array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3304480"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/pembunuhan-di-st-oswalds_tay-20220603020944.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(150) "Cheeseman merupakan guru yang paling dibenci di sekolah karena ringan tangan dan tidak adil. Hingga murid-muridnya membuat rencana pembunuhan baginya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/pembunuhan-di-st-oswalds_tay-20220603020944.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "Pembunuhan di St. Oswald’s"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 14:10:07"
      ["content"]=>
      string(40937) "

Intisari Plus - Cheeseman merupakan guru yang paling dibenci di sekolah karena ringan tangan dan tidak adil. Maka tidak heran jika murid-muridnya membuat rencana pembunuhan baginya. Apakah rencana ini berhasil?

-------------------------

“Kukira ia harus dihukum goreng di dalam minyak," kata Wace (11). 

Temannya, Webster, mengangguk antusias. "Ya, lalu dilemparkan ke sumur penuh laba-laba dan kalajengking beracun."

Nigel Kilby mengerutkan alis tak sabar. Ia ketua kelas mereka dan juga ketua juri yang mereka bentuk sendiri itu. Kelas mereka cuma punya 12 murid. 

"Tolol," katanya pedas. "Dari mana kau akan dapat minyak?”

"Dari mana pula kau akan dapatkan laba-laba dan kalajengking beracun?" tanya Marsden, si serba bisa. 

"Kucuri dari kebun binatang," sahut Webster gagah.

“Minyak kuambil dari gudang," tambah Wace, "lalu memasaknya di panci besar."

Nigel Kilby masih saja mengerutkan alisnya. "Kita harus menemukan cara yang amat lihai untuk membunuhnya. "Yang tidak bisa dilacak."

“Racuni saja”

“Di majalah aku pernah baca suatu suku di hutan yang membunuh korbannya dengan panah beracun yang disemburkan dengan sumpitan. Racun itu begitu hebatnya sampai korbannya langsung mati." Usul ini datang dari Perry mi (10) dan yang terkecil di kelas.

Kilby mengangguk. "Racunlah yang paling tepat." 

"Kita bisa mendorongnya jatuh dari tebing waktu berjalan-jalan," Marsden berkata. "Kita akan bilang itu kecelakaan, bahwa dia jalan terlalu dekat ke tepi, lalu terjatuh.”

"Itu bisa saja, kalau kita yakin itu akan berhasil membunuhnya,” kata Kilby. "Tapi misalnya saja ia cuma terluka. Andaikan saja ia berhasil bergayut ke sesuatu ...."

Semua diam membayangkan ngerinya bila rencana macam itu gagal. Pastilah tirani yang sudah ada sekarang bukan apa-apa lagi bila dibandingkan dengan kekejaman yang menyusul kegagalan macam itu.

Tak syak lagi, Pak Cheeseman adalah guru yang paling tidak disukai di St. Oswalds's. Pak Cheeseman adalah wali kelas mereka. Mereka lebih yakin lagi bahwa guru yang satu ini pastilah guru yang paling dibenci di seluruh SD sepanjang pantai Sussex pada tahun 1929.

Pak Cheeseman - Cheesepot kalau di belakangnya - bertubuh jangkung, berkumis lebat, dan suaranya yang dalam bisa lebih mengerikan dari guntur. la dipindah ke dunia pengajaran setelah keluar dari angkatan darat tahun 1919 dan sudah mengajar di Oswald's selama enam tahun. 

Seperti banyak juga guru yang lain waktu itu, ia tak punya kualifikasi akademis. Yang dipunyainya hanyalah sekadar pengetahuan dasar tentang pelajaran yang diajarkannya dan kemampuan untuk menegakkan disiplin serta sedikit-sedikit bisa terjun dalam permainan. 

Bahkan dengan memperhitungkan kecenderungan anak-anak untuk melebih-lebihkan, orang dewasa pun dapat melihat bahwa ia memang senang menyiksa murid-muridnya. Ia tak saja ringan tangan, tapi juga tidak adil. Misalnya, baru-baru ini ia menahan Webster sampai ia terlambat ikut doa pagi. 

Kepada kepala sekolah ia mengatakan, tak ada alasan mengapa Webster mesti terlambat. Protes diam Webster cuma dijawabnya dengan tertawa menjengkelkan. Katanya, "Hidup itu memang tidak adil, Nak. Makin cepat kau sadar itu, makin baik."

"Kukira Bu Cheeseman tentu akan senang kalau ia mati," kata Wace memecah kesunyian.

Rumah keluarga Cheeseman ada di pinggir tanah sekolah. Bu Cheeseman membantu ibu asrama mengurusi pakaian anak-anak. Ia kecil, pucat, bicaranya lembut, dan tampaknya sama juga dikuasai oleh suaminya seperti murid-murid sekolah itu. 

Bu Cheeseman membangkitkan rasa kepahlawanan mereka dan mereka yakin, ia akan sesenang mereka menyambut kematian suaminya. 

"Pasti ia suka menjambak rambutnya," tambah Webster.

"Bagaimana caranya kita meracuni dia, Kilby?" Marsden bertanya, mengembalikan diskusi ke alurnya semula. 

"Kita perlu," kata Kilby pelan-pelan kepada pendengarnya yang penuh perhatian, "racun yang bisa cepat dikerjakan. Maksudku, kita bisa mencampurkannya ke bubur sarapannya, tapi kita ingin supaya ia baru mati setelah beberapa saat kemudian, supaya orang tidak bisa menduga kapan ia makan racun itu." 

"Seperti misalnya mati waktu ia sedang membetulkan pemangkas rumput di gudang," kata Marsden.

Salah satu tanggung jawab Pak Cheeseman adalah memelihara mesin pemotong rumput sekolah yang besar. Agaknya ia lebih merasa dekat dengan tugas-tugas permesinan daripada dengan murid-muridnya. la hampir selalu mengotak-atik mesin itu.

"Tapi di mana kau akan dapat racun itu, Kilby?" Wace bertanya.

"Aku harus melihat buku dulu. Mungkin pula kita harus membuat racun itu sendiri. Ada banyak macam racun di hutan sekolah." 

"Racun itu harus tidak berasa," Marsden menyimpulkan. 

"Itu tidak sulit," kata Kilby percaya diri. "Lagi pula, bubur itu sendiri sudah begitu menjijikkan, orang tidak akan tahu apakah bubur itu beracun atau tidak."

Perry mi tiba-tiba berseru tertahan, lalu bersikap seperti sedang belajar. Satu atau dua kawannya menolehkan kepala, lalu cepat menuruti teladannya. 

Ternyata di gang telah berdiri Pak Cheeseman dengan sorot mata tak senang. Mereka tak tahu sudah berapa lama dan apa saja yang sudah didengarnya, tapi rasa takut dan ngeri menjalari mereka semua.

Mereka duduk dalam dua baris, tiap baris enam orang. Pak Cheeseman sendirilah yang pernah menyamakan mereka dengan sebuah juri. Kini mereka semua menatap dia dengan pandangan polos yang khawatir, sementara ia naik ke panggung rendah di depan kelas dan menghadapi mereka lewat puncak mimbarnya.

Suasana diam berlanjut menekan, sehingga Wace merasa harus memecahnya. 

"Selamat pagi, Pak," katanya. Sekarang perhatian Pak Cheeseman berpindah kepada Wace. Kumisnya melintir. 

"Betul, Wace?"

Wace tak tahu harus menjawab apa dan ia mengikik gugup. 

"Apa yang lucu, Wace? Ayolah, ceritakan, jangan disimpan sendiri," suara dalam itu menggelegar. 

"Lucu, Pak? Tak ada yang lucu, Pak."

"Tapi tadi kau ketawa, Wace. Jadi, pastilah ada yang lucu. Atau kau begitu tololnya sampai ketawa tanpa sebab?"

"Saya tak merasa ketawa, Pak," suara Wace terdengar khawatir. Ia berusaha keras membebaskan diri dari situasi yang begitu cepat jadi gawat.

"Saya tidak mendengarnya ketawa, Pak," Webster berkata setia. 

"Webster dan Wace, badut kembar kita," kata Pak Cheeseman sambil memandang ke wajah-wajah yang menghadap kepadanya. Kemudian dengan nada yang paling mengerikan, ia menambahkan, "Tapi lawakan bisa jadi amat berbahaya, maka hati-hatilah!"

Ia memungut buku latihan teratas dari tumpukan buku yang tadi dibawanya. Ternyata karangan dalam bahasa Prancis kemarin sore yang telah dikoreksinya. 

"Brook?" 

"Ada, Pak." 

"Evans?" 

"Ada, Pak." 

"Perry mi?"

"Ada, Pak." 

Sementara tiap anak menjawab panggilannya, buku latihan masing-masing melayang di udara. Yang gagal menangkap harus berdiri dengan buku itu di kepala.

“Tiap orang sudah mendapat buku?" tanya Pak Cheeseman. 

"Belum, Pak. Bapak belum memberikan buku saya," kata Wace gugup.

"Aku juga tidak hams menyerahkannya, Wace Aku menahannya untuk presentasi istimewa. Coba maju ke depan."

Wace bangkit dan pelan-pelan berjalan mengitari bangku-bangku. Wajahnya sudah paham. Di muka panggung ia berhenti. 

"Berdiri di sini, Wace," Pak Cheeseman berkata sambil menunjuk lantai di sebelah mejanya, "dan menghadap ke kelas." 

Pak Cheeseman bangun, lalu melangkah, dan berdiri di belakangnya. Dengan satu tangan ia memegang buku Wace, tangan yang lain mencengkeram rambut di leher belakang Wace. 

"Termasuk jenis kata apa maison, Wace?" 

"E ... feminin, Pak." 

"Lalu kenapa kau menulis le maison?" bentaknya sambil menarik rambut itu keras-keras. 

"Uh!" 

"Apa bentuk jamak dari hibou?" 

"Saya tak bisa berpikir, Pak. Sakit, Pak." 

Rambut itu dijambak lagi dan keluh kesakitan terdengar lagi. 

"Ayo, Wace, bentuk jamak dari hibou?"

"H-I-B-O-U-S." Kali ini yang terdengar adalah teriakan. Pak Cheeseman menarik kepala Wace ke belakang. 

"H-I-B-O-U-X, anak lalai! Kesalahan dalam karanganmu lebih banyak daripada biji yang ada di sebotol selai raspberry. Kau malas dan tidak memperhatikan, Wace." 

"Ya, Pak." 

"Jangan membantah," suara Pak Cheeseman mengguntur, sambil pelan-pelan memutar tangan yang sedang menggenggam rambut Wace.

Sekarang wajah Wace sudah merah dan air mata mengalir di pipinya.

"Menangis tidak mempan bagiku, Wace. Sore ini kau tinggal dan salin sepuluh halaman pertama dari buku Tata Bahasa Prancis. Aku akan datang mendengarkanmu dan jangan sampai ada kesalahan lagi. Sekarang kembali ke bangkumu!" Sementara berkata ditamparkannya buku itu ke atas kepala Wace, lalu melemparkannya ke punggungnya.

Sunyi sepi, yang terdengar cuma isak tangis Wace. Webster berusaha menghibur kawannya dengan memungutkan buku dan mencarikan pulpennya yang menggelinding jatuh dari bangku. 

 

Masukkan ke buburnya 

Sisa jam pelajaran benar-benar dilewatkan dengan perasaan tertekan. Tak ada seorang pun berani buka suara sebelum bel berbunyi dan Pak Cheeseman berlalu. 

"Jangan khawatir, Wace," Kilby berkata, "tidak akan lama lagi." 

"Tak bisakah kita mengutuk dia?" tanya Perry mi. 

"Kutukan macam apa?" Marsden bertanya penuh minat. 

"Kutukan yang membuat dia jatuh dan kedua kakinya patah." 

"Bagaimana melakukannya?" 

"Aku sendiri tak begitu tahu. Tapi kalau kita berpegangan tangan membentuk lingkaran, lalu menutup mata, dan mengucapkan mantera, mungkin bisa." 

"Apa itu mantera?" tanya Webster. 

"Kata-kata untuk melemparkan kutukan," Kilby menyela. "Tapi aku ragu apa kita bisa melakukannya. Kupikir racun masih yang paling tepat. Coba dengar. Aku dapat izin tidak ikut olahraga, karena kacamataku baru. Jadi, aku akan ke hutan mengumpulkan bahan-bahan beracun. Aku akan membaca buku dulu untuk melihat bahan apa yang menghasilkan racun paling ampuh."

"Aku ikut," kata Perry mi. "Ibu asrama mengizinkan aku tidak ikut olahraga karena flu."

Kilby mengangguk setuju. "Setelah makan siang kita segera berangkat, waktu anak-anak berganti pakaian."

Mendengar ini, bahkan Wace pun jadi tampak gembira. Hidup tanpa Cheesepot benar-benar mendekati firdaus.

Nigel Kilby yang terakhir masuk kelas, ketika mereka berkumpul kembali sebelum pukul 16.30. la membawa kotak karton yang langsung diselipkannya di bangku. 

"Kau dapat apa?" Marsden bertanya.

Kilby membuka tutupnya dan mereka semua mencondongkan badan dan melihat isinya. Yang mereka lihat adalah beberapa buah berry pucat, sebatang akar mirip wortel, dan beberapa macan dedaunan. 

"Apa itu semua beracun?" tanya Webster bersemangat.

Kilby mengangguk serius. Beberapa anak menarik kepalanya dari kotak. Yarrow bahkan menahan napas, siapa tahu ada yang mengeluarkan asap beracun.

"Namun, kau toh tak dapat menaburkan begituan ke buburnya," kata Marsden

"Tentu saja tidak. Racunnya harus dibuat dulu. Daun-daun ini harus direbus, lalu akar dan buah berry yang sudah ditumbuk dimasukkan. Bentuk terakhirnya yang racun." 

Kilby melirik ke pintu sebelum melanjutkan. "Aku bawa kaleng. Akan kurebus daun-daun ini di kompor di depan kamar ibu asrama waktu dia pergi makan malam bersama staf. Namun, harus ada yang jaga di gang. Siapa tahu ibu asrama muncul terlalu cepat."

"Akan kulakukan itu," kata Marsden. 

"Lebih baik Perry mi saja. Ia kecil dan dapat bersembunyi di kolong meja." 

"Bagaimana bentuk racun itu nantinya?" Wace bertanya. 

Nigel Kilby menatap dia lewat kacamatanya. Yang benar adalah ia sendiri tak tahu, tapi tak seorang pemimpin pun akan mengaku macam itu.

"Ya, bubuk biasa saja," katanya. "Kita akan menaburkannya di buburnya besok waktu sarapan. Kita tahu kebiasaan dia mengobrol dengan Pak Saunders setelah selesai membagi kita bubur. Waktu itulah akan kulakukan."

"Bagaimana kalau besok dia tidak makan bubur?" tanya Webster. 

"Kita akan tunggu besoknya lagi. Ia selalu makan bubur." 

"Minggu lalu sekali ia tidak makan bubur. Aku melihat."

"Itu karena malamnya ia baru minum-minum. Ia cuma begitu pada hari Senin." Kilby memandang keliling rekan-rekannya sebelas orang itu. "Jangan lupa, kita semua terlibat. Kita harus bersumpah tidak akan buka mulut apa pun yang terjadi. Kalau kita kompak, tak akan ada orang yang tahu."

"Tidak juga detektif Scotland Yard," tambah Wace, meledak penuh percaya diri. 

"Jadi apa kita semua setuju, Cheesepot harus mati?" kata Kilby menatap wajah mereka satu demi satu. 

Tiap orang mengangguk, walaupun beberapa dengan rasa khawatir.

Beberapa saat kemudian objek hukuman mati mereka melangkah masuk kelas. Agaknya ia sedang asyik pada pemikiran lain. Seharusnya itu pelajaran bahasa Inggris, tapi yang dikerjakannya cuma menyuruh mereka menulis sebuah esai. 

Sementara anak-anak menulis, ia hanya menatap ke luar jendela dengan sorot mata marah. Ia bahkan tidak menjerit atau menangkap Wace waktu pulpen Wace jatuh. Hampir seolah-olah ia sadar bahwa hidupnya tinggal tak lama lagi.

 

Waktu sarapan yang mencekam

Keesokan harinya Nigel Kilby sudah terjaga waktu bel sekolah berbunyi pukul 07.30. Dia meloncat dari tempat tidur, mengenakan kacamatanya dan lari ke radiator. Di atas radiator itu semalam ia meletakkan campuran beracun itu supaya makin matang. 

Dengan puas dilihatnya campuran itu sudah berubah jadi pasta berwarna kelabu. Didekatkannya campuran itu ke hidung, ternyata baunya mirip semir sepatu.

Dua puluh menit kemudian bel pertama berbunyi, tanda makan pagi. Di aula ruang makan, anak-anak duduk berkelompok menurut kelasnya.

Sebelum meninggalkan asrama Kilby telah memindahkan campuran racun ke sebuah kantung kertas, lalu membawanya di saku celana. 

"Berapa banyak akan kau beri dia?" tanya Wace. 

"Racun ini begitu mematikan. Rasanya tidak akan banyak." 

"Bagaimana kau bisa menaburkannya?" tanya Perry mi. 

"Kelihatannya kok lengket begitu." 

"Akan kutaruh sedikit saja. Kalau Cheesepot kembali terlalu cepat, kau harus menendangku di kolong meja, Marsden." 

"Apa kau tak takut ada sebagian yang masuk ke piringmu sendiri?" ada lagi yang bertanya. Ia menggeleng. 

"Aku akan hati-hati sekali dan akan kucuci tangan begitu makan pagi selesai.”

Mendengar itu para pendengarnya jadi terdiam. Beberapa menit kemudian bel kedua berbunyi. Mereka berlalu teratur menuju aula ruang makan.

Pak Cheeseman lambat datang. Ia muncul persis ketika kepala sekolah akan mulai mengucapkan doa. Ia mengangguk sepintas ke arah anak-anak, lalu mulai menyendok bubur. Memang waktu sarapan ia tak pernah suka mengobrol, tapi pagi ini ada yang lain padanya. 

Matanya tampak seperti kalau ia baru minum-minum malam sebelumnya, tapi tak ada bau alkohol. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang gawat.

Kilby menebak-nebak apakah anak-anak lain juga melihat perbedaan itu, sementara matanya sendiri yang juga amat berbeda dari biasa. Mata algojo.

Setelah setiap anak mendapat jatahnya, Pak Cheeseman mengisi mangkuknya sendiri, lalu seperti yang mereka harapkan, menuju meja Pak Saunders.

Kilby sudah memberi instruksi keras, kalau saat ini tiba, tiap anak harus makan seperti biasa dan tidak boleh memandang ke arahnya, karena ini bisa mengacaukan segalanya. Biarpun sudah diberi peringatan keras, Wace tetap saja mencondongkan tubuh ke depan, menatap dia seperti akan menyaksikan pertunjukan sulap. 

Dia melotot kepada Wace, sedangkan Webster pada waktu yang sama menendang kakinya. Wace dengan kemalu-maluan cepat memegang sendoknya.

Sambil mengambil kantung kertas kusut dari sakunya, Kilby beringsut ke ujung bangku, sehingga segala geraknya akan terlindung dari pandangan orang lain, selain kawan-kawannya sendiri yang duduk di seberang meja. 

Dengan cepat ia menuangkan empat tetes pasta ke mangkuk Pak Cheeseman. Pasta itu langsung tenggelam ke bawah permukaan bubur yang juga berwarna keabu-abuan.

Ia baru menghabiskan separuh buburnya sendiri, waktu Pak Cheeseman kembali ke meja dan duduk. Sementara dua belas pasang mata berusaha keras tidak memandang ke arahnya. 

Suatu saat, Cheeseman agak tertegun dan seperti merasakan sesuatu di ujung lidahnya, tapi ternyata ia terus makan tanpa komentar. Setelah bubur menyusul daging asap dan sarapan diakhiri dengan sepotong roti yang diolesi margarin dan selai.

Kemudian kepala sekolah mendorong kursinya kembali ke bawah meja sambil berkata, "Saya akan mengucapkan doa bagi yang sudah selesai makan." 

Beramai-ramai anak-anak yang sudah selesai makan keluar ruangan. Yang tinggal hanyalah para tukang melamun dan yang biasa makan lama. 

Pak Cheeseman juga keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun waktu makan. Kilby bingung dan Perry mi mengutarakan teori bahwa tentunya pak guru itu telah melihat bayangan malaikat maut.

"Berapa lama kerjanya?" tanya Webster kepada Kilby waktu mereka berjalan ke luar aula ruang makan. 

Kilby cuma angkat bahu. "Sulit ditentukan." 

"Kuharap itu berarti takkan ada bahasa Prancis." 

Ternyata pelajaran sejarah pun tidak ada. 

Sejarah seharusnya merupakan pelajaran pertama. Pada pukul 08.40, lima menit sebelum mulai, anak-anak sudah siap di bangku masing-masing. 

"Jangan-jangan kulitnya berbintik-bintik dulu," bisik Wace kepada Webster. 

"Aku tak ingin lihat dia mati di sini," kata Webster bergidik.

 

Ia sudah mati

Suara-suara dari kelas-kelas lain yang terdengar lewat gang perlahan hilang, menandakan guru-guru sudah masuk kelas untuk memulai tugasnya. Tak ada tanda-tanda datangnya Pak Cheeseman. Pukul 08.45. Kurang sepuluh, kurang lima. Tetap Pak Cheesepot tak muncul.

"Pasti sudah bekerja," bisik Marsden serak. Kilby menelan ludah dengan gugup. "Maksudku, ia belum pernah selambat ini. Sekarang mau apa kita?"

"Kalau dia belum juga datang waktu bel pukul 09.00, aku akan pergi melihat-lihat," kata Kilby.

Rasanya cepat sekali waktu bel berbunyi pukul 09.00 menggelandang mereka semua ke rasa tegang luar biasa. 

Kilby bangun. "Semua orang diam di tempat. Kalau ada yang datang bilang aku pergi mencari Cheesepot."

la menyelinap pergi, pintu kelas dibiarkannya separuh tertutup. Rasanya belum pernah kelas mereka bisa tinggal diam dan tenang sampai begitu lamanya. Bahkan Webster dan Wace pun tidak berbisik-bisik.

Seperempat jam kemudian Kilby kembali. Dari wajahnya tampak benar bahwa sesuatu telah terjadi. Wajahnya pucat dan di balik kacamatanya, kedua mata itu terus berkedip-kedip. la basahi bibirnya.

"Ia sudah mati," suaranya gemetar. “la tergeletak di lantai gudang tempat mesin pemotong rumput." 

Berita itu disambut dengan diam mencekam, diiringi beberapa helaan napas. Sudah berhasil, tapi reaksi yang mereka alami tidak seperti yang telah mereka bayangkan. Tak ada keinginan bersorak atau menabuh meja. Yang ada cuma rasa khawatir dan takut.

Perry mi-lah yang pertama memecah kesunyian. 

"Kau memegang nadinya?" tanyanya. 

Kilby menggeleng. "Aku tidak masuk ke dalam gudang. Kuintip dari lubang kunci dan kulihat ia tergeletak." 

"Bagaimana kau tahu itu Cheesepot?" tanya Marsden. 

"Dari jaketnya. Kotak-kotak hitam putih yang ia pakai tadi pagi waktu makan. Mestinya ia sedang membungkuk di atas mesin itu waktu jatuh."

"Mungkin ia masih bernapas sekarang," suara Perry mi terdengar khawatir. 

"Tidak, ia sudah mati. Kalau masih bernapas, pasti aku bisa melihat dadanya turun-naik."

"Mau apa kita sekarang?" Wace bertanya, nadanya panik.

Pertanyaan itu dijawab dengan munculnya Pak Repping, si kepala sekolah, di pintu. 

"Sedang apa kalian?" tanyanya tajam. "Di mana Pak Cheeseman?" 

"Tidak tahu, Pak," jawab Kilby. "Ia belum kelihatan." 

"Belum kelihatan! Tapi ia 'kan ada waktu makan tadi." 

"Ya, Pak," suara anak-anak seperti koor. 

"Nah, sekarang kerjakan sesuatu, sementara kulihat ada apa dengan dia. Jangan ribut, mengerti?”

"Boleh saya usul, Pak?" kata Kilby. 

"Ya, apa Kilby?" 

"Pak Cheeseman sering pergi ke gudang tempat mesin pemotong rumput di antara waktu sarapan dan jam pertama, Pak." 

"Aku tahu itu, Kilby." 

"Maaf, Pak. Saya cuma berpikir mungkin baik juga menengok ke sana. Siapa tahu ia mengalami kecelakaan dan tak bisa bangun."

Pak Repping mengerutkan alisnya. "Rasanya itu terlalu jauh. Kau membayangkan yang tidak-tidak saja, Kilby. Sekarang mulai bekerja sementara aku mengurus soal ini."

Setengah jam kemudian kepala sekolah kembali. Setengah jam yang begitu lama dan menyiksa. Anak-anak cuma bekerja sedikit. Waktu ia kembali, mata anak-anak terhujam padanya ketakutan menanti bagaimana ia akan mengabarkan berita itu.

"Ya, kurasa untuk sementara misterinya belum juga terpecahkan," katanya singkat. "Telepon ke rumah Pak Cheeseman tidak menyahut, sehingga pastilah ia dan Bu Cheeseman sedang pergi. Pak Price bebas pada jam setelah ini. Akan kuminta ia mengajar kalian. Apa pelajaran kalian berikutnya?" 

"Prancis, Pak," jawab Marsden ketika tak seorang pun menjawab.

"Baik, tetap tinggal di kelas. Aku akan bicara dengan Pak Price."

"Maaf, Pak." 

"Apa Bapak tidak melihat ke gudang?" 

"Aku sudah ke sana, Kilby. Sudah kukatakan kau terlalu membayangkan yang tidak-tidak. Tidak tampak tanda apa pun dari Pak Cheeseman tergeletak di sana."

 

Tetap kompak

Lima puluh menit pelajaran bahasa Prancis dengan Pak Price yang baik dan lembut mestinya seperti pesta saja; tapi bagi kelas itu ternyata belum pernah menit-menit berlalu begitu lamanya. Rasanya seakan istirahat pagi tak akan tiba juga. 

Waktu istirahat tiba, Nigel Kilby dihujani pertanyaan yang pasti akan membuat orang grogi kalau kurang percaya diri. Namun, ia tetap pada teorinya dan kelihatan tidak terguncang. Cheesepot benar-benar tergeletak di samping mesin pemotong rumput. 

Jaket kotak-kotak hitam putihnya tak salah lagi. Kalau waktu Pak Repping ke sana ia sudah tidak tampak, cuma ada satu hal. Tubuhnya telah dipindahkan.

"Tapi siapa yang memindahkannya, Kilby?" 

"Kenapa?" 

Untuk pertanyaan ini Kilby tidak berpura-pura punya jawaban. Kartu truf yang selalu diulang-ulangnya adalah bahwa kenyataannya Cheesepot lenyap.

"Pencurian mayat bukan barang baru," tambahnya dengan nada orang berpengalaman. 

Demikianlah hari terus berjalan, sementara kedua belas juri Pak Cheeseman terombang-ambing dalam spekulasi. 

Menurut Perry mi, mungkin seperti hewan liar yang mendekati ajal, Cheesepot telah pergi ke sebuah gua untuk mati di sana. Kilby meruntuhkan teori ini dengan mengatakan bahwa itu tidak cocok dengan kenyataan. 

"Sekarang aku menyesal kita telah menghukum mati dia," bisik Wace kepada Webster di ranjang sebelahnya. 

"Aku juga," kata Webster. "Aku takut."

Pagi berikutnya, waktu makan pagi ketua kelas duduk di ujung meja dan membagi-bagikan bubur. Kemudian itu dan Marsden melewatkan waktu dengan bicara soal sepak bola di Inggris di musim yang akan datang ini.

Waktu makan pagi selesai, tampak para guru saling berbisik. Pak Cheeseman tetap tak tampak batang hidungnya.

Dua puluh menit sebelum pukul 09.00, anak-anak duduk di bangku masing-masing sambil menebak-nebak apa yang bakal terjadi. Pelajaran pertama mereka bahasa Latin dan mungkin kepala sekolah sendiri yang akan mengajar mereka.

Kilby sudah mengingatkan mereka semua untuk tetap tidak membocorkan rahasia.

Langkah di gang yang makin mendekat, membuat mereka semua diam. Sejenak kemudian kepala sekolah mereka masuk, diikuti seorang asing.

 

Bukan pengadilan

Pak Repping naik ke panggung di depan kelas. Tangannya mencengkeram kedua sisi mimbar meja guru di depannya. Si orang asing berdiri di sampingnya. Matanya berkelana dengan tenang ke wajah-wajah di kelas itu. 

Matanya biru dan memberi kesan tak pernah ada yang terlewat dari mata itu. Terang ia bukan tergolong jenis tiran macam Pak Cheesepot, tapi ia juga tidak tampak lemah.

Pikiran itu berkelebat di kepala beberapa anak, sementara mereka mencoba mengukur orang itu. Itulah sebabnya mereka seperti disengat listrik waktu mendengar kepala sekolah berkata,

"Anak-anak, ini Inspektur Detektif Cartwright. Ia ingin bertanya-tanya sedikit kepada kalian tentang lenyapnya Pak Cheeseman. Saya berharap kalian menjawab dengan jujur." Ia menoleh kepada polisi itu. 

"Saya ada di kantor kalau Anda membutuhkan saya, Inspektur." Berpaling kembali ke wajah-wajah tengadah penuh kekhawatiran, ia menambahkan, "Inspektur Cartwright ingin bicara dengan kalian sendirian. Itu sebabnya saya akan meninggalkan kelas ini. Kalau ada yang berlaku tidak semestinya, ia pasti akan melapor kepada saya."

Inspektur memperhatikan kepala sekolah pergi dan menunggu sampai pintu ditutup. Lalu ia memandang anak-anak dan mengedipkan mata. 

"Kalian tampak seperti di pengadilan saja," suaranya kedengaran senang.

Kilby menelan ludah dan beberapa anak lain tersipu-sipu. Semuanya tak luput dari perhatiannya. 

"Seperti yang sudah dikatakan pak kepala sekolah, saya ingin bertanya sedikit tentang Pak Cheeseman. Kapan kalian melihat dia terakhir kali?" 

"Waktu makan pagi kemarin, Pak," Kilby menjawab setelah tak seorang pun menjawab.

"Jadi, pukul 08.00. Betul? Ia tidak muncul pada pelajaran pertama pukul 08.45, betul?" 

"Ya, Pak," kata Kilby, sementara yang lain menganggukkan kepala.

"Apa ada di antara kalian yang pergi mencari dia?" Inspektur Cartwright jadi sadar bahwa sekarang tak seorang pun memandang ke arahnya lagi. Semua mata tiba-tiba mengarah ke bawah. "Tak ada seorang pun yang pergi mencari dia? Bukankah itu wajar sekali?" 

"Saya pergi, Pak," akhirnya Kilby berkata.

"Siapa namamu?"

"Kilby, Pak." 

"Ke mana kau pergi mencari, Kilby?" 

"Ke gudang tempat menyimpan mesin pemotong rumput, Pak." 

"Ah! Itu sebabnya kau mendesak Pak Repping untuk melihat ke sana, ya. Apa yang kau temukan?"

 

Mayat siapa?

Kilby menelan ludah dengan susah, lalu memandang langsung kepada Inspektur Cartwright. "Saya melihat mayatnya, Pak, waktu saya mengintip lewat lubang kunci. Ia tergeletak samping mesin pemotong rumput. Saya mengenali jaketnya, Pak." 

"Tentunya kau kaget, ya?" 

"Ya, Pak." 

"Tapi tidak kaget betul?" 

"Pak?" 

"Melihat dia mati di lantai itu?" Bahkan Kilby pun tak berdaya di depan Pak Inspektur.

“Tidak, Pak," katanya cuma berbisik. 

"Bukan guru yang cukup disukai, kukira?" 

"Bukan, Pak!" 

"Ada yang menyukainya?" Ia memandang anak-anak satu per satu. 

"Ia guru yang paling tidak disukai di seluruh Inggris, Pak," cetus Perry mi.

Inspektur Cartwright mendengarkan berita itu dengan bibir ditekan dan anggukan serius.

"Tentunya kalian lega dia tidak akan mengajar kalian lagi." la berhenti sebentar. "Ya, kukira cuma itu ... kecuali bila ada yang ingin bertanya."

Semua kepala menengok ke arah Kilby, yang tampaknya sedang mengalami perjuangan batin.

"Bapak sudah menemukan mayatnya?" akhirnya ia bicara juga.

Inspektur Cartwright kelihatan serius. "Ya di sebuah celah puncak tebing sana. Kami tak akan bisa menemukannya kalau tak ada yang memberi tahu."

"Tapi siapa yang membawanya ke sana, Pak?”

"Mayat siapa yang sekarang sedang kita bicarakan?" Nada bertanya Inspektur Cartwright bingung-bingung menggoda. 

"Pak Cheeseman, Pak," setengah lusin suara menyahut.

"Oh! Oh, ia sekarang ada di kantor polisi." 

"Jadi, mayat siapa yang ada di tebing, Pak?" suara Kilby benar-benar bingung. 

"Bu Cheeseman." 

"Cuma mayat dia yang saya ketahui." 

"Tapi saya pikir Bapak tadi berkata bahwa Pak Cheeseman ...."

"Ada di kantor polisi dengan tuduhan membunuh istrinya. Kami menangkapnya di luar Kota Dover tadi malam. Ia dan kawan wanitanya baru akan menyeberangi Selat Dover menuju Prancis, tapi ia dikenali orang waktu masuk ke sebuah toko obat. Rupanya sepanjang hari itu perutnya sakit melilit-lilit. Tanpa adanya sakit itu, pastilah ia sudah lolos." 

Mata Inspektur Cartwright berbinar agak aneh sementara ia meneruskan, "Dia sudah menceritakan semuanya kepada kami, termasuk bagaimana ia mendandani sebuah guling tua dengan jaket dan celananya dan meletakkannya di gudang, yang langsung diambilnya kembali begitu telah dilihatnya Kilby mengintip lewat lubang kunci.” 

“Dia pikir ia dan kawan wanitanya akan dapat melarikan diri ke luar negeri dan mayat istrinya tak bakal ditemukan orang, sehingga misteri itu tak akan mungkin terungkap. Anggapan orang pasti si istrilah yang telah membunuhnya lalu menghilang, tapi sakit perutnya itu yang menggagalkan dia. Semua itu cuma karena ia meremehkan kalian dalam membuat bubur jadi lebih enak daripada biasanya." 

Inspektur Cartwright turun dari panggung untuk pergi, tapi ia berhenti lagi. "Saya ingin memberi kalian dua nasihat saja. Pertama, jangan jadi hakim sendiri. Kedua, kalaupun itu kalian lakukan, yakinkan calon korban tidak sampai mencuri dengar rencana kalian."

Sampai di pintu ia berkata lagi, "Tapi dari apa yang sudah terjadi, agaknya kalian berhasil sangat baik di dua hal. Menyingkirkan guru galak dan menolong polisi menangkap seorang pembunuh.

(Michael Underwood)

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304480/pembunuhan-di-st-oswalds" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265407000) } } }