array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400602"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/teori-peluang-pembunuhan-dr-quin-20220803021417.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(143) "Sejak Christine bekerja sebagai  babysitter, beberapa bayi dan bahkan lansia meninggal saat dijaganya. Polisi tidak dapat keanehan pada korban."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/teori-peluang-pembunuhan-dr-quin-20220803021417.jpg"
      ["title"]=>
      string(35) "Teori Peluang Pembunuhan dr. Quincy"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 14:14:32"
      ["content"]=>
      string(21681) "

Intisari Plus - Sejak Christine bekerja sebagai  babysitter, beberapa bayi dan bahkan lansia meninggal saat dijaganya. Polisi tidak dapat keanehan pada korban.

-------------------

Siang itu, cuaca di Blountstown, Florida tampak cerah. Seperti lazimnya, Februari menjadi bulan yang banyak diisi warga setempat dengan memancing di sungai-sungai terdekat. Kota kecil yang berjarak sekitar 50 km dari Tallahasee ini, saat itu (1980) hanya dimukimi ribuan orang saja. Christine Falling, seorang babysitter muda, tampak asyik menjaga anak asuhnya, Cassidy Marie Johnson (2) di sebuah pondok serba kayu milik pasangan Linda Faye dan Billy Johnson.

Dasar anak kecil, selang beberapa jam sejak kepergian orang tuanya, Cassidy mulai rewel. “Anak nakal, bisa diam enggak?” bentak Christine yang mulai naik pitam. Namun, bentakan wanita berusia 19 tahun itu justru disambut Cassidy dengan tangisan lebih keras.

Christine tak hanya naik pitam, tapi juga panik. Kontan ia memindahkan tubuh mungil Cassidy ke kamar belakang dan mengunci pintunya. Aha, berhasil! Tangisan gadis kecil itu mereda, bahkan tak terdengar lagi. Sebagai pengasuh bayi, ia merasa tugasnya selesai sudah.

 

Radang otak

Ketika Linda dan Billy tiba di rumah, suami-istri itu menjumpai bayi mereka dalam kondisi tergolek lesu, tak bergairah. Ketika bayi mereka tak terlihat seperti biasanya, keduanya mulai khawatir. Jangan-jangan, Cassidy sakit. Ditemani Christine, Linda dan Billy kemudian melarikan Cassidy ke klinik dokter terdekat. Hati Linda dan Billy bak dilanda tsunami, begitu dokter yang memeriksa menyatakan anak mereka menderita radang otak.

“Namun, tetap tak tertutup kemungkinan Cassidy meninggal karena sebab-sebab eksternal. saya melihat ada semacam benturan dan memar di kepalanya,” jelas sang dokter.

Linda dan Billy hanya bisa diam. Mereka tidak tahu lagi, langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Cassidy. “Oh ya. Saya ingat, Dokter. Dua jam sebelumnya, Cassidy sempat terjatuh dari boks. Saat itu kepalanya membentur lantai,” tutur Christine lancar.

Dokter tampak mengerutkan keningnya, kemudian manggut-manggut. Saat membuat surat pengantar ke Rumah Sakit Tallahasee, ia sempat menyisipkan catatan kecil, yang isinya meragukan pengakuan Christine. Sayang, catatan itu belakangan lenyap secara misterius. Dua hari dirawat di R.S. Tallahasee, kondisi Cassidy tak kunjung membaik. Di hari ketiga, Cassidy malah mengembuskan napas terakhir.

Saat melakukan autopsi, dr. Jery Harris dari R.S. Tallahasee tak menemukan bukti adanya radang otak. la hanya menemukan memar pada jaringan tengkorak dan tulang, yang bisa saja datang dari bekas pukulan di kepala. Namun tak ada saksi mata yang bisa membuktikan, kematian Cassidy memang benar-benar karena pukulan, bukan radang otak atau terjatuh. Kasusnya menguap begitu saja.

Mencurigai Christine? No way.... Menjadi pengasuh anak sudah menjadi pilihan hidup perempuan muda itu. Terutama setelah dokter menyatakan ia mandul. la juga dikenal di lingkungan tempat tinggalnya sebagai penyuka anak-anak. Linda dan Billy bahkan mengaku sangat menyukai Christine, karena ia bisa diandalkan tidak hanya dalam mengurus rumah tangga, tapi juga dalam mengurus balita.

Christine begitu cekatan saat menggendong, memberi makan, atau mengganti popok. la pun terlihat sabar menghadapi perubahan mood anak.

 

Karier tamat

Sejak kejadian tersebut, Christine meninggalkan Blountstown. la berusaha menghilangkan trauma kematian Cassidy, dengan berpindah-pindah tempat, menggunakan mobil rumah dari Perry ke Lakeland, dan sebaliknya. Jiwanya tampak lebih tenang setelah itu, sampai akhirnya ia tergoda kembali untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan panggilan jiwanya, mengasuh balita.

Bak gayung bersambut, ia ditawari mengasuh Jeffrey Davis (4), anak seorang kerabat jauh. Christine sendiri sebenarnya lebih suka mengasuh anak perempuan. “Anak perempuan bisa didandani macam-macam. Pakaiannya pun lebih bervariasi,” katanya suatu kali. Namun ketika ditawari mengasuh balita lelaki oleh kerabatnya, Christine tak menolak.

Waktu berjalan normal. Sampai suatu hari, orang tua Jeffrey keluar rumah untuk mencari dan mengumpulkan cacing. Kerabat Christine itu, sekali waktu memang suka mengumpulkan cacing untuk dijual pada para pemancing lokal. Lumayan, buat biaya tambahan membeli bumbu dapur. Bagai disambar petir di siang bolong, betapa terkejutnya mereka ketika sesampai di rumah, mendapati putra tersayang telah terbujur kaku, tak bernyawa.

Dengan gugup, Christine menceritakan kejadian yang telah menimpa Jeffrey. “Mulanya saya kira ia sedang tidur siang. Namun, setelah saya amati dari dekat, tubuhnya ternyata sudah tak bernapas dan tak bergerak lagi,” ujar Christine. Dokter yang memeriksa Jeffrey menduga, bocah itu meninggal akibat myocarditis, penyakit yang disebabkan oleh peradangan dinding otot jantung.

Ajaibnya, tiga hari setelah meninggalnya Jeffrey, Christine kembali diserahi tugas menangani balita. Kali ini anak sepupunya yang baru belajar jalan, Joseph Spring. Saat itu orang tua Joseph merasa kerepotan, karena harus menghadiri pemakaman Jeffrey. Jadi mereka menitipkan balita dan rumah mereka pada Christine. Lagi-lagi, kejadian memilukan itu berulang. Saat pulang, orang tua Joseph mendapati anaknya telah menjadi mayat.

“Saya baru saja menidurkannya menjelang siang. Tiba-tiba tanpa sebab, saya dengar ia berteriak keras. Saya lalu menghampiri, tapi ia sudah berhenti bernapas.”

“Kejadiannya sama seperti yang menimpa Jeffrey, tapi Joseph sempat berteriak terlebih dahulu, sebelum akhirnya meninggal,” cerita Christine. Seperti kasus Jeffrey, meninggalnya Joseph diduga juga akibat myocarditis, yang kemungkinan ditularkan oleh manusia.

Tiga nyawa balita sudah melayang di bawah asuhan Christine. Televisi lokal pun mulai tertarik menyiarkan kasus kematian misterius ini. Opini masyarakat terbelah antara mereka yang menganggap Christine sebagai pembunuh balita, dengan mereka yang menganggap wanita belia itu sebagai korban kematian yang serba kebetulan. Maklum, fakta di lapangan membuktikan, tak ada bukti-bukti yang mengarah langsung, apalagi memberatkan Christine.

Christine sendiri merasa sangat terbebani dengan kejadian ini, “Mereka memandang saya dengan pandangan aneh dan menakutkan. Saya juga mendengar mereka berbisik tentang saya,” keluh perempuan bertubuh gemuk itu. “Christ bahkan sempat mencoba bunuh diri, dengan memotong urat nadinya dan menenggak pil, karena merasa tak sanggup lagi menghadapi tekanan masyarakat,” ungkap seorang kerabat.

“Saya sungguh ngeri melihat anak-anak itu mati. Mungkin saya menularkan semacam penyakit mematikan. Dokter mestinya bisa menemukan penyakit itu,” ujar wanita yang menikah pada usia 15 tahun ini. Christ merasa, kematian tiga balita itu membuat “kariernya” sebagai babysitter tamat! 

 

Stabil tapi sengsara 

Apalagi setelah sebagian media massa mulai rajin mengungkap masa lalu Christine yang kelam. la memang tumbuh dalam kemiskinan, kerapuhan, dan kepedihan. Ibu kandungnya, Ann menikahi Tom Slaughter yang berusia 65 tahun, ketika usianya baru menginjak 16 tahun. Tujuh anak kemudian lahir selama periode perkawinan itu. Namun, Tom hanya mau mengakui satu anak saja, yaitu bayi laki-laki yang meninggal tak lama setelah lahir.

Tom beralasan, Ann punya kebiasaan menghilang di akhir pekan dan suka berhubungan dengan banyak lelaki. Akibatnya, ayah kandung anak-anak Ann yang lain menjadi tidak jelas. Dalam kondisi keluarga tak menentu seperti itulah, pada usia empat tahun, Christine diadopsi petani kayu Jesse Falling. Sejak itu, kehidupan Christine mulai stabil, meski tetap saja tidak menemukan kebahagiaan.

Sayangnya, keluarga Falling bangkrut saat Christine baru berusia tujuh tahun. Terpaksa, di usia semuda itu, ia sudah dilibatkan dalam beragam pekerjaan di peternakan ayam, membantu keluarganya mencari sesuap nasi.

Istri Jesse, Dolly sangat ketat menerapkan disiplin. Christine pun jadi bandel di luar rumah. Bersama kelompok bermainnya, mereka pernah membantai kucing, hanya untuk membuktikan binatang itu tidak punya sembilan nyawa, seperti yang sering digembar-gemborkan pendeta di gereja. Christine sendiri yang merayu, membelai-belai, kemudian membanting kucing-kucing malang itu. Disebut kucing-kucing, karena kegiatan biadab itu akhirnya menjadi acara rutin kelompok mereka saban Sabtu malam.

Ibu angkat Christine kerap menjadi sumber cerita yang menarik, seputar keanehan anak perempuannya itu. “Saat main kejar-kejaran dengan anak-anak tetangga, dia begitu emosional, seperti hendak menerkam dan menggantung teman-temannya,” bilang Dolly. Untuk mengajar sopan santun, kadang Dolly terpaksa menggunakan kekerasan. Tak cuma tangan, Dolly bahkan sering menggunakan tongkat untuk memukul Christine.

Sepanjang hidupnya, Christine selalu dihantui mimpi-mimpi buruk. la juga sempat menderita gagap dan epilepsi. Suatu kali, Jesse dan Dolly bertengkar hebat, sehingga Christine terpaksa diungsikan ke sebuah rumah singgah anak, yang terletak di Great Oak, sekitar 320 km dari Orlando. Di tempat itu, ia menetap selama satu tahun, menjadi bintang dan memimpin kelompok anak-anak kumuh. Di tempat itu, Christine menjadi makin liar dan sering kepergok mencuri. Ia juga kerap menjadi penyulut keonaran.

“Saya menikmatinya, karena itu salah satu cara untuk meminta perhatian,” ucapnya enteng. Disiplin kelewat ketat yang diberlakukan Dolly membuat Christine muak. Saking muaknya, ia pernah - melarikan diri dari rumah. Pada usia 12 tahun, ia kembali ke ibu kandungnya, Ann di Blountsown. Christine menikah dengan Bobby Joe Adkins (20) pada September 1977, tapi hanya bertahan dua bulan. Selama itu, dua kali ia hamil, dua kali pula keguguran.

Setelah itu Christine berpindah-pindah dari Miami, Tampa, Matiana, Perry, Blountstown, Lakelanda, sampai Steinhatchie. la pernah juga mampir di Georgia, West Virginia, Ohio, dan Colorado. Namun, ia tak pernah betah di satu tempat. Penyebabnya, ia merasa tak menemukan kehangatan suasana rumah. Akhirnya, ia hanya bergerak dari trailer ke motel, motel ke trailer, begitu seterusnya.

Dengan masa lalu sesuram itu, wajar kalau media massa akhirnya membuat berita-berita yang condong memojokkan Christ. Meski begitu, tetap banyak orang membelanya dan percaya Christ hanyalah korban orang tua yang tak becus menjaga kesehatan anak-anaknya. “Tak ada bukti kejahatan Christ. la cuma martir. Mestinya kita tidak memojokkan dia hanya karena masa lalunya,” suara mereka senada seirama.

 

Giliran manula

Para kerabat Christine, meski tengah berduka, juga berusaha menghibur wanita malang itu. Sebagian mereka menyarankan Christ tak lagi menjadi pengasuh bayi, agar tak terus ditimpa kesialan. Christine bahkan mengikuti saran dokter yang memintanya mengikuti serangkaian tes, untuk memastikan apakah di tubuhnya terdapat virus mematikan. Namun, pemeriksaan laboratorium itu tak menemukan virus apa pun.

Di pihak lain, tekanan masyarakat makin kuat. Anak-anak muda Blountstown misalnya, sampai membuat permainan yang diambil dari kisah Christine, judulnya bogey woman (hantu perempuan gentayangan). Untuk melenyapkan stres, Christine akhirnya menerima tawaran menjadi pembantu rumah tangga di kediaman William Swindle (77), pria tua yang tinggal di dekat Perry.

Namun, masyarakat kembali gempar. Swindle ditemukan meninggal secara tragis, hanya beberapa jam setelah mempekerjakan Christ. Mayatnya tergeletak di lantai dapur. Christ menemukannya ketika hendak pulang, setelah selesai membereskan rumah. Mayat Swindle tidak diautopsi, karena jantungnya diketahui bermasalah, selain mengidap kanker. Keluarga Swindle pun menganggap kematian lansia itu lebih disebabkan oleh faktor usia.

Nasib “sial” tak juga pergi, ketika Christine dipercaya mengasuh Jennifer Daniel (8 bulan), anak dari saudara tirinya, Geneva Daniels. Jennifer meninggal di mobil saat dijaga Christine, tak lama setelah divaksinasi. Ibunya yang keluar sebentar dari mobil untuk belanja di sebuah pasar swalayan untuk membeli popok, keruan kaget bukan kepalang. Lagi-lagi, hasil autopsi tak berhasil menemukan bukti-bukti yang mencurigakan.

Setelah itu, Christine melengkapi “kesialannya” dengan menjadi pengasuh Travis (19 minggu), anak Lisa Coleman (17) yang tengah menderita pneumonia. Lisa mengaku tahu rekam jejak Christine, tapi tak percaya perempuan belia itu tega membunuh bayi. Makanya ketika kondisi Travis mulai membaik, Lisa berani meninggalkan putranya di rumah bersama Christine. Sampai akhirnya, kenyataan pahit itu datang. Suatu pagi, Travis dijumpai sudah tak bernyawa.

Kematian lima bayi membuat nama Christine kembali mencuat. Tekanan datang jauh lebih berat daripada sebelumnya. Kepada beberapa orang, Christ bahkan sempat menyatakan niat mengakhiri hidupnya yang tak lagi punya tujuan dan harapan. Christine selalu menganggap dirinya sebagai korban roda kehidupan dan menolak bertanggungjawab atas kematian satu manula dan lima balita yang diasuhnya dalam dua tahun terakhir. “Saya sendiri tak tahu apa yang terjadi, tapi orang-orang masih saja menyalahkan saya. Mengapa?”

 

Bekas cekikan

Ya, mengapa? Pertanyaan itu terus menghantui dr. Joseph Sapala, ahli patologi forensik asal Michigan. Sapala punya nama beken dr. Quincy, karena ia penggemar serial teve yang dibintangi Jack Klugman itu. Tak heran kalau perilaku Sapala mirip dengan tokoh fiktif itu. la membiasakan dirinya berpikir berlawanan bila melihat suatu kasus. Kematian alami sekali pun, bagi dr. Quincy selalu menyimpan peluang pembunuhan.

Sapala bahkan membentuk tim khusus untuk melakukan serangkaian tes atas jaringan yang diambil dari tubuh korban terakhir, Travis. Sapala membuktikan, Travis sempat kehabisan oksigen, hal yang membuatnya mati lemas. Selama autopsi Travis, Sapala juga menemukan adanya saraf yang pecah, yang mengindikasikan bocah itu telah dicekik. Pelan tapi pasti. Tim ahli yang dibentuk Sapala mulai menguak fakta di balik kematian Cassidy Johnson, Jennifer Daniels, dan Travis Coleman.

Berdasarkan bukti-bukti penganiayaan yang didapat dr. Quincy, penegak hukum mulai melirik keterlibatan Christine Falling. Sheriff Blountstown, Budy Smith menjadi orang pertama yang mendengar pengakuan mengagetkan sang babysitter. Tampaknya, memang tak ada lagi tempat bersembunyi buat tersangka pembunuhan bayi dan manula itu.

“Kami jadi tahu, ternyata sangat mudah membunuh balita tanpa meninggalkan jejak,” tegas pengacara Jerry Blair, yang membawa Christine ke meja hijau. “Anak-anak dapat dengan mudah dibunuh hanya dengan menekan arteri tertentu di leher. Tanda itu akan menghilang tak lama setelah kematiannya,” imbuh Blair.

Di kantor sheriff, Budy tampak ditemani sejumlah penyidik.

“Mengapa kamu melakukan semua ini, Christ?” tanya seorang penyidik. 

“Saya sendiri enggak mengerti mengapa saya melakukannya.”

“Oke kalau begitu. Langsung saja, apa yang telah kamu perbuat terhadap Cassidy Johnson?” 

Christine diam sejenak.

“Bayi perempuan itu susah sekali diam. Jadi, saya cekik sampai timbul warna ungu di lehernya. Sampai ia sama sekali tak bernapas,” jawabnya tanpa ekspresi.

“Bagaimana dengan Jeffrey Davis?” 

“Ia yang salah dan membuat saya naik darah.”

“Lalu, Jennifer Daniels?” 

“Tangisnya selalu berkepanjangan. Sekali menangis, habis itu tak pernah berhenti. Saya tekan arteri di lehernya.” 

“Lantas, apa alasan kamu mencekik Travis Coleman?” 

Christine tersenyum. “Saya cekik dia tanpa alasan apapun.”

Christine kemudian bercerita, betapa ia sangat terpengaruh oleh tayangan-tayangan kriminal di televisi, sampai akhirnya menemukan cara mudah dan sederhana untuk membunuh tanpa jejak. la menyebut teknik pembunuhan yang dilakukannya sebagai teknik menekan tanpa bekas.

“Saya menikmatinya. Sederhana tapi tak mudah. Dengan selimut, saya tutupi wajah mereka. Saat itu, terdengar suara-suara untuk segera membunuhnya. Datang beruntun, sangat lembut, dan kian jelas hingga saya sadar apa yang telah saya lakukan terhadap mereka,” lanjut Christine. 

“Waktu kecil, saya tak pernah memiliki baju-baju cantik. Apalagi saat tinggal bersama ayah,” kisah Christ. Tak heran kalau kebencian datang menyergap, membakar relung hatinya yang paling dalam, ketika menyaksikan ibu atau bapak dan anak yang diasuhnya berasyik-masyuk dalam kasih sayang. “Saya seperti merasakan kepedihan yang teramat dalam. Ingin rasanya segera memutus ikatan itu.” Belakangan, ia juga mengaku tak betah mendengar suara tangisan balita. 

“Hanya ada satu cara menghentikannya. Ya itu tadi,” bilangnya enteng. 

Pengakuan-pengakuan Christine kadang memang tak terduga. Misalnya ia mengaku sangat menikmati masa dua tahun terakhir, saat ia membunuh lima balita. Terutama ketika menyaksikan polisi maupun dokter bekerja pontang-panting memastikan apa yang telah terjadi. Yang lebih mengejutkan, ia masih ingin menjadi pengasuh bayi, sekeluar penjara nanti. Meski tentu saja, diragukan apakah ia masih akan dipercaya ibu-ibu.

Ketika persidangan digelar, pembawaan Christine tetap tak berubah. la tampak sangat tenang. Begitu tenangnya, sehingga hanya bersuara sebatas berkata “Ya” atau “Tidak” untuk menjawab pertanyaan hakim. Itu pun terdengar pelan, seperti berbisik. Suatu hari, di balik jeruji, ia membaca koran yang memuat pengakuannya di kantor Sheriff Budy Smith.

Dibacanya dengan tenang seluruh artikel, kemudian berkomentar, “Mereka mengambil keuntungan dari saya, seolah-olah saya benar-benar pembunuh. Padahal, saya mengaku bersalah karena tak punya harapan lagi. Saya sengaja membiarkan kesempatan hidup saya berlalu begitu saja.” Ya, termasuk kesempatan mewujudkan panggilan jiwanya menjadi babysitter andal. (Terry Manners)

 

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400602/teori-peluang-pembunuhan-dr-quincy" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659536072000) } } }