array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3448556"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/31-tahun-tak-tersentuh-hukum_mal-20220831012411.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(145) "Tahun 60-an, banyak teror terhadap orang kulit hitam di AS. Salah satunya adalah pembunuhan Medgar Evers yang baru terpecahkan 30 tahun kemudian."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/31-tahun-tak-tersentuh-hukum_mal-20220831012411.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "31 Tahun Tak Tersentuh Hukum"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-31 13:24:28"
      ["content"]=>
      string(21937) "

Intisari Plus - Sekitar tahun 1960-an, banyak teror pembunuhan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Salah satu kasus yang terkenal adalah pembunuhan Medgar Evers yang baru terpecahnya 30 tahun kemudian.

-------------------

Semak Honeysuckle menutupi siapa pun yang berdiri di baliknya. Bunga merahnya mulai mekar penuh. Semak-semak ini tak mencolok dan di tempat inilah sesosok lelaki bersenjata itu berdiri. Menunggu. 

Pada saatnya nanti, moncong senjata kaliber 303 Enfield 1917 menyalak. Lelaki bermata tajam yang ada di balik semak-semak nyaris tak berkedip. Tangannya sudah gatal menarik pelatuk. Dia menunggu saat-saat bersejarah ketika peluru mencelos cepat dari senjatanya. Dia merasa seperti komandan sekaligus algojo di medan perang.

Ini perang, perang sesungguhnya. Karena itu, dia tak perlu khawatir akan tuntutan. Dia justru tengah membayangkan pandangan kagum “pasukannya”. 

Meski ingin segera melakukan eksekusi paling besar dalam hidupnya, sosok tegap ini sudah sangat terlatih. Maklum, dia pernah bergabung dengan Korps Marinir Amerika Serikat pada 1942 sebagai penembak jitu. Kesabaran hingga buruan tepat pada sasaran adalah tips untuk menang.

Ketika sebuah mobil berhenti di jalan masuk sebuah rumah, tepat di seberang semak-semak Honeysuckle Vine, senjata langsung diangkat. Tak perlu terburu-buru karena target sudah ada dalam bidikan. Tak mungkin meleset. 

Bahunya hanya bergeser sedikit mengikuti orang berkulit hitam yang keluar dari mobil. Orang itu berjalan bergegas. Sepintas, sosok yang memegang senjata ingat hari itu Presiden John F. Kennedy sedang berpidato tentang hak-hak sipil. Mungkin orang itu ingin segera masuk rumah dan ikut mendengarkan pidato presiden di televisi.

“Aku akan mengantarmu. Secepatnya,” lenguh lirih sosok bersenjata itu. 

Hanya beberapa langkah setelah keluar dari mobil, tangan kekar di balik semak-semak menarik pelatuk. Desing keras dan sangat cepat melesat ke sasaran. Tepat menembus dada. Sosok tinggi besar itu langsung ambruk di dekat mobil.

 

Perjuangan berisiko

Sore di bulan Juni 1963, seperti biasa Medgar Evers menghadiri pertemuan pekerja hak-hak sipil di sebuah gereja di Jackson, Mississippi. Pada saat yang sama Presiden John F. Kennedy juga berpidato tentang hak-hak sipil.

Pulang dari pertemuan di Jackson, Evers mengendarai mobil dengan puas ke rumahnya. Perjuangan sepertinya akan segera memunculkan hasil. Sebentar lagi hak-hak sipil diberlakukan. Ini berarti tak ada lagi penindasan dan pembunuhan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Juga berarti, orang dari ras mana pun bebas menikmati pendidikan.

Evers masih ingat betul betapa sakit hatinya ketika ditolak masuk di Fakultas Hukum University of Mississippi. Bukan karena otaknya tidak encer. Jika otaknya tidak encer, mana mungkin dia diangkat sebagai sekretaris pada National Association for the Advancement of Colored People (NAAC). Penolakan itu hanya karena warna kulitnya hitam. Universitas ini hanya menerima orang kulit putih. Ini tamparan paling keras yang memicu semangat Evers untuk memperjuangkan kesempatan meraih pendidikan bagi siapa saja. 

Saat itulah Evers terbakar dan mulai menata langkahnya sebagai pemimpin kulit hitam. Dia dikenal gigih memperjuangkan hak-hak sipil. Nama Medgar Evers menjadi terkenal. Akan tetapi, dia juga harus menanggung risiko besar. Salah satu yang mengincarnya adalah Ku Klux Klan, organisasi paling radikal yang menentang pemberian hak bagi orang berkulit hitam, orang Yahudi, dan penganut Katolik di Amerika.

Pada waktu itu - dari tahun 1954 hingga 1960-an Ku Klux Klan mengobarkan perang terbuka. Organisasi yang meletup di Tennessee ini terang-terangan menentang pemberian hak sipil bagi orang kulit hitam. Mereka melarang orang kulit hitam naik bus yang sama dengan orang kulit putih. Kalau pun masuk dalam kendaraan yang sama, orang kulit putih mendapat tempat terbaik di depan. Keran air minum pun harus dipisah. Orang kulit putih tak pernah mau menyentuh keran air minum yang pernah dipegang orang kulit hitam. 

Itu baru urusan bus dan keran air minum. 

Pembedaan dalam urusan pendidikan juga berlaku. Dan itu juga dialami Evers. Padahal Evers tahu, dari pendidikanlah perjuangan mendapatkan hak-hak sipil ini akan cepat diperoleh.

Membela kepentingan orang kulit hitam berarti siap berhadapan dengan Ku Klux Klan. Ini sama dengan mengantongi tiket kematian. Tetapi Evers tetap yakin dengan pilihannya. Sama seperti ketika dia menjalani wajib militer pada 1943 di Prancis. Pulang dari wajib militer, semangat Evers terpompa. Dia ingin melakukan yang terbaik untuk Amerika. Tetapi melihat situasi makin menyudutkan orang kulit hitam, dia mengambil jalur tegas, membela hak sipil orang kulit hitam.

Evers sadar betul akan tiket kematian yang ada di tangannya. Beberapa kali dia mendapat serangan ... dan selalu lolos. Yang paling hebat adalah serangan pada tahun 1963. Ini tahun penuh kekerasan. Pada 28 Mei 1963, ada orang yang melempar bom molotov ke garasinya. Sepuluh hari kemudian, 7 Juni 1963, seseorang mencoba menabraknya dengan mobil polisi. Dua serangan itu dilaporkan. Dua-duanya mentah karena tidak ada tersangka.

Agaknya, musuh Evers tak ingin menunggu aksi ayah tiga anak itu makin menguat. Mereka ingin segera menghabisi Evers. Lima hari kemudian, 12 Juni 1963, Evers ditembak. Dadanya ditembus peluru.

 

Merangkak menuju pintu 

Ditempa dua tahun dalam perang di Prancis membuat Evers menjadi sosok pantang menyerah. Peluru yang menembus dadanya memang langsung membuatnya ambruk, tetapi kesadarannya masih utuh. Di tengah rasa nyeri yang luar biasa, Evers menyeret tubuh mendekati pintu rumahnya. Dia tidak ingin mati sia-sia di jalan, dia ingin istrinya tahu. Dia ingin ... hidup.

Pintu rumah tinggal beberapa langkah. Dari dalam masih terdengar pidato Kennedy yang menyerukan pemberian hak-hak sipil bagi seluruh warga Amerika. Dia hanya melihat pintu rumahnya.

Curiga dengan suara benda diseret dan merasa sudah waktunya suaminya pulang, Myrlie Evers membuka pintu. Di depan pintu dia menyaksikan suaminya sudah bersimbah darah. Satu jam setelah penembakan dan dibawa ke rumah sakit, Medgar Evers meninggal.

Jejak darah yang terseret ketika Evers berusaha menyelamatkan nyawa masih jelas terlihat di pintu masuk.

Tak mungkin mengabaikan pembunuhan kali ini meski dua percobaan pembunuhan bisa dianggap angin lalu dengan alasan tak ada tersangka. Kali ini harus ada tersangka. Darah Evers masih membekas samar ketika 11 hari kemudian Byron de la Beckwith ditangkap. Dia dituduh membunuh aktivis NAAC itu.

Byron tak bisa mengelak ketika saksi-saksi melapor bahwa mereka melihat mobil Byron, sebuah Plymouth Valiant putih, ada di dekat rumah Evers pada hari pembunuhan itu. Mereka melihat lelaki itu mengemudikan mobil di sekitar rumah Evers. Polisi juga akhirnya menemukan senjata yang disembunyikan di semak-semak Honeysuckle Vine. Sidik jari Byron yang biasa disapa Delay ini, jelas-jelas tercetak pada senjata itu.

Tetapi Delay tetap tenang. Dia hanya menyerahkan proses itu sepenuhnya ke tangan polisi. Semua menunggu dan ... Delay dibebaskan. Pembebasan ini karena ada tiga polisi yang mengaku melihat Byron de la Beckwith alias Delay ada di Greenwood, 95 mil dari rumah Evers. Delay punya alibi.

“Tentang senjata itu, hm ... itu memang milik saya. Senjata itu dicuri orang. Saya memang lupa melaporkan kehilangan senjata itu,” kata Delay. Selesailah sudah. 

Akan tetapi, situasi di luar makin memanas setelah kematian Evers. Delay pun diseret ke pengadilan. Juri yang memutuskan terdakwa membebaskan Delay pada sidang pertama. Para juri ini seluruhnya laki-laki dan seluruhnya berkulit putih. Mereka menganggap sah-sah saja orang kulit hitam dibunuh, apa pun alasannya. Hakim pun agaknya setali tiga uang. Russell Moore, sang hakim, menganggap kelakuan Delay tak ada yang menyimpang.

 

Kongkalikong di pengadilan

Tentu saja Myrlie Evers, berang. Dia merasa ada yang tak beres dalam sidang ini. Mantan Gubernur Mississippi pun didatangkan. Ross Barnett, sang mantan gubernur, hanya mendekati Delay dan memberi kode dengan menggerakkan tangan. Banyak yang mengira itu kode supaya Delay tak perlu khawatir. Apalagi juri yang dihadirkan semuanya berkulit putih. Hakimnya sendiri adalah teman dekat Delay.

Bisa ditebak, sidang dibatalkan. Moore dan juri menganggap alibi Delay cukup kuat. Kesaksian tiga polisi yang melihat Delay ada di sebuah pompa bensin di Greenwood membuat juri tak bisa memutuskan sidang. Delay pun melenggang. 

Keputusan ini membuat Delay makin percaya diri. Dia sudah membuktikan bahwa dalam “perang” melawan orang kulit hitam, dia akan selalu menang. Polisi saja bisa diatur. Delay pun resmi bergabung dengan White Knights dalam Ku Klux Klan. Ini termasuk kelompok elite dalam organisasi itu.

Merasa mendapat posisi hebat, Delay mulai membual supaya anggota Klan makin hormat. Delay berkali-kali mengungkapkan pembunuhan yang dilakukannya pada Evers. Melihat sebagian orang Klan tidak percaya - toh Delay beralibi berada di 95 mil jauhnya dari rumah Evers — Delay menunjukkan bukti bahwa dia adalah pembunuh Evers. Delay mengatakan bahwa dialah yang menelepon polisi sesaat setelah menembak Evers supaya polisi menemukan senjatanya di semak-semak Honeysuckle Vine di seberang rumah Evers.

Delmar Dennis, salah satu anggota Klan mendengarkan cerita Delay. Dennis menganggap Delay membual supaya disegani anggota organisasi itu. Makin sadis dan makin banyak membunuh orang kulit hitam, agaknya makin terang pamornya dalam organisasi. Delay tengah berusaha mendapatkan pamor itu. Bukankah dia bisa menembak mati Sekretaris NAAC yang paling disegani?

 

Darah biru

Byron de la Beckwith lahir dari keluarga elite di Colusa, California pada 1920. Ketika berusia lima tahun ayahnya meninggal. Dalam catatan kematian hanya tertulis pneumonia dan kecanduan alkohol. Setelah kematian ayahnya, keluarga ini pulang ke Greenwood, Mississippi. 

Ibu Byron, Susan Southworth Yerger adalah juga keturunan keluarga papan atas di Mississippi. Keluarga Yerger selalu mendapat tempat terbaik dalam acara resmi di Mississippi. Baru tujuh tahun tinggal di Greenwood, Susan meninggal. Dalam catatan kematian, Susan yang menderita kelainan mental disebutkan meninggal karena penyakit kanker paru-paru.  

Byron pun tinggal bersama pamannya, William Yerger. Dia selalu mengikuti pamannya. William bisa dikatakan agak kurang waras. Dia sangat hobi memancing ikan lele tetapi hasil pancingannya tidak ada satu pun yang dimakan. Setelah memancing, ikan-ikan itu malah disimpan di laci meja rias dan dibiarkan berhari-hari hingga membusuk. Bau busuk itu begitu mengerikan.

Byron baru berpisah dengan keluarga pamannya itu ketika masuk wajib militer dan bergabung dengan korps marinir sebagai penembak jitu pada 1942. Empat tahun kemudian dia menikah dengan Mary Louise Williams. Byron yang lebih suka menyebut dirinya dengan sapaan Delay ini menjadi juragan tembakau di Mississippi.

Pernikahan ini benar-benar seperti badai. Begitu sering bertengkar, bercerai, rujuk, menikah lagi, bertengkar lagi, rujuk. Begitu seterusnya. 

Reed Massengill, keponakan istri Delay yang tinggal bersama mereka, menulis buku tentang sosok pamannya itu. Dia menyatakan pamannya itu seorang yang rasis, brutal, dan tak segan menganiaya istrinya.

Saat itu Delay sudah bergabung dengan Ku Klux Klan. Delay paling garang menyerukan kebencian pada kulit hitam, Yahudi, dan Katolik. Dia bisa mengusir orang kulit hitam yang menyentuh keran air minum di tempat umum. Makin hari kebrutalan Delay makin terpupuk. Dia menganggap Ku Klux Klan adalah pasukan yang harus membinasakan semua musuh. Delay merasa kembali pada masa wajib militer. Ini perang. Artinya, semua musuh harus dihabisi.

Posisi Delay makin kokoh dalam Klan. Merasa mendapat angin segar, Delay pun menggalang pendukung. Tidak tanggung-tanggung, dia mencalonkan diri menjadi wakil gubernur melalui Partai Demokrat di Mississippi. Dalam sebuah wawancara sebelum pencalonannya, Delay berkata, “Saya sadar akan konspirasi jahat internasional terhadap hak-hak negara dan integritas rasial.” 

Delay tidak masuk nominasi. Orang masih ingat bagaimana dia melenggang keluar dari jeratan hukum ketika berhasil mengelak tuduhan membunuh Evers, empat tahun sebelum wawancara itu.

 

Abaikan perubahan

Pada 1970, kondisi di Mississippi mulai membaik. Sekolah dan universitas mulai membuka diri untuk warga Afro Amerika. Ketika Evers ditembak mati, hanya ada 28.000 pemilih di Mississippi, pada 1971 jumlahnya membengkak menjadi 250.000 orang yang diakui, dan pada 1982 lebih dari 500.000 orang Afro Amerika menikmati hak-hak sipilnya.

Ini yang tidak dipahami Delay. Seumur hidupnya, dia merasa Mississippi adalah medan perang. Aktivitasnya di Ku Klux Klan tak berkurang. Gosokan untuk tetap menghidupkan insting membunuh itu juga didapat dari buku karya Hoskins, anggota Klan, yang menyebut bahwa orang-orang pilihan Tuhan adalah orang kulit putih. Jadi sah-sah saja menghabisi orang selain orang kulit putih. Ini mengobarkan insting membunuh.

Gosokan ini juga yang membuatnya menerima tantangan untuk membunuh pemimpin Anti-Defamation League di New Orleans yang dianggap sering mengeluarkan pernyataan kritis tentang orang kulit putih. Ini membuat Klan terbakar. Delay punya alasan untuk membunuh. Dia membayangkan pandangan kagum orang-orang ketika dia bebas dari jerat hukum saat membunuh Evers. Dia dengan bangga menyebut dirinya penembak jitu, menembak apa saja.

Delay benar-benar tidak tahu di luar sana dunia sudah berubah. Sesumbar ini dicatat FBI. Ketika Delay berangkat menunaikan tugas membungkam selamanya mulut orang yang telah menghina orang-orang pilihan, orang kulit putih, FBI membuntuti.

Saat melewati Lake Ponchartrain Causeway Bridge, tiba-tiba saja mobil polisi mengikuti dari belakang. Delay tak menyangka hingga dia melihat lampu polisi berkedip-kedip dari spionnya. Dia menepi. Polisi New Orleans mendekat dengan senjata siap menyalak. Di mobil Delay ditemukan tiga senjata, setumpuk dinamit dengan timer dan detonator, serta ... petunjuk tertulis ke rumah pemimpin Anti-Defamation League.

Kali ini Delay dituduh berkomplot melakukan pembunuhan. Juri terdiri dari 10 orang kulit putih dan dua perempuan kulit putih. Delay diam-diam tersenyum melihat komposisi itu. Dia bisa membayangkan akan lolos lagi seperti sidang kasus pembunuhan Evers. Tetapi tunggu dulu, ini di Negara Bagian Louisiana. Delay terbukti bersalah mengangkut bahan peledak tanpa izin. Dia dipenjara tiga tahun.

Dia dikirim ke Angola Prison, menempati kamar tersendiri. Dia dipisahkan supaya tidak diserang tawanan yang mendendam karena kasus kematian Evers. Ketika di penjara, Delay jatuh sakit. Tetapi keturunan ningrat yang satu ini memang keras kepala. Dia sama sekali tidak mau dirawat oleh perawat pembantu yang berkulit hitam. “Aku bisa membunuh Medgar Evers, aku juga bisa dengan mudah membunuhmu!” sumbar Evers.

Januari 1980, Delay dibebaskan. Dia kembali ke Greenwood dan menjadi penjual pupuk. Keluar dari penjara, dia justru makin rajin datang ke pertemuan Ku Klux Kan. Disanalah ia berkenalan dengan Richard Kelly Hoskins, penulis sebuah buku yang jadi inspirasi Delay. Menurut Hoskins, orang yang membasmi “pengkhianat ras” adalah sebenarnya seorang prajurit yang membela kebesaran Tuhan! Dia mengirim surat kepada Hoskins tentang pembunuhan yang dilakukannya atas Evers. Dia ingin namanya dikenang lewat pembunuhan itu. Toh, sidang untuknya tak pernah menemukan bukti. 

Jika Delay menganggap kisah itu menjadi kenang-kenangan, tidak demikian dengan jaksa di zaman yang sudah berubah. Tulisan-tulisan yang diterbitkan Hoskins membuat luka orang-orang Afro Amerika menjadi bernanah lagi. Mereka marah membaca newsletter yang disebarkan Hoskins. Terbayang kembali masa-masa tahun 1960-an ketika pembunuhan menjadi teror.

 

Ditebus uang Yahudi

Ini membuat masyarakat menuntut diungkapnya semua kasus masa lalu. Delay pun ditangkap. Untuk kali ketiga dia disidang untuk kasus yang sama: pembunuhan Medgar Evers. Sebagai jaminan, Delay harus menyediakan 100.000 dollar AS. Meski dari keluarga ningrat, dia tak punya uang sebanyak itu. Dia hanya penjual pupuk. Ketika ada yang memberi bantuan AS $ 12.000, Delay menolak karena itu uang dari orang Yahudi, salah satu kelompok yang harus dihabisi. Akan tetapi, akhirnya dia ambil juga karena tak ada lagi uang untuk jaminan.

Banyak yang pesimistis akan sidang ini setelah dua kali Delay lolos. Harus ada saksi baru yang menjerat Delay. Tetapi alibinya tentang posisinya yang jauh dari rumah Evers ketika pembunuhan terjadi masih kuat. Tiga polisi mengatakan alibi itu. Delay masih bisa mengelak kali ini. 

Akan tetapi jaksa tidak ingin pembunuh yang diyakini telah menembak Evers ini lolos kembali. Mereka mencari saksi baru. Dan saksi itu pun muncul. Dialah Delmar Dennis, anggota Klan yang rajin mencatat kisah Delay ketika membunuh Evers. Dennis bersaksi lengkap dengan kenyataan bahwa yang menelepon polisi tentang penemuan senjata setelah pembunuhan itu adalah Delay. Karena Delay berulang-ulang menceritakan hal itu pada semua orang yang ditemui di Ku Klux Kan, Dennis mencatat itu sebagai kebenaran.

Saksi lain adalah perawat pembantu saat Delay dipenjara. Perawat pembantu ini mengungkapkan kisah Delay yang membunuh Evers, sama persis dengan apa yang diceritakan Dennis. Bukti terakhir yang tak bisa dielakkan adalah surat Delay untuk Hoskins yang diterbitkan dalam newsletter. Salah satu jaksa, Bobby Delaughter, menunjukkan senjata 1917 Enfield yang digunakan Delay menembak Evers. Senjata itu diambil dari rumah Russell Moore, teman sekaligus hakim saat Delay disidang kali pertama.

“Itu memang saya berikan pada Moore untuk kenang-kenangan,” aku Delay. Tak ada lagi yang percaya pada alibi yang disodorkan tiga polisi yang terbukti pendukung Ku Klux Klan. Pada 5 Februari 1994 Byron de la Beckwith divonis bersalah. Saat itu usianya 74 tahun. Dia tampak linglung. Hukuman seumur hidup harus dijalani tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.

Dia sempat mengajukan banding tetapi ditolak. Pada 21 Januari 2001 Delay mengalami gagal jantung dan tekanan darah tinggi. Kematian Delay menyisakan kebencian.

Myrlie Evers-Williams harus menunggu 31 tahun untuk mencari pembunuh suaminya. Begitu Delay divonis bersalah, Myrlie yang menikah lagi dengan aktivis kemanusiaan Walter Williams, dipilih menjadi ketua dewan NAACP. Tiga anak Evers yang langsung dipindah ke California setelah tragedi pembunuhan Medgar Evers kini telah dewasa. Darrell menjadi artis, Reena bekerja di penerbangan, dan Van menjadi fotografer. (Randy Radic)




" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448556/31-tahun-tak-tersentuh-hukum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952268000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400586" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/hukuman-dunia-maya_john-schnobri-20220803021504.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(124) "Ada kasus bunuh diri gadis remaja setelah melakukan kencan online. Setelah pelakunya diketahui, masyarakat pun balas dendam." ["section"]=> object(stdClass)#64 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/hukuman-dunia-maya_john-schnobri-20220803021504.jpg" ["title"]=> string(18) "Hukuman Dunia Maya" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:15:23" ["content"]=> string(10596) "

Intisari Plus - Ada kasus bunuh diri gadis remaja setelah melakukan kencan online. Setelah pelakunya diketahui, masyarakat pun balas dendam.

-------------------

Kisah diawali dengan cerita cinta monyet antara Megan Meier (13) dengan pemuda enam belas tahun yang amat menarik bernama Josh. Kisah cinta khas remaja masa kini: lewat internet. Mereka berkenalan lewat blog MySpace. Kemudian, entah apa yang terjadi, pada 16 Oktober 2006, Josh memutuskan hubungan begitu saja. Tidak hanya itu, pemutusan cintanya dengan kata-kata yang sangat menusuk, “Have a shitty life. Dunia akan lebih enak tanpa ada kamu.” Malam itu, Megan gantung diri dengan ikat pinggang kain di dalam lemari pakaiannya.

Tragisnya, “Josh” ternyata hanya tokoh rekaan yang dibikin oleh Lori Drew (47), masih tetangga keluarga Meier. Bahkan tinggalnya cuma berselisih tiga rumah. la melakukan itu hanya dengan motivasi ingin mengetahui pikiran Megan tentang anaknya, karena kedua cewek yang berteman tersebut sedang bertengkar.

Lebih dari setahun setelah kematian Megan, pada 13 November 2007, hasil penyidikan yang mengungkap tipuan Lori Drew via internet itu dimuat secara online di Suburban Journal St. Charles. 

Ron Meier, ayah Megan, begitu mengetahui bahwa alamat rumah, nomor ponsel, segala informasi tentang bagaimana mengontak keluarga Drew bisa begitu mudahnya diperoleh lewat Google, ikut berkomentar. “Wah, hebat tuh. Mestinya segala informasi itu dipublikasikan sejak dulu. Mereka harus dibikin menderita, walaupun tidak separah keluarga kami, tapi paling tidak mereka ikut merasakan penderitaan kami.”

Begitu tahu soal kelakuan Lori, Ron Meier dengan marah menerjangkan truknya masuk ke lapangan rumput di pekarangan keluarga Drew. Ia membuang sebuah meja permainan yang sudah dirusak habis-habisan. Sedianya meja itu akan diberikan kepada anak Drew sebagai hadiah Natal.

Menyusul tindakan Ron, 25 November 2006 Lori Drew sampai memanggil polisi. Bulan Desember Lori Drew kembali terpaksa harus menelepon polisi karena ada yang melempar jendela dapurnya dengan batu bata. Bulan Januari, kembali ia lapor ke polisi, setelah, menurut laporannya, Ron berteriak, “Siapa lagi yang mau kaubunuh hari ini?” Bulan April, ada lagi orang yang menembak rumah Drew dengan paintball. Gara-gara laporan di jurnal yang tidak mengutip Lori Drew secara lebih lengkap, komunitas internet sudah menjatuhkan vonis bersalah kepadanya.

Akibatnya? 

“Saya tidak tahu bagaimana persis kasusnya. Pasti lebih rumit dari yang saya pahami. Tapi laporan yang ditulis oleh Steve Pokin itu sungguh sudah cukup membuat saya geram,” ujar Moe, blogger di Jezebel. Dia ini salah seorang yang pertama-tama mendesak agar nama Drew dipublikasikan. “Kalau kami bisa berhasil membuat kedua orang itu menderita seperti korbannya, baru kami puas.”

Lori Drew ternyata tidak hanya membuat geram keluarga Meier. Entah berapa juta pengguna internet melancarkan serangan dan melontarkan kemarahan di dunia maya terhadap Lori Drew. Begitu hebohnya sampai komunitas kelas menengah bernama Dardenne Prairie, di mana kedua keluarga tersebut tinggal, dibuat grogi. Amukan jutaan orang disalurkan lewat media utama maupun blog. Alasan pertama kemarahan mereka, kenapa nama Drew tidak dimuat dalam laporan di jurnal itu. Kedua, betapa jahatnya Lori Drew. Teganya dia menipu Megan.

“Lori Drew tuh bertanggung jawab penuh untuk kematian Megan Meier,” cetus seorang blogger di Hits USA, “Sama saja seperti kalau misalnya ia menembak atau menusuknya.”

Memang, meskipun nama Drew tidak diungkapkan, detail-detail di dalam artikel tersebut memungkinkan pembaca melacak detail tentang keluarga Drew. Salah satu detail itu adalah nama bisnis periklanan Lori Drew yang bernama The Drew Advantage. Malah ada salah satu komentar mengatakan perbuatan Lori Drew itu layak mendapat ganjaran mati dilempari batu!

John Mclntntyre, tinggal di seberang rumah Drew terus terang bilang, “Terus terang saja, saya sendiri berharap moga-moga saja ada orang yang menjatuhkan bom di atas rumah mereka. Saya sih bukannya bermaksud melukai anak-anak mereka, tapi kedua orang tua mereka ‘kan mencelakakan anak orang lain lewat internet.” la mengatakannya sambil memeluk anak perempuan balitanya. “Saya membaca ada yang mengatakan bahwa Lori tidak mencelakakan Megan. Tapi dia ‘kan sudah 47 dan Megan baru 13. Dia tahu benar apa yang dia perbuat. Dia tahu bagaimana mengarahkan emosi Megan.”

Sayangnya, sampai sekarang tidak ada tuntutan yang bisa dilayangkan terhadap keluarga Drew. Dan itu mengesalkan banyak orang. Paling-paling yang bisa dilakukan walikota Dardenne Prairie, Pam Fogarty, adalah memberlakukan hukuman paling berat terhadap pelaku gangguan lewat internet (Internet harassment) yang hukumannya denda AS $ 500 dan 90 hari kurungan.

Akibatnya, banyak orang mengambil langkah-langkah main hakim sendiri - ya lewat Internet. Ada yang mengajak memboikot bisnis Drew, juga menghujani kotak suara telepon keluarga itu dengan sumpah-serapah.

Belum lagi yang terjadi langsung secara fisik di rumah keluarga Drew. Serangan-serangan terhadap mereka membuat polisi benar-benar khawatir. Patroli serentak segera ditingkatkan frekuensinya sejak berita ini tersebar. “Pada dasarnya, yang mereka lakukan terhadap keluarga Drew dan anak gadisnya sama saja dengan yang dilakukan Drew terhadap Megan,” kata Lt. Craig McGuier dari Kepolisian St. Charles County. “Kami sungguh khawatir dengan adanya ancaman-ancaman di Internet. Membuat kami semua merasa harus berjaga-jaga terus.”

Padahal, sampai kini belum diketahui siapa yang telah mengirimi Megan pesan terakhir yang sangat menusuk perasaan itu. Menurut laporan polisi, kemungkinannya bisa beberapa orang masuk ke MySpace sebagai “Josh”. Lalu, pesan terakhir yang dikirimkan kepada Megan itu ‘kan cuma dilihat oleh keluarga Meier, yang kemudian di-delete bahkan FBI pun tak berhasil melacaknya kembali. Maka sesuai dengan laporan di Suburban Journal, laporan itu diberi keterangan “sejauh ingatan Meier”.

Apa kata pakarnya? Thomas Oltmanns, profesor psikologi klinis di Washington University, bilang, “bahwa kalaupun Lori Drew benar-benar mengirimkan pesan yang kata-katanya mengandung “have a shitty life” itu, dia tetap tidak bisa ditunjuk bertanggung jawab langsung untuk kematian Megan. Harus ada faktor-faktor lain.” 

“Memang itu kata-kata yang sangat menyakitkan. Tapi, kalau kita kirimkan tulisan seperti itu ke seratus anak lain, apakah mereka akan bunuh diri semua? Jelas tidak ‘kan?” jelasnya. “Bahwa kata-kata itu jadi pemicu, memang iya, tapi pastilah ada konteks yang lebih luas (yang menggiring Megan ke arah tindak bunuh diri).”

Pernyataan ini tetap saja tak mampu meredam kemarahan massa. Kemarahan itu secara langsung dan tidak langsung memberikan konsekuensi juga pada Waterford Crystal Drive. Sehari setelah artikel itu ditayangkan, ada panggilan iseng ke nomor darurat 911 yang melaporkan ada peristiwa pembunuhan di rumah keluarga Drew. Begini cerita Trevor Buckles tetangga sebelah Drew, “Menakutkan, benar.” Tetangga lain, Peter Kriss, malah sempat khawatir polisi salah mengira rumahnya sebagai rumah Drew. Syukurlah kini alamat keluarga Drew diumumkan secara online sehingga dia lega.

Hanya saja, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap keluarga Drew akibat dimuatnya data-data pribadi mereka di internet, misalnya di salah satu blog oleh pengirim anonim, siapa bisa melacak pelakunya? Soalnya menurut hukum Amerika Serikat, informasi yang dipublikasikan di situs atau Internet secara anonim, tak dapat dimintai pertanggungan jawab untuk akibat pemublikasian itu. Nah!

Sementara itu, teror masyarakat internet terhadap keluarga Drew belum juga menyurut. Malah kemudian muncul situs www.rottenneigbor.com yang menunjukkan citra satelit yang menunjuk ke lokasi rumah keluarga Drew. 

Menurut pembuat situs tersebut, Brant Walker, kalaupun keluarga itu akhirnya memutuskan pindah rumah, para pengguna situsnya tetap bisa mengunggah info terbaru tentang keberadaan mereka. “Saya rasa orang-orang berniat membalas dendam via internet,” kata Walker. “Kalau semua yang dikatakan tentang Megan itu benar, maka yang terjadi pada keluarga Meier memang sungguh lebih parah ketimbang yang sedang dialami keluarga Drew.”




" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400586/hukuman-dunia-maya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659536123000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400983" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/putri-tidur-meminta-9-nyawa_ma-20220803013635.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Gunung Tamalpais disukai para pendaki. Namun belakangan terjadi kasus pembunuhan di gunung tersebut. Ketenangan pun terusik dan teror merebak." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/putri-tidur-meminta-9-nyawa_ma-20220803013635.jpg" ["title"]=> string(29) "'Putri Tidur' Meminta 9 Nyawa" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:37:06" ["content"]=> string(32571) "

Intisari Plus - Gunung Tamalpais disukai para pendaki. Namun belakangan terjadi kasus pembunuhan di gunung tersebut. Ketenangan pun terusik dan teror merebak.

-------------------

Minggu, 19 Agustus 1979, telepon di kantor sheriff wilayah Marin County, San Francisco, berdering. John Kane, dengan suara terbata-bata berbicara lewat telepon. "Edda, istri saya, belum pulang. la berangkat tadi pagi mendaki gunung dan berjanji akan pulang sebelum senja. Tapi, sampai malam begini ia belum kembali."

Edda Kane bukan pendaki pemula. la sudah ikut tim pendaki untuk daerah Mount Tamalpais, sejak lima tahun yang lalu. Wanita berusia 44 tahun ini memang pencinta alam berat. Naik pagi turun sore untuk menghilangkan kepenatan sehabis bekerja bukanlah hal yang luar biasa. Itu adalah kegiatan rutin akhir minggunya.

Penduduk Mill Valley, yang jaraknya hanya 2 km dari San Francisco, ini bekerja di sebuah bank. Sementara sang Suami, John Kane, bekerja sebagai sales peralatan olahraga.

Mill Valley sendiri adalah sebuah kota kecil yang nyaman dan tenang, diapit oleh dua buah sungai, Old Mill Creek dan Orroyo Conte Madera del Presidio. Kota yang masuk dalam wilayah Marin County, San Francisco, ini memang tempat yang cocok untuk beristirahat akhir pekan. Sedikit berjalan saja, sekitar 2 mil, orang akan sampai di kaki Mount Tamalpais, gunung tinggi yang dijuluki The Sleeping Lady.

Rich Keaton, petugas jaga di kantor sheriff, pergi melakukan pengecekan ke lokasi yang dilaporkan oleh John Kane. Mobil Edda, sebuah VW kodok, terlihat di lapangan parkir Mountain Home Inn. Sementara anjing pelacak tidak dapat membawa para pencari menemukan Edda karena hari amat gelap.

Keesokan paginya, begitu matahari bersinar, para petugas pencari beraksi dibantu anjing pelacak. Edda ditemukan sudah tak bernyawa!

Posisinya seperti bersimpuh dengan wajah menelungkup ke tanah. la seolah-olah tengah memohon kepada seseorang sebelum peluru dari senjata kaliber .44, Bulldog, dimuntahkan untuk menghabisi jiwanya. Semua perlengkapan hiking-nya tercecer di tempat lain, jauh dari tubuhnya yang ditemukan tanpa busana.

 

Korban berjatuhan

Inilah pembunuhan pertama di tempat setenteram Mill Valley. Kota kecil itu gempar. "Buat saya, peristiwa ini sungguh menyedihkan. Orang tidak lagi bisa menikmati pendakian. Tak ada ketenteraman ketika tengah menikmati alam," keluh seorang ranger, Bob Walker. 

Dari keterangan para pendaki yang melakukan perjalan di sekitar Minggu naas itu didapat keterangan tentang seorang pemuda bergaya aneh dengan rambut pirang. Yang berwajib lalu membuat sketsa pemuda yang dicurigai tersebut.

Selain pemuda itu, sheriff juga curiga terhadap John Kane (60). Rich Keaton sempat mengawasi John selama beberapa lama. Namun, kecurigaan itu pun akhirnya gugur, setelah muncul alibi John yang kuat. Pada hari Edda dibunuh, ia terserang artritis dan hanya diam di rumah, menanti Edda. Sementara kehidupan John pun bersih dari penyelewengan, begitu pula Edda.

Kasus pembunuhan Edda Kane yang penuh misteri belum tuntas, ketika polisi mendapat laporan tentang ditusuknya Mary Frances Bennett yang sedang joging pada hari Minggu, 21 Oktober 1979. Tubuhnya yang penuh luka tikaman ditemukan tersuruk di sekitar Lincoln Park, San Francisco. 

Dua pembunuhan di atas, yang kebetulan korbannya wanita, membuat orang-orang sekitar San Francisco ketakutan. Mill Valley pun jadi sepi dari acara pendakian. Tapi buat Barbara Schwartz (23) rasa ketakutan itu sedikit demi sedikit terkikis setelah tahun 1979 dilewati.

Sabtu, 8 Maret 1980, Barbara Schwartz mulai mendaki Sleeping Lady. la sempat berkenalan dengan Pat dan Peter. Mereka bertiga naik bersama sampai pertengahan perjalanan. Setelah beristirahat, Pat dan Peter meneruskan perjalanan, sementara Barbara masih ingin duduk di bawah kerindangan pohon.

Saat itu sekitar pukul 17.30. Jan Christie, seorang pendaki lainnya, berjalan mendekati tempat Barbara. Cahaya matahari yang samar-samar lewat celah-celah pepohonan yang tinggi membentuk siluet tubuh Barbara yang seperti menari. 

Rambut wanita cantik itu seperti berayun, sementara seorang pria berhidung seperti elang berada di hadapannya. Jan Christie mengira lelaki itu teman Barbara, tetapi begitu ia semakin dekat, tampak sinar matahari menimpa benda logam berkilat. Mata pisau!

Pria itu berkali-kali menikam Barbara. Sementara tangan Barbara berusaha menahan serangan pria berambut licin tersisir ke belakang itu.

Akibat teriakan Jan Christie, pria itu lari meninggalkan Barbara yang langsung rebah ke tanah. Serta merta Jan Christie turun mencari pertolongan.

Dalam sekejap jalur pendakian gunung penuh polisi dan dokter. Namun, Barbara tak tertolong lagi. Bagian dada dan lehernya memperlihatkan bekas tikaman berkali-kali. 

Sebuah kacamata bifokus ditemukan di samping tubuh Barbara. Senjata yang dipakai menikamnya diperkirakan sebuah pisau yang panjangnya 10 inci dengan lebar 1 inci.

Pisau yang mematikan itu ditemukan pada tanggal 11 Maret 1980 oleh dua anak sekolah menengah di Matt Davis, jalur hiking paling rendah di sekitar Mount Tamalpais.

Berdasarkan keterangan Jan Christie, dibuat sketsa seseorang dengan ciri berusia antara 25 - 40 tahun, tinggi 5 kaki 10 inci, berat 77 kg, kelihatan ramping, berwajah bersih, berambut hitam bergaya modern dengan sisiran ke belakang. Hidungnya bengkok, mengenakan celana warna gelap dengan jaket kotak-kotak gelap.

Sementara sheriff Mill Valley, Al Howenstein, yang dibantu Detektif Rich Keaton dan Kapten Robert Gaddini masih direpotkan dengan kematian tiga orang wanita ini, di West Point Inn, areal yang masuk Mount Tamalpais, telah ditemukan lagi mayat Anne Elderson (26). Gadis cantik berambut pirang ini dilaporkan tidak pulang ke rumah sesuai janjinya pada orang tuanya pada Columbus Day tanggal 13 Oktober 1980.

Anne Elderson mati dengan luka tembakan di kepala, dengan posisi berlutut seperti posisi Edda Kane. Pakaiannya seperti habis dibuka. Pada celana dalamnya ditemukan bercak sperma.

Howenstein yakin, Trailside Killer beraksi lagi. Dari laboratorium kriminal di Santa Rosa, dr. Richard Waller bersama dr. Jindrich memeriksa semua temuan di tubuh korban. 

Sperma yang melekat di pakaian dalam Anne dideteksi, tipe sperma si pembunuh adalah tipe A dengan rumus PGM 1 + 1-. Sementara senjata yang digunakan adalah senjata kaliber .38, buatan Winchester. Kematian Anne akibat tembakan dari belakang pada kepalanya.

Howenstein mengamati kematian wanita-wanita di atas selalu terjadi pada hari libur. Edda Kane pada hari Minggu, Mary Frances hari Minggu juga, Barbara Schwartz hari Sabtu, sementara Anne pada Columbus Day. 

Bisa ditarik kesimpulan bahwa si Pembunuhnya adalah seorang pekerja. la melakukan aksinya pada saat libur. Selain itu, posisi para korban selalu berlutut, seolah-olah si Pelaku memaksa korban melakukan suatu ritual tertentu.

Belum lagi polisi Marin County rampung menyelesaikan perkara Anne Elderson, masuk laporan dari June Berry, teman keluarga McDermand, yang menyatakan selama beberapa hari ia tak mendapat telepon dari Helen McDermand. la ingin polisi mengecek keadaan nenek tua berusia 75 tahun itu.

 

Mantan napi sakit jiwa

Tanggal 16 Oktober, pukul 21.10, Deputi Miklos dan Cooper mendatangi rumah Helen McDermand. Mobil Helen ada di garasi, sementara ruang dalam gelap gulita. Kedua orang itu membongkar paksa kunci dan masuk ke dalam rumah. Dengan lampu senter, mereka memeriksa isi rumah. 

Ketika masuk ke dapur, tercium bau makanan basi dengan piring kotor bertumpuk. Ketika hendak melongok ke sebuah kamar, pintu sulit dibuka. Setelah didobrak paksa, terlihat sesosok tubuh lelaki terkapar di lantai dekat pintu dengan lima luka tembakan, satu di telinga kanan, empat melubangi belakang kepala.

Cooper memperkirakan paling tidak ia sudah jadi mayat 12 jam yang lalu. Miklos dan Cooper dengan mengendap-endap membuka kamar yang lain. Di atas ranjang terbaring tubuh renta seorang perempuan tua bermuka pucat. 

la tampaknya ditembak selagi tidur. Namun, di atas selimutnya ada secarik kertas yang berbunyi: "Hei otak udang, kalau kamu sedang membaca ini, kamu sudah terlambat! Tangkaplah saya lewat surat kabar atau majalah! Mr. Hate."

Yang tinggal di rumah itu adalah Helen McDermand (75), dengan dua anaknya Edwin (44) dan Mark (34). Jasad yang ditemukan adalah jasad Helen dan Edwin. Lalu, ke mana Mark? Rumah itu nampaknya sudah ditinggalkan selama beberapa hari.

Polisi pun melacak Mark McDermand, pegawai sebuah restoran di sekitar Mill Valley, Denny Restoran. Menurut Larry Norris, asisten manajer restoran, Mark minta dibayar lebih dulu pada hari Kamis, 16 Oktober 1980. la minta AS $ 100. Katanya, ia akan ke luar kota. Hal itu melanggar aturan perusahaan. la hanya diberi AS $ 50. 

Selain itu dari keterangan para tetangga, didapat informasi bahwa mereka mendengar bunyi tembakan pada Senin tengah malam tanggal 13 Oktober 1980, hari yang sama dengan saat Anne Elderson hilang. 

Mula-mula sebuah tembakan, lalu sunyi. Kemudian sebuah tembakan lagi, setelah itu terdengar lima tembakan tanpa henti. Pada hari itu Mark pulang dari restoran pukul 01.45.

Dari pemeriksaan kedua mayat, didapat data bahwa mereka dibunuh dengan senjata semi otomatis kaliber .22 dan ditembak dari jarak dekat.

Catatan polisi memuat nama Mark McDermand yang masuk penjara pada tahun 1961, saat ia berusia 15 tahun, karena mengancam dua pemuda dengan senjata. Di penjara ternyata ia diperkosa oleh narapidana lain, sehingga merasa trauma. 

Marlon Irving, teman lamanya, berpendapat, Mark sebenarnya orang yang toleran dan baik. Namun, rasa marahnya sudah tak terkendali ketika dua orang temannya menghina dirinya. Selain itu, sejak usia 7 tahun Mark diketahui menderita kelainan ensefalitis dan sering terkena blackout.

Sejak ia masuk penjara mentalnya amat terganggu. la pernah mencoba bunuh diri sekeluarnya dari penjara pada usia 19 tahun (Januari 1965), kemudian 1969, dan 1972. la juga keluar-masuk rumah sakit perawatan jiwa. la dirawat oleh psikiater, dr. Cress.

Bicara soal perawatan jiwa, ternyata dua anak lelaki keluarga McDermand sejak tahun 1959 bergantian keluar-masuk rumah perawatan jiwa. Mark dirawat sampai 6 kali, dan pada tahun 1970 Edwin dan Mark malah masuk bersama-sama di Mendocino State Hospital. 

Edwin didiagnosis menderita skizofrenia kronis, bahkan kemudian menjadi gila. Helen sering menengok mereka berdua di tempat perawatan. Namun menurut William Simmons, psikiater dan pekerja sosial pada Mendocino State Hospital, Helen terlalu memberi perhatian terhadap Edwin. 

Wanita ini cenderung skizofregenik, yakni individu yang lewat kata-kata atau sugestinya dapat membuat orang lain menderita gejala skizofrenia seperti halusinasi, ketergantungan, ritual, kepercayaan yang salah, dan khayalan.

Helen dan kedua anaknya terus hidup serumah, setelah suaminya meninggal pada tahun 1966. Rumah mereka yang kecil hanya mempunyai dua buah kamar. Sebuah untuk Helen, dan sebuah kamar yang lain untuk Edwin yang gila berat dan Mark. 

Dari teman-teman di tempat Mark bekerja diperoleh keterangan, Mark amat membenci kakaknya, Edwin. la merasa ibunya terlalu melindungi saudaranya itu dan ia pun merasa terganggu oleh penyakit Edwin.

Ketika Mark disarankan untuk pindah rumah oleh teman-temannya, ia merasa tak sanggup berpisah dengan keluarganya. Maka dari itu apabila merasa amat tertekan akibat situasi keluarganya, ia jadi tidak ramah terhadap teman kerjanya. Bahkan ia suka minum-minum sampai mabuk dan sering tak sadarkan diri.

Sejak Edwin dinyatakan sakit pada tahun 1968 - 1969, mulailah ada catatan kejahatan kecil yang dilakukan Mark, mulai dari pencurian mobil, uang, atau senjata. Foto Polaroid yang diambil tahun 1974 memperlihatkan seorang pemuda berambut pirang, dengan kacamata yang menutupi mata birunya!

Pengejaran terhadap Mark pun dimulai. Konon sebelum pergi pada tanggal 15 Oktober 1980, ia mampir ke apotek dekat Mill Valley dan berkata bahwa ia akan pindah ke Montana.

Selama tiga tahun belakangan ini, Mark sering berkorespondensi dengan Guy Wright dari San Francisco Examiner. Dalam suratnya tertanggal 19 Oktober 1980, ia merasa dituduh sebagai Trailside Killer. 

la membantah melakukan pembunuhan terhadap empat orang wanita di sekitar Mount Tamalpais. la memang sedang buron, dan tak segan-segan membunuh orang jika langkahnya terhadang. 

Namun, ia menyangkal melakukan pembunuhan terhadap empat wanita di atas. Mark pun diketahui mempunyai pistol kaliber .22 dan .38 buatan Smith & Wesson.

Surat-suratnya berdatangan dan ia tetap menyangkal sebagai Trailside Killer. Suratnya tertanggal 20 Oktober 1980 kepada Kapten Gaddini menjelaskan bahwa ia tidak terima dituduh sebagai pembunuh di Mount Tamalpais. la pun tak akan pernah mau masuk ke penjara. Gaddini meminta Mark untuk meneleponnya pada nomor 479-7233.

Pada sore hari masuk telepon ke kantor Gaddini, katanya Mark akan ada di Civic Center, San Rafael, dan akan membunuh atau bunuh diri. Namun, penelepon tidak memberitahukan namanya. 

Polisi San Francisco langsung ke sana dan menangkap seorang pemuda. Namun, pemuda itu lebih tinggi 2 inci dan rambutnya berwarna lebih muda. Setelah diinterogasi, pemuda itu dilepaskan karena bukan Mark McDermand.

Tanggal 24 Oktober 1980, Sheriff Howenstein, atas saran dr. William Mathis, psikolog, membuat tulisan di San Francisco Examiner yang menyatakan bahwa kalau mau menyerahkan diri, ia akan diperlakukan dengan baik. 

Gaddini juga dibimbing oleh dr. William Mathis dalam menghadapi telepon Mark. Usul itu mendapat tanggapan. Mark berkata, ia akan menyerahkan diri setelah urusannya beres. la minta waktu.

Pukul 15.00, tanggal 27 Oktober 1980, Mark masuk ke boks telepon umum dan menelepon Kapten Gaddini. la bercerita tentang senjata yang dimilikinya. Sebuah pistol kaliber .22 dan .38. 

la sekali lagi membantah menembak empat wanita di atas, tetapi mengakui membunuh Edwin dan ibunya, Helen. Sedangkan peluru yang tinggal sedikit di pistolnya dihabiskan untuk membunuh kucingnya yang sakit tumor. la mau menyerahkan diri, apabila tuduhan sebagai Trailside Killer dicabut.

Gaddini berjanji untuk tidak menghubung-hubungkan Mark dengan kematian empat wanita di atas. Maka pada pukul 16.00, 27 Oktober 1980, Mark menyerahkan diri. "Saya lelah pergi ke sana kemari, mulai Vallejo, Corte Maderan, Oakland, dan Richmond," katanya.

Sesuai dengan janji, Kapten Gaddini membuat pernyataan di depan pers, bahwa polisi belum dapat membuktikan hubungan Mark McDermand dengan pembunuhan empat wanita di Mount Tamalpais. Polisi masih mencari bukti-bukti lain. Meskipun begitu Mark tetap masuk penjara.

 

Sperma PGM 1+1-

Masyarakat yang yakin Trailside Killer sudah tertangkap merasa lega, biarpun Mark tidak langsung dikaitkan dengan pembunuh maniak itu. Namun belum sebulan Mark McDermand ditahan, dua gadis dikabarkan hilang ketika tengah melakukan pendakian ke Mount Tamalpais dari Semenanjung Point Reyes.

Tanggal 28 November 1980, Diane O'Connel dan Shauna May dilaporkan oleh teman-temannya hilang. Padahal sebelumnya mereka bersama-sama mendaki gunung dan saling berlomba untuk sampai di puncak. Tapi, begitu teman-teman mereka sampai di puncak, Diane dan Shauna tak muncul-muncul. Ditunggu sampai sore di bawah pun tak ada kabar.

Pencarian dilakukan selama dua hari. Seluruh ranger alias polisi hutan dimintai bantuan. Reno Taini, salah seorang ranger, akhirnya melihat sesuatu berwarna putih mencuat dari belukar. 

Setelah didekati ternyata itu adalah dua pasang kaki yang memakai sepatu hiking putih. Dua sosok mayat telungkup di tanah. Mereka sulit dikenali karena telah membusuk. Yang tersisa adalah blus dan celana jins saja.

Ternyata dalam pencarian Diane O'Connell dan Shauna May ini tak disengaja ditemukan sepasang mayat lagi yang sudah tinggal sisa-sisa saja. Ternyata mereka adalah Rick Stower, pengawas pantai Two Rock Station di sebelah barat Petaluma, dan tunangannya, Cindy Moreland. 

Dua saksi mata melihat mereka terakhir kali di toko buku di Point Reyes pada tengah hari tanggal 11 Oktober 1980.

Autopsi yang dilakukan dr. Waller dan Dr. Jindrich serta disaksikan oleh Ray Maynard dari kepolisian menerangkan bahwa keempatnya ditembak. Diana O'Connell ditembak dengan satu kali tembakan setelah mati, namun kematiannya akibat jerat di lehernya. Sementara Shauna May mati akibat ditembak dengan tiga peluru. Stower mati dengan tembakan sebuah peluru di kepala. Demikian juga Cindy. 

Para dokter yakin bahwa peluru yang ditembakkan ke Diane O'Connell dan Shauna May sama dengan peluru yang ditembakkan ke Cindy Moreland. Senjata yang digunakan adalah kaliber .38.

Pada mayat Diane ditemukan sperma pelaku, sementara pada Shauna ditemukan sperma di vagina dan anusnya. Pada Cindy ditemukan sedikit sperma di pakaian dalamnya saja. Rumusnya PGM 1+1-, sama seperti yang ditemukan pada Anne.

Ditemukannya empat mayat sekaligus tentulah membuat pihak berwajib turun tangan semua. Semua aparat bersatu untuk memecahkan persoalan ini sampai ke FBI. Psikolog yang berpengalaman selama 38 tahun, R. William Mathis pun ikut serta meneliti kasus pembunuhan yang dimulai sejak Maret 1980. la begitu shock akan kebrutalan si Pembunuh.

Berdasarkan pengamatan psikolog, si Pembunuh mempunyai masalah dengan wanita. Buktinya, korbannya selalu wanita dan sebelum dibunuh, mereka selalu menjalani ritual seolah-olah si Korban memohon agar si Pembunuh membiarkan mereka hidup. 

William Mathis memperingatkan Sheriff Howenstein akan aksi si Pembunuh yang pasti akan muncul lagi. Korbannya itu selalu dipilih dan sudah lama diamati. Tampaknya, pelaku mempunyai kelainan jiwa. 

Atas dasar itu disebarluaskan peringatan untuk tidak mendaki gunung sendirian, apalagi bagi wanita. Jangan pernah memisahkan diri dari rombongan.

Kantor Sheriff Howenstein pun membuka ruangan khusus untuk menampung informasi dari masyarakat yang melihat seseorang yang mencurigakan di sekitar tanggal-tanggal pembunuhan. 

Banyak informasi yang masuk, namun kebanyakan membingungkan. Salah satu informasi itu mengatakan, seorang pria selalu berada di sekitar tempat kejadian. la berkacamata, bertopi bisbol, memakai jins, dan ransel biru.

Sheriff Marin County sampai berani menaikkan uang imbalan dari AS $ 25.000 menjadi AS $ 37.000 bagi siapa saja yang bisa memberikan informasi tentang si pembunuh maniak. Sheriff dan aparat keamanan Marin County khususnya, begitu geram. 

Bagaimana mungkin tempat berlibur yang tenang bisa dijadikan tempat pembantaian. Padahal Mount Tamalpais yang cantik seperti putri berbaring itu sudah lama menjadi tempat rekreasi. Gunung itu melatarbelakangi Golden Gate. 

Jadi, jika melewati jembatan itu, orang akan begitu terpesona oleh paduan alam pegunungan dengan sungai yang mengalir di bawahnya.

Selain itu masyarakat pun resah. Mereka berdiskusi bagaimana mengatasi si Pembunuh, bahkan sampai diadakan kursus bela diri. Orang-orang yang tadinya tidak suka kekerasan, kini tiba-tiba membawa senjata ke mana pun mereka pergi. 

Hal yang tidak mengenakkan juga adalah kenyataan bahwa orang-orang saling curiga. Siapa tahu si Tetangga adalah si Pembunuh Maniak yang dicari.

Berbagai cara ditempuh untuk menjerat si Pembunuh. Salah satunya dengan memuat imbauan di media massa, agar si Pembunuh menyerahkan diri dan membuka kontak telepon.

Yang menarik perhatian adalah dua telepon yang masuk pada 4 Desember 1980, pukul 23.00 dan 23.24. Keduanya berasal dari suara yang sama. Suara seorang pria matang, tapi tampaknya dia seorang yang manja. Dia menyatakan dirinya sebagai si Pembunuh. la tahu banyak tentang pembunuhan itu. 

Ia mengaku sebagai orang buruan yang dikejar-kejar untuk disuruh membunuh. "Suara itu selalu menghantui saya. Saya selalu bermimpi tentang korban-korban saya dan saya tak bisa tidur," katanya. la meminta bantuan untuk menghentikan tindakannya. Sayangnya, telepon diputuskan, ketika William Mathis datang.

 

Pria berjaket kuning

Misteri terus menyelimuti pembunuhan demi pembunuhan. Sheriff Howenstein diminta untuk turun, karena tak berhasil menguak misteri pembunuhan beruntun ini. Namun, sebuah peristiwa di hutan Santa Crusz terjadi pada tanggal 30 Maret 1981.

Ellen dan tunangannya Steve pergi ke Santa Crusz untuk berlibur. Mereka berangkat tanggal 29 dan bermalam di sana. Pada tanggal 30 Maret 1981, pasangan itu berjalan-jalan sambil membuka peta. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mendaki Mount Tamalpais. 

Ellen yang suka hiking merasa jalur yang mereka pilih tidak terlalu berat. Tujuan mereka adalah sebuah tempat agak tinggi yang disebut Cathedral Grove, yang banyak ditumbuhi pohon tinggi dengan bentuk berkeliling seperti gereja gaya gotik. 

Perjalanan dari bawah ke Cathedral Grove memakan waktu 2 jam. Pasangan itu tengah menikmati pemandangan unik dari pepohonan ketika kilatan emas menyilaukan mereka. 

Ternyata seorang pendaki tampak turun dari atas menuju tempat mereka. Karena jaket orang itu berwarna kuning emas, sinar matahari memantulkan warna kuning emasnya.

Pria itu makin dekat, sementara pasangan ini sudah berniat turun untuk pulang. Mereka berpapasan. Tiba-tiba pria tadi meraih jaketnya, dan sesuatu terjadi begitu cepat. "Saya ingin kalian berdua ikut ke semak-semak," katanya mengancam.

Tanpa bisa berbuat apa-apa keduanya mengikuti kemauan pria itu. Steve mencoba membuka pembicaraan dengan mengatakan mereka tak membawa uang banyak. "S-sssaya tidak perlu uang atau barang! Saya perlu yang lain! Kamu pasti sudah tahu keinginan saya!" katanya lagi.

Ellen panik. "Steve, jangan percaya kata-katanya! la pasti akan membunuh kita!" Namun, Steve mencoba mengulur waktu dan mencoba mengingat-ingat wajahnya. Matanya besar, alisnya melengkung, kulitnya putih, rambutnya hitam, agak berombak di belakang. Lubang hidungnya lebar. Bicaranya pendek-pendek dan agak gagap.

Steve disuruh membelakangi dirinya. Begitu Steve berbalik, ia mendengar dua tembakan dilepaskan. Setelah itu ia merasa terpukul sesuatu di lehernya. Semuanya pun gelap.

Samar-samar ia masih mendengar langkah-langkah menjauh. Steve perlahan-lahan mencoba bangun dan mencari suara langkah itu. Di kejauhan, pria berjaket kuning emas berjalan turun. Steve merasa kepalanya sakit, tapi ia ingat Ellen. Ellen menelungkup di sebelahnya. Ketika ia berusaha membangunkannya, darah mengalir dari kepalanya. "Ah, Ellen!" keluh Steve terpukul.

Rasa sakit dan panik, takut si Pembunuh kembali lagi, membuat Steve menyeret tubuhnya untuk bangun. la mencoba mencari jalan turun. Di tengah jalan ia berpapasan dengan dua orang pendaki, Lee Fritz, dan anaknya, Ken. "Tolong, tolong, saya diserang orang. Ellen, kekasih saya ditembak!" katanya. la tak sadar darah mengalir dari lehernya. "Hati-hati, si Pembunuh masih di sekitar sini!"

Lee dan anaknya turun mencari bantuan. Steve yang ditinggal sendirian berusaha turun lagi. la bertemu dengan tiga pendaki lainnya, Rearden, Morse, dan Maureen Thorpe. Steve langsung ditolong dan dibaringkan di atas meja perkemahan. Maureen Thorpe, salah seorang pendaki, untungnya seorang perawat.

Sementara Steve berbaring ditunggui Maureen, Rearden mencari bantuan untuk mengangkut Steve, sementara Morse naik ke atas untuk mengecek kondisi Ellen.

Ketika Morse sedang menuju tempat Ellen, seorang pria berjaket kuning mendekati tempat Steve berbaring. "Lady, lekas lari, pria itu yang menembak saya," kata Steve sambil mencoba bangun dan menyelamatkan diri.

Maureen lari dan berhasil menyusul Morse. Sementara Steve turun ke bawah di mana banyak orang berkumpul untuk mulai mendaki. Jeritan kaget terdengar ketika mereka melihatnya bersimbah darah.

Steve dibawa ke rumah sakit dengan mobil sepasang suami-istri. Lee Fritz dan anaknya yang menghentikan mobil yang lewat. Ketika Lee hendak pulang, sebuah mobil van warna merah hampir melanggarnya. Pengemudinya pria berjaket kuning.

Lee Fritz curiga, "Mungkin dialah si pembunuh!" la pun memberi tahu polisi lewat telepon di lapangan parkir para pendaki.

Banyak saksi yang kemudian memberikan masukan ke polisi. Steve memberikan gambaran detail tentang si Penyerang. Begitu juga Lee Fritz dan anaknya, Morse dan Maureen Thorpe.

Polisi menyebarluaskan sketsanya sampai masuk telepon yang mengatakan, "Saya Roberta. Pria di sketsa ini adalah David Carpenter! la pernah hendak memerkosa anak saya! Dialah pria yang masuk penjara pada tahun 1960 di San Francisco karena melakukan penganiayaan.”

David Joseph Carpenter, memang bekas narapidana yang dipenjara tahun 1960 dan dibebaskan pada tahun 1969. la masuk penjara karena melakukan penganiayaan dan perkosaan terhadap Lois DeAndrade (32). Nona DeAndrade menderita memar di kepala karena dipukul kepalanya dengan palu.

Dari catatan pembebasannya diketahui adanya catatan tambahan saat ia menjalani masa percobaan menuju pembebasan: ia tak boleh berada dekat-dekat dengan wanita. 

Atas dasar konsultasi psikologi selama di tahanan, Carpenter mengaku, ia mempunyai keinginan besar dalam melakukan hubungan badan. Namun, ia juga membenci wanita. Karena menurut dirinya, wanita itu sama dengan ibunya yang amat mendominasi dirinya!

David Joseph Carpenter lalu ditangkap ketika sedang menuju tempat kerjanya. la mengenakan jaket kuning emasnya. Sementara barang bukti lainnya ditemukan di rumahnya, yang juga tempat tinggal kedua orang tuanya di Sussex Street 32. 

Dari penelusuran alibi, diketahui ia memang berada di sekitar tempat-tempat terjadinya pembunuhan. Selain itu, pada saat Edda Kane ditembak, tetangganya melapor, bahwa senjata kaliber .44-nya hilang. Sementara senjata kaliber .22 dan .38 ditemukan di mobil van merahnya yang hampir menabrak Lee Fritz! "Jangan s-ssakiti saya! S-ssaya warga yang baik!" katanya tergagap.



" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400983/putri-tidur-meminta-9-nyawa" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659533826000) } } }