array(7) {
  [0]=>
  object(stdClass)#73 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3635699"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#74 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/mencari-mayat-hidup_alvaro-reyes-20230105070605.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#75 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(137) "Seorang pria terkena kasus pembunuhan yang tidak dilakukan. Setelah bebas, ia mencari si “mayat hidup” yang menyebabkannya dipenjara."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#76 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/mencari-mayat-hidup_alvaro-reyes-20230105070605.jpg"
      ["title"]=>
      string(21) "Mencari 'Mayat Hidup'"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 19:06:21"
      ["content"]=>
      string(34805) "

Intisari Plus - Seorang pria terkena kasus pembunuhan yang tidak dilakukan. Setelah bebas, ia mencari si “mayat hidup” yang menyebabkannya dipenjara.

--------------------

Saya tidak tahu persis bagaimana harus memulainya. Namun ada baiknya Anda ketahui mengapa saya sekarang berada di penjara.

Persidangan kasus ini sudah berlangsung lebih dari 20 hari dengan pengunjung yang selalu melimpah. Sampai pada hari terakhir sebelum vonis dijatuhkan, hakim ketua menunda sidang 2 hari untuk memberi kesempatan dewan juri berembuk. Berhubung sampai batas waktu yang ditetapkan para juri belum juga mencapai kata sepakat, akhirnya Hakim Ketua Justice Cartwright menyatakan bahwa keputusan bisa dibuat tanpa harus dengan suara bulat. 

Cukup bila 10 anggota dewan juri memberi suara sama. Hari itu, Pengadilan Kerajaan Inggris di Leeds dipenuhi pengunjung yang berharap-harap cemas menantikan keputusan, termasuk seorang wanita cantik paruh baya berambut pirang sebahu yang setia mengikuti persidangan di pojok ruangan.

“Dewan Juri yang terhormat, sudahkah Anda sekalian membuat keputusan?” tanya Hakim Cartwright.

“Sudah, Yang Mulia.” 

“Apakah Saudara Terdakwa terbukti bersalah atau tidak atas dakwaan yang dijatuhkan kepadanya?”

Begitu hakim selesai melontarkan pertanyaan, suasana ruang sidang mendadak senyap. Lantai tempat berpijak serasa bergoyang, mata saya nanar tertuju pada mulut ketua dewan juri, telinga seperti tak lagi bisa mendengar bunyi yang keluar dari 5 mulutnya …

 

Makan malam bersama

Kisah ini bermula ketika secara kebetulan saya bertemu Jeremy Alexander pada sebuah seminar bisnis di Bristol awal 1978. Lebih dari 50 perusahaan Inggris mengirimkan wakilnya termasuk saya dalam kapasitas sebagai presiden direktur Cooper’s & Son.

Perusahaan keluarga ini didirikan oleh ayah kami tahun 1931 dengan modal 3 buah kendaraan, 2 di antaranya masih ditarik kuda, serta cadangan modal sekitar £ 10 di Bank Martins. Meski sudah berjalan sekitar 36 tahun, kinerja perusahaan tidak begitu menggembirakan. Saya pernah mengusulkan kepada ayah untuk mengembangkan pasar. Tapi dasar pemikirannya masih kolot, ayah tidak menggubris usulan tersebut.

Baru setelah ia pensiun tahun 1977, tongkat estafet kepemimpinan perusahaan diwariskan kepada saya. Sejak itu pelan tapi pasti Cooper’s & Son mampu berkembang. Sampai tahun 1978 kami berhasil memiliki 127 kendaraan dan jangkauan wilayah bisnisnya tak hanya meliputi Inggris melainkan sudah merambah ke daratan Eropa. Bahkan saya merencanakan Cooper’s & Son go public. Oleh karenanya tawaran mengikuti seminar tentang hukum dan bisnis tidak saya sia-siakan.

Saya tertarik pada Jeremy sejak pertama kali berjumpa, terlebih ketika ia memimpin diskusi kelompok kami di akhir seminar. Dalam hati saya berkeyakinan, gabungan dari kecemerlangan otak Jeremy dengan tenaga kasar dan pengalaman lapangan saya selama ini tentu akan merupakan aset hebat untuk mengembangkan Cooper’s & Son.

Kami berasal dari keluarga dengan latar belakang berbeda. Ayah Jeremy yang imigran dari Eropa Timur adalah bankir profesional. Ia membekali anak-anaknya dengan pendidikan yang kuat. Setelah menyabet gelar sarjana hukum di King’s College London, Jeremy meneruskan studi masternya di Sorbonne. Pada saat itu ayah saya yang wiraswasta autodidak menyuruh saya magang sebagai juru tulis di perusahaannya. Ketika Jeremy menyelesaikan dokter hukum ekonomi di Universitas Hamburg, saya beralih dari petugas ekspedisi menjadi manajer operasional. 

“Semoga kita bisa bertemu lagi,” kata Jeremy seraya menjabat tangan saya seusai seminar. “Kalau rencana pengembangan bisnis Anda di Eropa berlanjut, tolong kabari. Akan saya bantu.”

Setelah saling bertukar kartu nama, kami berpisah. Masing-masing sibuk dengan pekerjaan. 

Cooper’s & Son berniat memutuskan hubungan kerja sama dengan perusahaan keju Prancis untuk mengirim produknya ke beberapa pasar swalayan di Inggris. 

Maklum, tahun sebelumnya kami menderita kerugian cukup besar dalam kerja sama serupa dengan perusahaan bir Inggris. Merasa perlu memperoleh masukan agar terhindar dari kesalahan serupa, akhirnya saya menelepon Jeremy di London. Kami sepakat bertemu di kantor Cooper’s & Son, Kamis minggu depan. 

Terus terang saya kagum melihat caranya menangani suatu masalah dan memeriksa berkas-berkas surat. Sampai titik koma pun tidak ia lewatkan. Diskusi di kantor berlangsung sampai sore, oleh karena itu Jeremy saya undang sekalian makan malam di rumah. Rupanya istri saya, Rosemary, keberatan. Ia nyaris menolak karena rencana makan malam itu mendadak, meskipun saya yakinkan ia pasti akan senang kalau sudah kenal orangnya. 

Rosemary yang cantik berambut pirang ini saya jumpai pada pertengahan tahun 1968 di sebuah festival musik di Leeds, yang diselenggarakan oleh Sheriff Brigadir Kershaw. Kebetulan kami duduk satu meja. Ajakan dansa gadis bergaun malam strapless biru yang menunjukkan lekuk molek tubuhnya itu tak kuasa saya tolak. Malam itu dengan segera kami akrab. Belakangan ketika hubungan kami sudah serius, baru saya tahu bahwa ia adalah putri tunggal sang Sheriff. Akhirnya kami menikah. 

Selama dua tahun setelah pernikahan kami, Rosemary berusaha menjadi istri dan pendamping yang baik. Ia terkadang membantu pekerjaan di kantor, bergaul luwes dengan beberapa istri eksekutif kami. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terutama ketika waktu saya banyak tersita oleh urusan kantor, Rosemary sering sendirian di rumah. Di lain pihak, baginya, mungkin saya bukan tipe suami ideal yang setiap saat bisa diajaknya nonton opera atau pesta.

Empat tahun kemudian perkawinan kami berada di ujung tanduk. Meski satu rumah, rasanya kami hidup di dunia masing-masing. Diam-diam saya ketahui ia sering keluar malam dengan pria lain.

Pukul 20.00 tepat Jeremy datang ke rumah. Ketika diperkenalkan dengan Rosemary, dengan amat galan dan sopan ia membungkuk dan mencium tangan istri saya. Sejak saat itu Jeremy dan Rosemary tak pernah sedetik pun melepaskan pandangan matanya masing-masing. Terpaksa saya pun berpura-pura buta melihat betapa saling tertariknya mereka.

Sejak hari itu Jeremy sering mampir ke Leeds. Tentu kedatangannya selalu saya manfaatkan untuk kepentingan kemajuan perusahaan. Rasanya Cooper’s & Son sudah saatnya memerlukan konsultan hukum perusahaan.

Setahun setelah perkenalan kami, Jeremy saya tarik dalam jajaran direksi perusahaan dengan tugas khusus mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan go public. Bersamaan dengan itu saya menghabiskan waktu ke Madrid, Amsterdam, Brussel untuk menghidupkan kembali kontrak-kontrak bisnis baru.

Kerja keras kami berdua ternyata membuahkan hasil. Pada 12 Februari 1980, Cooper’s & Son berhasil mendapat izin go public tahun depan. Namun dalam kegembiraan itu saya khilaf telah mengambil keputusan yang kelak ternyata berakibat fatal; mengangkat Jeremy menjadi wakil presdir.

Berdasarkan peraturan bursa, 50% dari jumlah saham keseluruhan dikuasai Rosemary dan saya. Dengan alasan supaya tidak terlalu terbebani pajak, Jeremy mengusulkan jumlah itu dibagi dua sama besar. Karena pihak akuntan setuju, tanpa pikir panjang saya pun mengiakan. Sisa 4.900.000 lembar saham, dilempar ke masyarakat. Rupanya laku, dalam beberapa hari saja nilai saham Cooper naik dari £ 1 menjadi £ 2,80.

Sampai Maret 1984 di tengah lajunya perkembangan ekonomi Inggris, saham kami melonjak menjadi £ 5, menyusul adanya spekulasi media massa adanya pihak yang akan mengambil alih perusahaan. Meskipun Jeremy menyarankan agar menerima penawaran itu, saya menolak karena kami tidak ingin kepemilikan perusahaan ini jatuh ke tangan orang luar. Akhir 1989 harian Sunday Times memperkirakan kekayaan saya mencapai £ 30 juta. 

 

Terpaksa tidur di hotel

Meski orang menganggap kaya, kehidupan saya sama sekali tidak berubah. Kami tetap tinggal di rumah warisan orang tua, saya masih mengendarai Jaguar tua, kerja tetap 14 jam sehari sampai larut malam. 

Hari itu setelah menyelesaikan urusan di Köln, saya tiba di Heathrow dengan pesawat terakhir. Semula ingin menginap semalam di London, tapi lantaran tidak kebagian hotel saya putuskan untuk langsung pulang ke rumah. Setibanya di Leeds sekitar pukul 24.00, mobil BMW putih Jeremy tampak parkir di depan rumah. Sejenak rasa curiga menyergap di dada.

Setelah memarkir mobil persis di belakang BMW, perlahan-lahan saya masuk rumah lewat pintu depan. Hanya satu lampu menyala di depan kamar tengah lantai satu. Meski bukan seorang detektif, siapa pun bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi di dalam. Apalagi tirai jendela kamar itu tertutup rapat. Sayup-sayup terdengar cekikikan istri saya. 

Rupanya mereka tak menyadari kedatangan si tuan rumah. Akhirnya saya keluar dan menuju Hotel Queen. Dari manajer jaga yang sudah akrab dengan kami, saya memperoleh informasi bahwa Jeremy Alexander memesan satu kamar. Malam itu saya tidur di ranjang yang dipesan Jeremy. Jam demi jam berlalu, menit demi menit bergeser, tak sedetik pun mata saya bisa dipejamkan. Hati ini sesak dengan rasa muak terhadap pria bernama Jeremy, walaupun hubungan saya dengan Rosemary tak lagi dekat. 

Esok pagi, saya pura-pura menelepon sekretaris di kantor, memberitahukan bahwa saya dalam perjalanan dari London. Ia mengingatkan ada rapat yang dipimpin Jeremy nanti pukul 14.00. Sambil sarapan, terlintas di benak maksud licik Jeremy kenapa ia mengambil alih pimpinan rapat hari itu. Rupanya ia mengira saya masih berada di luar kota. 

Karena tiba di kantor pukul 13.30 saya masih sempat memeriksa berkas-berkas surat. Alangkah terperanjat saya melihat besarnya jumlah saham Cooper’s & Son yang kini di tangan Jeremy. Setelah tahu kedatangan saya, diam-diam Jeremy mengosongkan kursi pimpinan rapat. Agaknya ia sudah merencanakan langkah-langkah berbahaya yang bisa menyebabkan saya maupun Rosemary kehilangan kontrol atas perusahaan ini. Untung, saya pulang lebih dulu. Akhirnya, saya menugaskan akuntan membuat laporan keuangan lengkap sebagai persiapan rapat berikutnya.

Menyadari langkahnya bisa saya potong, Jeremy kecewa tapi diam saja. Selama rapat beberapa kali jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja. Selesai rapat pukul 17.40, saya mengundang Jeremy makan malam di rumah. Awalnya Jeremy terlihat segan, tapi setelah saya jelaskan perlunya Rosemary mengetahui rencana ini, ia pun setuju.

Bertiga kami menikmati makanan kecil dan minum bersama di meja tengah.

“Mengapa kau demikian bernafsu merencanakan alokasi saham baru ini?” tanya saya ketika Jeremy minum brendi gelas yang kedua. “Seharusnya kau sadar, dengan cara itu orang luar lebih mudah mengambil alih perusahaan dari tangan kami. Padahal kau tahu, saya tidak akan melakukan itu?”

Ia mencoba menerangkan, “Itu justru demi kebaikan perusahaan sendiri, Richard. Kau juga harus-menyadari betapa cepatnya Cooper’s berkembang. Konsekuensinya Cooper’s tak lagi bisa dipertahankan sebagai perusahaan keluarga. Secara politis, keputusan ini akan berdampak positif di mata para pemegang saham,” ujar Jeremy.

Yang mengherankan, Rosemary ternyata malah mendukung pendapat Jeremy. Seolah-olah ia amat tahu rencana alokasi saham Cooper’s. Ini amat aneh, mengingat sebelumnya ia tak pernah tertarik pada urusan kantor.

“Omong-omong apakah kalian menjalin affair?” Wajah Rosemary merah padam mendengar keterusterangan saya. Sedangkan Jeremy ketawa, “Ah, kau terlalu banyak minum Richard. Omonganmu ngawur.”

“Aku sama sekali tidak mabuk,” jawab saya. “Kau pikir aku tak tahu semalam kau nginap di rumah ini dan tidur di kamar Rosemary?” Baru pertama kalinya saya kalap seperti ini. 

“Oh, tadi malam saya memberi penjelasan kepada Rosemary karena rencana alokasi saham ini akan berdampak kepadanya,” kilahnya. “Ini sekadar prosedur yang dituntut oleh bursa saham.”

“Adakah peraturan bursa saham yang memerlukan penjelasan di tempat tidur?”

“Oh, jangan sembarangan menuduh begitu,” jawab Jeremy. “Malam itu saya menginap di Hotel Queen. Kalau kau tak percaya, teleponlah manajer hotel,” tambahnya sambil meraih gagang telepon. “Manajer hotel pasti akan mengatakan bahwa saya memesan kamar seperti biasa.”

“Memang. Tapi saya yakin ia pun akan mengatakan bahwa sayalah yang malam itu tidur di kamar pesananmu!”

Pada saat yang tenang tapi penuh ketegangan ini, saya merogoh kunci kamar hotel dari saku saya dan melemparkan tepat di depannya. Tiba-tiba Jeremy meloncat terkaget-kaget. Perlahan saya berdiri dari kursi dan berjalan ke arahnya, sambil menanti-nanti apa yang akan ia lakukan. 

“Semua ini karena kesalahanmu. Ketololanmu!” suara Jeremy tergagap-gagap. “Mestinya kau lebih memperhatikan dan mengurusi Rosemary dan tak harus keliling Eropa sepanjang waktu. Ketahuilah, tindakan itu membahayakan perusahaan.”

Kemarahan saya memuncak. Tak hanya karena begitu arogannya Jeremy berani meniduri istri dan menasihati bosnya sendiri, tapi juga niatnya untuk menguasai Cooper’s & Son. Tanpa menggubris omongannya, saya langsung meninju sekeras-kerasnya rahang Jeremy. Meski tubuh saya lebih pendek beberapa senti dari Jeremy, berkat pengalaman lapangan selama ini, saya cukup lincah bergerak. Tak menyangka mendapat serangan secepat ini, tubuh Jeremy terhuyung-huyung ke belakang lalu ke depan sebelum akhirnya roboh di depan saya. Pelipis sebelah kanan menimpa meja kaca sehingga pecah dan menghamburkan minuman ke mana-mana. Ia tergeletak tanpa bergerak, darah membasahi karpet. 

Melihatnya terkapar tak berdaya sekejap rasa puas menyelinap di dada. Sebaliknya, Rosemary menjerit histeris sambil menubruk tubuh Jeremy dan mulai menangis. 

“Mulai detik ini ia saya pecat dari Cooper’s,” ujar saya kepada Rosemary. “Kalau sudah siuman, katakan jangan menginap di Hotel Queen karena malam ini aku akan tidur lagi di kamarnya,” ujar saya sambil berjalan menjauh. Dengan emosi sudah terkendali, saya ke Hotel Queen dan langsung mencoba tidur di ranjang yang telah dipesan Jeremy. Esok harinya pintu kamar digedor orang, dua polisi masuk dan membawa saya ke Polsek Millgarth.

 

Membunuh dan menghilangkan bukti

Peristiwa itulah yang membawa saya meringkuk di Penjara Armley sambil menunggu proses penyidikan polisi dan penanganan aspek hukumnya. Kejahatan yang dituduhkan kepada saya; membunuh Jeremy Anatole Alexander sekaligus menghilangkan mayatnya. 

Ini didasarkan pada kesaksian Rosemary dan penemuan bercak-bercak darah di mobil Jaguar yang terparkir di halaman. Penyelidikan yang dilakukan polisi dengan menggali halaman rumah, karena konon ada indikasi saya menguburkan korban, tak menghasilkan apa-apa.

Sembilan bulan kemudian kasus saya dibawa ke meja hijau. Selama itu pula nasib saya menjadi bulan-bulanan media massa. Bagi media kasus ini memang menarik. Terbunuhnya konsultan bisnis terkenal, apalagi ada bumbu penyelewengan seks wanita cantik, istri pengusaha kaya. 

Beruntung saya mendapat pembela yang kampiun di bidangnya, Sir Matthew Roberts QC. Dalam eksepsi pembelaannya, Sir Matthew mencoba mementahkan dakwaan dengan sederet argumentasi. 

Bagaimana terdakwa bisa membunuh seseorang kalau mayat korban tidak ada? Bagaimana bisa membuang mayat kalau semalaman ia tidur di kamar Hotel Queen? Kepiawaian Matthew berbicara sempat membuat anggota juri kebingungan, beberapa di antaranya tampak ragu atas tuduhan terhadap diri saya, sampai kemudian Rosemary naik ke mimbar saksi. 

“Apa yang terjadi saat itu Ny. Cooper?” tanya jaksa. 

“Suami saya membungkuk dan memeriksa denyut nadi korban,” ujar Rosemary setengah berbisik. “Wajahnya kemudian pucat dan berkata kepada saya, ‘Ia sudah mati. Saya telah membunuhnya.’”

“Apa yang kemudian dilakukan Pak Cooper?”

“Mengangkat mayat itu kemudian memanggul di pundaknya. Lalu berjalan menuju pintu. Saya berteriak kepadanya, ‘Apa yang akan kau lakukan, Richard?’”

“Apa jawaban suami Anda?”

“‘Akan saya buang mayat ini mumpung hari masih gelap. Saya akan membuat kesan seolah-olah Jeremy tak pernah datang ke rumah ini. Toh ketika meninggalkan kantor sudah tak ada orang, mereka pasti menyangka Jeremy pulang ke London. Bersihkan berkas-berkas darah yang ada!’ Itulah kalimat terakhir yang saya dengar dari suami saya sebelum saya pingsan.”

Pertanyaan dari Sir Matthew pun tidak kalah menggigit.

“Ny. Cooper, Anda menganggap Alexander sebagai teman?”

“Ya, sebatas ia adalah mitra kerja suami saya.”

“Dengan demikian Anda tak pernah saling bertemu, saat suami Anda keluar kota?”

“Hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu, pada saat saya mendampingi suami. Atau ketika saya ke kantor untuk mengambil surat-surat.”

“Hanya dalam kesempatan-kesempatan demikian? Apakah tidak ada kesempatan lain bertemu dengan korban, seperti ketika pada malam 17 September 1989 sebelum suami Anda pulang dari perjalanan dinasnya ke Eropa? Apakah korban tidak menemui Anda ketika itu?”

“Tidak. Ia hanya mampir sebentar dari kantor untuk memberikan dokumen-dokumen suami saya. Korban pun segera pulang setelah menolak saya tawari minum kopi.”

“Tapi suami Anda mengatakan ...”

“Saya tahu apa yang dikatakan suami saya!” jawab Rosemary emosional seakan ia sudah mengantisipasi pertanyaan tersebut.

“Baiklah. Apakah Anda menjalin affair dengan korban terutama bila suami Anda tidak di rumah?”

“Tidak. Meski suami saya sering menuduh saya tidak setia.”

“Setelah mengetahui peristiwa ini, mengapa baru 2 jam kemudian Anda memanggil polisi?”

“Seperti saya katakan tadi, saya pingsan setelah suami saya keluar. Saya baru menelepon polisi setelah itu.”

“Atau barangkali yang sebenarnya terjadi, Anda memakai jeda waktu itu menjebak suami Anda, sambil memberi kesempatan kepada kekasih Anda, Alexander, menghilang?” Pertanyaan menyudutkan itu segera memancing reaksi para hadirin. Ruang sidang sempat ramai dengan komentar-komentar dan tawa pengunjung. 

“Pertanyaan Anda terlalu mengada-ada, Sir Matthew. Itu tidak relevan,” sela jaksa penuntut. 

“Andaikan saja Anda benar menjalin cinta dengan Alexander, bahkan sampai sekarang masih dan Anda mengharapkan ia masih hidup, dapatkan Anda ceritakan sekarang ini ia berada di mana?” lanjut Sir Matthew.

Tanpa menghiraukan keributan antara dua pengacara, Rosemary masih mau menjawab, “Saya berharap ia bisa berada di ruang ini. Dengan demikian menegaskan bahwa semua yang saya katakan benar.”

“Memang, sebenarnya Andalah yang tahu cerita ini,” sela Sir Matthew. “Yang benar adalah, suami Anda meninggalkan rumah atas kemauannya sendiri. Ia pergi ke Hotel Queens untuk tidur, sementara Anda dan kekasih gelap Anda menggunakan kesempatan itu untuk membuat berbagai jejak dan cerita palsu ke seluruh Kota Leeds. Jejak-jejak yang bertujuan menyudutkan, seolah-olah Pak Cooper pelaku pembunuhan ini. Tapi satu hal yang tidak bisa Anda tinggalkan adalah mayat korban. Mengapa? Karena seperti yang Anda ketahui, Jeremy Alexander masih hidup. Kalian berdua telah mereka-reka cerita bohong. Apakah ini yang Anda maksud kebenaran?”

“Tidak!...Tidak!” teriak Rosemary sambil menangis. 

Giliran saya ditanya oleh jaksa, ruangan sidang amat senyap. Mata dan telinga semua pengunjung tertuju pada saya. Kejadian malam itu saya ceritakan secara lengkap, tanpa menambah dan mengurangi. Rupanya, dewan juri terlebih dahulu terperangkap simpati dengan akting Rosemary yang begitu luar biasa. Akhirnya, saya dinyatakan bersalah. Lemas seluruh tubuh saya mendengar vonis seumur hidup. 

 

Menyewa mantan polisi

Sebagai pengacara andal, Sir Matthew tidak menyerah begitu saja meski keputusan sudah dijatuhkan. Apalagi sampai detik ini barang bukti penting, yakni mayat korban, tidak ada.

“Ini tidak adil, Pak Cooper. Kita akan segera naik banding. Percayalah, saya tidak akan berhenti sebelum menemukan Jeremy dan menyeretnya ke meja hijau.”

Yang namanya jalan keadilan memang ternyata tidak semulus jalan tol. Buktinya saya harus menunggu selama hampir dua tahun sebelum akhirnya menerima kabar bahwa permohonan itu ditolak. Meski demikian, Matthew masih belum mundur. Langkahnya mencari keadilan tak lantas surut. Kali ini ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Sambil menanti putusan kasasi, saya menyewa jasa dua mantan polisi, yakni Inspektur Donald Hackett dengan bayaran £ 100.000 setahun, bekerja selama 7 hari/minggu. Hackett dibantu oleh dua mantan polisi: Inspektur Williams dan Jenny Kenwright. Tugas mereka mencari Jeremy, Rosemary, dan menyeretnya ke pengadilan.

Barangkali saya satu-satunya narapidana yang setiap Minggu siang dibesuk dan menerima laporan dari para polisi ini. Bertiga mereka menempati flat di dekat Constitutional Club, Bradford, sebagai markasnya dalam melakukan penyelidikan.

Empat bulan kemudian, Hackett berhasil melacak keberadaan Rosemary. Setelah menjual rumah di Leeds, Rosemary pindah dan menetap di estat Vila Fleur, Cannes, Prancis. Di lingkungan barunya, ia mengganti namanya menjadi Nn. Kershaw. Data lengkap tentang keadaan rumah serta nama para pelayan dan koki Kershaw terlampir dalam berkas laporan Donald Hackett. Sebulan kemudian informasi bertambah. Nn. Kershaw memasang iklan lowongan pekerjaan, tukang kebun untuk mengurus halamannya. Segera saya perintahkan Williams menyusup ke rumah Rosemary dengan melamar pekerjaan tersebut. 

Masuknya Williams ke lingkungan hidup Rosemary amat memudahkan kami dalam melacak keberadaan Jeremy. Agarnya figur Williams dengan cepat bisa mendapat kepercayaan nyonya rumah. Terbukti, ia kemudian diangkat menjadi sopir pribadi. Rosemary. Williams juga melaporkan bahwa di meja kamar tidur Rosemary terdapat foto pria tinggi tampan berinisial J. 

Pada saat yang bersamaan, saya menerima kabar gembira. Permohonan kasasi dikabulkan sehingga saya bisa bebas murni. Meski demikian, pengejaran terhadap Jeremy jalan terus. Saya tak akan pernah membiarkan pria yang telah merampas hidup selama 3 tahun, istri dan perusahaan, lari begitu saja.

Saat Williams kembali ke Inggris untuk liburan akhir pekan, ia melaporkan tentang kebiasaan Rosemary pergi ke Majesty, satu-satunya hotel di kota, setiap Jumat siang untuk melakukan pembicaraan telepon sambungan internasional tanpa operator. Maklum, di rumah ia sangat jarang memakai telepon. 

Benar. Identitas orang yang selalu ditelepon Rosemary dari Majesty pasti akan menjadi petunjuk penting penyelidikan ini. Tapi bagaimana cara mengetahuinya? Saya tak sabar lagi menunggu perkembangan upaya tim ini. Sampai suatu malam di hari Minggu, telepon di Bradford berdering. Suara Williams dari seberang sana terdengar serius meski terbata-bata.

“Celaka, Don, saya dipecat…..”

“Apa? Dipecat? Apakah kau menggoda pelayan wanitanya?” tanya Donald emosional. 

Bukan. Penyebabnya ternyata amat sepele. Menurut pengakuan Williams, kemarin dia mengantarkan Nn. Kershaw ke kota. Di sebuah perempatan mobilnya berhenti lantaran terhadang lampu merah. Rupanya ada seorang penyeberang jalan yang mengenali wajah Williams. Tanpa rasa dosa, orang itu menghampiri jendela mobil dan menyapa, “Apa kabar, Inspektur Williams?” Ternyata, orang itu Neil Case, penjahat kambuhan yang pernah ditangani Williams. 

Meski Nn. Kershaw tidak bereaksi, buntut kejadian itu amat fatal. Sesampainya di rumah, Williams langsung dipecat. Untung, insiden tersebut menyisakan info penting. Begitu mengetahui kalau sang sopir ternyata polisi, Kershaw amat panik. Tanpa sadar ia langsung masuk kamar dan menelepon. Di lain pihak, instingnya sebagai polisi mendorong Williams menyadap pembicaraan itu lewat telepon paralel di ruangan lain. Ketahuan, nomor yang dihubungi Kershaw adalah 6407 7, di daerah Cambridge.

Secuil informasi berharga ini segera dimanfaatkan oleh Hackett untuk melanjutkan pelacakan siapa pemilik nomor itu. Meski menyita waktu beberapa hari untuk setiap kali menambah satu digit angka mengisi kekosongan nomor yang diberikan Williams, akhirnya dengan bantuan kolega Hackett yang bertugas di kepolisian wilayah Cambridge, terpilih nomor telepon 6407 6 7, yang terdaftar atas nama Prof. Balcescu, warga Great Shelford, Cambridge, direktur Lembaga Studi Eropa Timur, Universitas Oxford. Penyelidikan atas keluarga ini memberi tambahan informasi penting lain, mereka memiliki BMW putih No. pol. K273 SCE, terdaftar atas nama Susan Balcescu.

 

Bekas luka di pelipis 

Rasanya tak sabar lagi saya menantikan kesempatan ini. Secara fisik maupun mental saya sudah lama mempersiapkan diri, termasuk selalu membawa sepucuk Baretta dalam jaket. Bersama dengan Donald, dan Jenny Kenwright, Jumat pagi kami meluncur ke Cambridge. Menurut jadwal Prof. Balcescu memberi kuliah siang hari.

Ketika melihat orang yang bernama Balcescu lewat di lorong sebelum masuk ruang kuliah, saya malah ragu. Dari warna rambut, warna mata dan tubuhnya yang jauh lebih kurus, pria ini tak mirip dengan Jeremy. Namun kami tak mungkin langsung pergi, mengingat gerakan kami bertiga di tengah kerumunan mahasiswa di kelas ini justru akan menimbulkan kecurigaan.

Dalam keremangan ruangan, lantaran Balcescu memakai slide-projector, wajah profesor ini agak sulit diamati. Beberapa kali slide-projectornya macet, sehingga asisten dosen yang bertugas mengoperasikan alat itu agak kewalahan menyesuaikan penjelasan Balcescu dengan urutan gambar yang cocok. Setiap kali pula sang profesor yang gelisah itu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Ya, gerakan tangan itu segera mengingatkan saya pada seseorang. Ketika sorot lampu proyektor tanpa berisi slide tepat mengenai wajahnya, saya lihat ada bekas luka di pelipis kanannya.

“Benar! Dialah orangnya,” bisik saya kepada Donald. 

Segera setelah kuliah usai, saya memburu Balcescu ke kamar dosen. Langkah saya dicegah oleh sekretarisnya. “Maaf, Tuan Direktur sedang menantikan sambungan telepon dari luar negeri. Ia tidak bisa diganggu.” Tapi saya nekat menyerobot masuk. 

Demikianlah saya berhadapan langsung dengan orang yang selama ini saya cari. Begitu mengenal siapa yang berdiri di depannya sambil menodongkan pistol, wajah Balcescu mendadak pucat. Gagang telepon dalam genggamannya terjatuh, sementara dari sambungan telepon di seberang masih terdengar suara, “Halo Sayang! Kau masih di situ?” Saya kenal, itu suara Rosemary. 

“Jangan lakukan, Richard. Akan kujelaskan. Percayalah, akan kujelaskan,” kata Jeremy alias Balcescu ketakutan. Pada saat yang sama, Donal menghambur masuk ke ruangan. Ia segera berteriak,

“Jangan lakukan, Richard,” katanya memohon lantaran saya sudah mengokang pistol, “nanti kau akan menyesal seumur hidupmu.”

“Tidak, Donald!” jawabku, “Saya tak menyesal membunuh Jeremy. Kau tahu, ia sudah dinyatakan mati. Bahkan saya telah dipenjara karena dituduh membunuhnya. Kau pun tahu, saya takkan bisa diadili untuk kedua kalinya atas pembunuhan yang sudah divonis dan saya jalani hukumannya. Meski kali ini mereka akan menemukan mayat korban.”

Moncong pistol saya arahkan ke jantung Jeremy. Perlahan pelatuk saya tarik. Tapi persis pada saat itu Jenny masuk dan menubruk kaki saya dari belakang, sehingga bersamaan dengan letusan pistol ke atas, saya dan Jeremy jatuh terjerembap.

Jeremy masih hidup, hanya terluka di pundaknya. 

Nah, seperti yang tertulis di awal kisah ini, Anda telah mendapat penjelasan mengapa saya berada di Penjara Ford Open. Atau yang lebih tepat, mengapa saya kembali masuk penjara. Dengan tuduhan melakukan percobaan pembunuhan, saya dijatuhi hukuman 9 bulan. 

Tapi, kali ini saya tidak sendirian. Di tempat lain, Jeremy juga meringkuk di sel penjara Armley. Ia ditahan karena bersekongkol melecehkan pengadilan umum. Sementara Rosemary alias Nn. Kershaw pun harus menebus hidupnya di Penjara Marseilles, dengan tuduhan melakukan sumpah palsu. (Jeffrey Archer)

Baca Juga: Agar Jadi Lelaki Sejati

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635699/mencari-mayat-hidup" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945581000) } } [1]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635910" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/untung-belum-sempat-beraksi_silv-20230105070415.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Seorang perempuan berkendara menuju peternakan sahabatnya. Namun selama perjalanan ia diikuti sebuah van yang hendak mencelakainya." ["section"]=> object(stdClass)#80 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/untung-belum-sempat-beraksi_silv-20230105070415.jpg" ["title"]=> string(28) "Untung, Belum Sempat Beraksi" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:04:44" ["content"]=> string(33038) "

Intisari Plus - Seorang perempuan berkendara menuju peternakan sahabatnya. Namun selama perjalanan ia diikuti sebuah van yang hendak mencelakainya.

--------------------

Di antara hari-hari yang datang dan pergi setiap bulan, Sabtu keempat merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu Anna, meski terkadang ia selalu diliputi rasa cemas. Seperti biasa hari itu jatah bagi kedua anaknya, Jerry dan Carolina, untuk berkumpul dengan ayah mereka alias mantan suami Anna. Maklum, perannya sebagai single parent sekaligus direktur perusahaan yang sedang berkembang membuatnya tidak lagi punya banyak waktu untuk bersantai. Itulah sebabnya hari ini Anna mencoba pulang kantor lebih awal untuk menghindari lalu lintas akhir minggu yang macet. Apalagi ia diundang menginap di peternakan milik Daniel, sahabatnya, sehingga ia berharap dapat meninggalkan kantor tepat pukul 17.00.

Namun, saat jam mejanya menunjukkan pukul 16.37, rekan kerjanya Filip, menyerahkan dokumen setebal 12 halaman dengan permasalahan rumit yang harus segera ia tandatangani sebelum diserahkan pada klien. Kekesalannya kian menjadi ketika Filip mengingatkannya bahwa mereka telah kehilangan dua kontrak pada minggu terakhir. Toh, Anna mencoba tetap tenang, menyembunyikan kejengkelan yang mulai memuncak.

Setiap Jumat peristiwa serupa sering terjadi. Sementara di siang hari tidak banyak kesibukan yang ia tangani namun saat akan meninggalkan meja kerja, seketika ada tugas baru yang cukup menyita waktu yang harus segera ditanganinya. Dengan sekilas pandang, Anna tahu tidak mungkin keluar kantor sebelum pukul 18.00.

Ia membaca pelan-pelan halaman pertama, sambil memberikan beberapa koreksi. Pengalaman mengajarkan, sedikit kesalahan yang dibuat menjelang akhir Minggu akan berakibat fatal bahkan bisa menimbulkan sesal yang berkepanjangan di sepanjang minggu berikutnya. Saat halaman terakhir selesai, ia melirik jam mejanya. Pukul 17.51.

Bergegas ia keluar ruangan, kemudian menjatuhkan bundel dokumen di meja Filip. Sebenarnya ia curiga tugas itu mestinya sudah ada di pagi hari, tapi sengaja ditahan hingga sore hari. Ia menduga Fil mencoba melakukan pembalasan karena iri atas promosi yang diterimanya beberapa bulan lalu.

 

Perceraian yang tak terduga

Dalam perjalanan ke lantai parkir di bawah tanah, ia mencoba menghitung keterlambatan yang mengganggu rencana perjalanan akhir pekannya. Setelah membuka pintu Audi merah metaliknya, ia melemparkan tas kerja ke kursi belakang, dan segera meluncur ke jalan raya yang arusnya mulai ramai. Selain ke jalan, matanya sempat mengamati bagaimana para pekerja kantor, lelaki perempuan, tua muda, berderet-deret di sepanjang trotoar, seperti semut pekerja, antre menunggu angkutan umum. Entah bus kota maupun metro mini. Sesekali bila ada taksi menepi, kerumunan orang itu berebut masuk. Begitulah fenomena sosial yang sudah menjadi pemandangan umum setiap jam pulang kantor di ibu kota ini.

Radio mobil yang dinyalakannya menyiarkan berita pukul 6. Krisis moneter yang melanda sebagian besar negara-negara Asia Tenggara masih menjadi topik utama. PM Malaysia melancarkan tuduhan bahwa George Soros, spekulan valas internasional, adalah biang dari bencana ekonomi dan merosotnya nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar AS. Diberitakan pula, dalam suatu kesempatan Mahatir menantang Soros untuk adu debat. Namun ternyata forum perdebatan yang ditunggu banyak kalangan itu tak kunjung terjadi, sementara krisis moneter justru semakin menjadi-jadi. Di tengah situasi sedemikian itu, muncul silang pendapat dari para pakar ekonomi tentang perlu tidaknya campur tangan IMF dalam membantu mengatasi krisis moneter yang dialami pemerintah Indonesia. Tak urung, hiruk pikuk itu malah membuat rakyat kecil kebingungan.

Berita olahraga didominasi seputar penyelenggaraan SEA Games 1997 di Jakarta. Disusul kemudian dialog lewat telepon dengan seorang tokoh lembaga konsumen yang isinya mempertanyakan penarikan dana olah raga lewat stiker yang masih berlanjut meski pesta olah raga tersebut sudah usai.

Ketika Anna mencoba mengganti channel ke stasiun radio lain yang terdengar justru kabar buruk. Tadi malam terjadi sebuah perampokan berdarah yang menimpa seorang pengusaha kaya di rumahnya kawasan Kayangan Indah. Korban tewas mengenaskan dengan tiga lubang peluru di tubuhnya, sementara kawanan perampok berhasil menggondol uang sebesar Rp 1 miliar. Pikiran Anna makin hanyut dalam keprihatinan, tak heran ia kemudian mematikan radionya. Ia jadi berpikir, bagaimana bila ia menyalakan radio sepanjang tahun. Bisa jadi bukan hiburan yang didapat, melainkan stres.

Seakan mencoba menepis segala perasaan yang muncul, begitu mobilnya memutari Bundaran HI, Anna mulai membayangkan akhir pekannya kali ini. Pikirannya menerawang ke peristiwa lebih dari setahun yang lalu, ketika Hari, suaminya, dengan jujur mengaku ingin bercerai setelah bertemu dengan seorang wanita. Sampai sekarang ia masih belum mengerti semua itu bisa terjadi setelah mereka bersama selama 7 tahun. Ia belum pernah merasa sekaget atau semarah itu. Hati kecilnya merasa dikhianati. Orang tuanya pun sempat kecewa, menyaksikan akhir tragis perkawinan putri mereka yang selama ini menjadi kebanggaan keluarga.

Namun lambat laun ia menyadari. Sejak dipromosikan sebagai direktur, memang makin sedikit waktu yang mereka luangkan bersama. Mungkin juga Hari merasa minder karena penghasilannya sebagai suami makin kecil saja dibandingkan gaji sang istri. Entah penyebab mana yang benar, Anna tidak tahu persis. Apalagi ia mulai berkaca pada kenyataan, sepertiga perkawinan di daerahnya berakhir dengan perceraian atau perpisahan.

Perceraian mereka berlangsung dengan damai. Hari mengalah atas semua tuntutannya. Flat di Kejora Regency, Audi metalik buatan tahun 1996, dan anak-anak, yang diperbolehkan berlibur bersama ayahnya pada minggu keempat. Selama ini perjanjian itu berjalan lancar. Masing-masing selalu mencoba menepati putusan yang telah dibuat.

Sabtu siang Hari akan menjemput anak-anak mereka di sekolah, dan sebagaimana biasa, ia akan mengantarkan kembali ke rumah sekitar pukul 19.00 Minggu petang. Saat itu, Anna biasanya akan menghabiskan waktu berjalan-jalan selama mungkin untuk membuang rasa kesepiannya. Meski ia terkadang lelah mental, bertanggung jawab membesarkan dua anak tanpa suami, ia sering kehilangan bila berjauhan. Flatnya terasa “mati” tanpa kehadiran kedua buah hatinya.

 

Untung ada Daniel

Sejauh ini Anna belum juga punya pacar. Tak seorang pun dari staf senior di kantor mau mengajak berhubungan lebih serius kecuali sekadar makan siang bersama. Masuk akal, karena hanya 3 orang di antara mereka yang masih lajang. Satu-satunya orang yang pernah diharapkan menjalin hubungan serius ternyata hanya menginginkan dirinya di malam hari.

Sejak lama Anna telah memutuskan, seringan atau sesingkat apa pun hubungan dengan rekan sejawat, pasti hanya akan berakhir dengan kepedihan. Menurutnya, selain sangat sombong, pria juga sulit dimengerti. Bayangkan, suatu saat seorang pria tersenyum-senyum saat menatap seorang perempuan. Tapi bila kemudian perempuan itu melakukan kesalahan kecil, mereka akan segera mencapnya sebagai perempuan gampangan.

Anna menggeram ketika sampai di perempatan lampu merah. Bayangkan, selama 20 menit ia baru berjalan sejauh 2 km. Ia membuka kotak konsol di samping tempat duduknya, meraba-raba dalam kegelapan mencari kaset. Begitu menemukan satu, ia pun memasukkannya ke dalam tape mobil sambil berharap kaset itu berisi lantunan suara Pavarotti. Ternyata, justru Gloria Gaynor yang melengking dalam I will Survive. Anna tersenyum, pikirannya melayang ke Daniel.

Ia dan Daniel pernah kuliah bersama di Fakultas Ekonomi Universitas Indonusa awal 1980-an, tak heran bila mereka berteman baik. Persahabatan itu terus terjalin bahkan setelah Daniel bertemu Rani yang lebih muda beberapa tahun. Daniel dan Rani menikah segera setelah lulus. Sekembalinya dari bulan madu Daniel mengambil alih manajemen peternakan milik ayahnya di Jawa Tengah. Perkawinan mereka membuahkan tiga anak yang lahir berturutan. Anna - sebagai sahabat - dipercaya menjadi ibu baptis Sofia, putri sulung mereka.

Terkadang, Anna iri melihat rumah tangga Daniel yang tenang selama 12 tahun perkawinan. Ia pun yakin mereka tidak pernah punya keinginan untuk bercerai. Sebaliknya, Rani dan Daniel berpendapat, meskipun bercerai kehidupan Anna tidak akan kurang berarti atau menarik.

Berakhir pekan di peternakan bukan kali pertama dilakukannya. Ia sering diundang menginap oleh Daniel, tapi dari 2 atau 3 undangan, Anna hanya memenuhi satu kali saja. Bukan ia tidak suka lebih sering bersama-sama mereka, tapi ia hanya tidak ingin memanfaatkan kebaikan mereka.

Kali ini pun ada alasan khusus untuk berkunjung, ia ingin beristirahat setelah satu minggu yang melelahkan. Minggu ini dua kontrak gagal ditindaklanjuti. Belum lagi Jerry dikeluarkan dari tim sepak bola, sedangkan Carolina terus ribut mengatakan bahwa ayahnya tidak keberatan ia menonton TV, meski ia seharusnya belajar untuk persiapan masuk sekolah.

 

Korban kucing hitam

Lampu merah menjadi hijau. Anna mengeluh, selama sejam dalam perjalanan ia baru menempuh 7 km. Ini pun belum keluar dari wilayah kota. Ketika sampai pada jalan terbagi atas beberapa lajur, sekilas melihat ke papan petunjuk. Tindakan itu dilakukannya lebih karena kebiasaan, lantaran ia hafal sekali setiap jengkal jalur jalan menuju peternakan Daniel. Ia mencoba menambah kecepatan mobil, tapi gagal, karena semua lajur jalan sama padatnya.

“Sialan,” ia menggerutu begitu teringat tidak membawa bingkisan untuk keluarga Daniel. “Ini memalukan!” ia makin kesal mengingat selama ini Daniel dan Rani tidak pernah lupa membawa buah tangan bila mengunjunginya. Ia mengharap ada yang dapat ia beli di tengah perjalanannya, tapi ia ingat di sepanjang jalur itu hanya ada sebuah bengkel. Medan berat lalu lintas yang telah ditempuhnya tak ingin ia jalani lagi, meski ia juga tidak sanggup datang dengan tangan kosong.

Ketika sampai di putaran masuk ke lajur tengah, untuk pertama kalinya ia berhasil memacu mobilnya hingga kecepatan lebih dari 50 km. Mencoba sedikit santai, Anna membiarkan pikirannya mengalir tenang bersama musik.

Tanpa sempat diantisipasi sebelumnya, mendadak sebentuk bayangan hitam melintas cepat menyeberang jalan. Ban mobilnya berdecit beradu aspal jalan. Ia telah bereaksi secepat mungkin menginjak pedal rem, tapi terlambat. Tak terhindarkan lagi, terdengar benturan keras tatkala bemper depan mobilnya menumbuk benda itu, disusul guncangan yang keras.

Dengan sedikit gemetar, Anna memundurkan mobilnya ke tempat ia menabrak binatang itu. Ia berharap hewan itu masih hidup. Lalu lintas masih tetap ramai. Dari balik jendela mobil ia melihat sosok hitam yang ternyata kucing terbaring di rerumputan. Dengan penuh rasa bersalah ia keluar mobilnya, menghampiri tubuh yang tergolek tanpa nyawa. Anna merasa sangat sedih. Ia tidak sanggup membayangkan bila hal ini sampai terjadi pada dua kucing kesayangannya di rumah. Perlahan ia mengangkat bangkai itu lalu meletakkannya di pinggir selokan.

“Maafkan aku,” gumamnya. Ia masih menyempatkan melihatnya untuk terakhir kali sebelum masuk ke mobil. Ia kembali ke jalan, ditemani lantunan Gloria Gaynor. Ia segera mematikan kaset dan mencoba berhenti merasa berbuat bodoh menubruk kucing malang itu. Ia menunggu arus jalan agak longgar untuk kembali ke jalur lambat. Beberapa menit kemudian ia berhasil kembali memacu mobilnya, meski ia masih gelisah akibat menubruk kucing.

Mobilnya melaju pada kecepatan 50 km/jam ketika ia sadar ada sepasang lampu yang bersinar terang terpantul dari kaca spion. Ia mengangkat tangannya untuk melindungi matanya dari paparan sinar yang menyilaukan. Ia mengurangi kecepatan agar mobil itu bisa mendahuluinya, tapi tampaknya si pengemudi tidak tertarik melakukannya. Anna mulai penasaran, apakah ada yang salah dengan mobilnya? Apakah lampu mobilnya tidak menyala? Ataukah ada percikan api? Ataukah….

Ia menambah kecepatan, mencoba mengambil jarak dengan mobil di belakangnya. Namun, mobil itu tetap bertahan beberapa meter di belakangnya. Sebentar-sebentar Anna melihat melalui kaca spion dalam, tapi sinar mobil yang sangat terang menyulitkannya untuk melihat wajah si pengemudi. Begitu matanya mulai terbiasa, tampak mobil yang mengikutinya adalah mobil van hitam besar dengan seorang anak muda di belakang kemudi. Selain itu, ia melihat si anak muda seperti melambai-lambaikan tangannya. Ia tak mengerti apa maksudnya.

Maka begitu mendekati jalan putar, Anna kembali memperlambat mobil untuk memberi kesempatan pada van hitam memasuki lajur cepat. Lagi-lagi kesempatan itu tidak dimanfaatkan, si anak muda bertahan mengikuti di belakang, sementara pendar lampu besarnya belum juga dimatikan. Anna menunggu sampai ada cukup ruang di lajur lalu lintas sebelah kanan. Ketika ada satu ruang kosong pas untuk satu mobil, dengan kesal ia menginjak pedal gas dalam-dalam, memotong garis marka jalan dan memacu ke lajur cepat.

Ah, akhirnya ia berhasil meloloskan diri dari kejaran van hitam itu. Ia baru akan bersantai dan berpikir tentang Sofia, yang selalu menunggu kesempatan dibacakan cerita, ketika tiba-tiba matanya dibutakan oleh nyala lampu besar yang muncul kembali di kaca spion. Kali ini, jarak antara mereka lebih dekat dibandingkan sebelumnya.

Ia melambat, van itu pun melambat. Ia menambah kecepatan, van itu pun bertindak serupa. Bingung dengan apa yang harus dilakukan lagi, ia mulai melambaikan tangan dengan liarnya ke setiap pengendara sepeda motor yang melewatinya. Tapi, nihil, mereka tak peduli dengan kesulitannya. Wanita berambut ikal ini putus asa lantaran gagal menarik perhatian orang lain. Tiba-tiba ia ingat telah bergabung dengan persatuan mobil yang mengingatkannya untuk memasang telepon mobil. Tapi apa mau dikata ia baru merencanakan memasang alat itu minggu depan, padahal semestinya ia bisa melakukannya dua minggu yang lalu. Ia hanya bisa menyesal.

Keringat memenuhi dahinya. Usaha yang dilakukan berikutnya, secepat mungkin berpindah ke lajur cepat di sebelahnya. Van itu pun membelok cepat ke lajur yang sama sambil terus berusaha menempel begitu dekat. Seandainya Anna kurang hati-hati menginjak remnya, terbuka kemungkinan terjadi tabrakan hebat.

Kecepatannya mencapai 90 km/jam, van itu pun masih mampu mengimbanginya. Ia menekan pedal gas makin dalam, kecepatannya mencapai 100 km, tapi jarak antara mereka pun masih tetap tak cukup dimasuki sebuah mobil.

 

Perkosaan dan pembunuhan

Diselimuti rasa panik, Anna menyalakan lampu besar, lampu darurat, bahkan menekan klakson pada siapa saja yang mengalangi jalannya. Ia hanya berharap, ada polisi yang melihatnya lalu menilangnya karena telah melampaui batas kecepatan. Baginya, didenda akan lebih baik daripada mengalami kecelakaan karena dikejar anak muda. Mobilnya terus berlari hingga melewati 110 km/jam, tapi van itu tetap tak bergeming.

Tanpa peringatan, dengan cerdik ia kembali ke lajur tengah sambil melepaskan pedal gas. Sekarang untuk pertama kalinya ia sejajar dengan pengemudi van. Rupanya keadaan itu pun dimanfaatkan si anak muda yang berjaket kulit hitam. Anna melihat anak muda itu menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan nada mengancam. Ia membalas dengan mengepalkan tinju lalu kembali memacu mobilnya. Van itu kembali mengejarnya. Mereka berdua layaknya dua pelari dalam Olimpiade yang tidak pernah merelakan pesaingnya mencuri kesempatan untuk menang.

Tiba-tiba, ia ingat sesuatu, mendadak pula perutnya mulas beberapa saat. “Ya, ampun,” ia berteriak ketakutan. Beberapa bulan yang lalu di jalur jalan yang dilewatinya telah terjadi pembunuhan terhadap seorang perempuan. Korban lebih dulu diperkosa sebelum dibunuh dengan sebilah pisau bergerigi dan kemudian dibuang di selokan. Beberapa minggu setelah kejadian di sepanjang jalur dipasang beberapa tanda yang mengingatkan setiap pengemudi yang mempunyai informasi tentang pembunuhan itu diminta menghubungi polisi melalui nomor telepon tertentu. Namun sekarang tanda-tanda itu telah disingkirkan, meski polisi belum juga menemukan pelaku pembunuhan. Anna mulai gugup ketika ingat pada peringatan polisi bagi pengendara wanita untuk, “Tidak berhenti di jalan”.

Beberapa menit kemudian ia melihat papan penunjuk jalan yang sangat dikenalnya. Ternyata, ia sampai di tempat lebih awal ketimbang yang diperkirakan sebelumnya. Berarti, kurang 3 km lagi ia akan meninggalkan jalan raya memasuki jalan kecil menuju peternakan. Meski sedikit lega, ia terus berharap agar saat ia berbelok, van itu tidak mengikutinya.

Segera diputuskan masuk ke lajur cepat dan memacu mobil semampunya. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Dengan membaca sekilas pal jalan, ia tahu telah melewati 2 km terakhir. Tinggal 1 km lagi. Melalui spion, terlihat van hitam masih membuntuti di belakangnya. Anna harus memilih saat yang benar-benar tepat. Ia melirik lajur kiri, agar pada saatnya ia bisa langsung berbelok memotong ke kiri.

Audi bertahan di lajur paling kanan dengan kecepatan 100 km. Beruntung, saat jarak antara mereka cukup jauh. Begitu mendapat kesempatan untuk membebaskan diri, Anna langsung memotong jalan dengan kecepatan tinggi. Bisa dibayangkan, mobil di lajur yang lain pun tersentak, harus berhenti mendadak. Bunyi derit rem diiringi teriakan dan makian kemarahan pengemudinya makin meramaikan jalanan malam itu. Tapi Anna tidak peduli, ia harus memusatkan pandangannya ke jalan kecil menuju peternakan.

Ia tersenyum puas sekaligus lega. Ia mulai merasa aman meneruskan perjalanan, karena van hitam itu tidak tampak. Rupanya, ia meneruskan perjalanan bersama arus lalu lintas yang terus mengalir.

Tawanya seketika terhenti, berubah menjadi jeritan ketika dari kaca spion ia melihat sorot lampu yang memotong tajam deretan kendaraan. Wajah wanita paruh baya yang cantik ini berubah menjadi pucat pasi. Van besar itu terlihat bergoyang tidak stabil ke kiri-kanan saat melintasi gundukan rumput pembatas dan meluncur ke jalur antiselip. Hampir saja mobil itu terperosok ke selokan. Berkat kesigapan pengemudinya, van itu berhasil tegak kembali, melaju hanya beberapa meter di belakang Anna. Kembali lampu besarnya berpendar, mengusik pandangan.

Kurang dari satu kilometer lagi ia akan sampai di persimpangan. Artinya, ia harus memutuskannya sekarang. Di tengah jeratan kepanikan yang luar biasa ia mencoba memilih langkah terbaik. Kota terdekat sekitar 12 km dari jalan raya, sedangkan peternakan hanya 7 km. Tapi 5 km pertama adalah jalan desa yang sepi, gelap, dan dingin. Indikator bahan bakar menunjukkan persediaan bahan bakar mobil hampir kosong, namun menurut perkiraannya, masih cukup untuk mencapai salah satu dari dua pilihan tersebut.

Tinggal 100 m lagi, Anna memutuskan langsung ke peternakan. Meski jalur itu gelap dan sepi, ia kenal betul setiap belokan dan putaran di sana. Ia juga yakin, pengejarnya tidak mengenal medan di sana sebaik dirinya. Begitu tiba di peternakan, pikirnya, ia masih punya kesempatan untuk bersiap-siap menangkapnya. Dengan hanya membayangkan rumah peternakan pun, Anna sudah merasa tenang.

Di bawah terang sinar bulan, ia menggenggam erat kemudi mobil. Namun, beberapa menit berikutnya rasa bimbang menyergap benaknya. Benarkah keputusan yang dibuatnya? Dari spion, ia melihat van tak kenal menyerah untuk mengikutinya. Sambil menahan napas, ia mengganti gigi persneling dan memacu kendarannya, mencoba membuat jarak 70 m, kalau perlu 100 m di depan pengejarnya. Sayang, semua itu hanya bisa dilakukan selama beberapa detik. Lampu yang telah mulai diakrabinya kembali muncul.

Di setiap belokan Anna bisa cukup punya waktu memisahkan diri sebelum van itu kembali menyusul meski dengan terguncang-guncang ke kanan-kiri sebelumnya. Sambil tak lupa terus berdoa semoga mobilnya tak mogok kehabisan bensin, Anna memeriksa pal jalan. Ia telah menempuh sekitar 2 km, jarak dari persimpangan hingga ke peternakan masih 5 km. Ia mulai memperhatikan setiap pal sepersepuluh kilometer yang dilewatinya. Ia khawatir van itu akan mendahuluinya dan memaksanya ke pinggir. Cara satu-satunya adalah berjalan di tengah.

Satu kilometer telah terlewati lagi, van itu masih terus menempel.

Tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah mobil. Ia menyalakan lampu besar dan menekan klakson kencang-kencang. Mobil itu membalas dengan melakukan hal yang sama. Sempat terpikir olehnya, mana yang lebih baik, menabrak mobil itu atau membiarkan lehernya digorok? Namun akhirnya, Anna memperlambat mobilnya dan agak menepi saat mereka saling berpapasan. Ia memeriksa pal jalan, tinggal 2 km.

Kadang Anna memperlambat kecepatannya dan kemudian menambah kecepatan di setiap belokan jalan yang dikenalnya. Ia berharap van itu tidak cukup punya ruang untuk sejajar dengannya. Ia mencoba memikirkan apa yang akan dilakukan begitu melihat rumah peternakan. Perjalanannya tinggal 0,5 km lagi. Laju mobilnya agak terhambat oleh banyaknya lubang jalan dan gundukan tanah, yang menurut Daniel sulit diperbaiki.

 

Membawa penjahat sepanjang jalan!

“Gerbang!” Mendadak sontak ia ingat pada gerbang peternakan. Gerbang itu biasanya telah terbuka bila Daniel tahu ia akan datang. Tapi pernah juga Daniel lupa membukakan untuknya, sehingga ia harus keluar dari mobil untuk membukanya sendiri. Tapi tidak, ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan tugas itu sekarang.

Jika gerbang itu tertutup, ia lebih baik meneruskan perjalanan hingga ke kota terdekat. Lebih aman bila ia berhenti di Crimson Kipper yang biasanya ramai pengunjung di Jumat malam seperti sekarang. Lebih baik lagi bila ia dapat menemukan kantor polisi. Namun, saat memeriksa panel bahan bakar, “Aduh,” serunya begitu melihat jarum sudah mendekati garis merah. Berarti, ia tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke desa terdekat.

Ia hanya berdoa agar Daniel ingat untuk membiarkan gerbang tetap terbuka. Meski pesimis dapat meninggalkan pengejarnya cukup lama, di sebuah tikungan ia berbelok cepat. Selama beberapa ratus meter berikutnya jarak mereka malah lebih dekat dibandingkan sebelumnya. Ia tidak berani menginjak pedal rem atau ia akan tertubruk. Kalau sampai celaka, tidak ada orang yang bisa diharapkan pertolongannya.

Ia kembali mengecek pal meter. Tinggal 1 km lagi. 

“Semoga gerbang itu terbuka. Harus terbuka!” serunya. Saat berbelok di tikungan berikut, di kejauhan ia sudah melihat bentuk rumah peternakan itu. “Terima kasih Tuhan!” teriaknya lega, ketika melihat sinar lampu di lantai bawah.

Begitu teringat kembali akan gerbangnya, ia berkomat-kamit, “Ya Tuhan, tolong biarkan pintu gerbangnya terbuka.” Ia tahu apa yang harus dilakukannya saat tiba di tikungan yang terakhir. “Semoga gerbangnya terbuka! Ayo terbuka!” Dalam keadaan tak menentu ia berjanji, “Aku tidak akan minta apa-apa lagi, tidak akan.” Ia berbelok cepat di tikungan kurang dari semeter di depan van hitam. “Aduh, tolong, tolong bukakan gerbangnya,” ketika ia melihat bayangan bentuk gerbangnya.

Gerbang itu terbuka lebar! 

Pakaiannya kuyup oleh keringat. Dengan kecepatan tinggi, meski sempat menyenggol kotak surat, Audi merah ini langsung melesat masuk pekarangan. Hanya beberapa puluh sentimeter di belakangnya, tanpa ragu van hitam itu pun mengikutinya. Tiap sebentar melirik ke spion, Anna terus menekan klakson mobil sambil menjerit-jerit memanggil-manggil Daniel. Gundukan dan lubang tanah membuat Audi terpelanting ke kanan-kiri. Deru mesin mobil, klakson membubarkan kumpulan gagak yang terbang dari ranting pohon dengan pekikan yang memekakkan telinga.

Mendengar keributan itu, tiba-tiba lampu teras rumah itu dinyalakan. Lampu mobil Anna pun tersorot langsung ke rumah, klakson mobil masih berbunyi nyaring. Meski melihat Daniel keluar dari pintu depan, Anna tidak juga memperlambat mobilnya. Demikian pula van di belakangnya. Sekitar 50 m di depan rumah ia mulai mengedip-ngedipkan lampu ke arah Daniel. Terang saja si empunya rumah penasaran dan kebingungan. 

Sekitar 20 m dari rumah, seketika Anna menginjak rem. Setelah menyeberangi jalan berbatu di depan rumah, Audi berhenti tepat di depan jajaran pot bunga di bawah jendela dapur. Derit rem terdengar di belakangnya. Pria berjaket kulit di dalam van itu rupanya belum mengenal medan di situ sehingga tidak bisa bereaksi dengan cepat. Begitu roda mobilnya menyentuh pekarangan berbatu, ia kehilangan kendali. beberapa menit kemudian terdengar benturan keras, van itu menubruk bagian belakang Audi. Mobil Anna pun terdorong menyentuh dinding rumah dan memecahkan kaca-kaca jendela dapur.

Anna segera melompat keluar mobilnya sambil berteriak, “Daniel! Ambil senapan, ambil senapan!” ia menunjuk ke mobil van di belakangnya. “Penjahat itu terus menguntitku sepanjang 20 km.”

Tak dinyana, pria berjaket itu juga melompat keluar van lalu melangkah menghampiri mereka berdua. Tak kuat menahan takut, Anna lari ke dalam rumah, diikuti Daniel yang bergegas mengambil senapan berburu miliknya. Selanjutnya, Daniel kembali ke depan untuk menghadapi tamu tak diundang yang telah berada dekat bagian belakang mobil Audi.

Senapan berburu sudah tersandang di pundak, dengan moncong terarah ke perut anak muda tersebut. “Jangan bergerak atau kutembak!” ucapnya tenang. Beberapa menit kemudian ia baru ingat, bahwa senapan itu kosong. Adegan tegang itu disaksikan Anna dari jauh di belakang Daniel.

“Bukan aku! Bukan aku!” teriak anak muda berjaket kulit itu saat Rani muncul di pintu. 

“Ada apa ini?” seru Rani gemetar.

“Telepon polisi!” Daniel berujar singkat disusul dengan masuknya Rani ke dalam rumah.

Daniel perlahan mendekati pria itu sambil tetap mengarahkan senapan ke perut sang “tamu”.

“Bukan aku! Bukan aku!” ia berteriak lagi, sambil menunjuk Audi merah metalik milik Anna. “Ia di dalam mobil!” Sambil dengan cepat menoleh ke arah Anna. “Aku melihatnya menyelinap masuk ketika kamu berhenti di pinggir jalan. Apalagi yang harus kulakukan? Kamu tidak pernah mau menghentikan mobil!”

Daniel melangkah mendekati Audi, lalu meminta anak muda itu untuk membuka pintu mobil pelan-pelan. Di bawah ancaman senjata, anak muda itu membuka pintu, namun seketika ia melompat mundur. Mereka bertiga menatap seorang laki-laki meringkuk di lantai mobil. Di tangan kanannya tergenggam mata pisau panjang dengan pinggiran bergerigi. Daniel memindahkan arah sasaran tembak kepadanya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sayup-sayup di kejauhan terdengar bunyi sirene polisi mendekat. Sementara Anna, sang wanita karier, janda cantik, ibu dua orang anak ini melongo terbengong-bengong tanpa bisa berkata sepatah kata pun. (Jeffrey Archer)

Baca Juga: Rahasia Angka 17

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635910/untung-belum-sempat-beraksi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945484000) } } [2]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3456986" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/7-menit-itu-misteri_petr-machace-20220905032254.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "911 menerima laporan tentang pengacau. Beberapa menit kemudian, telepon masuk lagi, kali ini tentang kasus penembakan suami terhadap istrinya." ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/7-menit-itu-misteri_petr-machace-20220905032254.jpg" ["title"]=> string(19) "7 Menit Itu Misteri" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:23:21" ["content"]=> string(26515) "

Intisari Plus - Suatu malam, 911 menerima laporan tentang pengacau di satu rumah. Beberapa menit kemudian, telepon masuk lagi, kali ini tentang kasus penembakan suami terhadap istrinya. Apa yang terjadi?

-------------------

Telepon di 911 berdering. “Ada pengacau di rumah saya!” teriak lelaki di seberang sana. Suaranya terdengar sangat panik sekaligus geram. 

Petugas 911 yang menerima telepon ini menjawab dengan tenang. “Anda ada di mana saat ini?”

Lelaki yang sedang gusar itu menjawab dengan cepat “2424 Coker Avenue.”

Petugas di 911 melirik kalender. Sabtu, 10 Maret 2007. Jam menunjukkan pukul 21.00, masih cukup sore untuk teriakan gusar seperti ini. “Ada pengacau di rumah Anda. Apa yang Anda sebut dengan pengacau itu?”

“Orang paling kurang ajar,” suara di seberang sana terdengar seperti menggeram. 

Petugas waspada, “Anda mengenal orang itu?”

“Ya.” 

“Siapa dia?” petugas sigap mendesak agar penelepon tak punya kesempatan mengulur waktu. 

Suara di seberang mendengus kesal. “Dia yang selalu memburu istri saya.”

“Apa yang dilakukannya? Maksud saya, apa yang terjadi saat ini?” 

“Dia melakukan kesalahan besar. Dia bersama istri saya.”

Setelah itu sambungan telepon terputus. Ah, mungkin pertengkaran suami-istri. Biasalah, pikir petugas di 911. Tetapi sebentar kemudian panggilan dari saluran yang sama masuk lagi.

Masih lelaki yang tadi. “Sekarang dia sudah pergi.” 

“Oke, apakah Anda ingin berbicara dengan .... “ 

“Oh, tidak. Dia sudah pergi.” Sambungan telepon putus lagi. 

Artinya, persoalan itu sudah selesai. Sedemikian cepat. Tujuh menit kemudian, saluran telepon itu aktif lagi. Kali ini suara perempuan. 

“Suami saya membunuh,” kata perempuan di seberang dengan suara seperti tercekik. 

“Apakah dia ada bersama Anda sekarang?” tanya petugas 911. 

“Tidak, dia sudah pergi. Tetapi tubuh ... eh... darah ... ada di sini. Mengerikan!” perempuan itu sangat panik. “Cepat datanglah! Di sini penuh darah. Dia menembak dengan senapan!”

Polisi tak perlu waktu lama untuk sampai di titik mencekam, di 2424 Coker Avenue. Wajah panik sekaligus ngeri dari perempuan yang usianya belum menginjak 30 tahun itu sudah menunjukkan apa yang terjadi. Perempuan itu terduduk menempel dinding sambil matanya tak berkedip menatap pintu Mercedes lama yang terbuka.

Dari pintu yang terbuka itu, detektif Andrew Boatman dan Russell Whitfield dari kepolisian melihat sosok lelaki tampan, muda - “sangat muda” - tertelungkup di setir mobil. Sebenarnya tak bisa dikatakan tampan saat melihat sosok itu karena sisi kepala dan sebagian wajahnya tertutup darah.

“Erin McLean,” kata perempuan itu dengan suara nyaris tak terdengar ketika polisi menanyakan identitas. Dia menjawab dengan gugup. “Suami saya, Eric McLean… ” Dia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia hanya menunjuk, menggeleng, menangis.

“Suami saya yang menembak dia. Dengan senapan. Dia sudah lari.”

 

Dipergoki berduaan 

Knoxville bukan kota besar yang hiruk-pikuk. Ini kota yang relatif tenang. Di tempat ini Eric McLean lahir dan dibesarkan dalam keluarga berada yang hangat. Perasaannya yang halus membuat seluruh keluarga maklum saat dia menjatuhkan pilihan pada musik sebagai jalan hidupnya.

“Aku ingin mengajar musik,” kata Eric. “Aku juga ingin memiliki kelompok musik.”

Saat dia berkata seperti ini usianya baru 18 tahun. Saat itu dia melihat persamaan pada diri gadis yang dua tahun lebih muda, Erin Myers. Erin setali uang dengan Eric. Dia ingin menjadi guru. Alangkah mulia cita-cita gadis ini, pikir Eric. Ini pula yang membuat Eric jatuh cinta dan menetapkan pilihannya - “yang selalu dianggap paling tepat” - menikahi Erin, calon guru.

Dia tak ingin gadis pilihannya ini lepas dari tangannya. Saat menikah pada tahun 1996, Eric berusia 21 tahun dan Erin 19 tahun. Masih terhitung muda. Kebahagiaan mereka menjadi lengkap ketika Eric Jr. lahir tahun itu pula.

Mereka tinggal di 2424 Coker Avenue, di dalam rumah mungil yang hangat. Tak ada yang menyangkal mereka adalah potret keluarga muda yang bahagia. Apalagi ketika Ian, anak keduanya lahir tujuh tahun kemudian. Ini keluarga yang tenang, sangat tenang. Eric mengambil jurusan pendidikan seni musik di Universitas Tennessee. Saat itu dia sudah memiliki kelompok musik dan kerap mendapat job. Musik, musik, dan musik adalah puncak hidup Eric.

Erin pun sudah menikmati posisinya sebagai asisten guru di West High School. Menurut Shiloh Jines, mantan muridnya, Erin guru yang lembut dan sabar. Shiloh mengakui pesona Erin karena dia langsung bisa mengambil hati para siswa.

Salah satu siswa yang dekat dengan ibu guru ini Sean Powell. Sean masuk kategori siswa bermasalah. Dia merokok, mabuk, dan menjadi biang onar. Di tangan Erin, Sean takluk. Erin memahami perubahan pada pribadi Sean.

Ketika berumur tujuh tahun, Sean diadopsi keluarga berada. Masalahnya, saat itu ibunya, Debra Flynn, tersandung masalah hukum dan dipenjara: Padahal dia tak bersuami. Selama tinggal bersama keluarga baru, Sean hidup berkecukupan. Tetapi semua berubah ketika Flynn bebas dari penjara saat Sean berumur 17 tahun. Dia mengambil anaknya kembali dan tinggal di apartemen sempit. Ini membuat Sean berontak. Tetapi dia tak punya pilihan lain karena usianya belum 18 tahun, belum bisa menentukan nasibnya.

Erin merasa perubahan ini yang membuat Sean menjadi bengal. 

“Ah, siapa bilang Sean tidak bahagia? Saya ibu kandungnya, tentu dia senang bisa kembali hidup bersama saya,” kata Flynn yang melihat kebengalan Sean sebagai sesuatu yang wajar.

Di rumah, Sean tak mendapatkan apa yang dimaui. Tidak seperti ketika dia tinggal bersama keluarga Powell. Agaknya Sean bersimpati pada cara Erin memperlakukan dirinya. Sampai ketika lulus dari SMA, dia tak bisa melupakan Erin.

Mereka bertemu kembali saat musim dingin 2006, bukan lagi sebagai guru dan siswa tetapi sebagai perempuan dewasa yang kesepian karena hidup suaminya larut untuk musik dan lelaki yang baru tumbuh. Hubungan keduanya menjadi makin dekat.

Eric tak pernah menyangka ada api lain yang menghangatkan istrinya sampai suatu ketika Eric Jr, anak sulungnya, melapor dengan sebal. “Dad, aku melihat Mom memegang tangan muridnya itu. Mereka sangat dekat. Lalu Mom mencium lelaki itu di sofa ini. Aku muak melihatnya,” kata Eric Jr.

Eric kaget tetapi dia masih yakin Sean dan Erin hanyalah guru dan mantan siswa yang bermasalah. Musisi ini baru yakin hatinya telah disayat ketika dia datang ke sebuah bar di Knoxville. Duduk di sudut, Eric melihat dua sosok yang sangat dikenal. Erin dan ... Sean. Benar kata anaknya. Erin menggenggam tangan Sean dan berkali-kali dia mendekatkan bibir ke telinga Sean seperti tengah berbisik. Wajah Erin begitu bahagia. Dia kelihatan sangat muda dan bergairah.

Mata Eric panas. Apalagi di kota kecil yang membuat setiap orang saling mengenal, beberapa mata memandangnya dengan ganjil. Eric tak bereaksi. Seperti biasa dia tak menunjukkan emosi apa pun sampai Erin dan Sean berlalu melewati tempatnya duduk. Mata Erin dan Sean berpandangan mesra.

 

Pesan di ponsel

Kasus pembunuhan yang membuat koran-koran lokal memuatnya sebagai headline selama berminggu-minggu tak menunjukkan kemajuan. Mereka hanya menemukan nama Sean Powell yang menjadi korban. Judulnya pun mengerikan: suami membunuh mantan siswa sekaligus kekasih istrinya.

Flynn sangat terpukul mengetahui kematian anak tunggalnya. Dia bercerita, malam itu mendapat telepon dari perempuan bernama Erin. Dia mengabarkan Sean mati tertembak. “Ditembak psikopat!”

“Siapa psikopat itu?” tanya Flynn memburu. 

Dia menjawab, “Eric.” 

“Siapa itu?” 

“Suamiku,” jawab Erin. 

Flynn tidak mengenal Erin sebelumnya. Tetapi begitu melihat kenyataan anaknya menjalin cinta dengan mantan mentornya, Flynn berusaha merangkai fakta.

“Sean tak pernah bercerita banyak tentang sosok yang disebutnya sebagai kekasihnya. Saya beberapa kali menangkap pembicaraan lewat telepon. Sepenggal-sepenggal tetapi cukup membuat saya mengerti, Sean memiliki kekasih,” kata Flynn.

Flynn mengungkapkan, dia pernah mendapati pesan dalam ponsel Sean yang isinya: I love you. Kali lain ada pesan: Come home.

Setelah pembunuhan yang sadis itu, jejak Eric berhenti di depan West High School. Dia memarkir mobilnya di depan sekolah tempat istrinya bertemu Sean Powell kali pertama. Ketika polisi masih mengendus jejak Eric, suatu pagi lelaki bertutur lembut ini menyerahkan diri setelah berusaha melarikan diri keluar kota.

Sederet pemeriksaan dan wawancara eksklusif dengan Matt Lauer dari media Today tak banyak mendatangkan hasil. Eric tak banyak bicara. Pemeriksaan hanya berjalan sesuai prosedur tanpa bisa menggali apa yang sebenarnya terjadi.

Polisi dan detektif memakai kata kunci “tujuh menit yang misterius”, sesaat setelah Eric menelepon 911 dengan gusar hingga ketika Erin juga menelepon dengan panik ke 911. Apa yang terjadi dalam tujuh menit itu, hanya bisa dikorek dari Eric, sang tersangka pelaku.

“Bukan hanya apa yang terjadi, tetapi supaya terbuka apakah pembunuhan ini direncanakan atau tidak,” kata Andrew Boatman.

Di depan Matt Lauer, Eric hanya bisa menggeleng lemah. Berkali-kali dia mendesis, “Saya salah. Saya bersalah. Seharusnya ini tak perlu terjadi. Ini kecelakaan.”

Tentu tak mudah bagi polisi untuk menerima begitu saja pengakuan kecelakaan ini. Lauer mendesak dengan lembut. Dia tahu, Eric sangat perasa.

“Apakah Anda tahu istri Anda menyeleweng?” tanya Lauer. 

“Ya, saya tahu.” 

“Kalau tahu seperti itu, mengapa tidak tinggalkan saja istrimu?” desak Lauer. 

Eric menggeleng. “Tidak bisa. Saya tidak bisa.” 

“Mengapa?” 

Eric mendesis, “Karena saya mencintainya. Sangat mencintai istri saya.”

 

Menyiapkan senapan

Ayah dua anak ini akhirnya membuka sisi hatinya yang terluka. “Saya bisa merasakan ada yang tidak beres pada sikap istri saya tetapi saya pikir itu bisa kembali normal. Ternyata tidak. Makin hari, saya melihat Sean makin dekat meski saya hanya mendengar cerita dari anak-anak. Saya sangat memuja Erin, dan wajar bila orang lain juga melakukannya karena Erin memang patut dicintai. Dia perempuan luar biasa.”

Tetapi peristiwa di bar itu membuat Eric tak bisa melupakan wajah Sean dan Erin yang tengah mabuk kepayang. Bagi Eric, itu bisa berlalu, cepat atau lambat. Tetapi perhitungan Eric kali ini meleset. Keduanya makin intim.

Jika di bar muka Eric serasa ditampar oleh rasa malu, pada 10 Maret 2007, kembali Eric seperti disabet harga dirinya. Ketika pulang, Eric seperti biasa masuk lewat pintu samping. Saat itu dia melihat istrinya bergumul dengan Sean Powell di dalam rumahnya. Darahnya menggelegak. Apalagi ketika Sean hanya meliriknya.

Erin membentak suaminya, “Jangan buat keributan. Aku tidak ingin anak-anak bangun karena kamu.” 

Sean hanya menyeringai saat Eric menghardik dan menyuruhnya keluar dari rumah. Sean memang keluar rumah sambil berpakaian asal-asalan. Dengan tenang dia masuk ke dalam Mercedes lamanya dan mulai merokok. Dia sengaja tidak menutup pintu penumpang di sebelahnya. Eric melihat pintu yang terbuka itu dengan mata nanar. Jangan-jangan istrinya ....

Eric segera menghampiri Erin. Langkah istrinya bergegas menuju mobil Sean. Eric tersengat. Dia memohon dengan suara lirih. “Please, aku tak ingin kamu pergi.”

Erin menghardik. “Kamu bisa mengambil dua anakmu, kamu bisa memiliki rumah ini dan isinya, tetapi kamu tidak akan pernah bisa merampas kebebasanku.”

Hati Eric mencelos. Dia tak pernah membayangkan ini semua, bahkan dalam konser paling kacau pun, ini tak akan ada dalam partitur. Eric menahan Erin agar tidak pergi.

Tetapi Erin tidak menggubris. Eric kembali memohon agar ibu dua anaknya itu tidak keluar rumah. Istrinya tetap melangkah di bawah tatapan kemenangan Sean yang duduk di belakang setir sambil mengembuskan asap rokok.

Russell Whitfield memotong, “Dan Anda marah lalu pergi ke truk Toyota yang sudah disiapkan di belakang Mercedes milik Sean. Lalu Anda mengambil senapan yang sudah ada di truk itu kemudian mendekati Sean dan... door!

Eric menggeleng. 

Hakim, jaksa, pengacara, dan para juri menunggu jawaban Eric dalam sidang dengan tuduhan melakukan pembunuhan berencana. Lelaki itu bisa dikenai hukuman seumur hidup. Data dari polisi menunjukkan Eric sudah merencanakan pembunuhan karena cemburu itu.

Sebuah truk, senapan, situasi yang patut menjadi alasan untuk membunuh. Sidang ini akan dengan mudah menjatuhkan vonis sangat berat karena Eric satu-satunya terdakwa yang tampaknya sangat lemah, bahkan untuk membela dirinya sendiri.

 

Masuk rehabilitasi mental

Saksi kunci satu lagi menghilang. Erin McLean memakai nama gadisnya, Erin Myers. Dia menghilangkan semua jejak masa lalunya dan berhasil menjadi guru di sebuah sekolah di Nashville. Tetapi lagi-lagi dia tersandung masalah. Salah satu orangtua siswa protes karena anaknya yang berusia 17 tahun dipaksa Erin menginap di motel dan dicekoki alkohol.

Ketika diusut pihak sekolah, Erin mengelak, “Saya tidak memaksa anak itu. Dia siswa bermasalah karena itu saya butuh pendekatan untuk menyelesaikan masalahnya.”

Tetapi akhirnya jejak rekam Erin terdeteksi. Polisi menemukan Erin lagi. Erin dipersilakan keluar dari sekolah. Perempuan yang awet cantik ini masuk rehabilitasi mental. Dua anaknya dititipkan ke ibunya; Tetapi sebelum proses rehabilitasi selesai, saudara Erin menelepon polisi.

“Erin mengambil dua anaknya ketika ibunya tidur. Sekarang kami tidak tahu dia ke mana. Saya khawatir dengan nasib anak-anak,” kata saudara Erin.

Pengacara Erin, Gary Blackburn, mendapati Erin menjadi buruh harian di Texas. Mereka tinggal di apartemen sempit. Dua anaknya tampak tak terurus. Ketika berhasil menemui Erin, Blackburn mengajaknya bicara. Erin bersedia dan mulai bercerita tentang tujuh menit misterius itu. Sekali-sekali mata perempuan ini melirik dua anaknya yang melahap pizza dengan rakus.

“Erin sangat kesepian. Meski hidupnya berkecukupan, dia merasa ada yang kurang dalam kehidupan perkawinan dengan Eric. Ini jenis perkawinan klasik, sangat klasik, yang membuat Erin bosan. Dan dia menemukan gairah baru lagi di sekolah, dalam diri Sean,” kata Blackburn.

 

Niat bunuh diri

Delapan bulan setelah penembakan itu, di depan juri yang akan menentukan nasibnya di pengadilan, Eric tampil agak gugup. Didampingi pengacaranya, Bruce Poston, berkali-kali dia menggelengkan kepala sambil mengaku bersalah. “Saya bersalah, saya sungguh menyesal. Itu kecelakaan.”

Tak ada yang percaya. Debra Flynn yang selalu mengikuti jalannya sidang terus mengumpat Eric sebagai pembunuh berdarah dingin. Seperti kata Jaksa Bill Crabtree, “Ini pembunuhan yang sudah direncanakan.”

Eric mengaku mengambil satu senapan dari koleksi senapan ayahnya. Senapan itu disimpan di ruang cuci.

“Untuk apa menyimpan senapan?” tanya Hakim Mary Beth Leibowitz. 

Eric menggigit bibir bawahnya. “Sejak melihat istri saya dan Sean di bar, saya sudah menyiapkannya.” 

Tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Eric merasa hidupnya sudah hancur. Senapan ini satu-satunya cara paling mudah untuk mengakhiri perselingkuhan itu. “Saya ... akan bunuh diri dengan senapan itu,” kata Eric lirih.

Semua yang mendengar terdiam. Eric menyangkal tuduhan polisi dengan data truk dan senapan yang ada di dalamnya. Truk itu diparkir di belakang mobil Sean karena Sean sudah lebih dulu datang. Tempat yang biasa menjadi tempat parkir truk sudah ditempati Sean. Bukan hanya istri yang didului Sean, bahkan tempat parkirnya pun direbut.

“Saya tahu ini akan berakhir, cepat atau lambat. Saya tak punya pilihan lain. Ketika satu-satunya orang yang saya cintai memilih meninggalkan saya dan pergi dengan laki-laki lain, saya memutuskan untuk mengakhiri hidup saya.”

Ketika menemukan istrinya bersama mantan murid yang bermasalah itu, kepanikan muncul di kepala Eric. Apalagi saat Erin melenggang pergi bersama Sean. 

Mata Eric menatap para juri dan hakim dengan nanar. “Saya sangat mencintai Erin. Dia gadis yang bisa membuat saya jatuh cinta. Saya tidak ingin dia pergi. Saya mencintainya. Saya sangat mencintainya.”

Sean menyeringai penuh kemenangan. “Biarkan dia memilih yang terbaik untuk hidupnya. Dan dia memilih aku, bukan kamu. Hei ... tentang anak-anak, jangan khawatir. Mereka akan memanggil aku Dad, paling lama dua minggu lagi.”

Darah Eric bergolak. Erin lepas dari tangannya saja sudah membuat darahnya mendidih, apalagi ketika dua anaknya akan dibawa serta. Dua minggu lagi, dua minggu lagi mereka akan benar-benar pergi. Tak ada waktu lagi.

Eric menahan marah berjalan ke ruang cuci, tempat dia menyimpan senapan. 

“Saya tidak ingin menyakiti siapa pun meski saya mengambil senapan,” kata Eric.

Sosok Eric sama sekali tidak seperti jagoan dalam film yang tampil gagah dengan senapan. Tangan Eric yang lentik seperti memegang tongkat konduktor di atas panggung tempat orchestra.

Sean sama sekali tidak ngeri melihat tangan Eric memegang senapan. “Pergi!” seru Eric parau. “Tinggalkan istriku!” 

Sean malah terkekeh.

“Istrimu yang memilihku.”

 

Gagal bunuh diri

Tangan Eric menyentuh pelatuk. Sean tetap terkekeh dengan asap rokok di mulut. Langkah Erin mendekat. Eric gugup, istrinya benar-benar pergi. Pasti disusul dua anaknya. Tangan yang menyentuh pelatuk bergerak. Gerakannya yang gugup membuat ledakan keras. Begitu kerasnya sampai tubuh Eric terjengkang menabrak dinding. Peluru muntah dengan deras mengenai lengan kanan Sean sebelum kemudian menembus kepala.

Menurut Detektif Andrew Boatman, peluru itu menyerempet lengan kanan lebih dulu. Dokter yang mengautopsi mayat Sean juga mengungkapkan bukti, peluru itu nyasar di tangan kanan sebelum sampai di kepala. “Jika dia menginginkan nyawa Sean, peluru itu mestinya langsung ke kepala, tanpa mampir di tempat lain.” Semua mendengar rekaman saat Erin menelepon ke 911. Di belakang suara Erin terdengar keributan. Lamat-lamat terdengar suara Eric yang panik sebelum suara Eric hilang.

Eric tertunduk, “Saya bersalah. Seharusnya dia tidak mati. Seharusnya senapan itu untuk kematianku.” 

“Bisakah Anda membedakan, yang ditembak itu lelaki muda yang menjadi kekasih istri Anda atau mantan siswa bermasalah yang menjadi kekasih istri Anda?” tanya Jaksa Bill Crabtree.

Eric menggeleng. “Saya tidak tahu. Saya hanya ingin istri saya kembali. Ketika dia tidak kembali, saya harus bunuh diri.”

Dia diminta memeragakan cara menggunakan senapan. Awalnya Eric sudah ngeri duluan melihat senapan yang membuatnya masuk dalam kesulitan besar ini. Sambil memejamkan mata Eric memegang senapan itu. Tangannya yang menyentuh pelatuk agak bergetar di bawah pinggang, dekat dengan pinggang bawah.

Caranya memegang senapan sangat tidak meyakinkan, apalagi ketika diminta mengarahkan senapan pada benda yang diibaratkan menjadi sosok Sean. Sejenak mata Eric nanar melihat benda itu tetapi dia kembali konsentrasi pada senapan. Seperti memegang gitar, posisi Eric memang janggal. 

Setelah enam hari mendengarkan dan menyaksikan dua lusin testimoni, juri mengambil keputusan selama 11 jam dalam waktu dua hari. Dalam sidang pembacaan vonis, ketua juri, Rohr, berkata: “Dia tidak bersalah!”

Patricia Kerschieter, anggota dewan juri, angkat bicara. “Lepas dari peluru yang dimuntahkan, Eric ada di posisi terjepit. Dia harus kehilangan istri yang dicintai sekaligus dua anaknya. Istri dan kekasihnya sudah memberi vonis mematikan untuk Eric. Berdasarkan autopsi, peluru itu muntah tak terkendali. Bahkan Eric tak bisa menahan getaran senapan hingga terjatuh. Kepanikan membuat dia gugup dan menarik pelatuk. Dia tidak bersalah.”

Tiga kali hakim bertanya, tiga kali juga juri menjawab, “Dia tidak bersalah.”

Keluarga Powell tidak terima. Flynn mengumpat juri dan hakim. Tetapi vonis yang dijatuhkan tetap: Eric tidak bersalah. Eric menjalani hukuman percobaan enam bulan. 

Eric dan Erin bercerai Februari 2008. Sejak itu Erin dan dua anaknya tak pernah muncul. Sampai hari ini. (Endah Imawati)






" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553456986/7-menit-itu-misteri" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391401000) } } [3]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448566" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/jangan-lupa-gigi-palsu_diana-pol-20220831012715.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "Tuan Simpson sebuah tangki besar. Ia kerap bercerita tentang kejengkelannya terhadap sang istri yang belakangan menghilang." ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/jangan-lupa-gigi-palsu_diana-pol-20220831012715.jpg" ["title"]=> string(22) "Jangan Lupa Gigi Palsu" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:27:33" ["content"]=> string(15944) "

Intisari Plus - Tuan Simpson bertingkah aneh dengan memesan sebuah tangki besar. Ia kerap bercerita tentang kejengkelannya terhadap sang istri yang belakangan menghilang. Apakah ia telah memasukkannya ke tangki?

-------------------

Aku sedang menuju ke kantor ketika melewati rumah Simpson. Kulihat dua orang tukang sedang membawa tangki besi galvanis yang besar menyeberangi kebun. Tiba-tiba saja muncul gagasan dalam otakku. Simpson bermaksud menenggelamkan istrinya ke dalam tangki itu!

Sensasi menjalari tulang punggungku. Terus terang saja, ada juga sedikit rasa senang. Bukankah tidak sering kita bisa menyaksikan orang mempersiapkan pembunuhan?

Simpson memberi perintah ini itu kepada kedua orang itu. Tubuh Simpson kurus seperti orang kurang makan. Sifatnya pesimistis. Yang diharapkannya selalu yang buruk saja. Kalau matahari bersinar cerah, ia bilang pasti tidak bisa berlangsung lama. Kalau hujan, katanya akan terus sepanjang minggu. 

Istrinya berbeda sekali. Badannya besar dan ia periang. Ketawanya melengking sampai orang-orang yang peka merinding mendengarnya. Mungkin ketawanya itu yang menjengkelkan Simpson; mungkin ia benci melihat ada orang yang dapat begitu menikmati hidup, padahal buat dia sendiri yang tampak cuma kebobrokan dan penderitaan. Tak tahulah. Yang kutahu, Simpson begitu bencinya melihat tampang istrinya. Sampai sering ia bilang akan membunuhnya dalam hari-hari ini. 

"Pokoknya, dia tinggal tunggu nasib saja," begitu katanya. "Cuma soal waktu. Aku sudah tak tahan lagi. Betul."

 

Berlagak pilon 

Itulah yang membuat gagasan tadi muncul ketika kulihat tangki tersebut. 

Mungkin tangki itu akan diisinya dengan asam sulfat, supaya tubuh istrinya hancur di dalamnya. Lalu kran tangki dibuka untuk membuang cairan itu. Entah apakah ia ingat untuk menyingkirkan gigi palsu. 

Aku suka juga membaca cerita pembunuhan dan aku tahu gigi palsu tahan terhadap asam. Simpson melihatku. Ia mengangguk singkat. "Mau hujan. Percaya saja, sebentar lagi pasti hujan lebat." "Mungkin kau betul," kataku. "Gigi palsu sudah kau pertimbangkan?" tanyaku. Tampaknya dia tak mengerti maksudku. Atau ia cuma pura-pura. 

"Aku tak pakai gigi palsu," katanya. "Dari muda gigiku tetap ini-ini saja. Biar sudah hampir 50 tahun dipakai, gigiku masih kuat. Kau tahu, aku tak pernah makan permen, karena permen dapat merasak gigi. Kalau saja punya kuasa, kujadikan permen barang ilegal." 

Kubayangkan hal itu mungkin terjadi, untuk menghukum anak-anak. Ia tak tahan melihat anak-anak, seperti juga ia sudah tak tahan pada istrinya. Ia memang tak punya anak dan ia pikir orang lain pun seharusnya tak punya. Tak terlintas di pikiranku, mungkin saja ia juga berniat menenggelamkan beberapa anak bersama-sama dengan Ny. Simpson. Tangki itu cukup besar. 

Para tukang itu beristirahat sejenak, namun rupanya Simpson melihatnya dan mengomel, menganggap mereka malas. Mereka pun bekerja lagi. Tangki itu akhirnya lenyap di balik sudut rumah Simpson dengan diikuti si empunya rumah. 

Untuk terakhir kalinya kuperingatkan dia. "Tembaga akan meninggalkan petunjuk di gigi. Dokter gigi selalu mengenali gigi palsu buatannya. Banyak orang digantung cuma karena tembaga di gigi palsu. itu." 

Ia tidak mendengarkan. Diingatkannya para tukang supaya tidak menginjak bunga-bungaan di kebun ataupun melecetkan cat daun jendela. Kukira bagi orang yang sudah mengambil keputusan untuk menyingkirkan istrinya tercinta, meributkan hal-hal kecil macam itu rasanya terlalu rewel.

 

Untuk dipakai mencelup 

Waktu sampai di rumah sore harinya, kuceritakan pada Mabel bahwa Simpson baru membeli tangki untuk menenggelamkan istrinya. Rasanya ia perlu mengetahuinya. 

Dengan matanya yang biru dan polos ia menatapku. Kulihat ia tak percaya. 

"Bagaimana kau bisa tahu?" 

"Kulihat tangki itu digotong oleh dua orang tukang." 

Mabel belum puas. Harus diakui Mabel cukup sulit untuk diyakinkan. "Aku percaya kau melihat tangki itu," katanya, "tapi bagaimana kau tahu kalau dia akan menenggelamkan istrinya?" 

"Karena ada alasannya," kataku. 

Tetap saja ia tak mau percaya. "Lalu bagaimana caranya ia mengangkat istrinya ke dalam tangki itu. Istrinya berbadan besar, sedangkan dia kelihatannya bukan orang kuat. Bahkan kau pun rasanya tak dapat mengangkatku masuk ke tangki." 

Aku tersinggung. Ia melukai rasa kelaki-lakianku. "Dapat saja. Mudah," kataku. Untuk membuktikannya kuangkat dia. Mestinya bisa kalau saja punggungku tidak kembali keseleo sehingga merusak acara demonstrasi itu. 

"Bagaimanapun," kataku, sementara aku ditolongnya berbaring di sofa, "bisa saja ia membiusnya dulu, lalu membuat semacam derek, digantungkan pada tiang-tiang." 

"Tiang-tiang apa?" Mabel bertanya. 

"Tentu di gudangnya ada tiang-tiang itu." 

Aku jadi agak jengkel, seakan-akan ia tidak percaya pada semua yang kukatakan. Apalagi punggungku terasa nyeri lagi. 

"Tentu saja ada. Kalau tidak, bagaimana bisa dia membuat derek?" 

"Semua itu cuma teori," kata Mabel. 

Khas wanita - tidak logis. 

Keesokan harinya aku lewat kembali, Simpson ada di kebun lagi. Matahari tampak cerah, langit pun bersih. 

"Akan hujan," katanya. "Terasa di tulang-tulangku." 

"Di mana dan untuk apa tangki itu?" aku bertanya. 

"Di belakang, di gudang. Untuk istriku." 

"Sudah kuduga," kataku. 

"Supaya aku tak usah melihatnya lagi." 

Yaah, itu satu cara untuk menyatakannya. Ia sudah tidak sungkan-sungkan lagi rupanya, blak-blakan. Memang begitulah Simpson. 

"Oh, ya," kataku. "Tentu. Untuk mencelup." 

"Ia ingin mencelup kain bobrok yang baru selesai ditenunnya sendiri." 

"Oh," kataku. Namun tak sedetik pun ia berhasil mengakaliku. Aku tahu ia menyesal sudah mengaku demikian banyak, sehingga sekarang mulai berusaha menutup-nutupi. Tak seorang wanita pun yang butuh tangki sebesar itu kalau cuma untuk mencelup hasil tenunannya sendiri. Boleh dikatakan, itu cerita yang amat lemah. 

"Oke, jangan lupa gigi palsunya," kataku. 

la memandangku seolah-olah aku agak sinting. "Aku tak mengerti mengapa kau terus saja bilang soal gigi palsu. Mungkin otakmu ada yang berlubang."

 

Botol susu berderet di pintu 

Sore harinya kuceritakan kepada Mabel apa yang telah kuketahui. "Persis dugaanku. Di gudang." 

"Apa dia juga punya derek?" 

"Tidak kutanyakan, tapi mestinya punya. Logis 'kan?" 

"Tidak, kalau ia tak ada niat untuk membunuh istrinya." 

"Tentu saja ia punya niat. Itu yang selalu dikatakannya." 

"Orang yang mau membunuh istrinya tidak akan bercerita tentang hal itu kepada semua orang." 

"Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau sudah pernah bertemu dengan orang yang berniat membunuh istrinya?" 

"Belum," katanya. "Tapi itu logis." 

"Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, wanita itu tidak logis." 

Pagi setelah kedatangan tangki itu, kulihat botol-botol susu di rumah Simpson belum diambil. Bagiku itu merupakan gejala akan terjadinya sesuatu. Waktu aku pulang sorenya, masih saja botol-botol itu ada di depan pintu. 

"Kurasa sudah dilaksanakan," kataku kepada Mabel. Lalu kuceritakaan kenapa. 

"Jika itu pendapatmu," katanya, "lebih baik kau telepon polisi." Setelah kupertimbangkan, kusimpulkan bahwa tak ada alasan untuk terburu-buru. Jika benar-benar sudah dilaksanakan, tak ada yang dapat kukerjakan sekarang untuk dapat menyelamatkan Ny. Simpson. Apalagi aku selalu agak hati-hati untuk berhubungan dengan polisi. 

"Kau takut," Mabel berkata. 

Penuh wibawa kukoreksi dia. "Bukan itu. Aku hanya mengambil langkah hati-hati yang beralasan." "Setidak-tidaknya kau bisa ke sana untuk melihat apakah ada orang di rumah." 

Aku tak tahu mungkin ada orang di sana. Mungkin Simpson telah melaksanakan niatnya tadi malam, lalu pergi diam-diam selagi hari masih gelap. Atau mungkin juga sudah lama ia ke luar negeri, dalam perjalanan ke Amerika Selatan menyamar dengan memakai kumis palsu dan kacamata hitam. 

Meskipun demikian, tak ada jeleknya pergi untuk meyakinkan. Jadi, aku pergi juga ke sana. Kutekan bel. Seperti yang sudah kuduga, tak ada yang membukakan pintu. Bel kutekan lagi, lalu pulang. 

"Tak ada orang," kataku. 

"Kukira sebaiknya kau ke polisi," kata Mabel. 

"Kukira kau tak percaya dia bakal membunuh istrinya." 

"Aku tetap tak percaya, tapi bisa saja perampok masuk dan mengikat kedua orang itu. Malah jangan-jangan membunuh mereka. Menjadi tugasmulah untuk memanggil polisi." 

Jika ia sudah bicara macam itu, tak bisa lagi aku menghindar. Kukenakan topiku, untuk menunjukkan bahwa aku orang baik-baik dan orang penting di masyarakat. Lalu aku berangkat ke kantor polisi.

 

Malu kelihatan tetangga 

Harus kuakui mereka amat ramah. Mereka mendengarkan semua laporanku dengan penuh perhatian. Meskipun tidak segera mengirimkan inspektur detektif, sersan pun tidak, mereka mengirimkan juga seorang polisi biasa untuk mengikuti aku ke tempat yang diduga telah terjadi tindak kriminal. 

"Tentunya Anda sadar, Pak," kata sersan di kantor itu, "bahwa mungkin saja tak terjadi apa-apa. Mungkin saja Tuan dan Ny. Simpson sedang bepergian beberapa hari." 

"Tapi botol susu itu ...." 

"Kadang-kadang orang lupa mengingatkan tukang susu. Seharusnya memang tidak lupa, tapi mereka lupa juga." Ia menghela napas. "Itu salah satu kelemahan manusia yang harus kita akui." 

Harus diakui, aku agak salah tingkah juga berjalan bersama-sama seorang polisi. Bukan hal yang biasa, 'kan? Tidak biasa untuk orang yang 

hidupnya selama ini bersih. Kujaga jarak dengan dia, supaya orang bisa melihat tak ada borgol di antara tangan kami. Aku lega waktu sampai di rumah Simpson, tanpa bertemu kenalan. 

Tentu saja sang polisi bersikeras menekan bel, meskipun sudah kukatakan ia membuang-buang waktu saja. Lalu pintu coba dibukanya, tapi terkunci. Lalu kami ke belakang rumah. 

Pintu belakang pun terkunci, tapi pintu gudang tidak. Kudorong pintu itu dan benda pertama yang kelihatan adalah tangki itu. Karena diganjal batu bata, bagian dalamnya tak terlihat. Di langit-langit tak kelihatan ada derek. Kukira telah dilepas, atau Simpson menggunakan metode lain. 

Kuperingatkan polisi itu akan asam sulfat yang mungkin mengenai pakaiannya. Katanya, "Asam apa?" Polisi bisa jadi amat tolol kalau mereka memang sengaja. 

"Tangki itu," aku menerangkan, "penuh dengan asam sulfat berkonsentrasi tinggi dan mayat Ny. Simpson ada di dalamnya." 

Kata polisi itu, aku terlalu banyak menonton televisi. Untuk menggodaku ia mengambil sebuah peti, lalu kami naik ke atas peti dan melongok ke dalam tangki. 

Ternyata aku salah sekali. Di dalam tangki tak ada asam sulfat maupun tubuh Ny. Simpson yang sedang menghancur. Sebagai gantinya kulihat celupan warna biru yang amat banyak dari Tuan Simpson. Ia tampak lebih biru lagi dari biasa. 

Mengertilah aku mengapa tak ada derek. Ny. Simpson berbadan tegap dan kuat, sedangkan Tuan Simpson agak kurus. Mungkin mudah sekali bagi nyonya itu mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam tangki. 

"Kukira aku harus menelepon ke kantor kata polisi itu. Ia kelihatan agak kehijauan, tapi bisa juga itu cuma efek cahaya. 

Mabel bangga sekali waktu kuceritakan detail-detailnya. "Sudah kukatakan, tak mungkin orang yang akan membunuh istrinya cerita dulu ke mana-mana." 

"Bagaimana kau tahu ia memang tidak berniat begitu?" kilahku. 

"Mungkin saja ia mendahului suaminya untuk membela diri." 

Matanya yang biru dan polos menatapku lama dan dingin. "Dia toh tak bisa disalahkan benar, bukan?" katanya. "Kalau aku jadi dia, pastilah aku juga bertindak sama." 

Pernyataannya itu rupanya sudah diperhitungkan untuk membuat seorang pria berpikir. Jadi, aku pun pergi ke toko besi untuk membatalkan pesanan sebuah tangki. Tentu saja aku percaya pada Mabel, tapi tak ada salahnya berhati-hati. Lebih baik tidak menawarkan godaan kepada seseorang, bukan?(James Pattinson)

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448566/jangan-lupa-gigi-palsu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952453000) } } [4]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400637" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/berkat-rekaman-video_thomas-will-20220803020902.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Ada percobaan pembunuhan Lisa. Betuntung suaminya, Kosta, sigap dan menembak si pembunuh. Namun upaya pembunuhan ini bukan yang pertama. " ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/berkat-rekaman-video_thomas-will-20220803020902.jpg" ["title"]=> string(20) "Berkat Rekaman Video" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:09:24" ["content"]=> string(31731) "

Intisari Plus - Ada percobaan pembunuhan Lisa. Betuntung suaminya, Kosta, sigap dan menembak si pembunuh. Namun upaya pembunuhan ini bukan yang pertama.

-------------------

Di musim semi sinar matahari menghangatkan Pantai Daytona yang terhampar sepanjang pesisir Atlantik Tengah. Tempat rekreasi indah itu menjadi tujuan banyak wisatawan untuk melepaskan kesuntukan hidup sehari-hari. Tempatnya bisa di mana saja. Bar, salon, hotel mewah, juga jalan raya.

Keramaian itu merasuki segenap sendi kehidupan, termasuk dunia kriminal. Salah satu wilayah yang jadi tempat beroperasi adalah deretan pertokoan di kawasan yang disebut “Boardwalk”.

Beberapa hari setelah perayaan Halloween, pihak Kepolisian Daytona mendapat laporan kejahatan yang menimpa salah seorang anggota keluarga terkemuka di sana. Seorang lelaki tak dikenal menyerang, dan menembak langsung kepala Lisa Paspalakis (27). Yang lebih mengerikan, kejadian itu berlangsung di kamar tidur korban.

 

Suami jadi pahlawan 

Saat pelaku penembakan beraksi, korban sudah dalam keadaan tidur, bersebelahan dengan suaminya, Kosta Fotopaulus.

Penembakan itu berlangsung sangat cepat. Secepat itu pula tindakan pembalasan suaminya, yang segera menyambar pistol di dekatnya. Tujuh tembakan yang ia letupkan membuat si penembak istrinya terkapar.

Lisa mujur luar biasa. Menurut dokter, peluru itu cuma menyerempet batok kepalanya. Hal itu tidak akan berisiko fatal.

Peristiwa yang segera tersebar beritanya itu menempatkan Kosta sebagai pahlawan yang menyelamatkan jiwa istrinya.

Kopral Greg Smith, detektif dari bagian pembunuhan, ditugasi menyidik kasus penembakan itu. Malam itu juga ia meluncur ke rumah besar Keluarga Paspalakis. Di sana tinggal Mary Paspalakis, ibu korban, pasangan muda Kosta dan Lisa, serta adik Lisa, Dino. Rupanya, Dino yang melaporkan kasus penembakan di rumah itu.

Katanya, tak lama setelah mematikan lampu di dapur, ia mendengar suara senjata menyalak. “Saya tidak tahu dari mana asalnya, tetapi ketika memeriksa kamar Ibu, saya lihat ia baik-baik saja. Segera saya lari ke lantai atas ke kamar Lisa, ternyata benar.”

Sedangkan Kosta mengutarakan kecurigaannya. “Usaha pembunuhan itu pasti bertujuan untuk menjatuhkan perusahaan keluarga kami di Boardwalk yang omzetnya jutaan dolar.”

Smith tidak banyak berkomentar. Saat ini ia belum dapat mengambil kesimpulan apa pun. Menurut dia, sah saja Kosta menduga adanya motif persaingan bisnis, karena kepolisian pun tidak menemukan adanya barang hilang sebagai bentuk motif perampokan.

Petugas kesehatan segera mengevakuasi korban, baik Lisa yang segera mendapat pengobatan maupun mayat lelaki tak dikenal itu. Penyelidikan di TKP juga tidak memberikan informasi berarti lainnya, kecuali sepucuk senjata otomatis kaliber 22.

Senjata bukti itu ternyata tak cukup membantu untuk memecahkan kasus itu. Pasalnya, senjata itu ternyata berasal dari pasar gelap.

Untung Smith segera mencari identitas si penembak. Dari sidik jarinya diketahui, korban bernama Bryan Chase. Pria bertubuh besar itu ternyata baru berumur 18 tahun. la kelahiran Ohio dari keluarga petani. Selama ini remaja itu bekerja di sebuah hotel di Daytona.

Penyelidikan lanjutan di tempat kerja Bryan memunculkan watak aslinya yang rupanya senang dikelilingi perempuan. Suatu kebiasaan yang menguntungkan, karena itu berarti akan banyak orang yang dapat dimintai informasi tentang Bryan.

Salah satu perempuan yang rela membuka mulut bernama Lori. 

Lori mengaku mengetahui dengan pasti dalang di balik kejadian itu.

Di markas kepolisian, mula-mula Lori menyebutkan nama yang dimaksud, yakni Deidre Hunt.

Namun, belakangan ketahuan, perbuatannya buka mulut lebih karena sakit hati. la dan Deidre telah cukup lama menjalin hubungan cinta sejenis. Namun, berulang kali Deidre mengkhianati cintanya. Jadi, kini saat yang tepat untuk memberi pelajaran pada kekasihnya itu.

Untuk membuktikan kebenarannya, Lori terpaksa diamankan. Sementara Smith mencari Deidre Hunt di alamat tempat tinggal mereka berdua.

Pencarian tak segera memberikan hasil. Tetangga seapartemen mengatakan, Deidre yang akrab dipanggil Dee atau Cherie jarang pulang, paling-paling sekali dalam seminggu. Itu pun dilakukan di malam hari, dan subuh ia sudah pergi.

Segera beberapa opsir ditempatkan untuk mengawasi tempat itu secara bergiliran. 

Satu minggu berlalu tanpa hasil. 

Minggu kedua, belum juga ada tanda-tanda pemunculannya.

Kesabaran Smith mendekati titik nadir. la mulai curiga, jangan-jangan Lori sengaja mengelabui dirinya.

Kecurigaan itu mendapat jawaban, ketika pengintaian memasuki hari ke-18. Pada pukul 23.30, sesosok berjas panjang hitam memasuki apartemen itu.

Meski tak jelas benar wajahnya, melihat gerak-geriknya yang ekstra waspada, opsir pengamat memutuskan segera menghubungi Smith untuk melaporkan perkembangan itu dan menunggu perintah lanjutan.

Tepat pukul 24.00, dilakukan penggerebekan di tempat tinggal Lori - Deidre. Tanpa kesulitan berarti, Smith dan rekan-rekannya meringkus wanita cantik bak bidadari itu. Di balik sikap dan perilaku malu-malu, tersimpan isyarat yang menggoda.

Dee memang penggoda, reputasinya telah dimulai sejak putus sekolah di kelas sembilan. Saat itu diam-diam ia terjun ke dunia orang bebas. Seks bebas pun ia jalani sejak awal usia belasan.

la matang terlalu cepat. Semua itu mungkin berhubungan dengan kondisi keluarganya yang berantakan. Ibunya pencandu alkohol, ayahnya pun tak mengakuinya sebagai anak kandung.

Saat pertama kali terjun dalam kehidupan pilihannya, ia bekerja sebagai gadis bar, dan melayani pesanan seks demi uang. Dunia cinta lesbian juga digumulinya. “Ratu Daytona”, demikian julukan atas profesinya.

 

Bukan yang pertama

Di tengah proses menangkap Dee, Smith mencoba menggali informasi dari Lisa Paspalakis.

la putri seorang pengusaha sukses di Daytona. Gadis lulusan University of South Florida di Tampa dalam bidang studi akuntansi itu kini memegang kendali seluruh bisnis keluarga yakni Joyland, yang berada di kawasan Boardwalk.

Di kamar rumah sakit yang dijaga ketat oleh polisi itu Smith menemui Lisa.

Baru beberapa menit Smith berbasa-basi menyalami Lisa, pintu kamar dikuak dari luar. Rupanya, Kosta.

Dari pembicaraan kemudian, Lisa mengatakan, peristiwa penembakan itu bukan ancaman pembunuhan yang pertama kali didapatnya.

Peristiwa lainnya terjadi sehari setelah Halloween. Seorang pria berpostur tinggi, berkulit hitam cerah menerobos pintu ruang kerja di kantornya.

Saat itu ia berada di balik pintu, hendak menutupnya karena Dino, adiknya, baru saja meninggalkan kamar itu.

“Kosta ada di sini?” tanya lelaki itu. 

“Tidak,” jawab Lisa sembari memalangkan kaki di pintu. 

Dengan menggerundel tentang adanya janji kerja dari Kosta, lelaki itu kembali bertanya, kapan Kosta datang.

Mendadak pandangan Lisa menangkap pistol yang terselip di pinggang lelaki itu.

Sadar akan pandangan langsung Lisa, lelaki itu menarik pistol. Lisa menyentak ke belakang.

Lelaki itu membentak, memerintah Lisa masuk ke dalam kantor.

Lisa tahu, tak ada tempat buat menghindar dalam ruangan itu. Satu-satunya jalan cuma kabur dari sana. Tapi bagaimana, pintu keluar teralangi tubuh tinggi besar itu.

Biar bagaimana Lisa tetap berusaha.

la menjatuhkan dirinya, berguling ke lantai.

“Bangun, bedebah! Kamu akan mati. Cepat, masuk ke kantor!” 

Kesempatan bangun beberapa detik dimanfaatkan untuk menerobos keluar. la lari lewat sebuah lorong.

Lelaki itu mengarahkan pistolnya pada Lisa, yang sudah melesat jauh.

Satu tembakan sempat dilepaskan. Untungnya, meleset.

Lisa kabur, masuk ke dalam sebuah restoran terdekat.

Kosta membenarkan semua penuturan Lisa. Malah, ia juga mengatakan, segera setelah Lisa berhasil kabur, ia bergegas mendapatkan istrinya dan menenangkannya. 

Kembali Kosta mengingatkan, usaha pembunuhan itu merupakan cara untuk menghancurkan keluarga istrinya.

 

Dalang di balik dalang 

Tak selancar yang diperkirakan, itulah yang dihadapi Smith. Pikirnya, dengan mempertemukan Dee dan Lori, masalah itu segera beres. 

Nyatanya?

Dalam ruang interogasi yang hanya diisi satu meja ukuran 60 x 100 m dan tiga kursi sederhana. Smith, Dee, dan Lori bertatap muka untuk pertama kali. 

Interogasi tidak berjalan lancar.

“Kalian berdua memang bekerja sama dalam merancang pembunuhan ini?” tanya Smith.

“Bukan aku, tapi dia. Aku hanya diajak bekerja sama untuk mencari pelaku eksekusi,” jawab Lori.

“Benar demikian?” tanya Smith sambil mengalihkan pandangan pada Dee.

“Bukan aku. Aku cuma membantu.” 

Smith mulai geram. Dua perempuan cantik itu lebih sering saling pandang daripada mengakui perbuatan kriminal mereka. la merasa dipermainkan.

“Terserah kalian saja, tapi pikirkan risiko yang bakal menimpa,” ancam Smith yang kemudian meninggalkan ruangan interogasi. Dari balik kaca di ruang sebelah ia mengamati apa yang dilakukan keduanya.

Rupanya, mereka tidak betah berlama-lama berdiam diri.

“Lebih baik kamu mengaku. Katakan yang sebenarnya,” desak Lori.

“Kamu memaksaku untuk mengaku karena kamu cemburu dengan kebahagiaan kami. Kamu ingin kami berdua celaka,” jawab Dee. 

Aha, berarti ada dalang lain yang belum terungkap. 

“Omong kosong dengan kecemburuan itu. Kalau mau cemburu, sudah dari dulu kulakukan, karena kamu memang sering mengkhianati aku.” 

“Kamu egois. Cuma ingin menyelamatkan diri sendiri.” 

“Coba pikir, untuk apa kamu membela dia mati-matian. Dia hanya memanfaatkan dirimu. Lihat saja nanti, ia pasti akan cuci tangan begitu polisi mengarahkan sasaran ke dirinya.”

“Hati-hati bicara. Kita pasti disadap,” suara Dee berdesis. 

“Biar saja. Biar semua orang tahu. Lelaki itu hanya berpura-pura. Sok membela istrinya, padahal justru ia yang mengincar harta istrinya!”

Kata “istrinya” menyadarkan Smith. Namun, ia tidak bertindak gegabah. la harus cukup punya dasar yang kuat untuk menangkap Kosta.

“Jadi, Kosta ada di belakang semua ini?” 

“Benar, ia dalangnya,” sahut Lori. 

“Adakah hubungannya dengan penembakan di kantor Lisa?” 

“Pelakunya bernama Teja Mzimmia James. Tinggal di Brooklyn.”

 

Dagang senjata

Sebagai perempuan simpanan Kosta, Dee tahu cukup banyak tentang diri kekasihnya.

Kosta Fotopaulus dilahirkan di bagian Athena pada Januari 1959. Ayahnya seorang ahli mesin Olympic Airways, perusahaan penerbangan Nasional Yunani.

Ketika dewasa, ia ikut pamannya ke Aurora, Illinois.

Wajahnya tampan. Cara bicara pria bertinggi badan 1.90 m ini pun sopan.

Suatu saat ia diperkenalkan dengan Lisa. Saat itu Lisa terlalu asyik dengan bisnis keluarga, usaha properti yang meliputi sepanjang Boardwalk. Orang tuanya sempat prihatin karena Lisa mengabaikan mencari calon suami.

Tapi sikapnya berubah, ketika ayahnya, Agaustine, yang biasa dipanggil Steno, memperkenalkannya dengan Kosta.

Lisa dan Kosta mengumumkan pertunangan mereka, dan tak lama disusul dengan pesta perkawinan yang mewah. Sikapnya yang memikat, memudahkan dia menjadi bagian dari Keluarga Paspalakis.

la menarik AS $ 300 seminggu dari Joyland, nama perusahaan keluarga Paspalakis, untuk menyelesaikan masternya di Embry-Riddle. Kosta juga merasa hidup sebagai orang kaya dan mengendarai BMW tipe mutakhir serta tinggal di kondominium yang dibelikan Lisa. Tapi setelah mengantungi ijazah, ia tak tertarik bekerja di bidang penerbangan sesuai dengan bidang studinya.

Kosta, menurut Dee, pemimpi yang baik untuk mempunyai perusahaan sendiri.

Kosta mengambil uang Steno, sedikitnya AS $ 10.000 untuk terbang ke Milan, Italia. Di sana ia membeli kartu kredit palsu.

Sekembali di Daytona ia mendekati sahabatnya, Peter Kauracos. Sebenarnya, Peter berniat mengingatkan risiko permainan yang dia lakukan. Tapi melihat gelagat yang kurang menguntungkan, ia pun membatalkannya.

Peter sendiri memiliki izin untuk melakukan usaha jual-beli senjata. Hal itulah yang diincar Kosta. Kosta memang terobsesi akan perdagangan senjata api gelap. la belajar pada Kauracos tentang seluk beluk perniagaan senjata.

Kosta mulai bermain-main dengan senjata gelap. la menyembunyikan beberapa granat tangan. la juga memodifikasi senjata panjang semi otomatis, sekaligus memproduksinya. la tidak sadar telah melanggar hukum. Sejak itu ke mana pun ia pergi tak pernah lupa membawa senjata.

Bahkan ia membual tentang kerja samanya dengan Mossad dan CIA untuk memberantas teroris. la bisa mengatakan semua itu, karena ia pernah mendapat pelatihan di angkatan bersenjata Yunani.

Menurut Dee, Lisa yang sangat mencintai suaminya tahu akan kegilaan Kosta pada senjata. Tapi ia merasa, dengan senjata suaminya tampak lebih gagah, sekaligus melindunginya.

Kosta memanfaatkan Vasilios “Bill” Markantonakis dan istrinya, Barbara, untuk menguras uang di pasar swalayan menggunakan kartu kredit gadungan. Markantonakis, yang kelahiran Yunani, dan Barbara merupakan pekerja baru di perusahaan keluarga Lisa, Joyland.

Tapi tak berapa lama perbuatan mereka itu sudah tercium yang berwajib dan tertangkap. Kosta memberi mereka uang untuk tutup mulut tentang keterlibatan dirinya dengan disertai ancaman.

Pada minggu ketiga November ayah Lisa meninggal dunia. Hal itu membuat Lisa yang cerdas semakin tenggelam ke dalam kesibukan bisnis keluarga. Untuk menenteramkan ibunya, Lisa pulang ke rumah Paspalakis yang besar.

Saat itu menurut Dee, Kosta melihat kesempatan untuk menguasai harta Keluarga Paspalakis, terutama bila Lisa mati. Selain warisan, ia masih mendapat klaim asuransi AS $ 350.000 plus provisi. Sementara Dino, adik lelaki Lisa satu-satunya, akan mendapatkan warisan itu jika Kosta mati.

 

Membuka bar sendiri 

Kosta menemukan ladang bisnisnya sendiri di ujung utama Boardwalk, jauh dari Joyland. Bersama dua mitranya ia membuka bar dan kolam renang yang dinamai Top Shots. 

Sebenarnya Lisa tidak setuju dengan bisnis yang tidak sesuai dengan karakter perusahaan keluarga. Pelanggannya pastilah orang-orang berengsek yang mengabaikan hukum. Namun, ia tidak dapat menghentikannya. 

Saat itu Kosta berusia 31 tahun, lebih tua dari kebanyakan tamunya di Top Shots. Tapi ia laki-laki yang mengesankan dengan kematangannya dan semua daya pikatnya. Kepada semua orang di sekekelilingnya ia mengaku sebagai pemilik Joyland dan usaha lain. Bahkan Lisa sering minta order darinya. Para pengedar narkotika pun tak berani mengemplang uangnya. 

Celakanya, tak semua upaya tipu-menipunya beredar mulus. Seorang bandit kecil bernama Mark Ramsey mengaku tahu tentang sejumlah kartu kredit palsu Kosta. Ramsey meminta beberapa ratus dolar untuk uang tutup mulut agar polisi tak tahu. Kosta tak gentar menghadapi pemerasan seperti itu. Dia cukup menyuruh Tony Calderone (39) untuk menyingkirkannya. 

Calderone bekerja sebagai pedagang mobil sekaligus pemilik dua restoran. la menginvestasikan AS $ 6.000 untuk menolong membuka Top Shots, kemudian menariknya kembali karena suatu alasan. la dipekerjakan sebagai manajer Top Shots, karena Kosta terlalu sibuk. 

Di Top Shots itulah Dee mengenal Calderone, yang kemudian mempekerjakannya. Ternyata Calderone dan Kosta sama-sama terpikat oleh gadis itu. Bisa diduga, Kosta yang berhasil merebutnya. Pada Calderone, Kosta memberi alasan punya rencana untuk memperalat Dee. 

 

Hunter killer

Ada sejumlah nama yang perlu diminta kesaksiannya. Teja James dapat dengan mudah diringkus. Kemudian dia menguak semua yang ia ketahui tentang rencana untuk membunuh Lisa, termasuk percobaan yang gagal di Joyland. Itu sudah cukup. 

Sedangkan Calderone, saat didatangi di Top Shots, tanpa berbelit-belit segera menyediakan kesediaannya untuk bersaksi di persidangan. 

Tak kalah penting dihadirkan adalah Vasilios “Bill” Markantonakis dan Barbara untuk dimintai informasi tentang kartu kredit palsu dari Kosta. 

Kericuhan sempat terjadi saat polisi akan menahan Kosta. la menolak. 

Sebaliknya, Dino mendukung penahanan kakak iparnya. la memang curiga Kosta terlibat. 

Kopral Greg Smith tak dapat mengerti, mengapa Kosta bisa cepat bangun dari tidur nyenyak, lalu tepat menembak Chase beberapa kali tanpa membuka matanya.

Apalagi menurut Letnan William Evans, tubuh Kosta lebih besar sehingga memakan tempat lebih banyak ketimbang Lisa, tetapi mengapa yang ditembak lebih dulu Lisa.

Lisa semula tidak percaya bila suaminya berada di belakang semua itu. Namun, akhirnya ia bisa menerima kenyataan bahwa ia telah menikahi seorang pembunuh gila.

Dalam persidangan, pengakuan Deidre berbelit-belit. la mengatakan di bawah kontrol Kosta yang menakutkan. Dia berbuat sesuai dengan perintah Kosta sekadar untuk menyelamatkan jiwanya.

Semenjak hidup bersama Kosta, keuangan Dee sudah tidak lagi menjadi masalah. Kencan lesbiannya bersama Lori tak menjadikan Kosta keberatan, asal tidak dengan lelaki lain.

Sampai suatu hari Kosta membicarakan “Hunter Killer”, sebuah klub pembunuhan, yang berhasil meraup banyak uang. Deidre setuju bergabung, tapi ia harus dites keberaniannya dulu oleh Kosta. Target utamanya sebenarnya Lisa.

“Kata Kosta, jika istrinya mati, ia akan mendapat tak kurang dari AS $ 700.000 dari asuransi jiwa Lisa, ditambah warisan dari bagian perusahaan Paspalakis.”

Untuk latihan, korban yang dipilih adalah Ramsey, si bandit kecil. Agar tampak profesional, Kosta akan merekam tindakan eksekusi itu.

Dee sudah mengenal Ramsey, sehingga tidak terlalu sulit untuk mengadakan pendekatan. Suatu siang di bulan Oktober, Dee membujuk Ramsey. la mengatakan, kini Kosta membutuhkan tenaganya dengan bayaran tinggi dan risikonya pun kecil. Modalnya hanya keberanian.

Sebenarnya, Ramsey sudah curiga, tapi mempertimbangkan kebaikan Dee yang pernah memberinya uang dan kepuasan seks, Ramsey pun bersedia bertemu Kosta.

Saat mereka bertemu, Kosta hanya mengatakan, ”Aku akan membayarmu mahal hanya untuk menantangmu duel.” Agar tampak meyakinkan, Kosta meletakkan senapan di tanah, di antara kedua kaki Ramsey.

Namun, saat ia lengah, AK-47 di tangan kiri Kosta menyalak, melukai dada Ramsey. Sementara kamera video di tangan kanan terus mengambil gambar itu. Dee sempat marah manakala kamera itu tertuju ke arahnya.

Tiga peluru menerjang dada Ramsey, tapi belum menewaskannya.

“Cepat, habisi dia!” perintah Kosta. 

Meski sempat ragu, Dee menyempurnakan kematian korban. 

Semua rekaman video itu kini menjadi barang bukti di pengadilan.

 

Senapan macet

Selanjutnya, Dee disuruh mencari seorang pembunuh dengan bayaran AS $ 10.000. Uangnya bisa diambil asal pembunuh sudah berhasil melaksanakan tugasnya.

Kosta sudah merancang cara yang cerdik. Usai si pembunuh beraksi, Kosta akan menembak si pembunuh. Akal-akalan itu menutupi perbuatannya dengan rapi.

Deidre menceritakan rencana itu pada Lori. Bahkan meminta Lori untuk melakukannya. Karena Lori menolak. Dee menawarkannya pada Teja Mzimmia James. Celakanya, sebagai sesama pengunjung Top Shots, Teja James tahu rencana pembunuhan secara mendetail dari Lori.

Lantas Deidre memilih Matthew Chumberley alias Mike Cox, seorang tunawisma, tanpa relasi lokal, punya beberapa teman, dan mempunyai rekor kejahatan.

Kepadanya Dee bercerita banyak tentang Hunter Killer Club, yang bisa menghasilkan uang banyak. Risikonya pun kecil, katanya, karena mempunyai hubungan dengan CIA. Mike Cox dijanjikan 10 pekerjaan besar setiap minggu.

Demi uang ia setuju. Bagaimanapun, sebelumnya ia mau bertemu dengan Kosta lebih dulu untuk mengambil senjata. Namun, ia salah masuk ke rumah tetangga dan tertangkap basah oleh polisi.

Kosta geram dan memerintahkan Deidre untuk kembali menghubungi Teja James. Pemuda itu bersedia melakukannya setelah Deidre menjelaskan bahwa rencana yang semula telah berubah, Kosta tidak akan menembak si pembunuh. Teja hanya disuruh meninggalkan kota dalam beberapa bulan setelah pembunuhan terlaksana.

Di sidang pengadilan, Teja James membenarkan cerita Dee.

Pada hari Halloween Kosta dan Lisa akan menghadiri pesta kostum di Razzles, klub malam yang tersohor.

Teja muncul di pesta dengan pisau terbungkus kain lusuh. Bodohnya, ia tidak mengenakan kostum dan topeng. la pun menjadi tamu aneh. Berjam-jam ia membuntuti Lisa berkeliling, menunggu kesempatan.

Begitu ada kesempatan, ternyata ia tidak cukup punya keberanian untuk menikam korbannya. 

Kosta murka.

Teja James masih mendapat kesempatan kedua. Mengeksekusi di kantor Lisa. Sebagaimana yang diceritakan Lisa, senjata api otomatis kaliber 22 itu hanya satu kali menyalak. Menurut Teja, senjata itu macet. 

Dua tugas Teja James gagal total.

Kosta meradang. 

Dee mencari tenaga baru. Ditemukanlah Bryan Chase. 

Dalam rencana Kosta, Bryan harus memasuki rumah Paspalakis. Menuju lantai atas tempat Lisa tidur bersama Kosta, dan menembak kepala Lisa beberapa kali.

Kemudian membuat seolah-olah telah terjadi perampok. Sesudahnya, ia harus secepatnya melarikan diri, sedangkan Kosta berpura-pura memburu si perampok itu.

Usaha pertama dilakukannya dengan memanjat pohon di bagian halaman belakang rumah Paspalakis di pagi hari. la harus terlebih dulu mematahkan penyangga dasar jendela kecil, namun ia lupa membawa peralatan dan pelindung terhadap sistem alarm rumah. la gagal, alarm berdering ramai sekali.

Chase sendiri rupanya penasaran. Usaha keduanya gagal, gara-gara seekor anjing tetangga menyalak. Dia kabur.

Dee galau dengan kegagalan demi kegagalan yang terjadi. Kalau terus begini, bisa-bisa Kosta akan minta Deidre sendiri menghabisi Lisa.

Terpaksa mereka menyusun rencana baru. Saat Lisa sudah tidur pulas, Kosta akan bangun dan mematikan lampu sebagai isyarat bagi Chase. 

Saat hari H, di kegelapan Chase muncul. Begitu Chase tiba di halaman belakang, penerangan di tempat tangga padam. la mengira, itu kode dari Kosta.

Ternyata, yang memadamkan lampu Dino, adik Lisa yang sedang demam. la pergi ke dapur untuk minum aspirin. Setelah itu mematikan lampu, ia kembali ke tempat tidur di tingkat atas.

Chase masuk melalui jendela yang sengaja dipecahkan oleh Kosta. Hanya diterangi oleh lampu buram dari sebuah akuarium ikan tropis, Chase menodongkan pistol 22-nya ke pelipis Lisa dan menekan picunya. 

Mestinya, sebuah peluru menembus tengkorak Lisa di dekat telinganya, tapi senjata itu macet untuk tembakan kedua kalinya. 

“Sialan!” gerutunya. 

Saat itu Kosta bangun, memuntahkan tujuh tembakan ke dada Chase.

 

Rekaman video kuncinya

Video pembunuhan ditunjukkan kepada dewan juri guna membuktikan kata-kata penyanggahan Deidre dan Kosta. Tayangan rekaman itu justru menghancurkan sanggahan Deidre tentang Kosta yang telah menodongkan senjata kepadanya saat ia menembak Mark Ramsey.

Rekaman itu menyakinkan para juri tentang Kosta yang memegang kamera video di tangan yang satu, senjata di tangan lain. Deidre dengan sebuah pistol di tangan, banyak kesempatan untuk menembak Kosta sebagai ganti Ramsey, tapi toh ia tidak melakukannya. Bahkan, rekaman itu menampilkan Deidre saat menghabisi Ramsey. Itu bukti yang tidak bisa diabaikan. Deidre dinyatakan bersalah dalam pembunuhan Ramsey.

Kosta diperiksa atas keteguhan sangkalannya meliputi kematian Ramsey dan Chase, dan ancaman terhadap kehidupan Lisa. Dia bersikukuh bahwa video rekaman pembunuhan Ramsey bukan dirinya yang membuat. Tapi faktanya mengungkap yang berbeda. Juri menyatakan, Kosta bersalah dalam tingkat pertama.

Kosta juga dituduh dalam kasus penipuan kartu kredit. 

Kosta dan Deidre divonis hukuman mati di kursi listrik wilayah Florida. Teja James yang dinyatakan bekerja sama dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Lori Anderson yang menolong Deidre dalam perencanaan pembunuhan Lisa mendapat hukuman yang sama. 

Lisa segera menceraikan Kosta setelah hukuman dijatuhkan.







" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400637/berkat-rekaman-video" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535764000) } } [5]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350649" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/karena-kakak-keras-kepala_sj-obj-20220629072424.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(149) "Pauline harus merawat ibunya yang sudah tua, sedangkan ia sendiri pernah dirawat di RSJ. Suatu seorang dokter memaksa kakknya turut menjaga sang Ibu." ["section"]=> object(stdClass)#96 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/karena-kakak-keras-kepala_sj-obj-20220629072424.jpg" ["title"]=> string(25) "Karena Kakak Keras Kepala" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:24:37" ["content"]=> string(33746) "

Intisari Plus - Pauline harus merawat ibunya yang sudah tua, sedangkan ia sendiri pernah dirawat di RSJ. Suatu hari, sang Ibu bercerita kepada Marjorie, kakak Pauline, bahwa adiknya sedang dekat dengan seorang dokter. Tak lama, dokter itu pun memaksa agar Marjorie mau turut menjaga sang Ibu juga.

------------------

Orang pertama yang memberi tahu Marjorie tentang teman pria Pauline adalah Mama. Bukan Pauline sendiri.

"Bagaimana Mama tahu?" tanya Marjorie tak sadar bahwa itu pertanyaan konyol - bukankah selama ini Mama hanya ditemani oleh Pauline.

"la datang ke sini tadi malam. Dari kamar tidur, aku dapat mendengar suaranya yang berkata, 'Bicara sebagai seorang dokter, Pauline ...' Aku menduga mereka berkenalan saat Pauline dirawat di tempat itu."

Marjorie tidak suka mendengar kata tempat itu. Sungguh bodoh - berpikiran sempit, tapi tempat perawatan orang gila tetaplah tempat perawatan orang gila. Toh, ia sulit menerima kenyataan bahwa adiknya pernah dirawat di sana. Hal yang sungguh memalukan keluarga.

"Mungkin ia sedang menjalankan tugas profesinya," sahut Marjorie. "Kenapa Mama tidak menanyainya?"

"Aku tidak ingin melakukannya. Kamu tahu seperti apa Pauline." Majorie pun bisa memahami.

Mereka segera diam karena Pauline telah muncul lagi membawa seperangkat jamuan minum teh. la mengoleskan mentega pada sepotong kue, memotong kecil-kecil, memasang serbet ke leher Mama, dan melakukan semuanya dengan tenang, tanpa sepatah kata pun.

"Mengapa kamu pakai cangkir keramik Cina yang paling bagus?" tanya Mama.

Marjorie baru akan memprotes, namun Pauline cepat memotong, "Sudahlah. la 'kan tidak bisa melihat. Kau tahu sendiri betapa buruk penglihatannya." Pauline tersenyum manis pada Mama. "Ya, kami menggunakan cangkir keramik terbaik itu," lalu membersihkan ujung bibir Mama dengan tisu.

Setelah pertemuan singkat itu Marjorie pamit pulang. la tak bisa berlama-lama di rumah Mama karena banyak urusan penting dengan anak-anak dan George - suaminya - yang harus diselesaikannya. Seperti biasa, Mama bisa mengerti itu. 

Sabtu siang ia menjenguk Mama lagi, "hanya mampir" dalam perjalanan ke toko. 

"la datang lagi tadi malam," Mama berbisik. 

“Siapa?"

"Dokter teman pria Pauline, ia datang malam sekali. Aku membunyikan bel memanggil Pauline karena aku ingin ke kamar kecil. Sekitar pukul 23.00 setelah kembali ke kamar tidur, aku mendengar suaranya.”

Saat itu Pauline sedang di pekarangan mengangkat jemuran yang telah kering. Ketika ia masuk ke rumah, Marjorie mengamati wajah adiknya dengan saksama. Pauline nampak sangat kelelahan. Tubuhnya yang tinggi kurus dan kehitaman, terlihat makin kurus. 

Bahkan celana panjang gombrang model kuno yang dikenakan tampak kedodoran menggantung begitu saja di pinggulnya yang tak berlekuk. Matanya yang bergaris hitam pertanda kurang tidur berkaca-kaca, mungkin karena obat-obatan yang harus diminum sekeluarnya dari tempat itu.

"Apakah aku kelihatan jorok, atau ... begitu cantiknya aku hingga kau terkesima melihatku?" ujar Pauline memecah keheningan.

"Maaf, aku melamun," Marjorie menjawab sambil bergegas pamit karena takut toko yang ditujunya keburu tutup.

 

Perawan tua yang sibuk

Setelah berbelanja, ia pun pulang dengan sekumpulan masalah ruwet membebani pikirannya. Namun ia mampu bersabar menunggu anak-anaknya keluar rumah sebelum menceritakan masalahnya pada George. Brian (17) dan Susan (16), tanpa memperhitungkan usia muda mereka, memang anak yang penuh pengertian. 

Mereka mampu menyadari bahwa nenek mereka yang sering disebut sebagai Nanna - cara mereka menyebut Mama - layak diperlakukan sebagai "orang tua yang tercinta". Mereka tidak akan pusing bila harus serumah dengan Nanna. Malah mereka mampu beriba hati pada Bibi Pauline yang tentu merasa bosan tidak pernah bisa ke luar rumah.

"Pauline punya pacar, George." 

"Ah, kamu bercanda."

"Tidak. Menurut cerita Mama, ia dokter yang ditemui Pauline ketika dirawat di Hightrees. la telah dua kali singgah di malam hari dan pulang hampir tengah malam." 

"Ya, selamat untuk Pauline, ia sekarang sudah 40 tahun jika bisa benar-benar beruntung," ujar George. 

"Bukan 40, tapi 42. Kau tahu persis 'kan ia 7 tahun lebih muda daripadaku," Marjorie menukas. 

"Tapi nampaknya justru sebaliknya. Banyak orang menduga kau yang lebih muda," George tersenyum penuh arti pada istrinya, lalu mulai membuka koran edisi hari itu. 

"Dengar dulu, George! Tolong, jangan membaca sekarang. Aku belum selesai bicara. George, kalau ... kalau ia harus menikah?" Marjorie mengucapkannya dengan napas berat, seberat tekanan perasaan yang seakan tengah menindihnya. "Kalau ia harus menikah dengan dokter itu?"

"Apa, Pauline si Perawan Tua?"

“Ya, mengapa tidak? Aku tahu ia tidak muda lagi dan tidak cukup menarik, tapi kapan sebaiknya menurutmu seorang wanita pantas menikah ... maksudku. Aku tidak peduli apa pendapat anak-anak muda sekarang, pada dasarnya semua wanita ingin menikah. Mengapa Pauline tidak?"

"Pria itu harus benar-benar ingin menikahinya."

"Ya, tapi coba lihat sekarang. la dokter, dan Pauline selalu ingin menjadi dokter, hanya Mama tidak mengizinkannya. Maka ia memilih menjadi perawat. Kalau mau, kemampuan bicaranya jauh di atas yang kumiliki. Bisa jadi mereka punya banyak kesamaan."

"Syukurlah kalau begitu, apa lagi yang harus kukatakan."

"Tapi George, bagaimana dengan Mama? Dokter sangat terikat dengan tugas-tugas beratnya. la tentu tidak mau dekat dengan Mama. Kau tidak tahu bagaimana menjengkelkannya Mama. Mama bisa membangunkan Pauline 4 - 5 kali dalam semalam. la membunyikan bel di samping tempat tidurnya hanya untuk minta dilayani hal-hal sepele. Begitu terus. 

Pauline memang tidak pernah mengeluh, tapi kadang-kadang aku menangkap kesan ia akan melakukan apa saja agar bisa membebaskan diri dari situasi itu. Aku juga bingung mengapa ia tidak mau mengatakan betapa repotnya dia ketika Mama pertama kali kena serangan jantung, agar Mama tidak harus pulang ke rumah dan ...."

"Tenang Marje. Tidakkah emosimu terlalu terbakar untuk sesuatu yang tidak pasti?" George menyahut kalem. "Sepanjang yang kita ketahui, si Dokter Anu baru ke rumah dua kali dan mungkin saja nanti ia tidak datang-datang lagi."

Ketakutan paling besar dalam kehidupan Marjorie adalah: suatu saat Mama akan tinggal bersamanya. la sendiri tidak tahu bagaimana selama ini ia bisa mengatur sedemikian rupa agar terbebas dari tanggung jawab merawat Mama.

 

Ogah tapi kasihan

Sesungguhnya Marjorie memiliki rumah besar, sehingga Mama bisa mendapatkan kamar tidur sendiri. la tidak bekerja, sementara anak-anak sudah bisa mengurus diri sendiri. Sungguh Marjorie beruntung memiliki adik perempuan Pauline. 

Bayangkan, seandainya ia justru memiliki adik laki-laki, tentu ia tidak mau - sebagaimana pada umumnya pria - berhenti bekerja, memberikan tempat tinggalnya, menghabiskan seluruh hidupnya untuk merawat Mama yang rewel.

Namun Marjorie sadar tidak bisa meminta bantuan George dan anak-anak dalam merawat Mama. Meski George akan menurut tanpa banyak protes atas invasi ibu mertua ke rumahnya. Toh, bukan George dan anak-anak yang akan dibangunkan Mama di malam hari yang bisa jadi sedang senewen soal kepanasan, rematik, obat tetes mata, dan susu panas.

Marjorie memang selalu khawatir tentang Pauline. Saat kanak-kanak, Pauline cenderung menarik diri dari lingkungan, berjam-jam ia mengurung diri dalam kamar yang tertutup rapat. Saat itu, Marjorie ingat, Pauline memiliki teman khayalan. 

Sebetulnya ini hal yang lazim - karena ia melihat gejala yang sama ditunjukkan oleh Susan, anaknya. Tapi Pablo, teman khayalan Pauline, bertahan sampai ia berumur belasan, dan sering digunakan sebagai corong untuk mengutarakan perasaannya. Si Pablo ini hilang saat Pauline menginjak masa puber. 

Sejak itu Marjorie tidak ingat lagi kapan adiknya pernah mencetuskan perasaannya. Ketika ia diberi tahu tentang rumah perawatan untuk Mama yang biayanya £ 60 seminggu, tak ada jalan lain ia harus mengorbankan pekerjaannya dan kembali ke rumah. Saat itu dengan wajah datar tanpa ekspresi, ia hanya berucap, "Berarti aku tidak mempunyai pilihan lain."

Tak pernah sekalipun ia mengajukan adanya pilihan kemungkinan lain pada Marjorie. Namun, sejak itu Pauline yang dulu selalu menciumnya ketika bertemu atau berpisah, tidak pernah lagi melakukannya. Mereka tidak pernah lagi saling cium pipi. Tidak saat untuk kedua kalinya Mama kena serangan jantung, tidak juga saat Pauline di Hightrees. Tugas beratnya dalam merawat Mama tak juga mampu membukakan sedikit mulut tipis Pauline untuk memprotes Mama.

"Mama membangunkanku tengah malam dan lagi pada pukul 04.00 dan 05.00. Namun ia masih juga mengompol. Aku selesai mencuci semuanya pukul 08.00, lalu membereskan ruang duduk. Aku pergi ke toko namun lupa membawa resep Mama, jadi aku harus balik dulu ke rumah."

Seketika Marjorie diliputi dengan perasaan bersalah dan malu selama pemaparan tugas ini. Bahkan ia menggigil ketika Pauline mengalihkan pandangan padanya dengan mata mendelik yang untuk sementara mampu menyembunyikan kepahitannya. Mata Pauline bisa bicara, meski bibirnya terkatup rapat.

Setiap kali Marjorie minta maaf tidak bisa menjenguk, Pauline hanya mengatakan, "Tidak apa-apa. Jangan terlalu repot." Ketika ia meminta Pauline untuk sedikit ceria, "Aku baik-baik saja. Tinggalkan aku sendiri," sahutnya.

 

Termakan pengaduan

Beberapa minggu kemudian ketika mengunjungi Mama, Marjorie mencium ada sesuatu yang telah membuat Mama marah. Mama cemberut dan melihat Pauline dengan pandangan marah. Sementara Pauline hanya duduk tenang. 

la nampaknya tak berniat meninggalkan Mama hanya dengan Marjorie, meski ia tahu betapa sesungguhnya Mama ingin berduaan dengan kakaknya. Untung, pukul 15.00 tukang penatu datang, Pauline harus cekcok dengan tukang penatu selama 5 menit karena nampaknya ada sarung bantal yang hilang.

"Pria itu kemari lagi tadi malam, Marjorie. Malah ia masuk ke kamar dan bicara langsung padaku. la membentak dan mengata-ngatai aku," ujar Mama pahit.

“Apa maksud Mama?”

“Aduh sayangku, semoga ia tidak segera kembali. Aku mendengar ia berbicara tadi malam. Aku tidak bisa tidur karena kegerahan, maka aku minta Pauline membawakan selimut dari bulu angsa.” 

“Aku harus membunyikan bel beberapa kali sebelum ia datang," Mama menarik napas dan sedikit gelagapan. "Yang kutahu kemudian dokter itu telah masuk langsung ke kamar dan mulai membentak-bentak."

"Mama, tolong katakan padaku sebelum Pauline kembali."

"Katanya, aku seharusnya mengerti bahwa aku adalah wanita yang beruntung. Aku orang yang mementingkan diri sendiri dan senang menuntut. Aku membuat anak perempuanku mengalami gangguan saraf, dan jika ... jika aku tidak berhenti membangunkannya di malam hari dia akan punya kehidupan yang lainnya dan ... oh, Marjorie, sungguh menyakitkan.” 

“Aku mulai menangis. Kupikir ia akan memeluk dan menenangkanku, ternyata ia diam saja berdiri membelakangi pintu masuk, mengalangi sinar lampu dari luar kamar, menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus mengata-ngatai aku ...."

"Astaga!" sekarang waktunya Marjorie pikir harus berbicara dengan Pauline, ia menarik napas dengan sedih. Mengapa semua ini terjadi? Harus ada seseorang yang memberi tahu Pauline kenyataan yang mungkin tidak disadarinya ini. la ke ruang belakang dan berpapasan dengan sang Adik.

"Mama tidak mau apa-apa sejak pagi tadi," Pauline mulai berbicara.

"Ya, aku tidak heran. Bukan maksudku mengritikmu, tapi seharusnya kau tidak membiarkan orang - maksudku orang asing - membuat marah Mama."

Pauline meletakkan keranjang cucian yang berat itu di atas meja dapur. la nampak lebih lelah daripada hari-hari sebelumnya. Kulit wajahnya lebih suram seperti kurang tidur. la bersungut-sungut sambil mengangkat bahu, "Kau percaya padanya? Kau percaya begitu saja cerita sampah itu?" 

"Maksudmu kau tidak punya teman dokter? la tidak masuk ke kamar Mama dan membentak-bentak dia tadi malam? Jadi, itu semua hanya khayalan?" 

"Ya, itu hanya khayalannya. la mulai pikun sekarang," Pauline menjawab dengan tenang sambil mengisi ceret air. 

"Tapi Mama tidak pernah berkhayal. la mengaku mendengar suaranya dan melihatnya sendiri." 

"la tidak bisa melihat, penglihatannya tidak baik. Itu hanya mimpi." Pauline tak mudah menerima pendapat Marjorie. 

Untuk sesaat Marjorie yakin telah dibohongi. Tapi ia pun sulit berbagi rasa dengan Pauline. Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah Pauline yang berusaha menutupi kehadiran teman prianya, ataukah benar Mama yang sudah 80 tahun, setengah buta dan mungkin pikun seperti pendapat Pauline, akan membesar-besarkan mimpi buruk itu? Atau pula itu sebenarnya cetusan kata hati Mama.

 

Punya nama Rusia

Takut hal itu akan semakin memusingkan kalau ia harus mengunjungi kembali Mama nanti, Marjorie memutuskan menelepon Mama dan mengatakan tidak bisa datang. Namun, di seberang sana terdengar suara pria menjawab teleponnya.

"Halo?" 

"Maaf, mungkin saya salah sambung. Saya ingin bicara dengan Nona Pauline Needham."

"Nona Needham sedang beristirahat. la memerlukannya."

Suara itu milik seseorang yang berbudaya, berpendidikan, dan berwibawa. "Apakah ini Ny. Crossley?"

Dengan setengah menahan napas, Marjorie membenarkan pertanyaan itu. la berniat mengajukan dua pertanyaan, pertama apakah Mama dalam keadaan baik, dan kedua siapa pria itu sebenarnya? Namun sebelum pertanyaan itu diucapkannya, pria itu telah memotong jawabannya dengan meluncurkan banjir nasihat.

"Ny. Crossley, sebagai dokter saya tidak menganggap telah ikut campur dengan urusan Anda. Sesungguhnya Anda termasuk orang yang tidak bertanggung jawab dengan situasi rumah di sini. Saya telah lama berharap bisa mengatakan ini pada Anda. Bagi saya, menurut cerita adik Anda, tidak ada alasan sama sekali bagi Anda tidak mau berbagi merawat ibu Anda ...."

"Saya tidak, saya ....," Marjorie gugup, seperti disambar petir.

"Tidak, Anda tidak menyadarinya, bukan? Mungkin Anda memang tidak pernah mau berpikir soal itu dengan serius. Ibu Anda seorang yang sangat penuntut, dan mementingkan diri sendiri. Saya telah berbicara langsung dengannya, meskipun hampir tidak ada gunanya mengatakan hal kebenaran pada orang seumur dia dalam keadaan seperti itu."

Marjorie merasakan amarah menggelegak di dadanya terhadap Pauline. "Saya seharusnya dinasihati dokter ibu saya. Saya tidak tahu apakah orang luar...."

Kalimat terakhir Marjorie rupanya telah menyinggung bagian yang paling sensitif. "Saya teman dekat saudara Anda, Ny. Crossley, mungkin satu-satunya teman sejati baginya. Tolong jangan sebut saya sebagai orang asing. Sekarang jika Anda memperhatikan adik Anda, saya akan sangat menghargai bila Anda…”

"Saya tidak mau bicara soal itu. Ini bukan urusan Anda!" Marjorie berteriak.

la lalu memberi tahu George.

"Nampaknya, mereka telah merencanakan matang-matang semua ini, George, ia bermaksud menikahi Pauline, namun pertama-tama ia akan menyingkirkan Mama, ia akan melemparkan Mama padaku dan kemudian mereka akan menikah dan ... Oh, George, apa yang harus kulakukan?"

Tidak seperti biasanya, Marjorie tidak mengunjungi Mama ataupun Pauline. Marjorie memperpanjang sakit kepala dan memelihara sakitnya melewati dua kali masa kunjungannya. Tapi ia masih menyempatkan menelepon dan menjelaskan kondisinya itu. 

Dengan tangan gemetar ia memutar nomor telepon rumah Mama, sementara jantungnya berdebar keras khawatir kalau-kalau pria jahat itu yang akan menerimanya. Tapi untung bukan. Ternyata, Pauline yang menerimanya dengan sikap yang kasar, lain dari biasanya. 

Marjorie tidak menyebut sedikit pun tentang teman dokternya, meskipun ketika memindahkan gagang telepon pendengar, ia mendengar dengung suara pria tersebut di ruangan itu di latar belakang tengah berbicara dengan Mama.

 

Mama telah berubah

Akhirnya, George dan Brian yang mau menyediakan waktu mengunjungi Mama. Mereka mengaku tidak melihat teman Pauline. Namun, Nanna yang banyak cerita tentang dia, menilainya sebagai pria yang menarik.

"Dia punya nama Rusia," ujar George, meskipun ia tidak bisa mengingat nama sebenarnya.

"la tinggal di Kensington, punya tempat praktik yang besar. Salah satu rumah besar yang ada di Campden Hill. Kamu tahu tempat yang kumaksud 'kan? Pauline pernah merawat seseorang di salah satu rumah di wilayah itu setahun yang lalu. Sungguh suatu kebetulan."

Marjorie tidak mau peduli dengan kata kebetulan itu.

"Apakah ia akan menikahi adikku?”

"Nampaknya begitu, dari apa yang dikatakan Nanna tentang apa yang ia maui.”

“Apa maksudmu?" 

"Ya, waktu Bibi Pauline ke dapur mengambilkan kopi, Nanna mengatakan bagaimana pria itu memuji-muji kecantikan dan kebaikannya."

"Nanna telah berubah. la tidak pernah bisa memuji bibimu,"ujar Marjorie sewot.

"la telah berubah. la berusaha untuk tidak mengalangi kalau Pauline ingin pergi dan menentukan sendiri nasibnya. Mungkin Mama tinggal bersama kita. Dokter Anu itu pun menyetujui rencana Mama. Mungkin ini jalan yang terbaik. Jika Mama menjual rumahnya dan kita boleh mendapatkan sebagian uang itu, kita bisa membangun beberapa ruangan ...," George menjelaskan.

Aku tidak pernah menganggap sebagai suatu keadilan. Bila Pauline selama hidupnya harus menanggung Mama sendiri. Kasihan Pauline ...," tambah George.

"Tidak! Aku tidak ingin melakukannya. Tidak boleh ada orang yang memaksaku untuk melakukannya!" jerit Marjorie.

Untuk sementara waktu Marjorie masih sering mengeluh sakit di sekujur tubuh kapan saja ia mau. Sebisa mungkin ia menghindari berhubungan dengan rumah Mama. Komunikasi yang terjalin baik selama ini putus begitu saja. 

Kalaupun ia keluar rumah, Marjorie berusaha memilih jalan yang tidak mendekati rumah Mama. Keluarganya pun - George, Brian, dan Susan - tidak berani mengusik Marjorie dengan topik pembicaraan keluarga Mama, atau Marjorie akan menjadi histeris.

Sampai suatu hari George berkata, "Di kantor aku ditelepon oleh teman pria Pauline."

"Aku tidak mau tahu, George. Itu bukan urusannya. Sudah kukatakan aku tidak ingin Mama tinggal di sini dan tidak pernah ingin."

"Nyatanya, ia beberapa kali meneleponku sebelum ini, hanya saja tidak kukatakan padamu, karena aku melihat kau akan sedih."

"Memang itu membuatku sedih. Apalagi aku sedang sakit.

“Tidak!" ujar George dengan sikap tegas yang tidak pernah ditampilkannya, "Kau sangat sehat. Orang sakit tidak akan bisa menyantap makanan seperti cara makanmu itu. Pauline-lah yang sesungguhnya sakit. la yang sesungguhnya tak berdaya. Pria itu mengatakan dengan cara yang sangat sopan, sungguh orang yang berpendidikan. Tapi tetap saja kita harus melakukan sesuatu."

"Pria lain biasanya akan berterima kasih bila istrinya mampu mencegah ibu mertuanya untuk tinggal bersama, kau justru sebaliknya."

"Ya, aku memang bukan pria jenis itu. Aku tidak keberatan mengeluarkan biaya tambahan. Kita akan melakukannya sesuai tanggung jawab masing-masing, demikian juga Brian dan Sue. Tidakkah kau sadar, sudah tiba giliran kita. Pauline sudah dua tahun melayani Mama."

Marjorie mulai sesenggukan mendengar apa yang dikatakan suaminya. "Pauline punya pil dari rumah perawatan itu, morfin, dan aku tidak tahu apa lagi. Mungkin bisa sebagai jalan - apa namanya? - eh euthanasia. Seharusnya memang ada cara agar orang tua seperti Mama tidak lagi menderita.”

Menatap lekat Marjorie, mata George menyipit. "Tidak ada. Tidak ada orang lain, hanya kita, Marge. Jadi, cobalah buka sedikit pikiranmu."

Marjorie bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Perlu waktu berbulan-bulan untuk menjual rumah Mama, lalu menggunakannya untuk menambah ruang di rumahnya. Mungkin perlu waktu setahun untuk membangunnya. 

Bahkan ketika sedang dalam proses pembangunan, Mama sudah akan masuk ke rumah dan mengacaukan segalanya. Padahal Marjorie tidak muda lagi, umurnya tidak lagi tiga puluhan. 

Marjorie tidak yakin apakah ia akan cukup berani untuk menjatuhkan dirinya di tangga, mengalami patah kaki, sehingga keluarganya akan mengerti bahwa mereka tidak mungkin merawat Mama.

Sementara semua itu terjadi padanya, Pauline akan tinggal di Campden Hill yang megah dengan sebutan Ny. dr. Anu, dengan suami baru yang kaya, terpandang, dan berpendidikan. Berpesta dan bergaul dengan ahli bedah dan para profesor atau siapa saja yang terkenal. Jalan-jalan ke luar negeri. Sungguh Marjorie tak tahan lagi.

Tidak, ia tidak ingin merusak hubungan persaudaraan dan gila karenanya. la harus tegar dan tetap baik. la akan menawarkan diri untuk menjaga Mama, sementara Pauline bisa berjalan-jalan. la akan membantu apa saja, asalkan bukan menempatkan Mama di rumahnya. la tidak ingin terperangkap seperti yang dialami Pauline.

 

Akhir penderitaan

Akhirnya, Marjorie memutuskan datang ke rumah Mama. Ia menduga akan disambut dengan kemarahan dan kekesalan Pauline serta Mama karena lama tak menjenguknya. Ternyata sebaliknya, Mama masih tetap sama, senang kalau bisa bertemu dengannya, sangat ingin bercakap-cakap berdua dan berusaha yakin bahwa Marjorie benar-benar sudah lebih baik.

Lain lagi dengan Pauline, si Calon Pengantin ini justru tampak kurusan, dan di wajahnya tampak garis-garis kehitaman, dan keriput sehingga kulitnya seperti kulit kismis. Marjorie mengikutinya ke dapur ketika ia mulai menyeduh teh dan mengumpulkan keberaniannya.

"Bagaimana keadaanmu selama ini, Pauline?"

"Baik-baik saja. Sama seperti biasanya." Tanpa ditanya ia meneruskan, "Mama selalu membangunkanku empat kali dalam semalam. la jatuh di lorong kamar dan aku harus menuntunnya kembali ke kamar. Tukang penatu tidak datang, jadi aku harus mencuci sendiri. Sungguh repot mengeringkan cucian, apalagi kalau hujan banyak turun seperti sekarang ini."

"Kupikir, aku bisa datang dua malam dalam seminggu dan menemaninya sehingga kau bisa pergi berjalan-jalan. Tidak ada alasan bagiku mengapa harus menolak membantumu mencuci, 'kan aku bisa melakukannya dengan mesin cuciku. Bagaimana pendapatmu? Aku bisa melakukan itu setiap minggu."

Pauline hanya mengangkat bahunya, "Sudahlah, tak usah repot."

"Ya, kau bisa bilang begitu. Tapi jika kau terus saja mengeluh, apa yang harus kulakukan?"

"Aku tidak mengeluh."

"Mungkin tidak. Tapi bagi orang lain itu kedengaran seperti keluhan. Kau tahu betul apa yang kumaksudkan. Aku tidak bisa hanya diam dan membiarkan semua gangguan itu begitu saja." 

"Aku seharusnya tidak melibatkan suami untuk mengatasi semua ini." 

Marjorie segera mengeluarkan unek-uneknya. "Lebih baik aku berterus terang, aku tidak bisa membawa Mama tinggal bersamaku. Aku akan melakukan apa saja sesuai kemampuanku, tapi tidak yang satu itu. Tak seorang pun bisa memaksaku." 

Pauline tidak menjawab. Marjorie belum pernah menghadapi suasana yang setidak nyaman itu. Di anak tangga teras, ketika pulang, Marjorie mengatakan, "Katakan saja kapan kau ingin aku datang dan beri tahu George kalau ia sudah waktunya mengambil cucian." 

Tentu saja ia tidak menelepon. Marjorie tahu ia tidak akan menelepon. Apa pula gunanya jalan-jalan di malam hari kalau Pauline memang tidak ingin keluar, toh ia senang ada di rumah dengan dokternya.

“Mama tidak akan tinggal di sini," katanya pada George. "Itu sudah pasti. Aku sudah menjelaskan dan menyelesaikannya dengan Pauline. la akan mampu mengatasinya bila aku mau sedikit membantunya.”

"Bukan itu yang dikatakan dokter padaku."

"Itulah yang kukatakan sekarang." Marjorie tidak suka dengan cara George memandangnya, ogah-ogahan. "Dia telah mencuci minggu ini, dan minggu depan tukang penatu tinggal mengambil seprai dan bahan yang berat-berat. Mungkin kita bisa ke sana Jumat dan mengumpulkan segala tetek bengek untuk dicuci dengan mesin kita."

Pada hari Kamis, Marjorie menelepon. la memilih pagi hari takut kalau yang mengangkat sang Dokter. Biasanya dokter 'kan penuh dengan acara kunjungan di pagi hari. Pauline yang menjawab.

"Baik. Besok, kalau kau mau." 

"Semoga kau senang, Pauline," kata Marjorie, merasa bahwa saudara perempuannya akhirnya akan berterima kasih padanya.

la menambahkan bahwa ia akan datang pukul 19.00. Namun sayang, tepat pada waktunya George belum juga tiba, maka ia menelepon ibunya. Tidak apa-apa kalau memang Pak Dokter Anu yang menjawab teleponnya. Itu juga untuk menunjukkan bahwa ia bukan jenis yang tidak pedulian seperti yang pernah dituduhkan. 

Ternyata benar, dokter itu menyapanya dengan cukup sopan, "Jadi, Bapak dan Ibu Crossley tidak bisa datang sampai pukul 20.30? Tidak apa-apa," katanya menambahkan bahwa ia masih tetap akan di sana dan akan senang sekali akhirnya dapat berjumpa dengan mereka.

"Akhirnya, kita akan bertemu juga dengannya," ujar Marjorie ketika George muncul di pintu rumah. "Sekarang jangan lupa, aku mengharapkan dukunganmu untuk menolak alasan apa saja agar Mama tinggal serumah dengan kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

Rumah Mama nampak gelap dan lampu ruang tamu tidak juga dinyalakan ketika Marjorie berulang kali menekan bel rumah.

"Kau bawa kunci?" tanya George. 

"Ada di tasku. Oh, George kau pikir....? Maksudku ...?"

"Aku tidak tahu, cepat buka pintu ini." 

Tak seorang pun nampak di ruang tamu atau ruang lainnya di lantai bawah. Marjorie yang telah menyalakan lampu segera naik ke lantai atas, diikuti George di belakangnya. Di tengah tangga ia mendengar suara pria bicara dengan tenang namun penuh wibawa. Suara itu datang dari kamar Mama, dengan pintu yang sedikit terbuka.

"Itu jalan terbaik, Pauline. Aku memberinya 200 mg, dilarutkan dalam susunya. la tidak akan menderita. la hanya akan tertidur, Pauline."

Marjorie ternganga. la segera menggandeng George, bergantung di pundaknya. Begitu George didorong mendahului, ia mendengar suara itu lagi, suara yang sama yang diulang-ulang dengan irama hipnotis yang sama tenangnya.

"Aku memberinya 200 mg dilarutkan dalam susunya. la tidak akan kesakitan. Itu satu-satunya cara. Aku melakukannya untukmu Pauline ...."

George mendorong pintu kamar. Mama bersandar pada kepala tempat tidur, setengah terduduk, wajahnya agak bengkak. Matanya yang buruk penglihatannya membelalak. Tidak ada orang lain di kamar itu, hanya ... Pauline.

Pauline berdiri ketika mereka memasuki kamar itu, dan mengangguk dengan sikap yang tenang. la meletakkan jarinya di mata Mama dan mengatupkan kelopak matanya. Marjorie berdiri kaku, badannya seperti lumpuh, seperti orang dihipnotis.

Dengan suara berwibawa, dalam, dan berpendidikan, suara yang biasa terdengar lembut di telepon itu sekarang menyampaikan ucapan simpati atas rasa kehilangan Marjorie, ia mengatakan, "Apa kabar? Saya dr. Pavlov. Sayang sekali, kita bertemu dalam suasana seperti ini…”

Marjorie menjerit histeris! (Ruth Rendell)

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350649/karena-kakak-keras-kepala" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530677000) } } [6]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350536" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya." ["section"]=> object(stdClass)#100 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg" ["title"]=> string(32) "Pelajaran Buat si Mata Keranjang" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:18:17" ["content"]=> string(36044) "

Intisari Plus - Caroline dan Edward pertama kali bertemu dengan Travers saat bermain ski. Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya.

------------------

Liburan musim dingin kali ini kami habiskan di Verbier, kawasan Ascot, Inggris, ajang bermain ski yang terkenal. Sabtu pagi itu kami sedang menunggu ski lift ketika seorang pria 40-an tahun menyilakan Caroline, istri saya, masuk ski lift. 

Dari omongannya kami tahu sepagi itu ia telah menyelesaikan dua kali luncuran. Sejenak saya terpesona atas keramahannya, meski kemudian tak ingat lagi lantaran kesibukan kami.

Sesampai di puncak kami segera memisahkan diri, masing-masing menggunakan luncuran yang berbeda sesuai dengan tingkat keterampilan. Caroline menggunakan luncuran A bergabung dengan Marcel, pelatih yang khusus menangani para pemain ski tingkat lanjut. Maklum, istri saya memang sudah bermain ski sejak usia 7 tahun. Sementara saya memilih luncuran B, sesuai dengan tingkat kemampuan ski saya yang tergolong masih pemula. 

Dalam bermain ski boleh dibilang saya memang jauh ketinggalan dibandingkan dengan Caroline. Terus terang luncuran B pun sebenarnya masih terlalu sulit buat saya, tetapi saya sering tidak mengaku di depan Caroline.

Malam harinya secara tak terduga kami bertemu lagi dengan pria ramah yang kami jumpai di ajang ski tadi pagi. Namanya Patrick Travers. Sebagai teman bicara ia amat lucu dan menyenangkan. 

Dia juga bercanda akrab dengan istri saya tanpa meninggalkan batas-batas kesopanan. Toh, diam-diam rupanya pria tersebut terpesona melihat kecantikan Caroline, sementara istri saya pun memuji perhatiannya. 

Setelah bertahun-tahun hidup bersama Caroline, baru sekarang ini saya menyadari betapa wanita yang sudah puluhan tahun mendampingi saya ternyata memiliki "magnet" tersendiri bagi pria. Saya merasa bersyukur betapa beruntungnya saya.

Dari obrolannya kami tahu Travers, yang tinggal di Eaton Square ini, bekerja sebagai bankir dagang. Sejak ikut rombongan wisata sekolah pada akhir tahun '50-an, ia mengunjungi Verbier setiap tahun. Dia pun bangga selalu sebagai orang pertama yang bermain ski tiap pagi, dan sering kali mengalahkan jagoan lokal. Ketika tahu saya membuka galeri seni di West End, nampaknya ia berminat untuk melihat.

Bahkan ia membeli lukisan aliran semi-imperesionis untuk koleksi, sambil berjanji akan mampir lagi bila kembali ke kota ini.

 

Lukisan Vuillard

Sejak itu sekelebat-sekelebat Travers sering kami temui di berbagai kesempatan. Suatu kali pada saat liburan, kami pernah memergokinya sedang mengobrol dengan istri Percy, teman kami yang mengelola galeri permadani Timur. Kali lain ia kami lihat dan kemudian bersama Caroline bermain ski lagi di luncuran A yang berbahaya. Kira-kira enam minggu kemudian saya kembali menjumpainya di galeri saya.

"Senang bertemu lagi, Edward," katanya. "Saya membaca tulisanmu di Independent dan langsung ingat akan undangan pribadimu." 

"Berapa harga lukisan 'Wanita dan Janda' itu?" tanyanya tiba-tiba. 

"Delapan puluh ribu ponsterling," jawab saya. 

"Itu mengingatkan pada sebuah lukisannya yang terpajang di Metropolitan," katanya sambil membuka-buka katalog. Saya sempat kagum oleh daya ingat dan kompletnya pengetahuan Travers akan karya Vuillard. Saya katakan juga bahwa lukisan yang dikaguminya tersebut dibuat oleh Vuillard selama sebulan di New York.

"Lukisan yang sedikit telanjang itu?" 

"Empat puluh tujuh ribu." 

"Ny. Hensel, istri agen dan gundik kedua Vuillard, kalau saya tidak salah. Lukisan itu menjadi favorit saya dalam pameran ini." 

Travers lalu berbalik dan mengamati lukisan besar cat minyak bergambar seorang gadis yang sedang bermain piano, sementara ibunya nampak membantu membalik-balik halaman partitur.

"Luar biasa," katanya. "Boleh saya tahu harganya?" 

"Tiga ratus tujuh puluh ribu pon." 

Tanpa saya sadari tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang pria yang dengan spontan menyapa, 

"Ada pesta besar rupanya, Edward." 

"Oh,... Percy!" kata saya sambil berpaling padanya. "Aku pikir kamu tidak datang." Pria itu teman karib keluarga kami. 

"Maaf, ikut prihatin soal Diana," ujar saya karena belakangan kami mendengar perceraian dalam bahtera rumah tangga Percy. Selesai melayani Percy, saya berbalik untuk melanjutkan pembicaraan dengan Travers namun dia sudah tidak kelihatan lagi. 

Mata saya segera mencarinya seputar ruangan dan melihatnya berdiri jauh di pojok galeri mengobrol mesra dengan istri saya. Ah, rupanya gaun hijau dengan potongan bahu terbuka yang dikenakan Caroline terlalu berani. Tak heran, mata lelaki Travers selalu terpaku pada tonjolan dada indah beberapa inci di bawah bahu itu.

Mendadak hati saya panas. Dasar mata keranjang! Pria mana yang tidak geregetan melihat istrinya dijadikan santapan mata birahi lelaki lain. Tentu saya tidak begini kalau wanita di depan Travers bukan Caroline. Untung, saya bisa menahan diri untuk kemudian bersikap biasa kembali.

Beberapa hari berikutnya saya melihat Travers lagi di galeri saya. la berdiri mengamati lukisan Vuillard yang menggambarkan ibu dan putrinya sedang bermain piano. 

"Selamat pagi, Patrick," saya mencoba untuk tetap ramah. 

"Rupanya saya tidak bisa melupakan ini," jelasnya sambil menatap lukisan yang diminatinya dengan saksama. 

"Apakah saya harus menunggu lama untuk bisa memilikinya? Jangan khawatir, saya akan meninggalkan deposit." 

"Tentu," kata saya. "Saya hanya memerlukan referensi bank dan deposit sebesar 5.000 pon." 

Tanpa ragu ia menyetujui kedua syarat itu, sebelum kemudian saya menanyakan ke mana lukisan itu sebaiknya dikirimkan. Dia memberi kartu nama yang menunjuk tempat tinggalnya di Eaton Square. Pagi berikutnya bank tersebut menyetujui permohonan sebesar 371.000 pon.

Dalam 24 jam lukisan karya Vuillard sudah dikirim ke rumahnya dan digantung di ruang tamu di lantai bawah. Sore harinya ia menelepon balik, mengucapkan terima kasih, dan mengundang kami makan malam bersamanya.

Sebetulnya saya malas untuk harus berkunjung ke rumah Travers, tapi Caroline rupanya ingin sekali menerima. la tertarik melihat situasi rumah Travers.

Akhirnya, kami memenuhi undangan itu. Saya terkejut lantaran tidak menemukan Ny. Travers atau paling tidak pacarnya. Ternyata pria ini hidup seorang diri. Tapi sebagai tuan rumah ia amat mengesankan dan bijaksana. Tapi lagi-lagi saya mencium adanya maksud tersembunyi dalam diri Travers. 

Saya perhatikan ia selalu memberikan perhatian khusus pada Caroline. Wah, gawat! Nampaknya pria thukmis (senang melihat wantia cantik) ini mulai memasang jerat. 

Di luar dugaan, Caroline pun rupanya menikmati perhatian itu. Perasaan kesal dan amarah memenuhi dada. Bayangkan, seorang lelaki berani main mata dengan Caroline. Di depan saya lagi. Bisa-bisa mereka akan pacaran jika saya tidak ada.

 

Ketahuan belangnya

Ketika kami meninggalkan Eaton Square, Travers mengatakan ia akan segera memutuskan membeli lukisan itu atau tidak.

Tapi tiba-tiba beberapa hari kemudian lukisan tersebut malah dikembalikan ke galeri. Alasannya sepele, ia tidak suka lagi. Tanpa ada penjelasan rinci. la cuma mengatakan akan mampir ke galeri lagi untuk mendapatkan karya Vuillard yang lain.

Walaupun kecewa, saya mengembalikan depositnya. Dengan menghibur diri, saya berkeyakinan kalau ia memang seorang pelanggan setia pasti akan kembali lagi. Tetapi Travers tidak pernah kembali lagi.

Sebulan sudah peristiwa itu berlalu. Saya pun hampir lupa dengan Travers. Suatu siang ketika sedang makan siang di klub, datanglah Percy Fellows ke meja saya. Semenjak bertemu di pameran lukisan Vuillard, baru kali ini saya melihatnya lagi. 

Percy menjadi agen barang-barang antik yang paling terpercaya di Inggris. 

Setelah perceraian dengan istrinya, Diana, pria ini selalu murung.

"Mengapa selalu berakhir dengan perceraian," keluhnya. 

"Aku sendiri semula bisa memaafkan perilakunya yang bebas. Diana aku beri kebebasan untuk pergi ke mana ia suka, asal masih di London. Aku merasa betapa sedihnya nasib suami yang istrinya tidak setia. Ketahuilah,Travers, pria jahat itu, menjadi teman kencan terakhirnya." 

"Travers?" kata saya terkaget-kaget. 

"Patrick Travers, pria yang tercantum dalam surat permohonan cerai. Kau pernah kenal dia?" katanya. 

"Aku tahu namanya." Saya termangu-mangu, ingin mendengar lebih jauh ceritanya. 

"Kalau tidak salah, aku pernah melihatnya dalam pameran di galerimu beberapa waktu lalu?" 

"Oh, ya. Tetapi apa artinya bagimu sekarang?" saya bertanya sambil mencoba membuka pikirannya. Percy kembali melanjutkan unek-uneknya. 

"Awalnya kami bertemu lelaki sialan itu di Ascot. la bergabung dengan kami saat makan siang, minum sampanye, mencicipi hidangan pencuci mulut. Tapi sebelum akhir minggu ia sudah tidur dengan istriku. Gila, enggak? Namun itu belum apa-apa."

"Belum apa-apa bagaimana?" tanya saya ikut keki. 

"Orang itu punya keberanian datang ke toko dan menitipkan deposit yang besar untuk sebuah meja Georgian. Lalu dia mengundang kami makan malam dan sekaligus melihat penataan mejanya. Dari situ ia mulai akrab dengan Diana, bahkan akhirnya aku tahu Diana suka datang ke rumahnya dan bercinta dengannya. Sesudah puas ia enak saja mengembalikan Diana dan meja Georgian dalam keadaan berantakan."

Mendengar penuturan Percy yang terakhir itu, mendadak tubuh saya lemas. Berbagai perasaan berkecamuk di hati. Bayangan wajah Caroline berkelebat silih berganti dengan wajah Travers. Mungkinkah nasib saya akan seperti pria di depan saya ini? Rupanya Percy menangkap perubahan pada saya.

"Kamu kelihatan sakit, kawan?" tanya Percy tiba-tiba. 

"Tidak, aku baik-baik saja," tukas saya cepat-cepat. "Aku hanya perlu udara segar. Maafkan, Percy."

Sepulang dari makan siang itu hati saya tambah sakit oleh ulah si mata keranjang bernama Travers. Kesimpulannya, saya akan membuat perhitungan dengannya. Demi Percy dan para suami yang lain, saya harus melancarkan pembalasan!

 

Menyusun rencana balas dendam

Pagi berikutnya saya mulai mengadakan penyelidikan rahasia dengan memeriksa surat-surat yang ditujukan pada Caroline. Barangkali ini tindakan yang tidak masuk akal. Apalagi kemudian saya pikir, Travers tentu tak akan bertindak bodoh melakukan hubungan gelap atau bikin janji apa pun melalui surat dengan Caroline.

Saya juga mulai lebih teliti mendengarkan pembicaraan telepon. Tidak semua penelepon memang, tapi paling tidak selagi saya ada di rumah. Catatan kilometer mobil juga saya cek ulang untuk memastikan apakah mobil dipakai jarak jauh. Tapi akhirnya saya hentikan setelah menyadari, Eaton Square ternyata tidaklah jauh dari mana-mana. Lalu saya coba untuk membuat jarak dengan Caroline dan tidak bercinta dengannya. Anehnya, dia pun tidak berkomentar apa-apa. Wah! Saya tambah penasaran. 

Saya terus mengamati tingkah laku Caroline dengan saksama lebih dari dua minggu kemudian dan nampaknya Travers sudah bosan dengan istri saya. la membuat saya bertambah marah. 

Saya lalu membuat rencana balas dendam yang bagi saya sendiri cukup luar biasa. Dalam beberapa hari mendatang rencana itu harus segera terwujud. Bahkan gagasan itu telah menjadi obsesi. Saya mulai meyakinkan inilah saat pembalasan buat Travers sebelum dia menodai istri teman-teman saya yang lain.

Tapi bertindak jahat tentu tak mudah bagi saya. Seumur-umur saya belum pernah melanggar hukum. Hal-hal kecil seperti didenda parkir, membuang sampah sembarangan sudah amat mengganggu pikiran. Saya pun taat membayar pajak. Namun sejak mula saya sudah bertekad menghabisi Travers.

Akhirnya, saya susun rencana pembunuhan dengan sangat teliti. Mula-mula timbul pikiran menembak Travers sampai saya menemukan betapa susahnya memperoleh perizinan pemilikan senjata. Daripada gagal dan membuat jengkel, gagasan ini kemudian saya kubur dalam-dalam. Kemudian timbul ide lain, menggunakan racun. Ide ini pun kemudian menguap begitu saja. Sejauh ini belum satu pun ide saya lakukan. Saya harus lebih berani - terus terang ia mempunyai tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan saya, sehingga kalau saya nekat melawannya bisa-bisa saya malahan tercekik olehnya.

Lalu ada pikiran menenggelamkannya, tapi tentu butuh waktu agak lama untuk menariknya ke dekat air. Saya bahkan berpikiran untuk menabraknya dengan mobil, tapi membatalkannya karena saya sadar kesempatannya amat kecil. Saya akhirnya menyadari betapa susahnya membunuh seseorang dengan cara-cara itu.

Begitu besarnya obsesi membunuh Travers sampai di malam buta pun saya bangun membaca riwayat para pembunuh, tetapi rupanya mereka semua dapat ditangkap dan ditemukan oleh pihak berwajib. Ini membuat saya makin tidak percaya diri. 

Saya lalu membalik-balik novel-novel detektif sampai saya membaca satu kalimat penting dari Conan Doyle: "Orang yang punya kegiatan rutin biasanya lebih mudah diserang."

Saya mengingat kembali kegiatan rutin apa yang selalu dibanggakan Travers. la pasti akan kembali ke Verbier untuk bermain ski dan saya akan melakukan perhitungan di sana. Tapi paling tidak saya harus menunggu enam bulan guna menyempurnakan dan melaksanakan rencana saya. 

Saya memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya. Selagi Caroline bepergian jauh, saya mendaftarkan diri untuk belajar bermain ski di luncuran kering di Harrow.

Saya kira rencana ini cukup mengejutkan. Bagi saya amat gampang mengetahui kapan Travers kembali ke Verbier. Sementara saya dapat merencanakan liburan musim dingin sehingga kami punya waktu tiga hari. Sangat cukup untuk melakukan pembalasan.

 

Mempraktikkan teori

Sesuai rencana, Caroline dan saya kembali berlibur ke Verbier pada Jumat kedua di bulan Januari. Di matanya saya nampak sangat tegang dibandingkan dengan liburan Natal sebelumnya.

Pagi pertama sesudah kedatangan, kami naik ke ski lift kira-kira pukul 10.30. Saat mencapai puncak, sebagaimana biasa Caroline melapor ke Marcel. Saat Caroline meninggalkan luncuran A, saya kembali ke luncuran B berlatih sendiri.

Hari itu saya melakukan apa yang sudah direncanakan dengan lebih baik dan berlatih dengan tekun di Harrow sampai saya merasa yakin bahwa semuanya dalam keadaan terkendali. Menjelang minggu pertama saya yakin rencana pembunuhan itu sudah matang.

Malam menjelang kedatangan Travers, sayalah orang terakhir yang meninggalkan luncuran. Selama itu Caroline sempat berkomentar begitu majunya keterampilan saya bermain ski dan dia menyarankan pada Marcel saya telah siap di luncuran A dengan medan yang lebih tajam dan lereng yang lebih curam.

Siang itu saya sempat memeriksa kembali penempatan bendera merah yang menandai lintasan. Saya yakin pemain ski terakhir telah meninggalkan luncuran malam hari saat saya mengumpulkan kira-kira 30 bendera pada jarak tertentu. 

Tugas saya terakhir adalah memeriksa bakal TKP (tempat kejadian perkara), sebelum membangun gundukan salju yang cukup lebar dua puluh langkah di atas tempat yang sudah terpilih. Sesudah semua persiapan itu sempurna, saya lalu menuruni punggung pegunungan itu.

"Rupanya, kau mau mencoba memenangkan medali emas Olimpiade?" tanya Caroline ketika saya kembali ke ruangannya. 

Travers nampak masuk hotel satu jam lalu.

Malam itu saya kembali bergabung dengannya di bar untuk minum-minum. Dia rupanya sungkan ketika melihat saya, tapi saya mencoba bersikap santai. Ini membuat saya makin yakin bisa melakukan rencana. Lalu saya meninggalkannya di bar beberapa menit sebelum Caroline datang makan malam bersama. Terus terang saya ingin meninggalkan kesan wajar. 

"Tidak seperti biasa kau makan terlalu sedikit, sepertinya kehilangan nafsu makan," kara Caroline saat kami meninggalkan ruang makan tadi malam. 

Saya tidak berkomentar apa pun saat kami melewati Travers yang sedang duduk di bar. Di dekatnya menggelendot manja seorang wanita paruh baya yang berdandan agak menor. Gila! Si Mata Keranjang kini sudah mendapatkan mangsa baru. Lihatlah, betapa kurang ajarnya lelaki ini. Tangannya nempel terus di lutut wanita itu tanpa risih. Pemandangan itu sungguh membuat saya muak.

Malam itu saya tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Menjelang subuh diam-diam dengan amat perlahan saya meninggalkan tempat tidur, tanpa membangunkan Caroline. Semua barang perlengkapan sudah saya siapkan di lantai kamar mandi.

Tanpa banyak buang waktu saya berpakaian dan siap berangkat. Berjalan lewat tangga belakang hotel, menghindari lift dan melewati pintu darurat kebakaran. Saya berpakaian wol dengan bagian kepala tertutup sampai telinga dengan sepasang kacamata salju. Saya yakin tak seorang pun akan mengenali saya, termasuk Caroline.

Saya tiba di bagian bawah ski lift 40 menit sebelum buka. Saya berdiri persis di balik sebuah rumah pembangkit listrik lift. Saya menyadari keberhasilan rencana ini amat tergantung pada kebiasaan Travers. Pikiran saya sudah bulat, hari ini rencana pembunuhan harus terlaksana. 

Tak henti-hentinya mata memandang sekeliling ke sudut-sudut bangunan dengan harapan saya dapat melihat langkah Travers. Akhirnya, nampak di kejauhan di dasar bukit di samping sebuah jalan, seorang pria dengan sepasang peralatan ski bertengger di bahunya. Tak salah lagi, dialah Travers.

Benarlah, Travers tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat saya berdiri di situ.

Cuma kami berdua yang pertama kali menggunakan ski lift yang sempit itu menaiki bukit dan melintasi jurang-jurang yang dalam. Saya berbalik dan memeriksa kembali apakah memang tak ada orang lain lagi selain kami.

"Saya biasanya sudah melakukan luncuran di lintasan ski sebelum orang lain datang," kata Travers tatkala lift berada di titik yang paling tinggi. Saya kembali menengok ke belakang sekadar untuk memastikan lift bekerja dengan baik dan melihat jurang sedalam 60 m. 

Saya begitu ngeri membayangkan seandainya jatuh di sana dengan kepala di bawah. Saya merasa pusing dan berharap tak ingin melihatnya. Ski lift berjalan pelan sampai akhirnya kami mencapai tempat pemberhentian.

"Akhirnya," kata saya, setelah kami mencapai puncak. "Marcel tak ada di sini." 

"Jam-jam begini ia belum datang," tukas Travers sambil berlari ke depan menuju luncuran. 

"Saya memang tidak mengharapkan Anda akan bermain bersama saya," kata saya. Dia berhenti dan melihat saya dengan curiga.

“Namun Caroline rupanya berpikir saya pun sebenarnya layak untuk mengimbangi permainan ski Anda," jelas saya, "Memang saya memecahkan rekor beberapa kali di luncuran B, tetapi saya tidak ingin mengatakan itu di depan istri saya." 

"Baik." 

"Saya akan bertanya pada Marcel jika dia ada di sini. Semua orang tahu, Anda adalah pemain ski terbaik." 

"Baik, jika Anda ..." Dia mulai terpancing. 

"Sekali saja, kemudian Anda bisa menghabiskan liburan Anda di luncuran A. Hitung-hitung permainan dengan saya adalah pemanasan." 

"Bagaimana kalau saya berubah pikiran," katanya. 

"Sekali saja," kata saya lagi. "Itu yang saya perlukan. Kemudian katakan apakah saya sudah cukup pintar." 

"Kita berlomba?" katanya. 

Saya tidak menolak. Inilah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya harus berhasil, meski semua buku tentang pembunuhan telah memperingatkan bersiap-siap akan sesuatu yang tidak diharapkan. 

"Itulah jalur yang akan kita lewati kalau Anda sudah yakin siap," Travers menambahkan dengan congkak.

"Saya setuju berlomba asal Anda mempertimbangkan taruhannya," sahut saya.

Untuk pertama kali saya melihat kata-kata saya menyita perhatiannya. "Berapa besar?" tanyanya.

"Ah, jumlah tidak penting buat saya," kata saya. "Pemenangnya bisa menceritakan pada Caroline apa adanya."

"Apa adanya?" tanyanya, dengan wajah yang keheran-heranan.

"Ya," kata saya, lalu saya menuruni bukit itu sebelum dia sempat menanggapi. Saya melakukan awal yang baik lalu mengeluarkan bendera merah. Sambil menoleh ke belakang saya dapat melihat dia berusaha keras membuntuti. Yang penting, saya perlu berada di depannya.

Sesudah beberapa saat berbelok ke kiri dan ke kanan dia berteriak, "Anda kira sudah cukup cepat sehingga dapat mengalahkan saya?" katanya sombong. Saya berada di depannya hanya karena saya sebenarnya perlu mengetahui setiap tikungan. Saya merasa pasti dapat mencapai rute palsu yang sudah saya siapkan sebelum dia sampai.

 

Tercebur di jurang

Dalam perlombaan pagi hari yang amat menegangkan ini dia berada di belakang saya 30 m. Pada saat dan tempat yang tepat saya mulai memperlambat laju luncuran ski, membelok mendekati gundukan es yang telah saya siapkan. 

Dengan harapan Travers tidak melihatnya. Saya menahan dengan sekuat tenaga ketika saya mencapai puncak gundukan. Lalu saya gerakan pengereman dan tiba persis di tempat perhentian di gundukan salju yang saya bangun malam sebelumnya.

Pada saat itu Travers terus melaju dengan kecepatan 40 mil per jam, menjalani rute yang salah, terbang ke udara dan jatuh di jurang disertai teriakan yang mengerikan. Nah, rasakan. Tulang-tulangnya pasti remuk menghantam salju yang berada ratusan meter di bawahnya.

Setelah menenangkan diri, saya meratakan kembali gundukan salju, lalu naik ke pegunungan secepatnya sambil mengumpulkan bendera yang menandai lintasan palsu itu. 

Dengan ketenangan yang luar biasa saya tancapkan kembali bendera-bendera itu ke tempat semula di luncuran B, yang berada 100 m di atas jalur es. Kemudian saya menuruni bukit dengan perasaan bak pemenang medali emas Olimpiade. 

Di dasar luncuran saya menarik kerudung yang menutupi kepala tanpa melepas kacamata saya. Melepas tali sepatu dan berjalan ke hotel. Saya masuk menggunakan pintu belakang dan kembali ke ranjang pukul 07.40.

Saya mencoba mengatur napas, tapi ini ternyata membutuhkan waktu sebelum denyut jantung saya kembali normal. Caroline bangun beberapa menit kemudian, berbalik dan memeluk saya. 

"Uh," katasaya, "kau kedinginan, pasti tidur tanpa selimut?” 

Saya cuma tertawa. "Kau pasti melepaskannya tadi malam." 

"Sana mandi dengan air hangat.”

Selesai dari kamar mandi kami sempat bercinta. Saya kembali memeriksa apa saja untuk meyakinkan saya tidak meninggalkan petunjuk apa pun.

Selagi Caroline membuatkan kopi, terdengar sirene ambulans datang dari arah kota. 

"Mudah-mudahan tidak ada kejadian yang buruk," gumam Caroline sambil terus menyeduh kopinya.

"Apa?" kata saya, dengan kata yang sedikit lebih keras, sambil mengalihkan pandangan dari Harian Times edisi sebelumnya.

"Ada sirene, menjengkelkan. Di pegunungan itu pasti ada kecelakaan. Barangkali Travers," katanya. 

"Travers?" tanya saya dengan suara yang lebih keras. 

"Patrick Travers. Saya melihatnya di bar tadi malam. Sengaja aku tidak memberitahumu. Toh, kau tak akan peduli."

"Tetapi mengapa Travers," kata saya dengan cemas. 

"Tidakkah dia selalu mengatakan yang pertama di luncuran tiap pagi? Bahkan kadang-kadang dapat mengalahkan pelatihnya." 

"Oh, ya," kata saya 

"Kau pasti ingat. Kami pernah pergi bersama suatu hari dan dia telah menyelesaikan tiga putaran." 

"Oh, ya." 

"Kau kelihatannya kurang cerah pagi ini, Edward. Apakah kurang tidur?" katanya sambil tertawa. 

Saya tidak menjawab. 

"Aku yakin pasti Travers," tambah Caroline, sambil minum sedikit kopi. 

Saya memandangnya, tanpa berbicara sepatah kata pun. 

"Mengapa kau tidak bertanya apa yang terjadi?"

"Aku begitu kaget hingga tak tahu harus bilang apa," kata saya. 

"Baginya semuanya telah berakhir di galeri. Ternyata beberapa malam kemudian ia masih mendesak saya untuk keluar sesudah kami makan malam. Aku usir saja," kata Caroline. Dia lalu memeluk saya dengan mesra. "Aku tak pernah mengatakan ini padamu karena aku pikir itu hanya akan membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya, setelah ajakannya kutolak, ia kemudian mengembalikan lukisan Vuillard tersebut.”

“Tetapi siapa yang merasa bersalah," kata saya sambil meraba-raba roti panggang.

"Oh, tidak sayang, kau tidak perlu merasa bersalah tentang apa pun. Dalam banyak kesempatan, kalau aku mau memutuskan untuk menyeleweng dan tidak setia kepadamu, aku takkan pernah mau jatuh dalam pelukan lelaki buaya macam Travers. Asal kau tahu, jauh hari sebelumnya Diana telah memperingatkanku."

Sepintas angan saya teringat pada nasib si lelaki buaya tadi. Barangkali saat ini ia lagi sekarat dan sedang dibawa ke kamar mayat.

"Menurutku, ini adalah waktu yang tepat bagimu untuk melakukan permainan di luncuran A," kata Caroline setelah kami menyelesaikan sarapan. "Main ski-mu sudah jauh meningkat dibandingkan dengan sebelumnya."

"Ya," kata saya, lebih dari sekadar main-main. 

Kami kemudian berjalan ke pegunungan untuk melakukan luncuran lagi. 

"Kau sehat-sehat saja, sayang?" tanya Caroline saat kami naik ski lift. 

"Oh, baik," jawab saya tanpa mau melihat ke jurang saat kami berada di puncak tertinggi. 

"Jangan seperti anak yang ketakutan begitu dong," katanya menenangkan. Saya tersenyum lemah. Tatkala kami mencapai puncak, tergesa-gesa saya melompat dari ski lift sehingga kemudian pergelangan kaki saya terkilir.

Caroline rupanya tidak bersimpati. Dia menduga saya sengaja melakukan hal itu untuk menghindari luncuran A. Dia meninggalkan saya dan segera turun menggunakan luncuran, sementara saya merasa malu turun melewati lift kembali.

Dengan terpincang-pincang saya menuju pos bantuan darurat. Caroline datang beberapa menit kemudian. Saya menjelaskan padanya barangkali ada keretakan sehingga akhirnya saya dibawa ke rumah sakit segera.

Caroline melepaskan sepatu skinya dan memanggil taksi ke rumah sakit. Sebetulnya jaraknya tidak jauh, tapi sopirnya harus hati-hati karena banyak tikungan yang tajam dengan jalanan licin.

"Dapatkah Anda menunggu di luar, Nyonya?" kata petugas saat saya memasuki ruang sinar-X.

"Ya, tetapi bisakah saya melihat lagi suami saya yang malang?" katanya pura-pura sedih saat pintu ditutup.

 

Tidak mati

Saya masuk ke ruangan yang dilengkapi dengan peralatan mesin yang amat canggih. Saya ceritakan apa yang telah terjadi dan saya rasakan saat ia mengangkat kaki yang sakit dengan hati-hati ke atas mesin sinar-X. Beberapa saat kemudian ia mengamati hasil fotonya.

"Tak ada keretakan pada kaki Anda," dia meyakinkan saya. "Tetapi jika masih terasa sakit pergelangan kaki Anda sebaiknya diikat." Dokter lalu memajang foto-foto sinar-X.

"Tidak ada yang retak," katanya, sambil tertawa. "Lain halnya dengan lima gambaran ini. Kalau memang mau bunuh diri, dia harus mencoba lagi melompat di atas jurang. Tolol sekali." 

"Di atas jurang?"

"Ya, barangkali dia memang suka pamer," katanya sambil menjepit pergelangan kaki saya. "Kami setiap tahun selalu mendapati orang tolol yang patah tangan dan kakinya, dengan goresan di wajahnya. Beruntung, dia masih hidup."

"Masih hidup?" tanya saya dengan suara lemah.

“Ya, tetapi hanya karena dia tidak tahu apa yang dilakukan. Pada umur 14 tahun saya bermain ski di atas jurang dan dapat mendarat seperti beruang laut di air. Tapi nampaknya dia bernasib lain," kata dokter. "Jangan bermain ski lagi pada liburan ini. Orang ini takkan dapat berjalan paling tidak selama enam minggu."

"Sungguh?" katanya saya. 

"Tapi Anda," katanya, "hanya perlu istirahat dan rendam pergelangan kaki di es setiap 3 jam. Jangan lupa, ganti pembalut sekali sehari. Anda bisa kembali bermain ski dalam beberapa hari ini."

Dengan berjalan pincang saya keluar dari ruang sinar-X menemui Caroline yang asyik dengan majalah Elle-nya.

"Kau nampak senang," katanya. 

"Tak ada yang perlu dicemaskan dengan orang yang dua tangannya patah, kaki, dan wajahnya yang kena gores."

"Ah, bodohnya aku, tidak menungguimu," kata Caroline. "Aku pikir kau cuma terkilir."

"Oh, bukan aku. Tapi Travers - kecelakaan yang menimpanya tadi pagi, kau ingat 'kan?"

"Dokter meyakinkan ia masih hidup."

"Sayang sekali," kata Caroline, sambil merangkulkan tangannya di dada saya, "mengingat bagaimana kau sudah bersusah payah menyiapkan semua itu. Padahal, aku sangat berharap kau berhasil melaksanakannya." (Jeffry Archer)

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350536/pelajaran-buat-si-mata-keranjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530297000) } } }