array(6) {
  [0]=>
  object(stdClass)#69 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400089"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#70 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/mobil-terkutuk-pencetus-pd-i_mus-20220803052411.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#71 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(148) "Apa hubungan antara kutukan dengan pakaian, rumah, mobil, pena, atau benda benda lain milik korban? Benarkah menimbulkan malapetaka bagi pemiliknya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#72 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Misteri"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "mystery"
        ["id"]=>
        int(1368)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Misteri"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/mobil-terkutuk-pencetus-pd-i_mus-20220803052411.jpg"
      ["title"]=>
      string(38) "Mobil Terkutuk Pencetus Perang Dunia I"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 17:24:28"
      ["content"]=>
      string(7935) "

Intisari Plus - Apa hubungan antara kutukan dengan pakaian, rumah, mobil, pena, atau benda benda lainnya milik korban? "Jelas tidak ada," kata orang yang berpikir rasional. Namun, banyak catatan tentang rumah, mobil, kastel, jenis dan warna tertentu dari pakaian yang sepertinya menimbulkan malapetaka bagi pemiliknya. Hubungan apa yang sebenarnya ada di sana? Bagaimanapun, hubungan itu sepertinya ada, sedemikian eratnya sehingga menurut sebagian orang, sebuah mobil "terkutuk" menjadi biang penyebab meletusnya Perang Dunia I dan serangkaian kematian para pemilik mobil itu berikutnya.

----------------------

Kejadian-kejadian aneh di dunia ini sering sangat sulit dipercaya. Keberuntungan dan kemalangan sepertinya melekat pada benda benda macam pakaian, mobil, rumah, pena, karya seni, dan lainnya. Tidak ada teori ilmiah yang mampu menjelaskannya, tetapi sejumlah kecelakaan luar biasa yang telah diberitakan ke seluruh dunia berhubungan dengan semua itu.

Kasus terkenal mengenai kemalangan yang aneh yaitu berkaitan dengan mobil milik Pangeran Francis Ferdinand, pewaris takhta Kerajaan Austria dan Hungaria. Dia bersama istrinya terbunuh saat sedang bepergian dengan mobil itu pada tahun 1914. Pembunuhan itu ternyata harus dibayar mahal. Peristiwa itu memicu meletusnya Perang Dunia I. Ketika itu tak seorang pun mengutuk mobil tersebut.

Kemudian mobil maut itu dibeli oleh Jenderal Oskar Potiorek, perwira angkatan darat Austria. Sepertinya, mobil itu memiliki kekuatan magis yang membawa sial bagi pemiliknya. Beberapa minggu kemudian, jenderal pemberani itu menderita kekalahan telak dalam pertempuran di Valjevo. Karena tidak tahan menanggung guncangan dan aib, keseimbangan mentalnya pun terganggu. Jenderal itu meninggal sebagai orang yang tidak waras.

Kisah perjalanan mobil "terkutuk" itu belum berakhir. Seorang kapten berkebangsaan Austria membelinya. Dalam dua minggu, kesialan beruntun menimpa dirinya. Si kapten menewaskan dua orang petani, gara-gara kehilangan kendali mobilnya, lalu menyeruduk sebuah pohon sehingga leher kapten itu patah.

Setelah perang berakhir, mobil jahanam itu dibeli oleh Gubernur Yugoslavia. Saat mobil itu ada di tangan sang gubernur, terjadi serangkaian kecelakaan. Hanya dalam empat bulan, terjadi empat kali kecelakaan fatal. Gubernur itu sampai kehilangan tangannya dalam kecelakaan itu. Dia pun jadi ikut-ikutan percaya pada klenik sehingga dijuallah mobilnya itu kepada seorang dokter. 

Hanya enam bulan menikmati kemewahan mobil itu, dokter itu pun tewas setelah tabrakan. Korban berikutnya seorang pedagang permata kaya raya yang melakukan bunuh diri. Korban pemilik selanjutnya seorang pembalap asal Swiss. Dia tewas dalam sebuah balapan saat mobilnya melontarkan tubuhnya melayang melewati dinding. 

Pemilik malang berikutnya yaitu seorang petani asal Siberia. Pemilik terakhir mobil sial itu adalah pengusaha bengkel Tibor Hirsfeld, yang bersama keempat orang temannya tewas dalam sebuah kecelakaan.

Setelah menorehkan daftar panjang berbagai peristiwa naas tersebut, mobil "terkutuk" itu berhenti berulah karena disimpan di Museum Wina. Syukurlah, selama berdiam di museum, mobil itu tidak mengumbar kesialan di sekitarnya.

Kisah tentang area pria gendut setengah telanjang berikut ini sedikit mirip dengan kisah mobil pembawa sial itu. Arca itu salah satu sosok Dewa Keberuntungan bangsa Jepang. Patung ini dipajang di toko barang loak, lalu dibeli oleh pasangan suami istri setengah baya asal Inggris, Tuan dan Nyonya C. J. Lambert, dengan harga murah meriah.

Selama menyimpan patung itu, mereka justru selalu ditimpa nasib malang. Ironisnya, keberuntungan berubah menjadi kesialan. Mereka menderita berbagai penyakit; sembuh dari satu penyakit, datanglah penyakit lain. Akhirnya, berkat bisikan akal sehat, mereka menjual patung itu kepada orang Jepang, manajer sebuah toko benda seni oriental. Pasangan itu pun tidak pernah lagi mengunjungi toko itu.

Kasus-kasus serupa banyak jumlahnya. Keganjilan itu lantas memunculkan pertanyaan: hubungan apa yang sebenarnya terjadi antara suatu benda dan pemiliknya? Menurut psikolog dan analis, ada sesuatu dalam perilaku orang semacam itu. Menurut penjelasan para peneliti, orang seperti itu mengembangkan perilaku negatif dan mempunyai semacam sugesti bahwa "sesuatu yang buruk" bakal terjadi. Sehingga diduga, kecelakaan-kecelakaan itu terjadi gara-gara prasangka yang sudah ada dalam pikiran bawah sadar si korban.

Tidak semua setuju dengan teori itu. Edward Russel, seorang wartawan sekaligus peneliti dunia paranormal, menguraikan lebih lanjut teori itu bahwa mungkin saja ada hubungan antara "prasangka buruk" dan "kutukan" yang menimpa orang-orang nahas itu. la mengajukan teori, medan pikiran menanamkan diri pada benda-benda seperti halnya medan listrik yang menghasilkan pola pada pita rekaman magnetik.

Pendapat itu lebih masuk akal dibandingkan dengan yang terdahulu, tapi belum seluruhnya memuaskan. Mereka yang skeptis sama sekali tidak setuju dengan teori itu. Mereka masih mempertanyakan apa hubungan antara rumah, kastel, kapal, atau pesawat terbang dan nasib sial para penghuni atau penumpangnya.

Gerard Croiset, pakar psikometri dari Belanda, mengembangkan teori itu dengan menyatakan bahwa benda-benda mati mengirim kesan fisik dan atmosfer yang kuat. Seorang ahli psikometri bisa mengetahui banyak hal tentang sebuah benda hanya dengan memegangnya. Dia memiliki kemampuan untuk merasakan dan membaca kesan yang ditimbulkan oleh suatu benda. Memang benar, terkadang roh bersemayam di dalam benda yang paling berharga bagi pemiliknya yang sudah meninggal.

Kisah berikut ini belum seabad terjadi. Pada tahun 1938, Eikichi Suzeki menyimpan boneka berharga milik saudara perempuannya, Kiku, di sebuah kuil di Desa Monji Saiwai Cho, Jepang. Boneka itu harta paling berharga bagi mendiang saudara perempuannya. Karena hendak pergi ke medan perang, dengan hati-hati dia simpan boneka itu di dalam sebuah kotak bersama abu saudara perempuannya.

Sekembali dari perang tahun 1947, Suzeki bergegas pergi ke kuil dan membuka kotak itu di hadapan pendeta. Sungguh mengejutkan, rambut boneka itu bertambah panjang. Setelah diteliti secara ilmiah, pada boneka itu tidak ada yang rusak. Rambut yang tumbuh memang rambut manusia. 

Setelah itu boneka Kiku ditempatkan di altar, rambutnya terus tumbuh dan altar itu kemudian menjadi tempat ziarah. Tidak seorang pun mampu memahami penyebabnya. Dari semua kemungkinan yang ada, kemungkinan terbesar roh gadis kecil itu bersemayam dalam boneka, benda kesayangannya.

Tidak aneh, kasus-kasus unik dan tak terduga semacam ini bikin banyak orang tercengang. Mereka mendorong para ilmuwan untuk melakukan percobaan yang pelik dan butuh waktu lama untuk mendapatkan kebenaran. Namun, upaya mereka sampai saat ini masih jauh dari berhasil.

(Nukilan buku Intisari Seri Kisah Misteri 24 Misteri Aneh di Dunia Oleh Geeta Lal Sah) 

 

" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400089/mobil-terkutuk-pencetus-perang-dunia-i" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659547468000) } } [1]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309922" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/legenda-zerzurajpg-20220603065130.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Petualangan Count Ladislaus Almasy berburu oasis yang hilang di Gurun Pasir Libya sangat membantu di masa perang. Bahkan akhirnya difilmkan." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/legenda-zerzurajpg-20220603065130.jpg" ["title"]=> string(15) "Legenda Zerzura" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:52:04" ["content"]=> string(23921) "

Intisari Plus - Petualang misterius, Count Ladislaus Almasy, berburu oasis yang hilang di Gurun Pasir Libya. Petualangannya di padang gurun juga sangat membantu di masa perang. Bahkan akhirnya difilmkan.

-------------------------

Di suatu tempat, tersembunyi di Gurun Libya yang tak berujung, tersebutlah sebuah oasis indah yang ditanami pepohonan palma yang tinggi dan rimbun, dengan burung-burung berkicau yang bertengger di dahannya. Di sanalah, di reruntuhan sebuah kota kuno yang berdinding putih, seorang raja dan ratu terbaring dalam tidur yang lelap, dan pada suatu hari mereka terbangun ...

Nama oasis itu adalah Zerzura—Oasis Burung-burung Kecil. Dua pria Inggris dan Hongaria mendiskusikannya suatu hari.

"Kau benar-benar tidak memercayainya bukan?" tanya Dr. Richard Bermann, dengan senyuman girang.

Count Ladislaus Almasy, pria Hongaria itu memicingkan matanya di bawah matahari, dan menggelengkan kepalanya tidak sabar. "Kota kuno itu? Tentu tidak. Kota itu adalah mitologi Arab lama dalam Kitab al KanuzThe Book of Hidden Treasures. Akan tetapi, orang membicarakan Zerzura selama ratusan tahun, disebutkan sejak abad ke-13. Meski demikian, menurutku semua itu tak masuk akal kecuali bagi Wilkinson." 

"Wilkinson?" Dr. Bermann memandang temannya penasaran.

"Sir Gardiner Wilkinson. Dialah pria yang pertama menemukan oasis Dakhla," Almasy menjelaskan. "Penduduk setempat mengatakan padanya tentang tiga oasis ke arah Kufra. Tiga oasis tersebut telah ditemukan. Mereka juga menceritakannya tentang tiga wadi (palung sungai yang kering) lain, di jalan menuju Farafra. Diceritakan terdapat pohon palma, air terjun, reruntuhan seperti yang digambarkan dalam legenda. Zerzura ..." mata Almasy menjadi tercenung ketika ia memandang jauh. "Sekarang, bila penduduk Dakhla benar tentang oasis Kufra, mereka pasti benar tentang Zerzura?"

Dr. Bermann mengangguk. Sulit tidak setuju dengan Almasy bila ia yakin akan sesuatu. Almasy bergairah dengan segala hal yang ia kerjakan, terutama gurun pasir—dan legenda Zerzura telah membuatnya terkesima selama bertahun-tahun.

Almasy tidak sendiri dalam kecintaannya terhadap Gurun Libya (yang juga dikenal sebagai Gurun Pasir Barat), padang Sahara luas yang membentang dari Libya bagian timur hingga Sungai Nil di Mesir. Sebelumnya, sudah banyak orang lain yang tertarik datang ke Gurun Libya. Tahun 1879, penjelajah Jerman Gerhard Rohlfs menyeberanginya dari timur. 

Rohlfs telah mencapai oasis Kufra di Libya, tapi nyaris mati saat perjalanan. Ia maupun untanya hampir sekarat karena kehausan, kalau saja hujan yang tidak biasa turun menyelamatkan mereka. Rohlfs menamakan tempat itu Regenfeld (padang hujan). Setelah itu, para petualang mempunyai tradisi untuk berhenti di sana dan meletakkan botol berisi rincian perjalanan mereka.

Kemudian, pada 1920-an, serangkaian penjelajah mulai menelusuri jalan melalui gurun pasir. Salah satunya seorang Mesir yang kaya-raya, Sir Ahmed Hassanein Bey. Ia menemukan dua oasis yang hilang, Arkenu dan Uweinat—tapi bukan Zerzura. 

Orang Mesir yang lain, Pangeran Kemal el Din, memelopori penjelajahan dengan kendaraan traktor, sementara pria Inggris, Mayor Ralph Alger Bagnold, memburu Zerzura dengan mobil. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang menemukannya. Keberadaan oasis itu tetap misterius.

Pada awal 1930-an, Almasy adalah satu-satunya penjelah yang paling ambisius di daerah itu. Pada 1932, ia mengadakan penjelajahan untuk menemukan oasis secara tuntas. Ia diikuti tiga orang Inggris—Sir Robert Clayton East-Clayton, Wing Commander H. Penderal, dan katrografer (pembuat peta bernama Patrick Clayton—serta enam orang Mesir. Mereka bermaksud berburu oasis dengan mobil dan melakukan survei tambahan dari udara dengan pesawat Gypsy Moth bernama Rupert.

Rombongan utama berangkat dari oasis Kharga di Mesir pada 12 April 1932 menuju Gilf Kebir, sebuah dataran tinggi gunung yang luas di sudut tenggara Mesir. Di sanalah, Almasy yakin akan menemukan oasis yang hilang.

Pada 1930-an, penjelajahan gurun pasir telah mencapai banyak kemajuan tapi masih bercampur antara bahaya dan kegairahan. Para penjelajah harus bersikap tenang dan saling menjaga satu sama lain; di sini bukanlah tempat untuk melakukan pertentangan yang tak penting. Keempat orang Eropa itu bekerja sama dan jika mereka saling tidak suka, mereka berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. setidaknya pada waktu itu.

Mereka bergantian menerbangkan Rupert, si Gypsy Moth. Mereka diterpa badai gurun dan dahaga untuk mencapai Gilf Kebir, tempat dimulainya penjelajahan yang sesungguhnya. Ketika mereka makin mendekat, mereka sadar kalau kehabisan air. Pemecahannya cukup mudah, mereka berada dalam jarak yang mencolok dari Kufra, sebuah oasis di Libya. 

"Kita harus menuju Kufra untuk mencari air sebelum meneruskan perjalanan," kata Almasy. "Tidak akan lama."

"Kufra ada di wilayah Italia," ucap Patrick Clayton keberatan. "Kita tak bisa ke sana. Mereka akan menahan kita semua,"

"Jangan bodoh," balas Almasy. "Atas dasar apa mereka melakukan itu?"

"Mereka tidak suka orang Inggris menjejaki wilayahnya—itu penyebabnya!" Clayton, yang terkenal karena ketidaksukaannya pada orang Italia, menghardik.

"Aku bukan orang Inggris," Almasy menegaskan.

"Memang bukan," kata Clayton dengan nada suara tegang. Kedua pria itu saling memandang. Sebuah momen yang aneh. Mungkin itulah tanda bahwa hari-hari penjelajahan gurun yang menggembirkan akan berakhir. Gurun pasir tidak lagi bebas dari batas; bukan lagi tempat persembunyian legenda. Dalam bayang-bayang perang, para penjelajah itu mulai memikirkan kesetiaan. Penjelajahan berarti informasi—karena seluruh pria itu tahu terlalu banyak.

"Bagaimana menurutmu, Panderel?" tanya Almasy tiba tiba.

Wing Commander itu mengangkat bahu. "Kau mungkin benar," katanya kepada Almasy. "Mereka cukup siap menyambutmu. Akan tetapi, aku tentara Inggris. Jika mau pergi, sebaiknya kau sendiri saja."

Maka, Almasy menuju ke barat, meninggalkan sisa anggota tim untuk melakukan penyergapan pertama ke Gilf itu sendirian. Orang Italia menyambutnya dengan hangat. la segera membekali dirinya dengan air dan setelah mengambil foto-foto yang menarik sekali lagi, angkat kaki menuju gurun.

Tanpa kehadiran Almasy, Sir Robert dan Panderel menerbangkan Gypsy Moth di atas Gilf Kebir. Dengan kegirangan yang amat sangat, mereka menemukan sebuah wadi panjang yang ditumbuhi banyak pohon akasia. 

Mungkinkah ini wadi pertama dari tiga wadi yang dibicarakan Wilkinson? Sewaktu Almasy kembali ke perkemahan dan mendengar berita itu, ia pun bergairah. Ia yakin mereka telah menemukan Zerzura. Sekarang tugasnya mencapai wadi itu dengan mobil.

Meskipun dua pria tersebut beberapa kali terbang di atas wadi yang memikat itu, mereka tak dapat menemukan jalan masuk untuk mobil di sekelilingnya—wilayah gurun bergunung Gilf Kebir menghalangi jalan mereka. Mereka menemukan wadi lain, yang berukuran kecil dan tak berarti dibandingkan dengan yang mereka lihat dari udara. Mereka kehabisan waktu. Karena merasa putus asa, mereka pun kembali.

Rombongan ekspedisi mencapai Kairo lagi pada Mei 1932. Pada September tahun yang sama, sebuah tragedi terjadi. Sir Robert Clayton East-Clayton terjangkit infeksi virus akut. Dalam beberapa hari ia meninggal. Usianya baru 24 tahun ketika wafat.

Istrinya, Lady Dorothy, merupakan perempuan berani yang bertekad menyelesaikan penjelajahan yang telah dimulai suaminya. Ia mendiskusikan niatnya dengan Patrick Clayton di Kairo. Cara yang tepat adalah bergabung dengan teman teman suaminya, termasuk Almasy, tapi tiba-tiba, sentimen pribadi Clayton terhadap Almasy tampak mengalahkannya. Clayton tahu benar betapa inginnya Almasy melanjutkan perburuan Zerzura, tapi saat itu ia ada di luar Kairo.

"Almasy tidak akan kembali ke Kairo," Clayton berbohong. "Tapi, saya akan melanjutkan ekspedisi lain sendirian. Saya akan sangat senang jika Anda bergabung."

Lady Dorothy gembira. "Tentu saya akan ikut Anda," katanya pada Clayton. "Ngomong-ngomong, saya tak mau ditemani Almasy. Pria yang tak menyenangkan."

Lady Dorothy juga tidak menyukai Almasy. Menurut dia, Almasy tak dapat dipercaya. Lebih dari sekali, ia menolak menjabat tangan Almasy dalam pertemuan-pertemuan sosial di Kairo. Ketika Almasy kembali ke Mesir—seperti diperkirakan Clayton—Almasy menemui Lady Dorothy yang menyambutnya dengan amat dingin. Almasy mengetahui rencana Lady Dorothy untuk melanjutkan ekspedisi Zerzura dengan Clayton. Almasy jengkel, dan segera membuat rencana sendiri.

Jadilah dua ekspedisi, yang sebagian dikobarkan semangat persaingan, berangkat tahun 1933 untuk berburu wadi Zerzura yang hilang. Kali ini, ekspedisi Almasy menyertakan teman lamanya, Dr. Richard Bermann, seorang jurnalis yang amat tertarik pada legenda lama dan telah sering mendiskusikannya dengan Almasy. Mereka berangkat dari Kairo pada 14 Maret 1933 dengan empat mobil.

Penghentian pertama mereka di Abu Ballas, yang berarti Bapak Kendi. Di situlah, di dalam pasir ditimbun sekitar tiga ratus kendi air. Kendi-kendi itu ditemukan orang Dakhla pada abad ke-19, sewaktu mengejar-ngejar segerombolan perampok gurun pasir. Kendi-kendi tersebut jelas milik gerombolan perampok, yang menjadikannya sebagai pasokan air dalam operasi mereka di gurun pasir.

Dengan bergairah, Almasy membentangkan sebuah peta.

"Lihat di sini, Bermann," kata Almasy kepada temannya. "Kendi-kendi ini terletak sekitar dua pertiga dari jalan antara Kufra dan Dakhla. Ini menunjukkan siapa pun yang melalui gurun pasir perlu berhenti untuk mengambil air di suatu tempat lain juga—sekitar sepertiga dari jalan di antara dua oasis."

Jari Almasy menelusuri rute karavan tua. Ia terhenti di Gilf Kebir.

"Gilf Kebir ... Zerzura?" tanya Bermann dengan senyum. 

"Mengapa tidak?" jawab Almasy.

Mereka meninggalkan Abu Ballas dan menuju ke sisi timur Gilf Kebir, berharap menemukan jalan masuk ke wadi yang mereka pernah lihat tahun sebelumnya. Mereka tidak mendapatkan hasil—tapi itu tak menyurutkan semangat sebelum mereka mendapatkan penemuan lain yang amat berarti. Setiap orang selalu berpikir bahwa tidak ada jalan melalui Gilf Kebir. 

Akan tetapi, mereka salah. Padang yang luas itu sesungguhnya terbagi dua—ada sebuah celah di tengah-tengah yang mengalir dari timur ke barat. Ini bukan wadi, tapi sebuah celah besar di batu cadas. Hanya melalui celah inilah mobil dapat lewat dengan mudah.

"Sangat menarik," gumam Almasy. "Amat berguna sekali." Dengan menggunakan penemuan baru itu, mereka bergerak ke barat menuju Kufra untuk menyimpan perbekalan. Di sana, mereka mendengar kabar tentang ekspedisi lain. Patrick Clayton dan Lady Dorothy telah menemukan jalan masuk ke wadi di Gilf Kebir, dan sekarang mereka puas dan kembali ke Kairo.

"Kita ikuti jejak mereka ke wadi," Almasy segera berujar. "Kemudian kita akan melakukan ekspedisi yang lebih baik bila sudah di sana, mungkin ada petunjuk tentang dua wadi lain. Akan tetapi sebelum pergi, aku mau bicara dengan penduduk setempat."

Almasy yakin bahwa penduduk Kufra pasti tahu tentang wadi yang tersembunyi di Gilf. Meminta mereka menunjukkan wadi itu merupakan sebuah persoalan. Penduduk gurun tidak suka menceritakan rahasia mereka pada orang asing. Akhirnya, ia menjumpai seorang pemandu karavan tua, namanya Ibrahim, yang mau angkat bicara.

"Wadi yang engkau bicarakan itu Wadi Abd el Melik," ia berkata pada Almasy dalam bahasa Arab yang beraksen kuat dan ganjil. "Di dekatnya ada yang lain. Kami menamakannya Wadi Talh."

Setelah sedikit dibujuk, Ibrahim mengatakan jalan mencapai wadi kedua itu. Akan tetapi, ia menolak mengatakan tentang wadi ketiga. Puas sesaat, rombongan ekspedisi berangkat lagi.

"Wadi Abd el Melik dan Wadi Talh," Almasy termenung saat mereka berjalan. "Cuma dua. Apakah menurutmu Ibrahim tua itu jujur?"

Mereka menjejaki jalan melalui Gilf, menelusuri jalur ekspedisi Clayton, dan akhirnya menerobos ke Wadi Abd el Melik. Jalan panjang yang dihiasi pohon-pohon akasia, tapi tidak ada lagi yang dapat dikatakan tentang jalan itu. Seluruh tetumbuhan kering dan layu: ada dua air terjun cadas yang kecil, tapi hampir kering. Tempat itu hampir tidak seperti gambaran sebuah surga.

Namun, Almasy masih bertekad untuk menemukan Wadi Talh. Bersama salah seorang pria Arab, ia menyusuri rute tandus menuju puncak dataran Gilf dan mengikuti petunjuk Ibrahim. Tak lama, hampir pasti, ia akan menemukan wadi lain yang dipenuhi pepohonan akasia. 

Dengan riang Almasy kembali ke kemah. Hanya satu wadi lagi yang perlu ditemukan. Merasa senang sendiri, rombongan menuju ke oasis Uweinat—di sana sekali lagi mereka menjumpai Ibrahim. Kali ini orang tua itu sedikit meluruskan keterangannya. 

Waktu ia mengetahui temuan mereka, ia mengakui bahwa ada wadi ketiga, yang dinamakan Wadi Hamra—Wadi Merah. Ketiga wadi itu digunakan penggembala setempat untuk merumput ternak mereka setelah hujan musiman turun. Bila hujan tidak turun lama, tetumbuhan itu mati.

Jadi, Zerzura atau bukan? Wadi-wadi yang malang itu pasti bukan legenda yang dimaksud—bahkan Almasy yang keras hati sekalipun harus mengakuinya. Legenda tentang Zerzura tampak seperti fatamorgana yang menghilang di depan mata mereka. 

Akan tetapi, itu tidak terlalu berarti; mereka telah memetakan wilayah itu dan melakukan beberapa penemuan navigasi yang penting. Dan pada saat pergantian waktu itu, mana yang lebih penting—legenda atau beberapa peta yang sempurna?

Rombongan beristirahat di Uweinat dan menjelajahi sekitarnya. Almasy, yang selalu cenderung berjalan mendahului yang lain, segera menemukan sesuatu yang luar biasa. Jauh tinggi di tebing terdapat serangkaian gua-gua kecil yang berisi lukisan batu prasejarah dalam warna-warni yang indah. Lukisan itu menggambarkan hewan-hewan peliharaan, terutama ternak, dan prajurit-prajurit yang mengusung panah.

Lukisan tersebut bukanlah yang pertama ditemukan di wilayah itu. Tahun 1920-an, ketika Sir Ahmed Hassanein Bey menemukan Uweinat, penduduk nomadik setempat mengatakan padanya bahwa jin pernah bermukim di Uweinat, dan meninggalkan gambar-gambar mereka di batu-batu cadas. 

Hassanein segera mencari gambar-gambar itu dan menemukan lukisan yang menggambarkan singa, jerapah, burung unta, dan berbagai jenis antelop, dan mungkin sapi. Hassanein menilai bahwa di zaman purba daerah ini pasti jauh lebih subur dan dihuni banyak orang, yang hidup relatif makmur.

Patrick Clayton juga menemukan gua di dekat Gilf Kebir, yang berisi banyak gambar jerapah dan singa. Namun, pencarian Almasy yang nekatlah yang lebih membawa penerangan pada gua-gua ini. la dan timnya membuat catatan fotografis, dan Almasy sendiri membuat sedikit sketsa.

Akan tetapi, sekali lagi musim itu berakhir. Ekspedisi tersebut berkemas dan kembali ke Kairo. Di sana mereka mendengar bahwa rombongan Patrick Clayton tidak mendapatkan temuan lagi; dan rombongan kembali dari Gilf langsung melewati bagian tengah Lautan Pasir Raksasa—wilayah bukit pasir luas yang hampir menewaskan Gerhard Rohlfs seabad lalu—yang merupakan prestasi besar tersendiri. 

Ketika terik musim panas berlalu, Almasy sekali lagi kembali ke Uweinat. Pada kesempatan itu, ia menemukan Gua Perenang, yang sekarang terkenal, di lembah berbatu yang membentang dari Uweinat ke arah Gilf Kebir. Di sana, ditemukan lebih banyak lukisan, yang dengan jelas menggambarkan orang-orang sedang berenang. 

Tempat itu memberikan bukti akhir betapa suburnya wilayah tersebut pada masa lalu. Bahkan dipastikan dahulu di situ ada danau. Mungkin inilah, bukan ketiga wadi tadi, yang memunculkan legenda kuno Zerzura—tapi siapa yang bisa bilang?

Zerzura sekali lagi menghindar dari penemuan dan ketika Eropa semakin mendekati peperangan, para penjelajah harus memikirkan hal lain. Mereka tidak bisa lagi bersikap netral. Pengetahuan mereka terlalu berharga, dan peta yang mereka buat memiliki nilai baru.

Bagi sebagian besar mereka, tidak ada pertanyaan mengenai keberpihakan mereka. Kesetiaan pada negara amat merasuk. Akan tetapi, sebagai seorang Hongaria, Almasy adalah sebuah misteri. la berada di pihak mana? Pemerintah Hongaria bersimpati pada Hitler dan fasisme, tapi tidak berarti bahwa Almasy sendiri seorang Nazi. 

Ia bertindak tidak konsisten selama ekspedisi gurun pasirnya. Tahun 1932, pada perjalanan Zerzura yang pertama, ia memotret markas militer Italia di oasis Kufra, dan menyerahkannya pada teman-temannya yang berbangsa Inggris. Kemudian, pada 1933, ia memberitahukan orang-orang Italia rute timur-barat melewati Gilf Kebir.

Pembagian kesetiaan yang aneh? Mungkin saja. Akan tetapi, ia harus memilih salah satu pihak—dan akhirnya melakukannya dengan penuh gaya. Ia bergabung dengan angkatan udara Jerman, Luftwaffe, sebagai penasihat gurun pasir. 

Tahun 1941, badan intelijen Jerman, Abwehr, sangat kecewa, karena tidak dapat menemukan mata-mata di belakang garis Inggris dan di Kairo. Almasy yang melihat kesempatan untuk menggunakan pengetahuannya, masuk ke dalam terobosan itu.

"Saya bisa mendapatkan dua agen Jerman ke Kairo untuk Anda," kata Almasy pada Abwehr. "Saya akan membawanya melalui Libya, melewati Kufra, dan melalui Gilf Kebir ke Kharga, dan dari sana menuju Assiut di tepi Sungai Nil.  

Pada mulanya, Abwehr mencemooh. Akan tetapi, sejauh ini, seluruh usaha lain mereka telah gagal; dan jika ada orang yang dapat berada di belakang garis Inggris, Almasy-lah orangnya. Mereka mengizinkannya, dan Operation Salaam yang berani, sebutan operasi itu, diluncurkan.

Prioritas Almasy yang pertama adalah kendaraannya. Di Tripoli, ibukota Libya, dua mobil Ford Inggris yang disita, menjalani pemeriksaan yang teliti, dan disiapkan untuk perjalanan mereka mengarungi gurun. Tiga truk mengikutinya membawa perbekalan. Kemudian Almasy bertemu mata-mata Jerman, agen Eppler dan Sanstedte. Pada awal 1942, Operation Salaam siap, dan orang-orang itu berangkat.

Pengetahuan Almasy tentang Gilf Kebir-lah yang membuat misi itu berhasil. Truk-truk itu tidak mendapat kesulitan menyeberangi celah timur-barat yang ia temukan sembilan tahun lalu. Eppler dan Sandstedte diserahkan dengan selamat di Assiut pada 24 Mei 1942, setelah perjalanan yang luar biasa sepanjang 3.200 kilometer.

Perjalanan Almasy merupakan salah satu tindakan intelijen yang paling berani atas operasi militer gurun pasir Jerman; meskipun saat itu berlangsung, mereka tidak banyak memanfaatkannya. 

Tak lama setelah kedatangan mata-mata itu di Kairo, Inggris menangkap operator tanpa kabel yang telah menerjemahkan pesan-pesan mereka. Dan dengan bodohnya agen-agen itu sendiri menghambur-hamburkan uang di Kairo dan mengadakan pesta-pesta mewah. Jelas tidak sulit bagi Inggris untuk mengawasi mereka.

Almasy sendiri menghilang kembali ke gurun dan berhasil menerobos di belakang garis Italia-Jerman. Inggris tidak punya banyak kesempatan menangkapnya; pencariannya yang lama atas Zerzura membuatnya sukar ditangkap seperti halnya oasis itu sendiri yang melegenda.

 

Kemudian

Almasy selamat dari peperangan dan menulis sejumlah buku tentang petualangannya di gurun pasir. la wafat di Salzburg, 1951. Di atas makamnya ada tulisan Arab, Abu Raml atau Bapak Padang Pasir'.

Bila Anda pernah membaca novel karangan Michael Ondaatje The English Patient, atau menonton filmnya, sebagian kisah ini bisa jadi tampak tak asing bagi Anda. Sang novelis memang memakai kehidupan petualangan yang luar biasa ini sebagai gagasan, meskipun ia banyak mengubah detail. 

Katherine Clifton, kekasih Almasy dalam kisah Ondaatje, sama sekali tidak ada kesamaan dalam kenyataannya. Sebagian orang menganggap Clifton diambil dari Lady Dorothy Clayton East-Clayton, janda Sir Robert; tapi ketidaksukaan Lady Dorothy pada Almasy tampak amat nyata, dan Almasy diduga seorang homoseksual. Seperti suaminya, hidup Lady Dorothy berakhir tragis—tahun 1933 ia tewas dalam kecelakaan pesawat.

Oasis Zerzura tetap belum ditemukan.



 

" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309922/legenda-zerzura" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282324000) } } [2]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309345" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/harta-karun-di-dasar-danau_suzy-20220603061658.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Pada masa Perang Dunia II, Inggris sempat digegerkan adanya peredaran uang palsu. Masalahnya, keberadaan uang tersebut terkait dengan banyak negara." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/harta-karun-di-dasar-danau_suzy-20220603061658.jpg" ["title"]=> string(26) "Harta Karun di Dasar Danau" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:17:23" ["content"]=> string(33753) "

Intisari Plus - Pada masa Perang Dunia II, Inggris sempat digegerkan adanya peredaran uang palsu. Scotland Yard sebenarnya sudah mengetahui itu sejak lama. Masalahnya, keberadaan uang tersebut terkait dengan banyak negara.

-------------------------

Dicky Bird kebagian bertugas dalam AU Inggris di Afrika Utara dan Doha dalam PD II. Ketika perang berakhir umurnya 36 tahun. Bird pulang ke anak istrinya bulan Agustus 1945. Tidak lama kemudian ia mendapat pekerjaan di kantor pos. 

Suami-istri Bird ingat tahun 1939 mereka terpaksa menunda liburan karena perang pecah. Kini sudah tiba waktunya untuk mewujudkan rencana itu. Bird berkata kepada istrinya bahwa ia mempunyai uang untuk biaya liburan. 

Dari dasar ranselnya ia mengeluarkan sebuah tabung kecil. Dalam tabung itu melingkar erat delapan lembar uang kertas yang masing-masing bernilai 5 Ponsterling, banyak sekali untuk orang semacam Bird. 

Istrinya yang berpikiran praktis lantas menyetrika uang itu supaya rapi. 

"Taruh saja di bank," saran istrinya. “Kita tinggal memegang cek."

Ketika Bird kembali dari bank, wajahnya kelihatan risau. 

"Begitu saya mengeluarkan uang, kasir bertanya dari ana mana saya dapat uang itu," ceritanya. 

"Lantas, apa jawabmu?"

"Saya bilang, bukan urusanmu. Ia menolak memberi cek. Ia cuma menyerahkan tanda terima. Katanya, ia perlu mengecek dulu."

"Huh, memang kita maling atau pembuat uang palsu?" gerutu si istri dengan mengkal. 

Ny. Bird pun akhirnya risau. Mereka orang-orang yang polos. Reaksi kasir bank membuat mereka was-was. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres. Sore itu juga uang kertas itu tiba di C 12, yaitu sub departemen dari Cabang C(riminal) pada Scotland Yard.

Uang kertas itu dibawa ke laboratorium untuk diuji di bawah sinar ultraviolet. Sebagian kecil daripadanya, yaitu kepala Britania, dibesarkan 50 kali. Nomor dan tanda tangan pada uang kertas itu pun diteliti.

Dua hari kemudian Bird didatangi seorang inspektur detektif yang membawa salinan laporan laboratorium. Bird diminta menceritakan dari mana ia memperoleh uang itu.

"Seusai pertempuran di Cassino, Italia, kami mendengar tentara Italia setempat ingin membeli makanan dan obat-obatan, tetapi saya tidak bisa mengadakan barang-barang itu, karena tidak bertugas di bagian yang mengurusi makanan dan obat. Ternyata mereka mau membeli apa saja dengan harga tinggi.” 

“Mereka membayar dengan uang Inggris lembaran £ 5. Kebetulan saya mempunyai arloji cadangan dan teropong. Bukan barang tentara, melainkan milik saya pribadi. Saya jual barang-barang itu dan mendapat bayaran delapan lembar uang £ 5."

Bird jadi lemas ketika diberi tahu bahwa kedelapan uang pecahan £ 5 itu palsu. Namun, untung juga ia tidak dituntut karena kejaksaan menerima ratusan laporan serupa.

 

Gara-gara anjing

Kabar mengenai beredarnya ponsterling palsu sebenarnya sudah tiba ke telinga Scotland Yard sejak sebelum perang berakhir. Ada uang palsu diperoleh dari kelab malam di Istanbul, ada yang ditemukan oleh agen rahasia Inggris di Bukarest, dan ada pula yang ditemukan oleh para pengusaha Swedia. 

Seorang mata-mata Jerman yang tertangkap ketika datang ke pantai Skotlandia dengan perahu karet ternyata membawa uang palsu pula. Para tawanan perang yang berhasil kabur lewat Spanyol pun menceritakan adanya uang palsu, begitu pun atase perdagangan Inggris di Vatikan. 

Intel militer Inggris mendapat sedikit informasi dari agen-agen rahasia Inggris di Jerman dan dari orang-orang bisnis yang netral serta para tawanan perang yang berhasil kabur bahwa pengusutan uang palsu hams dilakukan di daerah Jerman bernama Sachsenhausen.

Pada suatu malam Sabtu yang gelap di musim gugur 1942, Mayor Robert Steven dijatuhkan dengan parasut di Jerman, yaitu di tempat yang sudah lebih dulu disediakan dengan saksama. Ia jatuh di tempat terbuka di selatan Oranienburg. 

Sialnya, tungkainya luka kena pagar, tetapi ia bisa mencapai hutan untuk mengubur parasut dan peralatan lain. Dengan pakaian sipil dan terpincang-pincang, ia datang ke Oranienburg. Ia kenal daerah itu, karena pernah tinggal di sana tahun 1939. 

Ia mendatangi flat seorang gadis bernama Marianne yang anti-Nazi. (Hukuman bagi orang yang membantu Sekutu ialah disiksa sampai mati).

Marianne merawat luka Steven, memberinya makan dan peta Sachsenhausen serta menggambarkan letak kamp konsentrasi. Kamp itu dikelilingi pagar kawat berduri, tembok tinggi, lampu sorot, dan para penjaga bersenjata senapan mesin. Tidak mungkin Steven masuk ke sana. Informasi harus dicari dengan cara lain.

Banyak tawanan dipekerjakan di pabrik Heinkel. Mereka berbaris ke sana setiap pagi. Beberapa di antara mereka menyelundupkan berita di luar lewat surat yang disampaikan pada kusir.

Sehari setelah tiba, Steven berhasil mendapat keterangan tertulis sebagai berikut: "Kamp Sachsenhausen 40.000 tawanan, 3.000 pengawal dari Korps Pimpinan Maut SS. Sejak akhir Juli tawanan-tawanan dari kamp-kamp lain diam-diam dibawa kemari.” 

“Mereka tenaga-tenaga terampil dalam bidang percetakan dan ahli gravir yang kini ditempatkan di Bedeng 19. Seleksi dilakukan oleh Pemimpin Pasukan Gerak Cepat SS Bernhard Kruger, yang mengepalai Amt F4 di Markas Sekuriti Jerman. Seleksi belum selesai. Tujuan tidak jelas. Sangat dirahasiakan."

Steven menunggu informasi langsung dari penghuni Bedeng 19. Namun anjing penjaga hutan menemukan parasut dan pakaian Steven yang masih berdarah segar. Beberapa jam setelah itu dilakukan pencarian di seluruh Sachsenhausen.

Seorang pengawas dari AU Jerman bernama Schultz melaporkan kenyataan yang mencurigakan. Di flat mahasiswi bernama Marianne Thomas menginap seorang pria tak dikenal yang sekali dua kali kelihatan dari jendela. Pria itu tidak pernah keluar. Gestapo menganggap keterangan itu patut diperhatikan.

Steven yang melihat kesibukan di luar segera kabur begitu hari gelap. la ketahuan dan dikejar sampai terpojok. Namun ia masih sempat lari melompati pagar. Mantelnya tersangkut dan tertinggal sebagian di pagar. Ia sempat bergayut pada sebuah truk penuh kentang dan masuk ke dalam truk itu. 

Di Frohnan truk dicegat, karena yang berwajib di Oranienburg menelepon agar kendaraan-kendaraan diperiksa. Steven mengubur dirinya dengan kentang. Ia lolos. Di Hermsdorf ia turun. Ditinggalkannya mantelnya yang robek dan bau kentang, lalu ia naik kereta api yang menuju ke Berlin. Ia lolos dari pemeriksaan di kereta dan tiba dengan selamat ke alamat yang ditujunya di Berlin.

Steven diberi seragam dan surat-surat yang diperlukan lalu dikirim dengan kereta api ke St. Malo. Beberapa malam kemudian sebuah perahu kecil menjemputnya untuk pulang ke Inggris.

 

Banjir duit

Hampir tiga tahun kemudian Inggris betul-betul kaget ketika seorang petani Austria bernama

Hans Mittelbach menemukan "lautan duit".

Pada bulan Mei 1945, Mittelbach membawa sapi-sapinya ke S. Traun di barat laut Austria. Sungai itu masih penuh salju yang mulai meleleh. Tempat yang dikunjungi Mittelbach berupa tepian yang terlindung dari arus. Sering benda-benda yang dihanyutkan air terdampar ke tepian itu. 

Hari itu tepian tampak penuh kertas. Ketika membungkuk untuk memungutnya selembar, ia hampir pingsan, karena kertas itu tidak lain daripada uang Inggris bernilai £ 5. Ia kenal uang Inggris karena pernah menjual barang pada turis-turis Inggris sebelum perang.

Cepat-cepat ia pulang memanggil istri dan anak-anaknya untuk mengumpulkan uang itu. Tadinya mereka tidak bermaksud memberitahu siapa-siapa, tetapi orang lain juga tahu dan mereka beramai-ramai "memancing duit" yang makin lama makin banyak terdampar.

Pada saat yang hampir bersamaan, Kapten Werner Hartmann, perwira intel di Amt VI (organisasi intel politik Jerman) mengendap-endap di semak-semak dekat Pegunungan Schotterberg. Ia ditemani seorang pemuda SS berumur 17 atau 18 tahun. Tujuan mereka ialah rumah kediaman pemuda itu. 

Pemuda itu ingin cepat-cepat pulang, sedangkan Hartmann yang berpengalaman itu ingin menunggu gelap dulu. Maklum Sekutu sudah berkeliaran di mana-mana. Karena pemuda itu memaksa juga, mereka setuju untuk berjalan sendiri-sendiri.

Hartmann mengambil sebuah bungkusan kecil dari ranselnya. "Hadiah kecil untukmu dan untuk keluargamu," katanya. Pemuda SS itu membuka bungkusan tersebut. Isinya £ 12.000 terdiri atas lembaran £ 5. "Saya masih punya banyak," kata Hartmann pula seraya menunjuk ranselnya yang gembung.

Mereka berpisah. Tidak lama kemudian kedua orang itu tampak oleh tentara Amerika. Pemuda SS itu mencoba kabur dan tewas diberondong senapan. Hartmann kena dua tembakan dan diangkut ke rumah sakit.

Ketika bawaan kedua korban itu diperiksa, ternyata isinya duit melulu. Untungnya sersan yang mengepalai penembakan itu bukan manusia serakah. Semua uang itu dibungkusnya lagi dan dilaporkannya kepada Kapten Henry Miller dari CIC, yaitu suatu unit intel AS. 

Hari itu juga Kapten Miller mendapat laporan mengenai banjir duit di S. Traun. Sejam kemudian ia berbicara di telepon dengan Mayor Robert Steven dari badan intel Inggris di London.

Dua puluh empat jam kemudian Mayor Steven melompat ke luar dari jip di luar losmen tempat Miller menginap. Mereka akan melacak uang palsu itu.

Kalau saja anjing penjaga hutan hampir tiga tahunan yang lalu tidak menemukan parasut dan pakaian Steven, keterangan dari Bedeng 10 akan mengungkapkan apa yang terjadi di sana. 

Inggris akan membom bedeng itu. Kalau pemboman Bedeng 19 dilakukan, mungkin tidak terjadi banjir duit di S. Traun. Namun CIC dengan cepat bisa mengungkapkan rahasia banjir duit itu.

 

Rahasia banjir duit

Apa yang terjadi sebenarnya? Ketika itu di Austria ada seorang dokter ahli sejarah Serbo-Kroat. Namanya Dr. Willi Hottl. Orang ini agak misterius. Pada tahun 1945 ia serdadu yang bertugas di Amt VI. Tidak diketahui apakah ia seorang Jerman yang tidak setuju dengan Nazi lalu mencari kesempatan untuk mengadakan perdamaian dengan Sekutu atau Jerman untuk organisasi intel Amerika, yang dikepalai oleh Allen Dulles.

Dr. Hottl bekerja di bawah Dr. Ernst Kaltenbrunner, kepala sekuriti dan wakil Himmler di Austria. Kaltenbrunner dianggap calon tepat untuk mengepalai pertahanan terakhir Nazi di pegunungan Austria Tengah. Namun Dr. Hottl diam-diam mempunyai rencana lain, la ingin mengakhiri perang secepat mungkin dan dengan korban sesedikit mungkin.

Yang membantu Hottl untuk melaksanakan maksudnya ialah Kaltenbrunner teralang datang pada suatu hari yang genting, sehingga para jenderal, pemimpin intel, maupun para pejabat sipil tidak henti-hentinya menelepon meminta perintah yang tidak kunjung tiba. Hottl memanfaatkan hal itu untuk melaksanakan kebijaksanaannya sendiri.

Hari itu seorang letnan SS bernama Hansch dengan khawatir menelepon Hottl. "Saya bertugas mengawal iring-iringan tiga truk. Sebuah truk itu patah asnya dan harus ditinggalkan di Desa Redl-Zipf. Kini sebuah truk lagi patah asnya di tepi S. Traun. Padahal isi truk sangat penting (tidak boleh disebutkan). Apa yang harus saya lakukan?"

Hari itu Dr. Hottl sangat sibuk dan ia ditunggu suatu pertemuan yang sangat mendesak. "Buang saja peti-peti isi truk itu ke S.Traun, Letnan! Lalu suruh anak buah Anda pulang," jawabnya. Pembicaraan telepon ia putuskan. Hansch mematuhi perintah pertama, tetapi tidak bisa mematuhi yang kedua, karena masih harus mengawal satu truk lagi sampai Stasiun Riset AL Jerman. Begitulah asal mulanya maka petani Mittelbach dan para tetangganya kebanjiran duit Inggris.

 

Pabrik duit dipindah-pindah

CIC dengan cepat menemukan truk no. 2 yang isinya dibuang ke S. Traun dan truk no. 1 yang ditinggalkan di Redl-Zipf. Di truk no. 1 itu ada 23 peti kayu yang berisi uang kertas sebanyak £ 21 juta. Diperkirakan jumlah yang diceburkan ke S. Traun sebanyak itu juga dan yang "terpancing" oleh penduduk cuma sebagian kecil. Truk no. 3 masih dicari.

Steven menemui kapten Jerman yang ditembak bersama-sama pemuda SS, tetapi luput dari maut, di rumah sakit. Kapten Hartmann tidak tahu berapa banyak uang palsu yang dibuat oleh Nazi untuk melemahkan uang Inggris. Uang yang tiba kepadanya ia pakai untuk membeli senjata dari para partisan di Italia dan Yugoslavia.

Steven jadi lemas. Senjata yang mereka sampaikan dengan cara menyabung nyawa pada para partisan ternyata dijual pada Jerman untuk memerangi mereka!

"Siapa otak dari operasi uang palsu itu?" tanyanya. Menurut Hartmann, otak operasi itu ada dua orang. Orang yang bertanggung jawab membuat uang palsu ialah mayor SS bernama Bernhard Kruger. Kruger memberi nama kode "Operation Bernhard" pada kegiatan ini. Ia organisator yang hebat. Orangnya menarik dan disukai semua orang. Tetapi genius yang sesungguhnya di belakang semua itu adalah distributor uang palsu bernama samaran Wendig.

Steven kebetulan tahu bahwa Wendig itu tidak lain daripada Fritz Schwend. Steven beranggapan yang paling penting sekarang ialah menemukan pelat-pelat yang dipakai untuk membuat uang palsu yang hampir sempurna itu.

Hartmann ternyata tahu cukup banyak. Menjelang akhir perang, pabrik duit dipindahkan dari

pinggiran Berlin ke pelbagai gua yang dalam dekat Redl-Zipf. 

Para pengusut pun cepat-cepat pergi ke gua-gua itu, tetapi buronan mereka sudah kabur menggondol pelat-pelat dan uang kertas palsu. Yang ditinggalkan cuma potongan-potongan mesin cetak yang berat. Bahkan tanda-tanda pembuatan uang palsu pun sudah dilenyapkan.

Steven berpikir, ia perlu bantuan. Didatangkanlah satu tim pengusut berpengalaman. Di pihak Jerman gagasan membuat uang palsu sebagai senjata perang, datang dari Reinhard Heydrich, ketika itu orang kedua setelah Himmler dalam pimpinan polisi rahasia. Selain Heydrich, tokoh kedua dalam gagasan pemalsuan itu ialah perwira SS bernama Alfred Helmut Naujocks.

Sepintas lalu terkesan bahwa membuat uang palsu merupakan kejahatan yang paling mudah dan aman, tetapi kenyataannya tidak demikian. Juga tidak kalau yang melakukannya suatu bangsa yang teknologinya maju. 

Yang paling sulit ialah menemukan kertas yang tepat. Dalam hal ini, Jerman memperolehnya dari salah satu pabrik kertasnya yang paling besar dekat Brunswick. Bahan linen untuk kertas itu diambil dari Turki.

 

Dari barang rombengan

Celakanya, walaupun bahannya sama dan proses pembuatannya juga sama, hasilnya tidak

kelihatan sama. Tidak seorang pun tahu mengapa. Uang yang asli kelihatan segar berkilat. Uang yang palsu kusam dan "mati". Apakah orang Inggris membubuhkan zat  kimia tertentu pada bubur kertasnya?

Para ahli kertas mencari-cari jawaban dari buku-buku Inggris mengenai teknik pembuatan kertas, tapi tidak ada. Akhirnya, ketahuan juga: uang Inggris bukan dibuat dari linen bam, melainkan dari linen bekas. Jadi, unsur yang kurang adalah kotoran!

Kini Jerman mengotorkan bahan pembuat uang itu. Hasilnya memuaskan. Setelah sembilan bulan menyiapkan kertas, pada pertengahan tahun 1940 kertasnya siap. Langkah selanjutnya ialah menemukan pencetak. Tugas itu dibebankan pada August Petrich.

Yang disuruh membuat uang palsu adalah orang-orang Yahudi pilihan dari kamp konsentrasi. Sebagai pencetak uang, orang-orang itu lebih enak hidupnya daripada rekan-rekannya. Cuma saja mereka tidak dibiarkan keluar dalam keadaan hidup, supaya rahasia tidak bocor.

Ternyata pada tiga bulan pertama, tiga perempat uang yang sudah dicetak harus diafkir. Namun kemudian mereka lebih ahli. Sedikit demi sedikit, tetapi secara terus-menerus, dihasilkan uang pecahan £ 5 yang hampir sempurna.

Sampai tahap itu kelihatannya semua berjalan baik. Tahu-tahu Heydrich menjungkalkan Naujocks dari kedudukannya, karena pria itu merekam percakapan antara Heydrich dan pelacur di tempat pelacuran mewah yang dijalankan oleh "Kitty" di dekat Berlin. 

Beberapa pejabat tinggi Amt VI juga ikut dipindahkan, termasuk Dr. Willi Hottl, yang telah kita temui pada awal cerita ini. Hottl disingkirkan ke pelosok di Serbia Selatan. Namun, Heydrich pun tewas bulan Mei 1942.

Operasi uang palsu tetap dijalankan. Uang itu perlu diuji.

Semua asli!

Pada musim panas tahun 1942 itu agen Amt VI bernama Rudi Rasch yang berbekal paspor palsu dan koper berisi uang palsu, berhasil menukarkan uang tanpa kesulitan di pelbagai bank Italia dan Swis. 

Suatu hari ia pergi ke Vaduz, Liechtenstein. Entah karena terlalu percaya diri, entah karena hal lain, ia menelepon Bank Nasional Swis untuk meminta bank itu agar uang pecahan £ 5 yang tersisa padanya sebanyak 500 lembar diperiksa. 

Uang itu dikirim dengan pos tercatat. Bank di Swis itu melaporkan: semuanya asli. Rasch yang enak-enak beristirahat di Hotel Metropole merasa bangga. Ia menelepon lagi. "Coba minta Bank of England memeriksa nomor dan tanggal pengeluarannya," pintanya. Bank of England juga menjawab: asli.

Rasch tidak tahu akibat perbuatannya yang gegabah itu, Bank Zurich merasa curiga karena Rasch meminta mereka mengecek uang kertas £ 5 itu berulang-ulang. Mereka memeriksa lagi dengan lebih teliti. 

Empat ratus sembilan puluh empat uang kertas itu memang buatan kemudian, yang luar biasa halusnya. Namun yang enam lagi buatan terdahulu, zaman Naujocks masih berkuasa. Keenam lembar "uang Naujocks"itu dikirim ke London oleh Bank Zurich.

Keesokan malamnya, dua anggota polisi Liechtenstein mendatangi Hotel Metropole dan memberi tahu Rasch bahwa ia ditahan. Kamarnya digeledah dan di sana ditemukan koper penuh frank Swis, lira Italia, dan mark Jerman.

Bank of England menghubungi Scotland Yard. Ketika itu Bank of England tidak risau, karena keenam uang palsu itu kurang baik buatannya. Namun Scotland Yard risau, karena kini diketahui ada dua macam uang £ 5 palsu: yang sangat halus buatannya dan yang buruk. Kedua-duanya dari luar.

Sebulan sebelumnya seorang mata-mata Jerman ditangkap di pantai Skotlandia. Dalam perahu karetnya ditemukan koper penuh uang £ 5. Ketika diperiksa di laboratorium, ketahuan uang itu palsu, tetapi buatannya sangat halus, tidak memperlihatkan kesalahan yang dibuat pemalsu. 

Artinya, Jerman berhasil membuat uang palsu yang makin lama makin tidak kentara kepalsuannya. Apa yang terjadi kalau akhirnya mereka berhasil membuat uang palsu yang sama dengan yang asli? 

Fritz Schwend, otak penyebaran uang palsu, mendapat laporan bahwa Rasch ditangkap. Ia lantas bertanya,. "Bisakah Liechtenstein yang kecil itu lap supaya tutup mulut?" 

Namun Kaltenbrunner mempunyai kebijaksanaan lain. Ia memerintahkan agar semua uang Bernhard yang tersisa dan pelat-pelatnya dimusnahkan. Produksi hams dihentikan.

Rasch anehnya tidak khawatir. Cuma enam lembar dari uangnya palsu, katanya. Mestinya diberi oleh orang yang punya niat buruk kepadanya di Jerman. Kalau ia bersalah, mengapa dia berulang-ulang meminta uangnya diperiksa? Ia dilepaskan dan boleh pergi membawa uang asingnya yang lain. Rasch kembali ke Jerman dengan harapan disambut sebagai pahlawan. Ternyata malah sebaliknya.

 

Dikerjakan 140 karyawan ahli

Schwend tidak bisa menerima perintah penghentian Operation Bernhard yang menghasilkan begitu banyak uang asli dan barang- barang berharga lain bagi mereka. la berhasil meyakinkan Kaltenbrunner atau lebih tepat menggugah keserakahan Kaltenbrunner akan manfaat Operation Bernhard. Kegiatan itu pun diteruskan, bahkan dipergiat.

Bedeng 19 dirasakan sudah terlalu sempit. Bedeng 20 dikosongkan untuk tempat mesin-mesin baru. Dari 40 orang pekerja, kini mereka menambahnya menjadi 140 orang. Petrich diganti dengan orang yang lebih mampu. Para tahanan merasa bangga bisa menghasilkan karya sehalus uang palsu itu. Mereka selalu berusaha untuk membuat hasil yang lebih baik lagi.

Pada suatu hari, Kruger yang kini sudah ahli betul dalam mencari kekeliruan dalam uang palsu, datang ke bedeng. Kepadanya diserahkan 10 lembar uang, 9 palsu, satu asli. la diminta mencari yang asli. 

Kruger yang ahli itu membandingkan uang itu sampai ke hal yang sekecil-kecilnya dan tidak berhasil menentukan mana yang asli. Peristiwa itu dirayakan dengan bir, minuman keras lain, sosis, rokok, dan nyanyian.

"Bisakah kalian menghasilkan sejuta lembar uang kertas yang sempurna sebulan?" tanya Kruger. Semua tahanan menjawab, "Jawohl." Namun, hal itu tidak terlaksana.

Tahanan bernama Oskar Stein menjadi pemegang buku yang mencatat setiap lembaran uang kertas yang keluar. Fayerman bersaudara, bekas bankir di Warsawa, menyeleksi uang. Uang yang digolongkan kelas satu halusnya, dibekalkan pada agen-agen yang beroperasi di negara-negara lawan. 

Uang yang tergolong kelas dua untuk membeli senjata dan partisan. Kelas tiga cuma dipakai untuk hal-hal yang tidak begitu penting.

 

Menantu Mussolini tersandung uang palsu

 

Menantu Mussolini, Count Ciano yang dibenci Hitler itu, berhasil digulingkan dari kedudukannya berkat uang palsu. Agen Jerman menyogok pelayannya dengan ponsterling palsu, agar melaporkan kata-kata Ciano yang menyinggung mertuanya kepada sang mertua.

Schwend yang terluka di Italia setelah Italia melakukan gencatan senjata dengan Sekutu, menyogok seorang dokter Italia dengan £ 1.000 uang palsu. Sebagai imbalan, dokter itu tutup mulut, merawat lukanya, memberi seragam tentara Italia, dan menaikkannya ke truk penuh tentara Italia yang luka untuk dibawa ke Fiume. Di sana ia menyogok perawat, sehingga bisa kabur sebagai Mayor Wendig.

Agen-agennya disebar di Italia untuk menukarkan senjata dengan uang lembaran £ 5. Uang pon lebih populer daripada uang lira Italia sendiri. Senjata yang diperoleh dari barak-barak di Italia Utara itu bukan cuma bertruk-truk, tetapi bergerbong-gerbong kereta api, sehingga cukup untuk mempersenjatai dua divisi.

Schwend ingin mengirimkan uang ke Afrika Utara, tempat ponsterling bisa ditukarkan dengan dolar dalam perdagangan. Ia menyewa kapal pesiar Columbus. Kapal itu sengaja cuma disewa, bukan dibeli, supaya tetap terdaftar sebagai milik orang lain. Jadi, Columbus bisa berlayar di bawah bendera Swedia dan bisa masuk ke pelabuhan-pelabuhan netral.

Schwend mengubah bagian dalam kapal untuk memungkinkan penyembunyian uang palsu. Uang Bernhard pun mengalir ke luar dan uang dolar, frank, lira, crown, dinar, real, peso, mengalir masuk. Pernah juga Kapten Petersen (nama samaran) menerima uang ponsterling di Barcelona. Dikiranya asli, ternyata uang Bernhard yang pulang kandang!

Schwend yang sama serakahnya dengan atasannya tidak keberatan ketika sang atasan meminta agar bukan cuma lembaran £ 5 yang dipalsukan, tetapi juga lembaran dua puluhan dan lima puluhan. Kruger sebaliknya, sangsi. Tetapi perintah tetap perintah. 

Dibuatlah pelat-pelat di Institut Kimia Grafis di Friedenthal. Seorang pengawal bernama Schumann diminta mengambilnya, tetapi ia mampir dulu ke rumah seorang wanita dan menginap di sana. Ternyata koper berisi pelat-pelat berharga yang dibawa Schumann hilang akibat perbuatan itu. Schumann dihukum mati.

Schumann pengawal yang toleran dan tahanan suka kepadanya. Setelah ia diganti, hasil pekerjaan tahanan ternyata tidak sebaik sebelumnya. Entah mengapa.

Sementara itu di Bedeng 19 dan 20, dibuat pula dolar palsu. Bulan Januari 1945 lembaran-lembaran uang ratusan dolar yang pertama sudah berhasil dicetak. Namun, Jerman yang terdesak hams memindahkan percetakannya ke Selatan menuju Austria. 

Di Mauthausen 140 penghuni kamp konsentrasi duduk sepanjang hari tanpa pekerjaan. Mereka sudah tidak berguna lagi sekarang. Artinya, hidup mereka pun sudah dekat berakhir. Kemudian Kruger datang untuk mengumumkan kepada tahanan yang setengah beku, setengah kelaparan, dan setengah mati ketakutan itu bahwa mereka akan dipindahkan. 

Mereka diangkut dengan kereta api ke Redl-Zipf, yaitu sebuah desa di selatan Linz. Mereka masuk ke lorong-lorong gua tempat mesin-mesin pencetak uang ditaruh. Uang dolar palsu yang tidak keburu diedarkan pun ada di sini. Produksi uang berjalan lagi.

Bulan April Sekutu menyeberangi S. Rhein di Barat. Di Selatan Sekutu bergerak lebih cepat lagi menuju ke Austria Selatan. Berminggu-minggu Letnan Hansch yang mengawal tahanan itu tidak menerima perintah apa-apa. Tahu-tahu Kruger muncul dengan perintah yang rasanya tidak masuk akal. "Hancurkan semua." Para tahanan pun insaf: Operasi Bernhard

sudah berakhir. Ajal mereka sudah dekat.

 

Maut bagi pencari harta karun

Ketika tentara Amerika makin mendekat lagi, Hansch menghancurkan mesin-mesin dan membakar tumpukan kertas bagus yang bertali air dan juga uang palsu kelas tiga. Dalam waktu tiga jam semua beres. Tetapi Sekutu sangsi pelat-pelat bisa hancur. Ke mana benda itu sekarang?

Lebih dari 60 peti yang penuh dengan uang kertas £ 5 kelas satu ditaruh Hansch di dalam gua. la mencari tiga truk tentara yang dimuatinya masing-masing dengan kira-kira 20 peti, lalu ke suatu tempat tujuan di Austria. Kita sudah tahu nasib ketiga truk berisi uang itu.

Schwend yang menjadi kaya raya akhirnya menyerah pada tentara pendudukan. la membeli kebebasannya dengan hartanya. Tentara AS yang menangkapnya tidak tahu bahwa ia orang penting. Schwend masih memiliki harta lain yang dibawanya kabur ke Amerika Selatan. 

Beberapa tahun kemudian wartawan Der Stern berhasil menemuinya di Peru. Kita tahu bahwa truk no. 3 yang memuat peti-peti berisi uang ponsterling palsu berhasil tiba dengan selamat di Stasiun Riset AL Jerman. Di situ truk tersebut menginap semalam. Keesokan harinya semua truk di tempat itu diambil serdadu Amerika.

Namun ke mana 20 peti besar berisi uang palsu itu? Penduduk daerah itu apabila ditanyai selalu memberi keterangan yang saling bertentangan. Tetapi ada keterangan yang bisa diterima: sejumlah peti itu diangkut oleh manusia ke tepi danau, lalu dibawa ke tengah, dan diceburkan ke air.

Sesudah perang usai, pada bulan Maret 1946 dua mayat pendaki gunung ditemukan di kaki batu karang yang hampir vertikal di tepi Danau Toplitz. Tadinya dikira kecelakaan biasa. Kemudian timbul pertanyaan: Betulkah demikian? Soalnya, terungkap bahwa mereka berdua dulu bekerja di stasiun riset dan ada orang ketiga tampak bersama mereka.

Bulan Agustus 1950 seorang pria bernama Gerkens jatuh dari Reichenstein di tepi timur Danau Toplitz. Temannya, Dr. Keller, berhasil diselamatkan, tetapi tidak bisa memberi keterangan yang meyakinkan mengapa Gerkens yang tidak punya pengalaman naik gunung bisa berada di sana. Kedua orang itu pun pernah bekerja di stasiun riset.

Lalu terjadi lagi kecelakaan akibat badai salju yang menimpa dua dari tiga orang turis yang mendatangi tempat itu. Turis yang selamat tidak bisa menceritakan ke mana dua temannya yang katanya lenyap. Berbulan-bulan kemudian dua orang itu ditemukan dalam semacam gubuk es, tetapi sudah menjadi mayat. 

Seorang di antaranya dimakan teman yang kelaparan, karena dekat mereka bertumpuk makanan. Apakah mereka berebut peta dan yang seorang menelan peta tempat harta karun tergambar, sehingga temannya yang serakah membedah perutnya? Kemudian terjadi kecelakaan pesawat kecil di tempat itu. Pilotnya tewas. Untuk apa pilot itu ke sana?

Wartawan Der Stern Wolfgang Lohde juga bertanya-tanya mengapa Dr. Determann, mantan kepala Stasiun Riset AL Jerman, sering berada di Danau Toplitz.

Lohde ingat, AL Amerika pernah kehilangan seorang penyelam dalam usaha membuktikan bahwa 20 peti dari truk Letnan Hansch benar-benar diceburkan ke danau. Lohde dengan uang dan peralatan yang diberikan oleh majalahnya kemudian mengadakan operasi pencarian harta karun. 

Tanggal 13 Juli 1959 untuk pertama kalinya sebuah peti berhasil dikail. Ketika tiba di permukaan air, tutupnya lepas dan dari dalamnya berhamburan uang £ 5. Peristiwa itu diabadikan dengan berani oleh awak televisi. 

Peti demi peti diangkat. Uang palsu itu segera diserahkan pada Bank of England dan Scotland Yard untuk dimusnahkan. Ternyata setiap peti diberati dengan jangkar dan ditenggelamkan, bukan untuk dimusnahkan, tetapi untuk disimpan dengan hati-hati dan beraturan letaknya. Tentu dengan harapan sekali waktu akan diangkat lagi.

(Michael Gilbert)

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309345/harta-karun-di-dasar-danau" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654280243000) } } [3]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304495" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/mayat-terpotong-potong-di-bawah-20220603021055.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Sekelompok pekerja menemukan sisa-sisa jenazah di gedung yang terkena bom saat Perang Dunia Kedua, namun jenazah itu bukan korban bom perang. " ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/mayat-terpotong-potong-di-bawah-20220603021055.jpg" ["title"]=> string(38) "Mayat Terpotong-potong di Bawah Gereja" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:11:17" ["content"]=> string(40154) "

Intisari Plus - Sekelompok pekerja menemukan sisa-sisa jenazah di gedung yang terkena bom saat Perang Dunia Kedua. Tulang-tulang itu pun diperiksa dan hasilnya menunjukkan bahwa jenazah itu bukan korban bom perang.

-------------------------

Hari Jumat, 17 Juli 1942, sewaktu PD II sedang berkecamuk, sekelompok pekerja bekerja keras di bawah sinar matahari musim panas yang terik, membersihkan gedung yang kena bom di Kennington Lane 302, London.

Salah seorang di antara mereka mencungkil sebuah batu hampar dengan beliungnya dan di situ, di bawah batu itu, tergeletak sisa-sisa sebuah jenazah. Pekerja itu tidak terkejut sama sekali. 

Kerangka itu disangkanya hanya jenazah seorang korban serangan udara lama atau kerangka dari pemakaman tua itu. Mereka sedang bekerja di ruang bawah tanah yang berdampingan dengan pekuburan lama.

Ia tidak membuat ribut-ribut, ia hanya membungkuk untuk memunguti tulang-tulang berserakan itu: bagian-bagian lengan dan kaki sudah tak ada, tengkorak kepala menggelinding waktu dipindahkan. 

Ia menaruh sisa itu pada suatu sisi selama ia dan rekan-rekannya menyelesaikan pekerjaan membersihkan tanah sekitarnya. Kemudian mereka minum-minum di rumah minum, sehingga baru pada sore harinya mandor mereka melaporkan penemuan itu kepada pemeriksa mayat.

 

Korban serangan udara

Keesokan harinya petugas kantor pemeriksa mayat itu menelepon dr. Keith Simpson, ahli patologi terkemuka di London. "Ada tugas autopsi untuk Anda, Pak. Masih ada beberapa kerat tulang belulang tua, sisa-sisa korban serangan udara lama. Pemeriksa mayat ingin Anda melihatnya sebentar setelah autposi itu, meskipun agaknya bukan apa-apa." Waktu itu hari Sabtu.

Waktu Keith Simpson tiba, mayat yang harus dibedah sudah siap. West, petugas kamar mayat, berdiri di dekat meja samping. Ia mencoba untuk memperbaiki keadaan sebuah bungkusan besar kertas coklat yang sangat tidak rapi. 

"Apa itu, West, tulang-tulang tua itu?" 

"Ya, Pak. Tulang-tulang tua, nampaknya agak mencurigakan, saya kira." 

"Akan saya tengok sebentar, tetapi marilah kita selesaikan autopsi ini dulu."

Baru saja autopsi itu selesai, datanglah Inspektur Detektif Hatton, diikuti oleh Inspektur Detektif Keeling. Harton yang bertubuh tinggi besar dan wajah bundar selalu menuntut ‘fakta-fakta nyata’. Pada waktu itu ia sedang menangani masalah perdagangan gelap dan pernah mengatakan bahwa ia berharap setumpuk tulang tua itu milik seorang korban serangan udara atau jenazah lama dari pemakaman. Ia mengatakannya dengan terus terang. 

Keeling tak memberikan komentar apa-apa. Keeling seorang yang tekun, tenang, dan dengan penuh minat ia memperhatikan Simpson melepaskan ikatan bungkusan kertas berwarna coklat itu ....

Jenazah itu ... kalau orang boleh menyebutnya sebagai jenazah, sebenarnya tak lebih dari kerangka yang tak lengkap dengan sedikit jaringan kering yang masih melekat. Tengkorak sudah lepas dari tubuhnya. 

Pada pemeriksaan pertama itu dr. Simpson tak bisa menyimpulkan lain kecuali jenazah itu merupakan sisa-sisa dari seorang yang meninggal sejak 12 - 18 bulan lalu, berkelamin wanita, sebab masih ada sisa-sisa rahimnya. Tubuhnya begitu kecil, sehingga ia menambahkan bahwa mungkin jenazah seorang gadis atau wanita muda. 

Ia minta agar jenazah itu boleh dibawa ke Guy's Hospital, agar bisa dikerjakan dalam waktu luangnya, karena usaha untuk merekonstruksikannya akan memakan waktu cukup lama. West membawanya ke tempat yang diminta.

 

Menghilangkan identitas

Senin berikutnya Simpson mulai menggarapnya. Simpson melepaskan tali pengikat bungkusan dan semua yang hadir memandangi benda yang telah kering dan mengerut itu. 

Mayat jika diperiksa dengan cara-cara ilmiah modern bisa ‘berbicara’, bahkan berbicara banyak, tetapi tampaknya seakan-akan memerlukan suatu mukjizat mengorek keterangan sedikit dari yang satu ini.

Yang pertama dilakukan ahli patologi itu ialah menukar bungkusan kertas dengan sehelai kain putih. Sambil mengerjakan itu ia berkata, "Kemungkinannya memang tidak lain dari seorang korban serangan udara, tetapi bagaimanapun ia akan memberikan saya suatu usaha untuk menarik rekonstruksi dan pekerjaan waktu luang yang menyenangkan.”

Senin petang itu, waktu para karyawan lain pulang, Simpson masih sibuk membersihkan tulang-tulang itu dengan cabikan kain. Keesokan harinya rupanya sudah jauh lebih baik, setelah dibersihkan dari tanah dan sisa-sisa jaringan, kelihatannya lebih mungkin mengungkapkan sesuatu. 

Dr. Simpson mengatakan bahwa kerangka itu agaknya bukan korban serangan udara biasa. Misalnya tengkorak sengaja dipisahkan dari tubuhnya dengan rapi. Rahang bawahnya tak ada, tetapi tak ada jaringan kulit kepala yang melekat, kecuali secarik kecil di belakang kepala. 

Ledakan bom tidak membuat kulit kepala terkelupas seperti itu. Tak ada sedikit pun jaringan wajah yang tertinggal. Bagian bawah lengan dan kaki hilang. Pemotongan itu tidak sesuai dengan cacat yang disebabkan oleh kejatuhan puing; ujung kaki atau lengan bisa saja terpotong, tetapi tidak diceraiberaikan. 

Akhirnya, masih ada tanda bekas terbakar pada kepala yang menurun ke sisi kiri tubuh dan pada kedua lutut.

Apakah ini sisa korban pembunuhan dengan usaha untuk melenyapkan mayat, di samping untuk menghilangkan identitas korban, dengan memancung kepalanya, melepaskan semua jaringan wajah dan kulit kepala, membuang rahang bawah, memotong tangan dan kaki, lalu kemudian membakarnya? 

Kalau begitu, pekerjaan itu dilakukan secara sembrono, sebab mayat merupakan barang yang sulit dipotong-potong oleh orang yang tak berpengalaman.

 

Penderita tumor 

Keith bertekad untuk berusaha sekuatnya mengetahui sampai seberapa sisa itu bisa mengungkapkan identitasnya. la mulai dengan menentukan tinggi wanita itu sewaktu masih hidup dengan rumus Pearson: sebuah rumus matematika yang diterapkan pada salah sebuah tulang panjang tubuh. 

Tulang satu-satunya yang terpakai di sini ialah humerus, tulang lengan atas. Menurut perhitungan itu almarhumah sewaktu hidup tingginya sekitar 151 cm.

Berikutnya adalah mengetahui umurnya. Ini dilakukan dengan membuat foto sinar X dari sambungan-sambungan tulang. Sambungan tulang pada langit-langit menentukan, umur wanita itu antara 40 - 50 tahun.

Pemeriksaan atas sekerat kecil kulit kepala yang masih menempel pada bagian belakang kepala menunjukkan bahwa ia mempunyai rambut coklat tua yang mulai beruban. Sedangkan pemeriksaan atas sisa rahim menunjukkan ia menderita tumor fibroma. 

Jadi, sekarang diketahui bahwa kerangka itu merupakan sisa jasad seorang wanita berumur antara 40 - 50 tahun, tingginya sekitar 151 cm, berambut coklat tua yang beruban, dan menderita tumor fibroma pada rahim. Dia sudah meninggal antara 12 - 18 bulan lalu.

Sementara itu Inspektur Keeling mengetahui bahwa istri seorang bekas penjaga kebakaran bernama Harry Dobkin, beralamat di Kennington Lane 302, persil tempat ditemukan kerangka itu, telah hilang selama 15 bulan. Keeling mempunyai firasat bahwa kerangka yang berada di Gordon Museum itu Ny. Dobkin.

Dr. Simpson menguraikan perincian tinggi badan, umur, dan sebagainya kepada Inspektur Keeling dan mengungkapkan dugaannya sendiri bahwa kerangka itu memang mungkin korban kejahatan. 

Keeling tak berani berharap terlalu banyak, tetapi bagaimanapun ia bergegas untuk berusaha mengecek fakta-fakta itu dengan identitas sebenarnya Ny. Dobkin yang dinyatakan hilang. Ia segera menemui adik Ny. Dobkin, yang 15 bulan lalu melaporkan hilangnya sang kakak kepada polisi.

Dengan berusaha menekan rasa tegangnya, dr. Simpson menyatakan kepada pembantunya, "Andaikata ia betul Ny. Dobkin dan kita berhasil merekonstruksikannya, ini akan menjadi kasus klasik, kasus yang muncul hanya sekali dalam hidup kita. Tetapi agaknya kita berharap terlalu banyak. Barangkali juga ia tak lebih daripada korban serangan udara ...."

 

Ny. Dobkin menghilang

Sementara itu Keeling memperoleh keterangan bahwa Ny. Dobkin menghilang 15 bulan yang lalu, tinggi badannya sekitar 152,5 cm, berumur 47 tahun, rambutnya coklat tua yang mulai menguban. 

Ia pernah dirawat di RS London karena tumor rahim, tetapi menolak untuk dioperasi. Semua keterangan itu cocok dengan data yang didapat Simpson dari pemeriksaan atas sisa kerangka itu.

Kennington Lane 302 adalah rumah tak dihuni, yang sebagian disewakan untuk toko kertas dan di situ Harry Dobkin pernah bekerja sebagai penjaga kebakaran. No. 304 yang terletak di sebelahnya adalah sebuah gereja Baptis yang rusak kejatuhan bom dan kerangka itu ditemukan di dalam ruang bawah tanah di belakang gereja itu.

Gereja kecil itu merupakan tempat yang cukup mengerikan, dirusakkan oleh ledakan dan kebakaran. Ruang bawah tanah itu tadinya tertimbun oleh ruang gereja yang runtuh, tetapi puing-puing itu telah dibersihkan, sehingga ruang bawah tanah itu kini ada di udara terbuka. 

Tak ada apa-apa di ruang itu, kecuali batu hampar yang menutupi tempat penemuan kerangka dan sebuah peti kayu lapuk, yang mungkin merupakan tempat menyembunyikan jenazah sementara.

Adik Ny. Dobkin, Nn. Dubinski, melaporkan kepada polisi bahwa kakaknya tinggal terpisah dari suaminya, Harry Dobkin. la selalu harus mendesak suaminya agar membayar kekurangan uang tunjangan bulanan yang diberikan. 

Tanggal 11 April 1941 Ny. Dobkin mengatakan kepada adiknya bahwa ia akan menemui Dobkin lagi, diduga untuk menagih kekurangan itu lagi. Setelah makan siang dengan ibu dan adiknya di flat mereka, Ny. Dobkin keluar dan tak pernah terlihat lagi oleh mereka. 

Tetapi pada sore itu, pukul 18.30, ia terlihat sedang minum teh dengan Dobkin di sebuah kafe di Dalston. Mereka meninggalkan kafe itu bersama-sama. Setelah itu tak ada yang bertemu lagi dengannya.

Keesokan harinya, 12 April, tasnya ditemukan orang di Kantor Pos Guilford. Tas itu berisi KTP, buku-buku jatah makanan, buku sewa. 

Kehilangan itu sangat berarti baginya, tetapi dia tak pernah berusaha untuk mengambil kembali tas itu. Waktu itu polisi berpendapat bahwa Dobkin sendiri yang menaruh tas itu di kantor pos dalam usaha mengelabui polisi.

 

Kebakaran di gereja 

Pada pukul 17.00 hari itu Nn. Dubinski melaporkan kehilangan kakaknya kepada polisi di pos Commercial Road. Ia bersikeras bahwa kakaknya menderita sesuatu akibat perbuatan jahat Dobkin. 

Di masa lalu Ny. Dobkin sering diperlakukan dengan kekerasan oleh suaminya. Dobkin diwawancarai oleh bagian reskrim pada tanggal 16 April. Ia membuat pernyataan bahwa ia menemui istrinya pada tanggal 11 April. Katanya, setelah meninggalkan kafe di Dalston, istrinya naik bus ke arah timur dan sejak itu tak pernah muncul lagi. 

Ia mengira wanita itu kehilangan ingatannya, lalu tersesat. Ia menambahkan bahwa sekalipun istrinya tahu alamatnya di Kennington Lane, tempat ia bekerja sebagai penjaga kebakaran, istrinya tak pernah menjenguknya di situ.

Empat malam setelah Ny. Dobkin menghilang secara misterius, pada malam tanggal 15 - 16 April terjadi kebakaran di ruang bawah tanah gereja Baptis. Malam itu tak ada serangan udara, maka bom bakar harus dikesampingkan, lagi pula tak ada bahan yang mudah terbakar dalam ruang itu.

Menurut Dobkin, kebakaran mulai pada pukul 01.30, tetapi ia tak memanggil pemadam kebakaran. Ia juga tak berusaha memadamkan api. Pukul 03.23, seorang agen polisi lewat melihat api, lalu memanggil barisan pemadam kebakaran. 

Dobkin ada di situ, sangat kebingungan. Waktu itu apinya besar, meskipun tak ada keraguan bahwa Dobkinlah pencetusnya, kebakaran itu agaknya menjadi jauh lebih besar daripada yang dikehendakinya. 

Pemadam kebakaran tidak memeriksa persil itu sewaktu mereka memadamkan kebakaran.

 

Pak pendeta curiga

Pada pukul 05.00 pendeta gereja, Burgess, tiba. la turun ke ruang bawah tanah, tempat api mulai berkobar. Dobkin sudah bebas tugas dan pendeta itu menemukan sisa-sisa kasur jerami dalam ruang yang terbakar itu. 

Padahal tadinya di sana tak ada kasur apa pun. Lagi pula tampaknya kasur itu dicabikkan dan jerami pengisinya ditebarkan dalam timbunan kecil-kecil di lantai ruang itu. Pendeta Burgess melaporkan hal itu kepada pemadam kebakaran.

Pukul 14.00 ia kembali mengunjungi tempat kebakaran. Selama waktu antara kedua kunjungan itu tampaknya ada orang lain turun ke ruang bawah tanah. Ceceran jerami telah dirapikan dan sebuah garpu kebun ditinggalkan di tempat itu. 

Sekarang karena merasa sangat curiga, Burgess datang lagi pukul 19.00 untuk bercakap-cakap dengan Dobkin, yang pada waktu itu sudah bertugas lagi. Dobkin tak memberikan laporan jelas tentang terjadinya kebakaran itu. Ia juga tampak mudah terkejut. 

Ia menasihati Burgess agar tidak turun ke bawah, sebab berbahaya. Dia sendiri pernah turun ke situ dan keadaannya cukup gawat. Burgess merasa sama sekali tidak puas dengan percakapan itu dan mencurigai Dobkin sendiri yang menimbulkan kebakaran itu. Ia hanya menuliskan kecurigaannya dalam catatan hariannya.

Ciri-ciri wanita yang hilang itu diedarkan dalam Police Gazette beserta fotonya. Nn. Dubinski sendiri mengirim sebuah foto dan lukisan diri kakaknya kepada Surat Kabar New of the World sampai tiga kali, tetapi sia-sia belaka. 

Sementara itu Inspektur Davis dan Sersan Dawes memeriksa gereja itu sampai tiga kali. Mereka menemukan sesuatu yang menarik. Di ruang bawah tanah itu mereka menemukan sebuah lubang yang baru digali, seperti liang kubur dangkal, tetapi lubang itu kosong. Apakah lubang itu tadinya pernah dimaksudkan untuk mengubur Ny Dobkin?

Sersan Dawes memeriksa tempat itu sambil merangkak sampai lutut celananya rusak, tetapi ia tak menemukan apa yang dicarinya. Dobkin minta berhenti sebagai penjaga kebakaran pada tanggal 20 Mei. 

Polisi yang tak berhasil menemukan sesuatu, dengan segan menghentikan pengusutan dan perkara tersebut dilupakan sampai hari Jumat yang terang pada musim panas itu, ketika para pekerja mencungkil batu hampar itu. 

Kemudian polisi memeriksa secara intensif tempat penemuan kerangka itu atas saran dr. Simpson. Gagasan Simpson adalah sebagai berikut: para pekerja pada hari mereka menemukan jenazah itu memindahkan puing dari ruang bawah tanah, lalu menimbunnya di kuburan lama. 

Mungkin saja timbunan besar itu masih mengandung bagian-bagian tubuh lain; berbagai petunjuk identitas yang penting, seperti rahang bawah yang tak ditemukan pada tengkorak, tulang tangan atau kaki. Maka puing sebanyak 3 ton itu harus disaring.

 

Rekonstruksi wajah Ny. Dobkin

Sayang sekali jerih payah para petugas itu mengecewakan hasilnya. Yang muncul dalam penyaringan itu sejumlah besar tulang domba, kelinci, tumit sepatu dari logam, kancing logam tua, jepit rambut, gerabah bekas pot bunga, dan tak ada apa-apa lagi.

Pada saat itu hanya ada sedikit keraguan bahwa Dobkin membunuh istrinya dan menyembunyikan jenazahnya di bawah batu hampar di ruang bawah tanah gereja Baptis itu. Sebelumnya ia memotong dan menyayat bagian-bagian tertentu, lalu mencoba menghilangkan jejak dengan membakarnya. 

Polisi belum mempunyai bukti cukup kuat untuk menyeretnya ke pengadilan dengan tuduhan membunuh. Identitas sisa jasad itu harus dipastikan dan sebab kematian harus ditentukan. Dobkin membunuh istrinya, tetapi bagaimana? Tampaknya untuk membuktikan hal itu akan mustahil.

Belakangan Keeling menelepon kantor dr. Simpson untuk mengatakan bahwa ia mempunyai potret Ny. Dobkin. Dinilai dari foto itu nyonya tersebut memang agak loyo, lesu, tak bersemangat. Tapi bagaimanapun untuk foto di masa liburan ini dia berhasil memperlihatkan senyum hambar. Dr. Simpson senang memperoleh potret itu.

Sebuah foto tengkorak itu diambil dari depan dan di atasnya, dicetaknya foto almarhumah semasa hidup itu, ternyata keduanya cocok.

Bukti tambahan itu tidak cukup untuk memastikan identitas secara tak terbantah. Pembuktian final terletak pada rahang atas. Inspektur Keeling berusaha melacak dokter gigi yang pernah merawat gigi Ny. Dobkin. Akhirnya, ia berhasil menemui drg. Barnet Kopkin dari Crouch End. 

Mujurnya, ia menyimpan catatan lengkap terperinci mengenai perawatan gigi Ny. Dobkin. Ia bisa menggambar diagram rahang atasnya sebagaimana keadaannya sewaktu dirawat, kemudian Keeling membawanya ke Guy's Hospital untuk membandingkan diagram itu dengan rahang kerangka.

Kopkin memegang tengkorak Ny. Dobkin dengan kedua tangannya, lalu mengatakan tanpa keraguan sedikit pun dengan nada paduan antara kemenangan dan keheranan, "Ini rahang atas Ny. Dobkin. Rahang ini pernah saya rawat dan itu tambalan-tambalan saya." Diagram yang digambarnya sesuai sekali dengan rahang yang sebenarnya.

Suatu bukti lanjutan memastikan rahang itu sebagai milik Ny. Dobkin secara lebih meyakinkan lagi. Kartu catatan Kopkin menyebutkan bahwa pada pencabutan dua gigi pada sisi kiri rahang atas dalam bulan April 1941, ada bagian-bagian akar gigi yang tertinggal di dalam rahang, suatu kejadian yang tidak langka. 

Sir William Kelsey Fry, ahli bedah mulut dari Guy's membuat foto sinar X pada sisi rahang tersebut dan ternyata pecahan-pecahan itu masih di tempatnya.

Sekarang polisi beranggapan bahwa identitas kerangka itu bisa ditetapkan tanpa keraguan. Mereka bisa menuntut Harry Dobkin dengan tuduhan membunuh istrinya, kalau mereka bisa mengetahui bagaimana cara membunuhnya.

 

Sebab kematiannya

Dr. Simpson mengerahkan segala kemampuannya untuk menunaikan tugas ini. Ternyata Dobkin sendiri ikut membantunya. 

Dalam usahanya untuk memusnahkan jenazah itu, Dobkin menaburkan kapur mati, terutama di daerah leher. Sialnya, kapur tidak merusak, bahkan mengawetkan. Dalam hal ini kapur mengawetkan cedera pada leher, terutama kotak suara dan cedera itu ‘menceritakan’ segalanya kepada dr. Simpson.

Di ruang kerjanya dr. Simpson menunjukkan hasil kerjanya. Tulang-tulang kotak suara yang kecil-kecil masih terletak dengan cermat di atas kertas pengisap. Simpson mengambil sebuah alat peraba sebagai penunjuk.

Ada suatu gumpalan darah mengering sekitar ‘puncak’ atas dari sayap kanan kotak suara. Gumpalan darah itu menunjukkan memar dan berarti ada tekanan berat pada leher ketika Ny. Dobkin masih hidup. 

Di bawah memar ini terdapat fraktur pada ‘puncak’ atas sayap. Ini sangat penting karena fraktur itu tak pernah terjadi, kecuali dalam kasus pencekikan. Tak perlu diragukan lagi, Ny. Dobkin dicekik dengan tangan.

Masih ada cedera lain pada belakang kepala, tempat ditemukan lagi gumpalan darah lain, menunjukkan memar berat. Ini menandakan Ny. Dobkin mungkin jatuh ke belakang, ke tanah, karena berat badan penyerangnya atau kepalanya dibenturkan oleh orang yang mencengkeram lehernya dengan tangan kalap.

Setelah semua pihak bekerja keras, tibalah saat yang menentukan. Selama tiga bulan rahasia penemuan jenazah Ny. Dobkin itu dijaga baik-baik. Tak ada sepatah kata pun yang bocor, apalagi ke kalangan pers. Sisa-sisa kerangka itu ditemukan dalam bulan Juli, dalam bulan Oktober sudah tiba waktunya untuk menangkap Harry Dobkin.

 

Polisi diremehkan

Sebagaimana banyak pembunuh, bisa dipastikan Dobkin yakin ia berhasil mengelabui polisi. la telah membunuh istrinya - apakah dalam keadaan kalap serta marah atau setelah dipikirkannya masak-masak - kita tak akan mengetahuinya. 

Ia mengakui, pada pertemuan terakhir tanggal 11 April 1941 itu istrinya berkata, “Kalau kau tak mau berdamai denganku, aku akan menyusahkanmu." 

Karena dia sudah dua kali membuatnya masuk penjara sebab tidak membayar, jelas Dobkin mempunyai alasan cukup untuk menginginkannya tersingkir dari jalan hidupnya. Sebab itu dengan tenang atau dengan geram ia menyingkirkannya dengan membunuhnya. 

Lalu dengan tekad bulat ia berusaha membuang jenazahnya dengan cukup licik: memotong, membuang kulit kepala, membuang wajah, memotong rahang bawah. Akhirnya setelah empat malam melakukan pekerjaan berdarah itu, ia berusaha membakar sisanya. Ketika kurang berhasil, ia menaburi jenazah itu dengan kapur mati dan menguburkannya di bawah sebuah batu hampar.

Juga tidak diragukan sekali-kali ia mengunjungi ruang bawah tanah dan mungkin mengintip tubuh yang membusuk itu. Keadaannya meyakinkan dia bahwa bila sekiranya ditemukan, sisa-sisa itu takkan bisa dikenali sebagai Ny. Dobkin. 

Para pejabat yang berwenang akan menganggapnya sebagai korban serangan udara lama. Ia yakin akan lolos dari tuntutan membunuh. 

Juga diketahui secara pasti bahwa salah satu kunjungannya ke Kennington Lane dilakukannya pada tanggal 8 Agustus 1941, dua setengah minggu setelah penemuan kerangka. (Mungkin ia mendengar desas-desus bahwa para pekerja menemukan beberapa potong tulang tua di situ). 

Bagaimanapun seorang anggota polisi yang kebetulan lewat melihat Dobkin masuk ke persil 302 Kennington Lane, sedang ia tak beralasan untuk memasuki tempat itu, sebab ia sudah tidak bertugas lagi sebagai penjaga kebakaran di situ. Ia terlihat membuka sebuah jendela, lalu melihat ke luar.

Dobkin yang meninjau bekas gereja itu tentunya melihat bahwa para pekerja telah membersihkan dan merapikan ruang bawah tanah dari semua puing sehingga menjadi terbuka dan mereka telah memindahkan batu hampar itu dari tempatnya yang lama. Jelas, jenazah itu telah ditemukan.

Apakah ia tiba-tiba ketakutan dan lemas? Atau apakah keyakinannya begitu besar, sehingga ia tak merasakan kekecutan sedikit pun? Barangkali yang belakangan itulah yang benar. Sebagaimana kebanyakan orang, ia tak tahu sama sekali seberapa jauh polisi memanfaatkan ilmu pengetahuan modern dalam pengusutan perkara.

Ia tak pernah sejenak pun memimpikan jenazah itu dibawa ke sebuah laboratorium mutakhir dan diperiksa oleh seorang ahli patologi, seorang analis, dan seorang ahli bedah mulut, yang semuanya ahli-ahli terkemuka di bidangnya masing-masing. 

Kerangka itu juga difoto dengan sinar X, dipreteli, dan disusun kembali seperti permainan jigsaw. Akhirnya, Dobkin juga terlalu merendahkan kecerdasan bagian penyidik kriminal polisi. Para detektif bukan lagi bertampang anjing pelacak yang ke sana-sini sambil menghitung jari untuk mendapatkan hasil dua tambah dua sama dengan empat.

 

Menjebak diri sendiri 

Dalam bulan Oktober Harry Dobkin berkenalan dengan bagian penyidikan kriminal dan cara kerjanya. Hatton menyuruh membawa Dobkin ke Kantor Polisi Southwark, ke kantornya yang memiliki jendela tinggi-tinggi, penuh arsip, dan meja-mejanya yang penuh timbunan kertas. 

"Untuk adilnya saya sekarang mengatakan kepada Anda bahwa sisa jasad manusia ditemukan di ruang bawah tanah gereja di sebelah tempat Anda bertugas sebagai pengawas kebakaran pada bulan April 1941 dan kami yakin itu jenazah istri Anda," kata Hatton kepada Dobkin.

Dobkin seorang penggertak alami. Ia langsung ‘menyalak’, "Saya tak tahu apa yang Anda katakan. Saya tak tahu apa-apa tentang ruang bawah tanah dan tak pernah turun ke situ. Saya tak percaya itu jenazah istri saya, tetapi kalau Anda mengatakan begitu, saya harus menerimanya."

Waktu dikatakan bahwa seorang anggota polisi pernah melihatnya menengok ke luar jendela di rumah Kennington Lane 302, sambil meninjau gereja dan ruang bawah tanah yang telah dibersihkan pada awal Agustus, amarah Dobkin meledak-ledak. Sambil bangkit ia berseru, "Tunjukkan pada saya pembohong itu, tunjukkan pada saya!"

Polisi itu dibawa masuk, lalu ditanya apakah Dobkin orang yang dilihatnya di Kennington Lane. 

"Memang ini orangnya. Saya beberapa kali berbicara dengannya di Kennington Lane tentang lampunya yang menyorot ke luar. Saya kenal baik dia," katanya.

Dengan wajah merah padam karena marah, Dobkin berteriak, "Bohong! Saya belum pernah melihatnya, saya tak ada di tempat itu. Dia bohong! Dia bohong!"

Dalam tahanan Dobkin banyak menulis catatan dan pernyataan kepada polisi. Misalnya ia mengirimkan sebuah pernyataan sukarela yang panjang kepada Inspektur Kepala Davis (tetapi isinya tidak benar) pada permulaan pemeriksaan. 

Ia juga gemar menuliskan laporan tanpa diminta, di antaranya waktu di kantor Inspektur Hatton, ia mengambil sehelai bekas tanda terima toko, lalu menulis di belakangnya:

Inspektur Hatton Yth.,

"Mengenai apa yang Anda katakan bahwa istri saya ditemukan mati atau terbunuh dan bahwa Anda mengatakan saya mengetahui sesuatu yang tidak saya katakan kepada polisi...." Hatton tak menghiraukan isi surat selanjutnya, sebab kalimat pertama sudah cukup. 

"Mengenai apa yang Anda katakan bahwa istri saya ditemukan tewas atau terbunuh ...." Tak ada seorang pun yang pernah mengatakan kepada Dobkin bahwa istrinya terbunuh. Alangkah baiknya bagi dia sekiranya ia tak begitu gemar menulis pernyataan secara sukarela!

Tanpa banyak cincong lagi Hatton sekarang mendakwa Dobkin membunuh istrinya.

 

Dipojokkan

Pada pemeriksaan pendahuluan pengadilan polisi di Lambeth, Dobkin duduk di bangku tertuduh. Dengan nyaman ia meletakkan tangan di kedua lututnya. Wajahnya menunjukkan kepuasan. 

Sikap itu dibawanya terus sampai dr. Simpson mulai memberikan kesaksiannya. Kemudian secara bertahap terlihat perubahan yang menyeramkan di wajah Dobkin.

Keith Simpson berbicara dengan terang, perlahan, kalimat demi kalimat, mengemukakan berbagai fakta. Dobkin yang menyadari bahwa selubung yang menutupi rahasianya direnggutkan secara ajaib, mulai berpeluh. 

Ia mengeluarkan sapu tangannya, lalu menyeka dahi, belakang leher, dan telapak tangannya. Mukanya pucat pasi. Ia bergeser di kursinya, mencengkeram lututnya kuat-kuat sehingga buku jari tangannya berkilat.

Hari Selasa, 17 November 1942, Dobkin diadili di Old Bailey dengan Hakim Wrottesley. Byrne dan Herald Howard tampil sebagai penuntut umum, dan F.H. Lawton bertindak sebagai pembela.

Dobkin kelihatan amat nervous, tak sabar, sangat marah. la mengerlingkan pandangannya ke seluruh peserta sidang, terutama kepada dr. Simpson, sekretarisnya, dan Inspektur Keeling.

"Kalau pandangan bisa membunuh, kita sudah lama mati," kata Keeling.

Pengacara EH. Lawton melakukan pembelaan cemerlang dan gigih berjuang untuk kepentingan Dobkin, tetapi menghadapi bukti-bukti kuat dari pihak penuntut, ia tak bisa berbuat banyak. Apa yang berhasil dicapainya malah dirusak oleh Dobkin sendiri, ketika ia duduk di kursi saksi.

Kalau pada tahap-tahap permulaan Dobkin agak kacau, pada waktu dipanggil untuk menempati tempat duduk saksi, kemarahannya agak mereda, lebih kelihatan gelisah. 

Ia menghadapi Jaksa Byrne dan tak tahu apa yang akan dihadapinya. Mata Byrne bersinar, ketika ia memandang Dobkin dengan sorot mata dingin, lalu mengajukan pertanyaan pertamanya, "Apakah Anda menyukai istri Anda?" 

Dobkin terkejut, ragu-ragu, dan akhirnya menjawab, "Tidak."

 

Tak ingin bertemu lagi

Jaksa Byrne kemudian menanyainya tentang kekurangan pembayaran uang tunjangan untuk istrinya dan berapa lama hukuman penjara pernah dijatuhkan kepadanya karena keterlambatan membayar jaminan itu, lalu bertanya lagi, "Apakah istri Anda berkata bahwa jika Anda tidak berdamai, dia akan menyusahkan Anda?"

"Dia berkata, kalau saya tak berdamai dengannya, dia akan menyusahkan saya." 

"Anda akan merasa jauh lebih senang jika takkan melihat lagi istri Anda sesudah itu?" Dengan waspada Dobkin menjawab, "Saya akan lebih puas kalau ia menjauhkan diri."

Byrne menekan terus. "Anda tak mempunyai keinginan untuk bertemu dengan istri Anda pada waktu lain sesudah itu?"

"Tidak," jawab Dobkin. "Saya tak ingin bertemu lagi dengannya." 

"Setelah tanggal 11 April," tukas Byrne, "tak seorang pun melihat istri Anda lagi."

Dengan tergagap Dobkin terpaksa mengiakan. 

Itu adalah pembukaan tanya-jawab yang panjang, di mana Byrne sebagai seorang matador tangguh mempermainkan bantengnya. Persamaan itu lebih dari cocok. 

Dobkin yang mendengus penuh kecurigaan dengan moncongnya yang lebar menghadapi Byrne yang berambut hitam dan gesit, dalam sorotan lampu terang, dengan hadirin yang hampir kaku oleh ketegangan, dalam suasana padat dengan drama yang dibayangi oleh ancaman maut. 

Byrne dengan penguasaan diri penuh, memperdayakan Dobkin di sini, mendorong di sana, merangsang dia agar menyodok dengan kekuatan penuh, kemudian memaksanya berhenti secara tiba-tiba. 

Sedikit demi sedikit ia merongrong orang itu, sehingga menjadi seperti bangkai binatang besar yang terengah-engah. 

Pembelaan gigih yang dilakukan oleh Lawton akhirnya dihancurlumatkan dengan cepat. Dobkin menuduh semua saksi, kecuali saksi ahli, sebagai pembohong. Ia tetap bersikeras tak pernah menuruni ruang bawah tanah, tak pernah tahu adanya ruang itu, sekalipun dua orang saksi terpercaya menyatakan mereka pernah melihatnya turun ke tempat itu dan 

Pendeta Burgess malah pernah diperingatkan oleh Dobkin agar tidak turun ke ruang bawah tanah, sebab berbahaya.

 

Panik

Dalam keadaan panik Dobkin hampir tak tahu apa yang dikatakan. Ia berbohong, menggertak, menggelepar seperti ikan di darat, berkeringat dingin, dan bergemetaran. Ia memberikan citra ketakutan yang tak mudah dilupakan. 

Para anggota juri memandangnya dengan rasa jijik dan tertegun. Bukti-bukti tak langsung yang kuat, pembuktian ilmu kedokteran forensik yang mengagumkan, tentunya menjadi pertimbangan kuat. Ikhtisar yang diberikan hakim merupakan penyimpulan yang gamblang, tetapi tak diragukan lagi fakta tambahan yang menentukan nasib Dobkin, yaitu tingkah laku dan pembawaannya sendiri sebagai saksi.

Juri hanya memerlukan waktu 20 menit untuk memperoleh keputusannya. Ruang sidang penuh sesak dengan orang yang menantikan dengan napas tertahan pemberian pukulan yang mematikan, descabello, atau tusukan pedang yang mematikan banteng di arena adu banteng. 

Ketika juri menyatakan bahwa putusan telah diambil, Dobkin digiring lagi ke tempatnya semula. Ia berdiri di situ, pucat pasi, hidungnya tengadah seperti hendak mencium apa keputusan juri dan para anggota juri. Mereka memasuki ruang sidang tanpa berpaling kepada tertuduh (suatu pertanda buruk). 

"Para anggota juri!" seru seorang petugas pengadilan, "apakah Anda telah sepakat mengambil keputusan?" 

"Ya," jawab pemuka juri dengan suara perlahan. 

"Apakah Anda menganggap terdakwa Harry Dobkin bersalah atau tidak bersalah melakukan pembunuhan?" 

"Bersalah." 

"Anda sekalian menyatakan dia bersalah melakukan pembunuhan dan apakah itu keputusan Anda semuanya?" 

"Itu keputusan kami bersama."

Kini semua mata diarahkan kepada Dobkin. Waktu mendengar kata ‘bersalah’ itu mukanya yang pucat tiba-tiba berubah menjadi hijau.

Setelah hening sejenak petugas pengadilan kembali melanjutkan, "Tahanan pengadilan, Anda dijatuhi hukuman karena membunuh. Apakah Anda akan mengatakan sesuatu, sehingga pengadilan tak akan menjatuhkan hukuman mati menurut undang-undang?"

 

Dihukum gantung

Dobkin yang selalu siap untuk mengatakan sesuatu, pada saat yang paling sial dalam hidupnya masih mampu mengeluarkan secarik kertas, lalu membacakan pembelaan dirinya yang panjang dan berbelit-belit. 

la menuduh polisi membuat-buat perkara terhadapnya dan menuduh pula bahwa tidak semua saksi telah didengarkan. la mempunyai saksi-saksi yang bisa membuktikan, bisa membuktikan ..., tetapi pembicaraannya makin kacau, sehingga orang tak bisa mengikuti lagi apa yang bisa dibuktikan oleh para saksinya, karena kata-katanya kemudian tersangkut-sangkut seperti piringan hitam rusak, lalu makin menghilang. 

Akhirnya, ia membisu dan menutup pembelaannya dengan, "Mudah-mudahan saya tak mengatakan terlalu banyak."

Dobkin memandang Hakim Wrottesly dengan tak berdaya ketika sang hakim mulai berucap dengan sangat lambat, tapi sangat jelas.

"Harry Dobkin, setelah mendengarkan dengan penuh kesabaran para juri telah sampai pada kesimpulan yang saya kira tepat tentang masalah ini. Keputusannya ialah hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang untuk kejahatan yang telah Anda lakukan, yaitu bahwa Anda akan dibawa dari tempat ini ke sebuah penjara, kemudian ke sebuah tempat pelaksanaan hukuman dan di situ Anda akan digantung sampai tewas. 

Setelah itu jenazah Anda akan dikuburkan di halaman penjara tempat Anda ditahan sebelumnya. Semoga Tuhan akan mengampuni arwah Anda.”

“Amin,” jawab pendeta. 

Pernyataan khidmat itu disusul oleh keheningan di ruang sidang. Kemudian Dobkin berbalik kemudian turun ke sel-sel di bawah gedung, sangat pucat, dengan kehampaan yang tiba-tiba menerpa dirinya, seakan-akan kekuatan dan kebesaran jasmaninya lenyap daripadanya sekali pukul.

(Molly Lefebure)

" ["url"]=> string(83) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304495/mayat-terpotong-potong-di-bawah-gereja" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265477000) } } [4]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258538" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(119) "T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?" ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg" ["title"]=> string(20) "Lawrence dari Arabia" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:21:54" ["content"]=> string(25295) "

Intisari Plus - T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?

-----------------------

Para pemirsa di London duduk terkesima, menyimak kata per kata.

"Anak-anak liar Ishmael itu menganggap pemimpin mereka yang tenang dan adil sebagai sosok supranatural yang dikirim dari surga untuk membebaskan mereka dari penjajah," jurnalis itu mengatakan kepada para pemirsa. "Ia berpakaian seperti penguasa Oriental. Di sabuknya terselip sebilah pedang emas bengkok yang hanya digunakan keturunan langsung Nabi Muhammad."

Pemirsa tersebut menahan napasnya. Siapa gerangan pahlawan Inggris yang mencengangkan dan romantis ini? Di manakah ia sekarang berada?

"Anak muda itu sekarang terbang dari satu tempat di London ke tempat lain, berusaha menjauhi perempuan," sang jurnalis meyakinkan para pemirsa.

Saat itu, September 1919. Perang Dunia I sudah berakhir, dengan dampak yang menakutkan. Di Eropa, jutaan warga Inggris, Prancis, dan Jerman tewas di jalan buntu menakutkan dan melelahkan di parit-parit perlindungan yang berlumpur. 

Inggris dan Prancis telah mengalahkan Jerman, tapi kemenangan itu tampaknya tidak terlalu dirayakan karena kisah tentang pertempuran parit sedemikian menyeramkan untuk dikenang.

Tapi, di sini ada yang berbeda—jenis peperangan yang berbeda, dengan pahlawan yang berbeda: Lawrence dari Arabia—yang, seperti diyakini jurnalis itu, memimpin penduduk Arab seorang diri dalam sebuah revolusi melawan Turki, berperang dengan penuh keagungan untuk meraih kemenangan mengarungi gurun pasir, dengan jubahnya yang berkibar-kibar ketika ia sedang bertempur dari untanya.

Jauh dari London yang hiruk-pikuk 'berusaha terbebas dari perempuan', Thomas Edward Lawrence—nama lengkap pria itu—sedang duduk di Oxford. Ia amat terpukul, karena kegagalannya memberikan sesuatu yang dianggapnya pantas didapatkan rakyat Arab. Beberapa tahun kemudian, ia berusaha menghindar dari publisitas Lowell Thomas, jurnalis Amerika yang bermaksud baik itu.

Lawrence masuk Angkatan Udara Kerajaan dengan pangkat yang sangat rendah, dengan nama palsu John Hume Ross. Sewaktu pers mencium identitas aslinya, ia mengubah namanya lagi, kali ini menjadi Thomas Edward Shaw, dan bergabung dengan Korps Tank di angkatan bersenjata. Ia kembali ke Angkatan Udara dengan nama Shaw, masih dengan pangkat yang lebih rendah, dan menghabiskan 12 tahun berikutnya dalam penyamaran. Rekan kerjanya tak pernah menduga siapa dirinya.

Jadi, mana yang benar? Apakah 'Lawrence dari Arabia' hanya mitos yang diciptakan seorang jurnalis yang tahu betapa Inggris sangat membutuhkan dorongan moral? Atau adakah sesuatu yang sangat luar biasa dari pria kalem yang menghabiskan sisa hidupnya bersembunyi dari pers?

Hal yang sebenarnya berada di antara mitos dan kenyataan. T.E. Lawrence memulai kariernya dengan meraih gelar sarjana sejarah dari Universitas Oxford. Pada saat itulah ia tertarik pada Timur Tengah. Ia menulis tesis tentang kastel-kastel dari masa perang salib di Palestina dan Suriah, melakukan perjalanan ke kedua negara itu untuk melakukan riset, dan mulai mempelajari bahasa Arab. 

Pada 1910, setelah menyelesaikan tesisnya, ia kembali ke Suriah, bekerja di sebuah penggalian arkeologis di kota kuno Karkamış. Ia tinggal di Suriah sampai awal Perang Dunia I, tahun 1914, untuk mendalami pengetahuan tentang wilayah itu dan mulai menyukai orang-orang di sekitarnya.

Saat itu, hampir seluruh Timur Tengah dikuasai bangsa Turki. Kekaisaran mereka (disebut kekaisaran Utsmaniah) membentang dari Turki hingga wilayah yang sekarang menjadi Irak. Meskipun secara resmi bangsa Turki menguasai Mesir, penguasa Mesir sebenarnya adalah Inggris, yang sedang mengincar Terusan Suez—sebuah rute penting bagi pelayaran.

Ketika Perang Dunia I meletus, Turki, Austria, dan Jerman bergabung melawan Rusia, Prancis, dan Inggris. Di Mekah, Sharif Hussein, pemimpin yang tersingkir, mempertimbangkan keputusannya. Ia dapat menyokong para pemimpin Turki; atau mendekati Inggris dengan harapan Inggris mau menolongnya meraih kemerdekaan bagi seluruh penduduk Arab—yang membentang dari semenanjung Arabia sampai Irak dan Suriah.

Inggris menyukai gagasan bahwa warga Arab berada di sisinya. Mereka akan membantu Inggris dalam pertempuran melawan bangsa Turki. Mereka setuju dengan Sharif Hussein bahwa bila revolusi Arab berhasil, Inggris akan menjamin kemerdekaan Arab setelah perang. Maka, pada 10 Juni 1916, Hussein secara simbolis membidikkan senapannya ke barak-barak Turki di Mekah. Revolusi Arab pun dimulai.

Jelas, Sharif Hussein tak mampu mengalahkan Turki sendirian. Turki memiliki angkatan bersenjata yang besar, sedangkan Sharif hanya didukung suku-suku yang tidak bersatu. Inggris harus melancarkan serangan besar sendirian dan memberikan bantuan apa pun kepada penduduk Arab. Maka, angkatan bersenjata Inggris mengirimkan perwakilan ke Mekah untuk menyelidiki segala yang diperlukan—salah seorang di antaranya adalah T.E. Lawrence.

Pada awal peperangan, Lawrence ditempatkan di bagian Intelijen Inggris di Kairo. Serta merta ia tertarik pada Revolusi Arab. la menilai revolusi itu tidak memiliki seorang pemimpin. Sharif sendiri adalah seorang tua yang suka membantah. Lawrence lantas menemui empat putra Sharif untuk mengetahui seperti apakah mereka. 

Lawrence berpendapat, putra ketiga Sharif, namanya Emir Feisal, mempunyai kualitas yang dibutuhkan. Keduanya lalu berkawan baik, dan tak lama Lawrence terlibat, membantunya merencanakan kampanye gurun pasir.

Revolusi Arab mungkin tak akan menang jika pertempuran dilaksanakan secara umum, selayaknya angkatan bersenjata yang disiplin. Suku Beduin Arab adalah prajurit bengis, tapi mereka terdiri dari banyak suku yang berbeda yang cenderung berakhir dengan saling berperang. 

Karena ingin memahami mereka dan mempelajari adat istiadat gurun pasir, Lawrence lalu mengamati Feisal. Lawrence terkesan pada cara Feisal menangani masalah-masalah kesukuan, yang memerlukan kesabaran luar biasa. Lambat-laun, ia mula memahami cara sebaik-baiknya memanfaatkan sumber daya penduduk Arab yang terbatas.

Tak lama kemudian, Lawrence membantu mengembangkan sebuah strategi untuk revolusi itu. Mereka akan menggunakan taktik perang gerilya untuk menyerang jalur kereta api Hejaz, yang melalui gurun pasir, dari Damaskus di Suriah, langsung ke kota suci Madinah. Ada banyak jalur kereta di gurun pasir yang tidak mungkin dapat dikawal bangsa Turki. 

Dengan mengacaukan sistem transportasi mereka, orang Arab akan menghalangi usaha perang Turki, dan pada saat yang sama korban yang jatuh di pihak mereka sangat sedikit. Tentara Inggris yang lain menyetujui strategi ini dan memasok bahan peledak serta artileri lain untuk Lawrence.

Tak lama, Lawrence sendiri terlibat dalam serangan terhadap jalur kereta api itu. Ia mengerti cara menggunakan bahan peledak dan—tidak seperti kebanyakan tentara Inggris lainnya—tampaknya ia cocok dengan perang gurun pasir. 

Kini ia lancar berbahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi; ia belajar menunggang unta dan ia bangga karena mampu menahan tuntutan fisik kehidupan di gurun pasir yang keras. Feisal-lah yang menyarankan agar Lawrence memakai jubah Arab. Feisal memberinya sepasang jubah indah terbuat dari sutra putih murni, yang menjadi bagian dari 'citra' Lawrence; jubah itu membantunya menyatu lebih efektif dengan para suku-suku tersebut.

Dalam perjalanannya, Lawrence sering ditemani orang Arab yang berasal dari suku atau bahkan negara yang berbeda. Sebagai seorang tentara Inggris yang berada di tengah-tengah mereka, ia harus bertindak sebagai mediator, mengatasi masalah kesukuan yang muncul sepanjang perjalanan. 

Pada salah satu awal ekspedisi, seorang Maroko membunuh seorang anggota suku Beduin. Lawrence mengetahui bahwa pembunuhan ini dapat memicu pertumpahan darah, di mana teman-teman si korban diwajibkan membunuh sebagai tindak balasan. Lawrence pun sadar bahwa satu-satunya pemecahan adalah ia sendiri harus menghukum orang Maroko itu. 

Karena jemu dengan kemarahan serta hasutan, dan lesu karena keganasan padang pasir, ia hampir tak mampu menembak dengan jitu. la menembak tiga kali untuk mematikan pria Maroko itu. Peristiwa itu merupakan uji coba dari permasalahan yang bermunculan kemudian.

Sementara itu, Rusia, Prancis, dan Inggris diam-diam membahas tentang pembagian kekuasaan bila mereka memenangkan perang. Siapa akan menguasai apa, dan di mana? Prancis ingin membagi bekas kekaisaran Utsmaniah dengan Inggris. Meskipun telah melakukan kesepakatan dengan Sharif Hussein, Inggris merasa berkewajiban untuk menyetujui hal itu. Hasilnya adalah perjanjian Sykes-Picot, Mei 1916. 

Menurut perjanjian ini, Prancis akan menguasai Libanon, Suriah, dan bagian Turki, sementara Inggris akan menguasai Irak dan, wilayah yang sekarang menjadi Yordania. Dengan kata lain, seluruh wilayah yang berpenduduk padat dan kaya akan menjadi milik Inggris dan Prancis, sementara bangsa Arab hanya akan mendapatkan semenanjung Arabia, yang terutama terdiri dari gurun pasir.

Apakah Lawrence mengetahui isi perjanjian itu? Di kemudian hari, ia menyangkal, tapi bantahan itu sepertinya tidak meyakinkan. Ia tentu memiliki lebih banyak kecurigaan terhadap isi perjanjian itu. Bagaimanapun perjanjian itu diumumkan setelah Revolusi Rusia tahun 1917, kala Rusia menerbitkan seluruh perjanjian lama mereka. 

Posisi Lawrence tampaknya bersandar pada harapan bahwa bila perang usai, Inggris akan bertindak adil untuk melindungi kepentingan-kepentingan Arab. Lawrence amat setia pada Inggris, dan yakin pada keadilan Inggris. Ia tidak mengerti mengapa Prancis harus mendapat bagian di Timur Tengah walaupun negara itu tidak melakukan pertempuran. Jika bangsa Arab sendiri yang mengalahkan Turki dan menduduki Damaskus, Inggris tak mungkin membiarkan Prancis merebut wilayah mereka bukan?

Demikianlah Revolusi Arab berlanjut. Lawrence berusaha mempengaruhi rencana angkatan bersenjata Arab untuk bergerak ke utara menuju Semenanjung Arab ke Aqaba, di Laut Merah—pelabuhan strategis penting yang dikuasai bangsa Turki. Pelabuhan itu dikawal dari laut, satu-satunya harapan untuk merebutnya adalah dari darat, melalui gurun pasir, dengan serangan bersenjata.

Lawrence mendapat bantuan yang ia perlukan, berupa seorang pemimpin suku bernama Auda abu Tayi, prajurit veteran padang pasir. Lawrence menyarankan agar mereka mendekati Aqaba melalui rute darat. 

Dengan cara ini mereka dapat merekrut dukungan suku-suku yang ada di sepanjang rute, dan mereka tak akan pernah ditemukan oleh bangsa Turki. Auda setuju, rencana itu layak, dan serombongan kecil berangkat dari kota Al Wajh, 9 Mei 1917.

Perjalanan itu sulit dan melelahkan. Lawrence kembali jatuh sakit panas dan demam yang tinggi, tapi ia terus berjuang. Mereka menyeberangi jalur kereta api Hejaz, meledakkannya sebagian ketika sedang berjalan. Kemudian mereka menghabiskan pagi harinya menyeberangi padang lumpur tandus di Biseita, yang luas di gurun pasir. Tiba-tiba mereka sadar salah satu kelompok hilang. Untanya masih ada dalam rombongan—penunggangnya jelas tertidur dalam panas yang membakar dan terjatuh.

Gasim, pria yang hilang itu, adalah anggota tim Lawrence. Lawrence merasa tertekan dan harus kembali mencarinya sendiri atau kehilangan rasa hormat dari anggotanya. Maka ia membalikkan untanya dan mengarahkannya kembali ke padang lumpur.

Gasim hampir mengigau karena terik padang pasir ketika Lawrence menemukannya. Lawrence dan Gasim bertemu anggota lainnya, tapi keduanya nyaris kelelahan. Yang lebih buruk, salah satu pemimpin suku memukul pembantu Lawrence karena membiarkannya pergi sendiri.

"Memikirkan nanti malam adalah yang terburuk dari pengalaman saya," tulis Lawrence di buku hariannya.

Setelah kesulitan melalui perjalanan di padang pasir, Lawrence bertugas membujuk suku Arab lain untuk bergabung dalam revolusi itu. Karena takut Inggris akan menegakkan perjanjian Sykes-Picot, Lawrence merasa tidak enak. "Kami mengajak mereka berperang untuk kami dalam kebohongan, dan saya tidak tahan." la menulis ke salah satu teman tentaranya. 

Tetapi, sudah terlambat untuk mengubah rencana itu. Suku-suku Arab mengabaikan kepentingan mereka sendiri karena terkobar dengan gagasan revolusi. Awal Juli, mereka mendekati Aqaba.

Pertemuan pertama berlangsung di utara Aqaba, di Abu el Lissan. Karena terkejut, orang-orang Turki itu tidak tahu cara mengatasi para penembak Arab yang bersembunyi di bukit. Ketika orang Arab tiba-tiba menyerang dengan kawanan untanya, orang-orang Turki itu benar-benar panik. Beberapa hari kemudian, Aqaba jatuh dan kini berada di tangan Arab.

Inggris sangat terkesan. Serangan itu membuat mereka sadar bahwa bangsa Arab cukup kuat untuk mendukung mereka mengalahkan bangsa Turki. Setelah ini, Revolusi Arab bekerja lebih erat dengan angkatan bersenjata Inggris, bergerak ke arah utara di bawah arahan Kepala Komando Inggris Jenderal Edmund Allenby. Angkatan darat Inggris maju ke utara melalui Palestina, dan Yerusalem direbut Desember 1917.

Secara keseluruhan, bangsa Arab memainkan peran penting dengan terus-menerus mengacaukan jalur kereta api ke Timur Jauh, sehingga mengalihkan bangsa Turki dari serangan utama Inggris, dan membingungkan bangsa Turki terhadap kekuatan musuhnya.

Sekarang, Lawrence mempunyai dua tugas utama. Ia terus menemani Allenby dan tentara Inggris lain, menuntut pasokan dan membahas strategi, tapi ia juga amat berkomitmen dengan pertempuran gerilya bersama bangsa Arab. 

la mencintai padang pasir, terutama wilayah seperti Wadi Rum, yang bentuk-bentuk cadas padang pasirnya merupakan sebagian dari yang paling memukau di dunia. Selanjutnya, Lawrence menuliskan gambaran yang membangkitkan kenangan tentang bentangan alam yang tandus tapi indah itu.

Kenyataan perang memberikan sedikit romansa pada tempat itu. Lawrence mengalami gangguan fisk sampai pada batasnya. Meksi Lawrence seorang pemimpin terkenal, dia tidak selalu berada di garis depan. Kenyataannya, serangan ke Aqaba yang terkenal itu berlangsung tanpanya. Dalam kebingungan, Lawrence menembak untanya di kepala, dan unta pun terkulai lalu rebah.

Pada saat kampanye berlalu, Lawrence sendiri mulai merasa letih dan muak. Setelah serbuan ke kereta Turki yang menewaskan 70 orang Turki, ia menulis pada seorang teman, "Pembunuhan ini dan pembunuhan orang Turki ini mengerikan ... Kau menyerang sampai akhir dan mendapati mereka semua hancur bergeletakan."

Lebih dari itu, bangsa Turki ternyata adalah petempur yang brutal, kasar, serta bengis dalam memperlakukan musuh mereka yang luka, kadang-kadang membakarnya hidup-hidup. Akibatnya, orang Arab setuju untuk saling membunuh bila mereka terlalu terluka parah.

April 1918, Lawrence sendiri harus memberlakukan peraturan itu. Pada sebuah misi penyelidikan di belakang garis musuh, salah seorang pembantunya yang setia, Farraj, terluka parah. Ketika Lawrence dan beberapa orang lain berusaha menggotongnya, ada peringatan bahwa sekelompok orang Turki mendekat. Tak ada yang dapat diperbuat. Lawrence menggapai pistolnya dan mengarahkan ke kepala Farraj.

 

"Tuhan akan memberi kedamaian," Farraj bergumam sewaktu Lawrence menarik pelatuknya.

Setelah tahun 1918 berlalu, akhirnya rencana Inggris-Arab berhasil. Setelah berhasil dengan Aqaba dan Yerusalem, kadang-kadang kampanye itu tampak seperti terantuk. Tapi, pada September, orang Arab berhasil menghancurkan jalur kereta api Deraa di utara dan selatan, salah satu jalur komunikasi Turki. Pada bulan yang sama, perlawanan Inggris menyikat angkatan bersenjata Turki di Palestina.

Sekarang ini cuma masalah menjaring sisa angkatan bersenjata Turki sebelum mereka mundur ke Damaskus. Tanggal 26 September 1981, Lawrence menerima kabar bahwa dua divisi Turki menuju ke utara mengikutinya, satu rombongan terdiri dari enam ribu tentara dan rombongan yang lain terdiri dari dua ribu tentara. Ia dan teman-teman pemimpinnya menganggap pasukan mereka sudah cukup untuk mengalahkan divisi yang lebih kecil.

Mereka bertemu prajurit Turki di utara pedesaan Tafas dekat Deraa, yang memaksa mereka berbalik, dan mengikuti orang-orang Turki itu menyusuri desa Tafas sendiri. Mereka menyaksikan pemandangan yang menakutkan. Bangsa Turki telah membunuh semua perempuan dan anak-anak, Lawrence sendiri melihat perempuan hamil yang dihunus dengan sebuah bayonet.

Sheik desa itu, prajurit bernama Talal, bertempur bersama Lawrence. Sewaktu melihat yang menimpa penduduk desanya, ia meraung dalam kedukaan dan menyerang orang Turki. Kini semua orang Arab mengamuk. Lawrence dan pemimpin lain sedemikian muak sehingga mereka memberi perintah "jangan membawa tawanan"—berarti harus membunuh semua orang Turki, baik yang menyerah atau tidak.

Orang-orang Arab menyambar orang Turki dengan geram karena perbuatan mereka itu, dan akibatnya, tak lama, mereka menguasai Deraa. Selanjutnya, mereka menjadi liar, menjarah dan menyembelih orang Turki sebagai balas dendam atas pembunuhan di Tafas. Lawrence kemudian menggambarkannya sebagai "salah satu malam saat manusia kehilangan akal."

Sementara itu, sebagian angkatan darat Arab menyikat divisi Turki yang lebih besar. Dalam beberapa hari, sekitar lima ribu orang Turki dibunuh dan delapan ribu ditawan. Akhirnya, mereka ditawan di Damaskus.

Inggris mengizinkan angkatan darat Arab berpawai ke Damaskus di depan mereka, sebagai pengakuan terhadap hak-hak bangsa Arab atas wilayah itu. Lawrence ikut dan menyaksikan sambutan masyarakat yang meriah. Sheik Hussein diangkat menjadi Raja Arab, dan Feisal memasuki kota sebagai wakilnya dengan kemenangan. Untuk sementara, perjanjian Sykes-Picot dilupakan.

Setelah terburu-buru membantu para pemimpin Arab menciptakan ketertiban di Damaskus, Lawrence pergi secepatnya. Tampaknya ia tertekan. Ia tahu bahwa posisi Arab genting, dan satu hal: perjuangan Feisal baru saja dimulai. Karena letih, Lawrence baru terbang ke London empat hari kemudian.

Hampir dipastikan, tuntunan Prancis segera menghapus impian Feisal. Pada akhir tahun 1920, hasil penyelesaian damai menyerahkan Libanon dan Suriah pada Prancis. Untuk menenangkan orang Arab, Inggris menjadikan Feisal raja di Irak di bawah pengaruh tak langsung mereka; mereka memberikan wilayah yang disebut Trans-Jordan (sekarang Yordania) kepada Abdullah, saudara laki-laki Feisal, dalam sebuah perjanjian serupa. Satu-satunya wilayah yang langsung dikuasai orang Arab adalah Arabia itu sendiri. Seorang lawan setempatnya, Ibnu Saud, segera menyingkirkan Hussein dari kekuasaan. Keluarga Ibnu memberi nama wilayah itu Saudi Arabia.

 

Kemudian

Lawrence memainkan bagian penting dalam perundingan pascaperang, memperjuangkan hak Arab untuk merdeka. Meskipun hasil akhir lebih baik dari yang ia takuti, hasil itu sangat berbeda dari pandangan yang mengobarkan Revolusi Arab. Jelas, Lawrence merasa Inggris mengkhianati bangsa Arab. 

la diberi banyak penghargaan dan medali atas dinas kemiliterannya, termasuk Distinguished Service Order. Ia memulangkan semuanya kembali. Yang menambah kekecewaan banyak orang, ia mulai menarik diri dari masyarakat. 

Tapi, legenda 'Lawrence dari Arabia' mulai tumbuh, sebagian besar berkat jasa jurnalis dan pembicara Lovell Thomas yang melangsungkan serangkaian tur untuk mengangkat moralitas. Lawrence sendiri menganggapnya tak masuk akal bahwa ia diistimewakan; mengingat banyak tentara Inggris lain yang terlibat dalam revolusi itu, dan ia sendiri pasti tak akan pernah menjadi pemimpin Arab. Ia mengakui bahwa Lovell Thomas menyebarkan "kebohongan panas".

Namun, Lawrence mulai menuliskan sendiri kisahnya tentang revolusi itu dalam Seven Pillars of Wisdom. Kisah itu memberikan sumbangan bagi legenda, dan sebagian sejarawan mengakui bahwa kisah itu memelintir dan membesar-besarkan fakta. 

Seven Pillars of Wisdom banyak berisi gambaran romantis tentang gurun pasir, pandangan yang diidealkan tentang Emir Feisal, dan kisah-kisah pertempuran yang dramatis. Buku itu juga menganggap tidak penting peran Inggris dalam mengalahkan bangsa Turki. Akibatnya, perdebatan tentang Lawrence terus berlanjut dan ia tetap menjadi sosok yang membingungkan.

Baru diketahui bahwa pada tahun 1934, Lawrence didekati sutradara film Alexander Korda yang ingin membuat film dengan judul Lawrence of Arabia. Lawrence jengkel. "Mungkin yang ia maksud saya, dan saya punya pandangan yang kuat mengenai keengganan film seperti itu. Maka, saya menjawabnya bahwa ia mungkin harus mendiskusikan niatnya itu sebelum membuka mulutnya yang bodoh itu" tulisnya.

T.E. Lawrence tetap bekerja di Angkatan Udara hingga tahun 1935, ketika ia berusia 46 tahun. Baru tiga bulan setelah pensiun, ia tewas dalam kecelakaan sepeda motor di dekat rumahnya di Dorset.

Tapi, gagasan itu terus mengalir. Tahun 1962, 27 tahun setelah kematian Lawrence, sutradara film yang lain, David Lean, benar-benar membuat film berjudul Lawrence of Arabia, yang dibintangi Peter O'Toole sebagai Lawrence. Film itu menjadi film klasik dan memastikan bahwa gambaran romantis perang di gurun pasir, dengan heroismenya, jubah sutra yang berkibar-kibar dan unta-unta yang menyerang, dihidupkan untuk memikat imajinasi jutaan orang.

(Gill Harvey)

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258538/lawrence-dari-arabia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177314000) } } [5]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3258519" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup." ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg" ["title"]=> string(24) "Dua Lelaki dan Anjingnya" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-28 20:20:05" ["content"]=> string(23096) "

Intisari Plus - Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup.

----------------------

Tampaknya dunia akan gila. Ketika itu tahun 1940, Perang Dunia II baru saja meletus, dan tentara Jerman berada di seantero Eropa. Nun jauh di Afrika, dua warga Jerman, Henno Martin dan Hermann Korn, mendengarkan berita di radio dengan ketakutan. Hawa panas peperangan itu bahkan dapat dirasakan sampai di Windhoek, ibukota Namibia, tempat mereka menetap. 

Warga Jerman ditangkapi, khawatir kalau dianggap anggota Nazi, kemudian dijebloskan di kamp tawanan. Mungkin saja giliran Henno dan Hermann tidak lama lagi tiba ....

Suatu sore, di beranda, Henno dan Hermann berpikir keras. Mereka adalah ahli geologi dan tidak mau terlibat dalam peperangan yang tidak beralasan dan menumpahkan darah. Mereka pun tidak terima jika mereka ditawan hanya karena berwarga negara Jerman.

"Kau tahu apa yang dapat kita lakukan," kata Hermann dengan suara pelan.

"Apa?" tanya Henno penasaran.

"Kita selalu bilang jika perang meletus, kita akan bersembunyi di gurun."

Henno menatapnya. Benar—mereka pernah mengumbar lelucon itu. Tapi, bisakah mereka melakukannya? Mereka tidak tahu sampai kapan perang akan berakhir, mungkin saja berlangsung tahunan.

"Bagaimana dengan Otto?" tanya Henno.

"Otto?"Hermann memandang anjing mereka, yang balik menatap seperti biasa dengan mata berbinar dan ekor yang dikibas-kibaskan. "Tentu kita akan mengajaknya."

Sepanjang perjalanan ke gurun, Otto menjadi teman setia mereka. Sampai saat itu, tak ada alasan untuk mengurungkan niat mereka ke gurun. Keputusan segera diambil. Mereka memuati truk dan berangkat. Gurun Pasir Namib menawarkan banyak tempat persembunyian. Mereka mempercayakan nasib baik mereka pada gurun yang ganas itu sampai perang usai.

Dalam empat hari, mereka sudah mengumpulkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka membawa makanan pokok—makanan kering dan makanan kaleng, teh, kopi, gula pasir, dan selai, ditambah dengan perbekalan mewah seperti cokelat dan brandy. Mereka membawa beberapa peralatan dapur—pisau yang tajam dan belanga. 

Mereka perlu kantung tidur, selembar terpal, dan beberapa lembar pakaian; Hermann dan Henno menambahkan peralatan jahit dan perlengkapan P3K. Untuk truk, mereka butuh banyak bahan bakar, suku cadang, dan perkakas. Apa lagi?

"Biolaku," kata Hermann dengan tegas. "Aku tak akan meninggalkannya."

Yang terpenting dari semua perlengkapan itu adalah radio dan senjata. Melalui radio mereka bisa mendengar berita penting dari dunia luar dan perkembangan perang. Radio menyala dari baterai di truk dan akan mengabarkan saat yang aman untuk keluar dari gurun, sementara senjata adalah nyawa mereka. 

Cadangan makanan harus dijatah dengan cermat, dan mungkin tidak akan cukup untuk menghidupi mereka. Jika ingin bertahan hidup, mereka harus berburu. Senapan adalah alat berburu yang terbaik, sayangnya semua sudah disita pada awal perang. Mereka hanya memiliki sepucuk senapan laras panjang dan pistol—tidak ideal, tapi harus berfungsi.

Dengan truk sarat muatan, mereka bergerak sepanjang rute yang mereka ketahui sulit ditelusuri. Tidak banyak orang kulit putih yang mengenal gurun pasir sebaik mereka. Mereka berjalan menuju sebuah ngarai rahasia di jantung Gurun Pasir Namib.

Gurun Namib membentang di sebelah barat Namibia, sebuah daratan yang panjang berbatasan dengan laut. Bagian utara pantai itu dikenal dengan nama Skeleton Coast (Pantai Kerangka). Nama itu berasal dari korban kecelakaan kapal laut di masa lalu—mereka yang beruntung mencapai pantai tapi tidak menemukan air dan makanan untuk bertahan hidup, akhirnya tewas di gurun pasir yang kejam.

Sebagian gurun terdiri dari beberapa bukit pasir yang amat menakjubkan di dunia, bergelombang naik dan turun dalam corak warna kuning tua dan oranye. Bukit pasir ini memberi sedikit tempat bernaung atau kehidupan bagi kedua pelarian ini, sementara daerah lain bercadas dan dialuri ngarai yang dalam. Di sini, terdapat mata air—dan bila ada air, berarti ada kehidupan.

Dengan truk, Henno dan Hermann menempuh rute berbahaya, menerobos ke puncak ngarai Kuisib. Di situ, mereka berhenti dan mengamati pemandangan—sebuah bentangan darat yang sepi dan liar dengan batu-batu cadas menjulang dan jurang kecil yang dalam, tebing terjal, dan—jauh di bawah—palung ngarai berpasir.

"Mereka tidak bakal menemukan kita di sini," ujar Hermann.

Lega rasanya menyadari hal itu, tapi juga sedikit menakutkan. Tempat ini seluruhnya belantara, hewan paling kuat sekalipun harus berjuang untuk bertahan hidup. Bagaimana mereka yakin bisa mengatasinya?

Sudah terlambat untuk kembali. Henno dan Hermann meninggalkan truk di atas jurang, lalu menelusuri jejak zebra ke dalam ngarai, mencari air dan tempat tinggal. Palung sungai kering menandakan hujan tidak turun pada tahun itu. Tapi, masih terdapat cukup mata air. 

Yang menggembirakan mereka, ada ikan di salah satu kolam mata air—ikan mas yang gemuk dan sehat. Hermann berhasil menangkapnya dengan tangan kosong. Itulah tangkapan pertama! Mereka segera membuat api unggun, memasak, dan menyantapnya.

Mereka terus menyusuri ngarai hingga tiba di semacam gua, sebuah batu cadas menggantung yang memberikan perlindungan memadai. Hermann dan Henno memutuskan gua itu menjadi rumah mereka. 

Selama dua hari berikutnya, mereka mengeluarkan bekal dari truk, dan menjadikan gua itu senyaman mungkin. Selanjutnya, mereka menyembunyikan truk di bawah sebuah tebing yang menggantung sehingga tidak terlihat dari udara.

 

Henno dan Hermann merasa sangat lapar. Mereka telah menghabiskan sebagian bekal pasta, tapi tidak mau makan lagi. Setiap hari mereka menjatahkan secangkir terigu untuk sarapan pagi, yang dicampur dengan air dan satu sendok teh selai. Selain itu, tidak ada lagi yang dapat dikerjakan kecuali mencari makanan lebih banyak.

Menangkap lebih banyak ikan adalah jalan keluar yang nyata, meski tak mudah. Keberuntungan mereka pada hari pertama tidak terulang lagi. Henno dan Hermann membuat alat pancing dengan kabel, tapi mereka hanya mendapat katak. Lalu, dengan perut keroncongan, mereka memutuskan berburu. Perjuangan untuk bertahan hidup pun dimulai.

Dalam perjalanan ke ngarai, mereka mendapati jejak kawanan ternak liar—seekor banteng jantan, seekor lembu, dan anak sapi. Yang lebih menyenangkan, tak lama kemudian mereka melihat seekor banteng jantan sedang merumput di dasar ngarai. Tapi, bagaimana bisa mendekat untuk menembak?

"Aku akan kembali kemari dengan Otto dan senapan," kata Henno. "Kau terus siap dengan pistolmu. Bau badanku akan menggiring banteng jantan itu ke arahmu." 

Ide yang bagus. Henno beranjak dengan hati-hati, tak ingin mengusik makhluk besar ini. Ia merangkak lebih dekat, dan semakin dekat ... Kemudian banteng jantan itu menengok. Sapi itu memandang Henno dan menyerang. Henno menembakkan senapan langsung ke wajah sang banteng. Banteng itu tetap maju. 

Pada menit terakhir, Henno melompat ke bukit bercadas, keluar dari kejarannya. Banteng jantan itu menatapnya. Peluru kecil yang dilontarkan dari senapan Henno (yang biasanya dipakai untuk perburuan ringan seperti berburu burung) sedikit menggoresnya.

Tapi, sekarang Hermann berlari dan menembak dengan pistolnya. Peluru itu mengenai belakang telinga banteng, dan hewan besar itu pun terkulai ke tanah seperti batu.

"Sudah mati?" tanya Hermann terengah-engah.

Henno menyambit kepala banteng jantan itu dengan batu, hanya untuk memastikan. Secepat itu pula, banteng kembali berdiri tegak—benar-benar hidup! Sekarang, Otto—sangat girang—menyergap banteng itu dan mencengkeram hidungnya. Hermann mendekat, dan menembak dahinya. Tak ada pengaruh. Sang banteng cuma menggoyang-goyangkan kepalanya, sambil melempar Otto ke udara.

Otto kembali berdiri tapi kini ia menyeringai. Berburu tidak seasyik perkiraannya. Sekali lagi Hermann menembak belakang telinga banteng itu. Seperti sebelumnya, tembakan itu membuatnya kelengar dan terjatuh ke tanah lagi—hanya bangun bila sudah pulih.

Sekarang jelas si banteng makin lemah, hanya dapat memandang Hermann dan Henno dengan kesal. Mereka kelelahan dan kehabisan peluru karena tidak menyangka akan menjalani pertempuran sesengit itu.

"Kita harus pulang dan mengambil peluru lagi," ujar Hermann. "Dan merencanakan cara menghabisinya."

Henno mengangguk. "Kita juga harus membawa kantung tidur, dan segala sesuatu yang diperlukan. Banteng itu terlalu besar untuk diseret ke gua. Kita harus tinggal di sini sampai habis memakannya."

Mereka tertatih-tatih kembali ke gua, mengambil pisau, tali, kuali, dan alat-alat lain. Banteng jantan itu sekarang terkulai, tapi tetap berjuang untuk bangun dan menyerang lagi sewaktu Henno dan Hermann mendekat. Dua peluru lagi masih belum bisa mematikannya. 

Mereka tahu, mereka harus jantungnya. "Tapi, di mana letak jantung makhluk sebesar itu?" tulis Henno kemudian. "Baik Hermann atau aku belum pernah menyembelih lembu jantan dan kami tidak tahu caranya ... Ketika itu, Hermann dan aku agak terguncang. Peristiwa ini mengejutkan, dan kami jadi malu karena tidak mampu membereskan persoalan ini."

Akhirnya, mereka punya ide untuk mengikatkan seutas tali di sekeliling tanduknya dan mengikatkan tali itu ke sebatang pohon, sehingga banteng itu tidak dapat bergerak. Kemudian, dengan rasa lega yang luar biasa, mereka menebas tenggorokannya. 

Malam itu mereka melahap daging. Tapi, setelah itu mereka harus mulai mengawetkan sisa daging banteng itu. Daging cepat membusuk di bawah terik matahari. Mereka pun memotongnya, tapi tak satu pun peluru menembus tengkorak keras makhluk itu. Hermann dan Henno memotong daging menjadi irisan-irisan tipis untuk dikeringkan, menjadi biltong, sebutannya di penjuru Afrika Selatan.

 Sisa daging harus diasapi di atas api kecil. Teknik itu cukup rumit sehingga kedua pria itu harus berusaha berkali-kali sebelum berhasil. Selanjutnya daging banteng liar itu menjadi hidangan sarapan pagi, makan siang, dan makan malam pada hari-hari selanjutnya.

Membunuh banteng jantan adalah kesulitan utama dan pertama yang mereka temui ketika berburu. Mereka segera tahu bahwa pembunuhan seperti itu merupakan cara hidup yang brutal dan putus asa. Dengan sumber daya yang terbatas, mereka harus memikirkan kepentingan sendiri dan tidak bisa bersikap belas kasih. 

Sering kali, peluru mereka hanya melukai seekor hewan, dan mereka harus menyeret hewan itu berjam-jam untuk menghabisinya. Terkadang sang hewan benar-benar kabur. Bila si hewan terluka cukup parah, Henno dan Hermann hanya perlu menunggunya sampai melemah dan terkulai. Mereka tidak boleh membuang-buang peluru yang berharga agar sang hewan mati dengan bersih dan cepat.

Makan daging terus-terusan segera jadi membosankan, dan mereka berusaha mencari cara baru untuk menangkap ikan mas di kolam mata air. Akhirnya, mereka menemukan ide cemerlang untuk membuat jaring dari batang tanaman tamarisk dan celana dalam, yang kemudian mereka jadikan semacam pukat yang diletakkan di air di antara mereka. Usaha itu berhasil—dan untuk sementara, mereka memiliki banyak ikan untuk makan malam.

Tapi, kolam mata air itu lama-kelamaan mengering. Jelas, sumber makanan ini tidak akan tersedia selamanya. Lebih-lebih mereka memergoki ada pihak lain yang memanfaatkan kolam itu. Ikan mas di kolam itu dijarah pada malam hari. Jejak kaki menunjukkan pelakunya—seekor hiena.

Henno kesal. "Aku tak akan membiarkan hiena menjarah ikan kita!" cetusnya. "Aku akan mengintai dan menembaknya." 

"Jangan bodoh," ujar Hermann. "Jika kau berada di sekitar sini, ia akan mengendusmu. Dan bagaimana pun, kau tak bisa menembaknya dalam gelap."

Tapi, Henno nekat. Ia mengambil kantung tidurnya menuju kolam mata air dan berdiam di situ menunggu. Pada malam pertama, tak terjadi apa-apa. Paginya Henno kembali ke gua dengan tangan hampa. 

Hermann menyambutnya dengan senyum mengejek serta secangkir kopi. Hermann jelas tidak menyangka temannya itu akan berusaha lagi. Tapi Henno jengkel karena sikap Hermann. Ia pun kembali berjaga pada malam berikutnya.

la baru tidur sejenak sewaktu mendengar lolongan hiena yang menakutkan dari dekat. Ia menggapai senapan sewaktu hiena terus melolong dan mengaum. Mengerikan; tidak ada hewan lain di gurun pasir yang bersuara seperti itu. Tapi, cuma suara itu yang diperlukan Henno. Meskipun ia tidak dapat melihat makhluk seram itu, ia cuma mengarahkan senapan ke asal suara. Yang menggembirakannya, lolongan itu terhenti dan berganti dengan tangis kesakitan.

"Kena kau!" pikirnya, dan Henno meringkuk kembali di kantung tidurnya, lalu mendengkur sampai pagi hari.

Siang harinya, ia bangun dan mengamati tempat itu. Terdapat jejak yang ganjil, yang menunjukkan hiena tersebut tidak bisa lagi menggunakan kaki belakangnya. Ia mereka-reka seberapa jauh hiena itu dapat menyeret badannya. Henno mengikuti jejak tersebut sampai akhirnya ia menemukan hewan itu gemetar ketakutan di bawah pohon akasia.

la tidak mau menyia-nyiakan sisa pelurunya. Sebagai gantinya, Henno mulai memukuli belakang kepala hiena dengan batu-batu. Sebuah perjuangan lagi yang panjang dan mengerikan sebelum sang hiena akhirnya rubuh. Lelah, tapi entah bagaimana ia merasa menang. Henno menguliti hiena itu dan membawa kulitnya ke gua. Kali ini Hermann tidak menertawakannya.

Hari-hari berlalu, merajut satu sama lain. Henno dan Hermann mengamati musim yang berganti, dan harus membuat penyesuaian. Kolam ikan mas mereka mengering, dan mereka mulai menderita sakit kepala karena kekurangan vitamin. 

Mereka sadar, untuk mengatasi hal itu, mereka perlu minum darah lebih banyak dan makan daging mentah. Mereka menjadi kreatif. Mereka membuat sosis dari darah gemsbok dan memakai ususnya sebagai kulit.

Hermann dan Henno juga mulai kehabisan garam dan air—dua unsur penting untuk bertahan hidup. Seperti hewan-hewan di sekelilingnya, mereka pun harus berpindah untuk mencari kedua unsur itu. 

Rezeki tak akan mendatangi mereka di gua. Maka, mereka pun berjalan melalui ngarai yang tandus, di menahan rasa dahaga dan lapar, sampai menemukan cadangan garam dan mata air tawar.

Dalam salah satu pencarian itu, mereka beristirahat sejenak di bawah batu cadas untuk meneduhkan diri. Tanah yang mereka duduki dipenuhi kutu pasir, karena sebelum mereka duduk di situ sudah banyak hewan berada di tempat itu.

"Menurutku, aku baru saja digigit kutu," kata Hermann tiba-tiba sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Kutu itu menggigit telapak tangannya—tidak mengejutkan, di lingkungan seperti itu. Tapi, dalam beberapa detik, ia mulai melunglai.

"Hermann!" seru Henno merasa khawatir sewaktu Hermann terkulai ke tanah. "Kau tidak apa-apa?"

"Kepalaku ..., "Hermann merintih. Henno memandangnya. Dari sekujur tubuh Hermann keluar bercak yang aneh. Henno segera mencari-cari kutu yang telah menggigit Hermann.

"Lihat ini!" Henno berseru, sewaktu menemukannya. Kutu itu penuh dengan darah yang sudah menghitam dan lama. Darah Hermann jelas keracunan akut karena gigitan itu—dan ia tidak dapat melihat apa pun. Ia muntah banyak. 

"Aku tidak bisa melihat," ia berguman. "Aku buta."

Karena panik, Henno mengiris gigitan kutu itu dan membubuhkan sedikit kalium permanganat (semacam antiseptik) ke dalam lukanya. Tak ada lagi yang dapat ia lakukan. Hermann hampir tidak bisa berdiri, dan sekarang nyaris buta, tapi Henno menggiringnya ke gua kecil di dekat situ. Mereka menghabiskan sisa hari dan malam di sana, menunggu racun surut.

Belum sampai petang berikutnya, Hermann merasa cukup kuat untuk bergerak lagi. Musibah itu merupakan kejadian menakutkan, yang menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan mereka di alam belantara.

Sewaktu musim demi musim berlalu perlahan-lahan, keberuntungan mereka pun berubah. Saat kering, mereka terpaksa meninggalkan rumah pertama mereka untuk mencari air; mereka menetap di beberapa tempat, berkemah di tempat yang tersedia cukup air untuk mempertahankan hidup. 

Ada juga saat kelimpahan setelah hujan musiman, yang mengembalikan kehidupan gurun pasir secara dramatis. Henno selanjutnya menceritakan kekuatan dahsyat banjir bandang, dan pemandangan indah saat empat ribu ekor springbok merumput bersama-sama setelah hujan.

Otto melalui semua peristiwa itu bersama mereka. Anjing itu tak pernah lelah berburu, meskipun dua kali diseruduk tanduk gemsbok. Ia mempelajari cara bertahan hidup seperti halnya manusia, dan Henno serta Hermann dibuat takjub oleh cara hewan-hewan, bahkan hewan peliharaan, beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang berubah.

Namun, secara keseluruhan, Hermann dan Henno melemah, dan terus-menerus merasa lapar. Sewaktu musim kering kedua datang menyengat, mereka merasa terlalu lemah untuk berburu.

Mereka putus asa. Suatu hari, seekor tokek sedang melata, dan Henno menyergapnya. Ia menangkap ekornya saat setengah badan tokek itu masuk ke dalam batu cadas. "Daging tokek itu memberi kami dua porsi hidangan enak," tulis Henno. "Dagingnya kenyal dan putih, rasanya campuran antara daging ayam dan ikan salmon."

Tak lama, Hermann mulai jatuh sakit parah. Ia menderita nyeri punggung, yang bertahap menyebar ke tungkainya, dan akhirnya ke leher dan kepalanya. Henno berusaha keras untuk merawatnya, menembak hewan buruan segar, yang mereka makan mentah-mentah. Tapi, tampaknya tak ada yang menolong.

Hermann jelas perlu ke dokter. Ia tak mampu berburu lagi, dan bahkan hanya bisa merangkak. Hanya ada satu yang dapat mereka lakukan, meninggalkan gurun pasir, meskipun mereka sudah penat. Dengan berat hati, Henno mempersiapkan truk dan berjalan melalui jalan yang tandus kembali ke Windhoek.

Henno tidak menyerah begitu saja. Ia mengantar Hermann dan kembali lagi ke gurun pasir bersama Otto. Tapi, teman-teman membujuk Hermann untuk mengatakan tempat persembunyian Henno, dan tak lama polisi menemukannya.

Seperti yang sudah mereka duga, kedua warga Jerman itu ditahan di penjara; tapi sebentar. Mereka dipindahkan ke rumah sakit, tempat Hermann mulai pulih dari sakitnya. Ia menderita kekurangan vitamin B.

Selanjutnya keduanya harus menghadapi persidangan. Mereka dikenai banyak dakwaan, besar dan kecil, termasuk tidak membayar perizinan anjing mereka. Tapi mereka beruntung. Petualangan Hermann dan Henno sedemikian luar biasa sehingga mereka bebas dari hukuman dengan sedikit denda.

Tragisnya, setelah benar-benar sembuh, Hermann Korn tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, tahun 1946. Otto hidup selama beberapa tahun, kemudian menghilang secara misterius. Henno Martin melanjutkan hidup di Namibia, dan menulis buku tentang perjuangan dua setengah tahun mereka di Gurun Pasir Namib. Buku itu berjudul The Sheletering Desert. Cerita ini ditulis berdasarkan kisahnya.

(Gill Harvey)

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258519/dua-lelaki-dan-anjingnya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177205000) } } }