array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3258538"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(119) "T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/lawrence-dari-arabia_middle-east-20220428082134.jpg"
      ["title"]=>
      string(20) "Lawrence dari Arabia"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-04-28 20:21:54"
      ["content"]=>
      string(25295) "

Intisari Plus - T.E. Lawrence menumpas bangsa Turki di gurun. Namun, inikah yang menjadi tujuan pahlawan Perang Dunia I yang gagah ini?

-----------------------

Para pemirsa di London duduk terkesima, menyimak kata per kata.

"Anak-anak liar Ishmael itu menganggap pemimpin mereka yang tenang dan adil sebagai sosok supranatural yang dikirim dari surga untuk membebaskan mereka dari penjajah," jurnalis itu mengatakan kepada para pemirsa. "Ia berpakaian seperti penguasa Oriental. Di sabuknya terselip sebilah pedang emas bengkok yang hanya digunakan keturunan langsung Nabi Muhammad."

Pemirsa tersebut menahan napasnya. Siapa gerangan pahlawan Inggris yang mencengangkan dan romantis ini? Di manakah ia sekarang berada?

"Anak muda itu sekarang terbang dari satu tempat di London ke tempat lain, berusaha menjauhi perempuan," sang jurnalis meyakinkan para pemirsa.

Saat itu, September 1919. Perang Dunia I sudah berakhir, dengan dampak yang menakutkan. Di Eropa, jutaan warga Inggris, Prancis, dan Jerman tewas di jalan buntu menakutkan dan melelahkan di parit-parit perlindungan yang berlumpur. 

Inggris dan Prancis telah mengalahkan Jerman, tapi kemenangan itu tampaknya tidak terlalu dirayakan karena kisah tentang pertempuran parit sedemikian menyeramkan untuk dikenang.

Tapi, di sini ada yang berbeda—jenis peperangan yang berbeda, dengan pahlawan yang berbeda: Lawrence dari Arabia—yang, seperti diyakini jurnalis itu, memimpin penduduk Arab seorang diri dalam sebuah revolusi melawan Turki, berperang dengan penuh keagungan untuk meraih kemenangan mengarungi gurun pasir, dengan jubahnya yang berkibar-kibar ketika ia sedang bertempur dari untanya.

Jauh dari London yang hiruk-pikuk 'berusaha terbebas dari perempuan', Thomas Edward Lawrence—nama lengkap pria itu—sedang duduk di Oxford. Ia amat terpukul, karena kegagalannya memberikan sesuatu yang dianggapnya pantas didapatkan rakyat Arab. Beberapa tahun kemudian, ia berusaha menghindar dari publisitas Lowell Thomas, jurnalis Amerika yang bermaksud baik itu.

Lawrence masuk Angkatan Udara Kerajaan dengan pangkat yang sangat rendah, dengan nama palsu John Hume Ross. Sewaktu pers mencium identitas aslinya, ia mengubah namanya lagi, kali ini menjadi Thomas Edward Shaw, dan bergabung dengan Korps Tank di angkatan bersenjata. Ia kembali ke Angkatan Udara dengan nama Shaw, masih dengan pangkat yang lebih rendah, dan menghabiskan 12 tahun berikutnya dalam penyamaran. Rekan kerjanya tak pernah menduga siapa dirinya.

Jadi, mana yang benar? Apakah 'Lawrence dari Arabia' hanya mitos yang diciptakan seorang jurnalis yang tahu betapa Inggris sangat membutuhkan dorongan moral? Atau adakah sesuatu yang sangat luar biasa dari pria kalem yang menghabiskan sisa hidupnya bersembunyi dari pers?

Hal yang sebenarnya berada di antara mitos dan kenyataan. T.E. Lawrence memulai kariernya dengan meraih gelar sarjana sejarah dari Universitas Oxford. Pada saat itulah ia tertarik pada Timur Tengah. Ia menulis tesis tentang kastel-kastel dari masa perang salib di Palestina dan Suriah, melakukan perjalanan ke kedua negara itu untuk melakukan riset, dan mulai mempelajari bahasa Arab. 

Pada 1910, setelah menyelesaikan tesisnya, ia kembali ke Suriah, bekerja di sebuah penggalian arkeologis di kota kuno Karkamış. Ia tinggal di Suriah sampai awal Perang Dunia I, tahun 1914, untuk mendalami pengetahuan tentang wilayah itu dan mulai menyukai orang-orang di sekitarnya.

Saat itu, hampir seluruh Timur Tengah dikuasai bangsa Turki. Kekaisaran mereka (disebut kekaisaran Utsmaniah) membentang dari Turki hingga wilayah yang sekarang menjadi Irak. Meskipun secara resmi bangsa Turki menguasai Mesir, penguasa Mesir sebenarnya adalah Inggris, yang sedang mengincar Terusan Suez—sebuah rute penting bagi pelayaran.

Ketika Perang Dunia I meletus, Turki, Austria, dan Jerman bergabung melawan Rusia, Prancis, dan Inggris. Di Mekah, Sharif Hussein, pemimpin yang tersingkir, mempertimbangkan keputusannya. Ia dapat menyokong para pemimpin Turki; atau mendekati Inggris dengan harapan Inggris mau menolongnya meraih kemerdekaan bagi seluruh penduduk Arab—yang membentang dari semenanjung Arabia sampai Irak dan Suriah.

Inggris menyukai gagasan bahwa warga Arab berada di sisinya. Mereka akan membantu Inggris dalam pertempuran melawan bangsa Turki. Mereka setuju dengan Sharif Hussein bahwa bila revolusi Arab berhasil, Inggris akan menjamin kemerdekaan Arab setelah perang. Maka, pada 10 Juni 1916, Hussein secara simbolis membidikkan senapannya ke barak-barak Turki di Mekah. Revolusi Arab pun dimulai.

Jelas, Sharif Hussein tak mampu mengalahkan Turki sendirian. Turki memiliki angkatan bersenjata yang besar, sedangkan Sharif hanya didukung suku-suku yang tidak bersatu. Inggris harus melancarkan serangan besar sendirian dan memberikan bantuan apa pun kepada penduduk Arab. Maka, angkatan bersenjata Inggris mengirimkan perwakilan ke Mekah untuk menyelidiki segala yang diperlukan—salah seorang di antaranya adalah T.E. Lawrence.

Pada awal peperangan, Lawrence ditempatkan di bagian Intelijen Inggris di Kairo. Serta merta ia tertarik pada Revolusi Arab. la menilai revolusi itu tidak memiliki seorang pemimpin. Sharif sendiri adalah seorang tua yang suka membantah. Lawrence lantas menemui empat putra Sharif untuk mengetahui seperti apakah mereka. 

Lawrence berpendapat, putra ketiga Sharif, namanya Emir Feisal, mempunyai kualitas yang dibutuhkan. Keduanya lalu berkawan baik, dan tak lama Lawrence terlibat, membantunya merencanakan kampanye gurun pasir.

Revolusi Arab mungkin tak akan menang jika pertempuran dilaksanakan secara umum, selayaknya angkatan bersenjata yang disiplin. Suku Beduin Arab adalah prajurit bengis, tapi mereka terdiri dari banyak suku yang berbeda yang cenderung berakhir dengan saling berperang. 

Karena ingin memahami mereka dan mempelajari adat istiadat gurun pasir, Lawrence lalu mengamati Feisal. Lawrence terkesan pada cara Feisal menangani masalah-masalah kesukuan, yang memerlukan kesabaran luar biasa. Lambat-laun, ia mula memahami cara sebaik-baiknya memanfaatkan sumber daya penduduk Arab yang terbatas.

Tak lama kemudian, Lawrence membantu mengembangkan sebuah strategi untuk revolusi itu. Mereka akan menggunakan taktik perang gerilya untuk menyerang jalur kereta api Hejaz, yang melalui gurun pasir, dari Damaskus di Suriah, langsung ke kota suci Madinah. Ada banyak jalur kereta di gurun pasir yang tidak mungkin dapat dikawal bangsa Turki. 

Dengan mengacaukan sistem transportasi mereka, orang Arab akan menghalangi usaha perang Turki, dan pada saat yang sama korban yang jatuh di pihak mereka sangat sedikit. Tentara Inggris yang lain menyetujui strategi ini dan memasok bahan peledak serta artileri lain untuk Lawrence.

Tak lama, Lawrence sendiri terlibat dalam serangan terhadap jalur kereta api itu. Ia mengerti cara menggunakan bahan peledak dan—tidak seperti kebanyakan tentara Inggris lainnya—tampaknya ia cocok dengan perang gurun pasir. 

Kini ia lancar berbahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi; ia belajar menunggang unta dan ia bangga karena mampu menahan tuntutan fisik kehidupan di gurun pasir yang keras. Feisal-lah yang menyarankan agar Lawrence memakai jubah Arab. Feisal memberinya sepasang jubah indah terbuat dari sutra putih murni, yang menjadi bagian dari 'citra' Lawrence; jubah itu membantunya menyatu lebih efektif dengan para suku-suku tersebut.

Dalam perjalanannya, Lawrence sering ditemani orang Arab yang berasal dari suku atau bahkan negara yang berbeda. Sebagai seorang tentara Inggris yang berada di tengah-tengah mereka, ia harus bertindak sebagai mediator, mengatasi masalah kesukuan yang muncul sepanjang perjalanan. 

Pada salah satu awal ekspedisi, seorang Maroko membunuh seorang anggota suku Beduin. Lawrence mengetahui bahwa pembunuhan ini dapat memicu pertumpahan darah, di mana teman-teman si korban diwajibkan membunuh sebagai tindak balasan. Lawrence pun sadar bahwa satu-satunya pemecahan adalah ia sendiri harus menghukum orang Maroko itu. 

Karena jemu dengan kemarahan serta hasutan, dan lesu karena keganasan padang pasir, ia hampir tak mampu menembak dengan jitu. la menembak tiga kali untuk mematikan pria Maroko itu. Peristiwa itu merupakan uji coba dari permasalahan yang bermunculan kemudian.

Sementara itu, Rusia, Prancis, dan Inggris diam-diam membahas tentang pembagian kekuasaan bila mereka memenangkan perang. Siapa akan menguasai apa, dan di mana? Prancis ingin membagi bekas kekaisaran Utsmaniah dengan Inggris. Meskipun telah melakukan kesepakatan dengan Sharif Hussein, Inggris merasa berkewajiban untuk menyetujui hal itu. Hasilnya adalah perjanjian Sykes-Picot, Mei 1916. 

Menurut perjanjian ini, Prancis akan menguasai Libanon, Suriah, dan bagian Turki, sementara Inggris akan menguasai Irak dan, wilayah yang sekarang menjadi Yordania. Dengan kata lain, seluruh wilayah yang berpenduduk padat dan kaya akan menjadi milik Inggris dan Prancis, sementara bangsa Arab hanya akan mendapatkan semenanjung Arabia, yang terutama terdiri dari gurun pasir.

Apakah Lawrence mengetahui isi perjanjian itu? Di kemudian hari, ia menyangkal, tapi bantahan itu sepertinya tidak meyakinkan. Ia tentu memiliki lebih banyak kecurigaan terhadap isi perjanjian itu. Bagaimanapun perjanjian itu diumumkan setelah Revolusi Rusia tahun 1917, kala Rusia menerbitkan seluruh perjanjian lama mereka. 

Posisi Lawrence tampaknya bersandar pada harapan bahwa bila perang usai, Inggris akan bertindak adil untuk melindungi kepentingan-kepentingan Arab. Lawrence amat setia pada Inggris, dan yakin pada keadilan Inggris. Ia tidak mengerti mengapa Prancis harus mendapat bagian di Timur Tengah walaupun negara itu tidak melakukan pertempuran. Jika bangsa Arab sendiri yang mengalahkan Turki dan menduduki Damaskus, Inggris tak mungkin membiarkan Prancis merebut wilayah mereka bukan?

Demikianlah Revolusi Arab berlanjut. Lawrence berusaha mempengaruhi rencana angkatan bersenjata Arab untuk bergerak ke utara menuju Semenanjung Arab ke Aqaba, di Laut Merah—pelabuhan strategis penting yang dikuasai bangsa Turki. Pelabuhan itu dikawal dari laut, satu-satunya harapan untuk merebutnya adalah dari darat, melalui gurun pasir, dengan serangan bersenjata.

Lawrence mendapat bantuan yang ia perlukan, berupa seorang pemimpin suku bernama Auda abu Tayi, prajurit veteran padang pasir. Lawrence menyarankan agar mereka mendekati Aqaba melalui rute darat. 

Dengan cara ini mereka dapat merekrut dukungan suku-suku yang ada di sepanjang rute, dan mereka tak akan pernah ditemukan oleh bangsa Turki. Auda setuju, rencana itu layak, dan serombongan kecil berangkat dari kota Al Wajh, 9 Mei 1917.

Perjalanan itu sulit dan melelahkan. Lawrence kembali jatuh sakit panas dan demam yang tinggi, tapi ia terus berjuang. Mereka menyeberangi jalur kereta api Hejaz, meledakkannya sebagian ketika sedang berjalan. Kemudian mereka menghabiskan pagi harinya menyeberangi padang lumpur tandus di Biseita, yang luas di gurun pasir. Tiba-tiba mereka sadar salah satu kelompok hilang. Untanya masih ada dalam rombongan—penunggangnya jelas tertidur dalam panas yang membakar dan terjatuh.

Gasim, pria yang hilang itu, adalah anggota tim Lawrence. Lawrence merasa tertekan dan harus kembali mencarinya sendiri atau kehilangan rasa hormat dari anggotanya. Maka ia membalikkan untanya dan mengarahkannya kembali ke padang lumpur.

Gasim hampir mengigau karena terik padang pasir ketika Lawrence menemukannya. Lawrence dan Gasim bertemu anggota lainnya, tapi keduanya nyaris kelelahan. Yang lebih buruk, salah satu pemimpin suku memukul pembantu Lawrence karena membiarkannya pergi sendiri.

"Memikirkan nanti malam adalah yang terburuk dari pengalaman saya," tulis Lawrence di buku hariannya.

Setelah kesulitan melalui perjalanan di padang pasir, Lawrence bertugas membujuk suku Arab lain untuk bergabung dalam revolusi itu. Karena takut Inggris akan menegakkan perjanjian Sykes-Picot, Lawrence merasa tidak enak. "Kami mengajak mereka berperang untuk kami dalam kebohongan, dan saya tidak tahan." la menulis ke salah satu teman tentaranya. 

Tetapi, sudah terlambat untuk mengubah rencana itu. Suku-suku Arab mengabaikan kepentingan mereka sendiri karena terkobar dengan gagasan revolusi. Awal Juli, mereka mendekati Aqaba.

Pertemuan pertama berlangsung di utara Aqaba, di Abu el Lissan. Karena terkejut, orang-orang Turki itu tidak tahu cara mengatasi para penembak Arab yang bersembunyi di bukit. Ketika orang Arab tiba-tiba menyerang dengan kawanan untanya, orang-orang Turki itu benar-benar panik. Beberapa hari kemudian, Aqaba jatuh dan kini berada di tangan Arab.

Inggris sangat terkesan. Serangan itu membuat mereka sadar bahwa bangsa Arab cukup kuat untuk mendukung mereka mengalahkan bangsa Turki. Setelah ini, Revolusi Arab bekerja lebih erat dengan angkatan bersenjata Inggris, bergerak ke arah utara di bawah arahan Kepala Komando Inggris Jenderal Edmund Allenby. Angkatan darat Inggris maju ke utara melalui Palestina, dan Yerusalem direbut Desember 1917.

Secara keseluruhan, bangsa Arab memainkan peran penting dengan terus-menerus mengacaukan jalur kereta api ke Timur Jauh, sehingga mengalihkan bangsa Turki dari serangan utama Inggris, dan membingungkan bangsa Turki terhadap kekuatan musuhnya.

Sekarang, Lawrence mempunyai dua tugas utama. Ia terus menemani Allenby dan tentara Inggris lain, menuntut pasokan dan membahas strategi, tapi ia juga amat berkomitmen dengan pertempuran gerilya bersama bangsa Arab. 

la mencintai padang pasir, terutama wilayah seperti Wadi Rum, yang bentuk-bentuk cadas padang pasirnya merupakan sebagian dari yang paling memukau di dunia. Selanjutnya, Lawrence menuliskan gambaran yang membangkitkan kenangan tentang bentangan alam yang tandus tapi indah itu.

Kenyataan perang memberikan sedikit romansa pada tempat itu. Lawrence mengalami gangguan fisk sampai pada batasnya. Meksi Lawrence seorang pemimpin terkenal, dia tidak selalu berada di garis depan. Kenyataannya, serangan ke Aqaba yang terkenal itu berlangsung tanpanya. Dalam kebingungan, Lawrence menembak untanya di kepala, dan unta pun terkulai lalu rebah.

Pada saat kampanye berlalu, Lawrence sendiri mulai merasa letih dan muak. Setelah serbuan ke kereta Turki yang menewaskan 70 orang Turki, ia menulis pada seorang teman, "Pembunuhan ini dan pembunuhan orang Turki ini mengerikan ... Kau menyerang sampai akhir dan mendapati mereka semua hancur bergeletakan."

Lebih dari itu, bangsa Turki ternyata adalah petempur yang brutal, kasar, serta bengis dalam memperlakukan musuh mereka yang luka, kadang-kadang membakarnya hidup-hidup. Akibatnya, orang Arab setuju untuk saling membunuh bila mereka terlalu terluka parah.

April 1918, Lawrence sendiri harus memberlakukan peraturan itu. Pada sebuah misi penyelidikan di belakang garis musuh, salah seorang pembantunya yang setia, Farraj, terluka parah. Ketika Lawrence dan beberapa orang lain berusaha menggotongnya, ada peringatan bahwa sekelompok orang Turki mendekat. Tak ada yang dapat diperbuat. Lawrence menggapai pistolnya dan mengarahkan ke kepala Farraj.

 

"Tuhan akan memberi kedamaian," Farraj bergumam sewaktu Lawrence menarik pelatuknya.

Setelah tahun 1918 berlalu, akhirnya rencana Inggris-Arab berhasil. Setelah berhasil dengan Aqaba dan Yerusalem, kadang-kadang kampanye itu tampak seperti terantuk. Tapi, pada September, orang Arab berhasil menghancurkan jalur kereta api Deraa di utara dan selatan, salah satu jalur komunikasi Turki. Pada bulan yang sama, perlawanan Inggris menyikat angkatan bersenjata Turki di Palestina.

Sekarang ini cuma masalah menjaring sisa angkatan bersenjata Turki sebelum mereka mundur ke Damaskus. Tanggal 26 September 1981, Lawrence menerima kabar bahwa dua divisi Turki menuju ke utara mengikutinya, satu rombongan terdiri dari enam ribu tentara dan rombongan yang lain terdiri dari dua ribu tentara. Ia dan teman-teman pemimpinnya menganggap pasukan mereka sudah cukup untuk mengalahkan divisi yang lebih kecil.

Mereka bertemu prajurit Turki di utara pedesaan Tafas dekat Deraa, yang memaksa mereka berbalik, dan mengikuti orang-orang Turki itu menyusuri desa Tafas sendiri. Mereka menyaksikan pemandangan yang menakutkan. Bangsa Turki telah membunuh semua perempuan dan anak-anak, Lawrence sendiri melihat perempuan hamil yang dihunus dengan sebuah bayonet.

Sheik desa itu, prajurit bernama Talal, bertempur bersama Lawrence. Sewaktu melihat yang menimpa penduduk desanya, ia meraung dalam kedukaan dan menyerang orang Turki. Kini semua orang Arab mengamuk. Lawrence dan pemimpin lain sedemikian muak sehingga mereka memberi perintah "jangan membawa tawanan"—berarti harus membunuh semua orang Turki, baik yang menyerah atau tidak.

Orang-orang Arab menyambar orang Turki dengan geram karena perbuatan mereka itu, dan akibatnya, tak lama, mereka menguasai Deraa. Selanjutnya, mereka menjadi liar, menjarah dan menyembelih orang Turki sebagai balas dendam atas pembunuhan di Tafas. Lawrence kemudian menggambarkannya sebagai "salah satu malam saat manusia kehilangan akal."

Sementara itu, sebagian angkatan darat Arab menyikat divisi Turki yang lebih besar. Dalam beberapa hari, sekitar lima ribu orang Turki dibunuh dan delapan ribu ditawan. Akhirnya, mereka ditawan di Damaskus.

Inggris mengizinkan angkatan darat Arab berpawai ke Damaskus di depan mereka, sebagai pengakuan terhadap hak-hak bangsa Arab atas wilayah itu. Lawrence ikut dan menyaksikan sambutan masyarakat yang meriah. Sheik Hussein diangkat menjadi Raja Arab, dan Feisal memasuki kota sebagai wakilnya dengan kemenangan. Untuk sementara, perjanjian Sykes-Picot dilupakan.

Setelah terburu-buru membantu para pemimpin Arab menciptakan ketertiban di Damaskus, Lawrence pergi secepatnya. Tampaknya ia tertekan. Ia tahu bahwa posisi Arab genting, dan satu hal: perjuangan Feisal baru saja dimulai. Karena letih, Lawrence baru terbang ke London empat hari kemudian.

Hampir dipastikan, tuntunan Prancis segera menghapus impian Feisal. Pada akhir tahun 1920, hasil penyelesaian damai menyerahkan Libanon dan Suriah pada Prancis. Untuk menenangkan orang Arab, Inggris menjadikan Feisal raja di Irak di bawah pengaruh tak langsung mereka; mereka memberikan wilayah yang disebut Trans-Jordan (sekarang Yordania) kepada Abdullah, saudara laki-laki Feisal, dalam sebuah perjanjian serupa. Satu-satunya wilayah yang langsung dikuasai orang Arab adalah Arabia itu sendiri. Seorang lawan setempatnya, Ibnu Saud, segera menyingkirkan Hussein dari kekuasaan. Keluarga Ibnu memberi nama wilayah itu Saudi Arabia.

 

Kemudian

Lawrence memainkan bagian penting dalam perundingan pascaperang, memperjuangkan hak Arab untuk merdeka. Meskipun hasil akhir lebih baik dari yang ia takuti, hasil itu sangat berbeda dari pandangan yang mengobarkan Revolusi Arab. Jelas, Lawrence merasa Inggris mengkhianati bangsa Arab. 

la diberi banyak penghargaan dan medali atas dinas kemiliterannya, termasuk Distinguished Service Order. Ia memulangkan semuanya kembali. Yang menambah kekecewaan banyak orang, ia mulai menarik diri dari masyarakat. 

Tapi, legenda 'Lawrence dari Arabia' mulai tumbuh, sebagian besar berkat jasa jurnalis dan pembicara Lovell Thomas yang melangsungkan serangkaian tur untuk mengangkat moralitas. Lawrence sendiri menganggapnya tak masuk akal bahwa ia diistimewakan; mengingat banyak tentara Inggris lain yang terlibat dalam revolusi itu, dan ia sendiri pasti tak akan pernah menjadi pemimpin Arab. Ia mengakui bahwa Lovell Thomas menyebarkan "kebohongan panas".

Namun, Lawrence mulai menuliskan sendiri kisahnya tentang revolusi itu dalam Seven Pillars of Wisdom. Kisah itu memberikan sumbangan bagi legenda, dan sebagian sejarawan mengakui bahwa kisah itu memelintir dan membesar-besarkan fakta. 

Seven Pillars of Wisdom banyak berisi gambaran romantis tentang gurun pasir, pandangan yang diidealkan tentang Emir Feisal, dan kisah-kisah pertempuran yang dramatis. Buku itu juga menganggap tidak penting peran Inggris dalam mengalahkan bangsa Turki. Akibatnya, perdebatan tentang Lawrence terus berlanjut dan ia tetap menjadi sosok yang membingungkan.

Baru diketahui bahwa pada tahun 1934, Lawrence didekati sutradara film Alexander Korda yang ingin membuat film dengan judul Lawrence of Arabia. Lawrence jengkel. "Mungkin yang ia maksud saya, dan saya punya pandangan yang kuat mengenai keengganan film seperti itu. Maka, saya menjawabnya bahwa ia mungkin harus mendiskusikan niatnya itu sebelum membuka mulutnya yang bodoh itu" tulisnya.

T.E. Lawrence tetap bekerja di Angkatan Udara hingga tahun 1935, ketika ia berusia 46 tahun. Baru tiga bulan setelah pensiun, ia tewas dalam kecelakaan sepeda motor di dekat rumahnya di Dorset.

Tapi, gagasan itu terus mengalir. Tahun 1962, 27 tahun setelah kematian Lawrence, sutradara film yang lain, David Lean, benar-benar membuat film berjudul Lawrence of Arabia, yang dibintangi Peter O'Toole sebagai Lawrence. Film itu menjadi film klasik dan memastikan bahwa gambaran romantis perang di gurun pasir, dengan heroismenya, jubah sutra yang berkibar-kibar dan unta-unta yang menyerang, dihidupkan untuk memikat imajinasi jutaan orang.

(Gill Harvey)

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258538/lawrence-dari-arabia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177314000) } } }