array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3304472"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/bayangan-pembunuh-berantai_rene-20220603020701.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(140) "Dalam beberapa bulan terjadi pembunuhan berantai yang meresahkan di Singapura. Semua korbannya wanita, kedua belah tangannya lenyap dibuang."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/bayangan-pembunuh-berantai_rene-20220603020701.jpg"
      ["title"]=>
      string(26) "Bayangan Pembunuh Berantai"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 14:07:49"
      ["content"]=>
      string(43159) "

Intisari Plus - Dalam beberapa bulan terjadi pembunuhan berantai yang meresahkan di Singapura. Semua korbannya wanita, mereka tidak diperkosa namun kedua belah tangannya lenyap dibuang.

-------------------------

Miss Savi Moorthy, wanita warga negara Singapura keturunan India, mengajar di sekolah menengah bergengsi, Mount Emily Girls' School di republik pulau itu. Karena apartemennya jauh dari Mount Emily, terpaksa Miss Moorthy berangkat ke tempat kerjanya pagi-pagi sekali. Tidak heran kalau ia tidak pernah sempat membaca koran.

 

Korban ketujuh

Senin pagi ia belum tahu kalau Pembunuh Berantai yang belakangan meresahkan penduduk Singapura sudah berhasil memakan satu korban lagi. Jadi, pembunuh misterius ini selama enam bulan terakhir sudah mencabut nyawa tujuh orang. 

Korbannya semua wanita bujangan yang berhasil dalam karier. Mereka tidak diperkosa, tetapi kedua belah tangannya selalu lenyap dibuang.

Miss Moorthy baru tahu perihal korban ketujuh itu ketika tiba di ruang guru di Mount Emily Girls' School. Suasana mencekam meliputi guru dan murid, sebab korban si Pembunuh Berantai adalah Miss Ngui, salah seorang guru di sekolah mereka!

"Evelyn Ngui?" tanya Miss Moorthy tidak percaya. Terbayang olehnya Miss Ngui yang tertutup dan tidak pernah mau membeli majalah wanita, tetapi selalu meminjam dari teman. "Saya harus menabung untuk menikah," begitu alasannya.

Mengingat hal itu, Miss Moorthy merasa aneh. Miss Ngui rasanya bukan termasuk wanita karier yang biasa dijuluki ‘berhasil’. Apakah Pembunuh Berantai sekarang sudah meluaskan pilihannya?

Jenazah Miss Ngui ditemukan di Fort Canning yang sepi di malam hari. Ia diperkirakan dibunuh di tempat itu dan di malam itu juga.

Kepala sekolah berpendapat, apa pun yang terjadi, sekolah mesti berjalan seperti biasa. Jadi para orang tua dikabari dan para guru mendapat tugas tambahan untuk secara bergilir menggantikan tugas Miss Ngui.

Pada jam istirahat, Miss Moorthy menelepon pacarnya. Mayor dr. Anthony Tan, ahli patologi forensik di Singapore General Hospital. Ternyata Anthony sedang tidak ada di kantor maupun laboratoriumnya. 

Miss Moorthy ingin mengetahui reaksi David Kwa, teman Anthony yang pernah menjadi pacar Evelyn Ngui. Setahu Miss Moorthy, David Kwa sangat terpukul ketika Evelyn Ngui memutuskan hubungan tiga bulan lalu.

Miss Moorthy merasa tergoda untuk menelepon David di rumahnya. Dicarinya nomor telepon pria itu. "David sedang tidak bisa menerima telepon. Siapa ini?" jawab seorang wanita dengan ketus. 

Miss Moorthy mengenali suara Ny. Wee, ibu David. Ia kenal wanita itu, karena pernah beberapa kali diajak Anthony ke rumah David. Tadinya ia berniat memperkenalkan diri, tetapi akhirnya ia cuma berkata, "Nanti saja saya telepon kembali. Terima kasih." Di ujung sana, Ny. Wee mengira peneleponnya wartawan.

Akhirnya, bisa juga Miss Moorthy menghubungi Anthony. "Tadi untuk pertama kalinya aku memeriksa mayat orang yang aku kenal," cerita Anthony yang ketika ditelepon sedang bersama Ny. Wee. Wanita itu kebingungan setengah mati karena anaknya yang cuma semata wayang itu mengunci diri saja di kamar.

"Nanti sore aku akan ke sana," kata Anthony. "Kau ikut, Savi?" Tentu saja Miss Moorthy mau. 

Setahu Miss Moorthy, Anthony sebetulnya tidak begitu cocok bergaul dengan David yang cengeng dan perajuk, walaupun baik hati. 

Namun, karena orang tua Anthony dulu bersahabat dengan orang tua David, sejak kecil mereka sering disuruh bermain bersama-sama. Apalagi setelah ibu-bapak Anthony meninggal bersama ayah David dalam kecelakaan perahu.

 

Tamu tidak diundang

Ny. Wee sangat sayang kepada putranya. Repot sekali ia menyambut Anthony dan Miss Moorthy. Ketika Anthony naik ke kamar David, Miss Moorthy disuguhi sekoteng yang lezat. Ny. Wee hidup lumayan makmur berkat usaha kantin di sebuah sekolah politeknik. 

Miss Moorthy melihat sebuah piagam dari sekolah tersebut dipajang di dinding, bertuliskan: Penghargaan untuk Ibu Wee Siew Cheng, Juli 1988.

"Kasihan gadis itu," kata Ny. Wee. "Tadinya aku pikir, dia tidak cocok untuk David. Tapi akhirnya, yaah ... kami bisa cocok juga. Aku kaget waktu David tiba-tiba bilang mereka sudah memutuskan hubungan."

Dalam perjalanan pulang, Anthony bercerita bahwa David menderita shock. Anthony memberinya obat penenang. David menceritakan bahwa ia putus hubungan dengan Evelyn Ngui gara-gara ada pria lain. Ia tidak tahu pria itu. 

Evelyn menyebutnya ‘Stevie’. David berharap, suatu ketika nanti Evelyn akan kembali kepadanya, sebab pria itu beristri. Ternyata Evelyn memang meminta hubungan mereka disambung kembali, tidak lama sebelum meninggal.

"Hah!" seru Miss Moorthy tidak percaya. "Miss Ngui ingin kembali kepada David? David kan bukan pria menarik!"

Malam itu Miss Moorthy sendirian saja di apartemennya, di tingkat tiga Gedung Greenleaf Lodge. Teman seapartemennya, Connie Chye, belum pulang. Tengah malam Miss Moorty terbangun. Apartemennya gelap. Tiba-tiba ia kaget, karena dilihatnya pintu kamarnya terbuka. 

Miss Moorthy merinding melihat bayangan asing muncul dari celah pintu. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, pintu depan terbuka. Rupanya Connie pulang. Bayangan itu menyelinap masuk ke kamar Miss Moorthy.

Terdengar bunyi ‘klik’ beberapa kali. Rupanya Connie mencoba menyalakan lampu, tetapi tidak berhasil.

“Savi...," begitu kedengaran suara Connie. "Kau baik-baik saja?" Miss Moorthy tidak menjawab. Kerongkongannya kering kerontang. "Sialan! Sekring putus lagi!" gerutu Connie. Suaranya aneh. Apakah ia menyadari ada sesuatu yang ganjil? 

"Minum dulu, ah!" suara Connie pula, seperti orang mabuk. Kedengaran gelas berdenting dengan botol di dapur. Bayangan di kamar Miss Moorthy menyelinap ke luar.

Sambil menahan rasa tegang, Miss Moorthy bangkit lalu merayap ke luar. Ruang duduk lebih terang, sebab cahaya lampu jalan menembus kaca jendela. Miss Moorthy melihat seorang pria menuju ke dapur. 

Miss Moorthy lantas menyambar sepotong bata di ruang duduk. Di situ memang ada setumpuk bata dan beberapa lembar papan. Rencananya, bata dan papan itu akan disusun agar menjadi rak buku darurat, tetapi belum keburu.

Ia segera ikut masuk ke dapur. Tiba-tiba cahaya lampu senter menyorot ke arah pria itu dan Miss Moorthy. Pria tak diundang itu berbalik dan langsung berhadapan dengan Miss Moorthy. Serta merta Miss Moorthy mengayunkan bata dengan kedua belah tangannya ke wajah pria itu. Berbarengan dengan ayunan Miss Moorthy, Connie menghantam belakang kepala pria itu dengan batu bata pula! Pria itu roboh.

Connie dan Miss Moorthy segera menelikung tangan dan kaki pria itu dengan kabel rice cooker dan kabel pengisap debu. Lalu, Connie menelepon polisi.

"Aku curiga. Jadi aku pura-pura ke dapur sambil menyambar batu bata dan senter," cerita Connie.

Sehabis menangkap tamu tidak diundang, keduanya tidak bisa tidur, sehingga mereka mengobrol tentang Miss Ngui.

 

Enam bukan tujuh

Keesokan harinya, seperti biasa Miss Moorthy mengenakan sarinya dan pergi bekerja. Di kantor ia malas bercerita perihal kejadian semalam. Apalagi ia segera ke bagian tugas menghadapi Ny. Chan yang terkenal rewel. 

Seperti biasa, Ny. Chan yang konon bekas ratu kecantikan di Hongkong itu hendak memprotes nilai yang diperoleh putrinya, Sybil.

Sybil yang bertubuh besar dan lumayan cantik itu termasuk murid pandai, tapi anehnya ia tidak pernah mau berbicara sejak beberapa tahun lalu.

Miss Moorthy pernah sekali melihat ayah Sybil. Pria ahli kandungan dan kebidanan terkemuka itu bertubuh kecil. Di samping istrinya yang tinggi besar, ia kelihatan seperti anak laki-laki yang sangat tahu aturan atau pelayan yang terdidik dengan baik. Miss Moorthy sampai geli mengingatnya.

Setelah meladeni Ny. Chan, Miss Moorthy mulai mengajar seperti biasa. Sorenya, ketika dalam perjalanan pulang, di stasiun kereta api bawah tanah, terbaca olehnya headline The New Paper. Bunyinya: "Pencekik Dibekuk". Miss Moorthy menghela napas.

Dengan mengantuk Miss Moorthy menaiki tangga ke apartemennya. Alangkah herannya dia melihat wartawan mengerubungi tetangganya, Ny. Chew. Lalu, wartawan itu berbalik ke arahnya untuk berebut memotretnya. 

Miss Moorthy tercengang. Baru beberapa saat kemudian ia tahu, bahwa Connie dan dia semalam meringkus Pencekik Beruntun!

"Astaga!" pikir Moorthy. "Orang yang penampilannya biasa begitu kok bisa jadi pembunuh tujuh wanita!" 

Malamnya, Mayor dr. Anthony Tan datang. Mereka mengobrol tentang Pembunuhan Berantai. Menurut penuturan Anthony, jahanam berumur 38 tahun itu penganggur dan pernah berurusan dengan polisi. Sekali karena memperkosa dan sekali karena kencing di lift.

Dalam menjalankan kejahatannya, ia pernah berpura-pura menjadi wartawan dan mahasiswa kedokteran. Terakhir kalinya ia bekerja pada seorang wanita karier bernama Vivien Chee. Tapi karena ketahuan menggelapkan uang, ia diancam majikannya akan dimejahijaukan. Vivien Chee lantas menjadi korban pertama. Tidak ada orang yang mengaitkan kematian wanita itu dengan si karyawan, sebab para korban lain segera berjatuhan.

Mengapa ia membunuh berulang-ulang dan memotong tangan korban-korbannya? Penjelasan tentang ini simpang siur. Antara lain ia mengaku ingin membuat si wanita tidak berdaya, sebab katanya, wanita selalu menindas pria. The New Strait Times menulis bahwa si Pencekik tidak memberi keterangan berbelit-belit. Ia menunjukkan tempat menyembunyikan tangan semua korbannya.

Ada keterangan lain yang didapat Miss Moorthy. Menurut berita yang diperoleh Anthony, si Pencekik tidak membunuh Evelyn! "Pihak imigrasi membenarkan bahwa ia tidak berada di Singapura sejak Jumat malam sampai Senin pagi," cerita Anthony kepada Miss Moorthy. "Ia berada di Malaysia, sebab diam-diam ia mempunyai istri dan tiga anak di Johor."

Selain itu, kata Anthony di tempat tangan-tangan korban disembunyikan, cuma dijumpai enam pasang tangan. Semuanya kini berada di laboratorium Anthony.

"Evelyn dicekik dengan tali. Korban lain dengan tangan telanjang," kata Anthony membocorkan keterangan kepada pacarnya. "Enam pasang tangan korban sebelumnya dibacok dengan kasar, tapi tangan Evelyn dilepaskan oleh seseorang yang sedikit banyak mengenal anatomi."

"Mungkin si Pencekik sudah lebih terampil," gugat Miss Moorthy.

“Mana bisa mendadak! Itu sih pekerjaan dokter atau jagal," bantah pacarnya. "Ada hal lain," sambung Anthony pula. "Evelyn hamil tiga bulan."

 

Boneka kelinci lenyap 

Karena dikejar-kejar wartawan, Miss Moorthy tidak segera pulang sehabis sekolah usai. la tetap tinggal di ruang guru, sambil membenahi raknya. Perhatiannya tertarik pada sebuah boneka kelinci berwarna biru putih di rak Miss Ngui. 

Setahu dia Miss Ngui bukanlah sejenis orang yang suka benda-benda semacam itu. Di rak itu juga ada mantel kuning yang kadang-kadang di pakai almarhumah, dan sebuah kotak. Selama ini tidak ada orang yang ingat pada benda-benda peninggalan Miss Ngui.

Isi kotak begitu biasanya bukan rahasia. Jadi Miss Moorthy merasa terkejut ketika di dalamnya ia menemukan buku tabungan milik almarhumah. Di dalam buku itu terselip cek yang sudah ditandatangani Miss Ngui, tetapi nama penerima tidak ditulis. 

Jumlah tabungan sejak awal normal saja, tetapi pemasukkan terakhir sangat besar jumlahnya. Yang lebih mencengangkan ialah isi sebuah amplop tebal. Di situ terdapat enam buah foto berwarna yang menggambarkan Evelyn berdua dengan seorang pria berumur. Sikap mereka jelas bukan seperti bapak dan anak. Pria itu serasa tidak terlalu asing bagi Miss Moorthy. Siapa, ya?

Tiba-tiba Miss Moorthy merasa ada orang di belakangnya. Ia menoleh. Sybil Chan! Segera Miss Moorthy ingat pria di foto itu. Ya, pria itu ayah Sybil, dr. Chan!

"Kenapa kau belum pulang, Sybil?" tanyanya seraya membenahi foto. Seperti biasa anak itu tidak menjawab, cuma memberi isyarat ia enggan pulang seraya memandang boneka kelinci dengan penuh minat.

Buru-buru Miss Moorthy membungkus foto tersebut dan menaruhnya kembali ke rak. Sebuah benda kecil jatuh. Miss Moorthy cepat memungutnya untuk dimasukkannya ke saku, lalu digiringnya Sybil ke luar. Entah mengapa, ia menaruh simpati kepada anak itu.

Sore hari, ketika Miss Moorthy membuka sarinya, jatuh benda kecil yang tadi dipungutnya di ruang guru. Ternyata benda yang berasal dari kotak Miss Ngui itu sebuah kantung kecil. Di dalamnya ada sebuah cincin emas bermata hijau bulat. Cincin itu sederhana, kuno, dan jelek. Di bagian dalamnya tertulis: S.C 20 April.

Hati Miss Moorthy terkesiap. "S.C. Stephen Chan! Ayah Sybil!" pikirnya. "Kok dokter ahli kandungan sebeken itu membeli cincin sejelek ini. Apa uangnya semua dipegang oleh istrinya yang galak itu?" Cincin itu begitu kecilnya sampai tidak muat di kelingking Miss Moorthy. Pasti di Evelyn Ngui pun tidak muat, sehingga tidak dikenakan. Teringat pada jari Evelyn yang raib entah ke mana, hati Miss Moorthy jadi kecut.

Keesokan harinya Miss Moorthy memberi tahu kepala sekolah bahwa Miss Ngui meninggalkan sesuatu di rak. Kepala sekolah tidak tahu barang-barang itu harus dikemanakan sebab 

Miss Ngui tidak mempunyai sanak saudara di Singapura. Mereka bengong ketika melihat pemasukan terakhir di tabungan Miss Ngui. Dua puluh ribu dolar! Kepala sekolah memutuskan untuk menyerahkannya kepada polisi.

Saat melapor kepada kepala sekolah, Miss Moorthy sudah mengangkat foto-foto Miss Ngui. la khawatir murid-murid ribut mengetahui Miss Ngui berpacaran dengan ayah Sybil.

Namun yang mengagetkan Miss Moorthy adalah: kelinci biru sudah lenyap. Apakah Sybil yang mengambilnya?

 

Bertengkar di restoran

Miss Moorthy menceritakan semua yang didengarnya dari Anthony kepada Connie, karena teman seapartemennya itu bisa dipercaya.

"Ooh! Jadi pembunuhnya bukan si Pencekik Beruntun? Kok tidak dimuat di koran," komentar Connie. 

"Mungkin dirahasiakan. Atau polisi tidak percaya pada keterangan Anthony sebagai ahli forensik." 

"Jadi siapa dong pembunuhnya?" 

"Stephen Chan, karena Evelyn hamil!" jawab Miss Moorthy. "Uang 20.000 dolar itu ia terima sebagai uang tutup mulut tidak lama sebelum meninggal."

Connie menggugat, "Kalau mulutnya bisa ditutup dengan uang, buat apa ia dibunuh?”

"Mungkin karena Evelyn tidak mau uang. Ia ingin Stephen Chan. Istrinya tahu atau tidak, ya? Kalau istrinya tahu, pasti istrinya yang membunuh."

Lalu Connie menambahkan. "Atau mungkin temanmu, si David itu. Dia kan mengharapkan Evelyn kembali kepadanya, tetapi ternyata tidak."

Rupanya bukan cuma Anthony sendiri yang mengira pembunuh Evelyn bukan si Pembunuh Berantai. Buktinya David diinterogasi polisi. Anthony merasa bersalah, sebab gara-gara keterangan sebagai ahli forensik, temannya mendapat kesusahan.

David dicurigai, karena pada malam sebelum Evelyn dibunuh, sejumlah pelayan dan tamu Restoran Jack's Place menyaksikan David bertengkar dengan Evelyn. Menurut pelayan bernama Johannie Tan (22), wanita yang makan bersama David marah, lalu menangis, dan keluar dari restoran. la terakhir kelihatan menelepon dari lobi.

Ibu David, Ny. Wee, memberi kesaksian bahwa putranya tinggal bersamanya di rumah sepulang dari restoran. Namun, David bukan pendusta ulung. la tidak mampu memberi keterangan yang cocok.

Menurut versi David, sepulang dari restoran ia berjalan-jalan sendirian, lalu menonton di Bioskop Cathay, juga sendirian. Barulah ia pulang ke rumah. Seluruhnya makan waktu tiga jam.

Walaupun diketahui suka keluyuran sendiri dan bisa menceritakan film yang diputar hari itu di Cathay, ia tetap dicurigai.

Namun David tidak ditahan. Miss Moorthy membujuk Anthony agar mengajak David makan malam bersama mereka, untuk menghibur hatinya. Soalnya, David sangat grogi. Untung, ibunya tabah dan melindungi anaknya bagai induk macan. "Jangankan membunuh manusia. Membunuh kepiting pun ia tidak tega," kata Ny. Wee.

David kehilangan gairah hidup dan nafsu makan. Dari percakapan di restoran ketahuanlah bahwa Evelyn lahir di tahun kelinci, tetapi tidak suka kelinci. David tidak tahu-menahu perihal boneka kelinci di rak Miss Ngui. Polisi memberi tahu David perihal isi buku tabungan Evelyn, tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya 20.000 dolar itu.

"Tak mungkin dari keluarganya. Mereka miskin dan Evelyn tidak akur dengan keluarganya. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai dan meninggalkan Singapura. Evelyn tidak mau ikut dengan mereka. Ia tinggal menumpang pada Jek."

"Siapa Jek?" tanya Miss Moorthy. David segan menjawab. Katanya, Evelyn tidak mau orang tahu tentang Jek, yang semula diakuinya sebagai sepupunya. "Jek itu bencong," kata David. "Ia pelukis.”

David tidak tahu dengan jelas perihal pacar baru Evelyn, kecuali bahwa pria itu dipanggil Stevie, beristri, kaya, dan mengendarai Mercedes. "Stephen Chan!" seru Miss Moorthy. "Ia dokter ahli kandungan dan kebidanan terkemuka."

"Kalian bertengkar soal apa sih Sabtu Malam di Jack's Place?" tanya Miss Moorthy.

Kata David, Evelyn mendesak agar mereka segera kawin. David meminta waktu. "Aku perlu meminta Ibu berpikir dulu, dong. Ibu mau tinggal bersama kami, atau kami tinggal bersama Ibu. Evelyn malah ngambek diberi tahu begitu." Miss Moorthy bersimpati kepada Evelyn dalam hal ini.

"Evelyn tidak punya banyak waktu untuk menunggu. Kandungannya 'kan terus membesar," kata Miss Moorthy.

"Oh, kalian tahu Evelyn mengandung, ya? Sebenarnya aku minta agar dia jangan menceritakan kepada siapa pun ...."

 

Jek suka Evie

Keesokan harinya Miss Moorthy nekat mendatangi apartemen kecil yang tidak memiliki telepon di daerah Ang Mo Kio. Menurut David, di sanalah Jek tinggal.

Walaupun bersiap-siap menemui seorang waria, tidak pernah terbayang oleh Miss Moorthy, kalau Jek Kok Kee begitu cantik. Jek mengenakan kaus oblong longgar dan celana pendek longgar. Wajahnya mirip ABG (anak baru gede) yang tak kenal dosa. Bulu matanya panjang dan lentik.

Miss Moorthy mengaku teman Evelyn Ngui. Jek menanggapi datar saja, tanpa memberi kesan percaya ataupun tidak. Ternyata ia tahu banyak tentang Evelyn. Ia tahu tentang David, bahkan juga bahwa Miss Moorthy bukan teman dekat Evelyn. "Evie menceritakan semuanya," katanya.

Akhirnya, Miss Moorthy terpaksa mengaku bahwa ia teman David. "Saat ini David dicurigai. Jadi saya ingin meminta keterangan dari Anda, barangkali Anda bisa membantu menunjukkan pembunuh Evelyn."

"Jelas bukan saya," jawab Jek, "saya menyukai Evie. Ia membantu saya."

Menurut pendapat Jek, yang paling patut dicurigai memang David. Kalau bukan David, ya Steve. Ia tidak tahu siapa Steve, kecuali bahwa orang itu kaya, suka memberi banyak uang, dan mengendarai mobil besar. Jek tidak suka pada Steve.

"Sinting orang itu," kata Jek. "Ia tidak suka Evie tinggal dengan saya dan memaksa Evie untuk pindah dari sini. Mau pindah ke mana? Ke rumahnya dan tinggal dengan anak-istrinya?"

Miss Moorthy bertanya-tanya di dalam hati, bantuan apa yang diberikan oleh Evie kepada pelukis waria itu. Rasa ingin tahunya rupanya terjawab ketika Jek memperlihatkan lukisan-lukisannya. Modelnya Evie. Jek membuat Evie tampak cantik di atas kanvas. Tapi ada pula Evie yang digambarkan sebagai karikatur yang mengerikan. Miss Moorthy bergidik.

Ketika tiba di apartemennya Miss Moorthy menceritakan temuannya kepada Connie. "Aku kira Jek itu gila. Jangan-jangan ia ayah anak Evelyn. Ia membunuh Evelyn karena tidak sanggup memikul tanggung jawab," tutut Connie.

"Tapi Connie, Jek itu kecil."

"Anthony 'kan bilang, untuk mencekik dengan tali tidak dibutuhkan tubuh besar." 

"Aku tidak berani bilang ia pembunuh Evelyn atau bukan. Tetapi percayalah kepadaku, ia pasti bukan ayah anak Evelyn."

 

David merasa membunuh 

Anthony ditelepon Ny. Wee. Katanya, David mogok makan dan tidak mau keluar kamar. Kerjanya cuma menangis. Jadi Ny. Wee meminta tolong Anthony agar datang membujuk anaknya.

"Ajak Savi, untuk makan malam sekalian di rumah kami," undangnya.

Anthony pun datang bersama Miss Moorthy. Sementara Miss Moorthy menunggu di bawah ditemani Ny. Wee, Anthony naik ke kamar David. Ny. Wee sudah menyediakan makanan semeja penuh. Miss Moorthy teringat pada peringatan Connie: "Hati-hati kau diracuni Ny. Wee, Savi! Aku sih yakin David yang membunuh Evelyn. Siapa tahu Ny. Wee menganggap kau berbahaya, karena berusaha menyelidiki. Kalau kau tidak pulang, aku laporkan ke polisi!"

Ny. Wee mengeluh David lemah. "Padahal kalau kita tabah, semuanya akan berlalu. Aku tidak tahu deh, bagaimana kalau aku sudah tidak ada," katanya.

Ketika Anthony turun, Ny. Wee memaksa mereka makan masakannya yang enak-enak. "Anthony, David sudah tidak bisa aku ajak bicara lagi," katanya. "Aku khawatir ia malah jadi gila. Sebaiknya, kau saja yang menanganinya. Aku betul-betul minta tolong, nih!" Kentara betul ia bertambah risau akan nasib putranya.

Dalam perjalanan pulang, di mobil, Anthony bercerita bahwa pikiran David kacau. David berkata, bahwa rasanya memang dia yang membunuh Evelyn!

Miss Moorthy tertegun. "Anthony, apakah betul David yang membunuh Evelyn?" 

"Aku tidak tahu, Savi." 

Miss Moorthy mengerti, Anthony mengira hal itu mungkin terjadi.

"Mengapa David berkata rasanya ia membunuh Evelyn?" tanya Miss Moorthy ketika sudah di apartemennya. Saat itu Connie pun hadir. "Aku sangsi David mampu membunuh Evelyn. Aku, Connie, dan kau Anthony, pasti mampu membunuh Evelyn kalau ada motifnya. Tapi David 'kan orang yang tidak pernah bisa bertindak tegas. Kecuali kalau ia dipojokkan ...."

Namun, tidak semua orang berpendapat bahwa David tidak mau membunuh.

 

Jek ingin bertemu

Malamnya, Anthony menelepon Miss Moorthy untuk memberi tahu bahwa ia baru saja ditelepon David. Menurut David, Jek Kok Kee meneleponnya. Jek meminta David datang ke apartemennya besok pukul 16.00, karena ada hal penting yang ingin ia sampaikan sehubungan dengan kematian Evelyn. David menyanggupi, tetapi kemudian menyesal. 

"Kalau ibuku tahu, pasti aku dilarang datang," katanya. Ia tidak bisa membatalkan janjinya, karena Jek tidak mempunyai telepon. Sebetulnya, ia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Jek. Jadi, David meminta tolong Anthony untuk mewakilinya datang.

"Savi, apakah menurut pendapatmu David akan diperas oleh Jek?" tanya Anthony.

"Rasanya susah membayangkan Jek sebagai pemeras," jawabnya. "Lagi pula bisa mendapat apa dia dari David?" lanjut Miss Moorthy.

"Anthony, rasanya lebih masuk akal kalau Jek membunuh Evelyn. Lalu ia khawatir David bisa menduganya. Karena itu ia meminta David datang untuk dibunuh. Kalau kau yang datang kau yang dibunuh. Ah, gila! Kalau kau pergi juga, aku ikut!"

Pukul 15.50 mereka tiba di muka pintu apartemen Jek. Ketika Miss Moorthy mengetuk, pintu itu terbuka sedikit. "Halo!" kata Miss Moorthy. Tak ada yang menjawab. 

Percuma Miss Moorthy memanggil-manggil. Anthony mendorong pintu. Jek kelihatan duduk bersandar ke dinding. Matanya melotot. Kedua tangannya memegang dadanya yang datar. Di celah-celah jarinya kelihatan noda darah di baju kausnya yang kotor.

"Mati," kata dr. Anthony Tan. Tubuh Jek masih hangat. "Kita mesti menunggu di sini sampai polisi datang," kata Anthony. "Di mana teleponnya, ya?"

"Dia 'kan tidak punya telepon."

Mereka terpaksa turun dengan lift ke lobi. Miss Moorthy menunggu sementara Anthony menelepon. Di gedung apartemen murah itu cukup banyak orang berlalu-lalang.

Miss Moorthy dan Anthony ditanyai polisi sampai lama sekali dan berulang-ulang sebelum boleh pergi. Ketika Anthony mengantarkan Miss Moorthy ke apartemennya, ternyata Connie sudah pulang.

"Jangan-jangan waktu kalian datang, pembunuhnya masih bersembunyi di tempat Jek," kata Connie. "Eh, Savi, waktu kau menunggu Anthony menelepon, kau melihat ada orang yang lewat tidak?"

"Banyak dong. Namanya juga di apartemen rakyat."

Lalu tiba-tiba Miss Moorthy ingat bahwa ia melihat seorang pria yang rasa-rasanya pernah ia jumpai, keluar dari lift lalu bergegas ke tempat parkir. Pria itu meluncur pergi dengan mobilnya yang berwarna putih. 

"Kau ingat nomornya?" tanya Connie bersemangat. 

"Tidak." 

"Waaaah ...." 

"Mobilnya seperti mobil menteri. Besar, bersih, putih ... Eh, aku ingat sekarang. Itu 'kan dr. Stephen Chan, ayah Sybil!" 

"Anthony," kata Miss Moorthy pula. "Kau bilang tangan Evelyn Ngui dipotong oleh orang yang sedikit banyak mengerti anatomi. Stephen Chan adalah kekasih Evelyn dan ia dokter walaupun bukan ahli bedah. Kemarin Jek meneleponnya dan kini Jek meninggal. Apa artinya?"

"Savi," kata Anthony, "jangan keburu nafsu menarik kesimpulan. Dari mana kau tahu Jek meneleponnya?"

"Kalau ia tidak ditelepon, mengapa ia ada di sana? Bisa saja dia yang membunuh Evelyn dan kini dia membunuh Jek. Aku harus berbicara dengannya."

"Kau jangan gegabah, Savi. Ia dokter terkenal. Ia pasti mempunyai pengacara. Kau bisa dituntut."

 

Ditawari uang suap 

Walaupun dilarang Anthony, Miss Moorthy nekat juga. Connie bersedia membantunya. Mereka menemui dr. Stephen Chan di kliniknya.

Miss Moorthy bertanya dengan sopan dan dr. Chan menjawab dengan tenang dan sopan juga. Ia menyangkal membunuh Evelyn Ngui ataupun Jek. Katanya, ia cuma sebulan pacaran dengan Evelyn, lalu tiba-tiba Evelyn memutuskan hubungan. 

Alasan Evelyn: ia ingin menikah dan mempunyai anak dan kedua hal itu tidak bisa diharapkan dari dr. Chan. Dokter Chan bisa memahami Evelyn, sehingga mereka berpisah baik-baik. Ia mengakui tidak pernah diperas, tidak pernah memberikan uang 20.000 dolar kepada Evelyn, walaupun beberapa kali ia pernah memberi uang karena ia senang dengan Evelyn dan karena Evelyn memerlukan bantuan. 

Evelyn bukan pengelola uang yang baik, katanya. Namun, pemberiannya paling banyak hanya 200 dolar setiap kali. Pernah dulu ia menjanjikan akan menolong Evelyn untuk belajar di Inggris. Ketika Evelyn tewas, ia menerima surat dari Jek, yang menyatakan ingin menyampaikan sesuatu perihal kematian Evelyn. 

Surat itu dialamatkan ke kliniknya. Ia terlambat datang, karena tidak bisa meninggalkan pasiennya. Ketika ia tiba, ia melihat Miss Moorthy di lobi, tetapi tidak tahu kalau Miss Moorthy berada di sana karena Jek. Ketika naik ke apartemen Jek, ia kaget mendapati Jek sudah tewas. Jadi ia buru-buru menyingkir.

Connie, Miss Moorthy, maupun Anthony merasa keterangan Stephen Chan masuk akal.

"Dia mirip David, ya. Maksudku David takut kepada ibunya. Dia takut kepada istrinya," kata Connie. "Jangan-jangan istrinya yang membunuh Evelyn dan berusaha agar kelihatannya si Pembunuh Berantai yang melakukannya. Bisa saja, 'kan ia menemukan surat Jek yang berbau pemerasan itu, lalu menghabisi Jek. Apa kau bilang senjata yang dipakai menikam Jek itu?"

"Obeng yang masih ada tempelan harganya. Barang itu dibeli di Pasar Swalayan Cold Storage."

Connie tidak terlalu ngawur, pikir Miss Moorthy. Namun, apa betul Ny. Chan bisa melakukan hal itu? Ia agak sangsi.

Di sekolah Miss Moorthy ternyata didatangi Ny. Chan yang bertubuh tinggi besar dan cantik. Dari beberapa kali pertemuan sebelumnya, Miss Moorthy tahu, wanita itu sangat cerdas, efisien, dan berwatak kuat.

Miss Moorthy selalu menghargai keterusterangan, namun ia tidak menduga kalau Ny. Chan langsung menembak begini: "Sebaiknya kita tidak usah berbasa-basi. Apa maksud Anda mendatangi suami saya? Ia sudah menceritakan semuanya. Kami bukan orang kaya (Dusta, pikir Miss Moorthy). Bagaimana kalau saya memberi Anda 10.000 dolar?"

Miss Moorthy kaget. Lalu ia sadar bahwa Ny. Chan mengira ia mendatangi dr. Chan untuk memeras. "Anda mau menyuap agar saya tidak memberi tahu orang lain perihal hubungan suami Anda dengan Miss Ngui?" tanyanya. 

"Ya," jawab Ny. Chan tegas. 

"Dulu Anda juga menyuap Evelyn? Dua puluh ribu dolar?" 

Wanita itu tercengang sejenak. 

"Saya tidak mau uang Anda." 

"Jadi apa yang Anda kehendaki?" 

"Saya ingin mengetahui pembunuh Evelyn Ngui."

Ny. Chan memandang dengan sikap penuh selidik kepada Miss Moorthy. Tampaknya ia percaya pada kata-kata guru anaknya itu, sebab nada suaranya menjadi lebih lemah.

"Maaf. Saya menawarkan uang bukan untuk menghina Anda. Cuma ... cuma saya pikir itu yang paling baik. Mengapa perlu diributkan lagi. Dia 'kan sudah meninggal."

“Ya, tapi kita mesti mencari pembunuhnya." 

"Lo, pria yang ditangkap itu ...." 

"Ia bisa saja pembunuh Evelyn, tetapi tidak mungkin pembunuh Jek Kok Kee." 

Ny. Chan memandang tajam. "Kalau Anda usil, Anda bisa celaka."

 

Mencoba bunuh diri

“Ia lebih banyak mengancam daripada memperingatkan," kata Anthony ketika Miss Moorthy menceritakan pengalamannya. Hari itu juga Miss Moorthy mendapat berita besar dari pacarnya: David yang selama ini di rumah saja dan mengurung diri di kamar, mencoba bunuh diri dengan meminum obat penenang cukup banyak. Kemudian ia memberi tahu ibunya dan wanita itu bergegas menelepon Anthony.

"Obat begitu sih sebetulnya tidak cukup untuk mematikan," cerita dokter itu. "Paling-paling ia akan teler lama. Aku pompa perutnya. Ia mengigau terus. Katanya, rasanya ia membunuh Evelyn, tapi ia baru menyadari hal itu ketika menemukan tangan dingin yang keras seperti batu. Ia tahu, pasti itu tangan Evelyn."

"Ibunya yang sebelumnya tabah, sekarang ikut senewen." sambung Anthony. "Aku risau melihat keadaan David. Melihat gejala-gejalanya sih, ia menderita skizofrenia." Miss Moorthy pun sama risaunya, karena sekarang ia tahu pembunuh Evelyn Ngui!

Selama ini ia telah mencoba mencari jawaban untuk hal-hal berikut: Evelyn tinggal dengan Jek Kok Kee. Walau ia putus hubungan dengan David Kwa, tetapi ia masih mempunyai pekerjaan, tempat berteduh, dan uang ekstra dari Stephen Chan. Jadi keadaannya tidak gawat.

Mengapa ia memutuskan untuk kembali kepada David dan ingin menikah secepatnya? Karena ia hamil. Jek mempunyai kesempatan paling besar untuk membunuhnya, tapi Jek pun dibunuh. 

Ada dua kemungkinan: Jek membunuh Evelyn, lalu ada orang yang mewakili Evelyn membalas perbuatan keji itu. Bisa juga Evelyn dibunuh orang lain, lalu Jek dibunuh juga karena ia tahu terlalu banyak.

Selain itu Evelyn kelihatan menelepon sebelum ditemukan menjadi mayat. Siapa yang diteleponnya?

Sehari sebelum Jek meninggal, David mengaku menerima telepon dari Jek. Jek menyatakan ada yang ingin ia sampaikan perihal kematian Evelyn. Dokter Stephen Chan mengaku mendapat surat dari Jek, yang ingin bertemu dengannya untuk membicarakan kematian Evelyn. Mengapa Jek tidak menelepon saja? 'Kan nomor telepon dokter terkenal itu tercantum di buku telepon. 

Miss Moorthy penasaran. Ia ingat di rumah Jek tidak ada buku, majalah, maupun koran. Ketika dicek ke tetangga, ternyata Jek buta huruf! Ia mengandalkan Evelyn untuk baca-membaca dan tulis-menulis.

 

Menolak jadi mertua

Keesokan harinya Miss Moorthy tidak bisa memusatkan pikiran di sekolah. Ia memeriksa kotak surat Miss Ngui di sekolah dan menemukan surat yang dikirim dengan pos udara. Kalau saja Evelyn Ngui tidak meninggal, Miss Moorthy tidak berani membacanya. 

Surat itu berasal dari orang tua Miss Ngui di Kuching. Mereka mengucapkan selamat karena Miss Ngui akan menikah dengan David Kwa. Orang tua Miss Ngui menyatakan tidak mampu datang karena ongkosnya besar.

Setelah itu Miss Moorthy berpikir-pikir apa yang sebaiknya ia lakukan dan apa akibatnya bagi orang lain.

Dengan bersusah payah, berhasil juga Miss Moorthy meyakinkan polisi, bahwa sebaiknya mereka mencari tangan Evelyn Ngui di lemari pembeku milik Ny. Wee! Polisi memang menemukannya, walaupun sudah tidak berupa tangan lagi, melainkan berupa daging dan tulang cincang yang disatukan dengan tulang babi yang biasa dipakai untuk membuat kaldu. Hanya dengan penelitian laboratorium tangan Evelyn Ngui bisa dikenali.

Pembunuh Miss Ngui adalah Ny. Wee! Ny. Wee yang tidak setuju bermenantukan Evelyn Ngui, pernah menyogok pacar anaknya itu sebesar 20.000 dolar agar memutuskan hubungan. Kebetulan ada dr. Stephen Chan yang menjanjikan akan menyekolahkan Miss Ngui. Miss Ngui berpacaran dengan Stephen Chan, Miss Ngui mendapati dirinya hamil. 

Ia terpaksa meminta pertanggungjawaban ayah janin dalam kandungannya, yaitu David Kwa. David memang ingin Evelyn kembali kepadanya, tetapi ia takut pada ibunya. Ia meminta Evelyn menunggu. Evelyn tidak mau. 

Di restoran ia mengancam David, akan memberi tahu ibu David perihal ia hamil. Evelyn menduga, mau tidak mau Ny. Wee akan menerima dia sebagai menantu, karena ia mengandung anak David. Pemberitahuan itu disampaikan Evelyn lewat telepon sehabis bertengkar di restoran.

Evelyn Ngui menyatakan bersedia mengembalikan uang yang 20.000 dolar kepada Ny. wee. Ceknya sudah ia siapkan. Ny. Wee pura-pura setuju, sambil menyuruh Miss Ngui menemuinya segera di Fort Canning. Di sanalah Evelyn Ngui dihabisi. Supaya dikira dibunuh si Pembunuh Berantai, Ny. Wee yang mahir memotong-motong ayam, kaki babi, dsb. itu memotong tangan Miss Ngui.

Ny. Wee membunuh Evelyn Ngui karena ia yakin wanita itu bukan orang baik-baik dan tidak akan bisa membahagiakan putra yang disayanginya. Ia yakin Evelyn hamil oleh orang lain, tetapi menangkap David untuk menutupi malu. 

Sekali ini tampaknya David tidak bisa dicegah untuk menikahi Evelyn. David meminta cincin segala untuk diberikan kepada Evelyn sebagai ‘tanda jadi’. Ny. Wee terpaksa memberikan sebentuk cincinnya yang paling jelek. S.C. bukanlah singkatan Stephen Chan, melainkan Siew Cheng, nama kecil Ny. Wee.

Ny. Wee membunuh Jek, karena ia mendengar dari telepon extension bahwa Jek ingin menyampaikan sesuatu kepada David. Ia takut Jek tahu pembunuh Evelyn. 

Ia menulis surat kepada dr. Stephen Chan yang dianggapnya sebagai ayah bayi di rahim Evelyn Ngui, agar datang ke tempat Jek, supaya Stephen Chan-lah yang dituduh membunuh Jek. Sementara itu David menemukan tangan Evelyn di freezer (bekas dicincang), sehingga ia tahu ibunya membunuh Evelyn. David lantas mencoba bunuh diri. 

Tentang boneka kelinci yang lenyap dari rak Miss Ngui: ternyata itu milik Sybil yang disita Miss Ngui karena dipegang-pegang terus di dalam kelas. Setelah Miss Ngui tewas, Sybil diam-diam mengambilnya kembali.

(Ovidia Yu)

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304472/bayangan-pembunuh-berantai" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265269000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123138" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-peng-20220201081543.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(11) "Nickey Moey" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9380) ["email"]=> string(20) "intiplus-23@mail.com" } } ["description"]=> string(71) "Pemerasan raja bioskop di Singapura yang berakhir dengan saling menipu." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-peng-20220201081543.jpg" ["title"]=> string(20) "Raja Bioskop Diperas" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:24:49" ["content"]=> string(23367) "

Intisari Plus - Runme Shaw yang dikenal sebagai raja bioskop di Singapura, merasa mendapat firasat buruk ketika melirik ke sebuah sampul putih yang tiba ke rumahnya. Surat itu bercap pos 15 Maret 1976 dan alamatnya diketik. 

Lazimnya, surat yang diketik adalah surat dinas. Surat pribadi biasanya ditulis tangan. Tapi surat dinas sepantasnya memakai sampul bercetakkan nama perusahaan. Sampul surat ini polos saja.

Runme merobek bagian atas sampul sampai prangkonya ikut koyak. Di dalamnya ada kertas biru muda dilipat tiga. Tulisan di kertas tipis diketik juga. Isinya sebagai berikut:

Dengan hormat,

Kami ingin memperkenal diri. Kami dari Paitai Pamrih. Partai kami memerlukan donatur. Kami memutuskan memilih Anda. Harap Anda bersedia menyokong kami 200.000 dolar.

Ingat pada keluarga dan harta benda Anda yang akan dibakar habis atau tewas, jika Anda melapor ke polisi atau menipu kami. Jangan berani-berani mengelabuhi atau mengancam kami. Jangan samakan kami dengan oiganisasi-organisasi rahasia lain di Singapura. Kami yakin polisi akan diberi tahu.

Perbedaan Partai Pamrih dengan organisasi-organisasi rahasia lain adalah: kami tidak ragu-ragu untuk mengorbankan  anggota kami bila perlu ….

Selebihnya berupa peringatan. Partai Pamrih minta surat mereka diindahkan oleh Shaw. Mereka juga menyatakan akan mengirimkan instruksi-instruksi. Surat diakhiri dengan ucapan terima kasih.

Pada akhir surat tertulis:

Dari
Partai Pamrih
15 - 3 - 1976

Di sebelah kanannya ada tiga aksara Cina yang meru￾pakan terjemahan "Partai Pamrih". Selain itu ada gambar swastika Jerman dan tengkorak.

Shaw mengerutkan dahinya. Dibacanya kembali surat yang sebagian ejaannya seperti disalah-salahkan itu. Mungkin saja surat itu berasal dari orang iseng atau lelucon tidak lucu dari saingan yang ingin menakut-nakutinya. Bisa juga ancaman itu sungguh-sungguh. Si pengancam serius ingin menewaskan keluarganya dan membakar bioskop-bioskopnya.

Namun, kalau keinginan pemeras diladeni, berarti ia mendapat hati dan jutawan macam Runme Shaw pun akan bangkrut.

Runme Shaw memutuskan untuk melapor kepada polisi. Pukul 16.44 hari itu juga, dua orang perwira polisi menerima surat itu di kantor Shaw. Lalu pengawal pribadi Shaw, Loh Poh Cheng, mengantar kedua perwira itu ke ruang kerja sang raja bioskop. Di sana Shaw membuat laporan resmi.

 

Lebih baik mati daripada miskin

Surat dikirimkan ke laboratorium kriminal kepolisian. Namun, tidak ditemukan sidik jari yang bisa menunjukkan pengirim tersebut.

Shaw segera mengganti nomor teleponnya supaya tidak bisa dihubungi oleh pemeras. Sementara itu patroli sekitar rumah Shaw di Queen Astrid Park diperketat.

Enam hari kemudian datang dua surat yang identik. Sepucuk ditujukan ke rumahnya dan yang lain ke kantornya di Robinson Road. Kedua surat ini pun memakai amplop putih polos berukuran kecil. Kertas suratnya biru dan isinya diketik. 

Bunyi surat tertanggal 22 Maret 1976 itu sebagai berikut:

Dengan hormat,

Kami dari Partai Pamrih ingin meminta uang tebusan dan Anda sebanyak 200.000 dolar. Tanggal 15 Maret kami sudah mengirim surat ke rumah Anda. Kami juga sudah menelepon Anda beruJang-ulang, tefapi tidak ada jawaban. 

Kini kami mengirim lagi surat, satu ke rumah Anda, satu ke kantor Anda. Kalau dalam waktu tiga hari kami tidak mendapat tanggapan, mula-mula kami akan membakar bioskop Anda, kemudian membunuh keluarga Anda. Kami tidak takut kalau Anda melapor ke polisi. Lebih baik kami mati daripada hidup miskin. 

Sekarang coba Anda siapkan uang 200.000 dolar. Separuh dalam uang kertas ratusan, sisanya uang kertas 50-an. Semua harus uang kertas yang sudah dipakai dan nomornya tidak boleh berurutan. Bungkus dengan kertas koran, lalu taruh di kantung plastik.

Orang yang mengantarkan uang mesti memakai kemeja dan celana merah. Bersiap￾-siaplah menerima telepon dari kami. Kami akan menghubungi Anda setelah Anda menerima surat ini.

Membunuh keluarga Anda memang tidak gampang, tapi membakar habis bioskop Anda sih, pekerjaan yang sepele.

Terima kasihl

PARTAI PAMRIH

Seperti yang pertama, surat ini pun banyak salahnya. Tanda-tanda baca sering diabaikan. Jelas bahwa pengirim surat ini berniat memeras, bukan bercanda. Sekarang tinggal menunggu tindakan si pemeras yang tidak diketahui siapa, di mana, dan kapan akan bergerak.

 

Jangkung dan tampan

Tanggal 25 Maret 1976, kantor-kantor di Shaw Centre sudah tutup. Manuel Enock dari Hansen Security Agency yang bertanggung jawab menjaga keamanan gedung perkantoran itu mulai mengantuk, karena hari sudah pukul 22.00. Jalan jalan sekitarnya, Orchard Road dan Scotts Road yang biasanya ramai, kini mulai lengang.

Tiba-tiba saja terdengar ledakan keras. Manuel segera berlari ke sumber bunyi, yang ternyata kamar kecil pria. Asap mengepul dari tempat itu. Ia mundur dari pintu karena merasa panas. Manuel insaf, tidak mungkin ia memadamkan api sendirian. Jadi diraihnya telepon untuk meminta bantuan polisi dan pemadam kebakaran.

Tak lama kemudian petugas petugas pemadam kebakaran tiba dan berhasil mencegah api merambat ke tempat lain. Api merusakkan sebagian langit-langit dan tangki air. Penutup plastik pada kloset peyok-peyok.

Di dinding, terdapat tulisan mencolok:

RUNME SHAW

PARTAI PAMRIH

Di sebelah kanan nama Shaw ada tiga aksara Cina.

Tanggal 28 Maret 1976. Tangasami, manajer Diamond Cinema, sedang mengambil karcis yang akan dijual pada pertunjukan pukul 17.30 ketika ia diberi tahu bahwa toko di sebelah bioskop kebakaran. Dalam waktu beberapa menit saja api melalap sebagian besar toko. Karena khawatir akan keselamatan penonton bioskop, Tangasami membatalkan pertunjukan.

Tanggal 31 Maret 1976. Bioskop Capitol sedang memutar film silat. Omar Kidam melayani pembeli karcis untuk pertunjukan terakhir pukul 21.30. Merasa lelah sekali karena sudah bertugas sejak pukul 15.00, ia pergi ke dalam bioskop untuk duduk beristirahat. Setengah jam kemudian ia dan para penonton dikejutkan oleh nyala api yang tiba-tiba saja menerangi ruang yang gelap itu. Seorang pria menyelinap ke luar. Wajahnya terlindung oleh kegelapan.

Omar melompat mengejarnya, walaupun hatinya deg-degan. Sayang, ia tersandung sampai jatuh terjerembap. Ketika ia bangkit, pria itu sudah lenyap. Seorang petugas berhasil memadamkan api dengan cepat.

Dalam tiga peristiwa ini pembakar tidak berhasil menimbulkan kerugian yang berarti bagi Shaw. Ia atau mereka, membawa minyak tanah dalam kaleng atau botol dan tampaknya amatir.

Tanggal 11 April 1976, Mohmmed Yasin, petugas penjaga karcis di Queens Cinema, didekati seorang pria Cina pada pertunjukan terakhir.

"AC-nya terlalu dingin," keluh orang itu. "Tolong kecilkan, dong." Ini bukan pertama kalinya penonton mengeluh AC terlalu dingin. Karena letak ruang mesin cuma kira-kira .15 m dari tempatnya bertugas, Yasin masuk ke dalam untuk menaikkan suhu. 

Lalu ia buru-buru kembali meneruskan. tugasnya sambil membelakangi kamar mesin. Lima menit kemudian, ia ingat bahwa ia lupa mengunci kembali kanlar mesin. 

Ia di buru-buru ia berbalik. Saat itulah ia melihat seorang pemuda jangkung yang tampan sedang melemparkan kain yang menyala ke dalam kamar itu.

Yasin segera mengejarnya. Pria muda.itu berhasil melarikan diri. Mesin mengalami kerusakan berat, sehingga perusahaan Shaw harus mengeluarkan uang 30.000 dolar untuk memulihkannya.

 

Diberi umpan duit

Keesokan harinya, Manajer Queens Cinema Chye Loo Chin, ditelepon orang ketika berada di kantornya.

"Halo."

"Anda manajer bioskop?" tanya seorang pria dalam bahasa Hokian.

"Betul. Siapa Anda?"

"Kami Penantang Maut."

Chye kaget.

"Kemarin 'kan kami yang membakar. Dengar, ya. Kami tidak ragu-ragu membakar bioskop lain milik bosmu, jika dia tidak memenuhi permintaan kami. Betapapun kami akan memperoleh uangnya, walau pun kami mesti mati."

"Permintaan apa?"

"Tidak usah bertanya-tanya. Bosmu tahu. Lebih baik kirim saja pesan kami kepada bosmu. Kami akan menelepon lagi nanti malam."

Sebelum Chye bisa bertanya lagi, gagang telepon sudah diletakkan oleh si Penantang Maut.

Pukul 20.20, Penantang Maut menelepon lagi. Sekali ini Yasin ada di ruangan yang sama dengan Chye.

"Apa kata bosmu?" tanya penelepon.

"Apa-apaan sih, kau?" jawab Chye seraya memberi isyarat kepada Yasin agar menghubungi polisi. "Kau main bakar lalu kau minta duit. Pikir dong, berapa banyak orang tidak berdosa yang bisa jadi korbanmu?"

Si penelepon menyumpah-nyumpah sebelum berkata.

"Nggak usah mengajari aku, tahu! Kau kira kami senang mengerjakannya? Tapi kami harus. Kalau tidak dikerjakan, sama saja seperti bunuh diri. Pokoknya, jangan banyak mulut. Aku beri kau waktu 24 jam untuk berpikir." Hubungan diputuskan.

Dua menit kemudian Yasin kembali. Katanya, polisi belum berhasil melacak penelepon.

Dua hari lamanya pemeras "libur". Tanggal 15 April 1976, pukul 11.30 Christine Tay, sekretaris pribadi Runme Shaw, mendengar telepon berdering.

"Pak Vee Meng Shaw ada?" tanya seorang pria dalam bahasa Inggris yang fasih. Karena Christine tidak mengenal suara penelepon, ia bertanya, "Maaf, Bapak siapa?"

"Teman Anda, pembakar gedung, Partai Pamrih. Ingat bioskop-bioskop yang dibakar? Saya mau berbicara singkat saja. Kami cuma minta 200.000 dolar. Atau kau perlu bukti lagi bahwa kami pembakar gedung?"

Christine sebelumnya sudah diajari oleh Shaw perihal apa yang mesti ia katakan kalau pembakar gedung menelepon Jadi sesuai dengan ajaran bosnya ia menjawab, "Percuma. Anda membuang-buang waktu saja."

"Kalau aku jadi kau," kata penelepon itu, "Aku tidak mau ikut-ikutan urusan bosmu. Demi keselamatanmu sendiri, jangan ikut campur."

Telepon pun ditaruh. Pukul 15.13 pria yang tadi menelepon, kini menghubungi telepon lain di kantor itu. Christine juga yang mengangkatnya.

"Selamat sore. Boleh saya berbicara dengan Runme Shaw?"

"Pak Shaw sedang tidak ada."

"Mendingan dia kau suruh berbicara dengan aku. Bilang saya salah seorang Penantang Maut, bosmu kepala batu. Katakan kepadanya, kalau permintaan kami tidak dituruti, kami akan menaikkan harga. Setengah juta."

"Sesuka hatimulah. Pokoknya, kami tidak akan membayar," jawab sekretaris itu.

Inspektur Oh Chye Bee diserahi tugas menangani pemerasan itu. Oh berkesimpulan bahwa satu-satunya cara untuk menangkap basah si pemeras adalah dengan membujuk mereka. Umpannya duit.

Oh menghubungi P.C. Seah, orang yang bertugas mengepalai semua bioskop, agar segera menghubungi Oh bila mereka menerima telepon dari pembakar gedung.

Oh tidak usah lama menunggu. Hari Selasa, tanggal 20 April, Manajer Queens Cinema Chye, diancam oleh  penelepon yang menyatakan akan membakar semua bioskop Shaw bila permintaan mereka diabaikan.

Penelepon menyatakan akan menghubungi Chye lagi malam itu. Oh menunggu di kantor Queens Cinema. Pemeras me￾nepati janjinya untuk menelepon. Chye yang menerima.

“Tunggu. Wakil Runme  Shaw mau berbicara,” kata Chye. Telepon dioperkan kepada Oh.

"Saya Oh, wakil Runme Shaw."

"Pak Oh, Anda 'kan sudah melihat kemampuan kami. Kami cuma minta 200.000. dolar. Keselamatan bioskop-bioskop kalian tergantung pada kerja sama dari kalian."

"Mari kita bicarakan," kata Oh. "Dua ratus ribu terlalu banyak. Apa jaminannya bahwa setelah mendapat 200.000 dolar Anda tidak akan membakar lagi?"

"Kami tidak mau berunding. Saya akan menelepon kembali," kata orang itu. Gagang telepon cepat-cepat ditaruh. 

Hari itu Oh menerima tiga panggilan telepon lagi. Ketiga-tiganya menyampaikan ancaman yang sama. Mereka memberi kesan ada beberapa pihak yang terlibat. Mereka selalu memutuskan pembicaraan untuk menghindari pelacakan.

Keesokan harinya Oh ditelepon pukul 11.30.

"Bos saya setuju memenuhi permintaan Anda. Dua ratus ribu, tidak lebih," kata Oh.

"Bagus!" Oh merasa lawan bicaranya pasti sedang tersenyuni saat itu. "Saya yakin ia akan memakai akal sehatnya:"

"Kapan dan di mana Anda akan mengambil uangnya?"

"Ini instruksinya. Dengar baik-baik. Hari Sabtu Anda ambil uangnya dari bank. Mesti kontan dalam lembaran lima puluhan dan ratusan, seperti yang tertulis di surat kami. Kami ingin uang yang sudah dipakai, tidak ditandai dan nomornya tidak berurutan. Paham?"

"Ya," jawab Oh sambil menahan kegeramannya.

"Sesudah mengambil uang, kembali ke bioskop, dan tunggu instruksi dari kami. Ada pesan satu lagi: jangan ambil uang dulu sebelum kami telepon."

 

Di tempat sampah

Oh berpikir, kalau mereka menyuruh ia pergi ke Queens Cinema, ada kemungkinan uang akan diambil di sana.

Pesan untuk menunggu instruksi di sana mungkin cuma untuk menyimpangkan dugaan saja. Jadi pukul 09.00 hari Sabtu, tanggal 24 April, seorang perwira polisi bernama Henry Thomas dan sejumlah detektif ditempatkan di dalam bioskop.

Pukul 09.40 telepon berbunyi. Oh diperintah pemeras untuk pergi ke bank. Ia cuma boleh ditemani satu orang. Kepergian mereka berdua tentu saja diam-diam, dibuntuti oleh sejumlah detektif.

Pukul 10.15 Oh memasuki bank di Shaw Towers. Keluar dari sana ia menjinjing kantung plastik. Diam-diam para detektif menemani Oh kembali ke Queens. Mereka bersikap hati-hati sebab saat itu pasti para pemeras mengawasi tindak tanduk dan keadaan sekitarnya.

Pemeras meneleponnya.

"Bagus!" kata pria di ujung telepon. "Saya lihat Anda menunjukkan kerja sama yang baik. Sayang, Anda tidak sendirian. Saya beri tahu lagi di mana Anda harus berada besok tengah hari."

Keesokan harinya, Minggu, pukul 12.00 telepon di Queens berbunyi. Peneleponnya tidak lain orang yang kemarin, yang suaranya sungguh membencikan  Oh. "Anda harus pergi ke Swan Coffee House.” Tetapi sebelum ia tiba, Henry Thomas de￾ngan anak buahnya sudah berada di sana untuk mengambil tempat-tempat yang strategis.

Pukul 12.40 ada telepon untuk Oh. Penelepon meminta Oh melihat ke bawah alat itu. Di situ ditemuinya kertas catatan dan peta. Oh diminta mengikuti instruksi pada kertas catatan itu. 

Setelah itu ia diminta kembali ke Swan Coffee House untuk menunggu panggilan telepon lagi. Sambil menunggu ia dipersilakan minum kopi. "Kecuali kalau Anda dilarang minum saat bertugas," kata si penelepon.

Menurut kertas catatan di bawah telepon, Oh diberi waktu tiga menit untuk menaruh uang di tempat sampah Kementerian Lingkungan Hidup di bundaran Penang Road/Orchard Road/Dhoby Ghaut.

 

Tipu lawan tipu

Oh menarik napas panjang karena merasa buruannya semakin dekat. Bundaran itu terletak di seberang Cathay Cinema, kira-kira 50 m dari Swan Coffee House. Ribuan orang melalui tempat itu setiap hari. Dua batang pohon angsana meneduhinya. Di bawah kerindangan itu tumbuh beberapa gerombolan semak.

Oh bergegas ke sana. Di tempat yang ditandai di peta, terdapat sebuah tempat sampah. Benda itu lebih besar daripada tempat sampah umumnya dan berbentuk persegi, bukan bulat. Jenis ini khusus milik Kementerian Lingkungan Hidup. Puncaknya berupa setengah silinder. Sampah cuma bisa dibuang ke dalamnya lewat samping.

Oh berjalan melewati tempat sampah itu dan membuang bungkusan duit ke dalamnya. Lalu ia kembali ke Swan Coffee House lewat Penang Road dan Plaza Singapura, sesuai instruksi.

Sementarg itu Henry Thomas dan anak buahnya terus mengawasi daerah sekitar bundaran. Di Swan Coffee House.  Oh menerima telepon dari pria menyebalkan yang selama ini memerintahnya mondar-mandir ke sana-kemari. 

"Terima kasih, ya, untuk kerja sama Anda. Tolong bilang kepada bos Anda, bahwa ia tidak akan menyesal. Anda boleh pergi sekarang."

Begitu meletakkan gagang telepon, Oh dan Inspektur Roger Yeo melompat ke mobil untuk pergi ke Nicol Highway. Mereka berganti pakaian buru-buru sebelum pergi ke Penang Road.

Pokoknya,, kalau ada orang yang mengambil sesuatu dari tempat sampah di bundaran, ia tidak bakal lolos dari sergapan anak buah Henry Thomas, kecuali kalau ia bisa terbang.

Para polisi yang mengawasi dilengkapi dengan senjata api. Semua menunggu dengan tegang. Oh merasa jantungnya berdegup-degup keras. Ia berharap-harap anak buahnya tidak ada yang dicurigai pemeras. Kalau mereka curiga dan tidak mengambil uang tebusan, berarti perlu dirancang skenario lain.

Mereka menunggu. Mata mereka mengawasi orang dan kendaraan yang lewat. Setiap saat si pemeras bisa datang. Buat polisi, kesabaran dan kerja keras merupakan. Resep keberhasilan. Jadi mereka tetap menunggu. 

Pukul 14.00 belum juga ada orang mendekati tempat sampah, padahal sudah lebih dari satu setengah jam polisi mengintai. Jangan-jangan penjahat cuma mau mengibuli mereka.

Lima menit kemudian mereka yakin penjahat tidak bakal muncul. Pukul 14.25 Oh tidak sabar lagi berdiam diri saja. Ia berjalan menuju ke tempat ia membuang duit. Ia merogoh tempat sampah itu. Kosong! 

Oh memandang dengan rasa tidak percaya ke dalam tempat sampah itu. Di dasarnya tidak ada kantung plastik berisi tebusan. Bahkan dasar tempat sampah itu tidak ada alias bolong. Bak persegi itu diletakkan di lubang yang menembus ke gorong-gorong.

Ketika tempat sampah itu diangkat, ternyata dasarnya sebenarnya ada, tetapi sengaja dibuat agar bisa menjeblak seperti pintu. Semula dasar itu menempel pada dinding tempat sampan, berkat engsel dan kunci pasak. 

Setelah bungkusan plastik dimasukkan, rupanya pemeras membuka kunci pasak di dasar tempat sampah dari dalam gorong-gorong itu, untuk mengambil kantung itu.

Tentu saja Oh mangkel setengah mati, karena ia kena dikelabui penjahat yang licin. Namun, penjahat itu pun pasti tidak kalah mangkelnya, sebab isi bungkusan plastik itu sebenarnya bukan duit, melainkan guntingan-guntingan surat kabar.

Tidak diceritakan bagaimana tepatnya reaksi pemeras ketika mereka membuka bungkusan plastik itu, sebab mereka tidak pernah tertangkap. Runme Shaw sendiri sampai saat ini tetap kaya raya karena tidak mempan diperas. 

 

(Nicky Moey)

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123138/raja-bioskop-diperas" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643747089000) } } }