array(6) {
  [0]=>
  object(stdClass)#69 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3309922"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#70 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/legenda-zerzurajpg-20220603065130.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#71 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(141) "Petualangan  Count Ladislaus Almasy berburu oasis yang hilang di Gurun Pasir Libya sangat membantu di masa perang. Bahkan akhirnya difilmkan."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#72 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/legenda-zerzurajpg-20220603065130.jpg"
      ["title"]=>
      string(15) "Legenda Zerzura"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 18:52:04"
      ["content"]=>
      string(23921) "

Intisari Plus - Petualang misterius, Count Ladislaus Almasy, berburu oasis yang hilang di Gurun Pasir Libya. Petualangannya di padang gurun juga sangat membantu di masa perang. Bahkan akhirnya difilmkan.

-------------------------

Di suatu tempat, tersembunyi di Gurun Libya yang tak berujung, tersebutlah sebuah oasis indah yang ditanami pepohonan palma yang tinggi dan rimbun, dengan burung-burung berkicau yang bertengger di dahannya. Di sanalah, di reruntuhan sebuah kota kuno yang berdinding putih, seorang raja dan ratu terbaring dalam tidur yang lelap, dan pada suatu hari mereka terbangun ...

Nama oasis itu adalah Zerzura—Oasis Burung-burung Kecil. Dua pria Inggris dan Hongaria mendiskusikannya suatu hari.

"Kau benar-benar tidak memercayainya bukan?" tanya Dr. Richard Bermann, dengan senyuman girang.

Count Ladislaus Almasy, pria Hongaria itu memicingkan matanya di bawah matahari, dan menggelengkan kepalanya tidak sabar. "Kota kuno itu? Tentu tidak. Kota itu adalah mitologi Arab lama dalam Kitab al KanuzThe Book of Hidden Treasures. Akan tetapi, orang membicarakan Zerzura selama ratusan tahun, disebutkan sejak abad ke-13. Meski demikian, menurutku semua itu tak masuk akal kecuali bagi Wilkinson." 

"Wilkinson?" Dr. Bermann memandang temannya penasaran.

"Sir Gardiner Wilkinson. Dialah pria yang pertama menemukan oasis Dakhla," Almasy menjelaskan. "Penduduk setempat mengatakan padanya tentang tiga oasis ke arah Kufra. Tiga oasis tersebut telah ditemukan. Mereka juga menceritakannya tentang tiga wadi (palung sungai yang kering) lain, di jalan menuju Farafra. Diceritakan terdapat pohon palma, air terjun, reruntuhan seperti yang digambarkan dalam legenda. Zerzura ..." mata Almasy menjadi tercenung ketika ia memandang jauh. "Sekarang, bila penduduk Dakhla benar tentang oasis Kufra, mereka pasti benar tentang Zerzura?"

Dr. Bermann mengangguk. Sulit tidak setuju dengan Almasy bila ia yakin akan sesuatu. Almasy bergairah dengan segala hal yang ia kerjakan, terutama gurun pasir—dan legenda Zerzura telah membuatnya terkesima selama bertahun-tahun.

Almasy tidak sendiri dalam kecintaannya terhadap Gurun Libya (yang juga dikenal sebagai Gurun Pasir Barat), padang Sahara luas yang membentang dari Libya bagian timur hingga Sungai Nil di Mesir. Sebelumnya, sudah banyak orang lain yang tertarik datang ke Gurun Libya. Tahun 1879, penjelajah Jerman Gerhard Rohlfs menyeberanginya dari timur. 

Rohlfs telah mencapai oasis Kufra di Libya, tapi nyaris mati saat perjalanan. Ia maupun untanya hampir sekarat karena kehausan, kalau saja hujan yang tidak biasa turun menyelamatkan mereka. Rohlfs menamakan tempat itu Regenfeld (padang hujan). Setelah itu, para petualang mempunyai tradisi untuk berhenti di sana dan meletakkan botol berisi rincian perjalanan mereka.

Kemudian, pada 1920-an, serangkaian penjelajah mulai menelusuri jalan melalui gurun pasir. Salah satunya seorang Mesir yang kaya-raya, Sir Ahmed Hassanein Bey. Ia menemukan dua oasis yang hilang, Arkenu dan Uweinat—tapi bukan Zerzura. 

Orang Mesir yang lain, Pangeran Kemal el Din, memelopori penjelajahan dengan kendaraan traktor, sementara pria Inggris, Mayor Ralph Alger Bagnold, memburu Zerzura dengan mobil. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang menemukannya. Keberadaan oasis itu tetap misterius.

Pada awal 1930-an, Almasy adalah satu-satunya penjelah yang paling ambisius di daerah itu. Pada 1932, ia mengadakan penjelajahan untuk menemukan oasis secara tuntas. Ia diikuti tiga orang Inggris—Sir Robert Clayton East-Clayton, Wing Commander H. Penderal, dan katrografer (pembuat peta bernama Patrick Clayton—serta enam orang Mesir. Mereka bermaksud berburu oasis dengan mobil dan melakukan survei tambahan dari udara dengan pesawat Gypsy Moth bernama Rupert.

Rombongan utama berangkat dari oasis Kharga di Mesir pada 12 April 1932 menuju Gilf Kebir, sebuah dataran tinggi gunung yang luas di sudut tenggara Mesir. Di sanalah, Almasy yakin akan menemukan oasis yang hilang.

Pada 1930-an, penjelajahan gurun pasir telah mencapai banyak kemajuan tapi masih bercampur antara bahaya dan kegairahan. Para penjelajah harus bersikap tenang dan saling menjaga satu sama lain; di sini bukanlah tempat untuk melakukan pertentangan yang tak penting. Keempat orang Eropa itu bekerja sama dan jika mereka saling tidak suka, mereka berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. setidaknya pada waktu itu.

Mereka bergantian menerbangkan Rupert, si Gypsy Moth. Mereka diterpa badai gurun dan dahaga untuk mencapai Gilf Kebir, tempat dimulainya penjelajahan yang sesungguhnya. Ketika mereka makin mendekat, mereka sadar kalau kehabisan air. Pemecahannya cukup mudah, mereka berada dalam jarak yang mencolok dari Kufra, sebuah oasis di Libya. 

"Kita harus menuju Kufra untuk mencari air sebelum meneruskan perjalanan," kata Almasy. "Tidak akan lama."

"Kufra ada di wilayah Italia," ucap Patrick Clayton keberatan. "Kita tak bisa ke sana. Mereka akan menahan kita semua,"

"Jangan bodoh," balas Almasy. "Atas dasar apa mereka melakukan itu?"

"Mereka tidak suka orang Inggris menjejaki wilayahnya—itu penyebabnya!" Clayton, yang terkenal karena ketidaksukaannya pada orang Italia, menghardik.

"Aku bukan orang Inggris," Almasy menegaskan.

"Memang bukan," kata Clayton dengan nada suara tegang. Kedua pria itu saling memandang. Sebuah momen yang aneh. Mungkin itulah tanda bahwa hari-hari penjelajahan gurun yang menggembirkan akan berakhir. Gurun pasir tidak lagi bebas dari batas; bukan lagi tempat persembunyian legenda. Dalam bayang-bayang perang, para penjelajah itu mulai memikirkan kesetiaan. Penjelajahan berarti informasi—karena seluruh pria itu tahu terlalu banyak.

"Bagaimana menurutmu, Panderel?" tanya Almasy tiba tiba.

Wing Commander itu mengangkat bahu. "Kau mungkin benar," katanya kepada Almasy. "Mereka cukup siap menyambutmu. Akan tetapi, aku tentara Inggris. Jika mau pergi, sebaiknya kau sendiri saja."

Maka, Almasy menuju ke barat, meninggalkan sisa anggota tim untuk melakukan penyergapan pertama ke Gilf itu sendirian. Orang Italia menyambutnya dengan hangat. la segera membekali dirinya dengan air dan setelah mengambil foto-foto yang menarik sekali lagi, angkat kaki menuju gurun.

Tanpa kehadiran Almasy, Sir Robert dan Panderel menerbangkan Gypsy Moth di atas Gilf Kebir. Dengan kegirangan yang amat sangat, mereka menemukan sebuah wadi panjang yang ditumbuhi banyak pohon akasia. 

Mungkinkah ini wadi pertama dari tiga wadi yang dibicarakan Wilkinson? Sewaktu Almasy kembali ke perkemahan dan mendengar berita itu, ia pun bergairah. Ia yakin mereka telah menemukan Zerzura. Sekarang tugasnya mencapai wadi itu dengan mobil.

Meskipun dua pria tersebut beberapa kali terbang di atas wadi yang memikat itu, mereka tak dapat menemukan jalan masuk untuk mobil di sekelilingnya—wilayah gurun bergunung Gilf Kebir menghalangi jalan mereka. Mereka menemukan wadi lain, yang berukuran kecil dan tak berarti dibandingkan dengan yang mereka lihat dari udara. Mereka kehabisan waktu. Karena merasa putus asa, mereka pun kembali.

Rombongan ekspedisi mencapai Kairo lagi pada Mei 1932. Pada September tahun yang sama, sebuah tragedi terjadi. Sir Robert Clayton East-Clayton terjangkit infeksi virus akut. Dalam beberapa hari ia meninggal. Usianya baru 24 tahun ketika wafat.

Istrinya, Lady Dorothy, merupakan perempuan berani yang bertekad menyelesaikan penjelajahan yang telah dimulai suaminya. Ia mendiskusikan niatnya dengan Patrick Clayton di Kairo. Cara yang tepat adalah bergabung dengan teman teman suaminya, termasuk Almasy, tapi tiba-tiba, sentimen pribadi Clayton terhadap Almasy tampak mengalahkannya. Clayton tahu benar betapa inginnya Almasy melanjutkan perburuan Zerzura, tapi saat itu ia ada di luar Kairo.

"Almasy tidak akan kembali ke Kairo," Clayton berbohong. "Tapi, saya akan melanjutkan ekspedisi lain sendirian. Saya akan sangat senang jika Anda bergabung."

Lady Dorothy gembira. "Tentu saya akan ikut Anda," katanya pada Clayton. "Ngomong-ngomong, saya tak mau ditemani Almasy. Pria yang tak menyenangkan."

Lady Dorothy juga tidak menyukai Almasy. Menurut dia, Almasy tak dapat dipercaya. Lebih dari sekali, ia menolak menjabat tangan Almasy dalam pertemuan-pertemuan sosial di Kairo. Ketika Almasy kembali ke Mesir—seperti diperkirakan Clayton—Almasy menemui Lady Dorothy yang menyambutnya dengan amat dingin. Almasy mengetahui rencana Lady Dorothy untuk melanjutkan ekspedisi Zerzura dengan Clayton. Almasy jengkel, dan segera membuat rencana sendiri.

Jadilah dua ekspedisi, yang sebagian dikobarkan semangat persaingan, berangkat tahun 1933 untuk berburu wadi Zerzura yang hilang. Kali ini, ekspedisi Almasy menyertakan teman lamanya, Dr. Richard Bermann, seorang jurnalis yang amat tertarik pada legenda lama dan telah sering mendiskusikannya dengan Almasy. Mereka berangkat dari Kairo pada 14 Maret 1933 dengan empat mobil.

Penghentian pertama mereka di Abu Ballas, yang berarti Bapak Kendi. Di situlah, di dalam pasir ditimbun sekitar tiga ratus kendi air. Kendi-kendi itu ditemukan orang Dakhla pada abad ke-19, sewaktu mengejar-ngejar segerombolan perampok gurun pasir. Kendi-kendi tersebut jelas milik gerombolan perampok, yang menjadikannya sebagai pasokan air dalam operasi mereka di gurun pasir.

Dengan bergairah, Almasy membentangkan sebuah peta.

"Lihat di sini, Bermann," kata Almasy kepada temannya. "Kendi-kendi ini terletak sekitar dua pertiga dari jalan antara Kufra dan Dakhla. Ini menunjukkan siapa pun yang melalui gurun pasir perlu berhenti untuk mengambil air di suatu tempat lain juga—sekitar sepertiga dari jalan di antara dua oasis."

Jari Almasy menelusuri rute karavan tua. Ia terhenti di Gilf Kebir.

"Gilf Kebir ... Zerzura?" tanya Bermann dengan senyum. 

"Mengapa tidak?" jawab Almasy.

Mereka meninggalkan Abu Ballas dan menuju ke sisi timur Gilf Kebir, berharap menemukan jalan masuk ke wadi yang mereka pernah lihat tahun sebelumnya. Mereka tidak mendapatkan hasil—tapi itu tak menyurutkan semangat sebelum mereka mendapatkan penemuan lain yang amat berarti. Setiap orang selalu berpikir bahwa tidak ada jalan melalui Gilf Kebir. 

Akan tetapi, mereka salah. Padang yang luas itu sesungguhnya terbagi dua—ada sebuah celah di tengah-tengah yang mengalir dari timur ke barat. Ini bukan wadi, tapi sebuah celah besar di batu cadas. Hanya melalui celah inilah mobil dapat lewat dengan mudah.

"Sangat menarik," gumam Almasy. "Amat berguna sekali." Dengan menggunakan penemuan baru itu, mereka bergerak ke barat menuju Kufra untuk menyimpan perbekalan. Di sana, mereka mendengar kabar tentang ekspedisi lain. Patrick Clayton dan Lady Dorothy telah menemukan jalan masuk ke wadi di Gilf Kebir, dan sekarang mereka puas dan kembali ke Kairo.

"Kita ikuti jejak mereka ke wadi," Almasy segera berujar. "Kemudian kita akan melakukan ekspedisi yang lebih baik bila sudah di sana, mungkin ada petunjuk tentang dua wadi lain. Akan tetapi sebelum pergi, aku mau bicara dengan penduduk setempat."

Almasy yakin bahwa penduduk Kufra pasti tahu tentang wadi yang tersembunyi di Gilf. Meminta mereka menunjukkan wadi itu merupakan sebuah persoalan. Penduduk gurun tidak suka menceritakan rahasia mereka pada orang asing. Akhirnya, ia menjumpai seorang pemandu karavan tua, namanya Ibrahim, yang mau angkat bicara.

"Wadi yang engkau bicarakan itu Wadi Abd el Melik," ia berkata pada Almasy dalam bahasa Arab yang beraksen kuat dan ganjil. "Di dekatnya ada yang lain. Kami menamakannya Wadi Talh."

Setelah sedikit dibujuk, Ibrahim mengatakan jalan mencapai wadi kedua itu. Akan tetapi, ia menolak mengatakan tentang wadi ketiga. Puas sesaat, rombongan ekspedisi berangkat lagi.

"Wadi Abd el Melik dan Wadi Talh," Almasy termenung saat mereka berjalan. "Cuma dua. Apakah menurutmu Ibrahim tua itu jujur?"

Mereka menjejaki jalan melalui Gilf, menelusuri jalur ekspedisi Clayton, dan akhirnya menerobos ke Wadi Abd el Melik. Jalan panjang yang dihiasi pohon-pohon akasia, tapi tidak ada lagi yang dapat dikatakan tentang jalan itu. Seluruh tetumbuhan kering dan layu: ada dua air terjun cadas yang kecil, tapi hampir kering. Tempat itu hampir tidak seperti gambaran sebuah surga.

Namun, Almasy masih bertekad untuk menemukan Wadi Talh. Bersama salah seorang pria Arab, ia menyusuri rute tandus menuju puncak dataran Gilf dan mengikuti petunjuk Ibrahim. Tak lama, hampir pasti, ia akan menemukan wadi lain yang dipenuhi pepohonan akasia. 

Dengan riang Almasy kembali ke kemah. Hanya satu wadi lagi yang perlu ditemukan. Merasa senang sendiri, rombongan menuju ke oasis Uweinat—di sana sekali lagi mereka menjumpai Ibrahim. Kali ini orang tua itu sedikit meluruskan keterangannya. 

Waktu ia mengetahui temuan mereka, ia mengakui bahwa ada wadi ketiga, yang dinamakan Wadi Hamra—Wadi Merah. Ketiga wadi itu digunakan penggembala setempat untuk merumput ternak mereka setelah hujan musiman turun. Bila hujan tidak turun lama, tetumbuhan itu mati.

Jadi, Zerzura atau bukan? Wadi-wadi yang malang itu pasti bukan legenda yang dimaksud—bahkan Almasy yang keras hati sekalipun harus mengakuinya. Legenda tentang Zerzura tampak seperti fatamorgana yang menghilang di depan mata mereka. 

Akan tetapi, itu tidak terlalu berarti; mereka telah memetakan wilayah itu dan melakukan beberapa penemuan navigasi yang penting. Dan pada saat pergantian waktu itu, mana yang lebih penting—legenda atau beberapa peta yang sempurna?

Rombongan beristirahat di Uweinat dan menjelajahi sekitarnya. Almasy, yang selalu cenderung berjalan mendahului yang lain, segera menemukan sesuatu yang luar biasa. Jauh tinggi di tebing terdapat serangkaian gua-gua kecil yang berisi lukisan batu prasejarah dalam warna-warni yang indah. Lukisan itu menggambarkan hewan-hewan peliharaan, terutama ternak, dan prajurit-prajurit yang mengusung panah.

Lukisan tersebut bukanlah yang pertama ditemukan di wilayah itu. Tahun 1920-an, ketika Sir Ahmed Hassanein Bey menemukan Uweinat, penduduk nomadik setempat mengatakan padanya bahwa jin pernah bermukim di Uweinat, dan meninggalkan gambar-gambar mereka di batu-batu cadas. 

Hassanein segera mencari gambar-gambar itu dan menemukan lukisan yang menggambarkan singa, jerapah, burung unta, dan berbagai jenis antelop, dan mungkin sapi. Hassanein menilai bahwa di zaman purba daerah ini pasti jauh lebih subur dan dihuni banyak orang, yang hidup relatif makmur.

Patrick Clayton juga menemukan gua di dekat Gilf Kebir, yang berisi banyak gambar jerapah dan singa. Namun, pencarian Almasy yang nekatlah yang lebih membawa penerangan pada gua-gua ini. la dan timnya membuat catatan fotografis, dan Almasy sendiri membuat sedikit sketsa.

Akan tetapi, sekali lagi musim itu berakhir. Ekspedisi tersebut berkemas dan kembali ke Kairo. Di sana mereka mendengar bahwa rombongan Patrick Clayton tidak mendapatkan temuan lagi; dan rombongan kembali dari Gilf langsung melewati bagian tengah Lautan Pasir Raksasa—wilayah bukit pasir luas yang hampir menewaskan Gerhard Rohlfs seabad lalu—yang merupakan prestasi besar tersendiri. 

Ketika terik musim panas berlalu, Almasy sekali lagi kembali ke Uweinat. Pada kesempatan itu, ia menemukan Gua Perenang, yang sekarang terkenal, di lembah berbatu yang membentang dari Uweinat ke arah Gilf Kebir. Di sana, ditemukan lebih banyak lukisan, yang dengan jelas menggambarkan orang-orang sedang berenang. 

Tempat itu memberikan bukti akhir betapa suburnya wilayah tersebut pada masa lalu. Bahkan dipastikan dahulu di situ ada danau. Mungkin inilah, bukan ketiga wadi tadi, yang memunculkan legenda kuno Zerzura—tapi siapa yang bisa bilang?

Zerzura sekali lagi menghindar dari penemuan dan ketika Eropa semakin mendekati peperangan, para penjelajah harus memikirkan hal lain. Mereka tidak bisa lagi bersikap netral. Pengetahuan mereka terlalu berharga, dan peta yang mereka buat memiliki nilai baru.

Bagi sebagian besar mereka, tidak ada pertanyaan mengenai keberpihakan mereka. Kesetiaan pada negara amat merasuk. Akan tetapi, sebagai seorang Hongaria, Almasy adalah sebuah misteri. la berada di pihak mana? Pemerintah Hongaria bersimpati pada Hitler dan fasisme, tapi tidak berarti bahwa Almasy sendiri seorang Nazi. 

Ia bertindak tidak konsisten selama ekspedisi gurun pasirnya. Tahun 1932, pada perjalanan Zerzura yang pertama, ia memotret markas militer Italia di oasis Kufra, dan menyerahkannya pada teman-temannya yang berbangsa Inggris. Kemudian, pada 1933, ia memberitahukan orang-orang Italia rute timur-barat melewati Gilf Kebir.

Pembagian kesetiaan yang aneh? Mungkin saja. Akan tetapi, ia harus memilih salah satu pihak—dan akhirnya melakukannya dengan penuh gaya. Ia bergabung dengan angkatan udara Jerman, Luftwaffe, sebagai penasihat gurun pasir. 

Tahun 1941, badan intelijen Jerman, Abwehr, sangat kecewa, karena tidak dapat menemukan mata-mata di belakang garis Inggris dan di Kairo. Almasy yang melihat kesempatan untuk menggunakan pengetahuannya, masuk ke dalam terobosan itu.

"Saya bisa mendapatkan dua agen Jerman ke Kairo untuk Anda," kata Almasy pada Abwehr. "Saya akan membawanya melalui Libya, melewati Kufra, dan melalui Gilf Kebir ke Kharga, dan dari sana menuju Assiut di tepi Sungai Nil.  

Pada mulanya, Abwehr mencemooh. Akan tetapi, sejauh ini, seluruh usaha lain mereka telah gagal; dan jika ada orang yang dapat berada di belakang garis Inggris, Almasy-lah orangnya. Mereka mengizinkannya, dan Operation Salaam yang berani, sebutan operasi itu, diluncurkan.

Prioritas Almasy yang pertama adalah kendaraannya. Di Tripoli, ibukota Libya, dua mobil Ford Inggris yang disita, menjalani pemeriksaan yang teliti, dan disiapkan untuk perjalanan mereka mengarungi gurun. Tiga truk mengikutinya membawa perbekalan. Kemudian Almasy bertemu mata-mata Jerman, agen Eppler dan Sanstedte. Pada awal 1942, Operation Salaam siap, dan orang-orang itu berangkat.

Pengetahuan Almasy tentang Gilf Kebir-lah yang membuat misi itu berhasil. Truk-truk itu tidak mendapat kesulitan menyeberangi celah timur-barat yang ia temukan sembilan tahun lalu. Eppler dan Sandstedte diserahkan dengan selamat di Assiut pada 24 Mei 1942, setelah perjalanan yang luar biasa sepanjang 3.200 kilometer.

Perjalanan Almasy merupakan salah satu tindakan intelijen yang paling berani atas operasi militer gurun pasir Jerman; meskipun saat itu berlangsung, mereka tidak banyak memanfaatkannya. 

Tak lama setelah kedatangan mata-mata itu di Kairo, Inggris menangkap operator tanpa kabel yang telah menerjemahkan pesan-pesan mereka. Dan dengan bodohnya agen-agen itu sendiri menghambur-hamburkan uang di Kairo dan mengadakan pesta-pesta mewah. Jelas tidak sulit bagi Inggris untuk mengawasi mereka.

Almasy sendiri menghilang kembali ke gurun dan berhasil menerobos di belakang garis Italia-Jerman. Inggris tidak punya banyak kesempatan menangkapnya; pencariannya yang lama atas Zerzura membuatnya sukar ditangkap seperti halnya oasis itu sendiri yang melegenda.

 

Kemudian

Almasy selamat dari peperangan dan menulis sejumlah buku tentang petualangannya di gurun pasir. la wafat di Salzburg, 1951. Di atas makamnya ada tulisan Arab, Abu Raml atau Bapak Padang Pasir'.

Bila Anda pernah membaca novel karangan Michael Ondaatje The English Patient, atau menonton filmnya, sebagian kisah ini bisa jadi tampak tak asing bagi Anda. Sang novelis memang memakai kehidupan petualangan yang luar biasa ini sebagai gagasan, meskipun ia banyak mengubah detail. 

Katherine Clifton, kekasih Almasy dalam kisah Ondaatje, sama sekali tidak ada kesamaan dalam kenyataannya. Sebagian orang menganggap Clifton diambil dari Lady Dorothy Clayton East-Clayton, janda Sir Robert; tapi ketidaksukaan Lady Dorothy pada Almasy tampak amat nyata, dan Almasy diduga seorang homoseksual. Seperti suaminya, hidup Lady Dorothy berakhir tragis—tahun 1933 ia tewas dalam kecelakaan pesawat.

Oasis Zerzura tetap belum ditemukan.



 

" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309922/legenda-zerzura" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282324000) } } [1]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309920" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg" ["title"]=> string(35) "Penjelajahan di 'Tanah Tak Beradab'" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:50:59" ["content"]=> string(23526) "

Intisari Plus - Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang. Padahal tim-tim lain yang melintas di rute mereka rata-rata menempuh keberhasilan.

-------------------------

Sejauh mata memandang yang tampak adalah belantara tandus. Di barat, terlihat bukit-bukit berpasir merah tak berujung. Membentang dari barat laut, tanahnya lebih rata, tapi seragam. Tak ada yang menarik untuk dilihat di selatan. 

Menyapu pemandangan dengan binokulernya, satu-satunya sosok jelas yang dapat dilihat penjelajah itu terletak di barat daya. Di sana, di kejauhan, di antara kabut yang berpendar, Ernest Giles melihat gunung.

Ia mengamatinya dengan cermat. "Ada bukit barisan membentang panjang," ia memberitahukan temannya sambil merendahkan binokulernya. "Bisa berarti air. Aku perkirakan jaraknya sekitar 80 kilometer. Ke sanalah tujuan berikut kita."

William Tietkens, pria di sebelahnya, mengangguk setuju. la tidak punya banyak pilihan—Ernest Giles adalah pemimpin ekspedisi. Hanya bersama dua pria lain, Tietkens bergabung dengan Giles dalam usaha yang keras untuk menyeberangi Australia Barat.

Saat itu Januari 1874. Australia memberikan tantangan yang besar kepada penjelajah Inggris, yang ingin mempertaruhkan klaim mereka terhadap tanah "tak beradab" yang luas ini. Para penjelajah Inggris itu kurang menghormati orang-orang yang sudah lama menetap di sana, suku Aborigin yang mengenal tanah itu dengan baik. 

Malahan mereka menganggap penjelajahan mencapai sudut terjauh itu sebagai tugas yang secepatnya melawan suku Aborigin di sepanjang perjalanan. Dalam perjalanan, mereka memberikan nama setiap sosok lanskap—seakan-akan tak seorang pun pernah melihat sebelumnya.

Tahun 1862, John McDouall Stuart menjadi orang kulit putih pertama yang menyeberangi benua itu dari utara ke selatan. Tahun 1872, sebuah jalur telegraf yang luas dibangun sepanjang rute Stuart. Sekarang, yang menjadi tantangan adalah menyeberangi Australia dari garis telegraf itu ke pantai barat. Kebanyakan wilayah ini merupakan gurun pasir.

Perlombaan pun dipacu. Ernest Giles melakukan usaha pertamanya tahun 1872. la mencapai Gunung MacDonnel, tapi kehabisan air dan terpaksa kembali. Ia bermaksud kembali lagi tahun berikutnya. Akan tetapi, saat itu, dua penjelajah lain juga berlomba. Mereka adalah Peter Warburton dan William Gosse. Bertekad untuk mengalahkan mereka berdua, Ernest Giles berangkat pada 4 Agustus 1873.

Pada Januari 1874, Giles telah mencapai pegunungan yang ia namakan Rawlinson Range—Pegunungan Rawlinson. Ia menjelajahi wilayah itu dan mendirikan sebuah perkemahan bernama Fort McKellar. Ia merasa kecewa, gunung-gunung itu meredup. Jauh dari mereka, menuju arah barat, tampak tidak ada apa-apa kecuali lebih banyak gurun pasir.

Ini ia ketahui ketika mengintai gunung ke arah timur laut bersama temannya, William Tietkens. Dua pria itu kembali ke kemah dan menceritakan pada yang lain—pemuda Jemmy Andrews yang baru berusia 20 tahun dan Alfred Gibson, yang jebih tua. Pada 1 Februari 1874, empat pria itu bersama lebih dari 20 ekor kuda, berangkat menuju gunung yang memikat itu.

Perjalanan itu merupakan kesalahan besar. Perkiraan Giles tentang jarak ternyata salah, dugaan lain bahwa mereka akan mendapati air juga salah. Kuda-kuda mereka kelelahan, dan di sepanjang jalan tidak ditemukan air. Ditambah lagi saat itu adalah pertengahan musim panas, yang panasnya membakar.

Segera setelah mereka mengetahui bahwa gunung itu kering, Giles sadar bahwa mereka harus kembali ke Rawlinson Range secepatnya. Mereka berjalan pada malam hari ketika temperatur lebih sejuk. Meskipun demikian, bagi sebagian kuda, jalur tersebut terlalu berat. Sesampai di Fort McKellar, empat kuda mati karena kehausan dan kelelahan.

"Mount Destruction—Gunung Penghancur—itulah nama yang paling tepat untuk tempat ini," kata Giles putus asa.

Jadi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tampaknya ke arah barat tidak ada apa-apa kecuali gurun pasir. Mengetahui orang lain mungkin telah mendahuluinya dalam perlombaan itu, Giles mati-matian tidak mau mengakui kekalahan. Ketika kuda-kuda kembali pulih, ia mempertimbangkan niatnya.

Akhirnya, ia memutuskan melakukan perjalanan singkat ke gurun pasir—sejauh yang dapat mereka capai dalam beberapa hari untuk melihat apa yang ada di kaki langit. Mungkin saja gurun pasir itu tidak membentang terlalu jauh; mungkin pula ia menemukan sumber air lain. Kali ini, ia tidak mau mempertaruhkan semua orang dan kuda. Ia hanya akan membawa empat ekor kuda dan seorang pria lain. Akan tetapi, mana dari tiga pria itu yang ikut dengannya?

Pilihannya adalah William atau "Tuan" Tietkens. Ia sangat cakap dan Giles menyebutnya dengan panggilan "Tuan" karena ia berasal dari kelas sosial yang sama dengannya. Mengajak Jemmy Andrews tidak mungkin. Sekalipun pekerja keras dan berkemauan, tapi Andrews masih muda, tidak berpendidikan, tidak cerdas.

Akan tetapi, pria ketiga, Alfred Gibson, menyatakan bahwa ia sangat ingin pergi bersama Giles. Seperti Andrews, Gibson juga tidak berpendidikan, tapi ia sedikit lebih tua, bersifat pemarah dan pemurung. 

Giles tidak menyukainya, dan benar-benar tidak mau pergi dengannya. Ia tidak pernah mandi, sangat bau, dan selalu berbohong. Meski telah menunjukkan bahwa dirinya cukup bertanggung jawab, ia bisa bersikap ceroboh. Akan tetapi, Gibson bersikeras dan—akhirnya—Giles mengalah.

Pada 20 April, mereka mengemas seluruh barang yang diperlukan, ke atas empat kuda. Mereka membawa dua kuda, kuda berkaki pendek yang besar berwarna kemerah-merahan jenis cob, dan kuda lain bernama Darkie, serta cukup banyak perbekalan daging kuda kering dan air untuk persediaan satu minggu. 

Giles menunggang kuda terbaiknya, The Fair Maid of Perth, sementara Gibson menunggang Badger, kuda yang kuat dengan stamina penuh. Mereka berangkat ke Circus, tempat terakhir di Range Rawlinson yang terdapat air. Mereka bermalam di sana, dan berangkat ke tempat yang tidak diketahui pagi hari berikutnya. 

Hari itu, Gibson sedang gembira. Dia bercakap dengan bebas, sesuatu yang mengherankan Giles karena Gibson sering kali merengut dan merajuk.

"Bagaimana bisa," Gibson bertanya pada Giles, "begitu banyak orang pergi dalam ekspedisi seperti ini dan tewas?"

Giles mempertimbangkan jawabannya. "Well, Gibson," ia berkata dengan bijak. "Banyak bahaya terjadi dalam penjelajahan—selain risiko kecelakaan, tentunya. Akan tetapi, menurutku, kebanyakan orang tewas karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian. Dan lagi, tentu saja, kita semua akan mati, cepat atau lambat."

"Aku tidak ingin mati di tempat ini," sahut Gibson.

"Aku juga tidak!" Giles menyetujui.

Setelah itu, mereka berkuda dalam kebisuan, melalui bentangan bukit pasir yang ditutupi spinifex, tumbuhan yang paling umum di gurun pasir bagian barat. Setelah beberapa jam, mereka berhenti dan membiarkan kuda-kuda beristirahat.

Saat itu, mereka sangat lapar, Giles pun mengambil sebagian daging kuda dari punggung Darkie. Giles terkejut. "Gibson!" ia berteriak. "Kupikir aku sudah bilang untuk berbekal daging kuda yang cukup untuk seminggu."

Gibson memandangnya dengan merengut. "Aku sudah melakukannya," ia bersikeras.

"Di sini, cuma cukup untuk satu orang," kata Giles dengan kesal. "Yang pasti, bukan berdua."

Ia telah menugaskan Giles mengemasi daging dan tidak memeriksanya lagi. Gibson diam, Giles menarik napas. Tak ada gunanya mempertentangkan masalah itu; mereka harus bisa memanfaatkan yang ada. Sementara waktu, mereka beristirahat di bawah rerimbunan, kemudian berangkat lagi dalam panas hari petang hari yang membakar. Menjelang malam, mereka telah mencapai jarak yang memadai.

"Empat puluh mil (65 kilometer) dalam sehari," ujar Giles sewaktu mereka memasang tenda. "Lumayan sekali."

Giles tak dapat tidur. Semut mengelilinginya di mana-mana dan ia heran melihat temannya dapat tidur sementara semut-semut merayapi badannya. Malam ini tanpa kecuali Gibson tidur nyenyak.

Saat fajar, mereka berangkat lagi dan berjalan sepanjang 30 kilometer melalui sebuah lanskap yang berangsur-angsur berganti—tapi hanya berpindah dari satu jenis gurun pasir ke lainnya. Bukit-bukit berpasir berlalu, diganti jalan berkerikil, kemudian batu-batu yang lebih besar. Berat rasanya melanjutkan perjalanan dengan berkuda. 

Kemudian mereka berhenti untuk istirahat, Giles mendapati salah satu kantung air bocor. Tidak saja daging kuda yang jumlahnya sedikit untuk dimakan, persediaan air mereka pun sedikit.

"Sebaiknya kita mengenyahkan kuda-kuda pengangkut bekal," kata Giles. "Kita akan mengembalikannya. Jadi, sisa air ini untuk kita sendiri dan kuda-kuda lain."

Gile berharap, dengan nalurinya kuda-kuda itu akan mengikuti jejak yang telah mereka tempuh, dan perlahan-lahan mencapai lokasi terakhir tempat air tersedia.

"Well, aku lebih suka menunggangi cob daripada Badger," kata Gibson. "Aku akan mengirim Badger dan Darkie kembali."

Giles kelihatan ragu-ragu. "Gibson, aku pilihkan Badger untukmu karena aku tahu ia tahan menempuh jarak jauh. Ia memiliki stamina."

Gibson dengan keras kepala menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka cob," ia memaksa."Ia cukup bugar sekarang."

"Ya," sahut Giles dengan sabar. "Tapi, kita belum mengujinya sampai pada batas itu. Mungkin ia tidak mampu mencapainya. Kita hanya paham tentang Badger dan Fair Maid of Perth."

Gibson mengangkat bahu dengan merengut. "Aku ingin menunggang cob," ia mengulangi.

Giles menghela napas dengan jengkel. Kadang Gibson memang benar-benar ajaib. "Baiklah," kata Giles. Mereka perlu membuat keputusan dan melepas kuda-kuda itu ke jalannya. "Kau akan menunggang cob." 

Keputusan itu amat penting. Giles mungkin mengingat jelas kata-katanya sendiri tentang hal ini—bahwa orang menemui ajalnya di gurun pasir karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian ... Kesalahan serius dalam membuat keputusan baru saja dilakukan.

Di tempat itu mereka meninggalkan beberapa guci berisi air yang amat diperlukan sekembalinya dari perjalanan mereka nanti. Mereka beristirahat hingga panas mulai mereda, kemudian berangkat lagi menempuh 30 kilometer (20 mil). Masih tak ada tanda-tanda gurun pasir itu akan berujung. Gurun itu membentang ke seluruh penjuru, ke kaki langit, dan seterusnya.

Malam ini mereka berusaha tidur, tapi kedua kuda itu mengusik mereka. Makhluk yang putus asa itu mengendus-ngendus kantung air, ingin minum. Giles telah menggantung kantung berisi setengah liter air mereka yang terakhir di pohon. Mencium bau air itu, Fair Maid of Perth berjingkat dan merenggut kantung itu dengan giginya. 

Ketika ia menarik kantung itu, sumbatnya terloncat, dan air pun memancur ke udara dan menyembur ke tanah. Giles dan Gibson memelototi kejadian itu tidak percaya, tenggorokan mereka kering dan tersedak. Sekarang, mereka hanya memiliki setengah liter air yang tersisa.

Cob bahkan lebih putus asa dari si kuda betina. Ia mengendus di sekeliling kemah dengan kalut, mencari air. Gibson memandang hewan yang malang itu dengan amat kesal.

"Seandainya aku memilih Badger," ia berujar. "Cob semakin lambat sepanjang petang ini. Aneh. Sebelumnya ia selalu kuat."

Giles diam. Lagi pula, ia bisa bilang apa? 

Mereka memulai perjalanan lagi sebelum fajar, dan menyusuri jarak 15 kilometer. Di sana, di hadapan mereka, tampak sebagian barisan bukit—akhirnya pemandangan pun berubah. Sedikit lebih jauh, keadaan jelas tampak penuh harapan. 

Di kejauhan terdapat barisan pegunungan, yang jaraknya kira-kira sehari perjalanan. Giles memandang pegunungan itu dengan merindu, tapi mereka telah berjalan 160 kilometer dari air yang terakhir. Keadaan tidak berjalan dengan baik. 

"Giles!" Gibson yang berkuda di belakangnya memanggil. Menurutku, cob sekarat."

Giles berpaling dan memandangi makhluk yang malang itu dengan cemas. Kepala cob menggelantung rendah, ia sulit menjejakkan satu kaki di depan yang lainnya. Tidak diragukan lagi, mereka harus kembali. Secepatnya.

"Aku namakan pegunungan itu barisan pegunungan Alfred dan Marie," kata Giles dengan pandangan akhir penuh sesal ke arah mereka. "Atas nama Duke dan Duchess of Edinburgh. Aku memohon, ya Tuhan, suatu hari aku akan menjejakkan kakiku di sana."

Akan tetapi, penderitaan cob begitu mengerikan. Ia tidak mampu berjalan jauh setelah berhenti di jalurnya.

"Aku akan turun," ujar Gibson. "Kita harus menyeretnya terus."

Cob bergerak sedikit jauh, tapi kemudian kaki-kakinya roboh. Ia terkulai, matanya pudar dan berkaca-kaca. Jelas ia tak akan pernah bangkit lagi.

Giles dan Gibson kini berada dalam keadaan yang berbahaya, Dua pria dan seekor kuda—semuanya kelelahan dan nyaris tanpa bekal air. Giles turun dan membiarkan Gibson menunggang Fair Maid of Perth sementara ia sendiri berjalan kaki. Perjalanan yang sukar. Setelah satu atau dua jam, mereka berhenti dan meneguk air terakhir mereka. Giles berpikir keras.

"Gibson," katanya. "Kita tak bisa terus seperti ini. Salah satu dari kita harus terus maju dengan berkuda. Aku akan tinggal. Sekarang, dengarkan aku. Pergilah ke tempat kita menyimpan pundi air, beri minum kuda betina itu atau ia akan mati.” 

“Tinggalkan air buatku sebanyak yang kau bisa. Tetaplah pada jalur yang telah kita buat, dan jangan keluar jalur. Bila kau mencapai kemah, kirim Mister Tietkens bersama air dan kuda-kuda baru. Aku akan mengikuti dan terus melanjutkan sejauh aku bisa dengan berjalan kaki."

"Baiklah," kata Gibson. "Tapi, akan lebih baik lagi kalau aku membawa kompas."

Giles ragu. Gibson tidak paham betul cara membaca kompas, ia yakin itu. Selain itu, ia hanya punya satu. Dengan enggan diberikannya kompas itu dan Gibson mengantunginya. Gibson menaiki kuda dan berangkat.

"Ingat—tetap pada jalur!" kata Giles. 

"Baik," Gibson menyahut.

Dan ia pun pergi.

Dengan kepergian Gibson, Giles berjalan dengan susah payah melalui gurun pasir, dalam keadaan yang semakin haus. la tahu, pundi-pundi air itu letaknya masih 50 kilometer lagi. "Jika, aku jalan terus, aku akan mencapainya besok petang," ia berkata pada dirinya sendiri.

Dengan usaha dan tekad yang penuh, Giles mencapai pundi-pundi itu hari berikutnya. Gibson sudah di situ dan pergi, meninggalkannya sekitar sembilan liter air serta beberapa potong daging kuda asap. 

Giles kelaparan dan tercekik karena kehausan, tapi ia sadar ia harus membatasi dirinya dengan hati hati. Ia duduk dan memikirkan situasi yang ada. Ia berada 100 kilometer dari Circus, dan 130 kilometer dari perkemahan. 

Sekurangnya butuh enam hari bagi siapa saja untuk menjemputnya kembali. Haruskah ia cuma duduk dan menunggu, ataukah terus berjalan? Berjalan jauh berarti membawa pundi air, yang amat berat dan menyusahkan. Sebuah dilema yang amat buruk.

"Setelah mencerna dengan saksama seluruh keadaanku, aku menyimpulkan jika aku tidak menolong diriku sendiri, nasib tidak akan menolongku juga," tulis Giles kemudian. Dengan memikul pundi air yang berat, Giles terhuyung-huyung melangkah mengikut jalur—seperti yang dikatakannya pada Gibson.

Hari-hari selanjutnya berlalu dalam kesamaran. Giles hanya mampu berjalan amat lambat karena panas terik dan beban pundi. Dua puluh lima kilometer dari tempat pundi itu, ia berhenti.

"Aneh," ia bergumam sendiri.

Garis utama jejak kuda lurus di depannya, tapi jejak dua kuda yang telah mereka lepas mengarah ke selatan. Selagi ia mengamati jejak itu dengan cermat, jantungnya berdegup kencang. Jelaslah bahwa Gibson mengikuti jejak kuda-kuda yang hilang itu.

"Mungkin mereka semua akan segera kembali ke garis utama," pikir Giles. Dengan cemas ia berjalan sempoyongan mencari jejak Gibson dengan harapan Gibson menyadari kekeliruannya dan kembali. Akan tetapi, tanda-tanda Gibson tak pernah ada.

Giles terus melangkah dengan tabah, semakin lemah dan lemah. Setiap kali ia duduk beristirahat, kepalanya terasa melayang-layang ketika ia berusaha untuk mengangkatnya lagi. Ia berkali-kali terjatuh, tapi memaksakan dirinya untuk berjalan terus. 

Sewaktu meneguk airnya yang terakhir, ia masih 30 kilometer dari Circus. Akan tetapi, karena sekarang ia dapat membuang pundi yang berat, ia pun melakukan usaha besar terakhir. Ia mencapai Circus waktu fajar, setelah berjalan kaki semalaman. Ketika itu tepat seminggu sejak Gibson meninggalkannya. 

Giles duduk di tepi lubang mata air, lalu minum dan minum. Sekarang jaraknya hanya 30 kilometer menuju perkemahan, tempat ia akhirnya akan mendapat sedikit makanan. Akan tetapi, ia amat putus asa sehingga mencari cara lain untuk mendapat makanan.

"Ketika aku meninggalkan Circus," tulisnya, "aku memungut seekor wallaby kecil yang sekarat, yang dibuang induknya dari kantung perut. Beratnya kira-kira 60 gram dan belum berbulu rata. Begitu aku melihatnya, seperti seekor elang, aku melompat dan memakannya mentah-mentah, selagi sekarat, dengan bulu, kulit, semuanya. Rasa lezat makhluk itu tak akan pernah kulupa."

Sekarang, tak ada bahaya yang berarti, Giles mencapai 30 kilometer terakhir dan tiba di Fort McKellar ketika fajar sekitar dua hari kemudian. Ia membangunkan Mister Tietkens yang memandangnya seakan-akan dirinya hantu.

"Aku minta—makan," Giles berkata dengan suara parau. 

Tietkens segera memenuhi permintaannya. "Di mana Gibson?" ia bertanya segera setelah Giles dapat berbicara dengan jelas.

Giles menggelengkan kepalanya dan mereka menyadari dengan rasa takut bahwa Gibson pasti sekarang sudah tewas. Tak ada tanda-tanda dirinya, baik di perairan Circus atau di perkemahan. Giles menceritakan Tietkens tentang jejak Gibson, dan bagaimana mereka meninggalkan jalur utama.

"Kita harus kembali dan mencarinya," ujar Giles meskipun ia hampir tidak bisa bergerak. Ketika ia cukup kuat, mereka mengemasi kuda-kuda itu dan melakukan pencarian. Namun, meski seluruh usaha dijalankan, mereka sama sekali tidak menemukan apa-apa.

 

Kemudian

Dengan dugaan bahwa Gibson telah tiada, Giles terpaksa mengakhiri ekspedisi itu. Ia menamakan gurun pasir itu Gurun Pasir Gibson untuk mengenang teman seperjalanannya.

Sayangnya, rombongan itu mundur dan mencapai Perairan Charlotte pada 13 Juli 1874. Di sana, Giles menerima kabar yang amat mengecewakan. Meski Gosse, lawannya, terpaksa kembali, Warburton telah mengambil rute yang lebih ke utara menyeberangi gurun yang kemudian dikenal dengan nama Gurun Pasir Raya (Great Sandy Desert). Dengan menggunakan unta, alih-alih kuda, ia telah mendahului menuju tempat Giles gagal.

Yang lebih buruk lagi, penjelajah lain—namanya John Forest—berangkat dari Perth dengan harapan menyeberangi gurun pasir dari barat. Ia juga berhasil.

Tapi, hari-hari penjelajahan Giles jauh dari kesudahan. Tahun 1875, ia mengambil rute yang lebih selatan dan mencapai pantai barat melalui Gurun Pasir Victoria Raya. Kemudian, tahun 1876, ia menyeberang kembali, kali ini melalui Gurun Pasir Gibson yang membawa sial. Ia berharap menemukan beberapa petunjuk teman lamanya itu; tapi—hingga hari ini—Gibson tak pernah ditemukan.

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309920/penjelajahan-di-tanah-tak-beradab" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282259000) } } [2]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309837" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/mayat-penerbang-yang-tak-membusu-20220603064827.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Bill Lancaster terbang di atas Sahara, namun ia dan pesawatnya tidak pernah kembali. Apa yang terjadi dengannya? Apa penyebab kematiannya?" ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/mayat-penerbang-yang-tak-membusu-20220603064827.jpg" ["title"]=> string(33) "Mayat Penerbang yang Tak Membusuk" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:49:08" ["content"]=> string(25298) "

Intisari Plus - Bill Lancaster terbang di atas Sahara, namun ia dan pesawatnya tidak pernah kembali. Apa yang terjadi dengannya? Apa penyebab kematiannya? Jawabannya baru diketahui setelah 29 tahun kemudian.

-------------------------

Jika manusia terkubur di padang pasir Sahara, tubuhnya tidak membusuk. Namun, seperti yang diketahui orang Mesir kuno dengan baik, panas yang kering dan terus-menerus akan menarik seluruh udara lembap dengan cepat, dan kulit manusia menjadi rapuh. Tubuh menjadi mumi.

Tahun 1962, sebuah patroli angkatan udara Prancis mengarungi salah satu bagian terjauh Sahara, di selatan kota Reggan di Aljazair. Tempat itu sedemikian jauhnya bahkan suku nomad gurun jarang mengunjunginya, dan tempat itu disebut Tanezrouft—"tanah dahaga". Maka, sangat mengejutkan ketika seseorang tiba-tiba menemukan kilatan sinar matahari pada logam, mengarah ke atas.

"Apa itu?" para pria memanggil satu sama lain. Mereka mendekat.

"Seperti pesawat!" 

Benar, sebuah pesawat, terbalik di padang pasir, benar-benar remuk. Di bawah salah satu sayapnya, terbaring tubuh sang pilot yang mengering menjadi mumi. Pilot itu, namanya Kapten Bill Lancaster, tergeletak di sana. Ia telah hilang selama 29 tahun.

Dengan hati-hati, patroli Prancis itu memeriksa reruntuhan pesawat. Jenis Avro Avian, pesawat biplane berkursi tunggal, dari jenis yang dipakai para peminat penerbangan tahun 1930-an. 

Dokumen pesawat, buku harian, paspor Lancaster, dan dompet terikat pada sebuah topangan sayap. semuanya terbungkus rapi dalam bahan pelindungnya. Di dekatnya terdapat sebuah kartu bahan bakar Shell dengan sebuah pesan akhir:

"Demikianlah awal hari kedelapan telah mulai. Cuaca masih dingin. Aku tidak punya air ... Aku menunggu dengan sabar. Cepatlah datang. Demam semalam meruntuhkanku ..."

Pada bagian pembukaan buku harian yang rapuh itu, patroli menemukan 41 halaman terakhir yang merinci penerbangan sang pilot, tabrakannya, dan delapan hari mengerikan yang ia lewati dengan harapan untuk diselamatkan, tapi malah mati perlahan-lahan karena kehausan. 

Keberaniannya menghadapi kematian menakjubkan—dan mengungkapkan banyak hal tentang seorang pria, yang 12 bulan sebelumnya dituduh melakukan pembunuhan.

Kapten Bill Lancaster menempuh kehidupan yang menggairahkan. Ia dilahirkan di Inggris, 1898, pindah ke Australia saat remaja. Selama Perang Dunia I ia berlatih menjadi pilot dan bergabung dengan Angkatan Udara Kerajaan Inggris seusai perang. 

Tahun 1927, Angkatan Udara tidak lagi membutuhkannya, dan ia tak tahu apa yang akan dikerjakan. la tidak mau berhenti terbang; maka sewaktu ia berniat menjadi orang pertama yang terbang dari Inggris ke Australia, gagasan itu tampak menjadi cara yang sempurna untuk mengukir namanya sendiri sebagai pilot.

Tak lama, situasi berjalan sesuai dengan rencana. Ia ditawari sebuah pesawat Avro Avian dengan harga khusus, dan Shell menawarkan untuk membiayai bahan bakarnya. 

Ketika ia berjumpa wanita Australia yang ingin menjadi wanita pertama yang melakukan penerbangan juga—dan menawarkan mencari setengah dana—gagasan itu tiba-tiba menjadi kenyataan. Nama wanita itu Jessie Miller. Teman-temannya memanggilnya: "Chubbie".

Kedua orang itu itu berangkat 4 Oktober 1927 dari Airport Croydon dekat London. Penerbangan itu menjadi petualangan yang berlangsung lima bulan, karena mereka berjuang melawan cuaca buruk, kerusakan mesin, dan pendaratan darurat di Sumatra, Indonesia. 

Ketika mereka akhirnya tiba di Australia, ratusan orang di sana menyambutnya. Namun, hanya Chubbie yang menggapai cita-citanya. Dialah wanita pertama yang melakukan penerbangan— Bill bukanlah pria pertama. Penerbangan mereka berlangsung sangat lama sehingga pilot lain, Bert Hinkler, mengambil-alih perjalanan mereka.

Selama petualangan, Bill Lancaster dan Chubbie Miller saling jatuh cinta, meskipun keduanya sebelumnya telah menikah. Hubungan asmara itu berakibat menyedihkan. 

Chubbie membangun ketenarannya dengan mendapatkan lisensi pilotnya sendiri dan mengikuti berbagai kompetisi penerbangan. Chubbie dan Bill berangkat ke Amerika, di sanalah Chubbie menjadi terkenal di kalangan penerbangan. 

Kemudian, Chubbie berpikir untuk menulis buku tentang petualangannya dan mencari seorang penulis untuk membantunya. Ia menemukan Haden Clarke, pria muda tampan, yang hidup bersama dengan Chubbie dan Bill di rumah mereka di Miami untuk mengerjakan buku bersama Chubbie.

Bagi Bill, hal-hal tidak berjalan semestinya. Ia terus mengalami kesulitan mendapat pekerjaan. Pada 1932, ia mendapat pekerjaan penerbangkan sebuah pesawat di Meksiko. Karena tak ada pilihan, ia pun berangkat ke Meksiko meninggalkan Chubbie dan Haden berdua di rumah Miami.

Chubbie ditinggalkan dengan sedikit uang dan tak lama ia pun putus asa dan jemu. Terperangkap di rumah bersama Haden, penulis yang menarik itu memikat hatinya, bahkan Chubbie setuju menikahinya. Kedua pasangan itu menulis surat kepada Bill, memberitakan kabar itu. Bill pun segera terbang kembali dari Meksiko ke rumah. la linglung. Ia mengagumi Chubbie dan tak dapat mempercayai bahwa begitu mudah Chubbie mengkhianatinya.

Dengan tinggal bertiga di rumah di Miami, hampir tidak mengherankan bila permasalahan mencapai klimaks yang dramatis. Pada malam 20 April 1932, kepala Haden Clarke ditembus peluru yang membawanya pada kematian saat di rumah sakit. 

Ada dua catatan Haden, yang memberi kesan bahwa dia melakukan usaha bunuh diri. Akan tetapi, tidak membutuhkan waktu lama bagi polisi untuk tahu bahwa catatan itu palsu. Bill-lah yang menulis catatan itu. Sepekan setelah kematian Clarke, Bill Lancaster ditahan karena tuduhan pembunuhan.

Pengadilan atas dirinya merupakan sebuah sensasi besar. Setiap orang yakin, Bill pasti bersalah. Haden Clarke adalah saingannya—Bill punya alasan jelas dan terbuka kesempatan untuk membunuhnya. 

Akan tetapi, Bill membantah. la bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Selama persidangan, tampak bahwa Bill mengatakan yang sebenarnya. Jelas, Bill adalah pria jujur dan sopan, sementara bukti tentang Haden Clarke menunjukkan bahwa ia seorang peminum berat alkohol dan tidak stabil. Bahkan sebelumnya Clarke mengancam untuk bunuh diri.

Hari keputusan benar-benar menggelisahkan Bill. Seluruh hidupnya tergantung pada saat itu ... Sewaktu ketua dewan juri mengucapkan "Tak bersalah," ruang pengadilan meledak dengan tepukan orang-orang yang mengikuti persidangan.

Toh, sesungguhnya, hidup Bill hancur lebur. Mencari pekerjaan cukuplah sulit, karena tak seorang pun mau berurusan dengannya setelah pengadilan itu, tak peduli juri menyatakan ia tak bersalah. Apa yang dapat ia lakukan? la dan Chubbie berangkat ke Inggris, yang jauh dari ingar-bingar publisitas yang buruk. Di sana, Lancaster merencanakan masa depannya.

la tak punya uang. Karir penerbangannya tercabik-cabik. Satu satunya ide adalah membuat rekor terbang lain, yang mungkin akan mengembalikan reputasinya di dunia penerbangan. Mengetahui putranya putus asa, ayah Bill sepakat membiayai perjalanan itu. 

Bill memutuskan membuat rekor terbang Inggris-Cape Town, Afrika Selatan, yang baru saja dipecahkan oleh pilot Inggris Amy Johnson. Ia mencatat waktu empat hari, enam jam, dan 54 menit. Tantangan itu berat, dan sejak awal Lancaster tidak benar-benar menyadarinya secara saksama.

la memilih pesawat Avro Avian lainnya, kali ini yang berkursi tunggal yang dinamakan Avian Mk. V Southern Cross Minor. Ia amat suka menerbangkan Avian, setelah menerbangkan pesawat jenis itu ke Australia. Akan tetapi tetap saja pilihan itu sedikit ceroboh. 

Amy Johnson melakukan penerbangannya dengan De Havilland Puss Moth, yang memiliki kecepatan jelajah 37 kph (20 mph), yang lebih cepat dari Avian. Untuk mengalahkan rekor Johnson, Lancaster harus melakukan penerbangan hampir nonstop—sebuah prestasi fisik atas ketahanan yang akan menguji pria terkuat.

Namun, Lancaster tidak lagi kuat, baik mental maupun fisik. Ia telah kelelahan karena pengadilan tahun sebelumnya. Segala sesuatu yang ia katakan sebelum terbang menunjukkan bahwa ia melakukan penerbangan itu dalam keadaan tidak sehat.

"Saya ingin tekankan bahwa saya mengusahakan penerbangan ini dengan menanggung risiko sendiri," katanya kepada seorang wartawan."Saya tidak berharap ada usaha untuk mencari jika saya dikabarkan hilang." Kata-kata itu hampir tidak optimistik bahkan mungkin amat tragis ...

Suatu pagi, 11 April 1933, Chubbie dan orangtua Bill datang melihatnya lepas landas dari Lympne Aero drome, dekat pantai Kent Selatan.

"Selamat tinggal, sayang," kata sang ibu, yang membekalinya sedikit roti isi daging ayam dan sepotong coklat. Bill memeluk mereka erat-erat, sebelum kemudian memanjat kokpit. Ia menyalakan mesin. Saat itu pukul 5:38 pagi.

Perhentiannya yang pertama diperkirakan di Oran, Aljazair—lompatan yang besar dari Inggris sejauh 1.770 km. Akan tetapi, sejak keberangkatan, ia mengalami kemalangan. Arah angin berlawanan dengannya, dan ia harus mendarat di Barcelona di Spanyol untuk mengisi bahan bakar. 

Saat berjuang mencapai Oran, urat sarafnya tegang, la sudah terlambat. Petugas di Oran tampak prihatin melihatnya. Bill gugup dan mudah tersinggung, dan tentu saja bukan dalam kondisi bagus untuk menyeberangi gurun pasir yang tandus.

"Tuan, menurut kami, sebaiknya Anda mempertimbangkan kembali," kata seorang petugas. "Anda perlu beristirahat." 

"Istirahat!" teriak Bill. "Saya sudah terlambat. Tidak bisa beristirahat. Kalian semua hanya memperlambat saya." 

"Itu untuk kepentingan Anda, Tuan," sahut petugas dengan sabar. "Menyeberangi gurun pasir adalah melelahkan Dan saya ingin mengingatkan Anda bahwa kami memerlukan deposit £100 untuk biaya pencarian, seandainya kami mencari Anda."

"Saya sudah membayar deposit!" Bill membentak. Memang benar, ia telah membayar biaya itu di London. 

"Saya khawatir kami tidak memiliki catatannya," kata petugas itu. "Anda harus membayarnya lagi."

Bill kesal. "Well, saya tidak punya £100!" bantahnya "Saya akan menanggung risiko. Dan saya tidak berharap Anda mencari saya."

Dengan kata-kata itu, ia kembali memanjat kokpitnya dan mengarah keluar ke landas pacu. Para petugas menggelengkan kepala. Saat itu pukul tiga pagi. Bill berada di udara selama hampir 24 jam.

Jangkauan perjalanan berikut membawa Bill melewati Pegunungan Atlas dan menyeberangi rentangan pertama gurun pasir. Ia terbang terus sepanjang malam, memeriksa kompasnya dengan lampu senter.

Saat fajar menyingsing, ia memandang ke bawah dari kokpitnya dengan gelisah, ia berusaha melihat jalur trans-Sahara yang mengarah ke kota Reggan, tujuan berikutnya sesuai jadwal. 

la merasa lega, tampak olehnya bentangan ke arah selatan melewati belantara tandus. Ia memutuskan berhenti di Adrar, 160 km di utara Reggan, kemudian melampaui Reggan dalam waktu yang sama dan meninggalkan gurun pasir itu dengan satu penerbangan yang besar.

Akan tetapi, kelelahan Bill mengalahkan semangatnya. Ia tinggal landas dari Adrar sekitar pukul setengah sepuluh pagi hari, dan segera kehilangan arah. Di bawahnya, badai gurun yang meraung-raung menutupi jalur menuju selatan. Sebagai gantinya, ia menuju timur. 

Penerbangan ini membawa petaka. la terbang selama lebih dari satu setengah jam sebelum menyadari apa yang ia kerjakan. Kemudian, ia mendarat di sebuah tempat kecil bernama Aoulef untuk memeriksa dengan saksama keberadaannya. 

Akhirnya, ia ke selatan menuju Reggan—tapi ia telah kehilangan berjam-jam waktu berharganya dan kehabisan bahan bakar. Bagaimana pun ia seharusnya mendarat di Reggan.

Sadarkah Bill Lancaster bahwa penghentian itu merupakan kontak terakhirnya dengan dunia? Kelihatannya seakan-akan ia berharap mati. la mendarat di Reggan dan keluar dari kokpit. la tidak makan dan tidur selama 30 jam, dan kondisinya menakutkan petugas.

"Lihat dia! Ia bahkan hampir tak bisa berjalan," seseorang berujar sewaktu Bill terseok-seok menghampiri mereka.

"Kita tidak bisa membiarkannya terus," yang lain setuju. "Ia membahayakan dirinya sendiri."

Para petugas, seperti juga yang ada di Oran, berusaha keras untuk menghentikan agar ia tak melanjutkan penerbangan. Akan tetapi, Bill tetap nekat seperti sebelumnya. Mengulurkan tangan dari wajahnya yang kelelahan, ia amat yakin dengan tujuannya.

"Aku terus," katanya kepada para petugas. "Cuma inilah kesempatanku. Satu-satunya kesempatanku, kau dengar? Aku tidak akan gagal. Aku tidak boleh gagal." 

Terkesan dengan keberaniannya, seorang petugas berusaha memengaruhinya dengan lebih halus. "Akan tetapi, Anda sudah terlambat 10 jam dari jadwal," katanya. "Anda letih. Tidaklah memalukan bila Anda menyerah sekarang. Lebih baik daripada tewas di gurun pasir."

Akan tetapi, pancaran mata Bill menunjukkan bahwa kegagalan adalah ketakutannya yang terbesar. 

Orang itu menghela napas dan berkata. "Saya tak dapat menghentikan perjalanan Anda," ia mengakui."Dan tentu saja, kami tak bisa mengabaikan bila Anda tidak sampai. Jika tidak ada kabar apa pun sampai pukul enam besok, saya akan mengirimkan mobil untuk menelusuri jalur ke Gau. Jika Anda dapat membakar sesuatu untuk membuat api unggun, kami pasti menemukan Anda."

Maka jam delapan petang itu Bill sekali lagi perlahan-lahan naik ke kokpit. Para petugas memandangnya dengan berat hati sewaktu pesawat bergerak zigzag dan terhuyung-huyung di landas pacu. Jelas Lancaster hanya dapat berkonsentrasi pada kontrol. Akan tetapi, pesawat melesat ke langit.

Selagi mereka menonton, Avian berbelok cukup halus dan mulai terbang ke selatan. Bill terbang lagi—tapi kesempatan hidupnya tampak tipis ... Di atas Sahara, Bill tahu gurun pasir berjarak 800 km di depannya. 

Jika ia betul-betul bisa terjaga dan terus ke jalur trans-Sahara, semua akan berjalan baik. Ia memandang dengan penuh konsentrasi ke kontrol kokpitnya sewaktu mesin terbatuk. Jantung Lancaster mulai berdebar. Ia memeriksa semua kontrolnya, tapi tak menemukan kesalahan apa pun. Kemudian, mesin terbatuk lagi—dan lagi ...

Pesawat mulai turun. Bill berusaha mengutak-atik kontrol, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Ia turun ke bawah. Saat itu gelap dan ia tak bisa menebak jaraknya dengan bumi. Ia berusaha menebak, tapi tak ada harapan.

Ada bunyi derak yang menyakitkan sewaktu pesawat menabrak pasir gurun dan terbalik. Bill tidak ingat lagi. Semuanya tampak gelap ...

Ketika sadar, Bill tidak dapat melihat apa-apa. Ia bertanya-tanya di mana ia berada dan apa yang telah terjadi.

Apakah ia sudah buta? la tampak terbalik, dan udara penuh bau asap. la meletakkan tangan ke kedua matanya, dan sadar matanya tersumbat darah beku. Ia menggosok matanya hingga terbuka.

Sekarang, ia dapat meraba-raba keadaannya. Ia benar-benar terbalik di dalam kokpit sempit, yang tersembur darah. la membelai wajahnya dengan hati-hati. Ada luka yang dalam di dahi dan hidungnya, tapi setidaknya darah sudah berhenti mengalir. Berapa lama ia tak sadar, ia tak tahu, tapi ia yakın telah kehilangan banyak darah. Ia merasa lemah dan pusing, Ia berusaha sekuat tenaga mengangkat badannya keluar kokpit

"Aku baru saja bebas dari kematian yang paling mengerikan," ia menulis di buku hariannya. Tampaknya ia tidak memperkirakan sesuatu yang bahkan lebih tidak menyenangkan terbentang di hadapan. 

Ia memeriksa persediaannya. Menyedihkan. Ia punya dua galon air dan jatah makan siang dari ibunya. Namun, Bill bersikeras untuk optimistis. la mendapati airnya cukup untuk persediaan selama tujuh hari. Saat itu, ia yakin akan diselamatkan.

Penantian yang panjang pun dimulai. Setiap hari Lancaster meneguk jatah airnya dan menggoreskan pikirannya di buku harian. Pada malam pertama ia membuat api dari reruntuhan pesawat, merendam potongan-potongan dalam bahan bakar dan menyalakannya. Ia terus menyalakan api sepanjang malam, menyalakan api setiap sekitar duapuluh menit. Meskipun api menyala terang, tak seorang pun melihatnya.

Di hari-hari berikutnya, ia berpikir kemungkinan berjalan kaki mencari bantuan, tapi ia sadar mungkin akan mati lebih cepat bila melakukan itu. Dari udara, sosok orang yang berjalan di gurun pasir hampir tidak kelihatan, setidaknya jika para penyelamat terbang di atasnya, mereka akan menemukan pesawat itu. "Aku harus tetap di dekat pesawat," tulisnya.

Tempat tabrakan itu mengerikan, tepat di jantung Sahara. Bukit pasir membentang di seluruh penjuru. Panas siang hari membakar dan Lancaster hanya memakai pakaian dalamnya karena ia berusaha menghemat energinya di tempat teduh. 

Namun, malam hari dingin menusuk, dan ia mengenakan apa saja agar tubuhnya hangat. "Aku sungguh-sungguh menebus dosa atas segala kesalahan yang kuperbuat di bumi ini. Aku tak ingin mati. Aku benar-benar ingin hidup," tulisnya.

Tanda-tanda kehidupan sama sekali sedikit. Sesekali ia melihat burung hering berputar-putar di atasnya, tidak ragu berharap mendapat makanan. Ia juga melihat seekor burung coklat kecil di dekatnya, dan menduga-duga apakah letak oasis jauh. Akan tetapi, ia menahan diri dan tetap tinggal di bawah sayap pesawat.

Namun, pada akhir hari keempat, harapannya untuk diselamatkan mulai pudar. "Jangan berduka," ia menulis kepada orangtuanya dan Chubbie. "Aku hanya menyalahkan diriku sendiri atas segalanya." Akan tetapi, setelah menggoreskan tulisan itu, jantungnya tiba-tiba berdegup dengan harapan. Di sana, dalam kegelapan, ada api pesawat. Gemetar karena sukacita, Bill menyalakan api untuknya. "Menurutku aku ditemukan," tulisnya dalam buku harian. "Aku percaya itu."

Dengan rasa lega dan girang, Lancaster meneguk dua jatah air. Bagaimanapun ia tak akan mati! Hari berikutnya, ia memandangi kaki langit dengan penuh harap. Sekarang, tak lama lagi, ia bergumam pada dirinya. Sekarang, tak lama lagi ...

Akan tetapi, tetap tak ada yang muncul. Harapannya sirna lagi, dan ia menderita karena dahaga. "Seandainya aku tidak minum cadangan air itu," ia menulis penuh sesal. "Oh, air, air." Rasa dahaga yang luar biasa membuatnya gila. 

Meskipun mengalami segala yang mengerikan, ia menjaga martabatnya. Dalam keadaan putus asa, ia mulai memikirkan mati. "Mohon, Tuhan, aku mati sebagai seorang ksatria," tulisnya. Dan tampak pasti ia seakan-akan melakukan itu.

Pada hari ketujuh, ia menyadari nyawanya tinggal beberapa jam lagi. Dengan kekuatan terakhirnya, ia menulis pesan kepada setiap anggota keluarganya, meyakinkan cintanya kepada mereka. "Ketabahan adalah harapan terakhirku. Sekarang aku sedang mengikatkan buku harian ini dengan kain ..."

Dengan seluruh dokumen terikat pesawat, Bill menanti datangnya ajal. Ajal pasti datang sedikit lebih lama dari yang ia duga, karena ia mendapat tenaga untuk menulis pesan terakhirnya pada kartu bahan bakar Shell: "Tak ada yang disalahkan ... Selamat tinggal, Ayah, lelaki tua ... dan selamat tinggal semua kekasihku. Bill."

Sewaktu Bill terbaring sekarat, pencarian atas dirinya masih berlangsung. Para petugas Prancis di Reggan telah mengirim mobil pencari yang telah mereka janjikan; tapi karena pesawat kandas 60 km dari jalan, kesempatan untuk menemukannya kecil. Pencarian dari udara berlangsung lebih jauh ke selatan, tak seorang pun menduga ia kandas tak begitu lama setelah lepas landas, bahkan pada kondisinya yang melelahkan. Tiba-tiba pencarian dihentikan.

Mereka yang ditinggalkan harus menghadapi sebuah pertanyaan yang terasa sebagai azab. Apakah Bill ingin mati? Hidupnya jelas telah menyingkirkannya ke tepian. Seiring dengan bergantinya tahun, mereka harus menerima bahwa mereka tak akan pernah tahu. Dua puluh sembilan tahun adalah jangka waktu yang sangat lama untuk penantian.

 

Kemudian

Chubbie Miller menerima kematian Bill dan menikahi seorang pilot Inggris tahun 1936. Ia masih hidup saat patroli Prancis akhirnya menemukan Avro Avian tahun 1962. Mereka menyerahkan buku harian Bill dan dokumen lain padanya.

Tubuh Bill Lancaster yang termumikan dimakamkan di Reggan oleh patroli Prancis.

Tahun 1975, sebuah tim asal Australia bertolak untuk menyelamatkan sisa-sisa Avian. Mereka mengangkut pesawat itu kembali ke Australia yang sekarang dapat dilihat di Queensland Air Museum.

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309837/mayat-penerbang-yang-tak-membusuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282148000) } } [3]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309774" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/menuju-lembah-kematianjpg-20220603064606.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Penemuan emas di California, membuat heboh dunia. Orang-orang yang hendak mengadu nasib, bergegas menuju ke Barat dengan segala tantangannya." ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/menuju-lembah-kematianjpg-20220603064606.jpg" ["title"]=> string(22) "Menuju Lembah Kematian" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:47:46" ["content"]=> string(22104) "

Intisari Plus - Penemuan emas di California, membuat heboh dunia. Orang-orang yang hendak mengadu nasib, bergegas menuju ke Barat dengan segala tantangannya. Sayangnya tidak semua berhasil dan kaya.

-------------------------

Sesuatu berpendar dalam air sungai. Kecil, mirip batu. Akan tetapi, ini bukan batu biasa. James Marshall berjongkok dan memungutnya. Ia mengamatinya dengan saksama, membaliknya di telapak tangan.

"Kelihatan seperti ..," ia bergumam dengan napasnya, jantungnya berdebar. "Mungkinkah? Tentu tidak. Mungkinkah benar-benar emas?"

la mencari-cari di air sungai sekitarnya. Tak lama, ia menemukan batu lain. Dengan menahan kegembiraannya, ia mengantungi bebatuan aneh untuk diperlihatkan pada bosnya nanti. Saat itu, 24 Januari 1848—hari yang paling menentukan dalam sejarah California.

Marshall dan pegawainya, John Sutter, menguji "batu" itu dan mendapati bahwa mereka benar-benar menemukan emas. Mereka berusaha menutup mulut. Sutter tinggal di California untuk menggarap ladang, bukan menggali emas. 

Ia tidak ingin dikerubuti para pemburu harta. Akan tetapi, hal itu tidak baik. Entah bagaimana, tahun berikutnya, kata itu mengalir—emas! Emas! Ada emas untuk dicari di sungai Amerika. 

Tahun 1849, "Gold Rush" (perburuan emas) dimulai. Orang dari seluruh penjuru Amerika mulai menuju ke barat ke California, mengadu peruntungan mereka. Namun, menuju ke sana merupakan masalah. Sebagian orang mempertaruhkan perjalanan laut yang mengerikan yang membawa mereka ke ujung Amerika Selatan hingga pantai barat. 

Beribu-ribu orang lainnya mengemasi wagon kereta kuda mereka dan menuju ke barat dengan berjalan kaki, meski mengambil risiko mengarungi gurun pasir dan pegunungan yang tandus. Selain itu, perjalanan berlangsung bulanan dan penderitaan sepanjang perjalanan itu mengerikan.

Pada musim panas 1849, terdapat sebuah jalur yang kokoh melalui Rocky Mountains menuju ladang emas, yang kemudian dikenal sebagai Oregon Trail. Bentang alam akhir jalur itu paling sulit—pegunungan Sierra Nevada membentuk barier raksasa, bahkan lebih besar dari padang luas gurun pasir. Bersamaan dengan datangnya salju musim dingin, pegunungan ini sulit ditempuh. 

Meskipun musim dingin akan datang, luapan manusia yang menyeberangi Rockies berlanjut. Banyak yang berhenti di kota kaum Mormon, Salt Lake City, di Utah, yang terdapat banyak padang rumput untuk ternak mereka. Kaum Mormon menyarankan untuk tidak mengambil rute gunung saat musim dingin. Pada musim dingin sebelumnya banyak orang terperangkap. Mereka berpikir harus berbuat apa, dan sebagian menetap untuk menunggu musim semi.

Akan tetapi, ada pilihan lain. Ada rute lain menuju selatan menyusuri Sierra Nevada. Rute itu lebih panjang dari Oregon Trail, tapi lebih mudah, tanpa pegunungan besar yang harus diseberangi. Seorang Mormon bernama Kapten Hunt menawarkan diri, ia berkata bahwa ia mampu memimpin perjalanan dengan bayaran $10 per wagon kereta berkuda. "Aku akan membawa kalian ke California dalam sembilan minggu," ia meyakinkan.

Sekitar 150 orang menerima tawarannya. Serombongan terdiri dari sekelompok 36 anak muda dari Galesburg, Illinois, yang menyebut diri mereka Jayhawkers. Ada juga banyak keluarga dengan wanita dan anak-anak—beberapa di antaranya keluarga Bennett, Arcane, Brier, dan Wade. 

Ada individu-individu yang bergabung lepas atau berjalan sendiri. Dua pria dalam kelompok ini akan memainkan peran amat penting dalam beberapa minggu kemudian. Mereka adalah William Lewis Manly dan John Rogers.

Wagon kereta berkuda bergerak menuju selatan. Setiap orang merasa senang. Cuaca indah dan mereka berpindah lagi menuju kehidupan baru yang menggairahkan. Namun, setelah sekitar sepuluh hari, Kapten Hunt mulai mengalami kesulitan. Akhirnya, tampaklah bahwa ia tidak mengenal jalan itu dengan sangat baik, dan lahan menjadi semakin kering. Tak lama lagi, sulit untuk mendapatkan air.

Rasa tak puas mulai muncul. Ada cerita tentang rute lain yang langsung menuju barat. Sebagian orang ingat rute itu ketika melihatnya di peta, di Salt Lake City. Mereka berkesimpulan bahwa Kapten Hunt tidak mengetahui yang ia bicarakan. Mengapa tidak meninggalkannya dan memotong jalan lewat barat? Jayhawkers paling bergairah dengan gagasan ini, dan berangsur-angsur yang lain pun setuju dengan mereka.

Sewaktu mereka mencapai tempat yang dianggap sebagai permulaan "jalan pintas", Kapten Hunt kehilangan kendalinya atas rombongan. Jayhawkers memiliki terlalu banyak pengikut. Sekitar seratus wagon kereta berkuda mengikuti mereka meninggalkan Kapten Hunt dengan hanya tujuh wagon.

"Menurutku rute itu tidak aman," Kapten Hunt memberitahu. Bagaimanapun juga ia berharap mereka baik-baik saja. "Selamat jalan dan semoga berhasil," ia berteriak sambil melambaikan tangan ke arah mereka.

Masih penuh semangat, kelompok yang berpisah itu menuju barat. Akan tetapi, setelah tiga hari, tampaknya tidak ada jalur yang mudah untuk wagon mereka. Keadaan ini menakutkan banyak orang. 

Mereka kehabisan makanan dan jalan pintas macam apa yang berakhir dengan kematian setelah tiga hari? Setelah berdiskusi, lebih dari 70 wagon kembali untuk mencari Kapten Hunt. Jayhawkers dan kelompok orang yang berkeluyuran tetap tinggal dan bertekad untuk maju sedikit demi sedikit ke arah barat.

Kelompok yang tersisa tak lama mengalami masalah yang serius. Tanah semakin gersang dan gersang dan padang rumput juga semakin sedikit. Kini mereka sudah mencapai gurun pasir dan setiap orang merasa kehausan. 

Sewaktu lembu-lembu semakin melemah, mereka tak mampu menarik wagon kereta yang berat, dan rombongan mulai membuang barang-barang mereka agar kereta lebih ringan. Perkakas, buku-buku, perabotan—barang-barang tidak lagi berarti. Yang penting mereka dapat menyeberangi gurun pasir.

Sekarang, mereka benar-benar tersesat. Mereka tidak tahu berapa jauh lagi jarak ke California. Gurun pasir tampak membentang tanpa ujung—lahan yang menakutkan, tertutup garam putih dan alkali yang muncul dari tanah. Ternak mulai terkulai kelelahan satu per satu. 

Ketika hewan ternak roboh. orang-orang membunuh dan memakannya, karena mereka kehabisan bahan makanan. Keadaan tampak mencemaskan. Kelompok itu mulai terpecah menjadi beberapa bagian. Jayhawkers—yang terdiri dari pria muda dan kuat—meneruskan perjalanan, meninggalkan keluarga di belakang. 

Keluarga Bennett dan Arcane bersatu, bergabung dengan yang lain, sehingga rombongan itu menjadi 20 orang. William Lewis Manly dan John Rogers tinggal bersama mereka, membantu melakukan pengintaian dan membawakan air sebanyak yang mereka temukan.

Setelah berhari-hari melakukan perjalanan yang menghauskan, Jayhawkers mengembara ke sebuah lembah sunyi yang dalam. Tak ada tetumbuhan di sana—lembah itu gersang, hanya ditutupi garam yang membuat air terasa pahit dan berbau untuk diminum. 

Berangsur-angsur kelompok lain berkumpul di sana dan menjelajahi sekitarnya untuk mencari jalan keluar. Rombongan Bennett-Arcane berhenti di sebuah mata air yang airnya dapat diminum. Saat itu mendekati hari Natal—tapi Natal yang mereka hadapi buruk dan tidak menggembirakan. Tampaknya tak ada jalan keluar dari jurang ngarai gurun pasir itu. Tembok tajam gunung itu menjulang ke barat.

Jayhawkers membuat keputusan. Mereka bermaksud membuang kereta yang berat dan mengemasi segala sesuatu sebisa mereka ke beberapa lembu, dan mereka berusaha mencari jalan melalui pegunungan. 

Beberapa orang mengikuti mereka, termasuk keluarga Brier. Nyonya Brier harus meninggalkan peralatan makan perak terbaiknya, karena kenyataan menghadang di hadapan. Mereka harus membuang segalanya atau mati.

Akan tetapi, tak semua orang mau mengambil risiko ini. Kelompok Bennett-Arcane memutuskan tak ada harapan untuk melanjutkan perjalanan tanpa mengetahui yang akan terjadi. Baik Bennett dan Arcane memiliki anak kecil dalam keluarga, dan Nyonya Arcane sedang mengandung lima bulan. 

Bagaimana bila mereka terperangkap pegunungan tanpa ada air? Mereka malahan memutuskan tinggal dekat mata air, sementara yang dua orang meneruskan perjalanan untuk mencari jalan dan kembali dengan membawa perbekalan. Dua pria yang dipilih adalah William Lewis Manly dan John Rogers.

"Kami akan menunggu sampai 18 hari," kata Bennett. "Jika kalian sama sekali tidak kembali, kami menganggap kalian tewas di pegunungan, atau suku Indian telah membunuh kalian."

Seekor lembu mati lagi, kedua pria itu pun berbekal sedikit daging kering untuk perjalanan. Setiap orang menyumbangkan uang untuk mereka, seluruhnya terkumpul $60, sebagai bekal. Selanjutnya, rombongan berkumpul mengucapkan selamat jalan. Dalam hati mereka, banyak yang ragu dua pria itu akan pernah kembali. Suasana berat, dan para wanita berdiri menangis.

"Tuhan melindungimu," para pria bergumam. "Semoga kalian berhasil."

Manly dan Rogers menjabat tangan setiap orang dengan taklim. Kemudian mereka berbalik dan menyusuri ngarai.

Ketika mereka telah pergi, suasana sunyi menggantung di perkemahan. Setiap orang sadar, mereka akan menghadapi kematian di lembah itu. Untuk sementara mereka memiliki sedikit persediaan daging. Akan tetapi, lebih dari itu, cadangan makanan mereka sangat sedikit. Mereka menyisihkan terigu untuk memberi makan anak-anak.

Waktu berjalan merangkak. Anak-anak terus-menerus menangis karena kelaparan dan sedih. Tak ada yang dapat mereka perbuat. Lembah tersebut merupakan salah satu tempat paling suram di bumi—cuma batu cadas dan garam. Sebuah tempat yang mengerikan untuk mati.

Sementara itu, Manly dan Rogers maju terus menuju pegunungan. Bila tiba di tanah yang lebih tinggi, mereka berusaha memperhitungkan berapa jauh jarak yang akan mereka tempuh. Yang mereka temukan sangat menyedihkan. Bukan cuma satu barisan gunung untuk dilalui, tapi tiga dengan lembah-lembah gurun yang gersang dan panjang di antaranya. 

"Kita tak akan pernah mampu kembali dalam 18 hari." kata Manly dingin.

Sewaktu berjalan dengan susah-payah, mereka menemukan sesuatu terbaring dalam jurang, tertutup tidak teratur oleh ranting-ranting pohon sage. "Apa itu?" teriak Rogers. Mereka merangkak mendekat.

"Tubuh orang," kata Manly.

Badan manusia tergeletak di tempat ia akhirnya roboh. Manly dan Rogers mengenali orang itu. Namanya Tuan Fish. la anggota kelompok kecil yang mengikuti Jayhawkers. Pegunungan yang gersang terlalu berat baginya, dan di situlah ia tergeletak ditinggalkan di bebatuan cadas.

Hati mereka masygul, Manly dan Rogers melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu berbahaya dan sukar, bahkan bagi orang kuat seperti mereka. Mereka meneguk air terakhir, tapi tak lama mulut mereka terasa sangat kering sehingga tak bisa menelan daging sapi. Pada suatu hari, mereka cukup beruntung menemukan sebongkah es. 

Mereka mencairkannya, menegak air dengan dahaga, dan makan sebagian bekal daging mereka. Merasa segar, mereka memaksa melanjutkan—tapi mereka sadar harus segera mencari air lagi atau bernasib seperti Tuan Fish yang malang itu.

Pada saat berjalan, Manly tiba-tiba berhenti. "Rogers! Lihat," kata Manly menunjuk.

Rogers menatap. "Asap," ia berseru. Bubungan tipis asap berasal dari lembah di dekatnya. "Itu artinya orang ... dan air. 

Kedua pria itu bertukar pandang. Api unggun itu mungkin milik suku asli Amerika, yang mungkin akan membunuh mereka. Bisakah mereka mengambil risiko menyelidikinya? Rasa dahaga membuat mereka mengambil risiko. Bahkan bila itu berarti pertikaian, tak ada salahnya melihat.

Mereka gembira menemukan kelompok Jayhawkers yang menyambut mereka dengan hangat. Duduk mengelilingi api unggun, kedua pria yang lelah itu mendengarkan apa yang dikerjakan setiap orang. Sebagian orang meninggalkan ternak mereka dan berjalan terus. Keluarga Brier berjuang di belakang. Akan tetapi, pria yang lain meninggal.

"Namanya Isham," kata kelompok Jayhawkers. "Ia tak dapat terus. Ketika kami berhenti untuk berkemah, kami kembali dan memberinya air. Akan tetapi, ia terlalu letih, dan tak lama kemudian meninggal."

Manly dan Rogers sangat bersyukur atas sambutan itu, dan atas seluruh informasi. Mereka mengucapkan terima kasih kepada kelompok Jayhawkers dan kembali melanjutkan perjalanan. Waktu berlalu, dan rombongan keluarga khawatir dengan yang terjadi atas diri mereka.

Kembali ke perkemahan, hari-hari yang berlalu semakin menyedihkan. Rombongan itu ketakutan diserang suku asli Amerika, dan banyak yang tidak benar-benar percaya bahwa Rogers dan Manly akan kembali lagi. "Tak ada orang kecuali si bodoh yang kembali ke tempat ini untuk menyelamatkan kami," kata mereka.

Beberapa orang segera memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan mereka sendiri. "Setiap orang untuk dirinya sendiri," ujar mereka. "Kami memakan hewan ternak kami, tapi tak lama tak akan ada lagi makanan tersisa. Rasanya gila duduk duduk menunggu."

Keluarga Bennett dan Arcane melihat kepergian mereka, merasa sendirian. Bagi orang-orang itu tidak masalah, mereka tidak punya anak kecil untuk dirawat; bahkan bila mereka cuma benar, sedikit yang dapat dilakukan keluarga. Terlalu besar risiko membawa anak-anak mengarungi pegunungan. Mereka harus menunggu. 

"Anda pergi juga?" mereka menanyakan seorang tua bernama Kapten Culverwell. Ia ragu, wajahnya tampak sukar. la tidak suka meninggalkan keluarga sendirian, tanpa mempertahankan mereka. 

Akan tetapi, ada sesuatu dalam kata-kata itu-benar-benar setiap orang bagi dirinya sendiri. Tidak ada alasan meninggal di gurun pasir. Ia menunggu selama beberapa hari, berusaha mengambil keputusan. Kemudian ia pun mengucapkan selamat tinggal dan berjalan sendiri.

Delapan belas hari datang dan pergi, dan tetap tidak ada tanda-tanda penyelamat. Keluarga itu semakin tertekan dengan berlalunya hari."Mereka tersesat," Nyonya Bennett berujar dengan sedih. "Aku yakin itu. Mereka seharusnya sekarang kembali."

Namun, Manly dan Rogers tidak tersesat. Setelah hampir dua minggu berjalan, mereka mencapai sebuah ranca luas, dan kemudian sebuah pemukiman utuh. Akhirnya: California! Tergesa-gesa mereka membeli perbekalan dengan uang yang diberikan pada mereka, tiga kuda, dan seekor keledai untuk mengangkut semuanya. Kemudian mereka berangkat sekali lagi kembali melewati gurun pasir.

Sekarang, lebih mudah, mereka tahu jalan, tapi kuda-kuda dan keledai itu menghadapi masalah baru. Bagaimana mereka dapat melalui jalan tembus gunung yang berbahaya, yang hanya ditempuh dengan berjuang sendiri.

Mereka mencapai sebuah ngarai yang amat sulit dan kuda-kuda itu berhenti. Kuda-kuda itu tak mau jalan terus. Sebuah jurang muncul di depan mereka dan tidak ada jalan lain di sekeliling. Merasa benar-benar putus asa, Manly dan Rogers sadar mereka harus melepas kuda-kuda itu. Mereka mengeluarkan tas dari punggung kuda dan melepasnya. "Mereka akan mati di sini," kata Manly dengan pahit. "Tak ada makanan atau air bagi mereka."

Setelah kehilangan kuda, mereka bertekad untuk menyelamatkan keledai. Keledai itu membuktikan dirinya kuat dan berani, meskipun hanya bermata satu. Mereka mendorong, mengingsut, dan berteriak hingga akhirnya sang keledai melompat ke atas ke bubungan cadas yang berbahaya. Lompatan lain lagi, dan hal yang terburuk berlalu. Kedua pria itu hampir menangis lega.

Akan tetapi, pemandangan menyedihkan menanti di depan mereka. Rogers yang berjalan lebih dulu, tiba-tiba berhenti dan tertegun.

"Apa itu?" teriak Manly.

"Kapten Culverwell," sahut Rogers. "Ia sudah mati." 

Kedua pria itu menatap orang tua itu. Ia tergeletak dengan tempat air yang sudah kosong di sampingnya. Gurun pasir itu memakan korban lagi.

Hampir satu bulan sejak Manly dan Rogers berangkat ketika mereka akhirnya kembali ke perkemahan kecil. Keluarga Bennett dan Arcane sedemikian terharu dan lega melihat mereka sehingga hampir tak dapat berkata-kata. 

Mereka berdiri diam, air mata mengaliri wajah mereka. Kemudian, Nyonya Bennett lari menuju Manly dan tersungkur di kakinya, mengalungkan lututnya dengan lengannya. "Kami tidak mengira kau akan kembali," katanya dengan suara bergetar 

Namun, setelah mengatasi ketidakpercayaan mereka, perkemahan itu kembali hidup dengan gairah dan obrolan. Manly memperingatkan mereka bahwa jalan di depan mereka tidaklah mudah. 

California lebih jauh dari perkiraan mereka. Keluarga itu mendengarkan, kemudian melakukan persiapan dengan berani. Selama ini mereka telah bertahan—kini mereka tidak mau dikalahkan.

Kelompok itu berangkat dengan delapan ekor lembu dan keledai kecil yang setia. Setelah beberapa hari, mereka memanjat ke Pegunungan Panamint dan hanya memandang ke bawah lembah tandus tempat mereka hampir mati. Lembah itu membentang di belakang mereka, sepi, dan kosong. Tuan Bennett menggelengkan kepalanya dan pergi.

"Selamat tinggal, Death Valley," ujarnya. Lembah itu dikenal dengan nama itu sejak lama.

 

Kemudian

Seperti kebanyakan, 25.000 orang yang menuju barat dalam Perburuan Emas tahun 1849 itu, hanya sedikit yang selamat dari Death Valley saat mengadu keberuntungan di ladang emas. Bahkan banyak yang tidak bekerja di pertambangan, tapi luapan manusia menciptakan sebuah masyarakat baru, dan tempat bisnis pun tumbuh. John Rogers bekerja sebagai tukang kayu dan juru mesin; William Lewis Manly melakukan banyak pekerjaan, termasuk kadang-kadang bekerja di pertambangan. 

Ia berhubungan dengan banyak temannya yang selamat, yang selalu menganggapnya sebagai pahlawan, dan dia menulis sebuah buku tentang pengalaman mereka, judulnya: Death Valley in '49. 

Nyonya Arcane melahirkan empat bulan setelah meninggalkan gurun pasir dan menamakan bayinya Julia. Sayangnya, Julia meninggal 19 hari kemudian. 

Kapten Hunt berhasil membawa kelompok kereta utama ke California. Kebanyakan anggota kelompok Jayhawkers juga selamat, dan melanjutkan hidup dengan mendulang emas. Sebagian berhasil untuk sementara waktu, tapi pekerjaan itu amat berat dan hasilnya tidak sebesar harapan mereka. Kebanyakan mereka menyerah dan kembali menjadi pedagang atau menjadi petani. Sebagian bahkan meninggalkan California dan kembali ke rumah.

Nyonya Brier adalah salah satu dari sedikit orang yang menemukan kembali barang yang dibuangnya di Death Valley. Sewaktu emas di California mulai sirna, cerita tentang emas dan perak di gurun pasir mulai menyebar. 

Para pencari emas mulai berburu dan sebagian dari mereka berangkat ke Death Valley. Di sanalah, peralatan makan perak Nyonya Brier ditemukan, tak tersentuh; dan para pencari emas itu mengembalikan padanya.



" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309774/menuju-lembah-kematian" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282066000) } } [4]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309755" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/jalan-menuju-timbuktujpg-20220603064340.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(113) "Ibnu Battuta telah mengarungi hampir seluruh dunia, kecuali Sahara, yang kemudian menjadi perjalanan terakhirnya." ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/jalan-menuju-timbuktujpg-20220603064340.jpg" ["title"]=> string(21) "Jalan Menuju Timbuktu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:44:21" ["content"]=> string(13958) "

Intisari Plus - Ibnu Battuta telah mengarungi hampir seluruh dunia, kecuali Sahara, yang kemudian menjadi salah satu obsesinya. Dalam perjalanan terakhirnya ia banyak menghadapi rintangan alam yang tidak mudah. Apakah ia mencapai tujuannya?

-------------------------

"Pelancong terbesar di dunia!" Setidaknya itulah gambaran yang diberikan pada Abu'Abdallah Ibnu Battuta oleh para sejarawan. Pada abad ke-14, tidak banyak pria mau menyeberangi Gurun Sahara—katakanlah pada usia 49. Akan tetapi, bagi Ibnu Battuta, inilah tantangan terakhirnya sebelum hidup tenang dan layak di kampung halamannya, di Maroko.

Ibnu Battuta lahir di Tangiers, di pantai utara Maroko, tahun 1304. Ketika berumur 21, ia berziarah ke kota suci Mekah di Saudi Arabia. Perjalanan itu disebut pergi haji dan semua Muslim diwajibkan melakukan perjalanan ke sana—sekurangnya sekali seumur hidup, jika mampu. 

Sedikit yang diketahui Ibnu Battuta ke mana perjalanan itu akan membawanya: sepanjang pantai Afrika Timur hingga Mesir, Palestina, dan Suriah, bahkan sebelum ia pergi ke Mekah ... kemudian sebelum kembali ke rumah, ia mampir ke Irak, Iran, pantai timur Afrika, Oman, dan Teluk Persia, Asia Kecil (sekarang Turki), Laut Hitam, Konstantinopel, dan akhirnya India melalui Afganistan. 

Dari sana, ia mengunjungi Kepulauan Maladewa dan dilanjutkan ke timur menuju Tiongkok dan Indonesia. Sewaktu ia akhirnya kembali ke Moroko, telah menjelajah selama 24 tahun.

Bahkan dengan standar modern, Anda menganggap rentetan perjalanan itu bagi siapa saja sudah cukup. Namun, ada satu tempat yang masih ingin dikunjungi Ibnu Battuta, yaitu Mali, di selatan Gurun Pasir Sahara yang luas. 

Ia mendengar bahwa negara itu amat kaya, salah satu sumber emas terbesar dunia. Ia tak tahan untuk melanjutkan sebuah perjalanan terakhir; maka musim gugur tahun 1351, ia berangkat dari kota Fez menuju selatan.

Menyeberangi Sahara yang luas tak pernah mudah. Pada abad ke-14, banyak rute dagang yang telah dibangun untuk menyeberangi gurun, yang berarti jalur tersebut relatif sibuk. Karavan yang besar lebih suka melakukan perjalanan pada awal-awal tahun ketika gurun tidak panas mencekik. 

Setelah menyeberangi Pegunungan Atlas, Ibnu Battuta menetap untuk menunggu di sebuah kota bernama Sijilmasa. Kota itu berada di tepi gurun—tempat yang ideal untuk membeli unta dan mempersiapkan perjalanan besar lebih awal.

Meskipun seorang petualang, Ibnu Battuta tidak punya rencana untuk sebuah perjalanan heroik sendirian. Bila ia akhirnya bertolak menyeberangi gurun pasir, ia ditemani banyak orang. Selain unta-untanya sendiri, terdapat karavan pedagang yang lengkap dari Sijilmasa. Mereka semua dipandu seorang anggota suku Berber yang nomadik, yang mengenal gurun pasir dengan baik.

Karavan melaju perlahan-lahan, berangkat di pagi hari, dan beristirahat pada terik siang; kemudian berangkat lagi saat petang. Butuh waktu 25 hari untuk mencapai pemukiman pertama, sebuah tempat yang aneh dan sunyi bernama Taghaza. Di situ tak ada yang tumbuh—kota itu hidup hanya karena ada tambang garamnya. 

Ibnu Battuta membencinya. "Tak ada yang baik dengan desa ini," tulisnya. "Inilah tempat yang paling kotor, bau, dan kusam." Penduduk Taghaza hidup miskin, mengangkut blok-blok garam yang besar dari pertambangan untuk diangkut unta ke selatan. 

Mereka bergantung pada pedagang untuk membawakan makanan pada mereka karena tanah mereka sangat tandus. Namun, tempat itu menarik. Terdapat begitu banyak garam sehingga penduduk membangun rumah mereka dari garam. 

Ibnu Battuta tinggal di sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari garam, dan atapnya dari kulit unta, dan ia sembahyang di sebuah masjid yang terbuat dari bahan yang sama. Ia juga memperhatikan banyak perputaran uang di sana. Sejumlah besar emas bertukar tangan untuk ditukar dengan garam.

Ia merasa sangat lega sewaktu meninggalkan Taghaza, ia tahu bagian terberat perjalanan ada di hadapannya—800 km pasir, dengan hanya satu mata air. Akan tetapi, Ibnu Battuta beruntung. Hujan turun di gurun pasir pada musim dingin itu, dan karavan menemukan kolam air sepanjang jalan, terperangkap di batu cadas. 

Penemuan itu membuat perjalanan yang berbahaya jadi jauh lebih mudah. Namun demikian, mereka kehilangan salah satu teman mereka. Setelah beradu mulut dengan anggota karavan lain, pria bernama Ibnu Ziri itu tertinggal di belakang. Ia tak pernah ditemukan—dan tak seorang pun pernah melihatnya lagi.

Ibnu Battuta sendiri mencapai mata air tersebut dengan selamat, tapi ia mengkhawatirkan sisa perjalanannya. Mereka baru setengah jalan menyeberangi padang pasir, dan gurun pasir, yang menurutnya penuh dengan bahaya yang mengerikan.

la khawatir pemandu mereka akan tersesat dan mereka akan kehabisan air atau tertangkap oleh "makhluk halus" yang tinggal di padang tandus. Ia tidak merasa senang. Akan tetapi, ia tak perlu khawatir. Setelah perjalanan selama sekitar 10 hari, karavan memasuki Walata—sekarang dikenal sebagai negara Mauritania, yang saat itu menjadi kota provinsi kesultanan Mali. Ibnu Battuta telah selamat menyelesaikan perjalanan lain lagi.

Ibnu Battuta kesal setelah seumur hidup melakukan perjalanannya, karena ia mengeluhkan banyak pengalamannya di Mali. Tentu saja ia tidak mendapatkan kekayaan Mali yang luar biasa seperti yang mungkin ia harapkan. Ia sakit amat parah selama dua bulan masa tinggalnya—ia makan sedikit ubi rambat yang tidak matang dan nyaris mati. 

Kejadian itu tidak memberi banyak kesan kepadanya. Ia benar-benar terkejut dengan sambutan yang diterimanya. Sebagai veteran petualang, ia memandang dirinya tokoh diplomatik penting dan berharap raja menyambutnya dengan pemberian yang berlebih. Sultan Mali hanya memberinya makanan yang terdiri dari roti, daging, dan yogurt.

Ibnu Battuta sangat tersinggung. "Apa yang akan saya katakan pada sultan lain tentang Anda?" tanyanya. 

Setelah itu, sang sultan lebih bermurah hati dan memberinya sebuah rumah dan kemudian—sewaktu ia pergi—hadiah emas.

Ibnu Battuta tertarik pada adat-istiadat Mali tapi terkejut dengan kebanyakan adat itu. Mali adalah negara Muslim, tapi adat-istiadatnya tidak sesuai dengan ajaran perilaku seharusnya seorang Muslim. Di Walata, ia tercengang mengetahui bahwa pria dan wanita kerap kali berteman dan dapat saling bertemu secara terbuka dan kebetulan untuk mengobrol dan bersenang-senang. 

Ibnu Battuta terbiasa dengan pemisahan jenis kelamin secara ketat. Selanjutnya, di ibukota Mali, ia merasa jijik melihat budak perempuan dibolehkan berkeliaran tanpa pakaian, dan ia pun tidak menyukai para penyair kerajaan yang pakaiannya berbulu dan flamboyan dan bertopeng.

Akan tetapi, tidak semuanya buruk. Ia terpikat menonton pesta sultan yang mewah, dan terkesan pada betapa ketatnya anak-anak diajarkan Alquran. Ia menjelajahi banyak negeri itu dan mengunjungi kota Timbuktu sebelum kota itu terkenal. 

Pada abad ke-14, Timbuktu masih berupa kota provinsi yang agak kecil. Tak banyak yang menunjukkan bahwa kota itu akan menjadi pos perdagangan yang kaya dan tempat pelajaran Islam akan tumbuh dua abad berikutnya.

Dari Timbuktu, ia menuju timur ke Kawkaw, yang sekarang dikenal dengan nama Gao. Kota itu berada paling timur dari kota-kota penting Mali. Ibnu Battuta menganggap ia sudah cukup banyak melihat. Ia mulai berpikir kembali ke rumah. Gao merupakan jalan panjang di timur Walata, dan ia tidak mau menyusuri kembali jejak kakinya. 

Ia berencana menuju utara menyeberangi Sahara dengan rute yang berbeda—timur laut dari Gao sepanjang oasis Takedda, kemudian arah barat laut kembali ke Sijilmasa. Rute ini akan membawanya ke beberapa gurun yang paling tidak ramah di dunia, dan kali ini ia tak akan memiliki keuntungan atas bulan-bulan musim dingin yang sejuk. 

Saat itu puncak musim panas. Ibnu Battuta jelas sangat bergantung pada rombongan karavan tempat ia bergabung, karena ia hanya membeli dua ekor unta untuk perjalanan ke utara yang melelahkan: unta jantan ditunggangi, unta betina membawa peralatan. Rencana itu bukanlah jenis terbaik untuk penyeberangan musim panas melintasi Sahara.

Sejak awal, perjalanan itu berlangsung buruk. Unta betina yang lemah tidak tahan panas dan menanggung seluruh bebannya, dan tak lama ia pun roboh. Perjalanan yang berani itu sekarang berada benar-benar dalam kesulitan. Yang menguntungkan, orang-orang dalam rombongan karavan itu menawari bantuan untuk membawa perbekalannya, membagi-bagikannya di antara mereka—kebanyakan mereka membawanya. 

Amarah jelas berkobar dalam panas terik, karena seorang pria menolak membantu, dan bahkan menolak memberi air kepada pembantu Ibnu Battuta.

Kini mereka melalui tanah sebagian orang Tuareg, suku nomadik gurun yang masih hidup di bagian utara Mali dan Mauritania. Sebagian mereka hidup dengan memeras "uang perlindungan": karavan diwajibkan memakai mereka sebagai pemandu, atau berisiko untuk diserang. 

Meskipun demikian, Ibnu Battuta tertarik—terutama pada wanitanya yang menggemukkan diri dengan minum susu sapi dan makan padi-padian yang ditumbuk. Saat itu, perempuan kurus tidak dianggap cantik (orang Tuareg modern masih beranggapan sama), dan Ibnu Battuta sangat mengagumi para wanita ini. 

Akan tetapi, kebahagiaannya pada perjalanan ke Takedda tak banyak. la jatuh sakit dalam panas yang menyengat dan merasa amat lega dapat mencapai oasis.

Takedda merupakan pos perdagangan besar dan—seperti Taghaza—menggali kekayaannya dari tambang lokal—kali ini tambang tembaga. Takedda tidak segersang Taghaza, dan penduduknya dapat menanam sedikit gandum. Di sana, Ibnu Battuta bertemu masyarakat Maroko yang dapat ia tinggali dan menetap untuk beristirahat. Tampaknya Ibnu Battuta sama sekali tidak tertarik melanjutkan perjalanannya yang melelahkan.

Akan tetapi, kemudian, tanpa diduga, ia menerima perintah dari Sultan Fez untuk segera kembali. Tidak jelas mengapa, dan kelihatan ganjil bahwa sultan harus menguntit di mana pun ia berada, bahkan di gurun pasir. Namun, tak lama setelah itu Ibnu Battuta berangkat, bergabung dengan karavan besar yang terdiri dari 600 perempuan budak kulit hitam, menuju Sijilmasa. 

Perjalanan itu pasti mengerikan bagi mereka, dan mereka memiliki sedikit harapan—mereka akan diperdagangkan di Maroko sebagai pembantu atau pelacur. Akan tetapi, Ibnu Battuta tidak memikirkannya; saat itu hal seperti itu seluruhnya benar-benar biasa di Afrika Utara.

Dalam perjalanan ke Sijilmasa, rombongan karavan menjumpai lebih banyak lagi suku nomadik—kali ini sekelompok Berber, yang mengenakan cadar di wajahnya. Mereka memeras bayaran kain sebelum membolehkan rombongan meneruskan perjalanan, dan itu sangat menjengkelkan Ibnu Battuta.

"Tidak ada yang baik dalam diri mereka," keluhnya. Namun, ini satu-satunya masalah utama yang ia temui, selain ketidaknyamanan yang terus-menerus dalam perjalanan gurun pasir. Setelah ini, mereka melewati negeri Berber dengan tenang.

Ia tiba di Sijilmasa saat musim dingin, dan ia melakukan perjalanan yang berbahaya melintasi pegunungan Atlas dalam salju. Meski melintasi gurun pasir adalah perjalanan terbesarnya, ia menyatakan bahwa taraf akhir perjalanan menuju Fez adalah yang tersulit dari seluruhnya.

 

Kemudian

Setelah tiba di Fez, Ibnu Battuta pulang untuk selamanya. Kita tidak mengetahui banyak yang terjadi dengannya setelah ini—kita hanya dapat menduga bahwa ia hidup tenang dan layak dengan kemewahan di istana raja, tempat ia memiliki banyak kisah untuk diceritakan. 

Ia pasti hidup cukup lama untuk menuliskan kisah perjalanannya yang dikenal dengan Rihla—sebuah wawasan menarik tentang banyak negara-negara Muslim di dunia pada abad ke-14.

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309755/jalan-menuju-timbuktu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654281861000) } } [5]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3167684" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/03/03/thumbnail-intisariplus-sejarah5-20220303012300.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(104) "Berdasarkan catatan sejarah, kehadiran etnis Cina di Pulau Madura sudah terjadi sejak berabad-abad lalu." ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Sejarah" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Sejarah" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/03/03/thumbnail-intisariplus-sejarah5-20220303012300.jpg" ["title"]=> string(44) "Cina-Madura, Sudah Enam Generasi Jadi Muslim" ["published_date"]=> string(19) "2022-03-03 13:23:19" ["content"]=> string(18282) "

Intisari Plus - 

Sumenep terletak di bagian timur Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Ia menjadi kota salah satu kota tua yang telah berdiri sejak abad 13. Toponimi Sumenep pun bervariasi, mulai dari kisah Songenneb yang dipercaya tercantum dalam kitab Pararaton,  sampai pembahasan toponimi Sumenep mulai dari Poerwaredja, Soemekar, hingga Sumenep versi J.Hageman. 

------------------

Dalam Bijdragen to de kennis van Residentie Madura (1858) yang terbit dalam Tijdschrift voor Nederlandshe Indie, J. Hageman menyebutkan bahwa sejak Tirta Negara berkuasa menggantikan Tjakranegara II pada tahun 1751, kata Sumenep digunakan secara resmi sebagai arti “air yang menetap mengendap” – bezonke water

Saat ini, Sumenep terkenal dengan julukan kota batik, kota ukir, bahkan yang terbaru adalah kota keris. Di kota tua ini terdapat dua bangunan ikonik berarsitektur paduan, perpaduan langgam Jawa, Arab, Cina, dan Eropa – Masjid Jami dan Keraton Sumenep. 

Masjid Jami (1779-1787) dan Keraton Sumenep (1781) dibangun oleh Panembahan Sumala (Sumolo). Pada masa sebelumnya, Tirta Negara dan istrinya (Gusti Raden Ayu Rasmana) telah membangun Keraton Dhalem atau Kerato Pajagalan pada mulai tahun 1751-1762. 

Panembahan Sumala dikisahkan menunjuk seorang arsitek dari bangsa Cina, yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Lauw Piango untuk merancang desain masjid dan keraton Sumenep. Karya  sang arsitek masih dapat Anda lihat saat ini! Para penjaga Masjid Jami dan Keraton secara turun temurun mengetahui tentang sang arsitek. Mereka juga menyebutkan, Lauw Piango dimakamkan di komplek pemakaman Cina yang terletak di desa Pangarangan. 

Safiudin (56) adalah juru kunci makam yang mewarisi jabatannya dari sang ayah. Tak banyak informasi yang bisa ia sampaikan mengenai makam arsitek yang konon datang ke Sumenep pada tahun 1740 pasca peristiwa “Chineesche Moord” pembunuhan orang-orang Cina di Batavia itu. 

“Iya benar, itu makam arsiteknya Masjid Jami dan keraton. Bapak hanya nunjuk itu, tapi tidak tahu itu tulisannya Cina,”ujar Safiudin menunjuk bong Cina warna putih yang terbenam dalam rimbunnya semak, perdu, dan rerumputan. 

Dari enam belas makam Cina, hanya makam bercat putih tersebut yang berangka tahun paling tua. Memang tak banyak informasi dari nisan. Namun, setidaknya dari nama di nisan, tertera Liu Yu Shan (dalam bahasa Hokkian: Lauw Giok (Gek) San). 

Mungkin saja nama Lauw Piango adalah nama keduanya, mengingat orang Cina yang baru datang ke tempat baru kerap menggunakan nama baru.  

Nisan tersebut menyebutkan, Lauw meninggal pada 1785 atau tahun ke-50 masa pemerintahan Kaisar Qian Long (1735-1796). Ia memiliki dua orang anak laki-laki dan dua perempuan yang mendirikan nisan tersebut yaitu, Liu Wen Zhui, Liu Wen Xiao, Liu Feng Niang, dan Liu Jin Niang. 

Informasi terakhir, Lauw tua berasal dari Tong An di Provinsi Fujian (Hokkian), sebuah desa yang didirikan pada masa Dinasti Jin (282 M), menjadi kabupaten pada masa Dinasti Tang (933M), dan saat ini bagian dari Distrik Xiamen di Provinsi Fujian.

Nisan berpulas warna putih tersebut berada di komplek pemakaman Cina. Di sekeliling makam tua itu terdapat 15 makam berlanggam Cina lainnya dan rata-rata merupakan makam dengan aksara Cina bermarga Lauw atau Liu. 

Makam tersebut makam-makam baru yang dibangun sekitar tahun 1900-an awal hingga tahun 2000-an. Karena beraksara Cina, tak heran, penjaga makam atau juru kunci tak mengenal dari masa apa makam tersebut berasal.

"Enggak tahu kalau makam yang lain. Ada juga yang sering datang ke sini ziarah itu kalau bulan Cina. Kebanyakan dari Surabaya,"ujar Safiudin.

 

Patuh pada orang tua 

Satu yang pasti, makam tua Liu Yu Shan merupakan satu makam yang selalu ditunjuk sebagai makam sang juru gambar desain Masjid Jami dan Keraton Sumenep. Walau makam itu diselubungi perdu, ia telah menjadi penanda kontribusi orang Cina peranakan terhadap kebudayaan Indonesia, kebudayaan multikultur yang membentuk jati diri Indonesia masa kini. 

Pengaruh kebudayaan Cina di Sumenep tampak kentara ketika saya mengunjungi makam raja-raja Sumenep yang disebut Asta Tinggi. Begitu memasuki komplek makam yang dibangun pada 1750, kemegahan langgam Eropa sangat terasa. Mengagumkan! 

Beraneka nisan dengan langgam masa Hindu-Buddha hingga era Islam pun tampak memenuhi area pemakaman para raja dan kerabatnya. Tiga komplek makam utama di bagian sayap kiri mengejutkan saya yang baru pertama kali menjejak Asta Tinggi. 

Ya, gebyok dalam dan luarnya berlanggam Cina serta dipenuhi ukiran ragam hias flora fauna khas Cina dengan aneka simbolismenya. Makam Asta Tinggi bagi saya tampak sebagai sebuah taman seni yang sarat pesan keberagaman dan bentuk penerimaan masyarakat Madura pada budaya luar. 

Ya, Madura, pernah disebut-sebut dalam kronik Cina Yingya Shenglan yang ditulis Mahuan tahun 1416 dan Shun Feng Xiang Songyang ditulis era Dinasti Ming (1368-1398) tepatnya pada masa Ekspedisi Cheng He. Dalam kronik Yingya Shenglan, Madura disebut Zhong Jia Luo (Groeneveldt dalam Notes on The Malay Archipelago and Malacca membuat transkripsinya dengan sebutan Tiong Ka La).

Dituliskan bahwa: “Tiong Ka La terlihat hijau, dengan gua-gua besar dan memiliki tiga pintu masuk. Di wilayah tersebut dihuni sekitar 20.000 orang. Agrikulturnya seperti di Jawa, cuacanya selalu hangat. Tradisi masyarakatnya masih asli. Mereka tidak memiliki pemimpin namun mereka patuh pada orang yang dituakan. 

Laki laki dan perempuan memiliki rambut yang digelung, pakaiannya dari katun, mengenakan sarung bergaris. Mereka merebus air laut dan membuat garam, serta membuat arak dari fermentasi beras ketan. Barang ekspornya berupa kijang, burung beo, katun, biji cokelat, dan kain kasa. Barang impornya berupa perak dan sutera motif bunga.”

Dalam kronik Shun Feng Xiang Song yang ditulis anonim diperkirakan disusun 1430- 1571, Madura disebut Wuliuna Shan (Gunung Wuliuna). Madura menjadi tempat pemberhentian ketika kapal ekspedisi Cheng He berlayar menuju Pulau Timor. 

Diperkirakan bahwa Madura, terutama Sumenep, sudah ramai oleh orang Cina yang menetap sejak Abad 17. Hal itu seperti yang ditulis Claudine Salmon dalam artikelnya The Han Family of East Java, Enterpreneurship and Politics 18-19 Century yang terbit di jurnal Archipel tahun 1991.

Lebih lanjut, Salmon juga menyebut adanya keluarga marga Han yang menyebar di Madura terutama di Bangkalan, Sumenep dan Sampang. Di Sumenep, ada klenteng yang dibuat marga Han bernama Baoshan Linggong dengan dewa utamanya Dewi Samudera.

Pada 1901, paling tidak terdapat 4.000 orang Cina di Madura, setara dengan jumlah mereka di Madiun dan Karawang. Namun lebih besar dari jumlah orang Cina di Yogyakarta dan Probolinggo.

 

Tempat pedagang berlabuh  

Cukup panjang kisah masuknya orang Cina di Madura, hal ini memungkinkan adanya pertukaran budaya, saling serap dan saling bertoleransi ada orang Madura dan orang Cina. Sejatinya, Madura memiliki sejarah panjang dengan berlapis kebudayaan. 

Madura pernah berada di bawah kerajaan Hindu Kediri (1042-1222), Singhasari (1222-1292), Majapahit (1293-1500). Nama dan asal-usul Madura tercatat dalam Negarakertagama (1365) karangan Empu Prapanca yang ditulis pada masa Majapahit. Di situ ditunjukkan, daratan Madura menjadi satu dengan Pulau Jawa.

Saking ramainya Jalur Sutera Maritim dan Jalur Rempah di kawasan timur Nusantara, Madura juga menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang Arab, Cina dan lainnya sampai kemudian bangsa Eropa datang berburu rempah-rempah. Tak heran, banyak bentuk akulturasi budaya yang membentuk identitas Madura dan masyarakatnya saat ini termasuk ciri arsitektur yang khas di Madura. 

Rumah Bheley atau Sekot Pacenan (Gaya Pecinan) ada di seantero Madura. Saya menemukan salah satunya di kawasan pantai utara Madura, tepatnya di Desa Masaran dan Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan. Saya menyusuri pantai utara desa Labuhan – Masaran di Bangkalan, ditemani seorang warga, Mohammad Sahril (48).

Angin semilir dari kawasan pantai yang menjadi tempat konservasi mangrove desa Labuhan menambah pemandangan asri lanskap desa pesisir pantai utara Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Terbersit, mengapa namanya Labuhan?

“Labuhan dulu tempat berlabuhnya kapal-kapal orang Cina dan pedagang asing kata orang-orang tua dulu,” ujar Mohammad Sahril pelopor pelestarian mangrove sekaligus penggiat pariwisata di desa Labuhan dan Masaran.

“Ada turunan Cina yang menikah di sini, keluarga muslim di desa sini,” ujarnya. Saya tidak mengganti penggunaan kata Cina dengan kata Tionghoa karena Pak Sahril lebih memilih menggunakan kata Cina.

"Ya di sini nyebutnya Cina, Cena ya. Biasa begitu, tidak pakai Tionghoa," ujarnya dengan singkat ketika saya menanyakan apakah kata Tionghoa atau Cina yang lebih sering digunakan masyarakat desa Masaran dan Labuhan. 

 

Motif banji  

Saya menyusuri garis pantai hampir sepanjang 2 km yang menghubungkan dua desa yaitu Labuhan dan Masaran. 

Tak lama berjalan, mata saya tertumbuk pada beberapa rumah tradisional dengan desain arsitektur yang unik. Salah satu rumah yang saya jumpai berupa rumah mungil berukuran 7 m x 4 m. Atapnya pelana dengan hiasan pada ujung bubungan atap seolah tampak pengaruh Cina pada bubungannya.

Ada varian lain rumah yang cukup lebar dengan lebar sekitar 8 m dan panjang sampai 15 m. Semua rumah-rumah tersebut menghadap ke arah utara berhadapan dengan pantai. Langgamnya tampak seperti paduan antara Cina, Madura, Jawa, bahkan bernapas Majapahitan.

Perhatian saya tertuju pada ukiran gebyok depan rumah tersebut. Ukiran ragam hias bunga, sulur, dedaunan khas ragam hias Jawa menghiasi pinggiran pintu dan gebyok kayu. Menariknya, terdapat motif swastika alias “banji”- (Wan Zi dalam Bahasa Mandarin) yang artinya sepuluh ribu – di setiap rumah-rumah itu. Seolah menjadi motif pakem, motif banji menjadi motif utama yang menghiasi kanan kiri pintu utama rumah-rumah yang disebut Bheley dan berdinding anyaman bambu tabing itu. 

Motif banji pun tersemai bersama motif Cina lainnya di barang-barang rumah tangga seperti ranjang, daun pintu dan jendela, kotak penyimpanan keris, dan peti angkut upeti kuna. Terbanyak motif Cina peranakan terdapat pada ranjang-ranjang khas berukuran sekitar 1,5 m x 2 m dengan atap tepi dan atap ranjang berukir motif pakemnya yaitu sepasang kilin, singa, burung hong, naga, tepian banji, serta bunga teratai. 

Kilin merupakan symbol panjang umur, kebijaksanaan, kebahagiaan, dan harapan memiliki keturunan yang baik; singa merupakan mahluk penjaga dan pelindung; burung hong dan naga ada simbol yin-yang simbol harmoni maskulin feminin; tepian banji adalah simbol kesejahteraan; teratai simbol kesucian.

Banji, sejatinya adalah ragam hias swastika dalam kebudayaan Hinduisme dan Budhisme yang kemudian menjadi salah satu motif ragam hias dalam kebudayaan Cina. Banji telah digunakan oleh masyarakat Kebudayaan Indus Mohenja Daro (2.500 – 1.500 SM) sebagai lambang keberuntungan.

Di Cina, lambang swastika awalnya menjadi karakter yang berarti 4 wilayah di penjuru dunia, pada tahun 700 M, digunakan menjadi kata “wan”, artinya sepuluh ribu, simbol jumlah yang tak terbatas. Tidak hanya menjadi motif religius di tempat-tempat sakral, namun juga menjadi motif simbolik yang digunakan untuk keberuntungan, kesejahteraan, keabadian.

Hasil dari TKI 

Penanda lain penggunaan simbol Cina adalah penggunaan motif bunga teratai untuk dua buah pasak menonjol di pintu depan rumah bheley. Demikian pula dengan motif bunga teratai atau lotus, yang menjadi simbol kemurnian dan kesucian dalam Budhisme dan kebudayaan Cina.

Sayang, warga Labuhan tak lagi mengenal makna-makna simbol yang terukir di rumah tradisional itu. “Rumah milik warga, rumahnya Umbrah, Tohari, Ramla, Tinggal, Sumidah, bukan Cina,”ujar Sahril tentang 6 rumah yang tersisa. 

“Rumah-rumahnya terutama ukiran-ukiran itu jadi buruan kolektor,” ujar Sahril yang menjelaskan bahwa rumah-rumah tersebut pernah memenuhi sudut kampungnya sekitar 30-an tahun. Rumah-rumah tradisional itu pun kini terkepung rumah megah berlantai dan berdinding keramik.

“Hasil warga menjadi TKI di Malaysia,” ungkap Sahril sambil menceritakan banyaknya warga desanya yang mengadu nasib ke negeri jiran. Sahril pun menyayangkan hilangnya rumah-rumah tradisional Labuhan beserta furniturnya. 

“Tinggal sisa itu saja, furnitur kuno ya sudah tidak ada, semoga rumah-rumah ini tetap ada,”pungkasnya.

Saya memahami kegelisahan Sahril, namun saya dapat memahami kebutuhan warga yang memilih mendirikan bangunan baru dibanding mempertahankan rumah tradisionalnya. Tak apa, perubahan itu bagian dari dinamika perjalanan perkembangan bangsa. 

Satu hal yang menarik dalam perjalanan saya adalah menyusuri jejak Ong Hok Ham yang menemani G. William Skinner dari Universitas Cornell pada tahun 1957 saat meneliti jejak orang Cina di Madura. Di situ saya mengenal tipe sebaran masyarakat Cina Indonesia yang berbeda dari wilayah lainnya. 

Uniknya, masyarakat Cina di Madura banyak melebur dan berasimilasi sempurna di Madura. Bahkan, banyak keluarga Cina yang telah lebih dari 6 generasi memeluk agama Islam. Mereka juga menolak disebut mualaf di sepanjang Pulau Madura hingga Pulau Sapudi dan Pulau Kangean. 

Perjalanan menyigi pecinan di Madura memberikan pesan kuat pada saya bahwa perjalanan budaya toleransi pada perbedaan telah berlangsung lama dan menjadi bagian dari pembentukan identitas bangsa Indonesia.

 

" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553167684/cina-madura-sudah-enam-generasi-jadi-muslim" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1646313799000) } } }