array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3561334"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/nyanyian-sang-putri_matt-botsfor-20221111035002.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(141) "Tahun 1986 Johnson & Johnson terkena kasus kapsul beracun pada produknya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh seorang wanita yang meracun suaminya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/nyanyian-sang-putri_matt-botsfor-20221111035002.jpg"
      ["title"]=>
      string(21) "'Nyanyian' sang Putri"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 15:50:18"
      ["content"]=>
      string(25317) "

Intisari Plus - Tahun 1986 Johnson & Johnson terkena kasus kapsul beracun pada produknya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh seorang wanita yang meracun suaminya.

-------------------

Tahun baru 1986 terasa kelam bagi Johnson & Johnson (J&J). Perusahaan Amerika Serikat itu diajukan ke meja hijau oleh tujuh keluarga, mewakili tujuh korban tewas dalam tragedi “kapsul beracun”. Mereka menghujat dan menuntut ganti rugi dari J&J dan anak perusahaannya, McNeil Consumer Products Inc., yang memasarkan obat pengurang rasa nyeri yang terkontaminasi sianida. Tylenol, nama obat itu, langsung menjadi musuh nomor satu masyarakat.

J&J makin terjepit setelah polisi sama sekali tak berhasil menemukan jejak misterius tercemarnya Tylenol. Penemuan pihak berwenang berhenti hanya pada dugaan bahwa sebagian obat asli telah dicampur sianida oleh pengoplos gelap sebelum botol Tylenol “aspal” dijual layaknya obat asli.

Padahal berbagai upaya mengungkap kasus ini telah dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai motif. Termasuk meneliti siapa kira-kira yang bakal meraup untung besar jika perusahaan raksasa AS itu mengalami prahara di lantai bursa. Maklum, tragedi kapsul beracun membuat saham J&J anjlok drastis. Celakanya, dari jutaan transaksi yang diperiksa, tak sedikit pun ditemui titik terang.

Sementara itu, masyarakat mulai resah. Drama pengoplosan mematikan yang tanpa jejak itu makin terasa mengerikan, setelah media massa, baik cetak maupun elektronik, meliput besar-besaran kemalangan J&J dan kegagalan polisi. Mereka menyebut kasus di Chicago itu sebagai kejahatan sempurna, the perfect crime. Memang demikian kenyataannya.

 

Menggali makam suami

Polisi dan FBI bak menjadi sasaran bulan-bulanan. Pekerjaan rumah yang satu belum selesai, tugas tak kalah berat sudah menanti.

Berita mengejutkan datang dari Seattle. Susan Snow, wanita berumur sekitar 40 tahun yang tengah menanjak kariernya didapati meninggal seusai menenggak dua butir kapsul Excedrin, bikinan perusahaan farmasi Bristol Meyers. Kapsul itu, seperti Tylenol, juga obat pengurang rasa sakit.

Susan dan suaminya, Paul Webking, memang dikenal sebagai penggemar berat Excedrin. Paul (45) sudah lama mengidap penyakit radang sendi. Untuk mengatasi rasa ngilu di pagi hari, biasanya sehabis bangun tidur atau setelah mandi ia menelan dua kapsul Excedrin. Pagi itu, 11 Juni 1986, ia beruntung lolos dari maut, karena kebetulan obat yang diminumnya kapsul yang asli, bukan hasil oplosan.

Nasib berbeda menimpa Susan yang “salah pilih kapsul”. Perempuan yang disenangi tetangga kanan-kirinya karena selalu tampil berenergi dan optimistis itu menelan dua butir yang telah teracuni. Kariernya yang tengah menuju puncak - dia baru saja dipromosikan sebagai vice president Puget Sound National Bank - tinggal kenangan. Anak perempuannya, Hayley (15) yang pertama kali menemukan ibunya terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar mandi.

Meski segera dilarikan ke rumah sakit, Susan tak pernah lagi siuman. Tepat enam jam setelah kejadian, Susan Snow mengembuskan napas terakhir. Dengan berlinang air mata, Paul Webking mengizinkan tim dokter mencabut alat bantu pernapasan yang berjam-jam menahan kematian istrinya. Lewat pernyataan resmi yang dikeluarkan beberapa saat kemudian, RS King County Medical Examiner menyimpulkan penyebab kematian Susan lantaran Excedrin berisi sianida.

Apakah sang pengoplos Chicago 1982 kembali beraksi? Para penyidik terpecah menjadi dua kelompok dalam menyikapi hal ini. Ada yang menganggap pembunuhan di Chicago dan Seattle dilakukan oleh maniak yang sama. Namun, ada juga yang menduga peristiwa itu hanya ulah “orang baru”. Alasannya, detail kejahatan dan modus operandi pengoplos Tylenol secara gamblang dijabarkan di berbagai media massa, sehingga mudah ditiru awam.

Cerita itu pun sempat menjadi headline dalam rentang waktu cukup lama. Dalam kriminologi ada istilah copycat untuk menyebut orang yang suka meniru kejahatan besar dan aksi para penjahat legendaris.

Para copycat berharap aksinya turut dicatat sebagai bagian dari kejahatan berantai - itu jika pelaku sejatinya belum tertangkap - agar jejak kejahatannya tak tercium sama sekali. Keberadaannya bak bayang-bayang yang sulit disentuh para aparat penegak hukum. Namun, jika yang ditiru aksi para legenda yang telah tertangkap atau mati seperti Jack the Ripper, motivasi copycat umumnya cuma menginginkan sensasi atau menghidupkan kembali nama besar idolanya.

Belum ada komentar resmi, baik dari pejabat FBI maupun pimpinan polisi lokal tentang hubungan pengoplos Chicago dengan kasus Seattle. Sampai akhirnya, datang petunjuk lain. Beberapa hari setelah kematian Susan Snow, polisi mendapat telepon dari King County Medical Examiner. Pengelola rumah sakit mengaku baru saja memeriksa mayat Bruce Nickell yang dimakamkan beberapa pekan sebelumnya. Istri Bruce, Stella Nickell, mengizinkan makam suaminya digali kembali karena curiga jangan-jangan kematian mendadak Bruce berhubungan dengan Excedrin.

“Dia memang punya kebiasaan minum kapsul itu dua butir saban pagi,” cerita Stella. Faktanya, tim dokter yang datang memeriksa mendapati keberadaan sianida di dalam jaringan tubuh Bruce. Sebenarnya itu kali kedua tim RS King County meneliti jasad Bruce. Pada kali pertama, beberapa jam setelah kematiannya, King County hanya melakukan pemeriksaan lanjutan tanpa menganalisis jaringan tubuh Bruce. Saat itu hasilnya menguatkan analisis tim dokter Harborview Medical Centre yang lebih dulu didatangi Stella: yakni Bruce Nickell meninggal secara wajar akibat pembengkakan paru-paru. 

Menurut catatan medisnya, karyawan bagian pemeliharaan jalan Negara Bagian Washington DC itu meninggal pada 5 Juni 1986. Siang itu, dia pulang ke rumah lebih dini karena kepalanya pusing tujuh keliling. Sesampai di rumah, Bruce langsung menuju lemari kabinet di dapur, meraih botol Excedrin lalu menenggak empat butir kapsul sekaligus. 

“Biasanya Bruce hanya minum dua butir seperti dosis yang dianjurkan. Mungkin nyeri kepalanya benar-benar hebat,” bilang Stella. Tak lama kemudian, tubuh lelaki berusia 40-an tahun itu limbung. la mencoba mendapatkan udara segar dengan berjalan-jalan ke beranda belakang. Stella sendiri berada di dapur ketika terdengar erangan Bruce.

“Stella?” panggilnya. 

“Ada yang bisa kubantu, Bruce?” balas Stella. 

“Rasanya aku mau pingsan,” sambung Bruce. 

Belum sempat Stella bereaksi, Bruce sudah ambruk mencium tanah. Sejak itu kakek satu cucu ini tak pernah lagi melihat dunia.

 

Penggemar copycat

Amerika kembali guncang. Setelah Tylenol memakan tujuh korban di Chicago, kini giliran Excedrin beracun membunuh dua warga Seattle tak berdosa. Untuk mencegah kepanikan yang lebih luas, polisi langsung menyisir rumah mobil keluarga Nickell. Mereka menemukan barang bukti, dua botol Excedrin “aspal”. 

Sementara itu BS King County mulai kebanjiran pasien. Meski Cuma sakit kepala atau pegal-pegal ringan, warga Seattle lebih suka ke dokter ketimbang minum sembarang obat.

Pasar swalayan tak ketinggalan melakukan sweeping rak obat secara besar-besaran. Hasilnya, ditemukan lagi dua botol Excedrin gadungan. Ditemukannya lima botol yang terkontaminasi itu mendorong Paul Webking mengajukan Bristol Meyers, produsen Excedrin, ke pengadilan. Stella Nickell juga segera menghubungi pengacaranya untuk tujuan yang sama. Mereka berencana menuntut Bristol Meyers karena lalai menjaga keamanan kemasannya, mengakibatkan hilangnya nyawa orang yang mereka cintai.

Dalam waktu singkat, kasus peracunan obat menjadi masalah nasional. Pelakunya seperti selebritas yang dinanti banyak orang. Herannya, pengoplos juga mempunyai “penggemar” sendiri. Polisi disibukkan dengan banyaknya orang datang ke markas mereka, bukan untuk mengeluh sebagai korban, tapi justru untuk mengaku sebagai pengoplos kapsul beracun. Lucunya, saat diinterogasi, para pencari sensasi itu malah banyak menceritakan detail yang tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Mereka hanya meneruskan laporan reporter teve atau menyontek berita koran.

Beruntung polisi punya informasi lebih lengkap berdasarkan hasil penelitian laboratorium. Informasi itu sebagian tak beredar di kalangan wartawan. Maka mereka dapat dengan mudah melihat kelemahan pengakuan para penjahat kacangan yang hanya ingin mendapatkan ketenaran dan sensasi semata.

Pimpinan FBI William Webster yang semula sempat ragu, mulai melirik kemungkinan adanya copycat dalam kasus peracunan obat di Seattle. Dia melihat adanya perkembangan motif dan perbedaan detail antara kasus Chicago dengan Seattle. “Perbedaan itu menunjukkan pelakunya berbeda,” analisis Webster. Katanya lagi, media massa berperan besar dalam melahirkan copycat-copycat masa kini. Yang sangat dikhawatirkan bos FBI, para peniru akan melakukan kejahatan di lebih banyak kota dengan mengembangkan teknik mengoplos menjadi versi lebih canggih.

Jika ketakutan itu menjadi kenyataan, bencana akan melanda sektor farmasi Amerika. Tak ada jalan lain, FBI harus bergerak cepat. Mereka mengirim sedikitnya 25 orang agen khusus ke Seattle. Belum lagi dukungan sekitar 80-an personel polisi lokal dan Auburn, kota tetangga Seattle. Berdasar hasil pemeriksaan forensik, tim gabungan itu menyimpulkan jejak kimia di lima botol yang telah ditemukan berasal dari satu sumber. Selain itu, cara mengemas kembali botol-botol itu punya banyak kemiripan.

 

Yang diuntungkan 

Di sisi lain, polisi tetap mencari motif alternatif dengan menyelidiki pihak-pihak yang diuntungkan dari hancurnya merek Excedrin dan nama baik Bristol Meyers. Mereka menganalisis jutaan transaksi di lantai bursa. Meski tak satu pun dapat dimanfaatkan sebagai bukti langsung.

Paul Webking, suami Susan, juga ikut diperiksa. Namun, tanya jawab yang dicatat alat pendeteksi kebohongan membuktikan Paul sepertinya tak menyimpan sedikit pun niat mencelakai istrinya. Jawabannya lugas dan tidak dibuat-buat. 

Sebaliknya, Stella menolak diperiksa dengan alat pendeteksi kebohongan. Sikap yang tidak kooperatif itu sedikit mengundang kecurigaan Jake Evans, kepala polisi Auburn. Dia juga tertarik pada fakta dua dari lima botol Excderin beracun yang beredar di pasar itu mangkal di rumah Stella. Mungkinkah itu hanya kebetulan? Evans juga mencatat, Stella sudah menyimpan dua polis asuransi jiwa suaminya beberapa bulan sebelum kematian Bruce.

Fakta-fakta itu menggiring Evans untuk memberi perhatian lebih pada Stella Nickell. Namun ibu dua anak itu tetap menolak diinterogasi. Baru setelah dibujuk pengacaranya, Stella bersedia diperiksa dengan alat pendeteksi kebohongan. Hasilnya, polisi menyimpulkan jawaban-jawaban yang diberikan Stella masuk kategori “sekadar menggampangkan” alias asal buka mulut. Apa boleh buat, Stella tidak bisa ditahan lantaran memang tak ditemukan cukup fakta sebagai barang bukti. Saksi mata? Apalagi itu, nihil!

Toh Evans dan sekutunya tetap berusaha meneliti masa lalu Stella. Konon hampir sepanjang hidupnya Stella diselimuti kepapaan. Dia dilahirkan di sebuah keluarga miskin di sebuah kota kecil dekat Portland, Oregon, tahun 1943. Di sekolah, Stella dikenal sebagai cewek yang cuma punya sedikit teman cowok. Tubuhnya seperti membeku jika berhadapan dengan lawan jenis. Takdir menyuratkannya kawin muda. Pada usia 16, dia sudah punya suami dan anak.

Bersama suami dan anak perempuannya, Cynthia, Stella kemudian hijrah ke California. Di tempat baru, ibu satu anak itu seperti menemukan semangat hidup baru. Selepas melahirkan anak perempuan kedua, dia meninggalkan suaminya yang tak kunjung berhasil memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Sebagai ibu, kesabarannya pun mulai menipis melihat kondisi keluarganya yang terus berkekurangan.

Hidup dalam kurungan penjara pun pernah dilakoninya. Tahun 1969 Stella dihukum setelah menyiksa Cynthia yang saat itu berusia sembilan tahun. Tahun 1971, dia dua kali dipenjara lantaran melakukan penipuan.

Untuk memperbaiki nasib, Stella pindah ke Seattle. Dia menikah dengan Bruce Nickell tahun 1976. Mereka tinggal di rumah mobil milik Bruce. Lelaki yang sebelumnya pemabuk berat ini mulai melupakan minuman keras beberapa tahun setelah menikah. Sepertinya Stella berhasil mengubah Bruce menjadi suami yang lebih bertanggung jawab. Sayangnya, sebagai pencari nafkah, Bruce kurang beruntung. Gajinya terlalu kecil untuk mengangkat Stella dari kehidupan yang sangat bersahaja.

Beberapa tahun kemudian, Cynthia (saat itu berusia 22 tahun) bergabung dengan Stella, adik perempuannya, dan ayah tirinya, tinggal di rumah mobil. Gadis manis berambut merah yang baru saja bercerai dari suaminya itu membawa serta anaknya yang masih bocah.

Sampai bagian ini, Evans dan sekutunya tak menemukan kejanggalan apa pun. Masa lalu Stella yang suram seperti terhapus dengan sedikit kebahagiaannya di masa kini. Rasanya, kalaupun benar Stella pelaku pembunuhan Bruce dan Susan, FBI dan polisi lokal butuh banyak keberuntungan. 

 

Berhadiah AS $ 300 ribu

Keberuntungan itu rupanya harus “dipancing”. Ibaratnya kalau mau menang lotre, tak cukup dengan membeli satu nomor undian. Makin besar uang yang dikeluarkan, makin besar kesempatan menang. Bristol Meyers yang tengah terjepit menyadari hal itu. Bekerja sama dengan jaringan pasar swalayan dan pabrikan obat lainnya, kolaborasi dadakan ini menawarkan hadiah AS $ 300 ribu bagi informan yang dapat memberikan petunjuk penting menuju tertangkapnya sang penyebar sianida.

Siasat itu ternyata mendapat tanggapan positif. Datang puluhan, bahkan ratusan informan. Namun, dari sekian banyak yang datang, hanya satu yang mampu membuat tim penyidik tersenyum lebar.

Januari 1987, putri tertua Stella, Cynthia, mendatangi kantor polisi. Dia satu-satunya saksi yang dapat “bernyanyi” dengan merdu tentang upaya Stella menyingkirkan Bruce dalam beberapa tahun terakhir. Yakin dengan keterangan Cynthia, FBI dan polisi Seattle langsung menciduk Stella.

Cynthia sendiri mengaku butuh waktu untuk memutuskan memberi kesaksian. Bisa karena “pancingan” jitu Bristol, bisa juga lantaran nuraninya memang betul-betul terketuk.

“Saya tahu dia yang melakukan itu. Tapi karena dia ibu kandung saya, saya sulit mengungkapkannya,” ucap Cynthia dengan suara bergetar.

la pernah menatap mata ibunya sesaat setelah Bruce mengembuskan napas terakhir. Namun, Stella balik menatap sembari menggelengkan kepala. “Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Jawabannya, tidak!” sergah Stella.

Menurut Cynthia, bapak tirinya sebenarnya sudah jauh berubah dan hampir tak pernah lagi mabuk-mabukan. Namun, seperti ayah kandungnya, Bruce bukan suami yang bisa memanjakan Stella dengan uang berlimpah dan berbagai kemewahan. Ibunya yang pernah gagal dalam perkawinan menyadari hari tuanya tengah terancam jika terus hidup bersama Bruce yang bergaji pas-pasan.

Beberapa tahun terakhir, Stella mulai memikirkan kemungkinan hidup tanpa Bruce. Bahkan menimbang-nimbang untuk “mengorbankan” suaminya jika memang cuma itu jalan satu-satunya mendatangkan keuntungan materi melimpah. Rezeki nomplok itu diandalkannya untuk membeli tanah. Lalu di atas tanah itu ia akan membangun rumah permanen serta membuka bisnis impiannya sejak kecil: pet shop yang khusus menjual ikan hias tropis.

Niatnya menjanda makin membara setelah beberapa bulan sebelum kematian Bruce, Stella menemukan dua polis asuransi jiwa suaminya, masing-masing senilai AS $ 20 ribu. Di kedua polis itu nama Stella tercantum sebagai ahli waris. Ditambah uang asuransi dari perusahaan tempat Bruce bekerja sekarang senilai AS $ 31 ribu, minimal ia akan mewarisi AS $ 71 ribu. Tahun 1986 uang sebesar itu lumayan banyak, cukup untuk membeli tanah dan berbisnis. Namun jika Bruce terbukti meninggal karena kecelakaan, koceknya bisa lebih menggembung menjadi AS $ 105 ribu. Bukan main!

 

Impian yang kandas

Yang menjadi masalah, bagaimana mewujudkan impian itu? Meski tidak mengecap pendidikan formal yang tinggi, Stella lancar membaca dan tahu ke mana harus mencari informasi yang “sesuai”. Beberapa tahun terakhir, secara teratur dia mengunjungi perpustakaan umum Auburn. Dia belajar dari buku, cara membuat racun dari tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di sekitarnya. Salah satu yang paling menarik perhatian Stella, daun cemara beracun.

Maka dia mulai membuat ramuan. Tumbuhan beracun dicampurnya dengan kacang polong dan bahan makanan lainnya agar tidak mencurigakan. Racikan maut itu disajikan pada Bruce. Rupanya ilmu meramu Stella belum sempurna. Terbukti Bruce cuma terserang kantuk luar biasa hingga tertidur selama belasan jam. Begitu tersadar, Bruce malah merasakan tubuhnya sangat bugar walau perutnya amat keroncongan.

Stella pun kembali menimba ilmu di perpustakaan. Informasi penting didapatnya saat mendampingi Bruce di forum rehabilitasi mantan korban ketergantungan alkohol. Konon banyak zat menjadi sangat berbahaya saat masuk ke tubuh mantan pasien ketergantungan alkohol. Pada dosis tertentu, jauh lebih berdampak mematikan ketimbang tubuh orang normal. Sedikit kokain dan heroin akan menolong Stella menciptakan kematian overdosis.

Namun, gencarnya pemberitaan perihal tuntutan keluarga korban Tylenol membuat Stella membelokkan rencana. Mengapa tak menjadi copycat mengikuti jejak pengoplos Chicago? Kejahatan mereka betul-betul sempurna, bisik hati kecil Stella. Kalau berjalan lancar, dia tak hanya akan jadi janda kaya, tapi sangat kaya. Selain beragam pemasukan dari perusahaan asuransi, penghasilan tambahan bisa didapat dengan menuntut Johnson & Johnson. Hebat ‘kan?

Sayangnya, dia tak bisa memanfaatkan gonjang-ganjing Tylenol. Bruce lebih suka menelan Excedrin, obat sejenis saingan Tylenol. Masalah lain, sejak merebaknya kasus Tylenol, tak mudah mendapatkan obat pengurang rasa nyeri di pasar swalayan. Banyak produsen yang menahan atau mengurangi produksinya sambil menanti perkembangan kasus Johnson & Johnson. Setelah berkeliling di beberapa toko, mujur bagi Stella, masih ada pasar swalayan yang menjual Excedrin.

Stella kemudian membeli racun tikus yang dosis sianidanya cukup mematikan buat manusia. Racun itu dimasukkan ke dalam kapsul Excedrin yang dibelinya dari toko, lalu dimasukkan kembali dalam botol. Cerita selanjutnya, seperti yang sudah tercatat dalam cerita Stella kepada paramedis King County, Bruce menenggaknya dan ambruk untuk selamanya. Ketika Harborview Medical Centre menyatakan kematian Bruce Nickell sebagai efek sesak napas dan pembengkakan paru-paru, mestinya paripurna pula rencana Stella. Dengan mudah dia bebas dari jeratan pasal-pasal pembunuhan.

Namun, keserakahan mengalahkan akal sehat pembunuh berdarah dingin itu. Uang santunan senilai total AS $ 51 ribu seperti tak berarti apa-apa. Stella “menyesalkan” tim medis Harborview yang gagal menemukan sianida di tubuh suaminya, sehingga hangus pula uang asuransi kecelakaan. Terbang pula impiannya mendapat uang total senilai AS $ 105 ribu. Dia benar-benar menginginkan dan merasa sangat berhak mendapatkan uang itu.

“Tapi ‘kan enggak mungkin saya langsung cerita pada mereka bahwa Bruce mati karena sianida,” makinya dalam hati. Polisi akan langsung curiga. Makin sering Stella memikirkan uang santunan yang bakal diterimanya, kian sengsara pula dia. “Tidak, uang asuransi itu tak boleh hilang begitu saja. Polisi harus diyakinkan, penyebab kematian Bruce adalah Excedrin yang mengandung sianida,” geram Stella.

Beberapa saat kemudian, dia bergegas membeli beberapa botol Excedrin dan Anacin-3 dari pasar swalayan. Sama seperti yang dilakukannya pada botol Excedrin milik Bruce, isi kapsul-kapsul penyembuh itu diganti, dari bahan penyembuh menjadi bubuk pembunuh. Setelah memperbaiki kemasannya, obat aspal itu diselipkan kembali ke rak pasar swalayan itu. Tahap ini dilaluinya dengan sempurna tanpa mengundang kecurigaan sedikit pun. Sampai kemudian tersiar kabar kematian Susan Snow yang tinggal hanya beberapa kilometer dari rumah mobil Stella.

Rencana-rencana tadi disusun begitu rapi. Dengan bantuan alat pendeteksi kebohongan dan penggeledahan total rumah mobil Stella sekali pun, kebejatan wanita keras kepala itu tak akan mudah dibongkar. Apalagi tak banyak tetangga yang mengenal dengan baik sifat-sifat Stella. Kalau saja tak dikuasai keserakahan yang membabi buta, rezeki nomplok AS $ 71 ribu bakal dinikmati Stella tanpa halangan berarti. Lengkap dengan kehidupan nyaman di atas tanah sendiri dan toko ikan hias tropis.

Stella nyaris menjadi copycat yang sempurna dan nyaris membuat FBI serta polisi putus asa. Hanya berkat “pengkhianatan” Cynthia, yang kini beruntung mendapatkan bonus AS $ 300 ribu, polisi berhasil memaksa Stella mengaku.

Di pengadilan, hakim menganggapnya sebagai pembunuh tak berperikemanusiaan dan mengganjarnya 90 tahun tinggal di hotel prodeo. Stella Nickel tercatat dalam sejarah sebagai warga negara Amerika Serikat pertama yang diadili berdasarkan Undang-Undang Pemalsuan Produk 1983.(Perfect Crimes)

Baca Juga: Batu Sandungan

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561334/nyanyian-sang-putri" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668181818000) } } }