array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3605988"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/sk_marten-bjorkjpg-20221212091518.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(142) "Sadahiko Kogawa mendapat undangan menginap di sebuah hotel. Di sana ia bertemu para undangan lain yang semua punya inisial nama yang sama: SK."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/sk_marten-bjorkjpg-20221212091518.jpg"
      ["title"]=>
      string(2) "SK"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:15:35"
      ["content"]=>
      string(32231) "

Intisari Plus - Sadahiko Kogawa mendapat undangan menginap di sebuah hotel. Di sana ia bertemu para undangan lain yang semua punya inisial nama yang sama: SK.

--------------------

Pasti ini publisitas gaya baru, pikir Sadahiko Kogawa (33) seusai membaca surat pendek itu. Namun, ia sangsi. Mengapa sebuah hotel baru di tepi pantai mengundangnya? Ia bukan orang kaya, juga tidak terkenal. Ia bekerja di sebuah majalah hiburan yang top, cuma sebagai asisten editor. Kalau ingin publisitas, mestinya hotel itu mengundang atasannya.

 

Undangan dari laut

Nama hotel itu punya embel-embel “Toto”. Jadi mestinya salah satu dari rangkaian Hotel Toto yang bergengsi dan bermodal besar. Kalau untuk publisitas, mereka ‘kan bisa membayar iklan berapa pun harganya.

Surat itu ditulis tangan. Tulisannya anggun: 

23 Juli 

Perkenankanlah saya mengundang Anda untuk melewatkan satu malam di salah satu suite hotel Toto Kawazu yang baru dibuka di Pantai Kawazu, timur Semenanjung Izu. Jika bersedia, silakan datang ke hotel pukul lima sore, hari Sabtu 1 Agustus.

Silakan perlihatkan surat ini ke resepsionis. Anda akan diantar ke kamar. Bersama surat ini saya lampirkan dana transportasi.

“Laut” 

Bersama surat itu memang ada dua lembar uang sepuluh ribuan. Mungkin mereka berharap, Kogawa menyewa taksi. Tak tertera nama dan alamat pengirim, cuma “Laut”. Kogawa bingung. Kalau bukan publisitas, untuk apa? Lalu, siapa pengirimnya? Mungkin cuma gurauan seorang sahabat. Bukankah cuma mereka yang tahu nama dan alamatnya?

Kogawa memutuskan untuk datang karena tiga alasan. Pertama, ia sudah menerima ¥ 20.000 dan tidak bisa mengembalikannya. Kedua, ia penasaran. Si pengirim tampaknya perempuan. Surat itu memintanya melewatkan suatu malam musim panas di salah satu suite hotel baru. Ketiga, rasa ingin tahunya terusik. Bagaimanapun ia adalah wartawan, yang bertahun-tahun bekerja di majalah khusus untuk berita-berita sensasional.

 

Perempuan muda bunuh diri 

Sekitar sebulan silam, rasa ingin tahu juga mengantarnya ke peristiwa yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Waktu itu ada skandal menyangkut seorang penyanyi terkenal. Penyanyi itu diberitakan lenyap akibat hubungan lesbiannya. Lalu timbul desas-desus, ia muncul di daerah peristirahatan yang terkenal dengan sumber air panasnya di Shirahama, Prefektur Wakayama. Buru-buru Kogawa dan juru potretnya mengejar berita ke Shirahama. Mereka tinggal di Bokiso Hotel yang menghadap ke laut. Sayang, mereka tidak menemukan si penyanyi. Sampai larut malam mereka berdua duduk di kamar di lantai dua sambil minum-minum.

Kira-kira pukul dua dini hari, terdengar ribut-ribut di luar. Cahaya lampu taman terang-benderang menyinari jalan semen di luar gedung. Di jalanan itu tergeletak seorang perempuan muda berpakaian gaya Barat. Ia dikerumuni beberapa satpam dan pria yang tampaknya karyawan hotel.

Kogawa bergegas keluar. Ia bertanya kepada satpam yang menemukan mayat itu dan orang-orang lain perihal apa yang terjadi. Ia diberi tahu, perempuan itu bernama Suzuko Kume, berumur 25 tahun, dan menghuni kamar 515.

Di kamar Suzuko Kume, di dalam tas, ditemukan tiga surat yang menjelaskan ia bunuh diri. Masing-masing untuk orang tuanya, adik perempuannya yang sedang ke luar negeri, dan sejumlah atasan di tempat kerjanya. Ia berterima kasih atas kebaikan mereka padanya. Ia juga meminta maaf atas kesulitan yang timbul karena ia bunuh diri. Ia memilih bunuh diri karena menemui jalan buntu dalam hubungannya dengan seorang pria beranak-istri. Tulisan tangan di tiga surat itu memang dikenal sebagai tulisan Suzuko.

Jendela kamar 515 terpentang. Rupanya ia melompat dari sana. 

Ia berasal dari Kanazawa, Prefektur Shirakawa, tetapi tinggal bersama adiknya di sebuah apartemen di Tokyo. Adiknya bekerja pada sebuah biro perjalanan dan sedang bertugas memandu sekelompok wisatawan ke Eropa. Menurut catatan hotel, sesaat sebelum bunuh diri, Suzuko baru saja selesai bicara via telepon selama sejam dengan orang tuanya di Kanazawa. Ini agak aneh, karena tidak cocok dengan suasana hati orang yang akan bunuh diri.

Di tangannya, Suzuko menggenggam saputangan berinisial SK, inisialnya sendiri. Entah kenapa, Kogawa merasa ini bukan bunuh diri. Maka ia menyerahkan tugas melacak penyanyi lesbian ke rekannya yang juru potret. Ia sendiri ingin mengusut kematian wanita muda itu.

Setelah mendapat izin dari atasan, ia ke Kanazawa untuk mewawancarai orang tua Suzuko. Lalu ia ke bekas kantor wanita itu bekerja dan menanyai beberapa rekan Suzuko. Meski cukup banyak yang ia dengar, tidak ada yang bisa membuktikan bahwa peristiwa bunuh diri itu tidak normal. Usahanya selama tiga hari tidak memberi hasil. Tak heran pemimpin redaksinya marah-marah.

 

Takut jebakan

Undangan ini mungkin tidak ada nilainya untuk tulisan, tetapi rasa ingin tahunya tidak padam. Jadi, seminggu kemudian, tanggal 1 Agustus, Kogawa pura-pura sakit dan permisi pulang dari kantor.

Hotel Kawazu yang bertingkat tujuh dan terletak di lereng bukit itu sudah tampak dari jauh. “Siapa yang menungguku di situ?” pikir Kogawa. Kenapa aku diundang? Ia jadi tegang.

Ketika Sadahiko Kogawa menunjukkan surat dari “Laut”, resepsionis memanggil pelayan untuk mengantarkannya ke kamar. Resepsionis itu tampak terlalu hormat. Jangan-jangan si pengundang orang yang sangat penting. Siapa ya?

Di tingkat lima, pelayan mengetuk pintu berdaun ganda yang bertuliskan “VIP Suite”, lalu membungkuk kepada Kogawa sebelum menghilang di simpang lorong. Dengan ragu-ragu Kogawa yang terlambat 30 menit itu membuka pintu.

Empat orang, dua pria dan dua wanita, duduk di ruang tamu dan menatapnya tanpa senyum. Ruang itu luas, perabotnya pun mewah. Di bagian kiri ada pintu menuju kamar tidur. Di kanan ada ruang bergaya Jepang yang lantainya ditutupi tatami dan di sebelahnya ada ruang rias. Di ujung yang berlawanan dari pintu ada balkon di balik jendela kaca. Dari jendela tampak laut biru kehijauan.

Di ruang tamu ada sebuah meja bundar dikelilingi lima kursi, empat di antaranya terisi. Sesudah sedikit berbasa-basi, Kogawa duduk di kursi yang kosong. Suasana tetap dingin. Rupanya mereka tidak saling kenal. Kogawa waswas, jangan-jangan ia salah masuk.

Kemudian tiga pelayan masuk membawa meja dorong berisi wiski, sherry, dan bir. Setelah menyuguhkan minuman, mereka pergi tanpa bicara. Kamar senyap kembali. Di kiri Kogawa duduk seorang pria bertubuh kekar yang berpenampilan seperti eksekutif. Umurnya pertengahan 50-an. Di sebelahnya duduk pemuda berumur 20-an. Di kanan Kogawa duduk perempuan berumur 40-an. Dandanannya menunjukkan cita rasa tinggi dan mahal. Mungkin istri orang kaya. Wanita kurus itu tampak gelisah dan berkesan punya watak sulit. Di sampingnya duduk wanita lain berusia akhir 20-an. Penampilannya menarik, wajahnya cantik, namun tata riasnya medok. Satu kakinya terus bergerak-gerak tidak sabar.

 

Semua diongkosi

Sudah pukul enam, tetap tidak terjadi apa-apa. Kogawa sudah tidak sabar lagi. Hatinya mengkal. Dengan memberanikan diri ia bertanya ke perempuan yang lebih muda. “Maaf,” katanya. “Apakah Anda datang karena menerima undangan yang aneh?”

Perempuan itu tampak lega. “Ya, betul,” jawabnya. 

“Anda tahu siapa yang mengundang kita?” 

“Tidak. Tadinya saya tidak berniat datang. Tapi menurut surat itu saya diundang untuk membicarakan rahasia pribadi yang penting.” Lalu ia tersenyum. “Lagipula disertakan ¥ 40.000 untuk ongkos kendaraan. Jadi, saya tidak bisa menolak.”

Ia menerima ongkos transpor dua kali lipat karena jarak yang ditempuhnya lebih jauh, yaitu Nagoya.

Wanita yang lebih tua berkata dengan kaku. “Sama dong. Saya juga bingung. Tadinya tak saya ladeni. Tapi kata mereka, akan membicarakan rahasia suami saya. Sampul itu berisi ¥ 20.000. Saya waswas, tapi datang juga.” Ia meletakkan sebuah sampul di meja. Ia datang dari Tokyo.

“Saya dari Yokohama,” kata si pria setengah umur sambil tersenyum. “Diajak bersantai di pantai sih saya senang saja. Saya suka laut.” Ia juga meletakkan undangan di meja. Lalu ia menoleh ke pria muda. “Bagaimana dengan Anda?” 

“Sama,” jawabnya cuek. Ia datang dari Matsumoto di Prefektur Nagano.

“Apa isinya?” 

“Mengiming-imingi malam romantis. Gobloknya saya percaya. Saya mau datang cuma karena diongkosi.” Lalu ia teguk bir sampai habis.

 

Semua kesal

Jelas, mereka semua diundang oleh “Laut”. Isinya berbeda-beda untuk menciptakan situasi di mana penerima tidak berdaya menolak.

Mereka lalu saling memperkenalkan diri. Si wanita muda bernama Shinobu Komai, sekretaris presdir sebuah perusahaan. Pria yang seperti eksekutif memang pemimpin sebuah perusahaan dagang di Yokohama. Namanya Sojuro Koshikawa. Si pemuda adalah Shiro Kayama, mahasiswa Universitas Shinshu. Wanita yang lebih tua ternyata istri seorang ahli bedah yang mengepalai sebuah rumah sakit besar di Tokyo. Namanya Setsuko Kijima.

Mengapa mereka, yang belum pernah saling bertemu atau mendengar satu sama lain, diundang ke sini? Mana si pengundang? 

Kabut dan gelap mulai turun. Sambil menguap Shiro Kayama melirik arloji. “Pukul tujuh,” katanya dengan wajah merah akibat dua gelas bir. 

“Saya rasa ada yang main-main,” kata Shinobu Komai sambil menggigit bibir. Sementara Setsuko Kijima gelisah. “Lebih baik saya pulang,” katanya. Setelah minum dua gelas sherry sekeliling matanya merah.

Sojuro Koshikawa mengangkat sebelah tangannya yang gemuk. “Tunggu sebentar. Sabar. Kita lihat apa yang akan terjadi.” Seperti Kogawa, sejak tadi ia terus-menerus minum wiski dan air. 

“Kenapa? Saya tidak punya waktu untuk dipermainkan,” gugat Setsuko Kijima.

“Saya rasa kita tidak dipermainkan, Bu Kijima,” tutur Koshikawa sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. “Siapa pun si pengundang, ia sudah menghabiskan lebih dari seratus ribu yen untuk ongkos transpor kita saja. Pasti ia punya tujuan.”

Setsuko Kijima tetap sewot. Kogawa setuju, ini bukan sekadar gurauan. Kalau lima orang dikumpulkan dengan maksud tertentu, mestinya mereka tidak asal dipilih. Koshikawa mengangguk-angguk. “Ia tahu nama kita, alamat kita, dan hal-hal lain ...,” katanya.

 

Mencari benang merah

Yang pasti, kita tidak saling kenal,” kata Shinobu Komai takut-takut. Sikap itu membuatnya makin menarik. “Apa yang bisa jadi alasan untuk mengumpulkan kita di sini?” 

Kogawa menyalakan rokok. “Walau belum pernah bertemu, mestinya ada hal sama yang mempertautkan kita, yang belum kita tahu.”

“Misalnya?” kata Koshikawa penuh minat. 

“Yah, tempat lahir yang sama, kenal orang yang sama, atau berlangganan majalah yang sama.” 

“Kira-kira apa, ya?” 

Semua berpikir.

“Kita mulai saja dengan mencari persamaan antara Anda dan saya,” kata Koshikawa kepada Kogawa. “Saya lahir di Prefektur Kanagawa dan lulus sekolah tinggi di sana juga. Sudah 31 tahun saya memimpin perusahaan dagang. Tiap tahun saya ke luar negeri. Saya senang berenang, main golf, menyelam ... ada kesamaan dengan Anda?” 

Kogawa menggeleng, “Rasanya tidak.”

“Kalau begitu kita cek ke resepsionis,” kata Koshikawa. Ia bangkit menuju telepon. Setelah bertanya-tanya, ia kembali dan mengangkat bahu. “Tidak ada hasilnya. Sepuluh hari silam kamar ini dipesan orang bernama Nakamura. Esoknya utusan Nakamura datang memberi instruksi dan membayar kontan.”

 

Ketemu!

Dengan mengantuk Kayama berkata, “Saya tidak bisa kembali ke Matsumoto sekarang. Lebih baik saya menginap saja di sini. Gratis ‘kan?” Koshikawa menoleh kepadanya. “Kita ‘kan sedang mencari persamaan. Anda senang olahraga air?”

“Mana mungkin berolahraga air di Pegunungan Nagano,” jawabnya sambil memejamkan mata. 

“Di sungai atau danau ‘kan bisa.” Tahu-tahu Koshikawa mengoceh tentang olahraga air, tapi tak ada yang menanggapi. la pun berhenti sambil tersipu-sipu.

Shiro Kayama terkekeh. Semua memandangnya. Kogawa curiga, jangan-jangan Kayama siap mengaku bahwa dia si pengirim surat. “Terlalu jauh,” kata Kayama, “Padahal sederhana saja.” 

“Oh, Anda tahu? Apa?” tanya Kogawa dan Koshikawa serempak. Kayama berubah serius. la memandang mereka satu per satu. 

“Sojuro Koshikawa, Shinobu Komai, Sadahiko Kogawa, Setsuko Kijima, dan Shiro Kayama. Kita semua punya inisial sama.”

Semua terteguh. Inisial SK. Tiba-tiba Kogawa ingat sesuatu.

 

Seperti inisial korban bunuh diri 

Sojuro Koshikawa bertanya, “Kenapa kita dibawa ke sini hanya karena berinisial sama?”

“Yang berinisial seperti kita ‘kan ribuan,” kata Shinobu Komai sambil mengerutkan kening.

Kogawa membisu. Ketika Kayama menunjukkan inisial SK berkaitan dengan lima orang itu, seketika Kogawa ingat Suzuko. la tahu arti inisial SK. Tanggal 12 Juni di Hotel Bokiso seorang wanita muda bunuh diri. Namanya Suzuko Kume, inisialnya SK. Saat tewas, ia menggenggam saputangan berinisial SK. Waktu itu Kogawa sempat terkesan karena inisialnya juga SK.

Ia yakin, bukan kebetulan pengundang memilih lima orang berinisial SK. Mereka pasti diseleksi dari sejumlah orang berinisial sama. Ada hal penting yang menghubungkan mereka berlima. 

“Ini memang bukan main-main. Ini serius,” kata Kogawa. Yang lain menatapnya. “Persamaan kita, berhubungan dengan yang kita lakukan sekitar 40 hari silam. Tanggal 12 Juni kita pergi dan tinggal di hotel yang sama. Jika malam itu Anda tidak ke Bokiso Hotel di Shirahama, silakan bilang.”

Ternyata, semua menginap di Bokiso Hotel malam itu. Shinobu Komai menarik napas panjang. “Bagaimana Anda bisa menerka bahwa kita semua menginap di sana hanya dari kesamaan inisial?”

“Anda mungkin ingat, malam itu seorang tamu hotel bunuh diri dengan melompat dari jendela kamar nomor 515.” 

“Ya,” kata Koshikawa. “Seorang wanita muda.” 

Kogawa meneruskan, “Namanya Suzuko Kume. Inisialnya SK.”

 

Mungkin bukan saputangan korban

“Lalu mengapa kita diminta ke sini?” kata Setsuko Kijima marah. la punya alasan untuk itu. Mengapa ada orang yang tidak dikenal mengundang ke sini hanya karena mereka berinisial SK dan malam itu menginap di hotel yang sama dengan wanita yang bunuh diri itu?

Tapi, Kogawa merasa tahu jawabannya. “Saya bekerja di majalah. Lagipula, saya selalu ingin tahu. Sejak peristiwa itu, saya menyelidiki. kesana-kemari selama tiga hari. Saya mungkin punya lebih banyak informasi daripada Anda. Saya kira-kira tahu identitas si pengundang.” Semua memandangnya penuh perhatian.

“Siapa?” tanya Koshikawa “Siapa sih?” 

“Kemungkinan besar adik Suzuko Kume. Mereka berdua tinggal di sebuah apartemen di Tokyo, tapi saat si kakak bunuh diri, adiknya sedang ke Eropa.”

Shinobu Komai tampak tidak puas. “Tapi kenapa ia memperlakukan kita begini?” 

“Karena tinggal bersama, besar kemungkinan si adik tahu lebih banyak tentang kakaknya dibandingkan orang tuanya. Tak lama setelah si kakak tewas, adiknya pulang dan melakukan penyelidikan. Mestinya ia curiga, kakaknya tidak bunuh diri.” 

“Mungkin sekali ia menyadari ada keanehan atau kontradiksi. Kecurigaannya berhubungan dengan inisial SK.”

“Kok, Anda berpikir ke situ? Apa hubungannya?” tanya Koshikawa. 

“Ingat, Suzuko Kume menggenggam erat saputangan berinisial SK.” 

“Tapi itu ‘kan saputangannya sendiri.” 

“Semua mengira demikian. Tapi saputangan berinisial sama tak selalu milik orang yang sama. Bagaimana saputangan Anda, Pak Koshikawa?”

“Tidak berinisial.” 

“Ada pelbagai cara untuk memberi inisial pada sapu tangan. Dengan huruf gothik atau huruf dari rangkaian gambar bunga. Ada yang dicetak atau disulam. Ada yang cuma memakai satu huruf awal, ada juga yang dua huruf seperti sapu tangan yang dipegang Suzuko Kume. Saya curiga, sapu tangan Suzuko Kume cuma memakai satu huruf. Adiknya pun curiga. Sapu tangan itu mungkin bukan milik kakaknya.”

 

Bukan bunuh diri, tapi dibunuh 

“Jadi, ia dibunuh?” 

“Aneh sekali kalau orang yang berencana bunuh diri menggenggam erat-erat sapu tangannya. Jangan-jangan ia tidak bunuh diri, tetapi didorong keluar jendela kamarnya. Saat mencari pegangan, ia bermaksud meraih tangan si pendorong, tetapi yang terjambret sapu tangannya.”

“Jadi selain korban, si pembunuh juga berinisial SK.” 

“Selain itu, pembunuhan terjadi jauh malam dalam hotel di tempat permandian air panas yang terpencil. Hotel seperti itu siang-siang sudah mengunci pintu. Malam itu tidak ada yang permisi masuk atau keluar. Artinya si pembunuh juga penghuni hotel. Si adik tentu sudah ke Hotel Bokiso dan meminta daftar nama orang yang menginap di sana malam itu. Karena itulah kita terpilih diundang ke mari. Ia bisa mendapat nama, alamat, dan keterangan lain tentang kita dari kartu registrasi.”

“Tapi buat apa dia mengundang kita lalu tidak muncul? Apa ia ingin menuntut balas pada kita semua?”

“Pembunuhnya salah satu dari kita. Si adik pasti berharap, kalau kita mengobrol, kita bisa menemukan identitas si pembunuh.”

Kogawa merasa lelah. Kaki Shinobu Komai makin kencang goyangannya, pertanda gelisah. Shiro Kayama duduk dengan mata terpejam, seperti tidak mendengarkan. Sojuro Koshikawa memandang setiap orang dengan saksama. Setsuko Kijima dengan bahu tegak dan suara ketus berkata, “Mengerikan! Ada pembunuh di antara kita.”

 

Semua tak punya alibi kuat

Tidak seorang pun di antara mereka punya alibi yang jelas. Karena itu rupanya adik Suzuko Kume memilih mereka. Semua, kecuali Kogawa, sendirian di kamar masing-masing. Mereka leluasa keluyuran di hotel di tengah malam itu. Sedangkan Kogawa, meski bersama juru potret, bisa saja ia membuat si juru potret tutup mulut atau bahkan bersekongkol.

“Pepesan kosong semua!” kata Komai sambil membuka mata. Ia menggebrak tepi meja dan bangkit, lalu menuding Kogawa. “Khayalanmu berlebihan. Kamu cuma menebak-nebak.”

Kogawa berusaha mengendalikan diri. “Baik. Mungkin cuma khayalan, tapi bukan tanpa dasar.” 

“Kamu lupa hal terpenting,” kata Kayama sambil menatap garang. “Sehari setelah peristiwa itu, kudengar pelayan-pelayan berkata, ditemukan tiga surat tulisan tangannya bahwa ia akan bunuh diri.” 

Kijima mengangguk. “Saya juga mendengar.” Ia mengambil posisi sebagai sekutu Kayama. Shinobu Komai juga mendengarnya. 

Kayama tampak jauh lebih percaya diri sekarang. 

“Tiga surat yang menyatakan akan bunuh diri adalah bukti kuat ia bunuh diri. Tak rasional menyatakan wanita itu dibunuh.”

“Saya ingin tanya,” jawab Kogawa dengan tenang. “Betulkah kalau ditemukan surat yang menyatakan seseorang bunuh diri, kita tidak bisa meragukannya lagi?” 

Kayama mengangkat bahu. 

“Meski ada surat seperti itu, mungkin saja di saat terakhir ia mengubah niat.” 

“Tapi ‘kan...”

“Di saat terakhir Suzuko Kume memang mengubah niat.” 

“Berkhayal lagi.”

“Tidak. Ini fakta. Sesaat sebelum tewas, Suzuko Kume menelepon ibunya di Kanazawa. Mereka berdiskusi selama sejam. Saya bertemu dengan orang tuanya. Suzuko mengaku, ia pergi ke Shirahama dengan niat bunuh diri. Tentu itu sangat mengguncang perasaan ibunya. Sejam kemudian si ibu berhasil mengubah niat anaknya.”

“Bisa saja dia berjanji, tapi berubah pikiran lagi.” 

“Coba pikir. Ia sempat tertawa dan berkata, bunuh diri memang bodoh. Perlu waktu cukup lama bagi orang yang berpola pikir seperti itu untuk menjadi putus asa lagi. Padahal selang waktu antara berhenti berbicara dengan ibunya dan jatuh cuma enam sampai tujuh menit.”

“Menurut buku catatan hotel, pembicaraan telepon Suzuko berakhir pukul dua lewat lima menit. Satpam melihatnya jatuh dan bergegas ke sana pukul dua lewat sebelas atau dua belas menit. Waktu itu Suzuko sudah tidak berniat bunuh diri, tapi belum sempat menyingkirkan tiga surat yang ditulis sebelum menelepon ibunya.

“Si pembunuh tidak tahu soal niat bunuh diri Suzuko, pembicaraan telepon yang mengubah niatnya, juga keberadaan tiga surat dalam tasnya. la pasti senang saat esoknya tahu perihal tiga surat itu dan tentang sapu tangan berinisial nama korban.”

 

Mestinya wanita

Kayama mengatakan tidak punya motif apa pun untuk membunuh Suzuko Kume. “Saya kebetulan saja menginap dalam perjalanan ke Wakayama untuk mengunjungi kerabat. Saya belum pernah melihatnya,” ujarnya dengan suara yang tidak lagi garang.

Shinobu Komai menoleh malu-malu ke Kogawa dan bertanya, “Apa yang bisa menjadi motif untuk membunuhnya?” 

“Menurut saya, pembunuhnya pasti wanita,” sahut Kogawa yakin. Shinobu Komai terkejut. Begitu juga Setsuko Kijima. Wajah keduanya memucat. Kalau si pembunuh adalah seorang dari mereka berlima dan perempuan, berarti hanya salah satu dari mereka berdua.

Sojuro Koshikawa meletakkan tangannya di atas meja. “Pak Kogawa,” katanya. “Apa alasan Anda melemparkan dugaan itu?” 

“Karena tanpa ragu Suzuko membiarkannya masuk kamar, padahal sudah dini hari. Pukul sekian orang biasanya sudah mengunci pintu dan tidak biasa ada tamu. Setelah mengetuk pintu, pembunuhnya pasti berbicara dulu dengan Suzuko. Bisa saja ia mengaku ada soal penting. Kalau suaranya suara pria, pasti Suzuko lebih berhati-hati. Mungkin ia baru mau bertemu esoknya di lobi. Atau ia tidak akan membukakan pintu.”

 

Siapa yang punya motif?

“Cuma karena itu?” 

“Ada lagi. Sapu tangan itu. Laki-laki takkan terus-menerus memegangi sapu tangan. Kita mengeluarkan kalau perlu, untuk menyeka keringat misalnya. Lalu memasukkannya lagi ke saku. Tapi berbeda dengan perempuan.”

“Betul,” kata Koshikawa. 

“Selain itu Suzuko ‘kan berniat bunuh diri gara-gara hubungan cintanya dengan pria beranak-istri. Menurut yang saya dengar, semula hubungan itu mulus. Lalu si istri tahu, terjadilah pertengkaran. Pria itu pun meminta agar Suzuko mengakhiri hubungannya. Itu terjadi tiga atau empat hari sebelum ia tewas.”

“Jadi, menurut Anda, motifnya berkaitan dengan masalah itu?” 

“Bertemu wanita muda kekasih suaminya bisa membuat seorang istri cukup kalap untuk membunuh. Karena hubungan itu baru diputuskan tiga empat hari sebelumnya, bisa saja ia belum tahu. Ia mungkin menduga hubungan mereka masih berlangsung.”

Koshikawa berhenti bertanya. Ruangan hening. 

Shinobu Komai berseru, “Saya tidak menikah. Saya belum bersuami. Saya tidak punya motif.”

Para pria memandangnya, lalu pelahan-lahan mengalihkan mata ke Setsuko Kijima. Perempuan itu terhenyak di kursi. Tiba-tiba ia tersedu-sedu. Bahunya terguncang-guncang. 

“Kalau saja saya tahu dia sudah memutuskan hubungan. Oh! Kalau saja saya tahu ia pergi ke Shirahama untuk bunuh diri. Semua ini tidak akan terjadi. Suami saya bilang akan ke Osaka. Sementara detektif sewaan saya melaporkan, perempuan itu ke Shirahama. Saya pikir, mereka akan bertemu di sana. Saya bergegas menyusul ke Hotel Bokiso.”

Semua orang membisu. Lalu Setsuko Kijima memanggil sendiri polisi dan mengaku membunuh. Dua detektif dan seorang polwan datang menjemputnya.

“Harapan adik Suzuko tercapai,” kata Sojuro Koshikawa. “Pasti ia sangat senang.” 

“Sayang ia tidak muncul,” kata Kogawa. “Seperti apa ya, dia? Saya ingin tahu.”

“Yang jelas ia cerdas. Kalau jadi dia, saya pun tidak akan muncul. Sudahlah, lupakan saja dia.”

Tiga pria itu berniat menginap di sana dan menikmati liburan di laut esok harinya. Kayama segera masuk ke kamar. Shinobu Komai bangkit. “Permisi. Saya pamit,” katanya seraya membungkuk pada Koshikawa dan Kogawa. Mereka melihatnya berlalu. Tidak mungkin mereka memintanya untuk menginap bersama mereka.

Ketika keluar dari lift di lantai dasar, Shinobu Komai merasa sangat berterima kasih kepada Sadahiko Kogawa. Untung ada orang seperti itu dalam kelompok mereka. Kalau tidak, akan lebih sulit lagi menjebak si pembunuh.

Kepada resepsionis ia berkata, “Tiga orang akan menginap. Kalau ada biaya tambahan, akan saya bayar sekarang.”

“Oh, Anda Miss Nakamura rupanya,” kata resepsionis sambil tersenyum. “Tidak ada. Pembayaran sebelumnya sudah mencakup semua.” 

Shinobu Komai alias Nona Nakamura alias Miyoko Kume, meninggalkan Hotel Kawazu. Ia tidak sesenang dugaan orang. Hatinya terasa kosong dan gelap, segelap laut di hadapannya. (Saho Sazazawa)

Baca Juga: Bermodal Asuransi

 

" ["url"]=> string(47) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605988/sk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670836535000) } } }