setiap kendaraan harus berpenumpang sekurang-kurangnya tiga orang pada jam tertentu.

 

Joki langganan

Dari jauh sudah terlihat segerombolan joki, mengacung-acungkan tangan memberi isyarat satu atau dua jari kepada mobil yang lewat. Entah kenapa disebut joki, wanita, pria, maupun anak-anak dari berbagai tingkat usia itu, memanfaatkan kelemahan peraturan untuk mencari uang dengan menyediakan diri sebagai penumpang tambahan. Setelah masuk atau melewati kawasan three in one itu mereka diturunkan.

Seperti biasa Ahmad maupun Sugondo menghampiri Wisnu, joki langganan mereka yang selalu mangkal di dekat halte di Jl. Sisingamangaraja. Selain berpenampilan bersih, Wisnu yang berusia 14 tahun itu tak pernah bersikap macam-macam dan selalu sopan. Daripada bergonta-ganti joki, setiap hari Wisnu diminta menunggu pada jam tertentu. Hal ini sudah berlangsung hampir sebulan.

Tapi hari itu wajah Wisnu tampak tidak secerah biasanya. Begitu Mercy hitam itu berhenti, Wisnu dengan cekatan naik sebelum mobil itu meluncur kembali. Biasanya ia duduk di samping sopir. Kali ini Wisnu duduk di bangku belakang, di samping Sugondo. Memang tidak ada aturan yang mengharuskan dia duduk di depan. Karena sudah kenal baik, Sugondo pun tidak keberatan.

Dalam perjalanan ke kantor, Sugondo terbiasa menyiapkan berbagai pekerjaan. la memang tipe orang yang tidak mau membuang waktu. Bukan hal aneh jika selama perjalanan itu ia berkali-kali membuka-tutup tasnya untuk mengambil berkas yang dibutuhkan. Tanpa disadari Sugondo, Wisnu diam-diam memperhatikan isi tasnya. Selain berkas-berkas, hari itu kebetulan Sugondo membawa sejumlah uang yang akan dimasukkan ke bank tempatnya bekerja. Uang itu milik istrinya.

 

Nasib sial Sugondo

Sekitar 200 m setelah memasuki kawasan three in one, tiba-tiba kesunyian di dalam mobil yang sejuk itu, pecah oleh suara bentakan bocah. "Serahkan uang itu atau ...!" Tentu saja Ahmad dan Sugondo sama-sama terkejut. Itu suara Wisnu yang selama ini dikenal pendiam.

"Kamu jangan main-main, Wis," kata Ahmad.

"Saya tidak main-main," jawab pemuda tanggung itu. 

"Kau mau apa?" bentak Sugondo.

"Apa tidak dengar, saya minta duit di dalam tas Bapak?" jawab Wisnu sambil melotot. Segala keramahannya hilang.

"Apa selama ini saya pernah menyakitimu atau uang yang saya berikan kurang?" tanya Sugondo. Selama ini kalau joki biasa cukup diberi Rp 1.500,- sampai Rp 2.000,- sekali jalan, Sugondo memang termasuk murah hati. Setiap kali Wisnu selalu diberinya Rp 5.000,-.

Mobil masih terus melaju. Ahmad tidak sempat berpikir bagaimana menggagalkan penodongan ini. Apalagi ia tidak mau mengambil risiko, karena dari kaca spion terlihat perut majikannya ditodong dengan pisau belati.

"Baik, kau boleh mengambil uang itu," kata Sugondo setelah tidak melihat cara teraman menjinakkan pemuda ini.

Rupanya, Wisnu sudah mempersiapkan segalanya secara matang. Segera ia mengeluarkan kantong plastik hitam dari saku celananya. Dalam waktu singkat uang dalam tas Sugondo yang berjumlah Rp 20 juta itu sudah berpindah tempat.

"Minggir!" perintah Wisnu kepada Ahmad untuk menghentikan mobil.

Begitu mobil itu berhenti, Wisnu langsung melompat ke luar dan menyelinap di antara kerumunan orang yang sedang menunggu bus. Dalam beberapa detik saja sulit melacak keberadaan anak itu. Sejenak, Ahmad dan Sugondo merasa tidak percaya dengan peristiwa yang baru mereka alami.

"Sialan benar anak itu," kata Sugondo. 

"Untung Bapak tidak apa-apa," kata Ahmad berusaha menghibur majikannya. 

"Tapi uang itu ...." 

"Lebih baik kita lapor polisi, Pak."

Belum sempat Sugondo mengiakan usulnya, Ahmad langsung mengarahkan mobil ke Polda Metro Jaya yang tak jauh dari situ. Kapten Pol. Setyohadi yang menerima laporan Sugondo, berjanji akan melakukan penyelidikan.

"Jika sudah ada perkembangan, saya akan menghubungi Bapak," katanya.

"Joki-joki ini memang jadi sumber penghasilan baru selain juga jadi ancaman baru bagi masyarakat," katanya kepada anak buahnya, Letnan Pol. Anwar dan Pratomo. "Coba selidiki anak itu, siapa tahu ada dalang di balik kejadian ini," perintahnya.

"Siap, Kapten!" kata kedua anak buah itu serempak. 

Selama ini keberadaan para joki dan peraturan three in one lahir hampir bersamaan. Para joki dan pengguna jasanya ternyata bisa hidup berdampingan saling menguntungkan. Bagi pengguna jasa, mereka bisa masuk ke kawasan three in one tanpa ditilang, sementara para joki bisa memperoleh penghasilan tambahan.

Berbekal ciri-ciri yang digamparkan oleh Ahmad dan Sugondo, kedua anak buah Setyohadi, Subandi dan Santo, memutuskan untuk menyamar sebagai majikan dan sopir dengan menggunakan sebuah sedan. 

Mereka menelusuri rute yang biasa ditempuh Sugondo. Tiap hari mereka menggunakan jasa para joki yang usia dan penampilannya kira-kira sesuai gambaran yang mereka miliki. Sayangnya, sampai seminggu usaha mereka belum membuahkan hasil.

“Untuk sementara, mungkin bocah itu tak akan berani muncul," kata Setyohadi. "Tapi itu bukan jaminan ia tidak akan melakukan hal itu lagi. Mungkin saja ia pindah ke rute lain. Coba arahkan pengintaian kalian ke kawasan lain," Setyohadi memberi saran.

Belum lagi Wisnu berhasil dibekuk, dua hari kemudian kasus serupa muncul lagi di sebuah media massa ibu kota. Penulis surat pembaca memberi gambaran pelakunya juga seorang pemuda tanggung. Tapi kali ini si penodong tak berhasil menggondol uang korbannya, meskipun ia berhasil melarikan diri setelah melukai lengan sang Korban. 

 

Mengaku menjadi mahasiswa

Mendengar berita ini Santo dan Subandi semakin gemas. Berita ini seakan-akan mengejek mereka. Karena itu mereka semakin giat melakukan tugasnya. Seperti saran atasannya, mereka kini mengarahkan pengintaian ke beberapa jalan lain yang memiliki akses ke kawasan berpenumpang minimal tiga orang itu.

Tentu saja para joki di kawasan Jl. Gatot Subroto belum tentu kenal dengan para joki di kawasan lainnya. Tetapi dengan memberi gambaran ciri-cirinya berupa bekas luka di atas alis sebelah kanan dan tahi lalat di bibir kiri, Chandra, joki remaja yang mereka sewa hari itu mengira-ngira siapakah anak yang dimaksud.

"Ada perlu apa sih Bapak mencarinya? Apakah ia keluarga Bapak atau pernah melakukan kesalahan?" selidik Chandra. Rupanya, di antara para joki pun ada semacam perasaan senasib, sehingga tak mudah bagi mereka untuk membuka identitas sesamanya.

"Kami hanya ingin memberikan uang sekolah yang tiap bulan kami janjikan kepadanya," kata Santo dengan hati-hati.

"Oh, saya kira Bapak polisi. Soalnya, sering kali kami digaruk polisi dan ditahan selama beberapa hari," kata Chandra terus terang.

Melihat gelagat itu kedua polisi itu tak mau informan mereka menjadi curiga, sehingga mereka akan semakin jauh dari sasaran yang dicari.

"Kami sebenarnya mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian mengenai para joki itu. Soalnya, konon dengan melakukan pekerjaan ini banyak anak-anak yang seharusnya masih bersekolah, sekarang lebih suka menjadi joki sehingga sekolah mereka telantar," jawab Subandi cepat.

"Apakah para joki juga sering berganti-ganti lokasi?" tanya Santo.

"Umumnya sih tidak, Pak. Masing-masing biasanya sudah punya langganan tetap. Tapi hal seperti itu bisa saja terjadi, seperti yang dilakukan Bimo, yang sebelumnya biasa mangkal di daerah Jl. Sisingamangaraja."

Mendengar hal itu denyut jantung Subandi dan Santo segera berdetak cepat karena kegirangan. Mungkin dari sinilah mereka bisa menelusuri lebih lanjut keberadaan sasaran mereka. Keduanya berusaha menahan diri.

"Memangnya kenapa si Bimo itu pindah?" tanya Subandi. 

"Katanya, sih karena di daerah itu sudah terlalu banyak saingan," kata Chandra.

"Menarik sekali kalau kami bisa mewawancarai Bimo. Apa kamu tahu di mana alamatnya?" tanya Subandi lagi.

"Saya enggak tahu, soalnya kami belum akrab. Nanti kalau sudah tahu, saya beri kabar deh," kata anak itu seakan-akan memberi janji. Padahal di benak Chandra saat itu langsung melintas bayangan Bimo, yang memiliki tanda-tanda fisik seperti yang disebutkan oleh kedua lelaki itu.

"Tapi jangan bilang dulu sama dia kalau kami mau mewawancarainya!" pesan Subandi. "Yang penting kami ingin bertemu dengannya.”

Sampai di depan Wisma Dharmala, Subandi mengarahkan mobilnya ke jalur lambat dan berhenti di depan halte. Setelah memberi Chandra uang dan berjanji menjemputnya kembali besok, mereka pun berpisah.

 

Chandra jadi penghubung

"Mungkinkah Bimo itu Wisnu yang kita cari, Ban?" tanya Santo kepada Subandi.

"Siapa tahu, mudah-mudahan, melalui Chandra kita bisa mengungkap kasus ini. Kita tunggu saja kabar darinya," jawab rekannya.

Apa yang diperoleh hari ini mereka laporkan pada Setyohadi. Sejauh ini Sugondo pun belum menghubungi mereka lagi.

Seperti yang dijanjikan kemarin, keesokan harinya Chandra sudah menunggu di tempat yang ditentukan. Wajahnya kelihatan gembira.

"Pak, saya berhasil bertemu Bimo," katanya dengan antusias. "la tinggal di daerah Pasar Jumat, Ciputat, bersama ibunya. Katanya sih, ia pindah dari tempat semula karena tidak ingin bertemu lagi dengan seorang pelanggan yang dibencinya. Kalau Bapak ingin bertemu, nanti saya antar ke tempat di mana dia biasa mangkal," kata Chandra.

"Bagaimana kalau kita cari besok pagi? Lebih cepat lebih baik," kata Santo antusias.

"Yoi," kata Chandra dengan lagak anak Jakarta.

Sesampai di tempat biasa Chandra segera melompat turun setelah mengantongi imbalan. 

"Ingat besok pukul 06.00 di tempat biasa, ya!" teriak Santo dari jendela.

"Siplah!" sahut pemuda tanggung itu sambil melambaikan tangan.

"Rasanya kita semakin dekat dengan sasaran, meskipun kita belum bisa memastikan apakah Bimo itu Wisnu," kata Santo.

"Ya, kita mesti menahan rasa ingin tahu semalam ini lagi," jawab Subandi.

Keesokan harinya dengan penuh semangat kedua polisi ini segera meluncur ke tempat yang dijanjikan. Di halte yang biasa, Chandra sudah menunggu. Melihat "teman-temannya" datang, dengan cekatan Chandra segera masuk ke mobil itu.

"Ke mana kita?" tanya Subandi.

"Ke arah Ciputat, Pak. Sambil jalan nanti saya tunjukkan di mana Bimo biasa menunggu kendaraan umum yang akan membawanya ke tempat ia biasa mangkal," jawab Chandra.

Untuk menghindari kemacetan, Subandi mengambil jalan tikus. Kira-kira 100 m setelah Restoran Situ Gintung, tiba-tiba Chandra memberi aba-aba. 

"Di gang sebelah depan kita berhenti, Pak. Rumah Bimo ada di dalam gang itu. Mudah-mudahan ia belum berangkat, karena sesuai perintah Bapak saya tidak mengatakan kalau Bapak akan datang ke tempatnya," kata Chandra.

Mereka segera memarkir kendaraan sedekat mungkin, agar bisa mengamati Bimo dengan baik. Belum sampai sepuluh menit menunggu, Chandra segera berkata sambil menunjuk pada seorang pemuda tanggung, "Itu dia Bimo." 

Meskipun hanya berkaus dan bersandal jepit, pemuda tanggung itu memang berpenampilan bersih. Setelah berembuk, akhirnya disetujui Chandra memanggil anak itu.

"Bim! Bimo!" 

Yang dipanggil langsung menoleh. 

"Kemari." Sejenak Bimo menahan langkahnya. Tetapi begitu tahu yang memanggilnya Chandra, teman barunya, ia segera melangkah kembali. 

"Kok tumben kamu ada di sini?" tanya Bimo.

"Ya, aku memang menunggu kamu," jawab yang ditanya. 

"Memangnya ada apa?" 

"Ada yang mau kenalan sama kamu." 

"Siapa?" tanya Bimo dengan nada agak curiga. 

"Dua orang mahasiswa. Kenapa?" 

"Oh, aku kira ...," kata Bimo tanpa menyelesaikan ucapannya. 

"Kau kira siapa?" tanya Chandra agak heran. 

"Bukan siapa-siapa. Tapi apa hubungannya mereka mencari aku?" tanya Bimo.

"Begini lo, mereka itu mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Mereka tertarik pada pekerjaan kita dan ingin mewawancaraimu mengenai suka dukanya jadi joki." 

“Kenapa enggak kamu ajal 'Kan sama aja”

"Semakin banyak yang diwawancarai 'kan makin lengkap. Apalagi kamu 'kan baru saja pindah dari tempat lain. Mungkin pengalamanmu lebih lengkap.”

 

Memasang perangkap

Dengan perasaan enggan, kedua pemuda tanggung itu menghampiri kedua polisi yang tetap berada di dalam mobil.

"Maaf, Dik, kalau kami mengagetkanmu. Kenalkan, saya Subandi dan ini Mas Santo," kata Subandi membuka percakapan.

Sama seperti skenario yang dikatakannya pada Chandra, kedua polisi ini pun mengaku sedang melakukan penelitian terhadap para joki.

"Adik tidak keberatan 'kan jika kita ngobrol-ngobrol sebentar. Karena di pinggir jalan bising, apakah kami bisa ke rumah Adik saja?" tanya Santo.

Setelah yakin bahwa ketakutannya tidak beralasan, Bimo setuju untuk mengajak tamunya ke rumahnya yang sederhana.

"Lo, kok kamu balik lagi? Apa ada yang ketinggalan?" tanya seorang wanita setengah baya yang muncul dari dalam.

Setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangan mereka, Subandi dan Santo mengatakan bahwa mereka juga tidak ingin merugikan Bimo. Mereka berjanji memberi uang sebagai kompensasi waktu Bimo yang terbuang karena mengobrol dengan mereka.

"Apa yang membuat kamu tertarik jadi joki?" tanya Subandi mulai melancarkan serangannya. 

"Ya, untuk membayar uang sekolah dan menambah belanja ibu," kata Bimo tanpa ragu.

“Memangnya kamu sekolah di mana?" sambung Santo.

"Di SMP Bakti Ibu, tak jauh dari sini. Saya masuk siang. Karena itu pagi hari saya gunakan untuk mencari uang. Soalnya, kasihan ibu membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami.”

"Memangnya ayahmu di mana?" 

Sejenak Bimo kelihatan ragu dan tampaknya pertanyaan ini sulit untuk dijawabnya. "Saya tidak tahu ke mana dia. Tapi yang pasti, ia sudah lama tidak pernah pulang.”

"Menurut Chandra, kamu baru saja pindah daerah operasi. Mengapa kamu sampai pindah, bukankah itu berarti kamu kehilangan pelanggan yang sudah kamu kenal sejak lama?" tanya Subandi.

“Memang benar sih apa yang Mas bilang. Tapi karena suatu hal yang tidak bisa saya jelaskan, saya pindah ke daerah Gatot Subroto sehingga saya bisa berkenalan dengan Chandra."

Setelah bercakap-cakap sekitar tiga perempat jam, akhirnya Subandi, Santo, dan Chandra mohon diri. Tak lupa Santo menyelipkan uang Rp 10.000,- ke saku Bimo yang segera mengucapkan terima kasih.

"Kalau kamu mau ikut sekalian ke pangkalanmu juga boleh, Bim," kata Santo dengan ramah. 

"Baik, Mas. Saya pamitan dulu sama ibu," katanya sambil menyelinap masuk.

 

Ditinggal pergi

Mereka segera meluncur kembali ke arah Jakarta dan kedua joki itu minta diturunkan di pangkalan mereka. 

Subandi dan Santo sama-sama yakin bahwa Bimo itu memang Wisnu yang mereka cari.

"Rasanya benar, San. Bimo itu pasti Wisnu yang kita cari. Menurutmu, bagaimana kalau kita balik lagi ke rumahnya dan menanyai ibunya, siapa tahu bisa melengkapi informasi yang kita miliki," kata Subandi.

"Aku rasa memang begitu sebaiknya. Soalnya, ketika ditanyai soal ayahnya, nampaknya Bimo agak bimbang dan bingung. Oke, kita balik saja sekarang!" katanya sambil mengarahkan mobil itu kembali ke rumah Bimo.

"Kami kembali hanya karena ada pertanyaan yang ingin kami ajukan kepada Ibu. Apakah Ibu bisa meluangkan waktu sebentar?" tanya Subandi. 

"Silakan masuk," kata ibu Bimo.

"Begini, Bu. Kami tadi menanyakan kepada Bimo mengenai pekerjaannya sebagai joki. Tapi rasanya ada sesuatu yang belum lengkap. Yaitu mengenai ayah Bimo, apakah ia juga mengizinkan anaknya untuk bekerja sebagai joki? Menurut Bimo, ayahnya sudah lama tidak pulang," kata Subandi.

"Semula saya sendiri tidak mengizinkannya untuk menjadi joki. Selain berbahaya dan mengganggu sekolahnya, saya takut anak saya ditangkap polisi. Mengenai ayah Bimo, saya memang tidak banyak menceritakannya kepadanya. Tapi suatu kali ia pernah bertanya di mana ayahnya, terpaksa saya ceritakan kalau ayahnya sudah lama tidak kembali.” 

“Menurut yang saya dengar ia kini tinggal di Jakarta. Meskipun dari Ciputat ke Jakarta bukanlah jarak yang jauh, tapi saya tidak berusaha mencarinya, apalagi menemuinya. Soalnya, saya menganggap dia sudah tidak menginginkan kami lagi. Suami saya pergi meninggalkan kami, saat Bimo berusia 10 tahun.”

“Belakangan saya tahu, sebelum menikah dengan saya, ternyata ia sudah berkeluarga dan memiliki beberapa anak. Ayah Bimo tentu tidak tahu kalau anaknya kini menjadi joki. Suatu ketika Bimo pernah mengatakan, siapa tahu suatu hari kelak ia bisa bertemu dengan ayahnya."

"Siapa nama lengkap Bimo?" tanya Santo. 

"Wisnu Bimo. Kadang ada yang memanggilnya Wisnu, tapi ada juga yang memanggilnya Bimo. Sayang, nasibnya tidak sebaik namanya," kata ibu itu seakan berkata kepada diri sendiri.

"Ayah Bimo itu siapa namanya," sambung Santo.

"Sugondo. Bayu Sugondo. Saya sudah tidak ingin mengingat-ingat nama itu lagi."

"Sugondo?" tanya Santo dan Subandi hampir berbarengan. 

"Ya, Sugondo. Memangnya kenapa?" tanya wanita itu bingung.

“Apakah Ibu kenal dengan foto ini?" tanya Santo sambil menyodorkan sebuah foto. 

Melihat foto ini wanita itu kaget. "Dari mana foto ini?" tanyanya penuh selidik

"Ya, inilah ayah Bimo. Bayu Sugondo. Sebenarnya apa maksud kalian ...? Saya juga memiliki foto ini."

 

Mencoba melarikan diri

Akhirnya, kedua polisi itu menceritakan terus-terang siapa mereka sebenarnya dan apa yang sedang mereka lakukan Untuk meyakinkan, mereka memperlihatkan identitas dan surat penangkapan yang mereka bawa.

"Minggu lalu Pak Sugondo ditodong oleh seorang joki bernama Wisnu. Melihat berbagai kemiripan, saya rasa pelakunya putra Ibu sendiri," kata Santo mantap.

"Tapi mana mungkin? Anak saya tak pernah macam-macam selama ini. Dia bukan penjahat. Saya tak yakin," kata ibu ini seakan-akan tidak percaya pada pendengarannya sendiri.

"Tapi kami harap Ibu tenang. Kami akan berusaha membawa Bimo ke kantor polisi untuk diinterogasi," lanjut Subandi.

"Jangan, Pak. Saya mohon, jangan. Dia anak saya satu-satunya. Jangan sakiti dia." 

"Kami berjanji akan memperlakukannya dengan baik dan takkan menyakiti dia. Kalau diperlukan kami akan memanggil Ibu. Jadi, mohon Ibu tenang-tenang saja. Baiklah, Bu. Terima kasih atas bantuan Ibu. Kalau ada perlu, silakan menghubungi kami di kantor polisi," kata Subandi seraya meninggalkan telepon kantornya di secarik kertas.

Kedua polisi ini segera meluncur ke tempat mereka menurunkan Bimo alias Wisnu. Untung Chandra ada di situ. 

"Mana Bimo?" tanya Santo.

"Sedang mengantar seorang langganannya. Tunggu saja, Pak. Sebentar lagi juga dia kembali."

Selang seperempat jam kemudian Bimo kembali. Melihat Santo dan Subandi ada di situ, ia sempat curiga dan berusaha melarikan diri. Namun kerburu tertangkap oleh kedua polisi itu. 

"Lepaskan aku!" katanya sambil berusaha meronta dari cengkeraman tangan Santo. 

"Pak, Bapak apakan Bimo?" tanya Chandra bingung. “Dia 'kan tidak bersalah apa-apa. Mengapa Bapak tangkap dia? Lepaskan dia, atau saya laporkan Bapak pada polisi," bela Chandra.

 

Terkuaknya rahasia lama

Setelah berhasil menenangkan kedua pemuda tanggung itu, kedua polisi tersebut membuka rahasia siapa diri mereka sebenarnya. Karena itu mereka meminta Bimo dan Chandra ikut ke kantor polisi.

Di kantor polisi Kapten Setyohadi menyambut kedatangan mereka. Setelah mendengarkan secara singkat hasil penyelidikan kedua anak buahnya, dengan ramah sang kapten menanyai Bimo.

"Apakah kamu yang bernama Wisnu alias Bimo?”

"Benar, Pak," jawabnya singkat.

"Apakah kamu tahu mengapa kamu dibawa ke sini?”

"Tidak. Saya tidak pernah berurusan dengan polisi."

“Memang benar, kamu selama ini tidak pernah berurusan dengan polisi," sambung Setyohadi. "Tapi benarkah kamu pernah melakukan kejahatan minggu lalu dengan menodong Pak Sugondo ketika kamu menjadi joki?"

"Ya," katanya perlahan. 

"Mengapa kamu lakukan hal itu, padahal selama ini Pak Sugondo memperlakukanmu dengan baik?”

"Baik? Baik bagaimana yang Bapak maksudkan? Justru selama ini saya dendam kepadanya," kata Bimo terus terang tanpa menutupi rasa benci terhadap orang bernama Sugondo itu.

Sementara itu Santo diminta atasannya untuk menghubungi Pak Sugondo dan memintanya segera datang ke kantor polisi. Dengan didampingi Ahmad, sang sopir, 20 menit kemudian Sugondo tiba di kantor polisi.

Keduanya lalu dipertemukan dengan Bimo alias Wisnu. Sugondo membenarkan anak itulah yang melakukan penodongan. Kapten Setyohadi melanjutkan pertanyaannya kepada Bimo.

“Tadi kamu mengatakan dendam kepada Pak Sugondo. Bisa kamu ceritakan apa yang pernah dilakukan oleh Pak Sugondo sehingga kami menaruh benci kepadanya?"

"Tanya saja pada dia sendiri," jawab Bimo ketus. 

"Apakah Bapak bisa menceritakan apa yang pernah Bapak lakukan terhadap anak ini?" tanya Setyohadi.

“Saya tidak tahu. Rasanya saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadapnya. Selama ini saya selalu memperlakukannya dengan baik. Sebenarnya, saya sayang kepada anak itu, tetapi saya tidak mengerti mengapa pada hari itu ia tiba-tiba berubah menjadi demikian," kata Sugondo.

"Kau memang tidak pernah melakukan kesalahan secara langsung padaku. Tapi apa yang pernah kau perbuat terhadap ibuku? Kau meninggalkanku selagi aku membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Sementara ibu membanting tulang untuk menghidupiku, kau enak-enakan tinggal di rumah mewah bersama istri yang lain dan anak-anakmu!" kata Bimo setengah berteriak karena geram.

"Maksudmu kau ini siapa?!" tanya Sugondo agar kaget dan bingung.

“Kau pasti tidak mengenali lagi anakmu sendiri, tapi kau tak mungkin lupa 'kan pada seorang wanita sederhana yang pernah kau nikahi lalu kau tinggalkan setelah memiliki seorang anak. Wanita itu adalah ibuku, namanya Ratna."

 

Dikirim ke Tangerang

Mendengar nama itu, Sugondo tampak terguncang. Sesaat setelah bisa mengendalikan perasaannya ia bertanya, "Jadi, kau Wisnu Bimo, anakku?" tanya Sugondo tak percaya.

"'Ya, benar, dia memang anakmu," terdengar suara seorang wanita di ruangan itu. Ternyata itu suara Ratna, orang yang sangat dicintai Bimo. Rupanya, karena khawatir akan keselamatan anaknya, Ratna menyusul ke kantor polisi.

 "Maafkan saya, Bu. Saya menyusahkan Ibu. Sebenarnya saya hanya ingin memberi pelajaran terhadap orang ini, bagaimana rasanya kehilangan sesuatu. Ternyata bagi dia kehilangan uang sebesar itu saja sudah membuatnya menderita. Tapi apa artinya jika dibandingkan dengan Ibu yang kehilangan seorang suami dan saya yang kehilangan kasih sayang seorang ayah?" kata Bimo.

"Maafkan aku, Ratna. Aku selama ini telah menelantarkan kalian. Maafkan ayahmu, Bimo. Aku memang bukan suami dan ayah yang baik. Namun kejadian hari ini sudah membuka mataku, betapa kerdilnya tingkah lakuku," kata Sugondo lirih.

Ternyata secara tak disengaja Bimo menemukan foto Sugondo yang disimpan oleh ibunya. Dia tahu dari mulut ibunya ia tidak bisa mengharapkan cerita lengkap perihal sang Ayah yang menghilang entah ke mana. Anak ini memang keras hati. Dengan bersusah payah ia mencoba menghubungi saudara dari pihak ibunya, yang diduga tahu mengenai hubungan ibunya dengan ayahnya di masa lalu.

Ketika ia hampir putus harapan, seorang pamannya yang sejak awal ternyata memang tidak merestui hubungan Ratna dengan Sugondo, mau buka mulut. Dari pamannya inilah ia memperoleh gambaran lebih lengkap mengenai lelaki yang menjadi ayahnya itu. 

Menurut pamannya, suatu kali ia sempat melihat Sugondo di depan kantornya. Keterangan inilah rupanya yang dimanfaatkan oleh Wisnu untuk mengintai keberadaan ayahnya.

Ketika pertama kali bertemu dengan Sugondo, hati anak muda ini berkecamuk. Tapi mengingat berbagai penderitaan hidup yang ia jalani bersama ibunya, akhirnya rasa bencinya mengalahkan rasa rindunya.

"Keinginanmu hari ini sudah terlaksana bertemu dengan ayahmu, meskipun keadaannya sangat tidak mengenakkan. Mari kita ambil hikmah dari kejadian ini," kata Ratna sambil memeluk anak tunggalnya. "Hilangkan dendam di hatimu, Nak, karena itu akan membuat hatimu lega," sambung Ratna dengan bijak.

Dalam persidangan, akhirnya hakim memutuskan mengirim Bimo ke penjara anak-anak di Tangerang selama setahun. Selain masih di bawah umur, hakim menilai Bimo masih bisa diperbaiki. Uang Rp 20 juta yang dirampas Bimo diberikan Sugondo kepada Ratna untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. (L.R Supriyapto Yahya)

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350798/jika-joki-balas-dendam" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656531283000) } } [11]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350708" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/akhir-petualangan-el-bandito_ev-20220629072835.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(127) "Beberapa kasus pembunuhan dan perampokan terjadi di Prancis. Pelakunya, berkeliling ke beberapa tempat untuk melakukan aksinya." ["section"]=> object(stdClass)#164 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/akhir-petualangan-el-bandito_ev-20220629072835.jpg" ["title"]=> string(28) "Akhir Petualangan El Bandito" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:28:52" ["content"]=> string(24900) "

Intisari Plus - Beberapa kasus pembunuhan dan perampokan terjadi di Prancis. Pelakunya, berkeliling ke beberapa tempat untuk melakukan aksinya. El Bandito sempat membuat polisi dan detektif kewalahan.

------------------

Lyon, Prancis Selatan, tanggal 18 Februari 1983, pukul 03.15. Lobi Hotel Bristol yang menghadap ke stasiun sangat lengang. Cuma ada dua orang pria di situ. Yang seorang adalah resepsionis hotel, merangkap penjaga malam dan penjaga pintu. Namanya Angelo Perret.

Pria yang seorang lagi adalah tamu hotel. la sedang menunggu pacarnya pulang bekerja di kelab malam. Pintu lift terbuka dan seorang pria berumur awal 30-an keluar. la berjalan mengeliling lobi, lalu masuk lagi ke lift.

"Penghuni kamar no. 306," kata Perret kepada tamu hotel. Tak lama kemudian pintu lift terbuka lagi. Penghuni kamar no. 306 muncul kembali. Sekali ini ia membawa koper kecil yang ditaruhnya di atas meja. Koper itu dibukanya dan tiba-tiba saja kedua pria di lobi hotel itu sudah ditodong dengan senjata api yang dikeluarkan dari koper itu. Penghuni kamar no. 306 itu memberi perintah dalam bahasa Prancis yang sangat buruk ucapannya, sehingga sulit dipahami.

Tamu hotel yang refleksnya sangat cepat, keburu menyuruk ke belakang meja paling dekat. Dari sana dilihatnya penghuni kamar no. 306 menaruh senjata apinya, lalu menghunus sebilah belati besar yang ditikamkannya ke perut Perret. Perret mengaduh dan terhuyung-huyung melarikan diri menuju ruang tempat menyimpan seprai dsb. 

Kesempatan itu digunakan oleh tamu yang bersembunyi di belakang meja untuk melarikan diri ke kamarnya melewati tangga. la mengunci pintu, lalu meraih telepon. Namun, tanpa bantuan resepsionis yang menangani switchboard ia tidak bisa menelepon ke mana-mana. Saking takutnya, ia mendorong meja dan perabot apa saja yang bisa digesernya untuk mengganjal pintu.

Seperempat jam kemudian telepon di kamarnya berdering. Pacarnya marah-marah, karena ia tidak menunggu di lobi. Lobi kosong!! Tamu itu memberanikan diri untuk turun ke lobi. Betul kosong! Dari sana ia menelepon polisi. Baru setelah polisi datang ia berani pergi ke ruang yang tadi dimasuki Perret. Resepsionis hotel berbintang tiga itu ternyata sudah tewas kehabisan darah.

Tamu itu bisa menjelaskan dengan cukup rinci bagaimana rupa si pembunuh. Pria itu berumur antara akhir 20-an dan awal 30-an, katanya. Kulitnya berwarna agak gelap. Rambutnya yang hitam jatuh ke kening. Kumisnya yang tipis pun hitam. Penampilannya memberi kesan ringkih. Bahasa Prancisnya sulit dipahami, karena lafal Spanyolnya sangat kental. 

Polisi memeriksa daftar tamu hotel itu. Kamar no. 306 dihuni oleh Fernando Dome. Setelah dicek, ketahuan baik nama maupun alamat yang tertera di daftar tamu itu palsu.

 

Memangsa penjaga malam lagi

Dua jam setelah Angelo Perret ditikam, yaitu pada pukul 05.15 itu juga, Alain Cardot (23) menata meja untuk sarapan para tamu bersama wanita pelayan bernama Yvonne Fischer (53). Cardot adalah penjaga pintu Hotel Ibis di Valence, 90 km di sebelah selatan Lyon. la sedang kebagian tugas berjaga malam.

Seorang pria berkumis hitam tipis muncul ke ruang tempat sarapan itu, meminta secangkir kopi. Sebelum wanita pelayan sempat memenuhi permintaannya, si Kumis Tipis sudah mengeluarkan sepucuk senjata api dari balik jasnya. Karena ketakutan, Cardot dan Fischer tidak melawan saat mereka diikat ke kursi. Mulut mereka disumpal dengan serbet makan.

Si Kumis Tipis mencoba membuka laci uang elektronik, tetapi tidak berhasil karena tidak tahu caranya. Dengan tenangnya ia melepaskan Cardot dari kursi, tetapi tidak membuka ikatan tangan penjaga pintu itu. 

Cardot dibawa ke hadapan alat itu, lalu dada kirinya ditusuk perlahan-lahan dengan sebilah pusut. Karena tusukan ke arah jantung itu makin lama makin dalam, Cardot menjadi panik. Terpaksa ia menjelaskan cara membuka laci uang itu.

Di dalamnya cuma ada uang 300 frank. Saking mengkalnya, si Kumis Tipis menghantam wajah Cardot dan Fischer beberapa kali dengan senjata apinya. 

Lima hari kemudian, tanggal 23 Februari, si Kumis Tipis muncul di tempat parkir bawah tanah Solhotel di Cannes, sekitar 250 km dari Valence. la naik lift sampai tingkat paling atas, lalu lewat atas ia melompat ke balkon dan memasuki kamar yang sedang ditiduri oleh sepasang turis Belanda, Jan dan Katarina Smidt.

Jan ditodong, tetapi ia melawan. Akibatnya, kakinya ditikam. Terpaksa Jan menyerah. Si Kumis Tipis mengambil uang mereka sebesar 700 frank dan perhiasan mereka yang cuma sedikit. Karena tidak puas, si Kumis merobek-robek paspor mereka sampai menjadi robekan kecil-kecil dan menginjak-injak kacamata Jan sampai hancur. Setelah itu ia keluar lewat pintu.

Keesokan harinya, malam-malam ia mendatangi Hotel Palma di Cannes juga. Korban sekali ini Robert Bergel (56), resepsionis hotel. Si Kumis marah karena Bergel tidak mau membuka lemari besi. Jadi, Bergel diikatnya di kursi, lalu tangannya ditikam. Ketika Bergel tetap membandel, pahanya yang ditikam. Lama-kelamaan Bergel takut mati juga. Terpaksa kombinasi kunci lemari besi ia beri tahu. Si Kumis berhasil menguras 5.000 frank.

 

Anjing gila

Tentu saja kasus di Solhotel dan Hotel Palma ini dilaporkan ke polisi Cannes. Penodong di dua tempat itu memiliki penampilan yang mirip, sehingga diduga orangnya sama. Polisi pun menyebarkan sketsa wajah si Kumis Tipis ke seluruh negara, lengkap dengan keterangan perihal kejahatan yang dibuatnya.

Polisi Lyon dan Valence pun menghubungi rekan mereka di Cannes. Dibentuklah suatu komisi khusus untuk menangkap si Kumis Tipis. Komisi itu dikepalai oleh Inspektur Jules Grandin dari bagian penyidikan kriminal di Cannes. 

Mereka segera mendapat laporan perihal kasus baru. Tanggal 1 Maret, wanita pembersih kamar di Hotel Brice di Kota Nice, masuk ke kamar no. 7. Didapatinya lantai kamar mandi digenangi darah. Darah itu berasal dari seorang pria berumur 57 tahun, Nicolas Defeo, yang malam itu bertugas sebagai resepsionis hotel.

Kamar no. 9 yang terletak di sebelahnya dihuni oleh seorang tamu yang mengaku bernama Antonio Arrete. Saat itu Arrete sudah tidak ada di kamarnya. la digambarkan masih muda, berkulit gelap, ringkih, dan berkumis hitam tipis. Bahasa Prancisnya seperti keluar dari mulut "sapi betina Spanyol". 

"Pembunuh itu bukan sapi betina, tetapi anjing gila!" komentar Inspektur Grandin. "Bayangkan saja: ia tidak mengubah penampilannya, ia sering menyerang dan selalu berpindah-pindah." Nice adalah kota pantai juga seperti Cannes dan jaraknya cuma 30 km dari Cannes.

"Kita mesti memberi tahu polisi di seluruh Prancis agar waspada dan membantu kita mencari. Kalau kita kurang cepat, pembunuh itu pasti akan makan korban jiwa lagi. Sekarang saja sudah dua orang tewas." 

Karena dua kejahatan terakhir terjadi di pantai L. Tengah yang disebut Cote d'Azur, maka hotel-hotel berbintang tiga sepanjang pantai wisata itu diberi tahu agar waspada. Si Kumis Tipis biasanya mengunjungi hotel kelas itu. Untunglah saat itu belum musim liburan, sehingga tidak terlalu banyak hotel yang buka.

Ternyata sasaran si Kumis Tipis bukan Cote d'Azur, melainkan lebih ke utara, yaitu Grenoble. Korbannya penjaga pintu lagi! Brahim Mrabat (28) sedang bertugas malam di Savoie Hotel ketika disatroni si Kumis Tipis. Pria asal Aljazair itu diringkus, lalu dijejalkan ke bilik telepon di lobi. Penyerangnya meninggalkan dia dengan menggondol 2.000 frank.

 

Tambah kurang ajar

Walaupun gambaran tentang si Kumis cukup jelas, jati dirinya tidak seorang pun tahu. la tiba-tiba saja muncul, entah dari mana, lalu merampok, melukai, dan membunuh di pelbagai tempat. Hampir bisa dipastikan ia orang Spanyol, tetapi tanpa memiliki sidik jarinya, polisi Spanyol tidak bisa mengindentifikasi penjahat itu.

Inspektur Grandin mengirimkan tim penyidik ke Grenoble. Mereka tiba hari itu juga, pukul 20.30. Sejam kemudian, seseorang bernama Rene Foucher ditembak pahanya di tempat parkir bawah tanah milik gedung apartemen yang ditinggalinya.

Tadinya Foucher mendengar suara-suara yang mencurigakan dari tempat parkir. Karena takut mobilnya dicuri, ia turun memeriksa. Di sana ia berhadapan dengan seorang pria muda berkumis tipis. Si Kumis menyuruh Foucher enyah dengan bahasa Prancis campur Spanyol. Buru-buru Foucher menyingkir. Namun karena sayang memikirkan mobilnya, ia kembali. Saat itulah si Kumis menembak pahanya lalu pergi.

Foucher bersusah payah mencapai telepon. Beberapa menit setelah laporannya masuk, polisi sudah mengurung tempat itu. Polisi yang sedang tidak bertugas dipanggil untuk membantu menyisiri daerah itu. Rumah demi rumah didatangi. Stasiun kereta api dan terminal bus dijaga ketat. Hasilnya, 14 orang diciduk.

Sebagian besar dari 14 orang itu ketahuan melakukan pelbagai pelanggaran, tetapi si Kumis Tipis tidak ditemukan di antara mereka. Tanggal 9 Maret, pembunuh buronan polisi itu malah muncul di Toulon, pangkalan AL Prancis yang letaknya kira-kira 30 km di sebelah timur kota Marseille. Sekali ini ia menculik dan memperkosa seorang pelayan toko yang cantik, yaitu Marie-Christine Artus yang berusia 18 tahun. 

Gadis pirang yang menarik itu pulang dari tempat kerjanya pukul 19.00. Di dalam lift ia bertemu dengan seorang pria bercelana jins dan kaus biru tua. Pria muda itu berkumis tipis.

Begitu pintu lift tertutup, pria itu mencabut senjata api yang ditodongkannya ke kepala Marie-Christine. Dalam bahasa Prancis yang patah-patah ia memaksa ikut ke apartemen Marie-Christine. Karena ketakutan, Marie-Christine menurut. Di dalam apartemen, Marie-Christine mencoba menakut-nakuti si Kumis. Katanya, pacarnya sebentar lagi datang, lebih baik si Kumis pergi. Di luar dugaan, pemuda ini malah menantang, "Kita tunggu dia," katanya. 

Pacar Marie-Chrisitine benar-benar datang. la disambut dengan moncong senapan sampai nyalinya ciut.

"Kami ditunggu teman-teman," katanya berbohong. "Mereka pasti curiga kalau kami tidak muncul."

"Telepon mereka. Batalkan janji!" perintah si Kumis. 

"Kami tidak punya telepon." Si Kumis menyatakan akan mengantar Marie-Christine ke telepon umum. Pacar gadis itu disuruh menunggu di apartemen dan diancam jangan berani melapor kepada siapa pun.

Marie-Christine menganggap ini kesempatan untuk memberi isyarat kepada orang lain perihal keadaannya. la tidak menelepon teman, sebab mereka memang tidak berjanji untuk bertemu dengan siapa pun sore itu. la menelepon orang tuanya, memberi tahu ia beralangan datang malam ini. Sebenarnya ia tidak berjanji untuk datang. la berharap mereka menangkap isyaratnya.

Orang tua Marie-Christine memang menangkap isyarat putri mereka. Buru-buru mereka pergi ke apartemen anaknya itu. Mereka menemukan pacar anaknya sedang kebingungan. Si Kumis ternyata tidak membawa sanderanya kembali ke apartemen. la mengambil kunci mobil dari tas korbannya. Marie-Christine dipaksanya menunjukkan mobilnya. Setelah itu ia menodong gadis itu agar mengemudikan kendaraannya ke arah utara. 

"Mau ke mana kita?" tanya Marie-Christine sambil menangis. 

"Ke mana saja!" jawab penculiknya. 

"Siapa kamu?" tanya korbannya. 

"Panggil saja aku El Bandito!"

Di perjalanan El Bandito membual. Katanya, ia datang dari Uruguay. Dibukanya kancing bajunya, sehingga tampak bekas luka panjang di dadanya. "Aku pelarian politik! Pejuang kemerdekaan!" bualnya. “Mereka menangkapku, menggebuki aku dengan kawat berduri. Aku kabur! Pacarmu beruntung. Kalau tadi ia berani melawan, aku kebiri dia!"

Ketika tiba di Cavaillon, El Bandito memesan sebuah kamar untuk mereka berdua di Pergola Hotel. Mereka menginap di sana. Keesokan harinya Marie-Christine disuruh mengemudi ke Saint-Raphael di Cote d'Azur. Letak tempat itu cuma 15 km dari Cannes. Dekat stasiun, Marie-Christine dilepaskan. "Ini untuk membayar bensin!" kata El Bandito seraya melemparkan uang 200 frank.

Begitu El Bandito lenyap di antara 0rang-orang dekat stasiun, Marie-Christine berlari ke sebuah kafetaria untuk menelepon polisi. Tak lama kemudian ia sudah dikelilingi polisi. Saat itu Marie-Christine baru tahu kalau penculik dan pemerkosanya itu tak lain daripada pembunuh yang sedang dicari-cari polisi.

 

Pak kolonel disandera

Gambaran yang dimiliki oleh polisi mengenai El Bandito bertambah lengkap berkat keterangan Marie-Christine Artus. Pembunuh itu memiliki tanda bekas luka panjang di dada dan di ibu jari tangan kanannya. 

Walaupun polisi Saint-Raphael gesit menangani pengaduan dari korban El Bandito, tetapi bandit itu sendiri lolos.

Stasiun Saint-Raphael ramai karena kereta yang datang dan pergi cukup kerap. Tidak ada orang yang ingat pernah melihat pria yang mempunyai ciri sebagaimana El Bandito. 

"Jangan-jangan dia tidak naik kereta, cuma pura-pura saja masuk ke stasiun. Mungkin ia masih bersembunyi di Saint-Raphael," kata Inspektur Grandin. 

Dugaan Pak Inspektur keliru. Tanggal 12 Maret El Bandito muncul di Marseille. la mencoba masuk ke apartemen seorang ibu guru cantik bernama Maryse Blanc. Cara yang dipergunakannya sama dengan yang dipakainya pada Marie-Christine Artus. Cuma saja ibu guru ini lebih cerdik dan lebih cekatan. Begitu ditodong masuk ke apartemennya, ia membanting pintu dan menguncinya, sehingga El Bandito tertinggal di luar.

Korban urung itu lalu berteriak-teriak sekuat tenaga sehingga para tetangga keluar. El Bandito terpaksa mengambil langkah seribu. Namun bandit itu tidak jera. Sore itu juga ia berhasil merampok dan memperkosa Ny. Paule Lecornu tidak jauh dari sana. Polisi Marseille pun dikerahkan ke jalan-jalan, sehingga di mana-mana tampak polisi berkeliaran. 

Hari itu juga El Bandito naik ke atap sebuah gedung apartemen mewah di 9 rue de la Visitation. Seperti pernah dilakukannya, ia melompat turun ke balkon sebuah apartemen. Pukul 20.00 hari itu, Kolonel (Purn.) Jean Coguillot dan istrinya, Yvette, menjadi sandera El Bandito. Karena mereka melawan, paha kolonel ditembak penyandera. Istrinya luka di bahu. Putri mereka, Therese, turun dari kamarnya di tingkat yang lebih atas, karena mendengar suara tembakan. la dipaksa menyerahkan uang 2.000 frank, arloji, beberapa cincin, dan perhiasan lain. 

El Bandito meninggalkan apartemen lewat pintu. Begitu El Bandito pergi, Therese menelepon polisi. Dalam waktu beberapa menit saja, polisi sudah tiba. Namun, Elbandito sudah raib.

 

Kembali ke sarang harimau

“Sungguh keterlaluan," kata Inspektur Grandin. "Penjahat itu merampok, memperkosa, mencederai, dan membunuh di depan mata, tanpa kita mampu menangkapnya. Padahal kita tahu jelas bagaimana rupanya, cara kerjanya, dan bahkan kita memiliki contoh cairan maninya!" 

Dokter polisi berpendapat El Bandito itu waras, karena tindakannya rasional, tujuannya jelas. Cuma saja orang ini tidak mengindahkan moral. Apa yang diinginkannya akan diambil. Apa yang mengalanginya akan dihabisi.

Polisi Uruguay tidak memiliki berkas kejahatan El Bandito, Fernando Dome, maupun Antonio Arrete. Jelas itu bukan nama aslinya atau nama yang biasa ia pakai. la berbahasa Spanyol, tetapi negara yang berbahasa Spanyol banyak. 

Seakan-akan ingin menantang polisi, El Bandito datang ke Cannes. Hari itu tanggal 17 Maret. (Kemudian polisi baru tahu bahwa hari itu El Bandito berulang tahun ke-35). la naik ke atas atap gedung di 8 rue du General Ferrie.

Lewat atap ia berhasil masuk ke kamar tidur Pierre dan Paulette Cohen. Karena tamu tak diundang itu membawa senjata api dan belati, suami-istri lanjut usia itu tidak berani berkutik. Apalagi mereka takut cucu perempuan mereka yang sedang tidur di kamar sebelah dicederai. 

Tanpa banyak cingcong mereka membiarkan harta mereka dikuras, berupa uang 8.000 frank dan 200.000 lira, ditambah sejumlah perhiasan dan buku cek.

Cohen disuruh menandatangani cek sebesar 20.000 frank. Lalu El Bandito berkata, ia ingin menginap supaya besok pagi bisa mencairkan uang tanpa kesulitan bersama suami-istri itu di bank. la meminta dimasakkan makan malam dan bahkan dikeramaskan karena katanya rambutnya sudah kotor. Kedua suami-istri itu terpaksa menurut.

Keesokan paginya mereka menemani El Bandito ke bank. Setelah mengambil uang, suami-istri Cohen diantarkan kembali ke apartemennya. El Bandito mengucapkan terima kasih, sambil mengancam akan mencederai kalau mereka cepat-cepat melapor ke polisi. Cohen menunggu seperempat jam sebelum menelepon yang berwajib. Polisi mengawasi dengan ketat semua jalan keluar dari Cannes.

 

Potret-potretan

Menjelang tengah hari, El Bandito sudah berada di Saint-Raphael lagi. la pergi ke sebuah toko perhiasan milik suami-istri Veron-Roque di rue Gounod. Sang Istri meminta El Bandito menunggu suaminya datang. El Bandito menyatakan akan kembali. Sambil menunggu ia pergi memesan kamar di hotel yang berdekatan, yaitu Hotel Geneve. Pemilik hotel, Maurice Chenaud, memberinya kamar no. 41. Sama sekali tidak terpikir oleh Ny. Veron-Roque dan Chenaud bahwa tamu mereka tidak lain daripada pembunuh yang sedang dicari-cari polisi. 

Di restoran hotel, El Bandito makan dengan lahap. Lalu di kamarnya ia bercanda dengan wanita pembersih kamar yang dipotretnya beberapa kali, ia juga meminta wanita itu memotretnya beberapa kali.

Dari hotel, El Bandito kembali ke toko perhiasan Veron-Roque. Pemilik toko menaksir dua cincin mirah seharga 40.000 frank, sedangkan sebuah cincin zamrud dan dua cincin berlian dihargai di atas itu.

Esok paginya, ketika Claude Veron-Roque dan Maurice Chenaud menerima koran, jantung mereka serasa copot. Soalnya, di halaman depan terpampang sketsa El Bandito, pembunuh, perampok, dan pemerkosa yang nekat. Pelayan pembersih kamar di Hotel Geneve bahkan pingsan! 

Pemilik toko perhiasan dan pemilik Hotel Geneve segera menghubungi polisi. Kamar no. 41 dikepung. Seperti yang sudah-sudah, El Bandito tidak ditemukan. Cuma saja pembunuh itu rupanya berniat kembali, sebab ia meninggalkan tiga senjata api, sebilah belati, sejumlah peralatan maling, dan juga sebagian besar perhiasan Ny. Cohen, di samping uang sebanyak 50.000 frank.

Karena ia pernah berkata akan pergi ke Marseille kepada Veron-Rogue, maka beberapa puluh polisi ditempatkan di Stasiun Saint-Raphael. Beberapa puluh lagi berjaga di hotel. Polisi Cannes diberi kamar dan mereka pun bergegas datang.

 

Jatuh hati

Beberapa menit sebelum pukul 20.00, seorang inspektur berpakaian preman melihat seorang pria muda berkumis hitam tipis turun dari kereta api yang baru datang dari Marseille. Ketika pria itu mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji, kelihatanlah ibu jarinya memiliki parut bekas luka.

Inspektur itu memberi isyarat kepada anak buahnya. Tiba-tiba saja El Bandito mendapatkan dirinya ditelikung, sementara moncong sebuah pistol polisi ditodongkan ke depan hidungnya. Sekelilingnya orang-orang berpakaian preman mengurung rapat. Dalam waktu beberapa detik saja, semua senjata yang dibawanya sudah dilucuti. 

"Que pasa?! (Apa yang terjadi?!)" serunya kaget tapi loyo karena menyadari dirinya tidak berdaya. Inspektur membuka kancing baju El Bandito. Tampaklah bekas luka besar di dada, seperti yang digambarkan oleh Marie-Christine Artus. Identifikasi El Bandito positif. Petualangannya pun berakhir di situ.

El Bandito diangkut ke markas besar polisi di Cannes. la tidak melawan dan mengakui semua tuduhan. Perihal dirinya, ia masih mencoba mengibuli polisi. Katanya, namanya Pedro Hechauge, kelahiran Uruguay, tetapi warga negara Spanyol. Istrinya, Maria Fernandez, berada di Madrid. Padahal ia bernama Fernando Alonso de Celada, kelahiran Buenos Aires, Argentina. Tidak banyak diketahui perihal orang tuanya, tetapi ia sendiri sudah menjadi pelanggan penjara sejak berumur 13 tahun. Jarang sekali ia hidup di luar penjara selama lebih dari setahun.

Tanggal 13 Februari 1979, ia menikah dengan seorang wanita yang cuma dikenal sebagai Azbiga. Di mana Azbiga sekarang tidak diketahui. Tahun 1980 Fernando melarikan diri dari Argentina. "Tak tahan menghadapi istri," begitu alasannya. Berturut-turut ia pergi ke Brasil, Kepulauan Kanari, dan Spanyol. Di ketiga negara itu ia sempat dipenjara. Januari 1983 ia tiba di Prancis. 

El Bandito dihadapkan ke meja hijau tanggal 2 November 1987. Di sini ia mungkir memperkosa. Katanya, wanita-wanita korbannya yang merayu ia untuk bercumbu. la juga menyangkal merampok keluarga Cohen. Katanya, suami-istri lanjut usia itu begitu jatuh hati kepadanya, sampai ia disuruh menginap, dimasaki hidangan malam, dan dikeramasi. Mereka juga dengan sukarela menyerahkan harta benda mereka kepadanya.

Tak diketahui apakah para juri percaya kepadanya. Namun yang jelas ia tidak bisa memberi alasan bahwa Angelo Perret dan Nicolas Defeo secara sukarela meminta disembelih olehnya. 

Beberapa ahli psikologi dipanggil sebagai saksi ahli. Hampir semua menyatakan Fernando Alonso de Celada waras dan berbahaya bagi manusia lain apabila dibiarkan berkeliaran. 

Juri rupanya sependapat dan hakim pun menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada pria yang menamakan dirinya El Bandito itu. (John Dunning)

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350708/akhir-petualangan-el-bandito" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530932000) } } [12]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350054" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/untung-andy-menemukan-karung_vin-20220628020020.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Selama 1,5 tahun polisi berkutat dengan beberapa kasus perampokan bersenjata. Suatu hari seorang anak remaja dan menjadi titik terang bagi polisi." ["section"]=> object(stdClass)#168 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/untung-andy-menemukan-karung_vin-20220628020020.jpg" ["title"]=> string(29) "Untung, Andy Menemukan Karung" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-28 14:00:42" ["content"]=> string(26388) "

Intisari Plus - Selama 1,5 tahun polisi berkutat dengan beberapa kasus perampokan bersenjata. Hingga suatu hari seorang anak remaja menemukan karung dan tidak sengaja menonton episode Crimewatch. Temuannya itu pun menjadi titik terang bagi polisi untuk menangani kasus perampokan tersebut.

------------------

Sore itu, 16 November 1985, Andy (14) bermaksud menyetel kaset video musik Top of The Pops. Secara tak sengaja ia keliru memutar kaset lain. Yang dilihatnya di layar TV malah rekaman episode Crimewatch dari Stasiun BBC. 

Semacam program Wanted ini adalah pencarian buronan dengan cara menayangkan rekonstruksi sebuah peristiwa kejahatan, agar pemirsa mau melaporkan keberadaan si tersangka. Di situ tergambar perampokan bersenjata. Pelakunya mengikat sebuah kotak peledak berkendali jarak jauh di punggung seorang sandera. 

Tertarik dengan benda aneh di punggung itu, Andy me-rewind lagi pas adegan tersebut. Benar! Rasanya ia pernah melihat benda itu beberapa waktu lalu." 

Masih jelas dalam ingatannya, beberapa bulan lalu ketika bermain dengan teman-temannya ia menemukan karung sampan tergeletak di trotoar depan sebuah rumah di Broxbourne, Hertfordshire, London, tak jauh dari tempat tinggalnya. 

Isinya macam-macam: topeng, rambut palsu, lem, sebuah penerima radio kecil, dan perangkat elektronik rakitan tangan. Iseng-iseng beberapa isi karung itu dibawanya pulang. Andy tertarik dengan perangkat elektronik yang sepintas mirip dengan yang dirangkai di mobil balap mainannya. 

Malang, sang ibu keburu melihat temuan itu dan menyuruh Andy membuangnya. Benda inilah yang dilihatnya dalam rekaman Crimewatch tadi. 

Atas inisiatif ibunya, mereka menelepon polisi. Tanpa disengaja, temuan Andy memberi petunjuk berharga bagi polisi yang sudah 1,5 tahun berkutat menyelidiki kasus itu.

 

Modus operandi sama

Sepanjang tahun 1985 serangkaian perampokan bersenjata telah membuat polisi dari Flying Squad di London sangat sibuk. Sasarannya beragam: bank, perkantoran, mobil barang, dan kantor pos.

Jumat pagi, 13 September 1985, sekawanan perampok menyatroni Imperial Cold Stores, toko perlengkapan rumah tangga di Tottenham. Kebetulan toko itu masih sepi. Cuma ada beberapa staf dan Fred, satpamnya. Dua orang menyerbu masuk. 

Fred yang sedang membuat teh ditodong senjata. Mereka mengancam dan menyuruhnya duduk di meja dekat jendela menunggu datangnya mobil barang. Jantung Fred berdetak keras. Sejam kemudian mobil yang ditunggu tiba. 

Pengemudinya mengangguk pada Fred, yang kemudian cuma membalas dengan senyuman, tanpa bisa berbuat apa-apa di bawah ancaman senjata. Setelah petugas pengiriman barang itu masuk, mereka disergap. Seorang dari mereka dijadikan sandera dan punggungnya dipasangi bom yang dikendalikan dengan pengendali jarak jauh. 

Beberapa menit kemudian, direktur perusahaan itu tiba. Dia ditarik paksa dari mobilnya dan sebuah tembakan peringatan diletupkan tepat di sisinya. Perampok kabur dengan kendaraan majikan Fred setelah terlebih dulu melepas bom di punggung sandera. Mereka berhasil menyikat uang senilai Rp 315 juta.

Peristiwa ini serupa dengan tiga usaha perampokan lainnya di Hertfordshire dalam 6 bulan terakhir. Pada 24 April, di Enfield Crematorium, tiga orang bersenjata menyandera staf sebuah pabrik yang sedang menunggu mobil barang. Sial, karena ada perubahan jadwal pengiriman mereka terpaksa pergi dengan tangan hampa. 

Pada 3 Mei, di Cross & Herbert, Hodesdon, dua orang bersenjata menyandera pegawai pabrik yang tengah menunggu setoran uang dari penjualan barang. Pada saat itu awak kendaraan merasa waswas karena tempat yang didatangi terlalu sepi. 

Mereka pun tidak jadi melakukan penyetoran. Perampokan pun urung terjadi. Upaya mereka diulangi lagi tanggal 27 Juni di Amtico, Enfield, tapi juga gagal lantaran yang ditunggu tak jadi datang. 

Ada kesamaan modus operandi pada kejahatan-kejahatan di atas. Beraksi pada pagi hari, sasarannya selalu kendaraan barang, serta pelaku maupun senjata yang dipakai sama.

Menyusul perampokan Tottenham yang mendapat banyak perhatian media, pengelola program Crimewatch menelepon Detective Constable Kevin Shapland dari Flying Squad, menawarkan untuk memfilmkan rekonstruksi perampokan tersebut. 

Flying Squad adalah kelompok polisi elite yang khusus dibentuk pemerintah Inggris untuk penanganan tindak kriminal. Dengan empat kantor di seluruh kawasan London, anggotanya terdiri atas 140 petugas, hasil seleksi ketat dari 4.000 polisi pilihan di Inggris.

Film rekonstruksi perampokan di Tottenham akhirnya ditayangkan 14 November 1985. Namun jumlah penonton saat ditayangkan ternyata lebih sedikit daripada biasanya, akibat kontes Miss World ditayangkan pada saat yang sama di ITV. Orang yang menelepon ke studio pun cuma 60. Padahal biasanya rata-rata ada 150. Itu pun tidak ada yang memberikan informasi berarti.

Tak lama setelah Andy menelepon, Detektif Kevin Shapland datang menemuinya. Informasi Andy yang begitu detail tentang kotak bom dan isinya amat menarik perhatian Kevin. Nama rumah tempat barang bukti itu ditemukan Andy adalah Emerald. 

Tanpa banyak kesulitan identitas pemiliknya segera bisa diketahui, David dan Rita Croke. Ternyata mereka penghuni baru. Pemilik lamanya telah pindah ke rumah lain yang lebih besar, juga di Broxbourne. 

Mereka mengelola perusahaan elektronik dan bangunan di Highbury. Informasi ini membuat polisi mencurigai pemilik lama rumah itu. Polisi segera membentuk tim khusus untuk menguak kejadian ini.

Pada 11 Desember 1985, hampir 4 minggu setelah Crimewatch ditayangkan, terjadi perampokan lagi di Armaguard Security Depot, Essex. Menurut pengakuan para saksi, sehari sebelum kejadian, sekitar pukul 19.00, Joe, satpam Armaguard, disandera di rumahnya. 

Tiga penjahat bersarung kepala menyekap istri dan anaknya. Kepada Joe perampok menyatakan, "Anda tahu apa yang kami inginkan? Antarkan kami ke kantor Anda besok dan bukakan brankas." 

Para penjahat memperlihatkan kotak bom waktu dengan lampu merah yang dikendalikan dari jauh. Benda maut ini akan dipasang pada salah seorang anggota keluarga Joe. Jika keinginan mereka tak dituruti, bom akan diledakkan. 

Memang, tak ada jalan lain bagi Joe untuk membebaskan diri selain bekerja sama dengan kedua perampok yang menginap di rumahnya, sepanjang malam.

Esoknya, ketika mereka meninggalkan rumah pada pukul 05.30, bom telah dipasang di bawah jok mobil Joe. Istri dan anak perempuan Joe ditinggal dalam keadaan terikat agar tak bisa kabur. Joe mengendarai mobilnya ke kantor sementara perampok membuntutinya. 

Akhirnya, di bawah todongan senjata Joe terpaksa menyerahkan uang perusahaannya dari brankas kepada perampok nekat tersebut. Bahkan sebelum perampok kabur, Joe dan salah seorang teman sekantornya dimasukkan ke dalam ruang besi dan pintunya dikunci. Uang sekitar Rp 1,7 miliar raib seketika. 

Perampok meledek polisi dengan menyisihkan ‘hadiah’ sebuah bom yang masih menempel dalam mobil Joe. Ini merupakan kasus perampokan terbesar di wilayah Essex, London.

 

Giliran Shields jadi sasaran

Dua bulan kemudian, dalam perjalanan pulang Detektif Kevin Shapland lewat Emerald. Terlihat ada tiga mobil parkir di depannya, sebuah Audi GT, Porsche, dan Nissan Sunny Estate. Melihat pelat nomornya, dia tahu Nissan tersebut milik Dolly Ince, istri George Ince yang pernah dipenjara karena merampok. 

Ternyata mereka tinggal bersama. Kecurigaan polisi terhadap pemilik lama Emerald pun gugur. Kini, perhatian dialihkan ke penghuni sekarang, David dan Rita Croke.

Tujuh tahun lalu David Croke (43) pernah dihukum lantaran mencuri. Rita yang dua belas tahun lebih tua, dinikahinya sejak 15 tahun lalu. David yang drop-out sekolah pada usia 14 tahun tanpa kecakapan tertentu, iseng-iseng bekerja sebagai sopir. Saat itu dia tidak punya pekerjaan tetap. 

Sejak pertengahan April 1977 - Februari 1985, dia tinggal di flat pemerintah di Edmonton, London. Setelah itu ia pindah ke Emerald, yang dibelinya secara tunai sekitar Rp 300 juta. Transaksi inilah yang mengundang kecurigaan polisi. Bagaimana seorang pengangguran bisa beli rumah semahal itu. 

Akhir Juli, mobil Golf GTI hijau terlihat di jalan masuk Emerald. Pemiliknya diketahui bernama Donald Barret, mantan napi kambuhan yang tiga tahun lalu keluar dari bui.

Dalam penyelidikan kasus ini anggota tim polisi bertambah dengan masuknya Inspektur Detektif Duncan MacRae. Saat itu, polisi belum tahu apa yang hendak dikerjakan. Tapi seminggu kemudian, tanda-tanda aktivitas mereka mulai terlihat. 

Suatu sore Barret tiba di Emerald dengan Golf GTI hijaunya. Dia masuk sebentar, lalu keluar bersama David Croke. Keduanya masuk ke mobil Golf itu. Barret yang mengendarainya. 

Tim pengintai segera membuntuti, meluncur ke arah London melalui pusat kota dan menuju Battersea. Sasaran mereka kompleks industri. Polisi menunggu di luar kompleks. Mereka melihat mobil tadi dikendarai perlahan mengitari blok itu dan keluar lagi.

Di sana terdapat gudang milik perusahaan pengiriman uang dan surat berharga yang bernama Shields. Polisi curiga perusahaan ini bakal menjadi sasaran perampokan. Pengamatan dan pengintaian intelijen beberapa hari memastikan hal itu.

Seorang detektif yang bertugas mengamati gudang itu melihat mobil Golf hitam diparkir di pintu masuk depan. Mobil ini sebelumnya juga pernah berada di jalan masuk Emerald. 

Diketahui, pemiliknya bernama Alan Turner yang tinggal di Essex. Rupanya dia satpam Shields. Belum diketahui apa tugasnya. Begitu juga apakah dia bergabung dengan komplotan itu atau tidak.

Inspektur Duncan MacRae menggelar pertemuan mendadak untuk membicarakan strategi penggerebekan. Tugas pertama, menentukan pos pengintaian sekitar kompleks industri yang memungkinkan mereka melihat gerbang utama Shields.

 Titik utama yang menguntungkan adalah sebuah pub yang letaknya beberapa puluh meter dari gudang. Untuk melihat yang datang dan pergi, dipakailah sebuah pos polisi tua di persimpangan Battersea Road, satu-satunya jalan ke kawasan industri tersebut. 

Sebuah sekolah yang letaknya memungkinkan untuk melihat halaman utama gudang dijadikan pos observasi berikutnya. Kebetulan saat itu liburan sekolah. 

Sesuai dengan waktu yang diperkirakan, setiap orang harus siap di posisi masing-masing. Tahu-tahu terbetik kabar, Barret terbang ke Portugal bersama keluarganya. Alhasil, petugas polisi terlantar selama 2 hari. 

Minggu, 10 Agustus, Barret riba kembali di Heathrow, sendirian. Tim penyelidik membuntutinya ke Emerald, tempat dia bertemu David Croke. 

Mereka segera ke rumah Alan Turner di Essex. Diduga ini perundingan terakhir. Mereka berkumpul sampai pukul 22.00. Croke dan Barret kembali ke Emerald. Tapi hujan badai di Hertfordshire malam itu menyulitkan tim pengintai melihat gerak-gerik mereka.

Sementara itu, di stasiun polisi Lambeth, Detektif Kevin Shapland sudah menyelesaikan briefing terakhir kepada anggota tim. Operasi bersenjata akan dilancarkan sepanjang malam itu. 

Petugas Blue Berrets, unit senjata api taktis, ditempatkan di sekitar gudang, karena keterampilan mereka dalam penanganan sandera dan senjata api diperlukan. Para petugas terampil dalam pengintaian berkendaraan juga disiapkan. Total yang bertugas malam itu, 80 personel.

 

Serba tak menentu

Tanda-tanda bakal terjadi sesuatu terlihat pada pukul 04.20, ketika lampu luar Emerald menyala. Donald Barret dan David Croke keluar, masuk ke mobil menuju garasi terbuka. 

Dengan kendaraan yang tak biasa mereka pakai, yakni mobil barang Ford Escort biru, meluncur menuju Battersea. Keduanya mengenakan pakaian gelap, berdasi, dan membawa radio. 

"Saya berada di pos pemantauan jalan utama Battersea. Ketika melihat mereka dalam perjalanan, lambung saya mual. Adrenalin mulai terpompa, dan saya cuma berharap segala sesuatunya akan berjalan sesuai rencana," kenang Kevin Shapland.

Pukul 05.45 Alan Turner tiba di gudang dengan Golf-nya dan beberapa menit kemudian, dia ngobrol dengan temannya yang memarkir kendaraan di sebelahnya. Turner tampak gugup. Dia mondar-mandir dan merokok terus. 

Sepuluh menit kemudian, Ford Escort biru dengan Barret dan Croke di dalamnya tampak membuntuti sebuah mobil Vauxhall, berisi seorang pegawai Shields. Mereka melaju ke daerah sasaran.

Vauxhall berhenti di luar gerbang masuk. Pengemudinya keluar, disambut Turner dan temannya. Ford Escort biru perlahan menghampiri mereka. Inilah saatnya melakukan penyerbuan. Setiap orang siap siaga dan menunggu. Tapi mobil barang biru malah pergi. Atmosfer ketidakpastian menggelayut di pos-pos pengintaian polisi. 

Sementara itu Turner dan temannya telah masuk bersama pegawai Shields. Beberapa saat kemudian keluar lagi. Turner berjalan menuju mobil barang putih di dekat gerbang utama. 

Dia membawa sesuatu mirip kotak sepatu, dan dimasukkan dari pintu belakang mobil. Dia kemudian melompat ke ruang kemudi. Temannya menuju tempat duduk penumpang dan mereka menghidupkan mesin. 

Sampai di sini polisi masih belum bisa bertindak. Turner 'kan satpam perusahaan itu. Tak ada yang tahu persis apa yang terjadi. Perampokan atau bukan.

“Kami menghadapi persoalan nyata dan pelik. Ada sebuah kendaraan, mungkin berisi uang atau emas di dalamnya dan dua orang bersenjata. Tapi ada juga satpam. Kami belum bisa berbuat lebih Ianjut, selain harus membuntuti mereka," ungkap inspektur kepala Detektif Peter Gwynn. 

Detektif Kevin Shapland segera bergabung dengan unit pengintai di jalan utama. Ford biru, dengan Barret dan Croke di dalamnya, membuntuti mobil barang putih. 

"Kami di belakang pada jarak tertentu. Barret mengenakan wig dan kacamata. Saya tak tenang. Semuanya mungkin terjadi. Kami tahu mereka bersenjata, dan situasinya dapat berpotensi menjadi bahaya," aku Shapland. Konvoi ini mengitari Hyde Park Corner dan naik ke Edgware Road menuju jalan raya Ml. 

Pada saat bersamaan, helikopter polisi metropolitan juga telah disiapkan di pangkalan heli Battersea. Kalau perampok keluar area, helikopter dengan perlengkapan komunikasi canggih ini dapat diperintahkan membantu operasi.

 

Memberi selamat

Tiba-tiba mobil barang putih keluar menuju kawasan wisata, Newport Pagnell, Escort biru tetap mengikuti. Waktu menunjukkan pukul 07.45. Turner memarkir mobil barang, keluar, dan berjalan menuju restoran. 

Mobil-mobil polisi pengintai tetap mengawasi tersangka. Mereka dapat melihat Croke dan Barret berbincang dengan Turner di luar pintu masuknya. Kelihatannya pertemuan ini telah direncanakan. 

Saat Turner berjalan kembali menuju mobil barang, dia diikuti oleh Croke dan Barret. Nampaknya dalam detik-detik ini ‘aksi’ terjadi. Tapi karena teralang mobil barang, polisi tak bisa melihatnya. 

Lokasi juga menyulitkan tim pengintai, karena bila melakukan penyergapan di tempat terbuka akan membahayakan umum. Kenyataan bahwa para tersangka sebelumnya pernah menyandera, menembakkan senjata, dan menggunakan bom merupakan pertimbangan utama.

Tak berapa lama kemudian mobil barang putih terlihat meninggalkan tempat parkir. Namun sekarang, yang mengendarai David Croke, bukan lagi Alan Turner. Barret dengan mobil barang biru menguntit rapat di belakangnya. Nah, kelihatannya perampok telah beraksi. Polisi harus bertindak. 

Petugas tahu bahwa lokasi penyergapan terbaik adalah jalan kecil yang arahnya menjauhi jalan raya. Tapi waktunya terbatas. Konfrontasi di jalan utama dapat berakibat fatal, maka baru ketika kedua mobil barang bergerak menuju jalan raya, perintah penyergapan diberikan.

Kendaraan pengintai, yang diparkir di tempat tersembunyi, dipacu untuk menghadang mobil barang putih. Dalam sebuah baku tembak singkat, para penjahat bisa ditangkap. 

Dari mobil mereka ditemukan sebuah revolver 0.32, pisau lipat, dan kaleng gas CO. Di dalam kotak sepatu ditemukan batangan emas lantakan. Dalam hiruk pikuk itu, Barret mencoba melarikan diri dengan mobil barang biru, tapi dengan tangkas Detektif Shapland berhasil meringkusnya. 

Rupanya Barret masih mengenali para penangkapnya. Saat ditangkap dia malah memberikan ucapan selamat kepada petugas tersebut. 

Dua orang petugas satpam Shields terlihat menutupi kepalanya, wajahnya merunduk ke lantai mobil barang. Walaupun Turner jelas-jelas ikut dalam suatu ‘aksi perampokan’ bersama Barret dan Croke, polisi tetap belum tahu sampai seberapa jauh keterlibatan mereka. Keempatnya segera dibawa ke kantor polisi Milton Keynes. 

Siang harinya, pukul 14.00, petugas lain diperintahkan menggerebek Emerald dan menangkap Rita Croke. Dari wanita ini petugas berhasil menyita sebuah tas berisi senjata genggam Reck 0.65, beberapa butir peluru, peluru gas, kacamata, dan surat-surat berharga. Tas lainnya berisi sarung pistol, peluru, topi, dan pakaian.

 

Pengakuan mantan napi

Untuk mendapatkan pengakuan bahwa komplotan itu juga bertanggung jawab atas serangkaian perampokan sebelumnya, dalam proses penyidikannya, Flying Squad meminta bantuan Barret, si mantan napi tersebut. 

Dari catatan polisi, Barret ternyata pernah dijadikan informan polisi pada tahun 1980, setelah mendapat pengurangan hukuman penjara. Dari keterangan Barret diketahui, perampokan Shields sudah direncanakan dengan cermat dan dipersiapkan dalam waktu setahun. 

Bahkan kelompok ini membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menetapkan tanggal beraksinya. Saat itu Alan Turner baru saja mulai bekerja di Shields. Waktu yang tepat adalah ketika Turner bertugas mengantar batangan emas dengan mobil barang. 

Padahal saat itu Barret berlibur bersama keluarganya. Karena rencana perampokan itu, Croke meminta Barret pulang untuk membantu aksi itu. Dari pengakuannya, nampak bahwa David Croke adalah otak kelompok ini. Namun, Croke tidak waspada. Barret rupanya masih terus diawasi polisi.

Dalam penyelidikan selanjutnya, Barret mengakui kelompoknya juga bertanggung jawab atas peristiwa perampokan Armaguard. 

"Sebelumnya mereka akan memilih satpam Bill untuk dipakai. Tapi belakangan, setelah menyelidiki Bill dan rumahnya, Croke menggantikannya dengan satpam lain, yakni Joe," jelas Barret. "Kotak plastik dengan sebuah sakelar lampu merah yang disebut-sebut sebagai bom itu sebenarnya cuma mainan," tambahnya. 

Dari hasil berbagai perampokan itu David Croke punya vila dan kapal di Malta. Bukti pendukung juga didapat dari data forensik. Selama perampokan Armaguard, kabel yang berhubungan dengan pagar di sekeliling gudang diputus. 

Ketika polisi menyelidiki Emerald, beberapa bulan kemudian mereka menemukan sebuah pemotong kabel. Juga sebuah sarung kepala ditinggal di TKP. Wig yang dikenakan Barret ketika ditangkap cocok dengan rambut yang ditemukan di sarung kepala.

 

Pakai nama samaran

Fakta demi fakta akhirnya terungkap dari interogasi terhadap Barret. Anggota ketiga komplotan ini adalah Glen Armsby. Dia tinggal dengan saudara perempuan Rita Croke. Dave dan Glen punya sejumlah rekening bank dan saham di building societies. 

Tapi sekembali dari Malta, Dave mentransfer uangnya ke bank di Irlandia dengan alasan bunganya lebih tinggi. Rekening David Croke di Bank of Ireland, Seven Sisters Road ini, terdaftar atas nama T. Moore. 

"Saya punya beberapa cek yang ditandatangani Croke dengan nama T. Moore," jelas Barret. Dari hasil perampokan Armarguard, Croke menerima bagian sekitar Rp.500 juta.

Pengakuan ini didukung temuan polisi, sebuah koper milik Croke di Emerald berisi surat berharga yang dibubuhi nama T. Moore. Ketika polisi mengecek di banknya, mereka melihat bukti tertulis dalam rekening, slip pembayaran dan cek, yang lagi-lagi membuktikan segala sesuatu yang diceritakan Barret.

Perampokan toko peralatan rumah tangga di Tottenham, juga melibatkan Glen Armsby dan David Croke. Dave-lah yang mengawal petugas pengirim barang, sementara Barret menangani direktur toko itu. 

Tiga karyawan yang hendak melawan dibereskan oleh Glen. Sedangkan yang memindahkan uang ke mobil Fred adalah Dave, lalu Glen yang mengendarainya. Sementara Barret dan Dave mengawal dari belakang untuk menghadang bila ada yang mengejar mereka. Dari hasil perampokan ini, masing-masing kebagian Rp 100 juta.

Total kejahatan yang telah mereka lakukan sebanyak 23 kali. Di antaranya ada yang sudah terjadi 3 tahun lalu. Barret diinterogasi setidaknya selama 9 bulan. Kasusnya dilimpahkan ke pengadilan pada April 1988. Di pengadilan, informan yang kambuh jadi perampok sejak usia 12 tahun ini berbicara dengan sangat lancar. 

Sebaliknya, David Croke menolak menjawab setiap pertanyaan mengenai tuduhan terhadapnya. Akhirnya, karena bukti-bukti amat kuat, dia dinyatakan bersalah telah melakukan 9 kali perampokan, termasuk di Tottenham, Armaguard, dan Shields. Dia dihukum 23 tahun.

Walaupun Glen Armsby mengakui terlibat dalam perampokan Tottenham, polisi memusatkan tuduhan pada kasus paling serius, perampokan Armaguard. Untuk ini, dia dihukum 15 tahun penjara. Alan Turner dihukum 7 tahun dan Rita Croke dikenai hukuman percobaan. 

Sementara itu Barret dinyatakan bersalah melakukan 23 tindak kejahatan. Setelah hakim mempertimbangkan hukuman selama 24 jam, esok paginya dia memberi Donald Barret hukuman 16 tahun penjara.

Ketika persidangan berakhir, 8 orang menerima hukuman penjara total 71 tahun. Bagi Detektif Kevin Shapland, ini merupakan sukses pribadi yang besar. "Semua ini terjadi karena sebuah laporan anak laki-laki 14 tahun yang, karena perjalanan nasib, telah melihat video Crimewatch. Tanpa informasinya kami takkan pernah melihat rumah di Broxbourne itu." (Liz Mills)



 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350054/untung-andy-menemukan-karung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656424842000) } } [13]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309412" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/ia-tidak-ingin-disebut-little-jo-20220603063514.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Cinta mengalahkan segala-galanya. Begitu juga dengan John Wojtowics yang rela merampok bank demi kekasihnya bisa operasi ganti kelamin." ["section"]=> object(stdClass)#172 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/ia-tidak-ingin-disebut-little-jo-20220603063514.jpg" ["title"]=> string(39) "Ia Tidak Ingin Disebut Little John Baso" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:35:42" ["content"]=> string(41379) "

Intisari Plus - Cinta mengalahkan segala-galanya. Begitu juga dengan John Wojtowics yang rela merampok bank demi kekasihnya bisa operasi ganti kelamin. Namun setiap kejahatan selalu menemui jalan gelapnya.

-------------------------

New York City, hari Selasa, 22 Agustus 1972. John Wojtowicz yang kerempeng dan ganteng turun dari apartemennya di daerah Manhattan. Veteran Perang Vietnam yang berumur 27 tahun itu masuk ke sebuah bar di tengah daerah tempat tinggal orang-orang homoseksual di Greenwich Village.

la sedang menganggur dan sudah bercerai dari istrinya. Saat itu ia sedang risau. Ia yakin umurnya tidak panjang lagi. Kanker dan penyakit usus menggerogoti tubuhnya. Selain itu sejak keluar dari ketentaraan ia sering harus berurusan dengan psikiater.

John tidak pernah tercatat melakukan kejahatan. Namun selama beberapa bulan terakhir ini ia bergaul dengan banyak orang yang termasuk dalam daftar hitam polisi.

John duduk diam-diam di bar sambil menghirup gin dan tonic. Ia teringat kepada pacarnya, seorang pria juga, yang bernama Ernest Aron. Ernest pernah berkata kepada John, “Kalan betul kau mencintaiku, kau harus membuktikannya, yaitu dengan menyediakan uang yang cukup bagiku untuk menjalani bedah penggantian kelamin.” Ernest Aron sangat ingin menjadi wanita.

John berpikir, kalau merampok bank, ia akan mempunyai cukup uang untuk mengongkosi Ernest menjalani bedah penggantian kelamin. Lagi pula ia tidak akan dikata-katai sebagai “Little John Baso” lagi oleh teman-temannya. Selama ini ia hanya menjadi bulan-bulanan godaan mereka. Ia juga akan bisa berfoya-foya sebelum maut menjemputnya.

 

Chase Manhattan Bank jadi sasaran

Sesaat sebelum tengah hari muncullah teman yang ditunggunya, Salvatore Naturile. Sal, remaja ceking yang gondrong belum genap berumur 18 tahun. Sejak masih kanak-kanak di New Jersey ia sudah menjadi maling. Ia langganan tempat pendidikan anak-anak nakal. Ia juga menggunakan obat bius. 

Beberapa bulan yang lalu ia dijebloskan ke penjara, karena memiliki alat-alat mencuri dan juga obat bius. Ia tak tahan diperlakukan tidak senonoh oleh sesama narapidana. Katanya, ia lebih suka mati daripada kembali ke penjara. 

Kemudian masuklah pemuda ketiga. Teman mereka itu namanya Robert Westenberg. Ia berumur 21 tahun dan seperti John, ia pun belum pernah tercatat melakukan kejahatan. Ia tampak gugup ketika John membeberkan rencana terperinci mengenai perampokan yang akan mereka lakukan bertiga.

“Kita akan melakukannya hari ini, bukan minggu depan seperti yang direncanakan semula,” kata John. “Saya mendengar bisikan bahwa Brinks akan mengirimkan uang menjelang bank tutup. Kita akan berada di sana saat itu.”

“Sekarang saya akan ke Brooklyn untuk menyewa mobil. Saya akan kembali kira-kira pukul 14.00 dengan membawa senjata serta amunisi. Tunggu saya di rumah.” 

Sebelum keluar dari bar John sempat berpesan, “Eh, ingat, jangan mengenakan jins atau baju kaus. Pakai pakaian bisnis.”

Pukul 14.55. Bank akan tutup lima menit lagi. Robert Barrett, manajer dari Chase Manhattan Bank sedang asyik menekuni pekerjaan di kantomya yang terletak di Avenue P dan East 3rd Street di Flatbush, Brooklyn. Dolores Goettesheim, asisten manajer, duduk di belakang loket kasir, membantu salah seorang bawahannya membuat neraca.

Petugas keamanan bank, Calvin Jones, yang berseragam membukakan pintu untuk tamu terakhir yang keluar. Pada saat itu juga masuk tiga pemuda bersetelan jas. Seorang di antaranya, Bobby Westenberg, berjalan ke tempat penitipan barang untuk menaruh sebuah kotak seperti kotak bunga, yang tingginya lebih dari 1 m. Kemudian dengan senewen ia keluar dari bank. Jones membukakan pintu sambil tersenyum hormat, namun Westenberg tidak membalas senyumannya.

Barrett, manajer bank, tiba-tiba mendapati seorang pemuda sudah duduk di hadapannya. Pemuda itu Sal Naturile, mengenakan setelan jas berwarna biru tua dan ia membawa tas kantor. Barrett menyapa, “Anda perlu pertolongan saya?” Sal bergumam dan mencabut revolver dari balik jasnya.

Tangannya gemetar ketika menodongkan senjata itu. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia mengancam Barrettt. “Jangan bergerak. Anda dirampok.”

Barrett terkejut. Ia seperti tidak percaya pada telinganya. “Panggil penjaga dan suruh dia berdiri di sana menghadap ke tembok,” perintah Sal sambil menunjuk tembok dekat meja Barrett.

“Jangan mencoba berbuat yang bukan-bukan,” ancamnya sambil menggerak-gerakan senjatanya. “Di sana ada kawan saya. Ia tidak main-main.” Barrett menoleh kepada John Wojtowicz, yang ketika itu berdiri di ruang tempat kasir. Sang manajer memberi isyarat kepadanya. Calvin Jones yang sudah lanjut usia dan tidak bersenjata mendekat. Ketika melihat pistol yang ditodongkan oleh Sal kepada Barrett, mengertilah ia apa yang terjadi.

 

Ditipu kasir

Sebelum Sal mengancam, Barrett mendahului berkata, “Cal, berdiri di sana menghadapi tembok dan jangan berbuat sesuatu.” Calvin Jones menurut.

Saal itu Ny. Goettesheim mendekati meja Barrett. Dengan tenang sekali manajer itu berkata, “Dorothy, kita dirampok. Berusahalah untuk tenang. Tutup mulut dan berdiri menghadap tembok dengan Cal.”

Sesudah hal itu dilaksanakan, Sal pergi menarik tirai jendela-jendela depan, sehingga pemandangan dari luar teralang. John pergi ke tempat penitipan barang untuk membuka kotak bunga, yang tadi dibawa Bobby. Dari dalamnya ia mengeluarkan senapan 30.06, seperti yang biasa dipakai tentara.

“Kalian dirampok. Jangan bergerak!” serunya kepada enam karyawan lain. Semua orang terkejut. 

John seperti tidak tahu apa yang mesti ia lakukan selanjutnya. Ia berdiri mengarahkan senapannya kepada Barrett. Lalu ia berkata, “Saya tidak ingin di antara kalian ada yang luka. Jadi, lakukan apa yang kami perintahkan kalau ingin selamat.” Sal masih tetap berdiri di sebelah Barrett sambil menodongkan pistolnya ke kepala manajer bank cabang itu.

John menurunkan sedikit laras senapannya dan mendekati Barrett. “Dengar baik-baik,” katanya. “Saya menginginkan semua uang yang ada di sini. Uang puluhan, dua puluhan, lima puluhan, dan ratusan. Saya tidak mau limaan dan satu dolaran. Berikan pula daftar nomor seri semua traveller's check dan buku daftarnya. Saya paham soal buku begitu.”

John tampak mulai tenang setelah menyatakan keinginannya. Senapannya diarahkan ke lantai. Sikapnya dan reaksi para kasir pun tidak setegang tadi.

“Beberapa menit lagi kalian akan menerima kiriman dari Brinks. Saya juga ingin uang dari ruang besi,” katanya.

“Oh, Pak Barrett!” seru Kathleen Amore, salah seorang kasir. “Mereka sudah mengambil kiriman itu pukul 11.30 tadi.”

John berbalik untuk memandang gadis itu yang hampir tersembunyi di loket. “Saya tahu orang-orang dari Brinks tidak akan datang sebelum pukul 15.30. Buka ruang besi. Saya ingin melihatnya.” 

Barrett bangun ragu-ragu dari kursinya. Sal mendekatkan mulut pistol ke kepala manajer itu. Barrett menuju ke ruang besi. Ia memberi tanda agar Kathy ikut. Ruang besi itu mempunyai kombinasi ganda yang hanya bisa dibuka oleh dua orang. Ketika pintu terbuka Barrett masuk untuk mengambil uang sejumlah AS$ 4.000 dalam tas bertuliskan Federal Reserve.

John menodong Kathy Amore dengan senapannya dan mereka menuju kembali ke daerah kasir. “Cepat serahkan traveller's check dan buku log!” perintah John. Kathy memandang Barrett seperti minta persetujuan, lalu berkata, “Semuanya terkunci di situ.” 

Ia menunjukkan sebuah lemari kecil di bawah. Lemari itu mempunyai kunci kombinasi juga. Jadi, Barrett dan Kathy harus berdua membukanya. Kathy menumpukkan traveller's check dengan rapi di tempat kasir menghitung uang.

“Sekarang buku lognya,” desak John. Kasir yang masih muda usia itu ragu-ragu sejenak, lalu mengeluarkan buku yang isinya catatan nomor-nomor traveller's check yang terjual. John mengambilnya, memeriksanya sebentar, lalu tersenyum puas. Ia tidak tahu bahwa Kathy memberinya buku lama yang tidak berguna lagi.

Ketika John sibuk mengumpulkan uang kontan, cek, dan lain-lain, Sal meninggalkan posisinya di dekat meja 

Barrett untuk pergi mengambil senapan 30.06 yang tergeletak di tempat penitipan barang. Senjata itu dilengkapi dengan alat pembidik teleskopik. Memegang benda itu Sal merasa kuat dan rasa percaya diri terpancar di wajahnya.

 

“Kau butuh pertolongan?”

Kedua bandit yang tidak menyangka usaha mereka berhasil begitu mudah menjadi lupa waktu. Ketika itu sudah mendekati pukul 15.15. Mestinya mereka cepat pergi.

John menumpukkan uang di loket kasir. Uang kecil dibuangnya ke lantai.

Barrett tiba-tiba berbicara. Katanya, salah seorang sekretaris, Maureen Andrews, ada di kamar kecil. Ia tidak tahu apa yang terjadi.

“Beri tahu dia,” perintah John. “Tapi jangan mencoba berbuat yang bukan-bukan.” Barrett minta agar senapan jangan ditodongkan, supaya Maureen tidak kaget dan kalap. John menurut. Manajer bank itu pergi ke WC, memberi tahu Ny. Andrews mengenai situasi yang mereka hadapi dan mengantarnya kembali ke mejanya.

Tidak lama kemudian telepon berdering. Barrett yang sudah berada dekat mejanya lagi mengangkat gagang telepon. Peneleponnya Joe Anterio dari bagian personalia Chase Manhattan di pusat kota. Barrett memandang John. John berbisik, “Jangan main gila atau semua ditembak.”

Joe meminta Barrett mengirimkan seorang kasir, Joan Sounders, ke cabang di 75th Street keesokan harinya, untuk menggantikan kasir yang tidak masuk kantor itu.

“Jangan Joan, saya akan kirim Steve Marzano,” jawab Barrett.

Anterio terheran-heran. Marzano sudah dipecat beberapa bulan sebelumnya.

“Kau ngaco, Bob. Kau sedang dalam kesulitan?”

“Ya.”

“Kau perlu pertolongan?" tanya Anterio, cepat.

“Ya.” Barrett pun cepat-cepat menaruh gagang telepon.

John tampak puas dengan pembicaraan yang hanya singkat itu. Ia kembali ke tempat kasir.

Begitu selesai berbicara dengan Barrett, Joe Anterio segera menelepon Divisi Keamanan dan Perlindungan dari Chase Manhattan. Ia minta bicara dengan Phil Cooper untuk memberi tahu kenyataan yang diketahuinya. Cooper melihat arlojinya: pukul 15.20. Ia memanggil seorang petugas, Nicholas Albanese, ke kantornya.

“Bob Barrett sedang dalam kesulitan. Coba kau telepon bank cabang itu untuk mencari tahu apa yang tetjadi. Hati-hati. Jangan sampai mencurigakan, sebab siapa tahu didengarkan pihak lain.”

Nick menelepon Barrett. Ia mengulangi pertanyaan Anterio dan mendapat jawaban serupa, lalu Barrett memutuskan pembicaraan. Ketika itu pukul 15.25. Lima menit lagi Nick menelepon. Sekali ini Dolores Goetescheim yang menjawab. Albanese yakin di bank cabang itu memang ada kesulitan besar. Karena merasa didengarkan orang lain sekali ini, ia pura-pura panggilan telepon itu sekadar rutin, lalu ia menaruh gagang telepon.

Ia melapor kepada Cooper yang sedang memberikan penjelasan kepada Gerald van Dom, wakil direktur Divisi Keamanan itu. 

Jerry van Dorn meminta Nick menelepon polisi. Ia sendiri menelepon FBI. Pukul 15.40 Letnan Maurice Beers dari bagian perampokan menerima telepon Nick. Letnan Beers menyatakan akan segera mengirim polisi ke tempat kejadian. 

Nick minta agar yang dikirim para detektif yang tidak berseragam saja, karena kedatangan polisi berseragam akan membahayakan para karyawan bank. Nick memberi nomor teleponnya kepada Letnan Beers dengan pesan agar ia diberi tahu kalau polisi sudah mendapat informasi dari tempat itu.

 

FBI turun tangan

Di bank John memerintahkan para kasir masuk ke ruang rapat di belakang, supaya lebih mudah diawasi. Barrett yang masih berada di mejanya melihat asap dari belakang loket kasir. Ia cepat-cepat mendekati untuk melihat apa yang diperoleh John. Ternyata John membakar buku log di keranjang sampah.

John dengan santai bertanya, “Anda mempunyai pintu belakang?”

“Ya, ada.”

“Ada alarmnya?”

“Ada.” Barrett meminta Dolores Goetescheim mengambil kunci pintu belakang. Pada saat itu dari celah dua buah pintu masuk, John melihat mobil patroli polisi diparkir di seberang jalan. Ia segera melompat untuk menyingkap jendela. Walaupun cuma kelihatan sebuah mobil polisi, jelas jalan keluar sekarang sudah tidak mungkin lagi.

Ia berlari ke ruang rapat. “Sal, kita mendapat teman!” serunya. Telepon di meja Barrett berdering lagi. Manajer bank itu memandang John sebelum mengangkatnya. John mengangguk. Barrett mengangkat telepon.

“Saya Letnan Naurice Beers dari 10th District Police. Saya mendapat laporan di sini sedang terjadi perampokan. Betulkah demikian?”

Barrett membenarkan.

“Saya minta berbicara dengan seorang pelakunya.”

Barrett menoleh ke arah John. “Buat Anda,” katanya.

Letnan Beers menyatakan kepada John bahwa bank sudah dikepung. “Buang senjata kalian dan keluarlah dari pintu muka dengan tangan diangkat. Kalau kalian menyerah sekarang, tidak akan ada yang cedera dan segalanya akan lebih ringan bagi Anda.”

John tidak menjawab. Ia tidak tahu harus menjawab atau berbuat apa. Sesudah lama tidak memperoleh jawaban, Letnan Beers bertanya, “Anda masih di sana?”

“Uh, ya,” jawab John. Setelah diam lagi, John membanting gagang telepon.

Saat itu Sal meninggalkan para wanita di ruang rapat. Ia berdiri di sebelah John dan Barrett.

“Polisi, ya?” tanyanya.

“Ya,” jawab John sambil menjatuhkan diri ke kursi Barrett. Lalu ia bangun dan memerintahkan Sal mengintip dari pintu belakang. Sal kembali tidak lama kemudian. Katanya, di belakang ada mobil polisi dan dua polisi berseragam.

“Bagus, ya! Bagus!” teriak John pada Barrett. “Kami mendapat semua uang, tetapi tidak bisa pergi.” Kedua perampok itu senewen.

Di pusat kota, Jerry van Dom, wakil kepala divisi yang mengurusi keamanan bank-bank Chase Manhattan, sudah menelepon Joe Corliss dari FBI. Corliss segera mengerahkan orang-orangnya ke tempat kejadian. Mereka naik kendaraan preman. Agen-agen FBI segera mendapat keterangan dari polisi yang berjaga.

Pukul 15.50 para wartawan berlomba-lomba ke Brooklyn dengan para juru potret. Radio mereka telah menangkap laporan-laporan resmi polisi, sehingga mereka tahu kalau sedang terjadi perampokan dan kemungkinan besar perampok menyandera karyawan bank.

Pukul 16.15 bank cabang yang kecil itu sudah dikurung 50 polisi yang siap menembak. Van Dom mengirimkan tiga bawahannya ke tempat itu untuk berhubungan dengan FBI dan polisi juga, untuk membentuk pos komando komunikasi. 

Mereka membawa cetak biru dari bank cabang 252, sehingga yang berkepentingan bisa mengetahui di mana ada pintu-pintu keluar, bagan dalam gedung, dan juga kabel listrik, lampu, dan sebagainya. Van Dom meminta anak buahnya menelepon setengah jam sekali untuk melaporkan perkembangan keadaan.

Joe Corliss dari FBI dengan seorang agen khusus dari bagian kriminal FBI, yaitu Fred Fehl, datang pula ke tempat kejadian.

Pukul 17.00 di sekitar bank cabang itu sudah terdapat lebih 200 pejabat hukum, puluhan mobil polisi, beberapa ambulans dan bahkan mobil gerbong dari Palang Merah yang menghidangkan kopi. Fred Fehl ingin menjadikan tempat pangkas di seberang bank sebagai pos komando. Pemiliknya setuju dan memperbolehkan polisi memasang telepon-telepon tambahan. Kantor telepon segera memasang enam telepon.

 

“Bunuh mereka semua.”

Bagian keamanan dari Chase menaksir perampok tidak akan cepat-cepat bisa ditundukkan. Polisi dan perampok pun tawar-menawar. Sesaat sebelum pukul 19.00 John muncul untuk berbicara dengan dua letnan polisi. 

Ia minta kiriman pizza untuk dirinya, Sal, dan para sandera. Ia juga meminta agar pacarnya, Ernest Aron, dibawa ke tempat itu. Aron sedang berada di Rumah Sakit Jiwa King County setelah mencoba bunuh diri karena risau mengenai penggantian kelamin yang didambakannya. Aron kemudian memang dibawa ke tempat itu, tetapi tidak mau berbicara dengan John. Alasannya, ia takut dibunuh John.

Pukul 19.00 petugas keamanan bank, Calvin Jones, dibebaskan. Mungkin sebagai hasil tawar-menawar. Ia menceritakan apa yang terjadi di dalam. Diketahui juga John dan Sal memperkenankan para sandera memakai fasilitas kamar mandi dan bahkan kemudian mereka diperkenankan menelepon sanak keluarga. Konon mereka diperlakukan dengan baik.

Namun Sal pernah sekali menembak pintu belakang, karena merasa polisi sedang berusaha mendobrak pintu itu.

Richard Baker, agen khusus dari Divisi Administrasi FBI yang saat itu kebagian tugas memimpin penanganan kejadian-kejadian yang membutuhkan jasa FBI di New York, sebenarnya sudah berjanji akan pergi dengan istrinya. Ketika dilapori peristiwa perampokan itu, ia membatalkan janjinya dan segera pergi ke tempat kejadian.

Ketika ia tiba dilihatnya manusia berdesak-desakan di muka bank. Bahkan ada wanita yang mendorong kereta berisi bayi ikut berjubel. Sementara itu para penjual makanan dan minuman pun tidak melewatkan kesempatan mencari rezeki. Keadaannya lebih mirip pasar malam daripada usaha membebaskan sandera dari perampok.

Dick Baker marah. Ia memerintahkan daerah itu dikosongkan dari orang yang tidak berkepentingan, sedangkan tenaga yang dikerahkan ke sana disuruh dikurangi, supaya lebih mudah dikelola.

Pada saat itu di dalam bank Sal tampak gatal tangan untuk menembak, sehingga para sandera khawatir. Telepon pun berdering terus. Para wartawan ingin mewawancarai para bandit. Ada pula penelepon yang memberi semangat kepada dua bandit itu. Bahkan setiap seperempat jam ada orang menelepon John dengan suara bisikan yang meremangkan bulu roma, “Bunuh mereka semua.”

 

Berhasil dibujuk

Pukul 19.30 pentolan-pentolan pejabat hukum berunding di dalam toko tukang pangkas untuk mengatur strategi. Mereka sepakat bahwa orang yang akan membuat keputusan ialah Dick Baker.

Baker bertanya kepada pemimpin detektif dari kepolisian New York City, Chief Louis Cattell, apakah para penembak sudah siap di tempat-tempat yang strategis?'

“Sudah,” jawab Chief Cottell. Lewat celah tirai dan celah-celah pintu, juru tembak dari kepolisian yang dilengkapi dengan alat yang kuat bisa melihat jelas sandera maupun kedua bandit. Namun karena keselamatan para sandera harus diutamakan, mereka tidak boleh menembak saat itu. Menurut Joe Corliss dari FBI, kaca bisa membuat bidikan meleset, jadi penembakan hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa.

Saat itu nama lengkap John sudah diketahui berkat percakapannya dengan media massa dan polisi. Diketahui pula John tidak tercatat dalam daftar hitam polisi, ia mempunyai dua anak, dan sudah bercerai.

John berbohong mengenai Salvatore Naturile. Temannya itu dikatakannya bernama Donald Matterson. Komputer polisi tidak bisa menemukan nama itu.

Dick Baker ingin berbicara dengan John. Ia ingin masuk ke bank untuk menentukan kekuatan senjata kedua perampok dan melihat keadaan para sandera. Ia menelepon ke bank. John mengangkatnya dan mengira yang menelepon itu wartawan atau petugas TV yang ingin mengetahui perkembangan terakhir.

“Saya dari FBI. Nama saya Richard Baker. Saya ingin datang ke tempat Anda untuk berbicara dengan Anda,” kata Baker. 

“Ya, tentang apa?”

“John, saya yakin kau menyadari situasimu dan temanmu. Tidak ada harapan lagi. Saya ingin berbicara denganmu untuk menerangkan bagaimana caranya kita bisa mengakhiri hal yang tidak menyenangkan ini tanpa seorang pun terluka. Sampai saat mi tuntutan dasar terhadapmu ialah perampokan bank.”

Baker sudah mempertimbangkan setiap kata. Ia tidak mau ada kata yang kelebihan atau kekurangan. Ia berbicara secara orang pintar dan menjelaskan situasi yang sebenarnya. Ia tidak mengancam John atau merendahkannya. Kepandaian bicaranya dan ketulusannya menyebabkan John terus mendengarkan, padahal sebelumnya orang lain sudah mencoba berulang-ulang tanpa diladeni.

“Kenapa tidak berbicara di telepon saja?” tanya John.

“John, saya benar-benar ingin berbicara denganmu di dalam. Saya ingin meyakinkan diri bahwa tawananmu semuanya selamat. Saya ada di seberang jalan, di tukang pangkas. Saya akan menyeberang tanpa senjata. Kau bisa mengawasi saya lewat jendela.”

“Apakah kau kepala biro? Orang yang bisa memutuskan?” tanya John.

“Benar. Chief Louis Cotten dari New York Police Department akan menemani saya. Kami tidak akan bersenjata.”

 

Minta helikopter atau limusin 

John tidak menyatakan setuju atau menolak. Ia menaruh gagang telepon. Semenit kemudian Baker dan Cotten menyeberangi jalan. John meninggalkan Barett, menuju ke pintu depan. 

Ia ragu-ragu sejenak, lalu membuka pintu sedikit. Kedua pejabat hukum sudah berada di tengah jalan. Melihat John tampaknya setuju, Baker membuka jasnya dan melepaskan pistolnya untuk diserahkan kepada seorang agen FBI. Cottell berbuat serupa.

“John, kami akan masuk,” kata Baker. Tanpa menunggu lagi mereka maju. John mundur ke dalam gedung yang setengah gelap untuk memberi kesempatan kepada dua orang itu memasuki pintu.

John menjadi juru bicara, sedangkan Sal yang senewen mempermainkan senapannya dari kejauhan. Mula-mula John memaki-maki dengan kata-kata kotor, untuk membenarkan kehadirannya di situ. Kemudian ia menjadi lebih tenang dan tampak tertarik pada tawaran Baker.

“Saya tidak mau bicara dengan polisi,” kata John sambil menunjuk Cotten dengan senjatanya. 

Baker menganggap percuma berargumen dengan John mengenai hal itu. Jadi, permintaan itu ia terima.

“Kau mempunyai delapan sandera, yaitu Tuan Robert Barrett dan tujuh wanita kasir. Apakah mereka baik-baik saja?” tanya Baker. John mengangguk. Sementara itu Cottell memperhatikan senjata perampok. Mereka memakai dua senapan dan sebuah pistol otomatis.

Tiba-tiba John berkata, ia ingin meninggalkan tempat itu. “Coba tolong atur supaya kami berdua dan beberapa sandera bisa diterbangkan dengan helikopter ke Bandara Kennedy. Saya ingin disediakan pesawat yang siap berangkat ke negara lain.”

Baker cepat menjawab. “Tidak mungkin, John. Jalan ini tidak cukup lebar untuk dipakai mendaratkan helikopter. Atap gedung demikian juga. Saya tidak menjanjikan apa-apa. Namun kalau kau melepaskan semua orang ini dengan membiarkan mereka keluar dari pintu muka seorang demi seorang, kemudian kau dan Matterson keluar, kalian pasti tidak akan dilukai dan kita mengakhiri peristiwa itu di sini.” 

John tidak mau. Ia memaki-maki lagi dan mengulangi permintaannya. Sekali ini helikopter digantinya dengan dua mobil. “Saya akan naik mobil yang satu dengan empat sandera. Sal akan naik mobil yang lain bersama sisanya.”

“Siapa Sal?” tanya Baker. “Sal! Salvatore Naturile. Itu dia! Saya bilang kepada wartawan namanya Donald Matterson, karena kadang-kadang dia memang memakai nama itu.

Baker tidak senang pada gagasan yang dikemukakan John, tetapi ia melihat kesempatan untuk tawar-menawar. Ia pikir, kalau menerima gagasan itu, ia mempunyai waktu untuk merencanakan pembekukan. Lagi pula kalau para bandit berada di luar gedung, lebih mudah untuk menanggulanginya daripada dalam “benteng”.

“Dua mobil tidak bisa,” kata Baker, yang berpikir dua mobil lebih sulit dikontrol. “Hal itu bertentangan dengan ketentuan FBI yang tidak mengizinkan dua mobil dipergunakan untuk keperluan seperti itu.” (Padahal ini cuma alasan yang dicari-cari oleh Baker sendiri).

“Bagaimana kalau memakai sebuah limusin bandara? Kalau kau memberikan sebuah limusin, saya akan melepaskan seorang wanita sebagai tanda kami bermaksud baik.”

Baker menyatakan akan mengusahakan limusin dan pesawat, tetapi tidak berjanji ia pasti berhasil. 

Kemudiaan Chief Cattell dan Baker meninggalkan bank. Mereka kembali ke toko tukang pangkas untuk merencanakan tindakan berikutnya. Jerry van Dorn di kantornya ditelepon oleh Jim Cummings, yang ditempatkan di toko pangkas itu juga. Cummings memberi tahu kemungkinan Chase harus mengusahakan sebuah pesawat. 

Saat itu sudah hampir pukul 21.00. Baker, Fehl, dan Cattell merencanakan tindakan berikutnya dengan hati-hati. Mereka tahu John merupakan pemimpin dari perampokan itu dan dengannya mereka bisa tawar-menawar. Namun mereka khawatir kalau memikirkan Sal yang tampaknya sangat senewen, padahal ia memegang senjata. 

Mereka pikir, semakin lama dibiarkan, kedua perampok itu semakin lelah, ketakutan, dan kebingungan.

 

Berangkat ke bandara

Untuk membuat keadaan perampok tambah sulit, Baker meminta listrik dan AC di dalam gedung dipadamkan dengan cara memutuskan aliran listrik dari luar. Pukul 22.00 markas besar Chase Manhattan di Wall Street sangat sibuk. 

Mereka ingin memperoleh sebuah pesawat yang akan diterbangkan ke tempat yang belum diketahui. Mereka berhasil menyewa sebuah pesawat untuk dua belas orang dari Hansa Jet Corporation.

Malam itu ibu John datang. Ia ingin membujuk agar John menyerah kepada yang berwenang. Ia dibawa ke toko tukang pangkas. Ernest Aron juga sedang berada di tempat itu. Wanita itu memeluk pacar anaknya dan berkata, “Jangan bersusah hati, Ernest, mereka akan mengeluarkan John dengan selamat. Mungkin mereka mau menaruh kau berdua di satu ka mar di Kings County Hospital.”

Di situ juga ada Ny. Clyde Sounders, ibu John Sounders, salah seorang kasir yang disandera. Hadir pula suami Shirley Ball, yang mendengar berita penyanderaan dari radio.

John sedang marah dan sedih, karena polisi tidak berhasil membujuk Ernest Aron menemuinya di jalan. Kemudian John minta didatangkan Patrick Coppola, teman sekamarnya. Baker mengizinkan pemuda berumur 22 tahun itu menyeberangi jalan untuk bertemu dengan temannya. 

Seorang agen FBI memegang ikat pinggang Patrick, supaya pemuda itu jangan berlari masuk dan memperkuat para bandit. Atau ada kemungkinan ia dipaksa John masuk menjadi sandera tambahan. Kedua pemuda itu berpelukan dan berciuman. Sementara itu penonton meneriaki mereka.

Fajar mulai menyingsing. Dari pelbagai taktik yang diusulkan, FBI memilih satu yang dianggap paling banyak kemungkinannya untuk berhasil tanpa menumpahkan darah, yaitu mengabulkan permintaan John untuk pergi berlimusin ke bandara.

Pukul 03.50, Rabu, 23 Agustus. Sebuah limusin bandara berwarna hijau yang bisa mengangkut 14 orang penumpang dipersilakan menembus blokade polisi dan diparkir kira-kira 20 m dari bank. John mengumpulkan uang kontan AS$ 37.950 dan traveller's check AS$ 175.000. 

Benda itu diserahkan kepada Barrett untuk dibawa. Lalu ia keluar dari bank sambil menyandang senapannya. Ia mendekati mobil. Baker dan beberapa agen FBI termasuk seorang sukarelawan yang dipanggil “Murphy” menunggu John.

 

Sopirnya agen juga

“Siapa yang akan menyetir?” tanya John.

Baker maju untuk memperkenalkan Murphy, yang sebenarnya juga seorang agen khusus. John memandang Murphy dari atas ke bawah dan memeriksa limusin untuk mencari kalau-kalau ada senjata yang disembunyikan di dalamnya.

“Oke, kau masuk,” katanya kepada Murphy. “Yang lain jatuhkan senjata dan mundur.” Agen-agen FBI dan para polisi dengan enggan menuruti juga perintah John. John kembali ke bank sambil mengawasi mereka. 

Tak lama kemudian ia muncul lagi menggiring Barrett dengan senapan ke mobil. Keenam kasir muncul di pintu mengelilingi Sal seperti perisai. Beberapa saat sebelumnya, seorang kasir, Josephine Tuttino, dibebaskan oleh John. Ia ditinggal di dalam bank.

Para perampok dan para sandera masuk ke mobil seorang demi seorang. Murphy duduk sendirian di depan. John menyuruh kosongkan baris kedua. Sal, Shirley Ball, dan seorang kasir lain didudukkan di bangku ketiga dan tiga kasir lagi di bangku keempat. Bangku kelima dan terakhir dipakai oleh dua kasir dan dia sendiri.

Pukul 04.10 iring-iringan mobil polisi dan FBI perlahan-lahan bergerak melalui kerumunan orang untuk kemudian meluncur di jalan sepi menuju bandara. Jumlah kendaraan kira-kira 20 buah.

Agen Joe Corliss dan beberapa rekannya berada dalam kendaraan yang termasuk paling belakang, diikuti dari dekat oleh belasan kendaraan preman.

Pukul 04.45 iring-iringan memasuki jalan panjang yang menuju ke Bandara Kennedy. Agen-agen FBI sudah menunggu pada gerbang jalan yang menuju taxiway, tetapi jarang dipakai. Agen-agen mengecek penumpang setiap kendaraan. Hanya yang berhak boleh masuk.

Ketika Corliss masuk, ia mengunci pintu gerbang dan menyuruh kendaraan-kendaraan preman serta penonton untuk menyingkir. Di tempat itu keadaan gelap. Cahaya hanya diperoleh dari sebuah mobil polisi dan sebuah mobil FBI yang memasang lampu besarnya.

Murphy memarkir limusin tidak jauh dari mobil-mobil lain. Maksudnya, supaya limusin itu terisolasi dan tidak bisa dipakai sebagai tempat berlindung oleh para bandit. Dalam perjalanan Murphy membuka pembicaraan dengan para bandit dan penumpang, supaya mereka tidak tegang. 

 

Tak mau kembali ke penjara 

Begitu mobil diparkir, John ingin tahu di mana letak pesawat. Pihak yang berwenang menginstruksikan agar pilot bersembunyi dulu sebelum mereka memberi tanda untuk naik ke pesawat. 

John ingin pergi ke terminal untuk mendapat hamburger bagi dia dan para tawanannya. Kata Murphy, berbahaya sekali untuk lewat tempat umum bersama para sandera. Lebih baik polisi saja disuruh membawa hamburger ke pesawat.

John setuju membiarkan Murphy keluar dari limusin untuk berbicara dengan Baker. Hal itulah yang sebenamya ditunggu-tunggu oleh FBI. Murphy keluar dari mobil untuk betjalan ke arah tempat berdiri Baker, Fehl, dan Chief Cattell.

“Ketujuh sandera masih dalam bahaya besar,” kata Baker. “Kalau kita membiarkan John dan Sal naik ke pesawat, sandera akan bertambah dengan pilot dan awak pesawat. Kita harus menghentikan mereka di sini dan sekarang juga. Namun kita harus melakukannya dengan risiko sekecil mungkin bagi para karyawan bank.”

Murphy menjawab, "Saya yakin saya bisa menangani Sal. Ia sedang puas diri, karena John berhasil memaksa kita menuruti kemauannya. Ia merasa yakin akan berhasil melarikan diri dengan pesawat. Saya yakin ia kurang waspada saat ini, sehingga saya bisa meringkusnya,”

“Di bangku depan limusin ada pistol. John tidak melihatnya ketika memeriksa kendaraan itu. John mesti dibuat tidak berdaya pada saat saya bertindak terhadap Sal.” 

Para agen lantas mengatur rencana penyergapan. Murphy diminta kembali ke mobil. Fred Fehl mengambil posisi di pintu sebelah sopir dan Baker akan menempatkan diri di sebelah jendela terbuka dekat John. Chief Cattell, yang sejak semula dicurigai John, akan berada di jarak kira-kira 5 m di belakang limusin.

Ketika semua orang sudah mengambil posisi sesuai dengan rencana, Hansa Jet muncul. Melihat pesawat yang datang menggelinding itu kedua bandit merasa lega. Tampak sekali mereka sangat senang,. karena akan kabur sebentar lagi.

Ketika pesawat berhenti menggelinding, Baker bertanya kepada Murphy, apakah rombongan yang akan berangkat itu ingin dibawakan makanan ke pesawat, sebab diperkirakan perjalanan mereka akan lama. 

Murphy mengambil kesempatan untuk membalikkan badan ke belakang. (Ia dipesan kalau kondisi tidak memungkinkan agar jangan meneruskan usahanya mencekuk Sal). Ia mengambil pistol .38, lalu menodongkannya ke belakang sambil berteriak, “Jangan bergerak!”

Pada saat itu tangan kanannya menyambar laras senapan Sal yang diangkatnya agar mengarah ke langit-langit kendaraan. Sal berontak dan mereka bergulat mati-matian. 

Murphy akhirnya melepaskan tembakan yang mengenai dada Sal. Fehl sudah memasukkan separuh tubuhnya ke dalam limusin untuk menarik senjata Sal yang dilemparkannya ke luar limusin. Sal terduduk lemas akibat lukanya.

Pada saat Murphy menyergap Sal, tangan Baker sudah mencapai senapan John yang larasnya diangkat ke langit-langit mobil. Sementara itu tangannya yang lain menodongkan revolver dinasnya ke kepala John. Chief Cottell berlari ke limusin itu untuk membantu Baker. Ia mencabut pistol otomatis dari pinggang John. 

Dalam waktu kurang dari semenit semuanya berakhir. Ketika itu pukul 05.28. Ambulans yang sudah siap menunggu segera melarikan Sal ke rumah sakit, tetapi Sal sudah meninggal. Pemuda berusia 18 tahun yang bersumpah tidak mau masuk penjara lagi itu akhirnya memang tidak masuk lagi ke tempat yang ditakutinya.

John Wojtowicz mengaku kepada Baker bahwa ia juga lega semuanya sudah berakhir. Menurut John, ia sudah ingin menyerah beberapa jam sebelumnya, namun Sal tidak mau.

Bobby Westenberg, konco mereka yang menunggu di kendaraan, tertangkap pula.

Para karyawan bank mendapat pujian, karena mereka bersatu padu selama menjadi sandera. Mereka juga saling memuji. Robert Barett mendapat pujian paling besar, karena menjadi “gembala” yang tabah selama 14,5 jam yang menegangkan itu.

Matahari pun terbit dari rawa-rawa Kennedy. Alat-alat negara yang tidak sempat bercukur janggut pulang ke Manhattan. Mereka sudah sangat lelah, tetapi sudah ditunggu tugas lain: membuat laporan. 

(NN)

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309412/ia-tidak-ingin-disebut-little-john-baso" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654281342000) } } [14]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309337" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/pintu-ruang-besi-bank-itu-macet_-20220603060917.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Sebuah bank telah dirampok. FBI yang bertugas melacak jejak mencermati saban renik yang bisa digali namun kasus makin berkembang tak bisa diduga." ["section"]=> object(stdClass)#176 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/pintu-ruang-besi-bank-itu-macet_-20220603060917.jpg" ["title"]=> string(31) "Pintu Ruang Besi Bank Itu Macet" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:10:54" ["content"]=> string(22665) "

Intisari Plus - Sebuah bank di Kalifornia telah dirampok. FBI yang bertugas melacak jejak mencermati saban renik yang bisa digali. Rangkai demi rangkai petunjuk itu kemudian membuat kasus makin berkembang tak bisa diduga.

-------------------------

Laguna Niguel Bank adalah cabang dari United California Bank. Letaknya di Orange County, dekat Los Angeles di Kalifornia. Orange County merupakan tempat kediaman orang-orang kaya dan bank itu juga kaya. Laguna Niguel terdapat di sudut sebuah pusat pertokoan di 6 Monarch Bay. 

Pintu depannya jauh dari jalan umum, sedangkan di bagian belakangnya ada jalan tempat truk barang bongkar muatan untuk toko-toko di bangunan yang sama.

Jauh di bawah jalan tempat truk itu tampaklah jalan bebas hambatan yang menyusuri pantai.

Pagi sampai sore Monarch Bay Shopping Plaza itu selalu ramai. Kira-kira 175 m dari bank itu ada sebuah restoran merangkap bar yang buka sampai malam, sehingga kendaraan yang lewat pusat pertokoan itu baru sepi kalau tengah malam sudah menjelang.

 

Pintu ruang besi macet

Hari Senin, 27 Maret 1972 pagi, para karyawan bank datang untuk bekerja seperti biasa. Sesaat sebelum bank buka, seorang karyawan memutar cakra angka kombinasi untuk membuka pintu ruang besi. Ternyata pintu itu bergeming. la mencoba lagi. Pintu tetap tidak membuka. Setelah tiga kali, ia melapor. Rekan-rekannya ikut mencoba. Semua sia-sia saja.

Manajer bank segera menelepon bank lain untuk menalangi dulu dana yang perlu mereka keluarkan. United California Bank Pusat diberi tahu dan seorang ahli kunci didatangkan.

Ahli kunci itu mencoba dengan segenap kemampuannya, tanpa hasil. Akhirnya, menjelang tengah hari ia menyerah. Pihak bank akhirnya memutuskan untuk masuk dengan menjebol atap ruang besi saja. Mereka tidak mau menjebol pintu, sebab para nasabah yang kebetulan datang ke kantor akan melihat adanya ketidakberesan pada pintu yang penting itu. 

Sang pandai besi pun naik ke atap dan merangkak di para-para untuk mengecek keadaan. Sebelum tiba di atas ruang besi ia sudah merasa was-was, karena didapatinya bongkahan-bongkahan beton, karung-karung yang rusak dan potongan-potongan logam. Tahu-tahu di hadapannya menganga lubang buatan manusia. 

Dari lubang itu ia mengintip ke dalam. Dilihatnya laci-laci tempat menyimpan barang berharga yang sudah kosong di antara puing-puing bekas atap yang jebol.

Cepat-cepat ia merangkak turun lagi untuk melaporkan temuannya. Saat itu sudah pukul 15.45. Polisi dan FBI segera dihubungi. Setelah memeriksa karung-karung yang rusak, agen-agen FBI menemukan sumbat dinamit yang dipakai membuat lubang di atap ruang besi itu. 

Ditemukan pula sebuah kipas angin untuk mengisap udara potongan-potongan bor yang patah dan tangga. Tangga itu ternyata curian dari Gereja Baptis, yang letaknya tidak jauh dari sana. 

Regu penyidik dengan cermat dan hati-hati memilih, mengakurkan, dan menginventarisasi benda yang acak-acakan di dalam ruang besi. Isinya dimasukkan ke dalam drum-drum.

Empat hari setelah perampokan bank itu diketahui beberapa kupon dari surat obligasi yang dicuri dari bank itu diuangkan di sebuah bank di New Orleans. Jejak berakhir sampai di situ saja. 

Kemudian pihak berwajib menanyai para pelanggan, karyawan, pengantar barang, dan orang-orang lain yang sering pergi ke pusat pertokoan itu. Apakah mereka mendengar atau melihat sesuatu yang tidak biasa pada akhir minggu?

Para pelanggan bar ada yang ingat bahwa mereka mendengar sesuatu, tetapi saat itu mereka tidak menaruh perhatian. Para penyewa kotak tempat menyimpan barang berharga di ruang besi itu pun ditanyai. 

Sebagian dari mereka ingat dengan pasti apa saja yang mereka simpan di kotak yang mereka sewa. Namun ada juga yang tidak ingat, bahkan menolak menjawab. Pejabat-pejabat keamanan menduga mereka takut kekayaan mereka yang sebenarnya diketahui oleh kantor pajak.

Ada seorang wanita yang mempunyai kebiasaan mencatat nomor-nomor seri dari sebagian uangnya, umpamanya saja uang yang didapat dalam suatu liburan yang penuh kenang-kenangan. la mengusulkan agar pihak berwajib mengutip nomor-nomor uangnya yang hilang itu. Siapa tahu ada gunanya.

 

Dibantu komputer

Tanggal 4 Mei, enam minggu setelah perampokan itu, sebuah bank di Lordstown, Ohio, yang jaraknya lebih dari 3.000 km dari Orange County, dirampok. Cara yang dipakai perampok sama seperti di Laguna Niguel. Bank yang kena rampok itu namanya Second National Bank of Warren, cabang Lordstown. Kerugian yang diderita ditaksir AS $ 430.000.

FBI menyangka ini pasti dilakukan oleh komplotan yang sama dengan yang merampok di Laguna Niguel. Di sini pun perampok tidak meninggalkan sidik jari maupun benda-benda lain yang bisa dijadikan kunci ke arah mereka. Sejak peristiwa Laguna Niguel, FBI sudah menyusun daftar orang yang dicurigai.

 Daftar itu meliputi nama-nama penjahat yang berasal dari daerah Chicago, Kansas City, can Cleveland. Kini semua perusahaan penerbangan besar diminta memanfaatkan komputer mereka untuk memberi tahu kalau nama-nama dalam daftar itu ada yang sama dengan nama penumpang pesawat mereka ke Los Angeles beberapa minggu sebelum perampokan.

Komputer dari United Airlines (yang merupakan perusahaan penerbangan utama yang melayani jalur antara Cleveland dan Pantai Barat) segera memberi tahu. Pada mereka bukan hanya ada satu nama yang cocok dengan daftar dari FBI, tetapi empat nama. 

Keempat-empatnya naik di Cleveland, tanggal 15 Maret, menuju Los Angeles. Mereka adalah A. Dinsio (seorang perampok bank ulung), C. Mulligan, P. Christopher, dan H. Barber. United Airlines menambahkan bahwa tanggal 23 Maret seorang bernama J. Dinsio terbang dari Cleveland menuju Los Angeles. 

Kemudian di Los Angeles International Airport, seorang agen FBI mendapat keterangan dari seorang pengemudi taksi. Katanya, pengemudi  itu pernah mengangkut beberapa pria sekaligus dari bandara ke sebuah alamat di South Gates tidak lama setelah pesawat United Airlines flight #73 mendarat tanggal 15 Maret. 

Dari foto yang diperlihatkan kepadanya, sopir taksi itu mengenali Amil Dinsio dan Charles Mulligan sebagai dua di antara penumpang yang diangkutnya. Alamat yang disebutkannya di South Gates itu ternyata rumah adik perempuan Amil Dinsio. Wanita itu tinggal bersama suaminya dan anak mereka, Ronald Barber.

Agen FBI tidak mau menanyai keluarga itu dulu. Mereka malah menanyai motel-motel sekitar tempat itu untuk menemukan di mana pria-pria yang dicurigai itu menginap pada saat berada di Kalifornia.

Pemilik Jubilee Motor Inn, Jack Cherniss, menyatakan pernah menerima tamu bernama Tuan dan Ny. A. Dinsio dari Poland, Ohio, dan Tuan Charles Mulligan dari Poland, Ohio pula. Namun menurut catatannya, mereka bukan menginap tanggal 15 Maret dan seterusnya, tetapi pertengahan Februari sampai awal Maret 1972. 

Dari catatan motel diketahui Dinsio menelepon dari kamarnya ke sebuah nomor di Tustin, Kalifornia. Nomor itu ternyata milik seseorang bernama Earl Dawson, bekas penduduk Youngstown, Ohio.

 

Sidik jari di piring kotor

Awal Juni seorang agen FBI yang mencari-cari keterangan pada Bond Realty Company mengenai rumah-rumah yang disewakan ternyata mendapat keterangan bahwa Ronald Lee Barber membayar kontan ongkos sewa sebuah apartemen dekat Lapangan Golf El Niguel, yang bisa mulai ditempati tanggal 6 Maret dan berakhir sewanya awal Juni. 

Letak apartemen itu tidak sampai 2 km dari Laguna Niguel Bank. Agen itu meminta surat izin menggeledah, lalu apartemen itu diperiksa dengan teliti.

 Semua sidik jari sudah dihapus. Rupanya bekas penghuni lupa memijat tombol mesin pencuci piring. Piring kotor masih bertumpuk di tempat itu dan di piring-piring itu polisi menemukan sidik jari lima orang.

Lima orang itu ialah Amil Dinsio, James Dinsio (saudaranya), Charles Mulligan (ipar Amil), Phillip Christopher, dan Harry Barber (keponakan Dinsio dan saudara Ronald). 

Tanggal 31 Mei, Ronald Barber dan ibunya mendapat panggilan tertulis untuk menghadap juri agung federal di Pengadilan Los Angeles.

Sehari kemudian agen FBI mendatangi rumah Earl Dawson di Tustin. Dawson adalah orang yang ditelepon oleh Amil Dinsio dari kamarnya ketika Dinsio menginap di Jubilee Motor Inn. Dawson tidak ada di rumah. Kata para tetangga, mungkin sedang ada di bar. 

Sebelum tengah hari Dawson sudah bisa ditemui di sebuah rumah minum. Agen FBI tidak tahu, Dawson ini anggota komplotan atau bukan. Jadi, dengan hati-hati ia diminta pulang ke ramahnya untuk berbicara dengan agen FBI.

Ketika ditanyai perihal Charles Mulligan dan perampokan di Laguna Niguel, Dawson jadi gemetar. Ia kenal Mulligan. Temannya itu beberapa kali berkunjung ke rumahnya pada bulan Februari dan Maret. Mulligan juga meninggalkan sebuah Oldsmobile di garasi Dawson. Namun, ia tidak tahu-menahu urusan perampokan bank.

Oldsmobile? FBI menanyai lebih jauh dan Dawson menceritakan apa yang diketahuinya. Bulan Februari ia kedatangan Charles Mulligan, seorang teman yang dulu dikenalnya sejak dua puluh tahun yang lalu di Youngstown. Mereka bersekolah bersama-sama dan masuk AU bersama-sama pula. 

Setelah empat tahun di AU, Dawson pindah ke AL, sedangkan Chuck (panggilan bagi Charles Mulligan) mencari jalan sendiri. Dawson tidak tahu Mulligan keluar-masuk penjara dan kemudian menjadi tukang cukur.

Tanggal 20 Februari Mulligan menelepon Dawson yang tinggal di Tustin, Kalifornia. Kedua orang yang sudah lama tidak bertemu itu mengobrol. Dawson menceritakan kariernya di AL, pernikahannya, dan bahwa ia pensiun pada tahun 1971. 

Mereka berjanji akan bertemu sejam kemudian di Lynwood Motel. Di situ kedua orang itu minum-minum di bar, lalu kembali ke rumah Dawson. Dawson mengantar temannya ke Jubilee dan mereka minum lagi di bar sampai lewat tengah malam, lalu Dawson pulang. Selama tiga minggu berikutnya mereka masih sering bertemu.

Tanggal 9 atau 10 Maret, Mulligan keluar dari Jubilee. Ia menitipkan Oldsmobile-nya pada Dawson selama tiga minggu. Dawson menyuruh mobil itu diparkir di tepi jalan, tetapi Mulligan memaksa agar mobil itu disimpan di garasi. Dawson akhirnya setuju. Menurut Mulligan, ia akan kembali ke Ohio.

Dawson menyatakan ia sama sekali tidak tahu-menahu dengan perampokan bank yang dilakukan oleh temannya itu. Untuk membuktikannya ia mau membantu FBI. Telepon berdering. Ternyata Charles Mulligan menelepon Dawson. 

Ia sedang berada di Chicago. Katanya, ia akan tiba beberapa jam lagi untuk mengambil Oldsmobile yang dititipkannya. Suaranya gugup. Mungkin ia ketakutan, karena mengetahui Ronald Barber dipanggil ke pengadilan.

Mulligan berkata kepada Dawson, kemungkinan ia diikuti, tetapi akan berusaha mengecoh orang-orang yang membuntutinya. Selama percakapan itu agen FBI dipersilakan oleh Dawson untuk ikut mendengarkan.

"Di mana kita akan bertemu?" tanya Mulligan. Akhirnya dipilih sebuah bar di dekat rumah Dawson, Walnut Room.

Bubuk cabai untuk mengenyahkan anjing

Setelah percakapan selesai, agen FBI mulai percaya Dawson memang tidak ikut merampok. Agen itu cepat-cepat menelepon ke kantornya untuk minta izin menggeledah Oldsmobile di garasi Dawson. Surat perintah penggeledahan ditandatangani pukul 20.00, dan sekelompok agen khusus segera membuka mobil.

 Di balik karpet yang menutupi lantai mobil, ternyata ada tempat berisi peralatan maling, radio dua arah, senapan, alat pengatur oksigen, sarung tangan kerja berwarna coklat, dan juga bubuk cabai untuk membuat anjing pelacak segan mengendus-endus. Ditemukan juga tiga uang emas yang masih terbungkus dalam plastik pelindungnya.

Benda-benda yang ditemukan daftarnya sampai 4 halaman ketik. Amil Dinsio yang hati-hati itu rupanya lupa menyeka batu baterai dalam lampu senter yang ditaruh di mobil itu. Di situ dengan jelas tertera satu set sidik jarinya.

Pada saat sejumlah detektif menggeledah mobil itu, sejumlah detektif lain dan wakil sheriff pergi ke Walnut Room. Mereka duduk-duduk santai di tempat yang strategis di rumah minum itu. Dawson duduk di bar.

Sesaat sebelum pukul 23.00 Mulligan masuk. Ia duduk di sebelah Dawson dan bertanya apakah tempat itu aman atau mencurigakan.

Mereka bercakap-cakap, lalu Mulligan menanyakan kalau-kalau ada danau di dekat tempat itu. Ia ingin membuang sejumlah peralatan. Mula-mula Dawson berlagak pilon, tetapi kemudian ia mendapat kesempatan untuk bertanya.

"Chuck, memang kau ikut menggondol AS $ 2 juta dari Laguna Niguel itu?"

"Ah, kau 'kan tahu, bukan AS $ 2 juta, tapi AS $ 5 juta."

"Kau kemanakan benda sebanyak itu?"

"Ya, kalau dijadikan duit 'kan cuma jadi 13–18% dari nilai sebenarnya."

"Berapa orang yang ikut?"

"Enam tambah dua."

Lewat tengah malam, Dawson mengajak Mulligan menginap di rumahnya. Baru saja melangkah ke luar dari tempat itu, Mulligan diciduk.

Celakanya, penangkapannya bocor dan ramai disiarkan koran-koran, sehingga Harry Barber

sempat kabur, dan baru tertangkap 8 tahun kemudian. Rekan-rekannya tidak seberuntung itu. Ronald Barber cuma sempat bersembunyi sampai tanggal 15 Januari 1973. FBI menemukannya di sebuah apartemen di Rochester, New York.

Philip Christopher, Amil Dinsio, dan James Dinsio mengira tidak cukup bukti untuk menghukum mereka. Jadi, mereka tinggal di rumah. Mereka tidak tahu sidik jari mereka ditemukan di piring bekas makan di apartemen sewaan.

 

Anak kecil menemukan gepokan uang

Tanggal 20 Juni 1972, agen-agen FBI mendekati apartemen Christopher dengan hati-hati. Mereka khawatir maling kawakan itu menembak. Seorang wanita muda (wanita yang hidup bersama Christopher), menyatakan Christopher tidak ada di rumah.

la sedang mengantar anaknya ke sekolah. Namun, para agen tidak percaya. Apartemen itu digeledah. Christopher dijumpai di kamarnya, cuma memakai celana piyama.

Di lemari pakaiannya dijumpai kantung plastik seperti yang dipakai di Laguna Niguel. Di dalamnya ada beberapa gepok uang dolar AS yang masih dilipat pita kertas. Beberapa bahkan memakai stempel kasir Second National Bank cabang Lordstown, Warren. 

Jumlah uang yang ditemukan di situ AS $ 32.420. Beberapa uang lima dolaran yang tidak termasuk dalam gepokan ternyata sama nomor serinya dengan uang yang dicatat oleh wanita nasabah Laguna Niguel.

Christopher disuruh memakai celana, lalu diangkut ke kantor polisi.

Lima hari kemudian, tanggal 26 Juni, seorang anak laki-laki yang sedang menggali tanah ternyata menemukan sebuah kotak plastik di seberang tempat kediaman Amil Dinsio di Boardman, Ohio. Di dalamnya ada uang sebanyak AS $ 98.600. 

Keesokan harinya Amil Dinsio diciduk di rumahnya. Di sakunya ada uang AS $ 537. Rumahnya digeledah. Di situ ditemukan mata uang perak yang dicuri dari Laguna Niguel dan uang lembaran 20 dolar, yang secara positif dikenali berasal dari bank itu.

Beberapa bulan kemudian di Boardman, agen FBI menemukan kupon berisi surat-surat berharga senilai AS $ 2,6 juta. Sebelumnya seorang pekerja bangunan menemukan surat-surat berharga senilai hampir AS $ 1 juta di tanah kosong dekat Laguna Niguel. Jadi, hasil rampokan yang berhasil ditemukan lagi hampir AS $ 4 juta.

James Dinsio, saudara Amil, tertangkap bulan Februari 1973. Mereka baru diadili pada bulan September, karena banyaknya informasi yang harus disortir dan dikatalogkan.

 

Minta foto sebuah kamar hotel

Sebelum diadili, di penjara Los Angeles County, Dinsio bersahabat dengan seorang maling lain yang sedang menjalani hukuman setahun penjara, Richard Arthur Gabriel. Amil Dinsio "mengajari" pelbagai cara perampokan bank yang pernah dilakukannya. 

la juga mengaku merampok Laguna Niguel. Diceritakannya bagaimana caranya ia membungkamkan bel, melumpuhkan alarm ruang besi, dan meledakkan ruang besi supaya ada lubang untuk masuk.

Secara mendetail dijelaskannya bagaimana mereka mempergunakan radio untuk memonitor kegiatan polisi dan menyembunyikan peralatan mereka di mobil Mulligan.

Sebagai imbalan ia minta tolong. Gabriel disuruh membujuk pemilik sebuah apartemen atau motel yang mau menuliskan dalam buku catatannya bahwa Amil Dinsio terdaftar sebagai penginap di apartemen atau motel itu pada saat perampokan terjadi. 

Selain itu Gabriel diminta mencarikan seorang wanita yang mau bersumpah bahwa ia berada bersama Dinsio pada saat itu. Sebagai upah, Dinsio akan memberi Gabriel surat-surat berharga senilai AS $ 20.000 yang bisa diuangkan.

Karena merasa tugas itu besar risikonya (atau mungkin juga ia ingin mengambil hati pihak yang berwenang agar dibebaskan), Gabriel tidak melaksanakan pesanan-pesanan Dinsio. Sebaliknya, lewat perantara ia minta bertemu dengan seorang agen FBI. 

FBI ingin mendengar informasi dari Gabriel, tetapi mereka bisa diserang pembela Dinsio kelak. Jadi, mereka mengatur agar kemungkinan itu jangan sampai terjadi. Mereka meminta Gabriel jangan mengajukan pertanyaan apa-apa pada Dinsio, tetapi bersikap sebagai penerima informasi saja.

Tanggal 14 Agustus Richard Gabriel dilepaskan dari penjara dan tidak lama kemudian Amil Dinsio dibebaskan dengan jaminan AS $ 250.000. Jaminan itu diberikan oleh keluarganya yang mempergunakan realestat pribadi sebagai tanggungan.

Gabriel meyakinkan Amil Dinsio bahwa ia sanggup melaksanakan keinginan kawannya itu untuk membuat alibi. Ia memberi Amil suatu nomor telepon. Amil diminta menelepon orang itu yang dikatakan berada di Frontier Hotel, Las Vegas. Dalam pembicaraan telepon orang itu menyanggupi membuat alibi untuk Amil. 

Setelah berunding mengenai jumlah imbalan, Amil minta foto kamar yang dimaksudkan dari luar dan dalam, ia juga ingin tahu siapa saja para penghibur di hotel itu pada saat ia dikatakan menginap di sana. Ia juga tidak lupa menanyakan rupa tirai di kamar mandi. Kalau ditanyai pengadilan kelak, ia akan bisa menjawabnya.

Amil Dinsio tidak tahu ia ditipu. Orang yang diteleponnya itu agen FBI dan pembicaraan mereka direkam.

Gabriel sementara itu tetap berhubungan dengan Amil. Ia mendengar Amil bermaksud membunuh Earl Dawson supaya tidak bisa memberi kesaksian. Gabriel memberitahu hal itu kepada FBI. Penjagaan dilakukan terhadap Dawson dan istrinya. Ternyata tidak terjadi apa-apa.

Dalam persidangan Earl Dawson diserang gencar oleh pembela. Namun, ketika Richard Gabriel diajukan, pembela mati langkah. Tanggal 20 November 1972 Amil Dinsio, Charles Mulligan, dan Philip Christopher masing-masing dijatuhi hukuman penjara 20 tahun.

James Dinsio dan Ronald Barber diadili secara terpisah, masing-masing menerima hukuman 5 dan 10 tahun penjara. Harry Barber setelah menjadi buronan selama 8 tahun, akhirnya ditangkap di Brookville, Pennsylvania, tanggal 12 Mei 1980.

(Robert R. Rosberg)

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309337/pintu-ruang-besi-bank-itu-macet" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654279854000) } } [15]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3306284" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/yang-ditembak-ternyata-senator_m-20220603054811.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Tokoh Partai Demokrat, menjadi korban perampokan dan penembakan di depan rumahnya. Pelaku adalah dua orang pemuda berkulit hitam." ["section"]=> object(stdClass)#180 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/yang-ditembak-ternyata-senator_m-20220603054811.jpg" ["title"]=> string(30) "Yang Ditembak Ternyata Senator" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:48:40" ["content"]=> string(23170) "

Intisari Plus - Tokoh Partai Demokrat, John Stennis, menjadi korban perampokan dan penembakan di depan rumahnya. Pelaku adalah dua orang pemuda berkulit hitam. Atas perintah langsung presiden, FBI langsung mencari para pelaku.

-------------------------

Sesaat sebelum tengah malam 30 Januari 1973, Presiden Nixon menerima telepon dari L. Patrick Gray III, pejabat direktur FBI. Ia melaporkan: Senator John Stennis, tokoh Partai Demokrat dari Mississippi ditembak.

Nixon memerintahkan, "Cari penembaknya sekarang juga!"

Beberapa jam sebelum pemberitahuan itu, Senator lohn Stennis tiba di muka rumahnya yang terletak di daerah elite di barat laut Washington. Ia memarkir Buick Electra-nya di jalan dan keluar. Tubuhnya dirasakannya lelah sekali setelah bekerja sepanjang hari di kantor, lalu disambung dengan menghadiri resepsi di Capitol Hill. Ia segera menyadari bahwa pada umur 71 tahun ia tak sekuat pada masa muda.

Tiba-tiba ia didekati dua pemuda berkulit hitam. Seorang di antaranya memegang pistol.

"Serahkan semua milik Anda," kata seorang di antaranya.

Mereka segera menggeledah sang senator. Di sakunya didapati uang kecil sebanyak 25 sen dan dompet berisi kira-kira AS $ 20. Mereka juga melucuti arloji emas bergrafir inisial John Stennis.

"Okay," kata si pemuda berpistol. "Namun saya mesti menembak Anda juga."

Ia menembak dua kali dengan senjatanya yang berkaliber kecil itu. Sebuah peluru menembusi paha, antara lutut dan pinggul. Tulang Stennis kena, tetapi tidak patah, cuma retak. Peluru kedua masuk ke tubuh sebelah kiri, dekat rusuk bawah. Peluru itu melewati lambung dan pankreas.

Di dalam rumah, istri senator mendengar bunyi mobil suaminya„ lalu kedengaran dua letusan, seperti letusan mercon. Ia membuka pintu dan melihat suaminya terhuyung-huyung menuju rumah sambil memanggil namanya, “Coy!”

"Minta pertolongan," kata Stennis kepada istrinya. "Saya ditembak."

Si istri memapah Stennis ke dalam rumah untuk dibaringkan di sofa kamar duduk. Lalu ia memutar telepon.

Beberapa menit kemudian ambulans Dinas Kebakaran District of Columbia tiba untuk memberi pertolongan pertama. Sesuai dengan permintaannya, Stennis diangkut ke Walter Reed Army Medical Center. Ia pernah dirawat di rumah sakit tentara itu ketika menderita gangguan pada usus besarnya.

Stennis diangkut dengan kursi dorong ke ruang perawatan darurat. Enam dokter militer yang sudah senior, yang berpengalaman merawat luka-luka bekas tembakan, segera turun tangan. Pembedahan makan waktu lebih dari enam jam. 

Stennis dipindahkan ke kamar rumah sakit dari kamar bedah pada pukul 03.30 tanggal 31 Januari. Beberapa jam kemudian buletin rumah sakit menggambarkan keadaannya "sangat serius". Istilah itu sebenarnya berarti sangat gawat. 

Namun Mayor Frank Garland menyatakan bahwa tanda-tanda vital seperti denyut jantung, denyut nadi, tekanan darah, dan pernapasan Stennis stabil. Katanya, Stennis juga sadar dan tenang, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan luka-luka itu akan meninggalkan bekas yang permanen, walaupun selalu ada bahaya infeksi akibat cedera pada organ-organ di dalam tubuh.

 

Nixon sebentar-sebentar menelepon

John Stennis, salah seorang paling kuat di kongres, merupakan ketua Senate Armed Services Committee, yaitu komite yang menentang pengawasan terhadap pemilikan senjata api.

Stennis ternyata sembuh kembali dan bisa bekerja lagi. Namun FBI masih mengemban tanggung jawab besar untuk menemukan penembak sang senator. Maklum Presiden Nixon sebentar-sebentar menelepon atau mengirim memo kepada direktur Gray.

Polisi Washington ikut serta dengan FBI dalam mengadakan pengusutan dan Nixon menunjuk jaksa Agung Richard G. Kleindients untuk menyiapkan rancangan undang-undang yang baru dan lebih keras mengenai pengawasan pemilikan senjata api. Padahal sebelumnya Nixon tidak pernah menjadi tokoh di bidang itu. Di Capitol Hill politisi beramai-ramai menekankan perlunya hukum antikriminal yang lebih keras.

Empat hari setelah peristiwa penembakan itu, agen-agen FBI mewawancarai Stennis di RS Walter Reed. Stennis tidak bisa memberi petunjuk yang terperinci. Ia hanya dapat menyatakan bahwa kedua penyerangnya itu pria, berkulit hitam, umurnya sekitar 16 - 17 tahun, keduanya langsing dan tingginya kira-kira 170 cm. la ingat salah seorang remaja itu mengenakan jaket biru muda dan katanya ia yakin bisa mengenali mereka kalau melihatnya kembali.

Di Washington ada ribuan remaja hitam yang rupanya seperti digambarkan Stennis. Yang mana yang menembaknya?

Pencarian pun ditujukan pada kalangan remaja yang pernah tercatat melakukan kekerasan, terutama mereka yang tertangkap di daerah elite Upper Northwest. Agen-agen FBI dan polisi pun mewawancarai guru-guru serta para pejabat Wilson High School dan Deal Junior High School yang letaknya hanya lima blok dari rumah Stennis.

Markas Besar FBI juga menerima surat-surat kaleng yang isinya menyuruh FBI mengecek para aktivis hak-hak sipil. Pengirim surat-surat kaleng itu yakin Stennis ditembak karena ia "musuh bebuyutan integrasi dan hak-hak orang Negro". 

Namun FBI tidak percaya. Para pengusut yakin Stennis diserang oleh orang-orang yang menginginkan uangnya. Berlainan dengan mobil kebanyakan anggota kongres, nomor pelat pada Buick Stennis tidak memakai tanda yang menunjukkan bahwa pemiliknya seorang elite dari Capitol Hill.

Putra senator, John Hammond Stennis, anggota badan pembuat undang-undang dari negara bagian Mississippi, berkata kepada para agen FBI, "Mengapa ayah saya di tembak merupakan tanda tanya. Ia sudah memberikan semua harta yang dibawanya. Penodongan sudah berhasil. Tidak ada alasan untuk menembaknya."

Polisi Washington yang kenal betul kecenderungan kriminal di kota mereka, terutama di kalangan penodong remaja yang beroperasi di jalan-jalan, menunjukkan statistik yang memperlihatkan bahwa walaupun tidak mendapat perlawanan, para pemuda penjahat itu menyakiti korbannya.

Seorang informan FBI menyampaikan bahwa menurut omongan di jalan, penyerang-penyerang Stennis mencoba membunuh senator itu agar tidak bisa lagi mengenali mereka.

Banyak orang menyatakan kepada FBI bahwa mereka tahu persis siapa penembak Stennis. Nan-Lun ratusan petunjuk yang dilayani oleh FBI ternyata menemui jalan buntu.

Pengusutan terhadap kasus itu menghasilkan penangkapan terhadap delapan buronan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara Stennis. Yang berwajib juga berhasil menyita banyak senjata api yang dipakai dalam pelbagai kejahatan.

 

Si Mulut Besar

Akhir Februari 1973 agen-agen FBI dan polisi sudah mewawancarai 800 orang, termasuk orang-orang yang dicurigai dan pria
maupun wanita yang dianggap bisa memberi petunjuk ke arah si penembak.

Pada saat itu yang berwajib sama sekali tidak tahu bagaimana caranya para penyerang Stennis melarikan diri. Diperkirakan mereka memakai mobil. Cuma saja mereka tidak bisa menemukan orang . yang melihat mobil yang mungkin dipergunakan oleh penyerang-penyerang itu. Jalan-jalan sekitar rumah Stennis tampaknya sepi pada sore tanggal 30 Januari. itu.

Suatu malam, seorang agen FBI yang menyamar, menghirup bir sebuah rumah minuman di ghetto yang morat-marit keadaannya. Ia mengobrol dengan seseorang yang bisa pula datang ke sana. Agen FBI itu berkata bahwa salah seorang rekan minum mereka ditangkap polisi karena dituduh memperkosa.

"Ah, bukan si Shorty yang berbuat," kata orang itu. "Polisi sih biasa deh, salah melulu menangkap orang."

"Bagaimana kau tahu?"

"Si Shorty 'kan sepanjang malam itu main dadu. Saya tahu betul. Lagi pula ia tidak pernah menyakiti orang. Dia cuma nyolong di sana-sini."

"Si Shorty bajingan tidak berbahaya rupanya."

"Oh, ya. Dia lain dengan mereka yang suka besar mulut di sekitar sini."

"Siapa sih yang suka besar mulut?'

"Oh, banyak. Kemarin contohnya. Ada orang yang tidak pernah saya lihat sebelumnya, rupanya berasal dari Iuar daerah ini. Tidak ada yang kenal dia. Katanya, namanya Ty atau Pie. Dia memakai setelah lengkap. Mulut besar dia! Katanya, dia menodong orang yang sudah menyerahkan barangnya. Kalau sudah dapat barang, tinggalkan saja. Jangan gila-gilaan menembak."

"Mati orangnya?"

"Tidak. Dia bilang sih tidak. Dia menyombong, katanya dia baca di koran korbannya tidak mati. Katanya, penggede. Entah siapa. Tidak ada orang yang berani bertanya. Siapa tahu malah menjadi korban berikutnya."

Agen FBI itu, setelah lawan bicaranya pergi, dengan hati-hati mencoba mengorek lebih banyak keterangan mengenai si Mulut Besar, tetapi semua orang mengaku tidak tahu atau tidak kenal. 

Agen FBI itu tidak bisa mendesak. Ia pun yakin si Mulut Besar itu bukan orang setempat, mungkin cuma lewat saja. Tidak pula ada yang tahu namanya, walaupun petugas bar menyatakan namanya Ty atau kira-kira seperti itu bunyinya.

Beberapa malam setelah itu, agen itu datang lagi ke bar tersebut, tetapi si Ty atau Pie tidak pernah muncul. Yang didengarnya dari teman minumnya beberapa hari yang lalu tidak banyak artinya, namun ia laporkan juga, siapa tahu berguna.

 

Suami-istri berkelahi

Beberapa hari kemudian polisi dipanggil karena ada suami-istri berkelahi di daerah Northeast yang kotor. Ketika mereka mencoba melerai, si istri berteriak mengancam, "Saya akan bilang kepada polisi bahwa kau menembak senator."

Telinga polisi yang terlatih menangkap ancaman itu.

"Siapa namamu, Nak?" tanya seorang polisi kepada si suami. Pria itu malah memaki polisi. Polisi mengambil dompetnya. Dari SIM-nya diketahui bahwa namanya Tyrone Isaiah Marshall, berumur 18 tahun.

Suami-istri itu digiring ke kantor polisi paling dekat dan FBI dikabari. Mungkinkah Tyrone Marshall ini si Ty atau Pie yang ceritanya dilaporkan oleh agen FBI tempo hari, yang laporannya ada dalam berkas mengenai Stennis?

Tyrone Marshall dan istrinya ditaruh di ruang yang berbeda. Mereka ditanyai selama lebih dari lima jam oleh polisi dan agen-agen FBI. Ny. Debra Marshall menyangkal mengetahui tentang penembakan terhadap Stennis dan menuduh polisi salah dengar. Tyrone Marshall mengaku tidak pernah mendengar tentang penembakan terhadap Senator Stennis.

Sementara itu polisi sudah memperoleh surat perintah untuk menggeledah rumah Tyrone Marshall. Di sini mereka dan agen-agen FBI menemukan pistol kaliber .22 dengan enam peluru. Senjata itu dibawa ke laboratorium FBI. Menurut para ahli di laboratorium, tanda-tanda bekas laras pada dua peluru yang ditemukan pada tubuh Stennis cocok dengan tanda-tanda laras senjata yang ditemukan di rumah Tyrone Marshall.

Tyrone Marshall ditahan, bukan dengan tuduhan mencoba membunuh Senator Stennis, tetapi dengan tuduhan "memukul istrinya dengan tongkat". Istrinya dibebaskan.

Sebenarnya menurut rencana, Marshall harus dihadapkan ke pengadilan hari itu karena ia merampok dua wanita, seorang pada tanggal 14 Desember 1972 dan seorang lagi pada tanggal 3 Januari 1973. Rencana itu dibatalkan supaya ia bisa ditahan dengan tuduhan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Stennis.

Di kantor FBI, pistol yang dipakai oleh Marshall dilacak lewat formulir pendaftaran senjata. Senjata itu berasal dari sebuah toko di La Grange, Georgia, dan terakhir terdaftar sebagai milik Derrick Holloway yang tinggal di daerah Northeast, di Washington. Ia didatangi agen-agen FBI. Ternyata dialah yang meminjamkan senjata itu kepada Tyrone Marshall.

Katanya, setelah menyerahkan senjata, ia mengantar Tyrone dan saudara laki-lakinya, John Marshall, dengan mobil berkeliling Washington. Mereka mencari calon korban penodongan. Ia mengaku menunggu di mobil ketika Marshall bersaudara merampok Senator Stennis. Katanya, Tyrone kemudian menembak senator itu. Holloway dan John Marshall ditahan.

Tanggal 28 Maret 1973, hanya dua bulan setelah Stennis ditembak, Marshall bersaudara dan Holloway secara resmi dihadapkan pada tuduhan merampok dengan bersenjata, mencoba menyerang dengan tujuan membunuh, mencoba menyerang anggota kongres dan mencoba membunuh anggota kongres.

Pada saat itu polisi dan FBI sudah menanyai 1.100 orang.

 

Itu dia orangnya!

Senator John C. Stennis melihat ke arah Tyrone Marshall di ruang sidang pengadilan. "Saya yakin itulah pria yang memegang pistol," katanya.

Identifikasi itu dilakukan tanpa kehadiran juri, karena menurut penuntut, Stennis tidak akan bisa mengidentifikasi Marshall. Karena yakin bisa, Stennis diperkenankan melakukannya dengan syarat pernyataannya tidak akan disampaikan kepada juri.

Namun Stennis mendapat kesempatan menyampaikannya kepada Hakim Joseph C. Waddy. Entahlah, apakah hal itu mempunyai pengaruh terhadap juri pada akhirnya. Mungkin saja hakim cuma ingin menyatakan sikap sopan santun kepada korban yang merupakan orang gede itu.

Ketika persidangan berjalan, bukti-bukti yang memberatkan Ty Marshall menumpuk. Saksi-saksi FBI menjelaskan bagaimana senjata yang dipakai menembak Stennis itu tiba ke tangan Marshall. Yang mula-mula membelinya dari toko di Georgia ialah Tommy Lewis Thomton. 

Menurut Thornton kepada agen FBI, ia membeli senjata itu untuk sepupunya, John Webster dari Washington, yang waktu itu datang berkunjung ke rumah Thornton. Webster memberi kesaksian bahwa ia membawa pistol itu ke Washington dan menjualnya kepada Holloway dengan harga AS $ 40 pada pertengahan Januari.

Saksi-saksi lain didapat lewat pengusutan dan wawancara agen FBI yang mula-mula mendengar mengenai Ty atau Pie di sebuah rumah minum dalam ghetto. Mereka itu termasuk teman-teman Ty Marshall. Empat di antaranya menyatakan di pengadilan bahwa Marshall pernah membual telah melakukan penembakan.

Menurut salah seorang dari mereka, yaitu George Hutchinson yang berumur 19 tahun, ia dan Marshall baru saja meninggalkan Lapangan Turkey Thicket ketika Marshall menyatakan ingin menceritakan sesuatu.

"Tetapi kau tidak boleh menceritakannya kepada siapa-siapa," pesan Marshall. Kata Marshall, dialah orangnya yang telah merampok dan menembak senator tua itu.

"Mengapa kau tembak?" tanya temannya. Marshall cuma tertawa. Otto Brocks (19), salah seorang temannya pula, bercerita, "Suatu malam, kira-kira seminggu setelah peristiwa penembakan terhadap senator, di sudut jalan Ty bercerita bahwa John, Holloway, dan dirinya menodong. Saya bertanya bagaimana nasib korban penodongan itu. Ty menjawab bahwa orang itu ditembak.

Emmet Howard (19) memberi kesaksian bahwa sehari setelah penembakan itu ia berada di Psychedelic Haven Record Shop dengan Marshall. Marshall bercerita bahwa ia dan John mendekati korbannya untuk meminta si korban menyerahkan dompet, tetapi korban berteriak-teriak dan mengulur waktu, sehingga korban ditembak.

"Siapa yang menembak?" tanya Asisten Jaksa Agung AS Steven W. Graftman.

"Tyrone," jawab Howard.

Michael Ginyard (19) mengutip kata-kata Ty Marshall: "I shot the dude (Saya menembak orang itu)."

Akhirnya, diajukan John Thomas, karyawan bagian kebersihan District of Columbia. Ia menyatakan mendengar Ty Marshall bertengkar dengan istrinya. Istri Marshall menuduh suaminya menembak senator. Menurut Thomas, Marshall tidak membantah. Ia cuma berkata, "Gila kau. Dia (maksudnya Thomas) mungkin polisi."

 

Mumpung belum ulang tahun

Ketika persidangan sedang berjalan, john, kakak Ty, mengaku bersalah ikut dalam penodongan terhadap Stennis. Pengakuan itu dikeluarkannya lima hari sebelum ulang tahunnya yang ke21, agar ia dikenakan ketentuan hukuman yang lebih ringan. Kalau tidak, sebagai orang dewasa ia bisa kena tiga kali hukuman seumur hidup.

John Marshall dikenakan hukuman penjara 15 tahun dengan ketetapan bahwa ia bisa dibebaskan setiap saat kalau para petugas yang berwenang menganggapnya sudah cukup direhabilitasi. Jadi, paling banyak ia hanya akan menjalani hukuman penjara 13 tahun, karena ada ketentuan hukum lain yang menetapkan bahwa terhukum bisa dibebaskan dengan syarat dua tahun sebelum masa hukumannya habis.

Ty Marshall yang berumur 19 tahun meniru jejak abangnya. Tiba-tiba saja ia menyatakan dirinya bersalah. Keputusannya itu pasti dipengaruhi oleh pengumuman pemerintah bahwa Derrick Holloway dibebaskan karena setuju memberi kesaksian yang memberatkan Marshall.

Walaupun para pembela yang disediakan negara keberatan, Hakim Waddy menerima baik pernyataan Ty Marshall dan menyatakan kasus ini selesai. Hakim meminta pihak penuntut untuk membacakan kronologi peristiwa tanggal 30 Januari 1973, ketika John Stennis hampir saja direnggut maut. Steven W. Grafman membacakannya:

Kira-kira pukul 18.15 Holloway datang ke rumah Marshall bersaudara. Ia memperlihatkan pistolnya kepada John. Ty datang dan mengajak pergi menodong. 

Dengan mobil Dodge Darta Swinger milik ibu Holloway, mereka pergi dari daerah Northeast ke daerah yang lebih kaya di daerah Northwest, untuk mencari korban. Mereka melihat seorang wanita lanjut usia, tetapi ketika didekati wanita itu keburu menghilang ke dalam gedung.

Beberapa menit kemudian pemuda itu melihat seorang pria kulit putih yang sudah lanjut usia, yaitu Stennis, lewat dengan mobil putihnya.

"Kejar dia! Kejar dia!" seru Ty.

Ketika Ty dan John merampok Stennis, Holloway menunggu dalam mobil yang diparkir di pojok jalan yang berdekatan. Ia mendengar bunyi dua tembakan. Ketika kedua temannya muncul, Holloway diberi tahu Ty, "Tua bangka itu bikin banyak ribut, jadi kami tembak."

Sesudah itu mereka ke pusat Kota Washington, lalu menghadiri ceramah di Founding Church of Scientology. Keesokan harinya Holloway mendengar dari radio bahwa Stennis ditembak. Ia memberi tahu Ty, "Hai, kau tahu bahwa yang kau tembak itu senator?" Ty tertawa.

Setelah semuanya itu dibacakan, hakim bertanya, mengapa Ty Marshall menyatakan dirinya bersalah? Dengan suara terputus-putus ia menjawab, "Karena mereka mempunyai terlalu banyak bukti ...."

 

"Tyrone!"

Namun ketika ia dibawa masuk lagi ke dalam ruang pengadilan untuk dijatuhi vonis, ia menyatakan menarik pengakuan bersalahnya. Dua minggu kemudian ia dibawa lagi ke ruang pengadilan dan hakim memberi tahu bahwa permintaannya ditolak.

Ty Marshall dijatuhi hukuman sebagai orang dewasa. Ia dijatuhi hukuman 10 - 30 tahun penjara di bawah Congressional Assassination Law dan setahun penjara karena membawa senjata berbahaya. Marshall dinyatakan berbahaya bagi kesejahteraan rakyat, ia tidak memperlihatkan tanda-tanda penyesalan setelah menembak, tidak bermaksud mengubah kelakuannya, dan tampaknya tidak mau menerima hukum dan aturan bermasyarakat.

Marshall berteriak, "Saya tidak mau menerima vonis itu!" Ia berontak sementara tiga petugas meringkusnya untuk dibawa ke luar ruangan. Ayahnya dari bangku belakang dengan tegas menegur, "Tyrone!"

(Andrew Tully)

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306284/yang-ditembak-ternyata-senator" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278520000) } } [16]=> object(stdClass)#181 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124170" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#182 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/nasihat-bocah-ingusanjpg-20220203121353.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#183 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(18) "John D. Mac Donald" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9386) ["email"]=> string(20) "intiplus-29@mail.com" } } ["description"]=> string(105) "Sebuah perampokan yang memakan korban jiwa terungkap berkat kemampuan bocah 14 tahun dengan IQ cemerlang." ["section"]=> object(stdClass)#184 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/nasihat-bocah-ingusanjpg-20220203121353.jpg" ["title"]=> string(21) "Nasihat Bocah Ingusan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:14:03" ["content"]=> string(25191) "

Intisari Plus - Stanley Woods datang menenteng koper ke Leeman House, hotel satu-satunya di Leeman, Texas, dan memiliki 20 kamar. 

Saat ini tanggal 3 Oktober 1949. Penampilan Woods biasa sekali. Gemuk tidak, kurus pun tidak. Pokoknya, tidak ada hal mencolok pada pria umur 30- an atau mungkin 40-an itu. Tidak ada orang yang ingat apa warna matanya dan bagaimana bentuk kacamatanya. 

Barangkali cuma ada satu hal yang cukup mengesankan padanya. la tampak makmur dan percaya diri. Beberapa orang sempat mendapat kartu namanya. Di situ ia dinyatakan sebagai agen Groston Precision Tool Company dari Atlanta, Georgia. 

Di Leeman National Bank ia mendepositokan selembar cek yang dikeluarkan Groston senilai 1.200 dolar. Menurut pemeriksaan rutin yang dilakukan Leeman National, Groston perusahaan yang bisa dipercaya. 

Siang hari Woods selalu keluyuran dengan mobil Tod Bishner. Tod yang bekerja di pompa bensin Shell tidak mempergunakan sedan Ply mouthnya siang hari. Daripada" menganggur lebih baik disewakan. 

Menurut cerita Woods kepada semua orang yang pernah bercakap-cakap dengannya, ia sedang berkeliling mencari tanah untuk mendirikan sebuah pabrik kecil. "Kini 'kan perlu desentralisasi," katanya. "Kami tidak mau tempat di dalam kota besar." Karuan saja harga tanah di sekitar kota kecil itu jadi melambung.

Satpam pingsan

Kamis, tanggal 17 Oktober 1949 pagi, dua minggu setelah kedatangan Stanley Woods, Trilla Price, penjaga switchboard di perusahaan telepon merasakan suatu kejanggalan. 

Meskipun bisa menyambungkan hubungan telepon lokal, ia tidak bisa memenuhi permintaan seseorang yang ingin berhubungan interlokal dengan Houston dan Beaumont. Saat itu pukul 09.05. 

Pada saat bersamaan, sebuah mobil berpenumpang dua orang berhenti hampir di seberang Leeman National Bank di Beaumont Street. Salah seorang penumpangnya turun, merabuka kap mobil dan mengotakatik sesuatu. 

Tahu-tahu datang sebuah mobil Buick. Tidak ada yang memperhatikan dari arah mana ia muncul ke kota kecij itu. Di dalamnya ada seorang laki-laki dan seorang gadas. Mobil itu diparkir dekat sebuah toko. Saat itu ada sebuah mobil lain diparkir tidak jauh dari sana. 

Ketika si gadis dan temannya perlahan-lahan ke luar dari Buick, Stanley Woods turun ke jalan dari hotel tempatnya menginap. Saat itu kasir kepala di bank, C.E Hethridge, baru  saja membuka pintu-pintu bank. Ia menyapa Woods yang berjalan menuju loket di dinding sebelah timur sambil mengeluarkan buku ceknya. 

Di jalan seorang dari dua penumpang mobil pertama berjalan perlahan-lahan ke arah Buick dan berdiri di sebelahnya. Temannya menjalankan mesin mobil pertama, lalu memarkir kendaraannya di belakang Buick. 

Si gadis dan pria temannya kelihatan berjalan ke loket Bob Kimball, kasir nomor dua. Satu-satunya yang bisa diingat Kimball mengenai gadis itu ialah bahwa ia pirang, tarikan bibirnya keras dan mengenakan tas sandang dari kulit buaya. Bob tidak ingat bagaimana pria yang datang bersama gadis itu. Mungkin agak gemuk.

Sementara itu satpam bank, Rod Harrigan, yang sudah tua berdiri di samping pintu depan sambil menguap kemudian mengorek-ngorek giginya dengan patahan korek api. Saat itu kasir kepala membuka pintu ruangan besi untuk mengambil uang yang harus dibagikannya ke loket-loket. Dibawanya sebuah nampan berisi duit ke tempat Kimball. 

Si gadis berada di muka loket kasir nomor dua itu dan menyatakan ingin menguangkan ceknya. Bob Kimball meminta kartu identifikasi. Ketika si gadis membuka tasnya yang besar, temannya berjalan santai ke arah satpam. Yang keluar dari tas si gadis bukanlah kertas, tetapi revolver. 

Senjata itu ditodongkan ke dahi Bob.Berbareng dengan itu temannya meninju Rod Harrigan, si satpam tua. Begitu kerasnya tonjokan itu sampai Rod baru bisa bicara pukul 16.00.Tentu saja Rod tidak tahu apa yang terjadi. 

Kasir kepala terkejut. Ia segera berlari ke arah ruang besi sambil menoleh kepada si gadis. Dilihatnya Stanley Woods mengacungkan senjata ke arahnya. Dalam waktu sekejap saja sang kasir kepala roboh karena peluru bersarang di kepalanya.

 

Si kembar jadi korban paku

Bob Kimball merasa jantungnya seperti copot. Dalam keadaan kebingungan dilihatnya mobil ketiga menurunkan tiga penumpang. Dua di antaranya membawa tas kulit hitam yang kosong. 

Mereka masuk ke ruang besi dengan sigap, seperti sudah pernah lima puluh kali ke sana. Ketika masuk dan keluar dari sana, mereka melangkahi mayat kasir kepala. 

Semua uang mereka keduk. Yang luput cuma di kasir kedua. Ketika mereka berlari ke luar, Bob menjatuhkan diri dan menekan tombol tanda bahaya. 

Saat itu Henry Willows sedang berada di toko senjatanya. 

Mendengar bunyi alarm, pria yang umurnya mendekati tujuh puluh itu langsung menyambar senapan kaliber .22, mengisinya dan keluar dari toko. Dilihatnya Woods, tiga pria tidak dikenal, dan seorang gadis pirang keluar dari bank. Dua di antara pria itumembawa tas berat. Henry bisa cepat menganalisis situasi. 

Di jalan berderet tiga mobil, masing-masing mempunyai pengemudi. Henry membidik ke arah pengemudi Buick. Tembakannya mengenai pelipis kiri dan pengemudi itu tewas seketika. Klakson berbunyi tak henti-hentinya, menyaingi bunyi alarm, akibat tombolnya tertindih tubuh si sopir. 

Salah seorang dari pihak perampok balas menembak. Pelurunya menembus kaca etalase toko senjata Henry Willows dan meretakkan seluruh kaca, tetapi Henry sendiri luput karena keburu berjongkok. Henry berusaha menembak untuk kedua kalinya. Namun perampok sudah keburu kabur dengan dua mobil. 

Buick yang pengemudinya tewas ditinggalkan di tepi jalan. Bob Kimball, berlari ke luar bank. Hampir saja ia jadi korban peluru Henry Willows karena dikira teman perampok. 

Kedua mobil perampok diketahui menuju jalan bebas hambatan no. 90. Dua menit kemudian dua polisi mengejar dengan satu-satunya mobil polisi di kota kecil itu. Mereka diikuti oleh para amatir nekat, yang sudah dibekali senjata oleh Henry Willows. 

Ternyata jalan disebari paku-paku tajam oleh kawanan perampok. Sebentar saja mobil polisi terpaksa berhenti secara mengerikan. Hampir saja kendaraan itu terbalik gara-gara bannya kempis. Kakak beradik kembar anak keluarga Stein tidak seberuntung itu. 

Mobil mereka terbalik dan berguling beberapa kali. Kedua anak kembar yang baru berumur sembilan belas tahun itu tewas seketika. Berarti sudah ada empat orang yang meninggal: kasir kepala Hethridge, si kembar Stein, dan sopir Buick. 

FBI turun tangan

Tak ada seorang pun yang sudi menyentuh mayat pengemudi Buick. Bangkai perampok itu tetap berada di tempatnya semula sampai aki mobil melemah dan bunyi klaksonnya berhenti. 

Polisi segera kembali ke posnya. Mereka tidak bisa menelepon ke luar kota untuk meminta bantuan rekan-rekan mereka, sebab menara-menara stasiun telepon ternyata sudah ditembaki orang dengan senjata kaliber berat. 

Baru sejam kemudian Texas Rangers bisa dihubungi. Mereka memblokir jalan-jalan. Sementara itu FBI di Houston mengirimkan orang untuk menyelidiki. Mereka tiba Kamis siang. Dari markas FBI di Washington dikirimkan dua orang ahli yang biasa memerangi berbagai perampokan bank. 

Mereka terbang dari Washington ke Beaumont sebab Leeman tidak mempunyai bandar udara dan baru tiba hari Jumat. Para wartawan berdatangan dari Houston dan Beaumont. Bahkan, dua kantor berita nasional pun mengirimkan wartawannya. Tibatiba saja Leeman muncul di halaman depan semua surat kabar AS. 

Hethridge, kasir kepala yang terkenal dingin, tertutup, dan tidak populer, dalam waktu 24 jam sudah mempunyai reputasi lain. la diceritakan baik hati dan pemurah. Si kembar Stein yang tadinya dianggap sampah masyarakat tiba-tiba saja menjadi putra-putra teladan. 

Semua orang tampaknya yakin betul bahwa perampok bakal cepat dibekuk. Soalnya, perampok meninggalkan sesosok mayat dan sebuah mobil, yang bisa dipakai bahan penyidikan. Cara perampokan itu sendiri tidak menunjukkan ciriciri kelompok perampok tertentu. 

Agen FBI Randolph A Sternweister, dari Washington, memimpin penyidikan ini. Yang mula-mula diselidiki ialah mayat di mobil Buick. Korban tembakan oleh Henry Willows itu berumur antara 30 - 32 tahun. Rambutnya coklat dan mulai jarang di puncak kepalanya. 

Giginya bagus. Cuma ada empat lubang kecil, dua di antaranya sudah ditambal. Tingginya +173 cm, beratnya 70 kg. Di tubuhnya tidak ditemui tanda bekas luka ataupun tato. Pemotretan dengan sinar-X menunjukkan lengan kanannya pemah patah beberapa tahun lalu. 

Pakaiannya tidak baru tidak pula lama. Setelannya dibeli di Chicago. Kemeja, pakaian dalam, kaus kaki dan sepatunya merupakan bendabenda yang bisa dibeli di seluruh Amerika. Merek bendabenda itu menunjukkan harganya tidak mahal, tetapi bukan pula murah. 

Dari saku-saku pakaiannya ditemukan sebungkus rokok yang hampir utuh, sebuah pemantik api yang bisa dibeli di mana-mana, tiga lembar uang lima dolaran, sehelai uang satu dolaran, sejumlah uang logam yang seluruhnya bernilai 85sen, dua kotak korek api seperti yang dipakai di banyak dapur. Sidik jarinya segera dikirimkan ke Central Bureau untuk diperiksa. Ternyata sidik jari si mati tidak ada dalam tile mereka. 

Sternweister, mulai kelihatan agak gelisah. Ternyata kasus ini tidak semudah yang diperkirakan semula. 

 

Dua sidik jari bisa dilacak

Mayat diperiksa lagi dengan lebih ssksama. Pada tangannya tidak ditemukan kapalan yang bisa menunjukkan pekerjaan spesifik. Tanda binatu tidak ditemukan pada pakaiannya. Mata jenazah itu menonjol akibat peluru kalibar 22 berujung cekung. 

Supaya tidak menyeramkan, seorang pengurus jenazah mesti mendandani dulu wajah mayat itu sebelum dipotret dan fotonya dikirimkan ke pelbagai tempat. Dari Chicago datang laporan bahwa toko yang menjual setelan yang dipakai mayat adalah toko yang besar sekali dan laris. 

Akibatnya, tidak ada pelayan yang ingat apakah pria dalam foto itu membeli pakaian di sana. Polisi Chicago mengakurkan foto itu dengan foto-foto dalam berkas mereka. Tidak ada yang sama. 

Potongan kuku mayat, debu dari celananya dan bagianbagian pakaiannya yang lain diselidiki dengan saksama di laboratorium di Houston. Debu itu puntidak bisa menunjukkan tempat khusus. 

Ketika mayat diselidiki, mobil Buick pun diteliti. Di luarnya penuh sidik jari penduduk Leeman yang Kamis pagi itu mengintip ke dalam mobil untuk melihat mayat perampok. Pelat nomornya ternyata milik sebuah Mercury Convertible dari Mississippi yang sudah ringsek dalam tabrakan bulan Juni tahun itu. 

Nomor mesinnya menunjukkan Buick itu dicuri dari Chapel Hill, Carolina Utara, tanggal 5 Juli. Perusahaan asuransi yang sudah mengganti mobil itu bersikeras ingin mengambil mobil yang dicuri. 

Foto sopir Buick itu juga disebar ke Chapel Hill, Carolina Utara, dan Mississippi. Hasilnya tetap saja nihil. 

Mobil itu diteliti lagi. Di dalamnya dijumpai enam sidik jari. Semua berbeda. Dua di antara sidik jari ditemukan juga dalam berkas. Yang satu didapati di berkas anggota angkatan darat. 

Pemiliknya dilacak dan ditemukan bekerja sebagai pelayan pompa bensin di Lake Charles, Lousiana. Dua jam lamanya ia diinterogasi. Akhirnya, seorang pemeriksanya yang agak cerdik bisa melihat bahwa sidik jari itu bisa ada di dalam mobil gara-gara sang bekas tentara menyeka bagian depan mobil itu. 

Pelayan pompa bensin yang mantan sersan itu begitu sebalnya kepada para pemeriksanya, sehingga ketika foto pengemudi Buick ditunjukkan kepadanya ia tidak mau susah-susah meneliti. Ia menyatakan tidak ingat. Namun, menilik sidik jarinya masih segar di mobil itu, diperkirakan para perampok datang dari arah Lake Charles ke Texas. 

Sidik jari yang kedua sudah lama berada di situ. Letaknya tersembunyi di bawah bangku depan. Sidik jari itu ternyata milik montir di Chapel Hill, yang pernah berurusan dengan polisi gara-gara kesalahpahaman. la bisa membuktikan lewat catatan bengkel bahwa bulan April yang lalu ia membetulkan mobil itu. 

Simpang siur

Contoh-contoh debu di dalam mobil itu tidak bisa memberi banyak keterangan. Diperkirakan mobil itu berasal dari pedalaman Texas dan mengalami badai di jalan. 

Kotak tempat puntung rokok pun tidak luput dari pengamatan. Diketahui bahwa dua wanita atau mungkin seorang wanita yang memakai dua jenis lipstik, baru saja menumpang di mobil itu. 

Kedua jenis lipstik itu biasa digunakan oleh wanita berkulit cerah dan berambut pirang. Keduanya bisa dibeli di sembarang tempat karena dijual di manamana. 

Sepotong roti yang terbuang di lantai mobil cuma bisa mengungkapkan bahwa roti itu tadinya dimakan dengan sosis hati. 

Paku-paku yang disebar penjahat untuk mengempiskan ban diketahui bahan dan cara pembuatannya. Konon, paku semacam itu dulu digunakan di Birma waktu perang dengan Jepang, tetapi paku yang dipakai di Birma lebih baik. 

Sementara itu pemeriksaan di bank mengungkapkan, uang yang berhasil digondol garong, berjumlah 94.725 dolar. Setiap orang yang hari Kamis pagi itu melihat para perampok ditanyai secara terpisah dan jawaban mereka dicocokkan. 

Yang jelas, mereka terdiri atas Stanley Woods, wanita pirang, mayat di Buick, dan dua orang pembawa tas kosong. Seluruhnya ada lima. Henry Willows bersikeras ketiga mobil yang mereka bawa masing-masing ditunggui seorang pengemudi. 

Tapi orang lain ada yang bilang mobil yang di belakang tidak ditunggui pengemudi. Sternweister akhirnya menentukan jumlah perampok delapan orang, tujuh di antaranya kabur, satu tewas. 

Tak seorang pun mengetahui nomor dua mobil yang dipakai kabur. Keterangan mereka tentang merek dan warna mobil pun simpang siur.

 

Bocah jelek ingin bertemu FBI

Sembilan hari setelah perampokan yang makan korban jiwa itu, pihak berwajib masih belum melihat titik terang. Tidak heran kalau Sabtu pagi itu Randolph Sternweister, ahli FBI untuk penanggulangan perampokan bank, merasa risau. 

la berjalan hilir mudik di kamar hotelnya. Sementara rekannya sekamar, Buckley Wee, sedang menyimak catatan keterangan para saksi dengan harapan tipis akan menemukan hal-hal yang bisa mengantar ke titik terang. 

FBI yang biasanya berhasil memecahkan kasus dengan hanya bermodal selembar rambut manusia atau 1 mg debu kini tidak berdaya walaupun ditinggali barang bukti berupa sebuah kendaraan seberat hampir 2 ton dan sesosok mayat utuh. 

"Apa kata orang tentang kita?" pikir Sternweister. Sejak Kamis lalu sudah 51 mobil curian ditemukan di Selatan dan Barat Daya, tapi mereka tidak berhasil mengetahui apakah di antaranya ada mobil-mobil yang digunakan perampok yang mereka cari. Mereka bahkan tidak tahu arah perampok kabur dan tak ada orang yang melihat mereka. Gila! 

Pada saat mereka kebingungan itu seorang anak laki-laki berumur empat belas tahun. Pink Dee, menyelinap ke bengkel Louie. Bengkel yang menerima pekerjaan menghela kendaraan dan buka 24 jam sehari itu dititipi Buick perampok. 

Pink anak terjelek di Leeman. Rambutnya bukan pirang tetapi putih, kulitnya pun putih pucat. Matanya cadok berat, sehingga harus mengenakan kacamata setebal pantat botol. Tulangnya seperti gagang sapu, dahinya sempit, dagunya seperti tidak ada, sedangkan giginya tonggos. 

Suaranya seperti deritan engsel. Pokoknya, penampilannya membuat ia tampak tidak normal. Ia tidak mempunyai teman, karena tinjunya cepat melayang. Ketika murid-murid sekolah di Leeman diperiksa IQ-nya, ternyata angka perolehan Pink Dee tinggi sekali, sampai tergolong genius. Namun, penduduk Leeman tidak rela. 

Putra tunggal Homer Dee itu diseret ke tes IQ yang kedua. Hasilnya? Ia termasuk ke golongan embeciie. Sekali ini penduduk sama tidak percayanya. Ia dipaksa ikut tes IQ yang ketiga dan mendapat angka 99. Tampaknya semua orang, kecuali Pink dan orang tuanya, puas. 

Walaupun baru berumur empat belas tahun, anak itu sudah hampir 2 m tingginya. Bobotnya 60 kg. Kerjanya sehari-hari mengotak-atik pelbagai peralatan elektronik. Ada yang ia buat sendiri, ada yang ia beli. Setelah bosan, ia bersurat-suratan tentang teori kuantum dengan seorang guru besar dari Cal Tech. Sang profesor merasa seperti berdebat dengan orang dewasa. 

Pagi itu diam-diam Pink menyelinap ke bengkel Louie. Pintu Buick dibukanya dengan kunci, lalu dinyalakannya radio. Mendengar bunyi radio, Louie muncul dan mencekik leher Pink. 

"Mau apa kau?" bentak pemilik bengkel. Pink cuma berontak melepaskan diri lalu pergi ke markas polisi. Polisi yang sedang risau tidak sudi melayani bocah.ini, yang dengan penuh percaya diri berkata, "Saya ingin bertemu dengan agen FBI." la malah jadi bahan tertawaan dua orang.polisi. Hod Ambrams dan Lefty Quinn. 

"Enyah kau, Pink, sebelum kacamatamu kuremukkan," kata Lefty. 

"Saya seorang warga negara yang ingin berbicara dengan anggota federal," jawab Pink dengan penuh wibawa. 

"Seorang warga negara, tapi bukan pembayar pajak. Kau merepotkan aku, Nak. Ingin kubuat kau terkencingkencing di sini?" 

Tiba-tiba saja Pink melesat ke arah tangga. Hod mengejarnya, sedangkan Lefty mempergunakan lift. Mereka tiba lebih dulu dari Pink di muka Sternweiser. Ketika mereka membekuk.Pink, pintu kamar terbuka. 

"Saya tahu di mana penjahat-penjahat itu!" seru Pink kepada Sternweister. 

"Dia anak sinting," kata Lefty. 

"Tunggu," kata Sternweister. "Memang kelihatannya anak ini sableng, tapi siapa tahu ...." 

Dua polisi disuruh menunggu di luar, sedangkan. Pink dipersilakan masuk. la memilih. kursi yang paling enak untuk duduk dengan santai dan. percaya diri. 

"Di mana mereka?" 

"Sebenarnya saya tidak. tahu persis ...." 

"Keluar!" perintah Sternweister dengan berang. 

"Tapi saya tahu bagaimana menemukannya." 

"Kau tahu? Coba bilang. Aku sudah sembilan hari tidak tertawa." 

"Mula-mula perlu dicek dulu. Saya sudah mencuri kunci Buick dan masih perlu memeriksanya." 

"Eh bocah, para ahli sudah menyelidikinya senti demi. senti." 

"Maaf, Pak. Jangan memotong dulu. Kalau saya benar. - saya yakin saya benar - Anda semua bisa malu." 

Wajah Sternweister berubah menjadi merah, lalu pucat. la . mencengkeram tepi meja. 

"Teruskan," katanya. 

"Saya berasumsi bahwa para perampok bank muncul dari suatu tempat persembunyian dan kembali ke tempat itu. Saya mengasumsikan bahwa sebelum merampok mereka tinggal beberapa waktu di sana untuk merencanakan perampokan. 

Dari Koran saya baca mobil Buick itu dicuri di Chapel Hill dan pria yang tewas itu pernah berada di Chicago. Saya mengecek Chicago dan Chapel Hill." 

"Mengecek Chicago dan Chapel Hill?" 

"Dengan radio. Radio-radio mobil 'kan gampang dipakai siaran menangkap stasiun-stasiun radio dengan mengubah setelan tombolnya. Tombol-tombol di Buick itu tidak cocok dengan daerah Chicago dan Chapel Hill. Ada enam stasiun radio yang bisa ditangkap di Buick itu dan ...." 

"Ah!" seru Sternweister seperti orang yang kepalanya dijitak. 

"Jadi," Pink melanjutkan dengan yakin, "Anda harus mengecek daerah-daerah yang cocok dengan setelan tombol-tombol radio di Buick itu, sampai menemukan area di mana keenam frekuensi ...." 

Berkat bantuan Pink itu, polisi mulai mencari dengan mempergunakan peta dsb. Ketika daerah itu sudah ditemukan, Buick yang sudah diberi cat dan nomor baru supaya tidak mudah dikenali perampok dibawa ke Tampa, Clearwater, St. Pete, Orlando, Winter Haven, dan Dunedin. Makin dekat mereka ke kota peristirahatan kecil bernama Tarpon Springs, makin jelas bunyi radio. Foto jenazah segera diedarkan. Ketika itu hari Rabu. 

Keesokan harinya, pukul 04.00, lampu senter polisi yang berkekuatan besar membuat tiga rumah peristirahatan di tepi pantai menjadi terang-benderang secara tiba-tiba. Dari pengeras suara terdengar ancaman, "Anda sudah dikurung. Keluar sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. Anda sudah dikurung." 

Ternyata ada perampok yang menembak. Polisi balas menembaknya. Si perampok roboh. la tidak lain dari Stanley Woods, yang menurut gadis pirang temannya bernama asli Grebbs Fainstock. 

Penduduk Leeman mengadakan pesta kemenangan yang disebut Pink Dee Day. Hari itu pemimpin Leeman National Bank menyerahkan hadiah uang bagi Pink Dee. Jumlahnya tidak sampai 6% dari jumlah uang yang berhasil diambil kembali dari perampok. Tapi cukuplah untuk kelak membantu mendapat gelar dari CalTech. (John D. Mac Donald) 

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124170/nasihat-bocah-ingusan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890443000) } } [17]=> object(stdClass)#185 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123159" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#186 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-berb-20220201083623.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#187 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(11) "Her Suganda" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9382) ["email"]=> string(20) "intiplus-25@mail.com" } } ["description"]=> string(75) "Selain licin, pelaku perampokan itu juga dimitoskan punya banyak kesaktian." ["section"]=> object(stdClass)#188 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-berb-20220201083623.jpg" ["title"]=> string(29) "Berburu Perampok Kebal Peluru" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:52:51" ["content"]=> string(25928) "

Intisari Plus - Hampir saja para anggota kesatuan militer dan keluarga di Cianjur gagal merayakan hari raya Idul Fitri. Hanya tinggal empat hari lagi menunaikan ibadah puasa, tiba-tiba mereka dikejutkan berita perampokan uang gaji mereka. Yang lebih menggegerkan lagi, sang perampok memberondong para petugas keuangan dengan senjata Carl Gustav. 

Sebelum melarikan diri dan meninggalkan para korban, perampok membakar kendaraan Colt D 5791 G yang mereka tumpangi bersama dari Sukabumi menuju Cianjur, Jawa Barat. 

Senin pagi, 20 Agustus 1979, sebelum peristiwa itu terjadi, juru bayar Serma Sutaryat, pembantu juru bayar Koptu Sumpefia, serta dua pegawai sipil Djudjun dan Daeng Rusyana menerima cek dari Kantor Keuangan Militer di Sukabumi untuk pembayaran gaji anggota Kodim 0608 Cianjur. 

Mereka lalu menuju Bank Karya Pembangunan untuk menguangkannya. Itu memang pekerjaan rutin yang mereka lakukan menjelang akhir bulan dan hari gajian. 

Ketika di Sukabumi, mereka bertemu dengan Serma Eddy Maulana Sampak. Bagi Serma Sutaryat dan teman-temannya, pertemuan itu bukan sesuatu yang aneh, karena mereka berada dalam kesatuan yang sama. 

Serma Eddy Sampak ditugaskan sebagai bintara pertahanan rakyat di Kecamatan Karang Tengah, Cianjur. Sedangkan Serma Sutaryat, selain sebagai juru bayar di Kodim 0608 Cianjur, juga ditunjuk sebagai caretaker kepala Desa Nagrak. 

Itulah sebabnya rombongan Serma Sutaryat tidak menolak tatkala harus pulang bersama-sama ke Cianjur dengan menumpang angkutan umum. Waktu itu Serma Eddy Sampak disertai seorang temannya, Ojeng, yang menenteng sebuah jeriken plastik kecil.

 

Kambing untuk lebaran

Jarak Sukabumi - Cianjur sekitar 45 km. Dengan cepatan normal, angkutan umum yang mereka tumpangi akan tiba di Cianjur sekitar satu jam setelah meninggalkan terminal Sukabumi. 

Ketika kendaraan hampir mendekati perbatasan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, Eddy Sampak menyuruh pengemudi membelokkan kendaraan ke arah kiri, masuk ke sebuah jalan desa menuju daerah yang disebutnya Kebon Pete, di Kecamatan Warungkondong, Cianjur. Eddy bilang kalau ia hendak mengambil kambing untuk merayakan Lebaran. 

Iding, si pengemudi, menuruti saja permintaannya. 

Meski perjalanan menyimpang dari rute yang semestinya, para penumpang tidak menaruh curiga apa-apa. Namun setelah sekitar 1 km masuk ke jalan desa yang sepi itu, mereka mendengar suara gesekan dan bunyi "klik" sebuah senjata yang dikokang. 

Para penumpang, termasuk Serma Sutaryat, mengalihkan perhatian ke arah sumber suara. Duduk di jok paling belakang, Serma Eddy Sampak nampak sedang menggenggam senjata Carl Gustav. Senjata itu rupanya tersimpan di dalam ransel yang ditentengnya selama itu. 

Merasa kepergok, Eddy segera bertindak. Lebih baik mendahului daripada didahului, begitu bisikan nalurinya. Tanpa diduga moncong senjata ditangannya menyalak memuntahkan peluru secara membabi buta. 

Lima orang penumpang yang tak berdosa pun tewas termasuk Serma Sutaryat dan dua orang tak dikenal. Sementara itu Koptu Sumpena, pengemudi Iding, dan keneknya Sugandi, serta penumpang Aliun bin Askar dan Duduh Sudrajat, menderita luka berat dan ringan. 

Kebiadabannya tidak berhenti di situ. Sebelum meninggalkan para korban, ia membakar mobil dan penumpangnya untuk menghilangkan jejak. Rupanya jeriken plastik yang dibawa Ojeng berisi bensin yang sengaja disiapkan sebelumnya untuk maksud jahatnya itu. Bensin dibeli Rp 1.000,- di Sukabumi. 

Serma Eddy Sampak bersama Ojeng segera kabur seraya membawa kantung berisi uang gaji ±Rp21,3juta. Mereka meninggalkan korban lain yang masih hidup dan dicekam rasa ketakutan. Penduduk setempat yang berdatangan dan memberikan bantuan sempat mendengar Koptu Sumpena yang terluka berat mengucapkan sesuatu. 

"Aduh...tega benar Eddy Sampak menembaki teman sendiri ...," ucap Koptu Sumpena sambil merintih. 

"Eddy Sampak yang mana?" tanya seorang penduduk. "Serma Eddy Sampak yang gagal menjadi kepala Desa Nagrak. 

 

Cinta segi tiga

Pada 22November 1978, Serma Eddy Maulana Sampak tampil sebagai calon tunggal pemilihan kepala Desa Nagrak. Ia sangat berambisi menjadi kepala desa di sana. Namun sifatnya yang kelewat keras dan gampang naik darah hanya karena persoalan sepele membuat banyak penduduk desa tersebut tidak menyukainya. 

Walau begitu kebanyakan mereka tidak berani terang-terangan menentangnya karena ia adalah pembina di desa mereka. Dukungan yang diberikan kebanyakan penduduk hanya pura-pura, konon sekadar untuk menyenangkan hatinya. 

Bahkan untuk meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya demi melicinkan jalan meraih ambisinya, ia membagikan rupa-rupa hadiah. Misalnya, lampu petromaks yang ia sumbangkan untuk masjid dan tempat ibadah lainnya. Ia tahu, melalui para tokoh agama di desa itu, ia bisa lebih mudah memperoleh simpati. 

Namun, masyarakat desa itu ternyata punya cara lain untuk menyampaikan sikap protesnya. Ketika pemilihan berlangsung, sebagian besar pemilih tidak memberikan suaranya untuk sang calon tunggal. 

Sebaliknya, mereka memasukan suaranya ke dalam "kotak kosong" yang menjadi. rivalnya. Alhasil, dari sekitar 2.000 suara yang berhak memilih, ia hanya meraih 786 suara. Ini berarti, ambisinya untuk menjadi kepala desa kandas. Padahal ia sudah menghabiskan uang ± Rp 3 juta. Suatu jumlah yang besar pada saat itu, apalagi bagi seorang bintara macam dirinya. 

Kegagalan nampaknya menggoreskan luka yang begitu dalam di hatinya. Apalagi ini merupakan kali ketiga ia gagal meraih kursi kepala desa. Pada 1967 dan 1969 Eddy Sampak pernah mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa di tempat kelahirannya, Desa Kebon Jeruk, Serang. 

Usman yang terpilih sebagai kepala Desa Kebon Jeruk kala itu semingu kemudian ditemukan tewas bersama adiknya akibat tembakan senjata FN 9 mm. Orang kemudian menghubungkan peristiwa itu dengan kegagalan Eddy Sampak dalam pemilihan kepala desa itu sehingga menyeretnya masuk tahanan selama sekitar 4 bulan. Namun karena tidak ada saksi yang bisa menguatkan dugaan tersebut, ia dibebaskan. 

Latar belakang kehidupannya memang diwarnai dengan perbuatan yang menjurus ke arah tindak kekerasan. Ketika duduk di kelas II SGB (sekolah guru bawah) di Rangkasbitung tahun 1956, ia terlibat perkelahian dengan salah seorang gurunya karena persoalan cinta. Eddy dan sang guru sama-sama jatuh cinta pada teman sekelasnya. 

Perkelahian terjadi setelah pasangan muda ini kepergok guru tersebut ketika sedang berpacaran. Melihat gadis idamannya "bersenang-senang" dengan laki-laki saingannya, sang guru naik darah lalu melemparkan botol berisi tinta ke arah Eddy. 

Merasa harga dirinya dijatuhkan di depan sang kekasih, darah mudah Eddy pun mendidih. Jadilah perkelahian antara guru dan murid yang akhirnya mengandaskan cita-cita Eddy menjadi guru. 

Pada 1957, ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Lalu, ia mengikuti pendidikan militer di Komando Pendidikan II Bogor. Selesai pendidikan ia bergabung dengan Batalion 329 di Serang. 

Selama karier militernya, ia pernah ditugaskan dalam beberapa operasi militer, a.l. penumpasan gerombolan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat, PGRS di Kalimantan Barat, G30S/PKI, dan operasi militer lainnya. Terakhir ia ditugskan di Kodim 0608 Cianjur sampai peristiwa itu terjadi. 

Atas jasa-jasanya itu ia memperoleh berbagai tanda penghargaan. Selama karier militernya tujuh kali ia naik pangkat. 

Petualangan pimpinan DI/ TII Kartosuwirjo rupanya ikut memberikan inspirasi bagi dirinya untuk bergerilya setelah ia melakukan aksi kejahatannya. Namun, barangkali ia lupa kalau Cianjur merupakan daerah terbuka. Dari arah mana pun, wilayah tersebut bisa dimasuki. 

Selain itu ia sama sekali tidak memiliki dukungan personel, apalagi kekuatan dan logistik. Sebelumnya, Eddy Sampak pernah menawari Endun dan Mais, keduanya penggarap sawah miliknya, untuk ikut dalam operasi yang direncanakannya. 

Namun, hal itu tidak terlaksana karena Eddy menganggap keduanya terlalu lemah. Karena sudah telanjur mengutarakan niat tersebut, kedua orang itu kemudian diancam untuk tidak membocorkan rencana jahatnya. 

Akhirnya, Eddy memilih Ojeng, juga seorang penggarap sawahnya. "Lamun maneh hayang boga duit keui Lebaian, maneh kudu melu balanja," kata Eddy membujuk Ojeng. Maksudnya, kalau Ojeng ingin punya uang untuk Lebaran, ia harus ikut belanja. Belakangan diketahui kata "belanja" yang dimaksud hanyalah istilah Eddy untuk tidak mengatakan merampok. 

 

Tamu tak dikenal

Setelah  melancarkan aksinya , Eddy Sampak dan Ojeng melarikan diri ke arah utara, menuju ke sebuah daerah perbukitan di kaki Gunung Gede. 

Pada hari pertama dan kedua dalam pelarian, mereka lebih banyak bersembunyi sambil mengamati situasi. Ketika matahari semakin condong ke Barat, udara terasa semakin dingin. Cuaca dingin itu membuat perut mereka keroncongan. Untuk mengusir rasa lapar, mereka menyantap tomat dan buah-buahan yang dipetik di sekitar tempat persembunyian mereka. 

Padahal pada hari-hari seperti itu keluarga mereka biasanya sudah bersiap-siap menyambut hari Lebaran. Hari itu, Kamis, 23 Agustus 1979, merupakan hari terakhir puasa, dan keesokan harinya adalah hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1399 H. Suasana di kampung-kampung pada saat itu biasanya diwarnai dengan wajah-wajah yang memancarkan rasa sukacita menunaikan ibadah puasa. 

Mereka yang tidak mampu membeli daging sapi, cukuplah memotong ayam, atau mengambil ikan di kolam, sekadar memeriahkan suasana. Saling menukar kiriman berupa kue-kue atau nasi berikut lauk pauknya di antara para tetangga pun merupakan tradisi yang memperlihatkan rasa guyub (kebersamaan) penduduk desa. 

Mengingat hal itu, keinginan berkumpul dengan sanak keluarga tak tertahankan lagi. Dini hari, Eddy Sampak dan Ojeng mencoba menuruni bukit dan masuk ke perkampungan penduduk. 

Mereka mencoba mendekati kampung tempat istri tua Eddy tinggal. Sial, maksud itu tidak kesampaian karena kedatangan mereka sudah tercium tim pelacak yang lalu mengepung desa itu. Namun, mereka berhasil meloloskan diri. 

Sebelumnya Ojeng rupanya sempat menitipkan uang untuk keluarganya sebesar Rp 282.000,- dan mengganti pakaian. Sebaliknya, ia gagal ketika petang harinya disuruh Eddy mengantarkan uang untuk istri tuanya. 

Merasa terkepung, Ojeng melemparkan uang titipan ke sawah sambil berlari terbirit-birit mencoba menyelamatkan diri. Tetapi gagal karena ia tertangkap. 

Penangkapan Ojeng membuat ruang gerak Eddy makin sempit. Para petugas, termasuk serombongan petugas dari Bogor, ikut terjun ke lapangan untuk mempercepat proses penangkapan. 

Namun sebelum menuju desa sasaran, rom bongan yang di antaranya terdapat wartawan surat kabar ibu kota, singgah lebih dulu di kantor Koramil Cugenang. 

Mereka berbincang-bincang sebentar ketika seorang penduduk melaporkan telah melihat seorang laki-laki berpakaian seragam hijau seraya menyandang senjata dan menggendong ransel. Laki-laki itu, katanya, sempat membentak seorang anak baru mandi yang menyalakan lampu senter ke arah jalan yang dilaluinya. 

Jarak antara tempat lakilaki yang mencurigakan itu dijumpai dan kantor Koramil ± 5km.Jalanan licin sehingga sulit dilalui. Ketika para petugas tiba di daerah tujuan, kecurigaan mereka makin kuat. 

Mak Icah, salah seorang penduduk desa itu, mengaku kedatangan tarau laki-laki yang tak dikenalnya. Orang itu, katanya, berseragam hijau dan membawa senjata. "Baru saja dia minta makan," kata wanita setengah tua itu. 

Laki-laki tersebut, kata Mak Icah lagi, mengaku sedang mengejar perampok. Bahkan ia menyatakan merasa kecapekan setelah dua hari dua malam menjelajah kawasan perbukitan di kaki Gunung Gede. Apalagi selama itu ia mengaku tidak makan. Lalu, ia disuguhi makanan seadanya. 

Anehnya, orang itu menolak ketika Mak Icah hendak mengambil lampu untuk menerangi ruangan. Tamu tak dikenal itu makan dengan lahapnya walau dalam suasana gelap. Senjata dan ransel berisi uang hasil rampokan ditaruh di depannya. Mak Icah tidak tahu kalau ternyata laki-laki itu justru seorang buronan.

 

“Selimut hidup” 

Di daerah itu, Eddy bersembunyi di atas  sebuah bukit dan berlindung di kegelapan malam. Dari tempat persembunyiannya, ia dapat melihat mobil para petugas yang mengalami selip karena jalan berlumpur. 

Walaupun pada saat itu posisinya lebih menguntungkan, Eddy tidak berani mengambil risiko menyerang lebih dulu karena khawatir posisinya diketahui. Bukankah ia sudah memutuskan pilihannya untuk bergerilya? 

Dalam "skenario" yang telah dibuatnya, ia memang berencana melakukan aksi gerilya. Untuk itu berbagai persiapan seperti membawa bahan bacaan dan berbagai kebutuhan penting lain ia siapkan, misalnya senjata Carl Gustav berikut 200 butir pelurunya yang dia curi dari kantor Koramil Karang Tengah. Bahkan lima hari menjelang pelaksanaan perampokan dan pembunuhan, ia sudah membuat peti dari bahan tripleks. 

Malam itu, ia terus berjalan menuju Selatan meninggalkan Cirumput. Bulan masih belum nampak dan langit tertutup kabut. Eddy Sampak berjalan menyusuri bukit-bukit, kebun-kebun teh, dan jalan kampung. 

Entah sudah berapa ribu langkah diayunkan sampai akhirnya ia menyusuri rel kereta api menuju Desa Sindang Sari. Jumat malam ia berada di daerah Naggeleng, dekat Cibaregbeg. 

Ia pun melanjutkan perjalanannya menuju rumah Ny. Mamah, istri mudanya yang baru berusia 14 tahun. Gadis ini dilamar dan dinikahinya sebelum aksi perampokan dilaksanakan. Perkawinan itu hanya dilakukan di depan amil setempat. Ia merencanakan, istri mudanya ini akan ia jadikan "selimut hidup" selama ia menjalankan aksi gerilya. 

Ketika sampai di depan rumah sang mertua yang juga tempat tinggal istri mudanya, Eddy Sampak mengetuk pintu dengan hati-hati. 

"Saha ... eta?" terdengar suara laki-laki bertanya dari dalam rumah. 

Eddy mengenal betul itu suara mertua laki-lakinya, ayah istri mudanya. "Abdi... Pak Eddy," jawabnya. 

Pintu rumah itu pun akhirnya terbuka. Tidak lama kemudian Eddy Sampak menyerahkan uang Rp.1.250.000,- kepada mertuanya. 

"Titip," katanya berpesan. Setelah itu ia pergi dan menghilang ditelan kegelapan malam. Kali ini ia menuju ke rumah anak angkatnya untuk minta dibelikan odol, sikat gigi, batu baterai, dan sandal. 

Sebagian besar penduduk Cianjur, terutama Desa Nagrak tempat tinggal Eddy Maulana Sampak selama ini, sangat berharap buronan itu dapat segera dibekuk. Itulah sebabnya mereka bahu-membahu dengan para petugas untuk mewujudkan harapan itu, walaupun banyak di antara mereka yang percaya kalau bekas calon kepala desanya itu memiliki beberapa jimat. 

Jimat-jimat itu konon diperolehnya dari dukun di Banten, Madura, dan beberapa tempat lain. Dengan jimat-jimat dan aji halimunan yang dililitkan di pinggang nya, Eddy merasa amat yakin bisa menghindari siraman peluru, mengusir dan menjinakan binatang buas, menahan rasa sakit, serta menghilang dari pandangan lawan-lawannya. 

Kesaktian jimat-jimat yang dipunyainya mulai diuji pada Sabtu pagi, ketika kontak senjata pertama dengan para petugas terjadi di sebuah kawasan berbukit-bukit di daerah Pasir Datar Waru. 

Beberapa saat kemudian Eddy Sampak diminta menyerah karena posisinya sudah terdesak. Eddy lalu mengeluarkan siasat liciknya untuk mengelabui petugas. la menyatakan bersedia menyerah asalkan yang mengambil senjata dan ransel berisi uang adalah anak angkatnya. 

Senjata dan ransel itu lalu digeletakkan di depannya. Namun siasat licik itu diketahui para petugas. Kosasih, salah seorang penduduk setempat yang bersedia jadi sukarelawan, dikirim untuk mengambil barang-barang itu. 

Ketika melihat yang akan mengambil bukan anak angkatnya dengan gerakan cepat Eddy Sampak menyambar kembali senjatanya dan memuntahkan pelurunya ke arah Kosasih yang baru berjalan beberapa langkah. Kosasih pun terkapar. Penduduk kampung yang terluka itu pun segera dilarikan ke rumah sakit. 

Eddy harus menebusnya dengan luka tembak di tubuhnya saat terjadi baku tembak. Meski dalam keadaan terluka dan terkepung, ia tetap tidak mau menyerah. la melarikan diri menuju Tenggara, searah dengan aliran Kali Cisokan, suatu daerah yang sebenarnya sudah cukup jauh letaknya dari tempat kejadian perkara. 

Berjalan tertatih-tatih, Eddy Sampak meninggalkan uang hasil rampokannya yang terlempar ketika terjadi kontak senjata. Sedangkan senjata Carl Gustav sempat dipendamnya di dekat tempat persembunyiannya. 

Petualangan gerilya Eddy Sampak akhirnya terhenti ketika ia memasuki daerah Cigintung. Ia kehabisan kekuatan akibat darah yang terus mengalir dari lukanya. Tanpa sempat melakukan perlawanan ia diringkus pasukan Batalion 327 di bawah pimpinan Sersan Mayor Sain. Hari itu, Selasa, 28 Agustus 1979, pukul 14.30. 

Sementara itu para anggota Kodim sudah menerima gaji mereka jauh hari sebelumnya. Dua hari menjelang Lebaran, Pangdam VI (kini III)/Siliwangi yang saat itu dijabat Mayjen TNI H.R. Moch. Yogie Suardi Memet (sekarang menteri dalam negeri) memberikan penggantian uang gaji yang sementara itu belum bisa diselamatkan.

 

Dendam kades gagal

Perkara yang melibatkan Serma Eddy Maulana Sampak akhirnya disidangkan Mahkamah Militer Priangan Bogor di Bandung, 14Mei 1981. 

Bertindak selaku Hakim Ketua Letkol KUM EdiPurnomo, S.H. dibantu Hakim Letkol SKH Abdrrauf, S.H., serta Mayor Tituler Sakir Ardiwinata,S.H. Oditurnya Letkol SHKWirdan Muljoredjo, S.H. dengan Oditur pengganti Letkol CKH Syamsul Hadi, S.H., dan penitera Peltu Saunan Asdjar, S.H. 

Bertindak selaku pembela adalah R. Enggar Sutomo, S.H.dan Mayor CKH Abdul Sirod, Bc.HK. 

Sidang dilakukan secara koneksitas dan berlangsung secara maraton. Selain Serma Eddy Maulana Sampak, diajukan pula tertuduh lainnya, Ojeng dan Bani, mertua Eddy Sampak. Namun sebelum pemeriksaan dimulai, Eddy Sampak minta agar diizinkan berdoa lebih dulu. 

Dalam persidangan Eddy Maulana Sampak mengakui segala perbuatannya itu akibat dendam yang terpendam karena tidak berhasil terpilih menjadi kepala Desa Nagrak. 

la mengaku makin kecewa karena yang kemudian ditunjuk menjadi caretaker kepala desa itu bukan dirinya, tetapi Serma Sutaryat. Itulah alasannya mengapa ia merampok uang gaji yang dibawa Serma Sutaryat dan teman-temannya. 

Dalam sidang tanggal 13 Juni 1981, Eddy Maulana Sampak akhirnya dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Ojeng alias Cece menerima ganjaran hukuman penjara 12 tahun dipotong masa tahanan sementara. Bani diganjar hukuman penjara 4 bulan 15 hari dikurangi masa tahanan sementara. 

Majelis hakim berpendapat tertuduh Eddy Maulana Sampak telah terbukti bersalah secara kumulatif melakukan perbuatan-perbuatan pidana. 

Pertama, pembunuhan berencana sebagaimana dirumuskan dandiancam dengan pidana menurut pasal 340 KUHP. Kedua, pembunuhan yang diikuti, disertai, didahului perbuatan pidana lain seperti dirumuskan dan diancam dengan pidana menurut pasal 53 jo 339 KUHP. 

Keempat, ia terbukti melakukan pencurian dengan kekerasan, mengakibatkan korban luka atau mati seperti dirumuskan dan diancam pidana menurut pasal 365 (4) KUHP. 

Lalu kelima, ia juga terbukti merusak, menghancurkan barang orang lain, seperti dirumuskan dalam pasal 406 ayat (1) KUHP. 

Keenam, ia terbukti menguasai tanpa hak dan menggunakan senjata api sesuai dengan apa yang dirumuskan dan diancam menurut pasal 1ayat (1) UU No. 12 tahun 1951 jo 55 ayat (1) KUHP. 

Kemudian ketujuh, ia terbukti melakukan percobaan pembunuhan seperti yang dirumuskan dan diancam dengan pidana menurut pasal 53 jo 338 KUHP. 

Selain pidana pokok, Eddy Maulana Sampak juga mendapat hukuman tambahan. Ia dipecat dari dinas ABRI/TNI AD. Dicabut haknya untuk memperoleh tanda jasa/kehormatan yang diberikan oleh negara, serta dicabut haknya untuk memasuki dinas ABRI.

 

Lolos lagi

Putusan hukuman mati atas dirinya rupanya tidak membuat dirinya bergeming dari sikapnya selama ini. Selama persidangan ia hampir tidak memperlihatkan perasaan menyesal, walaupun hal itu kemudian dibantahnya. 

"Siapa bilang saya tidak menyesal. Apakah kalau saya masih bisa tertawa, hati saya tidak menangis?". katanya kepada sejumlah wartawan sesaat sebelum hukuman dijatuhkan.

Eddy Maulana Sampak. akhirnya harus menjalani hukumannya di Rumah Tahanan Militer (RTM) Poncol, Cimahi, sekitar 15 km sebelah barat Bandung. Selama di tempat itu, ia bercocok tanam sayuran dan palawija untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. 

Namun harapan untuk memperoleh keringanan hukuman menjadi pupus ketika permohonan grasinya ditolak pada 18 Oktober 1984. 

Orang yang katanya pernah memiliki beberapa jimat, termasuk aji halimunan itu kemudian membuat geger. lagi ketika Senin dini hari, sekitar pukul 03.00, diberitakan kabur dari tahanannya, hari itu 24 Desember 1984. 

Ia memanjat tembok rumah tahanan yang dikenal kokoh, lalu turun menggunakan batang pohon pisang yang entah disandarkan oleh siapa ke tembok bagian luar rumah tahanan itu.

Jangan-jangan ia menghilang berkat aji halimunan

(Her Suganda) 

 

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123159/berburu-perampok-kebal-peluru" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643748771000) } } }