array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3561138"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/beda-nasib-sejak-bayi_-pixabayj-20221111034140.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(126) "Tomy Sutomo mendapat rezeki nomplok berupa sejumlah uang. Tapi di dalam amplop itu juga ada pesan yang akan mengubah hidupnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/beda-nasib-sejak-bayi_-pixabayj-20221111034140.jpg"
      ["title"]=>
      string(21) "Beda Nasib Sejak Bayi"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 15:41:53"
      ["content"]=>
      string(26871) "

Intisari Plus - Tomy Sutomo mendapat rezeki nomplok berupa sejumlah uang. Tapi di dalam amplop itu juga ada pesan yang akan mengubah hidupnya.

-------------------

Udara menjelang siang di Pantai Kuta itu masih menyisakan sedikit kesejukan. 

Tomy Sutomo merasa hari itu adalah miliknya. Ketika membuka tasnya yang sudah lusuh, ia nyaris tak percaya, sebuah amplop secara misterius ada di dalamnya. Isinya dua lembar uang ratusan ribu rupiah. “Wah, rezeki nomplok,” pikirnya.

Berbulan-bulan sejak peristiwa bom yang meluluhlantakkan dua kafe dan menewaskan ratusan orang serta mematikan denyut kehidupan di kawasan Pantai Seminyak itu, ia hidup seperti gembel. Gara-gara kehilangan pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di sebuah bar, ia menganggur berkepanjangan.

Selama itu pula julukan tunawisma, pengembara dekil, atau gelandangan menempel pada dirinya. Demi mendapat sesuap nasi, ia rela menebalkan muka melakukan pekerjaan apa pun. Bahkan meminta-minta, mengemis, atau menipu dia lakukan. Padahal sebenarnya ia tidak ingin menjalani hidup seperti itu. 

Sekarang, untuk sementara, ia bisa tertawa lebar. Amplop itu terus dirogoh-rogohnya sekadar untuk meyakinkan, uangnya masih aman di tempatnya. Tapi bersamaan dengan itu tangannya menyentuh barang lain. Begitu diambil, ternyata secarik kertas yang bertuliskan, Harap uang ini diterima. Tak ada niat buruk apa pun terhadap Anda. Tolong datang ke sebuah rumah yang letaknya tertera dalam peta di balik kertas ini. Di sana Anda akan menerima nasib yang lebih baik. Ingat, hanya Anda yang tahu semua ini. Selamat menikmati mimpi indah.

Kening Tomy berkerut. la tak mengerti. Teka-teki apa ini? 

Tampangnya yang semula ceria kini pudar begitu saja. Di saat seperti itu, uang Rp 200.000,- membuat dirinya merasa kaya. Namun, isi surat yang menantang itu mengusik hatinya. la tahu, dirinya sudah terjebak. Tomy curiga, jangan-jangan ini satu mata rantai dari sebuah skenario kejahatan besar. Ledakan bom lagi?

Sebegitu murahkah orang seperti dirinya sehingga orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu memanfaatkannya? 

Baginya, uang Rp 200.000,- begitu berharga. Tuntutan perut tidak bisa ditawar-tawar. Namun, di sisi lain akal sehatnya mengatakan ia harus mengembalikan surat itu beserta isinya. Cuma, kepada siapa? Ataukah ia harus melapor ke polisi?

Belum juga ia mengambil keputusan, perutnya terus menggedor minta segera diisi. Sambil menghela napas dalam-dalam, Tomy meninggalkan gundukan pasir yang tadi didudukinya. 

Tanpa ragu-ragu Tomy lalu masuk ke sebuah warung makan yang ditata ala kafe. Sekaleng minuman ringan yang dingin dan dua potong donat mengusir rasa lapar dan dahaganya. Ditambah sepotong pastel ayam, energi dan semangat hidupnya pulih kembali. 

Sampai siang itu Tomy tidak tahu entah ke mana kaki akan melangkah. Ketika berjalan sambil mengisap rokok dalam-dalam, ia teringat ucapan temannya, “Sebenarnya, hidup ini tak ubahnya berjudi.” 

“Sekarang saatnya bagiku untuk membuktikan ucapan temanku itu,” bisiknya dalam hati.

 

Bukan mimpi

Hari sudah di ambang petang. Tomy menguak pintu gerbang dari besi di sebuah rumah tua. Jalan setapak berbatu kerikil membelah halaman luas dengan banyak tanaman yang tumbuh tak beraturan.

“Kiranya ini rumah yang dimaksud,” gumamnya sembari memperhatikan gambar petunjuk dalam kertas tadi. Ia masih termangu ketika suara dari dalam rumah itu tiba-tiba menyapanya. “Oh, Tuan Muda Jimy! Silakan masuk!” sapa seorang perempuan tua berpunggung bungkuk. 

“Akhirnya Tuan datang juga,” kata perempuan tua itu dengan mata berkaca-kaca.

“Duduklah dulu! Tante Ndari sedang tidur. Saya tidak berani membangunkan sebab beberapa hari ini penyakitnya kambuh lagi.” 

Sandiwara apa pula ini? Tomy merasa heran, sejak lahir sampai kini tak pernah sekalipun ia punya nama lain, sekalipun nama samaran untuk gagah-gagahan. 

Belum habis keheranannya, perempuan renta itu datang membawakan segelas air jeruk dingin. Diteguknya minuman itu setelah perempuan tua itu meninggalkan dirinya. 

Ketika hendak membuka kembali tasnya untuk memastikan isi pesan dalam kertas itu, perempuan itu muncul lagi. “Ndara Putri belum bangun. Tapi beliau sudah berpesan untuk menyiapkan makan malam dan kamar untuk Tuan Muda.”

Tomy hanya bisa menjawab dengan senyum yang dipaksakan. 

Kamar di lantai tiga itu sungguh terasa mewah untuknya. Meski tubuhnya letih, Tomy tidak bisa cepat tertidur. Pikirannya terus melayang, mencoba memahami peristiwa “aneh” yang terus mengiringinya sejak siang hingga malam ini.

Karena baru bisa terlelap setelah lewat tengah malam, Tomy bangun kesiangan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 08.35. 

“Ini namanya ‘kere munggah bale’ (gembel jadi raja),” batinnya ketika menyaksikan hidangan sarapan berupa beberapa iris roti panggang berisi daging asap plus apel. Namun, Tomy ingat pepatah, sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya toh akan tercium juga. Itu yang dia khawatirkan.

 

Ternyata buron

Selamat tinggal Tomy, selamat datang Jimy. Eh ... Jimy siapa? Tomy benar-benar ingin tahu dan harus mencari kesempatan untuk menyelidiki. Tapi tidak saat ini, sebab tiba-tiba Bi Sum, nama perempuan tua itu, muncul kembali.

“Rupanya, Tuan terlalu capek karena perjalanan panjang sehingga tidurnya pulas sekali,” sapa Bi Sum. 

“Aku harus hati-hati bicara,” pikir Tomy. Makanya, ia hanya menanggapinya dengan senyum.

“Tante biasa bangun pagi sekali. Tadi ia menanyakan Tuan, tapi ia melarang kami membangunkan Tuan,” sambungnya. “Sekarang Ndara sudah tidur lagi. Bangunnya nanti setelah sekitar dua jam. Maklum, sudah sakit-sakitan.” 

Tomy menanggapi dengan mengerutkan kening serta memasang ekspresi prihatin. “Sakit apa sih, Bi?” ia memberanikan diri untuk bertanya.

“Ya, sakit yang dulu juga. Macam-macamlah, ya rematik, pusing-pusing, juga kencing manis yang membuatnya harus selalu disuntik kalau makan.” 

Tomy mendengarkan sambil mengangguk-angguk. “Lalu, apa kata dokter?” 

Bi Sum menggeleng. “Dokter keluarga memberi macam-macam obat. Juga nasihat untuk diet dan berolahraga ringan. Tapi, Tuan tahu sendiri, Ndara itu sulit, suka mau-maunya sendiri.”

Kesempatan mengobrol dengan Bi Sum itu tampaknya dimanfaatkan betul oleh Tomy untuk mengorek informasi awal. Selanjutnya, selama sekitar dua jam sebelum Tante Sundari bangun, ia harus berjuang mencari informasi tentang jati diri Jimy. 

Semalam, saat berjalan menuju ke kamarnya, Tomy sempat melihat ada sebuah kamar kosong tak berpenghuni di lantai dua. Kini terlihat pintu kamar itu terbuka. Mungkin Sri, pelayan yang membantu Bi Sum, baru saja membersihkan kamar itu dan lupa menutup pintu. Di dalamnya berjajar rak buku, sebuah meja tulis besar dengan lampu baca, foto-foto di dinding, dan lemari tempat menyimpan arsip keluarga.

Saat yang dinanti itu pun tiba. Kebetulan tidak terlihat bayangan seorang pun di sekitarnya. Ia hanya mendengar bunyi dengung mesin cuci. Dari lantai dua itu Tomy bisa melongok ke bawah. Tampak Bi Sum dan Sri sedang sibuk bekerja di dapur dan ruang cuci. 

Di kamar itu ia menemukan album foto tua. Di setiap bagian bawah foto selalu tertera keterangan berupa tulisan. Ada potret wanita muda cantik dengan tulisan yang mulai pudar: R.A. Retno Sundari - Solo, 19 Desember 1951. Ada juga sejumlah foto keluarga. 

Yang paling menarik perhatian Tomy adalah foto seorang lelaki muda berwajah mirip sekali dengan dirinya. Bedanya, kulit lelaki itu kelihatan lebih terang. Di halaman lain, terpasang foto telanjang bayi montok dengan tulisan, R. jimy Sugiharto lengkap dengan hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran yang ... “Sama dengan hari kelahiranku?”

Pada album lain, di antara sekian banyak foto keluarga, terpampang foto Jimy berpose gagah di punggung seekor kuda besar. Ia merasa senyuman Jimy di foto itu seolah mencibir dirinya, “Jimy Sugiharto palsu!” 

Tomy tersadar, ia dikejar waktu. Dengan hati-hati ia mengembalikan semua album itu pada tempatnya. Saat menaruh sebuah album, selembar kertas koran meluncur dari dalamnya dan jatuh ke lantai.

Jantung Tomy berdegup kencang saat membaca judul berita di halaman koran yang mulai menguning itu. “Jimy Sugiarto Kini Buron”. Lelaki gagah dan kaya itu ternyata kabur dari sel penjara. Berita itu juga menyebutkan, ada pihak yang bersedia memberi hadiah uang bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi tentang keberadaan Jimy. Pasalnya, pihak tersebut merasa telah dirugikan oleh ulah Jimy. Foto-foto Jimy pun dimuat tersebar hampir di setiap halaman koran. 

Tomy cepat-cepat mengembalikan koran usang itu. Kakinya masih gemetar. “Aku harus cepat-cepat meninggalkan kamar dan rumah ini,” pikirnya. la tidak mau menjadi korban, menanggung perbuatan Jimy - orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Namun, ... terlambat. Saat ia melangkah mendekati pintu kamar, selintas bayangan mengadang jalan. 

Bi Sum muncul bagaikan hantu di siang bolong bagi Tomy. 

Celaka, apa yang akan dilakukan si nenek bungkuk ini?

Perempuan tua itu tersenyum dan menyapanya dengan ramah. “Maaf, saya lupa kalau Tuan Jimy ada di rumah.” 

Tomy terdiam. Bi Sum juga diam, tapi sepasang mata tuanya menatap sebuah amplop di genggaman tangannya. 

“Ada apa, Bi?”

Bi Sum tak menjawab, lalu mengulurkan amplop itu pada Tomy. 

“Ada uang di dalamnya. Tante memberikannya pada saya tadi pagi. Bila sampai jam setengah sepuluh Tante belum juga bangun, saya diminta menyampaikannya pada Tuan Jimy.”

Katanya lagi, Tante Ndari meminta supaya Jimy secepatnya meninggalkan rumah ini. “Uang itu cukup untuk biaya perjalanan ke Lombok. Di sana aman. Pagi buta tadi Tante mendapat telepon dari orang kepercayaannya. Katanya, rumah ini sudah diawasi, Tuan bisa tertangkap.” 

“Terima kasih, Bi! Saya pamit, sampaikan salam saya pada Tante!”

 

Gelandangan kaya

Pergi ke Lombok? Buat apa? Bukankah di luar rumah ini Tomy sudah menjelma menjadi dirinya sendiri kembali?

“Selamat tinggal Jimy Sugiharto, semoga nasibmu bukan nasibku!” kata Tomy dalam hati. 

Walaupun tanpa tempat tinggal dan pekerjaan tetap, kini Tomy merasa berbeda dengan para tunawisma lainnya. Itu semua gara-gara segepok uang dari Tante Ndari. 

Di sudut sebuah kafe dengan penasaran Tomy membuka amplop itu. Isinya ternyata tak kurang dari seratus lembar uang seratusan ribu rupiah. Sepuluh juta rupiah! Seumur-umur baru kali ini ia memegang uang sebanyak itu.

Dengan uang itu, Tomy ingin menutup sejarah masa lalunya yang buram. Tak ada lagi Tomy yang pengangguran. Tak ada lagi Tomy yang senantiasa dikejar-kejar orang karena utang. Tak ada lagi Tomy pengutil yang senantiasa berkucing-kucingan dengan satpam mal. Bahkan tak ada lagi lelaki bernama Tomy yang ditinggal pergi istrinya seperti lima tahun lalu. 

Sambil melahap nasi goreng dari gerobak dorong di lapangan parkir Pasar Kumbasari, ia memikirkan bagaimana caranya agar bisa segera kabur dari pulau ini. Setelah itu ia berharap bisa merasa tenang saat menggunakan uangnya.

Gara-gara uang Rp 10 juta itu, di pulau ini ia harus selalu waspada pada setiap orang asing yang ada di dekatnya. Siapa tahu, dia itu aparat atau pemburu hadiah untuk menangkap Jimy.

 

Gagal kabur

Malam itu Tomy masih harus mempertahankan gaya hidup lamanya menjadi “gelandangan”. Ia tidur di emperan toko. Makanya, ia terkejut ketika pagi-pagi sekali dibangunkan oleh seorang tukang parkir. 

Untuk menghangatkan tenggorokannya, ia menuju ke sebuah warung kopi yang mulai ramai pengunjung. la memesan segelas kopi kental dan tiga potong pisang goreng yang masih hangat. Sambil sesekali mengisap rokoknya, pikirannya terus berputar mencari jalan untuk segera meninggalkan pulau ini. 

Akhirnya, ia memilih suatu daerah di Jawa sebagai tempat yang ideal untuk bersembunyi. Setelah menyeruput habis sisa kopinya, Tomy segera beranjak menuju ke terminal bus di Ubung dengan naik angkutan kota.

Ia merasa lebih aman naik bus ketimbang naik pesawat untuk mencapai Surabaya. Menurut perhitungannya, berbagai urusan di bandara bisa menyulitkannya. Bukan tidak mungkin hal itu justru membawa dia masuk ke perangkap para pemburu hadiah. 

Setiba di terminal, belum ada bus yang akan segera berangkat menuju Pulau Jawa. Untunglah, ada sebuah minibus yang sudah mulai penuh penumpang bersedia mengangkutnya.

Sesampai di Pelabuhan Gilimanuk, sebuah feri baru saja meninggalkan dermaga menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Mau tak mau ia harus menunggu feri berikutnya. Selama menunggu keberangkatan, hati Tomy terus dihantui rasa waswas. Ia tak sabar ingin segera meninggalkan Pulau Dewata itu.

Untuk membunuh waktu, ia berjalan-jalan di sepanjang pantai. Hamparan air laut yang biru kehijauan, semilir angin pantai, dan panorama alam Pulau Menjangan yang tampak malu-malu di balik kabut mengurangi ketegangan perasaannya.

Di lidah pantai yang paling menjorok ke laut, ia melihat seseorang sedang asyik memancing. Sesekali pancingnya berhasil menggaet ikan yang lumayan besar.

Seorang pengemis menadahkan tangan, membuyarkan konsentrasi Tomy. Tanpa banyak pikir, ia mencabut dua lembar uang seribuan. Pengemis itu sejenak melongo sebelum menerima pemberiannya. Setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, peminta-minta itu pun pergi meninggalkan Tomy.

Sambil mengisap rokoknya, Tomy mengarahkan pandangannya kembali pada pemancing itu. Saat mengganti umpan dan menoleh kepada Tomy, ia menyapa dengan senyuman. 

Saat itu seorang lelaki bertopi dan berkacamata hitam berjalan mendekati Tomy. Tampaknya ia juga sedang menikmati suasana pantai pagi itu.

“Di sini tenang, ya?” sapa lelaki itu. 

Tomy menoleh pada lawan bicaranya. “Yah,” jawabnya pendek. Setelah menawari permen karet, lelaki itu meninggalkan Tomy bersama sang pemancing.

“Banyak ikannya?” iseng-iseng Tomy menegur. 

“Lumayan! Di tempat ini jarang ada orang memancing, padahal cukup banyak ikannya.”

Feri yang ditunggu-tunggu masih melaju di tengah Selat Bali. Rasa bosan bercampur waswas makin membelitnya. Tomy lalu berjalan menuju ke deretan warung di depan pintu masuk halaman pelabuhan untuk sarapan. 

la menyusuri jalan sepanjang pantai yang banyak ditumbuhi ketapang. Beberapa perahu nelayan yang sedang ditambatkan tampak bergoyang-goyang dipermainkan ombak tepi pantai.

Ketika hendak menyulut rokok di bibirnya, seseorang tiba-tiba mendekat. Tomy terkejut. Rupanya, lelaki itu hanya mau meminjam korek api buat merokok juga. Namun, saat ia menyodorkan korek api, tiba-tiba orang tak dikenal itu dengan cepat meringkus tangannya. 

“Lo, ada apa ini?”

Lelaki itu diam saja. Sebuah benda keras menekan perutnya. 

“Jangan berteriak, kalau tak ingin perutmu ditembus peluru!” 

Tomy tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali patuh pada perintah lelaki itu. Ia menurut saja ketika didorong masuk ke dalam mobil yang - entah kapan datangnya - tiba-tiba sudah ada di dekatnya.

Setelah masuk ke dalam mobil, lagi-lagi Tomy terhenyak. Lelaki bertopi dan berkacamata hitam - yang tadi memberinya permen karet - sudah ada di jok belakang. 

Perlahan-lahan lelaki itu melepas topi dan kacamatanya. Sama sekali dia tak menduga, di hadapannya kini muncul seseorang yang selama ini selalu menghantuinya. Lelaki itu Jimy. Jimy Sugiharto. 

“Kamu tentu sudah tahu siapa aku. Betul ‘kan?” tegur Jimy asli ramah. Namun, pistol di tangannya bukan pertanda ia punya niat baik.

“Seperti rencana kita ‘kan, Bos?” kata lelaki di balik kemudi sembari menoleh ke belakang. 

Sekali lagi Tomy terkejut, lelaki itu rupanya si tukang mancing di pantai itu.

“Ya, di sana aman.” 

Tomy merasa dirinya bak kelinci yang dengan mudah terperangkap masuk dalam jebakan pemburu. Nyawanya kini di ujung tanduk.

Tak sampai satu jam kemudian, dalam perjalanan menuju entah ke mana, mobil yang membawa Tomy menyusuri jalan yang membelah hutan di kawasan Bali Barat. “Daripada mati konyol, aku harus berbuat sesuatu,” katanya dalam hati. Nyalinya yang mulai mengembang menciut seketika manakala sebuah kendaraan lain menyusul mobil yang ditumpanginya. “Itu pasti komplotan mereka,” pikirnya. 

Di sebuah jalan yang tampak makin sepi, Jimy memperketat tali yang mengikat kedua tangan Tomy. Seperti dikomando, si pengemudi membawa mobil menerobos semak belukar. Tomy tampak pasrah dengan moncong pistol yang sepertinya siap menyalak. Jimy tersenyum. Namun, senyuman itu bagi Tomy lebih mirip seringai serigala lapar. “Aku tak mau ada yang mengaku-ngaku sebagai diriku!” hardik Jimy sambil menarik picu senjata apinya.

Terdengar suara ledakan memecah keheningan. “Matilah aku!” pikir Tomy. Namun anehnya, ia tidak merasakan apa-apa. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat pistol di tangan Jimy terlempar. Rupanya, sebutir timah panas menembus lengan kanan Jimy. Dengan lengan yang berdarah, Jimy masih mencoba menguasai dirinya. Tapi Tomy berhasil melepaskan diri. 

Sebaliknya, sepucuk moncong pistol lain kini menempel di pelipis Jimy. Aparat rupanya sudah merencanakan semuanya.

Sewaktu kawanan Jimy digiring ke mobil polisi, kembali Tomy dibuat terkejut. Sri, salah satu pembantu rumah tangga Tante Ndari ada di mobil itu. 

“Jadi?” kata Tomy terbata-bata. 

“Ya, saya Sri. Cuma sekarang saya sudah kembali ke pekerjaan semula.” 

“Jadi, Anda ini Polwan?” Sri mengangguk.

 

Ternyata sedarah

Esok harinya koran pagi memuat berita tentang keberhasilan aparat polisi menangkap kembali seorang buronan. Setengah halaman lainnya menampilkan foto Jimy Sugiharto dan Ajun Inspektur Polisi I Gde Sutaba - pimpinan operasi. 

AIP Sutaba, dalam suatu jumpa pers singkat mengatakan telah berhasil menemukan seseorang yang mirip dengan Jimy. Lalu, ia merancang sebuah operasi yang unik untuk menjebak buronan itu.

Belum selesai membaca surat kabar itu di ruang tunggu khusus, Tomy dipanggil menghadap petugas penyidik. Di ruang itu ia disambut dua orang petugas dengan ramah. 

“Terima kasih!” kata I Gde Sutaba dan Sri sambil menjabat tangan Tomy.

“Jadi, Pak Gde yang memasukkan amplop berisi surat dan uang itu ke dalam tas saya?” 

I Gde Sutaba hanya tersenyum. Sri, yang ternyata bernama Savitri, menuturkan hasil pelacakannya tentang riwayat Jimy Sugiharto dan Tomy.

“Jangan takut! Skenario ini tidak akan membawa Anda masuk penjara,” Savitri mencoba menenangkan Tomy yang tampak mulai cemas. 

Savitri lahir di sebuah desa di Palur, Solo, wilayah yang sama dengan tempat kelahiran Jimy Sugiharto. Tak heran, orang tua Savitri mengenal baik orang tua Jimy. 

Savitri kecil banyak tahu tentang kisah keluarga itu dari penuturan ibunya yang masih hidup dan beberapa sesepuh di daerah itu. Makanya, ia tak mendapat kesulitan berarti saat mengumpulkan data yang diperlukan untuk menangani kasus pelarian Jimy dari penjara.

Dulu ada pasangan suami-istri muda usia yang cukup bahagia. Suprapto, sang suami, bekerja sebagai pegawai negeri biasa. Setelah mendapat kesempatan belajar dan dipromosikan, ia lalu ditempatkan di Jakarta. Karena pertimbangan biaya hidup di ibukota yang tinggi, untuk sementara istrinya tetap tinggal di desa. 

Sampai suatu hari istrinya yang sudah hamil tua melahirkan bayi kembar. Yang lahir pertama diberi nama Jimy Sugiharto, bayi kedua dinamai Wien Sarwana. Rupanya, si ibu mengalami kesulitan saat akan melahirkan bayi keduanya. Menurut kepercayaan, bayi kedua itu dapat mendatangkan kesulitan hidup keluarga di kemudian hari. Maka, Wien Sarwana diputuskan untuk diasuh oleh orang lain agar keluarganya terhindar dari kesulitan. 

Ketika Jimy duduk di kelas 3 SD, Suprapto memboyong keluarganya pindah ke Jakarta. Kehidupan mereka makin membaik. Suprapto berhasil menjalin hubungan dengan kalangan orang penting di negeri ini. Setelah pensiun pun ia dipercaya mengelola beberapa perusahaan besar. 

Sayang, anak-anaknya terlalu dimanja sehingga menjadi orang yang manja pula. Sebagai anak tertua, Jimy pun dipercaya memimpin salah satu perusahaan. Namun, usahanya terancam bangkrut. Lebih-lebih setelah ayahnya meninggal. Tindakan Jimy mulai menyerempet-nyerempet hukum. Ia menjadi salah seorang yang menggelapkan uang negara. Belakangan ia menjadi buronan setelah meloloskan diri dari penjara.

Berbagai upaya petugas untuk menangkapnya selalu gagal. Karena itu dibuatlah sebuah operasi untuk menjebak dan menangkap Jimy dengan melibatkan seseorang yang diyakini sebagai saudara kembar Jimy, yaitu Tomy Sutama alias Wien Sarwana. 

Kisah hidup yang belum pernah didengarnya itu membuat Tomy sedih. Bukan hanya orang tuanya yang ingin menyingkirkannya, saudara kembarnya pun tak menginginkan dirinya. (Sast)

 

Baca Juga: Seorang Korbannya Maharaja dari India

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561138/beda-nasib-sejak-bayi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181313000) } } }