array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3350536"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(137) "Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg"
      ["title"]=>
      string(32) "Pelajaran Buat si Mata Keranjang"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-29 19:18:17"
      ["content"]=>
      string(36044) "

Intisari Plus - Caroline dan Edward pertama kali bertemu dengan Travers saat bermain ski. Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya.

------------------

Liburan musim dingin kali ini kami habiskan di Verbier, kawasan Ascot, Inggris, ajang bermain ski yang terkenal. Sabtu pagi itu kami sedang menunggu ski lift ketika seorang pria 40-an tahun menyilakan Caroline, istri saya, masuk ski lift. 

Dari omongannya kami tahu sepagi itu ia telah menyelesaikan dua kali luncuran. Sejenak saya terpesona atas keramahannya, meski kemudian tak ingat lagi lantaran kesibukan kami.

Sesampai di puncak kami segera memisahkan diri, masing-masing menggunakan luncuran yang berbeda sesuai dengan tingkat keterampilan. Caroline menggunakan luncuran A bergabung dengan Marcel, pelatih yang khusus menangani para pemain ski tingkat lanjut. Maklum, istri saya memang sudah bermain ski sejak usia 7 tahun. Sementara saya memilih luncuran B, sesuai dengan tingkat kemampuan ski saya yang tergolong masih pemula. 

Dalam bermain ski boleh dibilang saya memang jauh ketinggalan dibandingkan dengan Caroline. Terus terang luncuran B pun sebenarnya masih terlalu sulit buat saya, tetapi saya sering tidak mengaku di depan Caroline.

Malam harinya secara tak terduga kami bertemu lagi dengan pria ramah yang kami jumpai di ajang ski tadi pagi. Namanya Patrick Travers. Sebagai teman bicara ia amat lucu dan menyenangkan. 

Dia juga bercanda akrab dengan istri saya tanpa meninggalkan batas-batas kesopanan. Toh, diam-diam rupanya pria tersebut terpesona melihat kecantikan Caroline, sementara istri saya pun memuji perhatiannya. 

Setelah bertahun-tahun hidup bersama Caroline, baru sekarang ini saya menyadari betapa wanita yang sudah puluhan tahun mendampingi saya ternyata memiliki "magnet" tersendiri bagi pria. Saya merasa bersyukur betapa beruntungnya saya.

Dari obrolannya kami tahu Travers, yang tinggal di Eaton Square ini, bekerja sebagai bankir dagang. Sejak ikut rombongan wisata sekolah pada akhir tahun '50-an, ia mengunjungi Verbier setiap tahun. Dia pun bangga selalu sebagai orang pertama yang bermain ski tiap pagi, dan sering kali mengalahkan jagoan lokal. Ketika tahu saya membuka galeri seni di West End, nampaknya ia berminat untuk melihat.

Bahkan ia membeli lukisan aliran semi-imperesionis untuk koleksi, sambil berjanji akan mampir lagi bila kembali ke kota ini.

 

Lukisan Vuillard

Sejak itu sekelebat-sekelebat Travers sering kami temui di berbagai kesempatan. Suatu kali pada saat liburan, kami pernah memergokinya sedang mengobrol dengan istri Percy, teman kami yang mengelola galeri permadani Timur. Kali lain ia kami lihat dan kemudian bersama Caroline bermain ski lagi di luncuran A yang berbahaya. Kira-kira enam minggu kemudian saya kembali menjumpainya di galeri saya.

"Senang bertemu lagi, Edward," katanya. "Saya membaca tulisanmu di Independent dan langsung ingat akan undangan pribadimu." 

"Berapa harga lukisan 'Wanita dan Janda' itu?" tanyanya tiba-tiba. 

"Delapan puluh ribu ponsterling," jawab saya. 

"Itu mengingatkan pada sebuah lukisannya yang terpajang di Metropolitan," katanya sambil membuka-buka katalog. Saya sempat kagum oleh daya ingat dan kompletnya pengetahuan Travers akan karya Vuillard. Saya katakan juga bahwa lukisan yang dikaguminya tersebut dibuat oleh Vuillard selama sebulan di New York.

"Lukisan yang sedikit telanjang itu?" 

"Empat puluh tujuh ribu." 

"Ny. Hensel, istri agen dan gundik kedua Vuillard, kalau saya tidak salah. Lukisan itu menjadi favorit saya dalam pameran ini." 

Travers lalu berbalik dan mengamati lukisan besar cat minyak bergambar seorang gadis yang sedang bermain piano, sementara ibunya nampak membantu membalik-balik halaman partitur.

"Luar biasa," katanya. "Boleh saya tahu harganya?" 

"Tiga ratus tujuh puluh ribu pon." 

Tanpa saya sadari tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang pria yang dengan spontan menyapa, 

"Ada pesta besar rupanya, Edward." 

"Oh,... Percy!" kata saya sambil berpaling padanya. "Aku pikir kamu tidak datang." Pria itu teman karib keluarga kami. 

"Maaf, ikut prihatin soal Diana," ujar saya karena belakangan kami mendengar perceraian dalam bahtera rumah tangga Percy. Selesai melayani Percy, saya berbalik untuk melanjutkan pembicaraan dengan Travers namun dia sudah tidak kelihatan lagi. 

Mata saya segera mencarinya seputar ruangan dan melihatnya berdiri jauh di pojok galeri mengobrol mesra dengan istri saya. Ah, rupanya gaun hijau dengan potongan bahu terbuka yang dikenakan Caroline terlalu berani. Tak heran, mata lelaki Travers selalu terpaku pada tonjolan dada indah beberapa inci di bawah bahu itu.

Mendadak hati saya panas. Dasar mata keranjang! Pria mana yang tidak geregetan melihat istrinya dijadikan santapan mata birahi lelaki lain. Tentu saya tidak begini kalau wanita di depan Travers bukan Caroline. Untung, saya bisa menahan diri untuk kemudian bersikap biasa kembali.

Beberapa hari berikutnya saya melihat Travers lagi di galeri saya. la berdiri mengamati lukisan Vuillard yang menggambarkan ibu dan putrinya sedang bermain piano. 

"Selamat pagi, Patrick," saya mencoba untuk tetap ramah. 

"Rupanya saya tidak bisa melupakan ini," jelasnya sambil menatap lukisan yang diminatinya dengan saksama. 

"Apakah saya harus menunggu lama untuk bisa memilikinya? Jangan khawatir, saya akan meninggalkan deposit." 

"Tentu," kata saya. "Saya hanya memerlukan referensi bank dan deposit sebesar 5.000 pon." 

Tanpa ragu ia menyetujui kedua syarat itu, sebelum kemudian saya menanyakan ke mana lukisan itu sebaiknya dikirimkan. Dia memberi kartu nama yang menunjuk tempat tinggalnya di Eaton Square. Pagi berikutnya bank tersebut menyetujui permohonan sebesar 371.000 pon.

Dalam 24 jam lukisan karya Vuillard sudah dikirim ke rumahnya dan digantung di ruang tamu di lantai bawah. Sore harinya ia menelepon balik, mengucapkan terima kasih, dan mengundang kami makan malam bersamanya.

Sebetulnya saya malas untuk harus berkunjung ke rumah Travers, tapi Caroline rupanya ingin sekali menerima. la tertarik melihat situasi rumah Travers.

Akhirnya, kami memenuhi undangan itu. Saya terkejut lantaran tidak menemukan Ny. Travers atau paling tidak pacarnya. Ternyata pria ini hidup seorang diri. Tapi sebagai tuan rumah ia amat mengesankan dan bijaksana. Tapi lagi-lagi saya mencium adanya maksud tersembunyi dalam diri Travers. 

Saya perhatikan ia selalu memberikan perhatian khusus pada Caroline. Wah, gawat! Nampaknya pria thukmis (senang melihat wantia cantik) ini mulai memasang jerat. 

Di luar dugaan, Caroline pun rupanya menikmati perhatian itu. Perasaan kesal dan amarah memenuhi dada. Bayangkan, seorang lelaki berani main mata dengan Caroline. Di depan saya lagi. Bisa-bisa mereka akan pacaran jika saya tidak ada.

 

Ketahuan belangnya

Ketika kami meninggalkan Eaton Square, Travers mengatakan ia akan segera memutuskan membeli lukisan itu atau tidak.

Tapi tiba-tiba beberapa hari kemudian lukisan tersebut malah dikembalikan ke galeri. Alasannya sepele, ia tidak suka lagi. Tanpa ada penjelasan rinci. la cuma mengatakan akan mampir ke galeri lagi untuk mendapatkan karya Vuillard yang lain.

Walaupun kecewa, saya mengembalikan depositnya. Dengan menghibur diri, saya berkeyakinan kalau ia memang seorang pelanggan setia pasti akan kembali lagi. Tetapi Travers tidak pernah kembali lagi.

Sebulan sudah peristiwa itu berlalu. Saya pun hampir lupa dengan Travers. Suatu siang ketika sedang makan siang di klub, datanglah Percy Fellows ke meja saya. Semenjak bertemu di pameran lukisan Vuillard, baru kali ini saya melihatnya lagi. 

Percy menjadi agen barang-barang antik yang paling terpercaya di Inggris. 

Setelah perceraian dengan istrinya, Diana, pria ini selalu murung.

"Mengapa selalu berakhir dengan perceraian," keluhnya. 

"Aku sendiri semula bisa memaafkan perilakunya yang bebas. Diana aku beri kebebasan untuk pergi ke mana ia suka, asal masih di London. Aku merasa betapa sedihnya nasib suami yang istrinya tidak setia. Ketahuilah,Travers, pria jahat itu, menjadi teman kencan terakhirnya." 

"Travers?" kata saya terkaget-kaget. 

"Patrick Travers, pria yang tercantum dalam surat permohonan cerai. Kau pernah kenal dia?" katanya. 

"Aku tahu namanya." Saya termangu-mangu, ingin mendengar lebih jauh ceritanya. 

"Kalau tidak salah, aku pernah melihatnya dalam pameran di galerimu beberapa waktu lalu?" 

"Oh, ya. Tetapi apa artinya bagimu sekarang?" saya bertanya sambil mencoba membuka pikirannya. Percy kembali melanjutkan unek-uneknya. 

"Awalnya kami bertemu lelaki sialan itu di Ascot. la bergabung dengan kami saat makan siang, minum sampanye, mencicipi hidangan pencuci mulut. Tapi sebelum akhir minggu ia sudah tidur dengan istriku. Gila, enggak? Namun itu belum apa-apa."

"Belum apa-apa bagaimana?" tanya saya ikut keki. 

"Orang itu punya keberanian datang ke toko dan menitipkan deposit yang besar untuk sebuah meja Georgian. Lalu dia mengundang kami makan malam dan sekaligus melihat penataan mejanya. Dari situ ia mulai akrab dengan Diana, bahkan akhirnya aku tahu Diana suka datang ke rumahnya dan bercinta dengannya. Sesudah puas ia enak saja mengembalikan Diana dan meja Georgian dalam keadaan berantakan."

Mendengar penuturan Percy yang terakhir itu, mendadak tubuh saya lemas. Berbagai perasaan berkecamuk di hati. Bayangan wajah Caroline berkelebat silih berganti dengan wajah Travers. Mungkinkah nasib saya akan seperti pria di depan saya ini? Rupanya Percy menangkap perubahan pada saya.

"Kamu kelihatan sakit, kawan?" tanya Percy tiba-tiba. 

"Tidak, aku baik-baik saja," tukas saya cepat-cepat. "Aku hanya perlu udara segar. Maafkan, Percy."

Sepulang dari makan siang itu hati saya tambah sakit oleh ulah si mata keranjang bernama Travers. Kesimpulannya, saya akan membuat perhitungan dengannya. Demi Percy dan para suami yang lain, saya harus melancarkan pembalasan!

 

Menyusun rencana balas dendam

Pagi berikutnya saya mulai mengadakan penyelidikan rahasia dengan memeriksa surat-surat yang ditujukan pada Caroline. Barangkali ini tindakan yang tidak masuk akal. Apalagi kemudian saya pikir, Travers tentu tak akan bertindak bodoh melakukan hubungan gelap atau bikin janji apa pun melalui surat dengan Caroline.

Saya juga mulai lebih teliti mendengarkan pembicaraan telepon. Tidak semua penelepon memang, tapi paling tidak selagi saya ada di rumah. Catatan kilometer mobil juga saya cek ulang untuk memastikan apakah mobil dipakai jarak jauh. Tapi akhirnya saya hentikan setelah menyadari, Eaton Square ternyata tidaklah jauh dari mana-mana. Lalu saya coba untuk membuat jarak dengan Caroline dan tidak bercinta dengannya. Anehnya, dia pun tidak berkomentar apa-apa. Wah! Saya tambah penasaran. 

Saya terus mengamati tingkah laku Caroline dengan saksama lebih dari dua minggu kemudian dan nampaknya Travers sudah bosan dengan istri saya. la membuat saya bertambah marah. 

Saya lalu membuat rencana balas dendam yang bagi saya sendiri cukup luar biasa. Dalam beberapa hari mendatang rencana itu harus segera terwujud. Bahkan gagasan itu telah menjadi obsesi. Saya mulai meyakinkan inilah saat pembalasan buat Travers sebelum dia menodai istri teman-teman saya yang lain.

Tapi bertindak jahat tentu tak mudah bagi saya. Seumur-umur saya belum pernah melanggar hukum. Hal-hal kecil seperti didenda parkir, membuang sampah sembarangan sudah amat mengganggu pikiran. Saya pun taat membayar pajak. Namun sejak mula saya sudah bertekad menghabisi Travers.

Akhirnya, saya susun rencana pembunuhan dengan sangat teliti. Mula-mula timbul pikiran menembak Travers sampai saya menemukan betapa susahnya memperoleh perizinan pemilikan senjata. Daripada gagal dan membuat jengkel, gagasan ini kemudian saya kubur dalam-dalam. Kemudian timbul ide lain, menggunakan racun. Ide ini pun kemudian menguap begitu saja. Sejauh ini belum satu pun ide saya lakukan. Saya harus lebih berani - terus terang ia mempunyai tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan saya, sehingga kalau saya nekat melawannya bisa-bisa saya malahan tercekik olehnya.

Lalu ada pikiran menenggelamkannya, tapi tentu butuh waktu agak lama untuk menariknya ke dekat air. Saya bahkan berpikiran untuk menabraknya dengan mobil, tapi membatalkannya karena saya sadar kesempatannya amat kecil. Saya akhirnya menyadari betapa susahnya membunuh seseorang dengan cara-cara itu.

Begitu besarnya obsesi membunuh Travers sampai di malam buta pun saya bangun membaca riwayat para pembunuh, tetapi rupanya mereka semua dapat ditangkap dan ditemukan oleh pihak berwajib. Ini membuat saya makin tidak percaya diri. 

Saya lalu membalik-balik novel-novel detektif sampai saya membaca satu kalimat penting dari Conan Doyle: "Orang yang punya kegiatan rutin biasanya lebih mudah diserang."

Saya mengingat kembali kegiatan rutin apa yang selalu dibanggakan Travers. la pasti akan kembali ke Verbier untuk bermain ski dan saya akan melakukan perhitungan di sana. Tapi paling tidak saya harus menunggu enam bulan guna menyempurnakan dan melaksanakan rencana saya. 

Saya memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya. Selagi Caroline bepergian jauh, saya mendaftarkan diri untuk belajar bermain ski di luncuran kering di Harrow.

Saya kira rencana ini cukup mengejutkan. Bagi saya amat gampang mengetahui kapan Travers kembali ke Verbier. Sementara saya dapat merencanakan liburan musim dingin sehingga kami punya waktu tiga hari. Sangat cukup untuk melakukan pembalasan.

 

Mempraktikkan teori

Sesuai rencana, Caroline dan saya kembali berlibur ke Verbier pada Jumat kedua di bulan Januari. Di matanya saya nampak sangat tegang dibandingkan dengan liburan Natal sebelumnya.

Pagi pertama sesudah kedatangan, kami naik ke ski lift kira-kira pukul 10.30. Saat mencapai puncak, sebagaimana biasa Caroline melapor ke Marcel. Saat Caroline meninggalkan luncuran A, saya kembali ke luncuran B berlatih sendiri.

Hari itu saya melakukan apa yang sudah direncanakan dengan lebih baik dan berlatih dengan tekun di Harrow sampai saya merasa yakin bahwa semuanya dalam keadaan terkendali. Menjelang minggu pertama saya yakin rencana pembunuhan itu sudah matang.

Malam menjelang kedatangan Travers, sayalah orang terakhir yang meninggalkan luncuran. Selama itu Caroline sempat berkomentar begitu majunya keterampilan saya bermain ski dan dia menyarankan pada Marcel saya telah siap di luncuran A dengan medan yang lebih tajam dan lereng yang lebih curam.

Siang itu saya sempat memeriksa kembali penempatan bendera merah yang menandai lintasan. Saya yakin pemain ski terakhir telah meninggalkan luncuran malam hari saat saya mengumpulkan kira-kira 30 bendera pada jarak tertentu. 

Tugas saya terakhir adalah memeriksa bakal TKP (tempat kejadian perkara), sebelum membangun gundukan salju yang cukup lebar dua puluh langkah di atas tempat yang sudah terpilih. Sesudah semua persiapan itu sempurna, saya lalu menuruni punggung pegunungan itu.

"Rupanya, kau mau mencoba memenangkan medali emas Olimpiade?" tanya Caroline ketika saya kembali ke ruangannya. 

Travers nampak masuk hotel satu jam lalu.

Malam itu saya kembali bergabung dengannya di bar untuk minum-minum. Dia rupanya sungkan ketika melihat saya, tapi saya mencoba bersikap santai. Ini membuat saya makin yakin bisa melakukan rencana. Lalu saya meninggalkannya di bar beberapa menit sebelum Caroline datang makan malam bersama. Terus terang saya ingin meninggalkan kesan wajar. 

"Tidak seperti biasa kau makan terlalu sedikit, sepertinya kehilangan nafsu makan," kara Caroline saat kami meninggalkan ruang makan tadi malam. 

Saya tidak berkomentar apa pun saat kami melewati Travers yang sedang duduk di bar. Di dekatnya menggelendot manja seorang wanita paruh baya yang berdandan agak menor. Gila! Si Mata Keranjang kini sudah mendapatkan mangsa baru. Lihatlah, betapa kurang ajarnya lelaki ini. Tangannya nempel terus di lutut wanita itu tanpa risih. Pemandangan itu sungguh membuat saya muak.

Malam itu saya tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Menjelang subuh diam-diam dengan amat perlahan saya meninggalkan tempat tidur, tanpa membangunkan Caroline. Semua barang perlengkapan sudah saya siapkan di lantai kamar mandi.

Tanpa banyak buang waktu saya berpakaian dan siap berangkat. Berjalan lewat tangga belakang hotel, menghindari lift dan melewati pintu darurat kebakaran. Saya berpakaian wol dengan bagian kepala tertutup sampai telinga dengan sepasang kacamata salju. Saya yakin tak seorang pun akan mengenali saya, termasuk Caroline.

Saya tiba di bagian bawah ski lift 40 menit sebelum buka. Saya berdiri persis di balik sebuah rumah pembangkit listrik lift. Saya menyadari keberhasilan rencana ini amat tergantung pada kebiasaan Travers. Pikiran saya sudah bulat, hari ini rencana pembunuhan harus terlaksana. 

Tak henti-hentinya mata memandang sekeliling ke sudut-sudut bangunan dengan harapan saya dapat melihat langkah Travers. Akhirnya, nampak di kejauhan di dasar bukit di samping sebuah jalan, seorang pria dengan sepasang peralatan ski bertengger di bahunya. Tak salah lagi, dialah Travers.

Benarlah, Travers tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat saya berdiri di situ.

Cuma kami berdua yang pertama kali menggunakan ski lift yang sempit itu menaiki bukit dan melintasi jurang-jurang yang dalam. Saya berbalik dan memeriksa kembali apakah memang tak ada orang lain lagi selain kami.

"Saya biasanya sudah melakukan luncuran di lintasan ski sebelum orang lain datang," kata Travers tatkala lift berada di titik yang paling tinggi. Saya kembali menengok ke belakang sekadar untuk memastikan lift bekerja dengan baik dan melihat jurang sedalam 60 m. 

Saya begitu ngeri membayangkan seandainya jatuh di sana dengan kepala di bawah. Saya merasa pusing dan berharap tak ingin melihatnya. Ski lift berjalan pelan sampai akhirnya kami mencapai tempat pemberhentian.

"Akhirnya," kata saya, setelah kami mencapai puncak. "Marcel tak ada di sini." 

"Jam-jam begini ia belum datang," tukas Travers sambil berlari ke depan menuju luncuran. 

"Saya memang tidak mengharapkan Anda akan bermain bersama saya," kata saya. Dia berhenti dan melihat saya dengan curiga.

“Namun Caroline rupanya berpikir saya pun sebenarnya layak untuk mengimbangi permainan ski Anda," jelas saya, "Memang saya memecahkan rekor beberapa kali di luncuran B, tetapi saya tidak ingin mengatakan itu di depan istri saya." 

"Baik." 

"Saya akan bertanya pada Marcel jika dia ada di sini. Semua orang tahu, Anda adalah pemain ski terbaik." 

"Baik, jika Anda ..." Dia mulai terpancing. 

"Sekali saja, kemudian Anda bisa menghabiskan liburan Anda di luncuran A. Hitung-hitung permainan dengan saya adalah pemanasan." 

"Bagaimana kalau saya berubah pikiran," katanya. 

"Sekali saja," kata saya lagi. "Itu yang saya perlukan. Kemudian katakan apakah saya sudah cukup pintar." 

"Kita berlomba?" katanya. 

Saya tidak menolak. Inilah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya harus berhasil, meski semua buku tentang pembunuhan telah memperingatkan bersiap-siap akan sesuatu yang tidak diharapkan. 

"Itulah jalur yang akan kita lewati kalau Anda sudah yakin siap," Travers menambahkan dengan congkak.

"Saya setuju berlomba asal Anda mempertimbangkan taruhannya," sahut saya.

Untuk pertama kali saya melihat kata-kata saya menyita perhatiannya. "Berapa besar?" tanyanya.

"Ah, jumlah tidak penting buat saya," kata saya. "Pemenangnya bisa menceritakan pada Caroline apa adanya."

"Apa adanya?" tanyanya, dengan wajah yang keheran-heranan.

"Ya," kata saya, lalu saya menuruni bukit itu sebelum dia sempat menanggapi. Saya melakukan awal yang baik lalu mengeluarkan bendera merah. Sambil menoleh ke belakang saya dapat melihat dia berusaha keras membuntuti. Yang penting, saya perlu berada di depannya.

Sesudah beberapa saat berbelok ke kiri dan ke kanan dia berteriak, "Anda kira sudah cukup cepat sehingga dapat mengalahkan saya?" katanya sombong. Saya berada di depannya hanya karena saya sebenarnya perlu mengetahui setiap tikungan. Saya merasa pasti dapat mencapai rute palsu yang sudah saya siapkan sebelum dia sampai.

 

Tercebur di jurang

Dalam perlombaan pagi hari yang amat menegangkan ini dia berada di belakang saya 30 m. Pada saat dan tempat yang tepat saya mulai memperlambat laju luncuran ski, membelok mendekati gundukan es yang telah saya siapkan. 

Dengan harapan Travers tidak melihatnya. Saya menahan dengan sekuat tenaga ketika saya mencapai puncak gundukan. Lalu saya gerakan pengereman dan tiba persis di tempat perhentian di gundukan salju yang saya bangun malam sebelumnya.

Pada saat itu Travers terus melaju dengan kecepatan 40 mil per jam, menjalani rute yang salah, terbang ke udara dan jatuh di jurang disertai teriakan yang mengerikan. Nah, rasakan. Tulang-tulangnya pasti remuk menghantam salju yang berada ratusan meter di bawahnya.

Setelah menenangkan diri, saya meratakan kembali gundukan salju, lalu naik ke pegunungan secepatnya sambil mengumpulkan bendera yang menandai lintasan palsu itu. 

Dengan ketenangan yang luar biasa saya tancapkan kembali bendera-bendera itu ke tempat semula di luncuran B, yang berada 100 m di atas jalur es. Kemudian saya menuruni bukit dengan perasaan bak pemenang medali emas Olimpiade. 

Di dasar luncuran saya menarik kerudung yang menutupi kepala tanpa melepas kacamata saya. Melepas tali sepatu dan berjalan ke hotel. Saya masuk menggunakan pintu belakang dan kembali ke ranjang pukul 07.40.

Saya mencoba mengatur napas, tapi ini ternyata membutuhkan waktu sebelum denyut jantung saya kembali normal. Caroline bangun beberapa menit kemudian, berbalik dan memeluk saya. 

"Uh," katasaya, "kau kedinginan, pasti tidur tanpa selimut?” 

Saya cuma tertawa. "Kau pasti melepaskannya tadi malam." 

"Sana mandi dengan air hangat.”

Selesai dari kamar mandi kami sempat bercinta. Saya kembali memeriksa apa saja untuk meyakinkan saya tidak meninggalkan petunjuk apa pun.

Selagi Caroline membuatkan kopi, terdengar sirene ambulans datang dari arah kota. 

"Mudah-mudahan tidak ada kejadian yang buruk," gumam Caroline sambil terus menyeduh kopinya.

"Apa?" kata saya, dengan kata yang sedikit lebih keras, sambil mengalihkan pandangan dari Harian Times edisi sebelumnya.

"Ada sirene, menjengkelkan. Di pegunungan itu pasti ada kecelakaan. Barangkali Travers," katanya. 

"Travers?" tanya saya dengan suara yang lebih keras. 

"Patrick Travers. Saya melihatnya di bar tadi malam. Sengaja aku tidak memberitahumu. Toh, kau tak akan peduli."

"Tetapi mengapa Travers," kata saya dengan cemas. 

"Tidakkah dia selalu mengatakan yang pertama di luncuran tiap pagi? Bahkan kadang-kadang dapat mengalahkan pelatihnya." 

"Oh, ya," kata saya 

"Kau pasti ingat. Kami pernah pergi bersama suatu hari dan dia telah menyelesaikan tiga putaran." 

"Oh, ya." 

"Kau kelihatannya kurang cerah pagi ini, Edward. Apakah kurang tidur?" katanya sambil tertawa. 

Saya tidak menjawab. 

"Aku yakin pasti Travers," tambah Caroline, sambil minum sedikit kopi. 

Saya memandangnya, tanpa berbicara sepatah kata pun. 

"Mengapa kau tidak bertanya apa yang terjadi?"

"Aku begitu kaget hingga tak tahu harus bilang apa," kata saya. 

"Baginya semuanya telah berakhir di galeri. Ternyata beberapa malam kemudian ia masih mendesak saya untuk keluar sesudah kami makan malam. Aku usir saja," kata Caroline. Dia lalu memeluk saya dengan mesra. "Aku tak pernah mengatakan ini padamu karena aku pikir itu hanya akan membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya, setelah ajakannya kutolak, ia kemudian mengembalikan lukisan Vuillard tersebut.”

“Tetapi siapa yang merasa bersalah," kata saya sambil meraba-raba roti panggang.

"Oh, tidak sayang, kau tidak perlu merasa bersalah tentang apa pun. Dalam banyak kesempatan, kalau aku mau memutuskan untuk menyeleweng dan tidak setia kepadamu, aku takkan pernah mau jatuh dalam pelukan lelaki buaya macam Travers. Asal kau tahu, jauh hari sebelumnya Diana telah memperingatkanku."

Sepintas angan saya teringat pada nasib si lelaki buaya tadi. Barangkali saat ini ia lagi sekarat dan sedang dibawa ke kamar mayat.

"Menurutku, ini adalah waktu yang tepat bagimu untuk melakukan permainan di luncuran A," kata Caroline setelah kami menyelesaikan sarapan. "Main ski-mu sudah jauh meningkat dibandingkan dengan sebelumnya."

"Ya," kata saya, lebih dari sekadar main-main. 

Kami kemudian berjalan ke pegunungan untuk melakukan luncuran lagi. 

"Kau sehat-sehat saja, sayang?" tanya Caroline saat kami naik ski lift. 

"Oh, baik," jawab saya tanpa mau melihat ke jurang saat kami berada di puncak tertinggi. 

"Jangan seperti anak yang ketakutan begitu dong," katanya menenangkan. Saya tersenyum lemah. Tatkala kami mencapai puncak, tergesa-gesa saya melompat dari ski lift sehingga kemudian pergelangan kaki saya terkilir.

Caroline rupanya tidak bersimpati. Dia menduga saya sengaja melakukan hal itu untuk menghindari luncuran A. Dia meninggalkan saya dan segera turun menggunakan luncuran, sementara saya merasa malu turun melewati lift kembali.

Dengan terpincang-pincang saya menuju pos bantuan darurat. Caroline datang beberapa menit kemudian. Saya menjelaskan padanya barangkali ada keretakan sehingga akhirnya saya dibawa ke rumah sakit segera.

Caroline melepaskan sepatu skinya dan memanggil taksi ke rumah sakit. Sebetulnya jaraknya tidak jauh, tapi sopirnya harus hati-hati karena banyak tikungan yang tajam dengan jalanan licin.

"Dapatkah Anda menunggu di luar, Nyonya?" kata petugas saat saya memasuki ruang sinar-X.

"Ya, tetapi bisakah saya melihat lagi suami saya yang malang?" katanya pura-pura sedih saat pintu ditutup.

 

Tidak mati

Saya masuk ke ruangan yang dilengkapi dengan peralatan mesin yang amat canggih. Saya ceritakan apa yang telah terjadi dan saya rasakan saat ia mengangkat kaki yang sakit dengan hati-hati ke atas mesin sinar-X. Beberapa saat kemudian ia mengamati hasil fotonya.

"Tak ada keretakan pada kaki Anda," dia meyakinkan saya. "Tetapi jika masih terasa sakit pergelangan kaki Anda sebaiknya diikat." Dokter lalu memajang foto-foto sinar-X.

"Tidak ada yang retak," katanya, sambil tertawa. "Lain halnya dengan lima gambaran ini. Kalau memang mau bunuh diri, dia harus mencoba lagi melompat di atas jurang. Tolol sekali." 

"Di atas jurang?"

"Ya, barangkali dia memang suka pamer," katanya sambil menjepit pergelangan kaki saya. "Kami setiap tahun selalu mendapati orang tolol yang patah tangan dan kakinya, dengan goresan di wajahnya. Beruntung, dia masih hidup."

"Masih hidup?" tanya saya dengan suara lemah.

“Ya, tetapi hanya karena dia tidak tahu apa yang dilakukan. Pada umur 14 tahun saya bermain ski di atas jurang dan dapat mendarat seperti beruang laut di air. Tapi nampaknya dia bernasib lain," kata dokter. "Jangan bermain ski lagi pada liburan ini. Orang ini takkan dapat berjalan paling tidak selama enam minggu."

"Sungguh?" katanya saya. 

"Tapi Anda," katanya, "hanya perlu istirahat dan rendam pergelangan kaki di es setiap 3 jam. Jangan lupa, ganti pembalut sekali sehari. Anda bisa kembali bermain ski dalam beberapa hari ini."

Dengan berjalan pincang saya keluar dari ruang sinar-X menemui Caroline yang asyik dengan majalah Elle-nya.

"Kau nampak senang," katanya. 

"Tak ada yang perlu dicemaskan dengan orang yang dua tangannya patah, kaki, dan wajahnya yang kena gores."

"Ah, bodohnya aku, tidak menungguimu," kata Caroline. "Aku pikir kau cuma terkilir."

"Oh, bukan aku. Tapi Travers - kecelakaan yang menimpanya tadi pagi, kau ingat 'kan?"

"Dokter meyakinkan ia masih hidup."

"Sayang sekali," kata Caroline, sambil merangkulkan tangannya di dada saya, "mengingat bagaimana kau sudah bersusah payah menyiapkan semua itu. Padahal, aku sangat berharap kau berhasil melaksanakannya." (Jeffry Archer)

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350536/pelajaran-buat-si-mata-keranjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530297000) } } }