array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3567456"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/lagu-palsu-alat-penipu_-neosiam-20221111043817.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(123) "Seorang master fengshui menghadapi kasus pembunuhan di dalam taksi. Apakah keahliannya itu membantu dalam mengungkap kasus?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/lagu-palsu-alat-penipu_-neosiam-20221111043817.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Lagu Palsu Alat Penipu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 16:38:31"
      ["content"]=>
      string(27074) "

Intisari Plus - Seorang master fengshui menghadapi kasus pembunuhan di dalam taksi. Apakah keahliannya itu membantu dalam mengungkap kasus?

-------------------

Telepon di depan Winnie Lim berbunyi nyaring. Dengan hati-hati dia mengangkat gagang telepon itu supaya manicure di jemari kukunya tidak rusak. “Untukmu, dari Madam Fu,” bisik Winnie. Yang diajak bicara tampak ragu. “Bilang saya tidak ada,” jawab C.F. Wong sekenanya. “Saya sudah bilang kamu enggak ada. Tapi dia ingin sekali bicara padamu,” balas Winnie.

C.F. Wong sang master feng shui akhirnya menyerah. “Hai, Madam Fu,” ucapnya begitu mengambil alih telepon. “Wong? Saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya,” balas sang Madam. “Kapan?” sambut Wong rada enggan. “Siang ini atau paling lambat besok pagi. Tapi lebih baik lagi kalau kamu datang sekarang.”

“Wah, memangnya ada apa?” 

“Ada sesuatu di kebunku.” 

“Sesuatu?” Winnie Lim yang ikut mendengarkan di telepon satunya, menaruh jari telunjuk di mulutnya dan berkata pada Wong, “Sudahlah Ikuti saja.” Sang master lagi-lagi mengalah. 

Asistennya, Joyce McQuinnie, yang sedang asik membaca sebuah buku melirik pada Wong, sebelum akhirnya menukas, “Mengapa tidak Nyonya Fu saja yang membereskan sendiri kebunnya?”

Wong menatap Joyce. Wanita muda ini kadang menyebalkan. Itu sebabnya Wong tak ingin berdebat dengannya. “Saya akan pergi ke Madam Fu. Kamu mau ikut?” Wong bertanya pada Joyce sambil berdoa agar mendapat jawaban negatif. Tapi yang keluar malah sebaliknya, “Iya dong. Saya tidak akan melewatkan kesempatan ini.” Ah, betul-betul menyebalkan.

 

Mayat di kebun

Suasana di jalan mencerminkan Singapura di musim panas. Lalu lintas macet, tapi semakin jauh dari pusat bisnis, jalan semakin lengang. Langitnya biru dihiasi hamparan awan cirro cumulus nan indah.

Madam Fu adalah orang kaya yang rutin meminta bantuan Wong. Rumahnya, meski bagus, adalah “yang terjelek” di kawasan mewah Jln. Meyer, yang dikenal juga sebagai Condo Valley. Kebun belakang rumahnya menghadap jalan desa nan sunyi sering dijadikan tempat membuang sampah. Itu karena kesalahan Madam Fu yang membiarkan begitu saja kebunnya tak terpelihara, sehingga orang lewat mengiranya lahan umum.

Wong sendiri kadang merasa sejumlah kerjanya buat Madam Fu tak sesuai dengan keahliannya sebagai master feng shui. Apalagi Madam Fu sendiri agak aneh, eksentrik, kadang mirip orang terganggu mental. Sebagai ahli feng shui, Wong tahu energi yang mengalir memasuki rumah Madam Fu sebetulnya nyaris sempurna. Namun semua itu tak akan menghasilkan rumah tangga bahagia jika penghuninya dalam keadaan “terganggu”.

Sesampai di kediaman Madam Fu, seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia tampak membukakan pintu. “Aku ingin tahu pendapatmu tentang kesialanku kali ini,” sambut Madam Fu. Mereka berjalan menuju taman belakang, dekat pagar dan rerumputan tinggi. Di dekat situlah Madam Fu menunjuk sesuatu yang tergeletak, terbungkus jas hujan dengan noda hitam. Tak salah, mayat! Lalat-lalat menandakan mayat itu sudah cukup lama berada di sana.

Tampaknya mayat seorang laki-laki berambut hitam, matanya terbuka dan mendelik. Wong menghela napas dalam-dalam. “Saya pikir Anda benar, Madam Fu. Ini kesialan besar. Butuh perlakuan khusus dan tidak boleh ada kesalahan sama sekali,” ucap Wong setelah berhasil menenangkan diri. “Aku tahu,” ucap Madam Fu bangga. “Apakah Anda yang melakukannya?” sambung Wong. “Tentu saja tidak. Masak aku membunuh orang di kebun sendiri?” tandas Fu. Benar juga.

Wong segera menelepon polisi. Mengurus penemuan mayat ini jelas bukan wewenangnya. Tugasnya hanya mengatur ulang keberuntungan Madam Fu, dengan menempatkan benda-benda feng shui di pintu belakang, yang berhadapan dengan lokasi mayat ditemukan. Atau menaruh cermin segi delapan pa-kua pada dinding di atas jendela rumah. Buat dia, mengenyahkan gangguan setan bukanlah tugas yang sulit.

Lucunya, detektif yang kemudian datang, Gilbert Kwa ternyata punya masalah dengan “kegilaaan” Madam Fu. Kwa menganggap omongan Fu tidak logis dan membingungkan. Sepertinya hanya Wong yang bisa memahami perkataan Madam Fu. Mau tak mau, Wong akhirnya diperbantukan sebagai detektif perantara, si pengorek informasi yang berkaitan dengan Madam Fu.

Mayat itu ternyata Tuan Ramli, pengusaha asal Indonesia yang pindah ke Singapura empat tahun lalu. Koleganya, orang Singapura bernama Emma Esther Sin dan seorang Amerika bernama Jeffery Alabama Coles, menyatakan Ramli baik-baik saja saat mereka melihat terakhir kali. “Dia hanya minum sedikit,” jelas mereka, yang mengaku sempat mengantarkan Ramli naik taksi. “Sopir taksinya mirip orang India dengan rambut dan kumis hitam,” cerita Emma Sin.

 

Dibuang sopir taksi

Polisi yang melakukan pencarian ke berbagai perusahaan taksi akhirnya mendapatkan keterangan tentang taksi yang dicurigai. Mereka juga berhasil membekuk Motani, sopir taksi yang ciri-cirinya sangat cocok dengan gambaran yang disebutkan Emma. Sepertinya, kasus Ramli bakal segera terungkap ketika Motani mengaku sengaja membuang tubuh Ramli di kebun Madam Fu. Namun, dia menolak mengakui membunuh Ramli.

“Tas dan barang-barang milik korban tidak ada yang hilang. Di rumah Motani, kami juga tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan alat membunuh Ramli,” jelas Kwa, sembari membetulkan letak bahunya yang agak tegang. “Omong-omong, bos saya bilang, Anda boleh menanyai Motani. Itu kalau Anda mau,” ujar Kwa. Wong tahu dia sudah telanjur terlibat di kasus ini. Jadi mengapa tak sekalian saja menceburkan diri?

“Saya tidak melakukannya!” sanggah Motani, yang bernama lengkap Nanda Motani, dengan nada tinggi ketika bertemu Wong. 

“Saya tidak bilang Anda melakukannya. Saya C.F. Wong, konsultan. Saya cuma ingin mengetahui kejadian sebenarnya.”

“Dia sudah mati ketika saya menoleh ke belakang,” tegas Motani. “Saya sampai di Jln. Orchard sekitar pukul 22.30, ketika melihat tiga orang di ujung jalan. Mereka baru keluar dari bar. Saya melihat seorang pria tengah bersandar pada seorang wanita yang tertawa keras. Lelaki satunya, orang asing, menyangga pria yang di tengah. Saya pikir mereka habis minum-minum,” tandas Motani.

“Anda kemudian menghentikan mobil?” 

“Ya, si orang asing menaruh tas ke dalam taksi dan membantu si mabuk masuk, sambil menyebut alamat tujuan, di Katong, Jalan East Coast, dekat Red House,” kata Motani lagi. 

“Red House? Toko roti kuno itu?” sergah Wong.

“Sepertinya begitu. Saya putar balik menuju Jalan Orchard.” 

“Ke Timur?”

“Ya, ke Timur. Ke Stamford Road, Raffles Avenue, menyeberang jembatan. Karena tidak begitu pasti letak jalannya, saya sempat berhenti dan bertanya pada sopir taksi lain. Ternyata saya kelewatan.” 

“Penumpang Anda diam saja?” 

“Dia mabuk berat. Saya mencoba ramah padanya dengan bercerita tentang wilayah Katong yang katanya nyaman. Tapi dia tidak menjawab.”

“Dia mengatakan sesuatu?” 

“Hanya sedikit bernyanyi. Sebenarnya lebih mirip bergumam. Ia seperti menyanyikan lagu pop Barat kuno. Tapi saya tidak tahu lagu apa.”

“Lalu apa yang terjadi?” 

“Tidak ada sama sekali. Saya berhenti, melihat dia terbungkuk, hampir jatuh. Separuh badannya hampir menyentuh kaki, sisanya masih di kursi. Saya lalu meneruskan nyetir.” 

“Kenapa?” 

“Begini, Pak Polisi. “

“Saya bukan polisi.”

“Begini, Tuan yang baik. Jika Anda jadi sopir taksi dan bekerja shift malam, Anda akan sering membawa orang yang tertidur pulas, mabuk, atau tak sadarkan diri. Anda hanya perlu membawanya pulang. Tanya saja sopir taksi lain di seluruh Singapura kalau tidak percaya.”

“Tapi Anda sampai di alamatnya?” 

“Ya. Saya mencoba membangunkannya, mengguncang-guncangnya. Lucu, dia malah roboh. Saya keluar, mencoba mengeluarkannya dari mobil. Tapi ketika saya lihat ada noda di jaketnya, saya pikir dia sakit.” 

“Itu noda darah,” sela Wong.

“Ya, dan saat menyadari dia mati, saya hampir berteriak. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Rasanya ada ribuan pasang mata mengamati. Sempat terpikir untuk menghubungi polisi, tapi polisi nanti mengira saya pembunuhnya.”

“Lalu apa yang Anda lakukan?” 

“Saya tutup pintu mobil kemudian mengemudi secepat mungkin.” 

“Ke mana?”

“Ke arah Jalan Meyer. Di sebuah tempat yang gelap, saya melemparkan mayat itu beserta tas-tasnya ke balik pagar.” 

“Anda membuka tasnya?” 

“Tidak. Hanya mengangkatnya. Kemudian saya pulang dan membersihkan mobil. Esoknya, saya begitu takut untuk berangkat kerja. Entah berapa lama saya melakukannya. Sampai akhirnya polisi datang ke rumah. Sejak itulah saya di sini.” Saya percaya padamu, bisik Wong dalam hati. Setelah terdiam sebentar, Wong lalu melanjutkan pertanyaan. “Jendela mobilnya, apakah terbuka?” 

“Tidak,” jawab Motani yakin. Semua tertutup. Saya menyalakan AC supaya tetap dingin.” 

“Oke, finish-lah,” kata Wong akhirnya.

 

Tak ada pisau

Beberapa waktu kemudian, Wong dan Joyce duduk-duduk di kantin kantor polisi sembari menyeruput teh hijau. “Aneh. Siapa yang membunuh Ramli, kalau si sopir bukan pelakunya? Kuncinya mungkin pada penyebab pembunuhan itu,” ucap Joyce. Wong mengangguk-angguk. Soal warisan? Tampaknya bukan. Ramli tidak memiliki kerabat di Singapura dan Malaysia. Warisannya pun tidak besar. Dia juga tidak memiliki jaminan asuransi.

Bagaimana kalau soal bisnis? Ramli, Emma Sin, dan Cole baru saja menandatangani perjanjian kerja sama untuk meneliti kemungkinan mengadakan pengeboran dan penambangan di Kalimantan. Ramli bertindak sebagai tenaga ahli, sedangkan Emma Sin dan Coles menjalankan bisnis, pendanaan, dan pemasaran. Terbunuhnya Ramli membuat perjanjian bisnis itu harus dikaji ulang. 

“Adakah hal lain yang menarik perhatian?” 

“Dia membawa dua tas ketika naik taksi. Sebuah koper kecil dan satu koper agak besar. Tas kecil berisi contoh batuan dan mata uang asing. Sedangkan tas besar dipenuhi batu bata. Sepertinya dari sebuah gedung.”

“Mungkin ditukar. Seperti adegan film Hollywood. Dua tas masing-masing berisi barang berharga dan barang tak bernilai, ditukar untuk tujuan tertentu. Tidak ketahuan karena bentuk dan modelnya sama. Ya, saya ingat, film Dumb and Dumber,” urai Joyce. 

“Tapi siapa yang menukar tasnya?” tanya Wong.

“Mungkin sopirnya, mungkin juga bukan.” 

Joyce lalu memerinci isi koper Ramli dan mencocokkannya dengan daftar bikinan polisi. Ada dokumen teknis mengenai analisis tanah dan batuan, sepotong kue donat di kantong kertas, novel karangan Michael Crichton, majalah Penthouse, dan sekantong kacang dari penerbangan Silk Air. Di dompetnya polisi menemukan telepon genggam, bon dengan stempel lunas laundry setempat, serta struk mesin ATM di Jln. Orchard.

“Ada pesan di telepon genggamnya?” 

“Tidak,” jawab Joyce seraya mencentang daftar barang pribadi korban. Tiba-tiba ia bersiul. “Wow, canggih betul tape recorder ini. Bentuknya seperti korek api. Kelihatannya asyik, ada ekstra bas, built in speaker, auto reverse.” 

“Polisi sudah mendengarkan isi tape-nya. Tampaknya seperti suara orang bernyanyi. Dan kelihatannya kawan kita ini sangat suka bernyanyi,” jelas Wong.

“Persisnya berkaraoke. Emma Sin pernah bilang kalau dia dan Ramli sering datang ke karaoke,” bilang Joyce, sambil menambahkan, “Kini apa yang akan Anda lakukan? Meneliti bed pan dan feng shui taksinya?” 

“Astaga, bukan bed pan, tapi lo pan. Yang pasti, kompas tidak bisa jadi patokan di mobil. Karena mobil selalu berubah arah. Dalam kasus ini, kita tidak bisa menggunakan lo pan. Hanya diagram lo shu, semacam pilar nasib. Coba kita lihat milik Tuan Ramli,” ajak Wong.

Sang master lalu membuka catatannya. Ramli berelemen api dan lahir di akhir musim semi, musim yang dipengaruhi kayu. Dengan kata lain, Ramli punya api dan kayu. Layaknya api, jika ditambahkan kayu akan semakin berkobar. Tapi jika diberi air, akan mati. Jika diberi logam atau tanah, api akan sulit menyala. “Nah, malam kematian Ramli berunsur logam,” jelas Wong. Peluru logam pula yang membuat Ramli tak berdaya. 

Motani juga punya unsur api. Namun, menurut hitung-hitungan Wong, apinya Motani tidak kuat. Tak lama kemudian detektif Kwa datang. “Masalahnya sudah agak jelas, Detektif,” seru Joyce sambil tersenyum ke arah Wong. Kwa tampak berseri-seri mendengarnya. “Si sopir tidak bersalah. Seseorang telah menembaknya lewat jendela taksi. Menggunakan senjata jarak jauh berperedam,” ucap Joyce lagi.

“Tapi sopirnya bilang jendelanya selalu tertutup.” 

“Motani bilang, dia sempat memberhentikan taksi untuk bertanya alamat Ramli pada seseorang. Saat itu, dia pasti menurunkan kacanya dan berteriak. Saat itulah seseorang menembaknya. Pelurunya mengenai sasaran tanpa disadari oleh si sopir, bagaimana menurut Anda?”

“Menurut saya, Anda terlalu banyak nonton film, Joyce,” kata Kwa sambil tersenyum. “Faktanya, dia tidak ditembak. Tetapi ditikam. Kita memang melihat lubang dan darah, tetapi tidak ada pisau yang menancap. Awalnya memang kami mengira dia ditembak, tapi dokter meyakini Ramli ditikam dengan pisau dapur atau pisau buah, pendek tetapi tajam,” jelas Kwa. 

“Fakta terbaru ini kelihatannya memporakporandakan teori Anda, Tuan Wong,” seru Joyce.

“Tentu saja tidak. Yang penting ada logam di sistem pernapasan. Peluru atau pisau ‘kan sama-sama logam,” jawab Wong. 

“Saya punya pendapat lain,” kata Joyce. “Bagaimana kalau ada seseorang bersembunyi di bagasi, lantas menikam Ramli dari belakang?” Seperti teori pertama Joyce, kali ini pun Kwa menjawabnya dengan senyum lebar, “Lagi-lagi Anda terlalu banyak nonton film, Joyce. Korban ditikam dari depan, persisnya di sebelah kanan, sampai menembus jantung.” Melihat Joyce dan Kwa saling serang, Wong cuma bisa tersenyum.

 

Sinergi api dan kayu

Malam harinya Joyce mencoba mengingat kembali wawancaranya dengan keluarga Motani. Namun ia tidak punya informasi penting yang pantas dicatat. Soalnya cuma ada satu topik pembicaraan selama di rumah itu. Yakni ucapan berulang-ulang bahwa Motani tidak bersalah serta pertanyaan mengapa para dewa membawa anak baik seperti Motani ke situasi sulit seperti itu.

Akhirnya dengan menguatkan hati, wanita berparas cantik itu mengumpulkan serpihan hasil wawancara yang dianggapnya mengecewakan. Kemudian menelepon guru Wong. 

“C.F? Ini saya, Jo.” 

“Kamu menemukan tempat tinggalnya?” balas suara di seberang sana. 

“Ya.” 

“Kamu menemukan sesuatu?” 

Joyce agak ragu, sebelum melanjutkan, “Well, dia punya keluarga besar. Ayahnya sudah meninggal. Dia sekarang menjadi tulang punggung keluarga, punya banyak saudara lelaki dan perempuan. Mereka sangat sedih, dan ...,” Joyce berhenti untuk mencari kata-kata tambahan.

“Dan apa lagi?” 

“Dan ... hanya itu. Saya tidak menemukan apa-apa untuk memecahkan misteri ini. Saya tidak tahu lagi apa yang mesti saya tanyakan. Saya lebih banyak ngobrol dengan mereka.” 

“Oke, tidak masalah.” 

“Tapi ada satu hal, saya kira.” 

“Apa?” 

“Kita harus membebaskannya. Saya pikir ia tidak melakukannya.” 

“Mengapa Anda pikir begitu?” 

“Tak ada alasan. Saya hanya pikir begitu.” 

“Saya mengerti. Saya juga berpikir begitu. Sekarang walk-walk slowly-lah.” 

“Yah. Kamu walk-walk slowly juga.”

Keesokan harinya, Wong menemui detektif Kwa di lorong gedung pengadilan. Kwa tampak bete lantaran jadwal pengadilan yang terus molor. “Saya punya pertanyaan penting buat Anda,” kejar Wong. “Lebih cepat lebih baik. Pengadilan Motani akan segera dimulai,” jawab Kwa. Tak lama kemudian, seorang juru tulis muncul di depan pintu ruang pengadilan, tangannya menenteng berkas perkara bertuliskan: Kasus 12/768-F, Motani, N. 

“Wah, kelihatannya sudah akan dimulai, nanti saja ya ngobrolnya,” ucap Kwa. 

“Harus sekarang. Cuma satu pertanyaan, apakah malam saat kejadian turun hujan?” tanya Wong. Meski aneh, pertanyaan tadi dijawab juga oleh Kwa. “Tidak, seingat saya hujan hanya turun di siang hari. Cukup Wong, saya harus masuk ruang pengadilan sekarang.”

“Tunggu, ada satu hal yang tak kalah penting.” Wong menarik napas panjang. “Motani mempunyai unsur api lemah sehingga butuh kayu untuk membuat dirinya kuat. Pada malam pembunuhan itu, ada benturan antara logam dan kayu, juga kayu dan tanah. Tapi untungnya, saat pembunuhan berlangsung, unsur kayu Motani sedang bagus sehingga dapat memperkuat unsur apinya. Jika malam itu turun hujan, bisa menjadi pertanda buruk buat dia. Tapi Anda bilang malam itu tidak hujan ....”

“Aaaah, sudahlah Wong. Jangan bikin kepala saya makin pusing.” 

“Tapi saya rasa, Ramli sudah mati sebelum bertemu Motani.” 

Kali ini, langkah Kwa terhenti. “Apa buktinya?” 

“Ramli ditikam di jalan. Dia tidak mabuk, tapi mati. Si jangkung Amerika memasukkannya ke taksi dan menyokongnya agar tetap tegak.” 

“Tapi di taksi Ramli sempat bernyanyi lagu Barat.”

“Si Amerika menyalakan tape recorder hasil rekaman di kantong Ramli. Suaranya bergumam seperti menyanyikan lagu kuno New York, New York.” 

New York, New York?”

“Ya.” Wong melanjutkan penjelasannya, “Semua dilakukan untuk membuat orang berpikir dia mati di taksi. Bahkan sopir taksi pun percaya. Tape-nya mati, lalu auto rewind. Saat Anda memutar kasetnya di kantor polisi, terdengar suara orang bernyanyi, ‘kan? Jelas bukan kebetulan karena Emma Sin pencinta berat karaoke. 

“Bagaimana dengan tas?”

“Tidak ada tas yang ditukar. Tas berisi penuh batu bata sengaja disiapkan untuk menopang korban, sehingga duduk tegak di taksi.” 

“Jadi, Anda pikir, rekan bisnis Ramli yang melakukannya? Untuk apa? Ramli bukan orang yang punya banyak duit.” 

“Mereka pemodal besar, sedangkan Ramli pencetus ide. Tampaknya, mereka cuma ingin idenya tapi tak berniat membayar Ramli.” 

Kwa terdiam sejenak. Lalu seperti orang yang menemukan mood-nya kembali, dia menoleh ke asistennya. “Temui jaksa dan hakim. Sidang harus ditunda, kita belum siap. Sekali lagi, belum siap!!” (Nurry Vitachi)


Baca Juga: Gara-gara Patah Hati

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567456/lagu-palsu-alat-penipu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668184711000) } } }