array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3561340"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/kalah-cerdik_ron-lachjpg-20221111035049.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(113) "Sebuah keluarga panik karena anak semata wayang mereka diculik demi tebusan. Dua pekerja di rumah jadi tersangka."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/kalah-cerdik_ron-lachjpg-20221111035049.jpg"
      ["title"]=>
      string(12) "Kalah Cerdik"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 15:51:07"
      ["content"]=>
      string(34302) "

Intisari Plus - Sebuah keluarga panik karena anak semata wayang mereka diculik demi tebusan. Dua pekerja di rumah jadi tersangka.

-------------------

Hari Selasa pukul 13.00 telepon di meja Mandala Baring berdering, padahal ia bermaksud keluar kantor untuk makan siang. Setengah hati, direktur utama perusahaan importir buah-buahan itu meraih gagang telepon. 

“Halo, ya, oh Mama. Ada apa, Ma?” sahutnya asal-asalan. 

“Dewi, Pa, Dewi. Dewi diculik!” kata Aryati, istrinya, sambil menangis. 

“Hah! Diculik?” teriaknya tak percaya. “Bagaimana ceritanya sampai bisa terjadi dan siapa yang menculik?” tanyanya gugup.

“Enggak tahu, sampai sekarang belum ada kabarnya.”

Mandala Baring bergegas pulang ke rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Menurut istrinya, seperti biasa sopirnya, Salyono, menjemput Dewi Anggraini di sekolah. Namun, gadis cantik kelas 3 SD itu sampai usai jam sekolah tidak tampak batang hidungnya.

Dari gurunya, Salyono mendapat informasi bahwa sekitar pukul 09.00, Dewi dijemput seseorang yang mengaku pegawai rumah sakit. la mengatakan, ibu Dewi mendapat musibah kecelakaan mobil dan kini terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma. Dewi dijemput untuk menengoknya di rumah sakit. Si penjemput menambahkan bahwa sopirnya, Salyono, tak sadarkan diri.

“Lo, Salyono itu saya sendiri, Pak. Bisa-bisanya ngarang orang itu,” sanggah Salyono. 

Mandala Baring duduk tertegun di samping istrinya yang terus-menerus menangis. Sesaat kemudian, ia berdiri memanggil Salyono yang duduk diam di tangga teras.

“Kamu kenal sama penculik Dewi?” tanya Mandala gusar.

Ndak, Pak. Lihat mukanya saja tidak, apalagi kenal,” sanggah Salyono.

“Kok dia tahu nama kamu?” 

“Mungkin tahu dari sopir-sopir lain.”

Jam sudah menunjuk pukul 15.00, tapi tidak ada kabar berita tentang gadis kecil itu. Mandala makin panik. la memutuskan segera melapor ke polisi.

Setengah jam kemudian tiga orang polisi dipimpin oleh Kapolsek AKP Taufik Abdullah, perwira muda yang energetik, muncul di rumah Mandala.

“Sudah ada kabar dari si penculik, Pak?” tanya AKP Taufik pelan. 

“Belum.”

“Kalau begitu, saya akan segera memasang telepon paralel dan alat perekamnya.”

Sekitar pukul 17.00 telepon berdering. AKP Taufik memberi isyarat agar Mandala mengangkatnya.

Dengan tangan sedikit gemetar, pria berusia empat puluhan itu mengangkatnya.

“Putri Bapak aman di tangan saya. Jangan khawatir,” terdengar suara seorang laki-laki dengan suara serak. “Kalau Bapak mau bekerja sama, dia akan pulang dengan selamat.”

“Kerja sama, apa maksud Anda?” 

“Saya akan buktikan bahwa putri Bapak memang bersama kami. Ada tanda lahir di punggung kiri dan tahi lalat di pangkal paha kanan. Betul ‘kan? Nah, kalau Bapak sudah yakin, sediakan uang tunai seratus lima puluh juta rupiah. Saya beri Anda waktu 48 jam. Selanjutnya, tunggu telepon dari saya. Jangan sekali-kali melapor ke polisi kalau ingin putri Anda selamat! Kalau Bapak lapor ke polisi, perjanjian batal. Saya tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Berapa nomor ponsel Anda? Saya akan menghubungi lewat ponsel agar tidak di kuping orang lain,” ancam si penculik yang lalu menutup telepon setelah diberi tahu nomor ponsel Mandala.

 

Cerai dari istri pertama

Tumini, pembantu rumah tangga yang sibuk menghidangkan kopi dan makanan kecil, ikutan tegang. Meski baru bekerja tiga bulan di Keluarga Mandala, Tumini yang berwajah lugu itu sudah akrab dengan Dewi. Apalagi anak tunggal Tumini sepantaran dengan anak perempuan majikannya itu. 

Sekitar pukul 23.00, telepon kembali berdering. Ketiga polisi itu pun siap kembali dengan tugas masing-masing.

“Ya, halo ...?” jawab Mandala dengan suara bergetar.

“Perjanjian kita batal, sebab di rumah Anda banyak polisi. Nanti saya hubungi kalau keadaan sudah memungkinkan.” Telepon langsung ditutup. Mandala dan istrinya lemas seketika.

AKP Taufik gusar, “Kok dia tahu di sini ada polisi, pasti ada yang tidak beres di rumah ini. Oh, ya, Pak Mandala tadi bercerita kalau guru Dewi menyatakan, si penculik menyebut nama Salyono, sopir Ibu. Jangan-jangan Salyono kenal dengan si penculik atau malah bekerja sama?” desak Taufik.

“Salyono sudah hampir tiga tahun bekerja di sini, saya kira tidak,” timpal Aryati.

“Itu dulu, Bu. Di zaman krismon begini, siapa tahu mendadak timbul masalah menyangkut soal ekonomi. Saya kira, Salyono orang pertama yang patut dicurigai,” tegas AKP Taufik sambil mengeluarkan buku catatan untuk mencatat alamat Salyono.

“Selain keluarga Bapak, siapa lagi yang tinggal di rumah ini?” tanyanya lagi. 

“Tiga orang pembantu perempuan dan satu pembantu laki-laki, Sutardi namanya, tukang kebun. Pembantu perempuan kami, Tumini, tiga bulan lalu kami ambil dari yayasan, tugasnya memasak dan ke pasar. Yang dua lagi sudah lima tahun ikut kami, sebagai tukang cuci dan setrika, lalu satu lagi bertugas membersihkan rumah.”

“Dalam bisnis, apakah Bapak punya pesaing atau musuh?”

“Rasanya tidak ada,” jawab Mandala. 

“Maaf, selain Ibu, apakah Bapak mempunyai ... WIL (wanita idaman lain)?” tanya Taufik sambil melirik ke istri Mandala. Tentu saja Mandala menyanggah.

“Sekali lagi maaf, Pak. Apakah Ibu istri pertama Bapak?”

“Bukan, dia istri kedua. Istri pertama sudah ‘pisah’ dua belas tahun lalu.” 

“Boleh tahu alasannya?” 

“Dia mandul.”

“Sekarang apakah istri pertama Bapak itu sudah menikah lagi? Lalu di mana alamatnya?”

“Wah, saya tidak tahu, sebab tidak pernah berhubungan lagi.” 

“Ketika Bapak menceraikannya, apakah ia merasa dendam atau sakit hati? Atau ia menerima saja?”

“Sulit dikatakan, sebab selama delapan tahun perkawinan, kami jarang bertengkar. Paling-paling berdebat soal anak yang tidak kunjung kami miliki.”

AKP Taufik mengalihkan pertanyaan kepada Aryati.

“Maaf, ini pertanyaan pribadi. Sebelum bertemu Bapak, apakah Ibu pernah berpacaran dengan seseorang?”

Sedikit ragu-ragu Aryati menjawab singkat sambil melirik ke arah suaminya, “Ya, pernah.” 

“Mantan pacar Ibu sekarang sudah menikah?”

“Dengar-dengar sih belum.” 

“Kok ‘dengar-dengar’, apakah Ibu masih berhubungan dengan dia?”

“Wah, enggak. Itu tidak sengaja saya dengar, pas keluarga saya datang dari daerah.”

 

Surat dari pencuri

Esok harinya ketika Mandala mampir ke kantor polisi, AKP Taufik mengatakan, “Pak Mandala, dari empat orang yang kami curigai, dua orang patut diduga kuat terlibat kasus ini, yaitu Salyono dan Tumini. Alasannya, si penculik tahu persis kalau malam itu di rumah Bapak ada polisi.”

Polisi memutuskan untuk sementara tidak mengunjungi rumah Mandala walaupun tetap akan diawasi selama 24 jam nonstop.

Kamis pagi sekitar pukul 06.00, ponsel Mandala berdering. Aryati yang sejak peristiwa itu kurang tidur selalu berdebar hatinya kalau mendengar bunyi dering telepon.

“Ya, Mandala Baring di sini.”

“Coba lihat di kotak surat. Di sana ada surat.” Telepon langsung mati. 

Mandala meloncat dari tempat tidur, lari bergegas ke luar.

Sebuah amplop berwarna cokelat dalam kotak surat itu berisi dua lembar kertas. Satu lembar berisi denah suatu lokasi, satu lagi surat yang berbunyi, “Dewi akan selamat kembali ke rumah jika tuntutan saya dipenuhi. Pada denah tergambar lapangan pacuan kuda. Di utaranya ada jembatan. Kira-kira seratus meter dari jembatan, sebelum halte bus, ada sebuah tong sampah plastik biru. Pukul 23.00 masukkan uang seratus lima puluh juta rupiah yang dibungkus plastik hitam ke dalam tong sampah itu. Anda harus mengendarai mobil sendirian. Awas, jangan sampai ada orang lain yang melihat dan curiga.”

“Ikuti saja kemauannya. Tapi jangan berikan seluruhnya, sebab kata-kata si penculik belum bisa dipercaya,” saran AKP Taufik kepada Mandala yang segera menemuinya.

“Maksud Pak Taufik?”

“Selipkan saja dengan potongan kertas HVS, hanya tumpukan paling atas dan paling bawah yang uang asli. Seperti di film-film itu lo!”

Tepat pukul 22.45 Mandala Baring mengendarai mobilnya keluar kompleks perumahannya yang tergolong mewah itu. Langit sedikit cerah dan jalanan tidak macet. Dengan tenang Mandala mengendarai mobilnya melewati depan lapangan pacuan kuda, lalu menuju jembatan sesuai instruksi si penculik.

Saat berhenti di atas jembatan, terlihat dua orang sedang memancing di sungai dekat jembatan itu. Tong sampah plastik ternyata berada dekat halte bus. Selain ada tukang rokok, di sana ada gerobak roti dengan lilin menyala terang. 

“Sial!” pikir Mandala, “Kalau plastik berisi uang itu saya buang ke tong sampah, tentu kedua orang itu akan curiga.” Perlahan-lahan mobil Mandala meluncur ke arah halte. Untungnya, kedua pedagang itu tidak memperhatikan; sebab mereka tengah asyik memainkan bidak-bidak catur. Sesudah menaruh bungkusan plastik ke tong sampah, Mandala pulang menunggu reaksi penculik dengan rasa waswas.

Sepeninggal Mandala dari tempat itu, tampak sesosok gelandangan yang jalannya sedikit pincang perlahan turun ke sungai persis di bawah jembatan. Salah satu dan kedua orang yang sedang memancing tadi merasa agak terganggu, lalu dengan senternya menyorotkan cahaya ke arah orang itu.

“Mau ke mana, Pak? Bikin takut ikan-ikan saja,” bentaknya. 

“Maaf, mau buang hajat. Permisi,” jawab orang itu.

Tak berapa lama kedua pemancing itu naik ke seberang jembatan, menemui dan bercakap-cakap dengan seorang tukang becak. Malam makin gelap. Salah seorang pengail mengeluarkan teropong kecil dari saku, mengawasi dengan teliti kawasan di sekitar tong sampah dekat halte.

“Mana Suwandi?” tanya si pembawa teropong kepada si tukang becak. 

“Sedang main catur dengan Bakri, Pak.”

“Boleh main, asal jangan lupa tugas dan jangan lengah.” 

“Siap, Pak!”

Rupanya, mereka adalah sejumlah petugas polisi yang sedang menyamar. Hampir tiga jam mereka mengamati keadaan, tetapi belum ada orang yang datang mendekati tong sampah atau orang yang patut dicurigai.

Karena yang ditunggu tak juga muncul, para petugas itu lalu mendekati dan memeriksa tong sampah plastik yang penuh dengan sampah kertas itu. Rupanya, bungkusan plastik hitam berisi uang itu sudah raib. Setelah diperiksa, sebagian dasar tong sampah itu ternyata berlubang, tembus ke gorong-gorong air yang langsung menuju ke sungai di bawah jembatan. Diameter gorong-gorong itu hampir satu meter; cukup bagi orang dewasa untuk berjalan dalam posisi jongkok.

“Sialan, jangan-jangan si gelandangan tadi orangnya,” AKP Taufik geram karena merasa kecolongan.

 

Mau menikah lagi

Masih belum ada perkembangan baru sampai di suatu Sabtu pagi Mandala Baring kembali menerima surat dari si penculik. Kali ini disertai selembar foto polaroid.

Sepertinya, Anda mau bermain-main. Boleh saja. Uang yang Anda sampaikan ternyata kurang dari Rp 10 juta, selebihnya hanya potongan kertas tak berguna. Sekali lagi, jangan main-main, karena akibatnya ... lihatlah foto kiriman saya ...” Di foto itu tampak Dewi Anggraini hanya mengenakan kaus singlet, tangannya terikat ke belakang. Namun, yang mengejutkan, terlihat goresan luka yang meneteskan darah, seperti bekas sayatan pisau, pada pipi kanan gadis itu.

Menyaksikan foto itu, Aryati serta-merta pingsan. 

Dalam beberapa hari selanjutnya tidak ada informasi apa pun dari si penculik. Keluarga Baring makin panik. Polisi mencoba bertindak cepat dengan melakukan penyelidikan terhadap Salyono dan Tumini. 

Brigpoltu Ayu Mawarni melaporkan, setiap dua hari sekali Tumini belanja ke pasar. Pulangnya selalu naik ojek.

“Meski tukang ojeknya selalu berganti-ganti, ia tetap perlu diawasi. Itu karena ia punya kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain,” tutur Brigpoltu Ayu.

“Bagaimana dengan Salyono?” 

“Ia tinggal di Prumpung. Anaknya empat orang. Tapi sepertinya ia ‘ada main’ dengan Partinah, pemilik warung nasi di dekat kantor majikannya,” jawab Bharatu Suwandi.

“Apa perempuan itu masih lajang?” 

“Lajang, tapi ‘perawat’.”

“Katanya tukang nasi, kok ‘perawat’?” tanya AKP Taufik. 

“Maksud saya, ‘perawan agak lewat’,” jawab Bharatu Suwandi sambil tersenyum.

“Hus, jangan bercanda. Terus, apa lagi?” 

“Partinah mengaku, ia diberi kalung emas 15 gram, sebagai tanda jadi.”

“Berarti, Salyono banyak uang dong, dari mana mendapatkannya? Kalau begitu, bikinkan surat perintah pemanggilan untuk Salyono sebagai saksi,” perintah AKP Taufik.

Esok paginya Salyono memenuhi panggilan polisi. Pakaiannya rapi. Tampangnya memang lumayan.

“Selamat pagi, Pak Salyono,” AKP Taufik memberi salam. “Saya dengar dari beberapa rekan Anda di Kantor Pak Mandala Baring, Pak Salyono hendak menikah lagi dengan Partinah, pemilik warung nasi, benarkah?” 

Dengan malu-malu Salyono mengiyakan. 

“Masalahnya, istri saya sakit-sakitan, Pak. Katanya, gejala sakit kuning. Enggak boleh kerja berat, enggak boleh capek. Kalau begitu, saya kebagian apa?” katanya sambil tersenyum penuh arti. 

“Sudah dapat izin dari istri?”

“Belum sih, Pak. Tapi saya pernah menyinggung persoalan ini. Kayaknya, dia bisa maklum,” jawabnya. 

“Mengurus dua keluarga itu berat lo, Pak, terutama soal keuangannya.”

“Partinah ‘kan punya warung, saya tinggal tambahi sedikit modal, beres.”  

“Berarti, Pak Salyono banyak duit dong,” pancing AKP Taufik.

“Banyak sih tidak, Pak, tapi ada sedikit. Pembagian warisan dari kampung. Sawah orang tua kami kena proyek jalan tol. Nah, uang ganti rugi itu dibagi dengan adik saya.”

“Omong-omong, selain Tumini, siapa lagi pembantu rumah tangga Pak Baring?” 

“Ada Bu Sumiati, tukang cuci, dan Bu Piyah, tukang bersih-bersih rumah. Maaf, Pak, di sini boleh ngerokok?”

“Oh, silakan,” jawab Taufik spontan. 

Dari sakunya Salyono mengeluarkan sebungkus rokok kretek, lalu sebotol kecil minyak angin. Salyono punya kebiasaan, sebelum disulut dan diisap, ia melumuri batang rokoknya dengan minyak angin.

“Memang enak, rokok diolesi minyak angin?” 

“Kalau sudah biasa, enak, Pak. Kretek rasa mentol,” sahutnya.

 

Pembantu baru misterius

Seminggu kemudian rumah Keluarga Mandala kedatangan seorang perempuan muda berambut pendek. Ia turun dari bajaj, menjinjing kopor. Tumini yang kebetulan mau berangkat ke pasar membukakan pintu pagar untuknya.

“Maaf, Mbak. Apa betul ini rumah Pak Mandala Baring?” 

“Betul, Adik siapa?” 

“Saya keponakan Bi Piyah, dari Tasikmalaya.”

“Oh, yang mau menggantikan Bi Piyah? Iya, kemarin Bi Piyah bilang, mau pulang kampung beberapa hari, ada urusan penting.” 

Gadis hitam manis bernama Sugiarti itu mengangguk.

Sugiarti tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar Tumini dan hanya dibatasi tembok berventilasi. Di malam hari Sugiarti lebih suka ngendon di kamar mendengarkan radio. Sudah hampir 10 hari Sugiarti bekerja di rumah Mandala Baring.

Bila hari sudah malam, Sugiarti sering mendengar Tumini seperti berbicara dengan seseorang. Ia juga sering memergoki Tumini sendirian di taman belakang malam-malam. Sugiarti tidak tahu apa yang dilakukan teman kerjanya itu.

Suatu sore selagi masih di kantor, ponsel Mandala Baring kembali berdering. 

“Halo, ya. Bagaimana? Saya harus antarkan ke mana?” jawab Mandala gugup.

“Malam ini pukul 23.00 Anda mengendarai mobil sendirian. Siapkan uang, jangan lupa bawa ponsel. Saya akan beri petunjuk selanjutnya nanti malam. Ingat, jangan melapor pada aparat,” ujar suara dari seberang.

“Ya, ya. Tapi, bagaimana dengan anak saya?” 

“Jangan khawatir, dia aman bersama saya,” jawabnya singkat sebelum mematikan telepon.

Tanpa buang waktu, Baring menyiapkan uang yang diperlukan. Malam itu Sugiarti dipanggil Bu Aryati. Cukup lama ia berada di rumah induk. Ketika mau kembali ke kamarnya, ia dicegat Tumini.

“Kok lama amat? Disuruh apa sama Nyonya?” 

“Bantu ngitung duit, sekalian memasukkan ke koper.” 

“Banyak duitnya?” 

“Banyak sekali, ratusan ribu semua. Saya sampai bingung ngeliat-nya.”

“Untuk apa malam-malam begini nyiapin duit segitu banyak?” 

“Enggak tahu. Katanya, malam ini Tuan ada urusan.”

Menjelang pukul 23.00, Tumini membukakan pintu gerbang. Mandala Baring memasukkan koper ke dalam mobil mewahnya. Ia tampak terburu-buru. Di perjalanan Mandala tampak seperti orang linglung, karena tidak tahu arah yang harus dituju. 

Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. “Anda terus saja ke lokasi yang dulu, dekat lapangan pacuan kuda. Dulu Anda ke kiri ke arah jembatan, sekarang ke kanan ke arah kuburan. Lewati terus gerbang kuburan, sampai Anda menemukan telepon umum. Berhenti di situ, turun dari mobil, tapi mesin mobil jangan dimatikan. Tinggalkan uang di jok depan. Saya akan memberi petunjuk selanjutnya.”

Perlahan Mandala mengemudikan mobilnya. Di sepanjang jalan tampak deretan warung remang-remang. Di dekat telepon umum di bawah pohon mangga, seperti yang dimaksud si penculik, ponselnya kembali berdering. 

“Seperti perintah saya sebelumnya, tinggalkan uang di jok depan. Mesin mobil harus tetap menyala. Anda bisa mengambil putri Anda di depan gerbang makam.”

Mandala sempat terkesima, keningnya berkerut. Nada suara orang yang meneleponnya sejak tadi sore terdengar berbeda dengan yang sudah-sudah. Suaranya dibuat-buat, seperti takut dikenali.

Makam itu sangat gelap. Tak tampak sebentuk sosok manusia pun di sana. Ketika ia tengah menajam-najamkan penglihatannya, tiba-tiba terdengar bunyi derum mobil. Terlambat, seseorang telah melarikan mobilnya dan uang tebusan sebesar Rp 150 juta.

 

Salah perhitungan

Sekitar pukul 04.00 Tumini tampak berjingkat-jingkat ke luar dari kamarnya membawa tas besar. Saat ia keluar pintu gerbang, sebuah taksi kebetulan melintas. Taksi dengan penumpang Tumini kemudian meluncur ke arah Cililitan, lalu terus ke selatan. Sesudah melewati perempatan Kampung Rambutan, mobil itu berbelok ke kiri. Sekitar 100 m dari mulut gang, taksi berhenti di depan sebuah rumah papan bertingkat. Tumini segera masuk dengan kunci cadangan.

Tanpa disangka, setengah jam kemudian, polisi sudah mengepung tempat itu. Setelah memberikan peringatan, polisi langsung mendobrak tempat itu. Di sebuah kamar di lantai atas, polisi mendapatkan Dewi Anggraini meringkuk di pojokan. Di depannya berdiri tegap Tumini. Di tangannya tergenggam sebuah cutter berlumuran darah.

“Sudah sering saya bilang. Kamu boleh memeras, tapi jangan menyakiti sandera. Eh, kamu malah berniat mencabuli bocah ingusan seumur anakku,” katanya beringas pada lelaki setengah mabuk, yang merintih di pojok lain ruangan itu. Bagian pinggul lelaki yang hanya bercelana dalam itu terluka memanjang bekas sabetan cutter Tumini.

Dalam pemeriksaan diketahui, Tumini dan Sumarlan ternyata komplotan penjahat. Mereka pernah beroperasi di daerah Jakarta Barat. Ketika kedua majikan Tumini bekerja, ia leluasa menguras harta majikannya. Saat itu Tumini baru setengah bulan bekerja. Ia kabur membawa hasil jarahannya dengan mobil sewaan yang dikemudikan Sumarlan. Setelah itu dua kali mereka melakukan kejahatan serupa di sebuah perumahan mewah di Jakarta Selatan.

Namun, mereka tampaknya salah perhitungan ketika bekerja di rumah Keluarga Mandala. Keluarga itu ternyata memiliki banyak pembantu rumah tangga sehingga kesempatan untuk merampok menjadi sulit. Memeras majikan dengan menculik anaknya adalah gagasan alternatif Tumini. Dengan harapan hasilnya akan lebih besar, meski risikonya juga tidak kecil.

Tumini, janda beranak satu, dan Sumarlan - perjaka pengangguran - berniat menikah dan membuka warung di kampung. Untuk itu, mereka perlu modal. 

Malam itu, begitu tahu kalau Mandala sudah mengirimkan uang tebusan, buru-buru Tumini ke rumah kontrakan Sumarlan. Ia khawatir Sumarlan kabur dan menipu dirinya. Tumini belum percaya sepenuhnya pada kekasihnya itu. Ketika sampai, didapatinya Sumarlan tengah mabuk, bahkan hendak berbuat tidak senonoh pada Dewi. Nalurinya sebagai ibu bangkit, ia teringat pada anak tunggalnya di kampung. Cutter - yang selalu ada di kantung bajunya pun ikut bicara.

“Di foto polaroid pipi Dewi tampak terluka, tapi ini kok tidak ada bekasnya?” tanya AKP Taufik pada Sumarlan yang terbaring kesakitan. 

“Saya dulu pernah membantu bagian tata rias dan efek khusus sebuah produksi film laga.”

“Jadi, lukanya cuma tipuan? Kamu buat dari apa?” 

“Dari sejenis lateks yang dilumuri ‘darah’, campuran madu dan zat pewarna.” 

“Supaya Pak Mandala syok dan cepat mengirimkan uang tebusannya? Begitu?”

Sumarlan mengangguk pelan. 

Tumini, yang duduk di samping Sumarlan, terkejut ketika seorang polisi wanita memasuki ruangan. Polwan itu ternyata Sugiarti. la menggamit tangan Bi Piyah. Rupanya, Bi Piyah hanya dititipkan pada salah satu keluarga Polisi. Tidak pulang kampung.

“Ini Komandan, bukti rekamannya,” katanya kepada AKP Taufik. Sugiarti diam-diam memasang wireless FM, mikrofon yang sangat peka, di lubang angin yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Tumini. Mikrofon itu dihubungkan dengan gelombang FM radio dan direkam. Dari bukti itu diketahui, setiap malam Tumini berkomunikasi dengan Sumarlan menggunakan ponsel.

“Lalu, mana uang seratus lima puluh juta itu?” tanya AKP Taufik setelah menerima laporan, di rumah kontrakan Sumarlan tidak ditemukan uang sebesar itu. 

“Uang? Uang apa, Pak?” tanya Sumarlan kaget.

“Yang semalam diantar sendiri oleh Pak Mandala!” 

“Kalau uang yang kurang dari sepuluh juta itu memang saya yang ambil. Tapi kalau yang semalam, saya tidak menerimanya. Saya harus menunggu perintah dari Tumini. Sejak sore saya hanya minum-minum,” jawabnya serius.

Pengakuan Sumarlan dibenarkan oleh Tumini. Ketika Mandala mengantar uang tebusan, Tumini segera menelepon Sumarlan dan memarahinya karena merasa belum memberi tanda aman, kok Sumarlan sudah meminta uang tebusan itu. Tumini melihat masih ada polisi yang sering datang ke rumah majikannya. Celakanya, jawaban Sumarlan kacau karena ia mabuk. Tumini tidak percaya. Karena takut dibohongi, pagi-pagi Tumini pergi ke rumah Sumarlan. Tanpa dia sadari, ia naik taksi yang dikemudikan Bharatu Suwandi, yang mendapat informasi dari Sugiarti.

Pagi itu juga AKP Taufik Abdullah meluncur ke rumah Mandala Baring. Dewi masih tampak lelah di pelukan ibunya. 

“Pak Mandala, selain Ibu, siapa saja yang tahu nomor ponsel Anda?”

“Yang ini khusus untuk keluarga, orang luar yang tahu hanya sekretaris saya.” 

“Bagaimana dengan Salyono, supir Anda?”

“Oh, betul, dia juga tahu. Ia sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri, karena sudah lama ikut saya.”

Dari anak buahnya AKP Taufik mendapat kabar bahwa mobil Mandala Baring ditemukan di pinggir jalan dekat TMII. Rombongan polisi segera mendatangi tempat itu. Mobil itu kosong, tas berisi uang itu pun raib. Di lantai jok pengemudi tampak puntung rokok kretek yang masih panjang. Puntung itu gepeng, sepertinya diinjak untuk mematikan apinya. Di dekatnya, agak terlindung karpet, terdapat botol minyak angin yang kosong. Puntung itu diambil lalu dicium AKP Taufik. Tidak tercium bau apa pun kecuali aroma tembakau. AKP Taufik menduga, si pengemudi siap merokok. Seperti kebiasaannya, rokok itu harus diolesi minyak angin sebelum diisap. Karena minyak anginnya habis, rokok yang terlanjur disulut itu dimatikannya dengan diinjak.

“Sekarang bagi tugas: Kamu ke rumah Salyono, kamu ke terminal bus,” perintah AKP Taufik kepada anak buahnya. 

“Mau ke mana, Pak Salyono? Kok sendirian?” sapa AKP Taufik setelah memergoki Salyono di sebuah terminal bus antarkota antarprovinsi di Jakarta Timur.

“Pulang kampung, ngobati istri. Sakit sejak dulu enggak sembuh-sembuh,” jawabnya agak grogi.

“Boleh lihat isi tasnya?” sela seorang polisi di sebelahnya. Dengan berat hati Salyono menyerahkan tas gendongnya. Di dalamnya terdapat setumpuk uang, jumlah dan nomor serinya sama persis dengan uang yang dibawa Mandala Baring semalam. 

Salyono memang cerdik. Ia pandai memanfaatkan kesempatan meski tidak punya sangkut paut dengan komplotan Tumini dan Sumarlan. (Riady B. Sarosa)

Baca Juga: Alat Pemantau di Uang Tebusan

 

" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561340/kalah-cerdik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181867000) } } }