array(4) {
  [0]=>
  object(stdClass)#61 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3350829"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#62 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/mimpi-buruk-berakhir-di-ujung-pa-20220629073635.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#63 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(129) "Suatu hari Christoper Enderly melaporkan ibunya yang hilang. Beberapa saat kemudian, Sarah ditemukan mati di sebuah rumah kosong."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#64 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/mimpi-buruk-berakhir-di-ujung-pa-20220629073635.jpg"
      ["title"]=>
      string(34) "Mimpi Buruk Berakhir di Ujung Palu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-29 19:36:53"
      ["content"]=>
      string(28871) "

Intisari Plus - Suatu hari Christoper Enderly melaporkan ibunya yang hilang. Bekerja sebagai pramusaji, Sarah Enderly juga hobi bergonta-ganti pasangan. Beberapa saat kemudian, Sarah ditemukan mati di sebuah rumah kosong.

------------------

Hari sangat cerah pada tanggal 25 Januari 1983, karena saat itu memang sedang musim panas. Christopher Enderly yang berusia 25 tahun muncul di kantor polisi pusat di Christchurch, melaporkan hilangnya ibunya.

Christchurch memang bukan sebuah kota yang besar, karena jumlah penduduknya kurang dari 200.000 jiwa. Meskipun demikian merupakan kota terbesar di Pulau Selatan di Selandia Baru. Hawanya juga lebih sejuk dibandingkan dengan Pulau Utara.

Christopher, seorang asisten akuntan di salah satu perusahaan paling komersial di kota itu, kelihatan sangat khawatir. Menurut pemuda yang pandai bicara, brewokan, berkacamata tanpa bingkai ini, ibunya, Sarah Enderly (51) tidak muncul untuk sarapan pagi itu. Ketika ia mencari di kamarnya, ibunya tidak ada di sana dan ranjangnya tidak menunjukkan bekas ditiduri. Chris takut terjadi kecelakaan. Bukanlah kebiasaan ibunya menginap di tempat lain.

Wakil inspektur bertugas menanyakan beberapa detail dan meyakinkan Chris bahwa laporannya akan ditangani. Setelah Chris pergi untuk bekerja, segeralah dikirim informasi pertama ke bagian orang hilang.

Sarah Enderly adalah seorang janda dan Christopher anak yatim. Ayah Chris, Gus Enderly, seorang pedagang merangkap pelaut, hilang pada kecelakaan kapal tahun 1977.

Meskipun mereka hidup berkecukupan, Sarah bekerja paruh waktu sebagai pramusaji di restoran universitas dari pukul 16.00-23.00.

Ketika ia tidak pulang pada malam sebelumnya, seorang detektif dari bagian orang hilang pergi ke restoran universitas untuk mencari kalau-kalau Sarah masih bekerja dan mungkin ada yang tahu ke mana ia pergi.

Detektif itu kembali dengan informasi bahwa Ny. Enderly bekerja normal seperti biasanya dan telah pulang pada pukul 23.00.

Detektif itu kemudian segera pergi ke rumah keluarga Enderly di Oakdene Road 7, untuk melihat kalau-kalau Ny. Enderly sudah kembali. Ternyata Sarah tidak ada di rumah, dan sepanjang waktu yang tersisa hari itu sang detektif memeriksa berbagai laporan kecelakaan dan mendatangi berbagai rumah sakit dan klinik di kota itu. 

Tetapi itu pun sia-sia, karena Ny. Enderly tidak ditemukan di salah satu tempat tersebut. Polisi segera meminta foto terakhir wanita itu dari putranya dan memasangnya di berbagai surat kabar lokal.

Tak seorang pun melaporkan pernah melihat Sarah yang sangat tak disenangi itu. Meskipun tidak benar-benar cantik, Sarah Enderly memiliki wajah yang tidak mudah terlupakan. 

Foto itu, seperti juga gambaran yang diberikan oleh putranya, menampilkan wajah seorang wanita perayu dengan wajah yang sudah menunjukkan garis-garis ketuaan, dagu yang sudah berlipat-lipat, kantung mata, dan tata rias yang berlebihan; semuanya menunjukkan usianya dan mungkin lebih tua lagi.

Karena usia dan penampilan Ny. Enderly, bagian orang hilang cenderung menangani hal ini secara lebih serius. Wanita yang hilang itu bukanlah gadis belasan tahun yang lari dari rumah untuk melakukan petualangan yang romantis. Hampir tidak ada penjelasan sama sekali mengenai hilangnya orang ini.

Akhirnya, bagian orang hilang menyimpulkan bahwa persoalan ini bukan merupakan wewenang mereka dan meneruskannya ke bagian penyelidikan kriminal. Di bagian penyelidikan kriminal masalah ini ditangani oleh Inspektur Harold Baker, seorang laki-laki periang berkumis melengkung ke atas. la memiliki seorang pembantu, Sersan Detektif Walter Cruikshank.

Sang Sersan adalah seorang laki-laki berkulit kecokelatan, dahi berkerut, dan alis hitam tebal; sementara dagunya yang berwarna kehijauan baru dicukur. Ekspresi wajahnya benar-benar menunjukkan rasa tidak percaya terhadap segala hal dan terhadap siapa pun. 

la sedang membaca laporan pertama mengenai penyelidikan yang dilakukan oleh bagian yang menangani orang hilang. Matanya menatap foto Ny. Enderly dengan penuh perhatian dan menugasi dua orang detektif anak buahnya untuk menyediakan latar belakang aporan wanita yang hilang itu, yang belum dilakukan sampai saat itu.

 

Mencari Mangsa di Taman

Dua hari telah berlalu dan tidak ada laporan dari kedua detektif itu. Sersan memanggil dan menanyai keduanya, apakah mereka punya rencana untuk mampir minum bir dan menyelesaikan tugas mereka.

Kedua detektif itu menjawab bahwa mereka tidak punya waktu untuk minum bir dan akan melaporkan tugas mereka, jika sudah rampung. Sejauh itu, mereka telah menyelidiki 20 orang laki-laki yang pernah berhubungan cinta dengan Sarah Enderly, tetapi mereka berpendapat hal ini tidak lebih dari sekadar puncak sebuah gunung es. Sersan terpesona dan meminta laporan sesegera mungkin.

Sekurang-kurangnya selama empat tahun, menurut kedua detektif itu, Sarah Enderly telah menjalin cinta yang mengakibatkan para wanita yang usianya lebih dari 30 tahun daripadanya menjadi cemburu. Meskipun tidak berhasil mempertahankan hubungan dengan seorang pun teman laki-lakinya, yang berbeda setiap malam, Sarah tidak merasa terlalu kehilangan.

"Apakah kau yakin tidak salah orang?" tanya Sersan, seraya mengambil foto dari file dan memeriksanya dengan minat yang baru.

Kedua detektif itu merasa yakin. Ny. Enderly secara berhati-hati telah menutupi affair-nya, tetapi hal itu telah menarik perhatian. Dikenal sebagai janda seksi dari Oakdene Road, Sarah cukup dikenal di berbagai kalangan.

Bagi seorang wanita yang memiliki banyak teman kencan, Sarah menjalani hidup sehari-hari, mengerjakan pekerjaan rumahnya di pagi hari dan pada sore hari pergi ke taman, di mana ia akan menyeleksi teman untuk diajak tidur malam itu setelah pulang bekerja.

Sarah tidak menemukan kesulitan dalam melakukan kontak. la dikenal luas sebagai mitra seksual yang antusias, dan ketika pertemuan itu dilakukan di malam hari, penampilan Sarah benar-benar tidak canggung. Karena Sarah tidak pernah menuntut, popularitasnya di antara berbagai tipe laki-laki yang pernah bersenang-senang bersamanya di taman benar-benar terjamin.

Setelah mendengar semua hal yang sangat mengherankan ini, Sersan meminta kedua detektif itu untuk melanjutkan penyelidikan mereka, dan lebih memfokuskannya pada berbagai pertemuan yang dilakukan akhir-akhir ini, serta membawa file itu kepada Inspektur Baker. Menurut laporannya, Ny. Enderly mungkin dibunuh oleh salah seorang kekasihnya.

Inspektur membaca laporan itu, memandang foto Ny. Enderly, dan bertanya, "Mengapa?"

"Mungkin tak ada alasan apa-apa," kata Sersan. "Pembunuh maniak. Mungkin ada beberapa penyimpangan. Tak pelak lagi, jika Anda berganti teman kencan tiap malam tujuh kali dalam seminggu, cepat atau lambat, Anda akan memperoleh seseorang yang khusus. Kemungkinan ini pun terjadi pada Ny. Enderly."

"Mengerikan," kata Inspektur, sambil memperhatikan foto korban. "Baiklah. Lakukan penyelidikan pembunuhan terhadap kasus ini. Kau harus mencoba dan menelusuri dari restoran universitas pada hari Senin malam. Ke manakah Sarah membawa para lelaki itu? Ke hotel-hotel murahan?"

"Ke rumah," kata Sersan. "Sarah selalu membawa mereka ke rumah."

 

Penumpang terakhir

Tetapi nampaknya pada tanggal 24 Januari malam itu tidak. Menurut para pramusaji yang lain di restoran universitas, Sarah Enderly tidak ditemani siapa-siapa pada malam itu.

Biasanya, selalu ada laki-laki yang menunggunya pulang dari kerja, dan para rekannya menceritakan dengan menduga-duga mengenai percintaan Sarah malam itu. Menurut mereka, beberapa dari teman kencannya adalah orang-orang yang aneh.

Jadi, ke mana perginya Sarah pada malam musim panas yang cerah itu? Apakah ia menuju ke taman, atau mungkin, ke beberapa kedai minum murahan dengan harapan bisa memperoleh sesuatu pada jam yang sudah larut itu. Atau ia langsung pulang?

Sersan tidak tahu bagaimana cara Ny. Enderly pulang dan pergi bekerja. la harus menanyakan hal itu kepada putranya. Sersan sangat tak menyukai hal itu, karena ia takut Chris akan menanyakan perkembangan penyelidikan itu dan ia sendiri pun tidak yakin seberapa banyak Christopher tahu mengenai kehidupan pribadi ibunya.

Pengecekan sepintas terhadap Chris menunjukkan bahwa ia tipe orang yang benar-benar sehat, seorang pramuka, dan ternyata Chris sama sekali tidak setuju dengan kesenangan ibunya yang dilakukan dengan sembarang orang yang bisa diperoleh di taman-taman umum.

Chris sama sekali tidak mengajukan pertanyaan selain apakah polisi telah menemukan jejak ibunya. la menjawab pertanyaan Sersan bahwa ibunya selalu pergi dengan bus. Naik bus sangat mudah, karena berhentinya di ujung Oakdene Road dan jaraknya hanya sekitar 27 m dari rumah.

Tapi ada berita baik. Jika Ny. Enderly naik bus setiap hari, pasti sopir bus sekurang-kurangnya mengenalinya dengan hanya melihatnya, dan sopir itu bisa mengatakan apakah Ny. Enderly naik bus pada tanggal 24 Januari malam.

Sersan menduga, Ny. Enderly tidak pulang dengan bus, karena ia pergi ke suatu tempat bersama pembunuhnya untuk dihabisi.

"Tetapi ia naik bus," kata sopir itu, Ralph Daniels. "Sama seperti setiap malam. Rute terakhir saya pukul 23.30 dan biasanya pada waktu seperti itu tidak banyak lagi penumpang. Malam itu hanya ada tiga orang penumpang dan Ny. Enderly merupakan orang terakhir yang turun.”

Menurut Daniels, ia mengenal baik Sarah Enderly dan kadang-kadang mengobrol dengannya, jika ia sendirian, tapi itu tidak sering. Malam itu Sarah sendirian dan mereka bercakap-cakap sedikit. Daniels juga tahu reputasi Sarah, tetapi menurutnya, Sarah adalah seorang wanita yang menyenangkan dan masalah kehidupan seksualnya adalah masalah wanita itu sendiri.

Sebagai reaksi terhadap hal ini Sersan ingin menyelidiki Daniels. Pada pukul 23.30 Oakdene Road praktis sepi. Nampaknya tidak mungkin sesuatu bisa menimpa Sarah Enderly dalam jarak 27 m dari perhentian bus ke rumahnya.

Bagaimanapun Daniels bukanlah orang yang benar-benar layak dicurigai. Usianya baru 23 tahun, lebih muda daripada Christopher, dan meskipun tidak ganteng ia cukup menarik bagi gadis seusianya.

Apa yang diharapkannya dari Sarah Enderly yang berusia 51 tahun? Seks? Sarah tidak akan memuaskan. Uang? Menurut putranya, Sarah tidak mungkin punya uang. Buktinya, ia cuma naik bus.

Meskipun demikian, Daniels tetap merupakan orang terakhir yang melihat Sarah, dan rute tersebut juga merupakan yang terakhir hari itu, yang bisa ditempuhnya dalam waktu 20 menit atau setengah jam sebelum kembali sendirian.

Daniels tidak pernah ditanyai secara langsung mengenai waktunya, jadi tidak diketahui apakah ia bisa memberikan alibi atau tidak. Jadi, bukan masalah jika hal itu dikesampingkan.

Pada waktu itu tidak ada alasan atau alibi bagi seseorang yang tahu apa yang terjadi pada Sarah Enderly atau bahkan jika sesuatu terjadi atas dirinya. Sarah hilang tanpa bisa dijelaskan, tetapi dengan mudah ia bisa dijemput oleh salah seorang teman kencannya dan pergi ke suatu tempat bersamanya.

Jika memang demikian, tentu hal itu terjadi setelah ia pulang ke rumah dengan menggunakan bus malam itu dan tanpa membawa pakaian atau barang-barang keperluan pribadi, seperti dilaporkan oleh Christopher bahwa tak ada barang-barang milik ibunya yang hilang.

 

Dihantam palu

“Dalam kasus ini," kata Inspektur Baker, "Sarah berada di antara perhentian bus di ujung Oakdene Road dan rumahnya sendiri. Ceklah para penghuni yang lain.” Para penghuni rumah lain sepanjang Oakdene Road diselidiki dan ditanyai. Tak ada seorang pun yang memperhatikan bahkan peduli terhadap hilangnya Sarah Enderly.

Mereka pasti mengenai Sarah dan juga tahu akan reputasinya. Kebanyakan dari mereka menganggap kegiatan-kegiatan Sarah adalah hal yang lucu. Beberapa orang menunjukkan simpati kepada Christopher yang mereka pikir akan shock, jika ia memergoki apa yang dilakukan ibunya dalam waktu senggangnya. Semuanya setuju bahwa Christopher sampai sekarang belum mengetahui hal itu. Beberapa orang menganggap Christopher tolol.

"Kita telah berbicara dengan semua orang di sana," kata Sersan, ketika melapor kepada Inspektur Baker, "dan kita juga telah melihat rumah-rumah itu. Tak ada yang perlu dijadikan 'sandera'. Mereka semua siap untuk bekerja sama. Tidak ada apa-apa."

"Bagaimana dengan no. 19?" tanya Inspektur sambil menyeleksi daftar wawancara. "Tak ada nama yang kau peroleh."

"Itu karena tak seorang pun tinggal di sana," kata Sersan.

"Itulah tempat pertama yang harus kau lihat."

Sarah Enderly, atau mayatnya, tidak ditemukan di dalam rumah kosong itu, melainkan di kebun belakang rumah tersebut. Mayat itu tergeletak dalam posisi tertelungkup di rumput yang tumbuh subur dan dikerumuni lalat. Karena belum ditemukan selama beberapa hari, Sarah menjadi perhatian orang.

Inspektur Baker datang sendiri untuk melihat mayat itu.

"Apakah kepalanya luka?" tanyanya kepada dr. Peter Ambrose, yang memeriksa mayat itu.

"Karena palu, saya pikir," kata dokter itu. "Di kepala bagian belakang terdapat tujuh pukulan yang sangat hebat. Tiga atau empat pukulan yang terakhir mungkin dilakukan setelah ia jatuh. Untuk menentukan hal itu kita terlalu banyak membuang waktu, tetapi saya curiga pembunuhan ini tidak dilakukan di sini."

Para teknisi dari laboratorium kepolisian mempertimbangkan pendapat dokter yang memperkirakan Ny. Enderly diserang dari belakang ketika sedang berjalan menuju rumahnya. Sarah Enderly diseret ke kebun rumah kosong itu dan dipukul beberapa kali lagi pada kepalanya, untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah mati.

Mengapa hal ini terjadi benar-benar masih merupakan misteri. Korban tak mengalami penganiayaan seksual dan tas tangannya tergeletak dua kaki dari tubuhnya. Tas yang belum dibuka itu berisi uang lebih banyak daripada yang diperkirakan putranya dibawa oleh ibunya. Di tas itu terdapat sidik jari yang bukan milik korban.

Jam tangan emas masih menempel di pergelangan tangan korban dan berhenti pada pukul 03.20. Tidak ada cara untuk mengetahui kapan ia masih hidup, sedangkan posisi tangannya tidak bisa digunakan untuk menentukan waktu kematiannya. Bagaimanapun, dr. Ambrose memperkirakan hal itu terjadi pada malam yang sama saat Sarah menghilang.

Ny. Enderly memakai perhiasan mahal, tetapi tidak satu pun dari perhiasan itu diambil. Jadi, bisa dipastikan bahwa motif pembunuhan itu bukanlah perampokan.

“Jadi, bukan karena uang ataupun seks," pikir Inspektur. "Juga tidak banyak orang gila. Jika ada orang gila yang kabur dan membunuhi orang dengan palu, mengapa kita hanya menjumpai satu kasus ini?"

 

Pertunangan dibatalkan

Suatu penelitian dari berbagai kasus yang terjadi baru-baru ini dan belum terpecahkan dibuka kembali menyusul ditemukannya mayat Sarah dengan teori bahwa ini merupakan satu seri. Tetapi tak ditemukan hal yang mirip dengan pembunuhan terhadap Sarah Enderly.

"Kebencian?" tanya Sersan. "Balas dendam karena beberapa kesalahan yang nyata atau khayalan?"

"Mungkin saja," kata Inspektur, "tetapi aku sulit membayangkan keadaan yang mengarah ke suatu kebencian. Kesalahan besar apa yang diperbuat oleh seseorang pramusaji tua yang berstatus janda di restoran universitas, sehingga ada orang yang merencanakan pembunuhan terhadapnya?"

"Sarah memiliki hobi yang tidak umum," kata Sersan. "Mungkin ia menggaet beberapa suami wanita lain."

“Ya, seorang wanita dengan palu berkualitas baik dan tangan yang kuat bisa melakukan hal itu," kata Inspektur, "tetapi kau 'kan tahu para lelaki yang menjadi rekannya. Apakah kau pikir ada seorang wanita yang demikian gila sampai membunuh demi mereka?"

"Tidak," kata Sersan, "tetapi kalaupun seorang pembunuh maniak mengapa hanya melakukan pembunuhan sekali? Jika itu masalahnya, kita bisa memasukkannya ke dalam kasus yang tak terpecahkan.”

"Kita harus melakukannya," kata Inspektur, "tetapi sebelum itu aku ingin setiap laki-laki yang pernah berhubungan dengannya diidentifikasi dan diperiksa. Kapan laki-laki itu terakhir kali bersamanya? Di mana laki-laki itu berada pada malam pembunuhan itu? Apakah ia berada dalam perawatan seorang dokter jiwa atau dituduh melakukan suatu tindak kriminal? Beri tahu aku jika kau sudah selesai."

Mata Sesan mendelik. "Hah!" serunya. "Wanita itu telah berganti-ganti pasangan setiap malam selama empat tahun dan Anda mengharapkan saya untuk ...!"

"Ah, belum tentu segawat itu," kata Inspektur menenangkan. "Itu bukan kota besar. Sarah pasti banyak melakukan kencan dengan orang yang sama."

Sersan belum merasa senang, dan ketika ada beberapa hal yang terlintas di benaknya lebih dari prospek mengenai detail pekerjaannya yang membosankan, dengan cepat muncul beberapa teori kriminal baru, tapi tak ada satu pun yang bisa dipertahankan.

Sersan sudah menyerah dan berhenti, ketika tiba-tiba datang informasi baru dari suatu sumber yang tidak diharapkan.

Tidak diharapkan, karena sampai saat itu tidak ada orang yang dicurigai. Nama Roger Ackworth tidak berarti apa-apa bagi Sersan, ketika seorang petugas di ruang jaga memberitahukan bahwa seorang laki-laki bernama Roger Ackworth ada di situ dan ingin berbicara dengan siapa saja yang terkait dengan penyelidikan pembunuhan terhadap Sarah Enderly.

Secara teknis, Inspektur yang bertanggung jawab, tetapi Sersan mengatakan ia akan menemui orang itu dan Ackworth dipersilakan masuk.

Sulit bagi Sersan untuk membayangkan bahwa pria yang bermartabat, berpakaian rapi, dan berusia 50-an ini adalah salah seorang kekasih Sarah Enderly. Ternyata memang bukan. Pria ini adalah ayah Melanie, seorang gadis menarik berusia 23 tahun, dan bekas seorang pengawal ratu.

Ackworth berbicara dengan susah payah dan perlahan-lahan, hati-hati memilih kata-kata, dan hal ini membuat Sersan menjadi sedikit tidak sabar karena ia ingin tahu apa hubungannya dengan pembunuhan terhadap Sarah Enderly.

"Christopher Enderly mengajak putri saya untuk menikah," Ackworth. "Christopher juga aktif di kepramukaan dan mereka bertemu dalam suatu acara kepramukaan musim panas lalu."

"Melanie sangat menurut kepada Chris dan kami setuju untuk menerima Chris di rumah kami pada malam Natal. Chris memberi kesan kami sebagai pemuda yang patut dihormati dan kami tidak menolak untuk melakukan pertunangan."

"Mungkin kami terburu-buru mengambil keputusan ini. Ketika diperhatikan lebih saksama latar belakang Chris, ternyata kami dapati bahwa ia tidak cocok menjadi suami putri kami, meskipun itu bukan karena kesalahannya sendiri."

"Karena itu kami meminta Melanie untuk mengembalikan cincin dan melarang dengan keras hubungan mereka. Melanie melakukan hal itu pada tanggal 18 Februari."

"Kemudian?" tanya Sersan dengan bingung.

"Melanie mengatakan kepada kami bahwa Chris sangat terpukul," kata Ackworth, "dan karena itu ia mengancam hidup ibunya. Sesuatu yang bisa membuat ibunya menghentikan kebiasaannya atau dialah yang akan menghentikannya."

"Menghentikan apa?" kata Sersan dengan rasa ingin tahu tetapi tak mengerti.

"Ny. Enderly yang mengakhiri pertunangan putri kami dengan putranya," kata Ackworth. "Penyelidikan kami menunjukkan bahwa Sarah menjalani suatu kehidupan yang tak masuk akal. Christopher tidak bersalah, tetapi kami tidak mengizinkan keluarga kami bergabung dengan sebuah keluarga yang memiliki kebiasaan berbuat skandal."

"Ada seseorang yang sangat membencinya," gumam Sersan. "Sarah melakukan kesalahan yang fatal terhadap orang itu ...."

“Maaf?" kata Roger Ackworth. 

"Tidak apa-apa," kata Sersan. "Saya telah menemukan orang yang saya cari."

 

Menyesal tak membunuh lebih awal

"Kita telah memikirkan anak laki-laki itu sebelumnya," kata Inspektur. "Kita tahu sifatnya benar-benar bertentangan dengan ibunya."

"Kita pikir ia tidak tahu," kata Sersan, "tetapi tampaknya ia sudah tahu lama sebelum Melanie Ackworth mengatakan hal itu kepadanya. Para pramuka telah mengingatkan Chris bahwa ia harus menanggalkan lencana kepramukaan, karena tingkah laku ibunya."

"Kehilangan kekasih merupakan puncak dari keputusasaan," kata Inspektur. "Apa yang diucapkannya dalam pemeriksaan resmi?"

Christopher Enderly baru saja selesai diperiksa karena pembunuhan yang direncanakan terhadap ibunya, dan Sersan membawa pernyataan yang sudah diketik dan ditandatangani untuk diperlihatkan kepada Inspektur. Soalnya, Inspektur tidak hadir waktu interogasi.

Tanpa bersuara Sersan memberikan berkas itu kepada Inspektur. Hal itu tak berlangsung lama. Christopher Enderly tidak menjelaskan detailnya dan ia tidak menunjukkan penyesalan atas tindakannya. Katanya, ia hanya menyesal mengapa tidak membunuh ibunya dua tahun lebih awal, ketika ia memergoki apa yang diperbuat ibunya untuk pertama kalinya.

Pada waktu itu Chris sedang belajar untuk menempuh ujian akunting dan masih bergumul dengan buku-bukunya, ketika ibunya pulang dari kerjanya sebagai pramusaji, yang baru dilakoninya selama setahun.

Karena rumahnya sangat besar dan kamar tidur mereka terletak di sayap yang berbeda, Chris tidak mendengar apa-apa selain suara pintu depan yang dibuka dan ditutup serta langkah kaki di gang.

Setengah jam kemudian atau lebih, Chris merasa haus. Ketika pergi ke dapur untuk minum, ia mendengar suara rintihan dari lokasi kamar tidur ibunya.

Takut ibunya sakit, Chris menghampiri kamar ibunya dan membuka pintu sedikit untuk menanyakan apa yang bisa dilakukannya.

Kamar itu gelap, tetapi cahaya bulan yang bersinar penuh masuk melalui jendela. Chris merasa sangat kaget ketika melihat ibunya benar-benar dalam keadaan telanjang dan melakukan hubungan seksual secara menggebu-gebu dengan seorang laki-laki tak dikenal yang sama bugilnya.

Pasangan itu benar-benar terlalu sibuk untuk memperhatikan Chris. Dengan perlahan-lahan Chris menutup pintu itu dan kembali ke kamarnya. Di situ ia merasa seperti orang gila.

Berbagai hal yang selama ini tanda tanya tiba-tiba menjadi sejelas kristal. Begitu pula komentar orang yang selama ini membuat mereka tertawa, tetapi tak dimengerti Chris. Juga saat beberapa orang asing bersimpati kepadanya dan saat ia dijauhi orang.

Setiap orang di Christchurch tahu apa yang dilakukan ibunya. Seperti seorang suami yang dibohongi istrinya, Chris merupakan orang terakhir yang mengetahui hal itu.

Chris tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Meninggalkan Christchurch? Jika hal itu dilakukannya, berarti ia menyuruh dirinya sendiri keluar dari kota itu untuk sesuatu yang bukan karena kesalahannya. Berbicara pada ibunya? Memohon pada ibunya untuk meninggalkan affair-nya dengan sembarang orang?

Chris tak bisa melakukan hal itu, dan pada saat kematiannya, Sarah Enderly benar-benar yakin bahwa putranya tidak tahu tentang kehidupannya yang sangat kotor.

Menurut Christopher, ibunya sendiri bahkan tidak tahu bahwa putranyalah pembunuhnya. Chris secara diam-diam pergi ke belakang ibunya dan menghantamkan palu dengan sekali pukulan mematikan. Ibunya segera jatuh, entah pingsan atau mati, dan Chris menyeretnya ke taman yang tak terpelihara dan memukulinya lagi untuk meyakinkan bahwa korban sudah benar-benar mati.

Ironisnya, pembunuhan itu terjadi pada salah satu dari beberapa malam Sarah pulang sendirian. Jika ia pulang ditemani seseorang tentu putranya tidak bisa memukulnya, karena akan ada saksi.

Christopher memperoleh banyak simpati dari masyarakat, dan pengadilan pun mempertimbangkan hal-hal yang benar-benar meringankannya. Saat cerita ini disusun belum diketahui apakah hal ini akan menyelamatkan Chris dari hukuman penjara seumur hidup atas pembunuhan berencana yang tak pernah disesalinya itu. (John Dunning)

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350829/mimpi-buruk-berakhir-di-ujung-palu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656531413000) } } [1]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350154" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/cinta-membawa-maut_anna-tarazevi-20220628020653.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(132) "Penduduk Selandia Baru digemparkan oleh kasus dokter yang dibunuh oleh dokter lain. Pembunuhnya adalah mantan pacar yang sakit hati." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/cinta-membawa-maut_anna-tarazevi-20220628020653.jpg" ["title"]=> string(18) "Cinta Membawa Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-28 14:07:06" ["content"]=> string(18384) "

Intisari Plus - Penduduk Selandia Baru digemparkan oleh kasus dokter yang dibunuh oleh dokter lain. Pembunuhnya adalah mantan pacar yang sakit hati. Apa alasannya di balik pembunuhan tersebut?

------------------

Pada suatu hari di bulan Januari 1955 para pembaca koran di Selandia Baru gempar. Berbagai koran di sana memuat berita terbunuhnya seorang dokter oleh dokter lain. Pembunuhnya seorang wanita, sementara korbannya seorang pria yang beberapa waktu sebelumnya menjadi pacar si wanita.

Si wanita terlalu mencintai pria itu. Sampai menganggap dirinya tidak bisa berpisah lagi dari pria tersebut. Secara main-main si pria diancam dengan senapan. Tetapi akibatnya fatal. Senapan yang berisi peluru tajam itu menyalak dan jadilah si pria korban dalam arti sesungguhnya. 

Kisah yang menghebohkan itu bermula dari saat dr. John William Saunders menjabat sebagai dokter tetap di Dunedin Public Hospital. Tanggung jawab John besar, karena dialah yang sehari-harinya berhubungan dengan pelbagai kasus penyakit yang masuk ke rumah sakit itu dari seluruh penjuru kota utama di South Island.

Banyak penduduk kota itu keturunan orang Skot yang kira-kira seabad yang lalu menetap di sana, sehubungan dengan ditemukannya tambang emas di Otago. Di sana ada dermaga, satu untuk mengekspor bulu domba ke Bradford, satu untuk mengekspor domba muda Smithfield. Jadi, kalau kuli dermaga tertimpa kemalangan biasanya segera dibawa ke rumah sakit yang dilayani dr. Saunders. Itu berlangsung sampai tahun 1953.

Kemudian datang seorang dokter wanita sebayanya untuk membantu dr. Saunders. Namanya dr. Senga Florence Whittingham. Dr. Whittingham menulis kepada teman-temannya bahwa dia sudah mendapatkan kebahagiaan dan pekerjaannya pun sangat menarik meskipun sangat sibuk.

Dr. Saunders juga menulis kepada ibunya yang sudah menjanda di Christchurch, sebuah kota lain di Selandia Baru dan ibu kota Provinsi Canterbury. Katanya, kini telah ada dokter lain, seorang wanita. Tampaknya dokter ini memiliki pribadi yang menyenangkan

Ternyata dr. Whittingham memiliki pendapat yang sama mengenai rekannya. Jadi, ketika dr. Saunders mengajaknya makan malam di luar, dr. Whittingham serasa terbang ke langit ketujuh. Restorannya remang-remang. Ada pula musik untuk berdansa. Sungguh menyenangkan sekali berdansa dengan dr. Saunders, pikir dr. Whittingham. Sejak itu keduanya bukan lagi dr. Saunders dan dr. Whittingham, melainkan John dan Florence. 

 

Menghadap ke calon mertua

Es yang pecah di malam makan dan dansa itu makin lumer, pada saat John dan Florence saling menemani di acara-acara sosial yang tidak jarang di Dunedin. Surat kedua dr. Saunders kepada ibunya. sudah mulai menyebut-nyebut dr. Whittingham yang baru datang itu sebagai cantik menarik.

"Ibu harus mengenalnya sendiri, kalau nanti dia saya bawa ke sana," tulisnya.

Ny. Saunders tersenyum. Dia mengetahui bahwa putranya bukan tidak suka pada wanita. Jadi, sedikit pun ia tidak heran bahwa putranya menganggap rekan dokter wanitanya sangat menarik. Justru keadaan yang sebaliknya akan membuat janda itu heran.

Tetapi dr. Saunders tidak segera membawa dr. Whittingham kepada ibunya di Christchurch. Itu bukan berarti John sudah jemu. Tapi malah sebaliknya.

Dalam bulan Mei 1953 dr. Saunders meminta dr. Whittingham agar mau menikah dengannya. 

"Kuminta kau jadi istriku, Florence," katanya. "Celaka bagiku kalau kau sampai menolaknya."

Kalimat terakhir itu merupakan catatan yang membuat dr. Whittingham tiba-tiba merasa kena pesona.

"Aku cinta padamu, John," katanya. "Aku takkan mencintai orang selain kau. Bahagiakah kau dengan itu?" 

"Lebih dari sekadar sangat bahagia sekali."

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh sukacita bagi pasangan yang baru saja bertunangan itu. Kini makin banyak waktu bagi mereka untuk berkumpul. Juga untuk kemesraan-kemesraan yang sebelumnya tak pernah ada di antara mereka. 

Sebulan setelah pertunangan mereka, Juni 1953, John membawa Florence kepada ibunya di Christchurch.

"Florence sedang menantikan bayi," kata John kepada ibunya. "Jadi, kami hendak menikah secepatnya."

Berita itu ternyata mengagetkan Ny. Saunders. Dia tidak yakin bahwa putranya benar-benar mencintai wanita muda yang seprofesi dan ternyata juga seranjang dengannya itu. Terlalu cepat. Mungkin nanti putranya akan menyesal, pikir Ny. Saunders dalam hati.

"Kalian harus yakin dan pasti mengenai bayi itu serta niat kawin kalian," kata Ny. Saunders dengan sungguh-sungguh.

Pasangan muda itu saling berpandangan. Mereka saling menjajaki reaksi atas kata-kata Ny. Saunders.

"Apakah Ibu tidak menghendaki pernikahan kami?" tanya John pada ibunya.

"Bukan begitu," kata Ny. Saunders. "Ibu tentu saja menghendaki pernikahan dan bayi kalau itu memang akan membahagiakan kalian dan kalian menghendakinya. Tetapi kalau bukan itu yang dikehendaki, maka pernikahan kalian akan menjadi suatu kesalahan besar!"

"Lalu bagaimana jadinya?" tanya sang wanita muda yang mengira dirinya mengandung dan tidak terkejut mendengar pendirian yang begitu rasional itu.

Ny. Saunders sekali lagi mengejutkan pasangan muda itu. "Kalau kalian berdua tidak menghendaki pernikahan itu, aku akan memungut bayinya sebagai anakku," katanya.

 

“Cintamu makin memudar”

Kunjungan ke Christchurch itu membuat keduanya lebih berpikir. 

"Ibuku sangat pemurah, bukan?" tanya John Saunders kepada tunangannya.

"Jangan-jangan beliau memang tidak menghendaki pernikahan kita, Bill - demikian panggilan John kalau mereka sedang berdua saja." 

Reaksi John sangat tajam. "Sama sekali bukan itu maksudnya. Beliau memikirkan kita. Sebab bagaimanapun kita mempunyai karier yang harus diperhatikan pula. Kita harus pragmatis mengenai segalanya."

Bulan-bulan berlalu. Dr. Whittingham makin hari makin merasa dirinya sebagai seseorang yang menyimpan rahasia, dan dia harus menanggung semua itu seorang diri. Memang dia masih sering keluar bersama-sama dr. Saunders, tetapi hubungan mereka sudah berubah. Bagi si wanita, kasih sayang si pria makin hari makin pudar. 

"Cintamu padaku rupanya makin memudar, Bill," kata Florence Whittingham.

Jofin Saunders menyangkal. Tetapi mungkin kurang sungguh-sungguh kedengarannya di telinga Florence. 

"Atau kau pun tidak menghendaki aku melahirkan anak itu, Bill." Kalimat itu bernada bertanya, tetapi juga menuduh.

"Bukan begitu sama sekali. Kau pasti tak mengerti apa yang kurasakan saat ini." Tetapi ia tak menjelaskan apa yang dirasakannya itu kepada si wanita.

Florence semakin merana dan merasa tertipu.

Pada bulan Agustus Florence menulis surat kepada Ny. Saunders di Christchurch bahwa dia baru saja menggugurkan kandungannya. "Ketika hal itu sudah saya lakukan, saya menyadari John tidak lagi menghendaki diri saya," akunya.

Surat itu sama-sama menyakitkannya, baik bagi si pengirim maupun bagi si penerima. Si penerima menyesali kehidupan dua manusia muda yang begitu rumit sampai membunuh seluruh kegembiraan yang ada di antara keduanya. Sementara si pengirim lebih dalam lagi sesalnya. Ada sesuatu pada dirinya yang mati. Tetapi lebih dari itu dia tidak bisa atau tidak mau merasa bahwa dia pun sebenarnya sudah pula kehilangan John Saunders.

Florence Whittingham juga tak mau menerima kenyataan itu. September berikutnya John memutuskan pertunangan mereka. Alasannya, tak ada hubungan dengan masih atau tidaknya cintanya pada Florence Whittingham. John hanya mendengar bahwa Florence takkan melahirkan bayinya.

"Jadi, tidak ada lagi alasan untuk tidak menikah, bukan?” kata John.

"Tetapi aku ingin menikah denganmu, Bill."

"Kita lihat saja nanti. Biarlah hal-hal ini berkembang dengan sendirinya," jawab John.

 

Harus bertindak

Florence Whittingham makin merasa tersingkir. Tetapi ia tetap minta waktu. Bagi Florence, pertunangan itu sudah menjadi masa lalu.

Florence Whittingham menulis surat pada ibunya bahwa hidupnya kini dilingkupi awan gelap. Dia memang masih mengerjakan tugas-tugasnya sebagai dokter di rumah sakit, tetapi semua ia tak ubahnya seperti robot yang menjalankan instruksi yang sudah diprogram. Di mana-mana ia merasa kakinya terantuk pada puing-puing kebahagiaan yang hancur berantakan. 

Lain lagi halnya si pria. Dia masih tetap populer, apalagi di kalangan perawat. Bahkan, John Saunders makin populer. Terutama di kalangan mereka yang datang di rumah sakit setelah putusnya pertunangan antara John dan Florence.

Florence Whittingham lalu mengambil keputusan bahwa dia harus melakukan sesuatu. Dia pergi dari rumahnya dan ketika pulang dia sudah memiliki sepucuk senapan .303 lengkap dengan pelurunya.

Seorang teman yang melihat barang itu tidak sesuai bagi kamar seorang dokter, bertanya. 

"Jangan mengira ini untukku sendiri!" jawabnya sambil tertawa. 

"Lalu untuk siapa?" 

"Untuk saudara laki-lakiku," jawab Florence Whittingham.

Tetapi Florence Whittingham tidak mempunyai kakak atau adik laki-laki. Jadi, akan bunuh dirikah dia, seperti dia katakan sendiri sudah membunuh anak yang dikandungnya? Suatu pertanyaan yang tak pernah terjawab. Tetapi juga merupakan suatu pertanyaan yang diajukan untuk membangkitkan simpati bagi seorang wanita yang jiwa dan hatinya penuh nestapa. Florence Whittingham yang mampu menyembuhkan penyakit orang lain, tidak berdaya menghadapi penyakitnya sendiri. 

Tahun 1954 merupakan tahun serasa di neraka bagi dr. Senga Florence Whittingham. Satu tahun di mana dia sampai pada kesadaran sepenuhnya bahwa tiada harapan untuk memperoleh kembali pria yang hilang itu.

Kecuali barangkali dengan menakut-nakuti si pria, sampai dia kembali kepadanya. Ulang tahun putus tunangan berlalu, seperti lalunya hari-hari ulang tahun lainnya.

Sampai menjelang 12 Desember 1954 senapan yang dibelinya itu masih tersimpan di lemari. Mungkin selama itu Florence lupa, untuk apa sebenarnya senapan itu dibeli. Tetapi agaknya tanggal 12 Desember menimbulkan ide baru padanya, kalau bukan motif yang lama terpendam muncul kembali.

Hari itu dr. Brian McMahon mengundang rekan-rekannya anggota staf rumah sakit umum untuk minum-minum di apartemennya. Termasuk para perawat senior, di antaranya Frances Olga Zoe Kearney, teman baru dr. Saunders. 

Entah bagaimana, dr. Florence Whittingham mendengar bahwa dr. Saunders akan datang berpasangan dengan Nona Kearney. Berita yang belum tentu kebenarannya itu membuat dr. Florence Whittingham putus asa. Diraihnya telepon untuk menghubungi Nona Kearney.

“Di sini ibu anak dr. Saunders," terngiang di gagang telepon yang dipegang Nona Kearney. 

"Apakah Anda dr. Whittingham?' tanya Nona Kearney. 

"Ya," suara dari seberang lain. 

Nona Kearney lalu meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Tetapi segera diambilnya lagi untuk memberitahukan hal itu kepada dr. Saunders.

 

Tewas dalam pelukan 

Demikianlah suasana menjelang pertemuan petang di apartemen dr. McMahon. Dr. Saunders membawa Nona Kearney ke pertemuan itu dan mereka sudah tiba siang-siang.

Dr. Whittingham membawa senapan .303-nya ke pertemuan itu. Dia tiba larut malam. 

Ketika acara minum-minum disertai nyanyi dan tari itu menghangat, dr. Whittingham kembali ke apartemennya sendiri, untuk menulis surat kepada temannya, Liz.

"Aku ingin menjadikan diriku hiburan bagi ibuku dan ibu Bill. Aku merasa terpukul sekali dan celaka. Aku tak bisa lagi. Aku menanggung rasa sakit begitu banyak. Aku mencintainya, tetapi tak ada gunanya lagi."

Tetapi Liz tidak pernah menerima surat itu. Sebab dengan bergantinya tanggal 12 menjadi 13 Desember, para tamu yang meninggalkan apartemen dr. McMahon tidak jadi segera pulang ke tempatnya masing-masing. Mereka terpanggil oleh letusan senapan dan kemudian teriakan histeris dari arah apartemen bekas tempat pesta.

Dr. Saunders tampak berlutut. Bajunya berlumuran darah segar. Kepalanya berada dalam pelukan dr. Whittingham.

"Bill, Bill, dengarkan aku," kata dr. Whittingham.

Tetapi dr. Saunders yang dipanggil Bill itu sudah tewas. Pelukan dr. Whittingham terlepas. Jenazah dr. Saunders terkapar di tengah-tengah apartemen yang beberapa menit sebelumnya penuh dengan tawa ria.

Di dekatnya terkapar pula dr. Whittingham yang jatuh pingsan. Di antara keduanya tergeletak sepucuk senapan .303.

"Bawa dia ke kamarku," kata dr. McMahon, untuk menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan.

"Aku mencintai dia, aku tidak bisa tidak mencintai dia," kata dr. Whittingham ketika siuman kembali di kamar dr. McMahon. "Aku hanya ingin menakut-nakuti dia. Aku tidak bermaksud menembaknya sungguh-sungguh. Aku hanya menakut-nakuti dia."

Kata-kata di atas ini dimuat juga dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani dr. Senga Florence Whittingham dalam tahanan. Dengan tambahan, "Aku tidak bermaksud lain daripada menakut-nakuti dia dengan senapan. Yang kukehendaki adalah kebahagiaan kami berdua."

Kata-kata yang sama terdengar pula lirih, ketika pada hari Selasa, 8 Februari 1955, pengadilan mulai memeriksa dr. Senga Florence Whittingham dengan tuduhan membunuh bekas tunangannya di apartemen dr. McMahon.

Tertuduh tetap pada pendiriannya, bahwa dia sama sekali tidak bermaksud membunuh Saunders. Dia cuma hendak menakut-nakuti korban. Karena itu persoalannya lalu beralih pada disengaja atau tidak disengajanya senapan yang diacungkan ke arah korban meledak.

Pemeriksaan pengadilan tetap berlangsung selama enam hari. Tiap hari ruang pengadilan penuh sesak. Sebab kecuali tiap skandal di rumah sakit selalu mendapat perhatian luas, belum pernah sebelumnya terjadi di Dunedin dokter dibunuh oleh dokter lain.

Juri baru bisa berembuk mulai Senin, pukul 17.25. Tujuh jam kemudian mereka keluar dari ruang rapat, hanya untuk bertanya kepada hakim, apakah tuduhan pembunuhan bisa diubah menjadi tuduhan penganiayaan.

Dr. Whittingham dan semua orang yang menaruh minat pada perkara itu masih harus menunggu lima jam lagi. Lima jam itu pula mereka rapat, sementara dr. Whittingham duduk menunggu di gang di bawah ruang pengadilan. la dianggap sebagai tokoh yang diliputi gagasan-gagasan yang tak pernah terpikirkan oleh orang lain. Akhirnya, juri keluar dan menyampaikan keputusannya kepada hakim.

Mereka berpendapat dr. Senga Florence Whittingham bersalah menganiaya dr. John William Saunders. "Kami berpendapat senapan itu meledak tanpa disengaja," kata juri.

Hari Jumat, 18 Februari 1955, pengadilan berhimpun lagi untuk menjatuhkan vonisnya. Dr. Senga Florence Whittingham yang menembak mati dr. John William Saunders dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena dianggap menganiaya sesama manusia, bahkan rekan sejawatnya. (Leonard Gribble)

" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350154/cinta-membawa-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656425226000) } } [2]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3306312" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/freda-diserang-penyakit-misteri-20220603055826.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(113) "Takut akan diracun seperti yang dilakukan suaminya ke istri pertamanya dulu, seorang istri meracuni diri sendiri." ["section"]=> object(stdClass)#72 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/freda-diserang-penyakit-misteri-20220603055826.jpg" ["title"]=> string(34) "Freda, Diserang Penyakit Misterius" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:58:53" ["content"]=> string(19124) "

Intisari Plus - Takut akan diracun seperti yang dilakukan suaminya ke istri pertamanya dulu, seorang istri meracuni diri sendiri dengan motivasi polisi akan menuduh suaminya yang meracuni dirinya. Dan polisi pun percaya.

-------------------------

Lama sekali Freda Wilson harus menggeliat-geliat menunggu ajalnya.

Usianya baru 53 tahun. Sesungguhnya dia wanita yang kuat, tetapi rasa nyeri itu membuatnya mengerang-ngerang dan menggeliat dengan otak tetap sadar.

Tablet pembunuh rasa nyeri pemberian dr. Roventry, dokter keluarganya, dalam jumlah yang meningkat rupanya sia-sia saja. Penyakit pasiennya ini tak bisa didiagnosis. Bahkan penyinaran dengan sinar-X tak menunjukkan adanya tukak lambung, tidak juga ada batu dalam kandung empedu. Tetapi nyeri luar biasa itu menyerang lambung dan seluruh tubuh. Ini dimulai sejak bulan Januari 1979.

 

Diracuni 

Suami-istri Wilson tidak tinggal di kota, melainkan di peternakan domba mereka yang amat luas dan makmur itu. Letaknya sekitar 35 mil dari kota. 

James Wilson, suami Freda, adalah seorang laki-laki tampan berusia 54 tahun. Dia datang ke Selandia Baru tanpa kekayaan apa pun, kecuali selembar baju yang dikenakannya. Di sana, dia mencoba mengadu untung pada tahun 1947. 

Dia berasal dari lnggris. Tidak sampai setahun di sana, ia menikah dengan Norah Harwood, seorang wanita yang menyenangkan, yang lebih tua dari James dan merupakan putri tunggal pemilik tanah terbesar di daerah tersebut. James jadi seperti ketiban rezeki.

Tetapi muncul persoalan. Kata dr. Roventry, dokter langganan Norah Wilson, Norah tidak bisa mengandung. Dokter itu juga tahu, suami-istri Wilson itu tidak akur. 

Keberuntungan James Wilson datang lagi waktu Norah meninggal dunia pada bulan Januari 1964. James Wilson mewarisi peternakan istrinya. Enam bulan kemudian Wilson mengawini Freda Smart, seorang pegawai perusahaan besar mesin-mesin pertanian.

Polisi lalu mengadakan penyelidikan, karena kata dr. Roventry, ia tidak menemukan penyebab kematian pada Norah. Pada pemeriksaan mayatnya terbukti kematian Norah disebabkan oleh racun strychnine.

James lalu mengaku memang menyimpan strychnine di rumahnya. Maksudnya untuk memusnahkan hama di peternakannya. Karena kurang berhati-hati, dia menyimpannya dalam botol bekas limun di dapur. Mungkin Norah mengira itu botol limun yang selalu diminumnya setiap sore waktu menonton acara favoritnya di layar TV. Saat itu James sendiri sedang berada di Wellington mengurus bisnisnya.

Tampaknya kata-kata James itu benar. Norah mati di depan pesawat televisinya. Sebuah botol limun setengah kosong berisi strychnine tergeletak di sisinya. Menurut penyelidikan pula James memang sedang berada di Wellington saat kematian istrinya tiba. 

Bagaimanapun polisi belum yakin betul bahwa kematian Norah ini cuma sebuah kecelakaan. Dari penyelidikan kemudian diketahui bahwa James terlibat skandal dengan Freda Smart, jauh sebelum kematian Norah. Tepatnya, sejak April 1962.

Secara pribadi, inspektur yang menangani kasus itu yakin bahwa James sengaja membunuh istrinya itu supaya bebas mengawini kekasih gelapnya. Kenapa tidak menceraikan istrinya saja? Karena kepemilikan perusahaan masih atas nama Norah. Jelas dia akan kehilangan segalanya.

Ny. Wilson yang kedua hidupnya terasing. Satu-satunya orang di daerah itu yang berurusan dengannya cuma Jessica Lasey. Nona Lasey adalah pemilik toko sandang pangan kecil di dekat peternakan Wilson. Mereka berdua cepat jadi akrab.

Jessicalah yang menemani Freda sampai menjelang ajalnya. James waktu itu ada di Wellington untuk suatu tugas.

Jessica menelepon meminta pertolongan dr. Roventry.

“Dia mendapat serangan mendadak yang amat hebat,” tangis Jessica. “Rasa nyeri itu membuatnya sangat kesakitan. Saya rasa dia tinggal menunggu ajalnya saja.”

Ketika dr. Roventry sampai di sana, Freda sudah meninggal dunia. Freda mati dalam penderitaan yang sangat berat. Anehnya, kebalikan dari fisiknya yang begitu menderita, wajahnya bukan main tenangnya. Senyumnya menampakkan kepuasan.

Tidak demikian halnya dengan dr. Roventry. Ia tak habis heran apa penyebab kematian pasiennya. Bukan saja menolak membuat surat pernyataan kematian, ia juga minta segera dilakukan pemeriksaan mayat pasiennya itu.

Polisi sangat setuju. Mereka semua belum melupakan peristiwa kematian Ny. Wilson pertama yang misterius itu, sampai ada isu-isu tertentu di bagian penyelidikan pembunuhan.

Apakah kali ini James terlalu berani mengambil risiko? Kini dia harus menanggung akibat satu pembunuhan yang dilakukannya. Bahkan kedua-duanya.

 

Lagi-lagi karena racun! 

Pemeriksaan mayat Freda dimulai, begitu juga penyelidikan terhadap kekasih yang baru. Namanya Ivy Thomas, sangat cantik, dan usianya 26 tahun.

Skandal Nona Thomas dengan James Wilson dimulai bulan Oktober 1978, dan Freda mulai mengeluh sakit-sakitan sejak bulan Januari 1979. Kalaupun suatu kebetulan, ini kebetulan yang bukan main bagi polisi.

Tetapi tentu saja tidak kebetulan. Pemeriksaan mayat menunjukkan bahwa Freda Wilson mati oleh racun arsenikum. Racun itu ada di lambung, di hati, di organ-organ vital tubuhnya, dan yang terpenting di rambutnya.

Kalau sampai racun arsenikum bisa meninggalkan jejak di rambut, berarti Freda sudah mulai diracuni sejak lama, katakanlah kira-kira awal 1979 atau akhir 1978 sampai di hari akhirnya.

Dia bukannya meminum racun dalam botol limun, tetapi dia memang dicekoki racun arsenikum dalam dosis kecil, yang makin lama makin bertimbun di tubuhnya. James Wilson ditahan, dan secara resmi dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap istrinya, Freda. James Wilson membantah.

Polisi menunjukkan bahwa ia ada main dengan Ivy Thomas, yang jauh lebih muda, jauh lebih menawan daripada istrinya. Jelas, Wilson ingin mengawininya.

Sama sekali tidak, kata Wison. Dari gadis itu dia cukup mendapatkan kesenangan seksual saja. Gadis itu tak terlalu cakep.

Ketika ditanya, Ivy mengatakan James Wilson tak pernah mengemukakan rencana untuk mengawininya. Lagi pula, menurutnya, laki-laki itu terlalu tua untuk jadi suaminya. Cukup untuk bersenang-senang saja.

Ivy Thomas, yang masih begitu muda, modern, dan bebas itu tak tertarik sama sekali pada peternakan. Dia bisa mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya sendiri. Akhirnya, gadis itu mengajukan pertanyaan yang membuat pusing polisi. 

Kalau memang nantinya James Wilson pasti akan dicurigai, mengapa dia menghabiskan waktu berbulan-bulan meracuni istrinya? Bukankah kalau mau, dia bisa saja menceraikan Freda? Mudah saja.

Cerai dari Freda, bagi James mungkin saja. Tapi tak mungkin cerai dari Norah, karena Norahlah yang memegang kekayaan. Setelah Norah meninggal, dan dia kawin dengan Freda, kekayaan ada di tangan James Wilson. 

Sekarang tidak ada motif kuat yang melatarbelakangi pembunuhan ini. Kata Wilson, dia sudah tidak pernah lagi membeli arsenikum atau menyimpannya di petemakannya. Dia juga kapok menyimpan sesuatu yang bersifat racun di rumahnya sejak kematian kecelakaan istri pertamanya.

Lagi-lagi ini pernyataan yang memusingkan polisi. Arsenikum itu dimiliki Wilson untuk keperluan peternakannya. Di samping itu, banyak obat-obat pembunuh serangga yang mengandung arsenikum, lalu bisa jadi makanan Freda kemasukan sedikit cairan penyemprot itu.

 

Mengaku membunuh istri pertama 

Karena pertanyaan bertubi-tubi, James Wilson jadi patah semangat dan akhirnya mau mengakui pembunuhan atas istri pertamanya. Dialah pembunuh Norah, bukan Norah yang salah minum.

“Hidup kami tidak bahagia,” kata Wilson, “dan kami bukan pasangan yang cocok dalam hubungan seksual. Lagi pula ketidakmampuannya mengandung itu membuat rasa cinta kami yang tak begitu tebal itu makin rapuh.”

“Pada tahun 1962 diadakan pameran alat-alat pabrik. Di saat itulah saya bertemu dan tertarik pada Freda. Waktu itu saya pergi melihat-lihat untuk membeli sebuah traktor baru. Ada pesona dalam dirinya, sehingga saya lalu mengajaknya makan bersama.

“Kami saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Sesungguhnya saya tidak mencintai Norah. Kalau bukan karena peternakannya, saya takkan sudi menikahinya. Saya akui, tapi saya bukannya laki-laki pertama yang kawin karena suka harta.”

“Akhirnya, pada hari Selasa malam, tanggal 12 November 1963, saya ingat benar, suatu pikiran muncul di benak saya. Saya sedang bahagia di samping Freda, tapi sekarang saya harus pulang ke peternakan lagi. Saya tidak suka. Saya mendengar hati nurani saya berbicara, “Norah harus disingkirkan.”

“Freda tak setuju, bukannya tak setuju pada pembunuhan itu sendiri, tapi takut kalau saya ditangkap.” Tapi harus dilakukan sesuatu sebelum Norah mendengar dengan telinganya sendiri tentang gosip mengenai suaminya.

Wilson menyusun rencananya. Norah mempunyai kebiasaan minum sebotol limun jeruk, setiap sore ketika menonton TV. Cukup dengan satu sendok makan strychnine dalam botol itu dan Norah akan tewas.

Wilson menyiapkan minuman maut itu dan botol disegel kembali. Urutan botol ditaruh paling ujung. ltulah yang akan diminum Norah terlebih dahulu. Pada saat itu James merencanakan tak berada di peternakan, tapi di Kota Wellington.

Freda tetap khawatir. Dia tahu suatu waktu James Wilson akan tertangkap. Sedangkan Wilson yakin, polisi cuma bisa mengatakan kematian Norah sebagai kecelakaan.

Ketakutan Freda baru terbuka 15 tahun kemudian. Tetapi Wilson tak mengakui mencelakakan Freda.

Kalau benar-benar Wilson tak bersalah, tinggal satu orang lagi yang patut dicurigai: Jessica Lasey! Tak ada yang dekat dengan Freda, kecuali Nona Lasey. Ivy Thomas yang sebenarnya lebih punya motif, tak kenal Freda dan tak sekali pun pernah bertandang ke rumah Wilson.

Tapi apa motif Jessica Lasey? Mungkinkah Jessica dan James ...? Polisi tak menemukan jejak hubungan khusus mereka berdua

Di luar dugaan polisi, Jessica menyimpan sebungkus pembunuh hama mengandung arsenikum, dengan jumlah yang cukup untuk membunuh Freda. Lebih jelek lagi, bubuk itu dibeli minggu pertama bulan Januari, tak lebih dari sebulan sebelum Freda mulai mengeluh. Tapi ratusan orang lain pun membeli bubuk yang sama. Tak mungkin mencurigai semua orang.

Lagi pula tidak setiap hari Jessica main ke rumah Freda, dan bukan pula pada jam makan.

 

Menyangkal sampai mati 

Penyelidikan membuktikan bahwa Jessica bukan hanya teman baik dan sejati bagi Freda, tapi juga satu-satunya teman Freda.

Wilson tidak hendak mengakui perbuatannya. Sementara itu tak pula ada bukti kuat siapa pembunuh Freda. Akhirnya, pada tahun 1980 James dibawa ke pengadilan bukan untuk pengakuannya membunuh Norah, tapi karena penyangkalannya membunuh Freda. Saksi penuntut mengemukakan teori yang menjabarkan motif kejahatan ini. 

Freda Wilson sudah mengetahui skandal suaminya dengan Nona Thomas. Dia jadi ingat pada peristiwa dirinya sendiri yang merebut Wilson dari tangan istri pertamanya dulu.

Dia sudah memasuki usia 50-an dan mungkin rasa cinta Wilson padanya mulai berkurang. Jangan­ jangan Wilson akan menceraikannya atau bahkan membunuhnya. Freda tahu, Wilson orang yang berdarah dingin. Freda yang tak ingin diceraikan ini, lalu mengancam akan melaporkan perbuatan membunuh Norah itu pada polisi.

Reaksi Wilson adalah membunuh Freda. Dia memilih arsenikum. Dia tak tahu bahwa seperti kebanyakan orang awam lainnya, racun arsenikum itu bisa berbekas dalam tubuh yang dirasukinya.

Pada tanggal 24 April 1980, James Wilson dikenakan hukuman penjara seumur hidup. Mendengar keputusan hakim itu, Wilson jatuh pingsan karena serangan jantung dan segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah keluar dari rumah sakit, ia dikirim ke penjara untuk menjalani hukuman seumur hidupnya. Agak mustahil kedengarannya, ia tetap menyangkal membunuh Freda.

Wilson tak tinggal di penjara terlalu lama. Tak lebih dari sebulan kemudian Wilson mendapat serangan jantung yang kedua dan pada tanggal 20 Mei 1980 dia mengembuskan napas terakhirnya.

Penyangkalan Wilson sampai mati ini membuat inspektur was­ was. Keyakinan Wilson itu mungkin memang benar bahwa dia hanya melakukan kejahatan pada istri pertamanya, tetapi tidak pada istri keduanya. Yang membuat inspektur itu waswas, siapa sebenarnya yang membunuh istri kedua Wilson itu?

Laporan kematian Wilson dimuat di koran keesokan harinya. Pada hari berikutnya inspektur kedatangan tamu yang tak disangka-sangka. Tamu itu adalah Jessica Lasey. Dia datang ingin berbicara empat mata dengan Inspektur.

“James Wilson tak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya,” kata wanita itu. Dengan menahan sabar Inspektur menunggu kelanjutannya.

“Freda hidup dalam ketakutan akan kehilangan suaminya,” lanjut Jessica. “Dia mengambil Wilson dari istri pertamanya, dan dia takut peristiwa itu akan berulang. Semakin dia bertambah umur, semakin ketakutannya datang."

 

Menahan derita demi suami 

Pada malam Natal 1978, dia melihat mimpi buruknya jadi kenyataan. Sore itu dia sedang mengendarai mobilnya pulang, dan dia melihat mobil James di parkir di semak-semak jalan besar. Karena curiga, dia menghentikan kendaraannya, keluar dari mobil, dan mengintip pelan-pelan lewat semak-semak. 

“James duduk di tepi sungai kecil, sementara Ivy Thomas berendam dalam air dalam keadaan tanpa busana. James mengemis-­ngemis supaya Nona Thomas cepat keluar dan tak membuatnya menunggu terlalu lama lagi."

“Itulah mimpi terburuk Freda. Ketika datang pada saya mukanya seputih kapur dan badannya bergetar hebat, dan ia tampak 20 tahun lebih tua. Tadinya saya yakin ia mendapat serangan jantung.

“Ya, itu memang sejenis serangan jantung. Terus-menerus dia berucap, 'Dia cantik! Masih muda! Muda sekali! Apa yang bisa kulakukan?'"

"Saya katakan, hanya ada dua cara: lupakan apa yang disaksikannya dan tutup mulut, atau menceraikannya. Dia bisa, kalau mau meneruskan perkawinannya dengan menolak perceraian dari James.” 

“Dengan demikian James tak bisa mengawini gadis itu, meskipun gadis itu bisa memilikinya. Dia tak peduli pada kata-kata saya. Dia ingin memiliki suaminya dengan seutuh-utuhnya. Pasti akan terjadi apa-apa, kalau dia menolak permintaan cerai James," katanya.

"Saya tanya, apa maksudnya. Lalu dia ceritakan, dulu James membunuh istrinya karena tak bisa menceraikannya untuk bisa kawin dengan dia. Saya bilang, 'Mau apa lagi.' Semua orang telah percaya bahwa dia membunuh istrinya dan lolos. Kalau James berani melakukannya lagi, dia berada di ambang sialnya."

"Sungguh salah saya mengatakan hal serupa itu, karena kemudian dia menatap saya tanpa sepatah kata pun untuk sejenak, lalu berkata perlahan, 'Kalau memang begitu inilah jalannya."'

"Saya tanyakan apa maksudnya. Dia bilang, kebetulan dia tahu bahwa racun arsenikum tetap tinggal di tubuh dan akan ketahuan sewaktu dilakukan pemeriksaan mayat."

"Tapi ...?" tanya Inspektur tergagap. “Rasa nyerinya luar biasa ... dan makan waktu berbulan­bulan ... dia sanggup sendiri ...?"

"Ya, benar. Freda meracuni dirinya sendiri dengan arsenikum, dengan niat supaya suaminya dituduh melakukan pembunuhan atas dirinya.”

(John Dunning)

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306312/freda-diserang-penyakit-misterius" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654279133000) } } [3]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3305968" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/gara-gara-burung-hantu_remy-giel-20220603054113.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(127) "Demi burung, Caley Bridgeman bersusah payah merekam suara indah mereka. Nahas, Caley terpeleset dan ditemukan hanyut di sungai." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/gara-gara-burung-hantu_remy-giel-20220603054113.jpg" ["title"]=> string(22) "Gara-gara Burung Hantu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:42:36" ["content"]=> string(46575) "

Intisari Plus - Demi burung, Caley Bridgeman bersusah payah merekam suara indah mereka. Nahas, Caley terpeleset dan ditemukan hanyut di sungai dengan tangan kaku yang bengkok. Diperkirakan ia tidak kecelakaan, melainkan dibunuh!

-------------------------

Di pagi hari sebelum meninggal, Caley Bridgeman terjaga pada saat burung-burung bel sudah mulai mengumbar kicauan subuhnya. la keluar dari kemahnya. Jauh di seberang sungai, di balik bayangan pepohonan, kelihatan dua Land Rover dan kemah - kemah lain: kemah istrinya, kemah anak tirinya, kemah David Wingfield, sipengawet binatang, dan kemah Solomon Gosse. Gosse, yang baru bertengkar dengan dia. 

"Ting. Ding," siul burung-burung bel. Malam ini kalau semuanya beres, kicauan mereka akan terpadu dengan kicauan si burung hantu - Ninox novaeseelandiae alias si ru-ru, alias burung morepork. 

Matanya menjelajah ke bibir tebing, tempat sebatang pohon beech menjulang ke langit. Peralatannya sudah ia sembunyikan di kaki pohon itu, siap untuk dipasang. Sekarang, paling tidak dua jam sebelum para penghuni kemah bangun, adalah waktunya untuk memasang.

Ia menyelinap di antara belukar dan semak duri menuju sebuah jembatan kasar yang dibangunnya sendiri melintasi sebuah celah sempit yang amat dalam. Di celah ini mengalir anak sungai yang bertemu dengan Sungai Wainui di dekat perkemahan. Muara itu sedang mereka bendung untuk dijadikan semacam kolam renang, tapi ia tidak ingin ikut-ikutan. 

Jembatan itu lebih dari 1 m panjangnya, terbuat dari dua batang kayu beech yang diletakkan di kedua tepian. Tujuh meter di bawahnya tampak kilat dan riak anak sungai itu. Lewat jembatan, sampailah ia di pohon itu. Semua alat perekamnya terbungkus di dalam tas-tas hijau yang kedap air dan tersembunyi di sebuah lubang di bawah akar pohon. 

Ia memanjat pohon untuk memasang mikrofon paraboliknya.

 

Tak akur dengan semua orang 

Pukul 11.30 itu Bridgeman turun dari kunjungan ke Bald Hill. Didengarnya sebuah letupan, lalu kepakan sayap dan lolongan kecil. Di bawah dilihatnya David Wingfield. Mereka saling berpandangan. "Apa itu yang kaugenggam?" "Buka tanganmu," kata Bridgeman. 

Kedua tangan si pengawet binatang membuka. Ada benda kecil berbulu di telapak tangannya. Burung rifleman, yang paling kecil dan bersahabat di antara semua burung di Selandia Baru. 

"Kulaporkan kau," ancam Bridgeman, si pencinta burung. 

"Persetan!" Wingfield bangkit. Ia manusia raksasa. 

Sejenak tampak seolah Bridgeman akan terjun menerkam dia. 

"Percuma," Wingfield berkata. "Aku bisa bereskan kau dengan satu tangan." 

Ia memungut senapan anginnya, lalu berlalu - perlahan. 

Tengah hari para penghuni kemah menyantap makan siang yang dimasak oleh Susan Bridgeman. Bendungan sudah selesai mereka kerjakan. Aliran anak sungai sudah melewati dinding bendungan kecil ini dan tercurah ke Wainui. 

"Apa dia tidak akan pulang mengambil pakaian?" tanya Clive Grey kepada ibunya. Sebisa-bisanya ia selalu menghindari menyebut nama ayah tirinya. 

"Kurasa tidak," jawab ibunya. "Ia sudah mengambil pakaian cukup untuk seminggu." 

"Aku ketemu dia," kata Wingfield. 

"Di mana?" tanya Solomon Gosse. 

"Di belukar di bawah Bald Hill. Kurasa ia takkan datang hari ini," katanya. 

"Bagus," ujar anak tiri Bridgeman keras. 

"Jangan seperti itu, Clive," kata ibunya spontan. 

"Kenapa tidak?" tanyanya sambil memandang berang kepada ibunya. 

Hari itu panas sampai malam. Pukul 23.00 Susan Bridgeman dan pacarnya meninggalkan tempat pertemuan rahasia mereka di semak belukar dan kembali ke perkemahan yang sudah senyap. Sebelum berpisah, Susan berkata, "Ia tak bakal menceraikanku. Bahkan kalau kita terang-terangan sekalipun." 

"Bukan soal lagi sekarang." 

Si burung hantu, ru-ra, terus memperdengarkan suaranya di atas pohon beech yang tinggi itu. 

"Mopok! Mopok."

 

Lengan bengkok di sungai 

Menjelang tengah malam turun hujan deras. David Wingfield mengenakan sepatu bot dan jas hujannya. Diambilnya obor, lalu ia berkeliling perkemahan untuk mengeraskan ikatan tambang-tambang dan memeriksa apakah saluran air tidak teralang. Ia memang seorang yang bertanggung jawab. Waktu sinar obornya bergerak di atas kemah Susan, Susan berteriak, "Kaukah itu? Apa semua beres?" 

"Beres," katanya. "Tidurlah." Solomon Gosse menongolkan kepalanya dari bawah kemah. "Sialan!" teriaknya, lalu kepala itu masuk lagi. 

Clive Grey yang terakhir bangun. Ia baru saja bermimpi buruk lagi tentang ibu dan ayah tirinya. 

Hampir fajar hujan pun berhenti. Pukul 09.00 lewat sedikit matahari mulai muncul. David Wingfield-lah yang pertama bangun. Ia mengenakan sepatu bot, sehingga langkahnya berkecipak. 

Setelah makan pagi, mereka pergi melihat bendungan. Air di kolam mereka sudah setinggi tepian, tapi bendungannya cukup kuat. Sebuah pohon muda tercabut dari akarnya, terbawa arus. Mereka terpaksa harus berbicara sambil berteriak untuk mengalahkan gelora air. 

"Kita terkurung. Ya, 'kan?!" teriak Clive kepada Wingfield seraya menunjuk-nunjuk ke air. Wingfield membuat gerakan tak berdaya. 

"Sampai kapan?" Susan bertanya ke arah wajah Wingfield. Ia mengangkat bahu dan mengangkat tiga jari, kemudian lima jari. Solomon Gosse menepuk lengannya. "Tidak apa-apa. Banyak makan!" teriaknya. 

Susan melihat ke arah bendungan, ke tempat pohon muda itu teralang. Pohon itu terombangambing, melontarkan, menyeret, melontarkan lagi sepotong lengan. 

Lengan itu lengan manusia. Tangannya sudah bengkok. Kaku seperti besi, lengan itu terlempar dari sisi yang satu ke sisi yang lain. 

Susan Bridgeman menjerit. Dengan mata melotot dan mulut menganga ia berteriak-teriak, "Caley! Itu Caley!" 

Wingfield pun merangkul dia. Lewat kepala Susan ia bertukar pandang dengan Solomon Gosse. 

Clive terdengar berkata, "Itu dia, 'kan? Itu bajunya, 'kan? Ia tenggelam, 'kan?" 

Seperti mengiyakan, waktu itu juga wajah Caley Bridgeman muncul, lalu tenggelam, dan muncul lagi. 

Susan berpaling kepada Solomon, seolah ingin bertanya apakah itu semua betul. Lututnya lemas dan ia pun jatuh pingsan. Solomon berlutut mengangkat kepala dan bahu Susan. 

Clive berusaha menggantikan tempat Solomon, tapi David Wingfield datang dan menyingkirkannya. "... lebih baik kau tak usah ikut-ikutan," katanya. "Akan kuangkat dia." David mengangkatnya ke kemah Susan. 

Clive ingin ikut, tetapi Solomon Gosse menggamitnya dan mengajaknya menjauh dari sungai. Clive gemetar seperti anjing tersiram air. 

"Aku seharusnya ke Mama. Seharusnya akulah yang menemani dia." 

"David bisa mengatasinya."

 

Empat pemburu 

Terdengar suara-suara manusia, dahan-dahan patah, dan entakan sepatu bot di tanah yang lunak. Kemudian muncullah empat pria berjalan beriringan. Masing-masing menggendong bungkusan di punggung dan menjinjing senapan. Salah seorang berewokan, dua yang lain bercukur bersih, sedangkan yang satu lagi kelihatan sudah tak bercukur beberapa hari. Waktu melihat Solomon dan Clive, mereka semua berhenti.

 "Halo! Selamat pagi," kata pemimpinnya. Logatnya logat orang Inggris. 

"Saya harap kalian tak keberatan kami lewat," katanya. "Kami baru berburu rusa di hulu Welshman's Creek, tapi agaknya akan banjir. Jadi, kami tinggalkan tempat itu." 

Solomon berkata, "Dia - kami berdua - s - sedang shock." 

Clive meluncurkan diri duduk membungkuk di tanah. 

Orang yang kedua menghampirinya. Yang pertama berkata, "Kalau ada yang sakit - maksudku, ini dr. Mark - mungkin ada yang bisa kami tolong?" 

Solomon berkata, "Akan kuceritakan saja." Lalu diceritakannya. 

Pria yang berjanggut tipis, Bob Johnson, menggerakkan kepala mengajak Solomon pergi dari situ. Sementara dr. Mark duduk di samping Clive, yang lain mengelilingi Solomon di tempat yang cukup jauh. Orang yang berlogat Inggris ternyata bernama Miles Curtis-Vane, sedangkan si berewok bernama McHaffey. Mereka menunggu dr. Mark memeriksa Clive. Setelah selesai memeriksa, dr. Mark mendatangi Solomon. 

"Kawanmu betul-betul sedang shock," katanya. "Apa mereka punya hubungan keluarga?" 

"Tidak, tapi yang meninggal itu ayah tirinya. Ibunya ada di kemah. Tadi ia pingsan." 

"Sendirian?" 

"Dengan Dave Wingfield. Ia anggota kami juga." 

"Apa Clive dan ayah tirinya dekat sekali?" tanya dr. Mark. Beberapa lama Solomon terdiam. "Tidak begitu," jawabnya. "Kukira ia shock saja. Ia sayang sekali pada ibunya. Kami semua juga demikian. Kalau Anda tak keberatan, aku akan ...." 

"Oh, tentu silakan." 

Solomon mendatangi Clive dan mereka pun berjalan bersama kembali ke perkemahan.

 

Jembatan hilang 

“Ini datang kawan mereka yang satunya," kata Bob Johnson. 

David Wingfield menuruni tepian sungai. Ketika diperkenalkan oleh Curtis-Vane, ia cuma mengangguk-anggukkan kepala. 

Tamu-tamu itu menawarkan diri untuk mencoba mengangkat mayat dari air. Mereka memang membawa tambang. 

"Berapa orang mesti menarik tambang?" tanya Wingfield. 

"Lima," kata Bob Johnson, "kalau kelima orang itu cukup kuat. Tambangnya ulet sekali." 

"Sol Gosse tidak begitu kuat. Lututnya payah." 

"Oh, yang gagap itu?" 

"Ya." 

"Bagaimana dengan anak muda itu?" "Biasanya kuat, tapi sekarang - kau tahu - ia masih terguncang." 

"Yaah," kata Bob. "Grup kami oke." 

"Denganku, semuanya lima orang," kata Wingfield. 

Diputuskan dengan persetujuan Solomon dan Clive - bahwa mayat itu akan diangkat ke tempat terbuka dekat pohon beech besar dan digeletakkan di sana dengan dialasi alas kemahnya sendiri. Jaraknya akan cukup jauh dari perkemahan. 

"Itu kemahnya, bukan? Yang di seberang anak sungai?" 

"Ya. Di seberang jembatan." 

"Aku tak melihat ada jembatan." 

"Kau pasti melihatnya," kata Wingfield, "kalau kau tadi lewat sana. Jembatan itu ada di tempat anak sungai melewati got sedalam 7 m." 

Wingfield menggambarkan jembatan itu. "Ringan tapi kokoh," katanya. "Dia serius membuat jembatan itu." 

"Aneh," kata Bob yang biasa berkeliaran di gunung. "Aku tak melihatnya." 

Maka Wingfield ke atas, ke kemah Caley Bridgeman, untuk mengambil alas kemahnya. 

Waktu kembali lagi, yang Iain-lain sudah mencopot barang masing-masing dari punggung dan mengulur tambang pendaki gunung. Mereka mengelilingi Bob, yang sedang memberi instruksi. Tak lama kelima orang itu telah siap beriringan untuk mengarungi banjir di atas bendungan. 

Solomon Gosse muncul. Bob mengusulkan agar ia memungut ujung tali, mengikatkannya ke sebuah batang pohon dan siap untuk menarik atau mengulurnya bila diperlukan. 

Demikianlah dengan susah payah, tubuh Caley Bridgeman berhasil ditarik ke tepi untuk kemudian diperiksa oleh dr. Mark. Mayat itu sudah babak belur. Mayat itu pun dibungkus dengan alas kemah Caley Bridgeman, lalu diikat dengan tambang. Solomon menjaga di dekatnya, sementara yang lain berganti pakaian.

 

Dua pengacara 

Hari sudah mulai siang, matahari juga cerah waktu mereka mengangkut mayat Bridgeman ke bawah pohon beech yang setiap malam dikunjungi burung-burung morepork. Kemudian mereka memotongi belukar manuka. 

Waktu Bob Johnson sedang menebangi ranting-ranting, ia menemukan kabel yang tampak baru saja diatur di sana, di bawah manuka dan tersembunyi dengan baik. Mereka menelusuri kabel itu dan menemukan tape recorder di atas pohon. Mikrofon parabolik terlihat di pohon lebih ke atas lagi. 

"Jadi, inilah yang dikerjakannya," kata Wingfield. 

"Ia sedang merekam kicauan burung, 'kan?" tanya dr. Mark. "Betul." 

"Hobi?" tanya Curtis-Vane. 

"Lebih dari itu. Ia cukup memiliki reputasi di bidang ini." 

"Akan kita copot saja?" tanya Bob Johnson. 

"Kurasa kita mesti mencopotnya” kata Wingfield. "Sudah di atas sana sepanjang badai semalam. Barang itu bermutu tinggi - mahal bukan main. Kita bisa mengeringkannya." 

Maka mereka memanjat pohon itu beriringan, mencopot mikrofon, lalu tape recorder-nya, dan menurunkannya dari satu tangan ke tangan yang lain ke bawah. Dr. Mark yang agaknya cukup tahu juga mengatakan bahwa benda itu tidak banyak mengalami kerusakan. 

Kemudian mereka pergi ke Land Rover, duduk di belakang kendaraan-kendaraan itu sambil menikmati hangatnya wiski. 

Clive dan ibunya tidak kelihatan. 

Curtis-Vane bertanya apakah mungkin meramalkan kapan sungai akan surut. Orang-orang Selandia Baru itu semua menjawab "tak mungkin". Sungai bisa terus banjir sampai beberapa hari. Bahkan seminggu. 

"Tak ada jalan keluar?" tanya Curtis-Vane. 

"Jalannya terlalu buruk. Takkan bisa kita lewati." 

Beberapa lama mereka terdiam. 

"Sungguh tak enak," kata Curtis-Vane. "Terutama untuk Ny. Bridgeman." 

Mereka diam lagi. "Memang," kata Solomon Gosse. 

Curtis-Vane berkata, "Aku tak tahu bagaimana prosedurnya untuk kecelakaan macam begini di Selandia Baru." 

"Sama saja seperti di Inggris, kukira," kata Solomon. "Laporkan ke polisi secepat mungkin." 

"Pemeriksaan resmi?" 

"Betul." 

"Kau seperti aku juga, bukan? Pengacara?" tanya Curtis-Vane. 

"Ya." 

Sebuah bayangan datang di atas mereka. Clive baru datang dari perkemahan. 

"Bagaimana dia?" tanya Wingfield dan Solomon berbarengan. 

"Oke," kata Clive. "Dia ingin sendiri. Dia menyuruhku mengucapkan terima kasih pada kalian," ujarnya kaku, memandang Curtis-Vane. 

"Tak apa. Kami senang membantu sebisanya." 

Mereka diam lagi. 

"Ada satu hal," kata Bob Johnson, "yang kukira perlu dipikirkan." 

la berdiri. 

"Setelah kita selesai tadi," katanya, "aku pergi ke bekas tempat jembatan yang kau," ia menunjuk Wingfield, "ceritakan. Jembatan itu jatuh ke bawah, tersangkut karang agak ke pinggir." 

Ia menunggu. Wingfield berkata, "Aku melihatnya juga, waktu sedang mengambil peralatan." Ia pun berdiri. 

"Kau lihat tepiannya? Tempat tumpuan kedua ujung jembatan?" 

"Ya." 

Solomon Gosse menyela dengan kaku. "Coba," katanya, "apa ini semua?" 

"Kedua ujung jembatan itu menumpu di tepian sampai sejauh 0,5 m lebih. Ada bekasnya," kata Bob. 

Dr. Mark berkata, "Memangnya kenapa, Bob? Apa maksudmu?" 

Untuk pertama kalinya Bob memandang Wingfield lurus-lurus. "Ya," kata Wingfield. "Kulihat itu." 

"Melihat apa demi Tuhan!" desak dr. Mark. 

"Jembatan itu sudah digeser orang. Didorong atau ditarik," kata Bob. "Sehingga salah satu ujungnya pas sekali berada di pinggir. Waktu jembatan itu jatuh, sebagian tepiannya terbawa juga. Tampak jelas sekali." 

Clive memecah kesunyian yang begitu lama. "Maksudmu - ia melangkah di jembatan, lalu jatuh bersama jembatan ke dalam jurang kecil itu? Lalu terseret banjir? Begitu maksudmu?" 

"Tampaknya seperti itu," kata Bob Johnson. 

 

Janda korban ingin jawaban

Dengan tidak sengaja, secara naluriah orang-orang itu telah berkumpul menurut kelompoknya sendiri. Mereka: Wingfield, Gosse, dan Clive; dan para pemburu: Bob, Curtis-Vane, dr. Mark, dan McHaffey. 

Tiba-tiba Clive berteriak kepada Wingfield, "Apa maksudmu! Kaupikir ada yang tidak beres? Apa yang kau maksudkan?" 

"Tutup mulut, Clive," kata Solomon lembut. 

"Aku tak akan tutup mulut. Kalau ada yang tidak beres, aku punya hak untuk tahu. la ibuku dan laki-laki itu ...." la menahan diri. "Kita punya hak untuk tahu. Apa anehnya?" desaknya. "Ayolah, adakah yang aneh?" 

Wingfield berkata, "Oke. Kau sudah dengar. Kalau jembatan ada yang menggeser dengan sengaja - oleh manusia - polisi pasti ingin tahu siapa yang melakukan itu dan kenapa. Kupikir," kata Wingfield, "kau pun ingin tahu." 

Clive memandang berang ke arahnya. Wajahnya memerah, mulutnya bergetar. la meledak lagi. "Ingin tahu! 'Kan sudah kubilang aku ingin tahu! Apa maksudmu!" 

"Kebenaran tentunya," kata dr. Mark. 

Saat itu muncul Susan Bridgeman, la cukup cantik. Seperti biasanya ia selalu muncul dengan mengesankan. Sekarang dengan pakaian camping-nya dan syal melilit kepala tampaknya ia siap dijepret wartawan foto. 

"Clive sayang," katanya, "ada apa? Kudengar kau berteriak-teriak." Tanpa menunggu jawaban ia beralih ke para pemburu, berhenti pada Curtis-Vane dan mengulurkan tangannya. "Anda semua baik sekali," katanya. 

"Kami semua turut berduka," kata Curtis-Vane. 

"Ada lagi yang lain, 'kan? Ada apa?" 

Orang-orang terdiam. 

"Ceritakanlah," wanita itu memohon dan berpaling kepada dr. Mark. 

Entah bagaimana mereka bersama-sama bercerita saling melengkapi. Susan jadi pucat, tetapi tetap dapat menguasai dirinya. 

"Jadi," katanya. "Kalian berpikir salah satu dari kita telah memasang perangkap untuk suamiku. Begitu 'kan?" 

"Tidak persis seperti itu," kata Curtis-Vane. 

"Tidak?" 

"Tidak. Soalnya, cuma Bob Johnson dan Wingfield yang mengira ada campur tangan dari seseorang." 

"Sue, kalau itu memang terjadi ...," kata Solomon Gosse. 

"Memang sudah," kata Wingfield. 

"... mungkin saja karena ulah pemuda berandalan. Mereka juga b-berjalan-jalan sampai ke bukit-bukit, lo. Menembaki burung. Melukai rusa. Pokoknya, merusak." 

"Betul," kata Bob Johnson. "Ya," jawab wanita itu. 

"Ya, tentu saja. Mungkin saja." 

"Apa yang perlu kita lakukan?" tanya Bob. 

"Melaporkannya, Ny. Bridgeman." 

"Kepada siapa?" tak ada yang menjawab. "Lapor, ke mana?" 

"Ke polisi," kata Bob Johnson datar. 

"Oh, tidak! Tidak!" 

"Tak usah khawatir, Ny. Bridgeman. Ini 'kan taman nasional. Kita juga ingin mencegah terjadinya peristiwa yang sama." 

"Ada yang pernah tahu atau mendengar tentang tempat berkumpul mereka?" tanya dr. Mark. Tak ada jawaban. 

"Orang - orang macam itu pasti akan jauh-jauh dari perkemahan," jawab Clive akhirnya. 

"Kukira," kata CurtisVane, "ini bukan urusan kita. Lebih baik kita pergi." 

"Tidak!" 

"Aku ingin tahu apakah kalian benar percaya tentang adanya para perusak ini," kata Susan Bridgeman, la memandang para pemburu itu. "Atau kalian akan pergi dengan berpikir bahwa salah satu di antara kami telah memasang perangkap untuk suamiku? Mungkin salah satu dari antara kalian akan ke polisi dan mengatakan begitu? Apa itu maksudnya?" la berpaling kepada dr. Mark. "Begitu, bukan?" 

"Susan, sayang, jangan," kata Solomon sambil menggamit lengannya. 

"Aku ingin jawaban."

 

Tidak boleh pergi 

Para pemburu mulai membereskan peralatan mereka. 

"Tidak!" kata Wingfield keras. "Kalian jangan pergi dulu. Kita harus membongkarnya dan kalian lebih baik mendengarnya." 

"Kita cuma akan mengacaukan segalanya, lalu takkan bisa mengatasinya," tolak Solomon. 

"Tidak. Tidak akan!" teriak Clive. 

"Dave betul. Kita mesti jajarkan peristiwanya satu-persatu, seperti dalam pemeriksaan resmi. Ya! Betul. Mari kita buat pemeriksaan resmi. Di sini 'kan ada dua orang pengacara? Mereka bisa mengatur." 

Solomon dan Curtis-Vane baru mulai bicara ketika tiba-tiba McHaffey memotong. "Aku mendukung," ujarnya berlagak penting. "Bagaimana denganmu, dok?"

"Dalam pemeriksaan resmi itu aku akan diminta untuk bicara tentang hasil pemeriksaan medis. Aku tak keberatan memberikan keterangan itu sekarang, tapi aku tak melihat gunanya." 

"Nah," kata Bob Johnson. "Sepertinya tak ada keberatan. Karena akan terjadi tanya-jawab yang cukup panjang, lebih baik kita atur." la melihat ke sekeliling. "Ada yang merasa keberatan?" tanyanya. "Ny. Bridgeman?" 

Susan mengangkat dagunya, menegakkan bahunya dan berkata, "Tak ada." 

"Beres," kata Bob. "Baik. Saya usul supaya Tuan Curtis-Vane ditunjuk sebagai, saya tak tahu apakah istilah 'ketua' cukup tepat tapi it 

"B-bagaimana dengan 'koroner'?" usul Solomon. Sulit menentukan apakah ia bermaksud ironis ataukah tidak. 

"Usul yang istimewa," kata Curtis-Vane sambil mengusap kepala. "Yang akan ditemukan nanti, jika ada, tentunya takkan ada hubungannya dengan proses hukum yang mungkin menyusul." 

"Tepat," kata Solomon. 

"Kami mengerti itu," kata Bob. 

"Saya mendukung usul itu," kata Wingfield. 

"Ada keberatan lain?" tanya Bob. 

"Tak ada tampaknya." 

"Bagus. Sekarang terserah Tuan Curtis-Vane." 

"Bob," kata Curtis-Vane, "apanya yang terserah padaku?" 

Curits-Vane dan Solomon Gosse saling berpandangan. "Lebih baik kau daripada aku," kata Solomon kering. 

"Saya kira," Curtis-Vane berkata ragu, "kalau disetujui bersama, kita bicarakan dulu soal prosedur?" 

"Baik," kata Bob dan Wingfield bersamaan dan kata dr. Mark, "Kita serahkan saja kepada para ahli hukum." 

Disetujui bersama bahwa mereka akan menjadi dua kelompok: para pemburu menghilir ke suatu tempat yang terlindung, tempat mereka menyimpan makanan dan mendirikan tenda; Susan Bridgeman dan ketiga pria rombongannya kembali ke perkemahan. Setelah makan, mereka akan bertemu lagi di tenda tempat pertemuan di perkemahan. 

Ketika sudah menyingkir Curtis-Vane berkata, "Anak muda itu - anak itu - aneh sekali tingkah lakunya."

Dr. Mark berkata, "Oedipus Complex, kalau tak salah. Atau Hamlet, yang kasusnya sama saja."

 

Pengadilan darurat 

Di dalam kemah sudah disiapkan meja dan bangku dari kayu. Tanpa ribut-ribut semua duduk. Tak ada percakapan basa-basi. 

"Ya, Gosse dan saya telah membicarakan bahwa hal pertama yang harus kita kerjakan adalah menetapkan tujuan diskusi ini. Kita ingin menentukan apakah kematian Caley Bridgeman disebabkan oleh kecelakaan ataukah oleh tindak kejahatan. Untuk itulah kita akan meneliti situasi sebelum kematiannya. Supaya teratur Gosse mengusulkan agar saya memimpin jalannya pemeriksaan.” 

“la juga merasa sebagai salah satu penghuni kemah, kurang baik kalau ia mendampingi saya. Kami berdua berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan tidak boleh disela dan bahwa bisa muncul pertanyaan harus diajukan dengan teratur. Ada keberatan?" tanya Curtis-Vane. Ia menunggu. "Tak ada?" katanya. 

"Saya mengusulkan," katanya, "agar para anggota kelompok saya berfungsi, meskipun tidak resmi, sebagai juri 'koroner'." 

Dr. Mark menyeringai tak senang, Bob Johnson tak berekspresi, sedangkan McHaffey tampak merasa diri penting. 

"Sedangkan saya, sebagai pejabat 'koroner'," kata Curtis-Vane. "Dalam jabatan itulah saya ajukan pertanyaan saya yang pertama. Kapan terakhir kalinya Tuan Bridgeman terlihat oleh rekan-rekannya? Ny. Bridgeman, bisa Anda ceritakan?" 

"Saya tak tahu pasti," katanya. "Di hari ia pindah ke kemahnya sendiri - tiga hari yang lalu - saya melihatnya meninggalkan perkemahan. Waktu itu pagi hari." 

"Terima kasih. Mengapa ia pindah?" 

"Untuk merekam kicauan burung. Katanya, terlalu ribut di bawah sini." 

"Oh, ya. Apakah setelah pindah itu ia memasang alat perekam di atas pohon?" 

Susan menatapnya. "Pohon yang mana?" akhirnya ia bertanya. 

"Di depan kemahnya, di seberang anak sungai, Sue. Pohon beech yang besar itu," kata Solomon Gosse. 

"Oh, saya baru tahu," katanya lemah. 

Wingfield memotong. "Dapat saya bicara sedikit? Soal rekaman, Bridgeman amat tertutup. Soalnya, orang-orang jadi ingin tahu dan banyak bicara sehingga dianggapnya mengganggu." 

"Ah, ya, Ny. Bridgeman, apa Anda yakin bisa tahan? Saya khawatir ...." 

"Saya tahan," ujarnya keras. Ia pucat sekali. 

Curtis-Vane memandang dr. Mark. "Kalau Anda begitu yakin, kita teruskan," katanya. "Tuan Gosse?" 

Solomon juga melihat Bridgeman terakhir kalinya waktu ia mengangkuti barang-barangnya dari perkemahan dan sejak itu tak pernah melihatnya lagi. Clive pun menyatakan hal yang sama. 

Curtis-Vane bertanya, "Apakah ia memberikan sedikit petunjuk tentang rencana apa yang akan dikerjakannya?" 

"Kepada saya tidak," kata Gosse. "Saya kira saya tidak termasuk rekan b-baiknya." 

"Tidak?" 

"Tidak. Waktu itu ia meletakkan peralatannya di tanah dan saya tersandung menjatuhinya. Lutut saya memang lemah. Saya tidak menyebabkan kerusakan, tapi ia tak senang hati." 

Kata David Wingfield, "Ia selalu begitu. Tak apa-apa itu." 

"Bagaimana dengan Anda, Tuan Wingfield? Anda juga melihat ia berangkat bukan?" 

"Ya. Tanpa komentar." 

Curtis-Vane berkata sambil menulis. "Jadi, Anda semua setuju bahwa saat itulah terakhir kali Anda sekalian melihat dia?" 

"Hai! Tunggu Kau 'kan melihatnya lagi, Dave. Ah, yang kemarin itu” kata Clive. 

"Ya, betul," Solomon setuju. "Kau ceritakan kepada kami waktu makan siang, Dave." 

"Ya. Saya lupa. Saya melewati dia - atau lebih tepat ia yang melewati saya di bawah Bald Hill." 

"Sedang apa Anda di sana?" tanya Curtis-Vane. Suaranya menyenangkan. 

"Berburu burung. Saya pengawet binatang." 

"Begitu?" kata Curtis-Vane penuh perhatian. "Anda bicara dengan dia?" 

"Begitulah, sedikit tapi tak ada artinya." 

Kawan-kawannya bergeser sedikit di tempat duduk mereka yang tak nyaman itu.

 

Syal sutera di semak-semak 

“Ada pertanyaan?" tanya Curtis-Vane. 

Tidak ada pertanyaan. Lalu mereka membicarakan jembatan. Dibangun sekitar tiga minggu yang lalu, jembatan itu ringan tapi kuat. Mereka semua setuju bahwa jembatan itu telah digeser orang dan bahwa untuk mengangkat atau mendorongnya sampai ke posisi mematikan seperti yang ditunjukkan oleh bekas-bekasnya di tanah dapat dilakukan oleh satu orang saja. 

Bob Johnson menambahkan bahwa menurutnya, tepian di bawah jembatan mungkin telah digali kembali. "Tuan Wingfield," kata CurtisVane. "Waktu kembali ke perkemahan, apakah Anda menyeberang lewat jembatan?" 

"Saya tak menggunakan jembatan. Cukup melompat saja. Ia membangunnya, karena ia mesti mondar-mandir dengan membawa peralatan. Waktu itu jembatan masih di tempatnya." Gerakannya seperti tukang sulap: tampaklah selembar syal sutera berwarna merah keunguan dan hijau. 

"Ada orang lain yang melihat jembatan setelah itu?" 

"Saya," kata Clive keras. Seperti biasa, sikapnya bermusuhan dan seolah-olah seperti akan mendemonstrasikan sesuatu. Kemarin pagi ia berjalan-jalan menembus semak belukar ke arah hulu anak sungai tanpa menyeberanginya. Jembatan masih utuh. Ia kembali waktu tengah hari, lewat segerombol semak dekat pohon beech besar itu. Tapi ia tak melihat adanya peralatan perekam itu di pohon. 

"Waktu itu mata saya mengarah ke bawah," katanya sambil menatap ibunya, "bukan ke atas." 

Caranya mengatakan itu begitu aneh, sehingga tampak disengaja untuk memancing komentar. Curtis-Vane bertanya sambil lalu saja, seperti pengacara di pengadilan di titik-titik pertanyaan yang berbahaya, "Ada yang istimewa di tanah?" 

Semua diam. Curtis-Vane menengadah. Tangan Clive sedang berada di dalam saku. Lalu ditariknya ke luar. Gerakannya seperti tukang sulap: tampaklah selembar syal sutera berwarna merah keunguan dan hijau. 

"Cuma ini," kata Clive. "Di tanah. Di semak-semak di belakang pohon itu." 

Tangan ibunya sudah bergerak, tapi ia mengendalikan diri. Wajahnya segera bersemu merah. "Jadi, di sana barang itu!" katanya. "Tentunya tersangkut waktu aku berjalan-jalan ke atas entah kapan itu. Terima kasih, Clive." 

Clive membuka tangannya dan syal itu jatuh di atas meja. "Di tanah," katanya, "di atas hamparan potongan pakis."

 

Penaik darah 

“Jadi," tanya Curtis-Vane, "kemarin pagi waktu Tuan Wingfield bertemu Tuan Bridgeman di bawah Bald Hill Anda sedang berjalan-jalan lewat semak belukar?" 

"Ya," kata Clive. 

"Bagaimana kau bisa tahu?" desak Wingfield 

"Aku mendengar suaramu. Cukup dekat." 

"Sialan." 

"Namun, lebih sering terdengar suaranya. Berteriak-teriak. Katanya, ia akan mencelakakan kau," kata Clive. 

"Terima kasih," kata Wingfield. Curtis-Vane berkata, "Mengapa ia marah kepada Anda, Wingfield?" 

"Ia tak suka pada pekerjaan saya." 

"Pengawetan binatang?" tanya dr. Mark. 

"Ya. Yang bersangkutan dengan' burung." 

Solomon Gosse menyambung, "Bisa saya bicara? Cuma ini, penting Anda ketahui bahwa Bridgeman memang biasa bersikap berlebihan. Cuma soal kecil ia bisa marah bukan main." 

"Mungkin saya salah," kata McHaffey, "tapi bukankah sudah disetujui bersama bahwa kita bertemu untuk menentukan kapan korban terakhir terlihat?" 

"Anda memang benar," kata Curtis-Vane. "Sekarang saya bertanya: adakah di antara Anda yang melihat Tuan Bridgeman setelah tengah hari?" la menunggu, tapi tak ada jawaban. "Maka saya akan mengajukan usul. Kalau malam terakhir ia masih hidup, berarti ada kemungkinan kita dapat membuktikannya. Waktu menemukan peralatan rekaman di pohon itu Anda berkata ia berniat merekam suara burung morepork. Benar?" 

"Ya," kata Solomon. "Morepork, berarti ia telah menghidupkan perekam itu. Bila tak ada yang terekam, dengan sendirinya tak ada yang terbukti. Mungkin karena sesuatu hal ia tidak melakukan rekaman. Ada di antara Anda yang ingat apakah burung morepork berkicau tadi malam? Kapan?" 

"Saya dengar. Sebelum badai datang," kata Clive. "Waktu itu saya sedang membaca di tempat tidur dengan obor. Kira-kira pukul 22.00. Seekor burung berkicau, lalu disusul bunyi burung yang lain di kejauhan." 

"Menurut Anda," Curtis-Vane menanyai para pemburu," apakah kita perlu mendengarkan rekaman itu - jika memang ada?" 

Susan Bridgeman berkata, "Saya lebih suka kalau rekaman itu tidak dipasang." 

"Kenapa?" 

"Ia selalu menyuarakan semacam pengumuman dalam rekamannya. Seperti tanggal, lokasi rekaman, dan nama ilmiah burung yang direkam. Ia merekam suaranya sendiri itu sebelum peralatan dipasang. Mendengar suaranya saya - saya takkan tahan." 

"Ibu tak perlu ikut mendengarkan," kata anaknya brutal. 

Solomon berkata, "Kalau Susan berpikiran begitu, rasanya tak pantas rekaman itu kita putar." 

"Tapi aku tak melihat...," kata Wingfield, lalu diam. 

"Oke," katanya. "Kau tak perlu ikut mendengarkan, Sue. Kau bisa menyingkir saja ke kemahmu 'kan? Kuambil perekam itu." 

McHaffey berkata, "Soal aturan, Pak Ketua. Peralatan itu harus ditangani oleh pihak yang netral." 

"Oh, demi Tuhan!" Wingfield berseru. 

"Kukira ia betul juga," kata Bob Johnson. 

Curtis-Vane bertanya kepada Susan, apakah ia lebih suka pergi. 

"Tidak. Tak tahulah. Kalau memang itu harus dikerjakan ...," katanya dan tidak juga beranjak. 

"Kukira kami tak berhak memutarnya, kalau kau keberatan," kata Solomon 

"Inilah," kata McHaffey, "yang menurut hukum. Saya rasa saya harus ...." 

"Tuan McHaffey," kata CurtisVane, "tak ada sesuatu pun yang menurut hukum dalam acara ini. Semuanya 100% tidak resmi. Kalau Ny. Bridgeman tidak ingin kita memutarnya, dengan sendirinya kita tidak boleh memutarnya." 

"Maaf, Pak Ketua," kata McHaffey amat meradang, "itu memang aturan Anda. Tapi kita tak boleh menarik kesimpulan kita sendiri-sendiri. Secara pribadi saya menganggap sikap Ny. Bridgeman mengherankan. Bagaimanapun." "Oh!" Ny. Bridgeman meledak. "Putarlah. Putarlah. Putar saja."

 

Rekaman bicara 

Bob Johnson mengambil tape recorder. Diletakkannya tape itu di meja. "Mungkin saja sudah rusak karena badai," katanya. "Tapi kelihatannya oke." 

Dr. Mark berkata, "Ini model yang bagus sekali. Dengan mikrofon parabolik itu, bisikan dari jarak 9 m pun akan tertangkap." 

"Terserah Anda, kalau demikian, dok." 

Ketegangan dicairkan oleh perhatian para pria itu pada pekerjaan mekanik yang rumit. Bahkan Clive pun, yang sedari tadi terus marah, entah karena apa, memperhatikan bagaimana tape itu dibuka. 

"Pitanya sudah habis," kata dr. Mark. "Ada harapan. Sebentar, saya putar kembali dulu." 

Mereka tegang menunggu. Maka terdengarlah suara Caley Bridgeman yang keras dan berhati-hati memenuhi kemah. 

"Ninox novaeseelandiae." "Ru-ru. Biasa dikenal sebagai morepork.

"Sepuluh Januari 1977. 22.12 Semak belukar beech. Parson's Nose Range." 

"Southern Alps." 

"Oleh orang Maori dianggap sebagai pembawa berita kematian." Diam. Pita terus berputar dengan tenang. 

"Mo-pokl" 

Mengagetkan dan begitu jelas suara itu sampai seolah-olah datang dari bubungan kemah: kemudian nada kedua, setengah nada lebih tinggi. Kemudian terdengar jawaban dari kejauhan. Kemudian saling panggil dan jawab berulang secara tak beraturan. Lalu berhenti. Para pendengar menunggu selama kira-kira setengah menit. 

"Sangat berhasil," kata Mark. "Bunyinya indah." 

"Namun, apa kau yakin? Sayang, sumpah kau yakin?" 

Itu suara Susan Bridgeman. Mereka semua menoleh, kaget, ke arahnya. Tapi yang bersuara tape itu, bukan orangnya. Susan berdiri. Buku-buku di tangan kanannya menempel ke giginya. "Tidak!" bisiknya. "Tidak, tidak." 

Solomon Gosse meraih cepat ke meja, tapi tape itu terlalu jauh. Suaranya sendiri terdengar dari tape itu, seperti mengejek dirinya. 

"Tentu saja saya yakin, Sayang. Pasti tidak akan gagal. la akan jatuh dengan jembatan itu." 

(Ngaio Marsh)

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553305968/gara-gara-burung-hantu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278156000) } } }