array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3306305"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/the-yorkshire_neosiamjpg-20220603055249.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(149) "Bagaimana bisa seorang karyawan teladan di sebuah perusahaan bisa menjadi pembunuh berdarah dingin dan berantai sampai dijuluki The Yorkshire Ripper?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/the-yorkshire_neosiamjpg-20220603055249.jpg"
      ["title"]=>
      string(13) "The Yorkshire"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 17:53:19"
      ["content"]=>
      string(65175) "

Intisari Plus - Bagaimana bisa seorang karyawan teladan di sebuah perusahaan jasa angkutan bisa menjadi pembunuh berdarah dingin dan berantai sampai dijuluki The Yorkshire Ripper?

-------------------------

Pada suatu pagi yang dingin berkabut tanggal 30 Oktober 1975, tubuh seorang wanita ditemukan tergeletak menengadah di lapangan rumput yang agak miring di Prince Philip Playing Fields, dekat Scott Hall Road di Kota Leeds. 

Jaket dan blusnya dicabik dan BH-nya didorong ke atas agar tampak payudaranya. Pantalonnya diturunkan sampai batas lutut, meskipun celana dalamnya masih di tempatnya.

Tas tangannya masih tertambat pada nadi kirinya, seakan ia tetap memegangnya erat-erat ketika jatuh. Sedikitnya kepalanya pernah dipukul kuat-kuat, lalu tubuhnya ditikam beberapa kali. 

Ahli patologi Prof. David Gee, kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Leeds, kemudian menyatakan bahwa wanita yang malang itu menerima dua kali hantaman dengan suatu alat seperti martil. Satu di antaranya menembus ketebalan tulang tengkoraknya. Ditambah pula 14 tikaman senjata tajam pada dada dan perut, sekali lagi di leher.

Menurut Prof. Gee, tikaman­-tikaman itu dilakukan dengan pisau yang matanya tak kurang dari 3 inci panjangnya (± 7,5 cm) dan lebarnya kira-kira 3/4 inci (± 1,87 cm) dengan ketajaman pada satu sisi saja. Wilma McCann (28) terbunuh hanya kurang dari 100 m dari rumahnya.

Wilomena yang biasa dipanggil Wilma mempunyai empat orang anak, hidupnya tak keruan. Dia pernah dihukum karena mabuk, pencurian, dan tingkah laku tak senonoh. Polisi mencurigainya sebagai pelacur sambilan.

Suaminya, Gerald, yang bekerja sebagai tukang kayu, sudah meninggalkan Wilma dan keempat anak mereka, karena ia jemu dengan pertengkaran dan tuduh-menuduh antar suami-istri, terutama disebabkan kegemaran Wilma akan kehidupan malam dan sebab dia ngotot untuk mempunyai lusinan pacar.

 

Berpelukan menunggu mama

Tanggal 29 Oktober itu, pukul 19.30 Wilma sudah menanggalkan gaun rumahnya, berganti dengan blus merah muda, celana cutbrai putih, dan baju luar bolero biru tua. 

Ia mengucapkan selamat malam kepada anak-anaknya: Sonje (9), Richard (7), Donna (6), dan Angela (5). Setelah itu ia keluar lewat pintu belakang (para tetangga tak perlu tahu ia keluar tiap malam), melewati lapangan olahraga Philip ke arah tempat-tempat hiburan. 

Sekitar pukul 20.30 ia sudah menghangatkan badannya dengan beberapa sloki wiski dan sekian gelas bir di warung minum Kirkgate dekat pasar, lalu meneruskan petualangannya di beberapa rumah minum lain. Pada malam-­malam biasa, waktu penutupan di Leeds ditentukan pukul 22.30.

Dengan membekal piring plastik berisi kentang goreng dan saus kari, ia berjalan pulang. Di tengah jalan ia menghentikan sebuah truk untuk ikut menumpang, tetapi sopirnya langsung disambut dengan perintah diselingi makian yang diucapkan dengan aksen Skot medok, sehingga sopir hanya mengatakan “Sorry” lalu meneruskan perjalanannya, meninggalkan Wilma yang menggerutu sendiri di tepi jalan. Tetapi sebuah mobil lain berhenti.

Keesokan harinya, lewat pukul 05.00 anak tetangga Wilma terkejut melihat kedua anak tertua McCann saling berpelukan untuk menghangatkan badannya di dekat perhentian bus yang berkabut di Scott Hall Road. 

Mereka kebingungan mencari ibu mereka. Mereka telah mencarinya di jalan-jalan yang berdekatan, lalu memutuskan untuk menunggu di perhentian bus tempat ibu mereka biasanya turun sepulang dari pekerjaannya.

Lebih dari sejam kemudian, seorang pengantar susu melihat seperti ada orang-orangan, atau barangkali setumpuk pakaian tua di dekat Prince Philip Playing Field. Ia mulai mendekati benda itu ketika mendengar suara adik laki-lakinya yang berumur 10 tahun melengking menembus kabut, “Ada mayat!”

Sepuluh minggu kemudian, pada sore hari tanggal 9 Januari 1976, seorang pelacur ditemukan mati tertikam di Leeds. Barbara Booth (24) dan anak laki-lakinya (3) ditemukan bergelimang darah di ruangan duduk rumah mereka di Greenhaw Crescent Burley. Makanan berupa nasi dan kari yang telah hangus ditemukan masih di atas kompor. 

Ny. Booth tampangnya cukup cantik dan berambut pirang, pernah mengiklankan diri dalam sebuah majalah kontak. Di samping menjajakan seks, ia juga mengkhususkan diri dalam dunia foto model. 

Laki-laki yang diajaknya hidup bersama, Alan Ruddick, asal Hindia Barat, bekerja sebagai disc-jockey, menemukan Barbara terkapar di lantai, mengalangi pintu. Anak laki-laki mereka juga tergeletak dengan luka menganga di belakang lehernya. Televisi dan lampu-lampu masih menyala.

Beberapa hari kemudian seorang mahasiswa berumur 19 tahun, anak angkat sebuah keluarga kaya, ditangkap karena berturut-turut membunuh seorang nenek berusia 85 tahun dan seorang pemuda berumur 16 tahun. Kemudian ia juga mengaku membantai Ny. Booth dan putranya.

 

Keluarga yang malang

Belum sampai dua minggu setelah pembunuhan Barbara Booth, terjadi kasus berdarah yang menyangkut seorang wanita lagi. Emily Monica Jackson (42) tinggal di Back Green, Churwell, di pinggiran Kota Morley, di sebelah barat Leeds bersama suami dan ketiga anaknya. Suami Emily, Sydney Jackson, dikenal sebagai ahli atap di kotanya.

Pasangan ini gemar berekreasi selepas kerja. Hiburan mereka ialah minum-minum. Hampir setiap malam mereka keluar minum, tetapi tak pernah di desanya sendiri. Salah sebuah di antara tempat yang mereka gemari ialah The Gaiety, rumah minum bergaya modern di tepi Roundhay Road, Leeds, yang banyak dikunjungi pelacur. 

Kehidupan perkawinan keluarga Jackson ini bukan tanpa kesukaran. Pada suatu saat Emily pernah meninggalkan suaminya selama 18 bulan. Dalam tahun 1971 mereka mengalami musibah ketika Derek, putra mereka yang berumur 14 tahun, jatuh dari jendela kamar tidur di tingkat atas, lalu meninggal di trotoar. Bagaimanapun musibah yang ditanggung bersama itu mendekatkan pasangan itu kembali.

Dalam usaha untuk melupakan tragedi itu, mereka mengunjungi tempat minum hampir setiap malam. Mereka memang tak merahasiakan hal itu, tetapi ada segi lain dari hiburan malam mereka yang tak diketahui oleh teman-teman maupun tetangga.

Jackson mengatakan bahwa salah satu masalah berat dalam hidup perkawinan mereka ialah nafsu seksual istrinya sukar dipuaskan. Istrinya memang mempunyai sederet pacar, tetapi Jackson sudah·menerimanya dengan pasrah, bahkan belakangan ia sering pergi bersamanya ke Leeds dengan Commer birunya, yang bila perlu bisa dipakai oleh Emily sebagai tempat tidur.

Tak lama sebelum hari Natal mereka kekurangan uang dan Emily menyatakan bahwa sekarang ia akan mulai minta uang dari para lelaki yang mengajaknya berkencan. 

Hari Selasa, 20 Januari, tak berbeda dengan malam-malam lainnya. Paginya Jackson sibuk dengan perbaikan atap, tetapi sekitar warta berita pertama sore hari dibacakan di TV dan anak-anak sudah makan malam, suami-istri itu telah siap berangkat.

Emily selalu rapi berdandan. Ia meneriakkan selamat malam kepada kedua anaknya, Christopher dan Angela. Lima belas menit kemudian Jackson memarkir mobilnya di tempat parkir The Gaiety.

Mereka memasuki rumah minun itu. Beberapa menit sesudah tiba, Ny. Jackson sudah menghabiskan segelas birnya, lalu meninggalkan suaminya yang berdiri dekat bar. Dia bilang mau melihat­-lihat sambil mencari beberapa kenalannya.

Tiga perempat jam kemudian, pada pukul 19.00, seorang wanita penghibur yang duduk di luar melihat Emily Jackson, lalu keduanya berbincang-bincang sebentar sebelum Emily melihat sebuah Land Rover hardtop diparkir di dekat mereka di tepi jalan besar. Ny. Jackson meninggalkan wanita itu, lalu mendekati Land Rover itu. Sesudah dia memasuki kendaraan itu, Land Rover tersebut meluncur ke Glendhow Road.

 

Wanita pengamat

Ternyata wanita tersebut mengamati pengemudi Land Rover itu dengan cukup saksama. Ia mengatakan kemudian bahwa pengemudinya seorang pria sekitar umur 50-an, agak gemuk, dengan rambut sampai sebatas telinga, warnanya tak tentu, janggutnya lebat dan cambangnya pirang, hidungnya bulat yang rupanya seperti penyok. Matanya terpejam, seolah­-olah ia sedang tidur. 

Di mukanya mungkin ada parut bekas luka dan pada tangan kirinya ada bekas Iuka yang jelas, seakan-akan pernah terbakar dari pangkal jari sampai ke pergelangan. Tampaknya orang itu baru kembali dari tempat didirikan bangunan, dengan pakaiannya yang berdebu berupa sebuah jaket biru tua, celana terusan biru tua, dan mungkin sepatu bot atau wellington (semacam sepatu lars yang sampai melampaui lutut) warna hitam dengan telapak tebal.

Pada pukul 22.30, waktu tutup, Sydney Jackson keluar menuju ke mobilnya, tetapi tidak menjumpai istrinya. Ia menunggu lagi beberapa menit, mengira bahwa istrinya mungkin masih di bar lain dengan teman kencannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang saja naik taksi.

Mobil station itu tetap ada di tempat parkir semalaman. Esoknya lewat pukul 08.00, ketika keluarga Jackson mulai bangun dan mempersiapkan hari baru, seorang pekerja mengambil jalan pintas melewati sebuah gang sempit dari Manor Street ke Roundhay Road lewat beberapa gedung tak terpakai, kira-kira 500 m dari The Gaiety. 

Ia melihat sesuatu, waktu ia melewati lorong di antara dua gedung telantar itu. Tampaknya seperti benda berukuran besar dengan sesuatu yang mirip mantel menutupinya.

Benda itu ternyata sisa ragawi Emily Jackson yang diletakkan telentang dengan kaki terentang. Ia masih mengenakan kaus kaki panjang dan celana dalamnya, tetapi BH-nya dilepaskan. Tasnya ada di dekatnya, tetapi agaknya tak ada yang diambil.

Seperti juga Wilma, Ny. Jackson tewas oleh dua kali hantaman dengan sebuah alat menyerupai palu. Kemudian si pembunuh menusuk-nusuknya sampai 51 kali di leher, dada, dan perutnya. Di samping itu kekejian si pembunuh nyata dari tindakannya menginjak mayat. 

Bekas injakan sepatu bot berat tampak pada paha almarhumah yang sebelah kanan. Sepatu buatan Dunlop Warwick itu mungkin berukuran 7, tetapi tak lebih besar dari ukuran 8. Bekas tapak sepatu yang sama ditemukan di pasir.

Tak lama sesudah pukul 09.00, sejam setelah ditemukan mayat itu, Jackson yang kebingungan mengetuk pintu tetangganya untuk minta agar mereka mau mengawasi anak-anaknya jika pulang dari sekolah kalau ia tak ada di rumah. 

Ia mengatakan Emily mengalami kecelakaan, tetapi tak bisa mengatakan kecelakaan apa. Baru tengah malam ia dipulangkan oleh polisi. Besoknya ia hanya bisa duduk di kursinya dengan air mata mengalir sambil berkata, “Saya tahu apa yang orang duga. Tetapi saya tak melakukannya.”

Anak-anaknya pergi ke seorang kakak Jackson di bagian lain Leeds dan belum tahu tentang nasib ibu mereka. Tak lama kemudian mereka akan diberi tahu malapetaka yang menimpa keluarga mereka. 

Sementara itu polisi menduga bahwa setelah melihat ciri-ciri penganiayaan dan sifat-sifat luka yang diderita korban, pelaku kasus McCann dan Jackson itu sama orangnya. Empat bulan kemudian pembunuh itu beraksi lagi.

 

Mereka yang selamat

Hari Sabtu, 8 Mei 1976, Marcella Claxton yang baru berumur 20 tahun pulang berjalan kaki setelah pesta minum akhir pekan yang berlangsung sampai pukul 04.00. Sebuah mobil bercat putih berhenti di sampingnya. 

Meskipun malam itu Marcella “bebas tugas” ia toh minta menumpang pada pengemudinya, sekalipun jarak ke rumahnya sudah tak jauh lagi. Orang itu bukannya mengantarkan ke rumahnya, malah menuju ke Southern Field, suatu tempat rekreasi terbuka dekat Roundhay Field.

Pria itu menawarkan £ 5 untuk keluar dari mobil dan membuka pakaian, tetapi Marcella menolak. Marcella kemudian menuju ke belakang sebuah pohon untuk buang air kecil. Si pria yang dalam waktu bersamaan keluar dari mobilnya agaknya menjatuhkan suatu benda. “Mudah-mudahan bukan pisau,” kata Marcella. 

Pria itu menjawab bahwa yang jatuh dompetnya. Ia hampir selesai di belakang pohon ketika pria itu mendekatinya. Berikutnya yang dirasakannya hanya hantaman keras di kepala bagian belakang, disusul oleh pukulan sekali lagi. 

Waktu jatuh telentang di rumput, Marcella melihat tangannya sendiri berlumuran darah di tempat ia memegang rambutnya. Ia masih sempat melihat orang itu berdiri di dekatnya. Rambut dan janggutnya berwarna hitam keriting dan tangannya bergerak berirama di depan celananya. 

Ia kembali lagi ke mobil putih berkursi merah itu, tetapi kembali lagi. Agaknya ia membersihkan sesuatu, sebab ia membuang beberapa helai kertas tisu dekat Marcella. Ia menyisipkan lembaran £ 5 ke tangan Marcella sambil mengatakan jangan melapor kepada polisi sebelum bergegas ke mobilnya.

Marcella yang pakaiannya berlumuran darah setengah berjalan dan setengah merangkak ke boks telepon terdekat untuk memanggil ambulans. Luka menganga di bagian belakang kepalanya membutuhkan 52 jahitan dan ia harus menginap selama tujuh hari di rumah sakit. 

Berbulan-bulan setelah peristiwa itu ia membenci laki-laki dan tak tahan berkumpul dalam satu kamar dengan pria. 

Dia tidak keluar-keluar lagi dan tidak bepergian bila tak perlu. Depresi mental dan pusing-pusing di kepala masih sering mengganggunya. Waktu berusaha bekerja di suatu pabrik, Marcella terpaksa keluar lagi. 

Bahkan sesudah anaknya, Alan, lahir pada tahun 1981, waktu koran-koran memberitakan tertangkapnya orang yang dituduh menjadi pelaku pembunuhan-pembunuhan itu, ia tak terlalu menaruh harapan kepada masa datang.

Dia tak mengerti pernyataan para temannya bahwa dia “untung masih hidup”, bahkan ia sering ingin mati saja malam itu di Soldier Field. Matanya yang cokelat itu berkaca-kaca dan tangannya diremas-remasnya sendiri sambil memandang lantai rumahnya di Cathorne Terrace, mengingat-ingat malam seram itu. 

“Setelah saya memutar nomor 999 lalu terjerembap di lantai boks telepon, orang yang bermobil putih itu lewat lagi berkali-kali. Tampaknya ia masih mencari saya.”

Yang selamat tetapi menderita, masih ada dua orang wanita lain. Seperti Anna Patricia Rogulskyj dari Keighley yang mengalami musibah sama sekitar enam bulan sebelumnya. Kini pintu rumahnya di Highfield Lane diperkuat dengan jalinan kawat, tali, dan berbagai macam alarm. 

Dia sangat mencurigai setiap orang yang tak dikenalnya dan dia lebih suka tinggal di belakang pintu yang diberi perintang bersama lima ekor kucingnya. 

Di kepalanya ada cekungan yang dalamnya lebih dari 0,5 inci. Dia tak mau pergi ke penata rambut, sehingga harus memotong rambutnya sendiri. Ia dikenal di warung-warung minum di kota itu sebagai “Irish Annie”. 

Meskipun gelisah dan sering diberi obat penenang, tetapi ia masih mampu berdandan rapi kalau sedang keluar. Katanya, ia sering hidup dalam dunianya sendiri dan banyak menangis. Ia tak bekerja lagi dan pekerja sosial yang ditugaskan mendampinginya harus berbelanja untuknya.

 

Temannya tinggal kucing

Pada hari Senin, 7 Juli 1975, koran The Yorkshire Post memuat berita ini di halaman belakang untuk berita kota. Kepala beritanya berbunyi: “Wanita Masuk Rumah Sakit Setelah Diserang”. Selanjutnya terbaca: “Anggota-anggota polwan sedang menunggui seorang wanita cedera di Rumah Sakit Umum Leeds pada akhir minggu. 

Ny. Patricia Anna Rogulskyj, umur 34 tahun, diduga sudah bercerai, alamat Highfield Lane, Keighly, ditemukan dengan luka-luka di kepala di sebuah gang dekat Bioskop Ritz, sekitar pukul 02.00 pada hari Sabtu. 

Ia telah sadar kembali, tetapi masih dalam keadaan gawat dan para polwan itu menunggu di sisi ranjangnya sampai ia dapat memberikan keterangan mengenai apa yang terjadi.” 

Bahkan sampai sekarang pun Anna Rogulskyj masih sukar untuk melukiskan secara saksama apa yang menimpa dirinya pada malam tanggal 4 Juli itu. Wanita kelahiran Irlandia keturunan Polandia itu sudah bercerai dari suaminya sejak dua tahun lalu.

Pada malam tanggal 4 Juli itu Ny. Rogulskyj pergi ke Bradford untuk melewatkan malam panjang. Menjelang tengah malam ia ada di Bibby's Club. Dua orang Jamaika memberikan tumpangan sampai ke rumahnya. Ia tiba di rumahnya di Keighly sebelum pukul 01.00.

Ia mengira akan menemui pacarnya di sana, tetapi rupanya pacarnya sudah pergi lagi. Lalu ia memutar piringan hitam Elvis Presley kegemarannya. Lama-kelamaan ia mendongkol, lalu memutuskan untuk berjalan menuju ke rumah pacarnya untuk menegurnya. 

Ia berulang-ulang mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang membukakan. Kemudian ia menggedor-gedor sambil memanggil-manggil sekuat tenaga. Karena geramnya ia mencopot sepatunya, lalu memukulkannya pada salah sebuah jendela, tetapi tetap tak ada jawaban. 

Gaduhnya kaca berantakan membuatnya agak tenang kembali, lalu ia memutuskan untuk pulang. Tak lama kemudian pada pukul 02.20 suara rintihannya terdengar orang. 

Ia ditemukan rebah telentang dengan pakaian utuh di sebuah lorong gelap di belakang Bioskop Ritz, tak jauh dari tempat tinggalnya. Tasnya tergeletak di dekatnya, tetapi tampaknya tak ada yang dicuri.

Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Di sana diketahui ternyata ia menderita tiga kali hantaman kuat pada belakang kepalanya. Waktu para dokter melepaskan pakaiannya mereka menemukan luka-luka bacokan pada perutnya. Si penyerang rupanya menarik pakaian korban untuk melukai perutnya, kemudian mengembalikan pakaiannya pada keadaan semula. 

Luka kepalanya ternyata begitu gawat, sehingga ia dipindahkan ke RSU Leeds untuk menjalani operasi selama 12 jam. Pada saat tertentu ia sampai diberikan sakramen terakhir.

Polisi bingung karena tampaknya serangan ini tak mempunyai motif apa-apa. Perampasan dianggap mustahil dan tidak terbukti adanya serangan seksual. Teman prianya dan anak muda yang menemukannya di gang gelap itu akhirnya bisa ditemukan, lalu diinterogasi dengan ketat. 

Akhirnya, mereka dibebaskan kembali karena dapat membuktikan bahwa mereka bukan penyerang korban. Ny. Rogulskyj sendiri tidak ingat apa­apa sesudah memecahkan kaca jendela rumah temannya dengan tumit sepatunya.

Akibat malam celaka itu Ny. Rogulskyj yang bertubuh tinggi dan berambut pirang kelabu, harus menjalani kehidupan yang sepi di belakang pintu terkunci rapat dan tirai tertutup dengan hanya ditemani oleh kucing-kucing kesayangannya. 

Ia selalu hidup dalam suasana terancam dan ketakutan. Pada kesempatan langka kalau keluar rumah, ia selalu berjalan di tengah-­tengah jalan sebab takut pada bayang-bayang dan orang yang menyusul dari belakangnya. Dia selalu dikejar rasa takut akan diserang lagi.

 

Tengkoraknya seperti kulit telur remuk

Hampir 20 km sebelah selatan Keighley, antara Bradford dan Keighley, terletak kota kecil Halifax. Lima minggu lebih enam hari setelah Ny. Rogulskyj terkapar di gang gelap itu, Ny. Olive Smelt yang berumur 46 tahun bersiap-siap akan keluar rumah Jumat malam itu. 

Acaranya sudah tetap: menemui teman-teman wanitanya dan minum-minum di Halifax, lalu mampir di toko goreng kentang dan ikan untuk membeli makan malam keluarga.

Sebelum waktu kedai minum itu tutup, mereka bertemu dengan dua orang laki-laki yang mereka kenal, yang mengatakan akan memberi tumpangan kepada para wanita itu. Ny. Smelt berjalan kaki saja, sebab rumahnya tak jauh dari situ. 

Ia berjalan cepat-cepat, sebab khawatir toko kentang goreng sudah tutup sebelum ia sempat berbelanja. Waktu ia memintas lewat sebuah lorong, seorang pria yang berjalan di belakang mendahuluinya. 

Belakangan ia bisa menerangkan bahwa pria itu berumur sekitar 30 tahun, tidak tinggi, agak kurus, dengan rambut warna gelap dan berjanggut.

Ny. Smelt baru mendengar orang itu mengatakan, “Wah, cuaca kurang baik, ya?” ketika merasakan pukulan dahsyat di bagian belakang kepalanya, lalu sekali lagi sebelum ia roboh ke tanah. Ia masih mampu menyeret tubuhnya sendiri di sepanjang trotoar sambil berteriak minta tolong dan beberapa menit kemudian para tetangga sudah mengetuk pintu Smelt.

 Segera setelah sampai di rumah Ny. Smelt segera dibawa ke rumah sakit, tempatnya dirawat selama 10 hari.

Seorang anggota polisi yang melihat foto sinar-X kepala korban mengatakan bahwa tengkoraknya kelihatan seperti kulit telur remuk. Meskipun pakaiannya terganggu, baru sesudah para dokter menanggalkan rok dan pakaian dalamnya mereka mengetahui adanya luka guratan 15 dan 20 cm panjangnya pada punggung Ny. Smelt, sedikit di atas pantatnya. 

Luka-luka itu mirip sekali dengan yang diderita Anna Rogulskyj. Juga tasnya ditemukan di dekat tempat itu tanpa diganggu isinya.

Para dokter berhasil menyelamatkan jiwa Ny. Smelt, tetapi setelah keluar dari rumah sakit ia menderita depresi hebat dan kehilangan ingatan. Ia sama sekali tak merasa beruntung masih hidup. Ia diganggu oleh pergunjingan dan masalah keluarga. 

Anak tertuanya, Linda, menderita gangguan saraf yang menurut para dokter merupakan akibat serangan atas ibunya. Ia takut bepergian, bahkan kalau diantarkan suaminya ia selalu ingin cepat pulang. Ia takut melihat kerumunan orang. 

Di rumah terjadi berbagai pertengkaran keluarga. Mulut-mulut jahat mempergunjingkan bahwa dia pelacur dan dia merasa selalu dipandangi orang.

 

Jalan sepi dari pelacur

Kira-kira 13 bulan setelah terbunuhnya Ny. Jackson, pada hari Minggu, 6 Februari 1977, seorang akuntan bernama John Bolton melakukan lari pagi di Soldiers Field. Ia melihat seorang wanita di tanah di belakang gedung olahraga. Ia bertanya, “Ada apa?” 

Polisi yang segera dipanggil, menemukan mayat itu dianiaya di luar batas. Kepalanya diremukkan dengan tiga kali hantaman alat pemukul seperti palu. Ia ditikam pada leher dan belakang lehernya, sedangkan di perutnya masih ada tiga tusukan senjata tajam. 

Prof. Gee memperkirakan waktu kematiannya sekitar tengah malam. Jadi, kira-kira setengah jam setelah ia keluar dari kamar sewaannya.

Korban dapat dikenali sebagai Irene Richardson (28), ibu dua orang anak perempuan, masing­ masing berumur 4 dan 5 tahun. Kedua anak itu hidup bersama orang tua pungut, karena ibu mereka tak mampu memeliharanya. 

Irene sendiri tidak mempunyai tempat tinggal yang pantas. Terdesak oleh kebutuhan ekonomi, ia berkeliaran di sudut-sudut jalan Chapeltown untuk mencari pelanggan. Pada malam tanggal 5 Februari itu ia meninggalkan kamar sewaannya di Cowper Street pada pukul 23.30, sambil mengatakan bahwa ia akan ke kota, ke Tiffany Club. 

Di tempat pembunuhan ditemukan bekas ban mobil yang sangat jelas. Berkat kerja sama dengan pembuat ban, polisi bisa menentukan merek dan ukuran ban secara cepat. 

Tetapi ternyata ada 26 merek mobil yang bisa menggunakan ban ukuran itu. Tidak putus asa oleh hal itu, secara diam-diam polisi mengadakan pemeriksaan atas sekitar 100.000 kendaraan yang mungkin memakai ban tersebut. 

Sementara itu di kedai-kedai minuman, kelab-kelab malam, toko-toko, dan sudut-sudut jalan di Chapeltown, tempat berhimpunnya wanita penghibur, cerita tentang The Ripper mulai berkembang. Jack the Ripper ialah julukan bagi pembunuh tak dikenal yang dalam abad XIX meneror Kota London dengan menggorok leher para pelacur di sudut jalan­ jalan berkabut. 

Sesudah terbunuhnya Irene Richardson, selama beberapa minggu jalan-jalan Chapeltown sepi dari wanita jalanan. Mereka yang pemberani atau nekat beroperasi, berduaan atau bertigaan, dengan salah seorang mencatat mobil calon pelanggannya.

Polisi juga memperingati mereka agar tidak beroperasi di jalan. Juga para detektif lebih sering mengunjungi tempat tinggal mereka untuk mencari keterangan tentang pembunuh keji itu. 

Mereka beranggapan bahwa orang yang membunuh tiga orang wanita yang melacurkan diri, tentunya akan dikenal juga oleh rekan-rekannya yang lain.

 

Di rumah juga jadi korban

Baru dua bulan lebih kemudian sang pembunuh beraksi lagi. Patricia Atkinson, janda cerai dengan tiga anak perempuan kecil­-kecil, yang hidup sendiri di sebuah flat di Oak Avenue, tidak pernah memikirkan bahaya akan menimpa dirinya seperti rekan-rekannya, sebab dia beroperasi di rumah. 

Wanita yang sering dipanggil Tina ini tak pernah menjajakan diri di jalan atau berhubungan dengan pengendara mobil yang tak dikenal.

Pada hari Minggu, 24 April, seorang temannya mengetuk pintunya pada pukul 16.30, tetapi tak ada yang menjawab. Ia mencoba membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Ia masuk perlahan-lahan karena kemungkinan Tina menerima tamu. 

Tapi dia sudah tahu kebiasaan Tina: setelah bekerja keras dan mabuk malam Minggu, ia selalu melewatkan hari liburnya dengan tidur. 

Waktu melewati ambang pintu ia melihat genangan darah beberapa tindak dari pintu masuk. Ketika memasuki kamar tidur ia melihat temannya itu rebah di ranjang tak bernyawa, ditutupi oleh selimut.

Prof. Gee yang datang bersama polisi menyingkapkan selimut itu. Wajah korban hampir tak dapat dikenali. Menurutnya, korban disergap sewaktu memasuki pintu rumahnya, kemudian dipukul kuat-kuat sampai empat kali pada kepalanya. 

Pembunuh membuka mantel luar korban, lalu meletakkannya di alas tempat tidur. Celana jinsnya ditanggalkan, kemudian dinaikkan lagi sebagian. Ia ditikam empat kali pada perut. 

Agaknya pelakunya juga mencoba menikam di bagian punggung, tetapi tak sampai menggores kulit. Lebih jauh polisi menemukan tapak bekas sepatu lars merek Dunlop Warwick pada seprai ranjang, serupa dengan yang ditemukan pada paha Emily Jackson.

Pada tanggal 26 Juni korban jatuh lagi. Kali ini bukan perempuan yang berkeliaran di jalan atau membuka praktik di rumah sendiri, melainkan seorang gadis baru lepas sekolah berumur 16 tahun, Jayne Macdonald. 

Hari Sabtu sore itu Jayne berpamitan pada ayahnya untuk berdansa. Keesokan harinya mayat karyawati bagian sepatu dari sebuah pasar swalayan itu ditemukan oleh anak-anak yang sedang bermain. 

Pola pembunuhannya sama dengan yang lain. Dia dipukul tiga kali pada kepalanya, lalu ditikam beberapa kali di dada dan sekali pada punggungnya. 

Untuk pertama kalinya pembunuh gelap itu memilih korbannya seorang wanita bukan pelacur. Hal itu membuat seluruh masyarakat tersentak.

Sementara itu polisi telah mewawancarai 679 rumah tangga di 21 jalan di sekitar tempat kejadian. Sekitar 3.500 pernyataan telah dicatat, banyak di antaranya berasal dari pelacur. 

Dua belas bulan sebelumnya, 152 orang wanita ditangkap atas alasan pelacuran. Tetapi tampaknya polisi tidak lebih maju setapak pun dalam usaha menangkap The Ripper, pembunuh yang nama julukannya mulai dikenal seluruh dunia.

Jean Jordan mula-mula melarikan dirinya dari rumah orangtuanya ketika masih berumur 16 tahun ke Manchester. Secara kebetulan ia bertemu dengan Alan Royle, seorang juru masak. Karena kasihan, Royle mengajaknya tinggal bersama di flatnya. Kemudian mereka menikah dan punya anak dua orang. 

Setelah kelahiran anak keduanya, hubungan mereka menjadi renggang dan masing-masing menuntut hidup sendiri­-sendiri walaupun masih seatap. Jean bergaul dengan teman­ temannya sendiri dan terjerumus dalam dunia pelacuran.

 

Lembaran uang £ 5 diperiksa

Pada malam tanggal 1 Oktober 1977 Jean Jordan diajak oleh seorang pengendara Ford Corsair warna merah dengan imbalan £ 5, bayar di muka. Di tempat sepi yang diusulkan oleh pengendara itu untuk melaksanakan kencan mereka, Jean dipukul dengan martil sampai 13 kali, lalu disembunyikan di semak-semak. 

Alan Royle tidak cemas istrinya tak pulang malam itu. Dia mengira Jean pergi ke Glasgow untuk menemui kerabatnya. Baru sepuluh hari kemudian mayatnya yang rusak ditemukan oleh seorang penduduk.

Polisi terperanjat dan heran melihat keadaan mayat, yang diserang secara membabi buta sesudah korban meninggal, seakan-akan pelakunya kalap. Pakaiannya dicabik-cabik, lalu ditebarkan ke segala penjuru. Lima hari kemudian tas Jean ditemukan, tak sampai 100 m dari tempat jenazah. 

Uang yang menurut suaminya berjumlah sekitar £ 15 yang ada di dalamnya ternyata lenyap. Tetapi dalam saku rahasia di bagian depan tas kulit imitasi itu ditemukan sehelai uang kertas £ 5 yang masih baru. Uang ini memberikan jejak baru bagi polisi yang melacak pembunuh massal itu. 

Bank of England membuka arsipnya. Akhirnya, mereka mengetahui bahwa uang kertas itu berasal dari kiriman ke cabang­cabang Midland Bank di Bingley dan Shipley, di tengah wilayah Ripper.

Polisi kini berusaha melacak penerima uang itu, karena menurut pemikiran mereka, orang yang menerima uang itu kemudian membayarkannya kepada Jean Jordan, lalu membunuhnya. Mungkin orang itu menerima uang tersebut dalam amplop gajinya beberapa hari sebelum Jean dibunuh. 

Uang kertas itu dikeluarkan hanya 14 hari sebelum hari Sabtu, ketika wanita malang itu menghilang. Kalau pembunuh Jean berhasil ditangkap, besar kemungkinannya mereka dapat pula menangkap The Ripper.

Ternyata melacak jejak ini tidak mudah, bahkan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bank yang bersangkutan membagikan £ 17.500 kepada sejumlah perusahaan di daerah Bradford dan Shipley yang mempekerjakan sekitar 8.000 karyawan.

Sementara polisi masih sibuk menelusuri jejak uang baru itu di antara sekian ribu karyawan yang diduga menerima uang itu, si Ripper telah beraksi lagi. Pada tanggal 14 Desember Marilyn Moore, yang mencari pelanggan di tepi jalan, ditegur oleh seorang pengendara mobil. 

Pria itu kemudian dikatakan berumur sekitar 30 tahun, berambut ikat hitam, berjanggut, mengenakan kemeja warna kuning, baju hangat biru gelap, dan celana jins. Orang itu menegur Marilyn, “Anda sedang melakukan bisnis?”

“Ya,” jawabnya.

Orang itu bertanya lagi, “Lima pon?”

Tawar-menawar selesai. Marilyn dipersilakan naik di samping pengemudi. Di tempat sepi orang itu menyarankan agar mereka parkir dan pindah ke bangku belakang. 

Waktu perempuan itu akan membuka pintu belakang, ternyata terkunci. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya dipukul sekuat tenaga. Ia tidak langsung roboh, tetapi masih bisa memegangi kepalanya sambil memekik sekuat-kuatnya.

Ia jatuh lalu dipukul lagi secara bertubi-tubi.

Marilyn Moore ternyata selamat meskipun mengalami cedera parah, karena si pembunuh khawatir akan jeritannya, ditambah dengan salak anjing yang mendatangkan orang-orang di sekitarnya. Marilyn berhasil diselamatkan oleh para dokter, tetapi seperti korban lainnya ia tetap menderita akibat penyerangan itu.

 

Celana dalam di gudang kayu 

Dalam bulan Januari 1978 polisi terpaksa menghentikan operasi pelacakan terhadap orang yang pernah memiliki uang kertas £ 5 itu. Ribuan orang telah diwawancarai, dan banyak pula yang masuk dalam daftar dicurigai, tetapi tak ada bukti-bukti lebih lanjut, sehingga tak ada seorang pun yang ditahan.

Dalam bulan Januari itu juga Yvone Pearson, seorang gadis panggilan berumur 22 tahun yang punya dua orang anak kecil, mempunyai pelanggan-pelanggan tetap yang namanya dicatat dengan rapi dalam buku catatannya yang berwama putih dan emas. Kebanyakan mereka itu orang berduit dan berkedudukan. 

Entah mengapa waktu itu usahanya sedang sepi, sehingga rupanya ia terpaksa beroperasi di jalan.

Menurut seorang rekannya, ia sudah tahu tentang bahaya Ripper, tetapi ia malah mengatakan bahwa ada juga yang terbunuh di rumahnya sendiri, sedangkan di jalan masih ada kesempatan untuk melepaskan diri. 

Yvone Pearson menghilang dalam malam dingin di bulan Januari. Mayatnya baru ditemukan dalam bulan Maret 1978 di bawah sebuah sofa terbalik di tanah tak terurus dekat Lump Lane, Bradford. 

Mayatnya sudah dalam keadaan rusak, tetapi masih dapat diketahui bahwa kepalanya dihantam dengan benda tumpul berukuran besar, sehingga Prof. Gee menduga bahwa alat pembunuhnya sebuah batu besar. Belakangan pembunuhnya mengaku bahwa ia tidak menggunakan martilnya yang biasa, tetapi sebuah palu berukuran besar!

Helen Rytka, seorang gadis berdarah campuran yang berwajah menarik, sering bermimpi memperbaiki nasibnya. Ambisinya ialah menjadi penyanyi lagu-lagu soul. Kenyataan sehari-harinya dia bekas seorang karyawati pabrik kembang gula yang menganggur, yang menjadi wanita jalan raya. 

Adik kembarnya, Rita, mendapat beasiswa untuk memasuki Batley Art College. Keduanya dibesarkan di panti asuhan, ketika ibunya yang berdarah Italia dan bapaknya yang seorang Jamaika, bercerai. 

Mereka biasanya beroperasi berdua. Sesudah berkencan sekitar 20 menit dengan seorang pria, masing-masing akan selalu bertemu kembali di depan sebuah WC umum.

Pada malam terakhir bulan Januari itu Helen diajak kencan oleh seorang pria yang naik sebuah sedan Corsair wama putih. Seperti biasanya ia mengajak laki-laki itu ke penimbunan kayu Garrard yang tak jauh letaknya. 

Keesokan harinya seorang sopir menemukan celana dalam Helen yang hitam di dalam gudang kayu itu dan penjaga gudang melihat bekas genangan darah di tanah tempat Helen dibunuh. Tetapi mereka anggap lumrah saja karena segala apa bisa terjadi malam hari di penimbunan kayu ini. Baru hari Jumat berikutnya polisi menemukan mayat tak jauh dari tempat itu, di bawah onggokan kayu.

Korban berikutnya adalah Vera Millward (41), bertubuh lemah, dan sedang sakit, ditemukan mati oleh tiga kali hantaman palu. Tidak puas dengan itu, pembunuh keji itu memporak-porandakan perutnya dengan senjata tajam. 

Ia terbunuh di tempat yang terang, di halaman rumah sakit Manchester. Seorang pria yang mengantarkan anaknya ke bagian gawat darurat mendengar tiga kali jeritan minta tolong, lalu sepi kembali.

Vera Millward, ibu tujuh orang anak, keturunan Spanyol, hidup bersama dengan seorang laki-laki Jamaika. Ia terpaksa menjual diri untuk menghidupi anak-anaknya. Ia hanya mempunyai sebuah paru-­paru dan telah mengalami tiga kali operasi. 

Yang terakhir dilakukan dalam bulan Mei 1978 itu juga. Selasa malam itu diduga Vera keluar untuk membeli dua bungkus rokok dan mengambil obat dari rumah sakit.

 

Surat dari pembunuh

Setelah peristiwa mengerikan ini, berbulan-bulan lamanya tak terdengar apa-apa tentang kegiatan si Ripper. Namun orang belum melupakan perbuatan-perbuatan kejinya. 

Di mana-mana ia masih menjadi pokok pembicaraan. Sementara orang menduga ia kembali menjadi orang biasa dan menghentikan kejahatannya. Ada pula yang menduga ia pindah ke tempat lain yang jauh.

Dalam bulan Maret 1978 George Oldfield, perwira polisi yang ditugaskan menangani pengusutan perkara si Ripper itu, menerima surat yang mengaku berasal dari penjahat tersebut. Surat itu dianggap biasa karena polisi menerima ratusan surat dari orang-orang aneh atau tidak waras.

Setahun kemudian Oldfield menerima lagi surat dari orang yang mengaku “Jack the Ripper” itu. Tak lama menyusul lagi dua surat serupa. Surat yang ketiga mulai diperhatikan karena memuat keterangan terinci tentang luka­-luka Vera Millward yang tak diketahui orang luar. 

Tes ludah di amplop tak berhasil menemukan apa­-apa. Pada amplop ketiga dapat ditemukan golongan darah B yang jarang di Inggris. Sementara itu para ahli pembaca tulisan menentukan bahwa ketiga surat itu berasal dari penulis yang sama. 

Surat yang ketiga mengancam bahwa korban berikutnya ialah “seorang sundal tua” dengan menyebutkan lokasinya di Bradford atau Liverpool (polisi tidak menyebutkan di mana tepatnya), ternyata tidak benar.

Tiga belas hari kemudian, pada tanggal 4 April, seorang sekretaris bernama Josephine Whittaker terbunuh di dekat rumahnya di Kota Halifax.

Malam itu Josephine berjalan sendiri pulang setelah berkunjung ke rumah kakek dan neneknya, acara tetapnya setiap minggu. Biasanya ia mengunjungi neneknya pada hari Minggu sore, tapi kali ini menyimpang dari kebiasaannya. Ia datang pada hari Rabu sore. 

Hari sudah gelap ketika Josephine berkemas akan pulang dan kedua orang tua yang sangat menyayangi cucunya itu menahannya agar mau bermalam. Josephine tetap hendak pulang dan menolak diantarkan. Jaraknya cuma 10 menit berjalan cepat.

Di tengah jalan ia ditegur oleh seorang laki-laki tak dikenal. Dia bertanya Josephine baru dari mana. Seperti si Topi Merah dalam dongeng ia menjawab: dari rumah neneknya. Lalu orang itu bertanya lagi pukul berapa. Sambil berbasa­-basi mengagumi tajamnya pandangan mata gadis itu yang bisa membaca waktu pada sebuah jam yang jauh. 

Dia cuma mengulur waktu dan mengambil kesempatan baik untuk mengeluarkan sebuah martil dari balik bajunya, lalu menimpakannya ke kepala Josephine. 

Waktu ia rebah di rumput, orang itu menyeretnya sejauh kira-kira 10 m ke tempat gelap, menjauhi jalan. Di situ ia menyingkapkan pakaian sang gadis, lalu menghujani bagian-bagian tubuhnya dengan tikaman sebilah pisau dapur.

Polisi tak mau menyerah kalah menjelang akhir Juli, ketika polisi melancarkan usaha pelacakan besar-besaran dengan mengerahkan segala dana dan daya yang tersedia, George Oldfield mengalami serangan jantung karena tekanan pekerjaannya. 

Selama dua tahun selanjutnya ia belum sembuh betul untuk bertugas kembali. Tugasnya dilanjutkan oleh Jim Hobson.

Sementara itu Ripper yang selicin belut itu masih saja bisa meloloskan dirinya dari jaring raksasa yang dipasang oleh polisi. Selepas musim panas ia bertindak lagi. Kali ini korbannya seorang mahasiswi tingkat tiga yang sedang belajar ilmu-ilmu sosial di Bradford.

Lewat tengah malam tanggal 1 September 1979 Barbara Leach, setelah bersantai dan minum-minum di rumah minum Manville Arms, berjalan menuju ke asrama dalam keadaan hujan. 

Belum sampai melangkahkan kakinya sejauh 200 m, pembunuh gelap itu menyergapnya dari belakang dengan hantaman palu mautnya. 

Besoknya polisi menemukan jenazahnya dalam keadaan menyedihkan. Ia dianiaya serupa seperti korban-korban sebelumnya di tempat terbuka di Ash Grove, dekat tempat pembuangan sampah, ditutupi dengan karpet bekas.

Dalam perburuan besar-besaran yang pernah dilancarkan dalam abad ini, polisi mempergunakan hasil teknologi mutakhir. Suatu program khusus dimasukkan dalam Police National Computer. 

Program itu mengerjakan suatu sistem pencarian kembali merek-merek mobil didasarkan atas angka-angka indeks. 

Komputer itu bisa memetakan dengan tepat pola aliran mobil individual, di samping informasi tambahan sehingga lebih memudahkan pencarian. 

Misalnya kalau di daerah pembunuhan dilihat sebuah mobil Ford Cortina biru, maka komputer bukan hanya dapat memberikan keterangan terinci tentang semua Ford Cortina warna biru, tetapi juga memisahkan mobil jenis itu yang dilihat di daerah yang diamati.

Kecuali itu memory bank-nya dapat mengingat waktu-waktu lain, tanggal-tanggal dan tempat-­tempat mobil tersebut dilihat orang. Pada akhirnya, polisi berharap bisa menemukan mobil yang dipakai oleh si pembunuh. 

Otak elektronik itu juga membantu mengesampingkan 200.000 buah mobil, suatu tugas yang akan menyibukkan sekian banyak anggota kepolisian selama berbulan-bulan. Tetapi kemudian ternyata bahwa pengusutan lewat komputer itu ada untung-ruginya. 

Mesin itu mengeluarkan terlalu banyak informasi sehingga polisi makin repot untuk mengecek kebenarannya. Pada permulaan tahun 1980 polisi dihadapkan pada jutaan fakta (5 juta dalam hal nomor mobil saja), sehingga mereka merasa kewalahan sendiri.

Penelusuran berdasarkan lembaran uang £ 5 yang ditemukan dalam tas Jean Jordan juga menemui jalan buntu, sekalipun para detektif telah bertugas selama tiga bulan di Kota Bradford dan menanyai sebanyak 7.764 orang yang dikaitkan dengan lembaran uang itu.

Setelah bekerja keras sekitar enam minggu, tim kepolisian itu menyaring, mengurangi jumlah itu menjadi sekitar 300 orang, di antaranya termasuk si pembunuh. Akhirnya, tim yang terdiri atas 60 orang petugas itu dapat membatasi kecurigaan mereka pada karyawan tiga perusahaan, yakni Clarks, Butterfield, dan Parkinson. 

Dalam proses pengusutan itu berkali-kali para petugas itu menatap muka dan berwawancara dengan si pembunuh, tapi entah mengapa mereka tak berhasil mengenalinya.

 

Rakyat marah

Sementara pihak yang berwajib tak henti-hentinya berusaha, jatuh lagi korban. Hampir setahun setelah terbunuhnya Barbara Leach, seorang wanita pegawai sipil bernama Marguerite Walls ditemukan mati tercekik dan remuk kepalanya di halaman berpohon rapat dari sebuah rumah megah di Farsley, Leeds. 

Orang meragukan bahwa ini pekerjaan si Ripper. Ada yang mengira bahwa ia sudah menghentikan perbuatan jahanamnya atau bahkan sudah bunuh diri diam-diam. Polisi menemukan ciri­ciri pembunuhan agak berlainan, yakni menggunakan jerat. 

Marqueritte Walls (47) pegawai Departemen Pendidikan dan llmu Pengetahuan pada tanggal 18 Agustus 1980 itu melembur sampai malam di kantornya. Ia pulang antara pukul 21.30 dan 22.30. Ia akan mengambil cuti sepuluh hari esoknya, karena itu hendak membereskan semua pekerjaannya di kantor.

Ia pulang mengenakan mantel hitam yang berpenutup kepala sambil menjinjing sebuah tas belanja dari kanvas yang berwarna hitam juga. Marqueritte hampir sampai ke rumah ketika ia melewati pilar-pilar besar pada akhir jalan masuk Claremont House, tempat tinggal Hakim Peter Hainsworth. 

Saat itulah si pembunuh mengalungkan tali jerat pada lehernya, lalu menyeretnya ke sebuah kebun. Keesokan harinya ia ditemukan oleh dua orang tukang kebun. Pakaiannya sebagian cabik­-cabik, tubuhnya disurukkan ke bawah timbunan potongan rumput. 

Beberapa bulan kemudian, pada suatu malam Selasa di bulan November yang basah dan gelap, seorang mahasiswi bahasa sedang berjalan pulang menuju flatnya di Lupton Court, Leeds. 

Jacqueline Hill adalah seorang mahasiswi yang serius. Gadis yang berpembawaan tenang, yang tertua di antara tiga bersaudara ini, sedianya sudah akan lulus dalam musim panas tahun berikutnya.

Pembunuh misterius itu mulai mengamatinya ketika gadis muda itu turun dari bus no. 1 di seberang pertokoan Arndale pukul 21.23. Lalu terlihat Jacqueline menyeberangi jalan, membelok ke kiri, melewati depan toko-toko, lalu memasuki Alma Road menuju ke flatnya yang jaraknya kurang dari 100 m.

Hanya beberapa meter dari Otley Road yang ramai, si Ripper memukul belakang kepala Jacqueline Hill, menyeretnya kira-kira 10 m ke suatu halaman kosong di belakang pertokoan Arndale di dekat tembok pemisah lapangan parkir pertokoan. Di situ, teralang oleh pohon dan semak-semak, ia menikam korbannya berulang-ulang.

Pembunuhan keji atas gadis tak bersalah ini menimbulkan kegemparan besar di Kota Leeds yang meluas ke seluruh negeri. Pada Sabtu malam sesudah pembunuhan itu para feminis di Leeds melancarkan demonstrasi yang meluap. Bioskop-bioskop diserang dengan melontarkan cat merah pada layar. 

Mobil-mobil digebraki dengan tinju. Anehnya, baru setelah seorang gadis dari kalangan menengah dibunuh di daerah elite timbul luapan kemarahan, padahal sebelumnya sudah ada tiga orang wanita baik-baik yang menjadi korban, belum terhitung para wanita jalanan yang menjadi korban di daerah lampu merah.

Sampai tiba tahun 1981, polisi yang mendapat tekanan berat dari pelbagai pihak masih belum juga menemukan titik terang dalam pengusutannya, sekalipun mereka terus berusaha sekuat tenaga dan kekuatan serta dana terus ditambah untuk memperkuat usaha itu.

 

Tertangkap tangan

Pada hari Jumat, 2 Januari 1981, Olivia Reivers (24) yang ibu dua orang anak meninggalkan rumah untuk mencari “objekan”. Olivia wanita keturunan kulit hitam berkulit sawo matang, bertubuh ramping, berambut lebat, pindah ke Kota Sheffield tujuh tahun berselang dari Birmingham. 

Olivia sudah cukup berpengalaman dengan segala macam laki-laki, banyak di antara pelanggannya laki-laki yang sudah beristri, ada yang malu-malu, ada yang gugup, kadang-kadang pria yang sukar dibangkitkan gairahnya. Menjelang pukul 21.00, Olivia bertemu dengan kawannya Denise, juga seorang keturunan kulit hitam. Lalu mereka berjalan bersama. Dalam waktu beberapa menit Denise hampir mendapat peminat. 

Sebuah mobil Rover 3500 warna cokelat dengan atap vinyl hitam tiba-tiba berhenti. Denise membungkukkan badannya untuk melihat wajah si pengemudi. Ia melihat sesuatu yang tak wajar pada mata yang gelap, hampir hitam, yang menatap matanya sendiri, seakan ingin menembusnya. 

Pria itu bertampang lumayan, dengan janggut hitamnya yang terawat rapi dan rambut yang hitam ikal. Tetapi matanya menakutkan. Sebab itu ia hanya berkata, “Sorry”, lalu berjalan terus.

Mobil cokelat itu meneruskan perjalanannya, tetapi kembali lagi sejam kemudian. Kali ini ia mendapat apa yang dicari. Olivia Reivers juga memandang mata laki­-laki pengemudi itu, tetapi ia tidak melihat sesuatu yang aneh seperti rekannya tadi. Lagi pula ia menawarkan £10. Mungkin agak di atas pasaran. 

Olivia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Beberapa menit kemudian mereka berdua·sudah ada di jalan masuk Light Trades House, tadinya rumah tinggal seorang industriawan kaya, sekarang kantor pusat Asosiasi lndustri Besi dan Baja lnggris di Sheffield. 

Laki-laki ini memang berbeda dengan yang lainnya yang sudah pernah dikenalnya. Ia malah ngomong tentang istrinya dan bahwa mereka tak mempunyai anak dan istrinya pernah mengalami keguguran.

Setelah beberapa lama, saya berusaha untuk memanaskannya, tutur Olivia kemudian, tetapi tak ada hasilnya. Ia tetap dingin seperti es. Ia mendekatkan badannya ke pria itu sambil membisikkan kata-kata rayuan dan tangannya mengusap-usap. Tetapi itu sia-sia juga.

Sementara itu tangan laki-laki itu tak tinggal diam. Ia bukan meraba tubuh lawan jenisnya, melainkan ke bagian-bagian rahasia di mobilnya. Otaknya sedang menimbang-nimbang senjata apa yang akan digunakan. Ada pisau tajam yang diselipkan di suatu tempat di dekat tempat duduk. 

Ia meraba kantungnya dan lewat lubang di situ tangannya menggerayang ke arah martil yang disembunyikan di punggungnya. Atau barangkali pakai tali saja? Atau lebih baik palu yang pada satu sisinya bulat dan lainnya rata, yang ditaruhnya di bawah jok pengemudi? 

Ketika Sersan Robert Ring dan agen polisi Robert Hydes dengan mobil patroli melewati Melbourne Road pada pukul 22.50 itu, mereka melihat mobil berwarna gelap diparkir di tengah-tengah jalan masuk Light Trades House itu. Mereka hampir merasa pasti tahu apa yang dilakukan pemiliknya.

Ketika ditanya, pria itu mengatakan ia bernama Peter William Sutcliffe dan perempuan itu teman kencannya. Tetapi Sersan Bob Ring tak pernah melupakan wajah orang yang pernah dihadapinya. Bukankah perempuan ini pernah diadili karena melacur? 

Saat Olivia dipindahkan ke mobil patroli, pria temannya menyatakan akan membuang air kecil dulu. Tanpa menunggu diberi izin, ia sudah melangkah ke tempat gelap, ke arah rumah yang tak didiami itu. 

Dia bukan melakukan hajat kecil, tetapi menaruh sebilah pisau belati dan palu dengan menyandarkannya pada dinding di sudut yang tak terlihat. Mudah-mudahan mereka tak mendengar apa-apa, pikimya. Lalu ia bergegas menuju ke mobil polisi kembali.

 

Nomor palsu

Mobil Rover itu diperiksa. Ternyata memakai nomor palsu yang dilekatkan dengan pita perekat. Seharusnya nomor palsu itu nomor sebuah mobil Skoda. STNK aslinya menunjukkan bahwa Rover itu milik seseorang bernama Peter William Sutcliffe, beralamat Garden Lane 6, Heaton, Bradford. Pria berjanggut itu mengakui bahwa itu namanya.

Di kantor polisi, perempuan itu segera mereka lepaskan. Tetapi yang pria harus tinggal lebih lama, sebab paling tidak dia dipersalahkan mengendarai mobil dengan nomor palsu. 

Sutcliffe mengakui bahwa ia mengambil pelat nomor itu dari tempat pembuangan mobil. Tuduhan mencuri dan mengemudikan mobil dengan nomor palsu merupakan pelanggaran ringan, tetapi polisi telah menerima instruksi agar memperhatikan secara khusus semua laki-laki yang ada kaitannya dengan pelacur. 

Dalam tahanan polisi, Sutcliffe masih sempat membuang sebilah pisau lagi ke WC yang diselipkan dalam celananya.

Dalam interogasi, Sutcliffe tetap tenang, bahkan ramah dan bersedia menjawab setiap pertanyaan. Polisi juga sangat hati-hati dan bersikap biasa, tanpa sekali pun menanyakan hal yang berhubungan dengan si Ripper. Hanya Sutcliffe agak heran mengapa minat mereka terhadapnya begitu besar, padahal tuduhannya sepele saja. 

Kini polisi mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan seorang laki-laki berjanggut, berambut hitam ikal, dan gigi depannya ada yang ompong. Juga bahwa pekerjaannya sopir truk dan hobinya mobil. 

Para pemeriksa mengajaknya mengobrol tentang mobil, sehingga mereka mengetahui mobil apa saja yang pernah dimilikinya, antara lain mobil-mobil yang disinyalir oleh para korban. Diketahui juga bahwa orang ini sudah pernah diwawancarai sehubungan dengan uang kertas £ 5 itu dan sepatunya berukuran 8, mungkin 7.

Sementara para pejabat kepolisian secara bergantian mengajak ngobrol Sutcliffe untuk mengorek keterangan tentang latar belakang kehidupannya dan mencari-cari apakah orang berjanggut ini ada hubungannya dengan pembantaian beberapa belas wanita, Sersan Robert Ring pada hari Sabtu malam telah mengambil suatu keputusan penting. 

Keputusan itu nantinya akan besar pengaruhnya atas jalan hidupnya sendiri, tetapi yang pasti hidup Peter Sutcliffe. Juga pada pejabat polisi dan sekian banyak orang lain yang terlibat dalam perburuan besar-besaran atas pembunuh yang diberikan julukan The Ripper itu.

Malam itu Ring memutuskan untuk kembali ke Light Trades House. Ia ingat pria berjanggut itu minta izin membuang hajat di suatu sudut. Apakah dia mendengar suara dentingan barang logam? Apa barangkali dia berkhayal saja? 

Dengan pengalaman 26 tahun sebagai anggota polisi, terlalu mudah kalau dia bisa dikibuli begitu saja. Sebaiknya dia pergi memeriksa. Ketika sampai di Light Trades House ia menuju ke sudut gelap itu, memutari tempat penyimpanan minyak untuk alat pemanas ruangan. 

Ia menyorotkan lampunya pada dinding dan di situ ia melihat sebuah palu dan sebilah pisau tergeletak di tanah.

 

Menyerah

Pada hari Minggu siang, akhirnya secara tak terduga Sutcliffe menyerah. Secara sukarela ia mengakui bahwa yang dinamai Yorkshire Ripper itu tidak lain daripada dirinya sendiri. 

Dalam 26 jam berikutnya para pejabat polisi mendengarkan untuk pertama kalinya perbuatan-perbuatan kejinya selama lima tahun terakhir, yang dikisahkan oleh pelakunya secara datar tanpa emosi.

Ia menyusun daftar yang begitu mengejutkan sehingga ada beberapa pejabat yang tak mempercayai ketelitiannya. Ia hampir­-hampir tak menyentuh soal alasannya, pernah ia mengatakan bahwa ia ribut mulut tentang uang kembalian £ 10. 

Tetapi mengapa Jayne Macdonald, mengapa Josephine Whittaker, Barbara Leach dan korban yang lain-lain yang belum pernah disapanya, diserang dari belakang? 

Kejadiannya sudah lima tahun berselang, tetapi ia masih ingat semuanya. Ia ingat betapa Wilma McCann yang agresif, mengatakan bahwa ia tak becus, meragukan kejantanannya. 

Ia ingat parfum Emily Jackson yang disebutnya murahan dan keras, dan mengatakan sepatah dua patah kata kepada Jayne Macdonald sebelum membunuhnya. 

Ia ingin kalau bisa memenggal kepala Jean Jordan dan menyembunyikannya. Ia masih mengisahkan bagaimana ia harus menindih tubuh Helen Rytka karena dua buah taksi parkir kurang dari 50 m di dekatnya. Ia harus berpura-pura seakan-akan pelanggan biasa. 

Waktu mereka keluar dari mobil sesudah kedua taksi itu pergi, ia mencoba menghantam kepala Helen dengan palunya, tetapi luput, mengenai pintu mobilnya. 

Josephine Wittaker diserang sebab di daerah lampu merah terlalu banyak polisi yang berkeliaran. Ia menjerat Margot Walls dalam usaha untuk menyesatkan polisi. Seorang korban lain diserang sebab roknya ada belahannya dan yang lain lagi sebab mengenakan jins terlalu ketat.

Di tempat kerjanya, Peter dianggap sebagai karyawan teladan. Perangainya berlainan dengan para sopir truk lainnya. Ia rajin dan pendiam. Pada permulaan tahun 1980 perusahaan tempatnya bekerja terpaksa mengeluarkan semua pengemudinya sebab dicurigai mencuri muatan, tetapi Peter tidak. 

“Peter tidak pernah tersangkut dalam kecurangan-kecurangan itu,” kata salah seorang majikannya di Clark. 

Pimpinan begitu terkesan oleh prestasi kerjanya, menganggap dia memiliki semua ciri yang harus dipunyai oleh pengemudi truk yang baik, sehingga ia difoto sedang menyetir truknya untuk menghiasi brosur promosi perusahaan truk itu.

Para teman, kenalan, dan keluarganya sendiri menganggap Peter seorang yang baik meskipun kadang-kadang agak aneh.

Sidang pertama untuk mengadilinya dibuka pada tanggal 29 April 1981. Sebelumnya sudah menjadi pendapat umum bahwa Sutcliffe sakit jiwa, menderita penyakit yang jarang terdapat tetapi jelas bisa ditentukan yakni skizofrenia paranoid. Penyakit itu dianggap tak bisa disembuhkan karena itu ia harus mengeram seumur hidup dalam rumah sakit jiwa.

Selama sidang diragukan apakah ia benar-benar sakit atau berpura-pura gila untuk meloloskan diri dari hukuman. Sutcliffe sendiri dengan gamblang mengakui bahwa ia telah membunuh 13 orang wanita. Para pembelanya berpegang pada paham bahwa Sutcliffe sakit jiwa, karena itu tidak bisa dimintai pertanggungan jawabnya. 

Peter Sutcliffe sendiri tidak mau mengakui bahwa ia gila, tetapi ini dilakukannya karena ia mendengar suara Tuhan di pekuburan yang memerintahkan dia melakukan semua itu. Ia bahkan mengatakan bahwa Tuhan melindunginya, sehingga polisi tak berhasil menangkapnya meskipun sudah berkali­-kali menanyainya sampai tak terhitung olehnya.

Sidang terakhir diadakan pada tanggal 22 Mei 1981. Juri harus bersidang selama enam jam untuk menentukan putusan." ["url"]=> string(58) "https://plus.intisari.grid.id/read/553306305/the-yorkshire" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278799000) } } }