array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400903"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/mayat-di-pohon-beringin_brandon-20220803014833.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "Santoso ditemukan tewas tergantung di pohon di sebuah pemakaman. Rupanya ada seseorang yang ingin membuatnya seakan tewas gantung diri."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/mayat-di-pohon-beringin_brandon-20220803014833.jpg"
      ["title"]=>
      string(23) "Mayat di Pohon Beringin"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 13:48:53"
      ["content"]=>
      string(39713) "

Intisari Plus - Santoso ditemukan tewas tergantung di pohon di sebuah pemakaman. Rupanya ada seseorang yang ingin membuatnya seakan tewas gantung diri.

-------------------

Pagi itu, Jumat 27 September 1996, Taman Permakaman Umum Bonoloyo, Solo, masih tampak sepi. Tiba-tiba, kesunyian dipecahkan jerit ketakutan seorang bocah. Warto yang mengenakan seragam SD berlari di jalan setapak kompleks makam sambil berteriak-teriak ketakutan. Ketika itu, baru pukul 06.40. Warto biasa memotong jalan melalui pemakaman menuju ke sekolahnya.

Pak Udin, juru kunci makam keluar dari rumahnya dan bertanya, “Ada apa, Nak?”

Dengan tersengal-sengal, Warto mencoba menjawab, “Ada ... ada ... hhh ... hhh ... orang ... hhh ... gantung diri... hh ... di pohon beringin!”

Di tengah TPU itu memang ada sebatang pohon beringin. Setengah jam kemudian kompleks TPU Bonoloyo itu pun ramai didatangi orang yang mendengar kabar menggegerkan itu. Pak Udin bertindak arif. Orang-orang dilarangnya mendekati tempat kejadian perkara (TKP) karena khawatir mengubah, merusak, atau mengambil sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti.

Di cabang pohon beringin menggantung sesosok mayat. Laki-laki muda itu bertubuh jangkung, kulitnya agak kehitaman, dan rambutnya keriting. la mengenakan jaket, celana jins, dan sepatu kets berwarna abu-abu. Kakinya terjuntai kira-kira 2 meter dari atas tanah, kedua tangannya terkulai lepas ke bawah. la tergantung pada tambang plastik sebesar kelingking, berwarna biru tua. Tambang itu cukup panjang. Meski sudah dililitkan beberapa kali ke cabang pohon, sisanya masih menjulur ke bawah di sisi tangan mayat.

Tidak lama kemudian datanglah rombongan Lurah Ali bersama Kapolsek Nusukan, Lettu Purnomo, dan wakilnya, Sertu Siswoyo. Siswoyo menyandang tas kamera beserta peralatannya.

Beberapa saat kemudian datang rombongan kedua, sebuah ambulans polisi membawa dr. Chaniago beserta dua asistennya.

Pada tubuh korban tidak ditemukan KTP ataupun surat yang bisa menjelaskan identitasnya. Tidak ditemukan pula tanda-tanda penganiayaan. Setelah difoto, mayat diturunkan dan direbahkan di brankar sebelum difoto lagi. Lettu Purnomo dengan saksama memeriksa sekitar TKP. Pandangannya tertumbuk pada sepotong puntung rokok dekat pohon beringin. Puntung rokok kretek bersetrip kuning itu merupakan rokok merek terkenal. Benda itu dijepitnya dengan pinset dan dimasukkan ke kantong plastik.

Dr. Chaniago mendekati dan berbisik, “Let, korban sepertinya tidak gantung diri, tapi dibunuh.”

“Anda yakin, Dok?” bisiknya. Lettu Purnomo diam-diam sudah menduga serupa sebab tidak ada kursi atau apa pun yang bisa dipakai pijakan oleh korban sebelum lehernya terjerat tali gantungan.

Dokter setengah baya, ahli forensik lulusan Universitas Gadjah Mada itu, mengangguk memastikan. Orang yang gantung diri biasanya buang air seni bahkan kotoran keluar sekalipun sedikit karena mekanisme mengejan mendadak saat tali menjerat leher. Hal itu tidak ditemukan pada mayat. Mata mayat pun tidak melotot, lidahnya tidak terjulur. Malah meringis seperti menahan sakit.

“Lantas, apa penyebab kematiannya?” tanya Letnan. 

“Mungkin diracun. Di kepalanya tidak ada tanda-tanda bekas pukulan.” 

“Jadi dibunuh lalu digantung?” 

“Persis!”

Lettu Purnomo memerintah Sersan Siswoyo untuk segera mencetak foto korban.

“Kita akan segera mengadakan konferensi pers dan menunjukkan foto itu. Siapa tahu ada yang mengenali korban sehingga identitasnya cepat ketahuan. Tolong talinya dicopot dari leher korban dan masukkan ke kantung ini.”

Ternyata ujung tali bukan dipotong, tetapi disulut dengan api. Entah dengan api rokok, entah dengan korek api. Di dekat ujung tali ada bintik-bintik putih kecil, seperti kena percikan cairan berwarna putih.

 

Gagal jadi lurah

Harry Mohtar adalah wartawan surat kabar sore terbitan Solo. la banyak meliput kegiatan di pedesaan. Siang itu, ia sedang menuju studio foto New Hawaii di pojok perempatan Pasar Nusukan, ketika berpapasan dengan Sertu Siswoyo.

“Pak Sis, sibuk amat sampai ndak ngenali saya!”

“Eh, Pak Harry. Nanti Anda saya undang ke konferensi pers.” 

“Memang ada apa?”

“Ada kasus gantung diri. Korban tidak beridentitas sama sekali. Nanti kalau fotonya dimuat di koran, masyarakat yang mengenalnya bisa lapor,” katanya sambil menyodorkan album foto yang belum sempat dimasukkan ke dalam tasnya.

“Lho, ini ‘kan Santoso, anak Blulukan!” seru Harry kaget.

“Wah, Anda kenal, ya?” 

“Dia ‘kan dulu calon lurah di desanya, tapi tidak terpilih,” kata Harry. “Saya cukup akrab dengan dia. Waktu kampanye dia banyak meminta tolong saya.”

“Kebetulan! Tolong ceritakan apa yang Anda ketahui tentang Santoso.”

Santoso Putra adalah satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara putra mendiang Pak Somaprawiro, mantan lurah Blulukan. Dia anak nomor dua. Ia agak ugal-ugalan karena dimanjakan oleh ayahnya. Begitu cerita Harry Mohtar.

Harry melanjutkan, “Tahun 1984 Somaprawiro pensiun, digantikan oleh Sumarto yang tahun 1993 dipecat lantaran ketahuan menyalahgunakan dana Banpres. Antara 1993 - 1995 kursi lurah Blulukan lowong. Baru awal 1996 diadakan pemilihan lurah. Santoso ikut mencalonkan diri, bersaing dengan dua calon lainnya. Namun ia kalah, padahal isi kantongnya sudah habis terkuras.

“Santoso jadi frustrasi. Tambah lagi beberapa hari kemudian ayahnya meninggal akibat serangan jantung.” 

“Banyak utangnya, ‘kali?” 

“Mungkin saja! Kasihan dia, padahal orangnya pintar.” 

“Pendidikannya? “ 

“Pernah kuliah di Yogya, Politeknik D3, tapi baru 2 tahun keluar karena ikut pemilihan lurah itu.”

 

Istrinya minggat

Sabtu 28 September 1996, empat koran pagi memuat berita tentang kematian Santoso. Polisi sengaja tidak menyebutkan bahwa korban dibunuh sebelum digantung.

Pukul 10.00, Lettu Purnomo dan Sertu Siswoyo meluncur ke rumah korban di Desa Blulukan, Kecamatan Colomadu, diantar oleh Harry Mohtar.

Rumah mantan lurah Somaprawiro itu sepi. Setelah lama mengetuk-ngetuk, barulah pintu dibukakan. Ternyata oleh Ny. Somaprawiro yang sudah tua. Ibu mendiang Santoso itu menyongsong Harry Mohtar dengan senyum ramah.

“Cari Santoso ya, Nak? Ndak ada tuh. Sejak Rabu malam tidak pulang.”

Ketiga tamu saling berpandangan. Mereka tidak tega mengabarkan apa yang terjadi. Benar saja. Perempuan malang itu pingsan ketika mendengar kematian putra kesayangannya.

Lalu dari dalam berlarian datang dua adik Santoso untuk menolong ibu mereka. Polisi lantas meminta keterangan dari kedua gadis itu. Dari salah seorang di antaranya bisa dikorek keterangan.

“Sudah 2 minggu Mbak Dewi purik, pulang ke rumah orang tuanya di Yogya, Pak.” Dewi adalah istri Santoso.

“Kenapa?” tanya Lettu Purnomo.

“Mereka bertengkar karena Mas Santoso jarang pulang. Terakhir sepeda motornya dijual untuk berjudi. Padahal, sepeda motor itu bawaan Mbak Dewi dari Yogya.”

“Sejak kapan Santoso berjudi?” tanya Sertu Siswoyo.

“Dulu sih tidak pernah. Belakangan saja, sejak gagal jadi lurah. Hidupnya kacau,” kata gadis itu sambil menahan tangis.

 

Menikah karena terpaksa

Tanpa kesulitan, Lettu Purnomo dan Sertu Siswoyo berhasil menemukan rumah orang tua Dewi, Tjitrohartono, di Jl. Lempuyangan, Yogyakarta. Rumah itu besar, berhalaman luas, dan sangat menonjol dibandingkan dengan tetangga di kiri kanannya. Rumah itu juga menjadi pondokan mahasiswa dari luar kota.

Tjitrohartono tidak kelihatan terkejut meskipun tahu yang datang itu polisi. 

“Kedatangan Anda ada kaitannya dengan kematian Santoso?” tanyanya.

“Darimana Bapak tahu?” 

“Dari sini,” jawabnya sambil menyorongkan harian pagi terbitan Solo.

“Putri Bapak, maksud saya istri Santoso, juga sudah tahu?” 

“Sudah. Dia syok ketika mengetahuinya. Sekarang ada di kamar, ditunggui ibunya.”

Lalu Tjitro meneruskan, “Dari dulu saya enggak setuju Dewi kawin sama dia tapi anak saya nekat. Padahal, sebelumnya Dewi sudah punya pacar. Tapi ketika ketemu Santoso, eh kok nempel terus kayak kena pelet.”

Kemudian Tjitro menjelaskan, “Mereka berkenalan di rumah ini. Santoso dan pacar Dewi yang dulu, Bambang Avianto, sama-sama mondok di sini.”

“Sekarang Bambang masih di sini Pak?” tanya Lettu Purnomo.

“Sejak Dewi menikah, dia langsung pindah ke daerah Prambanan. Tapi, sampai sekarang hubungan kami masih baik.”

Setelah agak lama hening, dengan hati-hati Lettu Purnomo berkata, “Mungkin Bapak belum tahu kejadian sebenarnya. Santoso tidak gantung diri, tapi dibunuh....”

Tjitrohartono kelihatan terkejut. Buru-buru dikeluarkannya rokok dan pipa gading bersegi enam.

“Maksud Anda?” 

“Ya, dibunuh baru digantung. Kedatangan kami untuk mencari keterangan,” tegas Lettu Purnomo sambil terus mengamati reaksi Tjitrohartono dengan cermat. Ekspresi keterkejutan orang tua itu tidak dibuat-buat. Kemungkinan besar ia memang tidak tahu soal itu.

“Kasihan anak itu,” gumam Tjitro sambil menyulut rokok kretek di pipanya dan menyedotnya dalam-dalam. Lettu Purnomo jadi teringat pada puntung rokok kretek yang dipungutnya di kuburan kemarin.

Karena katanya keadaan Dewi belum memungkinkan untuk ditanyai, kedua polisi itu pamit setelah meninggalkan alamat agar sewaktu-waktu bisa dihubungi.

Berbekal alamat dari Tjitrohartono, mereka mendatangi Bambang di Prambanan. Ternyata, Bambang bersama dua temannya mengontrak sebuah rumah yang tidak besar tapi cukup asri dan bersih. Kedua petugas itu menunggu di ruang tamu.

“Sudah pulang kuliah?” tanya Sertu Siswoyo ketika Bambang menemui mereka.

“Sebetulnya ada kuliah sampai sore tapi kok rasanya ngantuk sekali, ya terpaksa pulang saja.”

“Anda kuliah di mana?” 

“Desain grafis D3...” sahut Bambang.

“Satu fakultas dengan Santoso?” sela Sertu Siswoyo. Tersentak Bambang mendengar nama itu. 

“Tidak. Dia di teknik. Sebenarnya ada apa sih, Pak?” sergah Bambang sedikit gugup.

“Maaf,” sela Lettu Purnomo. “Apakah sampai sekarang Anda masih mencintai atau setidaknya berhubungan dengan Dewi Susanti?”

“Maaf, Pak. Itu cerita lama. Sudah saya lupakan. Mungkin dia memang bukan jodoh saya.”

“Baik! Sekarang to the point saja. Anda berada di mana hari Kamis malam yang lalu?” tanya Lettu Purnomo.

“Sejak sore saya tidak ke mana-mana. Hanya mengobrol dengan kawan-kawan di warung depan. Selanjutnya mengerjakan lemburan,” jawabnya tegas.

“Anda tahu bagaimana kabarnya Santoso sekarang?” potong Sertu Siswoyo. 

“Januari lalu kami ketemu. Dia mengabari akan mencalonkan diri menjadi lurah di desanya ....”

“Tanggapan Anda?” 

“Positif. Amat baik buat dia. Asal tahu saja, sampai kini kami masih berkawan.” 

“Anda tidak mendendam?”

“Itu bukan watak saya. Dulu waktu masih sama-sama di Lempuyangan, dia banyak membantu saya. Maklum, saya ‘kan berasal dari keluarga kurang mampu, sementara dia dari golongan berpunya.”

“Itu ‘kan dulu,” potong Purnomo. 

“Dulu saja begitu, apalagi sekarang. Sudah jadi lurah pasti tambah kaya.” 

“Jangan bercanda!” bentak Sertu Sis. 

“Anda ini belum tahu apa pura-pura tidak tahu?” 

“Kenapa Bapak begitu terhadap saya?” sergah Bambang sengit.

“Santoso sudah meninggal. la dibunuh ...” kata Lettu Purnomo kalem. 

Bambang terperangah. Jiwanya tampak terguncang. Pemuda itu tertunduk di kursinya.

Lalu polisi menanyainya perihal masa ia dan Santoso masih indekos di rumah Tjitrohartono. Bambang bercerita, suatu hari Pak Tjitro dan istrinya pergi meninggalkan rumah untuk suatu keperluan. Ketika itu, semua penghuni pondokan sedang kuliah. Di rumah hanya ada Santoso dan Dewi. Dewi waktu itu baru kelas 3 SMU. Kedua orang muda itu melakukan hubungan layaknya suami istri. Mereka dipergoki oleh Hantoro, adik Dewi. Aib mencoreng keluarga Tjitro. Santoso pulang ke kampung setelah dipaksa menikahi Dewi.

 

Ditemukan racun sianida

Minggu 29 September. Sekitar pukul 14.00, Lettu Purnomo ditelepon Kopral Bagyo, petugas piket di Polsek. Kata Kopral itu, seorang perempuan bernama Dewi Susanti menelepon, memberi informasi yang siapa tahu bisa berguna untuk mengusut kasus ini.

Menurut Dewi, beberapa bulan yang lalu, Santoso sering didatangi orang suruhan Joko Handoyo, pengusaha batik di Prawit, kampung sebelah utara Nusukan. Dari sini Dewi tahu bahwa Santoso mempunyai utang 85 juta rupiah yang akhirnya berbunga menjadi 145 juta rupiah. Uang pinjaman itu digunakan untuk biaya kampanye pemilihan lurah Januari lalu.

Sore harinya, Lettu Purnomo dan Sertu Siswoyo sudah berada di rumah pengusaha Joko Handoyo. Tuan rumah yang berperawakan tinggi gemuk, berkulit warna terang itu menerima mereka dengan tidak ramah. 

“Apa yang bisa saya bantu, Pak?” nada suaranya datar. 

“Tentang Santoso,” kata Lettu Purnomo. 

“Oh ya, dia meninggal gantung diri?”

“Apa benar Santoso mempunyai utang kepada Bapak?” 

“Tapi sekarang sudah lunas.” 

“Lunas karena meninggal?” 

“Tidak! Karena sudah ditukar dengan 2 ha tanah.”

“Lokasinya di mana?” sela Sertu Siswoyo. 

“Di Desa Sekip, di sebelah utara Joglo, di pinggir jalan besar.” 

“Itu tanah siapa?” 

“Tanah atas nama Domoprawito, kakek Santoso.”

“Apa tidak rugi uang 145 juta rupiah ditukar dengan 2 ha tanah?” 

“Memang. Kalau dihitung-hitung sampai bulan lalu, uang itu sudah menjadi 170 juta rupiah. Tapi biarlah, saya sudah tidak memikirkannya lagi.”

Pukul 22.00, sesudah menurunkan Sertu Siswoyo di asramanya, buru-buru Lettu Purnomo pergi ke kantornya. Badannya sudah lelah, padahal hasil penyidikannya belum kelihatan. la termenung di belakang meja kerjanya. Di hadapannya tergeletak memo dan sebuah STNK kendaraan. Memo itu dari dr. Chaniago dengan pesan, “Harap hubungi saya di rumah sakit sebelum pukul 23.00.” Sedangkan STNK motor itu bernomor polisi Yogya, AB 1780 AD, atas nama Dewi Susanti.

Purnomo segera menghubungi dr. Chaniago. 

“Halo, Dok. Ada kabar baru?” 

“Malam Pak Purnomo. Hasil autopsi mayat korban mengindikasikan adanya racun sianida dalam tubuhnya. Sianida yang dicampur kopi. Dosisnya tinggi, mungkin bisa membunuh gajah seberat 6 ton.”

“Dicampur minuman kopi?” tanya Lettu Purnomo. 

“Ya. Sedangkan bercak-bercak putih di tambang plastik itu percikan cat akrilik, jenis cat yang pengencernya bukan thinner tapi air. Mungkin cat tembok. Yang jelas kualitasnya bagus dan pasti mahal. Oh ya, tadi jenazah sudah dibawa keluarganya.”

Lettu Purnomo meletakkan gagang telepon. Tangan kanannya iseng membuka laci meja. Dijumpainya pisau lipat Victorinox miliknya. Pisau komplet sepanjang 10 cm buatan Swiss itu merupakan hadiah ulang tahun dari istrinya. Tanpa berpikir pisau itu dimasukkan ke sakunya.

Senin 30 September, sekitar pukul 10.00, Pratu Usman mengantarkan seseorang berperawakan pendek gempal dan berkulit hitam memasuki ruang Lettu Purnomo. Orang itu terpaksa dibawa ke kantor karena melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membawa SIM. Dia mengaku sebagai pemilik motor dan pemegang STNK yang kemarin disita polisi.

“Nama Anda?” tanya Purnomo kalem. 

“Nurjaman, Pak. Nurjaman,” jawabnya polos. 

“Pak Nurjaman, ini motor siapa? Menurut STNK, motor AB 1780 AD ini milik Dewi Susanti tetapi Bapak mengakuinya sebagai milik Anda. Bagaimana?”

“Saya beli dari Santoso, Pak. Ini kuitansinya. Santoso punya utang sama saya,” jawabnya gusar. 

“Berapa?” desak Lettu Purnomo. 

“Tiga juta, Pak.”

Purnomo diam sejenak. Lalu katanya, “Pak Nurjaman, motor ini sebenarnya bukan milik Santoso tapi milik Dewi Susanti. Jadi, kuitansi atau surat jual beli ini tidak sah. Bahkan Anda bisa dituduh sebagai penadah.”

“Tapi, saksinya ‘kan banyak, Pak. Saya juga punya kuitansi pembelian dari Santoso.” 

“Ini bukan saksi, tapi persekongkolan,” potong Lettu Purnomo. “Begini saja, motor boleh Anda bawa pulang tetapi dengan janji tidak boleh dijual atau digadaikan. Sewaktu-waktu pemilik yang sah ingin menebusnya, Anda harus berikan. Mengerti?” 

Sikap dan penjelasan Lettu Purnomo yang lugas dan tegas membuat Nurjaman hanya bisa mengangguk mengiyakan.

“Saya minta alamat Anda, supaya bisa dihubungi sewaktu-waktu untuk melengkapi keterangan tentang Santoso. Oh, apa yang Anda ketahui tentang Santoso sekarang?” 

“Katanya sudah meninggal.”

“Kok, katanya. Katanya siapa?”

“Katanya orang-orang dan juga surat kabar, Pak.” 

Mendengar jawaban Nurjaman yang kelihatan naif dan ketidakmampuannya menyebut “r” dengan sempurna membuat Lettu Purnomo geli dalam hati. Namun, ia merasa Nurjaman tidak senaif itu.

 

Mobil boks berwarna putih

Kamis 3 Oktober 1996. Pukul 21.15 pertunjukan kedua di bioskop UP usai. Di antara kerumunan penonton yang keluar dari gedung bioskop terdapat Lettu Purnomo yang istrinya sedang menengok orang tua ke Lampung. la berjalan gontai dan tidak ingat lagi jalan cerita film yang ditontonnya saking lelah dan pusing memikirkan penyidikan yang belum membuahkan hasil.

la melambaikan tangannya memanggil taksi. 

“Ke mana, Pak?” 

“Nusukan tapi jangan ngebut.”

“Beres, Pak. Kalau bawa taksi saya selalu berhati-hati. Tapi celakanya kalau orang lain yang tidak hati-hati, kita bisa jadi korban juga, Pak. Jumat dini hari, saya ditabrak mobil boks dari samping di dekat TPU Bonoloyo. Padahal, taksi saya sedang berjalan pelan.”

Mendengar kata Bonoloyo, Purnomo jadi tertarik. 

“Jumat dini hari ... pukul berapa?”

“Hampir pukul 3.00. Saya baru saja mengantarkan Pak Sastro ke Bonoloyo. Jalan saya lurus dan pelan. Tiba-tiba dari sebelah kanan ada mobil boks ngebut. Tanpa lampu, lagi! Dia langsung belok kanan sejajar taksi saya, nyenggol lampu kecil saya sampai pecah.”

“Enggak dikejar?” 

“Dikejar, Pak! Tapi dia terus ngebut. Sampai perempatan Joglo dia langsung belok kanan jurusan Kalioso. Padahal saya harus ke kiri, pulang ke pool di Prawit.”

Lettu Purnomo menyimak. Ketika taksi sudah melewati daerah Balapan ia bertanya, “Pak Sastro itu siapa?”

“Pak Sastrosumarto, orang Bonoloyo yang suka nyepi dan tirakat. Setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon dia selalu ke makam Raden Yosodipura di Penging.”

Purnomo mereka-reka, lalu katanya, “Mobil boks warna putih? Ingat nomor platnya?” 

“Ingat, Pak. Lha nomornya persis tanggal lahir anak saya: AD 5379. Cuma huruf di belakangnya saya tidak hafal.”

Jumat 4 Oktober 1996 diperoleh data, mobil boks bernomor polisi AD 5379 DX tertera sebagai milik Gunadi, pengusaha tembakau di Kampung Krembyongan.

Tanpa buang waktu, siang itu juga Lettu Purnomo dan Sertu Siswoyo mendatangi rumah Gunadi yang besar bercat putih. Di sebelahnya berderet bangunan tinggi tempat mengeringkan daun tembakau. Daun tembakau kualitas bagus perlu digantung dan diangin-anginkan dulu sebelum dimasukkan ke oven. Cuma daun kualitas rendah boleh langsung dirajang, dijemur, dan disemprot saus rokok sebelum dijual sebagai tembakau rokok linting.

Sesudah memarkir mobilnya, kedua polisi itu melihat-lihat berkeliling. Halaman rumah Gunadi amat luas. Di mana-mana terlihat daun tembakau tergantung pada tambang-tambang yang direntangkan. Di pojok sebelah kanan rumah induk terlihat mobil boks berwarna putih susu. Beberapa orang sedang mengeluarkan daun tembakau yang masih hijau dari dalamnya. Lettu Purnomo mendekati mobil itu. la terkejut ketika seseorang menegurnya.

“Eh, Pak! Mari masuk.” Orang itu tidak bisa melafalkan bunyi “r” dengan sempurna. Purnomo jadi ingat siapa dia. 

“Lo, Pak Nurjaman. Anda bekerja di sini, ya?”

“Ya, eh, cuma kuli, kok.” 

“Pak Gunadi ada?” 

“Ada, Pak. Biasanya jam-jam begini beliau di ruang tengah.” 

Lettu Purnomo sengaja mengambil jalan melewati samping kiri mobil boks itu. la melirik dan kelihatan lampu kecil mobil itu pecah, sedangkan bodinya penyok.

Di ruang tengah, Gunadi yang berusia sekitar 50 tahun sedang duduk sendirian di sofa sambil membaca koran. 

“Ada keperluan apa, Pak?” 

“Menurut informasi, Jumat dini hari minggu yang lalu mobil Bapak lewat di samping makam Bonoloyo. Kebetulan, saat itu di kompleks makam ada kasus pembunuhan. Maka saya ingin bertanya kepada sopirnya, mungkin tahu atau melihat hal-hal yang mencurigakan saat itu.”

Gunadi menjawab, “Wah, saya tidak tahu. Mobil itu sering dibawa pulang Supri, sopir saya.” 

Lettu Purnomo minta dipertemukan dengan Supri. Menurut Supri, malam itu Nurjaman yang memakai mobil itu. Nurjaman harus hadir pagi-pagi karena perlu mengantarkan tembakau ke daerah Klaten.

Sementara itu, kedua polisi disuguhi kopi. Gunadi menyulut rokok kretek merek terkenal yang bersetrip kuning. Tampaknya ia sangat menikmati rokok itu. Ia bercerita, sejak kaki kanannya lumpuh akibat stroke 5 tahun lalu, bisnisnya diambil alih oleh istrinya, Damayanti. Sebelum beristrikan Damayanti, ia pernah menikah tetapi istrinya yang pertama meninggal akibat kanker 10 tahun lalu.

Sehabis ngopi, Lettu Purnomo permisi ke kamar kecil. Meskipun rumah itu besar tetapi sebenarnya tidak berbeda dengan rumah kampung di kawasan itu pada umumnya. Kamar mandi dan WC berada jauh di belakang. Lettu Purnomo harus melewati halaman belakang. Ia mengamati kelilingnya dengan saksama. Seperti di halaman depan, di sini pun banyak dijumpai tambang-tambang jemuran daun tembakau yang terbentang berjajar. Lewat lubang angin dari dalam kamar mandi yang serba putih, Lettu Purnomo bisa melihat ke halaman. Sebagian dari tali-tali jemuran tembakau itu diikatkan pada kisi-kisi kamar mandi. Ujungnya panjang berjuluran.

Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada tali plastik biru tua yang terikat pada salah satu kisi kamar mandi. Ujungnya bekas diputuskan dengan dibakar. Selain itu ada noda-noda putihnya seperti tali yang diselidiki dr. Chaniago. Mungkin cat tembok yang terpercik saat mengecat dinding kamar mandi ini. Tanpa pikir panjang, dipotongnya tali itu dengan pisau Victorinox-nya, lalu dimasukkan ke saku celana. Dikeroknya juga sedikit cat dinding.

Pukul 19.00 lewat sedikit, Lettu Purnomo dan Sertu Siswoyo sudah berada di laboratorium RS Polri, menemui dr. Chaniago. Dengan mata telanjang pun dokter itu sudah bisa memastikan, tali ini bagian dari tali yang dipakai menggantung mayat Santoso. Noda-noda di tali itu memang percikan cat tembok yang jenis maupun formulanya sama dengan cat yang dikelupas Lettu Purnomo dari dinding kamar mandi di rumah Gunadi.

Sabtu 5 Oktober 1996. Sesudah apel peringatan Hari ABRI, tanpa mendapat perlawanan berarti, tim petugas kepolisian meringkus Gunadi, Nurjaman, dan Salim, salah seorang penjaga malam.

 

Cinta segi tiga

Peristiwa ini ternyata berawal dari pertemuan Santoso dan Damayanti di sebuah tempat kursus komputer di Solo, 5 tahun sebelumnya. Damayanti yang 4 tahun lebih tua dari Santoso, jatuh hati pada pemuda yang baru lulus SMU itu. Santoso yang masih lugu menanggapinya sebagai hubungan antara kakak adik. Cinta Damayanti pun pupus seiring dengan selesainya kursus. Mereka tidak pernah bertemu lagi sampai 2 tahun kemudian di Bandara Adisumarno.

Saat itu Santoso bekerja di sebuah agen perjalanan yang berkantor di bandara itu. Damayanti yang semakin cantik dan sudah menjadi Ny. Gunadi, juragan tembakau yang terkenal di Solo, sering bepergian ke luar kota dengan pesawat.

Pertemuan itu menimbulkan kesan mendalam di hati kedua insan berlainan jenis itu. Terdorong oleh keinginannya untuk selalu berdekatan, Damayanti meminta Santoso bekerja di perusahaannya dengan iming-iming gaji lebih besar. Gayung pun bersambut. Santoso menjadi salah seorang karyawan Gunadi. Kariernya cepat menanjak. Dari cuma mencatat keluar masuknya barang, kemudian dipercaya menjadi kasir.

Gunadi tidak menaruh curiga kepada istrinya, bahkan ketika Damayanti mulai mengajak Santoso ke pasar-pasar tembakau di Wonosobo, Jember, Bondowoso, bahkan Medan. Padahal, hubungan Damayanti dengan Santoso sudah bukan lagi hubungan antara majikan dan karyawan. Gunadi memang jauh lebih tua dari istrinya dan setengah lumpuh.

Kecurigaan baru timbul, ketika Gunadi meneliti rekening koran istrinya. Puluhan juta rupiah keluar tidak ketahuan juntrungnya. Ketika ditanyakan, Damayanti malah marah-marah.

Ngopo Bapak ngurus-ngurus uang. Itu ‘kan hasil jerih payahku. Tahu sendiri, selama ini ‘kan aku yang kerja keras. Bapak cuma di rumah, baca koran.”

Pedih hati Gunadi mendengar kilah istrinya. la bukan orang bodoh. la tahu uang itu dipakai foya-foya oleh istrinya bersama Santoso. Timbullah keinginan Gunadi untuk memisahkan mereka. Setelah dibujuk, Santoso bersedia untuk meneruskan sekolah ke Politeknik D3 di Yogyakarta atas biaya Gunadi. Gunadi percaya, jarak yang jauh dapat memisahkan Santoso dari istrinya.

Gunadi keliru. Setiap Sabtu dan Minggu, sampai sore kedua insan yang dimabuk asmara itu tetap bisa berasyik-masyuk di sebuah hotel mewah di kawasan Jl. Slamet Riyadi, Solo. Bahkan uang istrinya masih terus mengalir ke rekening Santoso.

Hati Gunadi kembali lega ketika beberapa bulan kemudian mendengar Santoso menikah. la pikir, perselingkuhan istrinya dengan Santoso pasti berakhir. Dugaannya keliru. Suatu hari, ia menemukan surat dari Santoso untuk istrinya. Isi surat itu antara lain, “Mbak Yanti, saat ini saya terdesak sekali, butuh uang 90-100 juta rupiah untuk biaya pemilihan lurah bulan depan. Kalau Mbak Yanti tidak bisa, ya terpaksa tanah di Sekip itu saya jual....

Dari surat itu pula Gunadi tahu, sebagian deposito istrinya ternyata dipakai membeli tanah untuk Santoso. “Jahanam! Ini harus dihentikan,” pikir Gunadi. Kekayaan yang dikumpulkannya bertahun-tahun bersama almarhumah istrinya yang pertama bisa-bisa amblas. Ia merasa berdosa kepada istri pertamanya. la lalu teringat pula pada anak tunggalnya dari istri pertama yang kuliah di tingkat akhir Fakultas Farmasi di Semarang. Lebih dari itu harga dirinya sebagai laki-laki akan terus diinjak-injak.

Hari berganti, bulan terus berjalan. Pada suatu hari, ia memergoki lagi surat dari Santoso untuk istrinya. Seperti biasa, surat itu dititipkan kepada pembantu kepercayaan istrinya tetapi Gunadi berhasil mendapatkannya. Pada saat itu, Damayanti sedang keluar kota. Pendek saja bunyi surat itu, “Mbak Yanti, saya akan buka usaha bengkel sesuai keterampilan saya. Tolong saya diberi modal 25 – 30 juta rupiah saja, nanti ceknya saya ambil di tempat biasa. Selalu, Santoso.

Surat itu dimanfaatkan Gunadi untuk menjebak Santoso. Setelah berunding dengan tiga anak buahnya, Gunadi memutuskan, Santoso harus dihabisi.

Lalu, dibuatlah surat balasan seakan-akan dari Damayanti, “Dik Santoso, ini ada uang, pakailah dulu. Saya lagi sakit, datang saja ke rumah. Aman kok, sebab Bapak sedang berobat ke Semarang. Cepat, saya tunggu.”

Tanpa curiga, hari Kamis malam Jumat Kliwon Santoso memenuhi permintaan itu. Ketika memasuki ruang tengah yang dijumpainya bukan Damayanti melainkan Gunadi. Menyadari hal itu, semula ia hendak melarikan diri tetapi Salim dan Nurjaman sigap meringkusnya dari belakang.

“Kenapa mesti buru-buru, Santoso. Rileks saja. Kita omong-omong santai. Ini sudah kusediakan kopi, silakan minum,” ujar Gunadi. Santoso sungkan menolak. Kopi itu diminumnya. Tidak berapa lama kemudian ia tewas.

Begitulah pengakuan Gunadi setelah menjalani pemeriksaan intensif. Sertu Siswoyo dan beberapa staf Polsek Nusukan terbuai oleh pengakuan Gunadi yang disertai derai air mata. Namun, Lettu Purnomo tetap tegar.

“Darimana Anda mendapat sianida? Ini racun paling mematikan,” katanya.

“Saya minta dari anak saya yang kuliah di Farmasi. Saya katakan untuk membasmi tikus yang merusak tembakau. Tapi anak saya sama sekali tidak terlibat,” katanya dengan wajah memelas.

“Kenapa mayat Santoso mesti digantung?” 

“Tadinya mau dibuang di Kali Pepe tapi karena sedang musim kering, saya mendapat gagasan untuk digantung saja supaya memberi kesan gantung diri sebab dia ‘kan memang sedang stres karena terbelit banyak utang.” 

“Kenapa harus di Bonoloyo?”

“Kecuali sepi, pemakaman itu juga sangat luas. Risikonya kecil untuk dilihat orang.” 

Pengadilan menyidangkan perkara ini selama 4 bulan. Gunadi dinyatakan dengan sengaja menghilangkan hak dan nyawa orang lain sehingga divonis 15 tahun penjara dipotong masa tahanan. Sementara pembantunya diganjar masing-masing 7 tahun penjara. (Riady B. Saroso)

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400903/mayat-di-pohon-beringin" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534533000) } } }